Abdul Halim Mahmudi-fsh

102
1 1 KONSEP MASLAHAH MURSALAH PADA KASUS PRESIDEN WANITA MENURUT IMAM MALIK DAN IMAM NAJMUDDIN AL-THUFI SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh: ABDUL HALIM MAHMUDI NIM: 104043101305 KONSENTRASI PERBANDINGAN FIQH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H/ 2009 M

Transcript of Abdul Halim Mahmudi-fsh

  • 11

    KONSEP MASLAHAH MURSALAH PADA KASUSPRESIDEN WANITA MENURUT IMAM MALIK

    DAN IMAM NAJMUDDIN AL-THUFI

    SKRIPSIDiajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

    Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat MemperolehGelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

    Oleh:ABDUL HALIM MAHMUDI

    NIM: 104043101305

    KONSENTRASI PERBANDINGAN FIQHPROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

    FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUMUNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

    SYARIF HIDAYATULLAHJAKARTA

    1430 H/ 2009 M

  • 22

    KONSEP MASLAHAH MURSALAH PADA KASUSPRESIDEN WANITA MENURUT IMAM MALIK

    DAN IMAM NAJMUDDIN AL-THUFI

    SKRIPSIDiajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

    Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat MemperolehGelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

    Oleh:

    ABDUL HALIM MAHMUDINIM: 104043101305

    Pembimbing:

    Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, MA.,SH.,MM.NIP. 150 210 422

    KONSENTRASI PERBANDINGAN FIQHPROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

    FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUMUNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

    SYARIF HIDAYATULLAHJAKARTA

    1430 H/ 2009 M

  • 33

    LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

    Skripsi berjudul KONSEP MASLAHAH MURSALAH PADA KASUSPRESIDEN WANITA MENURUT IMAM MALIK DAN IMAM NAJAMUDDIN

    AL-THUFI telah diujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Syariah dan HukumUniversitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 03 Maret2009 M yang bertepatan dengan 06 Rabiul Awwal 1430 H. Skripsi ini telah diterimasebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) padaProgram Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH) Konsentrasi PerbandinganMazhab Fiqh (PMF).

    03 Maret 2009 M06 Rabiul Awwal 1430 H

    Mengesahkan,

    Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

    Prof. DR.H.Muhammad Amin Suma,SH.,MA.,MM.NIP. 150 210 442

    Panitia Ujian1. Ketua : Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, MA.,SH.,MM. (

    .............................. )NIP. 150 210 422

    2. Sekretaris : Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag. (.............................. )

    NIP. 150 290 1593. Pembimbing: Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma,SH.,MA.,MM. (

    .............................. )NIP. 150 210 442

    Jakarta,

  • 44

    4. Penguji I : H. Abd. Wahab Abd Muhaimin, Lc, MA. (.............................. )

    NIP. 150 238 7745. Penguji II : Asmawi, M.Ag. (

    .............................. )NIP. 150 282 394

    LEMBAR PERNYATAAN

    Dengan ini saya menyatakan bahwa:

    1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya diajukan untuk memenuhi salah

    satu persyaratan memperoleh gelar strata I di Universitas Islam Negeri UIN

    Syarif Hidayatullah Jakarta.

    2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

    sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta.

    3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli, saya

    bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri UIN

    Syarif Hidayatullah Jakarta.

    03 Maret 2009 M06 Rabiul Awwal 1430 H

    Abdul Halim Mahmudi

    Jakarta,

  • 55

    KATA PENGANTAR

    Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt., atas segala rahmat,

    hidayah, dan inayah-Nya yang telah terlimpahkan, sehingga penulisan skripsi ini

    selesai, berjalan dengan baik, sesuai dengan waktunya. Salawat serta salam semoga

    tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw., hamba Allah pilihan yang telah

    diutus untuk mengangkat derajat manusia dengan ilmu pengetahuan, amal dan takwa.

    Dari relung hati yang paling dalam penulis menyadari, bahwa suksesnya

    penulisan skripsi ini tidaklah begitu saja dapat terselesaikan dengan mudah, dan

    bukan semata-mata atas usaha dan perjuangan penulis sendiri, namun juga karena

    bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis menghaturkan

    ucapan terima kasih terutama sekali kepada Bapak/Ibu:

    1. Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., Dekan Fakultas

    Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,

    sekaligus Dosen Pembimbing, yang telah memberikan perhatian penuh,

    bimbingan, serta motivasi yang besar kepada penulis selama penulisan skripsi ini.

    2. Dr. KH. Ahmad Mukri Aji., MA.,MH. dan Bapak Dr. Muhammad Taufiqi,

    M.Ag., masing-masing Ketua dan Sekretaris Program Studi Perbandingan

    Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri

    Syarif Hidayatullah Jakarta.

  • 66

    3. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif

    Hidayatullah Jakarta, yang dengan penuh keikhlasan dan dedikasi yang tinggi

    telah mencurahkan ilmu pengetahuan dan pengalaman hidupnya yang perlu

    dicontoh oleh penulis selama masa studi.

    4. Segenap pengelola Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

    Perpustakaan Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, serta Perpustakaan

    Umum Iman Jama, yang telah memberikan fasilitas yang terbaik kepada penulis

    untuk mencari dan mengumpulkan data.

    5. Ayahanda Dr. KH. Ahmad Mukri Aji, MA.,MH. dan ibunda Hj. Siti Manis

    Falahiyah, yang sangat penulis hormati dan sayangi, yang telah memberikan

    curahan kasih, dukungan, dan motivasi dengan tulus ikhlas, sejak penulis di masa

    balita hingga penulis menjalani pendidikan di Perguruan Tinggi terutama dalam

    penyelesaian skripsi ini. Semoga Allah swt. selalu memberikan limpahan rahmat

    dan kasih sayang-Nya kepada keduanya. Amin.

    6. Kakakku penulis tercinta, Syarifah Gustiawati Mukri, SHI.,MEI., dan H. Nur

    Rohim Yunus, SHI., LLM., M.Phil. serta adik-adik penulis Ahmad Sofwan Fauzi,

    dan Ahmad Farhan Habib yang selalu menemani, memotivasi dan membantu

    penulis dalam penulisan skripsi ini.

    7. Adinda Latifa Hanum, dengan tulus hati dan ikhlas membantu dan menemani

    penulis dalam suka dan duka. Terimakasih atas segalanya, semoga Allah

    membalas segala amal shaleh yang telah diberikan.

  • 77

    8. Para dewan guru Yayasan Pendidikan Islam An-Naimuniyyah (YAPIA)

    Darunnaim, Lembaga Pendidikan Al-Quran (LPQ) Nurul Hikmah, Ikatan Guru

    Taman Al-Quran (IGTA) Kec. Parung, Persatuan Pemuda Parung Riyadhusy

    Syabaab, Pengajian Pemuda PERPUNJAS yang telah banyak membantu

    menyemangati penulis.

    9. Keluarga Besar FCC@Net dan Farhan Copy Center (Ayud, Fa2t, Zie, Noeng2,

    Nani, Aldy, Dian S.) yang telah membantu penulis dalam penyediaan sarana dan

    prasarana, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

    10. Rekan-rekan Tim Debat Bahasa Arab Tingkat ASEAN Tahun 2007 (Hisnu

    Shobar, Lesmi Cahyani, Devita, Fajriati El-Jabhati, Furqon, Niwwari) Semoga

    prestasi yang kita raih bermanfaat bagi kita semua.

    11. Seluruh Ikhwani dan Akhwati fillah. Khususunya Edi Sumantri, Mukhtar Wijaya,

    Dani Arsyad, Arif Rahman, Hidayatullah, dsb. semoga kebersamaan kita akan

    tetap terjaga.

    12. Rekan-rekan mahasiswa dan mahasiswi Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum,

    konsentrasi Perbandingan Mazhab Fiqh (PMF) A & B serta Perbandingan Hukum

    PH angkatan 2004 Fakultas Syariah dan Hukum, Khususnya: Bdul, Vie, Inang,

    Tipah, Jefi, Domen, Anas, Dzue, Rusli, Bdur, Ndar, Habibie, Roby, Edi, Dien,

    Ntonk, Muly, nDre, Jay, thofe, Fahrul, Adi, Jay, Ram, Eeng, H. Abul, Chay,

    Syarki, Oneng, Delly, Romli, Fhitrie, Dayat, Indra, Dian S, dan semua teman

    yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah memberikan bantuan kepada

  • 88

    penulis dalam masa studi dan dalam menyelesaikan skripsi ini. Jazakumullah

    kairan katsiran.

    Akhirnya atas segala jasa dan bantuan semua pihak, baik berupa moril

    maupun materil, kiranya penulis tidak sanggup membalasnya, hanya kepada Allah

    swt. jualah, penulis serahkan untuk membalasnya dengan imbalan pahala yang

    berlipat ganda dan menjadikan sebagai amal jariah yang tidak pernah surut mengalir

    pahalanya. Sekali lagi penulis ucapkan jazakumullah kairan katsiran.

    Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berkah bagi penulis dan semua

    pihak, khususnya bagi para pembaca ataupun peneliti yang ingin mengkaji tulisan

    penulis ini. Amin.

    03 Maret 2009 M06 Rabiul Awwal 1430 H

    Penulis

    Jakarta

  • 99

    DAFTAR ISI

    KATA PENGANTAR.............................................................................. i

    DAFTAR ISI ............................................................................................ v

    BAB I : PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah ................................................. 1

    B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.............................. 9

    C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................... 10

    D. Metode Penelitian............................................................ 11

    E. Review Kajian Terda hulu .............................................. 12

    F. Sistematika Penulisan ..................................................... 13

    BAB II : PANDANGAN UMUM MASLAHAH MURSALAH

    A. Pengertian Maslahah Mursalah ...................................... 15

    B. Kehujjahan Maslahah Mursalah ..................................... 20

    C. Syarat-Syarat Keabsahan Maslahah Mursalah ............... 25

    BAB III : RIWAYAT HIDUP IMAM MALIK DAN IMAM

    NAJAMUDDIN AL-THUFI SERTA KONSEP MASLAHAH

    MURSALAHNYA

    A. Biografi Imam Malik bin Anas r.a. .................................. 28

    B. Biografi Imam al-Thufi .................................................... 42

    C. Sisi Persamaan dan Perbedaan Kedua Tokoh .................. 61

  • 10

    10

    BAB IV : APLIKASI MASLAHAH MURSALAH TERHADAP

    PRESIDEN WANITA MENURUT IMAM MALIK DAN IMAM

    AL-THUFI

    A. Prinsip-prinsip Hukum Islam dalam Pemilihan Kepala

    Negara ............................................................................. 65

    B. Presiden Wanita Perspektif Fiqh Siyasah ....................... 67

    C. Presiden Wanita Perspektif Imam Malik dan

    Imam Al-Thufi ............................................................... 77

    D. Persamaan dan Perbedaan Kedua Pendapat.................... 83

    BAB V : PENUTUP

    A. Kesimpulan ...................................................................... 91

    B. Saran-saran ....................................................................... 93

    DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 95

  • 11

    11

    BAB IPENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Tujuan utama disyariatkannya suatu hukum oleh Allah swt. - tidak ada

    maksud lain - kecuali hanya untuk merealisir dan mewujud nyatakan kemaslahatan

    bagi manusia di dunia dan kebahagian di akhirat kelak.1 Setiap perintah atau larangan

    yang telah dituangkan oleh perumusnya (al-Syari`) melalui teks-teks hukum (al-

    nusus al-tasyri`iyyah) dapat diketahui dan dipahami oleh para pelakunya (mukallaf)

    tentang dampak positifnya yang mengacu kepada kepentingan dan kebutuhan mereka

    itu sendiri.2 Kepentingan dan kebutuhan tersebut bertitik tolak kepada tiga kategori

    tujuan syari`at (maqasid al-syari`ah) berdasarkan urutan prioritasnya, yaitu:

    daruriyyat, hajjiyyat, dan tahsiniyyat.3

    Dalam rangka mewujudkan eksistensi maqasid al-syari`ah pada diri setiap

    individu mukallaf, maka setiap tindakan mereka mesti berdasar kepada sumber-

    sumber pokok (al-masadir al-asliyyah), yaitu: al-Qur`an dan al-Sunnah.4 Di samping

    itu, dinamika perubahan sosial dan strukturnya dari masa ke masa terus berkembang

    dengan munculnya berbagai kasus dan perstiwa hukum yang jawabannya tidak

    terdapat secara tegas dan khusus dalam sumber pokok tersebut. Hal ini memerlukan

    1 Abu Ishak Al-Syatibi, al-Muwfaqt f usl al-Syari`ah, tahqq: Abdullah Darraz,(Beirut: Dar al-Fikr,t.th.), vol. II, h. 6.

    2 Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I`lm al-Muwaqqi`n, vol III, (Beirut: t.tp.,t.th.) h. 14.3 Abu Ishak Al-Syatibi, al-Muwfaqt, h.8.4 Muhammad Adib Salih, Masdir al-Tasyr` al-Islm wa Manhij al-Istimbt,

    (Damsyiq: Maktabah at-Ta`awuniyah, 1967), h. 437.

  • 12

    12

    metode lain untuk menjawab kasus hukum tersebut dengan menggunakan masadir al-

    far`iyyah antara lain melalui metode istihsan, istihsab, al-`urf, madzhab al-sahabi;

    dan maslahat al-mursalah.5

    Di dalam kitab suci al-Quran dan Hadis Nabi Muhammad saw., baik

    secara eksplisit maupun implisit, banyak sekali postulat yang menjelaskan bahwa

    tujuan Allah swt. menurunkan hukum syariat ke muka bumi adalah untuk

    mewujudkan kemaslahatan hidup bagi umat manusia dan menghindarkan mereka dari

    kerusakan. Kemaslahatan yang dimaksud bukan saja kemaslahatan duniawi, tetapi

    juga kemaslahatan ukhrawi atau dalam istilah Abu Ishaq al-Syatibi dalam kitabnya

    Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah: Li Maslih al-Ibd fi al-Ajil wa al-Ajl,

    artinya untuk kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.6

    Dalam konteks hukum Islam hal itu berarti hukum-hukum yang

    disyariatkan Allah melalui al-Quran dan Hadist bertujuan untuk menciptakan

    kemaslahatan bagi manusia. Pemberlakuan hukum-hukum tersebut betujuan untuk

    menciptakan harmonisasi interaksi sosial manusia dalam kehidupan dunia dan

    keselamatan akhirat

    Meskipun kemaslahatan manusia merupakan tujuan utama diturunkannya

    hukum ke muka bumi, namun tidak semua maslahat yang ada di tengah-tengah umat

    manusia sejalan dengan hukum syariat dan tidak semua maslahat yang berkembang

    5 Muhammad Adib Salih, Masdir al-Tasyr`, h. 437.6 Abu Ishak Al-Syatibi, al-Muwafaqat, h. 4.

  • 13

    13

    di tengah-tengah masyarakat mempunyai dasar hukum yang akurat. Karena itu para

    ulama membagi maslahat kepada beberapa bentuk.

    Hujjatul Islam, Imam Ghazali membaginya kepada empat macam7:

    1. Maslahat yang diakui nau-nya oleh Syari karena ada kesamaan nau tersebut

    dengan ashl dan far.

    2. Maslahat yang diakui jins-nya oleh Syari karena ada kesamaan jins tersebut

    dengan ashl dan far.

    3. Maslahat yang bertentangan dengan syariat yang disebut dengan istilah maslahat

    bathilah atau maslahat mulghah.

    4. Maslahat yang tidak disebut-sebut oleh syariat, tidak ada nas yang

    mendukungnya dan tidak ada pula yang menentangnya. Maslahat semacam ini

    disebut maslahat gharibah.

    Dari keempat pembagian di atas, Imam Ghazali memasukkan al-maslahat

    al-mursalah, ke dalam pembagian yang kedua, yaitu maslahat yang diakui jins-nya

    oleh syara dan ini dapat diterima sebagai hujjah atau dalil hukum. Sedangkan al-

    maslahat al-gharibah, dan al-maslahat al-bathilah atau al-maslahat al-mulghah

    ditolak secara mutlak.8

    Dari pembagian di atas nampaklah bahwa ada maslahat yang tidak

    disinggung sama sekali oleh nash, baik al-Quran maupun Hadis. Dalam hubungan

    ini, kemaslahatan tersebut tidak ditetapkan oleh syariat hukum untuk

    7 Husein Hamid Hassan, Nazriyat al-Maslahat f al-Fiqh al-Islm, (Cairo: Al-Mutanabb, 1981), h. 18-19.

    8 Ibid., h. 19.

  • 14

    14

    mewujudkannya dan tidak terdapat pula dalil yang memerintahkan untuk

    memperhatikan dan mengabaikannya. Maslahat tersebut dikenal dalam istilah ilmu

    ushul al-fiqh dengan sebutan maslahat mursalah. Karena maslahat ini tidak

    disinggung sama sekali oleh dalil maka para ahli ushul pun berbeda pendapat

    mengenai keabsahan penggunaannya sebagai dalil ijtihad.9

    Walaupun demikian di kalangan ahli Ushul terjadi beberapa perbedaan

    pandangan tentang substansi dari maslahat mursalah, bagaimana keabsahan maslahat

    mursalah sebagai salah satu sumber hukum dan bagaimana aplikasinya dalam

    legislasi hukum Islam. Di antara ahli Ushul tersebut berbeda tersebut adalah Imam

    Malik dan Imam Al-Thufi.

    Imam Malik sebagai founding father teori maslahat mursalah ini10,

    mengatakan bahwa maslahat mursalah adalah kemaslahatan yang tidak ada

    pembatalannya dari nash dan juga tidak disebutkan secara jelas oleh nash11. Akan

    tetapi, pengambilan hukum berdasarkan maslahat mursalah, ini tidak boleh

    bertentangan dengan nash sebagai sumber pokok. Beda halnya dengan Imam al-

    Thufi, beliau menyatakan bahwa maslahat mursalah merupakan hujjah terkuat yang

    secara mandiri dapat dijadikan landasan hukum sekali pun bertentangan dengan

    nash.12

    9 Yusuf al-Qaradhawi, Madkhal li Dirsah al-Syarah al-Islmiah, (Cairo: MaktabahWahbah, tth.), h. 20.

    10 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, t.th.), h. 27911 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), h. 95.12 Mustafa Zaid, al-Maslahat fi at-Tasyri'i al-Islmi wa Najamuddin at-Tufi, (Mesir:

    Dar al-Fikr al-Arabi, 1954), h. 34.

  • 15

    15

    Al-Thufi yang terkenal dengan konsep maslahatnya ini, bagi kalangan

    peneliti Hukum Islam saat ini, bergerak sangat progresif dan inovatif yaitu

    mempergunakan maslahat mursalah sebagai landasan hukum meskipun harus

    mendahulukannya dari nash dan ijma jika terjadi pertentangan dengan nash dan ijma'.

    Jadi maslahat menduduki tempat terkuat dalam berhujjah13.

    Dari pemikiran dan konsep maslahat mursalah versi al-Thufi ini, akhirnya

    melahirkan banyak polemik dalam kancah epistimologis, yang pada akhirnya konsep

    maslahat mursalah al-Thufi ini dikategorikan oleh sebagian besar ulama sebagai

    konsep yang terlalu liberalis dan bertentangan dengan ulama pada zamannya.

    Pandangan al-Thufi mewakili pandangan yang radikal dan liberal tentang

    maslahat.14 Dia berpendapat bahwa prinsip maslahat dapat membatasi (takhsis) Al-

    Quran, sunnah dan ijma' jika penerapan nas Al-Quran, Sunnah dan Ijma' itu akan

    menyusahkan manusia.15 Akan tetapi, ruang lingkup dan bidang berlakunya pola

    maslahat tersebut hanyalah pada bidang muamalat dan adat istiadat.16

    Maka dari paparan di atas jelas, bahwa maslahat mursalah adalah salah

    satu landasan pengambilan (istinbat) hukum Islam yang hampir tiap-tiap ulama

    madzhab memanfaatkannya. Namun ternyata, menurut sebagian ulama ushul,

    metodologi istinbat hukum ini dieksplorasi secara bebas oleh Imam Najamuddn al-

    13 M. Zainal Abidin, Konsep Maslahat al-Thufi dan Signifikansinya Bagi DinamisasiHukum Islam, Syariah; Jurnal Ilmu Hukum VII, no. 1 (Juni 2007) h: 25.

    14Ibid., 26.15Najmuddin at-Tufi, Syarh, h. 46.16Ibid, h. 48.

  • 16

    16

    Thufi yang pada akhirnya melahirkan suatu konsep yang kini banyak diikuti

    cendikiawan kontemporer.

    Betapa urgennya kedudukan maslahat sebagai tujuan, kalau tidak malah

    merupakan inti dari seluruh konstruksi legislasi Islam. Hal ini dapat dibuktikan dari

    buku-buku ushul al-fiqh yang ditulis baik sejak masa-masa awal pertumbuhan dan

    perkembangan hukum Islam, masa-masa pertengahan maupun pada masa akhir-akhir

    ini, dapat dipastikan buku-buku tersebut memuat pembahasan tentang maslahat

    sebagai tujuan tasyri' sekalipun porsi pembahasannya sangat bervariasi.

    Tulisan ini secara khusus akan membahas tentang pandangan Imam al-

    Thufi dan Imam Malik tentang aplikasi maslahat mursalah yang mereka usung,

    dengan inti uraian, sekilas riwayat hidup Imam Najamuddn al-Thufi dan Imam Malik

    bin Anas, pengertian dan pandangannya tentang konsep maslahat mursalah, serta

    yang paling pokok adalah bentuk dari penerapannya ijtihad tathbiqi dan analisi

    kedua pendapat tersebut. Sebab konsep maslahat mursalah yang dibawa kedua ahli

    ushul tersebut terkesan saling bertentangan satu sama lainnya.

    Salah satu aplikasi maslahat mursalah yang diangkat pada tulisan ini

    adalah status presiden wanita dalam Islam. Presiden wanita atau kepala negara dari

    kalangan wanita merupakan salah satu pembahasan yang masih kontroversial di

    tengah-tengah para ulama, baik ulama klasik maupun ulama kontemporer. Kitab-kitab

  • 17

    17

    fiqih politik (fiqh al-siyasah) klasik dan kitab-kitab fiqh kontemporer masih banyak

    mempersoalkannya.17

    Wahbah al-Zuhaili, seorang ahli fiqih modern dalam bukunya, Nidzam Al-

    Islam, menyebutkan tujuh syarat untuk menjadi kepala pemerintahan. Ketujuh syarat

    adalah: seorang Imam harus memiliki jiwa kepemimpinan sempurna, muslim,

    merdeka, baligh, berakal, dan terakhir laki-laki.18 Menurut Al-Zuhaili, adanya syarat

    laki-laki ( ) semata-mata karena beban menjadi Imam membutuhkan

    kemampuan yang besar yang tidak mungkin ditanggung seorang perempuan. Selain

    itu, perempuan tidak mampu menanggung tugas-tugas berat lainnya, seperti ikut serta

    dalam perang atau hal-hal lain yang beresiko tinggi. Di samping itu, ia mendasarkan

    pendapatnya ini berdasarkan Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah,

    ) (Artinya: Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan semua persoalannya

    kepada perempuan. (H.R. Bukhari)19

    Presiden wanita sering dipahami secara subyektif dan hitam putih. Hal ini

    misalnya, tampak pada kasus Benazir Bhutto. Ketika Benazir Bhutto naik menjadi

    Perdana Menteri Pakistan, banyak ulama di sana yang mengecam kedudukannya.

    Oleh karena itu, ketika Nawaz Syarif berhasil menggulingkan kedudukan Benazir

    Bhutto pada Pemilu 1997 di Pakistan, hal ini dijadikan senjata ampuh bagi kelompok

    17 Syafiq Hasyim, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan; Tentang Isu-isu Keperempuanandalam Islam (Bandung: Mizan, 2001) h. 201.

    18 Wahbah Zuhaili, Nidzm Al-Islm, (Beirut: Dar Qutaibah, 1993), cet. III, h. 19. Lihatpula Al-Mawardi, Al-Ahkm al-Sulthniyyah, ttp. H. 42.

    19 HR. Bukhari

  • 18

    18

    fundamentalis Islam untuk menyerang kemampuan perempuan dalam memegang

    tampuk kepemimpinan20.

    Di Indonesia pembahasan ini sempat mencuat kepermukaan menjelang

    pemilihan umum (pemilu) tahun 1999 lalu dan beberapa saat sebelum Sidang Umum

    MPR tahun 1999 lalu yang diwarnai oleh penolakan keras khususnya dari kalangan

    parpol-parpol Islam tentang kemungkinan wanita menjadi presiden21.

    Walaupun kalah pada Sidang Umum MPR dengan Abdurrahman Wahid

    alias Gusdur, Megawati Soekarno Putri akhirnya terpilih juga menjadi presiden RI

    periode 2001 2004.22 Kecaman demi kecaman dari para ulama pun datang silih

    berganti. Namun Lain halnya dengan tokoh-tokoh parpol, yang pada mulanya

    menolak mentah-mentah pencalonan Megawati, akhirnya ketika itu mereka mulai

    merevisi kebijakan-kebijakan politisnya.23 Pada saat itu banyak pro dan kontra di

    kalangan ulama dalam negeri. Para ulama yang menolak menyatakan bahwa dalam

    ajaran Islam wanita tidak bisa menjadi seorang kepala negara. Sebagian yang

    mendukungnya mendasarkan bahwa larangan tersebut hanya berlaku pada negara

    Islam saja, adapun Indonesia bukanlah negara Islam atau khilafah akan tetapi negara

    yang berasaskan Pancasila.24

    20 Wahbah Zuhaili, Nidzam Al-Islam, Ibid., h. 20.21 Makalah disampaikan dalam Diskusi Panel Pemimpin Wanita Ditinjau dari Perspektif

    Islam, Psikolog, dan Aktivis, diselenggarakan oleh UKM FKSM (Forum Kajian dan StudiMahasiswa) Universitas Janabadra, makalah diakses pada tanggal 10 September 2008 darihttp://www.gaulislam.com/kepemimpinan-perempuan-dalam-pandangan-islam

    22 http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/soeharto/mti/24/depthnews_13.shtml23 Ibid., http://www.gaulislam.com/kepemimpinan-perempuan-dalam-pandangan-islam24 http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/soeharto/mti/24/depthnews_13.shtml

  • 19

    19

    Imam Malik dalam kasus ini, secara eksplisit tidak memasukkannya ke

    dalam ranah maslahat mursalah. Sebab kasus ini sudah bertentangan dengan nash

    dan ijma sahabat. Apabila suatu kasus yang sudah ditetapkan dalam nash dan ijma ahl

    madinah, kemudian terjadi pergesekan antara maslahat dan nash maka yang

    didahulukan adalah nash. Sehingga dalam kasus ini, Imam Malik bisa dan lebih

    cenderung melarang presiden dari kaum wanita, jikalau dilihat metode ijtihad Imam

    Malik.

    Lain halnya Imam al-Thufi, beliau menganggap apabila maslahat atau hajat

    orang banyak ini bertentangan dengan nash atau ijma sahabat dan hal tersebut bukan

    termasuk masalah ibadah, maka maslahat tersebut dapat didahulukan dari pada nash

    dan ijma sekalipun. Sehingga dengan demikian konsep maslahat mursalahnya Imam

    Al-Thufi dapat melegitimasi presiden wanita secara syari.

    Oleh sebab itu, penulis merasa terpanggil untuk mengungkap sekilas

    konsep maslahat mursalah menurut Imam Najamuddn al-Thufi dan Imam Malik

    dalam memahami kasus presiden wanita, dengan judul skripsi KONSEP

    MASLAHAT MURSALAH PADA KASUS PRESIDEN WANITA MENURUT

    IMAM MALIK DAN IMAM NAJAMUDDIN AL-THUFI

    B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

    Dari judul skripsi, Konsep Maslahat Mursalah Pada Kasus Presiden

    Wanita Menurut Imam Malik Dan Imam Najamuddin Al-Thufi dapat dibatasi

    pada beberapa hal, yaitu:

  • 20

    20

    1. Konsep maslahat mursalah menurut Imam Malik dan Imam Najamuddn al-

    Thufi.

    2. Aplikasi maslahat mursalah Imam Malik dan Imam al-Thufi pada salah satu

    ijtihad tathbiqi, yaitu pengangkatan presiden wanita.

    3. Analisis pemikiran Imam Malik dan Imam al-Thufi dalam aplikasi maslahat

    mursalah dalam pemilihan dan pengangkatan presiden wanita.

    Setelah mempertimbangkan kemampuan penulis dan waktu yang terbatas,

    sangat sulit apabila mengesplorasi semua masalah diatas. Oleh karena itu penulis

    merasa perlu untuk memilih permasalahan mana yang menjadi fokus penulisan

    skripsi ini. Lebih jelasnya dirumuskan permasalahannya sebagai berikut :

    1. Bagaimana konsep maslahat mursalah dalam istinbat hukum Islam menurut

    Imam Al-Thufi dan Imam Malik ?

    2. Bagaimana kedudukan maslahat mursalah menurut Imam Najamuddin al-Thufi

    dan Imam Malik ?

    3. Bagaimana aplikasi maslahat mursalah menurut kedua Imam tersebut dalam

    pemilihan dan pengangkatan presiden wanita?

    C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

    Adapun tujuan penelitian ini adalah:

    1. Mengkaji konsep pemikiran Imam Najamuddin al-Thufi dan Imam Malik tentang

    kedudukan maslahat mursalah sebagai metode istinbath hukum Islam.

    2. Mengesplorasi faktor-faktor yang melatar belakangi konsep maslahat mursalah

    Imam Malik dan Imam al-Thufi.

  • 21

    21

    3. Meneliti pengaruh konsep maslahat mursalah dalam penerapan hukum Islam

    (Ijtihad Al-Tathbiqi)

    Manfaat khusus dari penulisan skripsi ini adalah untuk memperkaya

    khazanah keilmuan di lingkungan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

    Hidayatullah Jakarta, khususnya di Fakultas Syariah dan Hukum. Selain itu,

    manfaatnya secara umum adalah sebagai kontribusi pemikiran dalam khazanah ilmu

    kajian Islam.

    D. Metode Penelitian

    Metode penulisan skripsi ini murni berdasarkan kajian penelitian

    kepustakaan (Library Research), yaitu sebuah kajian yang mencari data-data yang

    diperlukan untuk menjawab masalah penelitian ini di dalam dokumen atau bahan

    pustaka, kegiatan ini dapat pula disebut sebagai studi dokumen atau literature study.25

    Penulis berusaha mengumpulkan data sebanyak mungkin baik yang bersumber dari

    buku maupun internet untuk kemudian dijadikan sebagai objek pembahasan.

    Langkah selanjutnya adalah penulis berusaha untuk menganalisa masalah-

    masalah yang ada dengan menggunakan metode deskriptif analitik. Diawali dengan

    menguraikan konsep maslahat maslahat mursalah sebagai metodologi istinbath

    hukum Islam secara umum, biografi Imam Malik dan Imam Najamuddn al-Thufi,

    konsep maslahat mursalah menurut Imam Malik dan Imam Najamuddn al-Thufi.

    Kemudian penulis berusaha menganalisa pengaruh yang muncul dari konsep

    25 Rianto Adi, Metode Penelitian Hukum dan Sosial, (Jakarta:Granit, 2004), h. 61

  • 22

    22

    maslahat mursalah keduanya dalam ijtihad tathbiqi di zaman modern. Diantaranya

    adalah pemilihan serta pengangkatan presiden wanita.

    Selain itu, perlu dikemukakan pula bahwa yang menjadi pedoman dalam

    penulisan skripsi ini adalah buku "Pedoman Penulisan Skripsi" yang diterbitkan oleh

    Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta cetakan tahun 2007.

    E. Review Kajian Terdahulu

    Dalam kajian ini penulis, mengangkat maslahat mursalah yang diusung

    oleh Imam Malik bin Anas dan yang kemudian dimodifikasi oleh Imam Al-Thufi. Di

    antara kedua maslahat ini saling kontradiktif dalam penerapannya pada ranah legislasi

    hukum. Sehingga penulis terpanggil untuk mencari letak persamaan dan perbedaan di

    antara kedua pandangan tentang maslahat tersebut. Serta aplikasinya dalam

    kehidupan bermasyarakat dan bernegara seperti pemilihan dan pengangkatan presiden

    wanita yang nota bene, diharamkan oleh para ulama.

    Sebenarnya tulisan mengenai maslahat mursalah ini telah banyak dibahas

    oleh peneliti atau mahasiswa. Di antaranya adalah tesis dari Wahidul Kahhar (UIN

    Syarif Hidayatullah, 2003), dengan judul Efektifitas Maslahat Mursalah dalam

    Penetapan Hukum Syara, dan tesis Iim Fahimah (UIN Syarif Hidayatullah, 2003)

    dengan judul Konsep Maslahat Mursalah Imam Malik. Kemudian terdapat tulisan

    yang dimuat di jurnal hukum Konsep Maslahat al-Thufi dan Signifikansinya Bagi

    Dinamisasi Hukum Islam oleh M. Zaenal Abidin (Syariah: Journal Ilmu Hukum,

    IAIN Antasari, 2005).

  • 23

    23

    Selain itu penulis juga mereview kajian tentang presiden wanita, yaitu tesis

    Afrizal Moetwa (UIN Syarif Hidayatullah, 2004) dengan judul Presiden Perempuan

    dalam Perspektif Fiqh Siyasah; Studi Terhadap Megawati Soekarno Putri Menjadi

    Presiden Republik Indonesia.. Adapun karya ilmiah berupa skripsi, yang membahas

    maslahah mursalah atau presiden wanita, sampai saat ini penulis belum

    menemukannya di wilayah Universitas Islam Negeri. Dan dari beberapa judul karya

    ilmiah tersebut, belum ada yang menjelajahi tema yang penulis angkat dalam skripsi

    ini. Yaitu Aplikasi maslahat mursalah Imam Malik dan Imam al-Thufi dalam

    menyikapi pengangkatan presiden wanita.

    Penulis menyadari bahwa Imam al-Thufi dan Imam Malik belum ataupun

    tidak pernah membahas secara khusus tentang presiden wanita. Akan tetapi dari

    konsep maslahat yang dia wariskan ke generasi di bawahnya, pemikirannya kini

    menjadi acuan untuk menjawab dinamisasi hukum Islam.

    F. Sistematika Penulisan

    Sistematika penulisan skripsi ini kurang lebih penulis uraikan sebagai berikut:

    Bab I : Pendahuluan

    Bab satu ini berisi tentang pokok pikiran penulis yang akan dirumuskan

    dan dicari pemecahannya. Selain itu, penulis juga berusaha untuk

    menjelaskan langkah-langkah apa saja yang dilakukan untuk memecahkan

    semua permasalahan tersebut serta faktor-faktor apa saja yang mendukung

    penulisan skripsi ini. Semua itu terdapat di dalam Latar Belakang

    Masalah, Perumusan dan Pembatasan Masalah, Tujuan dan Manfaat

  • 24

    24

    Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, Review Kajian Terdahulu

    serta Sistematika Penulisan.

    Bab II: Pandangan Umum Konsep Maslahat Mursalah

    Pada bab ini, penulis memaparkan secara umum pengertian linguistik dan

    terminologi dari maslahat mursalah. Kehujjahan dan perbedaan pendapat

    dalam memahami maslahat mursalah. Serta syara-syarat keabsahannya.

    Bab III : Riwayat Hidup Imam Najamuddin Al-Thufi Dan Imam Malik

    Bab ini memberikan ikhtisar hal ihwal biografi sang tokoh yang diteliti,

    yang meliputi tentang: latar belakang sosial dan intelektual, pendidikan,

    pengalaman, kegiatan, karir dan karya-karyanya. Dan juga konsep

    maslahah mursalahnya. Selain itu dipaparkan pula sisi persamaan dan

    perbedaan kehidupan kedua tokoh tersebut.

    Bab IV : Aplikasi Maslahat Mursalah Terhadap Presiden Wanita Menurut

    Imam Malik Dan Imam Najamuddin Al-Thufi

    Penulis menyajikan hal ihwal presiden wanita; pandangan politik Islam

    dan pandangan umum tentang presiden wanita. Kemudian Menganalisa

    pendapat Imam Najamuddin al-Thufi, dan Imam Malik tentang presiden

    wanita ditinjau dari maslahah mursalah. Selain itu disajikan pula sisi

    persamaan dan perbedaan kedua pendapat tersebut.

    Bab V : Penutup

    Berisi tentang kesimpulan penulisan skripsi ini dan beberapa saran dari

    penulis.

  • 25

    25

    BAB II

    PANDANGAN UMUM MASLAHAH MURSALAH

    G. Pengertian Maslahah Mursalah

    1. Definisi Maslahah Mursalah secara etimologis

    Secara etimologis term Maslahah Mursalah terdiri atas dua suku kata:

    yaitu masalahah dan mursalah. Menurut Louis Ma`luf kata Maslahah berasal dari

    akar kata salaha, yasluhu salahan suluhan - salahiyyah; artinya: Sesuatu yang

    mendorong kepada kebaikan atau kelayakan; atau bisa juga diartikan: Sesuatu yang

    mendorong bagi seseorang untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya

    dan bagi kelompoknya.26 Ahmad Warson Munawwir, mengartikan kata maslahah

    sebagai faedah, kepentingan, kemanfaatan, kemaslahatan27. Dari sudut pandang ilmu

    sharaf (morfologi), kata Maslahah satu wazan (pola) dan makna dengan kata

    manfaah. Kedua kata ini (maslahah dan manfaah) telah diindonesikan menjadi

    maslahat dan manfaat. 28

    Dalam buku Kamus Besar Indonesia disebutkan bahwa maslahat artinya

    sesuatu yang mendatangkan kebaikan, faedah, dan guna. Sedangkan kata

    kemaslahatan berarti kegunaan, kebaikan, manfaat, kepentingan. Sementara kata

    manfaat, dalam buku tersebut, diartikan dengan: guna, faedah. Kata manfaat juga

    26 Louis Ma`luf, Kamus Munjid, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1977), h. 528.27 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta: Unit

    Pengadaan buku-buku Ilmiah Keagamaan, 1984), h. 844.28 Asmawi, MA, Perbandingan Ushul Fiqih, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 101

  • 26

    26

    diartikan sebagai kebalikan atau lawan kata mudharat yang berarti rugi atau

    buruk.29

    Kata maslahah adalah bentuk tunggal dari kata mashalih; selain itu dikenal

    pula istilah istishlah yang berarti mencari maslahat, memandang maslahat atau baik,

    mendapatkan maslahat atau kebaikan, dan kebalikannya adalah al-istisfad atau

    memandang buruk atau rusak, mendapatkan keburukan atau kerusakan30. Maslahah

    sama akarnya dengan kata shalih yang berarti baik menurut agama. Dalam Al-

    Quran banyak ditemukan kata shalih, kata shalih ini pada umumnya berarti kebaikan

    pada hakikatnya menguntungkan.31

    Sedangkan kata mursalah merupakan bentuk isim maf`ul dari akar kata:

    arsala - yursilu - irsal; artinya: `adam at-taqyid (tidak terikat); atau berarti: al-

    mutlaqah (bebas atau lepas).32

    2. Definisi maslahat mursalah secara terminologis

    Secara terminologis, para ulama usul fiqh telah memberikan beberapa

    definisi dengan versi yang berbeda, antara lain:

    a. DR. Muhammad Adib Salih:

    29 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 1996), h. 634.

    30 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, h. 532.31 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997, h. 100.32 Ibid., h. 259

  • 27

    27

    .33

    Maslahat mursalah adalah kemaslahatan yang termasuk ruang lingkuptindakan/kebijaksanaan dan tujuan Syari`; sementara tidak ditemukan dalilsyara` secara khusus baik yang mendukungnya maupun yang menolaknya.

    a. Muhammad Said Ramadan al-Buti:

    Maslahat mursalah itu adalah setiap manfaat yang termasuk di dalamruang lingkup tindakan/kebijaksanaan Syari` tanpa ada dalil yangmendukungnya atau menolaknya.34

    b. Al-Syatibi (salah seorang pengikut Madzhab Maliki)berpendapat:

    Maslahat Mursalah adalah kemaslahatan yang tidak ditunjang oleh satunash tertentu; akan tetapi, kemaslahatan tersebut sesuai dengan jenistindakan syara`.

    c. Al-Khawarizmi memberikan pengetian:

    .35

    Maslahat Mursalah adalah kemaslahatan (yang berusaha) untukmemelihara tujuan syara` dengan jalan menolak unsur kemafsadatan.

    d. Abdul Wahab Khallaf memberikan pengertian:

    , .36

    Maslahat Mursalah adalah kemaslahatan yang tidak disyariatkan oleh syaridalam wujud hukum, dalam rangka menciptakan kemaslahatan, di sampingtidak terdapat dalil yang membenarkan atau menyalahkan .

    33 Muhammad Adib Salih, Masadir at-Tasyri` al-Islami wa-Manahij al-Istimbath,Damsyid: Maktabah at-Ta`awujniyyah, 1967, h. 463.

    34 Muhammad Said Ramadan al-Buti, Dhawabit al-Maslahat fi al-Syariat al-Islamiyyat,Damsyiq: 1967, h . 330.

    35 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), h. 36.36 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Quwait: Dar al-Qalam, tth.), h. 84.

  • 28

    28

    e. Muhammad Abu Zahrah

    .37

    Maslahah mursalah menurut Abu Zahrah, Maslahat-maslahat yangbersesuaian dengan tujuan-tujuan syariat Islam dan tidak ditopang olehsumber dalil yang khusus, baik bersifat melegitimasi atau membatalkanmaslahat tersebut.

    Berdasarkan definisi tersebut di atas dapat ditemukan beberapa unsur yang

    terdapat dalam maslahat mursalah, yaitu: pertama: kemaslahatan tersebut berada di

    dalam ruang lingkup tindakan/kebijaksanaan Al-Syari`; kedua: kemaslahatan tersebut

    berada di dalam ruang lingkup maqasid al-syari`ah; ketiga: kemaslahatan tersebut

    tidak ditunjang oleh dalil atau syahid; baik yang mendukungnya maupun yang

    menolaknya; keempat: kemaslahatan tersebut ditempuh dengan maksud untuk

    menghilangkan berbagai kemafsadatan.

    Pada perkembangan selanjutnya penggunaan term maslahat mursalah telah

    terjadi perbedaan di kalangan para ulama ushul fiqh, untuk term maslahat mursalah

    sendiri dikenalkan oleh golongan Malikiyah. Selain itu Sebagian ulama ada yang

    menyebutkannya dengan istilah: al-istislah oleh Imm Ghazali, al-munasib al-mursal

    al-mulaim oleh golongan Mutakallimin al-Ushuliyyin, al-istidlal oleh Imm

    37 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, t.th.), h. 279. Lihatpula: Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), h. 36.

  • 29

    29

    Haramain dan Ibn Samani, al-istidlal al-mursal sebagian ulama ushul; sedang Imm

    Al-Tfi menyebutnya dengan nama Maslahah Al-Tfi.38

    Berdasarkan definisi secara etimologis dan terminologis di atas, maka telah

    diketahui bahwa maslahat mursalah atau istislah merupakan metode penetapan

    hukum yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit dalam Al-Quran dan Hadis.

    Sehubungan dengan metode ini dalam ilmu ushul fiqh dikenal ada tiga macam

    maslahah, yaitu maslahah mutabarah, maslahah mulgah, dan maslahat mursalah.39

    Maslahah pertama adalah maslahah yang diungkapkan secara langsung

    baik dalam Al-Quran maupun Hadis. Sedangkan maslahah kedua adalah maslahah

    yang bertentangan dengan ketentuan yang termaktub dalam kedua sumber tersebut Di

    antara kedua maslahah tersebut, ada yang disebut maslahah mursalah, yakni

    maslahah yang tidak ditetapkan oleh kedua sumber tersebut, dan tidak pula

    bertentangan dengan keduanya.40

    H. Kehujjahan Maslahah Mursalah

    Menurut Yusuf Qaradhawi, jumhur ulama fiqih menganggap maslahat

    adalah dalil syarii yang menjadi pondasi utama dalam legislasi hukum Islam,

    38 Abdul Wahab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam, tth.), h. 85. Lihatpula: Jamal Mamur Asmani, Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudz; Antara Konsep dan Implementasi(Surabaya: Khalista, 2007), h. 288.

    39 Amir Muallim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam (Yogyakarta: UIIPress Indonesia, 1999), h. 72.

    40 Abdul Wahab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, h. 84.

  • 30

    30

    pemberian fatwa, dan juga dalam ruang lingkup peradilan41. Menurutnya para sahabat

    Rasulullah saw.-lah yang banyak memahami dan menggunakan maslahat sebagai

    patokan dan sandaran utama legislasi hukum Islam42.

    Selain itu, para ulama pun sepakat bahwa tidak ada peluang bagi qiyas,

    istihsan, istishlah dalam masalah ibadah, karena ibadat adalah dikategorikan hukum

    taabbudi43, sehingga akal tidak memiliki peluang untuk menentukan maslahat yang

    rinci terhadap setiap hukumnya. Sama halnya dengan hukum ibadat, ialah semua

    hukum had, hukum kafarat, batas prosentase warisan, iddah bulanan setelah

    meninggal suami atau karena thalaq dan semua hukum yang ditetapkan batas tertentu,

    karena Syari sendiri mengetahui maslahat apa yang terdapat pembatasan itu.44

    Adapun kehujjahan maslahat mursalah terdapat tiga pendapat para ulama

    yang berbeda.

    1. Mayoritas ulama berpendapat maslahah mursalah tidak bisa diambil sebagai

    hujjah secara mutlak. Ibnu Hajib mengatakan ini adalah pendapat terpilih. Imam

    Amudi berkata, pendapat ini benar, sesuai dengan kesepakatan para ulama fiqh.45

    41 Yusuf Qaradhawi, Madkhal li Dirasah al-Syariah al-Islamiah (Kairo: MaktabahWahbah, tth.) h. 158.

    42 Ibid., h. 158.43 Taabbudi diartikan sebagai hukum-hukum dalam ibadah kepada Allah; seperti shalat,

    puasa,dsb. yang mana rasio kita tidak mampu untuk memahami makna dibalik amaliah ritual tersebut,karean hanya Allah yang berhak mengetahuinya. Dengan demikian, qiyas serta maslahah mursalahdalam penentuan ibadah mahdah tersebut tidak dapat dijadikan sandaran hukum. Beda halnya denganmaslahah muamalah; dimana masih bisa ada kemungkinan untuk diperdebatkan. Wahbah al-Zuhaili,Ushul al-Fiqh ..., h. 39.

    44 Ibid., h. 158.45 Jamal Mamur Asmani, Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudz. h. 288.

  • 31

    31

    2. Imam Malik berpendapat, maslahat mursalah bisa dijadikan hujjah secara

    mutlak. Pendapat ini didukung oleh Imam Haramain. Yang dimaksud Imam

    Malik adalah maslahah yang manfaatnya lebih banyak dari pada bahayanya.46

    Sumbernya dari nash (al-Quran dan al-Sunnah) atau dari petunjuk umum nash

    yang biasa dikatakan maqasid syariah (tujuan hukum Islam), seperti firman

    Allah:

    ... )... /22 :78(Artinya: Allah tidak menjadikan padamu dalam masalah agama suatu kesulitan

    (Q.S. Al-Hajj/22: 78)

    Nabi bersabda: :

    : ) , . :

    , , , (47

    Artinya: Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan.

    Imam Malik menjadikan maslahah mursalah sebagai dalil karena beberapa

    argumen sebagai berikut:

    Pertama, bahwa para sahabat banyak menggunakan maslahah mursalah di

    dalam mengambil kebijakan dan istinbath hukum48, misalnya:

    a. Pembukuan al-Quran menjadi mushaf oleh para sahabat, padahal Nabi tidak

    memerintahkan kepada mereka untuk membukukannya. Inilah tindakan para

    46 Ibid., 288.47 HR. Ibnu Majah48 Abu Zahrah, Ushul Fiqh, h. 280.-281

  • 32

    32

    sahabat yang dikategorikan maslahah yang bertujuan untuk menjaga dan

    melestarikan al-Quran dari kepunahan. Disisi lain banyaknya para huffadz

    (penghafal al-Quran) yang gugur dalam berbagai peperangan;

    b. Khulafa al-Rasyidin yang menerapkan keharusan menanggung ganti rugi kepada

    para tukang;

    c. Umar Ibn Khattab r.a. yang memerintahkan para pejabat agar memisakan harta

    kekayaan pribadinya dari kekayaan yang diperoleh karena jabatannya;

    d. Umar Ibn Khattab yang sengaja menumpahkan susu yang dicampur dengan air

    guna memberi pelajaran kepada orang-orang yang mencampur susu dengan air;

    e. Dan para sahabat yang menetapkan hukuman mati terhadap semua anggota

    kelompok atau jamaah yang melakukan pembunuhan terhadap satu orang jika

    mereka melakukan pembunuhan itu secara bersama-sama.49

    Kedua, Perwujudan kemaslahatan itu sesuai dengan tujuan syariat.

    Mengambil maslahat berarti merealisasikan tujuan syariat. Mengesampingkan

    maslahat berarti mengesampingkan tujuan syariat.50

    Ketiga, Seandainya maslahat tidak diambil pada setiap kasus yang jelas

    mengandung maslahat selama berada di dalam konteks maslahat syariyyah maka

    orang-orang mukallaf akan mengalami kesulitan dan kesempitan, padahal Allah swt.

    49 Ibid., h. 281.50 Ibid., h. 282.

  • 33

    33

    tidak menghendaki adanya kesulitan itu.51 Sebagaimana difirmankan Allah dalam

    surat Al-Baqarah 185:

    ... ...)/2 :185(Artinya: ... Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki

    kesukaran bagimu... (Q.S. Al-Baqarah/2: 185)

    dan dalam surat al-Hajj/22: 76.

    )/22 :76(Artinya: Allah mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakang

    mereka. dan hanya kepada Allah dikembalikan semua urusan.(Q.S.Al-Hajj/22: 76).

    Meskipun Imam Malik merupakan tokoh dan pelopor maslahah mursalah

    namun di dalam penerapannya, pendiri madzhab Maliki ini menerapkan syarat-syarat

    adanya persesuaian antara maslahah yang dipandang sebagai sumber dalil yang

    berdiri sendiri dengan tujuan-tujuan syariat. Maslahah ini harus masuk akal dan

    memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan pemikiran yang rasional. Penggunaan dalil

    maslahat ini adalah dalam rangka menghilangkan kesulitan yang biasa terjadi. Dalam

    arti, jika maslahat itu tidak diambil manusia akan mengalami kesulitan.52

    Para ulama yang tidak menerima maslahat mursalah sebagian dari syara

    juga mengemukakan alasan maslahat yang tidak didukung oleh dalil khusus akan

    mengarah kepada salah satu bentuk pelampiasan dari keinginan hawa nafsu yang

    cenderung mencari yang enak-enak saja, padahal prinsip Islam tidak demikian. Jika

    maslahat dapat diterima (mutabarah) ia termasuk ke dalam kategori qias dalam arti

    51 Ibid., h. 282.52 Ibid., h. 427.

  • 34

    34

    luas. Tetapi Jika tidak mutabarah, ia tidak termasuk qias dan tidak bisa dibenarkan

    suatu anggapan yang menyatakan bahwa pada suatu masalah terhadap maslahah

    mutabarah, sementara maslahat itu tidak termasuk di dalam nash atau qias.

    Mengambil dalil maslahat tanpa berpegang pada nash terkadang akan berakibat

    kepada suatu penyimpangan dari suatu hukum syariat dan tindakan kelaliman

    terhadap rakyat dengan dalil maslahat, sebagaimana dilakukan oleh raja-raja yang

    lalim. Jika maslahat dijadikan sebagai sumber unsur pokok yang berdiri sendiri,

    niscaya hal itu akan menimbulkan terjadinya perbedaan hukum akibat perbedaan

    negara, bahkan perbedaan pendapat perorangan di dalam suatu perkara.53

    Beda halnya dengan Husein Hamid Hasan, ia menyamakan maslahah

    mursalah ini dengan qiyas Imam Syafii, ia menyatakan bahwa sesungguhnya

    maslahat mursalah masuk ke dalam pengertian qias menurut pandangan Imam al-

    Syafii r.a.54

    Alasan yang dikemukakan Husein Hamid Hasan adalah ia memasukkan

    maslahah mursalah atau maslahah mulaimah ke dalam qias. Sebab keduanya

    memiliki persamaan unsur-unsur. Menurutnya, syarat qias ada 3, (1) adanya peristiwa

    yang tidak ada nash hukumnya yang jelas; (2) adanya hukum yang dinashkan oleh

    syari yang mungkin dihubungkan dengan peristiwa itu melalui pengertian manawi;

    (3) peristiwa yang tidak ada nash hukumnya itu terkandung dalam kejadian yang

    mansus secara implisit. Ketiga syarat qias ini, menurutnya, sejalan dengan maslahah

    53 Ibid., h. 431-433.54 Hassan, Husein Hamid, Dr., Nazriyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami, Cairo: Al-

    Mutanabbi, 1981.

  • 35

    35

    mursalah atau maslahah mulaimah yaitu: (1) peristiwa yang ingin diketahui

    hukumnya melalui maslahah adalah peristiwa yang tidak ada nashnya yang jelas,

    seperti jaminan atau ganti rugi para pekerja apabila merusak barang yang

    dikerjakannya; (2) ada hukum-hukum syariat yang dinashkan oleh syari atas suatu

    peristiwa yang maknanya dapat ditemukan oleh para mujtahid; (3) peristiwa yang

    tidak ada nash tersebut memiliki makna yang sama dengan makna yang terkandung di

    dalam peristiwa yang ada nashnya.55

    I. Syarat-Syarat Keabsahan Maslahat Mursalah

    Dalam menggunakan maslahat mursalah sebagai hujjah syariyyah, para

    ulama bersikap sangat berhati-hati, sebab ditakutkan akan tergelincir kepada

    pembentukan syariat baru, berdasarkan nafsu dan kepentingan terselubung.

    Berdasarkan hal itu, seperti yang ditulis oleh Abd Wahab Khallaf, dalam bukunya

    ushul al-fiqh, ulama menyusun syarat-syarat kebolehan memakai maslahat

    mursalah.56

    Syarat-syaratnya ada tiga macam, yaitu:57

    1. Maslahah harus benar-benar nyata dan bukan maslahah yang mengada-ngada.

    Selain itu maslahah yang dihasilkan, harus sesuai dengan rasio sehingga

    memudahkan seseorang menerimanya58. Dengan kata lain pengambilan maslahah

    tersebut bertujuan untuk mengambil manfaat (jalbu manfaah) dan mencegah

    55 Ibid., h. 324-325.56 Abd al-Wahab Khallaf, Ilm Ushul Al-Fiqh, Quwait: Dar al-Qalam, tth., h. 86.57 Ibid., h. 86.58 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), v. 2., h.

    77.

  • 36

    36

    madharat (dafu madharrah). Jangan sampai maslahat tersebut hanya

    memperhatikan jalbu manfaah saja tanpa diimbangi dengan aspek madharatnya.

    Misalnya menyerahkan hak thalaq kepada hakim yang seharusnya hak suami.59

    2. Maslahat itu diciptakan untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan

    perseorangan. Dalam arti kata, maslahat yang dijadikan penyebab ketetapan

    hukum haruslah mengedepankan aspek sosial dan kepentingan orang banyak

    bukanlah kepentingan segelintir orang. Sebab hukum syariah itu diletakkan

    untuk kepentingan orang banyak, bukan untuk kepentingan pribadi60. Misalnya

    untuk kepentingan keluarga, pemimpin, saudara, dan lain-lain.

    3. Pembentukan hukum dengan mengambil kemaslahatan ini tidak berlawanan

    dengan tata hukum atau dasar yang telah ditetapkan nash dan ijma. Wahbah

    Zuhaili menambahkan juga, agar maslahah tersebut sesuai dengan maqashid

    syariah, dan tidak berlawanan dengan nash atau dalil yang qati.61 Maka

    menyamakan ratakan bagian anak laki-laki dan perempuan dalam warisan, adalah

    bentuk maslahah yang bertentangan dengan syariah, dan tidaklah sah

    pengamalannya.

    59 Ibid., h. 77. Lihat pula Abdul Wahab Khallaf, Ushul al-Fiqh, h. 86.60 Ibid., h. 78.61 Ibid., h. 78.

  • 37

    37

    BAB IIIRIWAYAT HIDUP IMAM MALIK DAN IMAM NAJAMUDDIN AL-THUFI

    SERTA KONSEP MASLAHAT MURSALAHNYA

    A. Biografi Imam Malik, r.a.

    1. Kelahiran Imam Malik

    Imam Malik bin Anas salah satu Imam madzhab fiqh yang empat yaitu

    madzhab Maliki, dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H. Dia lahir pada masa

    pemerintahan Walid bin Abdul Mulk tepatnya tiga belas tahun sesudah kelahiran

    Imam Abu Hanifah. dan meninggal pada masa kekuasaan Harun Al-Rasyid (179 H)62.

    Dia berasal dari Kabilah Yamniah.63 Kedua orang tua beliau adalah keturunan Arab,

    bapaknya bernama Anas bin Malik bin Abi Amir al-Usbukhi dari Kabilah Yamniah

    sedangkan ibunya bernama al-Aliyah binti Sariik al-Azdiyah dari keturunan al-

    Azad.64

    Imam Malik hidup pada periode setelah tabiin dan dikenal sebagai ahli

    dalam bidang hadis dan fiqih. Sepanjang hidupnya, dia tidak pernah pergi keluar

    Madinah. Imam Malik sempat juga merasakan masa Dinasti Umayyah, tetapi lebih

    62 Syafiq Hasyim, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan; Tentang Isu-isu Keperempuanandalam Islam (Bandung: Mizan, 2001) h. 103.

    63 Suparman Usman, Hukum Islam; Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islamdalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001) h. 98. Lihat pula MahmudSaltuth, Al-Islam; Aqidah wa Syariah, (Beirut, Dar al-Qalam, 1966) h. 390.

    64 Mahmud Saltut, Al-Islam, h . 390.

  • 38

    38

    lama hidup di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Pada saat itu kekuasaan Islam

    telah mencapai Cina dan Eropa, khususnya Spanyol.65

    2. Perjalanan Intelektual

    Sejak kecil beliau telah rajin menghadiri majelis-majelis ilmu pengetahuan,

    sehingga sejak itu pula beliau telah hafal al-Quran. Pada mulanya dia belajar fiqih

    kepada Rabiah ibn Abdurrahaman, seorang ulama yang sangat terkenal saat itu.

    Beliau juga mempelajari ilmu fiqh dari para sahabat66. Selain itu, guru-guru Imam

    Malik adalah Abdurrahman ibn Hurmz, Nafi Maula ibn Umar dan Ibn Syihab Al-

    Zuhri.67

    Beliau dikenal sangat berhati-hati dalam memberi fatwa, yang didahuluinya

    dengan meneliti hadist-hadist Rasulullah SAW., dan bermusyawarah dengan ulama

    lain. Diriwayatkan, bahwa beliau mempunyai tujuh puluh orang yang biasa diajak

    bermusyawarah untuk mengeluarkan suatu fatwa.68

    Imam Malik dikenal mempunyai daya ingat yang sangat kuat. Pernah,

    beliau mendengar tiga puluh satu hadis dari Ibn Syihab tanpa menuliskannya. Ketika

    kepadanya diminta mengulangi seluruh hadis tersebut, tak satupun dilupakannya.69

    Imam Malik adalah seorang ulama yang sangat terkemuka, terutama dalam

    ilmu hadis dan fiqih. Beliau mencapai tingkat yang sangat tinggi dalam kedua cabang

    ilmu itu. Sebagai pengakuan atas kehebatan Sang Imam, Imam Syafii pernah

    65 Syafiq Hasyim, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan, h. 103.66 Suparman Usman, Hukum Islam, h. 98.67 Syafiq Hasyim, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan, h. 103.68 Ibid., h. 104.69 Ibid., h. 104.

  • 39

    39

    melontarkan kata-kata, Malik adalah guruku, darinya aku menimba ilmu, dia adalah

    hujjah antara aku dan Allah, dan tidak ada guru yang lebih banyak memberikan ilmu

    kepadaku dibandingkan dengan Malik. Di tengah para ulama, Malik adalah bintang

    yang cemerlang.70

    Dengan pemikirannya yang didasarkan pada Al-Quran, Sunnah Nabi saw.,

    ijma sahabat, amalan-amalan yang dilakukan penduduk Madinah, dan prinsip

    menjaga kemaslahatan, Imam Malik banyak mengeluarkan fatwa-fatwa tentang

    berbagai masalah.71

    Murid-muridnya tersebar di pelbagai wilayah Mesir, Afrika, dan Andalusia.

    Murid-murid yang di Mesir adalah Abu Abdillah ibn Rahman Al-Qasim (w. 191 H),

    yang belajar kepada Imam Malik selama 20 tahun dan juga belajar fiqh pada Al-Laits

    ibn Saad. Kemudian, Abu Muhammad Ibn Abdullah ibn Wahab ibn Muslim (120-

    197 H), Asyhab ibn Abd Al-Aziz Al-Qasi (150-203 H), Abu Muhammad Abdullah

    ibn Abd Hakim (w. 214 H), Asybagh ibn Faraj, dan Muhammad ibn Ibrahim Al-

    Iskandari ibn Ziyad (w. 269).72

    Imam Malik telah menulis kitab Al-Muwaththa, yang merupakan kitab

    hadis dan fiqh. Imam Malik meninggal dunia pada usia 86 tahun. Madzhab Maliki,

    70 Ibid. h. 104.71 Abdurrahman al-Syarqawi, Aimmah al-Fiqh al-Tisah, terj. Al-Hamid al-Husaini,

    (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000). h. 15072 Ibid., h. 152.

  • 40

    40

    tersebar luar, dan dianut di banyak bagian penjuru dunia, seperti di Maroko, al-Jazair,

    Mesir, Tunisia, Sudan, Kuwait, Qatar dan Bahrain.73

    3. Sumber-Sumber Dalil Ijtihad Imam Malik

    Dasar-dasar yang menjadi sumber hukum Islam madzhab Maliki adalah:

    a. Al-Quran;

    b. Sunnah;

    c. Ijma Ulama Madinah

    d. Fatwa Sahabat;

    e. Qiyas;

    f. Maslahah Mursalah74

    4. Hujjah Imam Malik Dalam Penggunaan Maslahah Mursalah

    Dalam menyikapi maslahah mursalah sebagai metode pengambilan hukum

    (istinbath al-ahkam) para ulama berbeda-beda pandangan, sehingga terpecah menjadi

    tiga kelompok, yaitu:

    Kelompok pertama, berpegang teguh kepada ketentuan nash. Golongan ini

    memahami nash hanya dari segi lahiriahnya semata (tekstual) dan tidak berani

    memperkirakan adanya maslahat di balik suatu nash. Mereka yang dikenal dengan

    julukan madzhab dzahiriyah ini juga tidak mau menerima dalil qiyas. Oleh karena itu,

    73 Abdurrahman al-Syarqawi, Aimmah al-Fiqh al-Tisah, h. 154.74 Suparman Usman, Hukum Islam, h. 98

  • 41

    41

    mereka menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada maslahat kecuali yang telah jelas

    disebut oleh nash, dan tidak perlu mencari-cari sesuatu kemaslahatan di luar nash.75

    Kelompok kedua, mencari kemaslahatan dari nash yang diketahui tujuan

    dan illatnya. Karenanya, mereka mengqiyaskan setiap kasus yang jelas mengandung

    suatu maslahat, dengan kasus lain yang jelas ada ketetapan nashnya dalam maslahat

    tersebut. Meskipun demikian, mereka tidak sekali-kali mengklaim sesuatu maslahat

    kecuali apabila didukung oleh bukti dari dalil khas. Dengan demikian tidak terjadi

    campur aduk antara sesuatu yang dianggap maslahat, karena dorongan hawa nafsu,

    dengan maslahat yang hakiki (yang sebenarnya). Dengan demikian, tidak ada

    maslahat yang dipandang mutabarah (dapat diterima), kecuali apabila dikuatkan

    oleh nash khas atau sumber hukum pokok yang khas. Pada umumnya yang dijadikan

    ukuran untuk menyatakan suatu maslahat ialah illat qiyas.76

    Kelompok ketiga, menetapkan setiap maslahah harus ditempatkan pada

    kerangka kemaslahatan yang ditetapkan oleh syariat Islam, yaitu dalam rangka

    terjaminnya keselamatan jiwa, keyakinan agama, keturunan, akal, dan harta benda.

    Dalam hal ini tidak didukung oleh sumber dalil yang khusus sehingga bisa disebut

    qiyas, tetapi dia dapat menjadi dalil yang mandiri, yang dinamakan maslahah

    mursalah.77

    Sementara itu, Imam Malik menjadikan maslahat mursalah sebagai salah

    sumber dalil dengan alasan yang cukup rasional, yaitu:

    75 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, t.th.), h. 279.76 Ibid., h. 279.77 Ibid., h. 279.

  • 42

    42

    Pertama, Realitas obyektif membuktikan penggunaan paradigma pemikiran

    maslahah mursalah terhadap persoalan yang terjadi, jauh sebelumnya, para sahabat

    Nabi telah banyak menggunakan maslahat mursalah di dalam mengambil kebijakan

    dan istinbath hukum, di antaranya sebagai berikut:

    a. Pembukuan al-Quran menjadi mushaf. Ketika itu sahabat Umar r.a. menggagas

    pembukuan al-Quran menjadi mushaf dan kemudian mendapat persetujuan dari

    Khalifah Abu Bakar r.a.. Persetujuan Abu Bakar r.a. tersebut merupakan ijtihad

    yang berdasarkan pendekatan maslahah mursalah, dengan pertimbangan akan

    hilangnya ayat al-Quran.78 Ijtihad ini sebelumnya tidak pernah dilakukan

    Rasulullah saw. namun ijtihad ini merupakan realisasi dari firman Allah:

    )/15:(Artinya: Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan

    Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (Q.S. al-Hijr/15:9).

    b. Umar Ibn Khattab pernah membagi atau memisahkan harta para pejabat atau

    penguasa dengan wilayah kekuasaannya. Karena ada dugaan tercampurnya harta

    pribadi dengan harta umum, dan juga dengan hartanya yang dipergunakan untuk

    kepentingan rakyat. Menurutnya hal ini dilakukan untuk kebaikan bagi para

    penguasa dan mencegah penumpukan harta oleh penguasa. Tapi sebenarnya yang

    terbaik adalah harus ada pemaparan harta pribadi agar tidak terjadi kezaliman

    antara penguasa dan rakyat79.

    78 Al-Syatibi, al-Itisham, (Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Haditsah, t.th), h. 115. Lihatpula Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, h. 281

    79 Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, h. 281.

  • 43

    43

    c. Khulafa al-Rasyidin memutuskan adanya (bolehnya) tadhmin al-shanai

    (menanggung ganti rugi) tentang dalil yang mendasarkan amanah, tetapi

    seandainya tidak ada jaminan mereka pasti meremehkan dan tidak memberikan

    hak sebagaimana mestinya, dimana harta orang banyak berada dalam kekuasaan

    mereka. Ali ibn Abi Thalib menerangkan bahwa asas tadmin adalah maslahah.

    Karena hanya itu yang terbaik, jadi setelah tadhmin al-shanai ditetapkan Ali ibn

    Abi Thalib, maka bagi para pembuat barang memiliki kewajiban untuk mengganti

    jika terjadi kerusakan atau kekeliruan pada barang yang dipesan.80

    d. Umar Ibn Khattab yang sengaja menumpahkan susu yang dicampur dengan air

    guna memberi pelajaran dan pendidikan kepada para penipu berselubung penjual

    susu yang mencampur susu dengan air. Langkah ini merupakan pendekatan

    maslahah mursalah sebagai upaya preventif dari terjadinya penipuan.81

    e. Para sahabat yang menetapkan hukuman mati terhadap semua anggota kelompok

    atau jamaah yang melakukan pembunuhan terhadap satu orang jika mereka

    melakukan pembunuhan itu secara bersama-sama. Karena menurut tinjauan

    maslahah saat itu menuntuk demikian. Alasannya, orang yang dibunuh itu

    masum al-dam (darah yang terjaga).82 Selain itu, menurut penulis apabila

    sekelompok orang yang membunuh itu tidak dikenakan qishas maka

    dikhawatirkan bagi mereka yang ingin membunuh orang lain, agar terhindar dari

    qishas, maka mereka melakukannya secara berjamaah.

    80 Al-Syatibi, al-Itisham., h. 119.81 Ibid., h. 120.

    82 Ibid., h. 125. Lihat pula: Abu Zahrah, Ushul Fiqh, h. 181.

  • 44

    44

    Kedua, paradigma maslahah seharusnya memiliki relevansi dengan tujuan

    syara, dengan asumsi, menggunakan maslahah sama dengan mengaplikasikan tujuan

    syarii (maqashid syariah), sebaliknya membiarkannya berarti membuang maqashid

    syariah. Oleh karena itu, menurut Imam Malik mengambil maslahah sebagai sumber

    hukum hukumnya wajib. Oleh karena itu, adalah wajib menggunakan dalil maslahah

    atas dasar bahwa ia adalah sumber hukum pokok (ashl) yang berdiri sendiri. Sumber

    hukum ini tidak keluar dari ushul atau sumber-sumber pokok, bahkan terjadi

    sinkronisasi antara maslahah dan maqashid syariah.83

    Ketiga, Kontroversi maslahah sebagai sumber hukum kondisional, akan

    berimplikasi pada kemandulan ushul al-syariah dan prinsip dasar hukum Islam yang

    sudah disepakati bersama (ijma), sehingga mukallaf akan mengalami kesulitan dan

    kesempitan84, padahal Allah swt. tidak menghendaki adanya kesulitan itu

    sebagaimana dikemukakan Allah dalam surat Al-Baqarah 185:

    ... ...)/2 :185(Artinya: ...Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki

    kesukaran bagimu... (Q.S. al-Baqarah/2: 185).

    dan dalam surat al-Hajj: 76.

    )/22 :76(Artinya: Allah mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakang

    mereka. dan hanya kepada Allah dikembalikan semua urusan. (Q.S. al-Hajj/22: 76).

    83 Abu Zahrah, Ushul Fiqh, h. 182.84 Ibid., 182.

  • 45

    45

    Menurut penulis, dengan adanya justifikasi dari ayat-ayat diatas setidaknya

    semakin mengukuhkan posisi maslahah sebagai salah satu sumber penggalian hukum,

    yang menuntut pengkajian lebih kritis atas penerapannya di bidang hukum. Hal itu

    disebabkan perkembangan persoalan kekinian di sektor sosial kemasyarakatan selalu

    variatif dan dinamis, sehingga dibutuhkan jawaban hukum yang sesuai pula dengan

    kasus hukumnya.

    5. Kriteria Maslahah Mursalah Imam Malik

    Menurut Imam Malik, maslahah mursalah merupakan dasar istinbath yang

    berdiri sendiri. Menurutnya ada beberapa syarat untuk dapat dikategorikan sebagai

    maslahat mursalah sebagai berikut.

    Pertama, maslahah tersebut bersifat reasonable (maqul) dan relevan

    (munasib) dengan kasus hukum yang ditetapkan.85

    Kedua, maslahah tersebut dijadikan dasar untuk memelihara sesuatu yang

    dharuri dan menghilangkan kesulitan (raful haraj), dengan cara menghilangkan

    masyaqat dan madarrat.86

    Ketiga, maslahah tersebut harus sesuai dengan maksud disyariatkan

    hukum (maqasid al-syariah), dan tidak bertentangan dengan dalil syara yang

    qathi.87

    Dari syarat-syarat konsep maslahah murslahah Imam Malik di atas, penulis

    memahami bahwa betapa eratnya hubungan antara metode maslahah mursalah dan

    85 Al-Syatibi, al-Itisham, h. 129.86 Ibid., h. 133.87 Ibid., h. 129.

  • 46

    46

    maqasid syariah. Sehingga untuk menggunakan metode maslahah mursalah ini,

    seorang ahli hukum Islam harus memperhatikan nilai-nilai maqasid syariah.

    Selain menentukan syarat-syarat suatu maslahah mursalah dapat dijadikan

    sumber, Imam Malik juga memberikan prinsip-prinsip universal dalam berijtihad

    dengan maslahat mursalah. Husain Hamid Hasan, sebagaimana dikutip Wahbah al-

    Zuhaili88, menyebutkan sebagai berikut:

    a. Berlakunya dugaan kuat dalam hukum.

    Artinya menegakkan dugaan kuat pada sesuatu dapat dijadikan sebagai

    suatu kenyataan sebenarnya. Prinsip pertama inilah menurut Imam Malik sebagai

    landasan syariah atau maslahah universal. Misalnya larangan berkhalwat (berbaur)

    antar pria dan wanita yang bukan mahramnya. Larangan tersebut mengandung unsur

    kecurigaan yang kuat terhadap perbuatan zina. Sehingga dugaan kuat pada sesuatu itu

    menjadi hukum itu sendiri.89

    b. Kewajiban mendahulukan kemaslahatan umum daripada kemaslahatan pribadi.

    Prinsip kedua ini juga merupakan landasan syari. Misalnya Larangan

    Rasulullah terhadap jual beli talq rukban90. Larangan ini bertujuan memelihara

    kemaslahatan pedagang secara pribadi karena dikhawatirkan akan terjadi ketidak

    88 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, h. 85-86.89 Ibid., 85.90 Talq Rukban adalah pedagang yang akan berjualan ke satu tempat (pasar) kemudian

    dihadang oleh pembeli. Transaksi jual beli ini dilarang oleh Rasulullah saw. dalam hadisnya, yaituhadis Ibn Abbas dengan lafadz (HR. Al-Jamaah)

  • 47

    47

    tahuan harga yang berlaku diantara para pedagang, sekaligus menjaga kemaslahatan

    orang banyak di pasar.91

    c. Kebolehan menolak kemudharatan yang terberat diantara dua kemudharatan

    Prinsip ketiga ini juga merupakan landasan syara. Misalnya perintah

    berjihad; walaupun perintah ini beresiko kehilangan nyawa, akan tetapi perintah ini

    adalah untuk mencegah bahaya musuh yang menyerang untuk menjaga agama dan

    negara dari serangan. Sebab eksistensi agama dan negara adalah lebih besar

    mudharatnya dibandingkan nyawa seseorang.92

    d. Kewajiban memelihara jiwa, yang termasuk prinsip-prinsip syara universal.

    Prinsip keempat juga merupakan landasan syara yang universal. Misalnya

    larangan tindakan pembunuhan, kewajiban sanksi qisash bagi pembunuh, penegakan

    hukum dan peradilan, dan lain-lain, 93

    6. Contoh-contoh Maslahah Mursalah Imam Malik

    Ada beberapa fatwa Imam Malik yang memakai maslahah, atau bahkan

    digunakan untuk mentakshis al-Quran dengan maslahah mursalah, yaitu:

    a. Wanita-wanita terhormat tidak diwajibkan menyusui

    Menurut Imam Malik, fatwa ini tidak bertentangan dengan nash al-Quran,

    yaitu:

    91 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, h. 86.92 Ibid., h. 86.93 Ibid., h. 87.

  • 48

    48

    ...)/2 :233(

    Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan ....

    Menurut pengakuan Imam Malik, pendapat tersebut tidak bertentangan

    dengan nash, karena ayat tersebut tidak menunjukkan wajib (tidak bermakna

    perintah), seperti kesepakatan para mufassir. Yang menjadi sandaran Malik adalah

    urf pada zamannya dimana menyusui tidak diharuskan untuk wanita terhormat,

    dengan memberikan upah bagi orang yang akan menyusui anaknya.94 Dalam hal ini,

    terlihat bahwa Imam Malik sangat memperhatikan kedekatan hubungan antara

    maslahah mursalah dengan urf sehingga mempengaruhinya dalam menetapkan suatu

    hukum. Hukum yang diputuskan sebaiknya mempertimbangkan kondisi lingkungan

    dan waktu.

    b. Diterimanya kesaksian anak kecil dalam kasus pelukaan (al-jarah)

    Selain bedasarkan maslahah yang tidak menyalahi Ushul al-Syariah,

    seperti hifdz al-dima (menjaga terjadinya pertumpahan darah) ia juga berpegang

    pada ijma ahl al-madinah dimana ia memposisikan sebagaimana hadist mutawatir.

    Hal ini telah dilakukannya terhadap kasus diterimanya persaksian anak kecil untuk

    mencegah terjadinya bahaya yang lebih besar.95

    c. Masa iddah bagi wanita monopouse

    94 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, h. 89.95 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, h. 90.

  • 49

    49

    Menurutnya, iddah bagi wanita mononopose adalah satu tahun, atau tiga

    bulan setelah masa suci dari haidh yang diperkirakan sembilab bulan. Dalam hal ini

    dasar pemikirannya selain maslahah juga menggunakan ijma Ahl al-Madinah, dan

    madzhab sahabat Umar ibn Abdul Aziz. Menurutnya, hal ini tidak berarti mentakhsis

    ayat:

    )/2 :228(Artinya: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali

    quru' (Q.S. Al-Baqarah/2: 228)

    Pendapat Imam Malik ini, jelas lebih banyak melihat aspek kemaslahatan

    dan ijma penduduk Madinah daripada makna dzahir nash tersebut.

    d. Membunuh kaum atheis yang berpura-pura

    Membunuh penganut atheis yang bersembunyi-sembunyi (pura-pura)

    masuk Islam dan tidak diterima taubatnya. Fatwanya banyak mengedepankan aspek

    maslahah, namun maslahah yang tidak bertentangan dengan nash, seperti yang

    ditegaskan pada hadist:

    :

    ) (96Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata bahwasanya Rasulullah saw. bersabda

    Saya disuruh untuk membunuh manusia sampai mereka menyaksikan diridengan mengucap Aku bersaksi bahwa tiada tuhan melainkan Allah.Apabila mereka telah mengucapkan sahadat tersebut maka telah terjagadarah mereka dan harta mereka.

    96 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh ..., h. 90.

  • 50

    50

    Secara tekstual, pada hadist diatas dijelaskan bahwa orang yang telah

    menyatakan dirinya Islam maka semua hak-haknya dilindungi, dan tidak boleh

    dibunuh. Akan tetapi, menurut Imam Malik, apabila pernyataan keislamannya hanya

    pura-pura maka orang tersebut tetap boleh dibunuh.97

    Secara pribadi, penulis sangat respek terhadap keberanian Imam Malik

    dalam memberikan fatwa yang belum pernah dilakukan oleh para mujtahid lainnya,

    walaupun tidak ada jaminan kebenaran hukum terhadap apa yang telah difatwakan

    dan diistinbathkan. Namun setidaknya, usaha terhadap penemuan-penemuan prinsip-

    prinsip hukum baru harus tetap dilakukan, karena perubahan dalam struktur sosial

    kemasyarakatan akan terus berevolusi dan dengan pola yang selalu berbeda. Jawaban

    terhadap masalah tersebut adalah ketentuan yang sesuai dengan persoalan hukum,

    baik keputusan maupun prinsip hukumnya yang telah dimodifikasi.

    B. Biografi Imam al-Tufi

    1. Kelahiran al-Tufi

    Nama lengkap ulama ini adalah Najamuddin Abu ar-Rabi' Sulaiman bin

    Abd al-Qawi bin Abd al-Karim bin Sa'id at-Tufi as-Sarsari al-Bagdadi al-Hanbali,

    yang terkenal dengan nama at-Tufi. Kadang juga ia disebut dengan nama Ibn Abbas

    97 Ibid., h. 90.

  • 51

    51

    al-Hanbali Najamuddin. Sebenarnya Kata al-Tufi adalah nama sebuah desa di daerah

    sarsara dekat Baghdad, dan di desa itulah tokoh ini dilahirkan. 98

    Mengenai tahun kelahirannya pada ulama berbeda pendapat ada yang

    mengatakan tahun 657 H (1259 M). Ada yang juga mengatakan tahun 675H99 dan

    meninggal pada tahun 716 H (1318 M).100 Berdasarkan keterangan ini, jelaslah

    bahwa tokoh ini lahir setahun setelah serbuan pasukan Mongol ke kota Baghdad yang

    dipimpin oleh Khulagu Khan pada tahun 1258 M.101 Jatuhnya kota Baghdad oleh

    serangan tentara Mongol tersebut merupakan peristiwa yang paling menentukan

    dalam sejarah kaum muslimin, sebuah pertanda awal kehancuran kaum muslimin.

    Jatuhnya Baghdad di atas dilukiskan sebagai seluruh dunia Islam gelap tak berdaya.

    Tidak seorangpun yang dapat membayangkan bencana yang lebih dahsyat daripada

    malapetaka ini. Akibatnya adalah integritas politik dunia Islam betul-betul

    berantakan.102

    2. Kondisi Sosial dan Ijtihad Pada Masa Imam al-Tufi

    Di samping informasi bahwa tokoh yang menjadi obyek pembahasan

    tulisan ini hidup dalam situasi integritas politik dunia Islam yang tercabik-cabik, juga

    98Ibnu al-Imad, Syazarat al-Zahab fi Akhbari Man Zahab (Beirut : al-Maktabat-Tijari,t.t.), V: 39. Lihat pula Musthafa Zaid, Al-Maslahah fi al-Tasyri al-Islami wa Najmuddin al-Thufi (Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, 1954), h. 65.

    99Mustafa Zaid, Al-Maslahah fi at-Tasyri' al-Islami wa Najmuddin at-Tufi, (Mesir: Daral-Fikr al-Arabi, 1959), h. 68.

    100Abd. al-Wahhab Khallaf, Masadir at-Tasyri' fima la Nassa fih, (Kuwait:Daral-Qalam, 1972), h. 105.

    101Lothrop Stoddard, Dunia Baru Islam, terjemahan H.M. Muljadi Djojowartono,dkk.(Jakarta: Panitia Penerbit,1966), h.29.

    102Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibn Taimiyyah, terj. Anas Mahyuddin,(Bandung : Pustaka, 1983), h. 37-38.

  • 52

    52

    at-Tufi hidup alam masa kemunduran Islam, terutama kemunduran hukum Islam.

    Fase kemunduran hukum Islam berlangsung lama yaitu dari pertengahan abad

    keempat Hijrah sampai akhir abad ketiga belas Hijrah. Pada fase tersebut para ulama

    kurang berani berinisiatif untuk mencapai tingkatan mujtahid mutlak dan menggali

    hukum-hukum Islam langsung dari sumber-sumbernya yang pokok, yaitu Qur'an dan

    Sunnah, atau mencari hukum suatu persoalan melalui salah satu dalil syara'. Mereka

    merasa cukup mengikuti pendapat-pendapat yang ditinggalkan oleh Imam-Imam

    mujtahid sebelumnya, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i dan

    Ahmad ibn Hambal. Berbagai faktor, baik politik, mental, sosial dan sebagainya telah

    mempengaruhi kegiatan mereka dalam lapangan hukum, sehingga tidak mempunyai

    fikiran independen, melainkan harus bertaklid.103

    Pergolakan politik telah mengakibatkan terpecahnya negeri Islam ketika

    itu menjadi beberapa negeri kecil, dan negeri-negeri tersebut selalu sibuk dengan

    peperangan, fitnah-memfitnah dan kehilangan ketenteraman masyarakat. Salah satu

    implikasinya ialah kurangnya perhatian umat ketika itu terhadap kemajuan ilmu

    pengetahuan.104

    Pada fase sebelumnya telah timbul mazhab-mazhab hukum Islam yang

    mempunyai metode dan cara berpikir sendiri di bawah seorang Imam mujtahid.

    Sebagai kelanjutannya ialah bahwa pengikut-pengikut mazhab-mazhab tersebut

    berusaha membela mazhabnya sendiri dan memperkuat dasar-dasar mazhab maupun

    103Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: P.T. Bulan Bintang,1984), h. 206.

    104 Ibid., h. 207.

  • 53

    53

    pendapat-pendapatnya, dengan cara mengemukakan kebenaran pendirian mazhabnya

    dan menyalahkan pendirian mazhab lain atau dengan cara memuji-muji Imam pendiri

    mazhab yang dianutnya. Dengan usaha-usaha tersebut, seseorang tidak lagi

    mengarahkan perhatiannya kepada sumber hukum yang utama, yaitu Qur'an dan

    Hadis, dan baru memakai nas-nas kedua sumber ini untuk memperkuat pendapat

    Imamnya, meskipun kadang-kadang harus melalui pemahaman yang tidak

    semestinya. Dengan demikian, kepribadian seseorang menjadi lebur dalam

    golongannya dan kebebasan berpikir menjadi hapus. Orang-orang berilmu akhirnya

    menjadi orang-orang awam yang mencukupkan dengan taqlid. Sudah barang tentu

    fanatik terhadap suatu pikiran menyebabkan pikiran seseorang kaku dan baku.105

    Pembukuan pendapat-pendapat mazhab menyebabkan orang mudah untuk

    mencarinya. Pada fase-fase sebelumnya para fuqaha harus berijtihad karena

    dihadapkan kepada hal-hal yang tidak ada hukumnya. Setelah ijtihad-ijtihad mereka

    dibukukan, bagi orang-orang yang datang kemudian hanya mencukupkan dengan

    pendapat yang telah ada.

    Pada masa-masa sebelumnya, hakim-hakim terdiri dari orang-orang yang

    bisa melakukan ijtihad. Akan tetapi pada masa selanjutnya hakim-hakim diangkat

    dari orang-orang yang bertaqlid, agar mereka memakai mazhab tertentu dan terputus

    hubungannya dengan mazhab yang tidak dipakai di peradilan. Apalagi hakim-hakim

    yang bisa berijtihad seringkali keputusannya menjadi sasaran kritik

    penganut-penganut mazhab tertentu. Dengan terikatnya seorang hakim pada mazhab

    105 Ibid., h. 209.

  • 54

    54

    fiqh yang disukai oleh penguasa negara menjadi sebab orang banyak merasa puas

    terhadap mazhab tersebut.106

    Oleh karena kaum muslimin tidak mengadakan jaminan agar ijtihad jangan

    sampai digunakan oleh orang-orang yang tidak berhak, timbullah kekacauan dalam

    persoalan ijtihad dan mengeluarkan pendapat. Orang-orang yang tidak berhak berij-

    tihad ikut melakukan ijtihad, dan orang-orang awam ikut-ikut memberikan fatwa, dan

    dengan demikian mereka telah mempermainkan nash-nash Syari'at dan kepentingan

    orang banyak. Akibatnya ialah banyak fatwa yang berbeda-beda dan bersim-

    pang-siurnya keputusan-keputusan hakim, meskipun kadang-kadang masih di negeri

    yang satu dan dalam persoalan yang sama, sedang kesemuanya dianggap sebagai

    hukum-hukum syara'. Setelah melihat kekacauan dalam lapangan hukum tersebut,

    para ulama pada akhir abad keempat Hijrah menetapkan penutupan pintu ijtihad dan

    membatasi kekuasaan para hakim dan para pemberi fatwa dengan pendapat-pendapat

    yang ditinggalkan oleh ulama-ulama sebelumnya. Akhirnya pintu ijtihad resmi

    ditutup.107

    Tanda-tanda kebekuan dan kemunduran yang panjang tersebut terlihat

    pada kenyataan-kenyataan berikut: Sebagai akibat para fuqaha tidak melakukan

    ijtihad, baik karena malas dan tidak adanya daya-kreasi baru, atau karena menerima

    tertutupnya pintu ijtihad sebagai suatu keputusan ijma', kegiatan para fuqaha hanya

    berkisar membahas pendapat-pendapat Imam-Imam mujtahid yang lalu, seperti

    106Ibid., h. 207.107Ibid., h. 208.

  • 55

    55

    penyusunan masalah-masalah yang sudah ada, memilah-milah antara

    pendapat-pendapat yang kuat dengan pendapat yang lemah, dan menyusun

    ikhtisar-ikhtisar kitab fiqh atau "matan-matan" yang kadang-kadang merupakan

    rumus-rumus yang sukar dimengerti, kemudian diberikan penjelasan yang terkenal

    dengan nama "syarah", dan penjelasan ini diberi penjelasan lagi, atau diberi

    catatan-catatan yang terkenal dengan nama "hasyiah" atau "ta'liqat".108 Maka semakin

    benar apa yang dikatakan oleh al-Jabiri bahwa pada masa itu pembacaan teks (turats)

    itu hanya model al-qiraah al-mutakarrirah109 belum beranjak pada al-qiraah al-

    muntijah.

    Corak lain dari cara penyusunan kitab dari masa kemunduran ialah

    penghimpunan fatwa-fatwa dalam satu mazhab. Akan tetapi kitab-kitab fatwa ini

    merupakan suatu perbendaharaan yang sukar dinilai dalam hukum Islam110.

    Akibatnya hukum Islam menjadi terisolasi dari persoalan kehidupan,

    karena persoalan kehidupan ini akan selalu muncul, sedang hukum-hukum Islam

    harus dicukupkan pada ijtihad-ijtihad dari masa sebelumnya, dan hukum Islam hanya

    bersifat teori semata dan tidak bisa merespons masalah-masalah baru dalam

    kehidupan manusia. Dalam pada itu pusat ilmu-ilmu pada waktu itu terutama hukum

    Islam berpindah-pindah, dari kota-kota Bagdad, Bukhara dan Naisabur, ke kota-kota

    Mesir, Syam, India, Asia Kecil dan Afrika.

    108 Ibid., h. 209.109 Model pembacaan yang hanya mengulang-ngulang dari tradisi yang terwariskan dari

    generasi ke generasi yang seolah menjadi kekuatan yang paten yang tidak bisa diganggu gugat. Lihat:M. Abid al-Jabiri, Post Tradisionalime Islam, terj. Ahmad Baso, (Yogyakarta: L-KiS, 2000), h. 35.

    110 Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, h. 210.

  • 56

    56

    Maka menjadi jelaslah bahwa secara historis al-Tufi lahir dari latar

    belakang kemunduran Islam khususnya hukum Islam yang menuntut suatu

    pembaharuan. Sedangkan secara sosio-politik terjadinya fenomena disintegrasi serta

    fanatisme madzhab yang berlebihan, sehingga tidak jarang satu madzhab menghujat

    madzhab yang lain. Al-Tufi lahir dalam keadaan masyarakat yang krisis, tidak

    menentu setelah jatuhnya Baghdad pada pasukan mongol. Fenomena stagnasi hukum

    Islam inilah tampaknya yang banyak memberikan pengaruh pada pemikiran al-Tufi,

    yang untuk ukuran masanya bahkan sampai sekarang pun terlihat sangat liberal.111

    Meskipun masa tersebut dinamakan masa kemunduran, pada masa ini

    masih terdapat fuqaha-fuqaha bebas yang menentang taqlid dan menyerukan kembali

    kepada Qur'an dan Hadis. Usaha-usaha mereka ini berhasil dan besar pengaruhnya

    terhadap masa-masa berikutnya. Di antara fuqaha-fuqaha bebas adalah Ibnu Taimiyah

    (wafat 728 H) yang mempunyai karya-karya baru. Di antaranya ialah

    "fatwa-fatwanya" yang merupakan segi penerapan praktis hukum-hukum Islam,

    karena fatwa-fatwanya tersebut merupakan jawaban-jawaban terhadap peristiwa yang

    terjadi pada masanya. Tokoh lain ialah Ibnul Qayyim (wafat 751 H) yang menulis

    buku-buku hukum Islam yang sangat bernilai, seperti I'lam al-Muwaqi'in.112

    Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diduga bahwa at-Tufi hidup segenerasi

    111 M. Zainal Abidin, Konsep Maslahat al-Thufi dan Signifikansinya Bagi DinamisasiHukum Islam, Syariah; Jurnal Ilmu Hukum, no. 1., v. 7, 7 Juni 2007.

    112Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. h. 209, Lihat pula: AnwarAhmad Qadri, Islamic Jurisprudence in The Modern World, (Pakistan: SH. Muhammad AshrafKashmir Bazar Lahore, t.t.), h. 67-77.

  • 57

    57

    dengan Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah. Menurut suatu keterangan

    memang bahwa at-Tufi adalah salah seorang murid Ibnu Taimiyah.113

    Al-Thufi merupakan sosok yang terkenal sebagai seorang pecinta ilmu.

    Selain terkenal cerdas ia juga dikenal dengan kekuatan hafalannya. Kecintaan

    terhadap ilmu bisa dilihat dari ketekunannya untuk belajar pelbagai disiplin ilmu

    pengetahuan di pelbagai tempat dan dari para alim ulama yang masyhur di zamannya.

    Bidang-bidang kajian yang ia tekuni di antaranya ilmu tafsir, hadis, fiqih, mantiq,

    sastra, teologi dan lain sebagainnya. Sedangkan tempat-tempat yang pernah

    disinggahi dalam pembelajarannya Sarsari, Baghdad, Damaskus, Kairo, dan tempat-

    tempat lainnya yang pada waktu itu dikenal sebagai bertempatnya ulama-ulama

    masyhur.114

    Karya-karya tulis al-Tufi dimaksud dapat diklasifikasikan kepada lima

    bidang, yaitu kelompok ilmu Al-Quran dan Hadis, Kelompok ilmu usuluddin

    (teologi), kelompok fiqh, kelompok usul al-fiqh dan kelompok bahasa, sastra dan

    lain-lain.

    3. Dalil Syara menurut Imam Al-Thufi

    Menurut at-Tufi bahwa, "Sesungguhnya dalil-dalil syari'at itu terdiri dari

    sembilan belas macam. Setelah diadakan penelitian, semua pendapat ulama' telah

    tercakup di dalam macam-macam tersebut. Sembilan belas dalil tersebut adalah :

    113Mustafa Zaid, Al-Maslahah, h. 72-74.114 M. Zainal Abidin, Konsep Maslahat al-Thufi dan Signifikansinya Bagi Dinamisasi

    Hukum Islam, (Syariah; Jurnal Ilmu Hukum, no. 1., v. 7, 7 Juni 2007), h. 94.

  • 58

    58

    (1).al-Kitab, (2). as-Sunnah, (3). Ijma' al-Ummah, (4). Ijma' ahl al-Madinnah, (5).

    al-Qiyas, (6). Perkataan sahabat Rasul, (7). Masalih al-Mursalah, (8). al-Istishab,

    (9). al-Bara'ah al-Asliyyah, (10). al-'Awaid, (11).Istiqra',(12). Saddu az-Zara'i, (13).

    Istidlal, (14). al-Istihsan, (15).al Akhzu bi al-Akhaffi (mengambil yang lebih

    ringan),(16). al-'Ismah, (17). ijma' ahl al-kufah, (18). Ijma' ahl al-'Itrah (keluarga

    Nabi), (19). Ijma' al-Khulafa' al-Rasyidin.115

    Dari sembilan belas dalil tersebut, dalil terkuat adalah nash dan ijma'.

    Keduanya ini terkadang selaras dan terkadang bertentangan dengan maslahat. Jika

    selaras dengan maslahat, tidak perlu dipertentangkan lagi. Hal ini karena telah adanya

    kesepakatan tiga dalil sekaligus bagi suatu hukum, yakni nash, ijma' dan maslahat,

    yang diambil dari pengertian sabda Rasulullah saw. la dara wa la dirara. Jika antara

    keduanya bertentangan, yang harus didahulukan adalah penggunaan maslahat

    daripada nas dan ijma'. Caranya mengadakan takhsis atau tabyin terhadap pengertian

    nas dan ijma', bukan membekukan berlakunya salah satu dari keduanya. Sama

    halnya dengan penjelasan Sunnah terhadap ayat Alquran, kemudian mengamalkan

    pengertian Sunnah.116

    Pengertian sabda Rasul tersebut ialah menetapkan maslahat dan menafikan

    (meniadakan) mudarat. Sebab, mudarat adalah kerusakan. Jika dilarang oleh syari'at,

    115Ahmad Abd al-Rahim al-Sayih, Risalah fi Ri'ayat al-Maslahah li al-Imam at-Tufi (Mesir: Dar al-Misriyah li al-Bananiyah, 1993), h.13-18.

    116Ibid, h. 23-24.

  • 59

    59

    maslahat haruslah dipertahankan karena keduanya merupakan dua hal yang

    bertentangan bagai air dan minyak.117

    Ringkasnya, nas dan ijma' itu terkadang tidak mengandung segi mudarat

    dan mafsadat, atau memang mengandung mudarat. Jika tidak mengandung mudarat

    sama sekali, berarti keduanya sama dengan maslahat. Akan tetapi jika mengandung

    mudarat, terkadang mudarat itu bersifat menyeluruh atau sebagian. Jika mudarat

    yang ada itu bersifat keseluruhan, hal itu termasuk pengecualian dari hadis

    Rasulullah saw. la darara wa la dirara, seperti yang terdapat di dalam masalah hadd,

    uqubat dan jinayat. Jika pengertian dararah (mudarat) hanya sebagian, jika terdapat

    dalil yang menguatkan, hendaknya melakukan perbuatan sesuai dengan dalil yang

    menguatkan tersebut. Apabila terdapat dalil khusus yang men-takhsis, wajib

    di-takhsis dengan pengertian hadis Rasul la darara wa la dirarah, dengan pengertian

    mengadakan kompromi antara dalil-dalil tersebut.118

    4. Konsep Maslahah Mursalah Imam al-Thufi

    Dalam pandangan at-Tufi bahasan lafaz maslahat berdasarkan wazan

    maf'alatun dari kata shalah. Artinya, bentuk sesuatu dibuat sedemikian rupa sesuai

    dengan kegunaannya. Misalnya, pena dibuat sedemikian rupa agar dapat digunakan

    untuk menulis (al-qalamu yakunu ala haiatihi shalihatun li al-kitabah). Pedang

    dibikin sedemikian rupa sehingga bisa dipakai untuk memenggal. Adapun batasnya,

    117Ibid, h. 23.118Ibid, h.24.

  • 60

    60

    sesuai kebiasaan (urf), yakni al-sabab al-muaddi ila al-shalah wa al-nafu),119

    maksudnya bahwa sesuatu maslahah berarti ia dalam keadaan baik, lengkap,

    berfungsi, dan berguna sesuai dengan tujuan barang itu diadakan dan tidak

    menimbulkan kerusakan dan kebinasaan.

    Dengan mempergunakan pengertian ini, maslahah kemudian didefinisikan

    sebagai sarana yang berdimensi sebagai kausalitas yang menyebabkan adanya

    maslahat dan manfaat. Misalnya, perdagangan adalah sarana untuk mencapai

    keuntungan. Pengertian berdasarkan syari'at adalah sesuatu yang menjadi penyebab

    untuk sampai kepada maksud syar'i, baik berupa ibadat maupun adat (al-sabab al-

    muaddi ila maqshud al-syari ibadatan wa adatan)120.

    Kemudian, al-Tufi membagi maslahat menjadi dua bagian, yaitu perbuatan

    yang memang merupakan kehendak syari' (Allah swt.), yakni ibadat dan apa yang

    dimaksudkan untuk kemanfaatan semua umat manusia dan tatanan kehidupan, seperti

    adat istiadat (muamalah).121

    Pandangan at-Tufi tentang maslahat sebagaimana dikemukakan pada

    bagian pendahuluan adalah berasal dari pembahasan (syarah) Hadis nomor 32 hadis

    Arba'in Nawawi. Hadis dimaksud adalah berbunyi

    Artinya: "tidak memudaratkan diri sendiri dan tidak memudaratkan orang lain".

    119Ahmad Abd al-Rahim al-Sayih, Risalah fi Ri'ayat al-Maslahah li al-Imam at-Tufi(Mesir: Dar al-Misriyah li al-Bananiyah, 1993), h. 25

    120 Ibid., h. 25.121 Ibid., h.25

  • 61

    61

    Bahasan at-Tufi mengenai Hadis terseb