ABSES LEHER DALAM (2)

37
TINJAUAN PUSTAKA DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN ABSES LEHER DALAM oleh : Tris Sudyartono BAGIAN I. K. THT- KL FK UNDIP / SMF IK THT- KL RS DR. KARIADI SEMARANG 1

description

tht

Transcript of ABSES LEHER DALAM (2)

Page 1: ABSES LEHER DALAM (2)

TINJAUAN PUSTAKA

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN ABSES LEHER DALAM

oleh :

Tris Sudyartono

BAGIAN I. K. THT- KL FK UNDIP / SMF IK THT- KL RS DR. KARIADI SEMARANG

1

Page 2: ABSES LEHER DALAM (2)

PENDAHULUAN

Abses leher dalam atau Deep Neck Abscess, terbentuk di dalam ruang

potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat perluasan infeksi dari berbagai

sumber, seperti dari gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher.

Sumber infaksi yang paling sering berasal dari gigi dan tonsilofaring. Gejala dan

tanda klinik yang ditemukan sesuai ruang potensial yang terlibat 1,2.

Berdasarkan data dari RSU Taiwan periode 1997 sampai dengan 2002, bahwa

sebanyak 185 pasien dewasa menderita abses leher dalam dengan keterlibatan ruang

potensial yang terbanyak adalah ruang parafaring (38,4%) kemudian disusul pada

ruang submandibula dan retrofaring. Sedangkan sebanyak 169 pasien anak-anak

dengan abses leher dalam yang dirawat di RS Ohio periode tahun 1989 sampai 1999,

dilaporkan paling banyak melibatkan ruang retrofaring atau parafaring (43%)2,3.

Sebanyak lebih dari 50 % pasien rawat inap di RSDK bagian THT selama periode

tahun 2004 sampai dengan 2009, tercatat sebanyak 36 pasien dengan abses leher

dalamn. Penderita dengan abses peritonsil sebanyak 17 orang, abses submandibula

sebanyak 17 orang, abses parafaring 1 orang dan 1 orang menderita abses retrofaring

dengan mengalami komplikasi sampai meninggal dunia.

Diagnosis dan penatalaksanaan infeksi rongga leher dalam adalah merupakan

tantangan dan kesulitan tersendiri, mengingat kompleksifitas dan dalamnya lokasi dari

regio ini. Infeksi ini meninggalkan suatu masalah kesehatan penting dengan resiko

angka kejadian dan kematian yang signifikan karena dapat melibatkan saraf,

pembuluh darah, tulang dan jaringan lunak lainnya serta ruang-ruang disekitarnya3,4.

Komplikasi yang berbahaya dan sulit untuk mengatasi adalah apabila telah terjadi

sepsis.

Banyaknya komplikasi di masa lalu telah berhasil diturunkan dengan temuan

modern di bidang mikrobiologi dan hematologi, alat diasnostik yang canggih seperti

CT, MRI dan efektivitas antibiotik yang luas dan perkembangan tatalaksana intensive

modern serta teknik-tenik operasi yang lebih baik2.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka tinjauan pustaka ini membahas

pemahaman mengenai anatomi ruang-ruang leher dalam, tanda dan gejala klinis serta

2

Page 3: ABSES LEHER DALAM (2)

pemeriksaan penunjang yang diperlukan sehingga dapat menegakkan diagnostik lebih

tepat dan akurat serta penatalaksanaan yang lebih optimal.

ANATOMI FASIA DAN SPASIA

Secara deskriptif leher dibagi menjadi tiga regio besar yang masing-masing

dapat dibagi lagi menjadi beberapa subdivisi 4,5,6 :

1. Regio anterior terletak antara kedua m. Sternokleidomastoideus

A. Ruang suprahioid terbagi menjadi daerah submental dan submaksila

( bersama-sama disebut daerah submandibula)

B. Ruang infrahioid terbagi menjadi daerah superfisial, laringotrakea, tiroid,

servikal, esofageal dan paravertebra

2. Regio lateral sebagian besar terletak di bawah m. Sternokleidomastoideus

A. daerah karotis

B. daerah supraclavikula

3. Regio posterior terletak di antara kedua m. Trapezeus

Fasia pada leher terbagi atas dua fasia utama yaitu4,5,6 :

1. Fasial servikal superficial

Merupakan jaringan subkutan yang menyelubungi leher di bagian superfisial

di bawah kulit. Terbentang dari kepala, leher, dada, bahu dan ketiak. Tersusun

dari otot platisma, saraf-saraf kutaneus, pembuluh darah, kelenjar limfatik, dan

lemak

2. Fasia servikal profunda, terbagi atas beberapa lapisan yaitu :

Lapisan selubung (Superficial deep cervical fascia, investing Fascia )

Fasia ini membungkus m. Sternokleidomastoideus, m. Trapezeus, kelenjar

parotis, kelenjar submandibula dan otot-otot pengunyah.

Lapisan tengah (Middle deep cervical fascia, viseral fascia )

Lapisan ini dibagi menjadi dua yaitu otot dan visceral. Bagian otot akan

menyelubungi otot-otot infrahioid ( sternohioid, sternotiroid, tirohioid,

omohioid). Sedangkan bagian visceral akan menyelubungi m. Konstriktor

faring dan esofagus untuk membentuk fasia bukofaringeal dan dinding depan

ruang retrofaring. Lapisan ini juga menyelubungi laring, trakea dan kelenjar

tiroid. Kedua lapisan ini akan membentuk carotid sheath/ selubung karotis.

Lapisan dalam (Deep leyer of the deep cervical fascia, prevertebra fascia )

3

Page 4: ABSES LEHER DALAM (2)

Lapisan ini dibagi menjadi dua yaitu prevertebral dan alaris. Fasia

prevertebralis terletak tepat di depan korpus vertebra dari basis cranii sampai

dengan koksigeus dan sampai processus transversa di bagian lateral.

Sedangkan fasia alaris terletak antara prevertebralis dan lapisan viseral dari

lapisan tengah fasia servikalis profunda.

Carotid Sheath, terbentuk oleh kombinasi dari ketiga lapisan luar, tengah

dan dalam

Gambar penampang sagital spasia leher dalam2,5

Berdasarkan fasia-fasia leher, maka terbentuk spasia leher yang dapat

dikelompokkan sebagai berikut :

1. Spasia yang terletak di sepanjang leher

Spasia retrofaring (retroviseral, retroesofageal, viseral posterior)

Spasia bahaya

Spasia prevertebra

4

Page 5: ABSES LEHER DALAM (2)

Spasia vaskular viseral

2. Spasia yang terbatas di atas os. Hioid

Spasia parafaring ( pharyngomaxillary, lateral pharyngeal,

peripharyngeal)

Spasia submandibula dan submental

Spasia parotis

Spasia masticator

Spasia peritonsil

Spasia temporal

3. Spasia yang terbatas di bawah os. Hioid

Spasia pretrakea

Spasia suprasternal

1. Spasia Retrofaring

Spasia ini terletak antara dinding posterior faring ( lapisan viseral dari fasia

servikal profunda) dan fasia alaris. Spasia ini terbentang antara basis cranii sampai

memasuki mediastinum setinggi bifurkasio trakea. Sebelah lateral berbatasan dengan

carotid sheath.

Spasia ini banyak mengandung kelenjar limfonodi ( nodus Rouviere ) serta

menerima aliran limfe dari kavum nasi, sinus paranasal, nasofaring dan palatum

molle. Sejumlah besar limfonodi didapatkan pada anak-anak di bawah umur 5 tahun

dan mengalami regresi setelah dewasa.

Apabila terjadi infeksi pada fasia ini dapat mengalami penyebaran ke dinding

posterior melalui fasia alaris, danger space dan fasia prevertebra. Penyebaran inferior

ke mediastinum menyebabkan mediastinitis. Penyebaran ke lateral dapat

menyebabkan perdarahan hebat jika meluas ke pembuluh darah besar leher.

2. Spasia Bahaya (Danger Space)

Spasia ini terletak antara fasia alaris di anterior dan fasia prevertebralis di

posterior. Spasia ini terbentang dari basis cranii sampai mediastinum bagian posterior

dan diafragma. Daerah ini resisten terhadap penjalaran infeksi. Fasia alaris dan

prevertebralis bersatu setinggi processus transversus membatasi spasia ini di sebelah

lateral.

5

Page 6: ABSES LEHER DALAM (2)

3. Spasia prevertebra

Terletak antara fasia prevertebra dan korpus vertebra dari basis kranii sampai

os. Koksigeus.

4. Spasia Vaskuler Viseral

Merupakan spasia yang terletak di dalam carotid sheath, yang di dalamnya

terdapat arteri carotis, vena jugularis, nervus vagus dan saraf simpatis postganglioner.

Meluas dari dasar tengkorak ke ruang servikal visera.tiga lapisan dari fasia servikalis

profunda membungkus carotid sheath. Infeksi pada spasia parafaring dapat menyebar

secara tidak langsung ke spasia ini, sehingga menyebabkan terjadi trombophlebitis

vena jugularis dan terjadi ruptur arteri karotis.

5. Spasia Parafaring

Merupakan ruang berbentuk piramidal terbalik. Terletak dari basis kranii

sampai pada tepi atas cornu mayus os. hioid. Batas medial adalah fasia viseral dari

lapisan tengah fasia servikalis profunda yang membungkus m.konstriktor faringeus.

Batas lateral fasia servikalis profunda lapisan superfisialis yang menutup mandibula,

m.pterigoid internal dan glandula parotis. Batas posterior dibentuk oleh fasia

prevertebra. Batas anterior adalah fasia interpterigoid dan raphe pterigomandibula.

Spasi ini dibagi menjadi dua bagian oleh processus styloid yaitu prestyloid yang berisi

a. Maksilaris interna, lemak, n. Alveolaris inferior, n. Lingualis dan sebagian lobus

parotis. Arti klinis posisi ini adalah apabila terjadi abses di bagian anterior akan

terdapat pendorongan tonsil ke medial tanpa tanda-tanda radang di tonsil dan dapat

terjadi trismus oleh karena peradangan pada m. Pterigoideus medialis. Sedangkan

bagian posterior disebut poststyloid yang berisi carotid sheath, N IX, X, XI, XII, saraf

simpatis dan limfonodi. Bila terjadi abses pada daerah ini maka akan menimbulkan

iritasi pada selubungnya yang selanjutnya akan menyebabkan perdarahan masif,

trombosis vena jugularis serta sepsis. Spasia ini ada hubungan dengan spasia

retrofaring di posteromedial dan dengan spasia mascinator di lateral serat terlibat

secara langsung pada penyebaran abses peritonsil.

6. Spasia Submandibularis

Spasia ini dibatasi sebelah inferior oleh lapisan superfisial fasia servikalis

profunda yang terbentang dari os. Hioid sampai mandibula. Sebelah lateral adalah

6

Page 7: ABSES LEHER DALAM (2)

korpus mandibula dan superior adalah mukosa dasar mulut serta bagian posterior

adalah spasia parafaring. Dibagi menjadi dua bagian oleh m.Milohioid yaitu :

a. Spasia sublingual, di sebelah superior. Berisi kelenjar sublingual, N XII,

duktus Wharton

b. Spasia submandibula, terbagi lagi oleh m. Digastrikus venter anterior menjadi

dua bagian yaitu bagian tengah ( spasia submental) dan dua bagian lateral

( spasia submaksila)

7. Spasia Suprasternal

Spasia ini terbentuk oleh lapisan superfisial fasia servikalis profunda dibagian

depan leher dan melekat pada manubrium

8. Spasia Pretrakeal/ viseral anterior

Spasia ini ditutupi oleh bagian viseral dari lapisan tengah fasia servikalis

profunda. Terletak pada bagian anterior dari trakea mulai dari kartilago tiroid ke

mediastinum superior setinggi vertebra thorakalis IV, dekat arkus aorta. Spasia ini

berisi muskulus infrahioid ( strap muscle)

9. Spasia Peritonsil

Spasia ini dibatasi tonsil di sebelah medial dan m. Konstriktor superior di

sebelah lateral. Pilar anterior dan posterior tonsil juga membatasi spasia ini. Sehingga

jika terjadi abses peritonsil merupakan kelanjutan infeksi dari tonsil. Penyebaran

infeksi dari spasia ini dapat mengenai spasia parafaring.

10. Spasia Parotis

Spasia ini dibungkus oleh lapisan superfisial fasia servikalis profunda namun

fasia ini tidak membungkus sempurna sehingga spasia ini dapat berhubungan dengan

spasia parafaring. Spasia parotis dilewati a. Karotis eksterna, v. Fasial posterior dan n.

Fasialis.

11. Spasia Masticator

Spasia masticator terdiri dari m. Maseter, pterigoid, korpus dan ramus

mandibula, tendo temporalis, a. dan n. Alveolaris inferior. Spasia ini terletak di

sebelah anterior dan lateral dari spasia parafaring dan sebelah inferior spasia temporal.

7

Page 8: ABSES LEHER DALAM (2)

Spasia ini dikelilingi oleh os sphenoid, bagian posterior mandibula dan arkus

zygomatikus. Infeksi di spasia ini dapat menyebar ke spasia parafaring, parotis dan

temporal.

12. Spasia Temporal

Spasia ini terletak di antara fasia temporalis di sebelah lateral dan periosteum

tulang di sebelah medial. Muskulus temporalis membagi spasia ini menjadi dua

bagian yaitu superfisial dan profunda. Spasia ini berisi arteri, vena dan nervus

maksilaris interna

Penampang axial spasia leher 5,6

8

Page 9: ABSES LEHER DALAM (2)

ETIOLOGI

Secara garis besar penyebab infeksi rongga leher dalam antara lain 3,4,5,:

Infeksi tonsillar dan pharingeal, menyebabkan abses peritonsil, parafaring

Infeksi gigi, operasi gigi dan mulut, menyebabkan abses submandibula, parafaring

Infeksi atau obstruksi kelenjar saliva, menyebabkan abses submandibula

parafaring

Infeksi saluran nafas atas dan tonsil paling sering menyebabkan infeksi leher

dalam pada anak-anak

Trauma rongga mulut dan faring (termasuk luka tembak, tertusuk benda tajam

seperti pinsil, duri dan lainnya), trauma oleh prosedur esofagoskopi atau

bronkoskopi, menyebabkan abses retrofaring, parafaring

Intravenous drug abuse

Mastoiditis dgn perluasan ke petrosus dan Bezold abses, dapat menyebar ke ruang

parafaring

Dan sebanyak 20% tidak diketahui asal sumbernya

Faktor resiko terjadinya infeksi leher dalam dapat terjadi pada pasien dengan

kondisi immunosupresan seperti pada inveksi HIV, kemoterapi, obat

immunosuperesif untuk transplantasi.

Secara mikrobiologi kuman penyebab infeksi rongga leher dalam merupakan

gabungan kuman anaerob dan aerob, dimana predominan berasal dari flora rongga

mulut. Mungkin juga ditemukan kuman gram positif dan gram negatif dalam kultur.

Golongan streptococcus, yang dominan adalah Streptococcus viridans, β-hemolytic

streptococcal. Bakteri aerob yang lain seperti golongan staphylococcus, Kleibsella

pneumonia, Haemophilus influenzae, Neissera, Pseudomonas, Dephtheroid.5,7,8

Kebanyakan penyebab odontogenik disebabkan oleh bakteri anaero, seperti

Fusobacterium nucleatum, Bacteroides melaninogenicus, Bacteroides oralis,

Spirochaeta, Peptostreptococcus dan lain sebagainya. Secara klinis kecurigaan

keterlibatan bakteri anaerob apabila terdapat adanya nanah yang berbau busuk dan

adanya krepitasi. Peningkatan organisme penghasil b-laktamase menyebabkan

pemilihan antibiotik yang lebih kompeten yang dapat menghancurkan b laktamase 5,7.

Studi retrospektif pada pasien dengan abses leher dalam ditemukan kuman patogen

pada kultur yang paling banyak adalah Streptococcus viridans (39%), Staphylococcus

epidermidis (22%) dan Staphylococcus aureus (22%). 7,9

9

Page 10: ABSES LEHER DALAM (2)

Tabel bakteriologi abses leher dalam 5

PATOFISIOLOGI

Infeksi rongga leher dalam dapat terjadi dari bermacam-macam penyebab.

Apapun pencetusnya, perkembangan menjadi proses infeksi rongga leher terjadi dari

satu dari beberapa jalur seperti 2,5,6:

Penyebaran infeksi dapat berasal dari rongga mulut, wajah, atau superfisial sampai

dengan rongga leher dalam melalui jalur sistem limfatik

Limfadenopati mungkin menyebabkan supurasi dan akhirnya menyebabkan

terbentuknya fokal abses

Infeksi dapat tersebar luas sepanjang rongga leher dalam melalui jalur hubungan

atar rongga

Infeksi langsung yang mungkin diakibatkan oleh trauma penetrasi.

Melalui patofisiologi tersebut maka menimbulkan tanda dan gejala klinik dari

terbentuknya abses rongga leher dalam yang disebabkan oleh :

Efek massa jaringan inflamasi yang dikelilingi oleh struktur-struktur leher

Keterlibatan secara langsung struktur disekitarnya dengan proses infeksi itu

sendiri

Pola alur penyebaran infeksi melalui spasia-spasia leher dalam5

Berdasarkan lokasi spasia maka abses leher dalam dapat berupa 4,5,6, :

1. Abses Peritonsil

10

Page 11: ABSES LEHER DALAM (2)

Abses peritonsil ( quinsy abscess ) merupakan abses akut di dalam jaringan

peritonsil. Abses peritonsil merupakan kelanjutan dari infeksi tonsila palatina yang

berlanjut menjadi selulitis di daerah tonsila meluas sampai palatum mole. Kemudian

terbentuk abses diantara kapsul tonsil dengan dinding faring lateral. Pada penjelasan

lain dikatakan abses peritonsil terbentuk dari kelompok kelenjar di fossa supratonsil

yang terinfeksi. Kelenjar ini dikenal sebagai kelenjar Weber. Infeksi gigi dapat pula

merupakan faktor predisposisi infeksi peritonsil. Biasanya lebih banyak terjadi pada

dewasa, jarang terjadi pada anak-anak. Bakteri penyebab hampir sama dengan

tonsilitis, yaitu bakteri aerob dan anaerob. Bakteri aerob seperti Streptococcus, M.

Catarrhalis , H. influenzai, Staphylococcus, anaerob seperti : Bacteroides, Peptocci,

Fusobacteria.

Gejala klinik adalah odinofagia, demam, otalgia, disfagia, mulut berbau,

pembengkakan leher dan nyeri, perubahan suara ( hot potato voice), badan lemah.

Pemeriksaan klinik yang ditemukan adalah febris, takikardi, dehidrasi, trismus,

drolling, limfadenitis servikal pada segitiga anterior leher, pembengkakan tonsil dan

palatum mole unilateral, fluktuasi, eritema dan eksudat tonsil, pergeseran uvula ke

medial,. Nyeri adalah faktor predominan pada abses peritonsil dan terjadi bersama

dengan trismus dan odinofagia. Hal ini terjadi karena perluasan peradangan ke dalam

otot-otot faring. Diketahui bahwa batas lateral adalah pharyngomaxillary space dan

terjadi inflamasi otot pterigoideus medial. Odinofagia disebabkan oleh inflamasi otot

konstriktor faring superior yang membentuk dinding lateral tonsil. Karena beratnya

nyeri sehingga penderita takut untuk menelan, juga untuk menelan air liurnya

sehingga menyebabkan drolling serta intake oral yang kurang sehingga penderita

dalam kondisi dehidrasi dan lemah.

Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan laboratorium biasanya ditemukan leukositosis.

Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan antara lain X foto servikal lateral, CT

Scan servikal dengan hasil adanya akumulasi cairan hipodens dan penyengatan pada

tepinya. Ultrasonografi intraoral juga dapat dilakukan untuk mengetahui abses

peritonsil. Metode ini mempunnyai sensitifitas 95,2% dan spesifitas 78,5% serta lebih

cepat dan efektif. Untuk mengetahui komplikasi ke paru-paru dapat dilakukan X foto

Thorak. Aspirasi dengan jarum dapat dilakukan untuk mengetahui apakah telah

terbentuk abses.11

11

Page 12: ABSES LEHER DALAM (2)

Komplikasi yang menyebabkan ancaman jiwa seperti obstruksi jalan nafas,

ruptur spontan dengan pneumonitis aspirasi dan abses parafaring dengan trombosis

vena jugularis interna. Bila telah terjadi perluasan infeksi melalui sinus cavernosus

dengan trombosis retrograd vena jugularis pada leher dapat menembus dasar

tengkorak, mengakibatkan trombus sinus kavernosus, radang selaput otak dan abses

otak.

Penatalaksanaan pada abses peritonsil antara lain aspirasi jarum, incisi dan

drainase, antibiotik intravena dan tonsilektomi. Pertama yang perlu diperhatikan

adalah jalan nafas. Indikasi rawat inap disesuaikan dengan kondisi umum pasien.

Selama rawat inap perlu pengawasan balance cairan dan diet lunak atau cair TKTP.

Kemudian diberikan antipiretik, analgetik dan antibiotik sesuai hasil kultur. Pemilihan

antibiotik untuk abses peritonsil sangat bervariasi, dari penisilin hingga obat-abatan

dengan aktivitas luas gram positif dan negatif serta kuman anaerob. Penggunaan

antibiotik spektrum luas dimaksudkan karena terjadi resistensi bakteri, terutama

ditemukannya organisme penghasil β laktamase. Pilihan antibiotik dapat digunakan

golongan penicillin, atau jika alergi dapat diganti dengan eritromicin, selain itu juga

dapat dipakai klindamicin. Sehingga seyogyanya pemilihan antibiotik yang lebih

stabil terhadap penisilinase dan efektif terhadap kuman anaerob serta pemberiannya

secara intravena. Bila masih didapatkan trismus, sebaiknya diberikan antibiotik dan

analgetik terlebih dahulu kemudian dapat dilanjutkan dengan incisi dan drainase

segera setelah trismus berkurang. Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotik dosis

tinggi dan obat simtomatik.

Tindakan aspirasi jarum dapat dilakukan sebagai diagnostik dan terapeutik.

Hasil pus yang didapat kemudian dilakukan pemeriksaan kultur kuman dan

sensitivitas bakteri. Setelah tes aspirasi menunjukan hasil yang positif maka dapat

dilakukan insisi lebar untuuk drainase abses. Insisi dan drainase dapat dilakukan

12

Page 13: ABSES LEHER DALAM (2)

dengan anestesi lokal dengan topikal spray atau infiltrasi. Insisi menggunakan pisau

tonsil no 12 atau 11 untuk mencegah penetrasi lebih dalam melalui mukosa dan

submukosa dekat kutub atas fosa tonsilaris atau titik paling menonjol ( punctum

maksimum) atau pertengahan garis antara dasar uvula dan gigi mlar tiga atas.

Hemostat tumpul dimasukkan melalui insisi ini dan dengan lembut direntangkan.

Pengisapan pus segera dilakukan untuk menampung pus yang keluar.

Aspirasi jarum ini dilakukan dengan jarum no 18, spuit 10 ml, pada punctum

maksimum atau beberapa titik yang berbeda, satu di sebelah lateral pole atas tonsil

sebagai titik awal dan aspirasi tambahan di inferior titik awal. Tindakan ini dilakukan

secara lokal yang sebelumnya diberikan anestesi lokal secara infiltrasi atau spray.

Tindakan aspirasi jarum mempunyai beberapa keuntungan yaitu antara lain tanpa

resiko aspirasi serta tekniknya lebih mudah pada pasien dengan trismus. Dari tindakan

aspirasi jarum tiga tempat ataupun tindakan insisi tidak berbeda bermakna dalam

tingkat keberhasilan penanganan abses peritonsil.11

Tindakan aspirasi dan insisi-drainase pada abses peritonsil akan meredakan

keluhan nyeri pasien. Jika telah terjadi penyebaran ke parafaring, maka diperlukan

insisi eksternal.5,6,11

Gambar posisi aspirasi jarum dan insisi drainase 2,11

Tonsilektomi bukan merupakan indikasi mutlak pada setiap abses peritonsil,

namun dilakukan pada abses peritonsil yang berulang. Tonsilektomi a choud

merupakan tonsilektomi yang dilakukan segera bersama-sama dengan drainase.

Keuntungannya adalah memberikan penyembuhan yang lebih cepat, menjamin

drainase yang sempurna dan menyingkirkan kebutuhan akan tonsilektomi berencana

yang dilakukan beberapa minggu kemudian, dimana saat itu telah terjadi fibrosis dan

jaringan parut disamping pasien akan mengalami odinofagi yang kedua kali.

Tonsilektomi ini memberikan resiko abses dapat pecah spontan selama intubasi dan

13

Page 14: ABSES LEHER DALAM (2)

dapat diikuti inhalasi pus serta resiko perdarahan yang lebih banyak. Sehingga

prosedur ini lebih berbahaya daripada tonsilektomi interval. Tonsilektomi a tide

merupakan prosedur tonsilektomi setelah 3-4 hari pasca drainase, metode ini sering

dilakukan. Sedangkan tonsilektomi a froid dilakukan tonsilektomi 2-3 minggu setelah

drainase.

Setelah tanda dan gejala klinis mereda dan pasein dapat makan minum lewat

oral, maka dapat dilanjutkan dengan rawat jalan dengan pemberian antibiotik

peroral.1,5,6

2. Abses Retrofaring

Abses retrofaring adalah timbunan nanah pada ruang retrofaring. Penyakit ini

dapat terjadi pada semua umur, lebih sering terjadi anak-anak antar usia 3 bulan

sampai 5 tahun karena masih ditemukan kelenjar limfe retrofaring sedangkan pada

dewasa kelenjar ini sudah mengalami atrofi.

Abses retrofaring pada anak biasanya merupakan komplikasi dari infeksi

saluran nafas atas. Pada dewasa biasanya disebabkan oleh adanya trauma penetrasi

benda asing misalnya duri ikan atau tindakan medis seperti anestesi lokal (jarum tidak

steril), intubasi endotrakea dan tindakan endoskopi. Namun juga bisa merupakan

komplikasi dari spondilitis TB serta dipengaruhi keadaan penurunan imunitas.

Bakteri yang menyebabkan infeksi ini biasanya organisme aerob dan anaerob,

yang paling sering adalah Streptococcus β hemolitikus grup A, penyebab lainnya bisa

Staphylococcus aureus, Haemophylus parainfluensa. Anaerob seperti Bacteroides dan

Veilonella.9

Gejala klinik yang timbul antara lain demam, pada bayi didapatkan tidak mau

minum ASI dan anak rewel, odinofagia, disfagia, pembengkakan leher dan nyeri,

lemah dan dehidrasi karena intake yang kurang, riwayat ISPA atau trauma. Pada

keadaan lanjut keadaan umum anak menjadi kurang baik, terdapat kekakuan leher,

leher sedikit hiperekstensi disertai nyeri pada penekanan. Jika pembengkakan dinding

posterior faring semakin besar dapat timbul perubahan suara, hipersalivasi, sendi leher

menjadi kaku dan kesukaran bernafas, penderita akan lebih nyaman posisi berbaring

dengan leher ekstensi Keadaan diatas menjadi tanda kegawatan yang harus segera

ditangani. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit dan

irritable. Inspeksi tampak pergerakan leher yang terbatas dengan limfadenopati

servikal. Pada pemeriksaan tenggorok terlihat dinding faring menonjol ( bombans)

14

Page 15: ABSES LEHER DALAM (2)

dan tampak berwarna merah, dengan palpasi akan didapatkan fluktuasi positif,

didapatkan pembengkakan limfonodi leher servikal, bisa unilateral atau bilatral. Bila

terjadi ruptur spontan dari abses tersebut akan terjadi sesak nafas berat oleh karena

aspirasi pus yang dapat menimbulkan pneumonia aspirasi, abses paru dan sepsis.

Pemeriksaan penunjang laboratorium, biasanya terdapat leukositosis.

Pemeriksaan radiologi antara lain X foto servikal lateral, CT Scan, MRI. Pada x foto

servikal lateral akan didapatkan gambaran pelebaran ruang retrofaring.

Pembengkakan jaringan lunak pada regio prevertebra dengan penebalan lebih dari 7

mm pada servikal II dan lebih dari 14 mm pada servikal VI pada anak dan lebih dari

22mm pada dewasa. Sedangkan CT Scan membantu dalam menentukan lokasi abses

dan keterlibatan struktur pembuluh darah leher dan struktur di sekitarnya, digunakan

sebagai panduan dalam insisi drainase. MRI lebih akurat dalam menggambarkan

jaringan lunak daripada CT Scan, namun perlunya pertimbangan biaya dalam

pemeriksaan ini, dimana lebih mahal daripada CT Scan. Arteriografi dapat dilakukan

apabila curiga penyebaran infeksi sampai ke pembuluh darah.5

Komplikasi yang dapat terjadi antara lain :

Pendesakan massa abses sehingga terjadi obstruksi jalan nafas

Pecah spontan sehingga dapat terjadi aspirasi atau pneumonia

Ke lateral : carotid sheath menyebabkan komplikasi vaskuler, seperti trombosis

vena juguler. Bila terjadi ruptur arteri carotis, ditandai dengan ekimosis daerah

leher, diikuti keluarnya darah dari hidung, mulut dan telinga

Ke posterior menyebabkan nyeri tulang servikal, osteomilitis, erosi ligamen yang

dapat menyebabkan subluxasi dan trauma saraf.

15

Page 16: ABSES LEHER DALAM (2)

Ke inferior menyebabkan terjadi mediastinitis, perikarditis, perikardial

tamponade, broncial erosi, abses mediastinum, pleuritis, pyopneumothorax,

empyema. Mediastinitis merupakan komplikasi terbanyak menyebabkan kematian

(50%)

Sepsis

Penatalaksanaan penderita dengan abses retrofaring adalah :

Rawat inap. Monitoring ABC (airway, breathing, circulating)

Pemberian antibiotik parenteral secara adekuat sesuai hasil kultur dan

sensitivitas. Diberikan antibiotik secara empiris dengan spektrum luas. Pilihan

antibiotik : klindamicin, eritromisin, cefazolin, gentamicin, oxaciclin.9

McClay mengemukakan penanganan abses retrofaring pada anak yang tidak

memungkinkan dilakukan terapi bedah, dapat diberikan terapi antibiotik

intravena secara empirik (klindamisin dan cefuroxime), didapatkan rata-rata

lama rawat jalan 5 hari dengan kisaran 2 – 8 hari dan perbaikan gejala klinis

setelah 48 jam terapi.9

Aspirasi abses sebagai penegakan diagnostik

Intervensi bedah : insisi dan drainase intraoral. Insisi vertikal dilakukan pada

titik dimana terdapat pembengkakan yang paling menonjol secara transoral

atau eksternal pada posisi trendelenberg dan kepala ekstensi untuk mencegah

terjadi aspirasi, selanjutnya insisi diperlebar dengan hemostat. Insisi bisa

dilakukan di kamar tindakan dengan anestesi lokal, kepala menggantung

( hiperekstensi ) dengan laringoskopi mackintosch. Setelah insisi segera

dilakukan penghisapan pus. Pada absese retrofaring yang kronik umumnya

dilakukan insisi eksternal kemudian diberikan terapi spesifik dengan

tuberkulostik.

Gambar insisi drainase abses intraoral1

16

Page 17: ABSES LEHER DALAM (2)

Pada abses yang mengalami penyebaran yang luas dapat dilakukan lewat

pendekatan transoral dan external. Terutama pada abses di daerah parafaring,

dibuat insisi di batas anterior m. Sternocleidomastoideus dengan

menyingkirkan carotid sheath, sehingga dapat mengevakuasi pus

Jika telah melibatkan mediastinum, maka perlu dilakukan insisi dan drainase

terbuka, atau jika perlu dilakukan thoracotomy.

Pengawasan post operasi sebaiknya di ICU untuk monitoring jalan nafas. Jika

diperlukan intubasi maka pemasangan harus hati-hati, atau dengan fiberoptic.

Jika terdapat obstruksi jalan nafas, dipersiapkan krikotiroidotomi atau

trakeostomi.

Pemberian diet pada awal post tindakan sebaiknya dilakukan parenteral

kemudian bertahap menjadi peroral mulai dari diet cair sampai padat. 9,13,14

3. Abses Parafaring

Abses parafaring dapat disebabkan oleh penyebaran infeksi dari tonsil, faring,

gigi, mastoid dan ruang potensial lainnya melalui pembuluh limfe, pembuluh darah

dan perkontinuitatum. Infeksi dapat menyebar dari anterior ke posterior, dengan

perluasan ke bawah sepanjang sarung pembuluh darah besar, disertai oleh trombosis

v. Jugularis atau mediastinitis. Infeksi dari bagian posterior dapat meluas ke atas

sepanjang pembuluh darah dan mengakibatkan infeksi intrakranial atau erosi a.

Karotis interna.10

Pada abses parafaring pada umumnya didapatkan spektrum kuman yang cukup

luas yang sebagian besar merupakan campuran kuman aerob dan anaerob. Kuman

aerob meliputi kelompok gram positif yaitu Streptococcus viridans, Staphylococcus

aureus dan kuman gram negatif yaitu Kliebsella sp., E. coli, Haemophyllus dan

Pseudomonas aeruginosa. Kuman anaerob seperti Peptostreptococcus, Bacteroides,

dan Fusobacter.7

Gambaran klinik pada abses parafaring adalah demam, anoreksia, sakit kepala,

otalgia, odinofagia, disfagia serta leher kaku. Terdapat trias tanda-tanda abses

parafaring adalah (1) trismus, karena iritasi pada m. Pterigoideus medialis, (2)

pembengkakan dan indurasi di belakang angulus mandibula atau di ujung bawah

glandula parotis, (3) prolaps tonsil dan fosa tonsilaris karena terdesak ke medial.5,6,10

Pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis. Pemeriksaan radiologi

yang diperlukan adalah X foto servikal AP dan lateral, ditemukan pembengkakan

17

Page 18: ABSES LEHER DALAM (2)

jaringan lunak lateral servikal, atau cairan, terdapat udara dalan jaringan subkutan,

deviasi trakea. Pemeriksaan X foto thorax untuk pementauan adanya komplikasi di

paru-paru. Pemeriksaan CT Scan lebih akurat untuk menentukan lokasi, besarnya

abses dan penyebaran ke struktur sekitarnya.5

Gambar ct scan dengan kontras pada abses parafaring dengan lesi hipodens dan penyengatan di tepi.2

Komplikasi abses parafaring antara lain dapat menyebar ke retrofaring yang

akhirnya ke mediastinum sehingga terjadi mediastinitis, abses paru, komplikasi

vaskular, aspirasi pneumonia. Komplikasi yang menyebabkan kematian adalah

perdarahan dan septikkemia.

Penatalaksanaan pada kasus abses parafaring pada umumnya dilakukan rawat

inap untuk memperbaiki keadaan umum dan melakukan insisi intra oral melalui m.

Konstriktor faring superior atau transfaringeal yang dilakukan bila pembengkakan

jelas ke arah faring dan teraba fluktuasinya. Penderita tidur atau duduk, mulut dibuka

dan insisi dibuat vertikal lebih kurang 2 cm pada dinding lateral faring ( tempat

fluktuasi yang jelas ). Insisi metode Mosher perlu dilakukan sebagai cara kedua

apabila didapatkan pembengkakan di belakang angulus mandibula dengan cara insisi

dilakukan mulai lebih kurang 1,25 cm di belakang angulus mandibula kemudian irisan

dilanjutkan lebih kurang 4 cm sejajar tepi bawah mandibula, bila irisan dianggap

kurang lebar untuk mengeluarkan pus, maka dibuat irisan kedua yang tegak lurus

dengan irisan yang pertama sepanjang tepi anterior m. Sternokleidomastoideus.

Bentuknya insisi T dilakukan dengan hati-hati karena berhadapan dengan pembuluh

darah. Kemudian dipasang drain selama 5-7 hari sampai pus benar-benar bersih.

Dengan irisan Mosher ini pus yang terletak pada spasium parafaring posterior dapat

dikeluarkan. Selanjutnya diikuti dengan pemberian antibiotik intravena sesuai kultur.

Menurut pedoman penggunaan antibiotik di RS dr Sutomo pada penderita dapat

18

Page 19: ABSES LEHER DALAM (2)

diberiakn penisillin G kristal atau geentamisin dikombinasi dengan metronidazol atau

klindamisin.15

Gambar. Insisi transversal dua sampai tiga jari di bawah garis mandibual dibuat anterior terhadap batas

anterior m. Sternocleidomastoideus. Perluasan berbentuk huruf T seperti yang dijelaskan oleh Mosher,

jikaa untuk mengidentifikasi arteri karotis.10

4. Angina Ludwig

Angina Ludwig/ angina ludovici adalah peradangan selulitis atau phlegmon

pada ruang suprahioid dengan tanda khas pembengkakan seluruh ruang

submandibula, tidak membentuk abses, sehingga keras pada perabaan submandibula.1

Yang menjadi dasar pada infeksi dalam ruang sublingual adalah m. Milohioid yang

keras dan kaku, sehingga resistensi terlemah yang berhubungan dengan edema adalah

daerah superior dan posterior, dengan akibat penyumbatan jalan nafas.10

Etiologi terbanyak biasanya berasal dari infeksi gigi, terutama M2 dan M3

rahang bawah. Hal ini disebabkan adanya hubungan antara akar gigi tersebut

melampaui ke bagian bawah tempat insersi otot milohioid pada mandibula, yang

langsung berbatasan dengan ruang submaksilaris. Abses pada akar gigi tersebut dapat

menembus korteks lingualis yang relatif tipis di bawah garis insersi otot milohioid dan

menginfeksi ruang submaksilaris, kemudian dapat meluas ke ruang sublingualis.

Bakteri yang terlibat adalah kombinasi bakteri aerob dan anaerob.5,10

Dari anamnesis didapatkan odinofagi, trismus, drolling, hot potato voice,

bengkak dan nyeri pada leher atas, biasanya didahului riwayat infeksi gigi rahang

bawah atau riwayat penyabutan gigi dengan kebersihan gigi dan mulut yang kurang

baik. Pemeriksaan fisik didapatkan demam, pembengkakan daerah submandibula

seperti papan dan nyeri, lidah terangkat ke atas dan terdorong ke belakang, dapat

terjadi edema laring yang menyebabkan takipnea, dipsnea dan stridor yang

19

Page 20: ABSES LEHER DALAM (2)

merupakan tanda obstruksi jalan nafas, keadaan ini berjalan sangat progresif sehingga

dapat menyebabkan kematian. Pada pseudo angina ludovici, dapat terjadi fluktuasi.1

gambar CT Scan abses submandibula

Komplikasi yang sering terjadi adalah sumbatan jalan nafas, penjalaran abses

ke spasia leher dalam ke ruang parafaring dan septikemia.

Bakteri penyebab pada anak sering ditemukan streptococci, S.aureus dan

kuman anaerob dalam kultur. Sedang pada orang dewasa tersering adalah aerobic

streptoccal species dan nonstreptococcal anaerobic. Eikenella corrodens merupakan

kuman pathogen deep neck infection pada penderita penyalah gunaan obat, dan sering

resisten terhadap clindamycin dan metronidazol. Kuman gram negative lebih sering

pada penderita diabetes, pengunaan immunosupresive, retradasi mental, dan pada

pasien dengan usia tua.16

Hasil sensitivitas antibiotik yang paling besar yaitu Amikasin, Cefipin ,

Cefotaksim dan Meropenem 100%, diikuti oleh cefpiron dan fosfomisin 80%,

gentamisin dan khloramphenikol 60 %, Ciprofloksasin ,Ampicillin dan Trimetropin

50%, Erytromisin, tetrasiklin 30%.16

Pengobatan deep neck infection biasanya diberikan antibiotik kombinasi

terhadap kuman aerob dan anaerob. Atau penggunan obat yang memiliki spektrum

yang luas.16

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain x foto servikal AP-

lateral, ct scan servikal, x foto panoramik untuk mengetahui fokal infeksi dari gigi.

20

Page 21: ABSES LEHER DALAM (2)

Gambar insisi drainase angina ludwig1

Penatalaksanaan angina Ludwig memerlukan pengawasan jalan nafas sesering

mungkin, adanya tanda-tanda obstruksi jalan nafas seperti dispnea, stridor harus

segera dilakukan trakeostomi. Pemberian antibiotik secara agresif diperlukan sambil

menunggu hasil kultur dan sensitivitas. Antibiotik yang dipilih merupakan spektrum

luas dan juga mencangkup bakteri anaerob, diberikan intravena dengan dosis tinggi.

Eksplorasi pada ruang submandibula dengan anestesi lokal atau umum pada penyakit

yang berkembang menjadi abses atau tidak ada respon terhadap pengobatan

konservatif. Insisi dilakukan dengan pendekatan eksternal melalui irisan pada daerah

submandibula sampai menembus ruang submandibula, yaitu dilakukan di aris tengah

secara horisontal setinggi os. Hioid (3-4 jari di bawah mandibula), kemudian dipasang

drain. Insisi vertikal tambahan dapat dibuat di atas os. Hioid sampai batas bawah

dagu. Selama perawatan, penyebab fokal infeksi diatasi, sambil menunggu

penyembuhan luka. Setelah dilakukan insisi ruangan abses dilakukan irigasi,

debridemen dan dipasang drain agar tidak reakumulasi abses. Perawatan drain diganti

lebih sering minimal dua kali sehari. 4,9,15

RINGKASAN

Infeksi leher bagian dalam berkembang dalam ruang-ruang potensial leher.

Pasien dengan infeksi rongga leher dalam mempunyai gejala yang penting seperti :

odinofagia, demam, pembengkakan leher, lemah, dehidrasi, hipersalivasi, riwayat

pengobatan gigi, infeksi saluran nafas atas, trauma rongga leher dan mulut, kesulitan

bernafas, status immunosuppresan dan immunocompromised, pernah ada riwayat

serangan, dan lamanya gejala

Penegakan diagnosis abses leher dalam diperlukan anamnesis yang cermat,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi, laboratorium dan aspirasi jarum untuk

21

Page 22: ABSES LEHER DALAM (2)

kultur dan sensitivitas kuman jika telah terbentuk abses. Laboratorium biasanya

didapatkan leukositosis. Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan yaitu X foto

servikal AP-lateral, foto panoramik, X foto thorax untuk mengetahui komplikasi ke

paru-paru, CT Scan dengan kontras, MRI, ultrasound, arteriography.

Komplikasi yang dapat terjadi secara umum antara lain obstruksi jalan nafas,

aspirasi dari ruptur spontan atau trauma pemasangan ET terhadap abses, komplikasi

vaskular ( trombosis vena jugularis interna, erosi dan ruptur arteri karotis, gangguan

neurologis, septik emboli,syok septik, osteomyelitis, komplikasi mediastinum dan

paru

Penatalaksanaan yang dilakukan adalah jalan nafas menjadi prioritas utama,

jika terjadi kegawatan nafas maka dapat dilakukan intubasi endotrakeal, krikotirotomi

atau trakeotomi. Kultur dan sensitivitas antibiotik dengan pesimen kultur dapat

diperoleh dari aspirasi jarum pada lokasi abses, leher dan darah. Sebaiknya pasien

dilakukan rawat inap untuk resusitasi volume dan metabolik. Pemberian antibiotik

intravena sesuai hasil kultur atau secara empirik yang meliputi kuman aerob dan

anaerob. Terapi bedah yang dilakukan antara lain aspirasi jarum dapat dilakukan

sebagai diagnostik atau terapeutik. Insisi dan drainase dapat dilakukan jika kondisi

jalan nafas stabil dengan pendekatan transservikal dan transoral dan didapatkan pus

saat aspirasi jarum.

DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi E. A. dkk.Abses Leher Dalam, Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit

Telinga Hidung Tenggorok, Edisi 5 FKUI. 2001 : 187-9.

2. Ryan C. Cmejrek, MD. Presentation, diagnosis and management of deep neck

abscess in infant. Dec 2002. [online] http://www.archoto.com

3. Murray DA, MD. Deep neck infections. Mar 2008. [online]

http://www.emedicine.medscape.com/article/837048-overview

22

Page 23: ABSES LEHER DALAM (2)

4. Ballenger JJ. Leher, Orofaring dan Nasofaring, Dalam: Penyakit Telinga

Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Alih Bahasa : staf ahli bagian THT

RSCM-FKUI. Edisi 13. Jilid 2. Bimarupa Aksara. Jakarta 1997 : 295-304.

5. Bailey BJ. Infections of The Deep Spaces of The Neck. Head and Neck

Surgery Otolaryngology. 3 th Edition. Philadelphia. Wolters Kluwer Company.

2001. p.701-15

6. Lee, K.J.MD. Otolaryngology and Head and Neck Surgery, Neck Space and

Fascial Planes, ed.8th, United States of America. McGraw-Hill company.

2003. p: 422-461.

7. Parhiscar A , Har-El G. Deep neck abscess: a retrospective review of 210

cases. Department of Otolaryngology. State Univercity of New York-Health

Science Center at Broklyn USA. 2001 Nov;110(11):1051-4

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11713917

8. Lalwani AK. Parapharyngeal Space Neoplasma and Deep Neck Spaces

Infection. In : Lange Current Diagnosis and Tretment. Otolaryngology Head

and Neck Surgery. Second Edition. New York. The McGraw-Hill Companies.

2007.

9. Mclay JE, MD, Murray AD, MD, Booth T, MD. Intravenous antibiotik

therapy for deep neck abscesses defined by computed tomografy.2003.

[online] http://www.archoto.com

10. Adams GL : Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring, Dalam : Adams L.

R ; Hilger P. A. Edisi Boeis Buku Ajar Penyakit THT, Edisi 6. Terjemahan

oleh Caroline Wijaya; EGC, Jakarta 1997, 482-8.

11. Shah UK. Tonsilitis and Peritonsillar Abscess, Goldsmith AJ, Talavera F,

Allen CG, Meyers AD, editors (online).

http://www.emedicine.com/ent/topic314.htm

12. Hibbert J. Tonsil and Adenoid Pediatric Otolaryngology. In: Scoot Brown’s

Otolaryngology: Kerr AG, 5th ed London: Butterworth International editions;

p. 368-81

13. Pratiwi Sutji. Komplikasi Tonsilitis Kronik dengan Abses Retrofaring. Vol

21.No3, Kumpulan Jurnal Edisi Juli-September,2008.http://www.dexa-

medica.com.htm.

23

Page 24: ABSES LEHER DALAM (2)

14. Evert EC, Echerverria J. Diseases of the pharyng and deep neck infection. In:

Paparella MM, Shumrick DA eds, Otolaryngology. 2nd ed. Philadelphia. WB

Saunder Company. 1980 : 2316-7

15. Suprodjo Dian, Surarso Bakti. Komplikasi fatal pada abses parafaring.

Kumpulan naskah ilmiah kongres nasional XII PERHATI. Semarang. 1999.

16. Rahmawati Novina, Suyitno Slamet. Penanganan abses submandibula di

SMFK THT RSUP dr. Kariadi Semarang tahun 2003-2007. Kumpulan Naskah

Ilmiah KONAS PERHATI. Bandung. 2008

24