ABDUL AZIS S - Unhas

108
PENGEMBANGAN VARIABLE RATE FERTILIZER APPLICATOR BERBASIS MIKROKONTROLER 32-BIT ABDUL AZIS S SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2018

Transcript of ABDUL AZIS S - Unhas

Page 1: ABDUL AZIS S - Unhas

PENGEMBANGAN VARIABLE RATE FERTILIZER

APPLICATOR BERBASIS MIKROKONTROLER 32-BIT

ABDUL AZIS S SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2018

Page 2: ABDUL AZIS S - Unhas
Page 3: ABDUL AZIS S - Unhas

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa disertas berjudul Pengembangan Varible Rate Fertilizer Applicatror Berbasis Mikrokontroler 32-Bit adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2018 Abdul Azis S NIM F163120061

Page 4: ABDUL AZIS S - Unhas

RINGKASAN ABDUL AZIS S. Pengembangan Variable Rate Fertilizer Applicator Berbasis Mikrokontroler 32-Bit. Dibimbing oleh RADITE PRAEKO AGUS SETIAWAN, WAWAN HERMAWAN dan TINEKE MANDANG. Pemupukan merupakan salah satu tahapan dalam budi daya pertanian, baik tanaman perkebunan maupun persawahan, yang sangat berperan dalam menentukan keberhasilan produksi. Pemupukan berperan dalam menyuplai atau mengganti kandungan hara bagi tanaman yang berkurang atau bahkan habis terserap oleh tanaman selama proses budidaya yang terus menerus. Kekurangan unsur hara, terutama hara makro, akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan serta produktifitas tanaman. Oleh karena itu, menjadi salah satu faktor krusial dan biaya tinggi dalam budidaya tanaman. Selama ini, teknik pemupukan tanaman padi sawah di Indonesia dilakukan secara manual dengan ditebar menggunakan tangan. Teknik ini tentunya akan menghasilkan pola dan dosis pemupukan yang tidak seragam dan akan mengakibatkan pertumbuhan tanaman dalam satu lahan tidak seragam. Bagi tanaman yang memperoleh dosis pemupukan kurang dari kebutuhan akan menyebabkan pertumbuhan terhambat dan cenderung kerdil, sedangkan bagi tanaman yang menerima pupuk dengan dosis melebihi kebutuhan akan menyebabkan pertumbuhan cepat pada pase vegetatifnya dan mempengaruhi perkembangan generatifnya. Selain itu, telah banyak penelitian yang memaparkan dampak pemupukan berlebih, diantaranya berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan, menurunkan pH tanah dan terjadinya nutrition disorder akibat terakumulasinya unsur hara P dan K. Variable rate fertilizer applicator (VRFA) merupakan salah satu teknologi yang mampu mengatasi dampak penggunaan pupuk yang tidak tepat. Teknologi ini dapat menjatah pupuk sesuai dengan kebutuhan melalui sistem pengontrolan dosis pemupukan dan aplikasi pemupukan tepat lokasi melalui teknologi GPS dan dan pengujian tanah. Pengembangan dan penerapan teknologi VRFA memerlukan sebuah teknologi metering device terkontrol yang dapat mengendalikan dosis penjatahan pupuk granular. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan sebuah metering device yang dapat dikontrol untuk aplikator pemupukan presisi pada tanaman padi sawah. Untuk mencapai tujuan ini, maka dilakukan beberapa tahapan, yaitu pemilihan mode kontrol dan pengembangan sistem pengontrolan, mendesain dan menguji performa metering device menggunakan sistem pengontrolan dengan menggunakan metode step response dan stair step response. Sebuah meering device tipe auger telah berhasil didesain dan dipabrikasi. auger dibuat dari bahan stainless sedangkan hopper terbuat dari bahan akrilik. Metering device ini digunakan untuk mengeluarkan pupuk dari hopper melalui putaran auger. Pengontrolan dosis pemupukan dilakukan melalui pengontrolan kecepatan motor DC yang terhubung dengan poros auger. Pengontrolan kecepatan motor menggunakan kontrol PID dan penalaan konstanta PID menggunakan metode internal model control (IMC) melalui pendekatan model Tustin. Hasil penalaan PID menghasilkan nilai-nilai konstanta KP, KI dan KD berturut-turut sebesar 0.4013; 0.0988 dan 0.0176 untuk perlakuan dengan PWM

Page 5: ABDUL AZIS S - Unhas

100. Sedangkan perlakuan dengan PWM 400 berturut-turut diperoleh sebesar 0.2314; 0.0531 dan 0.044. Kedua pasangan konstanta PID tersebut kemudian diuji untuk mengendalikan kecepatan motor DC. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kedua pasangan konstanta PID tersebut mampu mengendalikan kecepatan motor sesuai dengan nilai set-point yang diberikan. Pengujian kalibrasi statis dilakukan terhadap tiga unit metering device. Hasil pengujian menunjukkan bahwa antara kecepatan motor DC (sumbu y) dan massa pupuk yang keluar dari metering device (sumbu x) berkorelasi secara linier dengan persamaan korelasi antara kecepatan motor DC dengan keluaran pupuk dari ketiga metering device y = 7.125x – 108.9; y = 6.893x – 118.1; dan y = 7.11x – 10.8 dengan masing-masing koefisien determinasi R2 = 0.996; 0.998; dan 0.999. Hasil pengujian dengan metode stair step response menunjukkan bahwa performa sistem pengontrolan yang dikembangkan mampu mengontrol kecepatan motor DC, baik pada pengujian tanpa pupuk maupun dengan pupuk. Hal ini dibuktikan dengan grafik kecepatan motor DC dengan waktu yang mampu mengikuti setiap perubahan nilai set-point yang diberikan, baik pada step naik (step-up) maupun step turun (step-down). Pengujian kalibrasi dinamis menghasilkan persamaan kalibrasi dinamis yang menunjukkan korelasi antara kecepatan motor DC (sumbu y) dengan massa pupuk (sumbu x). pengujian ini menghasilkan korelasi linier untuk masing-masing motor dengan persamaan korelasi y = 7.667x – 77.81 (R2 = 0.984) untuk metering device I; y = 7.674x - 37.19 (R2 = 0.984) untuk metering device II; dan y = 8.027x + 101.4 (R2 = 0.992) untuk metering device III. Hasil pengujian distribusi sebaran pupuk, baik dengan metode step response maupun dengan metode stair step response memperlihatkan bahwa pupuk hasil jatahan metering device terdistribusi merata ke lintasan untuk masing-masing perlakuan kecepatan motor DC Pengujian variable rate fertilizer applicator terintegrasi RTK DGPS berhasil dilakukan. Terdapat 66 blok pengujian dengan ukuran masing-masing blok adalah 3 m x 3 m. Dosis target pemupukan ditentukan secara acak dengan variasi dosis antara 150 – 250 kg/ha. Hasil pengujian menunjukkan bahwa unit VRFA mampu menjatah pupuk NPK mengikuti peta kebutuhan dosis yang diberikan dengan tingkat error yang cukup kecil. Error terkecil yang diperoleh sebesar -0.02% dan tertinggi sebesar -6.12% dengan rata-rata error sebesar 1.76%. Tanda minus menunjukkan bahwa dosis pupuk yang dijatahkan oleh unit pemupuk lebih kecil dari dosis target. Kata kunci: fertilizer applicator, kontrol PID, metering device, step response, internal model control

Page 6: ABDUL AZIS S - Unhas

SUMMARY ABDUL AZIS. Development of Variable Rate Fertilizer Applicator Based on 32-Bit Microcontroller. Supervised by RADITE PRAEKO AGUS SETIAWAN, WAWAN HERMAWAN and TINEKE MANDANG. Fertilization is one of the stages in agricultural cultivation, both plantation crops and paddy fields, which determined the success of production. Fertilization have a role in supplying or replacing nutrient content for plants that it are reduced or depleted by the activity of cultivation continuously. Lack of nutrients, especially macro nutrients, would affect the growth and productivity of plant. Therefore, fertilization becomes crucial and high cost factors in the plants cultivation. All this time, the technique of paddy rice fertilization in Indonesia is conducted by hand spread. This technique would certainly produce ununiform patterns and doses of fertilization and ununiform growth of plants in a paddy field. Lack of fertilizer dose by plant caused hampered growth and tend to stunted, otherwish, overdose of fertilizer would cause rapid growth in vegetative phase but hampered development of generative phase (formation of flowers and seeds). In addition, many studies have highlighted the effects of over-fertilization, such as the potential to caused environmental pollution, lowering soil pH and the occurrence of nutrition disorder due to the accumulation of nutrients P and K. Variable rate applicator (VRA) is one of the technologies that can minimize the negative impacts of uniform rate applicator. VRA technology of fertilizer can give the right dose, the right location and the right time fertilizer application. The right dose is the application of fertilizer according to the plants needed, either type or amount of fertilizer and it takes variable rate technology (VRT). whereas the right location and time requires the GPS/DGPS and analysis of soil and plant nutrient content respectively. The development and application of VRFA technology requires a controlled metering device technology that can control the dose of granular fertilizer rationing. Therefore, the purpose of this study was to develop a controlled metering device for precision fertilization applicants in wetland rice crops. To achieve this goal, several stages are performed, namely, the selection of control mode and the development of control systems, designing and testing the performance of metering devices using a control system by using step response and stair step response methods. An auger-type metering system for variable rate fertilizer applicator was designed and created. It was consisted of a auger-type made of stainless and a hopper made of acrylic. it was used to discharge of granular fertilizer from the hopper by auger rotation. Controlling of fertilizer dose was done by controlled speed of DC motor that its axis connected to auger. PID control was used to control DC motor speed. The PID tuning was conducted using Internal Model Control (IMC) with Tustin model approach The result of PID tuning have generated KP, KI and KD constant values of 0.4013; 0.0988 and 0.0176 respectively for treatment with PWM of 200. for treatment with PWM of 400 have generated KP, KI and KD constant of 0.2314; 0.0531 and 0.044 respectively. Both pairs of the PID constants have been tested

Page 7: ABDUL AZIS S - Unhas

to control the speed of a DC motor. The results showed that they were capable of controlling motor speed according to the given set-point value. The statics calibration test is conducted on three units of metering device. The test results showed that between the DC motor speed and the mass of the fertilizer discharged was correlated linearly with the correlation equation of the three metering devices y = 7.125x – 108.9 (R2 = 0.996); y = 6.893x – 118.1 (R2 = 0.998); and y = 7.11x – 10.8 (R2 = 0.999) respectively. The result of stair step response test showed that the performance of control system could control the speed of DC motor, either testing without fertilizer or with fertilizer. This is evidenced by the graph of DC motor speed could follow every change of set-point given either step-up or step-down. Dynamic calibration testing provided three linier calibration equation between DC motor speed and the mass of fertilizer for third metering devices. They are y = 7.667x – 77.81 (R2 = 0.984) ; y = 7.674x - 37.19 (R2 = 0.984); y = y = 8.027x + 101.4 (R2 = 0.992) respectively. The results of distribution test of fertilizer, either by step response method or stair step response method showed that the fertilizer discharged from metering device evenly distributed to the track for each DC motor speed treatment. The variable rate fertilizer applicator integrated of RTK DGPS was successfully tested. There are 66 test blocks with the size of each block is 3 m x 3 m. The target dose of fertilization was determined by random with dose variation between 150 - 250 kg/ha. The test results showed that the VRFA unit is able to ration NPK fertilizer following the dose requirement map given with a small error rate. The smallest error obtained is -0.02% and the highest is -6.12% with an average error of 1.76%. The minus sign indicates that the fertilizer dose allocated by the fertilizer unit is smaller than the target dose Keywords: fertilizer applicator, PID control, metering device, step response, internal model control

Page 8: ABDUL AZIS S - Unhas

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2018 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

Page 9: ABDUL AZIS S - Unhas

Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian PENGEMBANGAN VARIABLE RATE FERTILIZER APPLICATOR BERBASIS MIKROKONTROLER 32-BIT

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2018

ABDUL AZIS S

Page 10: ABDUL AZIS S - Unhas

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: Dr Ir I Dewa Made Subrata, M.Agr Dr Ir Joko Pitoyo, M.Si Penguji Luar Komisi pada Sidang Promosi: Dr Ir I Dewa Made Subrata, M.Agr Prof. Dr Ir Mursalim

Page 11: ABDUL AZIS S - Unhas

Judul Tesis : Pengembangan Variable Rate Fertilizer Applicator Berbasis Mikrokontroler 32-Bit Nama : Abdul Azis S NIM : F163120061 Disetujui oleh Komisi Pembimbing Dr Ir Radite P.A Setiawan, M.Agr Ketua Dr Ir Wawan Hermawan, M.S Anggota Prof Dr Ir Tineke Mandang, M.S Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian Dr Ir Wawan Hermawan, MS Plt. Dekan Sekolah Pascasarjana Dr Ir Eka Intan Kumala Putri, M.Si Tanggal Ujian Tertutup : 21 Agustus 2017 Tanggal Sidang Promosi : 29 Agustus 2017 Tanggal Lulus:

Page 12: ABDUL AZIS S - Unhas

PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2015 sampai Februari 2018 ini adalah Pemupukan presisi, dengan judul Pengembangan variable Rate Fertilizer Applicator berbasis mikrokontroler 32-bit. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Radite Praeko Agus Setiawan, Dr Ir Wawan Hermawan dan Prof Dr Ir Tineke Mandang selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada pak Bandi, pak Syafrudin, pak Firman, pak Darm, pak Wana dan pak Parma atas kerjasamanya selama proses perancangan dan pengujian alat. Ungkapan terima kasih disampaikan kepada Ibunda tercinta, istri, anak serta seluruh keluarga atas doa dan dukungannya. Terima kasih juga kepada rekan-rekan seperjuangan TEP angkatan 2012 pak Agus, pak Edi, pak Joko, pak Safrizal, dan bu Yani atas segala kejasama yang baik dan tulus selama proses perkuliahan hingga penelitian. Terima kasih juga kepada bu Rus dan pak Mul atas pelayanan administrasi yang sangat baik. Tentu saja karya ilmiah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, namun harapannya, semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Maret 2018 Abdul Azis S

Page 13: ABDUL AZIS S - Unhas

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR LAMPIRAN viii 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 5 Tujuan Penelitian 7 Kebaruan Penelitian 7 Manfaat Penelitian 7 Ruang Lingkup Penelitian 8 2 PENALAAN KONSTANTA PROPORTIONAL DERIVATIVE INTEGRAL MENGGUNAKAN INTERNAL MODEL CONTROLLER DENGAN PENDEKATAN MODEL TUSTIN 8 Pendahuluan 8 Bahan dan Metode 13 Hasil Dan Pembahasan 18 Simpulan 22 3 DESAIN DAN PENGUJIAN PERFORMANSI METERING DEVICE TIPE AUGER UNTUK VARIABLE RATE FERTILIZER APPLICATOR 23 Pendahuluan 23 Bahan dan Metode 26 Hasil dan Pembahasan 33 Simpulan 38 4 PENGUJIAN PERFORMA METERING DEVICE DI LAHAN 39 Pendahuluan 39 Bahan dan Metode 40 Hasil Dan Pembahasan 45 Simpulan 50 5 PENGUJIAN METERING DEVICE DENGAN INTEGRASI RTK DGPS 51 Pendahuluan 51 Bahan dan Metode 53 Hasil dan Pembahasan 58 Simpulan 61 6 PEMBAHASAN UMUM 62 SIMPULAN DAN SARAN 64 Simpulan 64 Saran 65

Page 14: ABDUL AZIS S - Unhas

DAFTAR PUSTAKA 65 LAMPIRAN 70 RIWAYAT HIDUP 92

Page 15: ABDUL AZIS S - Unhas

DAFTAR TABEL 1. Hasil perhitungan dimensi hopper 27 2. Hasil perhitungan dimensi auger 29 3. Perhitungan error masing-masing hasil pengujian metering device 36 4. Perhitungan error distribusi pupuk ketiga metering device 48 5. Hasil pengujian distribusi jatahan pupuk metering device metode stair step response 50 6. Hasil Kalibrasi Pembacaan RTK DGPS Double Precision 59 7. Hasil Kalibrasi Pembacaan RTK DGPS single precision 59

DAFTAR GAMBAR 1. Ilustrasi bagian-bagian dari variable rate vertilizer applicator 2 2. Ilustrasi alur data dan kontrol dalam pengontrolan metering device. 3 3. Peta kondisi tanaman padi berdasarkan BWD (Astika, 2010) 4 4. Bagan struktur dasar internal model controller (a), equivalent feedback internal model controller 11 5. Mikrokontroler STM32F401RE Nucleo 13 6. Motor DC dengan rotary encoder (a) dan modul EMS 30A H-bridge 13 7. Bagan alir pemrograman loop terbuka 14 8. Bagan alir pengujian kinerja konstanta-konstanta KP, KI dan KD 15 9. Hasil penalaan dan simulasi parameter-parameter kontrol 19 10. Hasil pengujian parameter-parameter PID pada set-point 700 rpm 20 11. Hasil pengujian parameter-parameter PID pada set-point 1500 rpm 19 12. Hasil pengujian konstanta-konstanta PID pada set-point 2000 rpm 21 13. Hasil pengujian modifikasi konstanta PID 22 14. Macam-macam tipe metering device: tipe close-fitting auger (a), wire-belt (b), edge-cell vertical rotor (c), dan positive feed fluted roll 24 15. metering device tipe star-type roller feeders (Radite et al. 2000) 25 16. Metering device tipe star 25 17. Desain dan dimensi hopper 27 18. Ilustrasi jalur pemupukan 28 19. Desain dan dimensi auger 29 20. Tahapan kalibrasi metering device 30 21. Instalasi komponen-komponen pengujian metering device 31 22. Tampilan aplikasi SoRtMSi 2011 dan Tera term 31 23. Proses pengeluaran dan penimbangan pupuk 31 24. Tahapan pengujian kinerja metering device metode stair step response tanpa pupuk 32 25. Ilustrasi metode stair step response 33 26. Auger hasil desain 33 27. hopper hasil desain 33 28. Grafik hubungan kecepatan motor dengan keluaran pupuk pada tiga metering device pada perlakuan selama 20 detik 34 29. Hasil pengujian metering device metode stair step response tanpa pupuk pada tiga metering device 35

Page 16: ABDUL AZIS S - Unhas

30. Bentuk dan posisi bantalan (boosing) pada poros auger 35 31. Grafik hasil pengujian ketiga metering device metode stair-step response 36 32. Grafik hasil pengujian keluaran pupuk metode stair-step response pada tiga metering device 37 33. Grafik perubahan massa pupuk keluaran ketiga metering device 38 34. Pengujian dinamis metering device (Sapsal 2012a) 39 35. Hasil penggandengan metering device transplanter 42 36. Prosedur kalibrasi dinamis metering device 41 37. Tiga titik gandeng transplanter 41 38. Posisi pemasangan wadah pupuk 42 39. Prosedur pengujian distribusi pupuk 43 40. Lintasan dan posisi selang pengarah terhadap lintasan 43 41. Proses pengambilan sampel pupuk 44 42. Lintasan pengujian distribusi pupuk metode stair step response 44 43. Penyetingan alat pada lintasan metode stair step response 45 44. Grafik hasil kalibrasi dinamis metering device 46 45. Distribusi dan sebaran pupuk 46 46. Peta distribusi pupuk jatahan metering device disepanjang lintasan 47 47. Distribusi dan sebaran jatahan pupuk metode stair step response 49 48. Hasil analisis hubungan massa pupuk dengan kecepatan motor DC 50 49. proyeksi data ECEF menjadi data ENU 51 50. Komponen-komponen RTK-DGPS (Gunawan 2014) 52 51. Blok pengujian kalibrasi pembacaan RTK-DGPS 54 52. Sistem koneksi console GPS 55 53. Posisi pemasangan perangkat RTK-DGPS 54 54. Posisi pemasangan base station 55 55. Peta kebutuhan dosis pemupukan 56 56. Bagan alir program pengujian VRFA 57 57. Peta Sebaran Dosis Penjatahan Pupuk VRFA 60 58. Peta Ketelitian Penjatahan Pupuk VRFA 61 DAFTAR LAMPIRAN 1. Kalibrasi rotary encoder 71 2. Data pengujian Variable Rate Vertilizer Applicator terintegrasi RTK DGPS 71 3. Gambar desain auger 74 4. Gambar desain hopper 75 5. Gambar desain tutup bawah hopper 76 6. Gambar desain unit pemupuk 76 7. Kode program pengontrolan variable rate fertilizer applicator 78

Page 17: ABDUL AZIS S - Unhas

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang Pemupukan merupakan salah satu usaha yang bertujuan untuk meningkatkan ketersediaan unsur hara dan memperbaiki kondisi tanah melalui pemberian bahan-bahan tertentu (pupuk) ke dalam tanah baik pupuk organik maupun kimiawi, serta pupuk butiran atau cair (Anonim 2017). Pupuk merupakan salah satu sarana yang memegang peranan yang sangat penting dalam keberhasilan dalam budidaya tanaman pangan (Abdulrahman et al. 2009). Pemupukan merupakan salah satu tahapan produksi padi sawah dengan biaya cukup tinggi. Biaya produksi per musim tanam per hektar untuk budidaya tanaman padi sawah mencapai 1.7 juta rupiah atau sekitar 10.40% dari total biaya produksi (BPS-Statistik 2014). Jika dikonversi ke jumlah pupuk yang diperlukan, maka untuk setiap ton gabah yang dihasilkan, tanaman padi memerlukan hara N sebanyak 17.5 kg (setara 39 kg Urea), P sebanyak 3 kg (setara 9 kg SP-36) dan K sebanyak 17 kg (setara 34 kg KCl). Dengan demikian bila petani menginginkan hasil gabah yang tinggi tentu diperlukan pupuk yang lebih banyak (BB-Padi 2015). Sistem pemupukan tanaman padi sawah di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat, mulai dari pertanian subsisten hingga pertanian terpadu. Secara garis besar evolusi sistem pemupukan tanaman padi terbagi menjadi empat periode, yaitu periode prarevolusi hijau, awal revolusi hijau, pemupukan berimbang, dan periode pengelolaan hara spesifik lokasi (Al-Jabri 2013). Pada tahap pemupukan berimbang tahun 1985 - 2000, pemerintah menggalakkan pemberian dosis pemupukan padi sawah secara berimbang. Namun sebagian besar petani justru menggunakan pupuk anorganik secara berlebihan sehingga terjadi penurunan laju pertumbuhan produksi padi nasional dari 3,15% pada tahun 1985-1990 menjadi 1.49% pada tahun 1990-2000 (Apriyantono et al. 2009). Pemberian pupuk dengan takaran yang lebih besar dari yang dianjurkan mengakibatkan terjadinya kerusakan sifat kimia tanah (pH tanah menurun), sifat fisika tanah (BD tanah naik), dan sifat biologi tanah (populasi organisme tanah turun) (Al-Jabri 2013) Pada periode pengelolaan hara spesifik lokasi (2000 – 2011), muncul gagasan baru untuk memperbaiki sistem budi daya tanaman padi ke arah Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) (Apriyantono et al. 2009). Salah satu komponen teknologi dalam pendekatan PTT adalah pengelolaan hara spesifik lokasi (PHSL). PHSL merupakan cara menentukan rekomendasi pemupukan untuk mencapai tingkat ketersediaan hara esensial yang seimbang di dalam tanah untuk meningkatkan produktivitas, mutu hasil tanaman, efisiensi pemupukan, dan menghindari pencemaran lingkungan. Metode yang digunakan dalam menentukan rekomendasi pemupukan adalah dengan menggunakan teknologi uji tanah, seperti Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS) (Al-Jabri 2013) dan menggunakan metode pembacaan Bagan Warna Daun (BWD) (Erythrina 2016)

Page 18: ABDUL AZIS S - Unhas

2 Beberapa dampak penggunaan pupuk anorganik dalam jangka panjang dan terus menerus dengan dosis yang tidak tepat antara lain menyebabkan terganggunya keseimbangan unsur hara tanah karena pupuk anorganik dapat menurunkan pH tanah serta menyebabkan terjadi nutrient disorder akibat terakumulasinya hara P dan K dalam tanah (Al-Jabri 2013) dan (Singh 2000), pencemaran lingkungan (Singh 2000), dan (Suryarandika 2017), tidak efisien karena hanya sekitar 50% yang terserap tanaman (khusus urea) dan tanah menjadi keras sehingga aerasi tanah menjadi buruk menyebabkan akar tanaman kesulitan untuk menyerap unsur hara (Suryarandika 2017). Aplikasi pemupukan bervariasi atau variable rate fertilizer applicator (VRFA) yang dalam sistem pertanian presisi merupakan salah satu teknologi yang mampu memberikan aplikasi pemupukan yang tepat sesuai kondisi lahan dan kebutuhan tanaman (Chandel et al. 2016). Aplikasi pemupukan yang tepat mencakup tiga aspek, yaitu tepat dosis, tepat lokasi dan tepat waktu. Perlakuan tepat dosis merupakan pemberian dosis pemupukan sesuai dengan yang dibutuhkan tanaman, tepat lokasi mengandung pengertian bahwa pemupukan dengan dosis yang tepat diberikan pada lokasi yang tepat, sedangkan tepat waktu adalah waktu pemupukan didasarkan pada fase pertumbuhan tanaman. Menurut Behic Tekin dan Okyay Sındır (2015) Pertanian presisi merupakan teknologi berkelanjutan melalui pendekatan teknologi informasi (GIS, GPS dan VRT) untuk menghasilkan bahan makanan. Kelebihan dari teknologi VRFA menurut Ehsani et al. (2009) adalah dapat meningkatkan efisiensi produksi, mengurangi pencemaran lingkungan dari agrochemical dan dapat meningkatkan keuntungan bagi petani dengan mengurangi penggunaan pupuk, pestisida dan irigasi. Menurut Mallarino et al. (1999) mengurangi jumlah nutrisi (pupuk) yang diberikan pada tanaman sehingga bermanfaat bagi lingkungan. Penggunaan teknologi VRFA dapat mengurangi pencemaran yang disebabkan oleh penggunaan input yang tidak terkendali. Teknologi ini juga dapat mengkonversi teknologi konvensional menggunakan sistem kontrol elektronik (Hosseini et al. 2014), meningkatkan efisiensi input, Gambar 1 Ilustrasi bagian-bagian dari variable rate vertilizer applicator

1 8 4 5 9 7 6 Keterangan: 1. Hopper 3. Sistem kontrol 5. RTK-DGPS antenna 7. Laptop 9. Base station 2. Metering device 4. Pengarah pupuk 6. RTK-DGPS console 8. Radio reciver 10. Penarik 2 3 10

Page 19: ABDUL AZIS S - Unhas

3mengurangi biaya, ramah lingkungan dan menghasilkan tanaman lebih seragam, baik dari segi hasil dan kualitas dalam waktu yang sama (Colaço et al. 2014). Salah satu indikator pertanian presisi adalah menurunkan penggunaan pupuk N dan meningkatkan efisiensi penggunaannya melalui identifikasi site-specific management zones (Koch et al. 2004). Aplikator VRFA dibedakan kedalam dua jenis, yaitu VRFA berbasis map (map base) dan berbasis sensor (sensor base). VRFA berbasis map menggunakan peta kebutuhan hara tanaman dan didukung oleh teknologi GPS. Peta kebutuhan hara diperoleh dari data uji sifat dan kandungan hara tanah, data panen sebelumnya, dan data-data lain yang terkait dengan tanaman dan lokasi spesifik. Sedangkan VRFA berbasis sensor menggunakan sensor yang dapat mendeteksi kandungan unsur hara atau kebutuhan hara tanaman. Hasil pembacaan sensor diterima oleh sistem pengontrolan untuk menentukan target dosis pemupukan. Teknologi VRFA berbasis sensor beroperasi secara real-time dan tidak memerlukan bantuan GPS (Auernhammer 2001) dan (Grisso et al. 2011). Penelitian pengembangan VRFA yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan VRFA berbasis map dimana penggunaan teknologi Real Time Kinematic Differential Global Positioning System (RTK-DGPS) digunakan sebagai pemandu lokasi saat pemupukan. Secara garis besar, VRFA yang dikembangkan dalam penelitian ini terbagi dalam 3 bagian utama (Gambar 1), yaitu pengembangan metereing device tipe auger terkontrol, komunikasi mikrokontroler dengan RTK-DGPS dan penggandengan pada sebuah mesin transplanter. Metering device tipe auger yang dilengkapi hopper sebagai penampung pupuk berfungsi sebagai penjatah pupuk yang digerakkan oleh sebuah motor DC. Metering device ini dilengkapi dengan sebuah sistem pengontrolan kecepatan putar yang akan mengontrol kecepatan metering device. Selang pengarah pupuk yang terpasang pada lubang pengeluaran auger yang akan mengarahkan pupuk ke lajur tanaman. Bagian ke dua yaitu RTK-DGPS yang terdiri dari antena sebagai penerima data GPS dari satelit di orbit bumi, console Gambar 2 Ilustrasi alur data dan kontrol dalam pengontrolan metering device. STM32F401RE Counter board H-bridge 30 Motor DC Metering device variable rate granular fertilizer Rotary encoder Garis data Garis kontrol Garis penggerak PID Flash Dosis pemupukan RTK DGPS Keterangan : Laptop PWM

Page 20: ABDUL AZIS S - Unhas

4 sebagai pengolah data sinyal GPS yang diterima antena GPS pada rover serta membandingkan sinyal lokasi base station yang diterima oleh radio receiver dan base station sebagai penerima sinyal GPS dan mentransmisikan lokasi base station melalui gelombang radio menuju radio receiver pada rover. Keseluruhan dari perangkat yang digunakan saling terintegrasi menghasilkan sistem pemupukan yang tepat dosis dan tepat lokasi. Pengontrolan sistem metering device dilakukan oleh sebuah mikrokontroler jenis STM32F401 nucleo board yang merupakan sistem minimum berbasis mikrokontroler STM32F401RE. Mikrokontroler ini tidak hanya mengontrol metering device, tetapi juga menerima dan memproses data GPS sekaligus untuk mendapatkan pengontrolan lokasi. Secara umum bagan alir sistem kontrol ditunjukkan oleh Gambar 2. Dari gambar terlihat bahwa mikrokontroler menerima data berupa target dosis pemupukan dalam kg/ha, koordinat posisi dari GPS dalam (Universal Transverse Mercator) UTM dan data kecepatan motor DC dari rotary encoder dalam rotation per minute (RPM). Data dosis pemupukan bisa diperoleh dari hasil pengujian kandungan unsur hara tanah atau berdasarkan pembacaan bagan warna daun (BWD) tanaman (Gambar 3). Kemudian kedua data ini (dosis pemupukan dan GPS) diproses untuk mendapatkan sebuah data acuan (set-point) untuk kecepatan motor DC. Data kecepatan dari rotary encoder dan set-point Gambar 3 Peta kondisi tanaman padi berdasarkan BWD (Astika, 2010)

Page 21: ABDUL AZIS S - Unhas

5menjadi acuan untuk aksi pengontrolan melalui kontrol PID. Data yang diperoleh berupa data kecepatan motor DC dan data posisi tersimpan sementara dalam flash memory mikrokontroler dan selanjutnya dapat ditransfer ke perangkat laptop. Data dosis hasil pemupukan diperoleh dari data konversi kecepatan motor DC menggunakan sebuah persamaan korelasi kecepatan motor DC dengan dosis pemupukan. Perumusan Masalah Salah satu paradigma sebagian besar petani di Indonesia, khususnya petani tradisional, bahwa pupuk merupakan suatu jaminan kesuburan tanaman yang dapat menghasilkan panen yang melimpah (Lingga dan Marsono 2008). Semakin banyak pupuk yang digunakan maka akan diperoleh hasil panen yang banyak pula, demikian pula sebaliknya. Namun kenyataan dilapangan seringkali tidak sesuai dengan harapan petani, terkadang hasil yang diperoleh menurun atau bahkan tidak jarang petani mengalami kegagalan panen. Salah satu penyebab kegagalan pemupukan dalam menyuburkan tanaman adalah akibat salah pupuk. Pupuk anorganik merupakan “semacam racun” yang terbuat dari campuran bahan-bahan kimia yang diramu sedemikian rupa sehingga menyerupai zat hara di dalam tanah (Lingga dan Marsono 2008). Oleh karena itu, pupuk anorganik dapat diibaratkan seperti obat kimia yang dalam pemakiannya dibutuhkan resep tepat. Ketika pemakian melebihi dosis yang dianjurkan, maka akan berdampak buruk bagi tanaman dan lingkunagan, sebaliknya pemakian dosis yang kurang tidak memberikan dampak yang signifikan bagi pertumbuhan tanaman. Resep tersebut mencakup dosis, waktu dan cara pemakainnya. Secara umum, pemupukan padi sawah dilakukan secara manual dengan disebar menggunakan tangan. Cara ini tentunya akan menghasilkan pola sebaran dan dosis pupuk yang tidak seragam. Akibatnya, sebagian tanaman akan memperoleh pupuk melebihi kebutuhannya (overdosis), dan sebagian lagi akan memperoleh dosis kurang dari yang dibutuhkan. Tanaman yang overdosis mengalami pertumbuhan vegetatif yang cepat, sehingga dapat mempengaruhi perkembangan generatifnya, mempengaruhi kwalitas panen dan tanaman mudah rebah jika terkena angin sedangkan bagi tanaman yang kekurangan dosis akan mengalami pertumbuhan yang lambat atau kerdil sehingga dapat berdampak pada produksi tanaman (Lingga dan Marsono 2008). Oleh karena itu, diperlukan sebuah teknologi yang dapat mengatur dosis pemupukan sesuai kebutuhan, sehingga diperoleh dosis yang tepat. Permentan No. 40/Permentan/OT.140/4/2007 tentang rekomendasi pemupukan N, P, dan K pada padi sawah spesifik lokasi telah merekomendasikan bahwa pemupukan dapat efisien dan produksi optimal jika pemupukan didasarkan pada kebutuhan hara tanaman, cadangan hara yang ada di dalam tanah, dan target hasil realistis yang ingin dicapai. Kebutuhan hara tanaman sangat beragam atau spesifik lokasi dan dinamis yang ditentukan oleh berbagai faktor genetik dan lingkungan (Apriyantono et al. 2009). Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan unsur hara tanah dalam suatu lahan sawah berbeda-beda, sehingga untuk mendapatkan aplikasi yang tepat lokasi (spesifik lokasi) diperlukan teknologi pemupukan yang tidak seragam.

Page 22: ABDUL AZIS S - Unhas

6 Penentuan takaran atau dosis pupuk untuk aplikasi sistem pengelolaan Hara Spesifik Lokasi yang termuat dalam Permentan No. 40/Permentan/ OT.140/4/2007 ini dilakukan melalui penggunaan dua cara yang saling melengkapi, yaitu penggunaan Bagan Warna Daun (BWD) untuk penentuan takaran pupuk N dan PUTS (Perangkat Uji Tanah Sawah) atau Pendekatan Petak Omisi untuk menentukan takaran pupuk P dan K (Apriyantono et al. 2009). Metode ini sangat efektif dalam menentukan dosis dan waktu pemupukan tanaman padi. Namun jika pemupukan dilakukan secara manual, maka sistem pengelolaan hara spesifik lokasi yang tertuang dalam permentan akan sulit diperoleh karena perlakuan manual tidak akan mampu memberikan pupuk sesuai dosis pada lokasi yang tepat. Oleh karena itu diperlukan sebuah teknologi pemupukan terkontrol dan terintegrasi dengan sebuah teknolgi Global Positioning System (GPS). Tepat dosis memerlukan sebuah metering device terkontrol yang akan menjatah pemberian pupuk berdasarkan dosis pemupukan yang diinginkan, sedangkan tepat lokasi diperoleh dari penggunaan teknologi GPS. Selama ini, teknologi VRFA khususnya yang berbasis mikrokontroler low cost masih menggunakan mikrokontroler berbasis 8-bit. Penggunaan mikrokontroler jenis ini memiliki keterbatasan dalam menangangani data-data yang memerlukan perhitungan double precision seperti pengolahan data GPS, sehingga sistem pengontrolan terintegrasi sulit dicapai. Untuk memperoleh sistem pengontrolan terintegrasi diperlukan mikrokontroler dengan spesifikasi lebih tinggi, terutama kemampuan prosesornya. Selain masalah integrasi sistem, permasalahan dalam penggunaan metering device juga sering dihadapi. Selama ini, metering device yang banyak digunakan adalah tipe adge cell dan star. Penggunaan kedua tipe ini memiliki kekurungan dalam proses penjatahan pupuk, khususnya penggunaan pupuk NPK dan TSP. penyumbatan aliran pupuk sering terjadi disebabkan oleh penumpukan pupuk secara berlebihan pada celah metering device menyebabkan terjadinya gesekan yang besar antara permukaan pupuk dengan rumah rotor, sehingga menghambat putaran rotor. Selain itu, adanya celah antara rotor dengan rumah rotor memungkinkan butiran pupuk masuk kedalamnya. Bila hal ini terjadi, maka butiran pupuk tersebut akan tergerus dan menjadi butiran-butiran yang lebih kecil dan halus. Hal ini berpotensi menyebabkan terjadinya pemadatan butiran-butiran tersebut pada celah metering device. Hal ini akan menyebabkan ruang pada celah metering device akan berubah dan tentunya akan mempengaruhi jumlah pupuk yang dikeluarkan pada kecepatan putar rotor yang sama. Oleh karena itu dibutuhkan tipe metering device yang dapat meminimalkan terjadi gesekan dan penggerusan butiran pupuk. Teknologi pemupukan presisi atau Variable Rate fertilizer Applicator berbasis mikrokontroler low cost akan sangat membantu petani dalam efisiensi penggunaan pupuk dan menerapkan pemupukan yang tepat, baik tepat dosis, tepat lokasi dan tepat waktu. Penggunaan mikrokontroler low cost diperlukan selain karena harga yang relatif murah, juga karena cukup handal dalam melakukan pengontrolan. Namun teknologi VRFA yang telah dikembangkan saat ini masih memiliki kekurangan dan permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Pengguaan mikrokontroler 8-bit tidak mampu menangani perhitungan double precision khususnya data-data geodetik sehingga akan mempengaruhi ketelitian sistem pengontrolan

Page 23: ABDUL AZIS S - Unhas

72. Penggunaan metering device tipe adge cell dan star menimbulkan gesekan yang tinggi antara permukaan butiran pupuk dengan permukaan rumah rotor dan terjadi pemadatan pada celah rotor sehingga mempengaruhi ketelitian penjatahan dan memerlukan motor DC dengan spesifikasi torsi lebih tinggi. 3. Penggunaan mikrokontroler 8-bit tidak mampu menangani proses pengontrolan dan pembacaan serta perhitungan data-data geodetik secara bersamaan, sehingga masih memerlukan tambahan perangkat lain. Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan sebuah aplikator pemupuk laju variable (Variable Rate Fertizer Applicator) terintegrasi untuk pemupukan tanaman padi sawah. Tujuan khusus dari penelitian: 1. Mendesain dan menguji performa metering device tipe auger 2. Mengembangkan sebuah sistem pengontrolan metering device 3. Mengembangkan dan menguji performa sebuah teknologi Variable Rate Fertizer Applicator terintegrasi

Kebaruan Penelitian Kebaruan dari penelitian ini adalah: 1. Penggunaan mikrokontroller berbasis 32-bit sehingga mampu menangani perhitungan-perhitungan yang memerlukan double precision yang diperlukan dalam perhitungan data RTK GPS 2. Penggunaan metering device tipe auger untuk menjatah pupuk granular pada aplikasi pemupukan presisi pada tanaman padi sawah. 3. Diperoleh sebuah sistem variable rate fertilizer applicator berbasis low cost microcontroller yang terintegrasi dengan RTK DGPS. 4. Prototipe VRA multiguna untuk pemupukan presisi tanaman padi dan non-padi seperti tanaman hortikultura dan perkebunan Manfaat Penelitian Manfaat penelitian dapat dibagi kedalam dua bagian, yaitu manfaat bagi petani atau stecholder dan manfaat bagi pengembangan ilmu, khususnya ilmu keteknikan pertanian. Manafaat bagi petani adalah dengan penerapan teknologi pemupukan presisi diharapkan dapat membantu dalam meningkatkan pendapatan petani melalui efisiensi penggunaan pupuk dan dapat meminimalisir dampak-dampak penggunaan pupuk kimia baik terhadap kualitas produk pertaian yang dihasilkan maupun terhadap lingkungan. Manfaat bagi pengembangan ilmu keteknikan pertanian adalah menambah khasanah ilmu dan cara pandang kedepan khususnya dalam sistem pengendalian proses-proses pertanian baik on-farm maupun out-farm untuk penggunaan mikrokontroler 32-bit, terutama proses-proses yang melibatkan perhitungan double precision sehingga diperoleh sistem pengontrolan yang cepat dan tepat.

Page 24: ABDUL AZIS S - Unhas

8 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian pengembangan variable rate vertilizer applicator berbasis mikrokontroler 32-bit mencakup 4 tahapan penelitian. Pertama pemilihan dan pengembangan sistem pengontrolan kecepatan motor DC. Tahapan ini mencakup pemilihan modul mikrokontroler yang digunakan, pemilihan dan pengembangan mode kontrol dan pengujian performa keduanya dalam mengontrol kecepatan motor DC. Tahapan kedua adalah perancangan dan pabrikasi sebuah metering device tipe auger sebagai penjatah pupuk granular jenis NPK. Tahap ketiga adalah menguji performa metering device tersebut dalam mengontrol dosis pupuk yang dikeluarkan. Pengujian performa dilakukan dalam dua tahapan, yaitu pengujian statis dan pengujian dinamis. Masing-masing tahapan pengujian dilakukan terdiri dari pengujian kalibrasi hubungan antara kecepatan motor DC dengan massa pupuk yang keluar dari metering device dan pengujian metode stair step response. Tahapan keempat adalah pengujian sistem metering device terintegrasi dengan RTK-DGPS.

2 PENALAAN KONSTANTA PROPORTIONAL DERIVATIVE INTEGRAL MENGGUNAKAN INTERNAL MODEL

CONTROLLER DENGAN PENDEKATAN MODEL TUSTIN

Pendahuluan Motor DC merupakan salah satu sumber tenaga putar yang banyak digunakan dalam menggerakkan suatu alat atau sistem yang memerlukan gerakan putar atau gerakan bolak-balik. Hal ini disebabkan oleh beberapa keunggulan dari motor DC, diantaranya respon yang cepat dan torsi awal cukup besar, kemudahan dalamh penginstalan pada sistem, kebutuhan daya yang relatif kecil dan kemudahan dalam pengendalian. Adanya pembebanan pada poros motor DC menyebabkan terjadinya perlambatan putaran motor, sehingga sulit untuk menghasilkan putaran yang diinginkan. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah sistem pengontrolan yang dapat mengontrol kecepatan motor DC sesuai yang diinginkan. Salah satu sistem kontrol yang banyak digunakan dalam pengontrolan kecepatan motor DC adalah sistem kontrol Proportional Integral Derivative (PID). Ketiga mode kontrol ini dapat digunakan secara terpisah maupun secara bersamaan tergantung dari karakter kontrol yang diinginkan. Kontrol proporsional dapat mempercepat respon sehingga mengurangi rise time, kontrol derivative mampu mereduksi terjadi overshoot akibat kontrol proporsional, sedangkan kontrol integral mampu mereduksi terjadinya kesalah atau steady state error. Ketiga parameter ini, rise time, overshoot, dan steady state error, merupakan kriteria dari sebuah sistem pengontrolan yang harus diperhatikan. Dalam penelitian ini, motor DC digunakan untuk menggerakkan sebuah metering device untuk menjatah pupuk granuler sesuai yang diinginkan. Agar ketiga parameter kriteria kontrol dapat dioptimalkan, maka dalam penelitian ini digunakan kontrol PID secara bersamaan sehingga diperoleh sistem pengontrolan

Page 25: ABDUL AZIS S - Unhas

9yang stabil. Agar pengontrolan PID dapat optimal, maka perlu dilakukan penentuan nilai konstanta-konstanta PID yang mencakup konstatanta proporsional (KP), konstanta integral (KI) dan konstanta derivative (KD) melalui proses tuning atau penalaan. Kontrol Proportional, Integral dan Derivative Kontrol PID merupakan salah satu sistem pengontrolan yang cukup tua dan telah dikenal sejak lama dari tahun 1910 melalui Elmer Sperry dan dikembangkan oleh Ziegler–Nichols pada tahun 1942 melalui teori metode penalaan (tuning) PID yang hingga saat ini terkenal dengan metode Ziegler–Nichols (Ang et al. 2005). Kontrol PID merupakan salah satu teknik pengontrolan yang popular dan banyak diminati dalam pengendalian banyak sistem dalam dunia industri dan telah mengalami perkembangan secara signifikan dari tahun ke tahun baik dalam hal teori maupun teknologi (Eriksson dan Johansson 2007), (Franklin et al. 1994), dan (Kazemian 2001), kontrol PID juga banyak digunakan dalam industri proses kimia (Shahrokhi dan Zomorrodi 2013) dan aplikasi aerospace (Jun dan Safonov 1999). Kontrol PID merupakan sebuah sistem pengontrolan yang menggabungkan tiga mode kontrol sekaligus yaitu kontrol proporsional, integral dan derivatif yang memungkinkan untuk mendapatkan sebuah pengontrolan yang tidak mempunyai error keadaan tunak serta dapat mereduksi kecenderungan terjadinya osilasi (Bolton 2004). PID kontroller sangat sering digunakan dalam proses kontrol untuk mengatur perilaku domain waktu dari berbagai jenis pekerjaan yang dinamis (Chiha et al. 2012). Kepopuleran penggunaan kontrol PID sampai saat ini tentunya karena didukung oleh beberapa kelebihan, diantaranya merupakan salah satu teknik pengontrolan yang memberikan kemudahan dan solusi yang efektif dalam menyelesaikan masalah pengontrolan (Ang et al. 2005), kesederhanaan fungsi dan kemudahan dalam pengaplikasian (Ahn dan Truong 2009); (Li et al. 2006), memiliki kinerja yang handal (Jun dan Safonov 1999); (Kaya 2004) dan (Donghai et al. 2014), struktur yang sederhana dan kinerja baik dengan skala operasi yang lebar (Kao et al. 2006), mudah diaplikasikan baik dalam hardware maupun software (Kim et al. 2002) dan (Kaya 2004). Kontrol PID mampu meregulasi sinyal dengan benar berdasarkan error yang terjadi antara sinyal keluaran dari umpanbalik dengan sinyal keluaran yang diharapkan (Nhon et al. 2014). Langkah yang perlu dilakukan dalam perancangan sebuah pengontrol PID adalah pemilihan mode kontrol yang akan digunakan, apakah kontrol proporsional, proporsional-derivative, proporsional-integral atau proporsional-integral-derivatif dan pemilihan nilai KP, KI dan KD yang bersesuaian. Langkah ini akan menentukan bagaimana sistem akan bereaksi terhadap sebuah gangguan atau perubahan nilai pengaturan, seberapa cepat sistem menanggapi perubahan yang terjadi, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai keadaan tunak setelah terjadi gangguan atau perubahan nilai pengaturan, serta apakah terdapat error keadaan tunak atau tidak (Bolton 2004). Jenis-jenis respon yang akan muncul untuk pemilihan mode kontrol akan berbeda ketika terjadi perubahan nilai pengaturan atau adanya gangguan secara tiba-tiba. Kontrol proporsional akan memberikan respon yang cepat dengan osilasi yang menghilang dengan cukup cepat tetapi meninggalkan error keadaan tunak.

Page 26: ABDUL AZIS S - Unhas

10 Kontrol proporsional plus integral tidak memiliki error keadaan tunak tetapi menimbulkan adanya gejala osilasi sebelum mencapai keadaan tunak. Kontrol proporsional plus integral plus derivatif tidak menghasilkan error keadaan tunak dan mengurangi osilasi yang ditimbulkan. Jadi kontrol proporsional mempercepat respon, kontrol integral menghilangkan error keadaan tunak serta kontrol derivatif akan mengurangi terjadinya osilasi (Bolton 2004). Penalaan Konstanta PID Salah satu kendala atau tantangan yang sering dialami ketika menggunakan kontroller PID adalah proses penalaan (tuning) untuk menentukan konstanta-konstanta PID. Salah satu metode yang menjadi standar dalam proses penalaan adalah metode Ziegler-Nichols (Chiha et al. 2012), namun metode ini seringkali sulit untuk menemukan parameter-parameter PID yang optimal. Metode penalaan seperti ini sudah jarang digunakan dalam praktek disebabkan proses yang panjang dan melelahkan, khususnya untuk proses dengan time constant yang besar. Selain itu, memerlukan perhatian khusus dari insinyur teknik/instrument dan operator karena proses yang mendekati ketidakstabilan terutama dengan gain dan periode yang sangat tinggi (Hang et al. 1991). Kontrol PID sederhana sering tidak mampu mengontrol secara efektif plant dengan time delay yang panjang (Kaya 2004). Hal ini disebabkan karena Penalaan kontrol PID memerlukan model yang akurat dari sebuah proses dan aturan desain kontrol yang efektif (Bi et al. 2000). Terkait dengan segala kekurangan dan kelamahan dari metode Ziegler-Nichols, maka telah banyak dikembangkan metode-metode penalaan yang lebih optimal dan dapat menghasilkan konstanta-konstanta PID yang optimal. Diantara metode-metode tersebut antara lain optimalisasi dengan logika fuzzy, jaringan syaraf, logika syaraf-fuzzy, algoritma immune, simulasi annealing, dan pengenalan pola (pattern recognition). Selain itu, terdapat banyak metode penalaan PID yang optimal lainnya berdasarkan banyak metode pencarian acak seperti genetic algorithm (GA), particle swarm optimization, dan ant colony optimization (Chiha et al. 2012). Selain itu, telah banyak publikasi mengenai metode penalaan kontrol PID, antara lain penalaan on-line PID menggunakan Continuous Action Reinforcement Learning Automata (CARLA) (Howell dan Best 2000), Fuzzy PID kontroller (Jantzen 1998), penalaan online fuzzy PID kontroller berbasis Robust Extended Kalman Filter (REKF) (Ahn dan Truong 2009), berbasis Internal Model Controller dengan konfigurasi prediksi Smith (Kaya 2004), fuzzy PID dengan Internal Model Controller (Kao et al. 2006), (Ho et al. 1998),algoritma Particle Swarm Optimization (PSO) (GirirajKumar et al. 2010), self-tuning kontrol PID dengan Particle Swarm Optimization Approach (PSOA) (Kao et al. 2006), Bode’s Integrals (Karimi et al. 2003), Extremum Seeking (Killingsworth dan Krstic 2006), Immune Algorithm (Kim et al. 2002), pengembangan Genetic Algorithm (GA) (Kim et al. 2008), (Kumar et al. 2008) dan (Zhang et al. 2009), fuzzy neural network (Lee dan Teng 2003), Adaptive InTeraction (Lin et al. 2000), Integral of Time-weighted Absolute Error (ITAE) Criterion (Martins 2005), Loop shaping H∞ control (Tan et al. 1998), dan Ant algorithm (Varol dan Bingul 2004)

Page 27: ABDUL AZIS S - Unhas

11Internal Model Controller (IMC) Salah satu metode penalaan PID yang cukup populer dalam proses pengontrolan adalah metode Internal Model Controller. Kontrol PID dengan metode IMC telah digunakan dalam sistem magnetic levitation (Duka et al. 2016), Pengontrolan pada superheated steam temperature (Li et al. 2016b), Pengontrolan sistem yang tidak stabil (Begum et al. 2016). Penggunan teknik tuning PID dengan metode IMC dapat meminimalisir error dengan membandingkan antara keluaran proses dengan keluaran hasil prediksi dengan menggunakan inverse model sehingga dapat digunakan untuk mengoptimalkan kontrol PID (Li et al. 2016a). Intern Model Control (IMC) secara eksplisit memberikan strategi yang menggunakan model dari proses yang dikendalikan untuk mengembangkan kontroler yang tepat (Duka et al. 2016) Keuntungan dari penggunaan metode IMC menurut (Shahrokhi dan Zomorrodi 2013) adalah secara explisit memperhitungkan kesalahan yang mungkin timbul akibat model ketidakpastian dan dimungkinkan bagi programer untuk mengganti sistem kontrol yang sedang berjalan dengan pertimbangan adanya perubahan-perubahan yang terjadi akibat gangguan eksternal dan akibat adanya kesalahan dalam pemodelan. Blok diagram IMC ditunjukkan pada Gambar 3a dan 3b. Gambar 3a merupakan struktur dasar dari IMC sedangkan Gambar 3b merupakan ekuivalent dari sistem kontrol berumpan-balik dari IMC. Pada diagram tersebut, GP merupakan fungsi transfer dari proses, Gm merupakan fungsi transfer dari proses model dan GcI merupan fungsi transfer dari kontrol IMC yang secara konvensional dapat diformulasikan seperti �� = ��������� (1) mcIcIC GGGG

= 1 (a) (b) Gambar 4 Bagan struktur dasar internal model controller (a), equivalent feedback internal model controller

Page 28: ABDUL AZIS S - Unhas

12 Untuk memperoleh sistem pengontrolan yang lebih baik maka diperlukan sebuah persamaan filter � = �(� ���)� (2) Morari dan Zafiriou (1989) telah merumuskan sebuah model menggunakan teknik IMC orde satu dengan fungsi time delay ��(�) = ����� ���� (3) Mikrokontroler Mikrokontroler adalah sebuah sistem komputer yang seluruh atau sebagian besar elemennya dikemas dalam satu chip IC, sehingga sering disebut single chip microcomputer dan mempunyai satu atau beberapa tugas yang sangat spesifik. Elemen mikrokontroler diantaranya pemroses (processor), memori, dan Input/ output (Chamim 2010). Mikrokontroler adalah sebuah alat pengendali (kontroler) berukuran mikro atau sangat kecil yang dikemas dalam bentuk chip. Sebuah mikrokontroler pada dasarnya bekerja seperti sebuah mainboard pada komputer. Bagian – bagian mikrokontroler antara lain: CPU (Central Processing Unit), memori program, memori data, alat pemrograman, input /output, dan modul tambahan (Setiono 2009). Mikrokontroler yang digunakan dalam penelitian ini adalah ARM cortex-M jenis STM32F401RE nucleo. Mikrokontroler ini memiliki spesifikasi sebagai berikut (Tjahyadi 2012): 1. ARM Cortex-M4 32 bit, 25 MHz, bekerja pada tegangan catu 2.0 – 3.6V 2. 512k flash, 96k RAM 3. 18 kanal ADC 12-bit 4. 7 kanal DMA controller, mendukung timers, ADS, SPIs, I2Cs dan USARTs 5. Timer: 5x16-bit timer, 1x16-bit motor control PWM synchronized AC timer, 2x32-bit timer 6. Real time clock 7. 51 fast I/O all mappable on 16 external interrupt vector 8. Communication interfaces: up to 2 x I2C interfaces (SMBus/PMBus), up to 3 x USARTs (ISO 7816 interface, LIN, IrDA capability, modern control), up to 2 x SPIs (16 Mbit/s), USB 2.0 full speed interface 9. Development support: serial wire debug (SWD), JTAG and trace. Penalaan PID dengan metode IMC melalui pendekatan model Tustin digunakan dalam penelitian ini. Dimana model ini sangat cocok untuk menyelesaikan persamaan-persamaan discrete (digitization prosses) (Franklin et al. 1994). Pemilihan metode IMC ini dikarenakan kemudahan dalam melakukan penalaan dan kehandalan yang lebih baik dibandingkan penalaan PID metode Ziegler-Nichols (Radite 2012). Dengan metode IMC dimungkinkan penalaan menggunakan metode loop terbuka. Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah melakukan penalaan PID untuk memperoleh konstanta KP, KI, dan KD dan menguji konstanta-konstanta tersebut untuk mengendalikan kecepatan motor DC.

Page 29: ABDUL AZIS S - Unhas

13 Bahan dan Metode

Waktu dan Tempat Penalaan konstanta-konstanta PID dilakukan pada bulan November 2015 – Januari 2016 di Laboratorium Mekatronika dan Robotika, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bahan dan Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini dibedakan dalam dua bagian, yaitu perangkat keras dan perangkat lunak. Perangkat keras tediri dari satu unit laptop Asus tipe A43S, mikrokontroler jenis ARM-Cortex STM32F401 Nucleo (Gambar 4). Modul EMS 30A H-Bridge (Gambar 5(b)) sebagai driver motor DC. Motor DC tipe brushed (Gambar 5(a)) dengan input tegangan 12 V dan dilengkapi dengan metal gearbox dengan perbandingan gigi reduksi 100:1. Kecepatan putar maksimum pada shaft output gearbox sebesar 100 RPM. Arus motor pada kondisi operasi normal (free run) sebesar 300 mA, sedangkan dalam kondisi terbebani (stall) mencapai 5A. Motor ini dilengkapi dengan sebuah encoder tipe integrated quadrature dengan resolusi 64 count per revolution (CPR). Spesifikasi torsi maksimum motor sebesar 220 oz-in (16 kg-cm). Arah putaran shaft motor dapat Gambar 5 Mikrokontroler STM32F401RE Nucleo (a) (b) Gambar 6 Motor DC dengan rotary encoder (a) dan modul EMS 30A H-bridge

Page 30: ABDUL AZIS S - Unhas

14 diubah dengan mengubah polaritas input tegangan. Sedangkan perangkat lunak yang digunakan antara lain keil MDK ARM versi 5.14 sebagai perangkat lunak untuk proses penulisan, kompilasi, dan mendownload program ke mikrokontroler, Tera term sebagai perangkat lunak untuk komunikasi data antara mikrokontroler dengan laptop, dan program solver dari Microsoft excell untuk proses simulasi dan optimasi model. Prosedur Penelitian Prosedur yang digunakan dalam penelitian ini dapat dibagi kedalam dua bagian utama, yaitu prosedur penalaan konstanta-konstanta PID dan pengujian konstanta-konstanta PID. Perbedaan mendasar dari kedua prosedur ini adalah pada penggunaan mode kontrol yang digunakan, dimana pada proses penalaan konstanta-konstanta PID menggunakan kontrol loop terbuka sedangkan pada tahap pengujian menggunakan kontrol loop tertutup. Lebih detil, kedua prosedur tersebut dijelaskan sebagai berikut: Prosedur Penalaan Konstanta-Konstanta PID Penalaan (tuning) konstanta-konstanta PID dilakukan untuk memperoleh nilai konstanta-konstanta PID yang akan digunakan dalam pengontrolan Gambar 7 Bagan alir pemrograman loop terbuka

Page 31: ABDUL AZIS S - Unhas

15kecepatan motor DC. Prosedur penalaan dilakukan dengan dua tahapan, yaitu pengujian langsung dengan motor DC tanpa beban dengan step response kontrol loop terbuka dan simulasi hasil pengujian dengan metode internal model control (IMC) memalui pendekatan model Tustin. Prosedur pengujian step response kontrol loop terbuka melibatkan tahapan pemrograman mikrokontroler dalam pengontrolan kecepatan motor DC. Prosedur pengujian diawali dengan pembuatan programa dengan menggunakan sebuah software keil MDK ARM dengan bahasa pemrograman C. Proses pemrograman meliputi beberapa tahapan seperti pada Gambar 6. Tahapan diawali dengan pengaturan sumber clock yang akan menjalankan sistem clock (SYSCLK). Sumber clock yang digunakan adalah PLL clock karena bisa digunakan untuk mengalikan sumber clock input (HSI dan HSE oscillator clock) dengan sebuh faktor (2 -16) sehingga memungkinkan diperoleh sumber clock dengan akurasi tinggi. SysTick timer merupakan sebuah 24-bit down counter. Pengaturan SysTick Gambar 8 Bagan alir pengujian kinerja konstanta-konstanta KP, KI dan KD

Page 32: ABDUL AZIS S - Unhas

16 dapat menghasilkan interupsi secara periodik. SysTick diatur pada core clock 16 MHz yang artinya SysTick akan terjadi setiap 1 ms. Pengaturan peripheral clock dilakukan untuk mengaktifkan clock peripheral GPIO, USART, TIMER, EXTI dan I2C. Pengaturan struktur peripheral dilakukan untuk pemilihan fungsi pin-pin yang akan digunakan apakah sebagai mode input atau output dan kecepatan mode tersebut. Sedangkan pengaturan alternate function peripheral berfungsi untuk pemilihan fungsi khusus dari pin-pin yang digunakan. Setiap pin I/O dapat difungsikan sebagai pin timer, USART (Universal Synchronous Asynchronous Receiver Transmitter), EXTI (External Interupt) dan I2C (Inter-Integrated Circuit) Setelah proses initialisasi dan pengaturan konfigurasi mikrokontroler, kemudian dilakukan pengaturan periode sampling. Pengaturan ini penting dilakukan karena terkait dengan ketelitian pembacaan rotary encoder dan banyaknya data yang terbaca dalam satu satuan waktu (detik). Dalam penentuan nilai periode sampling harus diperhatikan spesifikasi dari encoder yang digunakan, yaitu jumlah count per revolution (CPR) atau jumlah lubang piringan encoder dan kecepatan motor DC yang akan digunakan. Periode sampling dapat ditentukan dengan Persamaan 4. pulsa/sampling= nmin ×h×T60 (4) Dalam penentuan periode sampling, kecepatan motor DC yang menjadi acuan adalah kecepatan minimum (nmin) yaitu 700 rpm di poros motor atau setara dengan 7 rpm di poros gear box. Rotary encoder memiliki spesifikasi 64 count per revolution (h). Ketika periode sampling (T) digunakan sebesar 200 ms atau 0.2 detik, maka dengan menggunakan Persamaan 4, diperoleh pulsa per sampling sebesar 149 pulsa. Oleh karena itu, periode sampling yang digunakan adalah 0.2 detik. Dengan periode sampling ini, maka akan diperoleh 1 buah data setiap 0.2 detik. Pengaturan kinerja motor meliputi pengaturan arah putaran motor,yaitu putaran motor searah jarum jam, berlawanan jarum jam dan perintah motor berhenti. Kemudian motor dijalankan searah jarum jam masing-masing dengan PWM 100 atau setara dengan kecepatan motor 670 rpm dan PWM 400 atau setara dengan kecepatan motor 1600 rpm selama 20 detik dan dilakukan perekaman data kecepatan motor dan waktu untuk masing-masing nilai PWM. Kedua data tersebut tersimpan sementara pada flash memory mikrokontroler melalu perintah variabel array. Setelah motor DC berhenti (20 detik), data di flash memory ditransfer dan ditampilkan pada sebuah perangkat lunak Tera term melalui jalur komunikasi serial USART. Selanjutnya data pengukuran dicopy ke Microsoft excel untuk selanjutnya disimulasi dengan metode IMC Tustin Pengembangan Model dan Simulasi dengan Metode Discret Tustin Fungsi alih dari motor DC mengikuti model orde satu dengan fungsi time delay GP(S)= kτs+1 e-ds (5)

Page 33: ABDUL AZIS S - Unhas

17dimana mengandung tiga parameter kontrol yaitu Gain (K), time delay (d), dan time constant (τ). Ketiga parameter akan ditentukan dengan metode step respon dalam sebuah pengujian. Persamaan umum kontrol ini kemudian dikembangkan dengan persamaan pendekatan model Tustin dengan persamaan umum (Franklin et al. 1994) S= 2T 1-Z-11+Z-1 (6) �1+τS�C(S)=ke-ds (7) Dengan mensubstitusi nilai S dengan model �� ���������� maka diperoleh persamaan berikut: 1+τ $2T 1-Z-11+Z-1)* C(Z)=ke-ds (8) 011+Z-12+12τT (1-Z-121+Z-1 3 C(Z)=ke-ds (9) 411+Z-12+ 12τT (1-Z-1)25 C(Z)=11+Z-12 ke-ds (10) 411+ 2τT 2+$11- 2τT 2 Z-1)5 C(Z)=11+Z-12 ke-ds (11) Ruas kanan merupakan fungsi time delay. Untuk memaksimalkan proses pengontrolan, maka time delay diminimalkan ≈ 0, sehingga Persamaan 11 dapat disederhanakan sebagai berikut: 11+ 2τT 2 Cn+11- 2τT 2 Cn-1=k1rn-d T⁄ -rn-1-d T⁄ 2 (12) Cn= k1rn-d T⁄ -rn-1-d T⁄ 2-11-2τT 2Cn-111+2τT 2 (13) dimana Cn dan Cn-1 adalah nilai kontrol selanjutnya dan sebelumnya, k adalah konstanta gain, τ adalah time constant, T adalah time sampling, dan 9:�� �⁄ , 9:���� �⁄ adalah fungsi model kontrol IMC time delay proses berjalan dan sebelumnya. Data berupa kecepatan motor dan waktu yang diperoleh dari pengujian pengontrolan loop terbuka kemudian dianalisis dengan menggunakan model yang diperoleh dari pengembangan metode IMC dengan model pendekatan Tustin (Persamaan 13) dan dioptimasi dengan menggunakan program solver dari Microsoft excel. Sehingga diperoleh parameter-parameter kontrol berupa Gain (K), time constant (T), dan time delay (d). Kemudian parameter-parameter tersebut digunakan untuk menentukan konstanta PID (KP, KI, dan KD) dengan menggunakan persamaan (Radite et al. 2011) KP= 1K τ+0.5dT+0.5d* (14) Ti=τ+0.5d (15) Td= τ.d2τ+d (16)

Page 34: ABDUL AZIS S - Unhas

18 Pengujian dengan Motor DC Pengujian konstanta-konstanta PID dilakukan untuk mengevaluasi kinerja dari konstanta-konstanta PID yang diperoleh dari proses penalaan dalam mengendalikan kecepatan motor DC. Pengujian dilakukan dengan metode step response mode kontrol loop tertutup. Prosedur pengujian ditunjukkan oleh Gambar 8. Langkah awal yang dilakukan adalah proses inisialisasi dan konfigurasi mikrokontrol. Prosedur inisialisasi dan konfigurasi sama dengan pada proses penalaan PID. Setelah proses inisialisai dilakukan, kemudian nilai set-point, periode sampling, konstanta KP, KI, dan KD dimasukkan kedalam program. Pengujian dilakukan pada dua variasi nilai konstanta PID hasil penalaan dan 3 variasi nilai set-point, yaitu 700 rpm, 1500 rpm dan 2000 rpm, sedangkan periode sampling digunakan 0.2 detik untuk semua perlakuan. Tahap selanjutnya adalah perhitungan nilai PID menggunakan Persamaan 17 (Radite 2011): Cn=Cn-1+KP Aen-en-1B+KITen-KD $en-2en-1-en-2T )* (17) Dimana Cn dan Cn-1 adalah nilai kontrol selanjutnya dan nilai kontrol sebelumnya. en , en-1, dan en-2 adalah error proses, error proses sebelumnya dan error proses sebelum sebelumnya. Error proses merupakan selisih kecepatan motor DC proses berlangsung dengan proses sebelumnya. Nilai PID yang dihasilkan kemudian dikonversi menjadi nilai PWM (nilai PID = nilai PWM). Nilai ini yang kemudian digunakan untuk mengontrol kecepatan motor DC. Kemudian motor DC dijalankan selama 20 detik untuk masing-masing perlakuan. Ketika motor DC berputar, maka rotary encoder akan membaca kecepatan putaran poros motor. Data kecepatan motor kemudian diumpankan ketahap perhitungan nilai PID untuk kemudian dibandingkan dengan kecapatan sebelumnya untuk mendapatkan nilai error. Nilai error ini kemudian menjadi koreksi untuk menentukan nilai PID selanjutnya. Proses ini akan terus berlanjut hingga kecepatan motor mendekati atau sama dengan nilai set-point. Ketika terjadi pembacaan kecepatan motor DC oleh rotary encoder. Data tersebut sekaligus disimpan sementara dalam satu variabel array di dalam flash memory mikrokontroler. Kemudian motor DC akan berhenti setelah berputar selama 20 detik. Setelah itu data akan ditransfer ke perangkat Tera term untuk selanjutnya diolah dengan microsotf excel.

Hasil Dan Pembahasan

Penalaan PID dan Simulasi Model Hasil pengukuran dan simulasi konstanta-konstanta PID ditunjukkan pada Gambar 9. Grafik dengan garis titik-titik (dot line) merupakan hasil pengukuran step response, sedangkan garis tebal (solid line) merupakan hasil simulasi model. Gambar 9(a) merupakan hasil pengujian dengan perlakuan PWM 100, sedangkan Gambar 9(b) merupakan hasil pengujian dengan perlakuan PWM 400. Dari kedua grafik terlihat bahwa hasil simulasi model dengan metode IMC Tustin yang diperoleh mampu mendekati hasil pengukuran yang sesungguhnya. Hal ini juga

Page 35: ABDUL AZIS S - Unhas

19menunjukkan bahwa persamaan model yang telah dikembangkan dengan metode IMC dengan pendekatan model Tustin mampu mengikuti karakteristik putaran motor DC. Pada proses optimasi dengan solver, terdapat tiga parameter kontrol yang dioptimumkan, yaitu parameter proportional gain (k), time constant (τ), dan time delay (d). Pengujian dengan perlakuan PWM 100 (setara 670 rpm), ketiga parameter kontrol tersebut diperoleh masing-masing sebesar k = 674.95; τ = 0.36; dan d = 0.1. Sedangkan untuk perlakuan dengan PWM 400 (setara 1600 rpm) diperoleh parameter kontrol masing-masing sebesar k = 1612.86; τ = 0.36; dan d = 0.15. Selanjutnya ketiga nilai parameter kontrol tersebut digunakan untuk menentukan nilai konstanta KP, KI dan KD dengan menggunakan persamaan 14, 15, dan 16. Hasil perhitungan diperoleh nilai KP, KI dan KD berturut-turut sebesar 0.4013; 0.0988 dan 0.0176 untuk perlakuan dengan PWM 100. Sedangkan perlakuan dengan PWM 400 berturut-turut diperoleh sebesar 0.2314; 0.0531 dan 0.044. Pengontrolan Kecepatan Motor DC Proses penalaan PID yang telah dilakukan menghasilkan konstanta-konstanta PID yang meliputi KP, KI dan KD. Untuk melihat performa dari konstanta-kostanta tersebut, maka dilakukan pembuktian melalui suatu pengujian. Dalam penelitian ini, pengujian dilakukan dengan menggunakan motor DC. (a) (b) Gambar 9 Hasil penalaan dan simulasi parameter-parameter kontrol (a) (b) Gambar 10 Hasil pengujian parameter-parameter PID pada set-point 1500 rpm

Page 36: ABDUL AZIS S - Unhas

20 Hasil pengujian konstanta-konstanta PID yang diperoleh ditunjukkan pada Gambar 10, 11, dan 12. Gambar 10(a) dan 10(b) menunjukkan hasil pengujian kecepatan motor DC dengan set-point 700 rpm. Gambar 10(a) memperlihatkan grafik hasil pengujian dengan nilai KP, KI dan KD berturut-turut sebesar 0.4013; 0.0988 dan 0.0176. Grafik tersebut menunjukkan bahwa nilai konstanta PID cukup baik dalam mengontrol kecepatan motor DC pada putaran 700 rpm yang ditandai dengan respon motor cukup cepat dengan time delay yang singkat sekitar 0.2 detik. Namun respon yang sangat cepat berpotensi menghasilkan overshoot. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 10(a) , dimana terjadi overshoot yang cukup tinggi yaitu sebesar 72.14% pada waktu t = 0.4 detik dan mengalami penurunan hingga 13.57% pada t = 1.2 detik. Dari hasil ini menunjukkan bahwa overshoot hanya berlangsung selama 1.2 detik. Setelah itu, terjadi osilasi disekitar set-point dan tertinggi sebesar 6.43% pada t = 1.8 detik kemudian menurun menjadi 2.86% hingga t = 4 detik dan menurun hingga 1% selama 4.6 detik. Hal ini menunjukkan bahwa osilasi terjadi selama 7 detik. Setelah itu kecepatan motor menjadi konstan pada nilai set-point. Hasil pengujian dengan konstanta KP, KI dan KD berturut-turut sebesar 0.2314; 0.0531, dan 0.0144 pada perlakuan set-point 700 rpm (Gambar 10(b)) menunjukkan bahwa penggunaan konstanta PID yang lebih kecil dapat menurunkan overshoot yang timbul dan mengurangi osisalasi. Overshoot yang terjadi hanya sebesar 11%, artinya terjadi penurunan sebesar 61%. Sedangkan osilasi hanya terjadi selama 1.4 detik, artinya terjadi pengurangan periode isolasi sebesar 5.6 detik. Dari kedua pengujian konstanta PID tersebut tidak menghasilkan steady state error. Kedua hasil pengujian ini menunjukkan bahwa perubahan nilai-nilai konstanta PID akan mempengaruhi hasil pengontrolan secara signifikan. Penggunaan nilai KP yang besar akan menyebabkan terjadi overshoot yang tinggi dan meningkatkan osilasi. Oleh karena itu penggunaan nilai KP, KI dan KD yang tepat akan mengurangi overshoot, mengeleminasi error offset dan osilasi dan mereduksi ketertinggalan atau jeda waktu (Bolton 2004). Gambar 11 menunjukkan hasil pengujian konstanta PID pada set-point 1500 rpm dengan konstanta PID 0.4013; 0.0988 dan 0.0176 (Gambar 11(a)) dan 0.2314; 0.0531, dan 0.0144 (Gambar 10(b). Hasil pengujian dari kedua parameter-parameter tersebut memperlihatkan performa yang cukup baik dalam merespon (a) (b) Gambar 11 Hasil pengujian parameter-parameter PID pada set-point 700 rpm

Page 37: ABDUL AZIS S - Unhas

21 (a) (b) Gambar 12 Hasil pengujian konstanta-konstanta PID pada set-point 2000 rpm perintah yang diberikan yang ditandai time delay yang singkat, tidak terjadi steady state error. Overshoot terjadi pada kedua pengujian namun mengalami penurunan dibandingkan pengujian dengan set-point 700 rpm. Overshoot yang terjadi tertinggi sebesar 26.67 % (Gambar 11(a)) dan 5.65% (Gambar 11(b)). Namun pada kedua pengujian ini, terjadi osilasi selama pengujian sebesar 0.33%. Terjadinya osilasi kemungkinan disebabkan oleh penggunaan nilai konstanta PID hasil penalaan kurang tepat untuk kecepatan tinggi, terutama konstanta KP. karena penggunaan KP yang terlalu besar akan memperbesar peluang terjadinya osilasi. Menurut Bolton (2004) bahwa osilasi terjadi disebabkan oleh jeda waktu yang terjadi pada sistem sehingga semakin besar KP maka akan semakin besar aksi pengontrolan untuk suatu nilai error tertentu sehingga peluang sistem untuk melewati nilai pengaturan akan semakin besar. Hasil pengujian dengan perlakuan set-point 2000 rpm ditunjukkan pada Gambar 12. Gambar 12(a) merupakan hasil pengujian dengan konstanta PID berturut-turut 0.4013; 0.0988 dan 0.0176, sedangkan Gambar 12(b) merupakan hasil pengujian dengan konstanta PID berturut-turut 0.2314; 0.0531, dan 0.0144. Kedua grafik memperlihatkan hasil yang berbeda dengan hasil pengujian sebelumnya (set-point 700 rpm dan 1500 rpm), dimana overshoot tidak terjadi. Sebaliknya kecepatan motor DC tidak mampu mencapai nilai set-point sampai pada t = 2.6 detik. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kombinasi nilai konstanta PID yang diperoleh dari hasil penalaan belum tepat, sehingga masih memerlukan modifikasi. Kedua hasil pengujian juga menunjukkan bahwa respon pengontrolan terhadap kecepatan motor DC berbeda-beda untuk nilai konstanta-konstanta PID yang sama. Sehingga salah satu kesulitan dalam proses penalaan PID adalah menemukan kombinasi konstanta-konstanta PID yang tepat dan memiliki performa yang sama untuk setiap perubahan kecepatan atau perintah set-point. Hasil pengujian konstanta PID secara umum menunjukkan performa cukup baik dalam mengontrol kecepatan motor DC. Namun hasil pengujian tersebut juga menunjukkan bahwa respon yang dihasilkan berbeda-beda untuk kecepatan motor yang berbeda. kinerja konstanta PID pada kecepatan rendah (700 rpm) sangat baik, namun pada kecepatan sedang (1500 rpm) terjadi osilasi selama pengujian, sedangkan pada pengujian dengan kecepatan tinggi (2000 rpm) terlihat bahwa

Page 38: ABDUL AZIS S - Unhas

22 kecepatan motor tidak bisa mencapai nilai set-point pada respon awal. Oleh karena itu, masih diperlukan modifikasi konstanta-konstanta PID hasil penalaan sehingga diperoleh suatu kombinasi konstanta PID yang tepat yang dapat mengontrol kinerja motor DC untuk semua nilai set-point. Proses modifikasi konstanta PID bisa dilakukan dengan mengubah nilai salah satu konstanta atau ketiga-tiganya tergantung dari sinyal kesalahan yang ingin dikoreksi. Jika overshoot atau osilasi menjadi target koreksi, maka konstanta yang perlu dimodifikasi adalah konstanta KP dan KD, sebaliknya jika steady state error yang ingin dikoreksi, maka konstanta KI yang perlu dimodifikasi. Berdasarkan hasil pengujian konstanta PID, maka terlihat bahwa pada kecepatan lambat terjadi overshoot yang berlebihan, sedangkan pada kecepatan tinggi meninggal error pada respon awal. Oleh karena itu, maka dilakukan modifikasi pada nilai KP dan KI. Hasil modifikasi konstanta PID ditunjukkan oleh Gambar 13. Gambar 13(a), 13(b) dan 13(c) masing-masing hasil pengujian konstanta modifikasi pada set-point 700, 1500 dan 2000 rpm. Terlihat bahwa dengan mengubah nilai KP dan KI masing-masing menjadi 0.20164 dan 0,06762, sedangkan nilai KD tetap diperoleh penurunan overshoot pada kecepatan rendah dan memperbaiki respon awal pada kecepatan tinggi. Oleh karena itu konstanta PID hasil modifikasi menjadi acuan untuk pengujian selanjutnya. Simpulan Metode IMC cukup handal untuk digunakan dalam melakukan penalaan PID. Nilai KP, KI, dan KD yang diperoleh masing-masing sebesar 0.4013; 0.0988; Gambar 13 Hasil pengujian modifikasi konstanta PID

Page 39: ABDUL AZIS S - Unhas

23dan 0.0176 untuk penalaan dengan PWM 100 dan 0.2314; 0.0531; dan 0.044 untuk penalaan dengan PWM 400. Hasil pengujian dengan motor DC menunjukkan bahwa kedua parameter-parameter PID cukup handal dalam pengontrolan kecepatan motor DC. Pada pengujian dengan set-point 700 rpm, performa PID sangat baik mengikuti nilai pengaturan yang ditandai oleh respon yang cepat, tidak adanya steady state error dan osilasi yang berlebihan. Namun pada pengujian dengan set-point 1500 rpm terjadi osilasi selama pengujian, sedangkan pengujian dengan set-point 2000 rpm, respon awal motor tidak mampu untuk mencapai nilai set-point. 3 DESAIN DAN PENGUJIAN PERFORMANSI METERING

DEVICE TIPE AUGER UNTUK VARIABLE RATE FERTILIZER APPLICATOR

Pendahuluan Pemupukan merupakan salah satu tahapan produksi padi sawah dengan biaya cukup tinggi. Biaya produksi per musim tanam per hektar untuk budidaya tanaman padi sawah mencapai 1.7 juta rupiah atau sekitar 10.40% dari total biaya produksi (BPS 2014). Jika dikonversi ke jumlah pupuk yang diperlukan, maka untuk setiap ton gabah yang dihasilkan, tanaman padi memerlukan hara N sebanyak 17.5 kg (setara 39 kg Urea), P sebanyak 3 kg (setara 9 kg SP-36) dan K sebanyak 17 kg (setara 34 kg KCl). Dengan demikian bila petani menginginkan hasil gabah yang tinggi tentu diperlukan pupuk yang lebih banyak (BB Padi Litbang Pertanian 2015). Selama ini, sistem pemupukan padi sawah di Indonesia umumnya masih menggunakan sistem pemupukan seragam, dimana dosis pemupukan seragam untuk satu areal sawah tanpa memperhatikan kondisi hara tanah dan kebutuhan tanaman. Pada aplikasi pemupukan seragam, kandungan hara tanah diasumsikan seragam, meskipun dalam kenyataannya kandungan hara dalam tanah berbeda-beda dalam suatu lahan, sehingga kebutuhan tanaman terhadap hara (pupuk) akan berbeda-beda. Oleh karena itu perlakuan pemupukan seragam tidak akan efektif dan efisien. Selain itu, sebagian tanaman akan mengalami kelebihan dosis dan sebagian pupuk yang tidak terserap oleh tanaman akan berpotensi berdampak negatif bagi tanah dan lingkungan. Aplikasi pemupukan bervariasi atau variable rate fertilizer applicator (VRFA) yang dalam sistem pertanian presisi merupakan salah satu teknologi yang mampu memberikan aplikasi pemupukan yang tepat sesuai kondisi lahan dan kebutuhan tanaman (Chandel et al. 2016). Pertanian presisi merupakan teknologi berkelanjutan melalui pendekatan teknologi informasi (GIS, GPS dan VRT) untuk menghasilkan bahan makanan dan serat (Behic Tekin dan Okyay Sındır 2015). VRFA dapat meningkatkan efisiensi produksi, mengurangi pencemaran lingkungan dari agrochemical dan dapat meningkatkan keuntungan bagi petani dengan mengurangi penggunaan pupuk, pestisida dan irigasi (Ehsani et al. 2009), mengurangi jumlah nutrisi (pupuk) yang diberikan pada tanaman sehingga bermanfaat bagi lingkungan (Mallarino et al. 1999). Penggunaan teknologi VRFA

Page 40: ABDUL AZIS S - Unhas

24 dapat mengurangi pencemaran yang disebabkan oleh penggunaan input yang tidak terkendali. Teknologi ini juga dapat mengkonversi teknologi konvensional menggunakan sistem kontrol elektronik (Hosseini et al. 2014), meningkatkan efisiensi input, mengurangi biaya, ramah lingkungan dan menghasilkan tanaman lebih seragam, baik dari segi hasil dan kualitas dalam waktu yang sama (Colaço et al. 2014). Salah satu indikator pertanian presisi adalah menurunkan penggunaan pupuk N dan meningkatkan efisiensi penggunaannya melalui identifikasi site-specific management zones (Koch et al. 2004). Teknologi VRFA mencakup tiga aspek utama yaitu perlakuan tepat dosis, tepat lokasi dan tepat waktu. Perlakuan tepat dosis pemupukan akan tercapai jika menggunakan variable rate technology (VRT), tepat lokasi memerlukan teknologi GPS, sedangkan tepat waktu memerlukan pengujian tanah (soil testing) dan yield monitors (Adekunle 2013). VRT merupakan salah satu komponen penting dari teknologi pertanian presisi (Ehsani et al. 2009), merupakan komponen dari teknologi site-specific management (SSM) yang mudah diadopsi yang memungkinkan penerapan input produksi yang berbeda di lahan berdasarkan prescription maps atau sensor scanning (Colaço et al. 2014). Pengendalian VRT menggabungkan antara teknologi mikrokontroler sebagai penerima data sensor, GIS prescription data dan instruksi yang diinginkan melalui antarmuka perangkat keras dan lunak dan menghitung application rate yang diinginkan menggunakan formula atau algorithm (Bennur 2009). Salah satu komponen penting dari VRT adalah metering device yang berfungsi menjatah pupuk dari hopper. Terdapat beberapa tipe metering device yang umum digunakan dan telah mengalami banyak pengembangan (Gambar 14), antara lain star wheel feed, rotating bottom plate, auger-type, loos-fitting auger, edge-cell vertical rotor dan belt-type metering device (Srivastava et al. 1996). Gambar 14 Macam-macam tipe metering device: tipe close-fitting auger (a), wire-belt (b), edge-cell vertical rotor (c), dan positive feed fluted roll

Page 41: ABDUL AZIS S - Unhas

25Namun tidak semua jenis metering device tersebut bisa digunakan untuk aplikasi VRT, karena keterbatasan sumber tenaga yang tersedia di lahan pertanian. Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya terkait penggunaan metering device untuk aplikasi VRFA antara lain (Radite et al. 2000) yang menggunakan metering device tipe star-type roller feeders (Gambar 15). Metering device ini terbuat dari karet dengan diameter luar 55 mm, diameter dalam 35 mm dan ketebalan 19 mm dengan 6 buah celah rotor (fins). (Azis 2011) dan (Sapsal 2012) mengembangkan metering device tipe star yang terbuat dari bahan acrilic setebal 5 mm yang disusun hingga mencapai ketebalan 20 mm, memiliki 6 alur pupuk (Gambar 16). Ukuran diameter luar rotor 58 mm dan diameter dalam 32.6 mm. metering device tipe star memiliki beberapa kekurangan, diantaranya butiran pupuk mudah mengalami penggerusan yang berakibat terjadinya pengecilan ukuran butiran pupuk. Hal ini terjadi jika terdapat celah antara diameter luar rotor dengan rumah rotor yang memungkinkan butiran-butiran pupuk masuk kedalamnya. Butiran pupuk yang halus akan mudah mengalami pemadatan pada dinding celah rotor sehingga mempengaruhi volume pupuk yang dikeluarkan. Pemadatan yang terjadi terus menerus menyebabkan penyumbatan dan penumpukan pupuk pada ujung hopper yang berakibat macetnya putaran rotor. Untuk mengurangi dampak-dampak pemadatan dan penumpukan yang sering Gambar 15 metering device tipe star-type roller feeders (Radite et al. 2000) Gambar 16 Metering device tipe star

Page 42: ABDUL AZIS S - Unhas

26 terjadi pada tipe star, maka dikembangkan metering device tipe auger yang terbuat dari stainless. Sistem penjatahan pupuk ini perlu didesain, dikalibrasi dan diuji kinerjanya, sebelum diaplikasikan dalam sebuah mesin aplikator pupuk presisi. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk menguji kinerja metering device tipe auger yang dikendalikan dengan PID controller, dengan metode stair-step response. Bahan dan Metode

Waktu dan Tempat Pembuatan sampai pengujian alat dilakukan pada bulan Januari 2016 – November 2016. Pembuatan alat dilakukan di bengkel Siswadi Soepardjo dan Laboratorium Mekatronika dan Robotika. Kalibrasi dan pengujian kinerja alat dilakukan di Laboratorium Mekatronika dan Robotika, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini digolongkan dalam dua bagian, yaitu alat dan bahan untuk proses desain dan pembuatan metering device dan alat dan bahan untuk proses pengujian metering device. Alat-alat yang digunakan untuk proses pembuatan metering device antara lain gergaji dan cutter khusus acrilic yang digunakan untuk memotong acrilic, heater yang telah dimodifikasi yang digunakan untuk membengkokkan atau membentuk acrilic menjadi sebuah hopper, dan penggaris. Adapun bahan yang digunakan adalah acrilic bening dengan ketebalan 3 mm dan lem khusus acrilic. Alat dan bahan yang digunakan untuk proses pengujian metering device terbagi dua, yaitu perangkat keras dan perangkat lunak. Perangkat keras yang digunakan antara lain: laptop, metering device tipe auger, modul mikrokontroler ARM tipe STM32F401RE, timbangan digital, modul driver motor DC H-Bridge 30A, motor DC. Perangkat lunak yang digunakan antara lain Keil-v5, Tera term dan Microsoft excel. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pupuk NPK jenis phonska dengan komposisi unsur N, Fosfat (P2O5), dan Kalium (K2O) masing-masing sebesar 15%, 15%, dan 15%. Pupuk NPK yang digunakan memiliki distribusi ukuran 4.76, 2.83, 2.0, dan 1.41 mm masing-masing 4%, 54%, 29%, 11% dan 1%. Tahapan Desain Metering Device Metering device merupakan komponen yang didesain khusus untuk menjatah pupuk dari sebuah hopper. Metering device yang digunakan dalam penelitian ini adalah metering device tipe auger. Dalam penelitian ini, sebanyak tiga buah metering device dan hopper dibuat untuk menangani 3 alur tanaman untuk sekali aplikasi. Tahapan desain metering device dan hopper mencakup dua tahapan, yaitu: analisis fungsional dan analisis struktural. Hopper berfungsi sebagai wadah atau penampung pupuk. Hopper yang dihasilkan harus memiliki kriteria kuat dan tahan korosi, karena digunakan sebagai wadah pupuk yang bersifat korosif. Untuk mendapatkan kriteria-kriteria tersebut, pemilihan bahan harus diperhatikan. Terdapat dua jenis bahan yang memiliki kedua kriteria

Page 43: ABDUL AZIS S - Unhas

27tersebut, yaitu stainless dan akrilik. Dalam penelitian ini, bahan akrilik dipilih sebagai bahan pembuatan hopper dengan beberapa pertimbangan, diantaranya mudah dibentuk, bobot ringan dan transparan sehingga kondisi di dalam hopper dapat dipantau secara langsung. Bagian kedua dari metering device adalah auger. Auger berfungsi untuk mengeluarkan pupuk dari hopper. Sama halnya dengan hopper, auger juga harus memiliki kriteria kuat dan tahan korosi. Oleh karena itu, bahan yang dipilih dalam pembuatan auger adalah stainless. Tahapan selanjutnya adalah analisis struktural. Tahapan ini dilakukan untuk menentukan dimensi dari bagian-bagian metering device. Dimensi hopper mencakup panjang, lebar, tinggi dan kemiringan dasar. Dimensi panjang. lebar dan tinggi ditentukan berdasarkan volume hopper yang ingin dibuat. Secara teoritis, volume hopper dapat ditentukan dengan persamaan: Vhp= Dp×Ap×103np×ρp (17) dimana Vhp, Dp, Ap, np, dan ρp adalah berturut-turut volume hopper (cm3), Dosis pemupukan (kg/ha), luas lahan pemupukan sekali pengisian (ha), jumlah unit mesin pemupuk dan bulk density pupuk (kg/cm3). Sedangkan kemiringan dasar hopper ditentukan dari sudut curah pupuk (angel of repose) dari pupuk yang digunakan. Dalam penelitian ini, jenis pupuk yang digunakan adalah NPK dengan besaran sudut curah sekitar 32o. Hasil perhitungan volume hopper berdasarkan Persamaan 17 diperlihatkan pada Tabel 1. Diasumsikan bahwa dosis pemupukan maksimum padi sawah sebesar 350 kg/ha, jumlah hopper sebanyak 3 unit untuk menangani 3 alur tanaman sekali operasi, dan bulk density pupuk NPK 0.912 g/cm3. Luas lahan pemupukan sekali operasi divariasikan guna mendapatkan beberapa pilihan volume hopper. Selain secara teoritis, berat total maksimum dari ketiga hopper jadi pertimbangan penentuan dimensi, karena desain awal, metering device akan Tabel 1 Hasil perhitungan dimensi hopper Vhp(cm3) Dp(kg/ha) Ap(ha) np(unit) ρp(g/cm3) 12000 350 0.1 3 0.912 19189 350 0.15 3 0.912 25585 350 0.2 3 0.912 Gambar 17 Desain dan dimensi hopper

Page 44: ABDUL AZIS S - Unhas

28 digandengkan pada traktor roda satu yang memiliki keterbatasan tenaga. Berat maksimum ketiga hopper diharapkan berkisar antara 30 – 40 kg. Selain itu jarak tanam padi, yakni 20 – 30 cm juga menjadi pertimbangan dalam penentuan lebar hopper karena metering device didesain untuk menjatah pupuk langsung ke baris tanaman. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut maka hopper didesain dengan volume 12000 cm3 atau setara dengan panjang baris tanaman 1251 m. Untuk mendapatkan hopper dengan volume tersebut maka dimensi panjang, lebar dan tinggi hopper berturut-turut sebesar 30 cm, 20 cm dan 20 cm. Berdasarkan sudut curah pupuk NPK sebesar 320, maka kemiringan dasar hopper dibuat sebesar 370 pada sisi samping dan 630 pada sisi depan/belakang seperti ditunjukkan Gambar 17. Dimensi dasar hopper menyesuaikan dengan dimensi auger. Penentuan dimensi auger dilakukan dengan menggunakan persamaan: Qt= π4 Adsf2 -dss2 BlP×n (18) dimana Qt adalah kapasitas volumetric teoritis, dsf adalah diameter luar auger, dss diameter poros auger, lP adalah panjang pitch dan n adalah kecepatan putar auger. Karena metode penjatahan pupuk adalah penjatahan langsung ke baris tanaman seperti ilustrasi Gambar 18, maka langkah awal yang harus dilakukan adalah menentukan jumlah baris dalam satu hektar lahan, jika jarak tanam diasumsikan 25 cm, maka terdapat 400 baris/ha. Untuk menghitung besaran dosis perbaris (DB) digunakan rumus: DB= DPbaris/ha (19) dengan dosis pemupukan (DP) sebesar 350 kg/ha, maka diperoleh dosis/baris sebesar 0.875 kg/baris atau 0.00875 kg/m. Selanjutnya kapasitas volumetrik (Qt) dapat ditentukan dengan persamaan: Qt= DB× vρP (20) Gambar 18 Ilustrasi jalur pemupukan

Page 45: ABDUL AZIS S - Unhas

29Dimana v adalah kecepatan maju traktor. Dengan menggunakan Persamaan 20, maka diperoleh Qt sebesar 3.84 cm3/s. Oleh karena itu, auger yang didesain harus mampu mengeluarkan pupuk sebesar 3.84 cm3/s. Dengan menggunakan persamaan 18 kemudian dilakukan simulasi penentuan dimensi auger dengan asumsi panjang pitch tidak kurang dari 10 mm untuk mengantisipasi ukuran pupuk yang besar (Ø> 5mm), diameter poros ditetapkan 15 mm untuk memudahkan proses pabrikasi. Kecepatan operasi auger yang dikehendaki adalah 20 – 60 rpm. Oleh karena itu dalam penentuan dimensi auger menggunakan kecpatan motor maksimum, yaitu 60 rpm untuk memperoleh dosis pemupukan maksimum 350 kg/ha. Hasil simulasi ditunjukkan pada Tabel 2, dimana diameter luar auger sebesar 30 mm. Berdasarkan dimensi yang diperoleh, maka dibuat desain auger seperti pada Gambar 19. Agar auger dapat mengeluarkan pupuk dari hopper, maka auger harus diputar dengan sebuah motor DC. Daya motor DC yang dibutuhkan harus mampu menangani beban auger ditambah dengan beban pupuk yang tertampung pada celah pitch. Perhitungan daya minimum untuk memutar auger dapat didekati dengan persamaan performa auger conveyor biji-bijian (Srivastava et al. 1996) Qaπ4 Adsf2 -dss2 Blpn = 432×10-6 F2πnGlpgH-0.44 IlilpJ0.31 �f2(θ)�1.35(µ1)-4.59(µ2)-3.72 (21) P/LQaρbg = 3.54 $2πnKlpg)0.14 $dsflp )-10.12 $ lilp)0.11 �f2(θ)�(µ2)2.05(22)Dimana: P = Daya (watt) L = Panjang auger (m) Qa = Kapasitas volumetric aktual auger Gambar 19 Desain dan dimensi auger Tabel 2 Hasil perhitungan dimensi auger dsf (m) dss (m) lp (m) n (rpm) n(rps) Qt (m3/s) Qt(cm3/s) 0.03 0.015 0.01 60 1 5.301E-06 5.30 0.035 0.015 0.01 60 1 7.854E-06 7.85 0.04 0.015 0.01 60 1 1.08E-05 10.80

Page 46: ABDUL AZIS S - Unhas

30 Ρb = Massa jenis pupuk (kg/m3) g = Kecepatan gravitasi (m/s2) n = Kecepatan putar (rev/s) lp = Panjang pitch (m) dsf = Diameter luar auger (m) li = Panjang intake auger (m) µ1 = Koefisien gesek pupuk dengan akrilik µ2 = Koefisien gesek pupuk dengan pupuk f1(θ) = 1 + cos2 θ f2(θ) = 6.94(1.3 - cos2 θ) θ = Sudut auger terhadap garis horizontal Tahapan Kalibrasi Kalibrasi dilakukan untuk mengetahui hubungan kecepatan motor DC dengan massa pupuk yang keluar dari metering device. Kalibrasi dilakukan terhadap ketiga metering device. Tahapan kalibrasi seperti pada Gambar 20, diawali dengan menyiapkan dan merangkai semua komponen yang akan digunakan seperti pada Gambar 21. Komponen-komponen tersebut terdiri dari Gambar 20 Tahapan kalibrasi metering device

Page 47: ABDUL AZIS S - Unhas

31metering device, motor DC, sistem kontrol timbangan digital dan laptop. Sistem kontrol terhubung dengan laptop melalui jalur USB, sedangkan timbangan terhubung ke laptop melalui jalur serial RS232. Jalur USB digunakan sebagai jalur komunikasi antara sistem kontrol dengan laptop, baik proses download program maupun transfer data pengukuran kecepatan motor dari flash memory mikrokontroler ke aplikasi Tera term. Setelah instalasi komponen selesai dilakukan, selanjutnya dilakukan pembuatan program kalibrasi menggunakan software Keil-v5 dengan bahasa pemrograman C. pembuatan program mencakup inisialisasi dan konfigurasi kontrol, program persamaan PID, program pembacaan data kecepatan motor DC dan program kinerja motor. Kemudian dilakukan pengisian pupuk sebanyak 3 kg ke dalam hopper, kemudian timbangan digital dan sistem kontrol dinyalakan kemudian aplikasi pembaca data timbangan SoRtMSi 2011 dan Tera term diaktifkan. Tampilan kedua aplikasi ini seperti pada Gambar 22, dimana layar bawah merupakan tampilan SoRtMSi 2011 dan atas adalah tampilan Tera term. Langkah selanjutnya adalah menjalankan motor DC pada set-point Gambar 21 Instalasi komponen-komponen pengujian metering device Gambar 22 Tampilan aplikasi SoRtMSi 2011 dan Tera term Gambar 23 Proses pengeluaran dan penimbangan pupuk

Page 48: ABDUL AZIS S - Unhas

32 kecepatan 700 rpm selama 20 detik dengan periode sampling 0.2 detik sehingga diperoleh sebanyak 100 data kecepatan motor DC. Pupuk yang keluar dari metering device tertampung kedalam wadah dan perubahan massa pupuk ditampilkan pada monitor timbangan digital seperti pada Gambar 23. Setelah 20 detik, secara otomatis motor DC berhenti dan data kecepatan motor DC dan massa pupuk ditampilkan pada kedua aplikasi Tera term dan SoRtMSI 2011. Kemudian kedua data tersebut dikopi dan disimpan ke dalam aplikasi Microsoft excel untuk selanjutnya diolah dan dianalisis. Kemudian dilanjutkan dengan menjalankan motor DC dengan kecepatan 900, 1100, 1300, 1500, 1700, 1900, dan 2100 rpm dengan tahapan dan prosedur yang sama dengan perlakuan kecepatan 700 rpm. Pengujian Kinerja Metering Device Pengujian kinerja metering device dilakukan untuk melihat kinerja sistem dalam merespon perubahan set-point yang diberikan secara tiba-tiba. Pengujian ini dilakukan dengan metode stair-step response. Metode ini dilakukan dengan mengontrol motor DC secara close loop mengikuti nilai set-point yang menyerupai pola tangga, baik pola tangga naik maupun turun. Pengujian dilakukan dengan dua jenis pengujian, yaitu pengujian kinerja metering device tanpa pupuk dan dengan pupuk. Prosedur pengujian stair step response tanpa pupuk ditunjukkan pada Gambar 24. Tahapan instalasi komponen dan pembuatan program pengontrolan hampir sama dengan prosedur kalibrasi, perbedaan hanya pada set-point yang digunakan, dimana set-point yang dipakai dalam pengontrolan 0, 800, 1100, 1400, 1700, 2000 0, 2000, 1700, 1400, 1100, 800, 0 rpm dan dijalankan secara kontinyu, sehingga akan diperoleh data pengukuran menyerupai pola tangga seperti ilustrasi pada Gambar 25. Tiap perlakuan set-point, motor DC dijalankan selama 20 detik, sehingga motor DC akan berhenti setelah dijalankan selama 260 detik. Kemudian data kecepatan motor ditampilkan pada aplikasi Tera term dan selanjutnya disimpan dan dianalisis. Gambar 24 Tahapan pengujian kinerja metering device metode stair step response tanpa pupuk

Page 49: ABDUL AZIS S - Unhas

33Pengujian kinerja metering device kedua adalah pengujian dengan pupuk. prosedur pengujian hampir sama dengan pengujian tanpa pupuk. Perbedaan terletak pada penggunaan pupuk yang dimasukkan ke dalam hopper. Selain itu, set-point yang digunakan dalam pengujian ini adalah 0, 1158, 1334, 1512, 1691, 1869, 0, 1869, 1691, 1512, 1334, 1158, 0 rpm. Nilai-nilai ini diperoleh dari hasil konversi dosis pemupukan menjadi kecepatan motor DC. Nilai dosis pemupukan yang digunakan adalah 150, 175, 200, 225 dan 250 kg/ha. Dengan menggunakan persamaan korelasi yang diperoleh dari pengujian kalibrasi, maka diperoleh nilai 1158, 1334, 1512, 1691, 1869 rpm. Dalam pengujian ini diperoleh data kecepatan motor DC dan massa pupuk yang keluar dari metering device. Hasil dan Pembahasan

Metering Device dan Hopper Metering device merupakan komponen VRFA yang didesain untuk menjatah pupuk granular dengan dosis sesuai kebutuhan. Metering device dibuat dari bahan yang kuat dan tahan terhadap korosi karena akan bersentuhan langsung Gambar 26 Auger hasil desain Gambar 25 Ilustrasi metode stair step response Gambar 27 hopper hasil desain

Page 50: ABDUL AZIS S - Unhas

34 dengan pupuk. Metering device yang dibuat merupakan tipe auger yang dilengkapi dengan sebuah hopper. Auger dibuat dari bahan stainless sedangkan hopper dibuat dari bahan akrilik. Berdasarkan hasil desain, maka dibuat auger seperti pada Gambar 26 dengan dimensi diameter poros, diameter luar, panjang pitch masing-masing 15 mm, 30 mm dan 10 mm. Sedangkan hopper hasil desain ditunjukkan pada Gambar 27 dengan dimensi panjang, lebar dan tinggi masing-masing sebesar 30 cm, 20 cm dan 20 cm. Kemiringan dasar hopper dibuat 370 dan 630 untuk memudahkan pupuk mengalir menuju metering device secara grafitasi. Hasil Kalibrasi Metering Device Kalibrasi dilakukan untuk mengetahui hubungan atau korelasi antara kecepatan motor DC dengan massa pupuk yang keluar dari metering device. Pengujian dilakukan terhadap ketiga metering device. Hasil kalibrasi ketiga metering device ditunjukkan pada Gambar 28. Gambar 28(a), 28(b), dan 28(c) berturut-turut adalah hasil kalibrasi metering pertama, kedua dan ketiga. Sumbu-X mewakili massa pupuk yang keluar dari metering device dalam satuan gram yang disetarakan dengan dosis dalam satuan kg/ha, sedangkan sumbu-Y merupakan kecepatan motor DC dalam satuan rpm. Grafik hasil kalibrasi menunjukkan bahwa antara kecepatan motor DC dengan dosis pupuk yang keluar dari ketiga metering device berkorelasi linier dengan masing-masing persamaan korelasi y = 7.125x – 108.9; y = 6.893x – 118.1; dan y = 7.11x – 10.8 dengan masing-masing koefisien determinasi R2 = 0.996; 0.998; dan 0.999. Hasil ini menunjukkan bahwa pengontrolan dosis pemupukan dapat dilakukan dengan mengontrol kecepatan motor DC yang terpasang pada poros auger. Gambar 28 Grafik hubungan kecepatan motor dengan keluaran pupuk pada tiga metering device pada perlakuan selama 20 detik

Page 51: ABDUL AZIS S - Unhas

35Pengujian Tanpa Pupuk Hasil pengujian kinerja metering device tanpa pupuk ditunjukkan pada Gambar 29. Gambar 29(a), 29(b), dan 29(c) berturut-turut adalah hasil pengujian stair step response tanpa pupuk untuk metering device pertama, kedua dan ketiga. Hasil pengujian menunjukkan bahwa kecepatan motor DC mampu mengikuti setiap perintah set-point kecepatan yang diberikan, baik untuk step-up maupun step-down, respon yang cepat terhadap perubahan nilai set-point, dan tidak terjadi steady state error. Dari grafik juga terlihat bahwa terjadi overshoot dan osilasi untuk ketiga pengujian metering device. Besaran osilasi yang terjadi berbeda-beda untuk masing-masing metering device. Osilasi pada metering device I berkisar antara 1% - 3%, metering device II berkisar antara 1% - 7 %, sedangkan pada metering device III berkisar antara 1% - 4%. Osilasi yang terjadi pada metering Gambar 29 Hasil pengujian metering device metode stair step response tanpa pupuk pada tiga metering device Gambar 30 Bentuk dan posisi bantalan (boosing) pada poros auger

Page 52: ABDUL AZIS S - Unhas

36 Gambar 31 Grafik hasil pengujian ketiga metering device metode stair-step response device I lebih sedikit dibandingkan metering device II dan III. Secara umum osilasi terjadi disebabkan oleh pengaruh gesekan yang terjadi antara porors auger dengan bantalan (boosing) yang terpasang pada kedua ujung poros auger seperti pada Gambar 30. Bantalan yang digunakan dibuat dari bahan nilon yang dibubut mengikuti ukuran poros auger.

Pengujian dengan Pupuk Pengujian metering device menggunakan pupuk jenis NPK dengan distribusi ukuran 4.76, 2.83, 2.0, dan 1.41 mm masing-masing 4%, 54%, 29%, 11% dan 1%. Pengujian dilakukan secara statis dengan metode stair step response. Hasil pengujian ditunjukkan pada Gambar 31. Gambar 31(a), 31(b), dan 31(c) adalah berturut-turut grafik hasil pengujian pada metering device pertama, kedua dan ketiga. Hasil pengujian menunjukkan bahwa secara umum sistem masih dapat merespon dengan baik dan mengikuti setiap perintah set-point yang diberikan, baik pada step up maupun step down, namun terjadi osilasi yang cukup besar. Hal ini disebabkan oleh ukuran pupuk yang tidak seragam dan cukup besar yaitu Tabel 3 Perhitungan error masing-masing hasil pengujian metering device Set-point (kg/ha) MDI (kg/ha) error MD I MD II (kg/ha) error MD II MD III (kg/ha) error MD III 150 147.30 -1.80% 149.82 -0.12% 154.62 3.08% 175 173.35 -0.94% 175.79 0.45% 180.54 3.16% 200 198.03 -0.98% 200.94 0.47% 205.21 2.60% 225 223.46 -0.68% 226.40 0.62% 230.22 2.32% 250 248.55 -0.58% 250.96 0.38% 254.11 1.64% Keterangan: MD = metering device

Page 53: ABDUL AZIS S - Unhas

37 Gambar 32 Grafik hasil pengujian keluaran pupuk metode stair-step response pada tiga metering device berkisar 1.41 mm – 4.76 mm dan jarak antar pitch pada auger hanya 10 mm. Akibatnya, ketika pupuk dengan ukuran besar menumpuk pada celah auger maka beban akan menjadi lebih besar sehingga putaran motor menjadi terhambat. Penurunan kecepatan motor tentunya akan mengurangi jumlah pupuk yang dikeluarkan. Namun penurunan kecepatan akan terkompensasi oleh putaran berikutnya yang melampaui nilai set-point. Tabel 3 menunjukkan hasil perhitungan error atau kesalahan penjatahan pupuk dari masing-masing metering device. Nilai kesalahan negatif menandakan bahwa dosis pupuk hasil jatahan kurang dari yang diinginkan, sedangkan nilai kesalahan positif menunjukkan bahwa dosis pupuk hasil jatahan melebihi dosis yang diinginkan. Hasil jatahan pupuk metering device I memberikan nilai negatif untuk semua perlakuan dosis. Hal ini berarti pupuk hasil jatahan metering device I kurang dari dosis yang diinginkan sebesar 0.58% - 1.8%. Kesalahan jatahan pupuk metering device II relatif lebih kecil kecil dari kedua metering device lainnya. Dimana kekurangan dosis jatahan hanya pada perlakuan dosis 150 kg/ha. Kelebihan dosis terjadi pada perlakuan 175 – 250 kg/ha dengan persentase kesalahan berkisar antara 0.38% hingga 0.62%. Kesalahan penjatahan terbesar terjadi pada metering device III, dimana untuk semua perlakuan diperoleh pupuk hasil jatahan melebihi dosis yang diinginkan. Persentase kesalahan penjatahan berkisar antara 1.64% hingga 3.16% Selain pengukuran kinerja kecepatan motor, pengukuran massa pupuk yang keluar dari metering device juga dilakukan. Hasil pengukuran massa pupuk dengan metode stair step response ditunjukkan pada Gambar 31. Pola grafik massa berbeda dengan grafik kecepatan yang membentuk sebuah pola tangga. Hal ini disebabkan karena pengukuran dilakukan secara langsung dan massa yang terukur merupakan akumulasi massa pupuk yang keluar. Gambar 32(a), 32(b), dan 32(c) merupakan grafik massa pupuk metering device pertama, kedua dan ketiga. Dari grafik terlihat bahwa massa pupuk maksimum selama pengujian dari masing-

Page 54: ABDUL AZIS S - Unhas

38 Gambar 33 Grafik perubahan massa pupuk keluaran ketiga metering device masing metering device berturut-turut sebesar 0.5021 kg, 0.5127 kg, dan 0.4912. Dari grafik memperlihatkan bahwa pada posisi step naik (step-up), kenaikan massa pupuk pada ketiga metering device cenderung mengalami percepatan, sedangkan pada posisi step turun (step-down) cenderung mengalami perlambatan. Kenaikan massa pupuk mengikuti pola putaran motor DC. Semakin tinggi putaran motor, maka akan semakin besar kenaikan massa pupuk, demikian pula sebaliknya. Demikian halnya ketika set-point berada pada 0 rpm, maka tidak terjadi kenaikan massa pupuk. Grafik perubahan massa pupuk terhadap waktu ditunjukkan pada Gambar 33. Gambar 33(a), 33(b), dan 33(c) masing-masing menunjukkan hasil pengujian metering device I, metering device II, dan metering device III. Dari grafik hasil pengujian ketiga metering device menunjukkan bahwa massa pupuk yang dikeluarkan sesuai dengan dosis yang diinginkan. Hal ini dapat dilihat dari perubahan massa pupuk yang mampu mengikuti setiap perubahan nilai dosis atau set-point yang digunakan, baik pada perlakuan step naik maupun turun. Hal ini menunjukkan bahwa metering device yang dirancang mampu mengontrol dosis pemupukan sesuai dengan yang diinginkan. Simpulan Desain dan pengembangan metering device tipe auger terkontrol dan pengujian kinerja metering device telah berhasil dilakukan dengan baik dengan persamaan korelasi antara dosis pupuk dengan putaran motor dari ketiga metering device y = 7.125x – 108.9; y = 6.893x – 118.1; dan y = 7.11x – 10.8 dengan masing-masing koefisien determinasi R2 = 0.996; 0.998; dan 0.999. Hasil pengujian stair-step response menunjukkan bahwa sistem dapat merespon dengan

Page 55: ABDUL AZIS S - Unhas

39cepat perintah set-point yang diberikan, baik pada step up maupun step down untuk perlakuan tanpa pupuk maupun dengan pupuk. 4 PENGUJIAN PERFORMA METERING DEVICE DI LAHAN

Pendahuluan Variable Rate Fertilizer Applicator (VRFA) merupakan sebuah teknologi pemupukan yang mampu memberikan aplikasi pemupukan yang tepat, baik tepat dosis, tepat lokasi dan tepat waktu. Tepat dosis merupakan pemberian aplikasi pemupukan pada tanaman dengan dosis sesuai yang dibutuhkan tanaman, tepat lokasi merupakan aplikasi pemberian pupuk pada tanaman yang membutuhkan, sedangkan tepat waktu dapat dicapai dengan penggunaan teknologi metering device terkontrol yang dapat menjatah pupuk sesuai dengan yang diinginkan melalui pemberian nilai set-point kecepatan motor. Tepat lokasi dapat dicapai melalui pengintegrasian teknologi GPS yang dapat memandu VRFA di lapangan melalui suatu peta kebutuhan hara tanah dan tanaman. Aplikasi tepat dosis melalui tekonologi metering device telah dikembangkan dan diuji dengan hasil yang baik. Pengujian statis metering device telah berhasil dilakukan dengan baik yang ditandai oleh respon kontrol yang cepat terhadap setiap perubahan nilai set-point kecepatan motor (delay yang singkat), tidak terjadi error keadaan tunak (steady state error). Pengujian mencakup kalibrasi metering device dan pengujian performa dengan metode stair step response. Kedua pengujian ini terbukti mampu mengontrol kaluaran pupuk dari metering device dengan baik sesuai yang diinginkan melalui pengontrolan kecepatan motor DC. Pengujian statis yang telah dilakukan cenderung mengabaikan potensi gangguan luar terhadap sistem, sehingga sistem beroperasi pada kondisi ideal. Hal ini tentunya tidak akan berlaku ketika metering device diaplikasikan pada aplikator VRFA, dimana potensi gangguan sangat besar terjadi ketika digandengkan atau dipasang pada kendaraan aplikator. Jenis gangguan yang sangat mungkin muncul dan berpotensi mengganggu kinerja alat adalah getaran yang bersumber dari mesin kendaraan atau dari pergerakan putaran roda di lahan. Gambar 34 Pengujian dinamis metering device (Sapsal 2012a)

Page 56: ABDUL AZIS S - Unhas

40 Oleh karena itu, sebelum metering device diaplikasikan pada aplikator VRFA, maka perlu dilakukan pengujian dinamis di lahan untuk melihat kinerja metering dalam menghadapi gangguan atau noise berupa getaran . Pengujian metering device di lahan telah dilakukan oleh Sapsal (2012a), dimana metering device digandengkan ke sebuah mesin penanam padi (transplanter) (Gambar 34). Proses penggandengan dilakukan dengan memanfaatkan tiga titik gandeng dari trasplanter. Penggunaan tiga titik gandeng ini dapat memudahkan proses pemasangan dan penyetelan ketinggian metering device karena pada tiga titik gandeng terdapat perangkat hidrolik yang terpasang pada bagian top link. Bahan dan Metode

Waktu Dan Tempat Penelitian pengujian dinamis metering device dilakukan pada bulan Januari 2017 sampai Agustus 2017 di bengkel Metanium Siswadi Soepardjo untuk tahap persiapan alat dan dilahan percobaan Siswadi Soepardjo untuk tahap pengujian alat, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam pengujian ini dapat dikategorikan kedalam 3 bagian, yaitu perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software) dan alat bantu. Perangkat keras antara lain sebuah sistem kontrol berbasis STM32F401RE-Nucleo, 3 unit metering device tipe auger, 3 unit motor DC, 1 unit laptop dan 1unit mesin transplanter padi dengan roda ramping dan high clearance. Perangkat lunak antara lain keil MDK ARM versi 5.14, Tera term dan Microsoft office. Alat bantu antara lain timbangan digital dengan kapasita 500 gram dan deviasi 0.1 gram, 10 unit talang air PVC, meteran, mistar, sekop dan kuas. Bahan yang digunakan adalah pupuk NPK. Pengujian Kalibrasi Dinamis Metering Device Pengujian kalibrasi dinamis metering device bertujuan untuk menguji kinerja metering device pada kondisi bergerak. Pengujian ini tentunya berbeda dengan pengujian statis (skala laboratorium) karena pengujian dinamis, metering device akan mendapatkan gangguan atau noise berupa getaran yang bersumber dari mesin penarik (transplanter). Gangguan berupa getaran berpotensi mempengaruhi kinerja auger dalam mengeluarkan pupuk. Prosedur pengujian kalibrasi dinamis diperlihatkan pada gambar 35. Pertama-tama implement penanam padi dari transplanter harus dilepas agar metering device dapat digandengkan pada bagian belakang transplanter. Penggandengan dilakukan dengan memanfaatkan tiga titik gandeng dari transplanter seperti pada Gambar 36. Tiga titik gandeng ini merupakan penghubung antara transplanter dengan implemennya. Agar aplikator bisa terpasang, maka pada bagian rangka hopper dibuat tiga titik penggandengan dengan posisi dan ukuran yang sama dengan tiga titik gandeng transplanter. Ketinggian dari aplikator dapat diatur melalui hidrolik yang terpasang pada bagian top link dari tiga titik gandeng. Hasil penggandengan aplikator terlihat seperti pada Gambar 37.

Page 57: ABDUL AZIS S - Unhas

41 Dalam pengujian kalibrasi dinamis, pupuk yang keluar dari metering device harus bisa ditampung ketika transplanter dalam kondisi bergerak. Untuk memudahkan proses pengambilan sampel, maka pada bagian masing-masing pengeluaran metering device dipasang wadah plastik, seperti pada Gambar 38(a), yang akan menampung pupuk yang keluar tanpa harus dipegang. Setelah itu, masing-masing hopper diisi dengan pupuk NPK sebanyak 4 kg. Gambar 35 Prosedur kalibrasi dinamis metering device Gambar 36 Tiga titik gandeng transplanter

Page 58: ABDUL AZIS S - Unhas

42 Setelah semua tahap persiapan selesai, selanjutnya aplikasi Tera term dan program pengontrolan dijalankan pada kecepatan set-point 800 rpm (110 kg/ha) selama 20 detik, bersamaan dengan transplanter dijalankan. Setelah 20 detik, ketiga motor DC akan berhenti secara otomatis dan data kecepatan ketiga motor DC tersimpan sementara pada aplikasi Tera term. Selanjutnya data kecepatan diambil dan disimpan kedalam aplikasi Microsoft excel untuk selanjutnya diolah. Sedangkan pupuk yang tertampung pada wadah plastik (Gambar (38b)) diambil untuk selanjutnya ditimbang menggunakan timbangan digital. Kemudian dilakukan pengujian untuk kecepatan 1100, 1400, 1700 dan 2000 rpm (setara dengan 110, 148, 187, 22, dan 265 kg/ha) dengan tahapan yang sama dengan pengujian 800 rpm Pengujian Distribusi Pupuk Metode Step Response Pengujian distribusi pupuk dilakukan untuk melihat tingkat keseragaman dan pola sebaran pupuk yang keluar dari metering device. Selain itu, pengujian ini juga dapat memberikan gambaran tentang kontinyuitas hasil jatahan metering device. Prosedur pengujian seperti pada Gambar 39. Prosedur awal yang dilakukan adalah pemasangan saluran pupuk pada bagian pengeluaran metering device. Saluran ini berfungsi untuk mengarahkan pupuk hasil jatahan menuju ke lintasan yang telah disiapkan. Bahan saluran yang digunakan berupa selang fleksibel sepanjang 75 cm yang memudahkan proses pengarahan saluran. Posisi pemasangan dan bentuk saluran ditunjukkan pada Gambar 40. Sebuah kawat berdiameter 3 mm dipasang sepanjang sisi masing-masing saluran yang berfungsi untuk menopang saluran agar mudah dibentuk. Gambar 37 Posisi pemasangan wadah pupuk Gambar 38 Hasil penggandengan metering device transplanter

Page 59: ABDUL AZIS S - Unhas

43Langkah selanjutnya adalah memasang lintasan pupuk berupa talang air PVC berukuran panjang 4 m dan lebar 12 cm yang dipasang memanjang. Dengan kecepatan traktor 0.4 m/s dan waktu penjatahan 20 detik, maka diperlukan lintasan sepanjang 8 m. oleh karena itu, setiap lintasan menggunakan 2 buah talang ditambah 2 m sebagai awalan untuk mengantisipasi delay awal dari program. Posisi alat terhadap lintasan diperlihatkan pada Gambar 40. Ujung saluran atau selang sedapat mungkin berada pada sisi tengah talang sehingga diperoleh distribusi pupuk ke seluruh permukaan talang. Gambar 40 Lintasan dan posisi selang pengarah terhadap lintasan Gambar 39 Prosedur pengujian distribusi pupuk

Page 60: ABDUL AZIS S - Unhas

44 Tahapan selanjutnya adalah menjalankan aplikasi Tera term dan metering device pada set-point 800, 1100, 1400, 1700 dan 2000 rpm (setara dengan 110, 148, 187, 22, dan 265 kg/ha) dengan kecepatan maju transplanter 0.4 m/s selama 20 detik. Setalah itu dilakukan pengambilan sampel pupuk di sepanjang lintasan setiap 50 cm dengan menggunakan alat bantu mistar dan kuas (Gambar 41(a) dan 41(b)). Pupuk yang telah terkumpul kemudian dikumpulkan dalam sebuah wadah plastik berperekat untuk menghindari pengaruh lingkungan terhadap sampel sebelum penimbangan (Gambar 41(c)). Semua sampel yang diperoleh selanjutnya ditimbang dengan menggunakan timbangan digital. Pengujian Distribusi Pupuk Metode Stair Step Response Prosedur pengujian hampir sama dengan metode step response. Hanya saja pada pengujian distribusi pupuk dengan metode stair step response dilakukan dengan menjalankan metering device secara kontinyu dengan beberapa tingkatan kecepatan motor DC. Tahapan awal pengujian adalah menentukan panjang lintasan dan jumlah talang PVC yang dibutuhkan. Jika metering device dioperasikan selama 20 detik untuk masing-masing set-point, kecepatan maju alat 0.4 m/detik maka dibutuhkan lintasan sepanjang 40 meter. Jika pajang satu buah talang PVC 4 meter, maka dibutuhkan minimal 10 buah talang. Oleh karena itu, Gambar 42 Lintasan pengujian distribusi pupuk metode stair step response (a) (b) (c) Gambar 41 Proses pengambilan sampel pupuk

Page 61: ABDUL AZIS S - Unhas

45dalam pengujian ini digunakan 11 buah talang yang disambung membentuk lintasan seperti pada Gambar 42. Setelah lintasan selesai dibuat, langkah selanjutnya adalah memposisikan alat pada lintasan. Dalam pengujian ini, hanya dilakukan pada satu metering device karena keterbatasan lintasan. Posisi alat terhadap lintasan diatur seperti pada Gambar 43. Tahap selanjutnya adalah menjalankan aplikasi Tera term dan metering device dengan set-point kecepatan 800, 1100, 1400, dan 2000 rpm (setara dengan 110, 148, 187, 22, dan 265 kg/ha) secara kontinyu selama 20 detik untuk masing-masing kecepatan. Transplanter dijalankan dengan kecepatan maju 0.4 m/s. Setelah alat berhenti pada ujung lintasan, selanjutnya dilakukan penyimpanan data kecepatan motor DC dari Tera term. Selanjutnya dilakukan pengambilan sampul pupuk yang tersebar di sepanjang lintasan. Pengambilan sampel dilakukan pada tiga titik untuk masing-masing perlakuan kecepatan. Titik pengambilan sampel ditentukan pada awal perubahan kecepatan, tengah dan akhir. Penentuan titik awal pengambilan sampel dilakukan secara visual dan panjang lintasan. Secara visual didasarkan oleh perubahan jumlah pupuk yang tersebar dilintasan, dimana semakin tinggi kecepatan, maka semakin banyak pupuk yang terjatah. Dengan perlakuan waktu operasi metering device untuk masing-masing perlakuan kecepatan, maka panjang lintasan untuk masing-masing perlakuan adalah sekitar 8 meter. Prosedur pengambilan sampel seperti pada Gambar 41. Setelah dilakukan penentuan titik pengambilan sampel, kemudian sampel pupuk sepanjang 50 cm pada tiap titik dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam wadah plastik berperekat. Selanjutnya semua sampel yang terkumpul ditimbang dengan timbangan digital. Hasil Dan Pembahasan

Pengujian Kalibrasi Dinamis Metering Device Kalibrasi dinamis metering device dilakukan untuk mengetahui korelasi antara kecepatan motor DC dengan massa pupuk yang keluar dari metering device dan untuk mengetahui pangaruh pergerakan alat terhadap keluaran pupuk. Pengaruh pergerakan alat/transplanter dalam bentuk getaran yang bersumber dari getaran mesin dan getaran dari pergerakan roda saat melintas. Hasil kalibrasi dinamis ditunjukkan pada Gambar 44. Gambar 44(a), 44(b), dan 44(c) adalah berturut-turut hasil kalibrasi dinamis metering device I, II, dan III. Ketiga hasil Gambar 43 Penyetingan alat pada lintasan metode stair step response

Page 62: ABDUL AZIS S - Unhas

46 kalibrasi dinamis memperlihatkan bahwa kecepatan motor DC atau kecepatan putaran auger berkorelasi linier dengan massa atau dosis pupuk yang keluar dari metering device, dengan persamaan korelasi dan koefisien determinasi masing-masing y = 7.667x – 77.81 (R2 = 0.984) ; y = 7.674x - 37.19 (R2 = 0.984); dan y = y = 8.027x + 101.4 (R2 = 0.992). Ketiga hasil kalibrasi dinamis metering device memberikan hasil yang sangat baik dengan nilai koefisien determinasi yang tinggi. Hal ini juga menunjukkan kinerja ketiga metering device sangat baik dalam mengontrol jatahan pupuk. Ketiga persamaan korelasi juga dapat dijadikan acuan dalam menentukan dosis pemupukan dalam pengaplikasian pengontrolan di lahan. Pengujian Distribusi Pupuk Metode Step Response Pengujian distribusi pupuk dilakukan untuk melihat keseragaman jatahan (a) (b) (c) Gambar 45 Distribusi dan sebaran pupuk Gambar 44 Grafik hasil kalibrasi dinamis metering device

Page 63: ABDUL AZIS S - Unhas

47pupuk oleh metering device dan pola sebaran pupuk yang dihasilkan. Hasil pengujian juga dapat merepresentasikan kontinyuitas hasil penjatahan. Pola sebaran dan distribusi pupuk hasil penjatahan ditunjukkan oleh Gambar 45. Gambar 45(a) merupakan hasil penjatahan pada dosis rendah (110 kg/ha), Gambar 45(b) merupakan hasil penjatahan pada kecepatan sedang (187 kg/ha), dan Gambar 45(c) merupakan hasil penjatahan pada kecepatan tinggi (265g/s). Dari ketiga gambar memperlihatkan bahwa hasil penjatahan pupuk terdistribusi dan tersebar cukup merata di lintasan (talang PVC). Jumlah pupuk yang terjatah pada kecepatan tinggi terlihat lebih banyak daripada kecepatan sedang dan rendah. Hasil distribusi sebaran pupuk sepanjang lintasan ketiga metering device diperoleh dengan mengambil sampel pupuk pada lintasan (talang PVC) setiap 50 cm. Hasil distribusi sebaran pupuk diperlihatkan pada Gambar 46. Dari ketiga hasil pengujian memperlihatkan bahwa jatahan pupuk terdistribusi sepanjang lintasan untuk setiap perlakuan kecepatan (set-point). Dari ketiga gambar juga terlihat bahwa terdapat kotak kosong yang menunjukkan tidak ada pupuk yang terdistribusi pada kotak tersebut. Kotak kosong ini umumnya terjadi pada perlakuan kecepatan rendah hingga sedang. Hal ini terjadi karena pada kecepatan rendah, putaran auger lebih lambat menyebabkan jumlah pupuk yang dikeluarkan lebih sedikit, sehingga jangkauan sebaran pupuk ketika keluar dari ujung selang pengarah lebih pendek dibandingkan pada perlakuan kecepatan tinggi. Gambar 46(a) (metering device I) memperlihatkan bahwa distribusi jatahan pupuk pada perlakuan 110 kg/ha setara 2.1 g/m terendah sebesar 0.6 g/m lintasan yang terdapat pada ujung lintasan dan tertinggi sebesar 5.2 g/m lintasan dengan rata-rata 2.8 g/m. Pada perlakuan 148 kg/ha setara 3.2 g/m diperoleh distribusi jatahan 1.8 g/m, 5.4 g/m dengan rata-rata 4 g/m. Pada perlakuan 187 kg/ha setara dengan (a) (b) (c) Gambar 46 Peta distribusi pupuk jatahan metering device disepanjang lintasan

Page 64: ABDUL AZIS S - Unhas

48 3.9 g/m diperoleh jatahan terendah 2.6 g/m dan tertinggi, setara 8.6 g/m dengan rata-rata 4.8 g/m. Pada 226 kg/ha setara 4.8 g/m diperoleh jatahan terendah 3.2 g/m dan tertinggi 6.4 g/m dengan rata-rata jatahan 5.2 g/m. Pada 265 kg/ha setara 5.4 g/m, diperoleh jatahan terendah 3.4 g/m dan tertinggi sebesar 10 g/m dengan rata-rata jatahan 5.8 g/m. Peta distribusi jatahan pupuk metering device I memperlihatkan bahwa rata-rata distribusi jatahan semakin meningkat dengan peningkatan kecepatan motor DC. Gambar 46(b) (metering device II) memperlihatkan pola distribusi jatahan pupuk yang hampir sama dengan metering device I, demikian pula pada metering device III (Gambar 46(c)). Hasil distribusi jatahan metering device II pada perlakuan 110 kg/ha setara 3 g/m diperoleh jatahan terendah sebesar 2.2 g/m dan tertinggi 4.6 g/m dengan rata-rata jatahan 3.1 g/m. Pada perlakuan 148 kg/ha setara dengan 3.5 g/m diperoleh jatahan terendah 2.2 g/m dan terendah 6.2 g/m dengan rata-rata jatahan 4.8 g/m. Pada perlakuan 187 kg/ha setara dengan 4.6 g/m diperoleh jatahan terendah 2.8 g/m dan tertinggi 7.4 g/m dengan rata-rata jatahan 5.2 g/m. Pada perlakuan 226 kg/ha setara 5.8 g/m diperoleh jatahan terendah 4.2 g/m dan tertinggi 6.8 g/m dengan rata-rata jatahan 5.7 g/m. Pada perlakuan 265 kg/ha setara 6.6 g/m diperoleh jatahan terendah 2.6 g/m dan tertinggi 9.2 g/m dengan rata-rata jatahan 7.1 g/m. Hasil distribusi jatahan rata-rata metering device II juga mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan kecepatan motor DC dan distribusi jatahan metering device II lebih besar dibandingkan dengan metering device I. Gambar 46(c) menunjukkan distribusi jatahan metering device III. pada perlakuan dosis 110 kg/ha setara diperoleh jatahan terendah sebesar 2.71 g/m dan tertinggi 4.2 g/m dengan rata-rata jatahan 2.5 g/m. Pada dosis 148 kg/ha setara 4.06 g/m diperoleh jatahan terendah 3.2 g/m dan tertinggi 5.6 g/m dengan rata-rata jatahan 4.4 g/m. Pada perlakuan 187 kg/ha setara 4.8 g/m diperoleh jatahan terendah 4.2 g/m dan tertinggi 6.4 g/m dengan rata-rata jatahan 4.8 g/m. Pada perlakuan 226 kg/ha setara 6.33 g/m diperoleh jatahan terendah 4.4 g/m dan tertinggi 7.8 g/m dengan rata-rata jatahan 6.3 g/m. Pada perlakuan 250 kg/ha setara 7.38 g/m diperoleh jatahan terendah 4.4 g/m dan tertinggi 10.2 g/m dengan rata-rata jatahan 7.3 g/m. Hasil pengujian distribusi jatahan pupuk dari ketiga metering device dengan metode step response menunjukkan bahwa ketiganya mampu mendistribusikan pupuk dengan baik dan merata ke lintasan tanpa ada bagian lintasan yang kosong. Hasil jatahan pupuk tertinggi diperoleh dari metering device Tabel 4 Perhitungan error distribusi pupuk ketiga metering device Metering device I Metering device II Metering device III setpoint (g/m) Aktual error setpoint (g/m) Aktual error setpoint (g/m) Aktual error 2.97 2.44 14% 2.97 3.13 -5% 2.71 2.55 7% 3.46 3.50 10% 3.46 4.77 -27% 4.06 4.44 -9% 4.58 4.55 15% 4.58 5.01 -9% 4.80 4.77 1% 5.79 5.11 6% 5.79 5.68 2% 6.33 6.25 1% 6.62 5.63 5% 6.62 6.80 -3% 7.38 7.18 3%

Page 65: ABDUL AZIS S - Unhas

49III sebesar 7.3 g/m dan terendah diperoleh dari metering device I sebesar 0.6 g/m. Tabel 4 menunjukkan hasil perhitungan error atau kesalahan distribusi penjatahaan pupuk ketiga metering device. Metering device I menghasilkan kesalahan distribusi jatahan sebesar 5% - 15%. Kesalahan terendah terjadi pada perlakuan set-point 6.62 g/m dan tertinggi pada perlakuan set-point 4.58 g/m. kesalahan distribusi penjatahan metering device II berkisar antara 3% - 27%. Angka negatif menunjukkan distribusi jatahan kurang dari yang diinginkan. Sedangkan kesalahan distribusi jatahan metering device III berkisar antara 1% - 9%. Distribusi Pupuk Metode Stair Step Response Hasil pengujian distribusi penjatahan pupuk dari metering device dengan metode stair step response ditunjukkan pada Gambar 47. Gambar tersebut menunjukkan distribusi dan pola sebaran pupuk pada masing-masing peralihan perubahan perlakukuan dosis, yaitu 110 kg/ha ke 148 kg/ha (Gambar 47(a), 148 ke 187 kg/ha (Gambar 47(b)), 187 ke 226 kg/ha(Gambar 47(c)), dan 226 ke 265 kg/ha (Gambar 47(d)). Dari gambar terlihat bahwa distribusi dan sebaran pupuk pada lintasan cukup baik dan terjadi kenaikan jumlah pupuk seiring dengan peningkatan kecepatan motor DC. Hasil pengukuran massa pupuk pada masing-masing perlakuan kecepatan motor DC ditunjukkan oleh Tabel 5. Hasil pengujian memperlihatkan bahwa pada perlakuan dosis 109 kg/ha sampai 226 kg/ha, massa pupuk pada peralihan perubahan kecepatan (titik awal) cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan titik tengah dan akhir pengambilan sampel, dimana massa pupuk per meter pada set-point 109, 148, 187, dan 226 kg/ha masing-masing sebesar 4, 5, 6.6, dan 8.4 g/m. Hal ini disebabkan pada titik peralihan kecepatan dari rendah ketinggi terjadi overshoot yang lebih tinggi menyebabkan kecepatan motor menjadi lebih cepat. Namun hal ini tidak terjadi pada peralihan 226 kg/ha ke 265 kg/ha yaitu sebesar 8.2 g/m. Massa pupuk tertinggi terjadi pada titik tengah pengambilan sampel. (a) (b) (c) (d) Gambar 47 Distribusi dan sebaran jatahan pupuk metode stair step response

Page 66: ABDUL AZIS S - Unhas

50 Tabel 5 juga menunjukkan bahwa rata-rata massa pupuk dari ketiga titik pengambilan sampel mengalami kenaikan seiring dengan peningkatan kecepatan motor DC. Pada perlakuan dosis 109, 148, 187, 226, dan 265 kg/ha diperoleh rata-rata massa pupuk masing-masing sebesar 3.5, 4.9, 6.2, 7.8, dan 8.5. Jika rata-rata massa dari masing-masing perlakuan kecepatan diproyeksikan pada grafik, maka diperoleh sebuah korelasi linier antara massa pupuk dengan kecepatan motor DC (Gambar 46) dengan persamaan korelasi y = 0.004x + 0.124 dengan koefisien determinasi R2 = 0.987. Hasil pengujian distribusi penjatahan pupuk dengan metode stair step respon memperlihatkan distribusi dan sebaran pupuk ke lintasan cukup seragam dan peningkatan kecepatan motor DC mampu meningkatkan massa pupuk yang terjatah ke lintasan secara signifikan. Simpulan Hasil pengujian dinamis metering device telah dilakukan dengan baik. Pengujian kalibrasi diperoleh korelasi linier antara kecepatan motor DC dengan massa pupuk yang keluar dari metering device dengan persamaan korelasi dan koefisien determinasi masing-masing ketiga metering device masing y = 7.667x – 77.81 (R2 = 0.984) ; y = 7.674x - 37.19 (R2 = 0.984); dan y = y = 8.027x + 101.4 (R2 = 0.992). Hasil pengujian distribusi jatahan pupuk diperoleh distribusi dan pola sebaran pupuk ke lintasan cukup merata. Demikian pula peningkatan kecepatan motor DC berkorelasi dengan jumlah pupuk yang dijatah ke lintasan. Tabel 5 Hasil pengujian distribusi jatahan pupuk metering device metode stair step response Perlakuan set-point (kg/ha) Titik awal (g/m) Titik tengah (g/m) Titik akhir (g/m) Rata-rata (g/m) 109 4 3.2 3.2 3.5 148 5 4.8 4.8 4.9 187 6.6 6 6 6.2 226 8.4 7.4 7.6 7.8 265 8.2 9 8.2 8.5 Gambar 48 Hasil analisis hubungan massa pupuk dengan kecepatan motor DC

Page 67: ABDUL AZIS S - Unhas

515 PENGUJIAN METERING DEVICE DENGAN

INTEGRASI RTK DGPS

Pendahuluan Aplikasi pemupukan tepat lokasi pada sistem pertanian presisi melibatkan penggunaan teknologi global potitioning system (GPS) yang akan memandu penjatahan pupuk pada lokasi yang tepat sesuai peta kebutuhan hara tanah dan tanaman. Teknologi GPS akan memberikan input titik koordinat posisi aplikator ketika melakukan aplikasi pemupukan. Akurasi GPS dalam menentukan posisi dipengaruhi oleh cuaca dan aktivitas penerima. Akurasi GPS biasa yang bekerja pada aktivitas dinamis akan menurun dibandingkan jika dioperasikan pada aktivitas statis. Untuk meningkatkan akurasi penentuan lokasi, maka digunakan metode Real Time Kinematic (RTK) dimana pada metode tersebut dua receiver GPS melakukan tracking pada satelit yang sama sehingga akurasi pengukuran dapat meningkat hingga 2-5 cm. Selain itu, dikenal juga metode penentuan Real Time Differensial GPS yang menggunakan receiver base dengan posisi statis dan dapat memberi koreksi jarak pada rover melalui format Radio Technical Commission for Maritime Service (RTCM) sehingga posisi rover dilapangan dapat menjadi lebih akurat (Gunawan et al. 2014). Menurut Radite et al. (2012) penggunaan RTK DGPS akan menghasilkan data NMEA dalam koordinat bujur dan lintang dengan format data dd.mmmmm serta data ketinggian dalam satuan meter. Data geodetik kemudian ditransformasi ke sistem koordinat ECEF ((Earth Centered Earth Fixed) yang memiliki sistem koordinat Cartesian tiga dimensi, dimana titik koordinat (0, 0, 0) merupakan pusat massa bumi. Transformasi data ECEF menjadi koordinat lokal ENU (Easting, Northing and Up) diilustrasikan seperti pada Gambar 49. Jika dua titik di lapangan cukup dekat (biasanya dalam perubahan 1 menit dalam posisi latitude dan longitude), maka proyeksi data posisi geodetic ECEF menjadi data ENU dapat disederhanakan menggunakan persamaan: x −xN =KP(Lon − LonN) (23) y −yN =KT(Lat − LatN) (24) Gambar 49 proyeksi data ECEF menjadi data ENU

Page 68: ABDUL AZIS S - Unhas

52 Kx = a cos (lat)K1- e2sin2(lat) (25) Ky= a(1-e2)�1-e2sin2(lat)�1.5 (26) � = G1 −X�Y� (27) Dimana, x – x0 = perpindahan dalam arah timur-barat (m) y – y0 = perpindahan dalam arah utara selatan (m) x0 = posisi referensi x y0 = posisi referensi y Lon0 = posisi referensi longitude Lat0 = posisi referensi latitude Lat = titik Latitude dan longitude Sistem navigasi merupakan hal yang sangat diperlukan dalam aplikasi variable rate fertilizer applicator, terutama untuk mendapatkan aplikasi pemupukan yang tepat lokasi. Menurut Gunawan (2014), sistem navigasi berfungsi untuk melihat dan menentukan posisi aktual mesin di lahan dengan akurasi yang tinggi. Penggunaan RTK-DGPS sebagai basis sistem navigasi dilatarbelakangi oleh kebutuhan akurasi yang tinggi dalam menentukan posisi geografis mesin. RTK-DGPS yang digunakan dibuat oleh Hemisphere dengan merk dagang “S3 Outback”. Akurasi maksimum yang dapat diperoleh oleh alat ini adalah 1.7 cm dan tidak terganggu akibat perpindahan mesin. Sistem navigasi RTK-DGPS “S3 Outback” terdiri dari empat komponen utama, yaitu: GPS antenna, console unit, radio receiver, dan base station seperti pada Gambar 50. Komponen-komponen yang diperlihatkan diatas memiliki fungsi yang berbedabeda untuk menunjang akurasi penentuan lokasi. GPS antenna berfungsi Gambar 50 Komponen-komponen RTK-DGPS (Gunawan 2014)

Page 69: ABDUL AZIS S - Unhas

53menangkap sinyal GPS yang dipancarkan oleh satelit-satelit GPS dari orbit bumi. Jumlah satelit yang dapat diakses bergantung pada lokasi dan kondisi cuaca serta perawanan disekitar lokasi. Sementara itu base station memiliki fungsi yang sama sebagai penerima sinyal GPS dan mentransmisikan lokasi base station melalui gelombang radio menuju radio receiver pada rover. Kondisi base station senantiasa statis dan tidak berpindah tempat seperti rover, oleh karena itu posisi base station dijadikan acuan kedua oleh rover untuk menghasilkan posisi yang lebih akurat. Lokasi base station yang dikirimkan melalui gelombang radio diterima oleh radio receiver dan diteruskan menuju console unit. Console unit berfungsi sebagai pengolah data sinyal GPS yang diterima GPS antenna pada rover serta membandingkan sinyal lokasi base station yang diterima oleh radio receiver. Metode perbandingan data (differentiation) dari GPS antenna dan base station membuat sistem ini disebut DGPS (Differential Global Positioning System), sedangkan kemampuan sistem ini untuk senantiasa memberikan data yang akurat secara real time dengan kondisi rover bergerak menjadikannya RTK-DGPS (Real Time Kinematic Differential Global Positioning System) (Gunawan 2014). Peta pemupukan dibuat menggunakan dosis yang disarankan oleh kartu BWD sesuai warna daun yang diamati. Variasi warna daun padi menghasilkan variasi dosis yang dibutuhkan oleh tanaman padi dengan lokasi yang spesifik. Penetapan lokasi dan dosis tersebut menghasilkan peta dosis pupuk yang harus diaplikasikan di lahan. Data dosis pupuk yang dikeluarkan oleh penjatah pupuk diperoleh dari konversi data putaran penjatah pupuk menggunakan persamaan 28. Ni = (10× W×DS×v×(1-s)-aibi (28) Dimana, Ni = kecepatan rotor penjatah pupuk ke-i (rps) W = lebar kerja (m) Ds = dosis pemupukan (kg/ha) v = kecepatan maju alat (m/s) s = perkiraan slip (%) ai dan bi = konstanta kalibrasi penjatah pupuk ke-i Bahan dan Metode

Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain 3 unit prototype variable rate fertilizer applicator, sistem kontrol berbasis STM32F4, laptop, timbangan digital, 1 unit mesin transplanter, RTK-DGPS Outback® S3 GPS Guidance and Mapping System, dan meteran. Bahan yang digunakan pupuk NPK phoska 15: 15: 15. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian yang dilakukan mencakup beberapa tahapan, yaitu pengujian koneksi GPS dengan mikrokontroler, kalibrasi pembacaan posisi RTK-DGPS dan pengujian VRFA dengan RTK_DGPS. Pengujian koneksi RTK_DGPS dengan mikrokontroler dilakukan untuk mengetahui kemampuan mikrokontroler

Page 70: ABDUL AZIS S - Unhas

54 dalam menerima data GPS sehingga bisa menjadi dasar untuk tahap selanjutnya. Pengujian ini dilakukan dengan menghubungkan perangkat console GPS dengan mikrokontroler melalui jalur serial RS-232 GPS ke jalur USART2 pada mikrokontroler. Kemudian dilakukan pengaturan nilai baud rate GPS pada 9600 dan GGA rate pada 1 Hz sehingga sesuai dengan pengaturan baud rate mikrokontroler yang digunakan. Hasil pengujian berupa data NMEA akan diterima mikrokontroler kemuadia ditampilkan pada software Tera term melalui jalur komunikasi USART1. Agar data yang diperoleh dapat di tampilkan pada perangkat tera term, maka terlebih dahulu dilakukan pengaturan nilai baud rate tera term pada nilai 9600. Setelah pengujian koneksi GPS dengan mikrokontroler berhasil dilakukan, kemudian tahap selanjutnya adalah kalibrasi RTK-DGPS. Pengujian ini bertujuan untuk menguji kesesuaian pembacaan posisi lintang dan bujur dari data NMEA RTK-DGPS dengan posisi hasil program token data GPS, menguji kehandalan mikrokontroler dalam menangani data double precision. Selain itu, pengujian ini juga dapat memperlihatkan hasil konversi koordinat lintang dan bujur menjadi koordinat Cartesiant (x,y). Prosedur pengujian diawali dengan membuat blok pengujian seperti pada Gambar 51 dengan ukuran 3 m x 3 m untuk setiap blok pengujian, sehingga diperoleh 3 blok pengujian. Kemudian perangkat antena GPS, GPS console dan radio receiver dipasang seperti pada Gambar 52. GPS console akan terkoneksi perangkat antena GPS, radio receiver dan unit pengontrol. Sistem Gambar 51 Blok pengujian kalibrasi pembacaan RTK-DGPS Gambar 52 Posisi pemasangan perangkat RTK-DGPS

Page 71: ABDUL AZIS S - Unhas

55koneksi/pengkabelan GPS console seperti pada Gambar 53. Koneksi (A) merupakan jalur komunikasi antara GPS dengan unit pengontrol melalui jalur serial to RS232. Koneksi (C) merupakan jalur komunikasi ke base station melalui perantara peratangkat radio receiver. Koneksi (D) merupakan jalur power yang terhubung ke sumber tegangan, sedangkan koneksi (E) merupakan jalur komunikasi ke antena GPS. Hal yang perlu diperhatikan adalah pada pemasangan radio receiver dan antena GPS pada kendaraan dimana berdasarkan manual book, jarak antara keduanya hendaknya sekitar 1 m. Kemudian perangkat base station dipasang pada lahan seperti pada Gambar 54. Hal yang perlu diperhatikan dalam pemasangan base station adalah kondisi lahan yang mencakup keberadaan pohon atau bangunan, karena hal ini dapat mempengaruhi penerimaan data dari satelit. Jika terdapat pohon atau bangunan disekitar lahan, maka penempatan base station hendaknya berjarak minimal 50 m dari pohon atau bangunan tersebut. Setelah semua komponen terpasang, kemudian dilanjutkan dengan pengambilan data. Prosedur pengambilan data dilakukan dengan memposisikan kendaraan/alat pada blok pengujian yang telah dibuat. Posisi antena GPS harus berada di atas titik pertemuan masing-masing blok pengujian. Kemudian program dijalankan sehingga diperoleh data NMEA GPS titik koordinat masing-masing blok pengujian. Tahap selanjutnya adalah pengujian Variable rate fertilizer applicator yang terkoneksi RTK-DGPS. Tahapan pengujian diawali dengan pembuatan peta kebutuhan dosis pemupukan seperti pada Gambar 56. Pengujian dilakukan pada lahan percobaan Laboratorium Siswadi Soepardjo.Penentuan kebutuhan dosis pemupukan umumnya dilakukan melalui analisis kandungan hara tanah dan Gambar 53 Sistem koneksi console GPS Gambar 54 Posisi pemasangan base station

Page 72: ABDUL AZIS S - Unhas

56 tanaman. Namun dalam pengujian ini, dosis pemupukan ditentukan secara acak dengan berbagai variasi dosis. Berdasarkan Gambar 55, terdapat 66 blok pengujian dengan variasi dosis berkisar antara 150 kg/ha sampai 250 kg/ha. Pada kedua ujung lahan pengujian ditambahkan blok tambahan dengan dosis 0 sebagai blok tempat alat berbelok. Tujuan dari pemberian dosis 0 pada kedua ujung agar saat alat berbelok, maka unit pemupukan tidak mengeluarkan pupuk. Garis putus-putus merupakan ilustrasi arah lintasan alat. Blok (0,0) merupakan titik awal pergerakan alat dan sekaligus menjadi koordinat referensi. Bagan alir program pengujian VRFA ditunjukkan pada Gambar 57. Diawali pendeklarasian parameter-parameter dosis dan kontrol, kemudian proses penerimaan data GPS. Proses penerimaan data GPS oleh unit pengontrol menggunakan jalur USART1. Agar jalur USART1 dapat menerima data, maka jalur ini perlu diset atau diaktifkan. Setelah USART1 menerima data dari GPS, maka diperlukan waktu tunggu 200 ms sebelum proses pembacaan data GPS. Pembacaan data GPS diawali ketika header “$” atau “G” terdeteksi oleh perintah getchar dan diakhiri ketika terdeteksi header “*” atau “\r” yang merupakan akhir dari satu data NMEA GPS. Selanjutnya dilakukan token data NMEA dengan perintah “strtok” untuk mensortir data dengan pembatas koma (“,”).Proses ini bertujuan untuk mendapatkan data latitude dan longitude. Setelah koordinat latitude dan longitude diperoleh, kemudian kedua data tersebut dijadikan titik Gambar 55 Peta kebutuhan dosis pemupukan

Page 73: ABDUL AZIS S - Unhas

57 Mulaia = 6.378.137e2 = 0.006739497Parameter dosisBaca data GPSUSART/getchar()USART1_GetFlagStatusTc > 200 msToken NMEA data GPSHitung nilai setpoint kecepatan motorMotor DC dijalankanSelesaiYesYes YesNoNo NoLatitudeLongitudeGPIOC8 = 0 Titik referensi:- Latitude0- Longitude0- Kx dan KyHitung nilai:- dx, dy, x, dan y- trigger dan trigger2Trigger < blokNoNo YesCetak data:Latutude, longitude, x, y, trigger, trigger2, setpoint dan kecepatan motorJejer = 5 dan blok = 11Yes No Gambar 56 Bagan alir program pengujian VRFA

Page 74: ABDUL AZIS S - Unhas

58 koordinat referensi dalam menghitung nilai Kx dan Ky menggunakan Persamaan 25 dan 26. Perhitungan nilai Kx dan Ky hanya dilakukan sekali selama pengujian sehingga diperlukan suatu trigger/pemicu untuk masuk keproses tersebut. Dalam hal ini digunakan sebuah tombol yang terhubung dengan pin C8, dimana ketika tombol ditekan maka proses perhitungan Kx dan Ky dilakukan. Tapi jika tidak ditekan maka proses ini dilewatkan. Kemudian dilakukan proses perhitungan nilaia dx, dy, x, dan y. menggunakan Persamaan 23 dan 24 serta trigger untuk menentukan jarak pergerakan alat disetiap perubahan dosis. Kemudian dilakukan perhitungan nilai setpoint kecepatan untuk masing-masing motor DC menggunakan persamaan regresi hasil kalibrasi dinamis. Nilai setpoint kecepatan mengacu pada peta dosis yang telah dibuat sebelumnya. Kemudian dilakukan pengontrolan kecepatan motor mengikuti perubahan posisi alat dilapangan, sehingga pupuk yang dijatahkan mengikuti pola peta kebutuhan pemupukan. Dalam pengujian ini, diperoleh data titik koordinat (latitude dan longitude), koordinat Cartesian (x,y), setpoint kecepatan masing-masing motor DC dan kecepatan aktual masing-masing motor DC. Hasil dan Pembahasan

Pengujian Koneksi Unit Pengontrol dengan GPS Sebelum dilakukan pengujian VRFA terintegrasi RTK-DGPS, terlebih dahulu dilakukan pengujian koneksi antara mikrokontroler dengan GPS. Hal ini perlu dilakukan untuk memastikan bahwa mikrokontroler STM32F4 yang digunakan mampu menerima data GPS dan memastikan jalur komunikasi serial sudah benar. Data GPS diterima oleh mikrokontroler menggunakan jalur serial USART1 yang kemudian ditampilkan melalui perangkat lunak Tera term. Data hasil pengujian koneksi diperoleh sebagai berikut: $GPGGA,035742.00,0633.81315,S,10643.68215,E,2,08,1.0,203.177,M,1.034,M,1.0,0444*61 $GPGGA,040142.00,0633.81121,S,10643.68229,E,4,08,1.0,202.660,M,1.034,M,1.0,0444*69 $GPGGA,040611.00,0633.81115,S,10643.68063,E,4,07,1.2,202.670,M,1.034,M,2.0,0444*6C $GPGGA,040923.00,0633.81280,S,10643.68063,E,4,07,1.2,202.622,M,1.034,M,1.0,0444*69 $GPGGA,041042.00,0633.81271,S,10643.67902,E,4,08,1.1,202.625,M,1.034,M,1.0,0444*62 Dari semua data GPS yang diterima, hanya data lintang dan bujur yang akan digunakan dalam aplikasi VRFA. Berdasarkan data yang diterima, data dengan karakter “S” dan “E” menunjukkan data lintang dan bujur dengan format data ddmm.mmmm. Hasil pengujian yang diperoleh menunjukkan bahwa unit pengontrol mampu berkomunikasi dengan GPS dan jalur komunikasi USART1 yang digunakan sudah tepat. Kalibrasi Pembacaan Posisi RTK DGPS Kalibrasi pembacaan posisi RTK DGPS dilakukan dua kali yaitu kalibrasi dengan pembacaan single precision dan double precision. Hasil pengujian kalibrasi dengan singe precision ditunjukkan pada Tabel 6. Kalibrasi dengan single precision menyebabkan terjadinya perbedaan antara koordinat latitude dan longitude data NMEA dengan data posisi yang dapat diterima unit pengontrol. Hal ini disebabkan oleh penerimaan data dengan single precision hanya memungkinkan ketelitian hingga delapan digit pertama sedangkan digit berikutnya hanya bilangan acak.

Page 75: ABDUL AZIS S - Unhas

59Tabel 7 Hasil Kalibrasi Pembacaan RTK DGPS Double Precision Posisi Data NMEA GPS Double Precision dx dy x y Latitude Longitude Latitude Longitude (0,0) 633.81385 10643.68743 633.81385 10643.68743 0 0 0 0 (1,0) 633.814100 10643.68581 633.814100 10643.68581 2.99 0.46 3 0 (2,0) 633.81405 10643.68427 633.81405 10643.68427 5.82 0.37 6 0 (3,0) 633.81399 10643.68261 633.81399 10643.68261 8.88 0.26 9 0 (0,1) 633.81239 10643.68751 633.81239 10643.68751 0.15 2.71 0 3 (1,1) 633.81243 10643.68593 633.81243 10643.68593 2.76 2.63 3 3 (2,1) 633.8124 10643.6843 633.8124 10643.6843 5.77 2.69 6 3 (3,1) 633.81238 10643.6827 633.81238 10643.6827 8.72 2.73 9 3 Hasil kalibrasi dengan single precision ditunjukkan pada Tabel 6, dimana terjadi perbedaan data NMEA GPS dengan data setelah dilakukan token. Perbedaan angka mulai terjadi pada digit ke-8, baik pada data latitude maupun longitude. Perbedaan penerimaan data ini akan mempengaruhi ketelitian data posisi yang diperoleh. Hal ini dapat dibuktikan pada nilai dx pada posisi (1,0) dan (2,0) yang seharusnya 3 m dan 6 m menjadi 1.8 m dan 5,4 m sehingga terjadi error masing-masing sebesar 40% dan 10%. Untuk meminimalisir kesalahan posisi, maka diperlukan sistem penerimaan data double precision. Penggunaan mikrokontroler 32-bit memungkinkan untuk hal tersebut. Hasil kalibrasi pembacaan RTK DGPS dengan double precision ditunjukkan pada Tabel 7. Dari tabel 7 terlihat bahwa data koordinat latitude dan longitude dari format NMEA sama dengan data yang diterima unit pengontrol setelah ditoken. Hal ini disebabkan penggunaan double precision dalam penerimaan data GPS memungkinkan ketelitian penerimaan data hingga 16 digit. Sehingga dengan data GPS yang hanya 11 digit, maka penerimaan data GPS oleh unit pengontrol tidak akan bermsalah. Penggunaan double precision menyebabkan error penerimaan data GPS menjadi lebih kecil dibandingkan single precision. Error yang dihasilkan dari pengujian (Tabel 7) berkisar antara 1% - 8%, artinya terjadi penurunan error yang cukup signifikan dari penggunaan single precision.. Tabel 6 Hasil Kalibrasi Pembacaan RTK DGPS single precision Posisi Data NMEA GPS Data Single Precision dx dy x y Latitude Longitude Latitude longitude (0,0) 633.81384 10643.68105 633.813782 10643.68066 0.00 0.00 0 0 (1,0) 633.81228 10643.68075 633.813599 10643.67969 1.80 0.34 2 0 (2,0) 633.81358 10643.67939 633.81366 10643.67773 5.40 0.23 5 0 (0,1) 633.81197 10643.67939 633.812073 10643.68066 0.00 3.17 0 3 (1,1) 633.81365 10643.67776 633.811951 10643.67969 1.80 3.40 2 3 (2,1) 633.81198 10643.6778 633.812012 10643.67773 5.40 3.28 5 3

Page 76: ABDUL AZIS S - Unhas

60 Pengujian Variable Rate Fertilizer Applicator Terintegrasi RTK DGPS Pengujian VRFA terintegrasi RTK DGPS dilakukan pada lahan percobaan Siswadhi Soepardjo dengan jumlah blok pengujian sebanyak 66 blok dan lintasan pergerakan alat seperti pada Gambar 55. Kondisi cuaca pada saat pengujian sangat cerah sehingga RTK DGPS yang digunakan dapat bekerja secara maksimal yang ditandai oleh satandar deviasi pembacaan koordinat mencapai 0.02 m (2 cm). kecepatan maju alat pada saat pengujian 0.4 m/s. Dengan kecepatan maju 0.4 m/s, periode sampling sebesar 200 ms dan panjang blok 3 m, maka diperoleh data untuk setiap blok pengujian sebanyak 36 data. Hasil pengujian VRFA dalam menjatah pupuk pada setiap blok pengujian ditunjukkan pada Gambar 58. Hasil yang ditampilkan pada Gambar 58 merupakan rata-rata massa pupuk dari ketiga unit penjatah yang telah dikonversi dari kecepatan motor DC menjadi dosis pemupukan menggunakan persamaan kalibrasi dinamis yang telah dilakukan sebelumnya. Dari gambar terlihat bahwa massa pupuk yang dikeluarkan tidak 100% sama dengan yang diinginkan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 59, dimana error terendah yang dapat dicapai antara dosis target dengan dosis aktual dari unit penjatah sebesar -0.02% pada blok (7,5) dan tertinggi sebesar -6.12% pada blok (1,5). Tanda minus menunjukkan bahwa (10,5) 0 (10,4) 0 (10,3) 0 (10,2) 0 (10,1) 0 (10,0) 0 (9,5) 216 kg/ha (9,4) 150 kg/ha (9,3) 167 kg/ha (9,2) 222 kg/ha (9,1) 214 kg/ha (9,0) 223 kg/ha (8,5) 177 kg/ha (8,4) 153 kg/ha (8,3) 152 kg/ha (8,2) 199 kg/ha (8,1) 155 kg/ha (8,0) 205 kg/ha (7,5) 175 kg/ha (7,4) 201 kg/ha (7,3) 173 kg/ha (7,2) 156 kg/ha (7,1) 174 kg/ha (7,0) 250 kg/ha (6,5) 198 kg/ha (6,4) 228 kg/ha (6,3) 222 kg/ha (6,2) 227 kg/ha (6,1) 198 kg/ha (6,0) 235 kg/ha (5,1) 244 kg/ha (5,4) 247 kg/ha (5,3) 247 kg/ha (5,2) 244 kg/ha (5,1) 199 kg/ha (5,0) 199 kg/ha (4,1) 230 kg/ha (4,4) 221 kg/ha (4,3) 203 kg/ha (4,2) 199 kg/ha (4,1) 245 kg/ha (4,0) 179 kg/ha (3,5) 202 kg/ha (3,4) 149 kg/ha (3,3) 228 kg/ha (3,2) 174 kg/ha (3,1) 251 kg/ha (3,0) 181 kg/ha (2,5) 178 kg/ha (2,4) 158 kg/ha (2,3) 247 kg/ha (2,2) 175 kg/ha (2,1) 203 kg/ha (2,0) 173 kg/ha (1,5) 152 kg/ha (1,4) 235 kg/ha (1,3) 182 kg/ha (1,2) 191 kg/ha (1,1) 177 kg/ha (1,0) 142 kg/ha (0,5) 0 (0,4) 0 (0,3) 0 (0,2) 0 (0,1) 0 (0,0) 0 Gambar 57 Peta Sebaran Dosis Penjatahan Pupuk VRFA

Page 77: ABDUL AZIS S - Unhas

61jumlah pupuk yang dijatahkan lebih kecil dari jumlah yang ditargetkan. Error yang besar umumnya terjadi pada masing-masing ujung blok pengujian, terutama pada blok awal dan blok setelah alat berbelok. Hal ini disebabkan oleh posisi motor DC pada titik awal dan saat berbelok adalah diam, sehingga terjadi keterlambatan respon motor sekitar 0.2 detik dari posisi diam hingga motor berputar. Hal ini dapat dilihat pada data hasil pengujian Lampiran 2. Simpulan Berdasarkan hasil pengujian variable rate fertilizer applicator terintegrasi RTK DGPS, maka dapat disimpulkan bahwa pengujian variable rate fertilizer applicator terintegrasi RTK DGPS telah berhasil dilakukan dengan baik, dosis penjatahan pupuk dari tiga unit penjatah dapat mendekati dosis target yang ditentukan dengan kisaran error -0.02% sampai -6.12% dengan rata-rata error sebesar 1.76% (10,5) 0 (10,4) 0 (10,3) 0 (10,2) 0 (10,1) 0 (10,0) 0 (9,5) -4.02% (9,4) -0.10% (9,3) -4.56% (9,2) -1.17% (9,1) -5.07% (9,0) -0.97% (8,5) 1.23% (8,4) 2.28% (8,3) 1.63% (8,2) -0.64% (8,1) 3.32% (8,0) 2.31% (7,5) -0.02% (7,4) 0.52% (7,3) -0.99% (7,2) 3.66% (7,1) -0.61% (7,0) 0.04% (6,5) -1.24% (6,4) 1.22% (6,3) -1.55% (6,2) 0.66% (6,1) -1.12% (6,0) -1.91% (5,5) -2.49% (5,4) -1.23% (5,3) -1.16% (5,2) -2.26% (5,1) -0.29% (5,0) -0.49% (4,5) 2.20% (4,4) -1.84% (4,3) 1.65% (4,2) -0.39% (4,1) -2.09% (4,0) -0.39% (3,5) 0.87% (3,4) -0.79% (3,3) 1.40% (3,2) -0.58% (3,1) 0.20% (3,0) 0.31% (2,5) 1.44% (2,4) 5.29% (2,3) -1.37% (2,2) 0.12% (2,1) 1.69% (2,0) -1.31% (1,5) 1.18% (1,5) -6.12% (1,3) 4.19% (1,2) -4.32% (1,1) 1.14% (1,0) -5.19% (0,5) 0 (0,4) 0 (0,3) 0 (0,2) 0 (0,1) 0 (0,0) 0 Gambar 58 Peta Ketelitian Penjatahan Pupuk VRFA

Page 78: ABDUL AZIS S - Unhas

62 6 PEMBAHASAN UMUM Pemupukan merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan atau meningkatkan ketersediaan unsur hara dalam tanah yang mengalami pengurangan akibat kegiatan budidaya tanaman yang terus menerus. Pemupukan menjadi salah satu kunci keberhasilan dan kesuksesan bagi petani dalam setiap kegiatan budidaya yang dilakukan. Sebab kesalahan dalam pemupukan, baik dalam pemilihan jenis pupuk, maupun cara pemberiannya menyebabkan berkurangnya hasil panen yang diperoleh atau bahkan tidak jarang menyebabkan kegagalan panen. Oleh karena itu, pemupukan bisa diibaratkan seperti pisau bermata dua yang dapat bermanfaat jika digunakan secara benar dan tepat namun juga dapat merugikan jika salah dalam penggunaan. Kesalahan-kesalahan yang sering terjadi dalam kegiatan pemupukan khususnya dalam budidaya tanaman padi sawah diantaranya kesalahan dalam pemilihan jenis pupuk yang akan digunakan tanpa mempertimbangkan kondisi tanaman, kesalahan dalam cara pemberian pupuk yang mencakup kesalahan pemberian dosis dan penentuan waktu pemupukan. Selain akan berdampak pada tanaman, kesalahan dalam pemberian dosis dan penentuan waktu pemupukan juga akan berdampak buruk bagi tanah dan lingkungan serta tidak efisien. Oleh karena itu, salah satu solusi yang ditawarkan adalah penerapan tekologi pemupukan tidak seragam atau varible rate fertilizer applicator (VRFA) yang dapat memberikan aplikasi pemupukan yang tepat dosis, waktu dan lokasi. Teknologi metering device tipe auger yang dilengkapi sistem pengontrolan merupakan solusi tepat untuk mencapai aplikasi pemupukan tepat dosis. Teknologi ini dapat menjatah pupuk sesuai kebutuhan melalui pengontrolan kecepatan putar motor DC yang terhubung dengan poros auger. Untuk mengontrol putaran motor DC digunakan kontrol proportional integral derivative (PID). Kontrol PID sangat cocok digunakan untuk sistem pengontrolan yang memerlukan respon cepat. Agar kontrol PID dapat digunakan, maka dilakukan penentuan konstanta-konstanta PID melalui proses penalaan (tuning) menggunakan metode internal model control (IMC) melalui pendekatan model Tustin. Hasil penalaan step response dengan PWM 100 dan 400 serta simulasi model diperoleh dua pasang konstanta proportional (KP), integral (KI), dan derivative (KD) masing-masing sebesar 0.4013; 0.0988 dan 0.0176 untuk perlakuan PWM 100 dan 0.2314; 0.0531 dan 0.044 untuk perlakuan PWM 400. Hasil pengujian kedua pasangan konstanta PID dalam mengontrol kecepatan motor DC memberikan hasil yang baik dengan respon cepat dan tidak terjadi steady state error. Namun tejadi overshoot yang cukup tinggi terutama pada kecepatan rendah dan terjadi osilasi pada semua hasil pengujian yang kemungkinan disebabkan oleh kombinasi nilai konstanta PID yang diperoleh dari hasil penalaan masih kurang tepat sehingga masih perlu untuk dilakukan modifikasi. Setelah penalaan konstanta PID berhasil dilakukan, selanjutnya dibuat sebuah metering device tipe auger. Metering device ini dilengkapi oleh sebuah hooper yang didesain sebagai penampung pupuk sebelum masuk ke metering device. Hopper terbuat dari bahan akrilik dengan ketebalan 3 mm. Volume hopper 12000 cm3 sehingga diperoleh ukuran dimensi panjang, lebar dan tinggi masing-

Page 79: ABDUL AZIS S - Unhas

63masing sebesar 30 cm, 20 cm dam 20 cm. Kemiringan dasar hopper dibuat sebesar 370 dan 630. Penentuan kemiringan dasar hopper didasarkan oleh sudut curah (angle of repose) sebesar 320. Auger dibuat dari bahan stainless dan dirancang untuk mampu menjatah pupuk sebanyak 3.84 cm3/s, sehingga diperoleh ukuran dimensi diameter poros, diameter luar, panjang pitch dan ketebalan pitch masing-masing 15 mm, 30 mm, 10 mm dan 1.5 mm. Pengujian kinerja metering device dilakukan dalam dua tahap, yaitu pengujian statis dan dinamis. Pengujian statis dilakukan dalam kondisi metering device diam dengan dua perlakuan, yaitu kalibrasi kecepatan motor/auger dengan massa keluaran pupuk dengan metode step response dan pengujian dengan metode stair step response. Pengujian dinamis dilakukan dalam kondisi bergerak di lahan dengan dua perlakuan, yaitu kalibrasi dinamis, pengujian distribusi keluaran metering device metode step respons dan stair step response. Pengujian kalibrasi dilakukan untuk mengetahui korelasi antara kecepatan motor DC sedangkan pengujian dengan stair step response bertujuan untuk melihat kecepatan respon motor dalam merespon setiap perubahan nilai set-point yang diberikan. Hasil pengujian statis menghasilkan sebuah persamaan korelasi linier antara kecepatan motor DC/auger dengan massa pupuk yang keluar dari metering device untuk ketiga motor DC. Ketiga persamaan tersebut y = 0.035x – 2.931 (R2 = 0.998) untuk motor I; y = 0.036x – 4.187(R2 = 0.998) untuk motor II; dan y = 0.035x – 0.351 (R2 = 0.999) untuk motor III. Ketiga persamaan korelasi tersebut dengan nilai koefisien determinansi yang tinggi memberikan gambaran bahwa pengontrolan dosis pemupukan dapat dilakukan melalui pengontrolan kecepatan motor DC. Demikian pula penentuan dosis pemupukan dapat dikonversi menjadi kecepatan motor DC menggunakan ketiga persamaan korelasi tersebut. Pengujian dengan metode stair step response baik tanpa pupuk maupun dengan pupuk memperlihatkan bahwa pengontrolan kecepatan motor DC dengan PID mampu menghasilkan respon cepat kecepatan motor mampu mengikuti setiap perubahan nilai set-point yang diberikan dan beroperasi disekitar nilai set-pont. Namun masih menyisakan osilasi yang cukup besar, terutama pada pengujian dengan pupuk. osilasi pada pengujian tanpa pupuk kemungkinan disebabkan oleh kesalahan pada saat pabrikasi dimana terjadi gesekan antara auger dengan penutup auger dan gesekan antara bantalan penyangga poros auger dengan poros auger. Pada pengujian dengan pupuk menghasilkan osilasi yang jauh lebih besar dibandingkan tanpa pupuk. Hal ini disebabkan oleh ketidak seragaman ukuran pupuk yang digunakan sehingga beban auger menjadi bervariasi menyebabkan respon kontrol juga bervariasi. Pengujian dinamis metering device dilakukan dengan menggandengkan metering device pada sebuah kendaraan transplanter. Penggandengan dilakukan pada bagian belakang dengan memanfaatkan tiga titik gandeng dari transplanter. Pengujian kalibrasi dinamis menghasilkan persamaan kalibrasi dinamis yang menunjukkan korelasi antara kecepatan motor DC dengan massa pupuk. pengujian ini menghasilkan korelasi linier untuk masing-masing motor dengan persamaan korelasi y = 0.021x + 0.871 (R2 = 0.988) untuk motor DC I; y = 0.025x +1.52 (R2 = 0.984) untuk motor DC II; dan y = 0.029x - 1.653 (R2 = 0.999) untuk motor DC III. Hasil pengujian distribusi sebaran pupuk, baik dengan metode step response maupun dengan metode stair step response memperlihatkan bahwa

Page 80: ABDUL AZIS S - Unhas

64 pupuk hasil jatahan metering device terdistribusi merata ke lintasan untuk masing-masing perlakuan kecepatan motor DC. Hal ini menunjukkan bahwa ketika metering device ini diaplikasikan untuk pemupukan, maka bisa dipastikan bahwa semua tanaman akan mendapatkan pupuk. Pengujian variable rate fertilizer applicator terintegrasi RTK DGPS berhasil dilakukan. Terdapat 66 blok pengujian dengan ukuran masing-masing blok adalah 3 m x 3 m. Dosis target pemupukan ditentukan secara acak dengan variasi dosis antara 150 – 250 kg/ha. Hasil pengujian menunjukkan bahwa unit VRFA mampu menjatah pupuk NPK mengikuti peta kebutuhan dosis yang diberikan dengan tingkat error yang cukup kecil. Error terkecil yang diperoleh sebesar -0.02% dan tertinggi sebesar -6.12% dengan rata-rata error sebesar 1.76%. Tanda minus menunjukkan bahwa dosis pupuk yang dijatahkan oleh unit pemupuk lebih kecil dari dosis target. SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 1. Penalaan konstanta PID metode internal model control dengan pendekatan model Tustin menghasilkan konstanta proportional, integral dan derivative masing-masing sebesar 0.4013; 0.0988 dan 0.0176 untuk perlakuan PWM 100 dan 0.2314; 0.0531 dan 0.044 untuk perlakuan PWM 400 2. Pengujian kalibrasi statis metering device tipe auger menghasilkan korelasi linier masing-masing motor dengan persamaan korelasi dan koefisien determinasi y = 7.125x – 108.9 (R2 = 0.996) untuk metering device I; y = 6.893x – 118.1 (R2 = 0.998) untuk metering device II; dan y = 7.11x – 10.8 (R2 = 0.999) untuk metering device III 3. Hasil pengujian statis metode step response dan stair step response menunjukkan respon motor cepat dan tidak terjadi steady state response, namun terjadi osilasi 4. Pengujian kalibrasi dinamis metering device tipe auger menghasilkan korelasi linier masing-masing motor dengan persamaan korelasi dan koefisien determinasi y = 7.667x – 77.81 (R2 = 0.984) untuk metering device I; y = 7.674x - 37.19 (R2 = 0.984) untuk metering device II; dan y = y = 8.027x + 101.4 (R2 = 0.999) untuk metering device III 5. Pengujian kinerja dinamis metering device metode step response dan stair step response memberikan kinerja yang cukup baik dengan distribusi pupuk yang cukup merata di sepanjang lintasan. 6. Pengujian unit VRFA mampu menjatah pupuk NPK dengan baik dan mampu mengikuti peta kebutuhan dosis yang diberikan dengan tingkat error yang cukup kecil. Error terkecil yang diperoleh sebesar -0.02% dan tertinggi sebesar -6.12% dengan rata-rata error sebesar 1.76%.

Page 81: ABDUL AZIS S - Unhas

65Saran 1. Pengembangan dan pengujian secara statis dan dinamis metering device tipe auger telah dilakukan dengan hasil yang baik, sehingga teknologi ini dapat direkomendasikan untuk aplikasi pengontrolan dosis pemupukan pupuk granular 2. Dalam pengujian dengan metode step respons dan stair step response tanpa pupuk, diperoleh sinyal kecepatan motor yang berisolasi akibat proses pabrikasi metering device yang tidak presisi sehingga menimbulkan gesekan antara poros auger dengan bantalan. Oleh karena, untuk pengembangan kedepan perlu dibuat lebih presisi 3. Selain faktor gesekan, osilasi pada pengujian dengan pupuk terjadi akibat daya motor yang digunakan kurang besar dibandingkan beban pupuk yang harus dikeluarkan, sehingga perlu digunakan motor dengan daya yang lebih besar 4. Desain awal dari prototipe VRFA didesain untuk aplikasi pemupukan pada tanaman padi sawah, oleh karena itu perlu dilakukan pengujian pada tanaman padi sawah sehingga kinerja dan tingkat efektivitas dan efisiensi pemupukannya pada tanaman pada dapat diketahui.

DAFTAR PUSTAKA Abdulrahman S, Sembiring H, Suyamto. 2009. Pemupukan Tanaman Padi [Internet]. [Diacu 2017 Mei 15]. Dari: www.litbang.pertanian.go.id/special/padi/bbpadi_2009_itp_05.pdf Adekunle IO. 2013. Precision Agriculture: Applicability and Opportunities for Nigerian Agriculture. Middle-East Journal of Scientific Research 13(9):1230-1237. Ahn KK, Truong DQ. 2009. Online tuning fuzzy PID controller using robust extended Kalman filter. Journal of Process Control 19(6):1011-1023. doi:10.1016/j.jprocont.2009.01.005 Al-Jabri M. 2013. Teknologi uji tanah untuk penyusunan rekomendasi pemupukan berimbang tanaman padi sawah. Pengembangan Inovasi Pertanian 6(1):11-22. Ang KH, Chong G, Li Y. 2005. PID control system analysis, design, and technology. IEEE transactions on control systems technology 13(4):559-576. Anonim. 2017. Pengertian dan Definisi Pemupukan Tanaman [Internet]. [Diacu 2017 Juli 7]. Dari: http://agroteknologi.web.id/pengertian-dan-definisi-pemupukan-tanaman/ Apriyantono A, Irianto S, Suyamto IL, Sudaryanto T, Alihamsyah T. 2009. Indonesian experience: Regaining rice self-sufficiency. Indonesian Ministry of Agriculture, Jakarta. Auernhammer H. 2001. Precision farming—the environmental challenge. Computers and electronics in agriculture 30(1):31-43.

Page 82: ABDUL AZIS S - Unhas

66 Azis A. 2011. Disain dan Pengujian Metering Device untuk Unit Pemupuk Butiran Laju Variabel (Variable Rate Granular Fertilizer Applicator) [Thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. BB-Padi. 2015. Pemupukan pada Tanaman Padi [Internet]. [Diacu 2016 Mei 6 ]. Dari: http://bbpadi.litbang.pertanian.go.id/index.php/en/berita/info-teknologi/content/226-pemupukan-pada-tanaman-padi Begum KG, Radhakrishnan T, Rao AS, Chidambaram M. 2016. IMC based PID Controller Tuning of Series Cascade Unstable Systems. IFAC-PapersOnLine 49(1):795-800. Behic Tekin A, Okyay Sındır K. 2015. Variable Rate Control System Designed for Spinner Disc Fertilizer Spreader–“Pre Fer”. Bennur PJ. 2009. Response time evaluation of real-time sensor based variable rate technology equipment. Oklahoma State University. Bi Q, Cai W-J, Wang Q-G, Hang C-C, Lee E-L, Sun Y, Liu K-D, Zhang Y, Zou B. 2000. Advanced controller auto-tuning and its application in HVAC systems. Control Engineering Practice 8(6):633-644. Bolton W. 2004. Instrumentation and Control Systems. The Boulevard, Langfor Land Kidlington, OX5 16B England. (Elsevier Ltd. BPS-Statistik. 2014. Nilai Produksi dan Biaya Produksi per Musim Tanam per Hektar Budidaya Tanaman Padi Sawah, Padi Ladang, Jagung, dan Kedelai, 2014 [Internet]. [Diacu 2017 April 1]. Dari: https://www.bps.go.id/LinkTabelStatis/view/id/1855. Chamim ANN. 2010. Penggunaan Microcontroller Sebagai Pendeteksi Posisi dengan Menggunakan Sinyal GSM. Jurnal Informatika 4(1). Chandel N, Mehta C, Tewari V, Nare B. 2016. Digital map-based site-specific granular fertilizer application system. CURRENT SCIENCE 111(7):1208-1213. Chiha I, Liouane N, Borne P. 2012. Tuning PID Controller Using Multiobjective Ant Colony Optimization. Applied Computational Intelligence and Soft Computing 2012:1-7. doi:10.1155/2012/536326 Colaço AF, de Andrade Rosa HJ, Molin JP. 2014. A model to analyze as-applied reports from variable rate applications. Precision Agriculture 15(3):304-320. doi:10.1007/s11119-014-9358-5 Donghai L, Yali X, Weijie W, Li S. 2014. Decentralized PID Controller Tuning Based on Desired Dynamic Equations. IFAC Proceedings Volumes 47(3):5802-5807. Duka A-V, Dulău M, Oltean S-E. 2016. IMC Based PID Control of a Magnetic Levitation System. Procedia Technology 22:592-599. doi:10.1016/j.protcy.2016.01.125 Ehsani R, Schumann A, Salyani M. 2009. Variable rate technology for Florida citrus. Inst Food Agric Sci, Univ Florida, USA. Eriksson LM, Johansson M. PID controller tuning rules for varying time-delay systems. [Internet]. 2007 American Control Conference; 2007: IEEE. hlm 619-625. Erythrina E. 2016. Bagan Warna Daun: Alat untuk Meningkatkan Efisiensi Pemupukan Nitrogen pada Tanaman Padi. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 35(1):1-10.

Page 83: ABDUL AZIS S - Unhas

67Franklin GF, Powell JD, Emami-Naeini A, Powell JD. 1994. Feedback control of dynamic systems. Addison-Wesley Reading. GirirajKumar S, Jayaraj D, Kishan AR. 2010. PSO based tuning of a PID controller for a high performance drilling machine. International Journal of Computer Applications 1(19):12-18. Grisso RD, Alley MM, Thomason WE, Holshouser DL, Roberson GT. 2011. Precision farming tools: variable-rate application. College of Agriculture and Life Sciences, Virginia Polytechnic Institute and State University. Gunawan P. 2014. PENGEMBANGAN PROTOTIPE II DAN UJI KINERJA MESIN PEMUPUK DOSIS VARIABEL (Variable Rate Granular Applicator) PADA BUDIDAYA PADI SAWAH DENGAN KONSEP PERTANIAN PRESISI [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Gunawan P, Setiawan RP, Astika IW. 2014. Pengembangan Dan Uji Kinerja Mesin Pemupuk Dosis Variabel Pada Budidaya Padi Sawah Dengan Konsep Pertanian Presisi. Jurnal Keteknikan Pertanian 27(1). Hang CC, Astrom KJ, Ho WK. Refinements of the Ziegler-Nichols tuning formula. [Internet]. IEE Proceedings D-Control Theory and Applications; 1991: IET. hlm 111-118. Ho WK, Lim KW, Xu W. 1998. Optimal gain and phase margin tuning for PID controllers. Automatica 34(8):1009-1014. Hosseini MS, Almassi M, Minaei S, Ebrahimzadeh MR. 2014. Response time of a variable rate fertilizer applicator. Advances in Environmental Biology:1-9. Howell MN, Best MC. 2000. On-line PID tuning for engine idle-speed control using continuous action reinforcement learning automata. Control Engineering Practice 8(2):147-154. Jantzen J. 1998. Tuning of fuzzy PID controllers. Technical University of Denmark, report. Jun M, Safonov MG. 1999. Automatic PID tuning: An application of unfalsified control. Proc. IEEE CCA/CACSD 2:328-333. Kao C-C, Chuang C-W, Fung R-F. 2006. The self-tuning PID control in a slider–crank mechanism system by applying particle swarm optimization approach. Mechatronics 16(8):513-522. doi:10.1016/j.mechatronics.2006.03.007 Karimi A, Garcia D, Longchamp R. 2003. PID controller tuning using Bode's integrals. IEEE Transactions on Control Systems Technology 11(6):812-821. Kaya I. 2004. IMC based automatic tuning method for PID controllers in a Smith predictor configuration. Computers & Chemical Engineering 28(3):281-290. doi:10.1016/j.compchemeng.2003.01.001 Kazemian HB. 2001. Comparative study of a learning fuzzy PID controller and a self-tuning controller. ISA transactions 40(3):245-253. Killingsworth NJ, Krstic M. 2006. PID tuning using extremum seeking: online, model-free performance optimization. IEEE control systems 26(1):70-79. Kim DH, Hong WP, Park JI. Auto-tuning of reference model based PID controller using immune algorithm. [Internet]. Evolutionary Computation, 2002. CEC'02. Proceedings of the 2002 Congress on; 2002: IEEE. hlm 483-488. Kim J-S, Kim J-H, Park J-M, Park S-M, Choe W-Y, Heo H. 2008. Auto tuning PID controller based on improved genetic algorithm for reverse osmosis

Page 84: ABDUL AZIS S - Unhas

68 plant. World Academy of Science, Engineering and Technology 47:384-389. Koch B, Khosla R, Frasier W, Westfall D, Inman D. 2004. Economic feasibility of variable-rate nitrogen application utilizing site-specific management zones. Agronomy Journal 96(6):1572-1580. Kumar SG, Jain R, Anantharaman N, Dharmalingam V, Begum K. 2008. Genetic algorithm based PID controller tuning for a model bioreactor. indian chemical engineer 50(3):214-226. Lee C-H, Teng C-C. 2003. Calculation of PID controller parameters by using a fuzzy neural network. ISA Transactions 42(3):391-400. doi:10.1016/s0019-0578(07)60142-6 Li X-F, Chen G, Wang Y-G. 2016a. IMC-PID Controller Design for Power Control Loop Based on Closed-loop Identification in the Frequency Domain. IFAC-PapersOnLine 49(4):79-84. Li X-F, Ding D-J, Wang Y-G, Huang Z. 2016b. Cascade IMC-PID Control of Superheated Steam Temperature based on Closed-loop Identification in the Frequency Domain. IFAC-PapersOnLine 49(18):91-97. Li Y, Ang KH, Chong GC. 2006. PID control system analysis and design. IEEE Control Systems 26(1):32-41. Lin F, Brandt RD, Saikalis G. Self-tuning of PID controllers by adaptive interaction. [Internet]. American Control Conference, 2000. Proceedings of the 2000; 2000: IEEE. hlm 3676-3681. Lingga P, Marsono. 2008. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Jakarta (ID) (Penebar Swadaya. Mallarino A, Wittry D, Dousa D, Hinz P. 1999. Variable-rate phosphorus fertilization: On-farm research methods and evaluation for corn and soybean. Precision Agriculture(precisionagric4a):687-696. Martins FG. 2005. Tuning PID controllers using the ITAE criterion. International Journal of Engineering Education 21(5):867. Morari M, Zafiriou E. 1989. Robust process control. Prentice hall Englewood Cliffs, NJ. Nhon P, Elamvazuthi I, Fayek H, Parasuraman S, Khan MA. 2014. Intelligent Control of Rehabilitation Robot: Auto Tuning PID Controller with Interval Type 2 Fuzzy for DC Servomotor. Procedia Computer Science 42:183-190. Radite P, Hermawan W, Azis A, Budiyanto B. Design and Performance Test of Embedded Module Metering Device for Variable Rate Fertilizer Applicator. [Internet]. Proc of ICORAS Int’l Conference on Robotic Automation Sistem; 2011; 23-24 May 2011 2011; Trengganu, Malaysia: ICORAS hlm 149-153. Radite P, Sapsal M, Hermawan W, Budiyanto B. Variable Rate Fertilizer Applicator Based on AVR Microcontroller. [Internet]. Proceeding of AFITA/WCCA (20)-02; 2012; 2012; Taipei, Taiwan. hlm 141. Radite P, Umeda M, Iida M, Khilael M, Darmaga KI. Variable rate fertilizer applicator for paddy field. [Internet]. 2000 ASAE Annual International Meeting, Milwaukee, Wisconsin, USA, 9-12 July 2000; 2000: American Society of Agricultural Engineers. hlm 1-11.

Page 85: ABDUL AZIS S - Unhas

69Sapsal M. 2012. Desain dan Pengujian Prototipe Mesin Pemupuk Butiran Laju Variabel Empat Baris Untuk Pertanian Presisi [Thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Setiono A. 2009. Prototipe Aplikasi KWh Meter Digital Menggunakan Mikrokontroler ATMEGA8535 untuk Ruang Lingkup Kamar. Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH 26. Shahrokhi M, Zomorrodi A. 2013. Comparison of PID controller tuning methods. Department of Chemical & Petroleum Engineering Sharif University of Technology. Singh R. 2000. Environmental consequences of agricultural development: a case study from the Green Revolution state of Haryana, India. Agriculture, ecosystems & environment 82(1):97-103. Srivastava A, Goering C, Rohrbach R. 1996. Engineering Principles of Agricultural Machines. 2950 Niles Road. St. Joseph, Michigan 49085-9659 USA (ASAE. Suryarandika R. 2017. 50 Persen Pupuk Urea Terbuang Percuma Malah Rusak Lingkungan [Internet]. [Diacu 2017 Mei 17]. Dari: http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/17/05/11/opsm03384-50-persen-pupuk-urea-terbuang-percuma-malah-rusak-lingkungan Tan W, Liu J, Tam P. 1998. PID tuning based on loop-shaping H∞ control. IEE Proceedings-Control Theory and Applications 145(6):485-490. Tjahyadi C. 2012. Pemrograman dan Aplikasi Mikrokontroler ARM Cortex-M. Bandung (ID) (NEXT SYSTEM Robotics Learning Center. Varol HA, Bingul Z. A new PID tuning technique using ant algorithm. [Internet]. American Control Conference, 2004. Proceedings of the 2004; 2004: IEEE. hlm 2154-2159. Zhang J, Zhuang J, Du H, Wang Sa. 2009. Self-organizing genetic algorithm based tuning of PID controllers. Information Sciences 179(7):1007-1018. doi:10.1016/j.ins.2008.11.038

Page 86: ABDUL AZIS S - Unhas

LAMPIRAN

Page 87: ABDUL AZIS S - Unhas

71Lampiran 1 Kalibrasi rotary encoder waktu (s) Putaran motor (rpm) Pulsa/detik 16.08 20 2103 16.48 20 2182 16.79 20 2182 Lampiran 2 Data pengujian Variable Rate Vertilizer Applicator terintegrasi RTK DGPS Latitude Longitude X Y Blok Jejer SP1 SP2 SP3 Cnt1 Cnt2 Cnt3 633.80911 10643.6831 0.07 0.35 0 0 0 0 0 0 0 0 633.80908 10643.68311 0.09 0.41 0 0 0 0 0 0 0 0 633.80905 10643.68312 0.11 0.47 0 0 0 0 0 0 0 0 633.80903 10643.68313 0.13 0.5 0 0 0 0 0 0 0 0 633.80899 10643.68312 0.11 0.58 0 0 0 0 0 0 0 0 633.80895 10643.68314 0.14 0.65 0 0 0 0 0 0 0 0 633.8089 10643.68314 0.14 0.75 0 0 0 0 0 0 0 0 633.80886 10643.68314 0.14 0.82 0 0 0 0 0 0 0 0 633.80883 10643.68315 0.16 0.88 0 0 0 0 0 0 0 0 633.8088 10643.68314 0.14 0.93 0 0 0 0 0 0 0 0 633.80877 10643.68316 0.18 0.99 0 0 0 0 0 0 0 0 633.80873 10643.68315 0.16 1.06 0 0 0 0 0 0 0 0 633.80869 10643.68316 0.18 1.14 0 0 0 0 0 0 0 0 633.80865 10643.68316 0.18 1.21 0 0 0 0 0 0 0 0 633.80861 10643.68316 0.17 1.29 0 0 0 0 0 0 5 0 633.80857 10643.68315 0.16 1.36 0 0 0 0 0 0 0 0 633.80854 10643.68315 0.16 1.42 0 0 0 0 0 0 0 0 633.8085 10643.68314 0.14 1.49 0 0 0 0 0 0 0 0 633.80846 10643.68315 0.15 1.56 0 0 0 0 0 0 0 0 633.80842 10643.68315 0.15 1.64 0 0 0 0 0 0 0 0 633.80839 10643.68313 0.12 1.69 0 0 0 0 0 0 0 0 633.80835 10643.68313 0.12 1.77 0 0 0 0 0 0 0 0 633.80831 10643.68314 0.13 1.84 0 0 0 0 0 0 0 0 633.80827 10643.68313 0.11 1.92 0 0 0 0 0 0 0 0 633.80823 10643.68311 0.08 1.99 0 0 0 0 0 0 0 0 633.80819 10643.68311 0.08 2.07 0 0 0 0 0 0 0 0 633.80815 10643.68313 0.11 2.14 0 0 0 0 0 0 0 0 633.80811 10643.68311 0.08 2.22 0 0 0 0 0 0 0 0 633.80807 10643.68313 0.11 2.29 0 0 0 0 0 0 0 0 633.80802 10643.68315 0.15 2.38 0 0 0 0 0 0 0 0 633.80798 10643.68314 0.13 2.46 0 0 0 0 0 0 0 0 633.80795 10643.68314 0.13 2.51 0 0 0 0 0 0 0 0 633.8079 10643.68314 0.13 2.61 0 0 0 0 0 0 0 0 633.80785 10643.68312 0.09 2.7 0 0 0 0 0 0 0 0

Page 88: ABDUL AZIS S - Unhas

72 Lanjutan 633.80781 10643.68312 0.09 2.77 0 0 0 0 0 0 0 0 633.80776 10643.68313 0.11 2.87 0 0 0 0 0 0 0 0 633.80772 10643.68313 0.11 2.94 0 0 0 0 0 0 0 0 633.80767 10643.68314 0.12 3.04 1 0 1072 1113 1064 0 0 165 633.80762 10643.68313 0.11 3.13 1 0 1072 1113 1064 550 640 865 633.80757 10643.68314 0.12 3.22 1 0 1072 1113 1064 725 775 1175 633.80753 10643.68315 0.14 3.3 1 0 1072 1113 1064 800 980 1145 633.80748 10643.68314 0.12 3.39 1 0 1072 1113 1064 745 1020 1070 633.80744 10643.68315 0.14 3.46 1 0 1072 1113 1064 855 1045 910 633.80739 10643.68316 0.16 3.56 1 0 1072 1113 1064 905 1110 975 633.80735 10643.68316 0.16 3.63 1 0 1072 1113 1064 1290 990 1050 633.8073 10643.68318 0.19 3.72 1 0 1072 1113 1064 1305 1030 890 633.80726 10643.68316 0.16 3.8 1 0 1072 1113 1064 1080 1100 890 633.80721 10643.68317 0.17 3.89 1 0 1072 1113 1064 1155 1200 1050 633.80715 10643.68316 0.15 4 1 0 1072 1113 1064 890 1240 1165 633.80711 10643.68316 0.15 4.08 1 0 1072 1113 1064 865 1235 1185 633.80707 10643.68318 0.19 4.15 1 0 1072 1113 1064 1165 1010 1170 633.80703 10643.68318 0.19 4.23 1 0 1072 1113 1064 1305 1055 1035 633.80698 10643.68318 0.19 4.32 1 0 1072 1113 1064 1145 940 790 633.80694 10643.68318 0.19 4.39 1 0 1072 1113 1064 1055 1075 1070 633.80689 10643.68319 0.21 4.49 1 0 1072 1113 1064 895 1115 1310 633.80685 10643.68318 0.19 4.56 1 0 1072 1113 1064 1000 1235 1170 633.8068 10643.68319 0.2 4.66 1 0 1072 1113 1064 1195 1125 1030 633.80676 10643.68319 0.2 4.73 1 0 1072 1113 1064 1180 1000 1215 633.80671 10643.68318 0.18 4.82 1 0 1072 1113 1064 975 1065 1100 633.80667 10643.68317 0.17 4.9 1 0 1072 1113 1064 1220 930 900 633.80663 10643.68319 0.2 4.97 1 0 1072 1113 1064 1240 685 880 633.80659 10643.68319 0.2 5.05 1 0 1072 1113 1064 905 1105 1035 633.80655 10643.68319 0.2 5.12 1 0 1072 1113 1064 925 1405 1285 633.80651 10643.68319 0.2 5.19 1 0 1072 1113 1064 1180 1255 1155 633.80646 10643.68319 0.2 5.29 1 0 1072 1113 1064 1040 980 1020 633.80641 10643.68318 0.18 5.38 1 0 1072 1113 1064 900 1005 1110 633.80637 10643.68319 0.2 5.46 1 0 1072 1113 1064 1010 1190 1055 633.80632 10643.68319 0.2 5.55 1 0 1072 1113 1064 1140 1070 880 633.80627 10643.6832 0.21 5.64 1 0 1072 1113 1064 1215 905 935 633.80623 10643.68319 0.2 5.72 1 0 1072 1113 1064 1135 1075 1230 633.80618 10643.68318 0.18 5.81 1 0 1072 1113 1064 1195 1430 1050 633.80614 10643.68317 0.16 5.88 1 0 1072 1113 1064 875 1420 1080 633.8061 10643.68317 0.16 5.96 1 0 1072 1113 1064 935 1150 1165 633.80605 10643.68317 0.16 6.05 2 0 1263 1305 1224 1135 985 1190 633.806 10643.68318 0.17 6.14 2 0 1263 1305 1224 1330 960 1040 633.80595 10643.68317 0.15 6.24 2 0 1263 1305 1224 1450 1110 1010 633.8059 10643.68317 0.15 6.33 2 0 1263 1305 1224 1310 1285 1275

Page 89: ABDUL AZIS S - Unhas

73Lanjutan 633.80586 10643.68317 0.15 6.4 2 0 1263 1305 1224 1300 1270 1355 633.80581 10643.68318 0.17 6.5 2 0 1263 1305 1224 1175 1620 1095 633.80576 10643.68317 0.15 6.59 2 0 1263 1305 1224 1025 1455 1090 633.80572 10643.6832 0.21 6.67 2 0 1263 1305 1224 1055 1280 1165 633.80567 10643.68318 0.17 6.76 2 0 1263 1305 1224 1085 1380 1050 633.80563 10643.68317 0.15 6.83 2 0 1263 1305 1224 1410 1245 1115 633.80558 10643.68318 0.17 6.93 2 0 1263 1305 1224 1210 1300 1290 633.80553 10643.68317 0.15 7.02 2 0 1263 1305 1224 1295 1310 1230 633.80548 10643.68318 0.17 7.11 2 0 1263 1305 1224 1365 1520 1290 633.80544 10643.68316 0.13 7.19 2 0 1263 1305 1224 1095 1530 1315 633.80539 10643.68319 0.18 7.28 2 0 1263 1305 1224 1315 1365 1375 633.80534 10643.68318 0.16 7.37 2 0 1263 1305 1224 1520 1100 1190 633.80529 10643.68317 0.15 7.47 2 0 1263 1305 1224 1525 1255 1170 633.80525 10643.68319 0.18 7.54 2 0 1263 1305 1224 1140 1305 1235 633.8052 10643.68318 0.16 7.63 2 0 1263 1305 1224 1130 1110 1095 633.80515 10643.68317 0.14 7.73 2 0 1263 1305 1224 1365 1250 980 633.80509 10643.68315 0.11 7.84 2 0 1263 1305 1224 1240 1355 1360 633.80504 10643.68317 0.14 7.93 2 0 1263 1305 1224 1165 1405 1275 633.80498 10643.68316 0.12 8.04 2 0 1263 1305 1224 1295 1145 1150 633.80493 10643.68317 0.14 8.14 2 0 1263 1305 1224 1255 1210 1320 633.80489 10643.68315 0.1 8.21 2 0 1263 1305 1224 1055 1550 1520 633.80484 10643.68314 0.08 8.3 2 0 1263 1305 1224 930 1405 1345 633.8048 10643.68312 0.05 8.38 2 0 1263 1305 1224 1175 1340 1300 633.80475 10643.68312 0.05 8.47 2 0 1263 1305 1224 1450 1225 1090 633.8047 10643.68313 0.06 8.56 2 0 1263 1305 1224 1280 820 880 633.80465 10643.68313 0.06 8.66 2 0 1263 1305 1224 1350 1105 935 633.8046 10643.68315 0.1 8.75 2 0 1263 1305 1224 1185 1175 1245 633.80454 10643.68315 0.1 8.86 2 0 1263 1305 1224 1375 1180 1470 633.8045 10643.68316 0.12 8.94 2 0 1263 1305 1224 1425 1670 1510

Page 90: ABDUL AZIS S - Unhas

Lampiran 3 Gambar desain auger

Page 91: ABDUL AZIS S - Unhas

75 Lampiran 4 Gambar desain hopper

Page 92: ABDUL AZIS S - Unhas

76 Lampiran 5 Gambar desain tutup bawah hopper Lampiran 6 Gambar desain unit pemupuk

Page 93: ABDUL AZIS S - Unhas

77

Page 94: ABDUL AZIS S - Unhas

Lampiran 7 Kode program pengontrolan variable rate fertilizer applicator #include "stm32f4xx.h" #include "stdio.h" #include "string.h" #include "stdlib.h" #include "math.h" //unsigned long millis=0; volatile uint32_t msTicks, micros=0, time, clock, millis=0, TM[100]; unsigned long hijau, kuning, merah, button, serial=0, motor, motor1, motor2, motor3; int rps1=0, rps2=0, rps3=0, rps[3], rpm1, rpm2, rpm3, setpoint, set_point1, set_point2, set_point3,tc ; unsigned char m, a = 1, b = 1, c = 1, ir; char buff[10000]; char i , j, ij, ik, i_GPS, i_while,i_loop; unsigned int PWM[100], SP[3][100], imm=0, TIM_OC[3], enc[3][300]; int count1, count2, count3, set_point[3], Pp, Ii, Dd, alp, pwm[3], conver=0, n_p1=0, n_p2=0, n_p3=0; //float Kp, Ki, Kd, outP[3], outI[3], outD[3], tcc, error[3], countsbl[3], countsbl2[3], outPID[3], cnt2=0, alpa, errorsblm[3], tmp; float Kp, Ki, Kd, outP, outI, outD, tcc, error[3], countsbl[3], countsbl2[3], outPID[3], cnt2=0, alpa, errorsblm[3], tmp; unsigned int count[3]; unsigned char m; char NMEA_data[500]; unsigned int trigger,trigger2, peubah,peubah2,tipe=1;//tipe untuk menentuka jenis pupuk yg digunakan unsigned int waktu_awal,waktu_akhir,selisih; unsigned int ms,detik,fix; char GPS_data[500],*soort_dat[100],*tijd_dat[100],*latitude_dat[100],*latitude_card_dat[100],*longitude_dat[100],*longitude_card_dat[100],*quality_dat[100]; char *soort,*latitude,*longitude,*tijd,*latitude_card,*longitude_card,*quality; long double latitude0,lat_dat[100],lon_dat[100],Lat,Lon,waktu,waktu1,Latit,Longi; unsigned int fix,inisial=1, int_x,int_y; long double Lat,Lon,dx,dy1,dy,x,y,y_awal,latitude0,latdeg,latmin,Lat0,Lon0,Kx,Ky,del_x[500],del_y[500]; #define pi 3.141592653589793 #define a_ 6378137.0 #define e_2 0.006739497 #define slope 0.007692308 #define blok 10+1 //8 //+1 untuk mendetiksi out of area pada titik 0

Page 95: ABDUL AZIS S - Unhas

79#define jejer 6 //5 unsigned int dosis[blok][jejer]; int spin[3],spin_new[3],set_pin[500]; float a_dos[3], b_dos[3], ados, bdos; //void SysTick_Handler() //{ // millis++; //} void SystemCoreClockHISPLL(void){ RCC_HSICmd(ENABLE); while( RCC_GetFlagStatus(RCC_FLAG_HSIRDY) == RESET ) __NOP(); RCC_SYSCLKConfig(RCC_SYSCLKSource_HSI); while( RCC_GetSYSCLKSource() != 0x00 ); FLASH->ACR = FLASH_ACR_PRFTEN | FLASH_ACR_ICEN |FLASH_ACR_DCEN | FLASH_ACR_LATENCY_5WS; RCC_HCLKConfig(RCC_SYSCLK_Div1); // AHB1 84 MHz RCC_PCLK2Config(RCC_HCLK_Div1); // APB2 84 MHz RCC_PCLK1Config(RCC_HCLK_Div2); // APB1 42 MHz RCC_PLLCmd(DISABLE); RCC_PLLConfig(RCC_PLLSource_HSI, 8, 336, 8, 8 ); RCC_PLLCmd(ENABLE); while( RCC_GetFlagStatus(RCC_FLAG_PLLRDY) == RESET ) __NOP(); RCC_SYSCLKConfig(RCC_SYSCLKSource_PLLCLK); while( RCC_GetSYSCLKSource() != 0x08 ); } void RCC_Configuration() { RCC_AHB1PeriphClockCmd(RCC_AHB1Periph_GPIOA, ENABLE); RCC_AHB1PeriphClockCmd(RCC_AHB1Periph_GPIOC, ENABLE); RCC_AHB1PeriphClockCmd(RCC_AHB1Periph_GPIOB, ENABLE); RCC_APB2PeriphClockCmd(RCC_APB2Periph_SYSCFG, ENABLE); RCC_APB1PeriphClockCmd(RCC_APB1Periph_USART2, ENABLE); RCC_APB2PeriphClockCmd(RCC_APB2Periph_USART1, ENABLE); RCC_APB1PeriphClockCmd(RCC_APB1Periph_TIM2, ENABLE); RCC_APB1PeriphClockCmd(RCC_APB1Periph_TIM5, ENABLE); } void IO_Configuration() { GPIO_InitTypeDef GPIO_InitStructure; //konfigurasi Pin A5 sebagai TIMER2 GPIO_PinAFConfig(GPIOA, GPIO_PinSource5, GPIO_AF_TIM2); GPIO_InitStructure.GPIO_Mode = GPIO_Mode_AF; GPIO_InitStructure.GPIO_Speed = GPIO_Speed_50MHz;

Page 96: ABDUL AZIS S - Unhas

80 GPIO_InitStructure.GPIO_OType = GPIO_OType_PP; GPIO_InitStructure.GPIO_PuPd = GPIO_PuPd_NOPULL; GPIO_InitStructure.GPIO_Pin = GPIO_Pin_5; GPIO_Init(GPIOA, &GPIO_InitStructure); //konfigurasi Pin B3 sebagai TIMER2 GPIO_PinAFConfig(GPIOB, GPIO_PinSource3, GPIO_AF_TIM2); GPIO_InitStructure.GPIO_Mode = GPIO_Mode_AF; GPIO_InitStructure.GPIO_Speed = GPIO_Speed_50MHz; GPIO_InitStructure.GPIO_OType = GPIO_OType_PP; GPIO_InitStructure.GPIO_PuPd = GPIO_PuPd_NOPULL; GPIO_InitStructure.GPIO_Pin = GPIO_Pin_3; GPIO_Init(GPIOB, &GPIO_InitStructure); //konfigurasi Pin B10 sebagai TIMER2 GPIO_PinAFConfig(GPIOB, GPIO_PinSource10, GPIO_AF_TIM2); GPIO_InitStructure.GPIO_Mode = GPIO_Mode_AF; GPIO_InitStructure.GPIO_Speed = GPIO_Speed_50MHz; GPIO_InitStructure.GPIO_OType = GPIO_OType_PP; GPIO_InitStructure.GPIO_PuPd = GPIO_PuPd_NOPULL; GPIO_InitStructure.GPIO_Pin = GPIO_Pin_10; GPIO_Init(GPIOB, &GPIO_InitStructure); //konfigurasi Pin C0, C1, C2, C3, C10 dan C12 sebagai output GPIO_InitStructure.GPIO_Mode = GPIO_Mode_OUT; GPIO_InitStructure.GPIO_Speed = GPIO_Speed_50MHz; GPIO_InitStructure.GPIO_OType = GPIO_OType_PP; GPIO_InitStructure.GPIO_PuPd = GPIO_PuPd_NOPULL; GPIO_InitStructure.GPIO_Pin = GPIO_Pin_0| GPIO_Pin_1| GPIO_Pin_3| GPIO_Pin_2|GPIO_Pin_10|GPIO_Pin_12; GPIO_Init(GPIOC, &GPIO_InitStructure); GPIO_InitStructure.GPIO_Mode = GPIO_Mode_IN; GPIO_InitStructure.GPIO_PuPd = GPIO_PuPd_NOPULL; GPIO_InitStructure.GPIO_Pin = GPIO_Pin_8; GPIO_Init(GPIOC, &GPIO_InitStructure); //konfigurasi Pin C13 sebagai Input GPIO_InitStructure.GPIO_Mode = GPIO_Mode_IN; GPIO_InitStructure.GPIO_PuPd = GPIO_PuPd_NOPULL; GPIO_InitStructure.GPIO_Pin = GPIO_Pin_0; GPIO_Init(GPIOB, &GPIO_InitStructure); GPIO_InitStructure.GPIO_Mode = GPIO_Mode_IN; GPIO_InitStructure.GPIO_PuPd = GPIO_PuPd_NOPULL; GPIO_InitStructure.GPIO_Pin = GPIO_Pin_1; GPIO_Init(GPIOA, &GPIO_InitStructure);

Page 97: ABDUL AZIS S - Unhas

81GPIO_InitStructure.GPIO_Mode = GPIO_Mode_IN; GPIO_InitStructure.GPIO_PuPd = GPIO_PuPd_NOPULL; GPIO_InitStructure.GPIO_Pin = GPIO_Pin_4; GPIO_Init(GPIOA, &GPIO_InitStructure); } void TIM2_Configuration(void) { TIM_TimeBaseInitTypeDef TIM_TimeBaseStructure; TIM_OCInitTypeDef TIM_OCInitStruct; TIM_TimeBaseStructure.TIM_Prescaler = 160-1; TIM_TimeBaseStructure.TIM_CounterMode = TIM_CounterMode_Up; TIM_TimeBaseStructure.TIM_Period = 1000-1; TIM_TimeBaseStructure.TIM_ClockDivision = TIM_CKD_DIV1; TIM_TimeBaseStructure.TIM_RepetitionCounter = 0; TIM_TimeBaseInit(TIM2, &TIM_TimeBaseStructure); TIM_Cmd(TIM2, ENABLE); TIM_OCInitStruct.TIM_OutputState = TIM_OutputState_Enable; TIM_OCInitStruct.TIM_OCMode = TIM_OCMode_PWM1; TIM_OCInitStruct.TIM_Pulse = 0; TIM_OC1Init(TIM2, &TIM_OCInitStruct ); TIM_OC1PreloadConfig(TIM2,TIM_OCPreload_Enable); TIM_CCxCmd(TIM2, TIM_Channel_1, TIM_CCx_Enable); TIM_OC2Init(TIM2, &TIM_OCInitStruct ); TIM_OC2PreloadConfig(TIM2,TIM_OCPreload_Enable); TIM_CCxCmd(TIM2, TIM_Channel_2, TIM_CCx_Enable); TIM_OC3Init(TIM2, &TIM_OCInitStruct ); TIM_OC3PreloadConfig(TIM2,TIM_OCPreload_Enable); TIM_CCxCmd(TIM2, TIM_Channel_3, TIM_CCx_Enable); } void USART2_Configuration(uint32_t baudrate) { GPIO_InitTypeDef GPIO_InitStructure; USART_InitTypeDef USART_InitStructure; GPIO_PinAFConfig(GPIOA, GPIO_PinSource2, GPIO_AF_USART2); GPIO_PinAFConfig(GPIOA, GPIO_PinSource3, GPIO_AF_USART2); GPIO_InitStructure.GPIO_Mode = GPIO_Mode_AF; GPIO_InitStructure.GPIO_Speed = GPIO_Speed_50MHz; GPIO_InitStructure.GPIO_OType = GPIO_OType_PP; GPIO_InitStructure.GPIO_PuPd = GPIO_PuPd_UP; GPIO_InitStructure.GPIO_Pin = GPIO_Pin_2 | GPIO_Pin_3; GPIO_Init(GPIOA, &GPIO_InitStructure); USART_InitStructure.USART_BaudRate = baudrate; USART_InitStructure.USART_WordLength = USART_WordLength_8b;

Page 98: ABDUL AZIS S - Unhas

82 USART_InitStructure.USART_StopBits = USART_StopBits_1; USART_InitStructure.USART_Parity = USART_Parity_No; USART_InitStructure.USART_HardwareFlowControl = USART_HardwareFlowControl_None; USART_InitStructure.USART_Mode = USART_Mode_Rx | USART_Mode_Tx; USART_Init(USART2, &USART_InitStructure); USART_Cmd(USART2, ENABLE); } void USART1_Configuration(uint32_t baudrate) { GPIO_InitTypeDef GPIO_InitStructure; USART_InitTypeDef USART_InitStructure; /* Connect PB6 to USART1_TX, PB7 to USART1_RX */ GPIO_PinAFConfig(GPIOB, GPIO_PinSource6, GPIO_AF_USART1); GPIO_PinAFConfig(GPIOB, GPIO_PinSource7, GPIO_AF_USART1); GPIO_InitStructure.GPIO_Mode = GPIO_Mode_AF; GPIO_InitStructure.GPIO_Speed = GPIO_Speed_50MHz; GPIO_InitStructure.GPIO_OType = GPIO_OType_PP; GPIO_InitStructure.GPIO_PuPd = GPIO_PuPd_UP; GPIO_InitStructure.GPIO_Pin = GPIO_Pin_6 | GPIO_Pin_7; GPIO_Init(GPIOB, &GPIO_InitStructure); USART_InitStructure.USART_BaudRate = baudrate; USART_InitStructure.USART_WordLength = USART_WordLength_8b; USART_InitStructure.USART_StopBits = USART_StopBits_1; USART_InitStructure.USART_Parity = USART_Parity_No; USART_InitStructure.USART_HardwareFlowControl = USART_Hardware FlowControl_None; USART_InitStructure.USART_Mode = USART_Mode_Rx | USART_Mode_Tx; USART_Init(USART1, &USART_InitStructure); USART_Cmd(USART1, ENABLE); //USART_ITConfig(USART1, USART_IT_RXNE,ENABLE); } void USART1_IRQHandler() { while (USART_GetITStatus(USART1, USART_IT_RXNE)== SET) { NMEA_data[0] = USART_ReceiveData(USART1); i++; USART_ClearITPendingBit(USART1, USART_IT_RXNE); } } void EXTI_Configuration()

Page 99: ABDUL AZIS S - Unhas

83{ EXTI_InitTypeDef EXTI_InitStructure; SYSCFG_EXTILineConfig(EXTI_PortSourceGPIOB, EXTI_PinSource0); EXTI_InitStructure.EXTI_Line = EXTI_Line0; EXTI_InitStructure.EXTI_Mode = EXTI_Mode_Interrupt; EXTI_InitStructure.EXTI_Trigger = EXTI_Trigger_Falling; EXTI_InitStructure.EXTI_LineCmd = ENABLE; EXTI_Init(&EXTI_InitStructure); SYSCFG_EXTILineConfig(EXTI_PortSourceGPIOA, EXTI_PinSource1); EXTI_InitStructure.EXTI_Line = EXTI_Line1; EXTI_InitStructure.EXTI_Mode = EXTI_Mode_Interrupt; EXTI_InitStructure.EXTI_Trigger = EXTI_Trigger_Falling; EXTI_InitStructure.EXTI_LineCmd = ENABLE; EXTI_Init(&EXTI_InitStructure); SYSCFG_EXTILineConfig(EXTI_PortSourceGPIOA, EXTI_PinSource4); EXTI_InitStructure.EXTI_Line = EXTI_Line4; EXTI_InitStructure.EXTI_Mode = EXTI_Mode_Interrupt; EXTI_InitStructure.EXTI_Trigger = EXTI_Trigger_Falling; EXTI_InitStructure.EXTI_LineCmd = ENABLE; EXTI_Init(&EXTI_InitStructure); } void EXTI0_IRQHandler(void) { rps1++; EXTI_ClearITPendingBit(EXTI_Line0); } void EXTI1_IRQHandler(void) { rps2++; EXTI_ClearITPendingBit(EXTI_Line1); void EXTI4_IRQHandler(void) { rps3++; EXTI_ClearITPendingBit(EXTI_Line4); } void SysTick_Handler(void) { micros++; if ( msTicks != 0 ) msTicks--; }

Page 100: ABDUL AZIS S - Unhas

84 void delay_us(uint32_t dlyTicks) { msTicks = dlyTicks; while( msTicks != 0 ); } void delay_ms(uint32_t dlyTicks) { msTicks = dlyTicks * 1000; while( msTicks != 0 ); } void TIM5_Configuration(void) {TIM_TimeBaseInitTypeDef TIM_TimeBaseStructure; /* Time base configuration */ TIM_TimeBaseStructInit(&TIM_TimeBaseStructure); TIM_TimeBaseStructure.TIM_Prescaler = 4200-1; TIM_TimeBaseStructure.TIM_Period = 20-1; // 1 kHz TIM_TimeBaseStructure.TIM_ClockDivision = TIM_CKD_DIV1; TIM_TimeBaseStructure.TIM_CounterMode = TIM_CounterMode_Up; TIM_TimeBaseInit(TIM5, &TIM_TimeBaseStructure); TIM_ITConfig(TIM5, TIM_IT_Update, ENABLE); TIM_Cmd(TIM5, ENABLE); } void TIM5_IRQHandler(void) { if (TIM_GetITStatus(TIM5, TIM_IT_Update) == SET) { millis++; TIM_ClearITPendingBit(TIM5, TIM_IT_Update); } } void NVIC_Configuration(void) { ///*NVIC for USART1*//// NVIC_InitTypeDef NVIC_InitStructure; //Configure the NVIC Preemption Priority Bits// NVIC_PriorityGroupConfig(NVIC_PriorityGroup_0); // Enable the USART1 global Interrupt // NVIC_InitStructure.NVIC_IRQChannel = USART1_IRQn; NVIC_InitStructure.NVIC_IRQChannelPreemptionPriority = 0x00; NVIC_InitStructure.NVIC_IRQChannelSubPriority = 0x0F; NVIC_InitStructure.NVIC_IRQChannelCmd = ENABLE; NVIC_Init(&NVIC_InitStructure); ///*NVIC for EXTI*//// NVIC_PriorityGroupConfig(NVIC_PriorityGroup_0);

Page 101: ABDUL AZIS S - Unhas

85NVIC_InitStructure.NVIC_IRQChannel = EXTI0_IRQn; NVIC_InitStructure.NVIC_IRQChannelPreemptionPriority = 0x00; NVIC_InitStructure.NVIC_IRQChannelSubPriority = 0x0F; NVIC_InitStructure.NVIC_IRQChannelCmd = ENABLE; NVIC_Init(&NVIC_InitStructure); NVIC_PriorityGroupConfig(NVIC_PriorityGroup_1); NVIC_InitStructure.NVIC_IRQChannel = EXTI1_IRQn; NVIC_InitStructure.NVIC_IRQChannelPreemptionPriority = 0x00; NVIC_InitStructure.NVIC_IRQChannelSubPriority = 0x0F; NVIC_InitStructure.NVIC_IRQChannelCmd = ENABLE; NVIC_Init(&NVIC_InitStructure); NVIC_PriorityGroupConfig(NVIC_PriorityGroup_4); NVIC_InitStructure.NVIC_IRQChannel = EXTI4_IRQn; NVIC_InitStructure.NVIC_IRQChannelPreemptionPriority = 0x00; NVIC_InitStructure.NVIC_IRQChannelSubPriority = 0x0F; NVIC_InitStructure.NVIC_IRQChannelCmd = ENABLE; NVIC_Init(&NVIC_InitStructure); } void USART_putchar(USART_TypeDef* USARTx, uint8_t ch) { USART_SendData(USARTx, ch); while(USART_GetFlagStatus(USARTx, USART_FLAG_TXE) == RESET); } void USART_puts(USART_TypeDef* USARTx, char* ch) { uint8_t i; for ( i = 0; ch[i] != 0; i++ ) { USART_putchar(USARTx, ch[i]); } } uint8_t USART_getchar(USART_TypeDef* USARTx) { //ditambahkan aji 30/6/2015 uint8_t ch; while(USART_GetFlagStatus(USARTx, USART_FLAG_RXNE) == RESET); ch = USART_ReceiveData(USARTx); return ch; } void forward1 (void) { GPIO_ResetBits(GPIOC, GPIO_Pin_2); delay_us(1); GPIO_SetBits(GPIOC, GPIO_Pin_3); } void forward2 (void) {

Page 102: ABDUL AZIS S - Unhas

86 GPIO_ResetBits(GPIOC, GPIO_Pin_0); delay_us(1); GPIO_SetBits(GPIOC, GPIO_Pin_1); } void forward3 (void) { GPIO_ResetBits(GPIOC, GPIO_Pin_10); delay_us(1); GPIO_SetBits(GPIOC, GPIO_Pin_12); } void reverse1 (void) { GPIO_SetBits(GPIOC, GPIO_Pin_2); delay_us(1); GPIO_ResetBits(GPIOC, GPIO_Pin_3); } void reverse2 (void) { GPIO_SetBits(GPIOC, GPIO_Pin_0); delay_us(1); GPIO_ResetBits(GPIOC, GPIO_Pin_1); } void reverse3 (void) { GPIO_SetBits(GPIOC, GPIO_Pin_10); delay_us(1); GPIO_ResetBits(GPIOC, GPIO_Pin_12); } void stop1 (void) { GPIO_ResetBits(GPIOC, GPIO_Pin_2); delay_us(10); GPIO_ResetBits(GPIOC, GPIO_Pin_3); } void stop2 (void) { GPIO_ResetBits(GPIOC, GPIO_Pin_0); delay_us(10); GPIO_ResetBits(GPIOC, GPIO_Pin_1); } void stop3 (void) { GPIO_ResetBits(GPIOC, GPIO_Pin_10); delay_us(10); GPIO_ResetBits(GPIOC, GPIO_Pin_12); } void tulis_data() {

Page 103: ABDUL AZIS S - Unhas

87//sprintf(buff, " j: TM: ENM1: ENM2: ENM3\n\r"); //USART_puts(USART2,buff); for (j = 0; j <50; j++){ //sprintf(buff, " %d %u %u %u %u \n\r", j, TM[j], enc[0][j], enc[1][j], enc[2][j]); sprintf(buff, " %16.7Lf %16.7Lf \n\r", lat_dat[j], lon_dat[j]); //sprintf(buff, " %s %s %s %s %s %s %Lf %Lf \n\r",soort, tijd, latitude, latitude_card, longitude, longitude_card, Lat, Lon); //sprintf(buff, " %s %s %s %s %s %s %Lf %Lf \n\r",soort_dat[j], tijd_dat[j], latitude_dat[j], latitude_card_dat[j], longitude_dat[j], longitude_card_dat[j], lat_dat[j], lon_dat[j]); USART_puts(USART2,buff); } sprintf(buff, " \r"); USART_puts(USART2,buff); rps1=0; rps2=0; rps3=0; imm=0; motor1 = micros; } void PID_control(void){ error[ik] = ((float)spin[ik] - (float)count[ik]); outP = Kp * (error[ik] - errorsblm[ik]); errorsblm[ik] = error[ik]; // perhitungan konstanta Integral (I) outI= Ki*error[ik]*tcc; // perhitungan konstanta Differensial (D) outD= -1. * (Kd*((float)count[ik]-(2.*countsbl[ik])+countsbl2[ik]))/tcc; countsbl2[ik]=countsbl[ik]; countsbl[ik]=(float)count[ik]; //kontrol PID outPID[ik]=outPID[ik]+(outP+outI+outD); if(outPID[ik]<0){outPID[ik]=0;} if(outPID[ik]>800){outPID[ik]=800;} pwm[ik]=outPID[ik]; //pwm[ik]=100; } void par_dos(void){ /* jejer 1 jejer 2 jejer 3 jejer 4 jejer 5 jejer 6*/ dosis[0][0]=0; dosis[0][1]=0; dosis[0][2]=0; dosis[0][3]=0; dosis[0][4]=0; dosis[0][5]=0;

Page 104: ABDUL AZIS S - Unhas

88 dosis[1][0]=150; dosis[1][1]=175; dosis[1][2]=200; dosis[1][3]=175; dosis[1][4]=250; dosis[1][5]=150; dosis[2][0]=175; dosis[2][1]=200; dosis[2][2]=175; dosis[2][3]=250; dosis[2][4]=150; dosis[2][5]=175; dosis[3][0]=180; dosis[3][1]=250; dosis[3][2]=175; dosis[3][3]=230; dosis[3][4]=150; dosis[3][5]=200; dosis[4][0]=180; dosis[4][1]=250; dosis[4][2]=200; dosis[4][3]=200; dosis[4][4]=225; dosis[4][5]=225; dosis[5][0]=200; dosis[5][1]=200; dosis[5][2]=250; dosis[5][3]=250; dosis[5][4]=250; dosis[5][5]=250; dosis[6][0]=240; dosis[6][1]=200; dosis[6][2]=225; dosis[6][3]=225; dosis[6][4]=225; dosis[6][5]=200; dosis[7][0]=250; dosis[7][1]=175; dosis[7][2]=150; dosis[7][3]=175; dosis[7][4]=200; dosis[7][5]=175; dosis[8][0]=200; dosis[8][1]=150; dosis[8][2]=200; dosis[8][3]=150; dosis[8][4]=150; dosis[8][5]=175; dosis[9][0]=225; dosis[9][1]=225; dosis[9][2]=225; dosis[9][3]=175; dosis[9][4]=150; dosis[9][5]=225; dosis[10][0]=0; dosis[10][1]=0; dosis[10][2]=0; dosis[10][3]=0; dosis[10][4]=0; dosis[10][5]=0; //npk a_dos[0]=7.667; a_dos[1]=7.674; a_dos[2]=6.422; b_dos[0]=-77.81; b_dos[1]=-37.19; b_dos[2]=101.14; } void token_gps() { strcpy(GPS_data,NMEA_data); soort = strtok(GPS_data, ","); //soort_dat[imm]=soort; tijd = strtok(NULL, ","); //tijd_dat[imm]=tijd; latitude = strtok(NULL, ","); //latitude_dat[imm]=latitude; latitude_card = strtok(NULL, ","); //latitude_card_dat[imm]=latitude_card; longitude = strtok(NULL, ","); //longitude_dat[imm]=longitude; longitude_card = strtok(NULL, ","); //longitude_card_dat[imm]=longitude_card; quality = strtok(NULL, ","); //quality_dat[imm]=quality;

Page 105: ABDUL AZIS S - Unhas

89latitude0=atof(latitude); Lat=atof(latitude); Lon=atof(longitude); //lat_dat[imm]=Lat; //lon_dat[imm]=Lon; //imm++; } void tombol_trigger() { Lat0=Lat; Lon0=Lon; latdeg = latitude0 / 100.; latmin = (latitude0 - latdeg * 100.); latitude0 = -(latdeg + (latmin / 60.)); Kx=(a_*cos(latitude0*pi/180.))/sqrt(1-(e_2*pow(sin(latitude0*pi/180.),2))); Ky=(a_*(1-e_2))/pow(1-e_2*pow(cos(latitude0*pi/180.),2),1.5); } void hitung_trigger() { dx=fabs(Kx*(Lon-Lon0)*pi/180./60.); dy=fabs(Ky*(Lat-(Lat0))*pi/180./60.); x= fabs(dx*cos(slope)-dy*sin(slope)); y= fabs(dx*sin(slope)+dy*cos(slope)); trigger=(int)(y/3);//(int)y_dir/5;// trigger2=(int)(x/3); } int main() { //pengaturan clock SystemCoreClockHISPLL(); SystemCoreClockUpdate(); if(SysTick_Config(SystemCoreClock/1000)){ while(1); } //while(SysTick_Config(SystemCoreClock / 1000000) != 0) __NOP(); RCC_Configuration(); IO_Configuration(); EXTI_Configuration(); TIM2_Configuration(); USART2_Configuration(19200); USART1_Configuration(19200); //TIM5_Configuration(); NVIC_Configuration();

Page 106: ABDUL AZIS S - Unhas

90 USART_puts(USART2, "Hello\n\r"); setpoint =200; Pp=20164;//20164 Ii=6762; Dd=1440; tc=200; alpa=5; reverse1(); reverse2(); reverse3(); Kp=(float)Pp/100000; Ki=(float)Ii/10000; Kd=(float)Dd/100000; tcc=(float)tc/1000; alpa=(float)alp/10; rps[i]=0; par_dos(); for(i=0;i<80;i++) { NMEA_data[i]='0'; } //i=0; i_GPS=0; i_while=0; //serial=micros; //while(1){ for(;;) { pwm[0]= 0; pwm[1]=0; pwm[2]=0, imm=0; if (USART_GetFlagStatus(USART1, USART_FLAG_RXNE) == SET){ if ( (micros - motor1) >= tc) { i=0; NMEA_data[0] = USART_getchar(USART1); NMEA_data[0] = USART_getchar(USART1); while(NMEA_data[0]=='$'||NMEA_data[0]=='G'){ i++; NMEA_data[i] = USART_getchar(USART1); if(NMEA_data[i]=='*'){ token_gps(); if(GPIO_ReadInputDataBit(GPIOC, GPIO_Pin_8) == 0){ tombol_trigger(); }

Page 107: ABDUL AZIS S - Unhas

91 hitung_trigger(); if(trigger<blok){ //spin=((dosis[trigger][trigger2]*ados)+(bdos)); for(motor=0;motor<3;motor++){ spin[motor]=((dosis[trigger][trigger2]*a_dos[motor])+(b_dos[motor])); if(spin[motor]<=0)spin[motor]=0; } } for (ik=0; ik<3; ik++){ if(ik==0)count[ik] = rps1*1000./(float)tc; if(ik==1)count[ik] = rps2*1000./(float)tc; if(ik==2)count[ik] = rps3*1000./(float)tc; enc[ik][imm]= (int)count[ik]; TM[imm]=micros; PID_control(); } for (ik=0; ik<3; ik++){ if(ik==0)TIM_SetCompare2(TIM2, pwm[ik]); if(ik==1)TIM_SetCompare1(TIM2, pwm[ik]); if(ik==2)TIM_SetCompare3(TIM2, pwm[ik]); } rps1=0; rps2=0; rps3=0; imm++; //motor1 = micros; goto cetak; } } motor1 = micros; } cetak: //motor1 = micros; sprintf(buff, " %Lf %Lf %Lf %Lf %u %u %u %u %u %u %u %u\n\r", Lat, Lon, x, y,trigger, trigger2, spin[0], spin[1], spin[2], count[0], count[1], count[2]); USART_puts(USART2,buff); } } }

Page 108: ABDUL AZIS S - Unhas

92 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pangkep, Sulawesi Selatan pada tanggal 09 Desember 1982 sebagai anak keempat dari pasangan Samaila dan Yasseng. Pendidikan sarjana ditempuh di program studi Teknik Mesin Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, lulus pada tahun 2006. Pada tahun 2008, penulis melanjutkan pendidikan pada program master Teknik Mesin Pertanian dan Pangan Institut Pertanian Bogor dan tamat 2011. Pada tahun 2012 penulis melanjutkan pendidikan program Doktor dengan program Beasiswa Unggulan (BU) calon dosen dikti di Sekolah Pascasarjana IPB Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian. Penulis bekerja sebagai dosen PNS di Program Studi Keteknikan Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin sejak tahun 2012 sampai sekarang. Hasil penelitian penulis telah disusun dan diterima pada jurnal nasional terakreditasi dikti yaitu Jurnal Keteknikan Pertanian dengan status telah lulus penilaian dan diterima untuk diterbitkan pada Jurnal Keteknikan Pertanian Edisi Vol. 6 No. 1 April 2018 dan juga Telah dipublikasikan dalam International Jurnal of Scientific and Engineering Reasearch (IJSER) Volume 8, Issue 7, hlm 94-98. July 2017.