Abdullahi ahmed an na'im ch4

63
©Abdullahi Ahmed An-Na`im 4. Negosiasi Kontekstual Sekularisme dalam Perspektif Komparatif Tujuan utama bab ini adalah untuk menunjukkan bahwa sekularisme tidak selalu bermakna menyisihkan agama dari ruang publik masyarakat karena pengertian sekularisme yang seperti inilah yang justru cenderung dimusuhi ummat Islam. Tentu boleh-boleh saja mendefinisikan sekularisme secara hipotetik sebagai pemisahan semua aspek hubungan agama dan negara secara ketat dan sistematis dan kemudian menggunakan definisi yang sempit dan realisitis itu untuk menolak semua regulasi yang berkaitan dengan hubungan tersebut. Namun, definisi yang polemis dan hanya bersifat teoritis tersebut ternyata tidak valid bahkan untuk diterapkan pada negara-negara Barat yang biasa dianggap sekuler. Penelitian Rajeev Bhargava di India membuktikan bahwa penting untuk mulai menepis miskonsepsi mengenai adanya model pemisahan negara dan agama yang unik dan tidak kompleks di seluruh negara-negara Barat. 1 Daripada mencari-cari konsep-konsep yang ilusif seperti itu, nampaknya lebih produktif bila kita mendiskusikan sekularisme sebagaimana difahami dan dipraktikkan oleh berbagai masyarakat dalam konteksnya masing-masing. Ketika kita menguji pengalaman berbagai masyarakat dengan perspektif ini, jelaslah bahwa semua masyarakat sebetulnya selalu berada dalam kondisi menegosiasikan hubungan antara negara dan agama, daripada sedang menerapkan definisi sekularisme yang rigid dan spesifik. Pertanyaan yang saya ajukan dalam bab ini adalah bagaimana memahami proses negosiasi tersebut melalui analisis komparatif sehingga setiap masyarakat bisa mengambil manfaat dari pengalaman masyarakat lain tanpa perlu berusaha menjiplak atau menirunya karena memang hal yang demikian itu tidak perlu dan tidak pula diinginkan. Saya akan mulai dengan review singkat pengalaman sejarah beberapa negara Barat untuk memperlihatkan bahwa teori dan praktik sekularisme itu berubah-ubah, sarat perdebatan dan sangat kontekstual. Review ini akan memperlihatkan bahwa hubungan antara agama dan negara bukan hasil akhir pergumulan sejarah dan budaya sebuah masyarakat, tetapi juga harus terus terbuka terhadap proses reformulasi dan revisi. Pada bagian dua bab ini, saya akan mengutamakan pemahaman terhadap pengalaman negara-negara Barat tersebut dalam kerangka posisi masing- 1 Rajeev Bhargava, “Introduction,” dalam Rajeev Bhargava (ed.), Secularism and Its Critics (New Delhi, Oxford University Press, 1999), hlm. 2-3.

Transcript of Abdullahi ahmed an na'im ch4

Page 1: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

4. Negosiasi Kontekstual Sekularisme dalam Perspektif Komparatif

Tujuan utama bab ini adalah untuk menunjukkan bahwa sekularisme tidak

selalu bermakna menyisihkan agama dari ruang publik masyarakat karena

pengertian sekularisme yang seperti inilah yang justru cenderung dimusuhi

ummat Islam. Tentu boleh-boleh saja mendefinisikan sekularisme secara

hipotetik sebagai pemisahan semua aspek hubungan agama dan negara

secara ketat dan sistematis dan kemudian menggunakan definisi yang

sempit dan realisitis itu untuk menolak semua regulasi yang berkaitan

dengan hubungan tersebut. Namun, definisi yang polemis dan hanya bersifat

teoritis tersebut ternyata tidak valid bahkan untuk diterapkan pada negara-

negara Barat yang biasa dianggap sekuler. Penelitian Rajeev Bhargava di

India membuktikan bahwa penting untuk mulai menepis miskonsepsi

mengenai adanya model pemisahan negara dan agama yang unik dan tidak

kompleks di seluruh negara-negara Barat.1 Daripada mencari-cari konsep-

konsep yang ilusif seperti itu, nampaknya lebih produktif bila kita

mendiskusikan sekularisme sebagaimana difahami dan dipraktikkan oleh

berbagai masyarakat dalam konteksnya masing-masing. Ketika kita menguji

pengalaman berbagai masyarakat dengan perspektif ini, jelaslah bahwa

semua masyarakat sebetulnya selalu berada dalam kondisi menegosiasikan

hubungan antara negara dan agama, daripada sedang menerapkan definisi

sekularisme yang rigid dan spesifik.

Pertanyaan yang saya ajukan dalam bab ini adalah bagaimana memahami

proses negosiasi tersebut melalui analisis komparatif sehingga setiap

masyarakat bisa mengambil manfaat dari pengalaman masyarakat lain tanpa

perlu berusaha menjiplak atau menirunya karena memang hal yang demikian

itu tidak perlu dan tidak pula diinginkan. Saya akan mulai dengan review

singkat pengalaman sejarah beberapa negara Barat untuk memperlihatkan

bahwa teori dan praktik sekularisme itu berubah-ubah, sarat perdebatan dan

sangat kontekstual. Review ini akan memperlihatkan bahwa hubungan antara

1 Rajeev Bhargava, “Introduction,” dalam Rajeev Bhargava (ed.), Secularism and Its Critics (New Delhi, Oxford University Press, 1999), hlm. 2-3.

Page 2: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

agama dan negara bukan hasil akhir pergumulan sejarah dan budaya sebuah

masyarakat, tetapi juga harus terus terbuka terhadap proses reformulasi dan

revisi.

Pada bagian dua bab ini, saya akan mengutamakan pemahaman terhadap

pengalaman negara-negara Barat tersebut dalam kerangka posisi masing-

masing negara terhadap berbagai isu, bukan mengklasifikasikan mereka ke

dalam kategori-kategori tertentu yang sudah jelas. setiap negara, memang,

mengambil sikap yang berbeda dalam merespon aspek-aspek tertentu dalam

hubungan agama dan negara dan tidak ada satupun yang mengikuti satu

pemahaman sekularisme dalam menyikapi semua isu. Lagipula, selalu ada

saja perdebatan mengenai bagaimana aspek tertentu dalam sekularisme

harus diperlakukan sehingga kebijakan apapun yang diambil oleh negara

akan selalu mendapatkan perlawanan dari pihak yang lain. Misalnya apakah

negara boleh membiayai pendidikan agama, atau menyediakan fasilitas

keuangan atau lainnya kepada institusi keagamaan, atau bahkan mengatur

pilihan moral rakyatnya seperti yang terlihat dalam debat mengenai aborsi,

kontrol kelahiran dan perceraian.

Namun demikian, masalah terpenting dalam buku ini sebetulnya adalah

bagaimana proses negosiasi itu diorganisasi dan difasilitasi melalui kerangka

yang akan saya diskusikan pada bagian tiga bab ini. Pada bagian tersebut,

saya menjelaskan bahwa ketegangan permanen dalam hubungan antara

agama dan negara harus dimediasi melalui kerangka “public reason’ yang

sudah diungkapkan dalam bab 1. Kerangka public reason ini juga harus

diamankan dengan prinsip-prinsip dan institusi-institusi konstitusionalisme,

HAM, dan kewarganegaraan seperti yang sudah kita diskusikan dalam bab 3.

Dengan demikian, pada bagian ini saya akan menggunakan review dan

diskusi mengenai pengalaman Barat pada bagian satu guna mengklarifikasi

kerangka yang diperlukan untuk melakukan negosiasi makna dan implikasi

sekularisme dalam konteks masyarakat Islam. Saya akan melanjutkan

perbincangan ini pada 3 bab berikutnya untuk melihat penerapan kerangka

tersebut di India, Turki dan Indonesia.

Page 3: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

Dengan memahami sekularisme melalui pengalaman negosiasi kontekstual

masing-masing masyarakat bukan berarti bahwa tidak ada prinsip-prinsip

yang menyatukan pengalaman yang berbeda itu, atau makna dan implikasi

konsep itu akan selalu relatif bagi setiap masyarakat. Malah sebaliknya,

mengembangkan pemahaman spesifik mengenai makna sekularisme dan

implikasinya melalui analisis komparatif merupakan hal yang mungkin dan

perlu. Namun, kita tidak boleh memaksakan satu definisi atau meneguhkan

satu implikasi hanya melalui perspektif teoritis yang abstrak belaka. Dengan

demikian, pertanyaan utama bab ini adalah bagaimana pengalaman Barat

bisa berguna untuk menegosiasikan hubungan antara agama dan negara

dalam masyarakat Islam?

I. Pengalaman Negeri-Negeri Barat

Saya tidak mungkin menjelaskan pengalaman semua negeri Barat atau

menawarkan sebuah diskusi komprehensif mengenai situasi mereka dalam

bab ini. Saya memutuskan untuk memilih beberapa di antara mereka untuk

mendiskusikan pengalaman sekularisme di beberapa negara yang memiliki

kondisi, tradisi keagamaan dan rezim politik atau konstitusi yang berbeda.

Meskipun demikian, beberapa negara di Eropa maupun di Amerika Utara bisa

juga didiskusikan dengan cara yang sama untuk menunjukkan bahwa posisi

Agama dalam konsepsi dan pengalaman Barat tidak identik ataupun ekslusif

dari domain kebijakan publik dan undang-undang.

Inggris

Karena Inggris hanya sedikit dari negara yang tetap mempertahankan

lembaga Gereja resmi (nasional), penting kiranya untuk membicarakan

pengalaman mereka dalam bab ini, meskipun diskusi dalam bagian ini juga

tidak berpretensi untuk membahas semua daerah yang ada di Inggris. Istilah

gereja resmi (established church), dan sejumlah istilah yang berkaitan

dengannya, digunakan dalam bab ini untuk menunjukkan adanya agama

atau sekte (denomination) tertentu yang diakui atau diresmikan sebagai

agama resmi negara. Meskipun kedekatan hubungan antara Gereja Inggris

(The Curch of England) dengan negara semakin berkurang, namun hubungan

Page 4: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

itu masih tetap kukuh.2 Dimulainya sistem hubungan gereja-negara yang

modern di Inggris bisa ditelusuri dari asal-usul lahirnya Gereja Inggris (The

Curch of England) pada abad ke-16 di masa pemerintahan Henry VIII. Henry

memutuskan untuk mengambil alih kontrol terhadap gereja-gereja di Inggris

dari kekuasaan Paus, karena Paus menolak untuk merestui pernikahannya

dengan Catherine dari Aragon.3 Dengan mengeluarkan “Act of Supremacy”

tahun 1534, Gereja Inggris memisahkan diri dari otoritas Paus.4 Henry VIII

juga mengambil alih kontrol Paus terhadap kekayaan, tanah dan kuil milik

gereja. Karena keputusan ini, lembaga biara menjadi tidak ada dan para

biarawan tidak lagi menjadi anggota lembaga the House of Lord (satu dari 2

lembaga parlemen Inggris). Hanya sebagian kecil uskup dan beberapa

pendeta yang menjadi anggota lembaga itu.5 Setelah Henry meninggal,

penduduk Inggris terbagi menjadi simpatisan Katolik dan Protestan, sampai

akhirnya Elizabeth I memutuskan untuk menetapkan gereja Protestan

sebagai gereja resmi negara pada tahun 1959 dengan mengeluarkan “Act of

Supremacy” kedua yang sekaligus mengukuhkan posisi gereja di bawah

otoritas kerajaan.

Meskipun gereja resmi memiliki peran penting dalam kehidupan sosial dan

politik Inggris, namun keputusan Henry VIII untuk memisahkan gereja Inggris

dengan Roma merupakan satu proses sekularisasi kultural. Selama

kekuasaan Edward VI dan Elizabeth I, kebiasaan ummat Katolik memproduksi

benda-benda dan karya seni suci menurun. Para seniman menemukan tema-

tema non religius untuk mereka tampilkan; dan bentuk lukisan barupun

berkembang, seperti lukisan benda dan potret. Dan ketika negara mulai

mengawasi dan melarang pertunjukan drama religius, termasuk drama-

drama misteri abad pertengahan, drama Elizabethan yang sekuler pun

berkembang menggantikan posisi tradisi lama.6

2S. V. Monsma and J.C. Soper, “England: Partial Establishment.” The Challenge of Pluralism: Church and State in Five Democracies (Lanham, MD: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 1997), hlm. 121. 3 Monsma and Soper, hlm. 1244 David McClean, “State and Church in the United Kingdom” State and Church in the European Union. Ed. Gerhard Robbers (Baden-Baden: Nomos Verlagsgesellschaft, 1996), hlm. 310.5 C. John Sommerville, The Secularization of Early Modern England: From Religious Culture to Religious Faith (Oxford: Oxford University Press, 1992), hlm. 13-146 Sommerville, hlm. 87, 93-94

Page 5: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

Selama berabad-abad, gereja resmi di Inggris telah memperkuat sekaligus

diperkuat oleh kekuasaan negara. Hubungan gereja Inggris dan negara

menguat pada abad ke-17, ketika mazhab Kristen Inggris (Anglican)

disponsori dan diperkuat oleh negara sementara Katolik Roma dan mazhab

lainnya ditindas. “The Corporation Act” tahun 1661 dan “The Test Act” tahun

1673 melarang orang-orang yang tidak mengikuti Kristen Anglikan untuk

berpartisipasi dalam arena politik dan masuk universitas. Baru pada abad ke-

18-lah, posisi istimewa gereja resmi ini mulai menurun. Penganut Protestan

yang tidak tunduk pada negara diberikan hak untuk melakukan ibadah pada

tahun 1689, namun mereka tetap tidak diberikan hak-hak politik kecuali

sampai 1824. orang-orang Katolik dan Yahudi mulai diperbolehkan

berpartisipasi dalam politik beberapa dekade setelah itu. Tahun 1871,

pemerintah Inggris menetapkan tes agama untuk masuk universitas. Namun

di akhir abad 19, bibit-bibit toleransi mulai tumbuh.7

Pemberian hak politik kepada penduduk yang tidak menganut kristen

Anglikan merupakan sebuah pengakuan bahwa negara tidak bisa

memaksakan keseragaman agama pada warga negaranya. Selama abad 19,

beberapa kelompok diorganisasi untuk memisahkan gereja dari negara,

namun mereka tidak mendapatkan dukungan politik yang memadai. Pada

awal abad ke-20, pengaruh kelompok-kelompok separatis itu mulai menurun,

mungkin karena secara politis, kekuasaan gereja juga tidak lagi penting.

Gereja Inggris tetap menjadi Gereja resmi negara, namun ikatan formalnya

kepada negara berangsur-angsur mengendur dan lebih bersifar seremonial.

Di akhir abad ke-20 atau permulaan abad ke-21, gereja Inggris mulai

berusaha mempromosikan sikap yang lebih toleran dan mempertahankan

fungsi ekumenisnya dengan mendukung pengakuan pemerintah terhadap

sekte lain. Pada saat ini, negara juga tidak lagi mempromosikan gereja

Anglikan secara agresif dan membatasi kegiatan kelompok-kelompok agama

lain. Kebijakan negara semakin mengarah pada pemberian dukungan kepada

semua agama, daripada hanya kepada satu kelompok.8

7 Monsma and Soper, hlm. 1248 Monsma and Soper, hlm. 124-132

Page 6: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

Meskipun sikap negara terhadap agama semakin plural, beberapa implikasi

legal dan kultural model negara tradisional masih terlihat. Sebagai contoh,

kerajaan, dengan saran dari Perdana Menteri, menunjuk para uskup dari

calon yang dinominasikan oleh gereja. Sementara itu, Uskup Agung serta

anggota senior lembaga keuskupan tetap menjadi anggota The House of

Lords. Hukum negara yang mengatur penghinaan agama (blasphemy)

merupakan upaya untuk melindungi doktrin-doktrin gereja Anglikan, tapi

tidak untuk doktrin agama lain.9 Hukum Gereja Anglikan (eclesiastical law

atau canon law) masih menjadi bagian Hukum Inggris dan memiliki kekuatan

yang sama dengan common law di pengadilan. Parlemen mempunyai

kekuasaan untuk membuat hukum yang berkaitan dengan gereja, meskipun

akhirnya kekuasaan ini diberikan kepada Majelis Umum Gereja-Gereja (the

General Synod of the Church) pada abad ke-20. Gereja Inggris masih

mempunyai hak istimewa untuk mengeluarkan aturan-aturan yang berkaitan

dengan gereja-gereja lain, aturan ini kemudian diajukan ke parlemen untuk

mendapatkan persetujuan sehingga memiliki kekuatan hukum seperti

ketetapan parlemen lainnya. Namun dalam praktiknya, parlemen jarang

menolak aturan-aturan itu dan bahkan mungkin tidak mengamandemen

teksnya.10 Posisi Gereja Inggris saat ini merefleksikan apa yang disebut

partial establishment sebagai bentuk kerjasama antara negara dan gereja

untuk melindungi peran publik agama. Adanya otoritas keagamaan ini

merupakan pengakuan negara terhadap peran publik sebuah kepercayaan

agama”.11

Meskipun mendapatkan dukungan yang luas, sistem “partial

establishment” ini menghadapi beberapa tantangan dalam masyarakat

kontemporer, seperti dalam kasus pendidikan agama. Negara

mempertahankan sikap setengah netral dalam persoalan agama dengan,

misalnya, dengan memasukkan pendidikan agama sekte lain dalam

9 Monsma and Soper, hlm. 129-13010 McClean, hlm. 311-31211 Monsma and Soper, hlm. 148

Page 7: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

kurikulum nasional. Namun, Gereja Inggris tetap memiliki hak veto untuk

merubah silabus pelajaran yang penyusunannya melibatkan komite lokal

meskipun Education Reform Act (Undang-Undang Reformasi Pendidikan)

tahun 1988 melarang komite tersebut untuk membuat kurikulum yang

memperlihatkan kecenderungan pada salah satu sekte keagamaan.12 Selain

itu, dana fasilitas pendidikan juga lebih diutamakan untuk diberikan kepada

sekolah-sekolah Anglikan atau Katolik, meskipun sekolah-sekolah Protestan

dan Yahudi juga mendapatkan sejumlah dana.13 Pihak yang tidak setuju

terhadap kebijakan pemberian dana untuk sekolah-sekolah agama

mengklaim bahwa lembaga-lembaga seperti itu memecah belah kohesi

sosial, karena memisahkan anak-anak berdasarkan agama.14

Kesulitan yang muncul dalam kebijakan pendidikan agama di atas

memperlihatkan keterbatasan sistem “partial establishment” yang

berlaku Inggris. Karena Inggris tidak mempunyai bill of rights tertulis, maka

tidak ada jaminan formal untuk kebebasan beragama atau harapan bagi

terciptanya kesetaraan beragama. Negara, dengan demikian, hanya

mengakomodasi kepentingan minoritas jika kepentingan itu masih dalam

batasan yang bisa diterima.15 Meskipun kombinasi kebijakan “partial

establishment” dan toleransi terhadap minoritas secara umum bisa

diterima oleh rakyat Inggris, namun nampaknya kebijakan ini mulai

mendapatkan tekanan dari kalangan minoritas yang menuntut adanya

pernyataan yang lebih jelas tentang kesamaan status mereka. Sementara di

pihak lain, kalangan tradisionalis Inggris masih ingin mempertahankan hak

sosial dan politik istimewa yang dimiliki oleh Gereja Anglikan.

Swedia

Sejarah pemberlakuan agama resmi di Swedia dimulai sejak abad ke-16

ketika desakan untuk menyatukan negara di bawah kepercayaan Lutheran

12 McClean, hlm. 31613 Monsma and Soper, hlm. 13714 Monsma and Soper, hlm. 13915 McClean, hlm. 311, dan Monsma and Soper, hlm. 148-149

Page 8: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

semakin menguat dan bisa dicapai melalui kepemimpinan para pendeta dan

dukungan massa terhadap adanya gereja Protestan. Tahun 1953, untuk

mengantisipasi gerakan kontra reformasi, yang juga berkompetisi untuk

mendapatkan tahta kerajaan, Majelis Gereja Lutheran pun dilantik di Uppsala.

Lebih dari 300 lembaga kependataan Lutheran hadir dan Gereja Evangelis

Lutheran ditetapkan menjadi Gereja Nasional Swedia dengan deklarasi bahwa

Swedia telah disatukan dengan Satu Raja dan Satu Tuhan.16

Abad-abad berikutnya, kebijakan penyeragaman identitas keagamaan ini

juga diberlakukan untuk menyatukan perbedaan etnik dan bahasa di Swedia

yang muncul kemudian. Tahun 1634 “the Instrument of Government”

(peraturan pemerintah) menyatakan dengan jelas bahwa Kristen Lutheran

adalah agama resmi negara sekaligus mengungkapkan prinsip kesatuan

dalam beragama bagi rakyat Swedia.17 Pada tahun 1686, ketetapan gereja

menyebutkan bahwa Swedia adalah negara Evangelis dan dengan demikian

rakyat Swedia harus menganut Agama Evangelis”, sehingga jika ada orang

Swedia meninggalkan Gereja resminya, ia kehilangan status warga

negaranya.18 Sekitar tahun 1800, sejumlah provinsi di Swedia mulai hilang

dan Swedia menjadi negara yang lebih homogen secara etnik dan budaya.

Namun, toleransi terhadap praktik agama lain tidak pernah muncul sampai

akhir abad 18. itupun hanya berlaku bagi para imigran, tidak bagi orang

Swedia asli. Perubahan mulai terjadi selama abad 19 bersamaan dengan

meningkatnya industrialisasi, urbanisasi dan tumbuhnya pengaruh gerakan

kaum sosialis dan liberal. Peraturan pemerintah tahun 1809 akhirnya

mengakui hak rakyat Swedia untuk meninggalkan gereja dan membentuk

jemaah ibadah sendiri, namun kebijakan ini baru berlaku setelah the

Dissenter Act (undang-undang tentang sekte gereja) dikeluarkan tahun 1860.

Selain itu, jemaah ibadah yang didirikan pun harus tetap berdasarkan agama

Kristen dan mendapatkan persetujuan kerajaan.19

16 Jonas Alwall, “Religious Liberty in Sweden: An Overview.” Journal of Church and State. Ed. Davis, D. 42:1 (2000), hlm. 147, 148.17 Alwall, hlm. 14818 Robert Schött, “State and Church in Sweden.” State and Church in the European Union. Ed. Gerhard Robbers (Baden-Baden: Nomos Verlagsgesellschaft, 1996), hlm. 298.19 Alwall, hlm. 149, 151

Page 9: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

Langkah lebih maju menuju pluralisme (untuk tidak menyebut semakin

goyahnya kekuatan Gereja Nasional) muncul pada abad 20. Religious Liberty

Act (undang-undang tentang kemerdekaan beragama) tahun 1951 yang

mengatur kebebasan praktik beragama melarang seseorang untuk

menganggu kedamaian atau menganggu ketentraman publik. Peraturan

Pemerintah tahun 1974 memasukkan kebebasan beragama dalam Undang-

Undang Dasar Swedia sedangkan Amandemen Konstitusi tahun 1974

menegaskan bahwa tidak boleh ada perbuatan yang dilarang atau dibatasi

oleh hukum hanya karena alasan-alasan keagamaan.20 Tahun 1996,

keanggotaan gereja didefinisikan ulang sehingga setiap bayi yang baru harus

dibaptis meskipun orangtuanya anggota Gereja Nasional Swedia, karena

mereka tidak bisa serta merta menjadi anggota hanya karena orangtuanya.21

Sampai akhir abad 20, sebagai gereja resmi negara, Gereja Swedia

berhubungan sangat erat dengan negara. Raja menjadi kepala Gereja Swedia

yang menunjuk Uskup Agung dan para uskup. Pajak yang dikumpulkan

negara juga digunakan untuk membayar gaji para pendeta, hingga kontribusi

rakyat secara langsung kepada gereja hampir tidak ada. Sebagai pegawai

negara, pendeta menempati statistik yang cukup vital dalam negara dan

berfungsi seperti pegawai pemerintahan yang lain. Parlemen Swedia yang

mempunyai otoritas membuat hukum, juga merumuskan dan menetapkan

hukum yang berlaku bagi Gereja Swedia. Hubungan ini memang membuat

Gereja Lutheran mempunyai pengaruh besar di Swedia, tetapi juga

membuat otonominya terbatas. tidak seperti di Itali atau Spanyol dimana

negara tunduk pada Gereja, di Swedia, gereja nampaknya lebih tunduk pada

negara.22

Berbagai usulan perubahan hubungan agama dan negara diajukan pada

tahun 1970-an, tapi tak satupun yang diadopsi. Baru pada tahun 1990-an,

perubahan besar dimulai. Pada tahun 1991, sistem registrasi nasional 20 Alwall, hlm. 152 21 Alwall, hlm. 16822 R. Stark and L. R. Iannaccone. “A Supply-Side Reinterpretation of the ‘Secularization’ of Europe.” Journal for the Scientific Study of Religion. 33:3, 1994: 238.

Page 10: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

dialihkan dari gereja ke otoritas pajak.23 Komisi yang dibentuk tahun 1994

untuk mengevaluasi hubungan gereja dan negara menyimpulkan bahwa

meskipun agama mempunyai fungsi sosial yang amat berguna, namun

negara harus tetap bersikap netral terhadap seluruh sekte dengan tidak

memperlihatkan kecondongan pada salah satu diantaranya. Rekomendasi

yang dibuat oleh komisi menghasilkan perubahan besar dalam tata

hubungan gereja dan negara di Swedia, yang puncaknya terjadi pada tanggal

1 Januari 2000. 24 Secara umum rekomendasi yang diajukan oleh komite

adalah Gereja Nasional Swedia harus diberikan status independen dari

pemerintah lokal maupun nasional, dan seluruh sekte harus diperlakukan

sama. Komisi ini juga merekomendasikan agar setiap sekte mendapatkan

hak yang sama untuk mempunyai status hukum, sedangkan pajak yang

diberikan kepada keuskupan diganti dengan biaya pelayanan yang harus

dibayarkan oleh anggota sekte kepada sektenya.25

Rencana yang dirancang oleh komisi tetap mempertahankan perlakuan

khusus bagi gereja nasional Swedia, tetapi perlakukan khusus ini diberikan

dalam posisinya sebagai salah satu institusi keagamaan dalam masyarakat

yang plural. Salah satu perlakuan istimewa yang dinikmati oleh gereja

nasional Swedia adalah pemberian dana pemerintah untuk pemeliharaan

bangunan gereja yang dianggap sebagai salah satu khazanah budaya

penting di Swedia. Selain itu, Gereja Swedia masih diberikan tanggung jawab

untuk mengurus layanan pengebumian dan pemakaman umum. Meskipun

ada beberapa keberatan mengenai hal ini, namun baik Gereja maupun

negara dapat menerimanya.26

Pemisahan Gereja Swedia dari Negara secara hukum dilaksanakan melalui

dihilangkannya Hukum gereja dari Hukum Negara Swedia dan dihapuskannya

Church of Sweden Act (ketetapan Gereja Swedia) yang menetapkan struktur

23 Alwall, hlm. 16724 Lars Friedner, “Church and State in Sweden in 2000.” European Journal of Church State Research. Ed. R. Torfs. v.8 (2001), hlm. 255.25 Schött, hlm. 30126 Friedner, hlm. 257; Alwall, hlm. 168, 169

Page 11: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

gereja dan Majelis Umum Lutheran sebagai otoritas hukum utama.27

Ketetapan inilah yang memberikan Gereja Swedia status hukum istimewa

yang diperkuat dengan aturan undang-undang khusus.28 Setelah proses ini,

Gereja membuat Ordinansi Gereja sendiri sebagai kerangka hukum yang

terpisah dari hukum nasional. Ordinansi ini memuat Hukum Gereja yang dulu.

Karena perubahan ini, Uskup tidak lagi dipilih dari 3 orang kandidat yang

diajukan gereja kepada pemerintah melainkan melalui pemilihan langsung

dalam Gereja.29

Penting untuk dicatat, meskipun dilakukan dengan cara dan perangkat yang

berbeda, Inggris dan Swedia telah menempuh pola yang sama untuk

meningkatkan pengakuan mereka atas pluralisme agama. Inggris masih

mempertahankan status Gerejanya sebagai gereja resmi, namun hanya

memberikan peran moderat bagi mereka. Sedangkan Swedia telah

melangkah lebih jauh dengan pemisahan legal antara negara dan agama.

Meskipun demikian, kedua negara ini dianggap negara sekuler yang secara

subtstansial menjaga netralitas agama sebagaimana yang saya ajukan dalam

proposal saya untuk masyarakat Islam.

Rusia

Sejarah hubungan gereja dan negara di Rusia telah berubah sejak abad lalu.

Selagi masih dalam kekuasaan monarki, Gereja Kristen Ortodoks Rusia

adalah agama resmi negara yang diberikan hak untuk menyelenggarakan

pendidikan, pencatatan nikah dan kematian. Sedangkan agama-agama Rusia

lain dibatasi hak-hak dan fasilitas istimewanya. Namun sejak revolusi 1917,

Dewan Rakyat (the Council of People’s Commisars) mengambil alih semua

hak milik gereja dan tempat ibadah agama lain serta mencabut status hukum

seluruh organisasi keagamaan. Pada beberapa saat di masa Perang Dunia II,

Gereja Ortodoks Rusia pernah muncul kembali dan gereja-gereja kembali

dibuka untuk menumbuhkan semangat patriotisme. Namun, satu dekade

27 Friedner, hlm. 25628 Alwall, hlm. 16929 Friedner, hlm. 257

Page 12: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

setelah perang pecah, gereja-geraja yang pernah dibuka lagi itu ditutup

kembali dan praktik-praktik keagamaan mulai menurun.30

Ketika federasi Rusia terbentuk setelah jatuhnya Uni Soviet, hubungan antara

negara dan agama ditata ulang baik melalui undang-undang dasar maupun

undang-undang. Pasal 14 Undang-Undang Dasar Federasi menyatakan Rusia

sebagai negara sekuler sehingga tidak akan ada negara yang dibangun

berdasarkan satu agama tertentu. Undang-Undang dasar juga menyebutkan

bahwa semua asosiasi keagamaan memiliki posisi setara di depan hukum.

Sementara itu, bebas dari diskriminasi atas nama agama dijamin oleh Pasal

19 dan hak untuk bebas dari wajib militer karena alasan moral atau

keagamaan untuk kemudian melakukan pelayanan publik lain sebagai

alternatif dijamin oleh pasal 59. Bahkan, pasal 28 undang-undang dasar juga

dengan jelas melindungi hak untuk tidak menganut satu agama pun.

Perubahan-perubahan undang-undang dasar ini sudah dielaborasi,

diklarifikasi bahkan mungkin dibatasi oleh undang-undang yang mengatur

hubungan antara gereja dan negara. Setelah kebijakan “Perestroika”

Gorbachev, hubungan antara negara dan sekte-sekte keagamaan

dinormalisasikan kembali oleh Undang-Undang (law) tahun 1990 tentang

“kebebasan beragama”. Pada dekade inilah, jumlah organisasi agama yang

terdaftar naik sampai 20.000. Hanya setengah diantara organisasi-organisasi

tersebut yang merupakan organisasi Kristen Ortodoks Rusia, yang berarti

bahwa jumlah agama minoritas telah berkembang selama masa itu.

Organisasi-organisasi tersebut kini diperbolehkan untuk mengorganisasi

massa, dan boleh terlibat dalam kegiatan missi keagamaan dan sosial.

Kepercayaan terhadap agama naik, dari kira-kira 20% pada tahun 1980

menjadi 48% pada akhir tahun 90-an.31

Pada tahun 1997, negara membatasi kebijakan liberal ini dengan

menetapkan Undang-Undang tentang “Kebebasan memeluk kepercayaan

30 Lev Simkin, “Church and State in Russia” dalam Law and Religion in Post-Communist Europe. Eds. Silvio Ferrari, W. C. Durham, Jr. (Leuven, Belgium: Peeters 2003), hlm. 261, 262.31 Simkin, hlm. 263

Page 13: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

dan mendirikan asosiasi keagamaan” untuk mengatur hubungan gereja dan

negara. Di bawah ketentuan UU ini, organisasi keagamaan harus

mendaftarkan diri mereka kembali sebelum tahun 2000, namun hanya

mereka yang sudah berdiri di Rusia selama 13 tahun yang berhak

menyandang status sebagai organisasi keagamaan. Ketentuan ini dengan

demikian hanya memberikan hak-hak yang tersebut diatas kepada organisasi

keagamaan yang terdaftar dan tidak pada mereka yang tidak terdaftar.

Artikel 11, 18, dan 23 UU ini menyatakan bahwa “hanya organisasi

keagamaanlah yang bisa “mendirikan dan memelihara bangunan-bangunan

keagamaan, memiliki akses terhadap rumah sakit dan penjara,

menyelenggarakan pelajaran tambahan di sekolah-sekolah negeri,

mendirikan struktur organisasi sosial, dan terlibat dalam kegiatan bisnis”.32

Organisasi keagamaan juga dibebaskan dari kewajiban membayar pajak

penghasilan yang didapatnya dari aktivitas keagamaan atau penjualan

barang-barang keagamaan. Jika bangunan ibadah yang mereka miliki

dilindungi sebagai monumen budaya dan sejarah, maka mereka betul-betul

dibebaskan dari kewajiban membayar pajak tanah.33

Pembukaan Undang-Undang tahun 1997 mengakui pentingnya peran sejarah

Gereja Ortodoks di Rusia, namun ia tidak memberikan gereja ini status

hukum khusus. Namun demikian, motif utama pembuatan UU ini sebetulnya

adalah untuk melindungi Gereja Ortodoks. Beberapa pembuat UU

memperlihatkan keinginan mereka untuk melindungi Gereja ini dari invasi

sekte-sekte keagamaan lain. Salah satu efek penting disahkannya UU 1997

ini adalah pengalihan kepemilikan properti dan bangunan yang digunakan

untuk tujuan-tujuan keagamaan dari negara ke gereja. Pengalihan ini

merupakan usaha untuk menebus pengambilalihan yang pernah dilakukan

oleh negara pada permulaan era komunis terhadap properti milik gereja.34

32 Vsevolod Chaplin, “Law and Church-State Relations in Russia: Position of the Orthodox Church, Public Discussion and the Impact of Foreign Experience.” Law and Religion in Post-Communist Europe. Eds. Silvio Ferrari, W. C. Durham, Jr. (Leuven, Belgium: Peeters, 2003), hlm. 28233 Simkin, hlm. 278, 27934 Simkin, hlm. 261-277

Page 14: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

Meskipun UU 1997 dan perundang-undangan yang lain mengenai pendidikan,

militer dan pajak jelas-jelas melindungi status Gereja Ortodoks Rusia, namun

UU itu juga berisi mengindikasikan karakter negara sekuler. Secara

keseluruhan, UU ini meminta negara untuk tidak mempercayakan fungsinya

pada asosiasi keagamaan, begitupun negara dan otoritas lokal tidak boleh

memasukkan perayaan keagamaan apapun dalam aktivitasnya. Negara tidak

boleh mencampuri urusan agama dalam mengasuh anak dan tetap harus

menjamin bahwa pendidikan negeri tetap bersifat sekuler. Hanya sertifikat

pernikahan yang disahkan oleh catatan sipil yang dianggap sah, sedangkan

perayaan pernikahan yang dilaksanakan di gereja tidak memiliki efek hukum

apapun. Asosiasi keagamaan diperbolehkan untuk menjalankan urusannya

sesuai dengan aturannya sendiri, tetapi mereka tidak bisa berpartisipasi

dalam pemilihan, gerakan dan aktivitas partai politik, atau memberikan

bantuan material kepada mereka.35

Bertingkatnya UU yang dikeluarkan oleh pemerintah Rusia mengenai

hubungan antara agama dan negara berakhir pada banyaknya kontradiksi.

Misalnya UU 1996 tentang pendidikan melarang aktivitas lembaga

keagamaan di sekolah, tetapi UU 1997 mengizinkan pendidikan agama di

sekolah-sekolah negeri. Kontradiksi ini kemudian diselesaikan dengan cara-

cara berikut ini: administrasi sekolah memang tidak diperbolehkan untuk

memasukkan pendidikan agama ke dalam kurikulum standar, tetapi mereka

dapat menyetujui permintaan orang tua atau keinginan anak untuk

mengizinkan organisasi keagamaan mengajarkan agama kepada mereka

diluar kurikulum. Setelah umur 14, anak-anak boleh memilih sendiri apakah

mereka ingin menerima pendidikan agama atau tidak, namun izin orangtua

tetap disyaratkan sampai anak mencapai umur ini.36

Kontradiksi ini menunjukkan adanya ketidasepakatan di Rusia mengenai

karakter dan tingkat hubungan antara gereja dan negara yang tepat.

Misalnya, pemisahan antara agama dan negara dibatasi dengan perundang-

undangan yang memperbolehkan negara untuk membatasi kebebasan

35 Simkin, hlm. 26936 Simkin, hlm. 275

Page 15: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

beragama jika dibutuhkan untuk melindungi struktur konstitusi, moralitas,

kesehatan, hak asasi manusia, dan kepentingan hukum seseorang dan untuk

menjamin pertahanan dan kemanan negara”.37 Perundang-undangan lain

yang dianggap memihak Gereja Ortodoks Rusia adalah UU yang

memperbolehkan hak kepada otoritas lokal untuk mengeluarkan organisasi

keagamaan yang tidak diterima dari daerahnya.38

Kebangkitan kesadaran keagamaan di Rusia sejak jatuhya Uni Soviet berakhir

pada lahirnya sejumlah pendapat berbeda mengenai hubungan agama dan

negara. Meskipun sulit untuk mengidentifikasi model spesifik yang bisa

langsung diterapkan dalam konteks Rusia sekarang, pandangan tradisional

Eropa yang lebih memberikan ruang bagi terjadinya kerjasama yang lebih

dekat antara agama dan negara nampaknya lebih mungkin diterima disana

daripada model Amerika atau Perancis yang cenderung mendukung

pemisahan yang lebih besar dan menuntut adanya “buffer zone” antara

keduanya.39 Namun, pengalaman masyarakat Rusia juga berbeda dengan

masyarakat Eropa seperti Inggris dan Swedia yang sudah berusaha untuk

mengendurkan ikatan mereka dengan Gereja resmi. Rusia, yang secara

hukum dan sosial sudah lama menjadi negara sekuler, belakangan ini malah

mengizinkan, bahkan mendorong, pengakuan Gereja Ortodoks Rusia sebagai

geraja negara, meskipun tidak melalui instrumen hukum.

Perancis

Tidak seperti negara-negara Eropa lain yang mengalami dominasi Gereja

Katolik, Perancis memiliki tradisi pemisahan antara negara dan gereja yang

cukup tua yaitu sejak masa Revolusi Perancis. Pendekatan perancis terhadap

sekulerarisme ditandai dengan adanya istilah laicite. Sebuah kata yang tidak

hanya bermakna netralitas negara terhadap agama, tetapi juga menandakan

adanya komitmen yang kuat untuk menyebarluaskan seperangkat nilai-nilai

sipil dan nasional. Pasal 10 Declaration of the Rights of Man and Citizen

(Deklarasi Hak-Hak Manusia dan Warga Negara) tahun 1789

37 Simkin, hlm. 26638 Simkin, hlm. 26739 Chaplin, hlm. 292

Page 16: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

memproklamirkan kebebasan untuk menganut kepercayaan, dan Bab I

Undang-Undang Dasar 1791 menjamin kebebasan untuk melaksanakan

kewajiban-kewajiban agama. Meskipun para pembuat dokumen itu pada

awalnya hanya bermaksud mensubordinasikan posisi gereja dari kekuasaan

sipil, kebijakan ini, terutama pada masa teror, kemudian beralih menjadi

kebijakan yang secara sistematis berusaha untuk memerangi agama

Kristen.40 Keputusan pemerintah tahun 1795 menjadi landasan bagi

pemisahan ketat antara gereja dan agama dan melarang negara membiayai

agama ataupun mengakui keberadaan kementrian agama.

Concordat tahun 1801, keputusan unilateral yang dibuat oleh Perancis

namun tidak diterima oleh Vatican, dibuat untuk meredakan ketegangan dan

mengklarifikasi hubungan antara negara dan agama di Perancis. Dokumen ini

memungkinkan otoritas sipil untuk mengontrol kementrian agama dan

kehidupan keagamaan di sana. Beberapa waktu kemudian, instrumen

hukum yang sama diberlakukan untuk memberikan kekuasaan kepada

negara untuk mengontrol Gereja Protestan Lutheran, Gereja Reformasi dan

Agama Yahudi. Namun demikian, empat lembaga keagamaan yang diakui ini

bisa mempertahankan status istimewa seperti jaminan hukum atas posisi

menteri agama, gaji dan status hukum properti, selama abad 19. Tetapi,

selama abad ini pula, banyak perdebatan mengenai hubungan antara agama

dan negara yang muncul. Ada pihak yang berusaha menghidupkan kembali

“rezim lama” dan mendukung kekuasaan pemuka agama, tetapi ada pula

pihak yang mendukung perubahan yang telah dibuat sejak tahun 1789 dan

menentang gereja Katolik.41 Dalam konteks antagonisme politik seperti

itulah, dua pandangan mengenai laicite lazim berlaku, yang satu anti pemuka

agama sementara yang lain mendukung adanya pemisahan antara agama

dan negara yang menguntungkan kedua belah pihak dan menghormati

semua kepercayaan agama. pada akhir abad 19, pemahaman yang pertama

dan radikal memenangkan perdebatan.

40 Brigitte Basdevant-Gaudemet, “State and Church in France.” State and Church in the European Union. Ed. G. Robbers (Baden-Baden: Nomos Verlagsgesellschaft, 1996), hlm. 120 Concordat adalah kesepakatan yang dibuat oleh Vatikan dan salah satu Negara sekuler (catatan dari pen.)41 Basdevant-Gaudemet, hlm. 121-122

Page 17: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

Pada tahun 1905, setelah partai politik mendukung gerakan anti-pemuka

agama berkuasa selama dua dekade dan setelah timbulnya perdebatan

hangat tentang hubungan agama dan negara di Perancis, pemerintah

memutuskan hubungan dengan Paus dan mengeluarkan Undang-Undang

yang menegaskan pemisahan antara gereja dan negara, yang ternyata masih

berlaku sampai sekarang. Di bawah aturan baru ini, negara menjamin

kebebasan publik untuk beribadah namun mengakhiri keberadaan “Agama

yang Diakui”. Gereja bukan lagi institusi publik dan menjadi bagian dari

sektor privat. Sesuai dengan pasal 4 UU tahun 1905, kelompok keagamaan

(religious assocaition) lama bisa membentuk “asosiasi kultural” (cultural

association) yang menerima pengalihan kepemilikan tanah gereja. Meskipun

sektor privat bisa mendapatkan dana dari negara, tetapi gereja tidak bisa

mendapatkan dana tersebut kecuali untuk membiayai bangunan-bangunan

keagamaan yang dianggap monumen.42 Paus mengutuk Undang-Undang

tahun 1905 itu dan Gereja Katolik Perancis menolak untuk menerima

perubahan statusnya karena takut kehilangan otoritas kepausan yang

dimilikinya atas gereja-gereja katolik lain di Perancis. Gereja-gereja Katolik

menolak untuk mendaftarkan diri sebagai “asosiasi kultural” dan lebih suka

mengorganisasi diri dengan aturan mengenai kebebasan untuk membuat

majelis publik atau kebebasan untuk membuat asosiasi.

Di bawah aturan UU tahun 1905, negara tetap memiliki kewajiban untuk

melindungi kebebasan menganut kepercayaan dan melakukan ibadah serta

tetap berkomitmen untuk menyediakan kemungkinan bagi para penganut

agama untuk menghadiri perayaan keagamaan dan menerima instruksi

keagamaan. Ini berarti bahwa negara tetap membolehkan adanya asistensi

spiritual di tempat-tempat yang dibutuhkan orang seperti rumah sakit,

penjara, militer, dan bahkan sekolah, dalam tahap tertentu.43 Meskipun pada

prinsipnya undang-undang tidak memberikan status istimewa pada agama

apapun, namun negara bisa mengeluarkan peraturan-peraturan lain yang

memberikan keuntungan pada salah satu agama.

42 Basdevant-Gaudemet, hlm. 122-12543 Basdevant-Gaudemet, hlm. 140

Page 18: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

Setelah Perang Dunia I, hubungan diplomatik antara Perancis dan Paus

dibangun kembali. Pada tahun 1924 disepakati bahwa Gereja Katolik bisa

mendirikan asosiasi keagamaan mereka menurut aturan khusus. Asosiasi-

asosiasi itu akan bekerja di bawah otoritas uskup yang berada dalam komuni

Paus dan harus sesuai dengan Undang-Undang Gereja Katolik.44 Kelompok

keagamaan lain memiliki hak implisit yang tertera dalam “kebebasan

beragama dan memeluk kepercayaan”, namun hak-hak tersebut tidak

diberikan kepada kelompok-kelompok yang memiliki tujuan terlarang yang

bertentangan dengan hukum dan moral”. Kelompok-kelompok yang

termasuk dalam kategori terakhir ini tidak bisa menerima dana dari

pemerintah kecuali dari donasi individu. 45

Kebijakan laicite pemerintah Perancis telah menimbulkan persoalan yang

berkaitan dengan pendidikan, pekerjaan dan hukum keluarga. Contohnya,

kebebasan untuk mendapatkan pendidikan di Perancis adalah prinsip

konstitusi yang telah dibentuk dan diterapkan melalui berbagai hukum pada

abad 19. padahal, mayoritas siswa yang belajar di sekolah swasta masuk di

sekolah Katolik. Sekolah Negeri menerima siswa tanpa mementingkan

persoalan agama dan tidak menjadikan instruksi keagamaan sebagai

kewajiban yang harus dilakukan oleh siswa. Pada pendidikan tingkat dasar,

orang tua boleh mengatur pendidikan agama di luar sekolah semingu sekali

untuk anak-anaknya. Sekolah tingkat menengah, dulu boleh menunjuk

seorang guru dari gereja untuk mengajar para siswa, namun penunjukkan ini

harus berdasarkan permintaan orang tua dan harus dibiayai sepenuhnya oleh

mereka, meskipun bisa jadi sebagian biayanya juga ditanggung oleh pihak

gereja. Kelompok keagamaan yang diminta oleh sekolah bisa menominasikan

kandidatnya yang kemudian akan ditunjuk oleh kepala sekolah.46

Dalam bidang pekerjaan, Undang-Undang Dasar Perancis melarang

diskriminasi dalam pekerjaan karena alasan latar belakang suku, pendapat,

atau kepercayaan. Klausul ini memiliki efek berbeda dalam konteks

44 Basdevant-Gaudemet, hlm. 12645 Basdevant-Gaudemet, hlm. 12946 Basdevant-Gaudemet, hlm. 132-133

Page 19: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

keagamaan tergantung bagaimana seseorang diperlakukan di tempat

pekerjaannya; sebagai pemuka agama atau orang biasa. Mempekerjakan

seorang menteri untuk memegang jabatan pastoral, dan ia digaji untuk

pekerjaannya itu, tidak bisa mempergunakan undang-undang sekuler karena

tidak ada kontrak kerja resmi. Pengadilan negeri tidak akan mereview

keputusan uskup untuk mengangkat atau memecat seorang pastur. Menteri-

menteri yang bekerja di penjara, rumah sakit, atau sekolah swasta yang

memiliki hubungan kontrak dengan negara seperti yang diatur oleh UU tahun

1959 digaji oleh negara. Uang diberikan oleh negara untuk pembangunan

tempat peribadatan baru, dan orang yang memberikan sumbangan untuk

organisasi keagamaan mendapatkan keringanan untuk membayar pajak

sampai jumlah tertentu. Pendeta protestan dan Rabi Yahudi memperoleh

asuransi sosial dari negara sejak 1945. Pastor-Pastor Katolik berada di bawah

sistem yang lebih kecil selama beberapa dekade, tetapi sejak tahun 1978,

mereka telah berada di bawah otoritas asuransi sosial meskipun masih

berada dalam rezim yang terbatas. Aturan bagi orang biasa (bukan pemuka

agama) yang bekerja di gereja lebih kompleks lagi, apalagi karena gereja

lokal memang tidak mendapatkan tempat dalam aturan hukum Perancis,

sehingga hanya mereka yang bekerja pada organisasi-organisasi keagamaan

besar yang dianggap valid. Pengecualian menarik lain yang dikeluarkan oleh

pengadilan-pengadilan Perancis sebagai bentuk ketundukkan pada aturan

gereja adalah memberikan keputusan sah pada pemecatan guru-guru Katolik

yang bercerai dan menikah lagi.47

Tantangan yang dihadapi konsep laicite di Perancis adalah desakan

pluralisme keagamaan di negera itu. Ada sejumlah 750.000 orang penganut

Protestan di Perancis dan mereka mengorganisasi diri di bawah Federation

Protestante de France sejak tahun 1901. Penganut Yahudi juga memiliki

pemikiran yang sama. Mereka memiliki majelis Sinagog pusat yang

menghimpun semua badan keagamaan Yahudi di Perancis dan memilih

Pimpinan Rabi sebagai wakil mereka untuk negara. Jumlah orang Islam di

Perancis juga terus bertambah (diperkirakan ada sekitar 4 juta muslim saat

ini) dan saat ini mereka adalah kelompok agama terbesar kedua di Perancis

47 Basdevant-Gaudemet, hlm. 136-140

Page 20: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

setelah Katolik. Namun demikian, sampai saat ini umat Islam di Perancis

tidak memiliki organisasi yang terpusat di Perancis dan kegiatan ibadah lebih

banyak dilakukan di masjid-masjid sementara.48

Tidak seperti negara-negara Eropa lain yang berusaha memberlakukan

kebijakan ekumenikalisme dan pluralisme, negara Perancis merespon

ketegangan hubungan agama dan negara dengan memberlakukan

sekularisme yang sungguh-sungguh memisahkan agama dan negara secara

ketat. Namun penting untuk dicatat, sepanjang sejarah Perancis,

pemahaman mengenai konsep sekularisme selalu berbeda-beda sehingga

memberikan kemungkinan bagi terjadinya perubahan di masa yang akan

datang. Bahkan, perbedaan pemahaman terhadap konsep sekularisme ini

terus berperan dalam pembuatan keputusan politik di Perancis hingga saat

ini.49 Untuk tujuan pembicaraan kita dalam buku ini, saya menyimpulkan

bahwa pandangan Perancis tentang sekularisme bukanlah satu-satunya

pandangan yang muncul di Eropa Barat, namun ide ini pun tetap

diperdebatkan dan berkembang dalam konteks Perancis sendiri.

Italia

Model hubungan gereja dan negara di Italia yang berlaku saat ini bisa

dirunut permulaannya pada proses unifikasi negara pada tahun 1870 yang

ditandai dengan aneksasi Gereja Romawi dan penyerahan tanah kepausan

kepada negara Italia baru. Akibat dari kejadian itu dan hilangnya kekuasaan

sekuler Paus, proses unifikasi Itali menimbulkan krisis dalam hubungan

antara negara dan gereja Katolik di sana. Kovenan Lateran tahun 1929

berusaha untuk membangun rekonsiliasi antara keduanya dengan menjawab

persoalan-pesoalan seputar kepemilikan teritori Gereja Katolik Roma di Itali,

posisi Vatican City di kota Roma dan peran Gereja Katolik di Italia secara

umum. UU No. 1159 juga dikeluarkan pada saat yang sama untuk

memberikan kesempatan kepada kelompok-kelompok keagamaan untuk

mendapatkan kapasitas hukum. Di bawah aturan UU tersebut, kelompok-

kelompok tersebut memperoleh pembebasan pajak dan hak-hak lain yang

48 Basdevant-Gaudemet, hlm. 12049 Troper, Michel, “French Secularism, or Laicité,” Cardoza Law Review, 21 (1999-2000), hlm. 1276-1281

Page 21: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

berkaitan dengan lembaga-lembaga pendidikan dan kesejahteraan sosial

yang dimilikinya. Namun, UU ini juga memberikan batasan tertentu pada

mereka.

Kesepakatan tahun 1929 menegaskan Kristen Katolik Roma sebagai satu-

satunya agama yang diakui di Italia, sebuah posisi yang secara prinsipil

bertentangan dengan, namun tak pernah dihapus oleh, Undang-Undang

Dasar tahun 1948 yang berisi prinsip-prinsip negara sekuler, kesetaraan

warga negara di hadapan hukum, dan kebebasan memeluk agama dan

kepercayaan.50 Beberapa aturan hukum gereja yang, ternyata, ditemukan

dalam Undang-Undang Dasar dimaksudkan sebaga upaya untuk

menyeimbangkan perlindungan kebebasan dan persamaan hak individu dan

jaminan sistem kerjasama negara dan sekte-sekte keagamaan. Undang-

Undang Dasar juga menjamin kesamaan status sekte-sekte tersebut di

hadapan hukum. Tapi, Pasal 7 Undang-Undang Dasar tahun 1948

memberikan ketentuan khusus pada Gereja Katolik Roma dengan

menegaskan “Negara dan Gereja Katolik Roma adalah dua institusi yang

independen dan berdaulat. Hubungan mereka diatur oleh Perjanjian Lateran.

Amandemen apapun yang dilakukan atas perjanjian itu harus disepakati oleh

kedua belah pihak dan tidak harus mengikuti prosedur yang harus dilalui oleh

lazimnya amendemen konstitusi yang lain”.51

Pada tahun 1984, pemerintah Itali dan Vatikan menandatangani revisi

kesepakatan tahun 1929 yang kemudian menjadi undang-undang Itali

setelah diratifikasi oleh parlemen Itali pada Maret 1985. Amandemen

undang-undang tahun 1985 meneguhkan prinsip pemisahan negara dan

agama (gereja yang bebas di negara yang bebas pula) dan memberikan

preseden akan kemungkinan penandatanganan kesepakatan istimewa antara

negara dengan, tidak hanya dengan Gereja Katolik Roma, tetapi juga dengan

komunitas keagamaan apapun di Itali. Sejak saat itu, negara telah

menandatangani sejumlah kesepakatan dengan berbagai komunitas agama

50 Mauro Giovannelli, “The 1984 Covenant between the Republic of Italy and the Vatican: A Retrospective Analysis after Fifteen Years.” Journal of Church and State (2000), hlm. 531.51 Silvio Ferrari, “State and Church in Italy.” State and Church in the European Union. Ed. G. Robbers (Baden-Baden: Nomos Verlagsgesellschaft, 1996), hlm. 172.

Page 22: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

untuk mengatur status hukum mereka, sekaligus mengakui pernikahan

agama dan aktivitas sosial yang dilakukannya.52

Sistem kesepakatan negara Itali dengan sejumlah sekte keagamaan

membentuk tiga level sistem. Posisi hukum paling tinggi dinikmati oleh

Gereja Katolik Roma yang diperlakukan seperti negara berdaulat di bawah

aturan hukum Itali. Komunitas agama lain yang memiliki kesepakatan dengan

negara seperti beberapa sekte Kristen Protestan dan Yahudi menempati

posisi kedua. Karena kelompok-kelompok ini telah menandatangani

kesepakatan dengan negara Itali, keberadaan mereka tidak lagi diatur oleh

UU tahun 1929. Kesepakatan yang mereka tandatangani memberikan

mereka fasilitas-fasilitas istimewa berkaitan dengan keuangan, pendidikan

agama dan pelayanan lembaga pastoral yang tidak dimiliki oleh komunitas

agama level ketiga. Komunitas keagamaan ketiga ini adalah komunitas

agama yang relatif baru berdiri di Perancis seperti umat Islam dan saksi

Yehovah. Mereka diatur oleh UU No. 1159 tahun 1929 dan undang-undang

umum tentang asosiasi yang berarti mereka tidak mendapatkan hak-hak

istimewa seperti yang diperoleh dua level komunitas lainnya.53

Karena keberadaan sistem tiga level inilah, tidak ada ketentuan dalam

hukum Itali yang berlaku bagi semua komunitas keagamaan untuk hal-hal

seperti posisi lembaga pastoral, pembiayaan lembaga keagamaan,

pelayanan pastoral, pendidikan agama dan hukum perkawinan.54 Selain itu,

hukum gereja Itali memberikan wewenang besar kepada otoritas publik

untuk menerima atau menolak permohonan negosiasi sekte agama apapun

untuk menghentikan kesepakatan dengan negara; dan tidak ada kriteria

objektif yang mengatur keputusan itu. Situasi hukum yang ad hoc ini telah

melahirkan perdebatan mengenai hubungan agama dan negara. Status

istimewa pastur di Itali menyebabkan lahirnya perlakuan khusus pada

mereka, misalnya tindak kejahatan yang menimpa mereka diperlakukan lebih

serius. Sementara itu, undang-undang menganggap pastor tidak memiliki

52 Giovannelli, hlm. 53153 Ferrari, hlm. 172-17654 Ferrari, hlm. 174

Page 23: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

kapasitas hukum sehingga mereka dilarang untuk memegang jabatan publik

seperti walikota, hakim, notaris, pengacara atau petugas pajak.55

Isu kontoversi lain berkaitan dengan pengajaran agama Katolik di sekolah-

sekolah Negeri Itali. Pasal 9 kesepakatan tahun 1985 mengharuskan

pemerintah untuk menjamin adanya pengajaran agama Katolik dalam sistem

pendidikan sekolah-sekolah negeri selain universitas. Komunitas keagamaan

lain yang memiliki kesepakatan dengan pemerintah bisa mengirim guru

mereka ke sekolah, bila murid atau orang tuanya telah mendaftarkan diri

untuk mendapatkan pengajaran agama. Tapi pembiayaannya dibebankan

kepada institusi agama bersangkutan dan bukan menjadi tanggung jawab

negara. Masalahnya kemudian, apakah kelas pendidikan agama

diselenggarakan pada jam-jam sekolah atau diluarnya. Pengadilan konstitusi

berkeyakinan bahwa kelas tidak bisa diselenggarakan bila jadwalnya

bertabrakan dengan mata pelajaran wajib dan siswa yang tidak mengikuti

kelas pelajaran agama bisa datang ke sekolah lebih awal atau lebih akhir.56

Tapi peraturan ini tidak berlaku bagi kelompok-kelompok agama yang tidak

memiliki kesepakatan dengan pemerintah seperti umat Islam. Mereka tidak

mempunyai hak untuk mengirimkan guru agama mereka ke sekolah.

Setelah kesepakatan tahun 1985, sistem pembiayaan dan perpajakan untuk

gereja dan lembaga keagamaan lain juga berubah. Masalah perpajakan

muncul karena pemerintah mengakui kerja-kerja sosial yang dilakukan oleh

pihak gereja. Keinginan pemerintah Itali untuk mendukung kontribusi sosial

gereja Katolik ini harus diharmonisasikan dengan aturan undang-undang

dasar yang mengakui kesetaraan posisi semua agama dan individu, tak

peduli apapun agamanya.57 Keinginan ini kemudian mewujud dalam dua

sistem pembiayaan bagi organisasi keagamaan. Pertama, berasal dari kuota

pajak penghasilan. Di Itali, orang bisa memberikan sebagian penghasilannya

kepada salah satu dari 3 lembaga ini: kegiatan sosial yang difungsikan oleh

negara, Gereja Katolik Roma, atau sekte-sekte keagamaan yang menjalin

55 Ferrari, hlm. 18656 Giovannelli, hlm. 53257 Giovannelli, hlm. 536

Page 24: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

kesepakatan dengan negara. Kedua berasal dari potongan langsung

penghasilan para anggota Gereja Katolik atau sekte yang mempunyai

kesepakatan dengan negara.58 Kebijakan ini merupakan salah satu cara

untuk mempertahankan tradisi hukum dan sejarah negara Italia yang

memang harus memenuhi kebutuhan gereja. Kebijakan kompromistis ini juga

bisa dilihat sebagai bentuk pengembalian aset gereja yang pernah diambil

negara pada abad ke-18 dan 19.59

Selain sistem pajak, hubungan keuangan negara dan gereja juga berlaku

untuk masalah pelayanan pastoral. Kesepakatan tahun 1985 menyatakan

bahwa pelayanan pastoral untuk para tentara, tahanan dan pasien rumah

sakit dan klinik merupakan tanggung jawab pemuka agama Katolik yang

ditunjuk oleh otoritas negara yang kompeten namun berdasarkan ajuan dari

otoritas gereja. Pastor-pastor katolik yang memberikan pelayanan pastoral di

institusi-institusi negara mendapatkan gaji dari negara. Sekte-sekte

keagamaan yang menjalin kesepakatan dengan negara telah menegosiasikan

hak mereka untuk memberikan pelayanan keagamaan yang sama di penjara,

lembaga militer dan rumah sakit, namun gaji pemuka agama yang mereka

utus menjadi tanggung jawab komunitas agamanya.60 Sekte-sekte agama

yang tidak memiliki kesepakatan dengan negara tetapi diikat oleh UU No.

1159 juga bisa mendapatkan akses yang sama ke penjara, lembaga militer

dan rumah sakit.61

Spanyol

Seperti Itali, hubungan negara Spanyol dengan Gereja Katolik diatur oleh

berbagai perjanjian atau kesepakatan. Pasca terjadinya gerakan reformasi

dan kontra reformasi, banyak terjadi fusi antara kekuasaan politik dan agama

di negara ini. Namun tak seperti di negara-negara Eropa yang Protestan,

Kerajaan Spanyol tidak mengklaim kekuasaan keagamaan untuk dirinya

sendiri, karena otoritas itu terletak pada kekuasaan Paus. Sebagai gantinya,

58 Ferrari, hlm. 182, 18359 Giovannelli, hlm. 536, 53760 Ferrari, hlm. 184, 18561 Giovannelli, hlm. 537

Page 25: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

Kerajaan mengembangkan dan menggunakan teknik-teknik intervensi untuk

memperlihatkan pengaruhnya pada urusan-urusan Gereja Katolik di sana.62

Hubungan intim antara negara dan kerajaan serta meluasnya asumsi bahwa

Spanyol adalah negara Katolik akhirnya berakhir pada masa dikeluarkannya

Undang-Undang Dasar Republik Kedua tahun 1931 yang menyatakan bahwa

Spanyol tidak memiliki agama resmi. Namun setelah Perang Sipil (1936-

1939), fusi gereja dan negara ini dipulihkan kembali oleh Franco dan

berpuncak pada kesepakatan tahun 1953.

Di tahun meningalnya Franco (1975), Gereja Katolik mendapatkan fasilitas

hukum dan keuangan yang luar biasa. Gereja mendapatkan dana dari negara

untuk menggaji pastor, memberikan pengajaran agama di sekolah-sekolah

negeri dan menerima dana dari sekolah yang dikelolanya. Selain itu,

perundang-undangan yang berkaitan dengan moralitas publik merefleksikan

pengaruh gereja.63 Namun, pandangan ini semakin sulit untuk dipertahankan

karena dukungan massa terhadapnya semakin menurun ketika pesatnya

perkembangan ekonomi di tahun 60-an mempromosikan masyarakat sekuler

yang tidak lagi rela untuk menerima ketentuan-ketentuan yang tercantum

dalam kesepakatan tahun 1953 antara negara dan Gereja Katolik.64

Kebutuhan akan reformasi ini juga disadari oleh para petinggi gereja Katolik

Spanyol. Kardinal Tarancon, Uskup Agung Madrid dan Ketua Konferensi

Keuskupan Spanyol, dalam pentahbisan Raja Juan Carlos I pada November

1975, misalnya menyatakan bahwa Gereja Katolik mendukung perubahan

politik yang akan memberikan kesempatan kepada warga negara untuk

berpartisipasi secara bebas dan aktif dalam kehidupan negara. Ia juga

mengatakan bahwa Gereja hanya ingin mempertahankan haknya untuk

menyampaikan pesan-pesan keagamaan. Sikap kompromis gereja ini bukan

merupakan persetujuan atas pemisahan ketat antara negara dan gereja,

62 Ivan C. Ibán, “State and Church in Spain.” State and Church in the European Union. Ed. G. Robbers (Baden-Baden: Nomos Verlagsgesellschaft, 1996), hlm. 94.63 William J. Callahan, “Church and State in Spain, 1976-1991.” Journal of Church and State 34.3 (1992): 504.64 Ibán 96

Page 26: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

tetapi merupakan sebuah usaha untuk menghindari penyelesaian unilateral

yang dipaksakan negara kepada gereja.65

Periode transisi antara kematian Franco pada tahun 1975 dan terbentuknya

demokrasi sekuler pada tahun 1978 mendorong pemilihan umum dan

pembuatan undang-undang dasar oleh konsensus partai politik saat itu.

Perubahan yang terjadi, termasuk menghentikan fasilitas-fasilitas yang

dinikmati oleh gereja sebagai cara untuk memperjelas hak-haknya. Sampai

saat itu, sejumlah perjanjian dilakukan pemerintah Spanyol dengan Vatikan

untuk mengganti kesepakatan tahun 1953. Negara mengakhiri “hak

patronase tradisionalnya terhadap keputusan sidang para uskup dan

mengakui hak Gereja Katolik untuk menyelenggarakan urusan-urusan

keagamaan dan administratifnya, bebas dari intervensi negara. Sebaliknya,

gereja juga mengakui pluralitas masyarakat Spanyol termasuk hak warga

negara untuk mendapat kebebasan agama penuh”.66 Undang-undang dasar

ini diperkuat oleh sejumlah undang-undang yang dibuat secara unilateral

oleh negara termasuk undang-undang tahun 1980 tentang kebebasan

beragama dan UU tahun 1981 tentang kebolehan perceraian.67

Kesuksesan partai sosialis (PSOE) pada pemilihan tahun 1982 menghasilkan

pemerintahan mayoritas dan perdana menteri yang sosialis. Kepemimpinan

PSOE yang sebelumnya dikenal sangat anti-pemuka agama, berusaha untuk

tapi memberikan rasa aman kepada Gereja Katolik ketika mereka

menjalankan pemerintahan pada pemilihan 1982. Pemerintahan saat itu

menerima sejumlah perjanjian yang dibuat dengan Vatikan dan statusnya

sebagai perjanjian internasional termasuk kesepakatan mengenai kewajiban

negara untuk tetap membiayai sekolah-sekolah gereja.

Namun, pemerintahan sosialis ini juga berbeda pendapat dalam beberapa hal

dengan pihak Gereja, seperti dalam masalah moralitas publik. Meskipun para

pemuka gereja mendukung perubahan konstitusi yang mempromosikan

65 Callahan 503, 50566 Callahan 506 (quoting “Textos oficiales,” Acuerdos entre la Iglesia y Espana, 778-81, 785-90)67 Ibán 97

Page 27: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

demokrasi dan pluralisme, mereka masih mengungkapkan pandangan

tentang harusnya konstitusi memasukkan beberapa nilai kepercayaan Katolik

dalam hal-hal semisal pernikahan, pendidikan, dan penghormatan kepada

sesama manusia.68

Masalah yang nampaknya paling sering diperdebatkan dalam konteks

hubungan agama dan negara adalah masalah pendidikan. Undang-Undang

Dasar dan undang-undang lainnya mengungkapkan bahwa negara

menghormati hak orang tua untuk menentukan pendidikan moral dan agama

anak-anaknya, dan menjamin tetapnya penghormatan terhadap nilai-nilai

Kristen dalam proses pengajaran di sekolah-sekolah negeri. Negara juga

sepakat bahwa pendidikan agama harus tetap dilanjutkan di sekolah-sekolah

negeri meskipun menghadirinya bukan lagi merupakan satu kewajiban. Hak

untuk mendirikan lembaga pendidikan swasta dan hak orang tua untuk

memilih sekolah swasta diberlakukan. Negara juga setuju untuk tetap

membiayai sekolah-sekolah gereja sampai gereja itu dapat mengembangkan

sistem pendanaan sendiri. Pada Februari tahun 1983, pemerintah

mengumumkan rencana reformasi organisasi pendidikan dan keuangannya.

Kontroversi yang muncul seputar rencana tersebut adalah seberapa banyak

dan besar kontrol pemerintah pada sekolah-sekolah gereja. Pemerintah ingin

memaksakan suatu kondisi agar ia dapat terus membiayai sekolah-sekolah

gereja seperti dengan mengharuskan sekolah untuk menerima kesepakatan

kontrak dengan pemerintah, dan menyerahkan seluruh aspek administrasi

pada majelis yang sudah dipilih. Selain itu, sekolah juga diharuskan untuk

mengakui kebebasan akademik guru dan kebebasan staf dan siswa untuk

mengikuti keyakinan yang dipercayainya dan untuk tidak mengharuskan

orang untuk menghadiri pelayanan-pelayanan keagamaan.69

Pemerintah juga mengusulkan agar karakter institusi-institusi keagamaan

harus disetujui oleh otoritas publik, namun usulan ini dianggap

inkonstitusional oleh Pengadilan Konstitusi berdasarkan kesepakatan antara

gereja dan negara yang sudah dibuat lebih dulu. Usulan ini menimbulkan

68 Callahan 51269 Callahan 507-515

Page 28: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

ketakutan akan terancamnya identitas sekolah-sekolah Katolik yang akhirnya

memicu protes sekitar 250.000 orang pada saat pemutusan suara terakhir.

Perundang-undangan lain mengenai pendidikan yang memicu ketegangan

adalah Rancangan Undang-Undang mengenai kurikulum yang menganggap

kurang pentingnya pelajaran agama dan menghapusnya dari daftar bidang

studi yang menentukan penerimaan seseorang di universitas. Selain itu, pada

tahun 1988 pemerintah juga memutuskan untuk mulai menerapkan skema

aturan swa-pembiayaan gereja yang sudah dirancang dalam kesepakatan

tahun 1979. Meskipun ketegangan mengenai masalah pendidikan ini terus

muncul, namun pemerintah tetap menjalankan kewajibannya kepada gereja

dan menggaji para pemuka agama.70

Selama dekade 80-an, sayap konservatif Gereja Katolik memperparah

pemisahan moral antara negara dan gereja. Dalam Surat Pastor tahun 1990

tentang “kondisi moral bangsa”, para uskup berpendapat bahwa mental

moral masyarakat Spanyol lemah dan mereka menyalahkan negara atas hal

ini. Surat tersebut menyatakan keberatan atas bebasnya propaganda

ideologi yang kerap bertentangan dengan agama dan banyak digunakan

untuk meniadakan atau mengolok-olok “apa yang dimaksud dengan Katolik”.

Partai Sosialis menganggap surat tersebut bertentangan dengan demokrasi,

sedangkan pemerintah menolaknya karena menganggap surat itu keliru

sekaligus menolak pernyataan dalam surat itu tentang keinginan negara

untuk mengeliminasi agama Kristen dari Spanyol. 71

Meski terjadi ketegangan antara negara dan gereja mengenai masalah

pendidikan dan moral, ide hubungan antara keduanya di Spanyol masih bisa

dideskripsikan sebagai ide yang melindungi kebebasan beragama dan

mendukung praktik-praktik agama yang sudah terlembagakan dan tetap

melindungi mereka yang tidak beragama atau mereka yang cenderung

mengikuti pandangan keagamaan yang tidak konvensional, termasuk mereka

yang meremehkan agama. Fasilitas istimewa yang diberikan pemerintah

kepada Gereja Katolik sangat jelas dalam masalah pemberian dana dan

70 Callahan 515, 51771 Callahan 517,518

Page 29: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

pajak. Gereja Katoliklah satu-satunya kelompok agama yang mendapatkan

dana dari pemerintah. Seperti di Itali, meskipun sistem ini mengatur agar

Gereja Katolik mendapatkan uang seperti dalam sistem pajak gereja,

sebenarnya sistem ini merupakan bagian dari sistem perpajakan negara

secara keseluruhan. Pembayar pajak bisa mengalihkan prosentase pajak

penghasilan mereka kepada Gereja Katolik atau untuk tujuan-tujuan sosial

lain. Jumlah ini mengurangi atau menambah beban pajak yang harus dibayar,

tapi merupakan pengurangan dari pajak yang seharusnya dibayar.

Pengurangan pajak seperti ini hanya berlaku bagi donasi kepada Gereja

Katolik atau kepada sekte keagamaan yang memiliki perjanjian dengan

negara. Selain pemasukan dari pajak, negara masih membayar gaji untuk

guru-guru agama, pastur yang bekerja di militer dan penjara, bantuan

keuangan untuk institusi sosial dan kesehatan milik Katolik. Sayangnya,

semua fasilitas ini tidak berlaku bagi komunitas agama lain.72

Amerika Serikat

Usaha untuk memperjelas hubungan antara gereja dan negara di Amerika

Serikat terjadi dalam kerangka konsensus yang dicapai pada masa Revolusi

Amerika. Walaupun para pemimpin revolusi memiliki beragam kepercayaan,

mereka hampir sepenuhnya sepakat pada sejumlah prinsip termasuk hak

individu untuk memeluk suatu agama dan melaksanakan kewajibannya tanpa

paksaan dari negara. Mereka percaya bahwa tidak boleh ada gereja resmi,

tidak ada test keagamaan untuk pegawai negeri, dan pentingnya kebebasan

untuk mempraktikkan agama. Ide-ide ini diungkapkan melalui Konstitusi dan

Bill of Rights Amerika terutama dalam Amandemen Pertama (First

Amandemen) yang menjamin dua elemen penting dalam apa yang disebut

“Model Amerika” (The American Model) yaitu pemisahan gereja dan negara,

di satu pihak, dan kebebasan untuk beragama, di pihak lain. Dokumen-

dokumen dasar itu berusaha untuk melindungi pemerintah dari agama dan

melindungi agama dari pemerintah secara simultan.73

72 Ibán 102-10973 Susan Jacoby. Freethinkers: A History of American Secularism (New York: Metropolitan Books, 2004), hlm. 26-28.

Page 30: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

Keputusan untuk memisahkan agama dari negara, dengan demikian, disertai

dengan penghargaan yang sama kepada agama sebagai sumber yang

penting bagi kehidupan etis yang mendukung bentuk pemerintahan

republik.74 Agama jelas berperan besar dalam Revolusi Amerika, karena

bahasa dan simbol keagamaan digunakan oleh para patriot revolusi untuk

memperoleh dukungan dari masyarakat dalam meraih kemerdekaan. Selain

Puritanisme yang lazim dianut oleh koloni Amerika awal, kebangkitan

kesadaran keagamaan yang dikenal sebagai “Great Awakening” dan doktrin

agama rasional ikut berperan besar dalam membangun alasan keagamaan

Revolusi dan kemudian mempengaruhi perkembangan politik pada masa

berikutnya.75 De Tocqueville, pengamat masa pembentukan Amerika Serikat

dari Perancis, mengatakan bahwa “Kristen di Amerika adalah sebuah institusi

politik yang benar-benar berperan besar dalam mempertahankan bentuk

pemerintahan republik di Amerika” dengan menyediakan konsensus moral

yang kuat di tengah perubahan politik yang terus menerus terjadi.76

Tidak adanya gereja resmi dan kesamaan status semua agama melahirkan

konsekuensi penting bagi kehidupan politik dan keagamaan di negara ini.

Karena tidak ada dukungan resmi dari negara, gereja-gereja harus

tergantung pada keanggotaan dan dukungan keuangan yang bersifat

sukarela. Namun kondisi seperti ini membuat gereja-gereja di Amerika tidak

terlalu formal dalam menjalankan peribadatan, lebih demokratis, bersifat

lokal dan lebih praktis dalam menetapkan tujuan-tujuan organisasinya. Para

komentator masalah Agama Amerika selalu menggarisbawahi tendensi

pragmatisme politik dan ekonomi yang cenderung bersifat duniawi sejak awal

abad 19, “…lebih aktif, moralis, dan sosial daripada kontemplatif, teologis

dan spiritual”.77

Beragamnya sekte keagamaan di Amerika dan adanya prinsip konstitusional

tentang pemisahan agama dan negara menjadikan pluralisme agama

74 Corbett, M. and J. Mitchell. Politics and Religion in the United States. New York: Garland Publishing, Inc., 1999, hlm. 83 – 8475 Corbett and Mitchell, hlm. 4876 Robert N. Bellah, “Civil Religion in America.” Daedalus 96 (1967), hlm. 1277 Bellah, hlm. 12

Page 31: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

sebagai nilai politik dan budaya yang dianut luas disana dan membuka

kemungkinan bagi berkembangnya gereja-gereja yang independen.78

Pandangan terhadap agama Kristen yang inklusif seperti ini dan patriotisme

yang menyertai perkembangan gereja-gereja independen pasca periode

Revolusi telah membukakan jalan bagi lahirnya apa yang disebut sebagai

“Agama Sipil Amerika” (American Civil Religion). Tidak seperti Revolusi

Perancis yang berusaha membangun agama sipil untuk menggantikan posisi

gereja, agama sipil Amerika tidak pernah bersikap keras kepada pemuka

agama atau pada pendukung sekularisme. Malah, agama sipil Amerika

meminjam berbagai tradisi agama dengan cara tertentu hingga rata-rata

orang Amerika tidak melihat adanya konflik antara agama dan negara.

Bentuk agama sipil Amerika “mampu membangun solidaritas nasional, tanpa

perlu bersaing keras dengan simbol gereja, dan memobilisasi motivasi

personal yang kuat untuk meraih tujuan-tujuan nasional”.79 Bentuk ini

direfleksikan dengan memasukkan referensi keagaman dalam dokumen-

dokumen negara, lagu kebangsaan, deklarasi dan proses pelantikan presiden

serta pengakuan negara terhadap hari libur keagamaan.

Kesatuan agama dan nasionalisme, yang tetap menjadi kekuatan potensial

dalam kehidupan politik dan sipil Amerika hingga hari ini, menyebabkan

terbangunnya hegemoni agama Kristen Protestan di negara itu. Kemampuan

pengadilan-pengadilan untuk menentang pembentukan agama resmi di

Amerika, sebagiannya, karena kehadiran hegemoni informal satu agama.

Gereja-gereja besar hanya membutuhkan sedikit dukungan karena mereka

memiliki telah kekuasaan dan pengaruh informal.80 Selain terbentuknya

agama sipil Amerika, Protestan Evangelis tetap menjadi kekuatan inspiratif

dalam kehidupan politik Amerika. Ia telah menjadi faktor yang signifikan

untuk menumbuhkan semangat anti perbudakan di bagian utara Amerika

menjelang pecahnya perang Sipil, namun ironisnya juga memperkuat

komitmen penduduk di bagian selatan untuk mempertahankan ekonomi

78 Corbett and Mitchell, hlm. 106 – 10779 Bellah, hlm. 1380 N. J Demerath and R. H. Williams. “A Mythical Past and Uncertain Future.” Society 21.4 (1984), hlm. 5.

Page 32: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

perbudakan.81 Para periode antara Perang Sipil dan Perang Dunia I, Protestan

Evangelis memberikan dukungan yang berarti kepada sejumlah gerakan

yang menginginkan adanya purifikasi moral dan budaya dalam kehidupan

sipil dan politik di Amerika, termasuk larangan mengkonsumsi alkohol dan

memberikan hak politik pada perempuan.82 Gereja-gereja juga telah menjadi

partisipan aktif dalam pembuatan kebijakan publik mengenai isu-isu yang

lebih luas seperti reformasi mata uang, kompensasi dari pelanggaran

perusahaan, arbitrasi konflik internasional, dan berpartisipasi dalam proses

demokrasi langsung melalui proses pemilihan inisiatif, referendum dan

pemilihan ulang.

Kekuasaan informal agama resmi ini mulai terancam setelah Perang Dunia I

ketika materialisme, ilmu pengetahuan dan sejumlah doktrin sekuler lain

mulai melemahkan peran agama Kristen, khususnya protestan Evangelis,

sebagai “prinsip nasional de facto”.83 Dalam debat-debat yang muncul

seperti dalam pengajaran teori evolusi di sekolah, tradisi berfikir bebas yang

sudah ada pada mayoritas penganut Protestan menemukan kembali

kebaruannya. Meskipun terdapat sejumlah pandangan politik yang berbeda,

“ada satu pandangan politik yang menyatukan semua pemikir bebas itu yaitu

dukungan mereka pada pemisahan absolut negara dan agama yang

diterjemahkan ke dalam tindakan menentang pemberian dukungan

keuangan untuk lembaga-lembaga keagamaan khususnya sekolah-sekolah

paroki”.84

Sejak Perang Dunia II, hubungan agama dan negara terus diwarnai

ketidaksepakatan mengenai peran dan wilayah agama dalam kehidupan

publik dan politik. Dalam banyak hal, keputusan Mahkamah Agung selama

paruh kedua abad 20 telah memperdalam pemisahan antara agama dan

gereja dengan tidak memasukkan aktivitas agama dalam ruang, waktu dan

anggaran publik terutama dalam masalah pendidikan dan sekolah negeri,

81 Kenneth Wald, Religion and Politics in the United States. (New York: St. Martin’s Press, 1987), hlm. 183.82 Wald, hlm. 14283 Demerath and Williams, hlm. 484 Jacoby, hlm. 153

Page 33: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

seperti yang tercermin dalam keputusan mengenai misa sekolah.85 Kalangan

Kristen konservatif merespon kecendrungan ini dengan melakukan banding

di pengadilan dan kampanye untuk mempengaruhi politik. Kampanye banyak

dilakukan untuk mendukung adanya misa di sekolah, program voucher yang

memberikan kebebasan pada orang tua untuk memilih sekolah untuk anak-

anaknya dan kebebasan sekolah Kristen untuk beroperasi dengan intervensi

yang kecil dari pemerintah. Kristen konservatif juga berusaha untuk

mempertahankan ikatan keluarga tradisional, agama ortodoks, dan

pendekatan puritan terhadap moral yang menekankan kelurusan moral

individu.

Seperti yang sudah diperkirakan, trend tersebut juga tercermin dalam

sejumlah pandangan partai politik dan kampanye mereka tentang beberapa

isu. Kampanye untuk menentang buku-buku sekolah yang “cabul”, hak-hak

kaum gay, dan kesetaraan hak perempuan, mampu menarik banyak

pendukung terutama dari kalangan penganut Protestan Evangelis yang

memahami keterlibatan mereka dalam isu-isu tersebut sebagai jihad untuk

membela nilai-nilai dan lembaga Kristen tradisional.86 Namun, aktivisme

politik yang terorganisir semacam itu tidak hanya terjadi kalangan Protestan.

Gereja-gereja yang berasal dari politik sayap kiri juga memiliki sejarah lobi

politik yang sama baik mengatasnamakan isu hubungan etnis, perang

terhadap kemiskinan, atau mengakhiri perang Vietnam. Mereka juga

berusaha untuk mempengaruhi kebijakan luar negeri Amerika sesuai dengan

pandangan mereka. Aktivisme sosial dari sayap kiri biasanya muncul dari

sekte-sekte utama Kristen Protestan, gereja Afrika Amerika, dan Yahudi.

Gereja Katolik juga ikut terlibat dalam mempengaruhi kebijakan luar negeri,

masalah-masalah ekonomi dan mempertanyakan kebijakan seperti aborsi

dan homoseks.87

Komitmen negara Amerika untuk tidak cenderung pada salah satu sekte

keagamaan telah teruji dalam beberapa dekade ini dalam kasus-kasus yang

85 Demerath and Williams, hlm. 4, 586 Wald, hlm. 18887 Corbett and Mitchell, hlm. 124-6

Page 34: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

melibatkan kelompok-kelompok seperti Gereja Scientology, International

Society untuk Krishna, dan Gereja Unifikasi yang menuntut kesamaan status

di hadapan hukum. Larangan konstitusi untuk memihak pada salah satu

komunitas agama diperkuat lagi oleh Mahkamah Agung sebagai prinsip yang

penting untuk menjaga vitalitas konsep kebebasan beragama.88 Namun isu-

isu tertentu masih terus berdatangan ke pengadilan seperti isu yang

berkaitan dengan bahasa agama yang digunakan dalam sumpah kesetiaan,

dan keberadaan monumen-monumen keagamaan di ruang-ruang publik.

Bagaimana lembaga ini menyelesaikan isu-isu tersebut secara legal maupun

politik, akan kita lihat nanti. Dengan demikian, jelas bahwa pemisahan

hukum antara agama dan negara tidak bisa menyelesaikan masalah status

agama dalam kehidupan politik dan publik negara ini secara permanen

melalui formula yang sederhana dan ketat.89

Sebagai kesimpulan atas review ini, jelaslah bahwa konsepsi dan

pengalaman sekularisme Barat itu tidak mengidentikkan ataupun menarik

agama dari ruang kebijakan publik dan undang-undang. Perkembangan

kontekstual sejarah sekularisme dan kontroversi mengenai makna dan

implikasinya dalam praktik terus bergulir sampai hari ini di semua negara

Barat. Kesimpulan ini juga muncul ketika kita mereview pengalaman negara

lain yang relevan seperti Jerman90 dan Belanda91. Namun yang terpenting

bagi bagi saya adalah bagaimana review pengalaman ini relevan untuk

kondisi masyarakat Islam saat ini. Selain itu, pengalaman sekularisme

masyarakat Barat dan implikasinya juga sangat berguna untuk memahami

proses-proses yang terjadi berikutnya di tengah-tengah masyarakat mereka.

II. Upaya Kontekstual untuk Memediasi Ketegangan

Karena setiap masyarakat perlu menegosiasikan hubungan antara agama

dan negara dalam konteksnya sendiri, maka tidaklah mungkin dan tidak pula

88 James Wood, “Abridging the Free Exercise Clause.” Journal of Church & State 32 (1990), hlm. 74289 Corbett and Mitchell, hlm. 2390 Richard Puza “The Development of the Relationship between the Church and State in Germany in 2001.” European Journal for Church and State Research 2002 (9): 11.91 Sohpie Van Bijsterveld, “State and Church in the Netherlands.” State and Church in the European Union, Ed. G. Robbers. Baden-Baden: Nomos Verlagsgesellschaft, 1996, hlm. 209.

Page 35: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

diperlukan untuk memprediksi hasil kebijakan berdasarkan sebuah pra-

konsepsi tentang hubungan ini. Malah, kita harus mencoba untuk

mengidentifikasi faktor dan aktor yang relevan dalam proses ini dan

mengatur proses interaksi mereka untuk meningkatkan prospek netralitas

negara yang genuine dan berkelanjutan. “Netralitas negara tidak boleh

dilihat sebagai cara yang abstrak, melainkan sebuah proses dialog yang

berkelanjutan dengan identitas dan kebebasan beragama individu”.92 Di

Amerika misalnya debat politik dan tuntutan hukum seputar peran agama

dan kebijakan publik terjadi dalam konteks debat politik dan budaya yang

lebih luas mengenai masalah-masalah seperti makna nilai-nilai tradisional

dan nilai-nilai keluarga, kebebasan beragama, otonomi personal dan

kebebasan untuk memilih. Dengan demikian, dalam kontroversi mengenai

aborsi, contohnya, mereka yang setuju bisa mengklaim bahwa aborsi adalah

persoalan otonomi perempuan, namun mereka yang tidak setuju juga bisa

menyatakan bahwa negara harus melindungi kehidupan sebuah janin.

Keduanya bisa menggunakan justifikasi keagamaan untuk memperkuat

posisinya, baik argumen itu diungkapkan dengan jelas atau tidak. Negara

harus menyelesaikan kontroversi ini dengan mengambil salah satu pendapat

sebagai kebijakan atau undang-undang resmi. Tapi, pilihan apapun yang

diambil, pilihan tersebut pasti ditentang oleh pilihan lain yang tidak diadopsi

oleh negara. Saya akan mendiskusikan proses ini lebih lanjut dalam bagian

lain, namun berikut beberapa refleksi mengenai bagaimana memahami

sesuatu di balik ketegangan permanen ini.

Ketegangan yang mendasari negosisasi itu adalah mengenai bagaimana dan

seberapa besar otonomi otoritas keagamaan dari otoritas hukum dan politik

negara. Di satu sisi, negara harus mengontrol institusi kegamaan untuk

memenuhi kewajibannya dalam menjaga perdamaian, mempertahankan

stabilitas politik, dan mencapai perkembangan ekonomi dan sosial. Seperti

yang sudah dicatat tadi, negara harus bisa memiliki kontrol atas teritori dan

warga negaranya agar bisa memediasi dan menyelesaikan pilihan-pilihan

92 Rik Torfs, “New Liberties and Church-State Relationships: Synthesis.” “New Liberties” and Church and State Relationships in Europe (European Consortium for Church-State Research, Milan: Dott A Giuffre Editore, 1998), hlm. 10.

Page 36: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

kebijakan publik yang berlawanan. Paradoksnya, negara tidak bisa

mempertahankan netralitasnya terhadap agama tanpa melakukan kontrol

terhadap aktivitas keagamaan warga negaranya. Di pihak lain, institusi-

institusi keagamaan harus mempertahankan otonomi mereka dari kekuasaan

kursif negara guna menjaga legitimasi doktrin dan praktik keagamaan

mereka. Hal-hal seperti itu harus diatur sesuai dengan kerangka referensi

internal dan otoritas institusi keagamaan yang independen tanpa campur

tangan pejabat pemerintah yang akan cenderung memaksakan pandangan

mereka. Dengan demikian saya akan memfokuskan diri pada cara untuk

memediasi ketegangan hubungan antara negara dan agama yang inheren

dan permanen ini.

Breyy Scharffs, misalnya, menyarankan agar hubungan ini difahami dengan

istilah independen, interdependen dan inter-independen.93 Menurutnya,

otonomi independen antara negara dan agama berarti menerapkan sistem

pemisahan antara keduanya, sedangkan otonomi interdependen bisa menjadi

dasar yang digunakan untuk mengatur kerjasama antara keduanya, dan

otonomi inter-independen (yang nanti akan saya sebut sebagai

“intermediate” untuk memudahkan pengistilahan) menghasilkan sistem yang

mengatur akomodasi mereka.94 Ditinjau dari berbagai hal, pendekatan ini

bisa konsisten dengan ide mengenai sekularisme sebagai proses negosisasi

yang konstan, karena pendekatan ini bisa memotret sisi yang berbeda dalam

satu rangkaian yang sama, bukan menganggapnya sebagai kategori-kategori

yang berbeda.

Negara apapun dapat mengadopsi posisi yang berbeda untuk menyelesaikan

isu yang berbeda. Dalam beberapa isu, negara bisa mengadopsi posisi yang

lebih dekat pada independen, tapi dalam isu yang lain posisinya bisa lebih

dekat ke interdependen atau dalam posisi di antara keduanya. Bahkan ketika

kita hanya menyebut sebuah posisi lebih dekat pada posisi ini atau itu, kita

harus mengakui bahwa ada posisi yang tidak bisa masuk pada deksripsi

93 Brett Scharffs, “The Autonomy of Church and State.” Brigham Young University Law Review (2004), hlm. 1248.94 Scharffs, hlm. 1220

Page 37: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

umum. Dengan demikian, pilihan posisi negara bukan cuma satu, tetapi

beragam dan pilihan-pilihan lain masih sangat terbuka dan bisa menjadi

pilihan kebijakan pada masa yang akan datang. Inilah yang saya maksud

dengan mengatakan bahwa sekulerisme sangat tergantung kondisi dan

selalu diperdebatkan dimana pun. Paparan mengenai pilihan kebijakan yang

akan dikemukakan berikut ini saya tempatkan dalam konteks 3 rangkaian

kemungkinan ini, bukan dalam kerangka klasifikasi yang ketat.

1. Pandangan Independen

Salah satu ujung rangkaian ini adalah ketika negara menerima independensi

otoritas dan praktik keagamaan dengan tidak mendukung atau mencampuri

urusannya. Dengan demikian, negara tidak akan menyediakan pendanaan

langsung atau tidak langsung pada badan-badan keagamaan, dan tidak akan

mencampuri urusan pengurus gereja, pendidikan agama, atau hukum dan

undang-undang keagamaan. Tidak ada satu negara pun yang bisa

dikategorikan memenuhi posisi ini, namun beberapa negara telah mengambil

posisi seperti ini pada beberapa waktu untuk menyelesaikan beberapa

persoalan. Ini bisa dilihat dari beberapa pengalaman Perancis, Amerika dan

Swedia.

Seperti yang sudah dicatat tadi, beberapa pandangan mengenai laicite yang

berkaitan dengan interaksi antara negara dan agama, bermunculan di

Perancis sejak Revolusi Perancis terjadi. Karena ketegangan antara Gereja

Katolik dengan pemerintah dalam beberapa isu seperti pendidikan dan

bahasa pengantar pelajaran agama terus memuncak, interpretasi yang ketat

terhadap sekularisme pun diadopsi oleh Perancis pada akhir abad ke-19.

Kebijakan ini terrefleksikan dalam Undang-Undag 1902 yang secara resmi

memisahkan agama dan negara. Undang-undang ini menyatakan ketiadaan

hubungan antara negara dan institusi-institusi keagamaan, dan agama

dianggap telah kehilangan fungsinya dalam sosialisasi kenegaraan. Undang-

undang dan konstitusi setelahnya berusaha untuk membuat agama dan

negara semakin independen satu dari yang lain.

Page 38: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

Realitas pemisahan agama dan negara di Perancis ternyata tidak seketat

dalam teori, karena negara sering memberikan dukungan kepada gereja.

Sejak 1959, pemerintah Perancis selalu membayar gaji guru-guru yang

mengajar di sekolah swasta, yang kebanyakan adalah sekolah-sekolah

agama, dan memberikan ketentuan-ketentuan tertentu kepada mereka.

Gereja, kuil dan sinagog yang dibangun di Perancis sebelum 1905 adalah

milik negara dan diurus oleh negara, tetapi digunakan gratis oleh para

pemuka agama.95 Kebijakan negara untuk membiayai Masjid Paris

nampaknya merefleksikan fleksibilitas pemerintah Perancis dalam

menginterpretasikan konsep pemisahan antara agama dan negara. Beberapa

peristiwa dalam sejarah Perancis yang memperlihatkan baik penolakan dan

kerelaan negara untuk mendukung pendidikan dan institusi agama telah

diterima sebagai sebuah penafsiran yang cocok dengan konsep laicite.96

Pandangan terhadap sekularisme yang pragmatis itu baru-baru ini telah diuji

kelayakannya dalam kasus ‘jilbab”. Pemerintah Perancis melarang siswi

muslim menggunakan jilbab di sekolah-sekolah negeri, bahkan sebagian dari

mereka dikeluarkan dari sekolah karenanya. Setelah debat publik yang intens

terjadi selama berminggu-minggu, parlemen memutuskan untuk melarang

penggunaan semua simbol keagamaan yang mudah dikenali di sekolah-

sekolah negeri. Aturan ini harus diterapkan pada semua agama, seperti

kopiah Yahudi dan turban penganut Sikh, hingga memenuhi aturan

kesetaraan formal yang dianut konstitusi Perancis. Tah peduli apapun yang

orang fikirkan tentang hal itu. Penentang kebijakan ini berargumen bahwa

mentolerir ekspresi keagamaan para siswa tidak bertentangan dengan laicite,

malah merupakan satu hal yang harus dipenuhi oleh negara sebagai tanda

komitmennya terhadap netralitas dan kebebasan beragama.97 Tapi

sebaliknya, pemerintah menyatakan bahwa tanggung jawabnya untuk

menjaga netralitas agama dalam ruang publik harus diperlihatkan dengan

menjaga pemisahan yang ketat antara agama dan negara.98 Namun ada juga

pendapat yang menyatakan bahwa kontroversi mengenai jilbab sebetulnya 95 Dominique Decherf, “French Views of Religious Freedom.” US-France Analysis. (http://www.brookings.edu/fp/cuse/analysis/relfreedom.htm), 2.96 Troper, hlm. 127797 Troper, hlm. 1280

Page 39: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

lebih mewakili persoalan integrasi imigran pada budaya dan

kewarganegaraan Perancis yang menekankan loyalitas individu terhadap

negara daripada persoalan pemisahan antara agama dan negara. Namun,

negara Perancis terus mempertahankan dukungan pragmatisnya terhadap

agama seperti dalam pendidikan dan masalah keuangan, meskipun tetap

mempertahankan pemisahan yang ketat dalam masalah lain.

Pembuatan klausul dalam Amandemen Pertama Konstitusi Amerika bisa

dipahami dalam kerangka pemisahan antara negara dan agama yang

independen. Namun, meski posisi ini yang diambil, ketegangan antara

keduanya masih tetap ada karena pilihan untuk menghapus agama dari

pemerintahan dianggap penting “meskipun ada keyakinan yang luas bahwa

ajaran dan praktik agama merupakan komponen yang krusial dalam ruang

publik”.99 Ide pemisahan negara dan agama biasanya diekspresikan dalam

makna dan implikasi yang disebut oleh Thomas Jefferson sebagai “wall of

separation”. Dari pandangan ini, wilayah agama dan negara dipisahkan

sehingga masing-masing tidak dapat mencampuri urusan yang lainnya,

karena prinsip otonomi negara dan otonomi gereja mengharuskan adanya

independensi masing-masing dari yang lain.100

Pengaruh dan ketegangan yang muncul dari sikap independen ini bisa dilihat

dari sejumlah keputusan pengadilan berkaitan dengan hubungan agama dan

negara. Contohnya, perbedaan pendapat mengenai pemasangan monumen

keagamaan di ruang publik seperti di ruang pengadilan mencerminkan

interpretasi yang berbeda terhadap Amendemen Pertama Konstitusi Amerika.

Ketegangan tercermin dari dua kelompok yang memiliki pendapat berbeda

mengenai masalah tersebut. Kelompok yang disebut sebagai “kelompok

Steven” (Hakim Steven, Souter dan Ginsberg) yang mendukung ide

pemisahan menganggap pemasangan itu sebagai inkonstitusional. “Bagi

mereka, pemerintah harus tetap jauh dari pesan-pesan apapun yang akan

98 Jonathan Laurence, “Islam in France: A Contest between the Wind and the Sun.” New Europe Review (2004), 13.99 Kent Greenawalt, “Comment: Separation and Schools.” Cardozo Law Review 21 (1999), 1289.100 Scharffs 1234-1235

Page 40: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

mendorongnya untuk menganut satu agama”.101 Dari sudut pandang ini,

kegagalan untuk melaksanakan pemisahan yang ketat antara negara dan

agama merupakan hal berbahaya bagi pemerintah dan agama. Sebaliknya,

kelompok Rehnquist (hakim Rehnquist, Kennedy, Scalia, dan Thomas)

berpendapat bahwa pengakuan pentingnya agama dalam kehidupan Amerika

tetap sah secara konstitusional. Bagi kelompok ini, batas pelanggaran

aparatur pemerintah adalah “ketika mereka menekan individu untuk

menerima atau menolak satu agama atau memberikan dukungan berlebih

pada agama tertentu sehingga pemerintah bisa dituduh mempromosikan

kepercayaan agama ini”.102

Perbedaan pendapat juga terlihat dalam keputusan Mahkamah Agung

Amerika Serikat baru-baru ini mengenai dua kasus yaitu Van Orden v. Perry

dan McCreary v. American Civil Liberties Union of Kentucky, yang

mempermasalahkan pameran “Ten Commandements” yang disponsori oleh

pemerintah. Mereka yang menentang pameran itu berpendapat bahwa

pemerintah mengakui pesan-pesan keagamaan Ten Commandement, yang

berarti melanggar Klausul Amendemen Pertama. Sebaliknya mereka yang

mendukung pameran Ten Commendement berpendapat bahwa penayangan

itu merupakan bukti pengakuan resmi pemerintah terhadap signifikannya

peran Ten Commandement dalam pengembangan hukum dan pemerintahan

di Amerika.

Pada tanggal 27 juni 2005, suara Mahkamah Agung yang terpecah ini

akhirnya mengeluarkan dua keputusan mengenai legalitas pameran Ten

Commandements di bangunan atau benda-benda publik. Mahkamah Agung

menganggap pemasangan monumen Ten Commandements di halaman

gedung pemerintah di Texas sebagai konstitusional, tetapi tidak di dua ruang

sidang di Kentucky. Dua keputusan itu nampaknya membenarkan strategi

Mahkamah Agung untuk membuat keputusan mengenai isu ini berdasarkan

kasus per kasus. Yang penting untuk pembicaraan kita saat ini adalah bahwa

101 The Pew Forum on Religion & Public Life, A Monumental Decision: Supreme Court Considers Constitutionality of Ten Commandments Display on Public Property, www.pewforum.org (2005), 6.102 Pew Forum, 7

Page 41: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

isu-isu yang berkaitan dengan makna dan implikasi pemisahan gereja dan

negara atau netralitas negara terhadap agama ternyata masih menjadi

bahan kontroversi dalam negosiasi politik dan hukum di Amerika.

Seperti yang sudah dijelaskan secara singkat tadi, hubungan agama dan

negara di Swedia terus berkembang pesat, karena dalam dua dua abad

terakhir ini negara tersebut telah mengubah pandangannya yang kuat

mengenai pentingnya keberadaan gereja resmi.103 Trend terbaru seperti

imigrasi dan sekularisasi kultural telah menggerakkan pemisahan gereja dan

negara selama tahun 90-an, seperti yang terlihat dalam pemindahan

registrasi penduduk dari gereja ke otoritas pajak dan reformasi administratif

lainnya. Perubahan-perubahan tersebut mencapai puncaknya pada

pemisahan resmi negara dan agama pada tahun 2000, yang bisa difahami

sebagai model hubungan negara dan agama yang independen. Namun,

kenyataan bahwa Swedia tetap memberikan dana kepada organisasi-

organisasi keagamaan, baik secara langsung maupun tidak, mengindikasikan

bahwa ada usaha yang terus menerus untuk menegosiasikan makna dan

istilah pemisahan ini.

Swedia mungkin merupakan contoh peralihan menuju model independen

yang paling nyata dan baru, meskipun pendekatan ini juga bisa dilihat dalam

debat dan perkembangan negara-negara Eropa lain. Sat ini kampanye untuk

menuntut pemisahan yang lebih jelas sedang berlangsung di Inggris, pun

kampanye mengenai hubungan agama dan negara di Spanyol selama masa

republik kedua, atau hubungan resmi antara agama dan negara di Rusia. Hal

yang penting untuk kita catat adalah proses yang terus berlanjut adalah

negosiasi sekularisme, bukan penerapan sebuah model yang tetap di sebuah

tempat. Berdasarkan perspektif inilah, saya akan melihat kemungkinan

hubungan negara dan agama di negara-negara Barat di masa yang akan

datang berdasarkan pengalaman mereka saat ini.

2. Pandangan Interdependen

103 Alwall, hlm. 391

Page 42: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

Ujung lain dari rangkaian posisi hubungan negara dan agama yang umum

berlaku di negara-negara Eropa adalah otonomi yang berdasarkan

interdependensi atau kooperasi.104 Pada posisi ini, berarti ada kerjasama dan

interaksi tertentu antara negara dan agama, walaupun agama tidak menjadi

bagian resmi dari negara. Contoh posisi interdependen ini termasuk

pembiayaan negara terhadap asosiasi-asosiasi keagamaan baik secara

langsung atau tidak langsung, kerjasama dalam pendidikan agama, negara

yang bertindak atas nama gereja, atau campur tangan negara terhadap

urusan-urusan gereja. Kenyataan bahwa negara menyetujui, mendukung dan

memberikan perlakuan khusus kepada gereja tertentu nampaknya tidak

konsisten atau mendukung prinsip otonomi negara dan gereja.105 Karena

itulah logika untuk memahaminya adalah kita tidak harus menyetujui atau

menolak model seperti itu karena merupakan proses negosiasi yang terjadi

terus menerus dalam sebuah masyarakat.

Menjelang revolusi periode modern yang demokratis, hubungan antara gereja

dan negara di beberapa negara Eropa merefleksikan adanya hubungan yang

intim antara kerajaan dan agama mayoritas. Pada masa pra-Revolusi

Perancis dan pasca-Reformasi Spanyol, misalnya, kerajaan dan gereja Katolik

bekerja sama untuk melegitimasi kekuasaan negara dan menjaga agama

Katolik dari serangan Kristen Protestan. Model kerjasama seperti ini

menyebabkan hubungan antara keduanya stabil dan saling menguntungkan

dalam konteks historis saat itu, sampai kemudian lambat-laun terus berubah.

Hubungan dekat semacam itu juga terjadi di negara-negara Kristen Protestan

seperti Inggris dan Swedia, yang pada tingkat tertentu masih berlanjut

sampai sekarang.

Contohnya, di bawah Act of Supremacy tahun 1558, yang masih menjadi

bagian undang-undang Inggris, penguasa kerajaan adalah “supreme

governor” bagi Gereja Anglikan dan mengucapkan janji suci untuk

104 Roland Minnerath, “Church Autonomy in Europe.” Church Autonomy: A Comparative Survey. Ed. Gerhard Robbers (Frankfurt: Peter Lang, 2001), hlm. 381.105 Scharffs, hlm. 1260

Page 43: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

mempertahankannya.106 Seperti yang dicatat di bagian lalu, kerajaan

menunjuk Uskup Agung dan pejabat gereja lain dan memberikan kursi

kepada Lords of Spiritual di House of Lords. Selain itu, hukum gereja juga

masih menjadi bagian dari Common Law Inggris, dan aturan-aturan yang

dibuat gereja harus diproses, disetujui dan diberikan status hukum resmi oleh

Parlemen. Kontekstualitas proses ini terlihat dari “tetap dipertahankannya

bentuk lahiriah konstitusi Inggris, namun pelaksanaannya terus berkembang

sesuai dengan konvensi—dalam kasus ini berarti menuju gereja yang benar-

benar lebih independen”.107 Dengan demikian, pengakuan negara atas Gereja

Anglikan sebagai gereja resmi terus berlangsung meskipun keduanya

memiliki tingkat independensi tertentu dari yang lain dan masih bekerja

sama dan saling mendukung dalam hal-hal yang menguntungkan kedua

belah pihak. Fleksibitas seperti ini bertujuan untuk memperkuat penerimaan

sosial dan legal terhadap sekularisme dan pluralisme agama dengan tetap

mempertahankan peran tradisional Gereja Anglikan sebagai rekan spiritual

dan moral pemerintah.

Rancangan interdependen ini juga dapat ditemukan di negara-negara Eropa

lain, tapi saya akan mengulang secara singkat pengalaman negara-negara

yang sudah saya kemukakan tadi. Model interdependen lebih jelas terlihat

dari pengalaman-pengalaman negara yang berbasis Katolik seperti Spanyol

dan Itali. Pada beberapa penggal sejarah mereka, hubungan negara dan

gereja di kedua negara itu mengalami fluktuasi antara pemisahan yang kuat

dan hubungan interdependen antara gereja dan negara. Sistem kesepakatan

yang dibuat oleh negara dan gereja mengakui keberadaan keduanya sebagai

pihak yang otonom, meskipun kesepakatan itu tetap memberikan

kesempatan kepada gereja untuk mencampuri urusan-urusan negara, dan

memberikan gereja fasilitas-fasilitas istimewa. Secara umum di Eropa, baik di

negara-negara Katolik maupun Protestan, keberadaan gereja resmi telah

direkonsiliasikan dengan pengakuan terhadap keragaman agama dan hadir

106 Vernon Bogdanor, The Monarchy and the Constitution (Oxford, Oxford University Press, 1995), hlm. 216.107 Cheryl Saunders, “Comment: Religion and the State.” Cardozo Law Review 21 (1999).

Page 44: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

bersamaan dengan sekularisasi kehidupan sosial dan budaya yang sedang

meluas.

Model otonomi interdependen seperti ini juga bisa dilihat di Rusia yang

secara resmi mengakui pemisahan agama dan negara tetapi masih

membangun kooperasi dengan gereja ortodoks. Setelah perubahan drastis

yang terjadi pada tahun 90-an dan runtuhnya Uni Soviet, ada

interdependensi yang terus tumbuh antara negara dan gereja; dimana

kekuasaan simbolis gereja dikendalikan oleh negara sebagai kompensasi

atas perlindungan dan keuntungan yang diberikan negara kepadanya.

Pengalaman Rusia yang terbaru menunjukkan bagaimana masyarakat yang

telah tersekulerkan selama masa berdirinya Uni Soviet, sekarang nampak

mulai kembali menganut pandangan Eropa yang tradisional mengenai

hubungan agama dan gereja.

Model interdependen ini bisa juga tumbuh di negara yang lebih dekat ke

model independen. Contohnya, daerah Alsace Lorraine di Perancis yang

digabungkan ke Jerman setelah kekalahan Perancis pada tahun 1871 dan

masih berada di bawah kontrol Jerman ketika undang-undang 1905 tentang

pemisahan negara dan gereja diberlakukan di Perancis. Setelah PD I, ketika

daerah itu dikembalikan ke Perancis, sistem kesepakatan gereja dan negara

masih dipertahankan. Di Alsace Lorraine pemuka agama menerima gaji dari

negara dan Uskup ditunjuk oleh Presiden, padahal di daerah Perancis lain, hal

itu tidak terjadi.108 Dengan demikian model interdependensi antara gereja

dan negara Perancis masih berlanjut di daerah tertentu, meskipun tidak di

daerah lain. Begitupun di Jerman, ukuran interdependensi antara negara dan

gereja berbeda-beda di beberapa daerah. Di daerah daerah bekas Jerman

Timur dan di negara seperti Berlin, pemisahan antara gereja dan negara

merupakan hal substansial dalam beberapa hal, seperti dalam masalah

pendidikan. Sementara di daerah lain seperti di daerah yang dikuasai oleh

Katolik Bavaria, hubungan antara gereja dan negara terlihat lebih kuat.

3. Level Intermediate

108 Troper 1278-9

Page 45: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

Di antara posisi independen dan interdependen, terdapat kemungkinan yang

amat luas bagi terjadinya kombinasi antara dua posisi itu, dimana negara dan

gereja dapat mempertahankan independensinya masing-masing, namun

negara diharapkan untuk membuat aturan-aturan tertentu untuk

memberdayakan gereja dan memfasilitasi perannya dalam masyarakat.

Berlawanan dengan asumsi yang kaku mengenai independensi dua lembaga

ini, posisi intermediate mengakui keberadaan manusia sebagai makhluk yang

lahir dan tumbuh dalam konteks sosial tertentu sebagai anggota keluarga

dan komunitas.109 Pada saat yang sama, posisi ini juga mengakui bahwa

otonomi merupakan hal yang tidak mungkin, jika negara memberi perlakuan

khusus kepada agama tertentu atau berusaha memaksa individu untuk

mempraktikkan ajaran agama tertentu. Komitmen untuk menghargai ruang

dimana individu memiliki kebebasan untuk mengarahkan kehidupan mereka

tanpa paksaan atau manipulasi, mengandaikan adanya pembedaan antara

kehidupan publik dan privat, walaupun dengan tetap menyadari

kemungkinan akan terjadinya persinggungan dan pengaruh yang saling

menguntungkan keduanya”.110 Mengakomodasi agama untuk memainkan

peran aktif dalam kehidupan politik dan sosial sebuah komunitas harus

diupayakan menjadi sebuah usaha untuk menyeimbangkan realitas

interdependensi dan sikap saling menghormati di kalangan agen otonom.111

Posisi Rehnquist, salah seorang hakim Mahkamah Agung AS yang sudah saya

sebutkan tadi bisa menjadi contoh pendekatan intermediate. Posisi ini bisa

difahami sebagai sebuah interpretasi terhadap prinsip pemisahan antara

negara dan agama yang berpijak pada adanya hubungan moral dan sejarah

yang mendalam antara keduanya. Untuk mempertahankan netralitas negara

terhadap agama, hakim-hakim ini tidak akan mengharuskan proses

peminggiran agama dari seluruh aspek kehidupan publik. Melalui perspektif

ini, negara masih tetap bisa memberikan bantuan kepada institusi-institusi

keagamaan, yang memang sudah dilakukan, tanpa diskriminasi. Belanda bisa

menjadi contoh untuk memperlihatkan hubungan agama dan negara model

109 Scharffs, hlm. 1254110 Scharffs hlm. 1255111 Scharffs hlm. 1256

Page 46: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

ini, dimana negara tidak memberlakukan pemisahan yang ketat dan

memberikan dukungan keuangan dan dukungan lain kepada komunitas-

komunitas keagamaan utama tanpa mengistimewakan salah satunya.112

Pada saat yang sama, nampaknya pemerintah Belanda tidak tergantung

pada agama untuk mendapatkan legitimasi bagi pemerintahannya seperti

negara-negara yang memiliki gereja resmi. Posisi tengah ini bisa diterapkan

saat ini, di negara-negara seperti Itali dan Spanyol yang secara resmi sekuler,

tetapi tetap mendukung peran gereja sebagai agen sosial yang penting.

4. Hubungan Faktor Internal dan Eksternal

Di samping peran historis dan kontemporer faktor-faktor internal dan

eksternal, negosiasi sekularisme di negara-negara Eropa Barat juga

dipengaruhi oleh kerangka pikir Uni-Eropa dan Konvensi Hak Asasi Manusia

Eropa. Semua anggota Uni-Eropa adalah anggota Dewan Eropa, namun

beberapa anggota Dewan, seperti Turki, bukanlah anggota Uni Eropa. Tugas

utama Dewan Eropa adalah untuk melindungi Hak Asasi Manusia di Eropa

sementara Uni Eropa yang awalnya hanya organisasi ekonomi berkembang

menjadi organisasi yang juga mengurusi persoalan politik dan sosial. Kedua

sistem ini mempengaruhi hubungan negara dan agama di negara-negara

anggotanya.113 Kebijakan dan peraturan regional mengenai agama berusaha

untuk menyeimbangkan pluralisme dan kebebasan beragama dengan tetap

mengakui keberadaan gereja resmi dan pandangan yang berbeda mengenai

hubungan agama dan di kalangan negara-negara anggotanya. Negosiasi

mengenai makna dan implikasi netralitas negara terhadap otonomi gereja di

dalam negeri kini dipengaruhi oleh perkembangan regional.

Salah satu aspek utama faktor regional ini adalah Keputusan Pengadilan Hak

Asasi Manusia Eropa yang berada di bawah aturan Konvensi HAM Eropa.

Keputusan pengadilan itu merefleksikan penerimaannya yang sudah lama

terhadap keberadaan gereja resmi negara. Dengan demikian, berdasarkan

deksripsi di bagian lalu, pengadilan ini mengadopsi pandangan

interdependen. Pandangan ini terbukti dalam kasus Darby melawan

112 Van Bijsterveld, hlm. 220-24113 Rivers, hlm. 45

Page 47: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

pemerintah Swedia (1990). Pengadilan bependapat bahwa gereja resmi boleh

saja berdiri, tetapi ia tidak bisa memaksa orang untuk menjadi anggotanya

atau menghalangi mereka meninggalkan gereja. Pengadilan juga

menyatakan bahwa negara boleh-boleh saja bekerjasama, mendukung atau

memberi perlakuan istimewa pada gereja tertentu. Di samping itu,

pengadilan juga berkeyakinan bahwa negara boleh menarik pajak secara

langsung untuk kepentingan gereja resmi, dan mereka yang bukan penganut

kristen bisa diminta untuk membayar pajak gereja, jika gereja itu melakukan

fungsi-fungsi sekular seperti memberikan layanan pernikahan, menyediakan

TK, dan lain sebagainya (kegiatan-kegiatan yang lazim dilakukan gereja-

gereja di Eropa).114 Dalam kasus Kustannus, misalnya, pengadilan

berkeyakinan bahwa perusahaan ateis yang menentang keberadaan gereja

resmi, juga bisa diminta untuk membayar pajak gereja. Pengadilan juga

menyetujui pajak yang hanya memberikan keuntungan pada satu atau

beberapa gereja saja. Dalam kasus Iglesia Bautista El salvador dan Ortega

Mortilla melawan Pemerintah Spanyol, Komisi Eropa (yang biasanya memiliki

otoritas untuk menyelesaikan perselisihan di bawah wewenang Konvensi

HAM Eropa) berkeyakinan bahwa praktik negara menarik pajak atas nama

satu gereja tertentu dan tidak atas nama gereja lain tidak melanggar

konvensi. 115

Berkenaan dengan masalah pendidikan, Pengadilan HAM Eropa secara umum

berpendapat bahwa orang tua bisa meminta negara untuk tidak mendidik

anak-anaknya dengan cara tertentu, dan negara tidak mempunyai tugas atau

kewajiban untuk membiayai pendidikan moral atau agama dalam bentuk

apapun.116 Bila kurikulum pendidikan agama dari negara memperhatikan hal-

hal semacam itu, pengadilan memutuskan bahwa negara tidak perlu

menghindari penyajian bahan-bahan agama atau filsafat, tetapi harus

menjamin konteks penyajiannya tetap objektif, kritis dan pluralis”.117 Dalam

kasus Angelini melawan Pemerintah Swedia, penuntut, yang kebetulan

114 Scharffs, hlm. 1261, 1262115 Carolyn Evans, Freedom of Religion under the European Convention on Human Rights (Oxford University Press, 2001), hlm. 82.116 Carolyn Evans 88117 Carolyn Evans 92

Page 48: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

seorang ateis, mengklaim bahwa negara telah melanggar kebebasan

beragama dengan memaksa anaknya untuk mengikuti pelajaran agama yang

hanya berfokus pada pengajaran agama Kristen. Pengadilan memutuskan

bahwa pengajaran agama di sekolah hanya berusaha memberikan informasi

bukan mendoktrinasi satu ajaran agama, dan memberikan informasi bukan

merupakan pelanggaran terhadap kebebasan beragama. lagipula pendidikan

agama dilakukan dengan cara yang umum dan netral.118 Instruksi-instruksi

Uni Eropa memiliki pengaruh signifikan terhadap administrasi beberapa

gereja. Dalam kasus Serif melawan Pemerintah Yunani, pengadilan

menekankan independensi gereja, terutama gereja atau lembaga agama

yang bukan merupakan agama resmi, dari campur tangan negara, namun

pengadilan juga tetap mempertahankan hak negara untuk membuat

beberapa peraturan tentang perilaku aktivis gereja.119

Dari pembahasan mengenai hubungan agama dan negara di atas, jika kita

melihat secara lebih detail pada perbedaan pola-pola lokal hubungan

tersebut, serta status badan-badan keagamaan, organisasi internal gereja

dan keuangannya jelaslah bahwa variasi model hubungan itu terus

meningkat.120 Namun tujuan kita yang paling penting adalah hanya ingin

menekankan bahwa keragaman itu adalah produk sebuah proses negosiasi

makna dan implikasi sekularisme dalam berbagai kondisi yang berbeda. Tiga

model independen, interdependen dan intermediate yang kita bicarakan

diatas akan berguna karena mereka merepresentasikan point yang berbeda

dalam spektrum yang sama, daripada berusaha untuk mencocokkan satu

negara pada satu atau lain kategori yang terpisah. Bentuk dan substansi

hubungan antara agama dan negara bisa berbeda tergantung waktu dan

situasi yang dihadapinya, bisa jadi hubungan itu berupa pemisahan ketat

maupun peleburan. Sebuah negara mungkin bisa berusaha mengambil jarak

dengan institusi-institusi dan praktik-praktik keagamaan pada satu waktu,

118 Malcolm Evans, “Religion, Law and Human Rights: Locating the Debate” Law and Religion in Contemporary Society: Communities, Individualism and the State. Eds. Peter Edge, Graham Harvey (England: Ashgate, 2000).119 Carolyn Evans, hlm. 130120 Grace Davie, Religion in Modern Europe: A Memory Mutates (Oxford: Oxford University Press 2000), hlm. 15.

Page 49: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

atau menerima dan bahkan bekerja sama dengan erat pada saat yang lain.

Negara juga bisa bekerja sama dengan agama dalam masalah pendidikan

agama atau dukungan keuangan bagi institusi-institusi keagamaan, tapi

tetap memberlakukan pemisahan yang ketat dalam persoalan administrasi

atau personilnya.

III. Agama, Negara dan Politik Public Reason

Proses negosiasi yang telah dikemukakan tadi bisa diperjelas dengan

mengulang kembali perbincangan mengenai public reason dan bagaimana ia

beroperasi melalui pembedaan negara dan politik seperti yang sudah kita

diskusikan dalam bab 1 dan 3. Sekarang saya akan merefleksikan pentingnya

peran sekularisme dalam kaitannya dengan pentingnya sebuah kerangka

untuk public reason yang akan berfungsi sebagai alat untuk mengatur dan

memfasilitasi hubungan antara negara, politik dan agama. Setelah

membahas secara singkat diskusi kita mengenai pembedaan antara negara

dan politik, saya akan menjelaskan bagaimana arena public reason bisa

menjadi kerangka untuk memediasi hubungan antara negara dan politik.

Pada bagian akhir bagian bab ini, saya akan menguji kemungkinan peran

agama dalam mempengaruhi kebijakan publik dan akan memperkirakan

bagaimana agama dan sekularisme bisa saling mendukung.

1. Pembedaan antara Negara dan Politik

Seperti yang sudah kita diskusikan dalam bab I, saya menyarankan

pemisahan institusional antara Islam dan negara sambil tetap mengakui dan

mengatur keterhubungan yang tak terhindarkan antara Islam dan Politik. Ini

tidak berarti bahwa Islam dan politik harus dipisahkan karena prinsip-prinsip

Islam bisa diimplementasikan melalui kebijakan dan undang-undang resmi

dengan tetap tunduk pada jaring-jaring pengaman yang sudah dijelaskan

dalam bab 1 dan 3. Ide ini mengandaikan adanya pembedaan antara negara

dan politik meskipun keduanya jelas-jelas berhubungan. Negara harus lebih

stabil dan memiliki swa-pemerintahan operasional yang terrencana,

sementara politik adalah sebuah proses dinamis pembuatan pilihan kebijakan

dari sejumlah pilihan yang saling bertentangan. Negara dan politik mungkin

Page 50: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

seperti dua sisi mata uang, tapi mereka tidak mungkin dan bahkan tidak bisa

dilebur menjadi satu. Penting untuk menjamin keberadaan negara tidak

hanya sebagai cerminan politik harian, tetapi juga menjaganya untuk tetap

relatif independen dari kekuatan politik yang berbeda yang ada di

masyarakat karena negara harus bisa memediasi dan memutuskan satu dari

sekian banyak pilihan kebijakan.

Namun, membedakan negara dan politik secara sempurna juga tidak

mungkin karena mereka yang mengontrol negara bisa meraih dan

mempertahankan kekuasaannya melalui proses politik, entah itu demokratis

atau tidak. Dengan kata lain pegawai negara akan selalu bertindak secara

politis untuk mengimplementasikan agenda mereka dan mempertahankan

loyalitas orang-orang yang mendukungnya. Relitas keterhubungan ini

membuat pemisahan antara keduanya menjadi penting. Sehingga mereka

yang terpinggirkan dalam proses politik saat ini masih bisa menuntut organ

atau institusi negara untuk melindungi mereka dari pengaruh dan

penyalahgunaan kekuasaan penyelenggara negara.

Hubungan yang paradoks ini bisa difahami dengan merujuk pada suatu

model dimana negara tetap mengakar dalam kehidupan politik

masyarakatnya, tetapi juga tetap mempertahankan otonominya dari proses

tersebut. Negara modern merupakan organisasi yang terpusat, birokratis,

dan hirarkis yang terdiri dari institusi, organ, pegawai yang seharusnya bisa

melaksanakan fungsi yang spesial dan berbeda-beda melalui aturan

penerapan yang sudah ditentukan.121 Malah, secara teroritis negara

merupakan organisasi yang berbeda dengan organisasi atau asosiasi sosial

apapun, meskipun tetap berhubungan erat dengan mereka dalam konteks

praksis untuk mendapatkan legitimasi dan kerja yang efektif. Sebagai contoh,

negara harus berjuang dan bekerja sama dengan berbagai konstituen dan

organisasi dalam melaksanakan fungsinya, seperti menegakkan hukum dan

aturan, menyediakan layanan pendidikan, kesehatan dan transportasi.

Dengan demikian, institusi dan pegawai negara tidak bisa menghindar dari

121 Graeme Gill. The Nature and Development of the Modern State (New York: Palgrave Macmillan, 2003), hlm. 2-4.

Page 51: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

keharusan membangun hubungan dengan berbagai konstituen dan kelompok

yang memiliki ide yang berbeda dan bertentangan mengenai kebijakan

publik dan efeknya bagi kehidupan masyarakat. Konstituen tersebut

termasuk organisasi non-pemerintah, kalangan bisnis, partai politik, dan grup

penekan lainnya yang berbasis keagamaan atau lainnya. Hubungan tersebut

tidak hanya penting untuk membantu negara melaksanakan kewajibannya,

tetapi juga sebuah persyaratan bagi terpenuhinya hak untuk menentukan diri

sendiri (self-determination). Karakter otonom dan berbedanya negara

merupakan alat untuk membuat warga negara bisa berpartisipasi dalam

pemerintahannya dan bukan merupakan tujuan akhir.

Negara dapat mengizinkan partisipasi aktor-aktor non-negara melalui

mekanisme negosiasi dan representasi yang formal atau melalui komunikasi

dan pengaruh yang informal.122 Interaksi dinamis antara aktor negara dan

non-negara berrresiko menimbulkan konflik dan kompetisi, namun bisa

memberikan otonomi bagi aktor negara karena aktor non-negara terus

berusaha untuk memaksimalkan pengaruhnya dalam pembuatan kebijakan

dan administrasi. Resiko yang realistis ini harus dikurangi dan dikelola

melalui pengembangan institusi negara yang lebih kuat yang bisa

mempertahankan otonomi relatifnya, ketika berhubungan dengan kelompok

yang memiliki tuntunan yang beragam dan saling bertentangan itu.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana aktor negara bisa

tetap responsif terhadap keinginan organisasi-organisasi masyarakat sipil,

kelompok bisnis, dan yang lainnya tanpa harus dikontrol sepenuhnya oleh

mereka. Proses penyeimbangan yang lembut namun dinamis dan terus

berubah ini selalu dideksripsikan sebagai “proses penggabungan negara

dengan konstituen kebijakan tertentu dan masyarakat secara umum dengan

tetap mempertahankan otonominya.”123

Proses ini dapat difahami secara lebih konkrit dengan mempertimbangkan

hubungan antara gereja dan negara dalam masyarakat Barat, seperti yang

sudah kita bahas tadi, sebagai contoh untuk menegosiasikan perimbangan

122 Gill 17123 Gill 19

Page 52: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

antara penggabungan keduanya atau otonomi masing-masing. Di setiap

masyarakat, dalam praktiknya, kelompok-kelompok keagamaan adalah

konstituen kebijakan publik penting yang berkaitan dengan hal-hal

fundamental dalam kehidupan sosial, dari pendidikan hingga pajak, dan dari

isu publik dan moralitas individu sampai fungsi sosial karitas. Negosiasi

antara gereja dan negara dalam masalah-masalah tersebut bisa dilihat

sebagai sebuah desain untuk memberikan tempat kepada kelompok agama

agar negara bisa mengakui mereka sebagai konstituen politik yang penting

yang tidak bisa dikuasai sepenuhnya oleh negara atau dizinkan untuk

mengambil alih negara dan institusinya. Sekularisme sebagai prinsip-prinsip

pemisahan agama dan negara membantu kita untuk meraih keseimbangan

yang indah dengan menyediakan kerangka untuk mengamankan legitimasi

negara di tengah komunitas agama, sambil tetap mengatur bagaimana

perhatian yang mereka dedikasikan pada kebijakan publik tidak

menyinggung perhatian dan kepentingan komunitas lain dan warga negara

secara umum. Seperti komunitas keagamaan, warga negara yang tidak

beragama atau tidak mengorganisasi diri untuk melobi negara, pun berhak

untuk mendapatkan penghargaan atas pandangan dan kepentingannya yang

sama. Karena itulah, negara dan organnya tidak boleh dikontrol oleh satu

komunitas keagamaan apapun, seberapapun besarnya komunitas itu. Malah,

netralitas negara terhadap perspektif keagamaan maupun non-keagamaan

lebih penting, terutama, dalam hubungannya dengan kelompok dominan,

karena resiko berpihaknya negara kepada kelompok ini lebih besar daripada

keberpihakannya kepada kelompok minoritas. Harus pula dicatat, bahwa

persepsi orang tentang masalah tersebut juga sama pentingnya dengan

realitasnya, karena bias keberpihakan seperti ini cenderung memperlemah

kepercayaan publik pada netralitas negara terhadap agama meskipun dalam

faktanya persepsi orang itu ternyata tidak benar. Sekularisme menyediakan

struktur dasar dimana negara bukan menjadi bagian atau dianggap menjadi

bagian satu kelompok agama atau non-agama apapun. Tapi sekularisme juga

memberikan kemungkinan kepada negara untuk tetap memperhatikan

semua pendapat yang relevan dan sah dalam memformulasikan dan

mengimplementasikan kebijakan publik.

Page 53: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

Selayang pandang pengalaman Barat yang telah lalu juga memberikan

pelajaran bahwa keseimbangan ini bisa dicapai melalui negosiasi langsung

maupun tidak langsung. Di satu sisi, negosiasi dan kesepakatan yang

langsung atau agak langsung antara negara dan tradisi keagamaan yang

dominan (dan tradisi keagamaan lain pada beberapa tingkatan tertentu)

mencerminkan preseden historis, pentingnya tradisi keagamaan tertentu

sebagai bagian dari peninggalan budaya atau peran sosial penting insitusi-

institusi keagamaan tersebut. Benar bahwa negara tidak mungkin

sepenuhnya lepas dari kegiatan dukung mendukung, namun bila kegiatan ini

meluas pada agama lain dan kebijakan negara yang lain tentu akan

bertentangan dengan nilai-nilai netralitas negara terhadap agama. Dalam

negosiasi seperti itu, prinsip umum pemisahan antara agama dan negara

mungkin diakui, meskipun nilai dan peran agama mayoritas dalam kehidupan

publik juga tetap diakui. Dengan demikian, meskipun rencana yang diajukan

oleh Komisi tahun 1994 di Swedia mengistimewakan Gereja Resmi Swedia

pada tingkat tertentu, rencana ini jelas mencerminkan pemahaman bahwa

gereja merupakan satu dari sekian banyak badan keagamaan dalam

masyarakat yang plural.124 Negara Inggris tidak sepenuhnya

mempertahankan netralitasnya dalam membiayai sekolah-sekolah agama,

namun ia tidak mempromosikan secara aktif gereja Anglikan atau

memaksakan pembatasan kepada anggota kelompok agama non-anglikan.

Meskipun Inggis tetap mempertahankan status formal gereja Anglikan

sebagai gereja resmi Inggris, kebijakan negara di Inggris sangat mendukung

agama lain secara umum namun tidak mendukung salah satu di antaranya.125

Prinsip sekularisme juga beroperasi dalam kerangka jaring pengaman

konstitusionalisme dan HAM agar negosiasi tidak langsung bisa terjadi dan

aktor religius atau aktor non-religius bisa memiliki peran dalam pembentukan

kebijakan publik. Kemungkinan ini dijamin oleh perlindungan negara

terhadap kebebasan untuk berorganisasi dan kebebasan untuk berekspresi,

hak untuk mengorganisasi diri dan melakukan protes, hak atas mendapatkan

ganti rugi secara hukum serta penggunaan instrumen komersil, media,

124 Alwall, hlm. 168125 Monsma and Soper, hlm. 131,132

Page 54: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

komunikasi yang bisa membuat warga negara untuk mengemukakan

padangan mereka atau untuk memobilisasi sumber dan dukungan publik dari

perspektif mereka. Kebebasan dan hak yang mengatur dan meregulasi

proses-proses mempengaruhi kebijakan negara secara langsung atau tidak

tersebut ditempatkan sebagai prinsip sekuler dan dilindungi oleh kerangka

politik dan hukum yang sekuler.

Budaya politik Amerika Serikat mencerminkan contoh yang bagus tentang

bagaimana negosiasi tak langsung terjadi antara negara dan agama dalam

masalah kebijakan publik yang krusial. Meskipun pemisahan negara dan

agama adalah nilai sosial dan politik yang telah mapan dalam budaya politik

publik Amerika, namun kalangan konservatif dan Kristen Liberal selalu

melakukan kampanye dan berusaha menggunakan pengadilan untuk

menangani beberapa isu seperti dukungan terhadap pelaksanaan misa di

sekolah. Gereja-gereja Kristen Liberal telah melakukan lobi-lobi politik

berkaitan dengan isu-isu seperti hubungan ras, kemiskinan, dan mengakhiri

perang Vietnam. Kedua faksi dan aktor religius maupun non-religious sangat

terlibat dalam debat mengenai penunjukkan hakim, terutama untuk tingkat

Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi, untuk menjamin adanya

representasi ide-ide mereka dalam penerapan dan pengembangan hukum

sekuler di negaranya. Proses dan dinamika yang sama bisa ditemukan di

negara-negara Barat lain. proses tersebut tercermin dalam beberapa

peristiwa seperti protes terhadap reformasi pendidikan di Spanyol tahun

1983 yang memperlihatkan kekhawatiran sebagian masyarakat terhadap

hilangnya identitas katolik di sekolah-sekolah gereja maupun referendum

yang akan dilaksanakan pada Juni tahun 2006 di Itali untuk memutuskan

perubahan khusus dalam civil code negara itu yang semula ditentang keras

oleh Gereja Katolik sebagai kekuatan politik yang kuat dan memaksa disana.

Pada semua kasus ini, prinsip fundamental pemisahan agama dan negara

tidak langsung ditentang oleh aktor religius. Mereka hanya mempergunakan

hak mereka untuk berusaha mempengaruhi kebijakan negara, tetapi dengan

tetap menghormati hak kelompok lain, baik aktor religius maupun non-

religius, untuk melakukan hal yang sama.

Page 55: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

2. Public Reason sebagai Kerangka untuk Memediasi Negara dan Relasi

Politik

Dalam negosiasi langsung dan tak langsung antara aktor negara dan agama,

semua pihak harus dengan jelas menerima pembedaan antara agama-negara

dengan agama-politik dalam praktik. Namun seperti ide negosiasi itu sendiri,

akan terdapat ketegangan antara aktor negara dan agama dalam

berinteraksi dan memahami hubungan antara agama dan negara serta

dalam asumsi dan implikasi posisi yang mereka ambil. Adanya ketegangan

seperti itu dan kebutuhan untuk mempertahankan otonomi negara dan

agama membuat sebuah kerangka yang memungkinkan semua aktor, baik

individu maupun kelompok, untuk menegur negara dalam pembuatan

kebijakan publik tanpa harus mengkompromikan pemisahan negara dan

agama, menjadi penting. Kerangka ini akan memberikan kemungkinan

kepada sebanyak dan seluas mungkin aktor sosial untuk bisa bersaing secara

bebas dan adil dengan yang lain untuk memaparkan pandangan mereka

tentang kebijakan publik. Meskipun ada banyak persyaratan dan aspek yang

terdapat dalam proses tersebut, sekarang saya akan menggarisbawahi

dimensi public reason dan bagaimana ia beroperasi dalam kerangka ini.

Sebagaimana sudah saya tekankan, pentingnya memisahkan negara dan

agama sambil tetap mengatur keterhubungan permanen antara agama

dan politik mengharuskan proses ajuan kebijakan dan undang-undang

dilaksanakan melalui public reason yang berisi dua elemen. Pertama,

logika dan tujuan sebuah kebijakan publik atau undang-undang harus

berdasar pada sebuah penalaran yang bisa diterima, ditolak, atau

ditandingi oleh warga negara melalui debat publik tanpa harus berresiko

dituduh tidak percaya, murtad atau membangkang. Kedua, reason atau

penalaran itu harus diperdebatkan secara umum dan terbuka daripada

mengikuti kepercayaan atau motivasi seorang warga negara atau

pegawai pemerintahan. Mengontrol motivasi dan maksud tingkah laku

politik orang memang tidak mungkin, tetapi tujuan public reason adalah

untuk mempromosikan dan mendorong nalar dan penalaran publik,

dengan terus menerus menghilangkan pengaruh ekslusif kepercayaan

Page 56: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

agama seseorang. Keharusan adanya public reason yang diperdebatkan

secara umum menjadi sangat penting karena orang yang akan

mengontrol negara tidak bisa dipastikan akan selalu netral. Malah

sebaliknya, keharusan adanya public reason ini harus menjadi tujuan kerja

negara, karena orang akan terus bertindak berdasarkan kepercayaan dan

justifikasinya sendiri. Keharusan ini juga diinginkan karena mendorong

dan memfasilitasi pengembangan konsensus yang lebih luas di kalangan

rakyat secara umum, untuk mengatasai sempitnya pandangan

keagamaan individu dan kelompok.

Karena istilah public reason telah digunakan oleh sarjana-sarjana Barat, saya

akan mengulang kembali diskusi kita pada Bab 3 mengenai bagaimana cara

saya menggunakan istilah ini. Ide Jhon Rawls mengenai public reason bisa

difahami sebagai argumen bagi pentingnya memberikan kerangka nilai-nilai

fundamental politik masyarakat bagi tindakan dan kebijakan pemerintah,

untuk membedakannya dari doktrin komprehensif atau pandangan dunia

warga negara yang berdasarkan agama, moral atau filsafat.126 Perintah

untuk tunduk pada public reason diterapkan sangat ketat pada lembaga

kehakiman, pemerintah, penyelenggara negara dan partai politik.127 Tetapi,

bagi Rawls, civil society secara keseluruhan tidak tunduk pada public

reason.128 Ia juga membatasi jangkauan public reason pada masalah-masalah

yang berkaitan dengan esensi konstitusi seperti masalah kemerdekaan

fundamental, dan masalah keadilan dasar.129 Berbeda dengan Rawls yang

membatasi public reason pada aktor dan isu tertentu saja, Habermas

memiliki pandangan yang lebih luas tentang prosedur debat dalam public

reason dan pentingnya pengakuan terhadap pluralisme dan pandangan dari

pihak luar.130 Bagi Habermas, ruang yang independen dan non-pemerintah

seperti asosiasi-asosiasi sukarela, gerakan-gerakan sosial, serta jaringan dan

126 John Rawls, Political Liberalism, (expanded edition, New York: Columbia University Press, 2003), hlm. 441.127 Rawls, hlm. 442128 Rawls, hlm. 443-444129 Rawls, hlm. 442130 Jurgen Habermas, “Reconciliation Through the Public Use of Reason: Remarks on John Rawls’ Political Liberalism.” The Journal of Philosophy, 92 (March 1995), hlm. 118-119.

Page 57: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

proses komunikasi lain dalam civil society termasuk media massa merupakan

arena yang penting bagi pengembangan dan pengungkapan public reason.131

Konsep yang saya gunakan lebih dekat pada konsep Habermas. Saya

memahami public reason sebagai sebuah ruang diskusi dan debat yang

benar-benar berakar pada civil society dan ditandai dengan adanya proses

kontestasi sejumlah aktor yang berbeda. Apapun dasar dan motivasi

pandangan seseorang, apakah itu konsepsi politik atau doktrin komprehensif,

untuk mengajukan sebuah kebijakan publik dan undang-undang,

pandangannya harus dijustifikasi oleh alasan-alasan yang bisa difahami oleh

warga negara lain dan diperdebatkan di ruang publik. Aturan ini bukan untuk

mengontrol motivasi terdalam seseorang untuk melakukan atau

meninggalkan sesuatu karena hal itu mungkin masih berlanjut dalam

perbincangan dan refleksi privat, tetapi untuk mendorong terciptanya

konsensus publik seputar kebijakan publik dan undang-undang.

Seperti yang sudah didiskusikan dalam bab 3, kinerja public reason dalam

menegosiasikan peran agama dalam kebijakan publik dan negara harus

dilindungi oleh prinsip-prinsip konstitusionalisme, hak asasi manusia dan

kewarganegaraan. Penerapan prinsip-prinsip tersebut secara konsisten dan

terlembagakan bisa menjamin kemampuan seluruh warga negara untuk

berpartisipasi secara sejajar dan bebas dalam proses politik, dan melindungi

mereka dari diskriminasi berdasarkan agama, kepercayaan atau alasan

lainnya. Dengan perlindungan yang disediakan oleh jaring pengaman itu,

warga negara akan lebih mungkin memberikan kontribusi dalam

memformulasikan kebijakan publik dan undang-undang termasuk menolak

proposal kebijakan yang diajukan orang lain sesuai dengan persyaratan-

persyaratan public reason. Umat Islam dan umat agama lain bisa membuat

proposal kebijakan yang muncul dari kepercayaan yang mereka anut dan

diajukan kepada orang lain dengan menggunakan alasan-alasan yang bisa

diterima atau ditolak oleh mereka. Karena muslim bisa mengekspresikan

kepercayaan agamanya dalam proses politik dengan tetap tunduk pada

131 Thomas McCarthy, “Kantian Constructivism and Reconstructivism: Rawls and Habermas in Dialogue.” Ethics 105: 1 (October 1994), hlm. 49.

Page 58: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

jaring pengaman tersebut melalui cara ini, mereka akan lebih rela untuk

mendukung pembedaan antara negara dan politik yang memungkinkan

kontribusi seperti itu menjadi mungkin. Pada saat yang sama, realitas dan

kredibilitas pembedaan ini membuat upaya untuk memfasilitasi ekspresi

politik pandangan Islam menjadi mungkin tanpa harus berresiko menciptakan

negara teokratis yang totalitarian dengan sepenuhnya melebur negara pada

kehendak politik mayoritas penganut suatu agama atau elit penguasa.

Refleksi teoritis tentang bagaimana public reason beroperasi bukan berarti

bahwa konsep itu selalu jelas dan dapat dengan mudah diterapkan dalam

praktik. Kejelasan teoritis dan komitmen terhadap prinsip tersebut penting

untuk mengoreksi problem apapun yang muncul dalam praktiknya. Akses

warga negara terhadap debat public reason akan bervariasi; tergantung pada

status sosial dan ekonomi, pengalaman politik, dan kemampuan mereka

untuk memaksimalkan penggunaan sumber daya, membangun aliansi dan

melakukan hal lainnya. Namun faktor-faktor tersebut lebih baik dianggap

sebagai alasan untuk menerapkan prinsip tersebut secara adil dan inklusif,

daripada untuk mengabaikannya. Aktor-aktor yang termarginalisasikan dapat

menggunakan berbagai strategi untuk mengamankan pengaruh mereka

dalam proses pengambilan kebijakan. Sebagai contoh, kelompok yang

mendapatkan sumber daya atau pengaruh politik yang lebih besar bisa

mengambil posisi moderat atau selalu terbuka untuk melakukan kompromi

dalam mengakses public reason. Sebagai alternatif, kelompok-kelompok

tersebut bisa mendapatkan asistensi dari pengadilan atau institusi-institusi

negara yang lain untuk menjamin akses mereka pada prinsip-prinsip

konstitusi atau hak asasi manusia guna melengkapi terbatasnya sumber daya

atau pengaruh mereka. Dalam kasus kebijakan mengenai aborsi di Amerika

Serikat misalnya, organisasi-organisasi yang moderat bisa mempunyai akses

yang lebih besar pada kelompok pembuat kebijakan, namun kelompok yang

mempertahankan hak perempuan untuk memutuskan aborasi akhirnya

memenangkan keputusan pengadilan dalam kasus Roe melawan Wade pada

tahun 1973. Namun ini tidak berarti bahwa penentang klaim ini menyerah

dan mengabaikan posisi mereka begitu saja. Malah, kelompok-kelompok

tersebut menggunakan strategi-strategi yang berbeda termasuk berusaha

Page 59: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

merubah pembuatan kebijakan di level negara, daripada di tingkat

pemerintah federal karena mereka berharap bisa memberikan pengaruh

yang lebih besar pada level itu. Pertukaran strategi seperti itu akan mungkin

terjadi di masa yang akan datang selama orang masih berkepentingan

terhadap isu-isu tersebut.

Sekedar menyimpulkan, kontestasi dalam ruang public reason bisa dilihat

sebagai indikasi adanya keragamaan sosial dan keragaman pendapat dalam

masyarakat. Kontestasi seperti itu bisa juga mencerminkan semakin

tingginya akses individu dan kelompok terhadap public reason melalui

proses-proses demokratisasi, pengembangan komunikasi dan lain

sebagainya. Ketika akses terhadap public reason semakin terbuka dan adil,

pilihan-pilihan kebijakan publik lebih mungkin untuk diperdebatkan dan

dinegosiasikan daripada dipaksakan pelaksanaannya oleh mayoritas atau elit

penguasa. Konsensus terhadap pilihan-pilihan kebijakan publik yang bisa

dicapai melalui proses ini, lebih mungkin untuk mempromosikan legitimasi

negara di kalangan masyarakatnya, sehingga stabilitas politik di negeri itu

terus meningkat. Dengan memberikan apreasasi yang lebih besar terhadap

proses public reason, penganut agama bisa memiliki kesempatan untuk

mempromosikan kepercayaan agama mereka melaui proses-proses politik

reguler tanpa mengancam keberadaan kelompok penganut agama lain.

Keseimbangan ini sangat mungkin bisa dicapai karena pandangan-

pandangan keagamaan tidak akan langsung diberlakukan melalui kekuasaan

kursif negara, melainkan harus melalui proses kontestasi politik yang

transparan, adil dan tunduk pada prinsip-prinsip hak asasi manusia dan

konstitusionalisme yang sudah dibicarakan di muka. Sebagai analisis final,

kepercayaan agama tidak boleh diistimewakan maupun ditindas, karena

dengan cara ini hubungan antara negara dan agama akan menjadi lebih

dinamis dan hasilnya lebih bisa diidentifikasi.

3. Peran aksidental negara dalam mempengaruhi kebijakan publik

Agama (baik digunakan sebagai istilah untuk menyebut kelompok-kelompok

terorganisir, komunitas iman dan ritual, atau domain pandangan dan

kepercayaan individu) merupakan kekuatan yang penting yang bisa bersaing

Page 60: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

dalam ruang public reason untuk mempengaruhi sebuah kebijakan. Dalam

perkembangan dan perubahan sosial dan kebudayaan di negara-negara

Barat dalam beberapa dekade terakhir ini, perhatian individu terhadap isu-isu

kualitas hidup, kebijakan pendidikan, aborsi dan kebijakan lain mengenai

keluarga, kebebasan beragama, imigrasi, dan kebijakan naturalisasi, sama

besarnya dengan perhatian mereka terhadap kebijakan publik.132 Dengan

kata lain, public reason sebagai logika dan proses semakin meniadakan

dikotomi antara ruang eksistensi sosial yang publik dan privat, sehingga

pemisahan agama dan politik pun semakin sulit. Namun peran agama dalam

ruang public reason yang kompetitif tidak bisa dilihat sebagai sudah

ditentukan dan tetap, karena hasil kebijakan seperti ini tergantung pada

berbagai faktor.

Kemampuan aktor keagamaan untuk mempengaruhi kebijakan publik

dipengaruhi oleh hubungan historis antara negara dan agama serta kondisi

aktual seperti urbanisasi, perubahan demografis, tingkat religiusitas dalam

masyarakat serta hubungan antara komunitas keagamaan. Lagipula, karena

faktor-faktor tersebut cenderung untuk beralih dan berubah terus, akibat dan

pengaruh agama terhadap kebijakan publik cenderung beradaptasi dengan

perubahan-perubahan tersebut. Contohnya, pada paruh kedua abad ke-20,

Gereja Katolik Perancis tidak menolak reformasi inovatif kebijakan mengenai

keluarga walaupun ia memiliki pandangan yang lebih tradisional terhadap

nilai-nilai sosial dan peran gender daripada kelompok masyarakat lain yang

memiliki tingkat religiusitas yang lebih rendah. Komitmen kuat negara

tersebut terhadap konsep laicite cenderung menghambat kemampuan Gereja

Katolik untuk melakukan manuver sebagai sebuah kelompok kepentingan.

Keterlibatan Gereja dalam persoalan-persoalan yang berkaitan dengan

keluarga juga dibatasi di Jerman dan Inggris karena adanya kombinasi antara

otoritas tak penuh (partial establishment)agama resmi dan tingkat

religiusitas masyarakatnya yang moderat. Sehingga, gereja cenderung

bertindak sebagai institusi daripada sebagai sebuah kelompok kepentingan

dalam persoalan-persoalan yang menyangkut keluarga. Tetapi, meskipun

132 Michael Minkenberg, “The Policy Impact of Church-State Relations: Family Policy and Abortion in Britain, France and Germany.” West European Politics, 26: 3 (2003), 205.

Page 61: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

gereja tidak dianggap sebagai agama resmi negara, aktor-aktor keagamaan

mempunyai lebih banyak ruang untuk melakukan manuver dalam politik

sehingga kemampuan mereka untuk mempengaruhi kebijakan publik

semakin meningkat seperti yang terlihat dalam kasus Amerika Serikat.133

Peristiwa-peristiwa baru yang terjadi di Amerika juga mengindikasikan peran

orientasi ideologis pemerintahan Amerika saat ini dalam mengalihkan atau

bahkan mentransformasikan istilah dan dinamika peran agama dalam public

reason.

Sebagai contoh, kebijakan-kebijakan pemerintahan Presiden George W. Bush

mengenai “inisiatif sosial berbasis keagamaan” bisa dilihat sebagai

rekonfigurasi ruang public reason dengan mengizinkan agama, atau lebih

tepatnya, kelompok agama tertentu untuk memberikan pengaruh yang lebih

besar dalam kehidupan publik dengan mendapatkan kesempatan yang lebih

besar untuk mendapatkan pendanaan dari negara. Segara setelah menjabat

presiden untuk pertama kalinya, George W. Bush mengeluarkan beberapa

kebijakan eksekutif untuk mendirikan Kantor Negara khusus (White House

Office) yang menangani “inisiatif sosial berbasis agama dan komunitas”

sebagai salah satu usaha untuk menghilangkan hambatan-hambatan

pendanaan berbasis agama. Tapi inisiatif-inisiatif tersebut mendapatkan

respon serius dari komunitas masyarakat asli Amerika yang mempertanyakan

apakah mereka akan mendapatkan manfaat dari kebijakan-kebijakan

tersebut.134 Ini jelas mengindikasikan bahwa istilah “agama” dalam kebijakan

itu juga didefinsikan dalam pengertian yang terbatas, dan merefleksikan

pemahaman dan kepercayaan personal sang presiden terhadap agama.

Daftar agama yang dimiliki oleh pemerintahan Bush hanya terbatas pada

agama-agama monotheis yang cukup familiar keberadaannya dalam budaya

sekuler dan Agama Kristen di Amerika. Kelompok-kelompok tertentu seperti

The Nation of Islam tidak termasuk dalam daftar.135 Meskipun faktor-faktor

tersebut cenderung untuk menegaskan domain public reason dan partisipasi

133 Minkenberg 209-210134 Mary C. Churchill, “In Bad Faith? Possibilities and Perils in the Age of Faith- Based Initiatives.” Journal of the American Academy of Religion, 70:4 (2002), 844, 845.135 Rita Nakashima Brock, “The Fiction of Church and State Separation: A Proposal for Greater Freedom of Religion”, Journal of the American Academy of Religion, 70: 4 (December 2002), 856.

Page 62: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

beberapa kelompok di dalamnya, namun prosesnya akan terkoreksi dengan

sendirinya bila diaplikasikan dalam kerangka jaring pengaman yang sudah

disebutkan diatas.

Negara memang mempunyai potensi untuk beroperasi sebagai diskursus

yang hegemonik dalam public reason, tapi kekuatan-kekuatan non-agama

atau ideologi sebetulnya juga memiliki potensi yang sama. Pemisahan antara

agama dan negara bisa dikompromikan bila ajaran-ajaran agama tertentu,

seperti yang sudah diinterpretasikan oleh otoritas keagamaan atau elit

penguasa, dibuat sebagai kondisi awal untuk meciptakan partisipasi publik

dalam public reason. Hal yang sama bisa dilakukan dari perspektif nasionalis

atau sekular. Hal seperti ini terlihat dalam kontroversi yang baru-baru ini

terjadi di Perancis mengenai larangan pemakaian jilbab pada siswi-siswi

muslim di sekolah. Keputusan untuk melarang pemakaian jilbab atas nama

sekularisme mencerminkan kecendrungan pemerintah Perancis untuk

memberikan prioritas pada proses asimiliasi imigran ke dalam kerangka

budaya kewarganegaraan Perancis. Keputusan ini merupakan kebijakan yang

bertujuan untuk mengintegrasikan berbagai identitas kultural dan etnis ke

dalam satu kerangka multikulturalisme nasional yang lazim berlaku di

negara-negara Eropa Utara dan Kanada. Konsep sekularisme Perancis yang

diperkenalkan disini berfungsi sebagai instrumen untuk memberlakukan

keseragaman kultural di kalangan warga negara Perancis, terutama di

kalangan imigran.

Debat mengenai jilbab dan sekularisme di Perancis harus ditempatkan dalam

kerangka hubungan post-kolonial yang lebih luas, termasuk hubungan antara

Perancis dan koloninya yang masih ambivalen, dan juga dalam konteks

persepsi stereotype dan ketakutan mereka terhadap Islam dan muslim.136

Seringkali muslim yang menjadi korban rasisme dan diskriminasi, dianggap

dan diperlakukan sebagai orang luar dalam masyarakat Perancis, padahal

banyak dari mereka yang memiliki kewarganegaraan Perancis.137 Kasus ini

136 Jane Freedman, “Secularism as a Barrier to Integration? The French Dilemma.” International Migration, 42: 3 (2004), 6.137 Freedman 8

Page 63: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

menimbulkan pertanyaan mengenai seberapa besar representasi dan akses

muslim dalam public reason di institusi negara dan non-negara Perancis.

Kasus Perancis juga mengilustrasikan bagaimana sekularisme bisa

dimunculkan sebagai ide mengenai budaya nasional yang hegemonik untuk

meminggirkan identitas-identitas budaya lain, sehingga sebetulnya

melanggar persyaratan public reason itu sendiri. Peminggiran individu atau

kelompok tertentu dari cakupan public reason karena alasan nasionalisme,

ideologi sekuler atau agama selalu tidak memuaskan. Dengan kata lain,

kasus Perancis menggambarkan bahwa bahwa prinsip-prinsip sekularisme itu

bisa dilanggar dengan alasan untuk melindunginya. Kesimpulan ini tentu

saja bisa diperdebatkan lagi, namun penting untuk dicatat, public reason

tidak akan terlaksana tanpa perlindungan terhadap prinsip-prinsip jaring

pengaman yang dibutuhkannya.

Sebagaimana yang sudah dicatat tadi, sekularisme sebagai pemisahan

antara agama dan negara adalah dasar atau kondisi minimal bagi terciptanya

partisipasi publik dalam ruang public reason. Namun hubungan antara

sekularisme dan agama bisa menjadi lebih signifikan dalam domain public

reason itu sendiri. Agama mungkin menyediakan kerangka yang penting bagi

beberapa aktor sosial untuk mengemukakan klaim-klaimnya, selama

kerangka tersebut diformulasikan dalam argumentasi yang bisa diakses

secara publik. Hubungan antara agama dan sekularisme bisa juga saling

menguatkan dalam batasan berikut ini. Sekularisme membutuhkan agama

untuk menyediakan sumber panduan moral yang bisa diterima secara luas

oleh sebuah komunitas politik dan juga untuk memenuhi dan mengatur

kebutuhan-kebutuhan non politis ummat beragama yang ada dalam

komunitas tersebut. Sebaliknya, agama juga membutuhkan sekularisme

untuk memediasi hubungan antara komunitas yang berbeda (baik komunitas

agama, komunitas anti agama atau non-agama) yang memiliki ruang politik

atau ruang public reason yang sama. Sinergi yang saling menguntungkan ini

bisa dijelaskan dengan merujuk pada karakter penting sekularisme.

Sekularisme sebagai pemisahan agama dan negara dicirikan dengan satu

batasan, yaitu ia harus membatasi isi normatifnya pada batas minimum bila

Page 64: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

ingin mencapai tujuannya untuk melindungi pluralisme politik dalam

masyarakat yang heterogen dan menjamin keberadaan ruang public reason

yang menjadi tempat untuk tumbuhnya pluralisme semacam itu. Dengan

kata lain sekularisme bisa menyatukan berbagai komunitas iman dan ritual

yang berbeda menjadi satu komunitas politik bila klaim ia membuat klaim

moral yang minimal. Benar bahwa semua variasi sekularisme mengharuskan

adanya etos sipil (civic ethos) yang berdasarkan pemahaman tertentu

mengenai hubungan individu dengan komunitasnya. Etos tersebut bisa

sangat kompleks dan mengakar untuk menyelesaikan beberapa isu moral

yang dihadapi oleh masyarakat. Namun kemampuan sekularisme untuk

mencapai tingkat konsensus tertentu yang dibutuhkan untuk menumbuhkan

dan mempertahankan stabilitas politik dalam masyarakat yang beragama

majemuk berarti bahwa sekularisme tidak selalu dapat menangani masalah-

masalah etis dan moral yang fundamental yang sering tidak disepakati di

kalangan komunitas yang berbeda tersebut.

Tak ada varian sekularisme, yang diketahui masyarakat manusia saat ini,

yang mampu untuk menempati posisi agama atau menyediakan pondasi

lintas-budaya yang berlaku sebagai norma universal hak asasi manusia.

Bahkan, umat beragama membutuhkan justifikasi agama untuk sekularisme

itu sendiri. Saya tidak hendak mengatakan bahwa keterlibatan agama selalu

penting bagi sekularisme untuk bisa diterima dimana dan kapanpun, namun

agama dibutuhkan untuk meraih perhatian umatnya, yang saat ini ternyata

menjadi mayoritas penduduk dunia ini.

Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah bahwa sekularisme tidak mampu

untuk menyelesaikan tuntutan dan penolakan yang mungkin dimiliki oleh

umat beragama terhadap salah satu prinsip pemerintahan sekular. Diskursus

sekuler murni bisa menghormati agama secara umum, namun

kemampuannya untuk membantah justifikasi keagamaan untuk beberapa

kebijakan nampaknya tidak mungkin bisa meyakinkan ymat beragama.

Pengakuan terhadap kesetaraan status warga negara non-muslim tidak

menarik bagi umat Islam tanpa adanya justifikasi ajaran agama Islam

terhadap salah satu prinsipnya. Dengan kata lain, agar sekularisme kondusif

Page 65: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

bagi terciptanya pengertian lintas agama, pluralisme dan mendukung ruang

public reason, maka ia harus mengurangi kapasitasnya untuk melegitimasi

dirinya sendiri sebagai prinsip universal yang bisa berlaku tanpa merujuk

pada sumber moral apapun.

Sekularisme bisa menghalangi pemberlakukan langsung pemahaman doktrin

agama sebagai kebijakan negara, namun ia tidak memadai untuk memenuhi

kebutuhan umat beragama dalam mengekspresikan implikasi moral

kepercayaannya dalam ruang publik. Karena itulah, kenapa saya

menekankan bahwa sekularisme sebagai pemisahan negara dan agama

tetap diperlukan, namun tidak memadai jika tidak mengakui dan mengatur

peran politik agama. Kedua elemen besar dalam definisi sekularisme ini bisa

ditingkatkan dengan mengakui adanya pemahaman kontekstual terhadap

tujuan dan fungsi pemerintahan sekuler di setiap tempat. Disinilah agama

dapat memainkan peranan yang amat penting. Sekularisme bisa hanya

dianggap sebagai sesuatu yang berlaku temporer oleh umat beragama

kecuali jika mereka juga bisa meyakini bahwa sekularisme itu konsisten

dengan (atau paling tidak diungkapkan secara implisit dan ditetapkan dalam)

doktrin-doktrin agama.

Persyaratan ini tidak sesulit yang terlihat, dikotomi untuk memilih salah satu

di antara agama dan sekularisme sudah gagal, karena konsep sekuler tidak

bisa berfungsi tanpa adanya ide agama.138 Politik dan agama tidak bisa

beroperasi dalam realitas yang berbeda, salah satunya akan terus

memberikan informasi atau diberikan informasi oleh yang lain. Kekuatan

konsep sekuler untuk memotivasi ummat beragama secara langsung amat

terbatas karena mereka dipenuhi oleh dalam konsep agama yang memiliki

kekuatan untuk melakukan proses cek and balance. Seperti yang

diungkapkan oleh Harold Berman bahwa “orang tidak akan memberikan

dukungan mereka pada sistem politik dan ekonomi atau bahkan pada filsafat,

kecuali jika sistem-sistem itu mencerminkan kebenaran yang lebih tinggi dan

suci. Orang akan mengabaikan institusi yang tampak tidak berkaitan dengan

138 Talal Asad, “Religion, Nation-State, Secularism,” in Nation and Religion, ed. Peter van der Veer and Hartmut Lehmann (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1999), 192.

Page 66: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

realitas transenden yang mereka percayai berhubungan dengan seluruh

keberadaan mereka, bukan hanya apa yang mereka percayai dalam benak

mereka.”139 Sebagai analisis final, saya nyatakan bahwa sekularisme tidak

bisa memotivasi umat beragama untuk memegang salah satu prinsipnya

tanpa melibatkan ajaran agamanya. Namun agama juga membutuhkan

sekularisme untuk menjamin keberadaan ruang yang aman dan valid bagi

praktik dan kepercayaannya. Sebagaimana yang sudah saya coba jelaskan,

hubungan antara agama dan sekularisme dengan demikian harus sinergis

dan saling mendukung, bukan saling bermusuhan dan konfrontatif.140

Penutup

Kilas balik pengalaman sekularisme Barat yang dikemukakan dalam bab ini

ditujukan untuk menghalau persepsi umum bahwa sekularisme berarti

peminggiran agama dari kehidupan publik dan politik. Baik negara maupun

otoritas atau lembaga keagamaan bisa mengambil pendekatan ekslusif yang

pasti pada yang lain. padahal, keduanya saling membutuhkan dalam

menghadapi berbagai isu yang sama dalam konteks sosial yang sama pula.

Nikki Kaddie menyimpulkan relevansi pengalaman Barat ini untuk

masyarakat Islam saat ini, “sekularisme di wilayah Barat manapun adalah

sesuatu yang sederhana dan sudah demikian adanya. Merebaknya praktik

dan kepercayaan sekular di Eropa dan Amerika Serikat telah menimbulkan

perubahan yang lambat dan debat yang kadang tajam namun berkelanjutan.

Akibatnya, merupakan sebuah kecerobohan untuk mengharapkan bahwa

reformasi kalangan sekuler bisa dilaksanakan lebih mudah di Timur Tengah

atau Asia Selatan.”141 Meskipun pengalaman setiap negara dan masyarakat

pasti sangat kontekstual, bahkan terlihat ambigu dan berubah-ubah di

negara-negara Barat dan di tempat-tempat lain, namun refleksi komparatif

tetap relevan dan berguna untuk masyarakat Islam saat ini untuk berjuang

menghadapi isu yang sama.

139 Harold Berman, The Interaction of Law and Religion (Nashville, TN: Abingdon, 1974), 73.140 Abdullahi Ahmed An-Na`im, “The Interdependence of Religion, Secularism, and Human Rights,” Common Knowledge, 11:1 (Winter 2005).141 Nikki Keddie, “Secularism and its discontents.” Daedalus 2003 (3), 20.

Page 67: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

Masalah lain yang berkaitan dengan hubungan agama dan negara yang

harus dihadapi oleh masyarakat manapun saat ini adalah masalah status

konstitusi dan hukum agama. Seperti yang sudah kita lihat, sekularisme

memungkinkan adanya berbagai macam variasi pilihan status agama dalam

undang-undang dasar. Salah satunya dengan mengizinkan para pemuka

agama berpartisipasi dalam institusi-institusi negara atau badan legisalatif

dan membiarkan mereka berusaha untuk mempromosikan nilai-nilai agama

mereka seperti anggota legislatif terpilih lain. Kemungkinan lain yang

ditawarkan oleh pengalaman negara-negara Eropa adalah sistem

kesepakatan bilateral khusus antara negara dan entitas-entitas keagamaan

seperti di Spanyol dan Itali saat ini. Ide ini bisa menjadi alternatif ketiga dari

sistem teokrasi atau netralitas negara yang ketat. Sistem ini memungkinkan

adanya fleksibilitas dalam merekonsiliasikan klaim-klaim yang saling

bertentangan dan menjamin keberadaan kelompok minoritas atau sekte

dalam Islam. Realitas kemajemukan agama yang dihadapi masyarakat Islam

bisa juga dihadapi dengan berbagai mekanisme yang mempromosikan

pluralisme yang genuine dan penerimaan terhadap perbedaan agama. Bisa

juga dilakukan dengan memberikan ketentuan yang berbeda untuk beberapa

daerah di sebuah negara seperti yang tampak dalam kasus daerah Alsace

Lorraine di Perancis atau dengan menyamakan aturan bagi seluruh daerah di

sebuah negara. Ketegangan yang terjadi saat ini antara pengalaman

masyarakat Islam pra-kolonial dan tuntutan untuk mendapatkan kedaulatan

teritorial bisa diselesaikan melalui pemberlakukan aturan yang berbeda

untuk beberapa daerah di satu negara, agar kerjasama atau akomodasi

antara institusi agama dan negara dapat berlangsung lebih dekat di

beberapa daerah. Namun skema seperti itu pasti tidak konsisten dengan

persyaratan prinsip-prinsip konstitusionalisme, HAM dan kesetaraan warga

negara yang sudah kita diskusikan dalam bab 3.

Kesulitan dihadapi oleh negara-negara Barat dalam mengatur hubungan

antara agama dan negara dalam bidang pendidikan telah memunculkan

berbagai macam pilihan kebijakan dan mekanisme yang mungkin bisa

berguna bagi masyarakat Islam. Kesamaan dan perbedaan antara tradisi

Katolik dan Islam, serta antara masyarakat Barat dan Islam bisa berguna

Page 68: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

dalam konteks perbicangan ini. Sebagai contoh, Amerika dan Perancis

mengambil pendekatan yang berbeda dalam menerapkan doktrin pemisahan

agama dan negara di negaranya. Pendanaan negara bagi pendidikan agama

atau lembaga pendidikan agama masih menjadi isu kontriversial di kedua

negara itu. Materi pendidikan dan kontrol terhadapnya juga masih menjadi

bahan persaingan antara pihak pemerintah yang liberal dan sekuler dengan

gereja Katolik.

Masalah ini juga bisa merupakan tantangan bagi semua masyarakat Islam

dan bisa menimbulkan berbagai masalah krusial. Sebagai contoh masalah

status pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri, diperbolehkan saja atau

diharuskan? Bagaimana design pendidikan untuk siswa non-muslim atau

siswa syai’ah yang belajar di lingkungan mayoritas sunni atau sebaliknya?

Bila pendidikan agama diperolehkan di sekolah-sekolah negeri, haruskah

negara membayar gaji guru-guru dari komunitas agama yang berbeda dan

dengan demikian mempunyai hak untuk memberikan pendapat dalam soal

materi dan metode pendidikan agama? apa prinsip yang mengatur peran

negara dalam pendidikan swasta? Terlepas dari kenyataan apakah negara

memberikan subsidi biaya pendidikan di sekolah swasta atau komunitas

agama sendirilah yang menanggung seluruh pembiayaan, haruskah negara

memiliki kekuasaan untuk menjamin keberadaan nilai-nilai sipil seperti

kesetaraan dan non diskriminasi dalam kurikulum sekolah tersebut? Bisakah

aparatur negara tetap bersikap netral dan tidak memaksakan kepercayaan

yang dianutnya atau kepercayaan kelompok mayoritas dalam melakukan

pengawasan seperti itu? Sebagai contoh, sekolah-sekolah tradisional Islam

sering memiliki peran penting dalam pendidikan dan sosial terutama di

daerah-daerah yang kesempatan pendidikannya terbatas atau bagi siswa

yang kurang memiliki akses terhadap pendidikan. Namun otonomi sekolah

semacam itu juga bisa menimbulkan masalah serius, karena kadang-kadang

kurikulum yang mereka miliki cenderung menganggap enteng prinsip-prinsip

konstitusionalisme, hak asasi manusia dan kesetaraan warga negara.

Masalah hubungan agama dan negara juga berlaku pada persoalan keuangan

dan organisasi keagamaan. Jika ajaran-ajaran Islam tidak dibatasi

Page 69: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

penerapannya hanya pada persoalan-pesoalan privat, apa kewajiban yang

harus negara penuhi menyangkut gaji ulama dan ilmuwan Islam, biaya

pengurusan masjid dan bangunan keagamaan lain serta pajak? Pertanyaan-

pertanyaan seperti itu juga harus dipertimbangkan dalam konteks

perbincangan mengenai peran pemimpin dan institusi agama yang kuat

dalam pentas politik dan kemampuan mereka untuk menentang kebijakan

negara tentang masalah moral dan sosial. Dengan demikian masyarakat

Islam harus menemukan cara sendiri untuk menegosiasikan potensi konflik

yang mungkin muncul di antara jaminan kebebasan mendirikan asosiasi

keagamaan dan mengekspresikan keberagamaan dengan perlindungan dan

promosi nilai-nilai hak asasi manusia seperti hak-hak perempuan dan

masyarakat agama minoritas.

Akhirnya saya menyimpulkan bahwa ada paradoks permanen dalam

persaingan antara peran otonomi dan otoritas agama di satu sisi dengan

otoritas politik, kekuasaan hukum dan negara di pihak lain. Paradoks ini

dipicu oleh karakter dasar kedua institusi ini. di satu sisi, komunitas-

komunitas agama membutuhkan kerjasama negara untuk melaksanakan

misinya. Namun betapapun kaya dan terorganisirnya sebuah komunitas

agama, ia tidak bisa menghindari konflik dengan negara karena keduanya

berusaha untuk mempengaruhi, bila tidak mengontrol, perilaku warga negara

yang tinggal di satu wilayah yang sama. Di pihak lain, negara harus

sedikitnya mengontrol institusi-institusi keagamaan untuk membatasi cara-

cara mereka mempengaruhi dan membentuk perilaku publik penganutnya.

Dengan kata lain, bahkan jika negara tidak diharuskan atau diperbolehkan

untuk memberikan dukungan material dan administratif bagi komunitas-

komunitas agama yang kaya dan teroganisir, ia tetap bisa memberikan

mereka kebebasan untuk menyebarkan ajarannya atau terlibat dalam

aktvitas yang mereka lakukan dalam kerangka kebebasan beragama dan

memeluk kepercayaan.

Pendekatan yang saya coba klarifikasi dan perdalam dalam buku ini

dimaksudkan untuk mengenali paradoks permanen ini dan kemudian

mencari cara untuk memediasi konsekuensinya melalui seperangkat

Page 70: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

mekanisme, daripada memaksakan sebuah solusi akhir yang jelas. Sebagai

permulaan, paradoks ini mesti dikenali melalui komitmen yang konsisten dan

jelas terhadap kemungkinan untuk memadukan netralitas negara terhadap

agama dengan tetap menerima peran agama dalam kehidupan publik

masyarakat. Sebagaimana yang sudah saya coba jelaskan dalam bab 2,

pemaduan seperti ini lebih mungkin cocok dengan sejarah masyarakat Islam

dan lebih konsisten dengan karakter dasar syari’ah daripada ide postkolonial

mengenai negara Islam yang memberlakukan syari’ah sebagai hukum dan

kebijakan resmi negara. Namun, kombinasi yang sulit ini tidak bisa

dipertahankan dalam konteks negara modern tanpa adanya kerangka politik

dan hukum yang jelas untuk memediasi ketegangan dan konflik yang pasti

muncul. Karena itulah, saya mengajukan prinsip-prinsip konstitusionalisme,

hak asasi manusia, dan kesetaraan status warga negara yang hanya bisa

berfungsi jika ada legitimasi religius dan kultural yang bisa memberikan

inspirasi bagi orang-orang untuk berpartisipasi dalam aksi politik dan hukum

yang berkelanjutan.

Dengan demikian, kita membutuhkan diskursus keislaman untuk

melegitimasi dan mengefektifkan strategi yang diperlukan untuk mengatur

peran publik Islam. Pada saat yang sama, diskursus itu juga tidak bisa

muncul atau efektif tanpa pengamanan dan stabilitas yang disediakan oleh

negara. Kesimpulannya, jelas bahwa hubungan antara agama dan negara

merefleksikan sebuah paradoks yang permanen, hingga memisahkan

keduanya jelas diperlukan meskipun dengan tetap mengakui hubungan

organik antara agama dan politik. Saya bisa terus melanjutkan perbincangan

mengenai paradoks yang beragam ini, tapi tujuannya harus untuk

membangun sebuah teori yang bagus yang bisa memfasilitasi dan

memungkinkan terwujudnya aksi yang efektif. Kita harus mulai dengan apa

yang kita punya baik pada para level teoritis maupun level praksis agar bisa

berkembang menuju mediasi yang berkelanjutan. Nah, untuk mengklarifikasi

dan mengembangkan teori ini, saya akan mempertimbangkan pengalaman

masyarakat-masyarakat Islam di tiga negara: India, Turki dan Indonesia

untuk menggaris bawahi betapa sulitnya mempertahankan dan

mengembangkan kombinasi antara netralitas negara terhadap agama di satu

Page 71: Abdullahi ahmed an na'im ch4

©Abdullahi Ahmed An-Na`im

sisi dengan peran publik agama di pihak lain. Situasi-situasi tersebut perlu

dipertimbangkan untuk melihat apa yang tidak boleh dilakukan dan apa yang

harus dilakukan untuk menjamin masa depan syar’ah yang lebih baik dalam

masyarakat dan komunitas Islam di seluruh dunia.