Abdurrahman Al Gafiqi
-
Upload
siti-ruwaida -
Category
Documents
-
view
286 -
download
10
description
Transcript of Abdurrahman Al Gafiqi
Kisah Tabi’in Abdurrahman Al-Ghafiqi http://islamicline.blogspot.com/2009/07/kisah-tabiin-abdurrahman-al-ghafiqi.html
Islamic Line
01.32
Tabiin
Suatu ketika Amirul Mukminin Umar bin
Abdul Aziz melakukan evaluasi menyeluruh terhadap berbagai kebijakan khalifah
sebelumnya, Sulaiman bin Abdul Malik. Ia meninjau ulang para Gubernurnya di berbagai
daerah. Sebagian tetap pada kedudukannya, sebagian lagi diganti dengan pejabat baru.
Orang pertama yang diangkat sebagai Gubernur adalah Samh bin Malik Al-Khaulani. Ia
dipercaya untuk menangani berbagai daerah dan kota yang telah dibuka. Gubernur ini
lantas mengunjungi Andalusia untuk mengecek kondisi penduduknya. Dalam kesempatan
itu, ia menyempatkan diri mencari apakah masih hidup ulama dari kalangan Tabi’in.
Ternyata masih ada, yaitu Abdurrahman Al-Ghafiqi.
Gubernur Samh mendengar pengetahuan Al-Ghafiqi tentang Al-Qur’an, pemahamannya
tentang hadits Rasulullah SAW, pengalamannya di berbagai medan pertempuran,
kerinduannya untuk menjemput syahid, juga sikap zuhudnya terhadap gemerlap duniawi.
Lebih dari itu, ia mendengar bahwa Al-Ghafiqi pernah bertemu dengan Khalifah Umar bin
Khattab, bahkan sempat menimba ilmu dan akhlak darinya.
Gubernur Samh lantas meminta Abdurrahman Al-Ghafiqi untuk datang menemuinya. Ia
menyambut Al-Ghafiqi dengan penuh hormat, dan memintanya untuk duduk di dekatnya.
Samh menceritakan berbagai uneg-unegnya. Ghafiqi pun memberikan berbagai nasihat dan
saran, tak lupa ia menganjurkan agar sang Gubernur terus menunaikan tugasnya dengan
baik dan benar.
Menimbang nasihat dari Al-Ghafiqi itu, Samh menawarkan jabatan untuk menangani wilayah
Andalusia, kini masuk wilayah Spanyol.
Tawaran itu dijawab oleh Al-Ghafiqi:
“Wahai Gubernur, aku hanyalah orang biasa, seperti yang lain. Aku datang ke daerah ini
hanya untuk mengetahui batas-batas daerah kaum muslimin dan batas-batas fartah musuh
mereka. Aku haya meniatkan diriku untuk mencari ridlo Allah yang Maha Agun, dan aku
membawa pedangku ini hanya untuk menegakkan kalimat Allah di muka bumi ini. Insya’allah
Gubernur akan melihatku selalu taat selama engkau menegakkan kebenaran. Aku akan
selalu mengikuti perintah Gubernur, selama anda taat pada perintah Allah dan Rasul-Nya,
walaupun aku tidak diberi kekuasaan dan perintah.”
Tak lama berselang setelah pertemuan itu, Gubernur Samh bin Malik, bertekad untuk
menaklukkan seluruh wilayah Prancis dan menyatukannya dengan wilayah Negara Islam.
Saat penyerangan itu, terjadilah peristiwa mengenaskan dan tragis, Samh bin Malik gugur
karena tertusuk panah. Seandainya tentara kaum muslimin tidak mendapatkan pertolongan
Allah dengan seorang jenius sebagai komandan perang, yang bernama Abdurrahman Al-
Ghafiqi, tentulah kaum muslimin akan menderita kekalahan yang sangat fatal.
Al-Ghafiqi tampil memimpin komando perjuangan, sehingga dapat menekan kerugian dan
derita kekalahan sekecil mungkin. Dia berhasil membawa tentara kaum muslimin pulang ke
Spanyol. Namun dalam hatinya ia tetap bertekad untuk mengulang serangan.
Berita besar yang dialami kaum muslimin di Prancis itu telah menggelisahkan dan
mengguncangkan hati sang Khalifah di Damaskus. Pertempuran dahsyat dan berani yang
diusung oleh Samh bin Malik telah membakar api keberanian pasukan kaum muslimin untuk
meneruskan perjuangan itu.
Abdurrahman Al-Ghafiqi akhirnya ditunjuk sebagai pemimpin untuk wilayah Andalusia.
Daerah-daerah Prancis dan sekitarnya yang berhasil dibebaskan disatukan di bawah
komandonya. Sepenuhnya dia ditugaskan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz di Damaskus
untuk mengurus wilayah Prancis dan sekitarnya secara independent. Pemberian wewenang
ini menunjukkan betapa Abdurrahman Al-Ghafiqi adalah sosok yang dapat dipercaya,
amanah, kuat kemauan, gigih, taqwa, bersih dan bijaksana dalam memimpin dan
mengambil keputusan.
Sejak awal kepemimpinannya, dia segera bekerja mengembalikan kepercayaan diri bala
tentaranya, membangkitkan semangat mereka. Yang paling penting dari itu adalah
menjelmakan tujuan dan cita-cita besarnya kepada tentara kaum muslimin di Andalusia,
yang telah dirintis oleh Musa bin Nusair dan Smah bin Malik Al-Khaulani.
Kaum muslimin bertekad meneruskan gerakan pembebasannya di wilayah Eropa. Mulai dari
Prancil hingga menembus dinding negeri Italia dan Jerman. Rencana selanjutnya adalah
membebaskan Konstantinopel, menyusul laut tengah.
Abdurrahman Al-Ghafiqi yakin sepenuhnya bahwa dalam mempersiapkan pertempuran
besar itu harus dimulai dari memperbaiki dan mensucikan jiwa (Tazkiyah an-Nafs). Ia juga
yakin, tidak ada satu umatpun yang dapat mewujudkan kemenagnan dan meraih cita-
citanya jika benteng jiwanya sudah rapuh, terkikis dari dalam.
Berpegang pada keyakinannya itu, Al-Ghafiqi mulai berkeliling Andalusia, meninjau
kekuatan daerah perdaerah. Selanjutnya ia memasang pengumuman yang berisi:
Barangsiapa yang mempunyai persoalan dan merasa dizalimi oleh Gubernur, hakim, atau
orang lain, ia harus melaporkannya kepada Gubernur, sebab kedudukan kaum muslimin
dengan non-muslim sama dalam hal ikatan perjanjian.
Selanjutnya, dia mulai memeriksa laporan-laporan yang masuk satu persatu. Jika dia
menemukan ketidakadilan, segera ia luruskan. Seperti menyelesaikan masalah tempat-
tempat ibadah dan tanahnya yang bersifat rampasan atau diperoleh melalui tekanan. Dalam
masalah ini, ia menyerahkan kepada pemilik aslinya sesuai dengan perjanjian,
menghancurkannya atau merelakannya dengan ganti rugi. Ia juga memeriksa para pejabat
satu persatu. Jika ada yang menyeleweng atau korupsi, ia tidak segan mencopotnya dan
menggantinya dengan orang yang dapat dipercaya dan bertanggungjawab, baik dalam
kebijakan maupun dalam mengambil keputusan.
—
Setiap kali mengunjungi daerah kekuasaan kaum muslimin, dia selalu mengajak orang-
orang untuk shalat berjemaah. Ia juga menganjurkan mereka untuk terus berjihad, dan
menyemangati mereka agar selalu mengharapkan ridlo Allah swt dan berbahagia dengan
pahalanya. Ucapan Abdurrahman Al-Ghafiqi selalu disertai dengan perbuatan. Jika ia
bercita-cita selalu disertai dengan usaha. Maka langkah pertama untuk memperkuat daerah
kekuasaannya adalah dengan mengadakan persiapan dan melengkapi persenjataan,
memperbaiki kamp tentara yang berdekatan dengan daerah musuh, membangun benteng-
benteng, membangun jembatan. Diantara jembatan terbesar yang ia bangun adalah
jembatan Qurthubah (dalam literatur Inggris disebut Cordova), ibukota Andalusia (kini
Spanyol).
Jembatan itu ia bangun di atas sungai Cordova yang besar, agar masyarakat dan
tentaranya dapat menyebrang dengan mudah, selain dimaksudkan untuk menghindari
wilayah itu dari serangan banjir. Jembatan ini termasuk salah satu keajaiban dunia.
Panjangnya mencapai 80 hasta, tingginya 60 hasta, dengan 19 kaki tiang penyangga.
Jembatan tersebut kini terletak di daerah Spanyol dan sampai sekarang tetap berdiri tegak
sebagai bukti sejarah.
Salah satu gambaran perpaduan antara sikap perwira dan sikap rendah hati Al-Ghafiqi
selalu berkumpul dengan pasukan dan pemuka masyarakat di setiap daerah yang ia
bebaskan. Ia selalu mendengar dan memperhatikan perkataan orang-orang yang ada
disekitarnya. Mencatat semua kritik dan mengambil manfaat dari setiap nasehat mereka.
Dalam setiap pertemuan, ia lebih sering mendengarkan dan hanya seperlunya bicara, ini
sering dilakukan ketika mengadakan pertemuan dengan para tokoh muslim maupun dengan
para pembesar Ahlu Dzimmah. Dalam pertemuan itu, biasanya ia lebih banyak bertanya
kepada mereka tentang berbagai macam masalah yang terjadi di daerah mereka, juga
tentang unek-unek yang terkait dengan penguasa dan kepala pasukan mereka.
Suatu ketika, ia mengundang seorang pembesar Ahlu Dzimmah keturunan Prancis untuk
berbincang-bincang tentang berbagai persoalan. Al-Ghafiqi bertanya, “Bagaimana keadaan
Karel, Raja Besar engkau? Mengapa ia tidak menantang kami untuk berperang, tapi juga
tidak menyelamatkan daerah-daerah kekuasaannya yang telah kami bebaskan?”
Bangsawan Prancis itu menjawab dengan panjang lebar, “Wahai Gubernur! Engkau telah
memenuhi apa yang telah engkau janjikan. Hakmu atas kami adalah bahwa kami harus
menjawab jujur tentang apa saja yang engkau tanyakan. Panglima Besar anda, Musa bin
Nusair, telah menguasai seluruh Spanyol, dia terus bertekad untuk menguasai gunung
Pyrenia yang memisahkan daerah Andalusia dengan daerah kami yang indah ini.
Maka para penguasa di berbagai daerah bagian itu lari berlindung kepada Raja kami. Kami
juga telah mendengar rencana kaum muslimin. Kami khawatir mereka akan menyerang dari
ujung timur, sebab mereka kini telah berada di wilayah barat, bahkan mereka telah
menguasai seluruh Spanyol, mereka juga merampas semua yang ada di sana, baik bekal
maupun peralatan perang. Sekarang mereka telah naik ke puncak gunung yang menjadi
pemisah antara kita dengan mereka. Padahal jumlah mereka sangat sedikit dengan
persenjataan yang serba terbatas. Kebanyak dari mereka tidak mempunyai baju besi yang
dapat menangkis serangan pedang ataupun kendaraan yang dapat mereka kendarai
menuju medan perang.
Ketika itulah Raja (Prancis) berkata, “Aku telah lama memikirkan apa yang terbetik dalam
hati dan pikiranmu. Aku juga telah mengamatinya dengan seksama. Menurutku, saat ini kita
jangan menghadapi sepak terjang kaum musimin. Sebab mereka saat ini bagaikan air bah
yang mengalir deras dan dapat menelan apa saja yang merintangi jalannya, membawanya
dan melemparkannya kemana saja mereka sukai.
Aku sangat paham, mereka adalah kaum yang mempunyai akidah dan niat tulus yang tidak
membutuhkan banyak tentara, bekal maupun persiapan. Mereka mempunyai Iman dan
kejujuran, yang dapat menjadi benteng dan pengganti baju besi dan peralatan perang.
Hadapilah mereka secara pelan-pelan sampai tangan mereka penuh dengan harta
rampasan yang bisa membiayai pembangunan istana untuk mereka sendiri. Biarkan mereka
mengumpulkan budak dan buruh. Biarkan mereka berebut kekuasaan antara mereka
sendiri. Saat itulah kalian akan mampu mengalahkan mereka dengan mudah. Karena saat
itu semangat mereka telah mulai berkurang.”
Uraian panjang lebar itu membuat hati Al-Ghafiqi terketuk sepenuh kesedihan. Iapun
menutup pertemuan itu dengan ajakan shalat bersama, karena waktu shalat telah tiba.
Al-Ghafiqi mempersiapkan bekal peperangan selama dua tahun penuh. Ia mempersiapkan
pasukan bala tentara, membangkitkan dan mendorong semangat mereka, dia juga meminta
tambahan pasukan kepada Gubernur di Afrika. Ia mengirim utusan kepada Gubernur
Tsughur Utsman bin Abi Nus’ah untuk bersiap-siap menghadapi serangan musuh, dan agar
mengulkan bala tentara sebanyak-banyanya. Namun sayangnya Utsman menyimpan rasa iri
kepada setiap Gubernur yang mempunyai cita-cita tinggi dan kemauan keras, yang berani
melakukan perbuatan besar yang dapat mengangkat namanya di mata umat. Ia sangat
khawatir nama penguasa dan Gubernur lainnya tenggelam. Lagi pula Utsman berhasil
menikahi putrid Raja Aquitane, dalam sebuah penyerangan dengan Prancis. Nama putrid itu
adalah minin.
Minin adalah yang masih remaja yang berparas sangat cantik, elok dan menarik. Utsman
terpikat oleh kecantikannya itu. Minin mempunyai tempat tersendiri di hati Utsman, tidak
seperti istri-istri yang lainnya.
Minin inilah yang mempunyai peran penting dalam mendamaikan ayahnya denga Utsman
agar berani melakukan perjanjian dengan ayah Minin. Isi perjanjian itu adalah melindungi
ayah Minin dari serangan kaum muslimin atas daerah kekuasaannya yang merupakan batas
antara Tsughur dan Andalusia.
—
Ketika permohonan Abdurrahman Al-Ghafiqi datang kepada Utsman untuk menyerang
daerah kekuasaan ayah Minin, ia merasa bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Di satu sisi ia harus mengamankan daerah itu, karena terikat perjanjian dengan ayah Minin,
tapi di sisi lain ia harus memenuhi permohonan Al-Ghafiqi. Akhirnya, pilihan pertamalah
yang diambl oleh Utsman. Ia segera menulis surat balasan kepada Al-Ghafiqi, ia beralasan
bahwa ia tidak dapat memenuhi perintah tersebut karena telah terikat perjanjian dengan
Raja Aquitane, dan ia tidak bisa merusak perjanjian dengannya sebelum masa perjanjian itu
habis.
Surat balasan itu membuat Abdurrahman Al-Ghafiqi geram. Iapun kemudian mengutus
seseorang untuk menyampaikan surat kepada Utsman. Dalam surat itu Al-Ghafiqi menekan
Utsman agar melaksanakan perintahnya tanpa ragu-ragu, karena perjanjian antara Utsman
dan Raja Perancis itu dibuat tanpa sepengetahuan Gubernur Muslim yang membawahi
Utsman.
Namun Utsman tetap tidak mau mematuhi perintah sang Gubernur, bahkan ia mengirim
utusan kepada ayah Minin untuk memberikan apa yang sedang terjadi dan memintanya
agar berhati-hati dan waspada dari serangan kaum muslimin.
Al-Ghafiqi tidak tinggal diam, mata-matanya terus mengikuti gerak-gerik Utsman. Mereka
datang melaporkan padanya tentang hubungan Utsman dengan pihak musuh.
Mendengar berita itu, Al-Ghafiqi segera mengirim bala tentaranya. Dengan perintah tegas,
tangkap Utsman, hidup atau mati.
Pertempuran antara pasukan Utsman dengan pasukan Al-Ghafiqi pun meletus. Pasukan
Utsman terus terdesak sehingga ia melarikan diri ke gunung bersama istrinya, Minin dengan
beberapa orang pengikutnya. Bala tentara Al-Ghafiqi terus mengejar mereka dan
mengepungnya. Utsman membela diri dan istrinya mati-matian, namun akhirnya ia tewas.
Jenazah Utsman dan istrinya dibawa pada Al-Ghafiqi.
Berita sedih tentang kematian Utsman dan istrinya, telah sampai ke telinga Raja Aquitane.
Ia sadar genderang perang telah ditabuh. Ia yakin singa Islam, Al-Ghafiqi akan tiba di
daerahnya, kalau tidak pagi pasti sore. Dia mempersiapkan pertahanan yang kuat dan
berantai agar setiap jengkal tanah kekuasaannya tidak lepas begitu saja. Dia takut digiring
sebagai tawanan ke kota khalifah di Syam, sebagaimana putrinya telah digiring ke sana.
Dugaan Raja Aquitane tidak meleset, Abdurrahman Al-Ghafiqi berangkat dengan kekuatan
seribu tentara dari utara Andalusia. Mereka bergerak bagaikan angin puyuh dari arah
gunung Pyrenia, selatan Perancis.
Tentara Islam bergerak menuju jantung Kota Arel Orleans yang terletak di pinggir sungai
Rhone. Langkah itu sudah diperhitungkan. Sebab sebelumnya warga kota Arel Orleans
telah mengadakan perjanjian dengan umat Islam, dengan ketentuan penduduk Arel
membayar upeti kepada kaum muslimin. Tetapi setelah Samh bin Malik Al-Khaulani syahid
dalam pertempuran di Thulus (Toulouse) dan kaum muslimin pun kalah, penduduk Arel pun
tidak mau mematuhi perjanjian itu dan menolak membayar upeti.
Akhirnya bertemulah kedua pasukan itu, perang pun berkecamuk dahsyat. Abdurrahman Al-
Ghafiqi menginstruksikan bala tentaranya yang cinta syahid itu masuk dan menyerang ke
tengah-tengah musuh. Musuh akhirnya dapat dikalahkan. Ia berhasil memperoleh harta
rampasan yang tak terhitung jumlahnya. Sedangkan Raja Aquitane melirikan diri dengan
sisa-sisa tentaranya yang masih hidup. Ia berusaha mengumpulkan kekuatan untuk
bertempur kembali melawan tentara muslim.
Tentara Al-Ghafiqi terus bergerak menyeberangi Sungai Jarun. Bala tentaranya yang
pemberani itu terus menyelidiki dan berputar mengitari bagian Kota Aquitane.
Kota demi kota, desa demi desa akhirnya jatuh di bawah pijakan kaki kudanya, bagaikan
dedaunan yang jatuh di musim gugur. Raja Aquitane sekali lagi berusaha menghadang
gerak maju tentara muslimin, sehingga peperangan dahsyat antara kedua pasukan itu
kembali terjadi. Namun kemenangan kembali diraih oleh kaum muslimin, Gubernurnya pun
tewas dalam pertempuran tersebut.
—
Jatuhnya kota Bordeaux ke tangan kaum muslimin merupakan batu loncatan bagi kejatuhan
kota-kota penting lainnya, antara lain, Lyons, Bourbonnais dan Cannes. Kota terakhir ini
terletak sekitar seratus mil dari Kota Paris. Seluruh kota terguncang atas jatuhnya sebagian
besar wilayah Prancis bagian selatan ke tangan Panglima Abdurrahman Al-Ghafiqi, hanya
dalam waktu beberapa bulan. Al-Ghafiqi bahkan dapat membebaskan beberapa daerah itu
hanya dalam satu gebrakan.
Kini, di setiap tempat di Eropa ramai terdengar seruan untuk menghentikan bahaya yang
datang dari timur itu. Seruan itu menghimbau seluruh penduduk Eropa untuk membendung
bahaya dari timur itu “dengan dada jika pedang telah jatuh”, dan “mwnutup jalan di
depannya dengan anggota badan ketika alat perang telah habis.” Seluruh Eropa memenuhi
seruan itu. Mereka berkumpul di bawah pimpinan Karel Martel
Pasukan Islam telah sampai di Kota Tolouse, Kota Perancis terkemuka dan paling banyak
penduduknya. Kota ini memiliki bangunan yang kuat dan mempunyai nilai sejarah yang
tinggi. Lebih dari itu kota ini juga merupakan kota kebanggaan di seluruh daratan Eropa.
Sebab di sana terdapat Gereja yang sangat megah dan luas serta menyimpan kekayaan
yang sangat berharga.
Tentara Muslimin mengepung kota itu dengan ketat. Untuk menaklukkan kota itu mereka
mengorbankan jiwa dan darah mereka. Tak lama kemudian kota tersebut akhirnya jatuh ke
tangan mereka.
Pada sepuluh hari terakhir bulan Sya’ban tahun 140 Hijriyah, Abdurrahman Al-Ghafiqi dan
bala tentaranya bergerak menuju Kota Poitiers. Di kota itulah ia bertemu dengan pasukan
jalan kaki tentara Eropa yang dipimpin oleh Karel Martel. Pertempuran hebat pun meletus.
Pertempuran ini dikenal dengan nama Balathu Asy-Syuhada.
Pada hari itu tentara Islam meraih kemanangan yang gemilang, sayang, punggung tentara
Islam sarat dengan harta-harta rampasan yang terus menumpuk. Di tangan mereka harta itu
terus tertumpuk. Abdurrahman Al-Ghafiqi memandang harta kekayaan yang sangat banyak
ini dengan penuh kegelisahan dan kekhawatiran Dia khawatir kaum muslimin terlena
dengan harta tersebut, hatinya bimbang. Dia tidak yakin bahwa hati tentaranya akan
konsentrasi selama peperangan. Sebab hati mereka telah dipenuhi dengan pikiran akan
harta rampasan itu. Perhatian mereka terpecah pada usaha mengalahkan musuh dan
bagaimana menjaga harta rampasan yang telah berada dalam genggamannya.
Sebenarnya Al-Ghafiqi berniat memerintahkan tentaranya untuk melepaskan harta
rampasan yang sangat banyak dan melelahkan itu. Tapi ia khawatir, keputusannya itu tidak
mereka sukai. Ia tidak memperoleh jalan terbaik kecuali memerintahkan untuk
mengumpulkan harta-hata rampasan itu dalam kemah-kemah khusus. Kemah itu didirikan di
belakang kamp tentara sebelum perang berkecamuk.
Selama beberapa hari bala tentara kedua belah pihak tidak bergerak. Masing-masing saling
memperhatikan dengan diam, saling mengintai dengan tegang. Kedua kubu itu berdiri tegak
bagaikan deretan gunung. Satu sama lain sia menyerang. Kedua belah pihak dengan cemas
memperhatikan keberanian musuhnya dan berhitung seribu kali sebelum mulai menyerang.
Setelah keadaan tegang itu berlangsung cukup lama, Abdurrahman Al-Ghafiqi membuka
serangan maju dengan kudanya di tengah-tengah barisan pasukan Perancis bagikan singa
kelaparan yang mengamuk. Bala tentara kaum muslimin bagaikan gunung terjal yang
tumbang. Pertempuran di hari pertama berlalu, di mana kekuatan kedua belah pihak masih
seimbang.
—
Pada hari-hari berikutnya pertempuran berlangsung makin seru. Kaum muslimin
menggempur pasukan Perancis dengan ganas dan berani. Perang berlangsung selama
tujuh hari dengan dahsyat dan seru. Pada hari kedelapan kaum muslimin melancarkan
serangan mendadak sehingga mereka dapat melumpuhkan barisan tengah. Waktu itu, kaum
muslimin melihat cahaya kemenangan seperti cahaya subuh yang nampak di kegelapan.
Namun waktu itulah, sekelompok tentara Perancis menyerang gudang penyimpanan harta
rampasan kaum muslimin. Ketika kaum muslimin melihat harta rampasannya hanpir berada
di tangan musuh, banyak dari mereka yang kembali. Barisan tentara kaum muslimin menjadi
kocar kacir. Panglima Al-Ghafiqi memompa semangat pasukannya untuk terus menyerang
dan menutup celah-celah yang dapat ditembus musuh.
Pelana kuda yang tadinya berwarna putih kini menjadi hitam karena banyaknya serangan
yang ia lancarkan. Ketika sedang bertempur itulah sebatang anak panah menancap ke
tubuhnya sehingga ia jatuh dari punggung kudanya, diam tak bergerak, menjadi syahid di
medan laga.
Melihat kejadian itu, ketakutan mulai merasuki jiwa pasukan muslimin. Mengetahui hal itu,
tentara musuh berubah menjadi ganas dan bertambah keberaniannya.
Ketika hari subuh, pasukan Islam telah menarik diri dari Kota Poitiers. Karel Martel tidak
berani mengejar tentara muslim yang mundur itu. Padahal seandainya ia terus melakukan
pengejaran tentara pasti muslim terancam kalah. Namun dia tidak melakukan hal itu, karena
khawatir bahwa panarikan pasukan itu merupakan jebakan untuk menyerang balik.
Hari Balathu Asy-Syuhada menjadi hari yang sangat berharga dalam sejarah. Hari itu kaum
muslimin telah menghapus salah satu cita-cita luhur dan kehilangan salah satu seorang
pahlawan besar. Duka di hari Perang Uhud terulang kembali. Pasukan Islam kalah karena
lebih mementingkan harta rampasan.
Bukan hanya kaum muslimin yang kecewa dengan kegagalan itu, sebagian cendikiawan
Perancis pun turut merasakan duka mendalam, sebab mereka melihat bahwa kemenangan
nenek moyang mereka atas tentara muslim di Poitiers merupakan bencana yang
menghancurkan kemanusiaan. Mendatangkan kerugian besar bagi Eropa dalam
membangun peradabannya.
Berikut pernyataan Henry de Syamboun, seorang cendikiawan Prancis, tentang
pertempuran Balathu Asy-Syuhada:
“Kalau tidak karena kemenangan Karel Martel yang biadab atas orang Islam Arab di
Perancis, niscaya negara kita tidak akan mengalami nasib buruk dan tidak banyak menelan
korban yang mendorong tumbuhnya rasa fanatik terhadap agama dan aliran. Kalau tidak
karena kemenangan ganas itu atas kaum muslimin, niscaya Spanyol sudah dapat menikmati
toleransi Islam dan selamat dari genggaman penguasa diktator. Perkembangan kebudayaan
kita tidak terlambat selama delapan abad, meski terdapat perbedaan perasaan dan
pendapat di sekitar kemenangan kita itu. Sebab kita memperoleh kebudayaan dan
peradaban yang terpuji dari kaum muslimin, baik dari segi ilmu, kesenian, maupun industri.
Sebenarnya mereka mengajak kita untuk mengakui bahwa mereka itu mempunyai
kemanusiaan yang sempurna saat mana kita memiliki sifat-sifat biadab. Mereka membuat
kita mengakui pada hari ini bahwa masa lalu kita telah terulang kembali. Sedangkan kaum
muslimin telah sampai pada masa ini, sementara kita masih berada pada abad
pertengahan.”
(Sumber:www.sufiz.com)- See more at: http://islamicline.blogspot.com/2009/07/kisah-tabiin-abdurrahman-al-ghafiqi.html#sthash.vmgBTQNo.dpuf
Abdurrahman Al-Ghafiqi: Tombak yang Selalu Terhunus (1)by ADMIN on MAY 4, 2009
Suatu ketika Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz melakukan evaluasi
menyeluruh terhadap berbagai kebijakan khalifah sebelumnya, Sulaiman bin
Abdul Malik. Ia meninjau ulang para Gubernurnya di berbagai daerah. Sebagian
tetap pada kedudukannya, sebagian lagi diganti dengan pejabat baru.
Orang pertama yang diangkat sebagai Gubernur adalah Samh bin Malik Al-
Khaulani. Ia dipercaya untuk menangani berbagai daerah dan kota yang telah
dibuka. Gubernur ini lantas mengunjungi Andalusia untuk mengecek kondisi
penduduknya. Dalam kesempatan itu, ia menyempatkan diri mencari apakah
masih hidup ulama dari kalangan Tabi’in. Ternyata masih ada, yaitu
Abdurrahman Al-Ghafiqi.
Gubernur Samh mendengar pengetahuan Al-Ghafiqi tentang Al-Qur’an,
pemahamannya tentang hadits Rasulullah SAW, pengalamannya di berbagai
medan pertempuran, kerinduannya untuk menjemput syahid, juga sikap
zuhudnya terhadap gemerlap duniawi. Lebih dari itu, ia mendengar bahwa Al-
Ghafiqi pernah bertemu dengan Khalifah Umar bin Khattab, bahkan sempat
menimba ilmu dan akhlak darinya.
Gubernur Samh lantas meminta Abdurrahman Al-Ghafiqi untuk datang
menemuinya. Ia menyambut Al-Ghafiqi dengan penuh hormat, dan memintanya
untuk duduk di dekatnya. Samh menceritakan berbagai uneg-unegnya. Ghafiqi
pun memberikan berbagai nasihat dan saran, tak lupa ia menganjurkan agar
sang Gubernur terus menunaikan tugasnya dengan baik dan benar.
Menimbang nasihat dari Al-Ghafiqi itu, Samh menawarkan jabatan untuk
menangani wilayah Andalusia, kini masuk wilayah Spanyol.
Tawaran itu dijawab oleh Al-Ghafiqi:
“Wahai Gubernur, aku hanyalah orang biasa, seperti yang lain. Aku datang ke daerah ini
hanya untuk mengetahui batas-batas daerah kaum muslimin dan batas-batas fartah musuh
mereka. Aku haya meniatkan diriku untuk mencari ridlo Allah yang Maha Agun, dan aku
membawa pedangku ini hanya untuk menegakkan kalimat Allah di muka bumi ini. Insya’allah
Gubernur akan melihatku selalu taat selama engkau menegakkan kebenaran. Aku akan
selalu mengikuti perintah Gubernur, selama anda taat pada perintah Allah dan Rasul-Nya,
walaupun aku tidak diberi kekuasaan dan perintah.”
Tak lama berselang setelah pertemuan itu, Gubernur Samh bin Malik, bertekad
untuk menaklukkan seluruh wilayah Prancis dan menyatukannya dengan
wilayah Negara Islam. Saat penyerangan itu, terjadilah peristiwa mengenaskan
dan tragis, Samh bin Malik gugur karena tertusuk panah. Seandainya tentara
kaum muslimin tidak mendapatkan pertolongan Allah dengan seorang jenius
sebagai komandan perang, yang bernama Abdurrahman Al-Ghafiqi, tentulah
kaum muslimin akan menderita kekalahan yang sangat fatal.
Al-Ghafiqi tampil memimpin komando perjuangan, sehingga dapat menekan
kerugian dan derita kekalahan sekecil mungkin. Dia berhasil membawa tentara
kaum muslimin pulang ke Spanyol. Namun dalam hatinya ia tetap bertekad
untuk mengulang serangan.
Berita besar yang dialami kaum muslimin di Prancis itu telah menggelisahkan
dan mengguncangkan hati sang Khalifah di Damaskus. Pertempuran dahsyat
dan berani yang diusung oleh Samh bin Malik telah membakar api keberanian
pasukan kaum muslimin untuk meneruskan perjuangan itu.
Abdurrahman Al-Ghafiqi akhirnya ditunjuk sebagai pemimpin untuk wilayah
Andalusia. Daerah-daerah Prancis dan sekitarnya yang berhasil dibebaskan
disatukan di bawah komandonya. Sepenuhnya dia ditugaskan oleh Khalifah
Umar bin Abdul Aziz di Damaskus untuk mengurus wilayah Prancis dan
sekitarnya secara independent. Pemberian wewenang ini menunjukkan betapa
Abdurrahman Al-Ghafiqi adalah sosok yang dapat dipercaya, amanah, kuat
kemauan, gigih, taqwa, bersih dan bijaksana dalam memimpin dan mengambil
keputusan.
Sejak awal kepemimpinannya, dia segera bekerja mengembalikan kepercayaan
diri bala tentaranya, membangkitkan semangat mereka. Yang paling penting
dari itu adalah menjelmakan tujuan dan cita-cita besarnya kepada tentara kaum
muslimin di Andalusia, yang telah dirintis oleh Musa bin Nusair dan Smah bin
Malik Al-Khaulani.
Kaum muslimin bertekad meneruskan gerakan pembebasannya di wilayah
Eropa. Mulai dari Prancil hingga menembus dinding negeri Italia dan Jerman.
Rencana selanjutnya adalah membebaskan Konstantinopel, menyusul laut
tengah.
Abdurrahman Al-Ghafiqi yakin sepenuhnya bahwa dalam mempersiapkan
pertempuran besar itu harus dimulai dari memperbaiki dan mensucikan jiwa
(Tazkiyah an-Nafs). Ia juga yakin, tidak ada satu umatpun yang dapat
mewujudkan kemenagnan dan meraih cita-citanya jika benteng jiwanya sudah
rapuh, terkikis dari dalam.
Berpegang pada keyakinannya itu, Al-Ghafiqi mulai berkeliling Andalusia,
meninjau kekuatan daerah perdaerah. Selanjutnya ia memasang pengumuman
yang berisi: Barangsiapa yang mempunyai persoalan dan merasa dizalimi oleh
Gubernur, hakim, atau orang lain, ia harus melaporkannya kepada Gubernur,
sebab kedudukan kaum muslimin dengan non-muslim sama dalam hal ikatan
perjanjian.
Selanjutnya, dia mulai memeriksa laporan-laporan yang masuk satu persatu.
Jika dia menemukan ketidakadilan, segera ia luruskan. Seperti menyelesaikan
masalah tempat-tempat ibadah dan tanahnya yang bersifat rampasan atau
diperoleh melalui tekanan. Dalam masalah ini, ia menyerahkan kepada pemilik
aslinya sesuai dengan perjanjian, menghancurkannya atau merelakannya
dengan ganti rugi. Ia juga memeriksa para pejabat satu persatu. Jika ada yang
menyeleweng atau korupsi, ia tidak segan mencopotnya dan menggantinya
dengan orang yang dapat dipercaya dan bertanggungjawab, baik dalam
kebijakan maupun dalam mengambil keputusan.
Bersambung …
Sumber Gambar:
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/e/e7/Steuben_-
_Bataille_de_Poitiers.png
Abdul Rahman Al-Ghafiqi – Putera Andalus
By mufias November 9, 2012 1 Comment
ABDUL RAHMAN AL GHAFIQI
Putera Andalus
Al Ghafiqi adalah bayangan Musa Bin Nusair dan Tariq Bin Ziyad yang terkenal
dengan semangat dan cita-cita yang tinggi [Ahli Sejarah]
Al Samah Bin Malik al Khaulaani menawarkan jawatan penting di Andalus kepada
Al Ghafiqi namun dijawab Al Ghafiqi,
“Wahai Gabenor, saya ini rakyat biasa. Saya datang ke negeri ini untuk berada di
barisan hadapan tentera Islam. Saya telah mewakafkan diri saya ini untuk
mencari keredhaan Allah. Saya hunuskan pedang saya ini untuk menegakkan
kalimah Allah di muka bumi. Dengan izin Allah engkau akan mendapati saya
sentiasa bersamamu selagi engkau berada di atas kebenaran. Saya adalah orang
yang paling mentaatimu , selagi engkay mentaati Allah dan RasulNya, kecuali
dalam soal yang membabitkan kuasa dan kedudukan.”
Al Samah berhasrat mahu meluaskan empayar Islam dengan meletakkan
Perancis di bawah naungan Islam. Ini kelak akan membuka laluan untuk
menakhluk negeri-negeri Balkan dan seterusnya Kota Konstantinople lantas
merealisasikan janji Rasulullah saw.
Peperangan getir berlaku di Kota Narbonne, Perancis. Ini dikhabarkan oleh
orientalis Perancis, Renault ;
“Ketika kemenangan hampir-hampir memihak kepada tentera Islam, Duke
Aquitania memerintahkan seluruh rakyat dan hamba dalam negerinya untuk
turut sama berperang. Dia juga menghantar utusan ke segenap penjuru Eropah
memberitahu seluruh raja dan pemerintah di Eropah akan ancaman yang
mereka hadapi. Negeri mereka hampir jatuh ke tangan musuh dan anak isteri
mereka bakal menjadi tawanan umat Islam.”
“Akhirnya seluruh Eropah menyahut seruan ini dan turut sama menghantar
barisan tentera mereka yang terkuat dan teramai dalam sejarah Eropah. Jumlah
tentera yang sebegitu besar ini belum pernah disaksikan oleh dunia. Malah
gerakan tentera ini menyebabkan debu yang berterbangan ke udara menutup
cahaya matahari di kota Rhone.”
“Apabila kedua-dua pihak berhadapan antara satu sama lain mereka kelihatan
ibarat gunung bertemu gunung. Akhirnya berlakulah satu peperangan sengit
yang tiada tandingannya dalam sejarah manusia.”
Di medan inilah, Al Samah gugur. Lantas Al Ghafiqi mengetuai pengunduran
tentera Islam dan mereka berjaya kembali ke Bumi Andalus. Inilah kekalahan
pertama dan terbesar umat Islam semenjak mereka menjejakkan kaki di bumi
Eropah.
Berita kekalahan sampai kepada Khalifah di Bumi Damsyik. Al Ghafiqi dilantik
oleh Khalifah sebagai pentadbir seluruh bumi Andalus dan jajahan-jajahan
Perancis yang ditakhluknya. Khalifah kemudiannya memberi kebenaran
kepada Abdul Rahman untuk bertindak menurut kehendaknya.
Kebenaran sebegini tidak memeranjatkan kerana al-Ghafiqi adalah seorang
yang tegas, bertakwa dan bijak.
Semenjak dilantik mentadbir bumi Andalus Abdul Rahman berusaha keras untuk
mengembalikan keyakinan diri para tentera Islam dan menyemai jiwa mereka
supaya sentiasa merasa bangga, berkemampuan dan yakin. Di samping itu,
beliau juga berusaha untuk mencapai matlamat agung yang dicita-citakan
oleh para panglima agung Islam di Andalus semenjak zaman Musa bin Nusair1
hinggalah ke zaman al-Samah bin Malik al-Khaulaani. Kesemua para pahlawan
agung ini bercita-cita besar untuk mara ke Perancis kemudian ke Itali dan
Jerman sebagai langkah awal untuk menakluk bumi Konstantinopal. Seterusnya
menjadikan Laut Mediteranean ibarat sebuah Lasik dalam sebuah negara Islam
dan diberi nama Laut Sham bagi menggantikan nama lamanya Laut Rom.
Namun demikian, Abdul Rahman al-Ghafiqi amat yakin persiapan untuk
menghadapi peperangan yang agung bermula dengan pemurnian jiwa. Beliau
amat yakin tiada satu bangsa pun yang dapat merealisasikan impian mereka
jika benteng mereka sendiri rapuh dan diancam dari dalam. Oleh kerana itu,
beliau menjelajah ke seluruh bumi Andalus dari satu bandar ke satu bandar,
mengarahkan pengiringnya supaya mengisytiharkan:
“Sesiapa sahaja yang dizalimi oleh mana-mana pemerintah atau hakim atau
oleh sesiapa sahaja, hendaklah membuat aduan kepada gabenor.” Dalam
usahanya ini, beliau tidak membezakan antara orang Islam dan ahli zimmi.
Beliau seterusnya meneliti setiap aduan satu persatu dan mengembalikan hak
yang dirampas kepada orang yang lemah tanpa memihak kepada mereka yang
berkuasa. Beliau kemudiannya menghukum orang yang zalim bagi pihak mereka
yang dizalimi.
Masalah gereja-gereja yang telah dirampas dan yang baru dibina juga diteliti.
Gereja- gereja ini dikembalikan semula kepada pemiliknya menurut perjanjian
yang sah manakala gereja-gereja yang ada kaitan dengan rasuah akan
dimusnahkan.
Setelah itu beliau meninjau pula setiap pegawainya seorang demi seorang.
Mana- mana pegawai yang didapati tidak amanah dan menyeleweng akan
dipecat dan tempatnya digantikan dengan pegawai yang diyakini kebijaksanaan
dan kelayakannya.
Setiap kali beliau mengunjungi sesebuah kawasan, beliau mengajak orang
ramai mendirikan sembahyang berjemaah. Beliau kemudiannya
menyampaikan ucapan. Dalam ucapan ini beliau menaikkan semangat jihad
dan merangsang mereka untuk mati syahid. Beliau turut mengajak mereka
supaya sentiasa mencari keredaan dan ganjaran Allah. Abdul Rahman benar-
benar mengotakan segala kata-katanya dan merealisasikan segala
impiannya. Semenjak awal pemerintahannya lagi, beliau sudah bersiap siaga
dan memperlengkapkan segala keperluan perang. Dia memperbaiki semua
benteng pertahanan dan membina kota-kota.
Abdul Rahman juga turut membina jambatan dan empangan. Empangan dan
jambatan yang paling besar pernah dibina olehnya ialah Empangan Qurtuba di
ibu negara Andalus. Empangan ini dibina di sungai Qurtuba bagi
memudahkan orang ramai dan tentera menyeberanginya. Di samping itu,
empangan juga dibina bagi memelihara negara dan rakyat daripada ancaman
banjir. Empangan ini dianggap sebagai salah sebuah binaan ajaib di dunia.
Panjang empangan ini ialah 800 depa, tingginya 60 depa dan lebarnya 19 depa.
Empangan ini masih wujud dan digunakan oleh penduduk Sepanyol hingga ke
hari ini.
Abdul Rahman al-Ghafiqi biasanya akan membuat perjumpaaan dengan
semua panglima tentera dan pemimpin masyarakat di setiap kawasan yang
dikunjunginya. Beliau memberi sepenuh tumpuan kepada setiap apa yang
mereka katakan. Beliau menulis setiap cadangan dan mencatatkan setiap
nasihat. Dalam perjumpaan tersebut beliau mengambil sikap lebih banyak
mendengar daripada bercakap. Selain bertemu dengan tokoh-tokoh umat Islam
beliau turut membuat pertemuan dengan tokoh-tokoh ahli zimmi.
Kebanyakan soalannya berkisar tentang keadaan negeri yang di luar
pengetahuannya. Termasuklah berkenaan pemerintah dan ketua tentera yang
sentiasa menjadi tumpuannya.
Suatu hari, beliau menjemput seorang tokoh ahli zimmi yang merupakan
penduduk asal Perancis. Perbualan mereka menyentuh banyak aspek. Beliau
kemudiannya menimbulkan satu persoalan:“Mengapa raja kamu, Charles Martel
tidak cuba menyerang kami atau tidak cuba membantu pemerintah-pemerintah
wilayah untuk menyerang kami?!”
Dengan tenang ahli zimmi itu menjawab: “Wahai gabenor, oleh kerana engkau
telah tunaikan segala janjimu kepada kami, kini menjadi tanggungjawab
saya pula untuk memberikan jawapan yang jujur kepada soalan engkau itu.
Pemimpin kamu, Musa bin Nusair telah mengukuhkan cengkamannya di
Sepanyol, kemudian dia mula mengalihkan tumpuan untuk menakluk
Pergunungan Pyrennes yang memisahkan antara Andalus dan negeri kami yang
indah.”
Ahli zimmi menyambung: “Apabila mengetahui hasrat tersebut, pemerintah
wilayah dan paderi mengadu kepada raja kami: Tuanku, telah sekian lama kami
dan anak cucu kami menanggung kesedihan?! Semenjak sekian lama kami
dengar mengenai umat Islam. Kami bimbang mereka akan menyerang kami dari
arah timur tetapi kini mereka mara ke arah kami dari arah barat. Mereka telah
menakluk seluruh Sepanyol dan memiliki seluruh kelengkapan yang ada di sana.
Selepas itu mereka berjaya pula menakluk gunung yang memisahkan kami
dengan mereka. Sedangkan bilangan mereka kecil dan senjata mereka sedikit.
Kebanyakan mereka tidak mempunyai perisai untuk mempertahankan diri
daripada hayunan pedang. Mereka juga tidak mempunyai kuda untuk
digunakan di medan perang.
Raja mereka melepaskan pandangannya jauh-jauh lalu berkata: “Saya telah
teliti sedalam-dalamnya masalah yang kamu fikirkan itu dan saya telah berfikir
panjang. Saya berpendapat kita tidak boleh menyekat serangan mereka kali ini.
Mereka kini ibarat air bah yang menelan apa sahaja yang menghalang arusnya.
Malah arus ini akan menghanyutkan segala-galanya.”
“Saya melihat mereka ini adalah manusia yang mempunyai
pegangan dan keikhlasan. Dengan dua perkara ini mereka tidak memerlukan
jumlah yang ramai atau senjata yang cukup. Mereka mempunyai keyakinan dan
kejujuran yang sudah cukup untuk menggantikan perisai dan kuda. Kita akan
tunggu hingga mereka mula mengaut kekayaan. Apabila mereka mula memiliki
rumah dan istana. Apabila mereka mula bersaing memiliki amah dan khadam.
Apabila mereka mula berlumba untuk berebut kuasa. Ketika itu kita akan berjaya
kalahkan mereka dengan cara yang amat yang sangat mudah tanpa perlu
bersusah payah.”
Abdul Rahman al-Ghafiqi tertunduk hiba mendengar kata-kata itu. Dia mengeluh
panjang lalu bangun: “Marilah kita sembahyang kerana waktu sudah hampir
tiba.”
Selama dua tahun Abdul Rahman al-Ghafiqi membuat persiapan untuk
melancarkan serangan besar-besaran. Beliau membentuk pasukan-pasukan
tentera dan melatih para tentera. Beliau juga berusaha menaikkan semangat
dan menghidupkan hati para tentera. Beliau turut memohon bantuan
daripada gebenor di Afrika yang kemudiannya telah menghantar bantuan
tentera yang terdiri daripada mereka yang cintakan jihad dan bercita-cita besar
untuk mati syahid. Setelah itu beliau menghantar utusan kepada Uthman bin
Abu Nus’ah, pemerintah di barisan hadapan tentera Islam supaya melancarkan
serangan secara berterusan ke atas musuh sementara menunggu
kedatangannya bersama angkatan tenteranya.
Malangnya, Uthman bukanlah seorang yang berjiwa tinggi. Apabila dia
melakukan suatu perkara yang hebat dia akan mencanangkannya ke seluruh
manusia dan menyembunyikan jasa yang dimainkan oleh orang lain. Tambahan
pula, dalam salah satu peperangan yang dimenanginya menentang Perancis,
dia telah berjaya menawan anak perempuan Duke Aquitania yang bernama
Minin. Seorang gadis yang jelita dan berasal daripada keluarga diraja yang
dihormati. Kejelitaan gadis ini memikat hati Uthman hingga seluruh hatinya
terpaut pada gadis ini. Gadis ini mendapat layanan istimewa lebih daripada
seorang isteri.
Gadis ini berjaya mempengaruhi Uthman supaya berdamai dengan
bapanya dan membuat perjanjian yang menjamin bahawa wilayahnya yang
terletak bersempadan dengan Andalus akan selamat daripada sebarang
serangan tentera Islam. Apabila arahan Abdul Rahman al-Ghafiqi supaya dia
melancarkan serangan ke atas wilayah bapa mertuanya, Duke Aquitania sampai
ke tangannya, dia terduduk. Gelisah tidak tahu apa yang patut dilakukannya.
Namun dengan segera dia mengutus surat kepada al-Ghafiqi meminta supaya
beliau menarik semula arahannya. Katanya beliau tidak dapat
melanggar perjanjian yang ditandatanganinya dengan Duke Aquitania
sebelum tamat tempohnya. Alasan Uthman ini menimbulkan kemarahan Abdul
Rahman al-Ghafiqi. Beliau membalas:
“Sebarang perjanjian yang ditandatangani dengan Frank tanpa pengetahuan
gabenor adalah tidak diterima pakai dan tidak terpakai pada tentera Islam.
Engkau perlu laksanakan segala arahan saya tanpa berlengah-lengah atau
bertangguh.” Setelah gagal memujuk gabenor membatalkan hasratnya Uthman
bin Abu Nus’ah menghantar utusan kepada bapa mertuanya memberitahu
perkara yang berlaku. Uthman meminta bapa mertuanya supaya bersiap sedia.
Walau bagaimanapun, pengintip Abdul Rahman al-Ghafiqi telah mengintip setiap
gerakan Uthman bin Abu Nus’ah. Hubungan Uthman dengan musuh ini telah
disampaikan kepada gabenor.
Al-Ghafiqi mengambil langkah segera dengan membentuk sebuah pasukan
khas terdiri daripada tentera yang gagah perkasa. Pasukan ini diketuai
oleh seorang yang berpengalaman lama dalam jihad. Al-Ghafiqi
mengarahkan mereka supaya menangkap Uthman bin Abu Nus’ah, hidup atau
mati. Pasukan ini kemudiannya menyelinap masuk ke markas tentera Uthman
bin Abu Nus’ah dan hampir berjaya menangkapnya. Walau bagaimanapun,
Uthman menyedari serangan tersebut dan berjaya melarikan diri. Dia melarikan
diri ke kawasan gunung dengan diiringi oleh para pengikutnya bersama-sama
isteri jelitanya, Minin yang tidak pernah berpisah dengannya dan sentiasa di
sampingnya.
Pasukan yang dihantar oleh al-Ghafiqi tadi terus mengejar dan akhirnya
berjaya mengepung Uthman. Uthman berjuang bermati-matian
mempertahankan diri dan isterinya hingga akhirnya dia gugur ke bumi. Terbujur
kaku dengan kecederaan yang tidak terhingga. Pasukan tentera ini memenggal
kepalanya dan kemudian menghantarnya berserta isterinya kepada Abdul
Rahman al-Ghafiqi. Isteri Uthman dihadapkan ke hadapan Abdul Rahman.
Sebaik sahaja melihat kejelitaan wanita ini, beliau memejamkan mata dan
mengalihkan mukanya.mKemudian beliau menghantar wanita ini sebagai
hadiah kepada istana khalifah. Wanita Perancis ini terpaksa menghabiskan
sisa hidupnya di istana khalifah Umayyah di Damsyik.
Berita yang menyayat hati tentang menantunya, Uthman bin Abu Nus’ah
akhirnya sampai ke pengetahuan Duke Aquitania. Lebih menyayatkan hatinya
ialah berita tentang nasib anaknya, Minin. Dia memahami kini gendang perang
telahpun dipalu. Dia turut yakin Singa Islam, Abdul Rahman al-Ghafiqi akan
menyerang negerinya pada bila-bila masa.
Oleh itu, dia membuat persiapan untuk mempertahankan habis-habisan setiap
inci buminya. Dia bersedia untuk mengorbankan jiwa dan segala harta yang
dimilikinya. Dia tidak mahu diheret ke istana Khalifah seperti yang berlaku
kepada anaknya. Dia tidak manu kepalanya menjadi bahan tontonan di
seluruh Damsyik seperti yang berlaku kepada Luzarique, raja Sepanyol
sebelum ini. Ternyata sangkaan Duke tidak dihampakan oleh Abdul Rahman al-
Ghafiqi. Bersama- sama angkatan tenteranya, Abdul Rahman al-Ghafiqi mara
dari arah Utara Andalus ibarat angin taufan yang melanda. Ibarat bah yang besar
melanda Selatan Perancis melalui puncak Pyrennes.
Angkatan tenteranya berjumlah 100 ribu orang mujahid. Semuanya mara
dengan berbekalkan semangat waja dan tekad yang tinggi menggunung.
Matlamat mereka kini ialah Kota Arles yang terletak di tebing Sungai Rhone. Kota
ini ada perhitungan tersendiri dengan tentera Islam. Kota Arles suatu ketika
dahulu pernah memeterai perjanjian dengan umat Islam apabila mereka
bersetuju untuk membayar jizyah.
Ketika al-Samah bin Malik al-Khaulaani gugur syahid di medan Toulouse hingga
menyebabkan tentera Islam tersungkur kalah, penduduk Arles mengkhianati
perjanjian dan enggan membayar jizyah. Ketika Abdul Rahman al-Ghafiqi tiba di
pingir kota, beliau mendapati Eudes, Duke Aquitania telahpun membuat
persiapan rapi untuk mempertahankan kota ini. Eudes telah mengumpulkan
tentera-tenteranya di sekeliling kota dan bersiap sedia untuk menyekat
kemaraan tentera Islam.
Tidak berapa lama kemudian, pertembungan dua pihak pun bermula.
Berlakulah pertempuran yang hebat. Abdul Rahman al-Ghafiqi melancarkan
serangan daripada pasukan- pasukan tentera yang berani mati, malah
kecintaan mereka kepada mati lebih daripada kecintaan musuh kepada
hidup. Akhirnya mereka berjaya memporak-perandakan kekuatan musuh dan
menggugatkan pertahanan mereka. Seluruh kota kini terlibat dalam
pertempuran ini. Musuh berjaya ditundukkan dan ramai yang terkorban. Harta
perang yang diperolehi tidak terhitung banyaknya.
Duke Eudes pula berjaya melarikan diri bersama tentera-tenteranya yang masih
hidup. Mereka segera mengumpulkan semula kekuatan untuk bertemu semula
dengan tentera Islam. Bagi Eudes, peperangan di Arles adalah suatu permulaan
bukan suatu kesudahan.
Selepas beroleh kemenangan di Arles, Abdul Rahman al-Ghafiqi bersama
angkatan tenteranya menyeberangi Sungai Garonnes dan mara menjelajah
ke seluruh kawasan Aquitania. Seluruh perkampungan dan kota yang dilalui
jatuh satu persatu ke tangan mereka ibarat daun kering yang gugur ke bumi
ditiup angin di musim luruh. Harta perolehan perang yang diperolehi oleh tentera
Islam semakin bertimbun. Mereka sendiri tidak pernah melihat atau mendengar
harta yang sebanyak ini.
Duke Eudes bertekad untuk menyekat kemaraan tentera ini sekali lagi. Jadi
berlakulah pertempuran yang amat sengit antara kedua-dua belah pihak. Namun
akhirnya tentera Islam berjaya memberikan kekalahan perit kepada musuh.
Tentera Islam berjaya memusnahkan dan memporak-perandakan kekuatan
musuh. Akhirnya ramai musuh yang berjaya dibunuh atau ditawan atau
melarikan diri.
Tentera Islam kemudiannya mara ke Kota Bordeaux, bandar terbesar di Perancis
ketika itu dan ibu kota bagi Aquitania. Berlaku pertempuran yang tidak kurang
sengitnya dengan peperangan sebelum ini. Pihak yang menyerang dan
bertahan masing-masing menunjukkan kehebatan masing-masing yang
sungguh mengkagumkan. Namun akhirnya nasib kota besar ini sama seperti
kota-kota lain, jatuh juga ke tangan tentera Islam dan pemerintahnya turut
terkorban bersama-sama tenteranya.
Umat Islam sekali lagi memperolehi harta perolehan perang. Kali ini, jumlahnya
jauh lebih besar berbanding sebelum ini. Kejatuhan Kota Bordeaux ke tangan
umat Islam menjadi petanda kepada kejatuhan kota-kota lain yang sama besar
dan sama penting. Terutama kota Lyon, Besancon4 dan Sens. Kota Sens ini tidak
sampai 100 batu dari kota Paris.
Seluruh Eropah gempar dengan kejatuhan separuh daripada Perancis
Selatan ke tangan Abdul Rahman al-Ghafiqi dalam tempoh beberapa bulan
sahaja. Rakyat Perancis mula membuka mata melihat bahaya yang bakal
dihadapi. Seruan bergema di seluruh Perancis mengarahkan seluruh rakyatnya
baik yang kuat mahupun yang lemah supaya menyekat bahaya yang sedang
mara dari timur ini. Seluruh rakyat Perancis dikerah supaya menyekat kemaraan
ini biarpun dengan dada mereka sekalipun. Mereka dikerah supaya
menggunakan tubuh mereka sebagai benteng jika mereka tidak memiliki
sebarang senjata. Akhirnya seluruh Eropah menyahut seruan ini. Seluruh
rakyat bersatu di bawah Charles Martel dengan bersenjatakan kayu, batu,
duri atau senjata.
Di ketika yang sama, tentera Islam telah sampai ke Kola Tours iaitu kota
Perancis yang paling padat penduduknya, paling kukuh dan paling bersejarah.
Apa yang lebih menarik ialah kota ini dianggap penting berbanding kota-kota
lain kerana kota ini memiliki gereja yang indah, besar dan memiliki bahan
bersejarah serta suci.
Umat Islam melancarkan serangan bertalu-talu ke atas musuh dengan semangat
yang tinggi dan rela mengorbankan segala nyawa dan tenaga mereka
untuk memperoleh kemenangan. Akhirnya kota ini jatuh ke tangan umat Islam
dan berita kejatuhan ini sampai ke pengetahuan Charles Martel yang tidak
mampu melakukan apa-apa.
Pada akhir bulan Sha’ban tahun ke-104 H, Abdul Rahman al-Ghafiqi
bersama tenteranya yang gagah perkasa mara menuju ke Kota Poitiers. Di
sinilah mereka bertemu dengan angkatan tentera Eropah yang dipimpin oleh
Charles Martel. Berlakulah pertempuran sengit yang membuka lembaran baru
bukan sahaja dalam sejarah umat Islam atau Eropah malah sejarah manusia
seluruhnya. Peperangan ini dikenali sebagai peperangan Balat al- Shuhada’.
Walaupun ketika itu, tentera Islam berada di kemuncak kemenangan yang
amat membanggakan. Namun bebanan yang ditanggung kini semakin berat
akibat harta perolehan perang yang mencurah-curah ibarat hujan, bertimbun di
tangan tentera Islam.
Abdul Rahman al-Ghafiqi melihat segala kejayaan melimpah ruah ini dengan
penuh kebimbangan dan takut. Abdul Rahman bimbang harta ini bakal
menggugat kekuatan umat Islam. Beliau bimbang harta ini akan mengganggu
hati mereka ketika bertemu musuh. Hati mereka mungkin berbelah bahagi jika
sesuatu keburukan menimpa mereka. Mereka mungkin melihat musuh dengan
sebelah mata sementara mata satu lagi sibuk melihat harta milik mereka.
Oleh itu, beliau berhasrat untuk mengarahkan tenteranya membuang sahaja
segala harta yang bertimbun ini tetapi beliau takut tindakan itu tidak dapat
diterima oleh mereka. Mereka mungkin tidak bersedia untuk menyerahkan
segala kekayaan ini. Jadi hanya satu sahaja pilihan yang terbaik iaitu
mengumpulkan semua harta ini dalam satu khemah khas. Khemah ini
ditempatkan di bahagian belakang markas sebelum sesuatu peperangan
meletus.
Selama bebarapa hari, kedua-dua belah pihak angkatan ini saling berhadapan
dengan penuh tenang. Dalam diam-diam, masing-masing memerhati antara satu
sama lain ibarat dua banjaran saling berhadapan. Masing-masing merasa
dengan kekuatan lawan dan mengambil pelbagai perhitungan sebelum
memulakan serangan.
Keadaan ini berlangsung beberapa lama. Akhirnya melihat kepada
semangat tenteranya yang berkobar-kobar untuk mara, Abdul Rahman al-Ghafiqi
mengambil keputusan untuk memulakan dahulu serangan dengan bergantung
sepenuhnya kepada kelebihan yang dimiliki oleh tenteranya dan keyakinannya
bahawa kemenangan akan memihak kepadanya. Abdul Rahman al-Ghafiqi
bersama tentera berkudanya lancarkan serangan ke barisan musuh ibarat singa
yang mengganas. Perancis pula membalas serangan ini dengan semangat yang
ibarat gunung.
Hari pertama dalam peperangan ini tidak memihak kepada mana-mana pihak.
Hanya kegelapan malam sahaja yang mampu menghentikan peperangan hari
itu. Hari berikutnya, peperangan kembali meletus. Umat Tslam melancarkan
serangan hebat ke atas tentera Eropah. Namun mereka masih gagal untuk
mencapai matlamat mereka.
Peperangan kini berlanjutan selama tujuh hari dan masa terasa bergerak
terlalu lambat. Pada hari kelapan, umat Islam melancarkan serangan besar-
besaran ke atas musuh. Mereka berjaya membuka ruang yang besar di
pihak musuh, seolah-olah mereka dapat melihat kemenangan melalui ruang
ini ibarat cahaya mentari yang mencelah kegelapan subuh.
Namun dalam masa yang sama, sekumpulan pasukan musuh telah
melancarkan serangan hendap ke atas khemah harta perolehan perang milik
tentera Islam. Apabila melihat harta mereka diserang dan hampir jatuh ke
tangan musuh, kebanyakan tentera Islam mula berundur ke belakang untuk
menyelamatkan harta masing-masing. Tindakan ini menyebabkan barisan
serangan mereka porak-peranda dan kekuatan mereka mula goyah.
Panglima agung tentera ini, kini terpaksa bertindak pantas untuk
mengerahkan kembali tentera yang berundur ini sambil terpaksa menahan
serangan musuh dan menutup ruang yang terbuka. Dalam keadaan ini,
pahlawan Islam yang agung, Abdul Rahman al- Ghafiqi terpaksa memacu
kudanya ke hadapan dan belakang. Ketika itulah beliau terkena panahan musuh
yang menyebabkannya rebah ke bumi ibarat helang yang gugur dari puncak
gunung. Rebah syahid di medan peperangan. Apabila melihat malapetaka ini,
umat Islam mula diserang rasa takut dan goyah. Ditambah pula dengan
serangan hebat oleh musuh. Kegelapan malam sahaja yang mampu
menyelamatkan mereka.
Menjelang pagi, Charles Martel mendapati seluruh tentera Islam telahpun
berundur daripada Poitiers. Walau bagaimanapun, Charles tidak berani
untuk mengejar mereka. Sedangkan, jika dia mengejar, dia boleh
memusnahkan mereka. Charles sebenarnya takut pengunduran ini hanyalah
sebahagian daripada taktik perang yang terancang. Jadi, Charles mengambil
keputusan untuk kekal sahaja dan berpuas hati dengan kemenangan besar yang
telah diperolehinya.
Peperangan Balat al-Shuhada’ ini merupakan hari penting dalam sejarah. Pada
hari tersebut, umat Islam gagal mencapai impian besar yang dicitakan selama
ini. Malah mereka kehilangan seorang pahlawan agung. Tragedi Uhud berulang
kembali. Inilah sunnah Allah di alam semesta ini dan sunnah ini tidak mungkin
dapat diubah.
Berita kekalahan di Balat al-Shuhada’ ini amat menyayat hati umat Islam di
setiap tempat. Tragedi yang menimpa mereka ini amat menggemparkan
mereka. Seluruh kota, kampung dan setiap rumah berkabung kesedihan
menerima berita ini. Malah luka yang amat pedih ini masih terasa hingga kini.
Luka ini tidak akan sembuh selamanya.
Sebenarnya, luka yang begitu mendalam ini bukan sahaja menggores hati umat
Islam. Malah luka ini turut dikongsi bersamah para cendekiawan Eropah. Bagi
mereka, kemenangan datuk nenek moyang mereka mengalahkan umat Islam di
Poitiers merupakan satu bencana yang merugikan seluruh bangsa manusia.
Suatu kerugian yang terpaksa ditanggung oleh Eropah. Suatu bencana
yang memalapkan suatu tamadun.
Jika anda ingin melihat pandangan mereka mengenai malapetaka di Balat al-
Shuhada’ ini, silalah dengar apa yang dikatakan akan oleh Henry De
Shamboone, pengarah majalah Rivi Barlmintier berbahasa Perancis. Dia pernah
menyebut:
“Jika Charles Martel tidak mencapai kemenangan ke atas umat Islam, sudah
tentu negara kita tidak terjerumus ke dalam zaman kegelapan di kurun
pertengahan. Jika Charles tidak menang, sudah tentu kita tidak akan merasai
kedahsyatan zaman itu. Sudah tentu tidak akan berlaku peperangan saudara
yang disebabkan oleh fanatik agama kemazhaban. Benar, jika tidak kerana
kemenangan barbarian ke atas umat Islam di Poitiers itu, sudah tentu Sepanyol
masih menikmati keadilan Islam. Sudah tentu Sepanyol akan selamat daripada
Mahkamah Taftish1. Sudah tentu perjalanan tamadun manusia tidak akan
terbantut selama lapan kurun. Walau apa sekalipun perasaan kita terhadap
kemenangan ini, kita sebenarnya masih terhutang budi kepada umat Islam yang
telah banyak berjasa kepada tamadun ilmu, teknologi dan industri kita. Kita
perlu mengakui bahawa mereka adalah contoh manusia yang unggul. Dalam
masa yang sama kita adalah contoh manusia barbarian. Apa yang kita dakwa
hari ini bahawa zaman telah kembali berulang adalah suatu pembohongan.
Termasuklah juga dakwaan kita bahawa umat Islam di zaman ini sama seperti
keadaan kita di zaman pertengahan.”
Maraji’ – Dr. Abdul Rahman Ra’fat al-Basha, 37 Kisah Kehidupan Tabi’in, Pustaka
Salam
Abdurrahman al Ghafiqi, Tombak Jihad Yang Terhunus
Kesyahidannya Membuat Mujahidin Berduka, Kafir Dzimmi pun
Kehilangan
Muslimdaily.net – Ketika Umar bin
Abdul Aziz mengemban amanah sebagai khalifah, orang pertama yang diangkat
menjadi gubernur adalah Samh bin Malik al Khaulani. Gubernur Samh
dipercaya untuk menangani berbagai daerah wilayah kekuasaan khalifah Islam
yang sebagiannya mencakup wilayah Prancis saat ini.
Gubernur Samh tergolong seorang gubernur / pemimpin yang bijak dan adil.
Ketika pertama kali dilantik sebagai gubernur maka ia mencari ulama pemuka
kaum muslimin dari kalangan tabi’in yang masih hidup. Hingga kemudian
bertemulah ia dengan seorang tabi’in bernama Abdurrahman al Ghafiqi.
Dikarenakan kesalehan, kecerdasan, dan keberanian al Ghafiqi, Gubernur Samh
pun menawarinya sebuah jabatan untuk menangani wilayah Andalusia
(Spanyol).
Tawaran manis itu dijawab dengan jawaban yang sopan oleh al Ghafiqi,
“Wahai gubernur, Aku hanyalah orang biasa, seperti yang lain. Aku datang ke
daerah ini hanya untuk mengetahui batas-batas daerah kaum muslimin dan
batas-batas daerah musuh mereka. Aku hanya meniatkan diriku untuk
menegakkan kalimat Allah di muka bumi ini. Insya Allah, gubernur akan
mendapatiku selalu mengikuti engkau selama engkau menegakkan kebenaran.
Aku akan selalu mengikuti perintah, selama engkau taat pada perintah Allah
dan Rasul-Nya, walaupun aku tidak diberi kekuasaan dan perintah.”
Jawaban al Ghafiqi tersebut merupakan jawaban yang sangat bijak. Kondisi
tersebut sangat berbeda dengan para pemimpin dan politisi Indonesia baik dari
kalangan Islam maupun nasionalis. Koalisi-koalisi yang dibentuk lebih
mencerminkan aspek bagi-bagi kekuasaan. Koalisi tidak dibangun berdasarkan
semangat ketaatan pada perintah Allah dan Rasul-Nya dan bukan kepada
kebenaran. Jadi, ketika ada peserta koalisi yang berusaha menegakkan
kebenaran justru disingkirkan karena dianggap berkhianat. Semangat inilah
yang tidak diusung oleh al Ghafiqi. “Selama pemimpin menegakkan kebenaran,
maka al Ghafiqi akan selalu taat, namun ketika pemimpin menginjak-injak
perintah Allah dan Rasul-Nya serta kebenaran, maka pedang telah ia siapkan
untuk meluruskannya kembali.” Sebuah koalisi yang dibangun berdasar
kebenaran, bukan kekuasaan.
Pada suatu ketika, dalam sebuah pertempuran tentara Islam melawan tentara
Prancis, Gubernur Samh syahid tertusuk panah musuh. Abdurrahman al
Ghafiqi-lah yang kemudian secara reflek memimpin bala tentara Islam yang
mulai kehiangan arah. Dengan sigap di bawah kepemimpinannya, kaum
Mujahidin (tentara Islam) terhindar dari kekalahan yang lebih parah.
Sejak saat itulah, al Ghafiqi ditunjuk sebagai kepala wilayah daerah Andalusia.
Mulai sejak awal ia memerintah Andalusia, al Ghafiqi segera bekerja
mengembalikan keyakinan pasukannya, membangkitkan semangat kaum
Mujahidin. Satu hal yang dilakukan oleh al Ghafiqi dalam membangkitkan
semangat para mujahidin dan kaum muslimin secara umum adalah dengan
memperbaiki dan menyucikan jiwa (tazkiyatun nafs). Ia berprinsip bahwa
kesuksesan dan kemenangan mujahidin tidak bakal terjadi jika benteng jiwa
sudah rapuh.
Tindakan nyata yang menjadi keteladanan dari beliau adalah dengan
menyebarkan pengumuman di seluruh wilayah yang menjadi daerah
kekuasaannya yang berbunyi, “Barangsiapa yang mempunyai persoalan dan
merasa dizalimi oleh gubernur, hakim, atau seseorang yang lain. Ia harus
melaporkannya pada gubernur, sebab kedudukan kaum muslimin dan non-
muslimin sama dalam hal ikatan perjanjian.”
Selanjutnya ia mulai memeriksa laporan dan pengaduan kasus kezaliman-
kezaliman yang masuk. Semuanya ia luruskan dan selesaikan dengan baik
berdasar keadilan dan kebenaran. Para pejabat yang terindikasi bermasalah,
korupsi, dan berakhlak buruk tanpa segan-segan ia copot dari jabatan-
jabatannya.
Setiap kali mengunjungi wilayaj kekuasaan kaum muslimin, ia selalu mengajak
orang untuk sholat berjamaah, menganjurkan kaum muslimin untuk memburu
syahid, terus berjihad, dan menyemangati mereka tentang ridha Allah SWT.
Salah satu gambaran sikap perwira dan rendah hati al Ghafiqi adalah seringnya
beliau berkumpul dengan kepala pasukan dan pemuka masyarakat di setiap
daerah yang ia taklukkan. Ia selalu mendengarkan dan memperhatikan
perkataan orang-orang yang ada di sekitarnya, mencatat semua kritik dan
mengambil manfaat dari mereka. Ia lebih banyak diam dan berbicara
seperlunya.
Sebagai panglima perang dan komandan Mujahidin, beliau menghormati
orang-orang kafir dzimmi yang kebanyakan keturunan Prancis. Beliau sering
ngobrol-ngobrol bersama mereka tentang berbagai persoalan. Dan sering, al
Ghafiqi justru memperoleh inspirasi kekuatan sekaligus titik kelemahan umat
Islam dari hasil diskusi-diskusi dan obrolan-obrolan bersama para bangsawan
kafir dzimmi tersebut.
Dalam mempersiapkan sebuah perang suci, beliau menghabiskan waktu selama
2 tahun untuk membangun benteng jiwa kaum muslimin dan para mujahidin. Di
bawah kepemimpinannya, telah banyak daerah musuh Islam yang berhasil ia
taklukkan baik dengan damai maupun dengan jalan perang. Kota Uktaniyah
(Aquitane), Bordeaux, Lyon, Bourbonnais, Cannes, Thuluz (Toulouse), Arel
(Orleans), dan beberapa daerah yang kini menjadi wilayah Perancis dengan
cepat ia taklukkan bersama kaum mujahidin yang telah beliau siapkan jiwa dan
mental serta spiritualitas mereka selama kurang lebih 2 tahun.
Sebagai seorang komandan mujahidin yang memiliki keilmuan tinggi karena
dididik oleh para sahabat utama Rasulullah SAW, beliau tidak berkompromi
dengan pengkhianat. Sekalipun seorang muslim bahkan pemimpin umat Islam
sekalipun, jika ia berkhianat maka al Ghafiqi siap menghabisinya demi tegaknya
kebenaran Islam. Seorang gubernur Tsughur bernama Utsman bin Abi Nus’ah
adalah salah satu contoh pengkhianat yang akhirnya tewas oleh bala tentara al
Ghafiqi dikarenakan sikap Utsman yang melindungi musuh Islam, Raja
Aquitane, oleh karena Utsman merupakan menantu Raja Aquitane. Raja
Aquitane memiliki seorang anak perempuan cantik bernama Minin yang
diperistri oleh gubernur Utsman. Akhirnya keduanya pun tewas di tangan
tentara Islam.
Pada kesempatan ini, kita belajar dari al Ghafiqi bahwa seorang pengkhianat
Islam meskipun yang bersangkutan seorang muslim dengan jabatan tinggi
sekalipun pada saat ia berkhianat, maka ia adalah musuh Islam. Hukuman
terberatnya adalah yang bersangkutan boleh dibunuh. Sementara terhadap
orang-orang kafir sekalipun selama mereka menjadi ahlu dzimmah, maka
menjadi kewajiban pemimpin dan umat Islam untuk menjaga harta dan
darahnya. Sebuah sikap yang berdasar pada kebenaran!
Abdurrahman al Ghafiqi meninggal dunia sebagai syahid pada perang Balathu
asy-Syuhada saat beliau melawan pasukan Karel Martel. Beliau syahid di medan
pertempuran karena sebatang anak panah yang menancap ke tubuhnya
sehingga ia terjatuh dari punggung kudanya.
Ke-saat beliau melawan pasukan Karel Martel. Beliau syahid di medan
pertempuran karena sebatang anak panah yang menancap ke tubuhnya
sehingga ia terjatuh dari punggung kudanya.
Ke-syahid-an Abdurrahman al Ghafiqi mengulang kembali kejadian syahid
Hamzah pada perang Uhud dikarenakan pasukan Islam kala itu lebih
mementingkan harta rampasan di saat perang belum benar-benar usai. Umat
Islam kehilangan salah seorang Mujahid nya. Tak hanya umat Islam yang
kehilangan. Sebagian orang-orang kafir dzimmi Prancis dan cendekiawan
Prancis pun merasa kehilangan.
Dalam sebuah ucapan, Henry de Syamboun, seorang cendekiawan Prancis
berujar, “Kalau tidak karena kemenangan Karel Martel yang biadab atas orang
Islam Arab di Prancis, niscaya Negara kita tidak mengalami kegelapan selama
delapan abad. Negara kita tak akan mengalami nasib buruk dan tidak banyak
menelan korban yang mendorong tumbuhnya rasa fanatic terhadap agama dan
aliran.”
Demikianlah secuil kisah tentang Abdurrahman al Ghafiqi, sang pahlawan
Islam. (zulfikri)
(dirangkum dari 101 Kisah Tabi’in Hepi Andi Bastoni, Pustaka al Kautsar)
NB: Jembatan Qurthubah (Cordova) adalah monument peninggalan yang Ia
bangun sebagai jalur transportasi demi keperluan dakwah dan militer.
KISAH TABI’IN: ABDURRAHMAN AL-GHAFIQI, GUBERNUR ANDALUSIA KISAH ISLAM · DECEMBER 26, 2012
7 1 1.6K 0
ABDURRAHMAN AL-GHAFIQI, GUBERNUR ANDALUSIA
Tabi’in – Sesudah khalifah Umar bin Abdil Aziz membersihkan tangannya usai
menghadiri pemakaman putra pamannya yakni khalifah Sulaiman bin Abdul
Malik, beliau mengadakan pergantian para gubernur dan pejabat secara besar-
besaran. Di antara pejabat baru yang dilantik adalah as-Samah bin Malik al-
Khaulani yang bertanggung jawab atas seluruh Andalusia (sekarang Spanyol dan
Portugal ed.) dan beberapa kota yang telah ditaklukkannya di Prancis.
Gubernur baru ini segera menempati tempat dinasnya di Spanyol. Kemudian
mengamati situasi dan mencari sahabat-sahabat baik yang bisa membantunya.
Yang pertama kali beliau tanyakan adalah, “Masih adakah generasi tabi’in senior
di sini?” Orang-orang menjawab, “Masih, di sini masih ada seorang tabi’in utama
bernama Abdurrahman al-Ghafiqi.” Lalu mereka memuji ilmu dan keahlian tabi’in
tersebut tentang hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, perannya dalam
jihad, kerinduannya akan syahadah fi sabillah dan zuhud terhadap kesenangan
dunia. Beliau juga berguru kepada sahabat utama, Abdullah bin Umar bin
Khaththab yang ilmu dan perilakunya sangat mirip dengan ayahnya.
Gubernur as-Samah bin Malik segera mengundang Abdurrahman al-Ghafiqi.
Kedatangan tokoh tabi’in tersebut disambut dengan penuh hormat, kemudian
keduanya duduk berdampingan itu akhirnya menyerah setelah selama empat
pekan bertahan dalam pertempuran dahsyat yang belum pernah disaksikan oleh
Eropa.
Target berikutnya adalah Toulouse, ibukota Octania. Tanpa membuang-buang
waktu, pasukan Islam segera memasang semacam ranjau-ranjau di berbagai
tempat, kemudian memulai serangan dengan senjata-senjata yang tidak dikenal
di Eropa. Nyaris saja kota ini menyerah, hanya saja terjadilah peristiwa yang
tidak terduga sebelumnya. Mari kita ikuti bagaimana seorang orientalis Prancis
bernama Rhino menggambarkan perang besar tersebut:
Kejayaan di pihak pasukan Islam sudah di ambang pintu. Ketika itu, raja Octania
bertolak ke Eropa untuk mencari bala bantuan. Dia menyebar utusan-utusan ke
seluruh negeri. Dia memprovokasi raja-raja Eropa dengan cara memperingatkan
akan bahaya ekspansi Islam yang akan merambat ke wilayah mereka juga.
Sehingga kaum wanita dan anak-anak mereka sebagai tawanan. Hasilnya, tak
satu negeri pun melainkan mengirimkan pasukan khususnya lengkap dengan
persenjataan yang menjadi andalan mereka.
Jumlah pasukan begitu besar, gemuruh suara para tentara dan lengkapnya
senjata perang belum pernah dilihat dunia sebelum itu. Hingga debu-debu
terbang menutupi kota Rhone dari sinar matahari, lantaran banyaknya kaki yang
menginjaknya.
Tatkala dua kubu telah berhadap-hadapan, terbayang oleh orang-orang seakan
gunung tengah berhadapan dengan gunung. Perang sengit tak terelakkan lagi.
as-Samah bin Malik selalu di garis depan. Dia dijuluki Dzaama, bergerak dengan
tangkas ke sayap kanan dan sayap kiri tanpa mengenal lelah. Pada saat itulah
anak panah meluncur mengenai dirinya. Maka robohlah panglima tertinggi yang
perkasa itu dan syahid.
Begitu mengetahui panglimanya gugur, goncanglah pasukan Islam. Jatuhlah
mental juang mereka, lalu barisan pun mulai kocar-kacir. Mereka bergerak
mundur dan hampir dapat dipastikan bahwa pasukan Eropa berhasil
menghancurkan mereka kalau saja pada saat yang kritis itu tidak tampil sosok
yan cerdas dan tangguh yang selama ini telah disegani Eropa, yaitu
Abdurrahman al-Ghafiqi.
Di bawah komando panglima baru ini, pasukan Islam bergerak mundur tanpa
mengalami banyak kerugian. Mereka bergerak ke Spanyol dengan tekad kelak
akan menebus kekalahannya.
Demikianlah, perang besar Toulouse telah melahirkan panglima baru yang
tangkas dan berhasil menyelamatkan pasukan Islam dari timbulnya banyak
korban. Jika pasukan itu ibarat kafilah yang hampir mati kehausan di tengah
sahara, maka Abdurrahman al-Ghafiqi adalah orang yang menyuguhkan minum
kepada mereka. Beliau menjadi tumpuan para prajurit muslimin untuk
memulihkan kekuatan dan membimbing mereka menjauhi banyaknya korban
yang berjatuhan.
Tak berlebihan kiranya jika pertempuran Toulouse menorehkan luka pertama
yang teramat pedih pada diri pasukan Islam sejak menginjakkan kakinya di
benua Eropa. Kehadiran Abdurrahman al-Ghafiqi menjadi penawar luka tersebut
dan dengan tangannya yang penuh kasih dia merawat mereka sepenuh
perhatian.
Kabar kekalahan pasukan Islam tersebut akhirnya sampai ke telinga khalifah di
Damaskus dan menumbuhkan tekad yang membara untuk membalas gugurnya
as-Samah bin Malik al-Khaulani. Beliau memerintahkan agar seluruh prajurit
melakukan bai’at kepada Abdurrahman al-Ghafiqi. Kini beliau diangkat sebagai
pemimpin seluruh Spanyol dan daerah-daerah Prancis yang sudah berhasil
dikuasai. Dengan jabatan tersebut beliau mendapatkan otonomi untuk mengatur
strategi yang dikehendakinya.
Keputusan itu bukanlah tindakan konyol, karena Abdurrahman al-Ghafiqi
memang seorang yang tangkas, tegas, jujur, bersih, bijaksana lagi pemberani.
Pemimpin baru Abdurrahman al-Ghafiqi tidak membuang-buang waktu. Beliau
segera membenahi kembali pasukan Islam, menempa tekad para prajurit,
mengembalikan kepercayaan diri, kehormatan, dan kekuatan mereka. Semua
ditujukan untuk melanjutkan obsesi tokoh-tokoh muslimin Spanyol sejak Zaman
Musa bin Nushair hingga as-Samah bin Malik, yaitu menguasa Prancis, Italia,
Jerman hingga Konstantinopel, serta menjadikan laut putih tengah sebagai
lautan Islam dan mengganti nama laut Romawi menjadi laut Syam.
Hal yang diyakini Abdurrahman al-Ghafiqi memeriksa dan menanggapi seluruh
pengaduan tersebut. Ditindaknya orang-orang yang berlaku aniaya dan
dikembalikannya hak-hak orang yang lemah. Beliau meneliti gereja-geraja yang
dirampas dan mengembalikannya kepada yang berhak, menghancurkan
bangunan-bangunan baru yang didirikan dari hasil suap. Kemudian memeriksa
para pejabatnya satu demi satu dan memecat para pejabat yang terbtukti
berkhianat atau menyeleweng. Lalu menggantinya dengan orang-orang yang
dapat dipercaya kemampuan dan akhlaknya. Setiap kali memasuki suatu
daerah, beliau menyeru kaumnya untuk shalat jamaah, kemudian berkhutbah
untuk memompa semangat jihad dan membangkitkan kerinduan mereka akan
syahadah dan mardhatillah.
Abdurrahman al-Ghafiqi tidak hanya pintar berbicara. Sejak memegang kendali
kekuasaan beliau juga sibuk mempersiapkan berbagai sarana dan prasarana
penting. Senjata-senjata diproduksi, latihan-latihan diselenggarakan, benteng-
benteng yang rusak dibenahi dan jembatan-jembatan dibangun. Satu di antara
jembatan bersejarah yang bisa disaksikan hingga kini adalah yang dibangun di
Cordova, ibukota Spanyol. Jembatan itu melintasi sungai besar yang bisa
dimanfaatkan untuk lalu lintas dan menjaga negeri itu dari bahaya banjir.
Jembatan itu merupakan salah satu keajaiban dunia. Panjangnya mencapai 800
ba (satu ba’ sepanjang dua kali tangan), tinggi 60 ba’, lebar 20 ba’ dengan 18
pintu air dan 19 pilar, hingga kini menjadi kebanggaan bangsa Spanyaol.
Setiap kali Abdurrahman mengunjungi masing-masing wilayah, tak lupa beliau
mengadakan pertemuan dengan para pimpinan angkatan bersenjata dan tokoh-
tokoh masyarakat. Beliau memperhatikan dan mencatat pandangan dan usul-
usul mereka. Beliau lebih banyak mendengarkan tanggapan dalam pertemuan-
pertemuan itu daripada berbicara. Pertemuan serupa juga digelar untuk para
pemuka zhimmi yang terikat perjanjian dengan muslimin. Tak jarang dia
bertanya sampai mendetail hal ihwal negeri dan pimpinan mereka.
Abdurrahman al-Ghafiqi pernah mengundang seorang zhimmi keturunan Prancis
yang terikat perjanjian. Di antara isi perbincangan tersebut adalah sebagai
berikut. Abdurrahman bertanya, “Mengapa raja kalian, Syarl tidak turun untuk
membantu raja-raja lainnya yang berperang dengan kami?” Zhimmi itu
menjawab, “Wahai gubernur, Anda telah menepati janji-janji kepada kami. Anda
berhak kami percayai dan kami akan menjawab dengan jujur segala yang Anda
tanyakan. Sesungguhnya panglima besar Anda, Musa bin Nushair telah berhasil
menguasai seluruh Spanyol. Kemudian dia ingin melintasi pegunungan Pyrenees
yang memisahkan Spanyol dengan negeri kami yang indah. Maka raja-raja kecil
dan para rahib itu menghadap raja kami dan berkata: “Kehinaan apa yang akan
menimpa kita, wahai maha raja? Kami mendengar tentang kaum muslimin dan
mengira mereka akan datang dari arah Timur, namun ternyata mereka muncul
dari arah Barat dan langsung menguasai Spanyol. Padahal negeri ini memiliki
persenjataan dan pertahanan yang kuat. Kini mereka mulai merayap di gunung-
gunung yang membatasi Spanyol dengan negeri kita. Sebenarnya jumlah
mereka kecil, persenjataan sedikit dan kebanyakan tidak memiliki pakaian
perang yang bisa melindungi tubuh dari sabetan pedang atau kuda-kuda gagah
untuk ditunggangi di medan tempur.”
Kemudian maha raja berkata, “Masalah ini sudah saya pikirkan secara
mendalam dan saya mengira untuk saat ini kita tidak perlu menghadapi mereka
secara langsung. Mereka orang-orang bermental baja, bagaikan gelombang
besar yang menyapu semua penghalang dan mencampakkannya kemana dia
suka. Selain itu, mereka adalah kaum yang memiliki akidah yang kokoh sehingga
tak menghiraukan jumlah dan senjata. Mereka punya iman dan kejujuran yang
jauh lebih berharga dibandingkan senjata, pakaian perang atau kuda. Oleh
karena itu, lebih baik kita membiarkan mereka, kaum muslimin terus menumpuk
harta dan ghanimah, lalu membangun rumah dan gedung-gedung serta
melipatgandakan jumlah budak laki-laki dan perempuan dan lihatlah, mereka
pasti akan berebut kekuasaan. Pada saat itu kita bisa menaklukkan mereka
dengan mudah tanpa banyak pengorbanan..”
Tersentaklah Abdurrahman al-Ghafiqi, sedih rasanya mendengar berita itu. Dia
menghela nafas dalam-dalam kemudian membubarkan majelis seiring dengan
masuknya waktu shalat.
Dua tahun penuh Abdurrahman al-Ghafiqi mempersiapkan diri untuk
menyongsong perang besar itu. Beliau membentuk kesatuan-kesatuan prajurit
dan tak henti-hentinya membakar gelora jihad mereka. Di samping itu, beliau
juga meminta bantuan kepada para pemimpin Islam di Afrika untuk mengirim
prajurit-prajurit mereka yang memiliki nyali jihad dan rindu syahid.
Setelah itu, beliau mengutus Utsman bin Abi Nus’ah amir penajga perbatasan
untuk menyibukkan musuh dengan serangan-serangan sporadis sambil
menunggu pasukan inti yang dipimpin oleh Abdurrahman al-Ghafiqi tiba di
medan perang.
Akan tetapi, ternyata pilihan Abdurrahman al-Ghafiqi keliru. Utsman bin Abi
Nus’ah adalah orang yang ambisius tetapi berwatak lemah. Jarak yang jauh dari
pemimpinnya membuka peluang baginya untuk melakukan langkah-langkah
yang bisa mengangkat namanya tanpa mempedulikan persoalan lainnya. Dia
bahkan menculik putri Duke Octania bernama Minin, seorang putri yang amat
jelita. Dalam dirinya terkumpul kecantikan, kebangsawanan, usia belia, dan
kekayaan sebagai penghuni istana. Tak hean bila Utsman bin Abi Nus’ah
akhirnya tergila-gila padanya dan memberikan perhatian berlebih dibanding
kepada seorang istri. Putri itu mengusulkan agar Utsman bin Abi Nus’ah
mengadakan perjanjian damai dengan Duke Octania disertai jaminan bahwa
ayah Minin itu aman dari serangan prajurit Islam.
Begitulah, tatkala tiba perintah Abdurrahman al-Ghafiqi untuk menyerbu wilayah
kekuasaan Duke Octania, rasa bimbang menyelimuti hati Ibnu Abi Nus’ah. Dia
tak tahu harus berbua apa, tapi kemudian dia membujuk agar Abdurrahman al-
Ghafiqi membatalkan perintahnya. Dia benar-benar tak sanggup mengkhianati
janjinya terhadap ayah mertuanya sebelum habis masanya.
Bukan main berangnya Abdurrahman al-Ghafiqi begitu mengetahui duduk
perkaranya. Melalui utusan, beliau berpesan kepada Utsman bin Abi Nus’ah.
“Perjanjian yang Anda lakukan tanpa seizin pemimpin adalah tidak sah, maka
tak ada keharusan bagi prajurit Islam untuk mematuhinya. Sekarang laksanakan
perintahku segera, seranglah musuh sekarang juga!”
Ibnu Abi Nus’ah merasa putus asa karena gagal melunakkan sikap gubernurnya.
Dia bersegera mengirim utusan kepada ayah metuanya untuk memberitahukan
apa yang terjadi dan memperingatkan agar waspada terhadap pasukan kaum
muslimin.
Namun sayang, mata-mata Abdurrahman al-Ghafiqi yang selalu mengawasi
gerak-geriknya mengetahui hal itu dan melaporkan hubungan Utsman bin Abi
Nus’ah dengan musuh kepada Abdurrahman al-Ghafiqi. Segera setelah itu, al-
Ghafiqi mengirimkan pasukan khususnya yang tangguh di bawah komando
Mujahid untuk membawa Utsman bin Abi Nus’ah, hidup atau mati.
Serangan dilakukan secara mendadak. Operasi itu nyaris berhasil, namun
Utsman bin Abi Nus’ah berhasil meloloskan diri dari kepungan. Dia lari ke
gunung disertai beberapa orang, demikian pula dengan Minin, istri cantiknya
yang tak bisa lagi dipisahkan darinya.
Hal itu tidak membuat prajurit Islam patah arang. Mereka terus mengejar dan
akhirnya berhasil menyudutkan pengkhianat itu di suatu tempat. Akhirnya,
Utsman bin Abi Nus’ah mempertahankan diri habis-habisan. Dia tewas karena
banyaknya tusukan tombak dan sabetan pedang yang melukai tubuhnya.
Mayatnya segera dikirim kepada Abdurrahman al-Ghafiqi bersama istrinya.
Begitu melihat Minin, Abdurrahman al-Ghafiqi segera memalingkan wajahnya.
Wanita itu memang cantik luar biasa. Selanjutnya dia dikirim ke Damaskus untuk
diserahkan kepada khalifah. Maka tamatlah riwayat wanita Prancis itu di istana
Umawiyah di Damaskus.
Sumber: Mereka adalah Para Tabi’in, Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, At-Tibyan,
Cetakan VIII, 2009
Artikel www.KisahMuslim.com