Abses Hati

download Abses Hati

of 19

description

TRANSLATE ABSES HEPAR DARI EMEDICINE

Transcript of Abses Hati

ABSES HEPAR(Ruben Peralta, MD)

LATAR BELAKANGAbses hepar merupakan suatu penyakit yang relatif langka. Penyakit ini telah dikenal sejak masa Hippocrates (400 SM), dan tinjauan pertama mengenai abses hepar/hati dipublikasikan oleh Bright pada tahun 1936. Di tahun 1938, Ocshner menyatakan bahwa terapi definitif untuk abses hati adalah drainase melalui pembedahan; meskipun telah dilakukan pendekatan terapi yang agresif, namun tetap saja angka mortalitas penyakit ini sekitar 60-80%. (Lihat gambar di bawah).

Gambar CT scan abses hati. Tampak abses ber-septa ada lobus hepatis dekstra. Abses tersebut berhasil teratasi setelah dilakukan drainase perkutaneus dan pemberian antiobiotik.

Gambar CT scan abses hati. Tampak abses anterior pada lobus hepatis sinistra. Abses tersebut berhasil teratasi setelah dilakukan drainase perkutaneus dan pemberian antiobiotik.Kemajuan teknik radiologi, perkembangan identifikasi mikrobiologis, dan temuan teknik drainase terbaru serta perkembangan penatalaksanaan suportif, telah berhasil menurunkan angka mortalitas hingga mencapai 5-30%; namun, hingga saat ini angka prevalensi abses hati masih belum mengalami perubahan. Secara umum, penyakit infeksi ini jika tidak teratasi maka akan berakibat fatal bagi pasien.Ada tiga jenis abses hepar, yang diklasifikasi berdasarkan etiologinya, yakni: Abses piogenik, yang seringkali bersifat polimikrobial, berkontribusi terhadap 80% kasus abses hepatis di Amerika Serikat. Abses amoebik yang disebabkan oleh Entamoeba histolytica, berperan dalam 10% kasus abses hati Abses fungal/jamur, mayoritas disebabkan oleh spesien Candida, menjadi penyebab 10% kasus abses hati.PATOFISIOLOGIHati mendapatkan darah dari sikulasi sistemik dan sirkulasi portal. Sehingga hati sangat rentan terhadap infeksi. Namun sel Kupffer yang berada pada sinusoid hepatika bertugas untuk membersihkan bakteri sehingga infeksi jarang terjadi. Dulu dipercaya bahwa apendisitis merupakan penyebab utama abses hepar. Namun seiring dengan kemajuan teknologi diagnostik, diketahui bahwa apendisitis hanya berperan dalam 10% kasus abses hepar.Saat ini diketahui bahwa penyakit traktus bilier merupakan sumber utama abses hepar piogenik (PLA). Obstruksi aliran bilier dapat menimbulkan proliferasi bakterial. Penyakit batu bilier, keganasan traktus bilier, striktur dan penyakit kongenital dapat memicu obstruksi traktus bilier. Infeksi pada organ di jaringan portal dapat menimbulkan thromboflebitis septik lokal, yang mengakibatkan abses hepar. Emboli septik yang terlepas ke sirkulasi portal, dapat terjebak di sinusoid hepatika dan menjadi nidus untuk pembentukan mikroabses. Seringkali, mikroabses ini pada awalnya terpisah-pisah, lalu menyatu dan membentuk satu lesi soliter.Pembentukan mikroabses juga bisa berasal dari diseminasi organisme hematogenik yang berhubungan dengan bakteremia sistemik, seperti endokarditis dan pielonefirits. Ada laporan mengenai mikroabses pada pasien yang mengalami defek imunitas seperti penyakit granulmatosa kronik dan leukemia.Sekitar 4% abses hepar terjadi akibat adanya fistula intra-abdominal. Meskipun sarana diagnostik telah mengalami kemajuan, etiology kriptogenik masih juga sering didapatkan; eksplorasi bedah hanya memberikan sedikit dampak untuk kasus seperti ini. Lesi kriptogenik biasanya bersifat soliter.Trauma penetrasi hepar dapat menginokulasi organisme secara langsung ke dalam parenkim hati, sehingga dapat terbentuk abses hepar piogenik. Trauma non-penetrasi juga dapat menjadi prekursor untuk abses hepar piogenik dengan cara menimbulkan nekrosis hepar lokalisata, perdarahan intrahepatik, dan kebocoran bilier. Semua mekanisme itu akan menghasilkan lingkungan yang memudahkan pertumbuhan bakteri, sehingga dapat terbentuk abses hepar piogenik. Lesi abses akibat trauma juga bersifat soliter.Abses hepar piogenik juga dapat terjadi akibat infeksi sekunder dari abses amoebik, kavitas sistik hidatidosa, serta tumor metastatik dan tumor primer hepar. Selain itu transplantawsi, embolisasi arteri hepatika, dan korpus alienum juga dapat menimbulkan abses hepar. Trauma dan infeksi sekunder memberikan sedikit kontribusi dalam pembentukan abses hepar.Lobus hepatika dekstra merupakan bagian hati yang lebih sering terkena abses jika dibandingkan lobus sinistra, dengan rasio sekitar 2:1. Abses yang terjadi secara bilateral dapat ditemukan pada 5% kasus. Predileksi abses di lobus hepatika dekstra terjadi karena alasan anatomis. Lobus hepatika dekstra menerima darah dari vena portal dan vena mesenterika superior, sedangkan lobus hepatika sinistra hanya mendapatkan sirkulasi dari vena mesenteria inferior dan drainase splanikus. Lobus hepatika dekstra jugaa mengandung lebih banyak kanalikuli bilier, dan hal ini berperan dalam pembentukan massa-massa di hepar. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa efek aliran darah pada sirkulasi portal merupakan penyebab tersering kelainan ini.EPIDEMIOLOGIFrekuensiAmerika SerikatInsidensi abses hepar piogenik secara esensial tidak mengalami perubahan baik untuk populasi rumah sakit maupun autopsi. Abses hepar dapat terdiagnosis pada 0,45-0,7% autopsi. Frekuensi rawat inap pasien abses hepar berkisar antara 8-16 kasus per 100.000 jiwa.MortalitasAbses hepar piogenik yang tak teratasi dapat berakibat fatal. Dengan pemberian antiobiotik dan drainase secara tepat, maka angka mortalitas abses hepar adalah 5-30%. Penyebab utama kematian pada abses hepar antara lain sepsis, kegagalan multiorgan, dan kegagalan hati.Jenis KelaminDulu predileksi abses hepar adalah pria, namun dari data terkini diketahui bahwa tidak ada perbedaan antara pria dan wanita. Meskipun begitu, pria memiliki prognosis yang lebih buruk jika dibandingkan dengan wanita.UsiaSebelum ada antibiotik, abses hepar sering ditemukan pada dekade kehidupaan keempat dan kelima, terutama akibat komplikasi apendisitis. Namun dengan kemajuan sarana diagnostik, pemberian antibiotik, dan peningkatan angka bertahan hidup populasi secara umum, maka demografi pasien telah mengalami pergeseran pada dekade keenam dan ketujuh. Abses hepar banyak ditemukan pada masa neonatal dan pada dekade keenam kehidupan. Kasus abses hepar pada neonatal berhubungan erat dengan kateterisasi vena umbilikalis dan sepsis. Jika abses ditemukan pada anak dan remaja, maka kelainan itu berkaitan dengan defisiensi imunitas, malnutrisi berat, atau trauma.PRESENTASI KLINISAnamnesisMayoritas pasien abses hepar mengalami gejala berikut ini: Demam (baik yang terus-menerus atau intermiten) Menggigil Nyeri pada kuadran kanan atas Anoreksia Malaise/lesuBatuk atau cegukan dapat terjadi karena adanya iritasi diafragmatika. Nyeri alih ke bahu kanan juga dapat terjadi pada pasien abses hati.Pasien yang mengalami lesi abses soliter biasanya asimptomatis, hanya terlihat gejala penurunan berat badan dan anoreksia. Jika gejala-gejala seperti itu telah timbul, maka kita dapat mempertimbangkan diagnosis banding keganasan. Fever of unknown origin (FUO) sering kali menjadi diagnosis awal untuk kasus-kasus abses yang gejalanya tidak khas. Abses multipel biasanya memiliki gejala yang bersifat akut, dan terdapat tanda-tanda toksisitas sistemik. Ada juga beberapa pasien yang justru tidak mengalami demam.

Pemeriksaan FisikDemam dan hepatomegali yang bersifat nyeri merupakan tanda-tanda abses hepar yang sering ditemukan. Massa yang terpalpasi tidak selalu harus ditemukan. Nyeri epigastrik, dengan atau tanpa temuan massa yang terpalpasi, merupakan salah satu tanda terjadinya abses hepar di lobus sinistra. Selain itu dapat pula ditemukan penurunan bunyi napas pada basal paru kanan, yang disertai tanda ateletaksis dan efusi pleura. Pleural friction rub berkaitan erat dengan adanya iritasi atau inflamasi pada kapsul Glisson. Ikterus dapat ditemukan pada 25% kasus dan biasanya berhubungan dengan penyakit traktus bilier atau abses multipel.

PENYEBABEschericia coli dan Klebsiella pneumoniae merupakan dua jenis patogen yang sering ditemukan secara bersamaan pada abses hepar. Namun beberapa laporan menyebutkan bahwa K. Pneumoniae merupakan penyebab tersering dari abses hepar. Enterobactericeae lebih sering ditemukan pada infeksi yang berasal dari traktus bilier. Abses yang berhubungan dengan K. Pneumoniae juga berhubungan dengan beberapa kasus endoftalmitis Dulu peranan patogen anaerob masih disepelekan hingga pada tahun 1974, diketahui bahwa 45% kasus abses piogenik disebabkan oleh bakteri anaerobik. Abses Staphylococcus aureus biasanya terjadi karena penyebaran secara hematogenik dari infeksi di tempat lain, seperti endokarditis. S. Milleri tidak bersifat anaerobik maupun mikroaerofilik. Dan bakteri tersebut sering berhubungan dengan abses monomikrobial dan polimikrobial pada pasien penyakit Crohn, serta abses hepar. Abses hepar amoebik lebih sering disebabkan oleh E. Histolytica. Abses fungal lebih sering disebabkan oleh Candida albicans dan pada umumnya ditemukan pada pasien-pasien yang mendapatkan terapi antimikrobial jangka panjang, pasien yang mengalami keganasan hati, transplantasi organ, serta imunodefisiensi kongenital atau dapatan. Ada juga beberapa kasus abses yang disebabkan oleh Aspergillus. Organisme lain yang dapat menyebabkan abses hepar antara lain Actinomyces, Eikenella corrodens, Yersinia enterocolitica, Salmonella typhi, dan Brucella melitensis. Beberapa kasus di Taiwan memperlihatkan bahwa abses hati piogenik bisa jadi merupakan manifestasi awal dari karsinoma hepatoseluler. PEMERIKSAAN LABORATURIUMHitung jumlah sel darah Adanya tanda-tanda anemia karena penyakit kronik Leukositosis neutrofilik Pemeriksaan fungsi hati Hipoalbuminemia dan peningkatan kadar alkali fosfatase Peningkatan kadar transaminase dan kadar bilirubin Kultur darah menunjukkan hasil positif pada 50% kasus. Kultur cairan abses harus dilakukan untuk menentukan diagnosis mikrobiologis. Pemeriksaan immunoassay enzym harus dilakukan untuk mendeteksi E. Histolytica pada pasien yang berada pada daerah endemik atau yang pernah melakukan perjalanan ke daerah endemik.PEMERIKSAAN RADIOLOGISKemajuan pemeriksaan radiologi dapat menurunkan angka mortalitas. Pemeriksaan CT dengan menggunakan kontras dan ultrasonografi hingga saat ini masih menjadi modalitas pilihan untuk skrining diagnosis sekaligus dapat dijadikan panduan dalam proses aspirasi dan drainase perkutaneus. CT-scan multideteksi saat ini telah berhasil meningkatkan sensitivitas diagnosis (95-100%).

Gambar CT scan abses hati. Tampak abses ber-septa ada lobus hepatis dekstra. Abses tersebut berhasil teratasi setelah dilakukan drainase perkutaneus dan pemberian antiobiotik.

Gambar CT scan abses hati. Tampak abses anterior pada lobus hepatis sinistra. Abses tersebut berhasil teratasi setelah dilakukan drainase perkutaneus dan pemberian antiobiotik. Lesi abses hepar yang ditemukan pada pemeriksaan CT memiliki gambaran berupa lesi hipodense yang mengelilingi parenkim hepar. Kesan menyangat (enhancement) periferal dapat ditemukan jika telah dilakukan pemberian kontras intravena. Gas dapat ditemukan pada 20% lesi CT scan lebih superior dalam mendeteksi lesi yang berukuran kurang dari 1 cm CT juga dapat membantu kita dalam mengevaluasi patologi yang berada pada regio abdomen dan pelvis. Scan leukosit yang diberi indium dianggap lebih sensitif untuk pemeriksaan tersebut. Ciri-ciri abses hepar monomikrobial antara lain: Abses tunggal Abses unilobar Terkesan solid Berhubungan dengan thromboflebitis Menyebar secara hematogen.

Ultrasonografi (USG) Gambaran abses pada pemeriksaan ultrasonografi adalah massa hipoekoik yang batasnya ireguler. Septasi internal atau debris kavitas juga dapat terdeteksi melalui pemeriksaan ini. USG dapat memudahkan evaluasi yang ketat pada traktus biliaris sekaligus untuk aspirasi kavitas. Keunggulan utama USG adalah portabilitasnya/sederhana dan dapat digunakan untuk pasien yang terlalu lemah jika harus menjalani evaluasi radiologis yang lama serta lebih disukai untuk evaluasi pasien rawat jalan. Kemampuan operator sangat mempengaruhi sensitivitas pemeriksaan USG.Pemeriksaan radionuklida gallium dan technetium (sensitivitas 50-90%) Pertama kali digunakan dalam diagnosis. Teknik ini memanfaatkan fakta bahwa radiofarmasi memiliki jalur uptake/pengambilan, transpor, dan eksresi yang sama dengan bilirubin, sehingga karena sifat inilah maka radiofarmasi dapat digunakan untuk mengevaluasi penyakit hati. Sensitivitas radiofarmasi technitium adalah 80%, gallium 50-80%, sedangkan indium adalah 90%. Keterbatasan pemeriksaan ini adalah prosedurnya butuh waktu lama dan hanya dijadikan sebagai prosedur konfirmasi sehingga tidak memiliki keunggulan jika dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis lain.Dari pemeriksaan radiologi thoraks, kita dapat menemukan ateletaksis basal, elevasi hemidiafragma dekstra, dan efusi pleura dekstra pada 50% kasus; ketika sarana diagnostik belum semaju sekarang, semua tanda-tanda itu juga digunakan dalam penegakan diagnosis abses hepar. Namun tanda-tanda tersebut lebih sering terdiagnosis sebagai pneumonia atau penyakit pleura.

PENATALAKSANAANProsedur Aspirasi jarum perkutaneus Dengan panduan CT atau ultrasonografi, kita dapat melakukan aspirasi jarum di kavum abses Aspirasi jarum dapat mempercepat pemulihan sekaligus berguna dalam evaluasi mikrobiologis dan patologis Aspirasi jarum dpat dilakukan secara bersamaan dengan prosedur diagnostik Drainase kateter perkutaneus Drainase perkutaneus telah menjadi penatalaksanaan standar untuk abses hepar berukuran kecil. Untuk abses yang berukuran lebih dari 5 cm, abses yang ruptur, dan abses multiokulasi, maka sebaiknya dilakukan drainase dilakukan secara pembedahan. Manfaat dari prosedur ini adalah dapat menurunkan biaya perawatan, dan mempercepat masa pemulihan; selain itu prosedur ini juga tidak membutuhkan anestesia umum. Kateter dapat dipasang menggunakan teknik Seldinger atau trocar dengan panduan USG atau CT Kateter dibilas setiap hari hingga luaran abses kurang dari 10cc/hari atau pemeriksaan CT scan menunjukkan bahwa kavitas telah kolaps. Jika terapi ini tidak berhasil mengatasi abses, maka itu indikasi untuk melakukan tindakan drainase secara pembedahan. Komplikasi lain yang dapat ditemukan (jarang terjadi) pada tindakan ini adalah perdarahan di lokasi kateter, perforasi viskus, dan peritonitis akibat kebocoran dari cairan kavitas. Kontraindikasi tindakan ini adalah koagulopati; jalur abses yang sulit tercapai; peritonitis; dan/atau adanya abses multiokulasi, berdinding tebal, dan pus yang terlalu kental.Penatalaksanaan MedisAbses hepar yang tidak tertangani dapat berakibat fatal karena dapat menimbulkan komplikasi sepsis, emfiema, atau peritonitis yang berasal dari ruptur abses ke kavum pleura, peritoneal atau retroperitoneal. Penatalaksanaan untuk abses antara lain drainase, baik secara perkutaneus maupun pembedahan. Terapi antibiotik secara tunggal bukanlah penatalaksanaan yang dianjurkan untuk abses hepar, meskipun ada beberapa kasus yang melaporkan keberhasilan tindakan ini. Terapi antibiotik tunggal hanya dijadikan alternatif untuk pasien yang sakit berat hingga tak mampu menjalani prosedur invasif atau pada pasien yang mengalami abses multipel yang tidak dapat didrainase secara perkutaneus maupun pembedahan Terapi antibiotik tunggal harus diberikan selama berbulan-bulan dan pemantauan radiologi harus dilakukan secara ketat.Antibiotik lebih sering dikombinasikan dengan drainase perkutaneus atau pembedahan.Penatalaksanaan BedahDrainase secara bedah merupakan penatalaksanaan standar untuk abses hepar hingga ditemukannya teknik drainase perkutaneus pada pertengahan tahun 1970-an. Dengan kemajuan teknik pencitraan, aspirasi dan drainase perkutaneus telah menjadi penatalaksanaan standar untuk abses hepar. Indikasi penatalaksanaan bedah untuk abses hepar piogeni adalah untuk mengatasi masalah intra-abdominal, seperti peritonitis, adanya patologi abdominal lain (seperti abses divertikuler); kegagalan terapi drainase perkutaneus; dan adanya abses hepar yang mengalami komplikasi, multiokulasi, berdinding tebal serta mengandung pus tebal. Syok yang disertai kegagalan multiorgan merupakan kontraindikasi untuk penatalaksanaan bedah. Bedah terbuka dapat dilakukan dengan 2 jenis pendekatan: Pendekatan transperitoneal untuk drainase abses dan eksplorasi abdominal guna mengidentifikasi abses hepar yang sebelumnya tak terdeteksi dan untuk melokalisasi sumber etiologi Untuk lesi posterior letak tinggi, maka dapat dilakukan pendekatan transpleural posterior. Meskipun tindakan ini lebih memudahkan untuk mencapai abses, namun kita tidak dapat melakukan identifikasi lesi multipel dan patologi intra-abdominal. Pendekatan laparoskopik juga dapat digunakan untuk beberapa kasus khusus. Pendekatan minimal invasif ini dapat membantu kita mengeksplorasi keseluruhan abdomen sekaligus menurunkan morbiditas pasien. Untuk lesi yang berukuran lebih dari 5 cm, maka sebaiknya dilakukan drainase secara pembedahan karena tingkat keberhasilannya lebih tinggi dan mengurangi insidensi prosedur sekunder. Komplikasi pasca-operasi jarang ditemukan dan biasanya berupa abses hepar piogenik rekuren, abses intra-abdominal, gagal hati atau ginjal, dan infeksi luka.KONSULTASI Radiologi intervensi: Lakukan konsultasi sesegera mungkin jika diagnosis telah ditegakkan, agar pasien dapat menjalani drainase abses terapeutik.

Bedah umum: Segera lakukan konsultasi dengan dokter bedah umum jika sumber abses berasal dari patologi abdominal atau jika telah terjadi peritonitis. Jika drainase perkutaneus gagal, maka hal itu menjadi indikasi untuk melakukan drainase secara pembedahan oleh dokter bedah Jika abses berhubungan dengan gastroenterologi maka setelah drainase, dapat dilakukan evaluasi penyakit gastrointestinal dengan menggunakan kolonoskopi atau endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP). Konsultasi penyakit infeksi dapat dipertimbangkan untuk kasus yang telah mengalami komplikasi dan untuk kasus patogen yang tidak boasa, seperti abses fungal.Ringkasan MedikasiHingga tersedia hasil kultur, maka pilihan antimikrobial ditujukan untuk mengatasi jenis patogen yang sering ditemukan. Pilihan empirik untuk alasan ini adalah -lactam/kombinasi dengan penghambat -laktamase, carbapenem, atau sefalosporin generasi kedua serta antibiotik yang dapat mengatasi bakteri anaerobik. Metronidazole atau clindamycin dapat ditambahkan bersama antibiotik lain jika Bacteroides fragilis adalah penyebab abses hepar.Abses amoebik harus diatasi dengan menggunakan metronidazole, yang bersifat kuratif untuk 90% kasus. Metronidazole harus diberikan jika hasil tes serologis belum diberikan. Pasien yang tidak memberikan respon terhadap metronidazole harus diberikan chloroquine tunggal atau dikombinasikan dengan emetine atau dehydroemetine.Agen antifungal sistemik harus diberikan sesegera mungkin jika pasien dicurigai mengalami abses fungal dan setelah abses berhasil didrainase secara perkutaneus atau pembedahan. Terapi antifungal yang dapat digunakan adalah amphotericin B. Sediaan lipid memiliki beberapa keunggulan karena obat yang yang larut dalam lipid dapat meningkat konsentrasinya dalam hepatosit. Jika amphotericin gagal, maka kita dapat menggunakan fluconazole.Terakhir, harus dilakukan isolasi organisme dan pemeriksaan sensitivitas antibiotik untuk menentukan pilihan antimikrobial.Durasi penatalaksanaan hingga saat ini masih menjadi perdebatan. Terapi jangka pendek (2 minggu) setelah drainase perkutaneus berhasil mengatasi abses hepar pada beberapa pasien; namun, lebih banyak penelitian yang menunjukkan bahwa terapi abses hepar harus dilakukan lebih lama. Saat ini yang direkomendasikan adalah terapi selama 4-6 minggu untuk lesi abses soliter yang telah didrainase.AntibiotikTerapi antibiotik harus bersifat komprehensif dan mampu mengatasi semua jenis patogen sesuai kondisi pasien.Meropenem (Merrem)Antibiotik carbapenem spektrum luas yang dapat menghambat sintesis dindin sel. Efektif untuk mengatasi bakteri gram positif dan negatif. Memiliki aktivitas yang lebih tinggi terhadap gram negatif dan tidak relatif kurang aktif mengatasi staphylococci dan streptococci jika dibandingkan dengan imipenem.Imipenem dan cilastatin (Primaxin)Untuk penatalaksanaan infeksi organisme multipel jika terapi lain tidak ada atau ada kontraindikasi untuk menggunakan obat lain.Cefuroxime (Ceftin)Sefalosporin generasi kedua. Efektif dalam mengatasi bakteri gram negatif, sekaligus untuk mengatasi bakteri Proteus mirabilis, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, dan Moraxella catarrhalis. Dosis dan cara pemberian tergantung ada kondisi pasien.

Cefotetan (Cefotan)Sefalosporin generasi kedua untuk mengatasi bakteri cocci gram positif dan basil gram negatif. Dosis dan cara pemberian tergantung ada kondisi pasien.Cefaclor (Ceclor)Sefalosporin generasi kedua untuk mengatasi bakteri cocci gram positif dan basil gram negatif. Dosis dan cara pemberian tergantung ada kondisi pasien.Clindamycin (Cleocin)Lincosamide untuk penatalaksanaan infeksi staphylococcal yang serius pada kulit dan jaringan lunak. Efektif dalam mengatasi streptococci aerobik dan anaerobik (kecuali enterococci). Menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara memblok disosiasi peptidyl t-RNA dari ribosome yang menyebabkan terhentinya sintesis protein yang bergantung pada RNA.Metronidazole (Flagyl)Antibiotik berbasis cincin imidazole sangat aktif mengatasi berbagai bakteri anaerobik dan protozoa. Digunakan sebagai terapi kombinasi bersama agen antimikrobial lain (kecuali untuk enterocolitis Clostridium difficile).AntifungalMekanisme kerja obat ini adalah mengubah metabolisme RNA dan DNA atau mengakibatkan akumulasi peroksida intraseluerl pada sel jamur.Amphotericin B (AmBisome)Dihasilkan oleh strain Streptomyces nodosus; dapat bersifat fungistatik atau fungisidal. Berikatan dengan sterol, seperti ergosterol, di membran sel jamur, sehingga menyebabkan kebocoran komponen intraseluler yang berakibat pada kematian jamur.Fluconazole (Diflucan)Antifungal oral sitentik (bistriazole spektrum luas) yang secara selektif berikatan dengan sitokrom P-450 dan sterol C-14 -demetilasi.Pasien Rawat InapSebaiknya dilakukan pemeriksaan yang agresif untuk mencari sumber patologi abdominal. Lakukan CT-scan atau USG serial tiap minggu untuk mendokumentasi hasil drainase kavum abses. Pertahankan drain hingga jumlah luaran abses kurang dari 10 cc/hari. Pantau demam pasien. Demam yang persisten setelah 2 minggu terapi mengindikasikan perlunya drainase yang lebih agresif. Untuk pasien yang mengalami keganasan, maka terapi definitif berupa pengangkatan massa secara bedah harus segera dilakukan.Pasien Rawat jalanPasien bisa saja membutuhkan terapi antimikrobial parenteral jangka panjang meskipun telah keluar dari rumah sakit. Lakukan pemantauan kadar pengobatan, fungsi ginjal, dan hitung sel darah. Nutrisi enteral sebaiknya diberikan pada pasien kecuali ada kontraindikasi. Perawatan drain harus dilakukan pada pasien. Lanjutkan evaluasi radiologi untuk mendokumentasi progresivitas terapi.KOMPLIKASI Sepsis Emfiema akibat penyebaran secara kontagius atau akibat ruptur abses Ruptur abses yang berakibat pada peritonitis Endoftalmitis, terutama jika penyebab abses adalah K. PneumoniaePROGNOSISJika abses hepar tidak diatasi, maka prognosis penyakit ini sangat fatal. Indikator prognosis yang buruk telah dijelaskan sejak tahun 1938, yakni abses multipel, adanya keganasan, keadaan umum pasien, adanya komplikasi dan keterlambatan diagnosis. Indikator prognosis yang buruk untuk abses amoebik antara lain kadar bilirubin yang lebih tinggi dari 3.5 mg/dL, ensefalopati, hipoalbuminemia, dan abses multipel; semua faktor tersebut merupakan faktor independen untuk luaran yang buruk. Etiologi keganasan dan skor Acute Physiology and Chronic Health Evaluation (APACHE II) yang lebih dari 9 dapat meningkatkan mortalitas sekitar 6.3 kali lipat dan 6.8 kali lipat. Chen dkk menemukan bahwa usia dan skor APACHE yang lebih dari 15 saat masuk rumah sakit merupakan faktor resiko untuk mortalitas. Banyak bukti yang menyebutkan bahwa pasien tua memiliki prognosis yang lebih buruk jika dibandingkan dengan pasien muda. 1