ABSES PARU

26
BAB I PENDAHULUAN Abses paru merupakan suatu infeksi destruktif berupa lesi nekrotik pada parenkim paru yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas berisi nanah (pus) pada satu lobus atau lebih. Abses paru harus dibedakan dengan cavitas pada pasien tuberkulosis paru. Kemajuan ilmu kedokteran saat ini menyebabkan kejadian abses paru menurun (jarang ditemukan) karena adanya perbaikan risiko terjadinya abses paru seperti teknik operasi dan anestesi lebih baikdan penggunaan antibiotik lebih dini, kecuali pada kondisi-kondisi yang memudahkan untuk terjadinya aspirasi dan pada populasi dengan immunocompromised. 1 Pada tahun 1920, diperkirakan sepertiga penderita abses paru meninggal; Dr. David Smith meneliti bahwa aspirasi bakteri merupakan patomekanisme terjadinya infeksi. Dalam suatu otopsi, Smith mengamati bakteri yang ditemukan pada dinding abses paru menyerupai bakteri yang dijumpai pada celah gusi. 2 Pada masa sebelum antibiotik ditemukan, abses paru merupakan penyakit yang sangat mematikan, dimana sepertiga dari pasien meninggal, sepertiga lainnya sembuh, dan sisanya menyebabkan morbiditas berupa abses berulang, empiema kronik, bronkiektasis, dan konsekuensi lainnya dari infeksi piogenik kronik. Pada masa awal antibiotik ditemukan, sulfonamide tidak menyebabkan banyak perbaikan pada pasien dengan abses paru hingga saat ditemukannya penisilin dan tetrasiklin. Walaupun di masa lampau bedah reseksi sering dianggap sebagai 1

description

tambahan ilmu

Transcript of ABSES PARU

BAB I

PENDAHULUAN

Abses paru merupakan suatu infeksi destruktif berupa lesi nekrotik pada parenkim paru

yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas berisi nanah (pus) pada satu lobus atau lebih.

Abses paru harus dibedakan dengan cavitas pada pasien tuberkulosis paru. Kemajuan ilmu

kedokteran saat ini menyebabkan kejadian abses paru menurun (jarang ditemukan) karena

adanya perbaikan risiko terjadinya abses paru seperti teknik operasi dan anestesi lebih

baikdan penggunaan antibiotik lebih dini, kecuali pada kondisi-kondisi yang memudahkan

untuk terjadinya aspirasi dan pada populasi dengan immunocompromised. 1

Pada tahun 1920, diperkirakan sepertiga penderita abses paru meninggal; Dr. David Smith

meneliti bahwa aspirasi bakteri merupakan patomekanisme terjadinya infeksi. Dalam suatu

otopsi, Smith mengamati bakteri yang ditemukan pada dinding abses paru menyerupai bakteri

yang dijumpai pada celah gusi.2

Pada masa sebelum antibiotik ditemukan, abses paru merupakan penyakit yang sangat

mematikan, dimana sepertiga dari pasien meninggal, sepertiga lainnya sembuh, dan sisanya

menyebabkan morbiditas berupa abses berulang, empiema kronik, bronkiektasis, dan

konsekuensi lainnya dari infeksi piogenik kronik. Pada masa awal antibiotik ditemukan,

sulfonamide tidak menyebabkan banyak perbaikan pada pasien dengan abses paru hingga

saat ditemukannya penisilin dan tetrasiklin. Walaupun di masa lampau bedah reseksi sering

dianggap sebagai penanganan abses paru, peran bedah telah banyak berkurang karena

kebanyakan pasien dengan abses paru tanpa komplikasi dapat memberi respon yang baik

dengan terapi antibiotik jangka panjang.2

Abses paru disebut kronis apabila gejalanya berlangsung selama lebih dari 4 sampai 6

minggu, lebih sering disebabkan karena neoplasma atau infeksi dengan agen anaerobik yang

kurang virulen. Berdasarkan penyebabnya, abses paru dapat dibagi menjadi dua, yakni abses

primer dan abses sekunder. Abses primer muncul karena nekrosis parenkim paru (akibat

pneumonitis, infeksi, dan neoplasma) ataupun pneumonia pada orang normal. Sedangkan

abses sekunder dapat disebabkan karena kondisi sebelumnya seperti septik emboli (misalnya

endokarditis sisi kanan), obstruksi bronkus (misalnya aspirasi benda asing), bronkiektasis,

ataupun pada kasus immunocompromised.1,2,3

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. ABSES PARU

Abses paru adalah pengumpulan setempat cairan terinfeksi, berupa pus atau jaringan

nekrotik supuratif, dalam suatu kaviti yang terbentuk akibat penghancuran jaringan

sekitarnya (parenkim paru). Defnisi abses paru tidak termasuk pengumpulan pus dalam ruang

atau rongga yang sudah ada sebelumnya seperti kista bronkogenik terinfeksi atau bula.

Abses paru dapat terjadi secara akut atau kronik. Abses paru akut terjadi dalam 2 minggu atau

kadang lebih yang disebabkan oleh infeksi bakteri aerob yang virulen sedang abses paru

kronik terjadi dalam waktu lebih dari 4-6 minggu dengan penyakit dasar neoplasma atau

infeksi dengan bakteri yang kurang virulen dan anaerob.Abses paru dapat diklasifikasikan

berdasarkan perlangsungannya dan kemungkinan penyebabnya. 4

Berdasarkan perlangsungannya, abses terbagi dua, yakni abses akut dan abses kronis.

Suatu abses paru disebut akut jika gejalanya berlangsung kurang dari 2 minggu. Pada

beberapa pasien dengan abses paru akut didapatkan, jumlah rata-rata spesies bakteri yang

diidentifikasi per pasien adalah 2/3 dengan bakteri anaerob terisolasi di 44% kasus, aerob di

19%, dan campuran aerob dan anaerob dalam 22%; sisa kasus disebabkan oleh patogen tak

dikenal atau Mycobacterium tuberculosis.4

II.           EPIDEMIOLOGI

Berdasarkan jenis kelamin, abses paru lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding

perempuan. Abses paru lebih sering terjadi pada pasien usia lanjut karena peningkatan

kejadian penyakit periodontal dan peningkatan prevalensi disfagia dan aspirasi. Namun,

serangkaian kasus abses paru di pusat perkotaan dengan prevalensi tinggi alkoholisme

melaporkan rata-rata penderita abses baru berusia 41 tahun.1,2 Insidensi abses paru tidak

diketahui, meskipun terlihat pertumbuhannya tidak fluktuatif dan insidensinya juga terlihat

menurun sejak diperkenalkannya antibiotik (khususnya penisilin). Sejak 1943-1956,

Massachusetts General Hospital melaporkan sebanyak 10-11 kasus abses paru per 10.000

penderita yang masuk rumah sakit pada masa pre-antibiotik dibandingkan dengan 1-2 kasus

per penderita yang masuk rumah sakit pada masa post-antibiotik. Pada tahun 1984-1986

kasus yang ditangani The Beth Israel Deacones Medical Center’s menunjukkan bahwa abses

2

paru mewakili kira-kira 0,2 % dari seluruh kasus penumonia membutuhkan perawatan rumah

sakit. Penurunan kasus abses paru berhubungan dengan penggunaan dini dan luas

antimikroba yang efektif, peningkatan manajemen perawatan pasien yang tidak sadar, dan

peningkatan manajemen perawatan pasien yang dianestesi.7

III.        ETIOLOGI

Berbagai infeksi dapat menyebabkan terjadinya abses paru. Bakteri anaerob merupakan

penyebab terbanyak yang ditemukan. Studi yang dilakukan Barlett et al. (1974) mendapatkan

46% abses paru disebabkan hanya oleh bakteri anaerob, sedangkan 43% campuran bakteri

anaerob dan aerob. Bakteri anaerob ini ditemukan terutama pada saluran napas atas dan

paling banyak terdapat pada penyakit oral dan ginggiva.1,6 Pada pasien immunocompromised

spektrum kuman patogen penyebab abses paru sedikit berbeda. Pada pasien AIDS

kebanyakan kumannya adalah bakteri aerob, P. Carinii, jamur, Cryptococcus neoformans,

dan Mycobacterium tuberculosis.1

Berikut merupakan infeksi yang dapat menyebabkan lesi kavitas pada paru.8

Penyebab Contoh

Organisme Aerob Burkholderia pseudomallei

Klebsiella pneumonia

Nocardia sp

Pseudomonas aeruginosa

Staphylococcus aureus

Streptococcus milleri

Other streptococci

Organisme Anaerob Actinomyces sp

Bacteroides sp

Clostridium sp

Fusobacterium sp

Peptostreptococcus sp

Prevotella sp

Fungi Aspergillus sp (aspergillosis)

Blastomyces dermatitidis (blastomycosis)

Coccidioides immitis (coccidioidomycosis)

3

Histoplasma capsulatum (histoplasmosis)

Rhizomucor (mucormycosis)

Rhizopus sp (mucormycosis)

Sporothrix schenckii (sporotrichosis)

Mycobacteria Mycobacterium avium-cellulare

Mycobacterium kansasii

Mycobacterium tuberculosis

Parasit Entamoeba histolytica (amebiasis)

Echinococcus granulosus (echinococcosis)

Echinococcus multilocularis (echinococcosis)

Paragonimus westermani (paragonimiasis)

Dikutip dari Kepustakaan (5)

Faktor predisposisi terjadinya abses paru:1,6

1. Kondisi-kondisi yang memudahkan terjadinya aspirasi:

-    Gangguan kesadaran: alkoholisme, epilepsi/kejang sebab lain, gangguan serebrovaskuler,

anestesi umum, penyalahgunaan obat intravena, koma, trauma, sepsis.

-    Gangguan esofagus dan saluran cerna lainnya: gangguan motilitas

- Fistula trakeoesofageal

2. Sebab-sebab iatrogenik

3. Penyakit-penyakit periodontal

4. Kebersihan mulut yang buruk

5. Pencabutan gigi

6. Pneumonia akut

7. Immunosupresi

8. Bronkiektasis

9. Kanker paru

10. Infeksi saluran napas atas dan bawah yang belum teratasi. Pasien HIV yang terkena abses

paru pada umumnya mempunyai status immunocompromised yang sangat jelek (kadar CD4

<50/mm3), dan kebanyakan didahului oleh infeksi terutama infeksi paru.

4

IV.        ANATOMI

Paru-paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut, dan terletak dalam rongga

thorax. Setiap paru mempunyai apeks (bagian atas paru) dan dasar. Pembuluh darah paru,

bronkus, saraf dan pembuluh limfe memasuki tiap paru pada bagian hilus.9

Gambar 1. Anatomi Paru-Paru Normal Anterior

Dikutip dari Kepustakaan (10)

Paru kanan dibagi oleh dua buah incisura interlobaris. Fissura oblik memisahkan

lobus inferior dengan lobus medius dan lobus superior. Fissura minor memisahkan lobus

superior dengan lobus medius, terletak horisontal, ujung dorsal bertemu dengan fissura oblik,

ujung ventral terletak setinggi pars cartilaginis costa IV. Pada facies mediastinalis fissura

horisontalis (fissura minor) melampaui bagian dorsal hilus paru. Lobus medius adalah lobus

yang terkecil dari lobus lainnya, dan berada di bagian ventrocaudal, bentuk paru kanan

bentuknya lebih kecil tetapi lebih berat dan total kapasitasnya lebih besar.9

Paru kiri terdiri atas dua lobus, yaitu lobus superior dan lobus inferior yang dipisahkan

oleh fissura oblik (incisura interlobaris) yang meluas dari facies costalis sampai pada facies

mediastinalis, baik di sebelah kranial atau di sebelah kaudal hilus paru. Fissura oblik dapat

diikuti mulai dari hilus, berjalan ke dorsokranial, menyilang margo posterior kira-kira 6 cm

dari apeks pulmonis, lalu berjalan ke arah caudoventral, pada facies costalis menyilang margo

inferior, dan kembali menuju hilus pulmonis. Dengan demikian lobus superior meliputi apeks

pulmonis, margo inferior, sebagian dari facies costalis dan sebagian besar dari facies

mediastinalis. Lobus inferior lebih besar dari lobus superior, dan meliputi sebagian besar dari

facies costalis, hampir seluruh facies diphragmatica dan sebagian dari facies mediastinalis

(bagian dorsal).9

5

Lobus paru dibagi lagi menjadi beberapa segmen sesuai dengan segmen bronkusnya.

Paru kanan dibagi menjadi 10 segmen sedangkan paru kiri dibagi menjadi 8 segmen. Proses

patologis seperti pneumonia seringkali terbatas pada satu lobus dan segmen.9 Sirkulasi darah

ada hubungannya dengan fungsi respirasi. Sirkulasi pulmonal adalah aliran darah dari

ventrikulus dekstra, melalui arteri pulmonalis, berakhir pada atrium dekstra. Pada sirkulasi

pulmonal terjadi pergantian karbondioksida dengan oksigen, yang berlangsung melalui

dinding alveolus, disebut respirasi eksterna. Respirasi interna adalah penggunaan oksigen di

jaringan, yang menghasilkan karbondioksida. Peredaran darah yang berkaitan dengan nutrisi

parenkim paru dilakukan oleh arteri dan vena bronkialis.9

Ramus dekstra dan ramus sinistra arteri pulmonalis adalah percabangan dari arteri

pulmonalis yang membawa darah dari paru kanan dan paru kiri, selanjutnya bercabang-

cabang mengikuti percabangan bronkus dan kapiler-kapilernya mencapai alveolus. Paru

kanan menerima sebuah cabang dari arteri bronkialis, dan paru kiri menerima dua buah

cabang dari arteri bronkialis. Arteri ini dipercabangkan dari dinding ventral aorta thoracalis

proksimal.9 Persarafan paru berasal dari serabut saraf simpatis dan parasimpatis (nervus

vagus) yang membentuk pleksus pulmonalis anterior dan pleksus pulmonalis posterior.7,10

Paru dibungkus oleh lapisan pleura dan terletak di dalam cavum thorax. Lapisan pleura

terdiri dari pleura visceralis dan parietalis yang tidak berhubungan dan mengandung cairan

pleura sebagai pelumas friksi antar kedua pleura. Namun, pada hilus paru kedua lapisan

pleura berhubungan dan bergantung longgar di atas hilus (ligamentum pulmonal), sehingga

memungkinkan peregangan struktur-struktur yang melewati hilus selama respirasi. Adapun

struktur-struktur yang melewati hilus adalah arteri pulmonalis, bronkus, vena pulmonalis, dan

kelenjar getah bening. Saat memasuki paru, bronkus utama kanan terletak lebih pendek, lebih

lebar, dan lebih vertikal dibandingkan dengan bronkus utama kiri.10

6

Gambar 2. Pembagian Segmen pada Lobus Paru

Dikutip dari Kepustakaan (11)

Gambar 3. Struktur di Sekitar Paru

Dikutip dari Kepustakaan (11)

7

V.           PATOFISIOLOGI

Bermacam-macam faktor yang berinteraksi dalam terjadinya abses paru seperti daya

tahan tubuh dan jenis dari mikroorganisme patogen yang menjadi penyebab. Terjadinya abses

paru biasanya melalui dua cara yaitu aspirasi dan hematogen. Yang paling sering dijumpai

adalah kelompok abses paru bronkogenik yang termasuk akibat aspirasi, stasis sekresi, benda

asing, tumor dan striktur bronkial.1Kebanyakan abses paru muncul sebagai komplikasi dari

pneumonia aspirasi akibat bakteri anaerob di mulut. Penderita abses paru biasanya memiliki

masalah periodontal (jaringan di sekitar gigi). Sejumlah bakteri yang berasal dari celah gusi

sampai di saluran pernafasan bawah dan menimbulkan infeksi. Tubuh memiliki sistem

pertahanan terhadap infeksi semacam ini, sehingga infeksi hanya terjadi jika sistem

pertahanan tubuh sedang menurun, seperti yang ditemukan pada seseorang yang berada

dalam keadaan tidak sadar atau sangat mengantuk karena pengaruh obat penenang, obat bius

atau penyalahgunaan alkohol. Selain itu dapat pula terjadi pada penderita penyakit sistem

saraf.1,2,8

Jika bakteri tersebut tidak dapat dimusnahkan oleh mekanisme pertahanan tubuh,

maka akan terjadi pneumonia aspirasi dan dalam waktu 7-14 hari kemudian berkembang

menjadi nekrosis yang berakhir dengan pembentukan abses.2,8 Pada striktur bronkial terjadi

obstruksi bronkus dan terbawanya organisme virulen dapat menyebabkan terjadinya infeksi

pada daerah distal obstruksi tersebut. Abses jenis ini banyak terjadi pada pasien bronkitis

kronik karena banyaknya mukus pada saluran napas bawahnya yang merupakan kultur media

yang sangat baik bagi organisme yang teraspirasi. Pada perokok usia lanjut keganasan

bronkogenik bisa merupakan dasar untuk terjadinya abses paru.1

Secara hematogen, yang paling sering terjadi adalah akibat septikemi atau sebagai

fenomena septik emboli, sekunder dari fokus infeksi dari bagian lain tubuhnya seperti

tricuspid valve endocarditis. Penyebaran hematogen ini umumnya akan berbentuk abses

multipel dan biasanya disebabkan oleh stafilokokus. Penanganan abses multipel dan kecil

lebih sulit dari abses singel walaupun ukurannya besar. Secara umum diameter abses paru

bervariasi dari beberapa milimeter sampai dengan 5 cm atau lebih.1 Disebut abses primer bila

infeksi diakibatkan aspirasi atau pneumonia yang terjadi pada orang normal, sedangkan abses

sekunder bila infeksi terjadi pada orang yang sebelumnya sudah mempunyai kondisi seperti

obstruksi, bronkiektasis, dan gangguan imunitas.1

Selain itu abses paru dapat terjadi akibat necrotizing pneumonia yang menyebabkan

terjadinya nekrosis dan pencairan pada daerah yang mengalami konsolidasi, dengan

8

organisme yang penyebabnya paling sering ialah Staphylococcus aureus, Klebsiella

pneumonia dan grup Pseudomonas. Abses yang terjadi biasanya multipel dan berukuran kecil

(<2cm).1 Bulla atau kista yang sudah ada bisa berkembang menjadi abses paru. Kista

bronkogenik yang berisi cairan dan elemen sekresi epitel merupakan media kultur untuk

tumbuhnya mikroorganisme. Bila kista tersebut mengalami infeksi oleh mikroorganisme

yang virulens maka akan terjadilah abses paru.1

Abses hepar bakterial atau amebik bisa mengalami ruptur dan menembus diafragma

yang akan menyebabkan abses paru pada lobus bawah paru kanan dan rongga pleura.1 Abses

paru biasanya satu (singel), tapi bisa multipel yang biasanya unilateral pada satu paru, yang

terjadi pada pasien dan keadaan umum yang jelek atau pasien yang mengalami penyakit

menahun seperti malnutrisi, sirosis hati, gangguan imunologis yang menyebabkan daya tahan

tubuh menurun, atau penggunaan sitostatika. Abses akibat aspirasi paling sering terjadi pada

segmen posterior lobus atas dan segmen apikal lobus bawah dan sering terjadi pada paru

dekstra, karena bronkus utama kanan lebih lurus dibanding kiri. Abses bisa mengalami ruptur

ke dalam bronkus dengan isinya diekspektorasikan keluar dengan meninggalkan kavitas yang

berisi air dan udara. Kadang-kadang abses ruptur ke rongga pleura sehingga terjadi empiema

yang bisa diikuti dengan terjadinya fistula bronkopleura.1

VI.        DIAGNOSIS

1. Gambaran Klinis

Gambaran klinis pada pemeriksaan fisik pasien dengan abses paru bervariasi. Temuan

fisik mungkin menjadi sekunder dengan kondisi yang terkait seperti radang paru yang

mendasari atau efusi pleura. Temuan pemeriksaan fisik juga dapat bervariasi tergantung pada

organisme yang terlibat, tingkat keparahan dan luasnya penyakit, dan status kesehatan pasien

dan komorbiditas.2 Umumnya pasien mempunyai riwayat perjalanan penyakit 1-3 minggu

dengan gejala awal adalah badan terasa lemah, tidak nafsu makan, penurunan berat badan,

batuk kering, keringat malam, demam intermitten bisa disertai menggigil dengan suhu tubuh

mencapai 39,4oC atau lebih. Namun, tidak adanya demam tidak menyingkirkan adanya abses

paru.1,2

Kadang abses paru belum dicurigai hingga abses tersebut menembus bronkus dan

mengeluarkan banyak sputum yang bisa mengandung jaringan paru yang mengalami

gangren. Sputum yang berbau amis dan berwarna anchovy (disebut dengan putrid abscesses)

merupakan tanda yang patognomonik untuk infeksi bakteri anaerob dan, tetapi tidak

9

didapatkannya sputum demikian tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi anaerob. Pada

kasus ini pun, dapat dijumpai batuk darah pada sekitar 25% dari pasien serta pada 60% pasien

pun ada yang mengeluhkan sakit dada yang berhubungan dengan pleura.2,4 Bila abses paru

letaknya dekat pleura dan pecah akan terjadi piothorax (empiema) sehingga pada

pemeriksaan fisik ditemukan pergerakan dinding dada tertinggal pada tempat lesi, vokal

fremitus menghilang, perkusi redup/pekak, bunyi napas menghilang dan terdapat tanda-tanda

pendorongan mediastinum terutama jantung ke arah kontralateral. Selain itu, pada abses paru

pun bisa ditemukan clubbing finger (jari tabuh).3,4

2. Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan darah rutin ditemukan leukositosis berkisar 10.000-30.000/mm3

dengan laju endap darah ditemukan meningkat > 58 mm / 1 jam. Pada hitung jenis sel darah

putih didapatkan pergeseran ke kiri dan sel polimorfonuklear yang banyak terutama neutrofil

yang immatur. Bila abses berlangsung lama sering ditemukan adanya anemia.1,2 Pemeriksaan

sputum dapat membantu dalam menemukan mikroorganisme penyebab abses. Pemeriksaan

yang dapat dilakukan yaitu pewarnaan gram, kultur mikroorganisme aerob, anaerob, jamur,

Nocardia, basil Mycobacterium tuberculosis, dan mikroorganisme lainnya.1

3. Gambaran Radiologik

a. Foto Thorax

Pada gambaran radiologik terdapat satu atau lebih kavitas, disertai dengan air-fluid

level. Bentuk abses kecil ( < 2 cm) multipel seringkali dihubungkan dengan necrotizing

pneumonia dan gangren paru. Baik abses paru maupun necrotizing pneumonia merupakan

manifestasi dari proses patologis yang serupa. Kegagalan dalam mengenali dan mengobati

abses paru berhubungan dengan keadaan umum yang jelek.2,6 Pada foto thorax PA dan lateral

biasanya ditemukan satu kavitas, tetapi dapat juga multikavitas berdinding tebal dengan

tanda-tanda konsolidasi di sekelilingnya. Kavitas ini bisa multipel atau tunggal dengan tebal

dinding kavitas bisa mencapai 5 mm.3,4,

Khas pada abses paru anaerobik kavitasnya singel (soliter) yang biasanya ditemukan

pada infeksi paru primer, sedangkan abses paru sekunder (aerobik, nosokomial, atau

hematogen) lesinya biasanya multipel.1 Gambaran kavitas ini lebih sering dijumpai pada paru

kanan dari paru kiri. Bila terdapat hubungan dengan bronkus maka di dalam kavitas terdapat

air-fluid level. Tetapi bila tidak ada hubungan maka hanya dijumpai tanda-tanda konsolidasi

10

(opasitas). Gambaran spesifik ini dapat dilihat dengan mudah bila kita melakukan foto thorax

PA dengan posisi berdiri.1,5

Gambar 4. Foto Thorax Posisi Lateral, adanya cavitas dengan air-fluid level yang merupakan karakteristik dari

abses paru. Dikutip dari Kepustakaan (2)

Abses paru akibat aspirasi paling sering menyerang segmen posterior paru lobus atas

atau segmen superior paru lobus bawah. Ketebalan dinding abses paru bervariasi, bisa tipis

ataupun tebal, batasnya bisa jelas maupun samar-samar. Dindingnya mungkin licin atau

kasar.1,2

Gambar 5. (A) Abses paru yang besar dengan air-fluid level di bagian distal pada suatu karsinoma hilus. Lobus

kanan atas kolaps disertai dengan emfisema sebagai kompensasi. (B) penebalan pada fissura obliq yang

bersebelahan dengan abses (panah). Dikutip dari Kepustakaan (5)

11

Gambar 6. Abses setelah pneumonia.Penderita ini dengan pneumonia akut pada segmen posterior lobus kanan

atas, terbentuk area translusen di bagian sentral (terlihat jelas pada foto lateral). gambaran abses dengan dinding

tebal yang irreguler dan air-fluid level. Dikutip dari Kepustakaan (5)

b. CT-Scan

Gambaran khas CT-Scan abses paru ialah lesi hiperdens bundar dengan kavitas

berdinding tebal, tidak teratur, dan terletak di daerah jaringan paru yang rusak. bronkus dan

pembuluh darah berakhir secara mendadak pada dinding abses, tidak tertekan atau berpindah

letak. Selain itu lesi membentuk sudut pada permukaan pleura dinding dada.5

Gambar 7. Laki-laki 42 tahun dengan demam dan produksi sputum yang berbau busuk. Memiliki riwayat

alkoholik berat dan kesehatan gigi yang buruk. Abses paru pada segmen posterior dari lobus kanan atas. CT

scan memperlihatkan kavitas dengan dinding tipis dan dikelilingi dengan konsolidasi).

Dikutip dari Kepustakaan (2)

12

Gambar 8. Potongan aksial dari CT-Scan Thorax, menggambarkan multilokular abses dengan double air-fluid

level pada pasien pria usia 39 tahun dengan abses paru dan penanganan yang tidak berhasil.

Dikutip dari Kepustakaan (3)

3. Gambaran Histopatologik

Abses paru bermula sebagai nekrosis dari bagian kecil yang terus berkembang di dalam

segmen yang terkonsolidasi pada pneumonia. Area ini dapat bergabung membentuk area

supuratif yang singel maupun multipel yang mewakili abses paru. Ketika inflamasi berlanjut

mencapai bronkus, isi dari abses dikeluarkan sebagai sputum yang berbau, kemudian,

terbentuklah fibrosis, yang menyebabkan bekas luka yang padat dan memisahkan abses.

Abses dapat tetap terjadi, dan mengalirnya pus ke dalam bronkus dapat menyebarkan infeksi.2

Gambar 9. Gambaran histopatologis dari abses paru menunjukkan reaksi inflamasi.

Dikutip dari Kepustakaan (2)

VII.     DIAGNOSIS BANDING

13

1. Karsinoma Bronkogen

Pemeriksaaan radiologik untuk membantu diagnosis karsinoma paru bermacam-

macam, antara lain bronkografi invasif, CT-Scan, serta pemeriksaan radiologik konvensional

(thorax PA, lateral, fluoroskopi). Beberapa kelainan seperti emfisema setempat, atelektasis,

pembesaran hilus unilateral, serta kavitas dapat dicurigai sebagai suatu keganasan.10

Berdasarkan histologinya, karsinoma bronkogen terdiri atas 4 jenis sel, yakni:

adenocarcinoma, squamous cell carcinoma, undifferentiated large cell carcinoma, dan small

cell carcinoma. Squamous cell carcinoma merupakan jenis sel yang paling sering

memberikan gambaran radiologik berupa kavitas, yakni pada sekitar 10% dari kasus.

Sedangkan karsinoma bronkioloalveolar (adenocarcinoma) adalah jenis karsinoma

bronkogen kedua terbanyak setelah squamous cell carcinoma yang pada gambaran

radiologiknya menunjukkan kavitasi.18

                                          (a)                                               (b)

Gambar 10. Bronchioloalveolar carcinoma pada pria 39 tahun dengan sputum darah dan nyeri dada pleuritik.

(a) Foto Thorax PA yang menggambarkan konsolidasi dan kavitas pada paru kiri atas segmen lingular. (b) CT-

Scan Thorax (window paru) menunjukkan gambaran kavitas dengan konsolidasi pada parenkim paru. Nampak

air bronchogram pada sekitar kavitas. Pada pembedahan, ditemukan kavitas 8,4 x 6,4 x 3,5 cm pada

bronchioloalveolar carcinoma dengan perluasan langsung ke pleura visceralis. Meskipun terdapat tanda-tanda

demikian, gambaran paling sering pada bronchioalveolar carcinoma adalah nodul soliter pada paru.

Dikutip dari Kepustakaan (10)

1.         Tuberkulosis Paru dengan kavitas

14

Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru (segmen apikal lobus atas atau

segmen apikal lobus bawah), tetapi dapat pula mengenai lobus bawah atau di daerah hilus

(misalnya pada tuberkulosis endobrakial). Pada awal penyakit, lesi masih merupakan sarang-

sarang pneumonia, dengan gambaran radiologik berupa bercak berawan dengan batas yang

tidak tegas. Bila sudah diliputi jaringan ikat maka terlihat bayangan berupa bulatan dengan

batas tegas. Lesi ini lebih dikenal dengan tuberkuloma. Selain itu, nampak pula kavitas,

yakni bayangan berupa cincin. Dinding kavitas dapat tipis dan halus hingga tebal dan

noduler, air-fluid level dilaporkan terjadi pada 9-21% dari kavitas pada TB. Pada proses

lanjut dapat terlihat bermacam-macam bayangan sekaligus seperti infiltrat, garis fibrosis,

kalsifikasi, kavitas, maupun atelektasis dan emfisema. 20,21

Gambar 11. Distribusi atipic postprimer TB pada seorang pria 62 tahun. (a) Foto thorax menunjukkan massa

kavitas 5 cm dengan dinding tebal tidak teratur (panah besar) dan dikelilingi oleh noduler opacity yang saling

berdekatan pada lobus kiri atas. Suatu nodul 5 mm dengan densitas (panah kecil) terdapat di kontralateral, lobus

kanan atas. (b) CT-Scan yang didapatkan dengan collimation 7-mm menunjukkan lokasi kavitas (panah) di

segmen anterior lobus kiri atas. Dikutip dari Kepustakaan (7)

VIII.              PENATALAKSANAAN

Tujuan utama pengobatan pasien abses paru adalah eradikasi secepatnya dari patogen

penyebab dengan pengobatan yang cukup, drainase yang adekuat dari empiema dan

pencegahan komplikasi yang terjadi.1 Penisilin selalu menjadi antibiotik pilihan, namun

percobaan terbaru menunjukkan klindamisin lebih unggul. Meskipun khasiat keseluruhan

penisilin tampaknya berkurang, saat ini tetap menjadi obat praktis untuk kebanyakan pasien,

terutama jika klindamisin merupakan kontraindikasi. Tetrasiklin dianggap terapi tidak

memadai karena sebagian besar anaerob tahan untuk itu. Demikian pula, metronidazol tidak

15

efektif pada sekitar 50% pasien, mungkin karena kontribusi bakteri aerobik. Karena itu, jika

agen ini harus digunakan, sebaiknya dikombinasikan dengan turunan penisilin atau

sefalosporin. Setelah terapi antibiotik awal, dan radiografi respon klinis secara bertahap,

demam biasanya mereda dalam 4-7 hari, namun normalisasi foto thorax mungkin

memerlukan 2 bulan.6

Drainase merupakan bagian penting dari penatalaksanaan abses paru. Air-fluid level

menyiratkan adanya hubungan dari rongga abses ke trakeobronkial. Drainase postural dan

fisioterapi dada 2-5 kali seminggu selama 15 menit diperlukan untuk mempercepat proses

resolusi abses paru. Namun pada penderita abses paru yang tidak berhubungan dengan

bronkus maka perlu dipertimbangkan drainase melalui bronkoskopi.1,4,6 Bronkoskopi juga

mempunyai peranan penting dalam penanganan abses paru seperti pada kasus yang dicurigai

karsinoma bronkus atau lesi obstruksi, pengeluaran benda asing dan untuk melebarkan

striktur. Disamping itu, dengan bronkoskopi dapat dilakukan aspirasi dan pengosongan abses

yang tidak mengalami drainase yang adekuat, serta dapat memasukkan larutan antibiotik

melewati bronkus langsung ke lokasi abses.1

Tindakan operasi diperlukan pada kurang dari 10-20% kasus. Indikasi operasi adalah:1

-  Abses paru yang tidak mengalami perbaikan

- Komplikasi: empiema, hemoptisis masif, fistula bronkopleura

- Pengobatan penyakit yang mendasari: karsinoma obstruktif primer/metastasis, pengeluaran

benda asing, bronkiektasis, gangguan motilitas gastroesofageal, malformasi atau kelainan

kongenital.

Lobektomi merupakan prosedur paling sering dilakukan, sedangkan reseksi segmental

biasanya cukup untuk lesi-lesi yang kecil. Pneumoektomi diperlukan terhadap abses multipel

atau gangren paru yang refrakter terhadap penanganan dengan obat-obatan. Angka mortalitas

setelah pneumoektomi mencapai 5%-10%.1,10 Pasien dengan risiko tinggi untuk operasi maka

untuk sementara dapat dilakukan drainase perkutan via kateter secara hati-hati untuk

mencegah kebocoran isi abses ke rongga pleura.1

IX.           KOMPLIKASI

Komplikasi dari abses paru meliputi penyebaran infeksi melalui aspirasi lewat bronkus

atau penyebaran langsung melalui jaringan sekitarnya. Abses paru yang drainasenya kurang

baik, bisa mengalami ruptur ke segmen lain dengan kecenderungan penyebaran infeksi

Staphylococcus, dan apabila ruptur ke rongga pleura akan menjadi piothorax (empiema).

16

Komplikasi sering lainnya berupa abses otak, hemoptisis masif, ruptur pleura visceralis

sehingga terjadi piopneumothorax dan fistula bronkopleura.1,6,

Abses paru yang kronik akan menyebabkan kerusakan paru yang permanen dan

mungkin menyisakan suatu bronkiektasis, cor pulmonal, dan amiloidosis. Abses paru kronik

bisa menyebabkan anemia, malnutrisi, kaheksia, gangguan cairan dan elektrolit serta gagal

jantung terutama pada manula.1,7

Gambar 12. Komplikasi utama dari abses paru meliputi (a) fistula broncho-pleural, menyebabkan nanah dapat

masuk ke dalam cavum pleura, (b) intrabronchial hemorrhage yang masif bahkan dapat membanjiri paru pasien,

(c) isi abses dapat memasuki bronkus, (d) penyebaran menyeluruh dari bakteri ke otak dan bagian tubuh

lainnya. Dikutip dari Kepustakaan (8)

X        PROGNOSIS

Faktor-faktor yang membuat prognosis jelek adalah kavitas yang besar (lebih dari 6

cm), penyakit dasar yang berat, status immunocompromissed, umur yang sangat tua,

empiema, nekrosis paru yang progresif, lesi obstruktif, abses yang disebabkan bakteri

aerobik, dan abses paru yang belum mendapat pengobatan dalam jangka waktu yang lama.

Angka mortalitas pada pasien-pasien ini bisa mencapai 75% dan bila sembuh maka angka

kekambuhannya tinggi.1,7

DAFTAR PUSTAKA

17

1. Rasyid A. Abses paru. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S,

editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2006.

hal.1052-5.

2. Kamangar N, Sather CC, Sharma S. Lung abscess.. Available from: URL:

http://emedicine.medscape.com/article/299425-overview

3. Yunus M. CT guided transthoracic catheter drainage of intrapulmonary abscess. J Pak Med

Assoc. 2009; 59 (10): 703-8

4. Baum, Crapo GL, James D. Lung abscess. In: Baum’s textbook of pulmonary disease 7th

Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2004.

5. Eisenberg RL, Johnson NM. Lung abscess. In: Comprehensive radiographic pathology. USA:

Mosby Elsevier; 2007. p.48-50

6. Bhimji S. Lung abscess, surgical perspective. Available from: URL:

http://emedicine.medscape.com/article/428135-overview

7. Koziel H. Lung abscess.. Available from: URL: http://www.scribd.com/doc/28978474/Lung-

Abscess

8. Datir A. Lung abscess. \. Available from: URL: http://radiopaedia.org/articles/lung_abscess

9. Djojodibroto RD. Abses paru. Dalam: Respirologi (Respiratory medicine). Jakarta: Penerbit

Buku Kedokteran EGC; 2007. hal.143-4.

10.Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis paru. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata

KM, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta: Balai

Penerbit FK UI; 2006. hal.988-93

18