AA Gym tentang keterampilan Bahasa Indonesia pdf
Click here to load reader
-
Upload
satrio-arismunandar -
Category
Education
-
view
246 -
download
9
description
Transcript of AA Gym tentang keterampilan Bahasa Indonesia pdf
Pandangan Tokoh tentang Bahasa Indonesia
KH Abdullah Gymnastiar:
Berbahasa yang Baik, Dimulai dari Diri
Sendiri
Ditulis oleh Satrio Arismunandar, untuk buku Jagat Bahasa Nasional: Pandangan Tokoh tentang Bahasa Indonesia, Cetakan Pertama, Oktober 2003. Tim penyusun: Pusat Bahasa Depdiknas dan Koperasi Jurnalis Independen - Koji.
Siapa yang tidak kenal KH Abdullah Gymnastiar? Bagi masyarakat Indonesia, da’i
kondang, yang akrab dengan nama panggilan Aa Gym, ini sudah jadi tokoh masyarakat dan
termasuk selebritis paling populer. Apalagi pada bulan puasa. Ceramah-ceramah agamanya yang
disampaikan secara sejuk, teduh, kocak dan mengalir, selalu ditunggu pemirsa di layar televisi.
Maka, mempertanyakan tentang keterampilan berbahasa Indonesia pada Aa Gym, akan
terasa berlebihan. Bagaimana mungkin Aa Gym mampu memikat ribuan jamaah masjid, bahkan
jutaan pemirsa televisi di berbagai daerah, untuk tekun mendengarkan ceramah-ceramahnya, jika
ia tak fasih berolah kata dalam bahasa Indonesia? Tidak semua orang dianugerahi bakat semacam
itu. Yang bisa menandingi Aa Gym, dalam mempesona para pendengarnya, mungkin hanyalah
tokoh seperti Buya Hamka, Zainuddin MZ atau Bung Karno.
Untuk bisa meminta komentar Aa Gym tentang makna bahasa Indonesia dalam
kehidupannya, juga tak mudah. Maklum, da’i kelahiran Bandung, 29 Januari 1962 ini sudah jadi
tokoh super sibuk. Ketika wawancara dilakukan, ia baru saja menyelesaikan syuting sejumlah
ceramah Ramadhan di studio RCTI, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Sehari sebelumnya, ia baru
pulang dari Inggris, setelah menyampaikan ceramah pada masyarakat Muslim Indonesia di negeri
Eropa tersebut. Karena Aa Gym masih harus memberi siraman rohani di sebuah departemen,
wawancara pun dilakukan di dalam mobilnya, dalam perjalanan dari studio RCTI ke kantor
departemen tersebut.
Omong-omong soal bahasa, nama Aa Gym sendiri punya riwayat unik. Lahir sebagai anak
pertama dari empat bersaudara, ayahnya memberi nama Yan Gymnastiar. Yan diambil dari
Januari, sebagai bulan kelahiran. Nama belakang Gymnastiar, diambil dari kata gymnastic
(senam), karena ayahnya kala itu sangat menyenangi olahraga ini. “Saya senang sekali dengan
nama ini, karena antik dan tak ada yang menyerupai, meskipun lalu banyak yang salah dan sukar
menyebutkannya,” tutur Aa Gym.
Kemudian suami dari Ninih Muthmainnah, dan ayah dari tujuh anak, ini mendapat
tambahan nama Abdullah dari Imam Masjidil Haram, ketika menunaikan ibadah haji ke tanah suci
tahun 1987. Ia bertambah senang, karena nama itu dianggapnya lebih Islami. Namun, orang lebih
banyak memanggilnya dengan Aa Gym. “Aa dalam bahasa Sunda berarti kakak. Panggilan ini
terasa lebih ringan dan akrab bagi saya,” lanjutnya.
Aa Gym sengaja tidak membubuhkan nama Gymnastiar pada nama anak-anaknya, karena
tak mau anak-anaknya terbebani, atau sebaliknya, mereka berlindung di balik nama orangtuanya.
Mereka diharapkan maju dan sukses dalam hidup dengan kemampuan dan perjuangannya sendiri.
Ia memberi nama anak-anaknya dengan nama “Islami”, dan selalu diawali dengan huruf “G.”
Berturut-turut dari yang tertua: Ghaida Tsuraya, Ghazi Al Ghifari, Ghina Rhoudotul Jannah,
Ghaitsa Zahira Shofa, Ghefira Nur Fatimah, Ghaza Al Ghazali, dan Gheriya Rahima.
Uniknya, karena popularitas Aa Gym, dikabarkan kini justru banyak orangtua lain yang
menamai bayinya dengan nama Gymnastiar. “Semoga sang bayi kelak menjadi orang yang lebih
baik dan lebih mulia daripada Gymnastiar yang satu ini,” ujar Aa Gym, merendah.
Sejak kecil, jago pidato
Dalam kehidupan berbahasa, tentu latar belakang keluarga dan etnis sangat mempengaruhi.
Yetty Rohayati, ibu Aa Gym, lahir tahun 1946 dan asli Sunda. Ayah Aa Gym, Engkus Kuswara,
pertama kali bertemu dengan Yetty ketika menumpang indekos di rumah nenek Yetty. Waktu itu,
Engkus Kuswara sedang merintis pendidikan guru olahraga, sebelum kemudian ia masuk tentara,
ketika Aa Gym masih berusia empat tahun.
Aa Gym, meski berasal dari etnis Sunda dan dibesarkan di lingkungan Jawa Barat yang
sangat kuat bernuansa etnis tersebut, dalam kehidupan sehari-hari menggunakan bahasa Indonesia.
Mengapa memakai bahasa Indonesia? “Ya, karena ingin anak-anak bisa berbahasa Indonesia
dengan baik dan benar, sebagai bahasa komunikasi yang bisa dipahami dengan tepat,” sahutnya.
Semasa kecil, di rumah Aa Gym memang lebih banyak menggunakan bahasa Sunda. Ia
pertama kali mengenal bahasa Indonesia ketika sekolah di SD Damar, sebuah sekolah swasta yang
kini sudah dibubarkan. Menjelang naik ke kelas III, ia pindah ke SD Sukarasa 3. Bahasa Indonesia
kemudian menjadi bahasa sehari-hari di rumah, selain bahasa Sunda. Di tingkat SD ini pula, bakat
seninya mulai terolah, seperti menggambar dan menyanyi. Sejak itu pula, ia sering ditunjuk
menjadi ketua kelas dan aktif dalam gerakan Pramuka.
Dalam bergaul dengan teman-temannya, Aa Gym waktu itu menggunakan bahasa secara
proporsional. Ada teman yang lebih akrab dengan bahasa Indonesia, dan ada pula yang akrab
dengan bahasa Sunda. Saat pertama kali mengenal bahasa Indonesia, Aa Gym juga tidak
merasakan adanya kesulitan, meski tentu ada beberapa hal yang harus lebih sungguh-sungguh dan
serius mempelajarinya.
Bakat pidato Aa Gym sudah terlihat sejak sekolah di SD. Dalam pelajaran Bahasa
Indonesia, misalnya, yang paling disukainya adalah jika ia disuruh mengarang atau berpidato.
“Jadi, sebetulnya saya suka, bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan lengkap, karena bisa
mengekspresikan buah pikiran maupun perasaan,” jelasnya.
Selepas SD, Aa Gym memilih masuk ke SMP Negeri 12 Bandung. Di sini aktivitas dan
prestasinya terus berkembang, sehingga ketika tamat ia memperoleh predikat siswa terbaik. Hal ini
diakui Uti Utiamah, gurunya di SMP 12. “Aa Gym pintar dalam pelajaran bahasa, aljabar, dan
ilmu ukur. Begitu juga dalam bidang olahraga,” kata Uti.
Namun, selain memiliki keterampilan berbahasa, Aa Gym juga berbakat bisnis. Atau
mungkin, keterampilan berbahasa itulah yang menunjang Aa Gym dalam berbisnis. Maklum,
untuk menawarkan barang dagangan, ia harus fasih membujuk calon pembeli. Sejak kecil, Aa
Gym sudah suka berdagang kecil-kecilan. Ketika masih TK, ia sudah menjual jambu tetangga. Ia
pernah ditegur, karena berjualan petasan di SD. Ketika lulus dari SMP 12, juga dengan predikat
siswa terbaik, ia masuk ke SMA 5, yang dianggap salah satu SMA favorit di Bandung.
Sayangnya, sesudah lulus SMA, ia gagal ikut Sipenmaru. Ia mendaftar ke Pendidikan Ahli
Administrasi Perusahaan (PPAP) Universitas Padjadjaran, sebuah program D3 di Fakultas
Ekonomi, dan diterima. Kuliah di sini hanya bertahan satu tahun, karena Aa Gym ternyata lebih
sibuk berbisnis daripada kuliah. Selepas PAAP, ia masuk ke Akademi Tekhnik Jenderal Ahmad
Yani atau ATA (sekarang menjadi Universitas Jenderal Achmad Yani, Unjani).
Selama kuliah di ATA, Aa Gym terus mengasah bakatnya. Ia mengikuti lomba
menggambar, mencipta lagu, baca puisi, sampai lomba pidato. Ia menyelesaikan program sarjana
muda di akademi tersebut, walaupun belum mengikuti ujian negara. Artinya, ia tak berhak
menyandang gelar apapun. Bahkan, sampai saat ini pun ijazahnya belum pernah ia ambil dari
kampus.
Aa Gym pernah mencoba melanjutkan kuliah ke jenjang S1. Tetapi, setelah menelusuri
hati, ternyata niat kuliah itu hanya sekadar untuk mencari status, dan hal itu tak cukup kuat untuk
memotivasi menyelesaikan kuliah. “Ah, semoga Allah mengampuni dan tak ditiru siapapun,”
tuturnya, tentang kegagalan menyelesaikan kuliah ini.
Aa Gym menikahi Ninih Mutmainnah secara sederhana di Pesantren Kalangsari, Cijulang,
tahun 1987. Sebagai pengantin baru, ia tinggal di rumah orangtua di Komplek Perumahan
Angkatan Darat Gegerkalong, Bandung. Untuk menafkahi keluarganya, ia tiap pagi berjualan buku
di Masjid Al-Furqon, IKIP Bandung. Sambil belajar tafsir dan ilmu hadits di sana, Aa Gym
memikul kardus berisi buku-buku agama untuk dijual. “Jadi, sambil menuntut ilmu juga mencari
rezeki,” ujarnya, mengenang masa-masa itu.
Hubungan Aa Gym dengan penggunaan Bahasa Indonesia tampaknya selalu terkait dengan
jerih payahnya dalam mencari nafkah, sekaligus menuntut ilmu. Usahanya yang tekun dan serius
tersebut terbukti membuahkan hasil. Usaha kecil menjual buku, yang dilakukannya waktu itu,
menjadi cikal bakal berdirinya sebuah toko buku. Sekarang, toko buku itu bahkan telah
berkembang menjadi pasar swalayan, yang pengelolaannya kemudian diserahkan kepada Koperasi
Pondok Pesantren Daarut Tauhiid.
Bahasa mempengaruhi kepribadian
Meski tidak menyelesaikan pendidikan formal, Aa Gym sangat menghargai pelajaran yang
pernah diterimanya, khususnya yang terkait dengan Bahasa Indonesia, sebelum ia masuk
perguruan tinggi. Menurut Aa Gym, pelajaran mengarang yang dijadikan satu dengan pelajaran
Bahasa Indonesia itu sangat menguntungkan. Karena, selain seseorang harus punya kebiasaan
berbicara dengan baik, ia juga dituntut harus bisa menulis dengan baik. Pada gilirannya, boleh jadi
orang yang biasa menulis dengan baik, cara bertuturnya pun akan terbantu menjadi lebih baik.
Namun, dalam soal bertutur ini, di kalangan remaja saat ini dikenal gaya bertutur yang
disebut “bahasa Indonesia gaul” atau bahasa prokem. Dalam menyikapi baik-tidaknya “bahasa
gaul” ini, Aa Gym menekankan pada kualitas atau makna kata-katanya. Jika kualitas kata-katanya
tidak menunjukkan kesantunan, adab, dan kesopanan, itu dianggapnya kurang baik.
“Kita membutuhkan kata-kata yang memiliki kualitas etika, sehingga bahasanya nanti akan
mempengaruhi kepribadian seseorang. Maka, bahasa gaul yang buruk, saya kira tidak baik. Saya
tidak tahu, kalau ada bahasa gaul yang kenal etika. Kalau ada, mudah-mudahan menambah kosa
kata,” lanjutnya.
Ketika ditanya tentang cara bertutur dalam ceramah-ceramahnya, yang kadang-kadang
tercampur dengan istilah-istilah bahasa Sunda, Aa Gym mengakui hal itu sebagai kelemahannya
dalam mencoba mengekspresikan sesuatu dalam bahasa Indonesia. Ia merasa, pengetahuan
ataupun kelengkapan kosa kata bahasa Indonesianya belum memadai, sehingga ekspresi dalam
bahasa Sunda terkadang terasa lebih pas baginya.
Namun, kekurangan kecil itu mungkin tidak terlalu penting, karena Aa Gym terbukti
mampu menggunakan Bahasa Indonesia secara efektif, sehingga bisa diterima semua kalangan
masyarakat. Hal ini diungkapkan KH DR. Miftah Faridl, seorang ulama terkemuka. “Sikap Aa
dalam bentuk ucapan maupun dalam kebijakan-kebijakannya, mampu merangkul semua umat,
lintas ormas, lintas partai, dan lintas paham politik. Bahkan, Aa juga mampu mendekati dan
dipercaya oleh orang-orang yang agak sulit disentuh oleh yang lain,” puji Miftah Faridl.
Hal serupa dinyatakan oleh DR. Tariq Ramadhan, cucu tokoh pejuang Islam asal Mesir,
Hasan al Banna. Tariq menyebut, kemampuan berbicara dan pemahaman tentang cara
berhubungan dengan orang lain, adalah titik kekuatan Aa Gym dalam berdakwah.
Sebagai orang yang sering diberitakan atau dikutip ucapannya di media massa, Aa Gym
juga memperhatikan penggunaan bahasa di media massa cetak ataupun elektronik tersebut. Aa
Gym tidak mau main pukul rata dalam menilai bahasa yang digunakan berbagai media itu. “Ada
yang bagus, bersih. Ada yang kurang bagus. Dan ada juga yang jelek. Tetapi pada umumnya, kita
harus memotivasi media, untuk selalu menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar,
karena ini menjadi media pendidikan bagi masyarakat pembacanya!” tegas Aa Gym.
Sebagai da’i yang biasa berbicara santun, Aa Gym juga menyatakan, ia tidak berani
menilai penggunaan bahasa Indonesia oleh para pejabat. Ia hanya berharap, siapapun orang yang
berbicara di depan publik, sebaiknya meningkatkan kemampuan berbahasa Indonesia dengan baik,
karena ini akan menjadi contoh bagi masyarakat. Sehingga, jika para figur publik tersebut betul-
betul menyadari pentingnya keteladanan dalam berbahasa, hal ini mudah-mudahan akan
membantu masyarakat untuk memiliki kualitas berbahasa yang baik. “Ini akan membuat
komunikasi kita semakin bermutu, dan diharapkan manusianya pun kian bermutu,” ujarnya.
Bahasa perekat persatuan
Dengan segala kelebihan dan kelemahannya, Aa Gym percaya, Bahasa Indonesia masih
bisa berperan sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa, seperti pada zaman Sumpah Pemuda
dulu. Isu Bahasa Indonesia sebagai perekat ini terasa penting, di tengah ancaman disintegrasi
bangsa yang marak akhir-akhir ini. “Saya kira bisa, kalau para tokoh-tokohnya menyadari untuk
menjadi suri tauladan dan menyadarkan kemanfaatan dari Bahasa Indonesia ini. Walaupun, tidak
harus menafikan keberadaan bahasa-bahasa daerah,” tutur Aa Gym.
Tentang penggunaan bahasa Indonesia bagi orang asing yang tinggal atau bekerja di
Indonesia, Aa Gym tidak terlalu menekankannya. Bagi Aa Gym, yang terpenting mereka
menyadari, jika mereka bisa berbahasa Indonesia dengan baik, maka banyak pesan yang dapat
disampaikan dengan tepat, dan meminimalisir potensi masalah. Karena, kekurangmampuan
berbahasa yang baik, menyebabkan kualitas komunikasi tidak begitu baik, dan ini adalah potensi
masalah.
Di sejumlah kalangan, ada gagasan untuk menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa
pergaulan regional di ASEAN (Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara), atau malah menjadi
bahasa internasional, karena jumlah pengguna Bahasa Indonesia yang cukup banyak. Ketika
ditanya tentang kemungkinan itu, Aa Gym mengaku, ia kurang mengetahui prospek tersebut.
“Kita belum punya prestasi, yang membuat orang merasakan manfaat dari Bahasa
Indonesia. Orang akan komit (commit, Red) kalau kredibel. Sekarang bangsa kita susah.
Kredibilitasnya sedang turun. Bagaimana orang (lain) akan menggunakannya, sedangkan kita saja
belum menggunakannya dengan baik,” sambungnya.
Dalam pengembangan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, tampaknya Aa Gym selalu
menekankan pentingnya contoh dan suri tauladan. Bagaimana bisa menganjurkan masyarakat
untuk berbahasa Indonesia dengan baik, jika yang menganjurkan itu sendiri belum berbahasa
Indonesia dengan baik?
Pendidikan yang baik, menurut Aa Gym, dimulai dengan mendidik diri sendiri. Ia selalu
memulai segala sesuatu dengan konsep yang disebutnya 3M. Yaitu: Mulailah dari diri sendiri;
mulailah dari hal yang kecil; dan mulailah dari saat ini. Konsep 3M ini selalu ia gunakan dalam
berdakwah.
“Bagaimanapun juga, kita tidak bisa mengubah orang lain tanpa diawali dengan mengubah
diri sendiri. Jangan menyuruh orang lain, sebelum menyuruh diri sendiri. Dan jangan melarang
orang, sebelum melarang diri. Jikalau kita awali dari diri sendiri, setiap perkataan Insya Allah akan
menjadi kekuatan yang menggugah dan mengubah,” katanya. ***
Jakarta, Oktober 2003
Biodata Penulis:
* Satrio Arismunandar adalah anggota-pendiri Aliansi Jurnalis Independen atau AJI (1994), Sekjen AJI (1995-97),
anggota-pendiri Yayasan Jurnalis Independen (2000), dan menjadi DPP Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI)
1993-95. Pernah menjadi jurnalis Harian Pelita (1986-88), Kompas (1988-1995), Majalah D&R (1997-2000), Harian
Media Indonesia (2000-Maret 2001), Produser Eksekutif Divisi News Trans TV (Februari 2002-Juli 2012), dan
Redaktur Senior Majalah Aktual – www.aktual.co (sejak Juli 2013). Alumnus Program S2 Pengkajian Ketahanan
Nasional UI ini sempat jadi pengurus pusat AIPI (Asosiasi Ilmu Politik Indonesia) 2002-2011.
Kontak Satrio Arismunandar:
E-mail: [email protected]; [email protected]
Blog pribadi: http://satrioarismunandar6.blogspot.com
Mobile: 081286299061