Abortus Berulang

30
Abortus Berulang Label: Fetomaternal , Ginekologi Abortus habitualis adalah terjadinya abortus pada 3 atau lebih kehamilan. Banyak hal yang mendasari terjadinya abortus habitualis, mulai dari kelainan genetik, anatomis, infeksi, dan penyakit autoimun. Antifosfolipid sidrom merupakan salah satu penyebab abortus habitualis yang terjadi pada 2-4% kasus. Penangan yang tepat diharapkan akan memberikan hasil kehamilan yang baik. Sindoma antifosfolipid (APS) dikenal juga sebagai sindrom Hughes, adalah suatu kelainan yang ditandai dengan antibodi multipel yang berhubungan dengan trombosis pembuluh darah arteri dan vena. Antibodi tersebut dihasilkan dari beberapa fosfolipid yang memiliki peranan dalam kaskade koagulasi. Mekanisme pasti mengenai cara kerja antibodi antifosfolipid dan anticardiolipin bisa memicu keadaan trombofilik masih belum jelas. Berdasarkan kriteria Sapporo, APS ditegakkan dari adanya 1 kriteria klinis dan 1 kriteria laboratorium. <p>Your browser does not support iframes.</p> Kriteria klinis meliputi trombosis arteri, vena atau pembulh darah kecil, morbiditas kehamilan berupa abortus habitualis sebelum usia kehamilan 10 minggu atau satu atau lebih kematian fetus yang tidak dapat dijelaskan, atau persalinan preterm karena insufisiensi plasenta, eklamsia atau preeklamsia. Criteria laboratorium adalah

Transcript of Abortus Berulang

Page 1: Abortus Berulang

Abortus Berulang Label: Fetomaternal, Ginekologi            Abortus habitualis adalah terjadinya abortus pada 3 atau lebih kehamilan. Banyak hal yang mendasari terjadinya abortus habitualis, mulai dari kelainan genetik, anatomis, infeksi, dan penyakit autoimun. Antifosfolipid sidrom merupakan salah satu penyebab abortus habitualis yang terjadi pada 2-4% kasus. Penangan yang tepat diharapkan akan memberikan hasil kehamilan yang baik.

            Sindoma antifosfolipid (APS) dikenal juga sebagai sindrom Hughes, adalah suatu kelainan yang ditandai dengan antibodi multipel yang berhubungan dengan trombosis pembuluh darah arteri dan vena. Antibodi tersebut dihasilkan dari beberapa fosfolipid yang memiliki peranan dalam kaskade koagulasi. Mekanisme pasti mengenai cara kerja antibodi antifosfolipid dan anticardiolipin bisa memicu keadaan trombofilik masih belum jelas.

Berdasarkan kriteria Sapporo, APS ditegakkan dari adanya 1 kriteria klinis dan 1 kriteria laboratorium. <p>Your browser does not support iframes.</p> Kriteria klinis meliputi trombosis arteri, vena atau pembulh darah kecil, morbiditas kehamilan berupa abortus habitualis sebelum usia kehamilan 10 minggu atau satu atau lebih kematian fetus yang tidak dapat dijelaskan, atau persalinan preterm karena insufisiensi plasenta, eklamsia atau preeklamsia. Criteria laboratorium adalah titer anticardiolipin IgG atau IgM positif atau adanya lupus anticoagulant pada 2 kali pemeriksaan dengan jarak lebih dari 6 minggu. RCOG (2004): Criteria of APS: 1 clinical criteria & 1 laboratory criteriaA. Clinical criteria1.      Thrombosis: venous, arterial, small vesel 2.      Pregnancy morbidity:A.    3 or more consecutive miscarriage (<10 weeks)B.     1 or more fetal death (>10 weeks)C.     1 or more preterm birth (<34 weeks) due to severe preeclampsia or placental insuficiency B. Laboratory criteria

Page 2: Abortus Berulang

1.Anticardiolipin antibodyIgG or IgM medium/high titer 2 or more occasions  > 6 weeks apart2.Lupus anticoagulant2 or more occasions  > 6 weeks apartTetapi sebaiknya pemeriksaan ACA sebaiknya diulang setelah 6 minggu untuk memastikan hasilnya.            Terapi APS terutama adalah pemberian antitrombolitik. Recomendasi  level IA dari RCOG menyebutkan bahwa wanita abortus habitualis yang diterapi dengan aspirin dosis rendah akan menghasilkan angka kelahiran hidup 40% dan akan meningkat menjadi 70% bila dikombinasi dengan heparin dosis rendah

Page 3: Abortus Berulang

Manajemen APS  Manajemen APS:  Kombinasi aspirin dan low molecular heparin efektifitasnya lebih baik dibanding pemberian aspirin saja (Level IA)  Pemberian imunoterapi dan imunoglobulin belum menunjukkan hasil yang bermakna (Level IA)  Terapi diberikan pada saat terdiagnosis hamil sampai 34 minggu 6-8 minggu postpartum  low dose aspirin (80 mg/hari) dan unfractionated  heparin 15.000-20.000 UI/hari sc   Evaluasi efek samping antiplatelet dan antikoagulan   Risiko IUFD, IUGR, fetal distres, solutio placenta, PE - Evaluasi fetal well being USG tiap 3-6 minggu Prognosis  Ibu: baik . terapi aspirin dan antikoagulan dilanjutkan sampai 6-8 postpartum . Diberikan Antibiotik profilaksis endometritis   Kehamilan berikutnya: perlu pemeriksaan ulang TORCH, ACA, Lupus antikoagulan

Anticardiolipin Antibodies (ACA)Antiphospholipid antibodies (APA) are a heterogenous family of auto-antibodies that are associated with an increased risk of venous and arterial thrombosis, recurrent fetal loss and thrombocytopenia.

Page 4: Abortus Berulang

These antibodies are directed against phospholipid-protein complexes and can be IgG, IgM, IgA or mixed isotypes.Because of their heterogeneity, APA may require several different tests for their detection. Lupus anticoagulants (LA) can be detected by clotting methods, while antibodies directed against Cardiolipin (ACA), Phosphatidylserine (APS) and Beta 2 Glycoprotein I (ABGP) can be detected immunologically.The Hemostasis and Thrombosis Laboratory recommends that patients with suspected Antiphospholipid Syndrome be tested for LA, ACA, APS and ABGP.Patients with infections and inflammatory conditions may produce transient ACA that are usually not associated with thrombosis. Antibodies to Anti-beta 2 Glycoprotein I are a more specific marker for increased risk of thrombosis. Nevertheless, markedly elevated ACA titers, especially IgG, are likely to have pathological significance.APA associated with thrombosis generally persist in the circulation and elevated levels should be confirmed by repeat testing after 2-3 months. APA testing should be part of the evaluation of patients with unexplained thrombosis, thrombocytopenia or recurrent abortion. In addition, the test results may be helpful in determining the intensity and duration of anticoagulant treatment for patients with Antiphospholipid Syndrome and thrombosis.In the Hemostasis and Thrombosis Laboratory, ACA are detected and quantitated using a plastic support coated with purified cardiolipin that captures the anticardiolipin antibody to be measured. Unbound protein is removed by washing and anti-immunoglobulin (IgG and IgM) horseradish peroxidase-labeled conjugate is added to the wells. After incubation. the unbound conjugate is removed by washing. A substrate is then added, which undergoes a color change in the presence of the conjugated enzyme. After stopping the enzymatic production of colored product, the ACA concentration is determined by extrapolation from a standard curve.Normal range for Anticardiolipin Antibody is <15 GPL (IgG) units and <18 MPL (IgM) units.Antiphospholipid SyndromeWhat is antiphospholipid syndrome?The antiphospholipid syndrome is a disorder of the immune system that is characterized by excessive clotting of blood and/or certain complications of pregnancy (premature miscarriages, unexplained fetal death, or premature birth) and the presence of antiphospholipid antibodies (cardiolipin or lupus anticoagulant antibodies) in the blood. Patients with antiphospholipid syndrome have developed abnormal symptoms while having antiphospholipid antibodies that are detectable with blood testing.Antiphospholipid syndrome is also called phospholipid antibody syndrome. Antiphospholipid syndrome has been referred to as Hughes syndrome in honor of the doctor who first described it.It is important to note that antiphospholipid antibodies can also be found in the blood of individuals without any disease process. In fact, antiphospholipid antibodies have been reported in approximately 2% of the normal population. Harmless antiphospholipid antibodies can be detected in the blood for a brief period occasionally in association with a wide variety of conditions, including bacterial, viral (hepatitis, HIV), and parasite (malaria) infections. Certain drugs can cause antiphospholipid antibodies to be produced in the blood, including antibiotics, cocaine, hydralazine, procainamide, and quinine.Nevertheless, the antiphospholipid antibody (a protein) is not considered a normal blood protein and has been found in patients to be associated with a number of illnesses. These illnesses include abnormal clotting (thrombosis) of arteries (stroke, infarction) and/or veins (phlebitis), premature miscarriages (spontaneous abortions), abnormally low blood platelet counts (thrombocytopenia), purplish mottling discoloration of the skin (livedo reticularis), migraine headaches, and a rare form of inflammation of the nervous tissue of the brain or spinal cord, called transverse myelitis. Antiphospholipid antibodies have also been detected in over half of patients with the immune disease systemic lupus erythematosus.Researchers are recently also finding that there are patients with slowly progressive memory problems and patients with a form of "atypical multiple sclerosis" and antiphospholipid antibodies detectable in their blood.

Antiphospholipid Syndrome (cont.)

Page 5: Abortus Berulang

What laboratory tests can support the diagnosis of antiphospholipid syndrome?Patients with the antiphospholipid syndrome can have a variety of antibodies to molecules called phospholipids in their blood. These antibodies include VDRL/RPR (a syphilis test that can be falsely positive in these patients), lupus anticoagulant, prolonged PTT, and cardiolipin antibody. As mentioned above, the anticardiolipin antibody has also been found in patients with the immune disease systemic lupus erythematosus, which is characterized by the production of a variety of abnormal antibodies.What causes antiphospholipid syndrome?The cause of antiphospholipid syndrome is not completely known. Antiphospholipid antibodies reduce the levels of annexin V, a protein that binds phospholipids and has potent clot-blocking (anticoagulant) activity. The reduction of annexin V levels is thought to be a possible mechanism underlying the increased tendency of blood to clot and the propensity to pregnancy loss characteristic of the antiphospholipid syndrome.Antiphospholipid antibodies, such as anticardiolipin, have also been associated with decreased levels of prostacyclin, a chemical that prevents the clumping together of normal blood clotting elements called platelets.How is antiphospholipid syndrome treated?The treatment of patients with anticardiolipin syndrome has substantially evolved since they were discovered to be clinically important in the mid-1980s. Each manifestation of the antiphospholipid syndrome, and each individual patient with the condition, is treated uniquely.Because many of the features of illness with anticardiolipin syndrome are associated with an abnormal grouping of normal blood clotting elements (platelets), treatment is often directed toward preventing clotting by thinning the blood. Patients with this disorder have an abnormal tendency to form blood clots (thrombosis). The abnormal blood clotting can affect the function of virtually any organ. Medications that thin (anticoagulate) the blood, such as heparin (Hep-Lock, Liquaemin) and warfarin (Coumadin) (powerful blood thinners), are used for treatment. Aspirin has an affect on platelets that inhibits their grouping (aggregation) and has also been used in low doses to thin the blood of selected patients. Cortisone-related medications, such as prednisone, have been used to suppress the immune activity and inflammation in patients with certain features of the condition. For patients with systemic lupus erythematosus who also have antiphospholipid syndrome, hydroxychloroquine (Plaquenil) has been reported to add some protection against blood clotting.Other reported treatments include the use of intravenous gamma globulin for selected patients with histories of premature miscarriage and those with low blood-clotting elements (platelets) during pregnancy. Recent research studies, however, suggest that intravenous gamma globulin may be no more effective than combination aspirin and heparin treatment.

ACA Penyebab Keguguran Berulang pada Ibu HamilHati-hati bila ibu mengalami keguguran berulang, bisa jadi keguguran berulang tersebut disebabkan oleh  ACA (Anti-cardiolipin antibody) atau sindrom anticardiolipin. ACA adalah kondisi dimana darah calon ibu mengental, sehingga mengakibatkan aliran darah yang membawa zat gizi dan oksigen ke janin lewat plasenta tidak sempurna. Terhambatnya pasokan nutrisi dan oksigen inilah yang menyebabkan janin tidak berkembang atau bahkan meninggal dalam kandungan. Berikut beberapa hal penting tentang sindrom anticardiolipin atau ACA serta bahaya nya bagi wanita hamil yang penting untuk ibu ketahui.Apakah ACADalam kondisi normal, antibodi kita dibentuk oleh sistem kekebalan tubuh yang bertugas untuk memerangi subtansi yang dianggap asing oleh tubuh (diantaranya bakteri, virus). Pada kasus penderita ACA, tubuh pasien mengeluarkan antibodi yang digunakan untuk menyerang anticardiolipin yang dianggap musuh, padahal anticardiolipin merupakan bagian dari membran. Antibodi anticardiolipin atau ACA ini lah yang membuat darah menjadi lebih kental. Antibodi ACA mendorong terjadinya pembekuan darah dalam pembuluh darah yang mengakibatkan terganggunya fungsi organ-organ penting pada tubuh.ACA pada wanita hamilTerdapatnya kandungan antibodi ACA pada wanita hamil menyebabkan darah di plasenta mengalami

Page 6: Abortus Berulang

pembekuan yang mengakibatkan terganggunya pasokan zat gizi dan oksigen bagi janin. Kondisi ini menimbulkan berbagai gangguan kehamilan serius seperti : Kematian janin dalam kondisi normal (tanpa ada kecacatan) pada usia kehamilan 10 minggu atau lebih. Kelahiran prematur (preterm) sebelum usia kehamilan 34 minggu karena terjadi eklampsia atau preeklampsia atau gangguan pada plasenta. Bayi yang dilahirkan dalam kondisi normal. Keguguran (abortus spontan) berulang sebanyak tiga kali atau lebih berturut-turut pada usia kehamilan kurang dari 10 minggu.Selain berdampak pada bayi, ACA juga menimbulkan berbagai resiko pada si ibu. Oleh sebab itu disarankan bagi para wanita yang merencanakan kehamilan atau mengetahui bahwa kadar ACA nya tinggi untuk tidak hamil terlebih dahulu hingga kadar ACA-nya normal. Namun, jika sudah terlanjur, mau tidak mau ibu harus menjalani pengobatan ACA secara intensif salah satunya dengan pemberian obat atau suntikan heparin/fraksiparin yang berfungsi untuk mengencerkan darah. Pengobatan heparin melalui suntikan merupakan pengobatan yang paling berat bagi wanita hamil yang menderita ACA. Suntikan heparin biasanya dilakukan disekitar pusar, dibawah kulit sebanyak dua kali sehari. Meski tidak membahayakan janin, namun suntikan heparin bisa menyebabkan dampak bagi bayi dan ibu. Pada bayi dampak yang ditimbulkan yaitu membuat berat badan bayi berkurang, meski demikian ibu tidak perlu khawatir, karena hal tersebut tidak mengganggu perkembangan fisik bayi. Sementara dampak pada ibu, diantaranya timbulnya gatal-gatal, biru, atau lebam disekitar bekas suntikan. Dampak tersebut lebih baik dibanding ibu membiarkan kadar ACA ibu semakin tinggi yang justru bisa mengakibatkan ibu mengalami stroke, tuli dan daya penglihatannya berkurang, bahkan mengalami kebutaan. Oleh sebab itu meski menyakitkan pemberian suntikan heparin harus tetap dilakukan oleh ibu, disertai banyak minum air putih, makanan alami dan istirahat yang cukup.

Gejala ACAGejala ACA mirip dengan gejala yang dirasakan ibu hamil pada umumnya seperti cepat mengantuk, cepat lelah, sering pusing dan sulit kosentrasi. Gejala tersebut biasanya dirasakan sampai lebih dari empat bulan. Gejala lainnya seperti tekanan darah meningkat tanpa penyebab pasti, padahal sebelum hamil tekanan darah calon ibu normal. Bila ada kecurigaan adanya antibodi anticardiolipin dalam darah ibu yang mengalami keguguran berulang, maka ibu dianjurkan menjalani tes ACA. Melalui tes ini diketahui kadar IgG dan IgM. Parameter ini bisa dijadikan pegangan untuk memastikan adanya paparan ACA atau tidak. Sedangkan tingkat kekentalan darah bisa diketahui dengan mengukur cepat tidaknya darah yang bersangkutan membeku. Penyebab ACAHingga saat ini belum ada penelitian yang menemukan secara pasti apa saja penyebab ACA, yang pasti ACA bukan penyakit keturunan dan tidak menular. Dugaan sementara para ahli ACA disebabkan oleh pola hidup yang tidak sehat, misalnya terlalu banyak mengonsumsi makanan instan, kolesterol, lemak, merokok, diabetes dan polusi udara. Dulu, penyakit ini dialami oleh orang lanjut usia, tapi kini sudah bergeser ke anak muda di bawah 30 tahun. ACA juga tidak hanya dialami wanita, tapi juga pria. Tapi kasus yang sering ditemukan selama ini lebih banyak ditemukan pada wanita yang tengah hamil.Pencegahan ACABerdasarkan dugaan penyebab ACA diatas maka untuk menghindari ACA anda bisa melakukan tindakan antisipasi diantaranya dengan melakukan olahraga teratur, menjalani gaya hidup sehat, menghindari rokok, makanan cepat saji, yang berlemak tinggi dan kolesterol tinggi serta banyak minum air putih.

Tips  pola makan sederhana bagi ibu hamil penderita ACAAgar kebutuhan gizi untuk dirinya sendiri dan bayi dalam kandungannya terpenuhi, ibu hamil yang menderita ACA disarankan untuk memperhatikan pola makannya seperti dibawah ini. Perbanyak mengkonsumsi makanan segar dan alami seperti buah dan sayuran. Sebelum dikonsumsi, cucilah buah dan sayuran dengan cairan khusus pencuci buah dan sayur atau tuangkan dua sendok cuka apel untuk mengurangi efek pestisida. Sementara untuk mematikan ulat/telur cacing pada sayuran anda bisa merendamnya dalam larutan air garam. 

Page 7: Abortus Berulang

Agar tetap segar, belilah buah dan sayuran dalam porsi kecil agar anda tidak perlu menyimpannya terlalu lama yang membuat buah dan sayuran tidak segar. Hindari makanan yang dipanaskan berulangkali dan makanan fastfood dimana kandungan zat besi, kalsium, seng, kromium, vitamin B6 dan lemak esensial nya rendah. Untuk memenuhi kebutuhan protein hewani pilihlah sumber protein hewani yang rendah lemak seperti ayam kampung, telur, ikan atau kedelai. Untuk pemenuhan karbohidrat pilihlah beras merah atau kacang hijau. Selain itu selalu gunakan minyak yang kandungan lemak tak jenuh dan kolesterolnya rendah seperti minyak zaitun, minyak jagung, minyak biji bunga matahari dsb. Sebagai menu camilan pilihlah yang kandungan gizinya berkualitas misalnya buah segar, selada, atau roti tawar gandum isi sayuran segar. Hindari makanan instan yang biasanya mengandung lemak, gula, garam dan zat-zat aditif kimia yang tinggi, dalam hal ini termasuk juga susu atau suplemen makanan untuk ibu hamil. Hindari konsumsi junk food termasuk gula-gula, permen cokelat, es krim, roti manis, biscuit, cake dsb. Kalau tetap menginginkan makan sedikit dan sekali-kali saja. Jika anda terbiasa mengkonsumsi susu, ganti susu sapi dengan susu kedelai. Selain lebih aman, susu kedelai juga meningkatkan kualitas dan kuantitas ASI. Selalu lakukan variasi dan rotasi makanan yang anda konsumsi untuk menghindari alergi terhadap makanan tertentu.

What is a blighted ovum? A blighted ovum (also known as “anembryonic pregnancy”) happens when a fertilized egg attaches itself to the uterine wall, but the embryo does not develop. Cells develop to form the pregnancy sac, but not the embryo itself. A blighted ovum occurs within the first trimester, often before a woman knows she is pregnant. A high level of chromosome abnormalities usually causes a woman’s body to naturally miscarry. How do I know if I am having or have had a blighted ovum?A blighted ovum can occur very early in pregnancy, before most women even know that they are pregnant. You may experience signs of pregnancy such as a missed or late menstrual period and even a positive pregnancy test. Many women assume their pregnancies are on track because their hCG levels are increasing. The placenta can continue to grow and support itself without a baby for a short time, and pregnancy hormones can continue to rise, which would lead a woman to believe she is still pregnant. A diagnosis is usually not made until an ultrasound test shows either an empty womb or an empty gestational sac. It is possible that you may have minor abdominal cramps, minor vaginal spotting or bleeding.   Your purchase supports the APAWhat causes a blighted ovum?A blighted ovum is the cause of about 50% of first trimester miscarriages and is usually the result of chromosomal problems. A woman’s body recognizes abnormal chromosomes in a fetus and naturally does not try to continue the pregnancy because the fetus will not develop into a healthy baby. This can be caused by abnormal cell division, or poor quality sperm or egg.Should I have a D&C or wait for a natural miscarriage?This is a decision only you can make for yourself. Most doctors do not recommend a D&C for an early pregnancy loss. It is believed that a woman’s body is capable of passing tissue on its own and there is no need for an invasive surgical procedure with a risk of complications. A D&C would however be beneficial if you were planning on having a pathologist examine the tissues to determine a reason for the miscarriage. Some women feel a D&C procedure helps with closure, mentally and physically. Others feel like a D&C is an invasive procedure that can make the loss more traumatic. How can a blighted ovum be prevented?Unfortunately, in most cases a blighted ovum cannot be prevented. Some couples will seek out genetic testing if multiple early pregnancy loss occurs. A blighted ovum is often a one time occurrence, and rarely will a woman experience more than one. Most doctors recommend couples wait at least 1-3 regular menstrual cycles before trying to conceive again after any type of miscarriage. Ectopic Pregnancy

Page 8: Abortus Berulang

An ectopic pregnancy occurs when the fertilized egg attaches itself in a place other than inside the uterus. Almost all ectopic pregnancies occur in a fallopian tube, and are thus sometimes called tubal pregnancies. The fallopian tubes are not designed to hold a growing embryo; the fertilized egg in a tubal pregnancy cannot develop normally and must be treated. An ectopic pregnancy happens in 1 out of 50 pregnancies.What causes an ectopic pregnancy?Ectopic pregnancies are caused by one or more of the following:

An infection or inflammation of the fallopian tube can cause it to become partially or entirely blocked.

Scar tissue left behind from a previous infection or an operation on the tube may also impede the egg's movement.

Previous surgery in the pelvic area or on the tubes can cause adhesions. An abnormality in the tube's shape can be caused by abnormal growths or a birth defect.

Who is at risk for having an ectopic pregnancy? Women who are more at risk for having an ectopic pregnancy include the following:

Are 35-44 years of age Have had a previous ectopic pregnancy Have had pelvic or abdominal surgery Have Pelvic Inflammatory Disease (PID) Have had several induced abortions Women who get pregnant after having a tubal ligation or while an IUD is in place Women who smoke Have endometriosis Have undergone fertility treatments or are using fertility medications

What are the symptoms of an ectopic pregnancy?Although you may experience typical signs and symptoms of pregnancy, the following symptoms may be used to help recognize a potential ectopic pregnancy:

Sharp or stabbing pain that may come and go and vary in intensity. The pain may be in the pelvis, abdomen or even the shoulder and neck (due to blood from a ruptured ectopic pregnancy gathering up under the diaphragm).

Vaginal bleeding, heavier or lighter than your normal period Gastrointestinal symptoms Weakness, dizziness, or fainting

It is important for you to seek emergency care if you are experiencing sharp pain or have bleeding.Your purchase supports the APAHow is an ectopic pregnancy diagnosed?Ectopic pregnancies are diagnosed by your physician, who will probably first perform a pelvic exam to locate pain, tenderness or a mass in the abdomen. Your physician will also use an ultrasound to determine whether the uterus contains a developing fetus.The measurement of hCG levels is also important. An hCG level that is lower than what would be expected is one reason to suspect an ectopic pregnancy. Low levels of progesterone may also indicate that a pregnancy is abnormal.Your physician may do a culdocentesis, which is a procedure that involves inserting a needle into the space at the very top of the vagina, behind the uterus and in front of the rectum. The presence of blood in this area may indicate bleeding from a ruptured fallopian tube.How is an ectopic pregnancy treated?An ectopic pregnancy may be treated in any of the following ways:

Methotrexate may be given, which allows the body to absorb the pregnancy tissue and may save the fallopian tube, depending on how far the pregnancy has developed.

If the tube has become stretched or it has ruptured and started bleeding, all or part of the fallopian tube may have to be removed. Bleeding needs to be stopped promptly, and emergency surgery is needed.

Laparoscopic surgery under general anesthesia may be performed. This procedure involves a surgeon using a laparoscope to remove the ectopic pregnancy and repair or remove the

Page 9: Abortus Berulang

affected fallopian tube. If the ectopic pregnancy cannot be removed by a laparoscope procedure, then another surgical procedure called a laparotomy may be done.

What about my future?Your hCG level will need to be rechecked on a regular basis until it reaches zero if you did not have your entire fallopian tube removed. An hCG level that remains high could indicate that the ectopic tissue was not entirely removed, which would require surgery or medical management with methotrexate.The chances of having a successful pregnancy after an ectopic pregnancy may be lower than normal, but this will depend on why the pregnancy was ectopic and your medical history. If the fallopian tubes have been left in place, you have approximately a 60% chance of having a successful pregnancy in the future.MiscarriageSpontaneous abortion (SAB), or miscarriage, is the term used for a pregnancy that ends on its own, within the first 20 weeks of gestation. The medical name spontaneous abortion (SAB) gives many women a negative feeling, so throughout this article we will refer to any type of spontaneous abortion or pregnancy loss under 20 weeks as miscarriage. Miscarriage is the most common type of pregnancy loss, according to the American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG). Studies reveal that anywhere from 10-25% of all clinically recognized pregnancies will end in miscarriage. Chemical pregnancies may account for 50-75% of all miscarriages. This occurs when a pregnancy is lost shortly after implantation, resulting in bleeding that occurs around the time of her expected period. The woman may not realize that she conceived when she experiences a chemical pregnancy. Most miscarriages occur during the first 13 weeks of pregnancy. Pregnancy can be such an exciting time, but with the great number of recognized miscarriages that occur, it is beneficial to be informed about miscarriage, in the unfortunate event that you find yourself or someone you know faced with one. There can be many confusing terms and moments that accompany a miscarriage. There are different types of miscarriage, different treatments for each, and different statistics for what your chances are of having one. The following information gives a broad overview of miscarriage. This information is provided to help equip you with knowledge so that you might not feel so alone or lost if you face a possible miscarriage situation. As with most pregnancy complications, remember that the best person you can usually talk to and ask questions of is your health care provider.Your purchase supports the APAWhy do miscarriages occur?The reason for miscarriage is varied, and most often the cause cannot be identified. During the first trimester, the most common cause of miscarriage is chromosomal abnormality - meaning that something is not correct with the baby's chromosomes. Most chromosomal abnormalities are the cause of a damaged egg or sperm cell, or are due to a problem at the time that the zygote went through the division process. Other causes for miscarriage include (but are not limited to):

Hormonal problems, infections or maternal health problems Lifestyle (i.e. smoking, drug use, malnutrition, excessive caffeine and exposure to radiation or

toxic substances) Implantation of the egg into the uterine lining does not occur properly Maternal age Maternal trauma

Factors that are not proven to cause miscarriage are sex, working outside the home (unless in a harmful environment) or moderate exercise.What are the chances of having a Miscarriage?For women in their childbearing years, the chances of having a miscarriage can range from 10-25%, and in most healthy women the average is about a 15-20% chance.

An increase in maternal age affects the chances of miscarriage Women under the age of 35 yrs old have about a 15% chance of miscarriage Women who are 35-45 yrs old have a 20-35% chance of miscarriage Women over the age of 45 can have up to a 50% chance of miscarriage

Page 10: Abortus Berulang

A woman who has had a previous miscarriage has a 25% chance of having another (only a slightly elevated risk than for someone who has not had a previous miscarriage)

What are the Warning signs of Miscarriage: If you experience any or all of these symptoms, it is important to contact your health care provider or a medical facility to evaluate if you could be having a miscarriage:

Mild to severe back pain (often worse than normal menstrual cramps) Weight loss White-pink mucus True contractions (very painful happening every 5-20 minutes) Brown or bright red bleeding with or without cramps (20-30% of all pregnancies can

experience some bleeding in early pregnancy, with about 50% of those resulting in normal pregnancies)

Tissue with clot like material passing from the vagina Sudden decrease in signs of pregnancy

The different types of Miscarriage:Miscarriage is often a process and not a single event. There are many different stages or types of miscarriage. There is also a lot of information to learn about healthy fetal development so that you might get a better idea of what is going on with your pregnancy. Understanding early fetal development and first trimester development can help you to know what things your health care provider is looking for when there is a possible miscarriage occurring. Most of the time all types of miscarriage are just called miscarriage, but you may hear your health care provider refer to other terms or names of miscarriage such as:Threatened Miscarriage: Some degree of early pregnancy uterine bleeding accompanied by cramping or lower backache. The cervix remains closed. This bleeding is often the result of implantation.Inevitable or Incomplete Miscarriage: Abdominal or back pain accompanied by bleeding with an open cervix. Miscarriage is inevitable when there is a dilation or effacement of the cervix and/or there is rupture of the membranes. Bleeding and cramps may persist if the miscarriage is not complete.Complete Miscarriage: A completed miscarriage is when the embryo or products of conception have emptied out of the uterus. Bleeding should subside quickly, as should any pain or cramping. A completed miscarriage can be confirmed by an ultrasound or by having a surgical curettage (D&C) performed.Missed Miscarriage: Women can experience a miscarriage without knowing it. A missed miscarriage is when embryonic death has occurred but there is not any expulsion of the embryo. It is not known why this occurs. Signs of this would be a loss of pregnancy symptoms and the absence of fetal heart tones found on an ultrasound.Recurrent Miscarriage (RM): Defined as 3 or more consecutive first trimester miscarriages. This can affect 1% of couples trying to conceive.Blighted Ovum: Also called an anembryonic pregnancy. A fertilized egg implants into the uterine wall, but fetal development never begins. Often there is a gestational sac with or without a yolk sac, but there is an absence of fetal growth.Ectopic Pregnancy: A fertilized egg implants itself in places other than the uterus, most commonly the fallopian tube. Treatment is needed immediately to stop the development of the implanted egg. If not treated rapidly, this could end in serious maternal complications.Molar Pregnancy: The result of a genetic error during the fertilization process that leads to growth of abnormal tissue within the uterus. Molar pregnancies rarely involve a developing embryo, but often entail the most common symptoms of pregnancy including a missed period, positive pregnancy test and severe nausea. Treatment of Miscarriage:The main goal of treatment during or after a miscarriage is to prevent hemorrhaging and/or infection. The earlier you are in the pregnancy, the more likely that your body will expel all the fetal tissue by itself and will not require further medical procedures. If the body does not expel all the tissue, the most common procedure performed to stop bleeding and prevent infection is a dilation and curettage, known as a D&C. Drugs may be prescribed to help control bleeding after the D&C is performed. Bleeding should be monitored closely once you are at home; if you notice an increase in bleeding or the onset of chills or fever, it is best to call your physician immediately.

Page 11: Abortus Berulang

Prevention of Miscarriage:Since the cause of most miscarriages is due to chromosomal abnormalities, there is not much that can be done to prevent them. One vital step is to get as healthy as you can before conceiving to provide a healthy atmosphere for conception to occur.

Exercise regularly Eat healthy Manage stress Keep weight within healthy limits Take folic acid daily Do not smoke

Once you find out that you are pregnant, again the goal is to be as healthy as possible, to provide a healthy environment for your baby to grow in:

Keep your abdomen safe Do not smoke or be around smoke Do not drink alcohol Check with your doctor before taking any over-the-counter medications Limit or eliminate caffeine Avoid environmental hazards such as radiation, infectious disease and x-rays Avoid contact sports or activities that have risk of injury

Emotional Treatment:Unfortunately, miscarriage can affect anyone. Women are often left with unanswered questions regarding their physical recovery, their emotional recovery and trying to conceive again. It is very important that women try to keep the lines of communication open with family, friends and health care providers during this time. Molar PregnancyA molar pregnancy is an abnormality of the placenta, caused by a problem when the egg and sperm join together at fertilization. Molar pregnancies are rare, occurring in 1 out of every 1,000 pregnancies. Molar pregnancies are also called gestational trophoblastic disease (GTD), hydatidiform mole or simply referred to as a “mole.”What is a molar pregnancy?A molar pregnancy is the result of a genetic error during the fertilization process that leads to growth of abnormal tissue within the uterus. Molar pregnancies rarely involve a developing embryo, and the growth of this material is rapid compared to normal fetal growth. It has the appearance of a large and random collection of grape-like cell clusters. There are two types of molar pregnancies, “complete,” and “partial.”What is a complete molar pregnancy?Complete molar pregnancies have only placental parts (there is no baby), and form when the sperm fertilizes an empty egg. Because the egg is empty, no baby is formed. The placenta grows and produces the pregnancy hormone, hCG. Unfortunately, an ultrasound will show that there is no fetus, only a placenta. What is a partial molar pregnancy?

Partial Mole occurs when the mass contains both the abnormal cells and an embryo that has severe defects. In this case the fetus will be overcome by the growing abnormal mass rather quickly.

An extremely rare version of a partial mole is when twins are conceived but one embryo begins to develop normally while the other is a mole. In these cases, the healthy embryo will very quickly be consumed by the abnormal growth.

Who is at risk for a molar pregnancy? In the US, approximately 1 out of 1,000 pregnancies is a molar pregnancy Mexico, Southeast Asia, and the Philippines have higher rates than the US for molar

pregnancies in women White women in the US are at higher risk than black women Women over the age of 40 Women who have had a prior molar pregnancy Women with a history of miscarriage

Page 12: Abortus Berulang

What are the symptoms of a molar pregnancy? Vaginal spotting or bleeding Nausea and vomiting Develop rare complications like thyroid disease Early preeclampsia (high blood pressure) Increased hCG levels No fetal movement or heart tone detected

How do I know if I have a molar pregnancy? A pelvic exam may reveal a larger or smaller uterus, enlarged ovaries, and abnormally high

amounts of the pregnancy hormone hCG. A sonogram will often show a “cluster of grapes” appearance, signifying an abnormal

placenta.How is a molar pregnancy treated?

Most molar pregnancies will spontaneously end and the expelled tissue will appear grape-like. Molar pregnancies are removed by suction curettage, dilation and evacuation (D & C), or

sometimes through medication. General anesthetic is normally used during these procedures. Approximately 90% of women who have a mole removed require no further treatment. Follow-up procedures that monitor the hCG levels can occur monthly for six months or as

your physician prescribes. Follow-up is done to ensure that the mole has been removed completely. Traces of the mole

can begin to grow again and may possess a cancerous-type threat to other parts of the body. Pregnancy should be avoided for one year after a molar pregnancy. Any birth control method is acceptable with the exception of an intrauterine device.

How will I feel emotionally after a molar pregnancy?Although the removal of a molar pregnancy is not the termination of a developing child, it is still a loss. Even when an embryo is present, it does not have the opportunity to develop into a child. Most women discover that they are dealing with a molar pregnancy after the discovery and anticipation of being pregnant. Dreams, plans and hopes are cancelled all at once; it is still a significant loss.

There will have to be healing time for all involved, and grief will be experienced. Recognize that people may try to console you with statements like, “Well at least it wasn't a

baby.” This doesn't help, but at least know that they are trying. Let them know what you need. What makes this type of loss further different from a “normal miscarriage” or loss is the

continued concern of the mother's health. Make sure that you stick with your follow-up appointments.

Support groups and counseling may prove beneficial.Can I have another molar pregnancy?

If you had a molar pregnancy without complications, your risk of having another molar pregnancy is about 1-2%.

Genetic counseling prior to conceiving again is helpful for some couples. Kelainan dalam Lamanya Kehamilan Meliputi Abortus dan Imatur Pendahuluan : Definisi Dan Klasifikasi Pada Kelainan Dalam

Lamanya Kehamilan Seperti telah diterangkan, lamanya kehamilan yang normal 280 hari atau

40 minggu dihitung dari hari pertama haid yang terakhir. Kadang-kadang kehamilan berakhir sebelum waktunya dan ada kalanya melebihi waktu yang normal. Berakhirnya kehamilan menurut lamanya kehamilan berlangsung dapat dibagi sebagai berikut :

Lamanya Kehamilan

Berat anak istilah

< 22 minggu <500 g Abortus22-28 minggu 500g-1000g Partus immaturus

Page 13: Abortus Berulang

28-37 minggu 1000g-2500g Partus praematurus37-42 minggu >2500-4500g Partus aterm (maturus)>42 minggu >4500g Partus serotinus 1.      Abortus Definisi dan Etiologi Abortus Abortus adalah berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat-akibat

tertentu) pada atau sebelum kehamilan tersebut berusia 22 minggu atau buah kehamilan belum mampu untuk hidup di luar kandungan. Abortus adalah pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan1.

Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Sebagai batasan ialah kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.6

Etiologi atau penyebab abortus (early pregnancy loss) bervariasi dan sering diperdebatkan. Umumnya lebih dari satu penyebab. Penyebab terbanyak diantaranya adalah sebagai berikut.

a.         Faktor genetik (berupa mendelian, multifaktor, robertsonian, resiprokal) ; Sebagian besar abortus spontan disebabkan oleh kelainan kariotip embrio. Paling sedikit 50% kejadian abortus pada trimester pertama merupakan kelainan sitogenetik. Bagaimanapun, gambaran ini belum termasuk kelainan yang disebabkan oleh gangguan gen tunggal (misalnya mendelian) atau mutasi pada beberapa lokus (misalnya gangguan pligenik atau multifaktor) yang tidak terdeteksi dengan pemeriksaan kariotip. Kejadian tertinggi kelainan sitogenik konsepsi terjadi pada wal kehamilan. Kelainan sitogenik embrio biasanya berupa aneuploidi yang disebabkan oleh kejadian sporadis, misalnya nondisjunction meiosis atau poliploidi dari fertilitas abnormal. Separuh dari kejadian abortus karena kejadian sitogenik pada trimester pertama berupa trisomi autosom. Abortus berulang bisa disebabkan oleh penyatuan dari 2 kromosom yang abnormal, dimana bila kelainannya hanya pada salah satu orang tua, faktor tersebut tidak diturunkan. Studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa bila didapatkan kelainan kariotip pada kejadian abortus, maka kehamilan berikutnya juga berisiko abortus.

b.         Faktor Kelainan kongenital uterus : seperti anomali duktus Mulleri, septum uterus, uterus bikornis, inkompetensi serviks uterus, mioma uteri, sindroma Asherman. Defek anatomik uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi obstetrik, seperti abortus berulang, prematuritas, serta malpresentasi janin. Insiden kelainan bentuk uterus berkisar 1/200 – 1/ 600 perempuan. Pada perempuan dengan riwayat abortus, ditemukan anomali uterus pada 27% pasien. Studi oleh Acien (1996) terhadap 170 pasien hamil dengan malformasi uterus, mendapatkan hasil hanya 18,8% yang bisa bertahan sampai melahirkan cukup bulan, sedangkan 36,5% mengalami persalinan abnormal (prematur, sungsang). Penyebab terbanyak abortus karena kelainan anatomik uterus adalah septum uterus (40-80%), kemudian uterus bikornis atau uterus didelfis atau unikornis (10-30%). Mioma uteri bisa menyebabkan baik infertilitas maupun abortus berulang. Risiko kejadiannya antara 10-30% pada perempuan usia reproduksi. Sebagian besar mioma tidak memberikan gejala, hanya yang berukuran besar atau yang memasuki kavum uteri (submukosa) yang akan menimbulkan gangguan. Sindroma Asherman bisa menyebabkan gangguan tempat implantasi serta pasokan darah pada permukaan endometrium. Resiko abortus antara 25-80%,

Page 14: Abortus Berulang

bergantung pada berat ringannya gangguan. Untuk mendiagnosis kelainan ini bisa digunakan histerosalpingografi (HSG) dan ultrasonografi.

c.         Penyebab Autoimun : Terdapat hubungan yang nyata tentang abortus berulang dan penyakit autoimun. Misalnya pada Systematic Lupus Erythematosus (SLE) dan Antiphospholipid Antibodies (aPA). aPA merupakan antibodi spesifik yang didapati pada perempuan dengan SLE. Kejadian abortus spontan diantara pasien SLE sekitar 10%, dibending populasi umum. Bila digabung dengan peluang terjadinya pengakhiran kehamilan trimester 2 & 3, maka diperkirakan 75% pasien dengan SLE akan berakhir dengan terhentinya kehamilan. Sebagian besar kematian janin dihubungkan dengan adanya aPA. aPA merupakan antibodi yang akan berikatan dengan sisi negatif dan fosfolipid. Paling sedikit ada 3 bentuk aPA yang diketahui mempunyai arti klinis yang penting, yaitu Lupus Anticoagulant (LAC), anticardiolipin antibodies (aCLs) , dan biologically false-positive untuk syphilis (FP-STS). APS (antiphospholipid syndrome) sering juga ditemukan pada beberapa keadaan obstetrik, misalnya pada preeklampsi, IUGR dan prematuritas. Beberapa keadaan lain yang berhubungan dengan APS yaitu trombosis arteri-vena, trombositopeni autoimun, anemia hemolitik, korea dan hipertensi pulmonum. The International Consensus Workshop pada 1998 mengajukan klasifikasi kriteria untuk APS, yaitu meliputi trombosis vaskular, komplikasi kehamilan, kriteria laboratorium, antibodi fosfolipid/ antikoagulan.

d.         Penyebab infeksi : Teori peran mikroba infeksi terhdap kejadian abortus mulai di duga sejak 1917, ketika DeForest dan kawan-kawan melakukan pengamatan kejadian abortus berulang pada perempuan yang ternyata terpapar brucellosis. Beberapa jenis organisme tertentu diduga berdampak pada kejadian abortus antara lain Bakteri (Listeria monositogenes, Klamidia trakomatis, Ureaplasma urealitikum, Mikoplasma hominis, Bakterial vaginosis), virus (sitomegalovirus, rubela, Herpes simpleks virus “HSV”, Human Immunodeficiency Virus “HIV”, parvovirus), parasit (toksoplasmosis gondii, Plasmodium falsifarum), dan spirokaeta (treponema pallidum). Berbagai teori diajukan untuk mencoba menerangkan peran infeksi terhadap risiko abortus/EPL, diantaranya yaitu adanya metabolik toksik, endotoksin, eksotoksin, atau sitokin yang berdampak langsung pada janin atau unit fetoplasenta, infeksi janin yang bisa berakibat kematian janin atau cacat berat sehingga janin sulit bertahan hidup, infeksi plasenta yang berakibat insufisiensi plasenta dan bisa berlanjut kematian janin, infeksi kronis endometrium dari penyebaran kuman genitalia bawah (misal Mikoplasma hominis, Klamidia, Ureaplasma urealitikum, HSV) yang bisa mengganggu proses implantasi, amnionitis (oleh kuman gram-positif dan gram-negatif, Listeria monositogenes), memacu perubahan genetik dan anatomik embrio, umumnya oleh karena virus selama kehamilan awal (misalnya rubela, parvovirus B19, sitomegalovirus, koksakie virus B, varisela zoster, kronik sitomrgalovirus CMV, HSV)

e.         Faktor Lingkungan : diperkirakan 1-10% malformasi janin akibat dari paparan obat, bahan kimia, atau radiasi dan umumnya berakhir dengan abortus, misalnya paparan terhadap buangan gas anestesi dan tembakau. Sigaret rokok diketahui mengandung ratusan unsur toksik, antara lain nikotin yang telah diketahui mempunyai efek vasoaktif sehingga menghambat sirkulasi uteroplasenta. Karbon monoksida juga menurunkan pasokan oksigen ibu dan janin serta memacu neurotoksin.

Page 15: Abortus Berulang

Dengan adanya gangguan pada sistem sirkulasi fetoplasenta dapat terjadi gangguan pertumbuhan janin yang berakibat terjadinya abortus.

f.           Faktor hormonal : Ovulasi, implantasi, serta kehamilan dini bergantung pada koordinasi yang baik sistem pengatur hormon maternal. Oleh karena itu, perlu perhatian langsung terhadap sistem hormon secara keseluruhan, fase luteal, dan gambaran hormon setelah konsepsi terutama kadar progesteron.

g.         Faktor Hematologik : Beberapa kasus abortus berulang ditandai dengan defek plasentasi dan adanya mikrotrombi pada pembuluh darah plasenta. Berbagai komponen koagulasi dan fibrinolitik memegang peran penting pada implantasi embrio, invasi trofoblas, dan plasentasi. Pada kehamilan terjadi keadaan hiperkoagulasi dikarenakan peningkatan kadar faktor prokoagulan, penurunan faktor antikoagulan, penurunan aktivitas fibrinolitik.

Macam-macam Abortus Abortus dapat dibagi sebagai berikut: Abortus spontan : Terjadi dengan sendirinya,  keguguran yang

merupakan ± 20% dari semua abortus. Penyebabnya adalah pada ibu hamil muda, abortus selalu didahului oleh kematian janin. Kemudian kematian janin ini dapat disebabkan oleh kelainan telur (kelainan kromosom berupa trisomi atau polyploidi) dan penyakit ibu (infeksi akut, kelainan endokrin, trauma, kelainan alat kandungan). Kelainan telur menyebabkan kelainan pertumbuhan yang sedemikian rupa hingga janin tidak mungkin hidup terus, misalnya karena faktor endogen seperti kelainan kromosom (trisomi  dan polyploidi). Kelainan pertumbuhan selain oleh kelainan benih dapat juga disebabkan oleh kelainan lingkungan atau faktor exogen (virus, radiasi, dan zat kimia).

Aborsi Provocatus : terjadi dengan sengaja, digugurkan 80% dari semua abortus. Abortus provocatus ada 2  yaitu abortus provocatus artificialis atau abortus therapeuticus. Abortus provocatus artificialis adalah penguguran kehamilan, biasanya dengan alat-lat dengan alasan bahwa kehamilan membahayakan membawa kematian bagi ibu. Misalnya seorang ibu memilki penyakit berat. Sedangkan abortus therapeuticus pada kehamilan  dibawah 12 minggu dapat dilakukan dengan pemberian prostaglandin atau curettage dengan vakum (penyedotan) dengan sendok curet. Pada kehamilan yang tua diatas 12 minggu dilakukan hysteromi, dengan cara disuntikkan garam hypertonis 20% atau prostaglandin intra-amnial. Indikasi untuk abortus therapeuticus misalnya: penyakit jantung (rheuma), hipertensi essentialis, carcinoma dari serviks. Dalam menghadapi abortus artificialis, pertimbangan terhadap intervensi abortus dilakukan oleh minimal 3 dokter spesialis yaitu spesialis Kebidanan dan Kandungan, spesialis Penyakit Dalam, dan Spesialis Jiwa. Bila perlu ditambah dengan tokoh agama terkait, setelah dilakukan terminasi kehamilan, harus diperhatikan agar ibu dan suaminya tidak mengalami trauma psikis di kemudian hari. Sedangkan abortus provocatus criminalis adalah penguguran kehamilan tanpa alasan medis yang syah dan dilarang oleh hokum.

Abortus imminens adalah terjadi perdarahan bercak yang menunjukkan ancaman terhadap kelangsungan suatu kehamilan. Dalam kondisi ini, kehamilan masih mungkin berlanjut dan dipertahankan2 . Abortus imminens adalah abortus ini baru mengancam dan masih ada harapan untuk mempertahankannya.3 Abortus Imminens (keguguran mengancam) yang artinya abortus  ini baru mengancam dan masih ada harapan untuk

Page 16: Abortus Berulang

mempertahkan.Jika seorang ibu yang hamil muda mungkin juga disebabkan oleh hal-hal lain dari abortus  misalnya plasenta sign (gejala plasenta) yaitu perdarahan dari pembuluh-pembuluh darah disekitar plasenta. Gejala ini selalu terdapat pada kera marcus rhesus yang hamil, atau juga bisa disebabkan oleh erosio portionis juga mudah berdarah pada kehamilan. Pengobatan pada abortus imminens; Karena ada harapan bahwa kehamilan dapat berlangsung terus, pasien dianjurkan istirahat cukup, kemudian dapat diberikan sedativa (misalnya luminal, kodein, morphin), kemudian diberikan progesteron 10 mg sehari untuk terapi subtitusi dan untuk mengurangi kerentanan otot-otot rahim (misalnya gestanon). Istirahat rendah tidak usah melebihi 48 jam. Kalau telur masih baik, perdarahan dalam waktu ini akan berhenti. Kalau perdarahan tidak berhenti dalam waktu 48 jam maka kemungkinan besar terjadi abortus dan istirahat hanya menunda abortus tersebut. jika perdarahan berhenti, pasien harus menjaga diri jangan banyak bekerja dan coitus dilarang selama dua minggu. Jika perdarahan disebabkan oleh erosi, maka erosi diberikan nitras argenti 5 – 10% kalau sebabnya polip maka polip diputar sampai tangkainya terputus.Selanjutnya kita perhatikan apakah janin masih hidup dengan menentukan apakah rahim terus membesar. Jika janin telah mati, maka rahim tidak membesar dan reaksi Galli Mainini menjadi negatif, tetapi baiknya dialkukan sekurang-kurangnya 2 kali berturut-turut .

Abortus Incipiens (keguguran berlangsung), yang artinya abortus ini sudah berlangsung dan tidak dapat dicegah lagi. Tanda-tandanya adalah perdarahan banyak yang kadang-kadang keluar gumpalan darah, nyeri karena kontraksi rahim yang kuat, akibat kontraksi rahim terjadi pembukaan. Untuk mempercepat pengosongan rahim diberikan oksitosin sebanyak 21/2 satuan tiap jam sebanyak 6 kali. Untuk mengurangi nyeri karena his boleh diberi saditiva. Jika pitosin tidak berhasil, dapat dialukan curettage asal pembukaan cukup besar.

Abortus incompletus (keguguran tidak lengkap) yang artinya sebagian dari buah kehamilan telah dilahirkan tapi sebagian biasanya jaringan plasenta masih teringgal didalam rahim. Gejala-gejalanya yaitu setelah terjadi abortus dengan pengeluaran jaringan, perdarahan berlangsung terus, serviks tetap terbuka karena masih ada benda didalam rahim yang dianggap corpus allieum, maka uterus akan berusaha mengeluarkannya dengan mengadakan kontraksi. Tetapi kalau keadaan ini dibiarkan lama, serviks akan mentutup kembali. Abortus incompletus harus segara dibersihkan dengan curettage. Selama masih ada sisa-sisa plasenta akan terus terjadi perdarahan.

Abortus completus (keguguran tidak lengkap) yang artinya seluruh buah kehamilan telah dilahirkan dengan lengkap. Kalau telur lahir dengan lengkap maka abortus disebut komplit. Maka hendaknya pada abortus kita selalu periksa jaringan yang dilahirkan. Pada abortus  completus perdarahan segera berkurang setelah isi rahim dikeluarkan dan selambat-lambatnya dalam 10 hari perdarahan berhenti sama sekali, karena dalam masa ini luka rahim telah sembuh dan epitelisasi telah selesai. Serviks juga akan segera menutup kembali. Kalau 10 hari setelah abortus masih ada perdarahan juga, maka abortus incompletus atau endometritis post abortus harus dipikirkan.

Missed abortion (keguguran yang tertunda) yang artinya keadaan dimana janin telah mati sebelum minggu ke 22, teapi tertahan di dalam rahim selama 2 bulan atau lebih setelah janin mati. Gejala-gejalanya

Page 17: Abortus Berulang

yaitu rahim tidak membesar, malahan mengecil karena absorbsi air ketuban dan macerasi janin, buah dada mengecil kembali, gejala-gejala lain yang penting tidak ada, hanya amenorhea berlangsung terus, biasanya keadaan ini berakhir dengan keadaan abortus yang spontan selambat-lambatnya enam minggu setelah janin mati. Kalau janin mati pada kehamilan yang masih muda sekali maka janin lebih cepat dikeluarkan, sebaliknya kalau kehamilan lebih lanjut retensi janin lebih lama. Kecenderungan untuk menyelesaikan missed abortion lebih aktif karena adanya oksitosin dan antibiotik. Segera setelah kematian janin dapat dipastikan, diberi pitosin misalnya 10 satuan dalam 500 cc glukosa. Kalau tidak terjadi abortus dengan pitosin infus ini, sekurang-kurangnya terjadi pembukaan yang memudahkan curettage.

Abortus habitualis (keguguran yang berulang-ulang) yang artinya aborts yang telah berulang berturut-turut biasanya terjadi 3 kali berturut-turut. Sebab-sebab abortus habitualis dibagi dalam 2 golongan yaitu sel benih yang kurang baik (pada saat ini kita belum tahu bagaimana mengobatinya) dan lingkungan yang tidak baik (hal-hal yang dapat mempengaruhi lingkungan adalah dysfungsi glandula thyroidea “hypofungsi kelenjar ini dapat diobati dengan pemberian thyreoid hormon”, kekurangan hormon-hormon corpus luteum atau placenta “kekurangan hormon diatasi dengan terapi substitusi misalnya sering diberi progesteron”, defisiensi makanan seperti asam folin, kelainan anatomis dari uterus yang kadang-kadang dapat dikoreksi secara operatif “uterus duplex”, cervix yang incompetent yaitu cervix yang incompetent sudah membuka pada bulan empat ke atas sehingga akibatnya ketuban mudah pecah dan terjadi abortus. Cervix dapat menjadi incompetent setelah partio amputansi atau karena robekan cervix yang panjang. Abortus karena cervix yang incompetent dapat dicegah dengan operasi Shirodkar atau Mac Donald, hypertensia essentialis, golongan darah suami istri yang tidak cocok; sistem ABO atau faktor Rh, toxoplasmose).

Etiologi

Faktor-faktor penyebab keguguran sebagian besar tidak diketahui secara pasti tetapi terdapat beberapa faktor sebagai berikut :

-          Kelainan kromosom ; Kelainan yang sering ditemukan pada abortus spontan adalah trisomi, poliploidi dan kemungkinan pula kelainan kromosom seks.

-          Lingkungan kurang sempurna ; Bila lingkungan di endometrium di sekitar tempat implantasi kurang sempurna sehinggga pemberian zat-zat makanan pada hasil konsepsi terganggu.

-          Pengaruh dari luar ; Radiasi, virus, obat-obatan, dan sebagainya dapat mempengaruhi baik hasil konsepsi maupun lingkungan hidupnya dalam uterus. Pengaruh ini umumnya dinamakan pengaruh teratogen. Zat teratogen yang lain misalnya tembakau, alkohol, kafein, dan lainnya.

-          Kelainan pada plasenta ; Endarteritis dapat terjadi dalam vili koriales dan menyebabkan oksigenisasi plasenta terganggu, sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan dan kematian janin. Keadaan ini biasa terjadi sejak kehamilan muda misalnya karena hipertensi menahun.

-          Penyakit Ibu ; Berbagai penyakit ibu dapat menimbulkan abortus misalnya:

o  Infeksi akut yang berat : pneumoni, typfus, dan lain-lain. dapat menyebabkan abortus atau partus, praematurus. Janin dapat meninggal

Page 18: Abortus Berulang

oleh toxin-toxin atau karena penyembuan kuman-kuman sendiri. Akan tetapi keadaan ibu yang toxis dapat menyebabkan abortus walaupun janin hidup.

o  Kelainan endokrin, misalnya kekurangan progesteron atau disfungsi kelenjar gondok.

o  Trauma, misalnya laparotomi atau kecelakaan dapat menimbulkan abortus.

o  Kelainan alat kandungan seperti hypoplasia uteri, tumor uterus, seviks yang pendek, kelainan endometriu yang dapat menimbulkan abortus.

-          Patologi : Kelainan yang terpenting adalah prdarahan dalam desidua dan nekrose sekitarnya. Karena perdarahan ini ovum terlepas sebagian atau seluruhnya dan berfungsi sebagai benda asiing yang menimbulkan kontraksi. Kontraksi ini akhirnya mengeluarkan isi rahim. Sebelum minggu ke 10 biasanya telur dikeluarkan dengan lengkap. Hal ini disebabkan karena sebelum minggu ke 10 villi choralis belum menanamkan diri dengan erat kedalam desidua, sehingga telur mudah terlepas keseluruhannya. Antara minggu ke 10-12 chorion tumbuh cepat dan hubungan villi chorialis dengan desidua makin erat., hingga mulai saat terrsebut sering sisa-sisa chorion (plasenta) tertinggal terjadi abortus.

-          Penyakit bapak, umur lanjut, penyakit kronis seperti : TBC, anemi, dekompensasi, kordis, mainutrisi, netritis, sufilis, keracunan, sinar rontgen dan avitaminosis.1

-          Penyulit Abortus ; Kebanyakan penyulit dari abortus disebabkan abortus criminal’s walaupun dapat timbul juga pada abortus yang spontan. Perdarahan yang hebat. Infeksi kadang-kadang sampai terjadi sepsis, infeksi dari tuba dapat menimbulkan kemandulan. Renal failure (faal ginjal rusak) disebabkan karena infeki dan shock. Pada pasien dengan abortus diurese selalu harus diperhatikan. Pengobatan dengan pembatasan cairan dan pengobatan infeksi. Shock bakteriil terjadi shock yang berat, rupa-rupanya oleh toksin-toksin. Pengobatannya adalah dengan pemberian antibiotik, cairan, kortikosteroid dan heparin. Perforasi: ini terjadi waktu curettage atau karena abortus Criminalis.

2.      Imatur Seperti telah di terangkan, lamanya kehamilan yang normal adalah 280

hari atau 40 minggu di hitung dari hari pertama haid yang terakhir. Kadang-kadang kehamilan  berakhir sebelum waktunya dan ada kalanya melebhi waktu yang normal. Kelainan lamanya kehamilan salah satunya yaitu imatur, lamanya kehamilan imatur berkisar antara 22-28 minggu. Dan berat anaknya sekitar 500-1000g.

Patofisiologi Menurut dr Botefilia SpOG, Spesialis Kebidanan dan Kandungan Rumah

Sakit Persahabatan, Jakarta, ada beberapa faktor yang menyebabkan kematian janin dalam kandungan, antara lain :

-       Hipertensi atau tekanan darah tinggi. -       Preeklampsia dan eklampsia. -       Perdarahan Etiologi dan Faktor Predisposisi Adapun penyebabnya: -       Perdarahan antepartum seperti plasenta previa dan solusio plasenta. -       pre eklamsi dan eklamsi. -       penyakit kelainan darah. -       penyakit infeksi menular

Page 19: Abortus Berulang

-       penyakit saluran kencing. -       penyakit endokrin sperti DM dan hipertiroid -       malnutrisi Faktor predisposisi IUFD : a.    Factor ibu (High Risk Mothers): -       status social ekonomi yang rendah. -       tingkat pendidikan ibu yang rendah. -       umur ibu yang melebihi 30 tahun atau kurang dari 20 tahun. -       paritas pertama atau paritas kelima atau lebih -       tinggi dan BB ibu tidak proporsional. -       kehamilan di luar perkawinan. -       kehamilan tanpa pengawasan antenatal. -       ganggguan gizi dan anemia dalam kehamilan. -       ibu dengan riwayat kehamilan / persalinan sebelumnya tidak baik

seperti bayi lahir mati. -       riwayat inkompatibilitas darah janin dan ibu. b.    factor Bayi (High Risk Infants) ; -       bayi dengan infeksi antepartum dan kelainan congenital. -       bayi dengan diagnosa IUGR (Intra Uterine Growth Retardation). -       bayi dalam keluarga yang mempunyai problema social. c.    factor yang berhubungan dengan kehamilan : -       abrupsio plasenta. -       plasenta previa. -       preeklamsi / eklamsi. -       Polihidramnion. -       inkompatibilitas golongan darah. -       kehamilan lama. -       kehamilan ganda. -       Infeksi. -       Diabetes Penanganan Terapi a.    Selama menunggu diagnosa pasti, ibu akan mengalami syok dan

ketakutan memikirkan bahwa bayinya telah meninggal. Pada tahap ini bidan berperan sebagai motivator untuk meningkatkan kesiapan mental ibu dalam menerima segala kemungkinan yang ada.

b.    Diagnosa pasti dapat ditegakkan dengan berkolaborasi dengan dokter spesialis kebidanan melalui hasil USG dan rongen foto abdomen, maka bidan seharusnya melakukan rujukan.

c.    Menunggu persalinan spontan biasanya aman, tetapi penelitian oleh Radestad et al (1996) memperlihatkan bahwa dianjurkan untuk menginduksi sesegera mungkin setelah diagnosis kematian in utero. Mereka menemukan hubungan kuat antara menunggu lebih dari 24 jam sebelum permulaan persalinan dengan gejala kecemasan.

Maka sering dilakukan terminasi kehamilan : 1.      Pengakhiran kehamilan  jika ukuran uterus tidak lebih dari 12

minggu kehamilan. Persiapan: Keadaan memungkinkan yaitu Hb > 10 gr%, tekanan darah baik. Dilakukan pemeriksaan laboratorium, yaitu : pemeriksaan trombosit, fibrinogen, waktu pembekuan, waktu perdarahan, dan waktu protombin. Tindakan: Kuretasi vakum Kuretase tajam Dilatasi dan kuretasi tajam  .

2.      Pengakhiran kehamilan  jika ukuran uterus lebih dari 12 minggu sampai 20 minggu. Misoprostol 200mg intravaginal, yang dapat diulangi 1 kali 6 jam sesudah pemberian pertama  Pemasangan batang laminaria

Page 20: Abortus Berulang

12 jam sebelumnya. Kombinasi pematangan batang laminaria dengan misoprostol atau pemberian tetes oksitosin 10 IU dalam 500 cc dekstrose 5% mulai 20 tetes per menit sampai maksimal 60 tetes per menit. Catatan: dilakukan kuretase bila masih terdapat jaringan.

3.      Pengakhiran kehamilan  jika lebih dari 20 – 28 minggu. Misoprostol 100 mg intravaginal, yang dapat diulangi 1 kali 6 jam sesudah pemberian pertama.  Pemasangan batang laminaria selama 12 jam. Pemberian tetes oksitosin 5 IU dalam dekstrose 5% mulai 20 tetes per menit sampai maksimal 60 tetes per menit. Kombinasi cara pertama dan ketiga untuk janin hidup maupun janin mati. Kombinasi cara kedua dan ketiga untuk janin mati. Catatan: dilakukakan histerotomi bila upaya melairkan pervaginam dianggap tidak berhasil atau atas indikasi ibu, dengan sepengetahuan konsulen.

4.      Pengakhiran kehamilan  jika lebih dari 28 minggu kehamilan. Misoprostol 50 mg intravaginal, yang dapat diulangi 1 kali 6 jam sesudah pemberian pertama. Pemasangan metrolisa 100 cc 12 jam sebelum induksi untuk pematangan serviks (tidak efektif bila dilakukan pada KPD). Pemberian tetes oksitosin 5 IU dalam dekstrose 5% mulai 20 tetes per menit sampai maksimal 60 tetes untuk primi dan multigravida, 40 tetes untuk grande multigravida sebanyak 2 labu. Kombinasi ketiga cara diatas. Catatan: dilakukan SC bila upaya melahirkan pervaginam tidak berhasil, atau bila didapatkan indikasi ibu maupun janin untuk menyelesaikan persalinan

ANTIPHOSPHOLIPID SYNDROME Download file lengkap di halaman ini A. PENDAHULUAN

Antiphospholipid syndrome (APS) adalah gangguan autoimun yang ditandai oleh thrombosis pembuluh darah vena dan atau arteri , abortus berulang yang berhubungan dengan thrombosis di vaskularisasi plasenta , trombositopeni , kelainan neurologi, livido retikularis dan adanya antibody antiphospholipid di dalam darah.Klinisi pertama kali menemukan adanya kaitan antara antibodi antifosfolipid (aPL) dengan hiperkoagulabitas 50 tahun yang lalu, dan kaitan dengan abortus pada pertengahan 1970an. Istilah antiphospholipid syndrome pertama kali dijelaskan pada tahun 1986 oleh Hughes dan Gharavi. Antiphospholipid syndrome merupakan kelainan trombofilia yang didapat. Sebenarnya antiphospholipid syndrome (APS) merupakan istilah yang kurang tepat, karena autoantibodi yang timbul bukan suatu antibodi terhadap fosfolipid , tetapi suatu antibodi terhadap protein plasma yang mempunyai afinitas untuk fosfolipid anion. Alasan kedua adalah kriteria untuk klasifikasi antiphospholipid syndrome mencakup sejumlah penyakit : baik tromboemblolisme maupun keguguran dan adanya level sedang hingga tinggi antibodi IgG IgM anticardiolipin (aCL) maupun lupus anticoagulan (LAC).

B. EPIDEMIOLOGIAngka frekuensi dan insiden antiphospholipid syndrome dalam populasi tidak diketahui. 1 – 5% individu sehat memiliki antibodi antifosfolipid. Antibodi anticardiolipin lebih sering ditemukan pada orang lanjut usia.Antibodi antifosfolipid ditemukan pada 30 – 40% pasien dengan SLE, tapi hanya 10% yang menderita antiphospholipid syndrome. Kebanyakan pasien antiphospholipid syndrome adalah wanita dan utamanya didiagnosis pada masa reproduksi (usia 15 – 55 tahun).

Page 21: Abortus Berulang

ETIOLOGIAntiphospholipid syndrome merupakan suatu gangguan autoimun yang belum diketahui penyebabnya. Penelitian untuk mengetahui faktor pemicu yang mungkin telah menemukan kaitan autoimun atau penyakit rematik, infeksi dan obat-obatan yang dikaitkan dengan Lupus anticoagulant atau antikardiolipin antibody.Penyakit otoimun atau rematik dan persentase pasien yang memiliki antibody aPL .o SLE (25 – 30%)o Sjögren syndrome - 42%o Rheumatoid arthritis - 33%o Autoimmune thrombocytopenic purpura - 30%o Autoimmune hemolytic anemia – tidak diketahuio Psoriatic arthritis - 28%o Systemic sclerosis - 25%o Mixed connective-tissue disease - 22%o Polymyalgia rheumatica atau giant cell arteritis - 20%o Behçet syndrome - 20%

Infeksio Syphiliso Infeksi Hepatitis Co Infeksi HIVo Infeksi virus Human T-cell lymphotrophic tipe 1o Malariao Bakterial septikemia

Obat - obatano Jantung - Prokainamide, quinidine, propranolol, hydralazineo Neuroleptik atau psikiatrik - Phenytoin, Klorpromazineo Obat-obatan lain - Interferon alfa, quinine, amoxicillin

Predisposisi genetiko Hubungan keluarga: Hubungan keluarga dengan orang yang menderita antiphospholipid syndrome memiliki kemungkinan besar memiliki antibody antifosfolipid. Suatu penelitian menggambarkan frekuensi sebesar 33%.o HLA: Suatu penelitian terbaru menemukan sebuah kaitan antara antibodi antikardiolipin dan sekelompok individu dengan gen-gen HLA tertentu, termasuk DRw53, DR7 (paling banyak pada orang Hispanic), dan DR4 (terutama pada orang kulit putih).