A

12
A. Latar Belakang Budaya Masyarakat Yunani Kuno Retorika mengalami masa jayanya ketika zaman keemasan Yunani. Keemasan bangsa Yunani tidak lepas dari sifat geografis daerah dan jiwa petualang warganya. Keadaan geografis negri Yunani yang terletak di semenanjung Balkan ini tidak terlalu subur. Luas wilayahnya yang sempit lagi dilewati bukit barisan tidak terlalu memberikan hasil bagi penduduknya. Akhirnya memaksa orang Yunani merantau ke tanah asing dan mendirikan negara baru. Wilayah yang dimasuki adalah pulau-pulai di Laut Egia dan mendiami dataran di pantai Asia Kecil. Berangsur-angsur di tanah rantau orang-orang Yunani mengalami kemakmuran ekonomi. mereka hudup makmur dari perniagaan dan pelayaran. Sehingga mereka mengurus budak untuk mengurusi pekerjaan sehari-hari. Praktis waktu sehari-hari banyak terluang. Waktu yang luang dipergunakannya untuk memperkuat kemuliaan hidup dengan seni dan buah pikiran. Inilah awal kebangkita kebudayaan Yunani Kuno. Mereka mulai mencintai ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan ini ditujukan untuk mencari kebenaran. Maka muncul filsafat. Oleh para filsuf sekarang disebut filsafat alam. Tujuan filosofi mereka ialah memikirkan soal alam dan kondisi masyarakatnya, dari mana terjadinya alam, itulah yang menjadu kajian bagi mereka. Budaya berfikir orang Yunani secara sosiologis didukung oleh sifat kemasyarakatannya. Orang-orang Yunani Kuno hidup berkelompok dalam suatu sistem kemasyarakatan yang teratur. Mereka hidup dalam “Polis” yaitu Negara kota. Ada juga yang menyebutkan polis sebagai lembaga politik yang meliputi kekuasaan secara otonomi, swasembada, dan kemerdekaan. Ketiga hal ini juga mendorong orang untuk berfikir secara bebas yang pada akhirnya membantu timbulnya filsafat. Di dalam menyampaikan pendapat atas proses berfikir atau pengalaman sehari-hari dibutuhkan kemampuan berbahasa secara baik. Apalagi banyak permasalahan yang terjadi dalam

Transcript of A

Page 1: A

A.    Latar Belakang Budaya Masyarakat Yunani KunoRetorika mengalami masa jayanya ketika zaman keemasan Yunani. Keemasan bangsa

Yunani tidak lepas dari sifat geografis daerah dan jiwa petualang warganya. Keadaan geografis negri Yunani yang terletak di semenanjung Balkan ini tidak terlalu subur. Luas wilayahnya yang sempit lagi dilewati bukit barisan tidak terlalu memberikan hasil bagi penduduknya. Akhirnya memaksa orang Yunani merantau ke tanah asing dan mendirikan negara baru. Wilayah yang dimasuki adalah pulau-pulai di Laut Egia dan mendiami dataran di pantai Asia Kecil.

Berangsur-angsur di tanah rantau orang-orang Yunani mengalami kemakmuran ekonomi. mereka hudup makmur dari perniagaan dan pelayaran. Sehingga mereka mengurus budak untuk mengurusi pekerjaan sehari-hari. Praktis waktu sehari-hari banyak terluang. Waktu yang luang dipergunakannya untuk memperkuat kemuliaan hidup dengan seni dan buah pikiran.

Inilah awal kebangkita kebudayaan Yunani Kuno. Mereka mulai mencintai ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan ini ditujukan untuk mencari kebenaran. Maka muncul filsafat. Oleh para filsuf sekarang disebut filsafat alam. Tujuan filosofi mereka ialah memikirkan soal alam dan kondisi masyarakatnya, dari mana terjadinya alam, itulah yang menjadu kajian bagi mereka.

Budaya berfikir orang Yunani secara sosiologis didukung oleh sifat kemasyarakatannya. Orang-orang Yunani Kuno hidup berkelompok dalam suatu sistem kemasyarakatan yang teratur. Mereka hidup dalam “Polis” yaitu Negara kota. Ada juga yang menyebutkan polis sebagai lembaga politik yang meliputi kekuasaan secara otonomi,  swasembada, dan kemerdekaan. Ketiga hal ini juga mendorong orang untuk berfikir secara bebas yang pada akhirnya membantu timbulnya filsafat. 

Di dalam menyampaikan pendapat atas proses berfikir atau pengalaman sehari-hari dibutuhkan kemampuan berbahasa secara baik. Apalagi banyak permasalahan yang terjadi dalam bermasyarakat seperti apa seharusnya tujuan dari negara; bagaimana seharusnya sifat sistem pemerintah yang terbaik untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut bagaimana seorang pemimpin harus bertindak untuk keselamatan Negara dan warganya. Konsep-konsep seperti ini adalah konsep politik. Maka kemampuan mengungkapkan konsep pilitik ini secara maksimal dengan bahasa yang sebaik-baiknya menjadi idaman setiap orang yang ingin merebut kekuasaan dan masuk dalam jajaran elit politik.

Seorang ahli bangsa Yunani mengatakan bahwa bahasa amat cocok untuk mengungkapkan apa yang terkadung dalam benak seseorang. Biasanya hal-hal tersebut bersifat abstrak. Bahasa memungkinkan hal ini diungkapkan secara jernih dan jelas. Apalagi konsep-konsep bermasyarakat dan dan berpolitik adalah konsep yang abstrak.

Page 2: A

Aristoteles melihat adanya hubungan yang kuat antara bahasa dan politik. Atas dasar ini ia menciptakan suatu logika sistematis, dimana ia membuat peraturan-peraturan yang membantu untuk membuat argumen-argumen untuk memenangkan sebuah yang abstrak.

Keterampilan menggunakan bahasa ini juga mendapat perhatian dari para penguasa pada waktu itu. Mereka bukan saja sekedar untuk merebut kekuasaan tetapi bagaimana melebarkan pengaruhnya. Maka para penguasa menyewa orang untuk menjadi semacam, aqitator. Para peramal ini berusaha mempengaruhi pendapat umum dengan menggunakan alasan-alasan keagamaan dalam pernyataan umumnya. Dalam perkembangan selanjutnya para peramal ini juga mempelajari seni berbicara demi bayaran yang ia terima. Oleh sebagian orang mereka itu disebut kaum “sophist” berarti orang yang menipu orang lain dengan mempergunakan argument-argumen yang tidak sah para sopis ini berkeliling dari satu tempat ke tempat lain sambil berbicara di depan publik.

Tentu saja ada sebagian warga polis yang tidak bisa menerima begitu saja apa yang dikatakan oleh para sophis ini. Mereka kritis dan selalu mencerna apa yang ia dengar. Hasilnya didiskusikan dengan orang lain dan tidak jarang pula mendapt tanggapan. Maka berdirilah pusat-pusat pertemuan untuk diskusi. Dalam kehidupan sehari-hari, tempat-tempat pertemuan ini dinamakan Agora. Agora adalah tempat pertemuan di mana segala peristiwa yang menyangkut perhatian dan kepentingan umum dibicarakan dan tidak ada pendapat menemui kritiknya.

Zaman keemasan Yunani tidak lepas dari peranan pemimpinnya yang bernama Perikles. Perikles seorang yang cakap dengan cita-cita yang besar. Ia ahli berpidato sehingga berhasil mengambil simpati rakyatnya. Prikles sangat memperhatikan kemakmuran dan kesenia negaranya. Pada masa pemerintahannya dibangun stadion tempat apresiasi seni di lereng bukit Akropolis. Pada masa inilah “polis” Athena menjadi terbesar di seluruh Yunani. Banyak pujangga dan cendikiawan dari seluruh tanah Yunani datang ke Athena. Tidak ketinggalan pula para kaum “Sophist”.

Ada baiknya kita melihat lebih lanjut peranan kaum sophist ini bagi kemajuan ilmu pengetahuan di Yunani dan bagi perkembangan retorika.  Sophist berasal dari kata Sophos yang artinya cerdik pandai. Mereka disebut cerdik pandai karena mereka ahli dalam ilmu bahasa, pilsafat, politik dan berbagai ilmu. Lambat laun kata itu berbuah artinya. Sophist menjadi sebutan atau ejekan bagi orang yang pandai bersilat lidah dan memainkan kata-kata dalam berbicara.

Page 3: A

Kaum sophist ini mengajak orang memandang dunia yang didiaminya. Mereka mengajak orang untuk melihat realita yang ada, mencari kejelasan dari sesuatu yang telah ada. Singkatnya mereka mengjak orang untuk lebih memandang ilmu pengetahuan dan menggelutinya.

Awal yang baik ini rupanya tidak terus berlangsung lama. Tiap guru sophist boleh saja memandang curiga terhadap pendapat orang lain. Untuk itu juga mereka bersedia dibayar demi membela pendapat orang lain. Lambat laun nilai kebenaran menjadi subjektif. Tiap orang boleh saja merasa yakin pendapatnya benar asal saja bisa mempertahankannya.

Dalam keadaan seperti ini para guru sophist terjebak untuk sekedar mendapatkan uang semata. Mereka tidak merasa risih menjual ilmunya, suatu hal yang tidak lazim pada masa itu. Bukan ilmu dalam arti yang sebenarnya yang dijualnya, melainkan hanya sekedar melatih orang pandai berpidato tanpa dibekali ilmu-ilmu lain.

Retorika menjadi awal dan akhir ajaran para sophist. Retorika menjadi alat pembela kebenaran yang dinytakan. Dalam kebenaran dalam arti sesungguhnya dicapai tetapi kebenarannya dalam arti individu. Bila berhasil menundukan orang lain pada kebenarannya maka kebenaran sudah tercapai.

Kondisi warga yang kritis terhadap persoalan masyarakat juga memaksa orang yang belajar retorika pertama-tama dari para sophist setelah dari tokoh-tokoh sejati seperti Aristoteles dan sebagainya. Siapa saja yang ingin memperbincangkan masalah umum dan politik perlu pandai berbicara dan pandai berpidato.

Tidak semua orang lahir dengan bakat menjadi seorang orator yang cakap. Ada yang sengaja mempelajari retorika karena memang tidak trampil dan ingin mendapat kekuasaan. Mereka inilah yang berguru pada para sophist. Para sophist bersedia melatih mereka menjadi seorang orator yang ahli, dengan mempelajari retorika semata.

Tentu saja hal ini menarik minat hamper semua warga Athena. Siapa saja tidak mau mencapai cita-citanya hanya dengan pandai berpidato? Menjadi ahli pidato lebih menawan dari pada mendalami ilmu-ilmu pengetahuan. Kebenaran tergeser oleg buaian kata-kata yang menjadi senjata utama untuk mencapai pengakuan orang.

Akhirnya menjadi rahasiah umum bahwa orang yang benar ialah orang yang pendapatnya dibenarkan orang banyak. Mempengaruhi orang banyak dengan pidato yang tangkas menjadi tujuan. Bukan kebenaran isi pidato yang diutamakan, tetapi alunan suara dan pilihan kata sang pembicara. Akhirnya setiap orang merasa bisa saja pendapatnya benar. Mulailah timbul semangat individualism. Keadaan ini mendorong menjadi negar anarki. Demokrasi yang didengungkan Perikles lambat laun luntur. Keadaan ini membuat para filsuf sungguhan merasa

Page 4: A

prihatin. Maka munculah pemikiran lain tentang retorika yang benar. Salah satunya adalah seperti yang diusulkan oleh Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Rhetorica.

Munculnya kaun sophist ini sebenarnya merupakan tuntutan zaman pada saat itu. Paling tidak ada tiga hal yang melatarbelakangi, yaitu:1.      Dengan berkembangnya polis di Yunani, maka para sophist tidak membatasi diri di polis Athena saja tetapi berkeliling dari kota yang satu ke kota yang lain.2.      Kebutuhan akan pendidikan yang dirasakan di seluruh Yunani pada waktu itu. Karena sukses tidaknya dalam bidang politik amat tergantung pada kemahiran berbahasa yang diperlukan dalam sidangumum dewan harian atau siding pengadilan.3.      Karena bangsa Yunani mempunyai pergaulan yang sangat luas dengan bangsa-bangsa lain, kemudian mereka sadar bahwa kebudayaan Yunani sangat berbeda dengan kebudayaan-kebudayaan lain.

Dalam pada itu ada juga penyebar agama atau aliran filsafat yang berusaha mempengaruhi orang lain agar menerima agama baru atau aliran filsafat yang baru. Akibatnya pada zaman keemasan budaya Yunani kuno banyak  sekali terdapat kebenaran asal saja ia bisa mempertahankan pendapatnya dengan baik. Cara yang dipakai adalah retorika.

B.     Metode Retorika AristotelesMenurut sejarah perkembangannya, retorika mula-mula tumbuh dan berkembang di

Yunani pada tahu 500 dan 400 sebelum Masehi. Orang yang dianggap berjasa dalam merintis retorika adalah orang Yunani perantauan. Ada yang pendapat yang mengatakan orang-orang Yunani rantau di tanah Sicilia, yang pertama merintis seni berbicara ini. Dari sekian banyak orang berkecimpung di bidang ini pada masa awal perkembangan retorika ini ada seorang tokoh yang patutu kita catat. Karya retorika yang terkenal di zaman Yunani Kuni ini adalah karya Aristoteles (381-322 SM) yang berjudul Rhetorika.

Buku ini berisi masalah-masalah zaman itu dan diolah secara sistematis, sehingga urutannya menjadi jelas. Aristoteles mempunyai perhatian yang besar terhadap retorika. Ia selalu membiasakan diri sebelum tampil membawakan pidatonya mendiskusikan topik pidatonya dengan orang yang kompeten dan berpengalaman. Maka tidak heran jika orang mendapatkan Aristoteles berkeliling menanyakan hal ihwal tentang pidatonya, khususnya tentang kondisi pendengar.

Dalam karya ini Aristoteles menuliskan bahwa logika formal adalah dasar yang tepat bagi pidato yang jujur dan efektif baik dalam dewan legislative maupun di pengadilan. Dalam buku ini ia membedakan tiga jenis pidato yang didasakana pada pendengarannya, yaitu:

1.      Pidato Yudisil (legal) atau forensik, yaitu pidato mengenai perkarra di pengadilan, mengenai apa yang telah terjadi dan tidak pernah terjadi. Pendengarannya adalah para hakim atau yuri dalam mahkamah pengadilan.2.      Pidato delibratif atau politk (suasoria), yaitu pidato yang berisi nasihat yang disampaikan para patut dilakukann. Para pendengarnya adalah para anggota badan legoslatif atau eksekutif.

Page 5: A

3.      Pidato efidetik atau pidato demonstratif, yaitu pidato-pidato baik untuk pementasan, upacara-upacara ibadah maupun bukan ibadah, biasanya berisi kecaman atau pujian mengenai hal-hal yang terjadi sekarang.

Retorika yang dikemukakan Aristoteles erat sekali hubungannya dengan moral, sehingga orang yang ingin mempelajari retorika harus mempelajari psikologi. Di samping itu orang-orang yang mempelajari retorika harus mampu mengemukakan sesuatu yang benar, karena kebenaran adalah landasan retorika yang sejati.

Metode retorika Aristoteles adalah berdasarkan logika. Logika menurutnya adalah dasar yang tepat bagi pidato yang jujur dan efektif baik dalam dewan lefislatif maupun di  pengadilan. Aristoteles sendiri adalah seorang filsuf yang selalu mendasari ilmunya termasuk retorika ini kepada logika untuk mencapai kebenaran.

Banyak orang menyebut Aristoteles sebagai pelopor, penemu atau bapak logika Immanuel Kant seorang ahli filsuf abad pertengahan menyebutkan bahwa logika yang diciptakan oleh Aristoteles, sejak semua sudah begitu sempurna sehingga tidak mungkin ditambah sedikit pun. Menurut Kant, setelah dua puluh abad lamanya sejak Aristoteles menciptakannya, telah terbukti bahwa logika tidak dapat melangkah setapak pun.

Sebenarnya Aristoteles tidak menyebutnya sebagi logika. Secara tersirat menyebutkan analitika bagi karya-karyanya terlebih bagi retorika. Baginya retorika secara umum meneliti berbgai argumentasi yang berangkat dari proporsi yang benar. Sedangkan yang khusus meneliti argumentasi yang berangkat dari proporsi yang diragukan kebenarannya, disebut: dialektika.

Aristoteles memandang retorika sebagai sesuatu yang secara inheren diresapi oleh semua orang. Kegiatan setiap orang tidak lepas dari retorika ini (suatu dialetika yang secara luas didefinisikan sebagai upaya mencari kebenaran melalui dialog) dan meyakininya serta mempertahankannya  sebagai suatu kebenaran.

Namun bisa saja pada suatu ketika kebenaran Nampak kabur. Kondisi ini menyebabkan retorika menjadi hal yang mendasar bagi usaha persuasi untuk mempengaruhi pendengarnya agar menyatakan kebenaran yang diyakini oleh pembicara. Aristoteles mengelasis kondisi tersebut dengan cara menggolongkan pidato ke dalam tipe deliberatif, forensik dan efideitik yang telah dijelaskan di depan.

Aristoteles merumuskan retorika sebagai suatu bidang ethos, pathos, logos. Ethos merupakan kesadaran orator tampil sebagai suatu pribadi yang dapat dipercayai untuk meyakinkan pendengarnya.  Pathos dapat diartikan sebagi penunjuk pada segi emusional pembicara yang mendasar dan secar implisit terkandung di dalam isi pidato.Logos  mencakup imbauan berdasarkan argument yang logis. Landasan formal yang mencakup kejelian penalaran dengan tata bahasa yang akurat di dalam penyampaian suatu pidato.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa buku Rhetorica karya Aristoteles itu juga menguraikan cara-cara menyusun suatu pidato. Tanpa mengecilkan karya Aristoteles ini,

Page 6: A

ternyata mengandung banyak kekurangan. Tokoh-tokoh setelah Aristoteles bangkit menutupi hal-hal yang belum dijabarkan dalam Rhetorica. Maka kombinasi antara pengalaman praktis dan luasnya pandangan filosofis memberikan karya ini.

Aristoteles mewariskan kepada murid-muridnya enam buah buku mengenai logika yang sangat berpengaruh pada perkembangan retorika pada masa-masa berikutnya. Keenam karya itu oleh murid-muridnya dinamai to Organon (yang berarti alat). Keenam buku itu adalah:1.      Catigoriae, menguraikan tentang pengertian suatu yang ada.2.      De interpretatione, membahas tentang keputusan.3.      Analytica priora, membahas tentang silogisme.4.      Analytica posteriora, menguraikan tentang pengertian suatu yang ada.5.      Topica, memberi contoh uraian argumentasi atau cara berdebat.6.      De sophisticis elenchis, membahas tentang kesesatan dan kekeliruan berfikir.

Inti dari logika adalah silogisme, sebenaranya silogisme adalah temuan besar Aristoteles adalah suatu bentuk dan cara memperoleh kesimpulan dari proposisi demi meraih kebenaran. Silogisme bukan semata-mata untuk menyusun suatu argumentasi dalam suatu perdebatan. Metode yang dijabarkannya juga berfunfsi sebagai metode dasar bagai pengembangan semua bidang ilmu pengetahuan.

Semakin jelas bahwa mulai dari awal pertumbuhan dan perkembangan, retorika dipakai untuk penyebaran ilmu pengetahuan, pembelaan di pengadilan dan menyebarkan ajaran-ajaran agama. Di samping itu ada yang mempergunakan retorika semata-mata hanya untuk kekuasaan dan politik. Ajaran retorika yang mereka kemukakan itu erat sekali kaitannya dengan moral. Maka tidak heran orang yang ingin mempelajari retorika harus mempelajari ilmu lain. Itu idealnya. Di samping itu orang-orang yang mempelajari retorika harus mampu mengemukakan sesuatu yang benar. Karena kebenaran adalah landasan retorika.

C.    PENDIDIKAN RETORIKA

Pendidikan retorika di Yunani khususnya di Athena berlatar belakang ekonomis. Banyak kaum cendikiawan dari seluruh tanah Yunani datang ke Athena. Mereka mendatangi Athena hanya dengan satu alasan yaitu mendapatkan rejeki dari kantong warga Athena. Atehena pada masa itu menjadi polis yang terkemuka diantara polis-polis yang terdapat di Yunani. Warga Athena makmur hidupnya. Pekerjaan sehari-harinya dilimpahkan pada budak beliannya. Sehingga waktu luangnya diisi untuk berfikir.

Peluang ini tidak disia-siakan oleh para cendikiawan itu. Mereka datang dengan ilmu pengetahuan yang dahulu diperoleh dari mahaguru filsafat. Bahkan tidak sedikit pula yang pernah menjadi murid ahli filosofi ternama. Jadi mereka sangat kaya pengetahuannya dan luas wawasannya. Namun amat disayangkan, kedatangan mereka ke Athena bukan dengan maksud untuk mengerjakan ilmu pengetahuan, melainkan menjualnya.

Gejala ini tentu meresahkan hati para cendikiawan sejati seperti Plato, Aristoteles dan lain-lain. Atas keadaan itu Plato mendirikan akademia dan Aristoteles mendirikan Lykeion. Tujuan menangkal penjualan ilmu pengetahuan yang memprihatinkan.Dahulu ahli pikir Yunani mencari penghasilan semata datang ke Athena menukar ilmu pengetahuan untuk keperluan hidup. Sifat ilmu menjadi pragmatis karena sudah berubah dari teoritika menjadi pratika.

Page 7: A

Keberhasilan ekonomi dan social kebudayaan Yunani Kuno dengan treadisi lisannya yang kuat membuat usaha yang kuat membuat usaha mengwrjakan keterampilan berbicara sebagai usaha yang menguntungkan dan berkembang pesat. Lembaga pendidikan kaum sophis ini kian naik daun ketika melihat kebutuhan bahwa masyarakat perlu membela diri di depan pengadilan. Adanya tuntutan keinginan menjadi seorang usahawan atau politikus yang sukses. Bahka usaha menulis naskah pidato untuk orang lain. Akhirnya masalah etika dalam retorika ini kalah tersingkirkan oleh kebutuhan pragmatis.

Agaknya masyarakat awam tidak mau mempersoalkan hal-hal seperti di atas tadi. Secara tidak langsung masyarakat merestui aliran pragmatis dalam retorika itu. Akibatnya penalaran yang kurang baik tumbuh serta argumentasi yang bersifat menipu dalam lembaga-lembaga pendidikan retorika.

Dengan sendirinya reputasi seorang guru sophist menjadi semakin baik, mereka pun berhasil memperoleh penghasilan yang baik atas dasar kesuksesan para siswanya. Padahal yang diajarkannya adalah bagaimana menggunakan teknik-teknik tertentu agar membuat sesuatu yang buruk menjadi tampak lebih baik.

Inilah awal para cendikiawan tersebut mulai diejek sebagai kaum sophist, kaum penipu. Mereka dituduh memanipulasi ilmu pengetahuan untuk mendapatkan uang dan emas Warga Athena yang kaya raya.

Walaupun begitu menurut catatan sejarah para kaum sophist membawa cakrawala baru keadalam pemikiran bangsa Yunani Kuno. Mereka merintis pemikiran filosofi klasik yang melahirkan pendidikan retorika. Para sophist ini membawa perubahan dari masa pancaroba dalam pemikiran filosofi ke filosifi klasik.

Dari uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan sementara bahwa para perintis retorika zman Yunani adalah filsuf yang mempunyai perhatian besar pada keadaan rakyat dan masyarakat. Para filsuf itu menggunakan retorika untuk menyebarakan ajaran-ajaran, ilmu pengetahuan dan pembelaan pengadilan.

Masalah pembelaan diri di pengadilan merupakan salah satu faktor diselenggarakannya pendidikan  retorika baik oleh tokoh-tokoh retorika klasik mauoun oleh kaum sophist sendiri. Pada masa itu seseorang yang dihadapkan ke muka pengadilan mempunyai kewajiban dan hak untuk membela dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain, yang sekarang kita kenal dengan sebutan pengacara. Inilah retorika secara mendasar untuk mencari kebenaran.

Para tokoh filsafat klasik seperti Plato dan Aristoteles berusaha menangkal gerakan soshitik ini dengan mengajarkan seni retorika yang benar pada masing-masing sekolah yang didirikan. Plato melalui akademia sangat menantang adanya profesionalisme, dalam arti memungut bayaran. Tetapi ia tetap mendorong murid-muridnya untuk mendalami retorika bukan untuk mencari kekayaan namun untuk mengadili seseorang di pengadilan. Plato menekankan bahwa seorang orator dengan krangka retorika yang baik adalah retorika yang berhubungan dengan kebenaran dan moral.

Page 8: A

Cara ini mengajar retorika atau ilmu-ilmu lain di academia yaitu dengan berdialog sambil berjalan-jalan di taman. Ia menguraikan suatu masalah dan mengajarkan filosofi berdasarkan dialog. Tanya jawab adalah metode yang dipakai unruk mentransfer ilmu dan seni rerorika kepada para murid. Murid-muridnya tidak mendapat kesulitan berarti mengikuti metode pengajaran Plato ini .

Dalam memberikan pengajaran tentang retorika demikian juga halnya. Apalagi Plato pandai menggabungkan puisi dan Ilmu, seni dan filosofi. Pandangannya yang dalam dan abstrak sekalipun mampu dilukiskan secara jernih dengan gaya bahasa yang indah.

Sedangkan Aristoteles melalui Lykeion mempunyai metode yang sangat berlainan dengan Sokrates maupun gurunya sendiri yaitu Plato. Metode Sokretes dan Plato adalah dialog. Aristoteles juga sendiri memakai metode kuliah di dalam kelas sambil berjalan-jalan.

Secara umum Aristoteles memberikan dua macam pelajaran. Pada pagi hari ia mengajar tentang hal-hal yang bersifat ilmiah dan terbatas sifatnya. Hal ini sengaja ditujukan bagi orang yang ingin serius menuntut ilmu. Pelajaran kedua diberikan pada malam hari. Pada malam hari ia mengundang orang banyak untuk datang mendengarkan kuliahnya. Disitu ia mengajarkan filsafat dan retorika disertai dengan praktik berbicara.

Aristoteles sangat menyadari bahwa gejala pragmatis yang menggerogoti etika dalam ilmu pengetahuan. Dengan tegas ia menentang kaum sophist ini. Untuk menghadapi alirab soshistik ini Aristoteles selalu memberikan penekanan pada pentingnya pembinaan karakter sebagai suatu komponen esensial dari etos.

Usulan ini diikuti oleh Quintilianus seorang bangsa Romawi. Orator bangsa Romawi ini juga memberikan penekanan pada faktor karakter dari pembicara dan telah menyusun suatu program pendidikan yang lengkap untuk mengembangkan etos yang dimaksud. Acuan tentang retorika menyatakan bahwa orang baik berbicara baik.

Referensi:Aly Bachtiar. 1994. Retorika. Jakarta: Universitas Terbuka.