Abortus Inkomplit Lapsus Bangli
-
Upload
sunardiasih -
Category
Documents
-
view
92 -
download
6
Transcript of Abortus Inkomplit Lapsus Bangli
BAB IPENDAHULUAN
Perdarahan postpartum adalah penyebab utama kematian ibu. Semua wanita yang
sedang hamil lebih dari 20 minggu beresiko untuk mengalami perdarahan post-partum dan
turunannya. Walaupun frekuensi kematian ibu telah menurun sangat pesat di negara-negara
maju, namun perdarahan postpartum tetap merupakan penyebab kematian utama di negara-
negara miskin dan berkembang.
Maternal mortality rate yang berhubungan langsung dengan kehamilan di Amerika
Serikat adalah sekitar 7-10 wanita per 100.000 kelahiran hidup. Statistik nasional mencatat
bahwa kira-kira 8% dari kematian tersebut adalah disebabkan oleh karena perdarahan
postpartum. Di negara-negara maju, perdarahan postpartum biasanya termasuk peringkat 3
teratas penyebab mortalitas ibu, bersama-sama dengan embolism dan hipertensi. Di negara-
negara berkembang, beberapa negara memiliki angka kematian ibu lebih dari 1000 wanita
per 100.000 kelahiran hidup, dan statistik WHO mencatat bahwa 25% dari kematian tersebut
adalah disebabkan oleh karena perdarahan postpartum, atau mencapai lebih dari 100.000
kematian ibu per tahun.
Frekuensi yang dilaporkan Mochtar, R. dkk. (1965-1969) di R.S. Pirngadi Medan
adalah 5,1% dari seluruh persalinan. Dari laporan-laporan baik di negara maju maupun di
negara berkembang angka kejadian berkisar antara 5% sampai 8%.
Berdasarkan penyebabnya diperoleh sebaran sebagai berikut: atonia uteri (50%-60%),
retensio plasenta (16%-17%), sisa plasenta (23%-24%), laserasi jalan lahir (4%-5%),
kelainan darah (0,5-0,8%)
1
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Definisi dari perdarahan postpartum masih sangat subjektif dan problematis.
Perdarahan postpartum didefinisikan sebagai hilangnya darah lebih dari 500 ml setelah
kelahiran pervaginam atau lebih dari 1000 ml setelah kelahiran dengan sectio cesarean.
Hilangnya darah dalam 24 jam pertama disebut sebagai perdarahan postpartum primer,
sedangkan hilangnya darah setelah 24 jam dari kelahiran disebut perdarahan postpartum
sekunder.
Perkiraan hilangnya darah selama proses kelahiran adalah sangat subjektif dan sangat
tidak akurat. Penelitian-penelitian menemukan bahwa banyak petugas-petugas penolong
persalinan secara konsisten meremehkan jumlah darah yang sebenarnya hilang. Beberapa
proposal lain menyatakan dengan memakai patokan turunnya hematokrit sebanyak 10%
untuk mendefinisikan perdarahan postpartum, tetapi perubahan ini tergantung dari waktu
pemeriksaan dan jumlah resusitasi cairan yang diberikan.
Pertimbangan lain adalah perbedaan kapasitas dari setiap individual untuk merespons
hilangnya darah. Seorang wanita yang sehat mengalami peningkatan volume darah sebanyak
30-50% pada kehamilan tunggal dan lebih toleran terhadap kehilangan darah daripada wanita
yang menderita anemia, gangguan jantung, ataupun dehidrasi dan preeklampsia. Oleh karena
itu, banyak peneliti menyarankan untuk menegakkan diagnosis perdarahan postpartum
dengan berapapun jumlah darah yang hilang yang mengancam stabilitas hemodinamik dari
ibu.
2.2 Etiologi
Perdarahan postpartum dapat disebabkan oleh banyak faktor potensial, namun yang
paling sering adalah oleh karena atonia uteri, yaitu kegagalan dari uterus untuk berkontraksi
dan beretraksi setelah kelahiran plasenta. Perdarahan postpartum pada kehamilan sebelumnya
adalah faktor resiko utama dan setiap usaha harus dilakukan untuk mengetahui keparahan
dan penyebabnya. Pada suatu penelitian di Amerika Serikat, induksi dan augmentasi
kelahiran, chorioamnioitis, penggunaan MgSO4 dan riwayat perdarahan postpartum
2
sebelumnya, semuanya berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya perdarahan
postpartum.
Sebuah penelitian population-based yang baru-baru dipublikasikan mendapatkan
faktor resiko yang menyebabkan perdarahan post-partum adalah retensio plasenta, distosia
pada kala II, plasenta akreta, laserasi, kelahiran dengan bantuan instrumen, bayi besar,
hipertensi, induksi kelahiran, dan augmentasi kelahiran dengan oksitosin.
Untuk mempermudah mengingat penyebab dari perdarahan postpartum, singkatan 4T
sering digunakan, yaitu: Tonus, Tissue, Trauma, dan Thrombosis.
2.2.1 TONUS
Atonia uteri dan kegagalan kontraksi dan retraksi otot-otot pada myometrium dapat
menyebabkan terjadinya perdarahan yang cepat dan parah dan juga shock hipovolemik.
Overdistensi uterus, baik absolut ataupun relatif, adalah faktor resiko utama untuk terjadinya
atoni. Overdistensi uterus dapat disebabkan oleh karena kehamilan multifetal, makrosomia,
polihidramnion, atau kelainan kongenital (seperti hidrocephalus), abnormalitas struktural
uterus, atau kegagalan dalam melahirkan plasenta.
Kontraksi miometrium yang tidak adekuat dapat disebabkan oleh karena kelelahan
karena partus lama atau pun oleh karena proses kelahiran yang terlalu cepat, terutama jika
dilakukan dengan rangsangan. Hal ini juga dapat disebabkan oleh karena inhibisi oleh obat-
obatan seperti agen anestesi golongan halotan, nitrat, NSAID, MgSO4, beta-simpatomimetik,
dan nifedipine. Penyebab lain adalah plasenta yang terletak pada segmen bawah uterus, toxin
bakteri (seperti chorioamnionitis, endomyometritis, septicemia), hipoksia karena hiperperfusi
atau Couvelaire uterus pada abruptio plasenta, dan hipotermia karena resusitasi masif.
2.2.2 TISSUE
Kontraksi uterus dan retraksi memicu terjadinya pelepasan dan ekspulsi plasenta.
Pelepasan yang komplit dan ekspulsi plasenta menyebabkan berlanjutnya retraksi dan oklusi
optimal pembuluh-pembuluh darah endometrium.
Retensio beberapa bagian plasenta sering terjadi jika plasenta memiliki succenturiate
atau lobus tambahan. Setelah lahirnya plasenta dan perdarahan minimal terjadi, plasenta
harus diinspeksi untuk mencari adanya pembuluh darah fetal yang muncul dari tepi plasenta
3
dan terputus pada ujung membran. Hal ini merupakan tanda adanya lobus tambahan yang
mungkin masih tersisa.
Plasenta biasanya mengalami retensio pada kehamilan preterm (terutama <24
minggu) dan perdarahan yang signifikan biasanya terjadi. Hal ini harus menjadi
pertimbangan pada semua kelahiran pada masa-masa awal gestasi, baik yang terjadi spontan
maupun dirangsang. Penggunaan misoprostol untuk terminasi kehamilan trimester kedua
ternyata dapat menurunkan frekuensi terjadinya retensio plasenta jika dibandingkan dengan
penggunaan teknik intrauterin prostaglandin.
Kegagalan pelepasan lengkap plasenta terjadi juga pada plasenta akreta dan
variannya. Pada kondisi ini, plasenta telah menginvasi melebihi tempat melekatnya dan
menempel secara abnormal. Perdarahan yang signifikan dari daerah normal tempat
melekatnya plasenta sebelumnya mungkin menandakan adanya akreta parsial. Komplit akreta
dimana seluruh permukaan plasenta melekat secara abnormal, atau invasi yang lebih luas
pada plasenta inkreta atau perkreta, mungkin tidak secara langsung menyebabkan perdarahan
yang banyak, namun dapat berkembang bersamaan dengan usaha yang lebih agresif untuk
memisahkan plasenta.
Semua pasien dengan plasenta previa harus diinformasikan tentang resiko terjadi
perdarahan postpartum yang gawat, termasuk kemungkinan diperlukannya transfusi dan
histerektomi. Darah dapat menyebabkan terjadi distensi pada uterus dan menghambat
kontraksi yang efektif.
2.2.3 TRAUMA
Kerusakan pada traktus genitalis dapat terjadi spontan atau melalui manipulasi dalam
usaha melahirkan bayi. Kelahiran melalui sectio cesarea rata-rata menyebabkan kehilangan
darah dua kali lipat daripada kelahiran pervaginam. Beberapa penyebab perdarahan
postpartum yang dapat terjadi karena trauma antara lain adalah:
a. Ruptur Uteri
Ruptur uterus sering terjadi pada pasien dengan scar dari operasi sectio cesarea
sebelumnya. Semua uterus yang telah mengalami prosedur yang menyebabkan terjadinya
disrupsi total maupun parsial dinding uterus harus dipertimbangkan beresiko untuk
mengalami ruptur uterus pada kehamilan yang akan datang. Hal ini meliputi
4
fibroidektomi, uteroplasti untuk kelainan kongenital, reseksi cornual atau cervical, dan
perforasi uterus saat dilatasi, kuret, biopsi, histeroskopi, laparoskopi, atau pemasangan
IUD.
Ruptur uteri adalah kejadian yang jarang terjadi tetapi merupakan kegawatan
obstetrik yang dapat menyebabkan berbagai komplikasi, dengan angka insiden kira-kira 1
dari 1514 kehamilan (0.07%). Di negara-negara maju, angka ruptur uteri pada wanita
normal tanpa parut uterus adalah 1 dari 7440 kehamilan (0.013%).
Sebagian besar ruptur uteri terjadi pada wanita yang memiliki parut uterus, yang
sebagian besar adalah karena riwayat kelahiran melalui sectio cesarean. Satu parut bekas
SC angka resiko terjadinya ruptur uteri sebanyak 0.51%, sedangkan wanita dengan dua
atau lebih parut uterus resikonya meningkat menjadi 2%. Kelompok wanita yang juga
beresiko terjadi ruptur uteri antara lain adalah wanita yang menjalani penutupan
histerotomi satu lapis, jarak kehamilan yang pendek setelah kelahiran sebelumnya
melalui sectio cesarean, kelainan kongenital pada uterus, fetus dengan macrosomia,
sejarah pemakaian prostaglandin, dan kegagalan percobaan kelahiran pervaginam (trial of
labor).
Intevensi pembedahan setelah terjadinya ruptur uteri dalam waktu kurang dari 10-
37 menit sangat penting untuk meminimalkan resiko cedera perinatal pada fetus. Namun
kelahiran dalam jangka waktu ini tidak menjamin tidak terjadi hipoksia dan asidosis
metabolik pada fetus.
Ruptura uteri atau robekan uterus merupakan peristiwa yang sangat berbahaya,
yang umumnya terjadi pada persalinan, kadang-kadang juga pada kehamilan tua.
Robekan pada uterus dapat ditemukan untuk sebagian besar pada bagian bawah uterus.
Pada robekan ini kadang-kadang vagina atas ikut serta pula. Apabila robekan tidak terjadi
pada uterus melainkan pada vagina bagian atas, hal itu dinamakan kolpaporeksis.
Kadang-kadang sukar membedakan antara ruptura uteri dan kolpaporeksis. Apabila pada
ruptura uteri peritoneum pada permukaan uterus ikut robek, hal itu dinamakan ruptura
uteri kompleta; jika tidak ruptura uteri inkompleta. Pinggir ruptura biasanya tidak rata;
letaknya pada uterus melintang, atau membujur, atau miring dan bisa agak ke kiri atau ke
kanan. Ada kemungkinan pula terdapat robekan dinding kandung kencing.
5
Tanda awal yang paling penting dan konsisten pada ruptur uteri adalah adanya
bradikardi fetus yang berlangsung lama dan persisten. Tanda-tanda lain antara lain adalah
nyeri abdomen, kelainan pada perjalanan persalinan, dan perdarahan per vaginam.
Mekanisme Ruptur Uteri
Pada umumnya uterus dibagi atas dua bagian besar: korpus uteri dan serviks uteri.
Batas keduanya disebut ismus uteri (2-3 cm) pada rahim yang tidak hamil. Bila
kehamilan sudah kira-kira ± 20 mg, dimana ukuran janin sudah lebih besar dari ukuran
kavum uteri, maka mulailah terbentuk SBR ismus ini.
Batas antara korpus yang kontraktil dan SBR yang pasif disebut lingkaran dari
Bandl. Lingkaran Bandl ini dianggap fisiologik bila terdapat pada 2-3 jari di atas simfisis,
bila meninggi maka kita harus waspada terhadap kemungkinan adanya ruptura uteri
mengancam (RUM).
Ruptur uteri terutama disebabkan oleh peregangan yang luar biasa dari uterus.
Sedangkan kalau uterus telah cacat, mudah dimengerti, karena adanya lokus minoris
resistens (LMR).
Rumus mekanisme terjadinya ruptura uteri: R = H + O
dimana:
R = Ruptura
H = His kuat (tenaga)
O = Obstruksi (halangan)
Pada waktu in-partu, korpus uteri mengadakan kontraksi sedang SBR tetap dan
cervix menjadi lunak (effacement dan pembukaan). Bila oleh sesuatu sebab partus tidak
dapat maju (obstruksi), sedang korpus uteri berkontraksi terus dengan hebatnya (his
kuat), rnaka SBR yang pasif ini akan tertarik ke atas, menjadi bertambah regang dan tipis.
Lingkaran Bandl ikut meninggi, sehingga suatu waktu terjadilah robekan pada SBR tadi.
Dalam hal terjadinya ruptur uteri jangan dilupakan peranan dari anchoring
apparatus untuk memfiksir uterus yaitu ligamentum rotunda, ligamentum latum,
ligamentum sacrouterina, dan jaringan parametra.
Menurut cara terjadinya ruptura uteri diadakan perbedaan antara: 1) ruptura uteri
spontan; 2) ruptura uteri traumatik; 3) ruptura uteri pada parut uterus.
6
Ruptura uteri spontan
Yang dimaksudkan ialah ruptura uteri yang terjadi secara spontan pada uterus
yang utuh (tanpa parut). Faktor pokok di sini ialah bahwa persalinan tidak maju karena
rintangan, misalnya panggul sempit, hidrosefalus, janin dalam letak lintang dan
sebagainya, sehingga segmen bawah uterus makin lama makin diregangkan. Pada suatu
saat regangan yang terus bertambah melampaui batas kekuatan jaringan miometrium:
terjadilah ruptura uteri. Faktor yang merupakan predisposisi terhadap terjadinya ruptura
uteri ialah multiparitas; di sini ditengah-tengah miometrium sudah terdapat banyak
jaringan ikat yang menyebabkan kekuatan dinding uterus menjadi kurang, sehingga
regangan lebih mudah menimbulkan robekan. Oleh banyak penulis dilaporkan pula
bahwa kebiasaan yang dilakukan oleh dukun-dukun memudahkan timbulnya ruptura
uteri. Pada persalinan yang kurang lancar, dukun-dukun itu biasanya melakukan tekanan
keras ke bawah terus-menerus pada fundus uteri; hal ini dapat menambah tekanan pada
segmen bawah uterus yang sudah regang dan mengakibatkan terjadinya ruptura uteri.
Pemberian oksitosin dalam dosis yang terlampau tinggi dan/atau atas indikasi yang tidak
tepat, bisa pula menyebabkan ruptura uteri.
Gejala-gejala
Sebelum terjadi ruptura uteri umumnya penderita menunjukkan gejala-gejala
ruptura uteri membakat. Ia gelisah, pernapasan dan nadi menjadi cepat serta dirasakan
nyeri terus menerus di perut bawah. Segmen bawah uterus tegang, nyeri pada perabaan
dan lingkaran retraksi (Bandl) tinggi sampai mendekati pusat, ligamenta rotunda tegang.
Pada saat terjadinya ruptura uteri penderita kesakitan sekali dan merasa seperti ada yang
robek dalam perutnya; tidak lama kemudian is menunjukkan gejala-gejala kolaps dan
jatuh dalam syok. Pada waktu robekan terjadi perdarahan; pada ruptura uteri kompleta
untuk sebagian mengalir ke rongga perut dan untuk sebagian keluar per vaginam.
Seringkali seluruh atau sebagian janin masuk ke dalam rongga perut; pada pemeriksaan
vaginal bagian bawah janin tidak teraba lagi atau teraba tinggi dalam jalan lahir. Pada
ruptura uteri inkompleta perdarahan yang biasanya tidak seberapa banyak, berkumpul di
bawah peritoneum atau mengalir keluar. Janin umumnya tetap tinggal di uterus. Pada
7
pemeriksaan ditemukan seorang wanita pucat dengan nadi yang cepat dan dengan
perdarahan pervaginam. Segera setelah ruptura uteri terjadi, dan janin masuk ke dalam
rongga perut, is dapat diraba dengan jelas pada pemeriksaan luar, dan di sampingnya
ditemukan uterus sebagai benda sebesar kepala bayi. Lambat laun perut menunjukkan
meteorismus kadang-kadang disertai defense musculaire dan janin lebih sukar diraba.
Pada ruptura uteri kompleta kadangkadang juga pada pemeriksaan vaginal, robekan dapat
diraba, demikian pula usus dalam rongga perut melalui robekan.
Ruptura uteri traumatik
Ruptura uteri yang disebabkan oleh trauma dapat terjadi karena jatuh, kecelakaan
seperti tabrakan dan sebagainya. Robekan demikian itu yang bisa terjadi pada setiap saat
dalam kehamilan, jarang terjadi karena rupanya otot uterus cukup tahan terhadap trauma
dari luar. Yang lebih sering terjadi ialah ruptura uteri yang dinamakan ruptura uteri
violenta. Di sini karena distosia sudah ada regangan segmen bawah uterus dan usaha
vaginal untuk melahirkan janin mengakibatkan timbulnya ruptura uteri. Hal itu misalnya
terjadi pada versi ekstraksi pada letak lintang yang dilakukan bertentangan dengan syarat-
syarat untuk tindakan tersebut. Kemungkinan besar yang lain ialah ketika melakukan
embriotomi. Berhubung dengan itu, setelah tindakan-tindakan tersebut di atas dan juga
setelah ekstraksi dengan cunam yang sukar, perlu dilakukan pemeriksaan kavum uteri
dengan tangan untuk mengetahui apakah terjadi ruptura uteri. Gejala-gejala ruptura uteri
violenta tidak berbeda dari ruptura uteri spontan.
Ruptura uteri pada parut uterus
Ruptura uteri demikian ini terdapat paling sering pada parut bekas seksio sesarea;
peristiwa ini jarang timbul pada uterus yang telah dioperasi untuk mengangkat mioma
(miomektomi), dan lebih jarang lagi pada uterus dengan parut karena kerokan yang
terlampau dalam. Di antara parut-parut bekas seksio sesarea, parut yang terjadi sesudah
seksio sesarea klasik lebih sering menimbulkan ruptura uteri daripada parut bekas seksio
sesarea profunda. Perbandingannya ialah 4:1. Hal ini disebabkan oleh karena luka pada
segmen bawah uterus yang menyerupai daerah uterus yang lebih tenang dalam masa nifas
dapat sembuh dengan lebih balk, sehingga parut lebih kuat. Ruptura uteri pada bekas
8
parut seksio sesarea klasik juga lebih sering terjadi pada kehamilan tua sebelum
persalinan mulai, sedang peristiwa tersebut pada parut bekas seksio sesarea profunda
umumnya terjadi pada waktu persalinan. Ruptura uteri pasca seksio sesarea bisa
menimbulkan gejala-gejala seperti telah diuraikan lebih dahulu, akan tetapi bisa juga
terjadi tanpa banyak menimbulkan gejala. Dalam hal yang terakhir ini tidak terjadi
robekan secara mendadak, melainkan lambat laun jaringan di sekitar bekas luka menipis
untuk akhirnya terpisah sama sekali dan terjadilah ruptura uteri. Di sini biasanya
peritoneum tidak ikut serta, sehingga terdapat ruptura uteri inkompleta. Pada peristiwa ini
ada kemungkinan arteria besar terbuka dan timbul perdarahan yang untuk sebagian
berkumpul di ligamentum latum dan untuk sebagian keluar. Biasanya janin masih tinggal
dalam uterus dan his kadang-kadang masih ada.
Sementara itu penderita merasa nyeri spontan atau nyeri pada perabaan tempat
bekas luka. Jika arteria besar terluka, gejala-gejala perdarahan dengan anemia dan syok
janin dalam uterus meninggal pula.
b. Partus Kasep
Partus kasep adalah suatu keadaan persalinan yang mengalami kemacetan dan
berlangsung lama sehingga menimbulkan komplikasi baik pada ibu dan ataupun janin
Partus kasep menurut Harjono adalah merupakan fase terakhir dari suatu partus yang
macet dan berlangsung terlalu lama sehingga timbul gejala-gejala seperti dehidrasi,
infeksi, kelelahan ibu, serta asfiksia dan kematian janin dalam rahim.
1. Komplikasi pada ibu
Edema vagina / vulva .
Edema porsio.
Ruptur uteri.
Banyak penulis melaporkan dan sepakat bahwa kebiasaan yang dilakukan oleh
dukun-dukun memudahkan terjadinya ruptur uteri. Pada persalinan yang kurang lancar,
dukun-dukun biasanya melakukan tekanan-tekanan keras ke bawah terus menerus pada
fundus uteri, hal ini dapat menambah tekanan pada segmen bawah rahim yang sudah
teregang dan mengakibatkan ruptur uteri.
- Febris, yaitu temperatur rektal 37.6 C.
9
- Dehidrasi.
- Tanda infeksi intrauterin.
2. Komplikasi pada janin
Kaput suksedanium yang besar, karena kepala janin tertekan terlalu lama.
Fetal distess, yang ditandai dengan gerak anak yang berkurang,
takikardi/bradikardi, dan air ketuban yang bercampur mekonium
Kematian janin
Trauma dapat terjadi setelah terjadinya kelahiran yang lama, terutama jika pasien
pada pasien terdapat cephalopelvic disproportion (CPD) baik relatif maupun absolut dan
uterus telah dirangsang dengan oksitosin maupun prostaglandin. Menggunakan monitor
tekanan intrauterin dapat mengurangi resiko ini.
c. Laserasi Jalan Lahir
Laserasi serviks sering terjadi pada kelahiran dengan bantuan forceps, dan serviks
harus selalu diinspeksi setelah kelahiran dengan menggunakan teknik ini. Kelahiran
pervaginam dengan bantuan alat (forceps atau vacuum) tidak boleh dilakukan tanpa
adanya dilatasi serviks yang lengkap. Laserasi pada serviks dapat terjadi secara spontan.
Pada kasus ini, ibu sering tidak dapat menahan lahirnya bayi walaupun belum terjadi
bukaan lengkap. Sangat jarang dimana serviks diinsisi pada posisi jam 2 dan 10 untuk
memfasilitasi kelahiran kepala yang terjebak pada saat kelahiran sungsang (insisi
Duhrssen).
Laserasi pada dinding samping vagina sering terjadi pada kelahiran dengan
bantuan forceps, dan dapat juga terjadi secara spontan, tertutama jika terdapat presentasi
ganda dimana terdapat tangan bayi bersamaan dengan kepala. Laserasi mungkin dapat
terjadi saat manipulasi untuk melahirkan distosia bahu. Laserasi sering terjadi pada
daerah yang menutupi spina ischiadica. Frekuensi laserasi dinding samping vagina dan
serviks sekarang mungkin telah berkurang, berhubung dengan telah jarangnya digunakan
forceps midpelvis dan khususnya prosedur rotasi midpelvis.
Trauma pada dinding vagina bagian bawah dapat terjadi spontan maupun oleh
karena episiotomi. Laserasi spontan biasanya melibatkan fourchette posterior.
10
Trauma juga dapat terjadi oleh karena manipulasi fetus baik internal maupun
eksternal. Resiko tertinggi kemungkinan berhubungan dengan versi internal dan ekstraksi
bayi kembar yang kedua. Namun ruptur uteri juga dapat terjadi sekunder dari versi
eksternal.
Trauma dapat terjadi sekunder dari usaha untuk mengeluarkan plasenta yang
mengalami retensio baik secara manual maupun dengan instrumentasi. Uterus harus
selalu dikendalikan dengan tangan pada abdomen saat melakukan prosedur tersebut.
Injeksi salin/oksitosin melalui vena intraumbilikal dapat mengurangi perlunya teknik
pengeluaran yang lebih invasif.
2.2.4 THROMBOSIS
Beberapa saat memasuki periode postpartum, gangguan sistem koagulasi dan platelet
tidak selalu langsung menyebabkan perdarahan yang masif. Hal ini disebabkan oleh karena
efisiensi dari kontraksi dan retraksi uterus untuk mencegah perdarahan (Baskett, 1999).
Deposisi fibrin di tempat melekatnya plasenta dan clots di dalam pembuluh darah yang
mensuplai darah ke plasenta memegang peranan penting dalam beberapa jam setelah partus,
dan abnormalitas pada sistem ini dapat menyebabkan perdarahan post partum sekunder.
2.3 Patofisiologi
Selama kehamilan volume darah ibu meningkat hingga kira-kira 50% (dari 4 Liter menjadi 6
Liter). Volume plasma meningkat lebih dari volume total RBC, menyebabkan menurunnya
konsentrasi hemoglobin dan hematokrit. Peningkatan volume darah bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan perfusi unit uteroplasenta dan untuk menyediakan cadangan untuk
kehilangan darah saat kelahiran. (Cunningham, 2001).
Saat aterm, perkiraan aliran darah menuju ke uterus adalah sekitar 500-800ml/menit,
yaitu sekitar 10-15% dari cardiac output. Sebagian besar aliran ini melewati plasenta bed
dengan tahanan rendah. Pembuluh darah uterus yang menyuplai plasenta bed menembus
suatu anyaman serat-serat myometrium. Saat serat-serat otot ini berkontraksi setelah
kelahiran, retraksi uterus lalu terjadi. Retraksi adalah sifat unik dari otot-otot uterus untuk
mempertahankan ukurannya yang pendek setelah terjadinya kontraksi yang terus menerus.
Pembuluh-pembuluh darah lalu terjepit dan terpelintir oleh anyaman otot ini dan dalam
11
keadaan normal, aliran darah dengan cepat akan teroklusi. Susunan serat-serat otot ini sering
dikenal sebagai ‘living ligatures’ atau ‘physiologic sutures’ dari uterus.
Atonia uteri adalah kegagalan dari serat-serat myometrium untuk berkontraksi dan
retraksi. Hal ini adalah penyebab utama terjadinya perdarahan postpartum dan biasanya
terjadi segera setelah kelahiran bayi hingga 4 jam setelah kelahiran. Trauma pada traktus
genitalis (uterus, serviks, vagina, labia, klitoris) pada saat kehamilan menghasilkan
perdarahan yang lebih banyak daripada keadaan tidak hamil karena peningkatan aliran darah
ke jaringan-jaringan ini.
2.4 Gejala Klinis
Walaupun gejala klinis yang tampak pada perdarahan postpartum paling sering terjadi
secara dramatis, namun perdarahan dapat terjadi secara lambat dan terlihat tidak berarti tetapi
pada akhirnya dapat menyebabkan hilangnya darah hingga batas kritis dan terjadi shock.
Perawatan rutin pada periode postpartum harus meliputi observasi dan dokumentasi vital sign
dan kondisi, hilangnya darah pervaginam, dan tonus dan ukuran uterus. Uterus harus secara
periodik dimasase untuk mengeluarkan clots yang terakumulasi di uterus maupun di vagina.
Presentasi yang umum dari perdarahan postpartum adalah adanya perdarahan
pervaginam yang masif yang secara cepat akan menyebabkan timbulnya tanda-tanda shock
hipovolemik. Hilangnya darah secara cepat ini merefleksikan kombinasi dari tingginya aliran
darah uterus dan penyebab yang paling sering dari perdarahan postpartum yaitu atonia uterus.
Perdarahan biasanya terlihat pada introitus, dan hal ini terjadi jika plasenta telah lahir. Jika
plasenta masih in situ, maka sejumlah darah yang signifikan mungkin tertahan di dalam
uterus di belakang plasenta yang baru terpisah sebagian, pada membran, atau keduanya.
Bahkan setelah lahirnya plasenta, darah dapat terakumulasi pada uterus yang atonik.
Untuk alasan ini, maka ukuran dan tonus uterus harus terus dimonitor pada kala III dan juga
pada kala IV, setelah lahirnya plasenta. Jika penyebab perdarahan bukan oleh karena atonia
uterus, maka hilangnya darah mungkin berlangsung lebih lambat dan gejala-gejala klinis
hipovolemia baru tampak setelah beberapa waktu. Perdarahan yang berasal dari trauma
mungkin tersamar dalam bentuk hematoma pada retroperitoneum, broad ligament atau
traktur genitalia bagian bawah, atau cavum abdomen. Gejala klinis hipovolemia dapat dilihat
pada tabel 1 dibawah ini.
12
Jumlah darah
yang Hilang (ml)
Tekanan darah
(sistolik)
Gejala dan Derajat shock
500-1000
(10-15%)
Normal Palpitasi, takikardi,
pusing
Dapat dikompensasi
1000-1500
(15-25%)
Sedikit turun
(80-100 mmHg)
Lemas, takikardi,
berkeringat
Ringan
1500-2000
(25-35%)
Turun sedang
(70-80 mmHg)
Pucat, oliguri,
gelisah
Sedang
2000-3000
(35-50%)
Turun drastis
(50-70 mmHg)
Kolaps, sesak napas,
anuria
Berat
2.5 Diagnosis
Perdarahan postpartum biasanya bermanifestasi sangat cepat, sehingga prosedur
diagnostik yang dapat dilakukan umumnya terbatas pada pemeriksaan fisik dari struktur yang
terlibat.
Asesmen tonus uterus dan ukurannya dikerjakan dengan meletakkan satu tangan pada
fundus dan mempalpasi bagian anterior dari uterus. Adanya uterus yang lunak baik dengan
perdarahan pervaginam berat ataupun meningkatnya ukuran uterus menandakan adanya
atonia uterus. Adanya atonia uterus dan perdarahan biasanya mencegah diagnosis perdarahan
postpartum oleh sebab yang lain, oleh karena ketidakmampuan untuk memvisualisasikan
organ yang lain. Untuk alasan ini dan oleh karena hilangnya darah dengan cepat sekunder
karena atonia, manajemen dan kontrol atonia adalah yang paling utama.
Jika plasenta telah dilahirkan, dari pemeriksaan mungkin ditemukan adanya bagian
yang mengalami retensio. Jika belum dilahirkan atau jika gumpalan darah mengalami retensi
atau fragmen plasenta menyebabkan distensi plasenta dan perdarahan terus terjadi, maka
eksplorasi manual dan pengeluaran harus segera dilakukan. Tindakan ini juga sekaligus
terapeutik dengan jalan mengosongkan uterus dan memungkinkan terjadinya kontraksi, juga
untuk membantu diagnosis adanya plasenta akreta dan ruptur uterus. Laserasi vagina dan
serviks juga dapat dipalpasi pada pemeriksaan ini.
13
Jika atonia uterus telah diatasi dan perdarahan dari yang bersumber dari uterus
minimal, pemeriksaan yang teliti dilakukan pada traktus genitalis bagian bawah untuk
mencari sumber perdarahan pada area ini. Palpasi dan inspeksi juga dapat dilakukan untuk
menemukan hematoma. Serviks dan vagina harus seluruhnya diinspeksi.
2.6 Pencegahan Perdarahan Post Partum
Mencegah atau sekurang-kurangnya bersiap siaga pada kasus-kasus yang disangka
akan terjadi perdarahan adalah penting. Tindakan pencegahan tidak saja dilakukan sewaktu
bersalin, namun sudah dimulai sejak ibu hamil dengan melakukan antenatal care yang baik.
Ibu-ibu yang mempunyai predisposisi atau riwayat perdarahan postpartum sangat dianjurkan
untuk bersalin di rumah sakit.
Di rumah sakit diperiksa keadaan fisik, keadaan umum, kadar Hb, golongan darah,
dan bila mungkin tersedia donor darah. Sambil mengawasi persalinan, dipersiapkan
keperluan untuk infus dan obat-obatan penguat rahim (uterotonika). Setelah ketuban pecah
kepala janin mulai membuka vulva, infus dipasang dan sewaktu bayi lahir diberikan 1 ampul
methergin atau kombinasi dengan 5 satuan sintosinon (=sintometrin intravena). Hasilnya
biasanya memuaskan.
2.7 Terapi
Terapi medis: penanganan pasien dengan perdarahan postpartum terdiri dari 2 komponen
utama, yaitu:
1) Resusitasi dan manajemen perdarahan obstetrik dan, kemungkinan juga shock
hipovolemik
2) Identifikasi dan manajemen dari penyebab perdarahan.
Penanganan perdarahan postpartum yang berhasil memerlukan kedua hal tersebut di atas
dilakukan secara simultan dan sistematis.
2.7.1 MANAJEMEN PERDARAHAN OBSTETRIK
Pasien dengan perdarahan postpartum memerlukan tindakan agresif untuk mengembalikan
dan memelihara volume darah yang beredar (dan sekaligus tekanan perfusi) pada struktur-
14
struktur vital. Semua unit medis yang terlibat dalam penanganan ibu hamil harus memiliki
protokol untuk manajemen perdarahan obstetrik.
Diagnosis perdarahan postpartum ditegakkan dengan observasi jumlah perdarahan
dan keadaan klinis pasien. Jumlah darah yang hilang dan tingkat kesadaran pasien dan vital
signs dimonitor secara kontinyu. Setelah diagnosis ditegakkan, segera beritahu petugas yang
diperlukan. Tingkat keparahan dan penyebab perdarahan menentukan juga petugas khusus
mana yang perlu dipanggil, tetapi minimal 1 dokter spesialis kandungan dan 1 petugas
anestesi diperlukan. Bidan dan perawat yang memiliki skill dan berpengalaman sangat
penting. Memberitahu pusat penyedia darah juga penting, sehingga ketersediaan produk
darah dapat segera terpenuhi jika diperlukan dengan segera. Pastikan ketersediaan ruang
operasi.
Resusitasi Cairan
Resusitasi cairan pada wanita yang mengalami perdarahan obstetrik kadang-kadang
dilakukan terlalu konservatif. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena:
1) perdarahan yang terjadi sering dianggap remeh
2) wanita biasanya mempunyai kemampuan untuk mengkompensasi hilangnya darah
saat dalam keadaan sehat dan karena keadaan hipervolemia saat kehamilan
3) pertimbangan dalam over resusitasi yang ditakutkan dapat menyebabkan edema
pulmoner
4) kegagalan untuk mengetahui gangguan keseimbangan cairan tubuh
Segera laksanakan resusitasi cairan. Meninggikan kaki dapat meningkatkan venous
return dan konsisten dengan posisi yang digunakan untuk melakukan diagnosa dan
menangani penyebab perdarahan. Berikan oksigen dan peroleh akses ke intravena. Semua
line intravena (IV) dimulai sejak di ruang bersalin dan jika mungkin digunakan kanula
dengan ukuran yang sufisien jika perdarahan postpartum menjadi berat. IV line dengan
ukuran 14G dapat memasukkan 2 kali lipat cairan jika dibandingkan dengan 18G dalam
periode waktu yang sama. Saat inpartu, pasang setidaknya 1 IV line pada ibu dengan resiko
perdarahan postpartum, dan pertimbangkan pemasangan IV line kedua pada ibu dengan
resiko yang sangat tinggi.
15
Lakukan resusitasi awal dengan volume besar cairan kristaloid, seperti normal saline
(NS) ataupun ringer lactate (RL), melalui jalur intravena perifer. Akses vena sentral tidak
diperlukan pada sebagian besar pasien dengan perdarahan postpartum, namun jika diperlukan
tindakan ini tidak boleh ditunda. Ambil darah untuk pemeriksaan dasar. NS adalah cairan
yang cocok digunakan oleh karena harganya yang murah dan kompatibilitasnya dengan
sebagian besar obat dan tranfusi darah. Resiko hiperkloremik asidosis sangat jarang terjadi
pada perdarahan postpartum. Jika lebih dari 10 Liter kristaloid digunakan, maka
pertimbangkan untuk menggunakan larutan RL.
Cairan yang mengandung dextrose, seperti dextrose 5% dalam air, tidak memiliki
peran berarti dalam penanganan perdarahan postpartum. Hilangnya 1 Liter darah
memerlukan penggantian 4-5 Liter kristaloid karena sebagian besar kristaloid yang masuk
tidak ditahan dalam ruang intravaskuler melainkan masuk ke ruang interstisial. Hal ini akan
menyebabkan edema beberapa hari setelahnya. Ginjal yang sehat dengan mudah akan
mengeksresikan cairan yang berlebihan ini. Lakukan pemberian awal kristaloid yang tidak
terbatas, dengan tujuan infus adalah mengganti volume yang hilang dalam beberapa menit.
Perdarahan postpartum hingga 1500 mL pada wanita hamil yang normal dapat ditangani
dengan pemberian kristaloid saja jika penyebab perdarahan dapat dihentikan. Hilangnya
darah umumnya memerlukan tambahan tranfusi PRBC.
Karena sebagian besar volume kristaloid akan berpindah ke ruang interstisial, maka
penggunaan koloid untuk resusitasi telah diteliti. Koloid sebagian besar akan tertahan di
ruang intravaskuler, yang termasuk albumin, dextran, hidroxyethyl starch (HES), dan gelatin
yang dimodifikasi. Volume koloid yang banyak (>1000-1500 mL/hari) dapat menyebabkan
efek samping pada hemostasis. Tidak ada cairan koloid yang telah diteliti memiliki kelebihan
terhadap NS, dan karena harganya yang mahal dan efek samping yang disebabkannya, maka
kristaloid lebih direkomendasikan untuk resusitasi.
Transfusi Darah
Segera siapkan transfusi darah jika perdarahan terjadi terus menerus dan diperkirakan telah
melebihi 2000 mL atau keadaan klinis pasien mencerminkan keadaan ke arah shock
walaupun telah dilakukan resusitasi cairan yang agresif. Data dari berbagai sumber
mendapatkan bahwa hanya 1 dari 16-40 wanita yang mengalami perdarahan postpartum
16
memerlukan transfusi jika manajemen aktif kala tiga digunakan, sedangakan jika manajemen
ekspektasi digunakan didapatkan 1 dari 9 wanita memerlukan tranfusi.
Whole blood sudah jarang ditemukan pada sebagian besar tempat, dan untuk banyak
alasan, maka PRBC digunakan bersamaan dengan komponen-komponen darah lainnya dan
diberikan jika ada indikasi. Sebagian besar unit medis harus memiliki akses terhadap PRBC
O-type Rh-negatif yang belum dicrossmatch untuk persiapan mengatasi perdarahan yang
sangat masif. Sediakan darah yang telah dicrossmatch untuk tranfusi dalam 30 menit. Petugas
medis harus mengetahui kemampuan unit penyedia darah untuk menyediakan darah sesuai
dengan waktu, tipe dan jumlah yang diperlukan dalam keadaan darurat. Komunikasi yang
baik dengan unit transfusi sangat penting.
Tujuan dari tranfusi adalah segera melakukan transfusi 2-4 U PRBC untuk
menggantikan kapasitas pengangkutan oksigen yang hilang dan untuk mengganti volume
cairan yang hilang. Gunakan infus set dengan filter khusus, dan gunakan penghangat darah
jika infus rate >100mL/min atau total volume yang ditransfusikan tinggi. Resiko dari
transfusi antara lain adalah infeksi, reaksi transfusi, dan perkembangan antibodi atipikal.
Resiko terjadinya hipotermia dicegah dengan penggunaan penghangat darah.
Respons terhadap Resusitasi
Monitor tingkat kesadaran pasien, nadi, tekanan darah, dan urine output selama dilakukan
resusitasi. Urine output sebanyak 30 mL/jam mengindikasikan perfusi ginjal yang adekuat.
Monitor juga CBC count, koagulasi, dan gas darah untuk melihat status asam-basa. Pulse
oximetry juga sangat berguna untuk memonitor perfusi jaringan dan saturasi oksigen.
Auskultasi paru dapat membantu mendeteksi terjadinya edema pulmoner atau perkembangan
acute respiratory distress syndrome (ARDS). Pada pasien kritis yang mengalami perdarahan
terus menerus, pemasangan central venous line dapat berguna dalam resusitasi. Pemasangan
arterial line juga dapat membantu monitoring tekanan darah. Tetapi hanya sedikit pasien
dengan perdarahan postpartum yang memerlukan monitoring invasif seperti itu.
2.7.2 MANAJEMEN FAKTOR PENYEBAB PERDARAHAN POSTPARTUM
a. Atonia Uteri
Tergantung pada banyaknya perdarahan dan derajat atonia uteri, dibagi dalam 3 tahap:
17
Tahap I Perdarahan yang tidak begitu banyak dapat diatasi dengan cara
pemberian uterotonika, mengurut rahim (massage), dan memasang gurita.
Tahap II Bila perdarahan belum berhenti dan bertambah banyak, selanjutnya
berikan infus dan transfusi darah dan dapat dilakukan:
- perasat (maneuver) Zangemeister
- perasat (maneuver) Fritch
- kompresi bimanual
- kompresi aorta
- tamponade utero-vaginal
- jepitan arteri uterina dengan cara Henkel.
Tamponade utero-vaginal walaupun secara fisiologis tidak tepat, hasilnya masih
memuaskan, terutama di daerah pedesaan di mana fasilitas lainnya sangat minim atau
tidak ada.
Tahap III Bila semua upaya di atas tidak menolong juga, maka usaha terakhir
adalah menghilangkan sumber perdarahan, dapat ditempuh dua cara, yaitu dengan
meligasi arteri hipogastrika atau histerektomi.
b. Trauma traktus genitalis:
Trauma pada traktus genitalis adalah penyebab perdarahan postpartum yang paling
mungkin jika uterus berkontraksi baik. Gunakan analgesia yang tepat serta cahaya dan
posisi yang baik dalam bekerja.
Visualisasikan secara langsung dan inspeksi serviks dengan bantuan ring forceps.
Anterior lip dijepit dan serviks diinspeksi dengan menggunakan ring forceps kedua yang
diletakkan pada arah jam 2, diikuti dengan gerakan memutar sehingga semua
sirkumferensial dapat diinspeksi. Laserasi kecil dan tidak berdarah pada serviks tidak
memerlukan penjahitan. Jahit semua perdarahan yang lebih panjang dari 2 cm.
Gunakan benang absorbable (catgut atau polyglycolic), dengan jahitan jelujur
interlocking (Feston) untuk semua repair kecuali untuk kulit perineum. Pastikan semua
jahitan dimulai diatas apex dari robekan. Jika apex tidak dapat divisualisasikan, jahit
setinggi mungkin lalu gunakan untuk menarik sehingga apex robekan dapat terlihat.
Laserasi diobservasi perdarahannya setelah robekan selesai dijahit.
18
Laserasi pada liang vagina harus divisualisasikan dengan baik dan sejauh mana
laserasi yang terjadi harus diketahui sebelum melakukan repair. Laserasi yang terletak
tinggi pada liang vagina dan tampak ekstensi dari serviks kemungkinan dapat melibatkan
uterus atau menuju ke broad ligament atau hematoma retroperitoneal. Kedekatan organ
ureter pada forniks vagina lateral, dan dasar dari buli-buli pada forniks anterior, harus
dipertimbangkan dalam melakukan perbaikan, karena penempatan jahitan yang salah
dapat menyebabkan terjadinya fistula genitourinari. Jahitan dilakukan dengan
menggunakan benang absorbable, dengan teknik jelujur interlocking (Feston). Jahitan
harus dimulai dan diakhiri pada apex luka. Lalu, laserasi harus diobservasi untuk melihat
adanya perdarahan setelah repair selesai. Penekanan pada luka untuk mencapai
hemostasis dapat dilakukan.
c. Perdarahan pada kelahiran Cesarean:
Di masa lalu, sebagian besar perdarahan postpartum setelah persalinan pervaginam
adalah disebabkan oleh karena atonia uterus, namun, data terbaru menunjukkan bahwa
banyak kasus sekarang yang berhubungan dengan persalinan melalui Sectio Cesarean.
Ruptur uteri juga telah menjadi penyebab yang lebih sering terjadinya perdarahan
postpartum yang masif yang memerlukan tindakan histerektomi. Mayoritas kasus-kasus
ini adalah pasien dengan riwayat persalinan dengan Sectio Cesarean. Selalu lakukan
konseling pada pasien dengan riwayat plasenta previa dan terutama pasien dengan scar
segmen bawah uterus (SBR) pada saat antenatal care mengenai resiko terjadinya
perdarahan postpartum dan kemungkinan perlunya transfusi, bahkan histerektomi.
Pastikan pasien-pasien ini dirawat di fasilitas dengan sumberdaya yang mampu
menangani jika komplikasi terjadi.
Manajemen perdarahan setelah sectio cesarea maupun karena ruptur uteri tidak
berbeda jauh dengan kelahiran pervaginam. Resusitasi agresif dilakukan dengan tujuan
utama mengembalikan volume sirkulasi dan kapasitas pengangkutan oksigen serta
memperbaiki hemostasis. Kompresi bimanual dapat dilakukan jika terjadi atonia uteri.
Injeksi uterotonika langsung intramyometrium dapat dilaksanakan. Vasopressin (0.2 U
dalam 1 mL NS) dapat juga langsung diinjeksikan ke myometrium, dengan menghindari
pembuluh darah. Pembuluh darah pada plasenta bed dapat diligasi tersendiri untuk
19
menghentikan perdarahan. Jika reproduksi tidak dikehendaki lagi, maka segera
pertimbangkan histerektomi, juga jika perdarahan dan kerusakan pada uterus tampak
sangat berat.
d. Ruptur Uteri:
Untuk mencegah timbulnya ruptura uteri pimpinan persalinan harus dilakukan dengan
cermat, khususnya pada persalinan dengan kemungkinan distosia; dan pada persalinan
wanita yang pernah mengalami seksio sesarea atau pembedahan lain pada uterus. Pada
persalinan dengan kemungkinan distosia perlu diamat-amati terjadinya regangan segmen
bawah uterus dan apabila tanda-tanda itu ditemukan, persalinan harus diselesaikan
dengan segera, dengan cara yang paling aman bagi ibu dan anak. Mengenai pencegahan
ruptura uteri pada wanita yang pernah mengalami seksio sesarea, di beberapa negara
terdapat pendapat bahwa sekali seksio, seterusnya seksio. Pendirian ini tidak dianut di
Indonesia. Seorang wanita yang mengalami seksio sesarea untuk sebab yang hanya
terdapat pada persalinan yang memerlukan pembedahan itu untuk menyelesaikannya,
diperbolehkan untuk melahirkan pervaginam pada persalinan berikutnya. Akan tetapi ia
harus bersalin di rumah sakit, supaya diawasi dengan baik. Kala II tidak boleh
berlangsung terlalu lama dan pemberian oksitosin tidak dibenarkan. Ketentuan bahwa
tidak perlu dilakukan seksio sesarea ulangan pada wanita yang pernah mengalami seksio
sesarea tidak berlaku untuk seksio sesarea klasik.
Di sini, berhubung adanya bahaya yang lebih besar akan timbulnya ruptura uteri,
perlu dilakukan seksio sesarea. Malahan penderita hendaknya dirawat 3 minggu sebelum
jadwal persalinan. Dapat dipertimbangkan pula untuk melakukan seksio sesarea sebelum
persalinan mulai, asal kehamilannya benar-benar lebih dari 37 minggu. Apabila terjadi
ruptura uteri, tindakan yang terbaik ialah laparotomi. Janin dikeluarkan dahulu dengan
atau tanpa pembukaan uterus (hal yang terakhir ini jika janin sudah tidak dalam uterus
lagi), kemudian dilakukan histerektomi. Janin tidak dilahirkan pervaginam, kecuali jika
janin masih terdapat seluruhnya dalam uterus dengan kepala sudah turun jauh dalam jalan
lahir dan ada keragu-raguan terhadap diagnosis ruptura uteri. Dalam hal ini, setelah janin
di lahirkan, perlu diperiksa dengan satu tangan dalam uterus apakah ada ruptura uteri.
20
Pada umumnya pada ruptura uteri tidak dilakukan penjahitan luka dalam usaha
untuk mempertahankan uterus. Hanya dalam keadaan yang sangat istimewa hal itu
dilakukan; dua syarat dalam hal ini harus dipenuhi, yakni pinggir luka harus rata seperti
pada ruptura parut bekas seksio sesarea, dan tidak ada tanda-tanda infeksi. Pengobatan
untuk memerangi syok dan infeksi sangat penting dalam penanganan penderita dengan
ruptura uteri.
Histerektomi harus dipertimbangkan sebagai pilihan utama jika terjadi perdarahan
uterus yang terus menerus dan tidak dapat dihentikan, atau jika lokasi dari ruptur uteri
terletak di beberapa tempat, longitudinal, atau terletak di bagian bawah.
21
BAB III
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ni Luh Wayan Karyani
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 37 tahun
Status Nikah : Menikah
Agama : Hindu
Suku/Bangsa : Bali/Indonesia
Alamat : Blumbang, Bangli
Tanggal MRS : 5 Agustus 2008, pukul 20.10 WITA
ANAMNESIS
Keluhan utama : Perdarahan pervaginam
Perjalanan penyakit :
Pasien datang sadar dengan keluhan utama perdarahan pervaginam sejak pukul 18.00 (2
jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga mengatakan terdapat bercak-bercak darah
yang muncul sejak 2 hari yang lalu. Selain itu pasien juga mengeluh adanya sakit perut
yang muncul bersamaan dengan munculnya bercak darah. Sakit perut dirasakan hilang
timbul dan semakin memberat sejak 7 jam sebelum masuk rumah sakit dan disertai
sensasi ingin meneran. Pasien juga mengatakan perdarahan yang terjadi disertai dengan
keluarnya gumpalan-gumpalan darah dan jaringan janin.
HPHT = 18 Mei 2013
TP = 25 Februari 2014
Menarche : usia 14 tahun
Siklus : 28 hari (teratur)
Lamanya haid : 3-5 hari
Riwayat persalinan:
I. ♂, 14 tahun, 3600 gram, P spt B, bidan praktek, th 1999
22
II. ♂, 12 tahun, 3400 gram, P spt B, bidan praktek, th 2001
III. Ini
Riwayat kontrasepsi :
1. Pil
Riwayat pernikahan :
Riwayat penyakit sebelumnya :
Hipertensi (-), DM (-), Jantung (-), Asma (-)
Riwayat sosial :
PEMERIKSAAN FISIK
Status present
Keadaan Umum : sedang
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 110/70
Nadi : 80 kali per menit
Respirasi : 24 kali per menit
Suhu : 36º C
Status general
Kepala : normosefali
Mata : anemis -/-, ikterus -/-, cowong -/-
Thorax
Cor : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)
Pulmo : vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : turgor dbn, ~ st. obstetrik
Ekstremitas : edema (-), akral hangat
Status obstetrik
Abdomen : TFU ~ tidak teraba, distensi (-), BU (+), nyeri tekan (+)
Kontraksi baik
23
Vagina :
Insp. : v/v normal, flx (+), fl (-), p (-), fetus sudah keluar
Perdarahan aktif (-), stosel (+)
DIAGNOSIS
G3P2002 umur kehamilan 10-11 minggu debgab abortua inkomplit
PENATALAKSANAAN
Pdx : DL, BT, CT
Tx : Lapor dr.Ngurah, Sp.OG
IVFD RL 20tpm
Cefotaxim 2x1 gram
Observasi tanda-tanda pendarahan
Planning USG besok
LABORATORIUM
5 Agustus 2013 pukul 20.30
WBC 12,6 (
RBC 5,21
HGB 15,5
HCT 46,9
PLT 233
PERJALANAN PENYAKIT
Tanggal S O A P
6 Agustus
2013
Perut masih sakit, pusing,
tidal bisa tidur, lemas,
demam (-)
St present
T : 100/65mmHg N : 74x/menit
RR : 20 x/menit T.ax: 36,5
St. General ~ dbn
St obstetri
Abdomen: tfu:ttb
Djj (-) his (-)
Vagina : perdarahan aktif (-)
VT: porsio dilatasi 2 cm, teraba jaringan
di OUE, stosel (+), perdarahan aktif (-)
G3P2002 umur
kehamilam 10-11
minggu dengan
abortus inkomplit
IVFD RL 20 tpm + 2 iu
oxytoxin
Cefotaxim 2x1 gram
Puasa
Siapkan kuretase di IBS
Informed consent
Hubungi IBS/anestesi
16 Juni
2013
Pukul 06.00
Nyeri perineum dan anus
(+)
St.present
T : 120/80 N 80 x/menit
R : 18 x/menit T.ax : 36
P3013 P spt B PP
hari I + post
hecting rupture
24
St general ~ dbn
St.obstetri
TFU 3 jari b pst
Active bleeding (-)
perineum gr IV
17 Juni
2013
Pukul 06.00
Pusing (+) mual (-) muntah
(-) nyeri jahitan (+)
St present
T : 130/80 N 84 x/menit
R : 18 x/menit T.ax : 36
St.obstetri
TFU 3 jr b pst
Perdarahan aktif (-)
P3013 P spt B PP
hari II + post
hecting rupture
perineum gr IV
a/i dr.Novi,Sp.OG
lanjut transfusi PRC 1
kolf
18 Juni
2013
Pukul 06.00
Lemas (-) nyeri luka
jahitan (-) pusing (-) mual
(-) muntah (-) BAB (+)
BAK (+) mobilisasi aktif
(+) makan minum (+) baik
ASI (+)
KU baik
T 120/80
N 80 x/menit
Suhu 36
Hb 9,2 gr/dL
P3013 P spt B PP
hari III + post
hecting rupture
perineum gr IV
25