ABORTUS HABITUALIS_referat

30
ABORTUS HABITUALIS A. DEFINISI Abortus merupakan pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan, yaitu sebelum janin mencapai berat 500 gram atau kurang dari 20 minggu. 1,2,3,4,5,6 Abortus habitualis (Recurrent Miscarriage= recurrent spontaneous abortion = recurrent pregnancy loss) didefinisikan sebagai hilangnya hasil konsepsi 3 kali atau lebih berturut-turut pada usia kehamilan ≤20 minggu atau berat badan bayi <500 gram. Kebanyakan wanita dengan abortus habitualis kehilangan janin pada masa embrionik atau pada awal pertumbuhannya, dan sangat jarang yang mengalami abortus setelah usia kehamilan 14 minggu. Walaupun definisi abortus habitulis mencakup abortus yang terjadi sebanyak tiga kali atau lebih, banyak pula yang berpendapat bahwa keguguran yang dialami sebanyak dua kali berturut-turut dianggap sebagai abortus habitualis. Hal ini dikarenakan risiko untuk mengalami keguguran berulang setelah dua kali abortus akan sama dengan risiko setelah mengalami tiga kali abortus (kira-kira 30%). Walaupun demikian, keberhasilan kehamilan dapat mencapai 50% bahkan setelah enam kali keguguran. 1,5 1

description

Abortus merupakan pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan, yaitu sebelum janin mencapai berat 500 gram atau kurang dari 20 minggu.1,2,3,4,5,6Abortus habitualis (Recurrent Miscarriage= recurrent spontaneous abortion = recurrent pregnancy loss) didefinisikan sebagai hilangnya hasil konsepsi 3 kali atau lebih berturut-turut pada usia kehamilan ≤20 minggu atau berat badan bayi

Transcript of ABORTUS HABITUALIS_referat

Page 1: ABORTUS HABITUALIS_referat

ABORTUS HABITUALIS

A. DEFINISI

Abortus merupakan pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat

hidup di luar kandungan, yaitu sebelum janin mencapai berat 500 gram atau

kurang dari 20 minggu.1,2,3,4,5,6

Abortus habitualis (Recurrent Miscarriage= recurrent spontaneous

abortion = recurrent pregnancy loss) didefinisikan sebagai hilangnya hasil

konsepsi 3 kali atau lebih berturut-turut pada usia kehamilan ≤20 minggu atau

berat badan bayi <500 gram. Kebanyakan wanita dengan abortus habitualis

kehilangan janin pada masa embrionik atau pada awal pertumbuhannya, dan

sangat jarang yang mengalami abortus setelah usia kehamilan 14 minggu.

Walaupun definisi abortus habitulis mencakup abortus yang terjadi sebanyak tiga

kali atau lebih, banyak pula yang berpendapat bahwa keguguran yang dialami

sebanyak dua kali berturut-turut dianggap sebagai abortus habitualis. Hal ini

dikarenakan risiko untuk mengalami keguguran berulang setelah dua kali abortus

akan sama dengan risiko setelah mengalami tiga kali abortus (kira-kira 30%).

Walaupun demikian, keberhasilan kehamilan dapat mencapai 50% bahkan setelah

enam kali keguguran.1,5

Abortus habitualis seharusnya dibedakan dengan abortus sporadik.

Abortus sporadik menunjukkan bahwa kejadian abortus yang terjadi diselingi

dengan kehamilan aterm dimana wanita tersebut melahirkan bayi yang sehat.

Yang lainnya membedakan abortus rekuren primer (tidak ada kehamilan yang

berhasil) dengan abortus rekuren sekunder (kehamilan sebelumnya bayi lahir

hidup) dimana kelompok terakhir tersebut 32% tidak berisiko mengalami abortus

berulang sampai abortus tiga kali berturut-turut.5

B. EPIDEMIOLOGI

Kebanyakan penelitian menunjukkan angka keguguran spontan 10-15%.

Namun, angka keguguran pada awal kehamilan sebenarnya hampir mencapai 50%

karena tingginya jumlah kehamilan yang tidak diketahui dalam 2-4 minggu

1

Page 2: ABORTUS HABITUALIS_referat

setelah pembuahan. Sebagian besar abortus terjadi karena kegagalan pembentukan

gamet (misalnya, disfungsi sperma atau oosit). Dalam sebuah studi klasik oleh

Wilcox, dkk pada tahun 1988, 221 perempuan diamati selama 707 siklus

menstruasi total. Sebanyak 198 kehamilan dapat dicapai. Dari jumlah tersebut, 43

(22%) yang mengalami keguguran sebelum onset menstruasi, dan lain 20 (10%)

secara klinis diketahui mengalami abortus. Data dari berbagai penelitian

menunjukkan bahwa setelah 1 abortus spontan, risiko abortus selanjutnya adalah

sekitar 15%. Namun, jika 2 abortus spontan terjadi, risiko berikutnya meningkat

menjadi sekitar 30%. Angka ini lebih tinggi bagi perempuan yang belum memiliki

setidaknya 1 bayi lahir hidup. Beberapa kelompok telah memperkirakan bahwa

risiko abortus setelah 3 abortus berturut-turut adalah 30-45%, yang sebanding

dengan risiko pada wanita yang mengalami abortus 2 kali. Hal ini membuat

banyak kontroversi tentang waktu evaluasi diagnostik abortus habitualis. Banyak

spesialis memilih untuk menetapkan definisi abortus habitualis setelah 2 abortus

berturut-turut dibandingkan 3 kali berturut-turut.3

Pada umumnya penderita tidak sukar untuk hamil, tetapi kehamilannya

berakhir sebelum 28 minggu. Bishop melaporkan frekuensi 0,41% abortus

habitualis pada semua kehamilan.1

Menurut Malpas dan Eastman kemungkinan terjadinya abortus lagi pada

seorang wanita yang mengalami abortus habitualis ialah 73% dan 83,6%.

Sebaliknya Warton dan Fraser memberikan prognosis yang lebih baik yaitu 25,9%

dan 39%.1

C. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO

Penyebab terjadinya abortus habitualis sama dengan abortus sporadik,

walaupun hubungan insidensi berbeda antara keduanya. Sebagai contoh, abortus

pada trimester pertama kehamilan memiliki insiden kelainan genetik yang rendah.

Kariotipe normal ditemukan pada setengah kasus abortus rekuren, tetapi hanya

seperempat saja pada abortus sporadik. Waktu terjadinya abortus habitualis dapat

menggambarkan kausanya. Faktor genetik paling sering menyebabkan keguguran

2

Page 3: ABORTUS HABITUALIS_referat

embrionik, sedangkan kelainan autoimun atau anatomi lebih sering menyebabkan

abortus pada trimester kedua kehamilan.5

Abortus habitualis merupakan kondisi yang heterogen dan dapat lebih

dari satu faktor penyebabnya.6

1. Faktor Epidemiologi

a) Usia Ibu

Risiko abortus meningkat dengan bertambahnya usia ibu, tanpa

memperhatikan riwayat reproduksi, sebagai akibat dari kelainan

kromosom pada hasil konsepsi yang berhubungan dengan peningkatan

usia atau penurunan fungsi uterus dan ovarium.6,7 Berikut ini merupakan

hasil suatu studi tentang hubungan antara usia dengan risiko abortus

dalam kehamilan:6

- 13,3% pada usia 12-19 tahun

- 11,1% pada usia 20-24 tahun

- 11,9% pada usia 25-29 tahun

- 15% pada usia 30-34 tahun

- 24,6% pada usia 35-39%

- 51% usia 40-44 tahun

- 93,4% pada usia 45 tahun ke atas

Baru-baru ini peningkatan usia ayah dianggap sebagai suatu faktor risiko

terjadinya abortus. Suatu penelitian yang dilakukan di Eropa melaporkan

bahwa risiko abortus tertinggi ditemukan pada pasangan dimana usia

wanita ≥35 tahun dan pria ≥40 tahun.6

b) Riwayat reproduksi

Riwayat reproduksi merupakan faktor yang dapat memprediksi

suatu kehamilan di masa depan. Risiko abortus habitualis meningkat

setelah suatu abortus yang berulang terjadi (kira-kira 40%). Salah satu

yang penting dari riwayat reproduksi ini adalah riwayat abortus

sebelumnya. Sebagai contoh, primigravida dan wanita yang melahirkan

anak hidup memiliki 5% kemungkinan abortus pada kehamilan

3

Page 4: ABORTUS HABITUALIS_referat

berikutnya yang secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan

wanita memiliki riwayat abortus pada kehamilan sebelumnya (19%).6,7

2. Faktor Genetik

Kelainan kromosom pada embrio menyebabkan abortus sporadik pada

trimester pertama sekitar 50% dan 29% - 57% kejadian abortus pada

pasangan dengan abortus habitualis. Walaupun demikian, banyak studi

menggunakan analisis sitogenetik konvensional yang hanya mengidentifikasi

aberasi/penyimpangan kromosom. Baru-baru ini analisis jaringan dengan

hibridisasi genomik, suatu teknik yang mendeteksi kelainan kromosom tanpa

memerlukan kulturisasi menunjukkan bahwa analisis sitogenetika

konvensional tidak menganggap penting insiden anomali kromosom dan

bahwa kontribusi kromosom abnormal terhadap kejadian abortus pada

trimester pertama hampir 70%.6

a) Kelainan penyusunan kromosom parental

Abortus adalah kasus yang sangat sering terjadi dan dianggap

sebagai suatu seleksi alam untuk memilih keturunan yang normal.

Kenyataannya, ada studi yang mengatakan bahwa sedikitnya 50%

abortus disebabkan oleh karena kelainan kromosom.7 Sekitar 3% - 5%

pasangan dengan abortus habitualis, salah satu pasangannya membawa

kelainan kelainan struktural kromosom yang seimbang. Wanita lebih

mungkin menjadi carrier dibandingkan dengan laki-laki. Tipe kelainan

kromosom parental yang paling banyak adalah translokasi seimbang,

baik timbal balik (resiprokal) atau Robertsonian. Pada translokasi timbal

balik, segmen distal terbagi menjadi kromosom yang saling bertukar.

Pada translokasi Robertsonian, dua kromosom akrosentrik bersatu pada

wilayah sentromer dengan hilangnya lengan pendek. Walaupun carrier

translokasi seimbang ini memiliki fenotip yang normal, kehamilannya

berisiko tinggi berakhir sebagai abortus dan dapat mengakibatkan

lahirnya anak dengan cacat bawaan atau cacat mental karena pengaturan

kromosom yang tidak seimbang. Risiko abortus dipengaruhi oleh ukuran

dan isi genetik dari segmen kromosom yang diatur kembali.3,6

4

Page 5: ABORTUS HABITUALIS_referat

Translokasi yang seimbang menyebabkan abortus rekuren.

Translokasi yang tidak seimbang dapat menyebabkan abortus, anomali

fetus, atau bayi lahir mati. Walaupun demikian, prognosisnya masih baik

dan 85% pasangan dapat memiliki bayi yang sehat. Dengan demikian,

riwayat abortus atau anomali fetus pada trimester kedua seharusnya

dicurigai adanya kelainan pola kromosom pada salah satu pasangan.1,5

Gambar 1. Translokasi resiprokal dan Robertsonian6

b) Aneuploidi dan poliploidi embrionik

Aneuploidi disebabkan oleh nondisjungsi selama meiosis yang

menghasikan kromosom tambahan (trisomi) atau hilangnya kromosom

(monosomi). Triploidi dan tetraploidi terkait dengan fertilisasi yang tidak

normal. Triploidi biasanya terjadi karena fertilisasi oosit oleh dua

spermatozoa atau akibat kegagalan salah satu bagian pematangan baik

pada oosit maupun pada spermatozoa. Tetraploidi (empat kali jumlah

haploid) biasanya disebabkan kegagalan untuk menyelesaikan pemisahan

zigotik pertama. Pada pasangan dengan abortus habitualis, analisis

sitogenetik konvensional melaporkan insiden trisomi, poliploidi dan

monosomi X pada jaringan adalah 30%, 9% dan 4%.3,6,7

Kebanyakan kelainan kromosom utama adalah trisomi autosomal,

polipoid dan monosomi X. Kebanyakan kelainan trisomi menunjukkan

5

Page 6: ABORTUS HABITUALIS_referat

kesalahan tahap meiosis sebagai efek peningkatan usia ibu, dengan

kromosom 16 dan 22 paling sering terlibat. Sekitar 30% abortus spontan

karena kelainan kromosom adalah tipe triploid dan tetraploid. Fetus yang

triploid biasanya memiliki kromosom 69, XXY atau 69, XXX dan

berasal dari fertilisasi dispermik seperti yang telah disebutkan di atas.

Beberapa hasil konsepsi triploid muncul sebagai mola parsial yang

ditandai dengan kantong kehamilan yang besar dan degenerasi kistik

plasenta. Tetraploid jarang berkembang di bawah usia kehamilan 4 atau 5

minggu. Monosomi X merupakan kelainan kromosom tunggal yang

paling sering terjadi di antara aborsi spontan, kira-kira 15%-20% dari

seluruh kasus abortus.3,6,7

Risiko monosomi kromosom seks dan konsepsi polipoid tidak

meningkat sejalan dengan usia ibu. Beberapa pasangan dengan riwayat

abortus habitualis berisiko untuk mengalami aneuploidi rekuren.

Kariotipe embrionik pada kehamilan sebelumnya dapat membantu

memprediksi tingkat abortus. Wanita dengan kariotipe embrio normal

lebih sering mengalami keguguran dibandingkan dengan kariotipe

embrionik abnormal yang menunjukkan bahwa mekanisme lain selain

kromosom fetal yang abnormal dapat menjelaskan terjadinya beberapa

kasus abortus habitualis.3,5,6,7

c) Mekanisme molekuler.

Kemajuan terbaru teknologi genetika molekuler menyoroti

pentingnya mekanisme tertentu seperti mutasi gen tunggal dan inaktivasi

kromosom X pada etiologi abortus. Peran mutasi gen tunggal yang

menyebabkan kelainan pada embrio, perkembangan plasenta atau jantung

penting untuk diteliti. Wanita dengan inaktivasi kromosom X yang tidak

simetris mungkin membawa gen resesif terkait X pada janin yang

sifatnya mematikan sehingga rentan terjadi abortus berulang.

3. Kelainan anatomi

6

Page 7: ABORTUS HABITUALIS_referat

Sejumlah kelainan anatomi traktus genitalia mempengaruhi abortus

habitualis. 15% wanita dengan tiga atau lebih abortus secara berturut-turut

memiliki kelainan uterus baik yang bersifat kongenital ataupun yang didapat.

Kelainan uterus yang didapat misalnya sinekia intrauterine (sindrom

Asherman), leiomioma dan inkompeten serviks. Kelainan saat perkembangan

misalnya uterus bersepta, bikornuata dan unikornuata.5

a) Malformasi uterus kongenital

Malformasi uterus kongenital merupakan akibat dari gangguan

perkembangan, fusi, kanalisasi, dan reabsorpsi septal duktus Mullerian.

Peranan kelainan kongenital uterus terhadap abortus habitualis masih

belum jelas karena prevalensi yang sesungguhnya dan implikasi

reproduksi pada kelainan uterus pada populasi umum tidak diketahui.

Pada pasien dengan abortus berulang, frekuensi pasien dengan anomali

uterus bervariasi dari 1,8% - 37,6%. Variasi ini terjadi akibat perbedaan

dalam kriteria dan teknik yang digunakan untuk mendiagnosisnya dan

fakta bahwa studi yang dilakukan melibatkan wanita dengan dua, tiga

atau lebih riwayat abortus pada tahap awal dan akhir kehamilan.

Prevalensi kelainan uterus paling tinggi ditemukan pada wanita dengan

riwayat abortus terakhir yang mencerminkan prevalensi serviks

inkompeten pada wanita dengan malformasi uterus.6

7

Gambar 2. Jenis-jenis anomali mullerian6

Page 8: ABORTUS HABITUALIS_referat

Dengan menggunakan USG tiga dimensi sebagai alat diagnostik,

sebuah studi prospektif baru-baru ini melaporkan bahwa frekuensi

anomali uterus adalah sekitar 23,8% pada wanita dengan abortus

habitualis pada trimester pertama dibandingkan dengan frekuensi 5,3%

pada wanita dengan risiko rendah. Selanjutnya, distorsi anatomi uterus

lebih parah ditemukan pada wanita dengan abortus berulang. Penemuan

ini menunjukkan bahwa anomali kongenital uterus dapat menyebabkan

terjadinya abortus pada sebagian kecil wanita dengan abortus habitualis.

Pada suatu studi retrospektif, pasien dengan anomali uterus yang tidak

ditangani cenderung memiliki risiko tinggi abortus dan partus prematurus

dan tingkat partus aterm hanya 50% saja.6

Retroversio uteri, mioma uteri atau kelainan bawaan uterus dapat

menyebabkan abortus. Tetapi, harus diingat bahwa hanya retroversio

uteri gravid inkarserata atau mioma submukosa yang memegang peranan

penting.1

b) Serviks inkompeten

Serviks inkompeten merupakan penyebab abortus habitualis pada

pertengahan trimester kehamilan (trimester kedua). Serviks inkompeten

adalah ketidakmampuan serviks untuk mempertahankan suatu kehamilan

oleh karena defek fungsi maupun struktur pada serviks. Serviks

inkompeten yang parah menyebabkan abortus pada midtrimester dan

derajatnya lebih rendah pada kasus dengan partus prematurus. Insiden

serviks inkompeten masih belum diketahui secara pasti karena

diagnosisnya ditegakkan secara klinis dan belum ada kriteria objektif

yang disetujui secara umum untuk mendiagnosis keadaan tersebut.

Secara kasar, suatu studi epidemiologi menunjukkan insiden terjadinya

serviks inkompeten adalah sekitar 0,5% pada populasi pasien obstetri

secara umum dan 8% pada wanita dengan abortus midtrimester

sebelumnya. Meskipun beberapa kasus serviks inkompeten melibatkan

inkompeten mekanik seperti hipoplasia serviks kongenital, riwayat

operasi serviks, dan trauma serviks yang luas, kebanyakan wanita dengn

8

Page 9: ABORTUS HABITUALIS_referat

diagnosis klinis serviks inkompeten memiliki anatomi serviks yang

normal. Pematangan serviks yang dini mungkin merupakan jalur akhir

dari berbagai proses patofisiologi seperti infeksi, kolonisasi, inflamasi

dan predisposisi genetik atau hormonal.1,6,7

Serviks merupakan barier mekanik yang memisahkan kehamilan

dari flora bakteri vagina. Banyak pasien dengan dilatasi serviks pada

midtrimester yang asimptomatis memiliki bukti adanya infeksi

intrauterine subklinis. Tidak jelas apakah ini merupakan invasi mikroba

akibat dilatasi serviks yang prematur. Ketika terjadi pematangan serviks

yang prematur, barier mekanik terganggu dan selanjutnya dapat

menyebabkan proses patologis (misalnya kolonisasi pada saluran kemih

bagian atas) yang berakhir pada kelahiran prematur spontan. Pada serviks

inkompeten yang berhubungan dengan kelainan mekanik, penanganan

suportif misalnya cerclage suture dapat mencegah infeksi dan dapat

memperpanjang masa kehamilan. Sebaliknya, jika perubahan pada

serviks adalah akibat proses non mekanik, maka cerclage menjadi kurang

efektif dan bahkan berbahaya dalam beberapa kasus karena kemungkinan

adanya komplikasi inflamasi dan infeksi.6

c) Fibroid

Jaringan fibroid pada uterus telah lama dihubungkan dengan

masalah reproduksi termasuk abortus. Hal tersebut dipengaruhi oleh

ukuran dan lokasi fibroid. Meskipun mekanisme yang terjadi belum

diketahui secara pasti, teori patofisiologi yang selama ini dipahami

adalah distorsi mekanik kavum uteri, vaskularisasi abnormal,

perkembangan endometrium yang abnormal, inflamasi endometrium,

lingkungan endometrium yang abnormal, dan kelainan struktural dan

kontraktil miometrium. Bukti adanya hubungan antara fibroid uterus dan

abortus habitualis bersifat retrospektif dan tidak cukup untuk menentukan

perbedaan dalam hasil kehamilan atau menilai efek ukuran dan lokasi

fibroid. Data terbaru dari pasien dengan infertilitas menunjukkan bahwa

hanya fibroid pada submukosa atau intrakavitas berhubungan dengan

9

Page 10: ABORTUS HABITUALIS_referat

tingkat implantasi yang menurun dan peningkatan kasus abortus. Fibroid

subserosa tidak memiliki efek merusak dan peranan fibroid intramural

yang tidak mendistorsi kavum uteri masih kontroversial.6

d) Adhesi intrauterin

Defek pada uterus dapat menyebabkan kesulitan reproduksi pada

seorang wanita, termasuk kejadian abortus pada trimester pertama dan

kedua kehamilan, persalinan preterm dan presentasi fetal yang abnormal.

Kelainan anatomi ini dapat bersifat kongenital, termasuk yang

berhubungan kelainan dietilstilbestrol, atau yang bersifat didapat seperti

adhesi intrauterin atau leiomyomata.7

Perlengketan atau adhesi intrauterin (sindrom Asherman) terjadi

akibat trauma intrauterin misalnya setelah kuretase endometrium yang

berlebihan karena retensi hasil konsepsi. Adhesi intrauterin berhubungan

erat dengan abortus rekuren. Mekanisme yang diduga terjadi adalah

adanya penurunan volume kavum uteri dan fibrosis serta inflamasi pada

endometrium sehingga terjadi kelainan plasentasi dan menyebabkan

abortus.6

4. Faktor endokrin

a) Defek Fase Luteal dan Defisiensi Progesteron

Defek fase luteal disebut juga defisiensi progesteron merupakan

suatu keadaan dimana korpus luteum mengalami kerusakan sehingga

produksi progesteron tidak cukup dan mengakibatkan kurang

berkembangnya dinding endometrium. Oleh karena progesteron

dibutuhkan untuk keberhasilan suatu implantasi dan mempertahankan

suatu kehamilan muda maka defisiensi progesteron selama fase luteal

berhubungan dengan kejadian abortus habitualis. Namun, kriteria standar

untuk diagnosis secara tepat dan efek dari defek fase luteal sebagai

penyebab abortus berulang masih kurang. Variasi hormon yang sering

berubah dan sekresi pulsatil menyebabkan pengukuran serum progesteron

tidak dapat digunakan dan interpretasi hasil biopsi endometrium rentan

terhadap variasi sampel. Tetapi ada penelitian yang menunjukkan bahwa

10

Page 11: ABORTUS HABITUALIS_referat

penanganan pada defek fase luteal telah meningkatkan keberhasilan suatu

kehamilan pada wanita dengan abortus habitualis.5,6

b) Sindrom ovarium polikistik, Hipersekresi LH dan Hiperandrogenemia

Sindrom ovarium polikistik terkait dengan infertilitas dan abortus.

Dua mekanisme yang mungkin menyebabkan hal tersebut terjadi adalah

peningkatan hormon LH dan efek langsung hiperinsulinemia terhadap

fungsi ovarium. Ovarium polikistik, peningkatan kadar LH dan

hiperandrogenemia merupakan ciri klasik suatu sindrom ovarium

polikistik dan telah dilaporkan sebagai faktor risiko terjadinya abortus

habitualis. Jika terjadi peningkatan konsentrasi hormon LH akan

menyebabkan abortus dan inhibisi hormon tersebut selama siklus induksi

ovulasi gonadotropin dapat menurunkan angka abortus. Walaupun

ovarium polikistik secara signifikan sering ditemukan pada pasien

dengan abortus berulang, ovarium polikistik tersebut tidak dapat

memprediksi terjadinya kehamilan pada wanita yang ovulatorik dengan

riwayat abortus berulang.5,6

Tingginya kadar LH atau testoteron tidak berhubungan dengan

kehamilan pada seorang wanita ovulatorik dengan riwayat abortus

habitualis. Supresi kadar LH yang tinggi tidak selalu meningkatkan

angka kelahiran hidup dan kehamilan pada wanita dengan pengggunaan

placebo sama dengan wanita yang memiliki kadar LH yang normal.6

Baru-baru ini, ditemukan hubungan antara sindrom ovarium

polikistik dan resistensi insulin yang menyebabkan kompensasi

hiperinsulinemia sebagai faktor risiko abortus habitualis. Resistensi

insulin dihubungkan dengan tingginya jumlah abortus di antara wanita

dengan sindrom ovarium polikistik yang sedang menjalani induksi

ovulasi dibandingkan dengan yang tidak menderita resistensi insulin.

Laporan terdahulu menyarankan penggunaan metformin (yang

meningkatkan sensitivitas terhadap insulin) pada wanita dengan sindrom

ovarium polikistik selama induksi ovulasi dan kehamilan muda sehingga

11

Page 12: ABORTUS HABITUALIS_referat

dapat meningkatkan penerimaan hasil konsepsi oleh dinding

endometrium dan mengurangi risiko abortus di masa mendatang.6

c) Faktor Endokrin Sistemik

Diabetes melitus dan penyakit tiroid dihubungkan dengan abortus,

tetapi masih belum ada bukti langsung bahwa keduanya berperan pada

kejadian abortus habitualis. Wanita dengan diabetes di mana kadar

HbA1c yang tinggi pada trimester pertama berisiko mengalami abortus

dan malformasi fetal. Sebaliknya, diabetes melitus yang terkontrol bukan

merupakan faktor risiko abortus rekuren begitu juga dengan disfungsi

tiroid yang telah diterapi. Prevalensi DM dan disfungsi tiroid pada wanita

abortus habitualis sama dengan yang diharapkan pada populasi umum.5,6

Autoantibodi tiroid tidak berhubungan dengan abortus habitualis.

Wanita dengan abortus habitualis tidak lebih cenderung dibandingkan

dengan wanita subur yang juga memiliki antibodi tiroid dalam sirkulasi

darahnya. Adanya antibodi tiroid pada wanita eutiroid dengan riwayat

abortus habitualis tidak mempengaruhi kehamilannya mendatang. Oleh

karena belum jelas apakah penyakit tiroid menyebabkan terjadinya

abortus habitualis atau tidak, American College of Obstetricians and

Gynecologists (2001) menyimpulkan bahwa tidak ada indikasi screening

terhadap wanita yang asimptomatik. Sebaliknya, hipotiroidisme mungkin

sulit untuk dideteksi secara klinis, tes yang dilakukan tidak mahal dan

pengobatannya memiliki efektivitas yang tinggi. Oleh karena itu,

screening TSH direkomendasikan pada wanita dengan abortus

habitualis.5,6

5. Faktor Koagulasi dan Imunologi

a) Trombofilia

Sistem hemostatis berperan penting dalam pembentukan dan

pemeliharaan suatu kehamilan. Defek trombofilia adalah kelainan sistem

koagulasi yang mengarah ke trombosis. Selama beberapa tahun terakhir,

peranan sindrom antifosfolipid (APS) suatu defek trombofilik telah

ditetapkan dan ditangani sebagai penyebab abortus habitualis dan

12

Page 13: ABORTUS HABITUALIS_referat

berperan potensial terhadap defek trombofilik lainnya (didapat maupun

diturunkan secara genetik). Hipotesis yang diduga adalah bahwa pada

beberapa kasus abortus habitualis dan komplikasi akhir dari suatu

kehamilan disebabkan oleh respon hemostatik yang berlebihan selama

kehamilan, menyebabkan terjadinya trombosis pada pembuluh darah

uteroplasenta dan selanjutnya dapat mengakibatkan kematian janin.6

b) Antibodi Antifosfolipid

Antibodi antifosfolipid merupakan kelompok dari autoantibodi

heterogen yang bereaksi dengan epitop pada protein yang bergabung

dengan fosfolipid bermuatan negatif. Pada etiologi abortus habitualis,

terdapat 2 penyakit dengan antibodi antifosfolipid yaitu lupus

antikoagulan dan antibodi antikardiolipin. Sindrom antifosfolipid (APS)

merupakan hubungan antara antibodi antifosfolipid dan morbiditas pada

kehamilan atau trombosis vaskular. Morbiditas suatu kehamilan

mencakup abortus rekuren pada trimester pertama, satu atau lebih

kematian janin yang secara morfologi normal setelah 10 minggu gestasi

dan satu atau lebih kelahiran prematur sebelum 34 minggu gestasi akibat

preeklampsia berat, eklampsia atau insufisiensi plasenta. APS pada

pasien dengan penyakit inflamasi kronik, seperti SLE disebut sebagai

APS sekunder. Sebaliknya, APS primer mempengaruhi pasien dengan

tidak adanya penyakit jaringan ikat sistemik yang mendasarinya.6

Karakterisitik utama APS adalah abortus rekuren. Pada 15%

wanita dengan abortus berulang, aPLs (antikoagulan lupus dan

antikardiolipin IgG atau IgM) ditemukan. Patogenesis aPL terkait dengan

trombosis plasenta. Namun, trombosis sendiri tidak spesifik ataupun

bersifat universal dan penelitian terbaru memberikan wawasan baru

tentang mekanisme aPL dalam hubungannya dengan kehamilan yang

gagal. Cacat desidualisasi pada endometrium dan kelainan fungsi dan

diferensiasi tropoblas dini mungkin merupakan mekanisme patologis

utama.

c) Defek Trombofilik yang diturunkan

13

Page 14: ABORTUS HABITUALIS_referat

Penyakit ini merupakan kelainan faktor pembekuan yang

diturunkan secara genetik yang dapat menyebabkan trombosis patologis

akibat ketidakseimbangan antara jalur pembekuan darah dan

antikoagulasi. Teori yang paling banyak menjelaskan tentang hal ini

adalah resistensi terhadap protein C yang disebabkan oleh mutasi faktor

V Leiden atau yang lainnya, penurunan atau tidak adanya aktivitas

antitrombin III, mutasi gen protrombin dan mutasi gen untuk methylene

tetrahydrofolate reductase yang menyebabkan peningkatan kadar

homosistein serum (hiperhomosisteinemia).5,6

d) Imunologi

Yetman dan Kutteh melaporkan bahwa sekitar 15% dari 1000

wanita dengan abortus habitualis memiliki faktor autoimun. Terdapat 2

patofisiologi primer yang menjelaskan kejadian tersebut yaitu teori

autoimun (imunitas yang menyerang diri sendiri) dan teori alloimun

(imunitas yang menyerang pihak lain).5

1) Faktor autoimun. Abortus lebih sering terjadi pada wanita dengan

SLE. Kebanyakan dari wanita tersebut memiliki antibodi

antifosfolipid yang merupakan kelompok autoantibody yang

mengikat fosfolipid muatan negatif, phospholipids-binding proteins,

atau kombinasi keduanya. Antibodi tersebut dapat juga ditemukan

pada wanita tanpa lupus. Memang >5% wanita dengan kehamilan

normal, antikoagulan lupus (LAC) dan antibodi antikardiolipin

(ACA) berhubungan dengan abortus berulang. Dibandingkan dengan

kejadian abortus, LAC dan ACA lebih banyak ditemukan pada

kematian fetus setelah pertengahan trimester kehamilan. Oleh sebab

itu, kematian fetus merupakan salah satu kriteria diagnosis sindrom

antifosfolipid. Wanita yang memiliki riwayat abortus dan kadar

antibodi yang tinggi mungkin berpotensi mengalami abortus

habitualis sekitar 70%. 5

2) Faktor alloimun. Kehamilan yang normal memerlukan pembentukan

faktor yang mencegah rejeksi maternal terhadap antigen asing fetus

14

Page 15: ABORTUS HABITUALIS_referat

yang diperoleh secara paternal. Seorang wanita tidak akan

menghasilkan faktor penghambat serum ini jika dia memiliki HLA

yang mirip dengan suaminya. Gangguan alloimun lainnya juga

menyebabkan abortus habitualis temasuk perubahan aktivitas sel

natural killer dan peningkatan antibodi limfositotoksik. Berbagai

terapi untuk memperbaiki gangguan ini telah disarankan untuk

dilakukan termasuk imunisasi dengan menggunakan sel paternal,

third party donor leukocytes, infus membran trofoblast dan

immunoglobulin intravena. Kebanyakan dari terapi imunologi ini

membahayakan pasien sehingga tidak dianjurkan untuk dilakukan.

Salah satu terapi yang mungkin dapat dilakukan adalah terapi

immunoglobulin intravena untuk abortus habitualis sekunder (wanita

dengan abortus habitualis setelah memiliki anak sebelumnya).5

6. Faktor Lain

a) Infeksi

Peranan infeksi terhadap suatu kejadian abortus berulang masih

rendah. Beberapa infeksi berat yang menyebabkan bakteremia atau

viremia dapat menyebabkan keguguran sporadik. Untuk dapat

menyebabkan terjadinya abortus berulang agen infektif tersebut harus

menetap dalam traktus genitalis dan dapat menghindari deteksi atau tidak

menyebabkan gejala yang cukup untuk mengganggu host.

Toksoplasmosis, rubella, sitomegalovirus, herpes dan infeksi Lister tidak

memenuhi kriteria tersebut. Walaupun vaginosis bakterial pada trimester

pertama dilaporkan sebagai faktor risiko keguguran pada trimester kedua

dan kelahiran prematur, bukti adanya hubungannya dengan abortus pada

trimester pertama masih belum konsisten. Pada wanita dengan riwayat

abortus pada midtrimester atau partus prematurus, deteksi dan terapi

untuk vaginosis bakterial pada awal masa kehamilan dapat menurunkan

risiko prematuritas, KPD dan BBLR.6

b) Faktor Lingkungan

15

Page 16: ABORTUS HABITUALIS_referat

Abortus habitualis dapat disebabkan oleh pengaruh lingkungan

seperti paparan terhadap logam berat, pelarut organik, alkohol dan radiasi

ionisasi yang dikenal sebagai teratogen lingkungan. Kafein, merokok dan

hipertermia dicurigai sebagai teratogen. Wanita hamil yang sering

terpapar akan berisiko untuk mengalami abortus.6,8

D. PATOLOGI

Pada awal abortus terjadi perdarahan dalam desidua basalis kemudian

diikuti oleh nekrosis jaringan sekitarnya. Hal tersebut menyebabkan hasil

konsepsi terlepas sebagian atau seluruhnya sehingga merupakan benda asing

dalam uterus. Keadaan ini menyebabkan uterus berkontraksi untuk mengeluarkan

isinya.1

E. DIAGNOSIS

Diagnosis abortus habitualis tidak sukar ditentukan dengan anamnesis.

Khususnya diagnosis abortus habitualis karena inkompetensia yang menunjukkan

gambaran klinik yang khas yaitu dalam kehamilan trimester kedua terjadi

pembukaan serviks tanpa rasa mulas, ketuban menonjol dan pada suatu saat

pecah. Kemudian timbul mulas yang selanjutnya diikuti dengan pengeluaran janin

yang biasanya masih hidup dan normal. Apabila penderita datang dalam trimester

pertama, maka gambaran klinik tersebut dapat diikuti dengan pemeriksaan vaginal

tiap minggu. Penderita tidak jarang mengeluh bahwa ia mengeluarkan banyak

lendir dari vagina. Di luar kehamilan penentuan serviks inkompeten dilakukan

dengan histerosalpingografi yaitu ostium uteri internum melebar >8 mm.1,8

F. PENANGANAN

Penyebab abortus habitualis sebagian besar tidak diketahui sehingga

penanganannya terdiri atas memperbaiki keadaan umum, pemberian makanan

yang sempurna, anjuran istirahat cukup banyak, larangan koitus dan olah raga.

Terapi dengan hormon progesteron, vitamin, hormon tiroid dan lainnya mungkin

hanya mempunyai pengaruh psikologis. Calvin melaporkan penelitiannya tentang

16

Page 17: ABORTUS HABITUALIS_referat

141 wanita hamil yang sebelumnya mengalami 1 sampai 4 abortus berturut-turut

hanya 22,7% yang mengalami abortus dan pada 76,6% kehamilan berlangsung

terus tanpa pengobatan apa pun. Apabila pada pemeriksaan histerosalpingografi

yang dilakukan menunjukkan kelainan seperti mioma submukosa atau uterus

bikornis maka kelainan tersebut dapat diperbaiki dengan operasi atau penyatuan

kornu uterus dengan operasi menurut Strassman. Pada serviks inkompeten apabila

penderita hamil, maka operasi dilakukan untuk mengecilkan ostium uteri

sebaiknya dilakukan pada kehamilan 12 minggu atau lebih sedikit. Dasar

operasinya adalah memperkuat jaringan serviks yang lemah dengan melingkari

daerah ostium uteri internum dengan benang sutera atau dakron yang tebal. Jika

berhasil maka kehamilan dapat dilanjutkan sampai hampir cukup bulan dan

benang dipotong pada usia kehamilan 38 minggu. Operasi tersebut dapat

dilakukan menurut cara Shirodkar atau cara Mac Donald.1,9,10

DAFTAR PUSTAKA

17

Page 18: ABORTUS HABITUALIS_referat

1. Prawirohardjo,S. Abortus. Ilmu Kebidanan. Edisi Ketiga. Jakarta: Yayasan

Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2006. Hal.302-304; 309-310

2. NN. Habitual abortion. Available from: www.wikipedia.com [cited on

22/09/2011]

3. Petrozza, J.C dan Cowan, B.D. Recurrent Early Pregnancy Loss. Avalaible

from: www.emedicine.com [cited on 10/09/2011]

4. Stead, G.L. Recurrent Abortion. First Aid For The Obstetrics and Gynecology

Clerkship A Student To Student Guide. Second Edition. New York: McGraw-

Hill Companies, Inc. 2007; 140-141

5. Cunningham, et.al. Recurrent Miscarriage. Abortion. Williams Obstetrics.

23rd Edition. New York: McGraw-Hil Companies, Inc. 2010;

6. Backos, M and Regan, L. Recurrent Miscarriage. High Risk Pregnancy

Management Options. 3rd Edition. Ed: James,et.al. Philadelphia: Elsevier

Saunders. 2006; 160-182

7. Dhont, Marc. Recurrent Miscarriage. Current Women’s Health Reports 2003,

3:361–366. Current Science Inc. ISSN 1534–5874 Copyright © 2003 by

Current Science Inc.

8. Hanretty, K.P. Recurrent Miscarriage. Multiple Pregnancy and Other

Antenatal Complication. Obstetrics Illustrated. Sixth Edition. Edinburgh:

Churchill Livingstone. 2004; 220-221

9. Pernoll, M.L. Habitual Abortion. Benson and Pernoll’s Handbook of

Obstetrics and Gynecology. New York: McGraw-Hill Companies. 2001; 305-

307

10. Tien J C, Tan TYT. CME Article. Non-surgical Interventions for Threatened

and Recurrent Miscarriages. Singapore Med J 2007;48(12) : 1074

18