A08ear

76
FAKTOR RISIKO ANEMIA PADA REMAJA PUTRI PESERTA PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN ANEMIA GIZI BESI (PPAGB) DI KOTA BEKASI ERMITA ARUMSARI PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Transcript of A08ear

Page 1: A08ear

FAKTOR RISIKO ANEMIA PADA REMAJA PUTRI PESERTA PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN

ANEMIA GIZI BESI (PPAGB) DI KOTA BEKASI

ERMITA ARUMSARI

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Page 2: A08ear

Sebanyak 99.3 persen contoh tidak memiliki riwayat penyakit yang berhubungan dengan anemia seperti malaria, tuberculosis, dan kecacingan (dalam jangka waktu sebulan yang lalu). Sebagian besar contoh memiliki kebiasaan mencuci tangan sebelum makan. Sebanyak 52.0 persen contoh memiliki aktivitas fisik olahraga ringan. Persentase contoh anemia yang melakukan aktivitas olahraga sedang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan contoh tidak anemia.

Hampir separuh contoh jarang mengkonsumsi ikan segar (47.3%) dan daging ayam (48.5%). Telur ayam paling sering dikonsumsi oleh contoh setiap hari (10.3%). Semakin jarang telur ayam dan telur bebek dikonsumsi maka kecenderungan anemia akan semakin kecil (p<0.1). Frekuensi lauk nabati berkisar 0-6 kali seminggu. Lauk nabati dikonsumsi kurang dari 20 persen contoh dengan frekuensi setiap hari. Kurang dari 5 persen contoh mengkonsumsi sayuran setiap hari. Sayuran hijau seperti bayam lebih jarang dikonsumsi oleh contoh yang anemia (43.2%). Semakin jarang waluh dan sawi dikonsumsi maka kecenderungan anemia akan semakin kecil (p<0.1). Kurang dari 12 persen contoh mengkonsumsi buah-buahan setiap hari. Semakin jarang pepaya dikonsumsi maka kecenderungan anemia akan semakin kecil. Lebih dari separuh contoh tidak pernah mengkonsumsi makanan jajanan (bakso, mie, dan gorengan). Contoh anemia lebih sering mengkonsumsi teh dan kopi. Hampir separuh contoh (44.8%) tidak pernah mengkonsumsi susu. Contoh anemia lebih sering mengkonsumsi suplemen

Hasil korelasi Spearman menunjukkan bahwa faktor risiko yang secara signifikan mempengaruhi status anemia adalah usia, status menstruasi, frekuensi konsumsi telur ayam, telur bebek, waluh, dan sawi. Hasil regresi logistik menunjukkan remaja putri yang berada pada kisaran usia 13-15 tahun memiliki kecenderungan untuk mengalami anemia 2.73 kali lebih besar dibandingkan remaja putri yang berusia 10-12 tahun (p=0.001). Remaja putri yang berstatus gizi kurus cenderung untuk mengalami anemia 8.32 kali lebih besar dibandingkan remaja putri yang berstatus gizi gemuk (p=0.006). Remaja putri yang berstatus gizi normal memiliki kecenderungan 6.73 kali lebih besar untuk mengalami anemia dibandingkan remaja putri yang berstatus gizi gemuk (p=0.013).

Page 3: A08ear

RINGKASAN

ERMITA ARUMSARI. Faktor Risiko Anemia pada Remaja Putri Peserta Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota Bekasi. Di bawah bimbingan Dodik Briawan

Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui faktor risiko anemia remaja putri peserta program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota Bekasi. Tujuan khusus dari penelitian adalah : (1) mengkaji kadar hemoglobin dan status anemia remaja putri, (2) mengkaji usia dan status gizi antropometri remaja putri, (3) mengkaji pola menstruasi remaja putri, (4) mengkaji riwayat penyakit remaja putri, (5) mengkaji perilaku hidup bersih dan sehat remaja putri, (6) mengkaji aktivitas fisik remaja putri, (7) mengkaji frekuensi konsumsi pangan sumber zat besi remaja putri, (8) menganalisis faktor risiko anemia remaja putri.

Desain penelitian adalah cross-sectional study yaitu data baseline dari Dinas Kesehatan Kota Bekasi untuk pelaksanaan Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB). Lokasi penelitian dilaksanakan di SMP VII dan SMK Teratai Putih Global 2. Pemilihan didasarkan kesediaan sekolah mengikuti program serta keaktifan puskesmas yang dekat dengan lokasi sekolah untuk mengumpulkan data pengukuran hemoglobin. Waktu pengambilan data dilakukan pada November 2007-Februari 2008. Contoh sejumlah 400 orang terdiri dari 200 orang siswi SMP VII dan 200 orang siswi SMK Teratai Putih Global 2. Usia contoh berkisar 10-18 tahun. Pengambilan contoh dilakukan secara sengaja dengan pertimbangan kesediaan siswi mengikuti program dan adanya izin dari orangtua.

Data yang dikumpulkan berupa data sekunder dari Dinas Kesehatan Kota Bekasi. Data dikumpulkan melalui tiga cara (wawancara, pengukuran langsung, pemeriksaan laboratorium). Wawancara langsung saat pengumpulan data menggunakan kuisioner yang berisi data usia, aktivitas fisik, pola menstruasi, riwayat penyakit, perilaku hidup bersih dan sehat, dan frekuensi konsumsi pangan. Data antropometri dan status gizi diketahui melalui pengukuran berat dan tinggi badan. Penentuan kadar hemoglobin dilakukan dengan pengambilan sampel darah dan dianalisis dengan metode Cyanmethemoglobin. Analisis korelasi Spearman dilakukan untuk melihat besar hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Regresi Logistik dilakukan untuk mengetahui faktor risiko yang paling berkaitan dengan status anemia.

Rata-rata kadar hemoglobin adalah 12.4 g/dl (7.2-16.0 g/dl). Lebih dari separuh contoh (61.7%) tidak mengalami anemia. Terdapat 6.0 persen contoh mengalami anemia sedang. Secara keseluruhan 38.3 persen contoh mengalami anemia.

Rata-rata usia adalah 13.7 tahun (10-18 tahun). Proporsi terbesar contoh berusia 10-12 tahun dan hampir separuh contoh tidak anemia berada pada kisaran usia tersebut. Lebih dari separuh contoh anemia berusia 13-15 tahun dan baru mengalami menstruasi sehingga kecenderungan anemia lebih besar akibat kehilangan darah yang dialami. Rata-rata IMT adalah 19.3 kg/m2 (11.9 kg/m2-7.5 kg/m2). Proporsi terbesar contoh (48.0%) berada pada status gizi kurus.

Sebagian besar contoh (75.5%) sudah menstruasi dan memiliki frekuensi menstruasi teratur. Frekuensi menstruasi tidak teratur lebih sering dialami contoh anemia. Lebih dari separuh contoh anemia mengganti pembalut 3-4 kali setiap hari dan 49.1 persen contoh tidak anemia mengganti pembalut 1-2 kali. Sebagian besar contoh memiliki lama menstruasi yang normal.

Page 4: A08ear

Sebanyak 99.3 persen contoh tidak memiliki riwayat penyakit yang berhubungan dengan anemia seperti malaria, tuberculosis, dan kecacingan (dalam jangka waktu sebulan yang lalu). Sebagian besar contoh memiliki kebiasaan mencuci tangan sebelum makan. Sebanyak 52.0 persen contoh memiliki aktivitas fisik olahraga ringan. Persentase contoh anemia yang melakukan aktivitas olahraga sedang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan contoh tidak anemia.

Hampir separuh contoh jarang mengkonsumsi ikan segar (47.3%) dan daging ayam (48.5%). Telur ayam paling sering dikonsumsi oleh contoh setiap hari (10.3%). Semakin jarang telur ayam dan telur bebek dikonsumsi maka kecenderungan anemia akan semakin kecil (p<0.1). Frekuensi lauk nabati berkisar 0-6 kali seminggu. Lauk nabati dikonsumsi kurang dari 20 persen contoh dengan frekuensi setiap hari. Kurang dari 5 persen contoh mengkonsumsi sayuran setiap hari. Sayuran hijau seperti bayam lebih jarang dikonsumsi oleh contoh yang anemia (43.2%). Semakin jarang waluh dan sawi dikonsumsi maka kecenderungan anemia akan semakin kecil (p<0.1). Kurang dari 12 persen contoh mengkonsumsi buah-buahan setiap hari. Semakin jarang pepaya dikonsumsi maka kecenderungan anemia akan semakin kecil. Lebih dari separuh contoh tidak pernah mengkonsumsi makanan jajanan (bakso, mie, dan gorengan). Contoh anemia lebih sering mengkonsumsi teh dan kopi. Hampir separuh contoh (44.8%) tidak pernah mengkonsumsi susu. Contoh anemia lebih sering mengkonsumsi suplemen

Hasil korelasi Spearman menunjukkan bahwa faktor risiko yang secara signifikan mempengaruhi status anemia adalah usia, status menstruasi, frekuensi konsumsi telur ayam, telur bebek, waluh, dan sawi. Hasil regresi logistik menunjukkan remaja putri yang berada pada kisaran usia 13-15 tahun memiliki kecenderungan untuk mengalami anemia 2.73 kali lebih besar dibandingkan remaja putri yang berusia 10-12 tahun (p=0.001). Remaja putri yang berstatus gizi kurus cenderung untuk mengalami anemia 8.32 kali lebih besar dibandingkan remaja putri yang berstatus gizi gemuk (p=0.006). Remaja putri yang berstatus gizi normal memiliki kecenderungan 6.73 kali lebih besar untuk mengalami anemia dibandingkan remaja putri yang berstatus gizi gemuk (p=0.013).

Page 5: A08ear

FAKTOR RISIKO ANEMIA PADA REMAJA PUTRI PESERTA PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN

ANEMIA GIZI BESI (PPAGB) DI KOTA BEKASI

ERMITA ARUMSARI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Page 6: A08ear

Judul Skripsi : Faktor Risiko Anemia pada Remaja Putri Peserta

Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi

Besi (PPAGB) di Kota Bekasi

Nama : Ermita Arumsari

NRP : A54104076

Program Studi : Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

Disetujui,

Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN

NIP. 131 879 330

Diketahui,

Dekan Fakultas Pertanian IPB

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr

NIP. 131 124 019

Tanggal Lulus :

Page 7: A08ear

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kotabaru, Kalimantan Selatan pada tanggal 3

November 1986. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari

pasangan Pramudyanto dan Erina Hasniah.

Penulis menempuh pendidikan di SDN Semayap 2 Kotabaru Kalimantan

Selatan pada tahun 1992-1996 dilanjutkan di SDN Klegen 5 Madiun dan lulus

tahun 1998. Pendidikan dilanjutkan di SLTP Negeri 1 Madiun tahun 1998-2001.

Tahun 2001, penulis diterima di SMU Negeri 2 Madiun dilanjutkan di SMU Negeri

1 Jember dan lulus tahun 2004. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai

mahasiswa Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas

Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan

Mahasiswa Baru).

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di beberapa kepanitiaan

kampus dan organisasi kemahasiswaan. Organisasi yang pernah diikuti yaitu

Sopran 1 Paduan Suara Mahasiswa Agriaswara tahun 2004-2006 dan Himpunan

Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia tahun 2005-2006.

Page 8: A08ear

PRAKATA

Puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan

karunia-Nya, penulis dapat menyusun skripsi yang berjudul “Faktor Risiko

Anemia pada Remaja Putri Peserta Program Pencegahan dan Penanggulangan

Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota Bekasi”. Skripsi ini disusun sebagai salah

satu persyaratan untuk dapat memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Gizi

Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Institut Pertanian Bogor. Penulis ingin

mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan

penuh kesabaran telah meluangkan waktu dan pikiran, memberikan arahan,

masukan, kritikan, semangat, dan dorongan untuk menyelesaikan tugas akhir

ini

2. Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, M.Kes selaku dosen penguji, yang telah berkenan

memberikan saran dan kritik demi kesempurnaan skripsi ini

3. Dr. Ir. Budi Setiawan, MS selaku dosen pemandu seminar atas saran yang

diberikan

4. Dr. Ir. Yayuk F. Baliwati, MS selaku dosen pembimbing akademik serta

seluruh dosen GMSK atas ilmu dan nasehat yang telah diberikan

5. Ibu, bapak, kakak Niken, dan seluruh keluarga besar atas segala kasih

sayang, doa, nasehat, dan semangat yang diberikan selama ini

6. Pihak Dinas Kesehatan Kota Bekasi, dr. Pusporini, Pak Agus, Bu Nining, dan

Bu Titik atas kesempatan dan bantuan yang diberikan kepada penulis saat

pengambilan data

7. Para pembahas seminar (Friska Amelia, Ahmawati Prapti, dan Eka Septiani)

atas saran dan masukan yang diberikan

8. Sahabatku Yesa, Dewi Mei, Henny, Friska, Lola, Ari, Ima, Dewi K, Rizka, dan

Marissa serta teman-teman GMSK 41 NRP 01-92, terimakasih atas segala

bantuan, dukungan, serta kebersamaan dan cerita indah selama empat tahun

9. Teman-teman 345’ers, Yustika Muharastri, Indah Primadianti, dan Nidia

Roosita, terimakasih atas kenangan indah setahun awal bersama di IPB.

Semoga persahabatan ini tidak akan pernah putus

10. Teman-teman KKP Cisalak Subang, Cindy Chairunisa, Khotimah Husniati,

Cenra Intan Hartuti Tuharea, Ratu Dewi Hilna A, dan M. Ari Haryono, atas

dua bulan kebersamaan yang menyenangkan

Page 9: A08ear

11. Teman-teman di PNS dan ACC, Nadia, Astiari, Cindy, Chanti, Pujik, Mira,

Ellyta, Lia, Teztiana, Dila, Ita, dan Dini yang selalu mewarnai hari-hari yang

takkan terlupakan

12. Teman-teman di Lautan Indonesia, Abel, Mer, Ale, Mizz-min-u, dan

semuanya atas semangat, dukungan, dan keceriaan yang diberikan selama

penyusunan skripsi

13. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis selama kuliah

hingga penyelesaian skripsi

Bogor, Juli 2008

Penulis

Page 10: A08ear

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................... i DAFTAR GAMBAR.................................................................................. iii DAFTAR TABEL ...................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ v PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 Latar Belakang............................................................................... 1 Tujuan ........................................................................................... 4 Hipotesis ........................................................................................ 4 Kegunaan ...................................................................................... 4 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 5 Remaja Putri ................................................................................. 5 Anemia dan Faktor Penyebabnya ................................................. 6 Faktor Risiko Anemia ..................................................................... 8 Menstruasi ............................................................................... 8 Status Gizi ............................................................................... 9 Riwayat Penyakit ................................................................... 10 Aktivitas Fisik ......................................................................... 11 Konsumsi Pangan .................................................................. 12 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ........................................... 14 Faktor Risiko Anemia Lainnya ..................................................... 15 Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) pada Remaja Putri ....................................................... 16 KERANGKA PEMIKIRAN....................................................................... 18 METODE PENELITIAN ........................................................................... 21 Desain, Tempat, dan Waktu ........................................................ 21 Penarikan Contoh ........................................................................ 21 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ............................................. 21 Pengolahan dan Analisis Data..................................................... 22 Definisi Operasional..................................................................... 24 HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 26 Status Anemia ............................................................................. 26 Usia dan Status Gizi Antropometri ............................................... 27 Usia......................................................................................... 27 Status Gizi Antropometri ......................................................... 28 Menstruasi ................................................................................... 29 Status Menstruasi .................................................................... 30 Frekuensi Menstruasi .............................................................. 31 Banyaknya Menstruasi ............................................................ 32 Lama Menstruasi ..................................................................... 33 Riwayat Penyakit ......................................................................... 34 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ................................................. 35 Aktivitas Fisik ............................................................................... 36 Frekuensi Konsumsi Pangan ....................................................... 37

Page 11: A08ear

Frekuensi Konsumsi Lauk Hewani ......................................... 38 Frekuensi Konsumsi Lauk Nabati ........................................... 40 Frekuensi Konsumsi Sayuran ................................................. 41 Frekuensi Konsumsi Buah-buahan ......................................... 43 Frekuensi Konsumsi Makanan Jajanan .................................. 45 Frekuensi Konsumsi Minuman dan Suplemen ....................... 46 Analisis Faktor Risiko Anemia ..................................................... 48 KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 51 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 53 LAMPIRAN ............................................................................................. 57

Page 12: A08ear

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 1. Kerangka pemikiran faktor risiko anemia remaja putri peserta program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota Bekasi ................................................................. 20

2. Sebaran contoh berdasarkan kadar hemoglobin ............................. 26

Page 13: A08ear

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Penggolongan anemia menurut kadar hemoglobin ............................ 7

2. Rata-rata BB dan TB wanita berdasarkan usia .................................. 9

3. Sebaran contoh berdasarkan usia dan status anemia ..................... 27

4. Sebaran contoh berdasarkan status gizi dan status anemia ............ 29

5. Sebaran contoh berdasarkan status menstruasi dan status

anemia .............................................................................................. 30

6. Sebaran contoh berdasarkan frekuensi menstruasi dan status

anemia .............................................................................................. 31

7. Sebaran contoh berdasarkan banyaknya menstruasi dan status

anemia .............................................................................................. 32

8. Sebaran contoh berdasarkan lamanya menstruasi dan status

anemia ............................................................................................. 33

9. Sebaran contoh berdasarkan riwayat penyakit dan status anemia .. 34

10. Sebaran contoh berdasarkan perilaku hidup bersih dan sehat

dan status anemia ............................................................................ 35

11. Sebaran contoh berdasarkan aktivitas fisik dan status anemia ........ 36

12. Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi lauk hewani

dan status anemia ............................................................................ 38

13. Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi lauk nabati dan

status anemia ................................................................................... 41

14. Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi sayuran

dan status anemia ............................................................................ 42

15. Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi buah-buahan

dan status anemia ............................................................................ 44

16. Sebaran contoh berdasarkan frekuensi makanan jajanan

dan status anemia ............................................................................ 45

17. Sebaran contoh berdasarkan frekuensi minuman dan suplemen

dan status anemia ............................................................................ 47

18. Hasil regresi logistik faktor risiko anemia ......................................... 49

Page 14: A08ear

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Kuisioner Penelitian ............................................................................. 58

2. Frekuensi Konsumsi Pangan ............................................................... 60

3. Hasil Uji Korelasi Spearman Faktor Risiko dengan Status Anemia ..... 61

4. Hasil Analisis Regresi Logistik ............................................................. 62

Page 15: A08ear

PENDAHULUAN

Latar Belakang Kualitas sumber daya manusia (SDM) ditentukan oleh banyak faktor yang

saling berhubungan, berkaitan, dan saling bergantung, diantaranya adalah faktor

pendidikan dan kesehatan. Kesehatan merupakan prasyarat yang diperlukan

agar upaya pendidikan berhasil, selanjutnya pendidikan yang diperoleh akan

sangat mendukung tercapainya peningkatan status kesehatan seseorang. Untuk

membentuk kualitas manusia yang mempunyai kemampuan kerja fisik yang baik,

tentunya harus didukung oleh tingkat keadaan gizi yang baik pula. Keadaan gizi

yang baik akan meningkatkan kualitas hidup seseorang; kualitas hidup yang

tinggi akan mendukung hasil kerja yang efisien dan optimal. Sebaliknya keadaan

gizi yang tidak baik akan menurunkan daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi

serta produktivitas kerja yang rendah (Depkes 2006). Keadaan gizi yang tidak

baik seperti kekurangan zat gizi mikro masih merupakan masalah di negara

berkembang (Ruel 2001).

Defisiensi zat besi merupakan defisiensi zat gizi mikro yang paling umum

terjadi di dunia dan merupakan masalah gizi kurang yang banyak diderita oleh

remaja (Ruel 2001). Defisiensi zat besi merupakan hasil jangka panjang dari

keseimbangan negatif zat besi dan tingkatan yang paling parah dari defisiensi zat

besi disebut dengan anemia (WHO 2001). Menurut Soekirman (2000), saat ini

diperkirakan lebih kurang 2.1 milyar orang di dunia menderita anemia gizi besi

termasuk pada tingkat berat dan pada negara berkembang terdapat prevalensi

anemia pada remaja putri sebesar 17-89 persen (Ruel 2001). Hasil SKRT 2001

menunjukkan bahwa 30 persen remaja wanita (10-19 tahun) menderita anemia

(konsentrasi hemoglobin<120 g/l). Hasil tersebut tidak jauh berbeda dari hasil

studi lainnya, yang mengindikasikan anemia merupakan masalah kesehatan di

Indonesia (Permaesih dan Herman 2005).

Prevalensi anemia yang cukup besar pada remaja putri ini karena pada

masa remaja terjadi pertumbuhan yang cepat (growth spurt). Selama periode

remaja, massa tulang meningkat dan terjadi remodeling tulang; jaringan lunak,

organ-organ, dan bahkan massa sel darah merah meningkat dalam hal ukuran

(DiMeglio 2000). Pertumbuhan tersebut menyebabkan kebutuhan zat besi

meningkat secara dramatis dan pada saat remaja inilah kebutuhan zat gizi

mencapai titik tertinggi. Menurut FAO/WHO (2001), kebutuhan zat besi yang

diperlukan remaja putri untuk pertumbuhan berbeda antara early adolescence

Page 16: A08ear

dan middle adolescence. Kebutuhan zat besi yang lebih besar diperlukan oleh

early adolescence karena pada usia tersebut growth spurt lebih intens terjadi

dibandingkan middle adolescence, sehingga apabila terjadi kekurangan zat gizi

makro dan mikro pada usia remaja baik early adolescence maupun middle

adolescence dapat mengganggu pertumbuhan dan menghambat pematangan

seksual (Beard 2000).

Pertumbuhan yang cepat pada remaja memberikan konsekuensi

terjadinya peningkatan kebutuhan zat gizi sebagai upaya mengimbangi

pertumbuhan tersebut. Namun data menunjukkan bahwa asupan makanan para

remaja putri tidak dapat menyediakan cukup zat gizi untuk memenuhi kebutuhan

mereka dan lebih dari lima puluh persen kasus anemia yang tersebar di seluruh

dunia secara langsung disebabkan oleh kurangnya masukan (intake) zat besi

(Dillon 2005). Tidak semua zat besi yang berada dalam makanan dapat diserap

tubuh karena bioavailabilitasnya yang rendah atau kurangnya asupan pangan

hewani. Zat besi yang berasal dari hewani, penyerapannya tidak banyak

dipengaruhi oleh jenis kandungan makanan lain dan lebih mudah diabsorpsi

dibandingkan zat besi yang berasal dari nabati. Makanan nabati misalnya

sayuran hijau tua, walaupun kaya akan zat besi namun hanya sedikit yang bisa

diserap dengan baik oleh usus (Wirakusumah 1998). Namun pangan sumber zat

besi terutama zat besi heme, yang bioavailabilitasnya tinggi, sangat jarang

dikonsumsi oleh masyarakat di negara berkembang. Kebanyakan masyarakat

memenuhi kebutuhan besi mereka dari produk nabati (Backstrand et al 2002).

Kebutuhan zat besi juga akan meningkat pada remaja putri sehubungan

dengan terjadinya menstruasi. Remaja terutama yang telah mengalami

menstruasi, dibandingkan dengan yang belum menstruasi, lebih rentan terhadap

anemia, sehubungan dengan kehilangan darah yang dialami sewaktu menstruasi

(Dillon 2005). Apabila darah yang keluar saat menstruasi cukup banyak, berarti

jumlah zat besi yang hilang dari tubuh juga cukup besar dan kehilangan tersebut

dapat memicu timbulnya anemia (Wirakusumah 1998). Wanita pada umumnya

cenderung mempunyai simpanan zat besi yang lebih rendah dibandingkan pria

dan hal itu membuat wanita lebih rentan mengalami defisiensi zat besi saat

intake zat besi kurang atau kebutuhan meningkat seperti saat menstruasi

(Gleason & Scrimshaw 2007).

Penyebab anemia lainnya adalah terjadinya kehilangan zat besi karena

penyakit infeksi seperti malaria dan cacing. Kehilangan darah akibat infestasi

Page 17: A08ear

cacing dan malaria karena hemolisis dapat menyebabkan defisiensi zat besi dan

anemia. Trauma dapat pula menyebabkan defisiensi zat besi. Infeksi cacing

tambang menyebabkan pendarahan pada dinding usus, walaupun sedikit tetapi

terjadi terus menerus dan hal itu dapat mengakibatkan hilangnya darah atau zat

besi. Kehilangan darah tersebut mengakibatkan defisiensi zat besi (WHO 2001)

Defisiensi zat besi dapat terjadi pada tingkatan umur manapun terutama

pada wanita usia reproduktif dan anak-anak. Defisiensi zat besi dapat

mengganggu status imunitas dan fungsi kognitif pada berbagai tingkatan umur.

Pada anak usia sekolah dapat mempengaruhi prestasi belajar; pada usia dewasa

dapat menimbulkan kelelahan dan mengurangi kapasitas kerja, dan pada ibu

hamil dapat menyebabkan bayi lahir prematur (Ruel 2001). Menurut Soekirman

(2000), anemia gizi besi pada kelompok remaja dapat menimbulkan berbagai

dampak antara lain menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah terkena

penyakit dan menurunkan aktivitas yang berkaitan dengan kemampuan kerja fisik

dan prestasi belajar. Disamping itu remaja yang menderita anemia mengalami

penurunan kebugaran sehingga akan menghambat prestasi olahraga dan

produktivitas. Kekurangan zat gizi mikro pada masa remaja dapat berdampak

negatif pada proses pertumbuhan dan kematangan organ-organ reproduksi

(Dillon 2005).

Hasil studi faktor risiko lainnya menunjukkan bahwa terdapat faktor-faktor

lain yang berpengaruh terhadap kejadian anemia antara lain pendidikan, jenis

kelamin, wilayah, kebiasaan sarapan, status kesehatan, dan keadaan Indeks

Massa Tubuh (IMT) dalam kategori kurus (Permaesih dan Herman 2005).

Sedangkan menurut hasil penelitian Maharani (2003), faktor risiko yang secara

signifikan mempengaruhi kecenderungan status anemia mahasiswa baru yaitu

faktor jenis kelamin, umur, pendapatan orangtua, dan status proteinuria. Adanya

faktor risiko tersebut dapat mempengaruhi kecenderungan status anemia

seseorang terutama pada remaja yang berada dalam masa pertumbuhan.

Mengingat dampak yang terjadi akibat anemia sangat merugikan kualitas kerja

dan mutu sumber daya manusia di masa mendatang, maka peneliti tertarik untuk

mengetahui faktor risiko anemia pada remaja, khususnya pada remaja putri

peserta program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB)

di Kota Bekasi.

Page 18: A08ear

Tujuan Tujuan Umum :

Mengetahui faktor risiko anemia remaja putri peserta program

Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota Bekasi

Tujuan Khusus :

1. Mengkaji status besi (kadar hemoglobin dan status anemia) remaja putri

peserta program PPAGB

2. Mengkaji usia dan status gizi antropometri remaja putri peserta program

PPAGB

3. Mengkaji menstruasi remaja putri peserta program PPAGB

4. Mengkaji riwayat penyakit remaja putri peserta program PPAGB

5. Mengkaji perilaku hidup bersih dan sehat remaja putri peserta program

PPAGB

6. Mengkaji aktivitas fisik remaja putri peserta program PPAGB

7. Mengkaji frekuensi konsumsi pangan sumber zat besi remaja putri

peserta program PPAGB

8. Menganalisis faktor risiko anemia remaja putri peserta program PPAGB

Hipotesis

Usia, status gizi antropometri, menstruasi, riwayat penyakit, perilaku

hidup bersih dan sehat, aktivitas fisik, dan frekuensi konsumsi pangan tidak

mempengaruhi status anemia remaja putri peserta program Pencegahan dan

Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota Bekasi

Kegunaan

Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi remaja dan keluarga serta

pihak yang terkait sebagai usaha pencegahan anemia sedini mungkin dengan

meningkatkan kesadaran tentang faktor risiko anemia pada remaja. Selain itu

diharapkan dapat memberikan informasi yang tepat kepada petugas kesehatan

dalam upaya penanggulangan anemia gizi.

Page 19: A08ear

TINJAUAN PUSTAKA

Remaja Putri WHO mendefinisikan remaja sebagai bagian dari siklus hidup antara usia

10-19 tahun. Remaja berada diantara dua masa hidup, dengan beberapa

masalah gizi yang sering terjadi pada anak-anak dan dewasa (WHO 2006).

Remaja memiliki pertumbuhan yang cepat (growth spurt) dan merupakan waktu

pertumbuhan yang intens setelah masa bayi serta satu-satunya periode dalam

hidup individu terjadi peningkatan velositas pertumbuhan. Selama masa remaja,

seseorang dapat mencapai 15 persen dari tinggi badan dan 50 persen dari berat

badan saat dewasa. Pertumbuhan yang cepat ini sejalan dengan peningkatan

kebutuhan zat gizi, yang secara signifikan dipengaruhi oleh infeksi dan

pengeluaran energi (UNS-SCN 2006). Massa tulang meningkat sebesar 45

persen dan remodeling tulang terjadi; jaringan lunak, organ-organ, dan bahkan

massa sel darah merah meningkat dalam hal ukuran, akibatnya kebutuhan zat

gizi mencapai titik tertinggi saat remaja. Adanya kekurangan zat gizi makro dan

mikro dapat mengganggu pertumbuhan dan menghambat pematangan seksual.

Kebutuhan untuk individual tidak mungkin diestimasikan karena adanya

pertimbangan variasi dalam tingkat dan jumlah pertumbuhan (DiMeglio 2000).

Pada remaja wanita, puncak pertumbuhan terjadi sekitar 12-18 bulan

sebelum mengalami menstruasi pertama atau sekitar usia 10-14 tahun

(ADB/SCN 2001 diacu dalam Briawan 2008). Selama periode remaja, kebutuhan

zat besi meningkat secara dramatis sebagai hasil dari ekspansi total volume

darah, peningkatan massa lemak tubuh, dan terjadinya menstruasi pada remaja

putri (Beard 2000). Pada wanita, kebutuhan yang tinggi akan besi terutama

disebabkan kehilangan zat besi selama menstruasi (Wiseman 2002). Secara

keseluruhan, kebutuhan zat besi meningkat dari kebutuhan saat sebelum remaja

sebesar 0.7-0.9 mg Fe/hari menjadi 2.2 mg Fe/hari atau mungkin lebih saat

menstruasi berat. Peningkatan kebutuhan ini berhubungan dengan waktu dan

ukuran growth spurt sama seperti kematangan seksual dan terjadinya

menstruasi. Hal ini mengakibatkan wanita lebih rawan terhadap anemia besi

dibandingkan pria (Beard 2000).

Wanita cenderung mempunyai simpanan zat besi yang lebih rendah

dibandingkan pria, membuat wanita lebih rentan mengalami defisiensi zat besi

saat asupan zat besi kurang atau kebutuhan meningkat. Jika zat besi yang

dikonsumsi terlalu sedikit atau bioavailabilitasnya rendah atau makanan

Page 20: A08ear

berinteraksi dengan membatasi absorpsi yang dibutuhkan tubuh untuk memenuhi

kebutuhan zat besi, cadangan zat besi dalam tubuh akan digunakan dan hal

tersebut dalam menimbulkan defisiensi zat besi (Gleason & Scrimshaw 2007).

Pada masa remaja, seseorang akan mengalami perubahan baik kognitif,

sosial-emosional, dan gaya hidup yang dapat menciptakan dampak yang sangat

besar dalam kebiasaan makan remaja. Survei yang dilakukan Hurlock (1997)

menunjukkan bahwa remaja suka sekali jajan makanan ringan. Jenis makanan

ringan yang dikonsumsi adalah kue-kue yang manis dan golongan pastry serta

permen sedangkan golongan sayur-sayuran dan buah-buahan jarang dikonsumsi

sehingga dalam diet mereka rendah akan zat besi, vitamin, dan lain-lain. Selain

itu hasil survei menunjukkan bahwa remaja menyukai minuman ringan, teh, dan

kopi yang frekuensinya lebih sering dibandingkan konsumsi susu.

Anemia dan Faktor Penyebabnya Status zat besi tiap individu bermacam-macam mulai dari excess zat besi

sampai anemia defisiensi zat besi. Walaupun kebutuhan zat besi bervariasi pada

tiap grup yang tergantung pada faktor-faktor seperti pertumbuhan (bayi, remaja,

kehamilan) dan perbedaan kehilangan normal zat besi (menstruasi dan

kelahiran), terjadi proses yang diatur tubuh dalam meningkatkan absorpsi zat

besi sejalan dengan penggunaan zat besi dan menurunkan absorpsi zat besi

yang disimpan di dalam tubuh sejalan dengan adanya asupan makanan

(Gleason & Scrimshaw 2007).

Anemia terjadi apabila kepekatan hemoglobin dalam darah di bawah

batas normal. Hemoglobin ialah sejenis pigmen yang terdapat dalam sel darah

merah, bertugas membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh. Zat besi

mempunyai peranan penting dalam tubuh, selain membantu hemoglobin

mengangkut oksigen dan mioglobin menyimpan oksigen, zat besi juga membantu

berbagai macam enzim dalam mengikat oksigen untuk proses pembakaran

(Brody 1994). Anemia gizi adalah suatu keadaan kekurangan kadar hemoglobin

dalam darah yang disebabkan karena kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk

pembentukan hemoglobin (Depkes 1998).

Menurut WHO (2001), batas ambang anemia untuk wanita usia 11 tahun

keatas adalah apabila konsentrasi atau kadar hemoglobin dalah darah kurang

dari 12 g/dl. Penggolongan jenis anemia menjadi ringan, sedang, dan berat

belum ada keseragaman mengenai batasannya, namun untuk mempermudah

Page 21: A08ear

pelaksanaan pengobatan dan mensukseskan program lapangan, menurut

ACC/SCN (1991), anemia dapat digolongkan menjadi tiga :

Tabel 1 Penggolongan anemia menurut kadar Hb Anemia Hb (g/dl) Ringan 10.0 – 11.9 Sedang 7.0 – 9.9 Berat < 7.0

Sumber : ACC/SCN (1991)

Sebelum terjadi anemia biasanya terjadi kekurangan zat besi secara

perlahan-lahan. Pada tahap awal, simpanan zat besi yang berbentuk ferritin dan

hemosiderin menurun dan absorpsi besi meningkat. Daya ikat besi (iron binding

capacity) meningkat seiring dengan menurunnya simpanan zat besi dalam

sumsum tulang dan hati. Ini menandakan berkurangnya zat besi dalam plasma.

Selanjutnya zat besi yang tersedia untuk pembentukan sel-sel darah merah

(sistem eritropoesis) di dalam sumsum tulang berkurang dan terjadi penurunan

jumlah sel darah merah dalam jaringan. Pada tahap akhir, hemoglobin menurun

(hypocromic) dan eritrosit mengecil (microcytic) dan terjadi anemia gizi besi

(Wirakusumah 1998).

Anemia dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut Depkes (1998),

anemia terjadi karena : (1) kandungan zat besi makanan yang dikonsumsi tidak

mencukupi kebutuhan, (2) meningkatnya kebutuhan tubuh akan zat besi, dan (3)

meningkatnya pengeluaran zat besi dari tubuh. Penyebab utama anemia yang

paling umum diketahui adalah : (1) kurangnya kandungan zat besi dalam

makanan, (2) penyerapan zat besi dari makanan yang sangat rendah, (3) adanya

zat-zat yang menghambat penyerapan zat besi, dan (4) adanya parasit di dalam

tubuh seperti cacing tambang atau cacing pita, atau kehilangan banyak darah

akibat kecelakaan atau operasi (Biesalski dan Erhardt 2007).

Defisiensi zat besi dari makanan biasanya menjadi faktor utama. Jika zat

besi yang dikonsumsi terlalu sedikit atau bioavailabilitasnya rendah atau

makanan berinteraksi dengan membatasi absorpsi yang dibutuhkan tubuh untuk

memenuhi kebutuhan zat besi, cadangan zat besi dalam tubuh akan digunakan

dan hal tersebut dalam menimbulkan defisiensi zat besi (Gleason & Scrimshaw

2007). Defisiensi zat gizi seperti asupan asam folat dan vitamin A, B12, dan C

yang rendah dan penyakit infeksi seperti malaria dan kecacingan dapat pula

menimbulkan anemia (WHO 2001).

Page 22: A08ear

Faktor Risiko Anemia Menstruasi

Anemia pada remaja putri disebabkan masa remaja adalah masa

pertumbuhan yang membutuhkan zat gizi lebih tinggi termasuk zat besi. Selain

itu pada masa remaja, seseorang akan mengalami menstruasi. Menstruasi ialah

perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus disertai pelepasan

endometrium. Lama menstruasi biasanya antara 3-5 hari dan ada yang 1-2 hari.

Beberapa faktor yang mengganggu kelancaran siklus menstruasi yaitu faktor

stres, perubahan berat badan, olahraga yang berlebihan, dan keluhan

menstruasi. Panjang daur dapat bervariasi pada satu wanita selama saat-saat

yang berbeda dalam hidupnya (Affandi 1990).

Menstruasi adalah suatu proses fisiologis yang dipengaruhi oleh banyak

faktor antara lain lingkungan, musim, dan tingginya tempat tinggal dari

permukaan laut. Faktor lain yang penting adalah faktor sosial misalnya status

perkawinan dan lamanya menstruasi ibu. Usia dan ovulasi mempengaruhi

lamanya menstruasi. Rata-rata lama perdarahan pada kebanyakan wanita setiap

periode kurang lebih tetap (Affandi 1990).

Saat menstruasi terjadi pengeluaran darah dari dalam tubuh. Hal ini

menyebabkan zat besi yang terkandung dalam hemoglobin, salah satu

komponen sel darah merah, juga ikut terbuang. Semakin lama menstruasi

berlangsung, maka semakin banyak pengeluaran dari tubuh. Hal tersebut

mengakibatkan pengeluaran besi meningkat dan keseimbangan zat besi dalam

tubuh terganggu (Depkes 1998). Menstruasi menyebabkan wanita kehilangan

besi hingga dua kali jumlah kehilangan besi laki-laki (Brody 1994). Apabila darah

yang keluar saat menstruasi cukup banyak, berarti jumlah zat besi yang hilang

dari tubuh juga cukup besar. Setiap orang mengalami kehilangan darah dalam

jumlah yang berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor seperti

keturunan, keadaan kelahiran, dan besar tubuh (Affandi 1990).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa jumlah darah yang hilang

selama satu periode menstruasi berkisar antara 20-25 cc dan dianggap abnormal

jika kehilangan darah menstruasi lebih dari 80 ml (Affandi 1990). Jumlah 20-25

cc menyiratkan kehilangan zat besi sebesar 12.5-15 mg/bulan atau kira-kira

sama dengan 0.4-0.5 mg sehari. Jika jumlah tersebut ditambah dengan

kehilangan basal maka jumlah total zat besi yang hilang sebesar 1.25 mg per

hari (Arisman 2002). Wanita usia muda relatif lebih sedikit kehilangan darah

Page 23: A08ear

menstruasi dibandingkan dengan wanita usia lanjut yang masih mendapat

menstruasi. Kebanyakan wanita dengan tingkat menstruasi yang berat sangat

mungkin terkena anemia ringan (Wiseman 2002).

Status Gizi Status gizi adalah keadaan seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi,

penyerapan, dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang

lama. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian

yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik (Supariasa et al 2001).

Pengukuran antropometri terdiri dari dua dimensi yaitu pengukuran pertumbuhan

dan komposisi tubuh (pengukuran komponen lemak dan komponen bukan

lemak).

Menurut Riyadi (2001), indikator antropometri yang dipakai di lapangan

adalah berat badan untuk mengetahui massa tubuh dan panjang atau tinggi

badan untuk mengetahui dimensi berat linear dan indikator tersebut sangat

tergantung pada umur. Antropometri sangat penting pada masa remaja karena

antropometri dapat memonitor dan mengevaluasi perubahan pertumbuhan dan

kematangan yang dipengaruhi oleh faktor hormonal. Pengukuran paling reliabel

untuk ras spesifik dan popular untuk menentukan status gizi pada masa remaja

saat ini adalah Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT merupakan indeks berat badan

seseorang dalam hubungannya dengan tinggi badan, yang ditentukan dengan

membagi BB dalam satuan kg dengan kuadrat TB dalam satuan meter. Berikut

adalah rata-rata berat badan dan tinggi badan wanita berdasarkan usia menurut

WNPG 2004.

Tabel 2 Rata-rata BB dan TB wanita berdasarkan usia Usia Berat Badan (kg) Tinggi Badan (cm)

Rata-rata SD Rata-rata SD 10-12 tahun 38.4 9.2 145.4 8.8 13-15 tahun 44.6 6.7 152.3 4.6 16-18 tahun 46.3 4.6 149.1 4.9

Sumber : Jahari & Jus’at (2004) dalam WNPG (2004)

Pada periode remaja, 20 persen tinggi badan dan 50 persen berat badan

saat dewasa telah dicapai. Oleh karena itu kebutuhan zat gizi mencapai titik

tertinggi saat remaja dan adanya kekurangan zat gizi makro dan mikro dapat

mengganggu pertumbuhan dan menghambat pematangan seksual. Wanita yang

berstatus gizi baik akan lebih cepat mengalami pertumbuhan badan dan akan

lebih cepat mengalami menstruasi. Sebaliknya wanita yang berstatus gizi buruk

pertumbuhannya akan pelan dan lama serta menstruasinya akan lebih lambat

Page 24: A08ear

(ABD/SCN 2001 diacu dalam Briawan 2008). IMT mempunyai korelasi positif

dengan konsentrasi hemoglobin (Thompson 2007). Hal tersebut sejalan dengan

penelitian Permaesih dan Herman (2005) yang menunjukkan bahwa remaja yang

mempunyai IMT kurang atau tubuh kurus mempunyai risiko 1.5 kali untuk

menjadi anemia.

Riwayat penyakit Anemia dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah terkena

infeksi (Permaesih dan Herman 2005). Telah diketahui secara luas bahwa infeksi

merupakan faktor yang penting dalam menimbulkan kejadian anemia, dan

anemia merupakan konsekuensi dari peradangan dan asupan makanan yang

tidak memenuhi kebutuhan zat besi (Thurnham & Northrop-Clewes 2007).

Kehilangan darah akibat schistosomiasis, infestasi cacing, dan trauma dapat

menyebabkan defisiensi zat besi dan anemia. Angka kesakitan akibat penyakit

infeksi meningkat pada populasi defisiensi besi akibat efek yang merugikan

terhadap sistem imun. Malaria karena hemolisis dan beberapa infeksi parasit

seperti cacing, trichuriasis, amoebiasis, dan schistosomiasis menyebabkan

kehilangan darah secara langsung dan kehilangan darah tersebut

mengakibatkan defisiensi besi (WHO 2001).

Adanya infeksi cacing tambang menyebabkan pendarahan pada dinding

usus, meskipun sedikit tetapi terjadi terus menerus sehingga dapat

mengakibatkan hilangnya darah atau zat besi. Infeksi cacing merupakan

kontributor utama terjadinya anemia dan defisiensi besi. Cacing tambang dapat

menyebabkan pendarahan usus yang memicu kehilangan darah akibat beban

cacing dalam usus. Intensitas infeksi cacing tambang yang menyebabkan

anemia defisiensi zat besi bervariasi menurut spesies dan status zat besi

populasi. Cacing tambang yang menyebabkan kehilangan darah terbesar adalah

A. duodenale (Dreyfuss et al 2000).

Peningkatan kejadian akibat malaria pada penderita anemia gizi besi

dapat memperberat keadaan anemia. Malaria adalah infeksi parasit yang

ditimbulkan oleh satu dari empat spesies dari genus Plasmodium yaitu P. vivax,

P. falciparum, P. ovale, dan P. malariae. Pada malaria P. falciparum, anemia

sering ditemukan dan menggambarkan anemia berat (Shulman et al 1994).

Menurut hasil penelitian Wijianto (2002), penyakit infeksi seperti malaria dapat

menyebabkan rendahnya kadar Hb yang terjadi akibat hemolisis intravaskuler.

Page 25: A08ear

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada wanita hamil di Nepal, terdapat bukti

bahwa malaria berhubungan dengan defisiensi besi. Konsentrasi serum ferritin

pada wanita yang terjangkit P. vivax lebih rendah dan proporsi wanita dengan

serum ferritin rendah cenderung meningkat (Dreyfuss et al 2000).

Peradangan dan pemanfaatan hemoglobin oleh parasit memegang

peranan penting dalam etiologi anemia pada malaria. Peradangan tersebut

terlihat dalam studi pada anak-anak India (2-11 tahun) yang menderita malaria

parah, sedang, asimtomatik, dan tidak malaria. Hasil penelitian menunjukkan

malaria asimtomatik memiliki konsentrasi hemoglobin yang lebih rendah

dibandingkan dengan yang tidak menderita malaria. Walaupun persentase sel

darah merah yang terinfeksi malaria biasanya lebih sedikit, anemia dapat timbul

akibat blokade penempatan sel darah merah oleh faktor penghambat seperti

hematopoiesis (Thurnham & Northrop-Clewes 2007).

Aktivitas Fisik Anemia dapat mempengaruhi tingkat kesegaran jasmani seseorang.

Penelitian Permaesih menemukan 25 persen remaja di Bandung mempunyai

kesegaran jasmani kurang dari normal (Permaesih dan Herman 2005). Aktivitas

fisik erat kaitannya dengan kesehatan tubuh secara keseluruhan. Tubuh yang

sehat mampu melakukan aktivitas fisik secara optimal, sebaliknya aktivitas fisik

yang dilakukan secara rutin dalam porsi yang cukup mempunyai dampak positif

bagi kesehatan badan.

Pola aktivitas remaja didefinisikan sebagai kegiatan yang biasa dilakukan

oleh remaja sehari-hari sehingga akan membentuk pola. Aktivitas remaja dapat

dilihat dari bagaimana cara remaja mengalokasikan waktunya selama 24 jam

dalam kehidupan sehari-hari untuk melakukan suatu jenis kegiatan secara rutin

dan berulang-ulang (Kartono 1992 diacu dalam Ratnayani 2005). Menurut

Framingham Study diacu dalam Ratnayani (2005), aktivitas fisik selama 24 jam

dibagi menjadi lima yaitu aktivitas tidur, aktivitas berat (olah raga seperti jogging,

sepak bola, atletik, dan sebagainya), aktivitas sedang (belajar, naik tangga,

mencuci, mengepel, menyetrika, menyapu, dan sebagainya), aktivitas ringan

(kegiatan sambil berdiri), dan aktivitas rileks (duduk, berbaring, dan sebagainya).

Aktivitas fisik penting untuk mengetahui apakah aktivitas tersebut dapat

mengubah status zat besi. Performa aktivitas akan menurun sehubungan dengan

terjadinya penurunan konsentrasi hemoglobin dan jaringan yang mengandung

Page 26: A08ear

zat besi. Zat besi dalam hemoglobin, ketika jumlahnya berkurang, secara ekstrim

dapat mengubah aktivitas kerja dengan menurunkan transpor oksigen (Beard

dan Tobin 2000).

Menstruasi pada wanita dapat meningkatkan risiko terjadinya defisiensi

zat besi terkait aktivitas fisiknya tanpa memperhatikan kehilangan darah yang

dialami setiap bulan. Pengeluaran zat besi dapat melalui keringat, feses dan

urine, atau hemolisis intravaskular. Studi yang dilakukan pada atlet wanita

menunjukkan bahwa kehilangan zat besi melalui keringat menurun sejalan

dengan waktu. Konsentrasi zat besi terbesar dalam keringat terjadi selama 30

menit pertama olahraga dan konsentrasi zat besi tersebut lebih rendah pada

lingkungan yang panas dibandingkan lingkungan bersuhu ruang. Pada berbagai

kasus zat gizi mikro, wanita cenderung mempunyai asupan pangan yang kurang,

dan defisiensi memberikan dampak yang merugikan pada aktivitas fisik (Akabas

dan Dolins 2005).

Konsumsi Pangan Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan

yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu.

Definisi ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis

pangan yang dikonsumsi dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Dalam

menghitung jumlah zat gizi yang dikonsumsi, kedua informasi ini (jenis dan

jumlah pangan) merupakan hal yang penting. Batasan ini menunjukkan bahwa

konsumsi pangan dapat ditinjau berdasarkan aspek jenis pangan dan jumlah

pangan yang dikonsumsi. Pangan sebagai sumber berbagai zat gizi merupakan

kebutuhan yang harus dipenuhi setiap hari (Kusharto dan Sa’diyyah 2006).

Pangan sumber zat besi terutama zat besi heme, yang bioavailabilitasnya

tinggi, sangat jarang dikonsumsi oleh masyarakat di negara berkembang, yang

kebanyakan memenuhi kebutuhan besi mereka dari produk nabati (Backstrand et

al 2002). Di Indonesia, ketidakcukupan jumlah Fe dalam makanan terjadi karena

pola konsumsi makan masyarakat Indonesia masih didominasi sayuran sebagai

sumber zat besi yang sulit diserap. Sementara itu, daging dan bahan pangan

hewani sebagai sumber zat besi yang baik (heme iron) jarang dikonsumsi

terutama oleh masyarakat pedesaan (Depkes 1998).

Menurut Almatsier (2001) diperkirakan hanya 5-15 persen besi makanan

diabsorpsi oleh seseorang yang berada dalam status besi baik dan jika dalam

Page 27: A08ear

keadaan defisiensi besi, absorpsi dapat mencapai 50 persen. Faktor bentuk besi

berpengaruh terhadap absorpsi besi. Besi heme yang terdapat dalam pangan

hewani dapat diserap dua kali lipat daripada besi nonheme.

Besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi heme (dalam

hemoglobin dan mioglobin makanan hewani) dan besi nonheme (dalam makanan

nabati). Sumber besi nonheme yang baik diantaranya adalah kacang-kacangan.

Asam fitat yang terkandung dalam kedelai dan hasil olahannya dapat

menghambat penyerapan besi. Namun karena zat besi yang terkandung dalam

kedelai dan hasil olahannya cukup tinggi, hasil akhir terhadap penyerapan

besipun biasanya akan positif. Sayuran daun berwarna hijau memiliki kandungan

zat besi yang tinggi sehingga jika sering dikonsumsi maka akan meningkatkan

cadangan zat besi di dalam tubuh. Beberapa jenis sayuran hijau juga

mengandung asam oksalat yang dapat menghambat penyerapan besi, namun

efek menghambatnya relatif lebih kecil dibandingkan asam fitat dalam serealia

dan tanin yang terdapat dalam teh dan kopi (Almatsier 2001).

Bioavailabilitas zat besi dalam makanan sangat dipengaruhi oleh faktor

pendorong dan penghambat. Absorpsi zat besi dapat bervariasi dari 1-40 persen

tergantung pada faktor pendorong dan penghambat dalam makanan (WHO

2001). Menurut FAO/WHO (2001), faktor pendorong penyerapan zat besi

diantaranya :

- Besi heme, terdapat dalam daging, unggas, ikan, dan seafood

- Asam askorbat atau vitamin C, terdapat dalam buah-buahan

- Makanan fermentasi seperti asinan dan kecap

Sedangkan faktor penghambat penyerapan zat besi :

- Fitat, terdapat dalam sekam dan butir serealia, tepung, kacang-kacangan

- Makanan dengan kandungan inositol tinggi

- Protein di dalam kedelai

- Besi yang terikat phenolic (tannin); teh, kopi, coklat, beberapa bumbu

(seperti oregano)

- Kalsium, terutama dari susu dan produk susu

Sumber baik zat besi berasal dari pangan hewani seperti daging, unggas,

dan ikan karena mempunyai ketersediaan biologik yang tinggi (Almatsier 2001).

Pangan hewani seperti daging sapi, daging unggas, dan ikan memiliki Meat,

Fish, Poultry Factor (MFP Factor) yang dapat meningkatkan penyerapan besi.

Hasil pencernaan ketiga pangan tersebut menghasilkan asam amino cysteine

Page 28: A08ear

dalam jumlah besar. Selanjutnya asam amino tersebut mengikat besi dan

membantu penyerapannya (Groff & Gropper 2000 diacu dalam Puri 2007).

Konsumsi pangan yang rendah kandungan zat besi dapat menyebabkan

ketidakseimbangan besi di dalam tubuh. Selain itu, tingginya konsumsi pangan

yang dapat menghambat penyerapan besi dan rendahnya konsumsi pangan

yang dapat membantu penyerapan besi di dalam tubuh juga dapat menyebabkan

ketidakseimbangan besi di dalam tubuh. Jika hal tersebut berlangsung dalam

jangka waktu yang lama, maka dapat menyebabkan defisiensi besi (Almatsier

2001).

Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui konsumsi

pangan adalah metode frekuensi pangan yang dalam pelaksanaannya dilakukan

pencatatan frekuensi atau banyak kali penggunaan pangan yang biasanya

dikonsumsi untuk suatu periode waktu tertentu. Metode ini bertujuan untuk

memperoleh data konsumsi pangan secara kualitatif dan informasi deskriptif

tentang pola konsumsi. Dengan metode ini dapat dilakukan penilaian frekuensi

penggunaan pangan atau kelompok pangan tertentu (sumber lemak, sumber

protein, sumber zat besi, dan lain sebagainya) selama kurun waktu yang spesifik

(per hari, minggu, bulan, tahun) dan sekaligus mengestimasi konsumsi zat

gizinya. Kuisioner biasanya mempunyai dua komponen utama yaitu daftar

pangan dan frekuensi penggunaan pangan (Kusharto dan Sa’diyyah 2006).

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Menurut Depkes (2004), perilaku hidup sehat adalah perilaku proaktif

untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah risiko terjadinya

penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit serta berperan aktif dalam

gerakan kesehatan masyarakat. Perilaku hidup sehat sangat erat kaitannya

dengan higiene perorangan (personal hygiene). Yang termasuk dalam higiene

perorangan adalah mencuci tangan sebelum dan sesudah makan dengan sabun

dan air bersih mampu mencegah risiko terkena diare (Anonim 2003 diacu dalam

Nurwulan 2003). Selain itu kebersihan pribadi mencakup : kebersihan kulit,

rambut, mata, kuku, hidung, telinga, mulut dan gigi, tangan dan kaki, pakaian,

serta kebersihan sesudah buang air besar dan kecil (Depkes 2004).

Cuci tangan sebelum makan merupakan salah satu faktor determinan

status anemia. Sebagaimana diketahui bahwa cuci tangan sebelum makan

merupakan salah satu perilaku hidup sehat. Melalui membiasakan mencuci

Page 29: A08ear

tangan sebelum makan diharapkan kuman-kuman tersebut tidak turut masuk ke

dalam mulut, selanjutnya akan menyebabkan kecacingan sebab cacing di perut

sebagai pemicu terjadinya anemia. Anak yang rutin mencuci tangan ternyata

mempunyai risiko yang lebih kecil untuk terkena anemia (Irawati et al 2000).

Faktor Risiko Anemia Lainnya Secara umum, status anemia dipengaruhi oleh empat variabel utama

yaitu infeksi, konsumsi pangan, keadaan fisiologi, dan pengeluaran zat besi oleh

tubuh. Selain itu, terdapat faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap kejadian

anemia antara lain pendidikan, jenis kelamin, wilayah, kebiasaan sarapan, status

kesehatan, dan keadaan IMT (Indeks Massa Tubuh) dalam kategori kurus

(Permaesih dan Herman 2005). Hasil penelitian Maharani (2003) menunjukkan

bahwa faktor risiko yang secara signifikan mempengaruhi kecenderungan status

anemia mahasiswa baru yaitu faktor jenis kelamin, umur, pendapatan orangtua,

dan status proteinuria.

Faktor pendidikan dapat mempengaruhi status anemia seseorang

sehubungan dengan pemilihan makanan yang dikonsumsi. Tingkat pendidikan

yang lebih tinggi akan mempengaruhi pengetahuan dan informasi tentang gizi

yang lebih baik dibandingkan seseorang yang berpendidikan lebih rendah.

Pilihan konsumsi makanan seseorang selain dipengaruhi oleh pengetahuan gizi,

juga dipengaruhi oleh wilayah seseorang tinggal dalam hal ketersediaan pangan

(Permaesih dan Herman 2005).

Keadaan Indeks Massa Tubuh (IMT) dalam kategori kurus mempunyai

kecenderungan untuk terkena anemia (Permaesih dan Herman 2005). Menurut

Thompson, pertumbuhan yang terganggu berhubungan dengan anemia

defisiensi besi dan Indeks Massa Tubuh (IMT) secara positif berhubungan

dengan konsentrasi hemoglobin seseorang. Namun hasil tersebut berbeda

dengan kelompok wanita usia subur di Lebanon, yang menunjukkan bahwa tidak

adanya hubungan IMT dengan status anemia (Khatib et al 2006 diacu dalam

Briawan 2008).

Hasil penelitian Maharani menunjukkan bahwa pendapatan orang tua

yang rendah memiliki kecenderungan menderita anemia. Hasil tersebut sesuai

dengan penyataan WHO (2001) bahwa anemia sering terjadi diantara

masyarakat yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah. Penelitian di

Indonesia yang dilakukan oleh Survival for Women and Children (SWACH)

Page 30: A08ear

Foundation menemukan bahwa bahwa status sosial ekonomi juga menjadi faktor

yang mempengaruhi timbulnya kejadian anemia pada remaja (Bartley et al 2005).

Faktor penentu anemia defisiensi besi lainnya termasuk pendapatan yang rendah

dan kemiskinan yang berakibat pada asupan makanan yang rendah dan pola

makan yang rendah zat gizi mikro. Keadaan tersebut juga dipengaruhi oleh

kurangnya pemahaman tentang pola makan beragam dan pentingnya pangan

sumber zat gizi mikro yang dapat mendorong atau menghambat penyerapan zat

besi oleh tubuh (Thompson 2007). Hal ini menggambarkan asupan pangan

sumber zat besi yang rendah terutama pangan hewani (Bartley et al 2005).

Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB)

pada Remaja Putri Menurut Dinkes Kota Bekasi (2007), anemia sangat berkaitan dengan

tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia yaitu setiap 100.000 kelahiran

hidup terdapat 307 orang ibu yang meninggal. AKI adalah indikator Indeks

Pembangunan Manusia (IPM) yang kini sedang gencar dibangun oleh Jawa

Barat. Data tahun 2003 menunjukkan prevalensi anemia ibu hamil di Jawa Barat

sebesar 51.7 persen dan prevalensi pada remaja putri sebesar 39 persen. Di

Kota Bekasi pada tahun 2006 terdapat 24 kasus kematian ibu dan 40 persen

penyebabnya adalah perdarahan karena anemia.

Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB)

pada remaja putri merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh Dinas

Kesehatan Propinsi Jawa Barat untuk menurunkan prevalensi anemia yang

masih tinggi pada remaja putri yang pada akhirnya diharapkan dapat

menurunkan prevalensi anemia pada ibu hamil. Kegiatan ini berupa pemberian

tablet tambah darah selama 4 bulan kepada remaja putri. Beberapa kabupaten

dan kota di Jawa Barat seperti Cirebon, Subang, Cianjur, dan Bandung telah

melaksanakan program tersebut pada tahun 2006 dan secara signifikan

menunjukkan adanya penurunan prevalensi anemia pada remaja putri baik pada

siswa SMP maupun SMA yang diberikan tablet tambah darah tersebut.

Kegiatan ini dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan seksi Kesehatan Keluarga

dan Gizi bekerja sama dengan seksi Promosi Kesehatan (Program UKS),

Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) Kota Bekasi dan Puskesmas

Perumnas II serta Guru UKS di sekolah sasaran. Program pencegahan dan

penanggulangan anemia gizi besi pada remaja putri ini dilakukan dengan

Page 31: A08ear

pemberian tablet tambah darah selama 4 bulan. Program Pencegahan dan

Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) pada remaja putri ini berlangsung

dalam beberapa tahap diantaranya pemeriksaan kadar Hb darah dan recall pola

makan remaja putri yang dilakukan sebelum dan setelah pemberian tablet

tambah darah, pemberian tablet tambah darah kepada remaja putri dan kegiatan

konseling gizi yang bertujuan untuk memantapkan kemauan dan kemampuan

remaja putri melaksanakan perilaku gizi yang baik dan benar agar tidak terjadi

anemia, pemantauan kepatuhan minum tablet tambah darah, dan evaluasi

kegiatan. Tablet tambah darah yang diberikan mengandung 250 mg Fe

elemental dan 0.25 mg asam folat ditambah vitamin dan mineral. Tablet tambah

darah diberikan 1 tablet setiap minggu dan 10 tablet pada waktu menstruasi

sehingga total tablet yang diminum selama 4 bulan kegiatan adalah 52 tablet.

Sekolah untuk pelaksanaan kegiatan dipilih dengan latar belakang

tingginya prevalensi anemia ibu hamil di daerah tersebut, adanya petugas

Puskesmas dengan latar belakang pendidikan gizi, kinerja puskesmas yang

cukup baik, tersedianya laboratorium dan tenaga lab untuk fasilitas pengambilan

dan pemeriksaan darah dengan metode Cyanmethemoglobin, dan dukungan

puskesmas terhadap pelaksanaan kegiatan, serta adanya koordinasi dengan

Dinas Pendidikan dan dinas terkait untuk memberikan dukungan terhadap

kegiatan dan dapat menindaklanjuti pemberian tablet tambah darah secara

mandiri pasca kegiatan.

Page 32: A08ear

KERANGKA PEMIKIRAN

Defisiensi zat besi dapat mempengaruhi kapasitas kerja fisik remaja.

Selain itu, defisiensi zat besi dapat mengganggu status imunitas dan fungsi

kognitif pada berbagai tingkatan umur. Defisiensi zat besi menurunkan kekuatan

fisik yang berakibat pada penurunan kapasitas fisik dan kerja. Anemia

mempunyai dampak negatif yang serius pada pertumbuhan dan perkembangan

selama remaja. Sebuah studi yang dilakukan pada remaja putri menunjukkan

bahwa anemia berhubungan dengan menurunnya ketahanan fisik dan

kemampuan berkonsentrasi (Thompson 2007). Selama masa remaja, tubuh

mengalami perkembangan dan persiapan untuk proses kehamilan di masa

mendatang. Rendahnya simpanan zat besi dalam tubuh remaja dan wanita usia

reproduktif membuat mereka mudah terkena anemia defisiensi zat besi karena

intake zat besi dari makanan saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan zat

besi selama masa kehamilan (Beard 2000).

Penelitian ini merupakan bagian dari kegiatan Pencegahan dan

Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) pada remaja putri di Kota Bekasi

yang merupakan program suplementasi zat besi Dinas Kesehatan Kota Bekasi.

Tujuan jangka panjang dari program tersebut adalah menurunkan prevalensi

anemia gizi besi pada remaja putri. Salah satu usaha yang dapat membantu hal

tersebut adalah dengan mengetahui faktor risiko anemia. Pada penelitian kali ini

digunakan beberapa variabel yang berkemungkinan menjadi faktor risiko anemia,

seperti usia, status gizi, aktivitas fisik, pola menstruasi, riwayat penyakit, perilaku

hidup bersih dan sehat, dan frekuensi konsumsi pangan.

Secara garis besar, status anemia dipengaruhi oleh empat variabel utama

yaitu infeksi, konsumsi pangan, keadaan fisiologi, dan pengeluaran zat besi oleh

tubuh. Variabel infeksi dipengaruhi oleh riwayat penyakit individu dan kebiasaan

hidup sehat yang diterapkan. Riwayat penyakit seperti pernah tidaknya menderita

penyakit tuberculosis, malaria, dan cacing dapat menyebabkan anemia akibat

terjadinya kehilangan darah. Kebiasaan hidup sehat yang diterapkan seperti

kebiasaan mencuci tangan berhubungan dengan kebiasaan menjaga personal

hygiene. Kebiasaan mencuci tangan dapat menurunkan risiko terkena anemia

karena dengan mencuci tangan, diharapkan kuman penyebab kecacingan dapat

dihindarkan.

Variabel konsumsi pangan seperti konsumsi pangan sumber heme yang

tinggi atau rendah dapat menjadi faktor risiko status anemia remaja putri. Zat

Page 33: A08ear

besi yang terdapat dalam bahan makanan dapat berasal dari hewan maupun

tumbuhan. Zat besi yang berasal dari tumbuh-tumbuhan memiliki daya serap

yang lebih rendah dibanding zat besi yang berasal dari hewan. Bentuk zat besi

yang terdapat di dalam makanan juga mempengaruhi penyerapan besi oleh

tubuh. Zat besi hem yang berasal dari hewan lebih mudah diabsorpsi

dibandingkan zat besi nonhem.

Keadaan fisiologi seseorang seperti usia dan status gizi juga dapat

menjadi faktor risiko anemia. Menurut FAO/WHO (2001), kebutuhan zat besi

yang diperlukan remaja putri untuk pertumbuhan berbeda antara early

adolescence dan middle adolescence. Kebutuhan zat besi yang lebih besar

diperlukan oleh early adolescence karena pada usia tersebut growth spurt lebih

intens terjadi dibandingkan middle adolescence (Beard 2000). Keadaan status

gizi atau IMT yang kurang dapat berpotensi menimbulkan kejadian anemia

(Permaesih dan Herman 2005).

Variabel terakhir yang berkemungkinan menjadi faktor risiko anemia

adalah pengeluaran zat besi oleh tubuh melalui menstruasi dan aktivitas fisik.

Remaja terutama yang telah mengalami menstruasi, dibandingkan dengan yang

belum menstruasi, lebih rentan terhadap anemia, sehubungan dengan

kehilangan darah yang dialami sewaktu menstruasi (Dillon 2005). Kehilangan zat

besi dari tubuh juga dapat melalui keringat saat melakukan aktivitas fisik.

Semakin berat aktivitas fisik, pengeluaran zat besi melalui keringat kemungkinan

akan semakin besar.

Page 34: A08ear

Gambar 1. Kerangka pemikiran faktor risiko anemia pada remaja putri peserta program

Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota

Bekasi

Keterangan :

= Variabel yang diteliti

Status

Anemia

Konsumsi Pangan sumber Fe

Status Gizi Riwayat Penyakit

Perilaku hidup bersih dan sehat

Usia

Menstruasi

Aktivitas Fisik

Faktor penghambat penyerapan Fe : - Teh - Kopi - Sayuran

Faktor pemicu penyerapan Fe : - Pangan

hewani - Buah-buahan

Page 35: A08ear

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat, dan Waktu Desain penelitian adalah cross-sectional study yaitu baseline data dari

Dinas Kesehatan Kota Bekasi untuk pelaksanaan program Pencegahan dan

Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) pada remaja putri di Kota Bekasi.

Lokasi penelitian dilaksanakan di dua sekolah yaitu SMP VII Kota Bekasi dan

SMK Teratai Putih Global 2 Kota Bekasi. Pemilihan SMP dan SMK tersebut

didasarkan pada kesediaan pihak sekolah untuk mengikuti program Dinas

Kesehatan Kota Bekasi serta keaktifan puskesmas yang dekat dengan lokasi

SMP dan SMK untuk mengumpulkan data pengukuran hemoglobin peserta

program. Waktu pengambilan data dilakukan pada bulan November 2007 sampai

Februari 2008.

Penarikan Contoh Contoh dalam penelitian ini terdiri dari 200 orang siswi SMP VII Kota

Bekasi dan 200 orang SMK Teratai Putih Global 2 Kota Bekasi kelas 1 dan kelas

2 sehingga diperoleh jumlah total contoh sejumlah 400 orang. Usia contoh

berkisar antara 10-18 tahun. Tujuan dari program PPAGB adalah untuk

menurunkan prevalensi anemia pada remaja putri sehingga dipilih siswi SMP dan

SMK yang sebagian besar berada pada kisaran usia remaja putri (10-19 tahun

menurut WHO 2006). Pengambilan contoh dilakukan secara sengaja dengan

pertimbangan kesediaan para siswi mengikuti program dan adanya izin dari

orangtua siswi.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan berupa baseline data yang didapat dari Dinas

Kesehatan Kota Bekasi yang merupakan bagian dari program Pencegahan dan

Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) pada remaja putri di Kota Bekasi.

Kegiatan awal yang dilakukan adalah sosialisasi program berupa penyuluhan

kepada para siswi di SMP dan SMK kemudian dilanjutkan pendataan siswi yang

bersedia mengikuti program tersebut. Data dikumpulkan melalui tiga cara yaitu

dengan wawancara langsung, pengukuran langsung, dan pemeriksaan

laboratorium yang dilakukan oleh seorang petugas Puskesmas dan tim Dinas

Kesehatan Bekasi sejumlah tiga orang.

Page 36: A08ear

Wawancara langsung dengan siswi dilakukan pada saat pengumpulan

data menggunakan kuisioner yang berisi data usia, aktivitas fisik, pola

menstruasi, riwayat penyakit, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), perilaku

makan, dan frekuensi konsumsi pangan. Data frekuensi konsumsi pangan

diperoleh dengan metode Food Frequency Questionnaires (FFQ) selama satu

minggu terhadap pangan sumber heme dan pangan sumber non heme.

Data antropometri dan status gizi diketahui melalui pengukuran langsung

berat badan dan tinggi badan dengan alat ukur timbangan dan microtoise.

Selanjutnya hasil berat badan dan tinggi badan digunakan untuk mengetahui

status gizi antropometri siswi.

Penentuan kadar hemoglobin dilakukan dengan pengambilan sampel

darah yang dilakukan oleh petugas Puskesmas dan selanjutnya diukur dengan

metode Cyanmethemoglobin. Metode Cyanmethemoglobin untuk menentukan

konsentrasi hemoglobin adalah metode laboratorium terbaik dalam penentuan

kuantitatif hemoglobin. Sampel darah yang dikumpulkan dibawa ke puskesmas

untuk selanjutnya dilakukan analisis.

Pengolahan dan Analisis Data Proses pengolahan data meliputi editing, coding, entry, dan analisis data.

Data yang telah dikumpulkan kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan

dianalisis secara deskriptif dan statistika menggunakan program Microsoft Excel

2003 dan SPSS 11.5 for Windows.

Anemia terjadi apabila kepekatan hemoglobin dalam darah di bawah

batas normal. Status anemia contoh ditentukan berdasarkan kadar hemoglobin

yaitu menjadi anemia (kadar Hb < 12 g/dl) dan tidak anemia (kadar Hb ≥ 12 g/dl).

Dari data kadar hemoglobin tersebut dapat ditentukan penggolongan jenis

anemia contoh menjadi ringan (10-11.9 g/dl), sedang (7-9.9 g/dl), dan berat

(kadar Hb < 7 g/dl).

WHO mendefinisikan remaja sebagai bagian dari siklus hidup antara usia

10-19 tahun (WHO 2006). Remaja memiliki pertumbuhan yang cepat (growth

spurt) dan satu-satunya periode dalam hidup individu terjadi peningkatan

velositas pertumbuhan (UNS-SCN 2006). Contoh penelitian ini berusia antara 10-

18 tahun dan dikategorikan menjadi tiga yaitu siswi yang berusia 10-12 tahun,

13-15 tahun, dan 16-18 tahun (Jahari dan Jus’at 2004).

Status gizi adalah keadaan seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi,

penyerapan, dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang

Page 37: A08ear

lama. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian

yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik (Supariasa et al 2001). Data

status gizi contoh diperoleh menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT) yang

dihitung berdasarkan data antropometri yaitu berat badan dan tinggi badan siswi

dengan rumus:

Berat Badan (kg) IMT =

Tinggi Badan (m2)

Status gizi kemudian dikategorikan menjadi kurus (IMT < 18.5), normal (IMT

18.5-24.9), risiko untuk gemuk (IMT 25.0-26.9), dan gemuk (IMT > 26.9).

Menstruasi didefinisikan sebagai suatu proses fisiologis contoh yang

ditandai dengan perdarahan secara periodik dan siklik. Status menstruasi

merupakan sudah atau belumnya contoh mengalami menstruasi. Contoh yang

sudah mengalami menstruasi diberi skor 1 dan 0 jika belum menstruasi.

Frekuensi menstruasi dikategorikan menjadi menjadi rendah (2-3 bulan sekali),

normal (sebulan sekali), dan tinggi (dua kali sebulan). Banyaknya menstruasi

dikategorikan berdasarkan banyaknya pembalut yang digunakan setiap hari yaitu

ganti 1-2 kali, 3-4 kali, 5-6 kali, dan lebih dari enam kali. Lama menstruasi

dikategorikan menjadi rendah (kurang dari tiga hari), normal (3-7 hari), dan tinggi

(lebih dari tujuh hari).

Riwayat penyakit dikategorikan sebagai ada tidaknya penyakit yang

pernah diderita selama sebulan terakhir yang berhubungan dengan anemia yaitu

penyakit tuberculosis, malaria, dan kecacingan. Skor yang diberikan adalah 1 jika

memiliki riwayat penyakit dan 0 jika tidak memiliki riwayat penyakit.

Aktivitas fisik merupakan kegiatan sehari-hari contoh selain belajar.

Aktivitas fisik dikategorikan menjadi tiga yaitu : (1) Olahraga ringan seperti jalan

santai, lempar cakram, tolak peluru, senam pernapasan, (2) Olahraga sedang

seperti basket, voli, lari, senam aerobik, jalan cepat, dan (3) Olahraga berat

seperti sepakbola, lari cepat >10 km, senam aerobik high impact.

Data frekuensi pangan yang dikonsumsi selama seminggu dibagi menjadi

lauk hewani, lauk nabati, sayuran, buah-buahan, makanan jajanan, minuman,

dan suplemen. Bahan pangan tersebut kemudian dikategorikan menurut

frekuensi konsumsinya selama seminggu yaitu tidak pernah, jarang (kurang dari

3 kali), kadang-kadang (3-6 kali), dan setiap hari.

Page 38: A08ear

Analisis data dilakukan dalam tiga tahap yaitu univariat, bivariat, dan

multivariat. Analisis univariat dilakukan untuk mendeskripsikan seluruh variabel

yang dianalisis menggunakan crosstab. Melalui uji deksriptif dapat diketahui nilai

minimum, nilai maksimum, dan nilai rata-rata dari setiap variabel, serta frekuensi.

Analisis bivariat dengan teknik analisis korelasi Spearman dilakukan untuk

melihat besar hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen,

dalam hal ini variabel dependen adalah status anemia. Analisis multivariat

dengan teknik analisis regresi logistik dilakukan untuk mengetahui faktor risiko

yang paling berkaitan dengan status anemia. Pada analisis multivariat

dimasukkan seluruh variabel yang pada analisis bivariat berhubungan secara

signifikan dengan status anemia, ini bertujuan untuk mengetahui interaksi seluruh

variabel yang diduga menjadi faktor risiko anemia. Keeratan hubungan dipelajari

pada taraf nyata 10 persen.

Definisi Operasional

Remaja Putri adalah siswi SMP dan SMK berusia antara 10-18 tahun

yang merupakan peserta program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia

Gizi Besi pada Remaja Putri di Kota Bekasi

Status gizi antropometri adalah keadaan remaja putri yang diakibatkan

konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi dari makanan yang diukur

berdasarkan Indeks Massa Tubuh dan dikategorikan menjadi kurus (IMT < 18.5),

normal (IMT 18.5-24.9), risiko untuk gemuk (IMT 25.0-26.9), dan gemuk (IMT >

26.9)

Status anemia adalah jumlah hemoglobin dalam darah yang dinyatakan

dalam satuan g/dl dan dikatakan anemia apabila konsentrasi atau kadar

hemoglobin dalah darah kurang dari 12 g/dl.

Menstruasi adalah suatu proses fisiologis remaja putri yang ditandai

dengan perdarahan secara periodik dan siklik yang digambarkan oleh status

menstruasi (sudah atau belumnya contoh mengalami menstruasi), frekuensi

menstruasi, banyaknya menstruasi, dan lama menstruasi

Frekuensi menstruasi adalah keteraturan menstruasi remaja putri yang

dinyatakan rendah apabila menstruasi 2-3 kali sebulan, normal apabila

menstruasi satu kali setiap bulan, dan tinggi apabila menstruasi dua kali sebulan

Page 39: A08ear

Banyaknya menstruasi adalah gambaran darah yang dikeluarkan

remaja putri yang digambarkan dengan banyaknya pembalut yang digunakan

setiap hari

Lama menstruasi adalah lamanya menstruasi remaja putri yang

berlangsung setiap periode menstruasi dan dinyatakan rendah apabila kurang

dari tiga hari, normal apabila antara 3-7 hari, dan tinggi apabila lebih dari delapan

hari

Aktivitas Fisik adalah kegiatan yang biasa dilakukan oleh remaja putri

yang dikategorikan menjadi tiga yaitu olahraga ringan, olahraga sedang, dan

olahraga berat

Riwayat Penyakit adalah penyakit yang pernah diderita remaja putri

yang berhubungan dengan kejadian anemia yaitu penyakit tuberculosis, malaria,

dan kecacingan dalam jangka waktu sebulan terakhir

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat adalah perilaku proaktif remaja putri

dalam memelihara kesehatan dan mencegah risiko penyakit yaitu berupa

kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dengan atau tanpa sabun dan air

bersih

Konsumsi Pangan adalah gambaran pola konsumsi bahan makanan remaja

putri yang diukur secara kualitatif yaitu bahan pangan sumber heme dan sumber

non heme yang dikonsumsi selama seminggu

Page 40: A08ear

HASIL DAN PEMBAHASAN

Status Anemia Status zat besi tiap individu bermacam-macam mulai dari excess zat besi

sampai anemia defisiensi zat besi (Gleason & Scrimshaw 2007). Anemia terjadi

apabila kepekatan hemoglobin dalam darah di bawah batas normal. Pada

penelitian ini, status anemia ditentukan menggunakan indikator hemoglobin.

Penggunaan konsentrasi hemoglobin dalam darah merupakan pengukuran

anemia defisiensi besi yang paling luas. Penentuan kadar hemoglobin dilakukan

dengan pengambilan sampel darah dan dianalisis menggunakan metode

Cyanmethemoglobin. Sebaran contoh berdasarkan kadar hemoglobin disajikan

pada Gambar 2.

0%

61.7%

32.3%

6.0%

Normal ≥ 12.0 g/dl

Ringan 10.0-11.9 g/dl

Sedang 7.0- 9.9 g/dl

Berat < 7.0 g/dl

Gambar 2. Sebaran contoh berdasarkan kadar hemoglobin

Konsentrasi hemoglobin contoh berkisar antara 7.2 hingga 16.0 g/dl

dengan rata-rata kadar hemoglobin 12.4 ± 1.5 g/dl. Pada penelitian ini lebih dari

separuh contoh (61.7%) tidak mengalami anemia. Terdapat 32.3 persen contoh

yang mengalami anemia ringan dan 6.0 persen contoh yang mengalami anemia

sedang (kadar Hb antara 7.0-9.9 g/dl).

Adanya contoh yang berada pada kondisi anemia sedang ini akan

berdampak pada status imunitas dan fungsi kognitifnya (Ruel 2001). Menurut

Soekirman (2000), anemia pada kelompok remaja dapat menimbulkan berbagai

dampak antara lain menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah terkena

penyakit dan menurunkan aktivitas yang berkaitan dengan kemampuan kerja fisik

dan prestasi belajar. Selain itu remaja yang menderita anemia mengalami

penurunan kebugaran sehingga akan menghambat prestasi olahraga dan

produktivitasnya.

Page 41: A08ear

Secara keseluruhan terdapat 38.3 persen contoh yang mengalami

anemia yaitu keadaan kadar hemoglobin kurang dari 12.0 g/dl. Prevalensi ini

lebih tinggi dari hasil penelitian Permaesih dan Herman (2005) yaitu sebesar 30

persen pada remaja wanita, namun termasuk rendah bila dibandingkan dengan

prevalensi anemia di SD dan SMU di Jawa Tengah (57.4%) dan Jawa Timur

(80.2%) (Depkes 2003 diacu dalam Briawan 2008). Berdasarkan klasifikasi

masalah kesehatan masyarakat menurut WHO (2001), prevalensi anemia pada

hasil penelitian ini termasuk kategori sedang (20-39%).

Usia dan Status Gizi Antropometri Usia

WHO mendefinisikan remaja sebagai bagian dari siklus hidup antara usia

10-19 tahun dan dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu 10-12 tahun, 13-15 tahun

dan 16-18 tahun (Jahari & Jus’at 2004). Remaja memiliki pertumbuhan yang

cepat (growth spurt) dan merupakan waktu pertumbuhan yang intens setelah

masa bayi serta satu-satunya periode dalam hidup individu terjadi peningkatan

velositas pertumbuhan (UNS-SCN 2006). Adanya kekurangan zat gizi makro dan

mikro dapat mengganggu pertumbuhan dan menghambat pematangan seksual

(DiMeglio 2000). Berikut adalah sebaran contoh berdasarkan usia dan status

anemia.

Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan usia dan status anemia

Usia Status Anemia Total Anemia Tidak Anemia

n % n % n % 10 – 12 tahun 43 28.1 115 46.6 158 39.5 13 – 15 tahun 77 50.3 79 31.9 156 39.0 16 – 18 tahun 33 21.6 53 21.5 86 21.5 Total 153 100 247 100 400 100

Rata-rata usia contoh adalah 13.7 ± 1.9 tahun dengan kisaran usia antara

10-18 tahun. Rata-rata usia baik contoh yang anemia maupun tidak anemia

hampir sama yaitu berturut-turut 13.9 ± 1.7 tahun dan 13.5 ± 1.9 tahun. Pada

Tabel 3 dapat dilihat bahwa secara umum proporsi terbesar contoh (39.5%)

berusia antara 10-12 tahun dan hampir separuh contoh yang tidak anemia

(46.6%) berada pada kisaran usia tersebut.

Tabel 3 menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh anemia (50.3%)

berada pada kisaran usia 13-15 tahun. Hal tersebut memperlihatkan adanya

kecenderungan siswi yang berusia antara 13-15 tahun untuk mengalami anemia

Page 42: A08ear

dibandingkan siswi yang berada diluar kisaran usia tersebut. Ini diduga karena

pada kisaran usia 13-15 tahun, seseorang baru mengalami menstruasi sehingga

kecenderungan anemia lebih besar akibat kehilangan darah yang dialami.

Menurut Hanafiah (1999) diacu dalam Khaerunnisa (2005), rata-rata usia wanita

pertama kali mendapat menstruasi (menarche) yaitu 12.5 tahun sedangkan

menurut hasil penelitian Dillon (2005) terhadap remaja putri di Tangerang, rata-

rata usia menarche adalah 12 tahun.

Hasil analisis Korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan

yang signifikan antara usia dengan status anemia (r = 0.131, p = 0.009). Hal ini

memperlihatkan bahwa usia antara 13-15 tahun memiliki kecenderungan yang

lebih besar untuk mengalami anemia. Hasil penelitian Hulu (2004) pada siswi

SMK menunjukkan kecenderungan anemia berada pada kelompok siswi yang

berusia lebih tua. Ini diduga berkaitan dengan terjadinya menstruasi pada siswi

yang berusia lebih tua. Pada penelitian ini, hampir separuh siswi SMP yang

berusia antara 10-12 tahun belum mengalami menstruasi. Dillon (2005)

menyatakan bahwa remaja terutama yang telah mengalami menstruasi,

dibandingkan dengan yang belum menstruasi, lebih rentan terhadap anemia.

Persentase anemia terkecil terdapat pada kisaran usia 16-18 tahun. Hal

ini sesuai dengan hasil penelitian Maharani (2001) yang menunjukkan bahwa

usia 18 tahun ke atas memiliki kecenderungan lebih kecil untuk menderita

anemia daripada usia kurang dari 18 tahun. Hal ini pun diperkuat dengan

pernyataan Beard (2000) yang menunjukkan bahwa kebutuhan zat besi yang

lebih besar diperlukan oleh early adolescence karena pada usia tersebut growth

spurt lebih intens terjadi dibandingkan middle adolescence sehingga apabila

intake zat besi kurang akan memicu terjadinya anemia. Hal ini juga diduga

karena menurut FAO/WHO (2001), kebutuhan zat besi wanita usia 16-18 tahun

lebih rendah.

Status Gizi Antropometri Menurut Riyadi (2001), status gizi adalah keadaan seseorang yang

diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi dari makanan

dalam jangka waktu yang lama. Pengukuran antropometri banyak digunakan

dalam penilaian status gizi dan pengukuran yang paling reliabel untuk

menentukan status gizi pada masa remaja saat ini adalah Indeks Massa Tubuh

(IMT) yang ditentukan dengan membagi berat badan dalam satuan kg dengan

Page 43: A08ear

kuadrat tinggi badan dalam satuan meter. Status gizi kemudian dikategorikan

menjadi kurus (IMT<18.5), normal (IMT 18.5-24.9), risiko gemuk (IMT 25.0-26.9),

dan gemuk (IMT>26.9). Berikut adalah sebaran contoh berdasarkan status gizi

dan status anemia.

Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan status gizi dan status anemia

Status Gizi Status Anemia Total Anemia Tidak Anemia

n % n % n % Kurus 75 49.1 117 47.4 192 48.0 Normal 76 49.7 113 45.7 189 47.3 Risiko gemuk 1 0.6 9 3.6 10 2.5 Gemuk 1 0.6 8 3.3 9 2.2 Total 153 100 247 100 400 100

Rata-rata berat badan contoh adalah 43.4±9.5 kg dengan kisaran nilai

antara 19.9-95.9 kg. Rata-rata berat badan contoh yang anemia maupun tidak

anemia hampir sama yaitu berturut-turut 43.6±7.6 kg dan 43.3±10.5 kg. Contoh

memiliki rata-rata tinggi badan sebesar 1.5±0.1 m dengan kisaran nilai antara

1.3-1.7 m. Rata-rata tinggi badan contoh yang anemia maupun tidak anemia

hampir sama yaitu berturut-turut 1.5±0.6 m dan 1.5±0.1 m. Rata-rata berat badan

dan tinggi badan contoh termasuk normal bila dibandingkan dengan usia (Jahari

& Jus’at 2004).

Rata-rata IMT contoh adalah 19.3±3.3 kg/m2 dengan kisaran IMT sebesar

11.9 kg/m2 hingga 37.5 kg/m2. Secara keseluruhan, status gizi contoh berada

pada kategori kurus yaitu sebesar 48.0 persen. Proporsi terbesar contoh yang

tidak anemia berada pada kategori kurus yaitu sebesar 47.4 persen sedangkan

status gizi contoh yang anemia berada pada kategori normal (49.7%), walaupun

proporsi tersebut tidak jauh berbeda dengan contoh anemia yang kurus (49.1%).

Hal ini menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki status gizi kurus memiliki

kecenderungan untuk mengalami anemia.

Hasil penelitian Permaesih dan Herman (2005) menunjukkan bahwa

remaja yang mempunyai Indeks Massa Tubuh (IMT) kurang atau tubuh kurus

mempunyai risiko 1.5 kali untuk menjadi anemia. Thompson (2007) menyatakan

bahwa IMT mempunyai korelasi positif dengan konsentrasi hemoglobin yang

artinya jika seseorang memiliki IMT kurang maka akan berisiko menderita

anemia. Meski demikian, hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa

tidak terdapat hubungan yang signifikan antara IMT dengan status anemia

contoh (p>0.1).

Page 44: A08ear

Menstruasi Anemia pada remaja putri disebabkan masa remaja adalah masa

pertumbuhan yang membutuhkan zat gizi lebih tinggi termasuk zat besi. Selain

itu pada masa remaja, seseorang akan mengalami menstruasi. Menstruasi ialah

perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus disertai pelepasan

endometrium. Kebutuhan zat besi akan meningkat pada remaja putri

sehubungan dengan terjadinya menstruasi. Menstruasi contoh digambarkan oleh

belum atau sudah mengalami menstruasi, frekuensi, banyak, dan lama

menstruasi setiap periodenya.

Status Menstruasi Status menstruasi adalah keadaan sudah atau belumnya seorang wanita

mengalami menstruasi. Saat menstruasi terjadi pengeluaran darah dari dalam

tubuh. Hal ini menyebabkan zat besi yang terkandung dalam hemoglobin, salah

satu komponen sel darah merah, juga ikut terbuang. Hal tersebut mengakibatkan

pengeluaran besi meningkat dan keseimbangan zat besi dalam tubuh terganggu

(Depkes 1998).

Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan status menstruasi dan status anemia

Status Menstruasi

Status Anemia Total Anemia Tidak Anemia n % n % n %

Sudah 125 81.7 177 71.7 302 75.5 Belum 28 18.3 70 28.3 98 24.5 Total 153 100 247 100 400 100

Berdasarkan hasil pada Tabel 5, sebagian besar contoh (75.5%) sudah

mengalami menstruasi dan sisanya (24.5%) belum mengalami menstruasi. Pada

penelitian ini, proporsi terbesar contoh berusia antara 10-12 tahun dan hampir

separuh contoh yang tidak anemia berada pada kisaran usia tersebut. Menurut

Hanafiah (1999) diacu dalam Khaerunnisa (2005), rata-rata usia wanita pertama

kali mendapat menstruasi (menarche) yaitu 12.5 tahun sedangkan menurut hasil

penelitian Dillon (2005) terhadap remaja putri di Tangerang, rata-rata usia

menarche adalah 12 tahun.

Tabel 5 menunjukkan bahwa pada contoh yang sudah mengalami

menstruasi, persentase yang lebih besar terdapat pada contoh yang anemia

(81.7%) bila dibandingkan dengan persentase contoh yang tidak anemia

(71.7%). Hal ini memperlihatkan kecenderungan terjadinya anemia pada

Page 45: A08ear

seseorang yang sudah mengalami menstruasi. Hasil analisis korelasi Spearman

menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara status menstruasi

dengan status anemia contoh (r = 0.113, p = 0.023).

Hasil tersebut menunjukkan bahwa seseorang yang telah menstruasi

memiliki kecenderungan untuk mengalami anemia dibandingkan yang belum

menstruasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Dillon (2005) yang menyatakan

bahwa remaja terutama yang telah mengalami menstruasi, dibandingkan dengan

yang belum menstruasi, lebih rentan terhadap anemia. Wanita pada umumnya

cenderung mempunyai simpanan zat besi yang lebih rendah dibandingkan pria

dan hal inilah yang membuat wanita lebih rentan mengalami anemia saat asupan

zat besi kurang atau kebutuhan meningkat seperti saat menstruasi (Gleason &

Scrimshaw 2007).

Frekuensi Menstruasi Frekuensi menstruasi menggambarkan keteraturan menstruasi seorang

wanita setiap bulannya. Frekuensi menstruasi dibedakan menjadi rendah (2-3

bulan sekali), normal (sebulan sekali), dan tinggi (sebulan dua kali). Berikut

adalah sebaran contoh berdasarkan frekuensi menstruasi dan status anemia

yang disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi menstruasi dan status anemia

Frekuensi Menstruasi

Status Anemia Total Anemia Tidak Anemia n % n % n %

Rendah 8 6.4 7 3.9 15 5.0 Normal 111 88.8 167 94.4 278 92.0 Tinggi 6 4.8 3 1.7 9 3.0 Total 125 100 177 100 302 100

Tabel 6 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh memiliki frekuensi

menstruasi yang normal yaitu sebulan sekali (92.0%). Hasil yang serupa juga

terlihat baik pada contoh anemia (88.8%) maupun tidak anemia (94.4%).

Terdapat sekitar 3.0 persen contoh memiliki frekuensi menstruasi yang tinggi

(sebulan dua kali). Frekuensi menstruasi yang tinggi lebih sering dialami oleh

contoh yang anemia (4.8%). Hal ini menunjukkan bahwa contoh yang anemia

cenderung mengalami frekuensi menstruasi yang lebih tinggi dibandingkan

contoh yang tidak anemia.

Saat menstruasi terjadi pengeluaran darah dari dalam tubuh. Semakin

sering menstruasi berlangsung, maka semakin banyak pengeluaran dari tubuh.

Page 46: A08ear

Hal tersebut mengakibatkan pengeluaran besi meningkat dan keseimbangan zat

besi dalam tubuh terganggu (Depkes 1998). Adanya frekuensi menstruasi contoh

yang tidak normal seperti rendah dan tinggi tersebut dipengaruhi oleh beberapa

faktor yang mengganggu kelancaran siklus menstruasi diantaranya yaitu faktor

stres, perubahan berat badan, olah raga yang berlebihan, dan keluhan

menstruasi (Affandi 1990). Meski demikian, hasil analisis korelasi Spearman

menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi

menstruasi dengan status anemia contoh (p>0.1).

Banyaknya Menstruasi Banyaknya menstruasi digambarkan dengan banyaknya pembalut yang

digunakan contoh setiap hari. Menurut Affandi (1990), salah satu cara yang

dapat dilakukan untuk mengetahui jumlah darah menstruasi adalah dengan

menanyakan volume berdasarkan jumlah pembalut yang digunakan.

Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan banyaknya menstruasi dan status anemia

Banyaknya Menstruasi

Status Anemia Total Anemia Tidak Anemia n % n % n %

Ganti 1-2 kali/hari 54 43.2 87 49.1 141 46.7 Ganti 3-4 kali/hari 69 55.2 83 46.9 152 50.3 Ganti 5-6 kali/hari 2 1.6 6 3.4 8 2.7 Ganti > 6 kali/hari 0 0 1 0.6 1 0.3 Total 125 100 177 100 302 100

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa jumlah darah yang hilang

selama satu periode menstruasi berkisar antara 20-25 cc dan dianggap abnormal

jika kehilangan darah menstruasi lebih dari 80 ml. Tabel 7 menunjukkan bahwa

secara umum lebih dari separuh contoh (50.3%) mengganti pembalut 3-4 kali

setiap hari. Lebih dari separuh contoh yang anemia (55.2%) mengganti pembalut

3-4 kali setiap hari sedangkan hampir separuh contoh yang tidak anemia (49.1%)

mengganti pembalut 1-2 kali setiap harinya. Hal ini menunjukkan bahwa contoh

yang anemia cenderung mengalami kehilangan darah yang lebih tinggi

dibandingkan dengan yang contoh tidak anemia dilihat dari jumlah pembalut

yang diganti setiap hari. Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa

tidak terdapat hubungan yang signifikan antara banyaknya menstruasi dengan

status anemia contoh (p>0.1).

Hasil tersebut memperlihatkan bahwa perbedaan banyaknya menstruasi

tidak mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk menderita anemia. Namun

Page 47: A08ear

menurut pernyataan Affandi (1990), apabila darah yang keluar saat menstruasi

cukup banyak berarti jumlah zat besi yang hilang dari tubuh juga cukup besar.

Banyaknya darah yang keluar dapat berbeda-beda pada setiap orang dan

bahkan pada seorang remaja wanita dapat berbeda setiap bulannya. Tidak

adanya hubungan antara banyaknya menstruasi dengan status anemia diduga

karena pengukuran banyaknya menstruasi menggunakan banyaknya pembalut

masih dipengaruhi faktor subyektif sesuai dengan kebutuhan pembalut masing-

masing individu.

Lama Menstruasi Lama menstruasi biasanya antara 3-5 hari dan dianggap tidak normal jika

lebih dari delapan atau sembilan hari. Saat menstruasi terjadi pengeluaran darah

dari dalam tubuh. Hal itu menyebabkan zat besi yang terkandung dalam

hemoglobin juga ikut terbuang. Lama menstruasi yang tinggi dapat menyebabkan

darah yang dikeluarkan tubuh semakin banyak, sehingga kemungkinan

kehilangan zat besi juga semakin tinggi (Affandi 1990). Sebaran contoh

berdasarkan lama menstruasi dan status anemia disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan lama menstruasi dan status anemia

Lama Menstruasi Status Anemia Total Anemia Tidak Anemia

n % n % n % Rendah 1 0.8 1 0.6 2 0.7 Normal 108 86.4 157 88.7 265 87.7 Tinggi 16 12.8 19 10.7 35 11.6 Total 125 100 177 100 302 100

Lama menstruasi dikatakan rendah jika kurang dari tiga hari dan normal

apabila berada diantara 3-7 hari serta dikatakan tinggi jika lebih dari delapan hari.

Tabel 8 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh (87.7%) memiliki lama

menstruasi yang tergolong normal (3-7 hari). Hal ini terlihat dari sebagian besar

contoh anemia (86.4%) dan tidak anemia (88.7%) yang juga memiliki lama

menstruasi yang tergolong normal. Hanya sekitar 12.3 persen contoh yang

memiliki lama menstruasi yang tergolong tidak normal yaitu lama menstruasi

yang rendah (0.7%) dan tinggi (11.6%). Lama menstruasi yang tinggi lebih

banyak dialami oleh contoh anemia.

Menurut Affandi (1990), beberapa penelitian menunjukkan bahwa jumlah

darah yang hilang selama satu periode menstruasi normal berkisar antara 20-25

cc dan dianggap abnormal jika kehilangan darah menstruasi lebih dari 80 ml.

Page 48: A08ear

Jumlah 20-25 cc menyiratkan kehilangan zat besi sebesar 12.5-15 mg/bulan atau

kira-kira sama dengan 0.4-0.5 mg/hari. Jika jumlah tersebut ditambah dengan

kehilangan basal maka jumlah total zat besi yang hilang sebesar 1.25 mg/hari

(Arisman 2002).

Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat

hubungan yang signifikan antara lama menstruasi dengan status anemia contoh

(p>0.1). Hasil tersebut memperlihatkan bahwa perbedaan lama menstruasi tidak

mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk menderita anemia. Tidak

adanya hubungan signifikan tersebut diduga karena rata-rata lama perdarahan

setiap periode tiap wanita kurang lebih tetap. Banyaknya darah yang keluar

dapat berbeda-beda pada setiap orang, bahkan pada seorang remaja wanita

dapat berbeda-beda dari bulan ke bulan. Perbedaan lama menstruasi seseorang

dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain lingkungan, lamanya menstruasi, usia,

dan ovulasi (Affandi 1990).

Riwayat Penyakit Anemia dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah terkena

infeksi (Permaesih dan Herman 2005). Infeksi merupakan faktor yang penting

dalam menimbulkan kejadian anemia dan anemia merupakan konsekuensi dari

peradangan dan asupan makanan yang tidak memenuhi kebutuhan zat besi

(Thurnham & Northrop-Clewes 2007). Berdasarkan Tabel 9 dapat dilihat bahwa

sebagian besar contoh (99.3%) tidak memiliki riwayat penyakit.

Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan riwayat penyakit dan status anemia

Riwayat Penyakit Status Anemia Total Anemia Tidak Anemia

n % n % n % Ya 1 0.7 2 0.8 3 0.8 Tidak 152 99.3 245 99.2 397 99.3 Total 153 100 247 100 400 100

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar contoh anemia

maupun tidak anemia tidak memiliki riwayat penyakit yang berhubungan dengan

anemia seperti malaria, tuberculosis, dan kecacingan. Pada Tabel 9 dapat dilihat

bahwa hanya terdapat sekitar 0.8 persen contoh yang memiliki riwayat penyakit

yang berhubungan dengan anemia. Penyakit yang pernah diderita oleh contoh

tersebut adalah malaria dan kecacingan.

Page 49: A08ear

Penyakit infeksi terutama malaria, kecacingan, dan infeksi lainnya seperti

tuberculosis merupakan faktor penting yang memberikan kontribusi terhadap

tingginya prevalensi anemia di banyak populasi (WHO 2004). Menurut Dreyfuss

et al (2000), adanya infeksi cacing tambang menyebabkan pendarahan pada

dinding usus, meskipun sedikit tetapi terjadi terus menerus sehingga dapat

mengakibatkan hilangnya darah atau zat besi. Malaria menyebabkan kehilangan

darah secara langsung dan kehilangan darah tersebut mengakibatkan defisiensi

besi (WHO 2001).

Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat

hubungan yang signifikan antara riwayat penyakit dengan status anemia contoh

(p>0.1). Hasil penelitian Permaesih dan Herman (2005) memperlihatkan bahwa

sakit yang diderita baik pada satu tahun atau satu bulan sebelumnya

berhubungan secara bermakna dengan status anemia. Sakit yang diderita,

terutama penyakit infeksi mempengaruhi metabolisme dan utilisasi zat besi yang

diperlukan dalam pembentukan hemoglobin dalam darah. Tidak adanya

hubungan signifikan tersebut diduga karena jarangnya contoh menderita penyakit

yang berhubungan dengan anemia seperti malaria, tuberculosis, dan kecacingan.

Selain itu hal ini diduga karena pengukuran data yang kurang mendalam karena

hanya mengukur riwayat penyakit yang pernah diderita contoh, dan bukan

riwayat penyakit pada kurun waktu tertentu.

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

Menurut Depkes (2004), perilaku hidup sehat adalah perilaku proaktif

untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah risiko terjadinya

penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit serta berperan aktif dalam

gerakan kesehatan masyarakat. Perilaku hidup sehat sangat erat kaitannya

dengan higiene perorangan (personal hygiene). Salah satu indikator Perilaku

Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang digunakan dalam penelitian ini adalah

kebiasaan mencuci tangan sebelum dan sesudah makan dengan air bersih

(Anonim 2003 diacu dalam Nurwulan 2003).

Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan perilaku hidup bersih dan sehat

PHBS Status Anemia Total Anemia Tidak Anemia

n % N % n % Mencuci tangan 139 90.8 226 91.5 365 91.3 Tidak mencuci tangan 14 9.2 21 8.5 35 8.7 Total 153 100 247 100 400 100

Page 50: A08ear

Tabel 10 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh memiliki kebiasaan

mencuci tangan baik dengan atau tanpa sabun sebelum makan (91.3%). Hasil

yang serupa juga terlihat baik pada contoh anemia (90.8%) maupun tidak anemia

(91.5%). Terdapat sekitar 8.7 persen contoh yang memiliki kebiasaan tidak

mencuci tangan sebelum makan.

Mencuci tangan sebelum makan merupakan salah satu faktor determinan

status anemia. Penelitian yang dilakukan pada siswa SD menunjukkan bahwa

seseorang yang rutin mencuci tangan ternyata mempunyai risiko yang lebih kecil

untuk terkena anemia. Mencuci tangan sebelum makan merupakan salah satu

faktor determinan status anemia dan melalui membiasakan mencuci tangan

sebelum makan diharapkan kuman-kuman tidak ikut masuk ke dalam mulut,

yang selanjutnya akan menyebabkan kecacingan sebab cacing di perut sebagai

pemicu terjadinya anemia (Irawati et al 2000).

Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat

hubungan yang signifikan antara perilaku hidup bersih dan sehat dengan status

anemia contoh (p>0.1). Hasil tersebut memperlihatkan bahwa perbedaan

kebiasaan mencuci tangan sebelum makan tidak mempengaruhi kecenderungan

seseorang untuk menderita anemia. Hal ini diduga karena contoh remaja putri

memiliki kebiasaan mencuci tangan yang cenderung sama sedangkan pada hasil

penelitian Irawati et al (2000) contoh yang digunakan adalah siswa SD yang

memiliki kebiasaan mencuci tangan yang berbeda-beda sehingga

kecenderungan anemia juga akan berbeda.

Aktivitas Fisik Pola aktivitas remaja didefinisikan sebagai kegiatan yang biasa dilakukan

oleh remaja sehari-hari sehingga akan membentuk pola. Aktivitas fisik erat

kaitannya dengan kesehatan tubuh secara keseluruhan (Kartono 1992 diacu

dalam Ratnayani 2005). Aktivitas fisik dikategorikan menjadi olahraga ringan.

olahraga sedang, dan olahraga berat.

Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan aktivitas fisik dan status anemia

Aktivitas Fisik Status Anemia Total Anemia Tidak Anemia

n % N % n % Olahraga ringan 77 50.3 131 53.0 208 52.0 Olahraga sedang 75 49.0 113 45.8 188 47.0 Olahraga berat 1 0.7 3 1.2 4 1.0 Total 153 100 247 100 400 100

Page 51: A08ear

Tabel 11 menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh (52.0%) memiliki

aktivitas fisik olahraga ringan (jalan santai, lempar cakram, tolak peluru, senam

pernapasan). Hasil yang serupa juga terlihat baik pada contoh anemia (50.3%)

maupun tidak anemia (53.0%). Terdapat hanya sekitar satu persen contoh yang

melakukan olahraga berat (sepakbola, lari cepat >10 km, senam aerobik).

Persentase contoh anemia yang melakukan aktivitas olahraga sedang

seperti basket, voli, lari, senam aerobik, dan jalan cepat (49.0%) sedikit lebih

tinggi dibandingkan dengan contoh yang tidak anemia (45.8%). Hal ini

memperlihatkan bahwa contoh yang anemia cenderung lebih banyak kehilangan

zat besi selama olahraga melalui keringat dibandingkan contoh yang tidak

anemia.

Anemia dapat mempengaruhi tingkat kesegaran jasmani seseorang.

Penelitian Permaesih (2002) diacu dalam Permaesih dan Herman (2005)

menemukan 25 persen remaja di Bandung mempunyai kesegaran jasmani

kurang dari normal. Keadaan ini dapat mempengaruhi produktivitas kerja remaja.

Remaja yang memiliki aktivitas fisik yang tinggi mempunyai risiko defisiensi zat

besi yang lebih besar. Olahraga berat dapat meningkatkan kebutuhan zat besi

hingga 1-2 mg/hari. Hal ini dapat disebabkan oleh kombinasi beberapa faktor

seperti kehilangan zat besi melalui keringat, kehilangan darah dari sistem

gastrointestinal, dan hemolisis (Zhu & Haas 1997). Menurut Akabas dan Dollins

(2005), pengeluaran zat besi dapat melalui keringat, feses dan urine, atau

hemolisis intravaskular. Hasil studi yang dilakukan pada atlet wanita yang

menunjukkan bahwa kehilangan zat besi terjadi melalui keringat dan konsentrasi

zat besi terbesar dalam keringat terjadi selama 30 menit pertama olahraga.

Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat

hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik dengan status anemia contoh

(p>0.1). Tidak adanya hubungan yang signifikan tersebut diduga karena

intensitas aktivitas fisik yang dilakukan oleh contoh tidak sebesar intensitas

aktivitas fisik secara teori yang dapat menyebabkan anemia seperti yang terjadi

pada atlet wanita. Aktivitas olahraga contoh berupa olahraga ringan yang

dilakukan saat pelajaran olahraga dengan intensitas yang lebih rendah.

Frekuensi Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan

yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu.

Page 52: A08ear

Batasan ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau berdasarkan

aspek jenis pangan dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Pengukuran yang

dapat digunakan untuk mengetahui konsumsi pangan adalah metode frekuensi

pangan yang dalam pelaksanaannya dilakukan pencatatan frekuensi atau

banyaknya penggunaan pangan yang biasanya dikonsumsi untuk suatu periode

waktu tertentu (Kusharto dan Sa’diyyah 2006). Pencatatan frekuensi pangan

sumber zat besi dibagi menjadi lauk hewani, lauk nabati, sayuran, buah-buahan,

makanan jajanan, minuman, dan suplemen. Ketujuh jenis pangan ini kemudian

dikategorikan menurut frekuensi konsumsi selama seminggu yaitu tidak pernah,

jarang (kurang dari 3 kali), kadang-kadang (3-6 kali), dan setiap hari.

Frekuensi Konsumsi Lauk Hewani Menurut Almatsier (2001) diperkirakan hanya 5-15 persen besi makanan

diabsorpsi seseorang yang berstatus besi baik. Jika dalam keadaan defisiensi

besi, absorpsi dapat mencapai 50 persen. Faktor bentuk besi berpengaruh

terhadap absorpsi besi. Besi heme yang terdapat dalam pangan hewani dapat

diserap dua kali lipat daripada besi nonheme. Oleh karena itu kurangnya

konsumsi pangan sumber heme dapat mempengaruhi penyerapan zat besi.

Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi lauk hewani dan status anemia

Lauk Hewani Frekuensi konsumsi

Status Anemia Total Anemia Tidak Anemia n % N % n %

Ikan Segar

Tidak Pernah 32 20.9 53 21.5 85 21.2 Jarang 76 49.7 113 45.7 189 47.3 Kadang-kadang 34 22.2 70 28.3 104 26.0 Setiap Hari 11 7.2 11 4.5 22 5.5 Total 153 100 247 100 400 100

Ikan Asin

Tidak Pernah 111 72.5 169 68.4 280 70.0 Jarang 26 17.0 62 25.1 88 22.0 Kadang-kadang 15 9.8 16 6.5 31 7.7 Setiap Hari 1 0.7 0 0 1 0.3 Total 153 100 247 100 400 100

Daging Sapi

Tidak Pernah 109 71.2 160 64.8 269 67.3 Jarang 32 21.0 67 27.1 99 24.7 Kadang-kadang 12 7.8 18 7.3 30 7.5 Setiap Hari 0 0 2 0.8 2 0.5 Total 153 100 247 100 400 100

Daging Ayam

Tidak Pernah 24 15.7 37 15.0 61 15.2 Jarang 80 52.3 114 46.1 194 48.5 Kadang-kadang 47 30.7 86 34.8 133 33.3 Setiap Hari 2 1.3 10 4.1 12 3.0 Total 153 100 247 100 400 100

Page 53: A08ear

Lauk Hewani Frekuensi konsumsi

Status Anemia Total Anemia Tidak Anemia n % N % n %

Hati Sapi

Tidak Pernah 140 91.5 228 92.3 368 92.0 Jarang 8 5.2 15 6.1 23 5.7 Kadang-kadang 4 2.6 2 0.8 6 1.5 Setiap Hari 1 0.7 2 0.8 3 0.8 Total 153 100 247 100 400 100

Hati Ayam

Tidak Pernah 109 71.3 171 69.2 280 70.0 Jarang 36 23.5 61 24.7 97 24.2 Kadang-kadang 8 5.2 14 5.7 22 5.5 Setiap Hari 0 0 1 0.4 1 0.3 Total 153 100 247 100 400 100

Telur Ayam

Tidak Pernah 15 9.8 39 15.8 54 13.5 Jarang 49 32.0 86 34.8 135 33.7 Kadang-kadang 71 46.4 99 40.1 170 42.5 Setiap Hari 18 11.8 23 9.3 41 10.3 Total 153 100 247 100 400 100

Telur Bebek

Tidak Pernah 144 94.1 235 95.1 379 94.7 Jarang 3 1.9 10 4.1 13 3.3 Kadang-kadang 5 3.3 2 0.8 7 1.7 Setiap Hari 1 0.7 0 0 1 0.3 Total 153 100 247 100 400 100

Telur Puyuh

Tidak Pernah 130 84.9 203 82.2 333 83.3 Jarang 18 11.8 33 13.4 51 12.7 Kadang-kadang 4 2.6 10 4.0 14 3.5 Setiap Hari 1 0.7 1 0.4 2 0.5 Total 153 100 247 100 400 100

Tabel 12 menunjukkan bahwa dari sembilan lauk hewani atau sumber

heme, enam jenis pangan diantaranya tidak pernah dikonsumsi lebih dari

separuh contoh baik pada contoh yang anemia maupun tidak anemia (67.3%-

94.7%) seperti ikan asin, daging sapi, hati sapi, hati ayam, telur bebek, dan telur

puyuh.

Hampir separuh contoh jarang mengkonsumsi ikan segar (47.3%) dan

daging ayam (48.5%). Jika dilihat dari frekuensinya, persentase contoh anemia

yang jarang mengkonsumsi ikan segar dan daging ayam sedikit lebih tinggi

dibandingkan dengan contoh yang tidak anemia. Ini berarti contoh anemia lebih

jarang mengkonsumsi kedua bahan pangan tersebut dibandingkan contoh tidak

anemia.

Pangan sumber zat besi yang berasal dari pangan hewani seperti daging,

unggas, dan ikan mempunyai ketersediaan biologik yang tinggi (Almatsier 2001).

Pangan hewani seperti daging sapi, daging unggas, dan ikan memiliki Meat,

Fish, Poultry Factor (MFP Factor) yang dapat meningkatkan penyerapan besi.

Hasil pencernaan ketiga pangan tersebut menghasilkan asam amino cysteine

Page 54: A08ear

dalam jumlah besar. Selanjutnya asam amino tersebut mengikat besi dan

membantu penyerapannya (Groff & Gropper 2000 diacu dalam Puri 2007).

Persentase frekuensi setiap hari lauk hewani sedikit lebih tinggi pada

contoh anemia. Ini memperlihatkan bahwa contoh anemia lebih sering

mengkonsumsi lauk hewani dibandingkan contoh tidak anemia dilihat dari

frekuensi konsumsi setiap hari. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Hulu

(2004) yang menunjukkan bahwa contoh yang tidak anemia lebih jarang

mengkonsumsi pangan sumber protein hewani dibandingkan contoh anemia.

Namun walaupun contoh anemia lebih sering mengkonsumsi lauk hewani

dibandingkan contoh tidak anemia, dugaan adanya faktor tingginya konsumsi

pangan yang dapat menghambat penyerapan besi dan rendahnya konsumsi

pangan yang dapat membantu penyerapan besi di dalam tubuh dapat

menyebabkan ketidakseimbangan besi didalam tubuh. Jika hal tersebut

berlangsung dalam jangka waktu yang lama, maka dapat menyebabkan

defisiensi besi (Almatsier 2001).

Telur ayam dikonsumsi contoh dalam frekuensi kadang-kadang (42.5%)

dan merupakan lauk hewani yang memiliki persentase terbesar yang dikonsumsi

oleh contoh setiap hari (10.3%). Telur termasuk sumber zat besi yang baik

walaupun tidak mengandung faktor yang dapat meningkatkan penyerapan besi.

Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan

yang signifikan antara frekuensi konsumsi telur ayam dan telur bebek dengan

status anemia contoh dengan nilai korelasi yang negatif (p<0.1). Hal ini

memperlihatkan bahwa semakin jarang telur ayam dan telur bebek dikonsumsi

maka kecenderungan menderita anemia akan semakin kecil. Hal ini diduga

karena telur dikonsumsi bersamaan dengan bahan pangan lain yang dapat

menghambat penyerapan besi seperti asam oksalat atau phosvitin dalam kuning

telur. Zat-zat gizi tersebut dengan zat besi membentuk senyawa yang tidak larut

dalam air sehingga sulit untuk di absorpsi.

Frekuensi Konsumsi Lauk Nabati Besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi heme (dalam makanan

hewani) dan besi nonheme (dalam makanan nabati). Sumber besi nonheme

yang baik diantaranya adalah kacang-kacangan. Lauk nabati dalam penelitian ini

meliputi tempe, tahu, dan kacang-kacangan (kacang tanah dan kacang hijau).

Page 55: A08ear

Berikut adalah sebaran contoh berdasarkan frekuensi lauk nabati dan status

anemia.

Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi lauk nabati dan status anemia

Lauk Nabati Frekuensi konsumsi

Status Anemia Total Anemia Tidak Anemia n % n % n %

Tempe

Tidak Pernah 16 10.5 31 12.6 47 11.8 Jarang 52 34.0 80 32.4 132 33.0 Kadang-kadang 56 36.6 91 36.8 147 36.8 Setiap Hari 29 18.9 45 18.2 74 18.5 Total 153 100 247 100 400 100

Tahu

Tidak Pernah 35 22.9 68 27.5 103 25.7 Jarang 47 30.7 73 29.6 120 30.0 Kadang-kadang 45 29.4 70 28.3 115 28.8 Setiap Hari 26 17.0 36 14.6 62 15.5 Total 153 100 247 100 400 100

Kacang-kacangan

Tidak Pernah 92 60.1 147 59.5 239 59.7 Jarang 42 27.5 76 30.8 118 29.5 Kadang-kadang 14 9.1 22 8.9 36 9.0 Setiap Hari 5 3.3 2 0.8 7 1.8 Total 153 100 247 100 400 100

Berdasarkan Tabel 13, frekuensi lauk nabati contoh berkisar antara 0-6

kali seminggu. Persentase frekuensi konsumsi lauk nabati contoh anemia tidak

jauh berbeda dengan contoh tidak anemia. Tempe dikonsumsi dalam frekuensi

kadang-kadang (36.8%) baik oleh contoh anemia maupun tidak anemia

sedangkan tahu dikonsumsi dalam frekuensi jarang (30.0%). Lebih dari separuh

contoh (59.7%) tidak pernah mengkonsumsi lauk nabati seperti kacang-

kacangan. Lauk nabati dikonsumsi kurang dari 20 persen contoh dengan

frekuensi setiap hari.

Asam fitat yang terkandung dalam kedelai dan hasil olahannya dapat

menghambat penyerapan besi. Namun karena zat besi yang terkandung dalam

kedelai dan hasil olahannya cukup tinggi, hasil akhir terhadap penyerapan

besipun biasanya akan positif (Almatsier 2001). Walaupun demikian, hasil

analisis Korelasi Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan signifikan

antara frekuensi konsumsi pangan nabati dengan status anemia contoh (p>0.1).

Frekuensi Konsumsi Sayuran Sayuran merupakan pangan sumber vitamin dan mineral, termasuk zat

besi. Namun sayuran juga mengandung asam oksalat dan serat yang dapat

menghambat penyerapan zat besi di dalam tubuh. Jenis sayuran dalam

penelitian ini meliputi waluh, kembang kol, kol, wortel, kentang, sawi, dan

Page 56: A08ear

sayuran hijau (brokoli, daun singkong, bayam, kangkung, daun pepaya). Berikut

adalah sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi sayuran dan status

anemia.

Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi sayuran dan status

anemia

Sayuran Frekuensi konsumsi

Status Anemia Total Anemia Tidak Anemia n % n % n %

Waluh

Tidak Pernah 127 83 214 86.6 341 85.3 Jarang 18 11.8 29 11.7 47 11.7 Kadang-kadang 7 4.5 4 1.7 11 2.7 Setiap Hari 1 0.7 0 0 1 0.3 Total 153 100 247 100 400 100

Kembang Kol

Tidak Pernah 106 69.3 182 73.7 288 72.0 Jarang 35 22.9 49 19.8 84 21.0 Kadang-kadang 12 7.8 16 6.5 28 7.0 Setiap Hari 0 0 0 0 0 0 Total 153 100 247 100 400 100

Kol

Tidak Pernah 73 47.7 112 45.3 185 46.3 Jarang 60 39.2 100 40.5 160 40.0 Kadang-kadang 17 11.1 34 13.8 51 12.7 Setiap Hari 3 1.9 1 0.4 4 1 Total 153 100 247 100 400 100

Brokoli

Tidak Pernah 129 84.3 209 84.6 338 84.5 Jarang 14 9.1 30 12.2 44 11.0 Kadang-kadang 9 5.9 8 3.2 17 4.2 Setiap Hari 1 0.7 0 0 1 0.3 Total 153 100 247 100 400 100

Wortel

Tidak Pernah 39 25.5 51 20.6 90 22.5 Jarang 69 45.1 121 49.0 190 47.5 Kadang-kadang 36 23.5 65 26.3 101 25.3 Setiap Hari 9 5.9 10 4.1 19 4.7 Total 153 100 247 100 400 100

Kentang

Tidak Pernah 57 37.3 87 35.2 144 36.0 Jarang 68 44.4 104 42.1 172 43.0 Kadang-kadang 26 17.0 49 19.9 75 18.7 Setiap Hari 2 1.3 7 2.8 9 2.3 Total 153 100 247 100 400 100

Daun Singkong

Tidak Pernah 120 78.4 187 75.7 307 76.7 Jarang 29 19.0 52 21.1 81 20.3 Kadang-kadang 4 2.6 8 3.2 12 3.0 Setiap Hari 0 0 0 0 0 0 Total 153 100 247 100 400 100

Bayam

Tidak Pernah 60 39.2 101 40.9 161 40.3 Jarang 66 43.2 99 40.1 165 41.2 Kadang-kadang 24 15.7 42 17.0 66 16.5 Setiap Hari 3 1.9 5 2.0 8 2.0 Total 153 100 247 100 400 100

Kangkung

Tidak Pernah 73 47.7 99 40.1 172 43.0 Jarang 55 36.0 117 47.4 172 43.0 Kadang-kadang 23 15.0 29 11.7 52 13.0 Setiap Hari 2 1.3 2 0.8 4 1.0 Total 153 100 247 100 400 100

Page 57: A08ear

Sayuran Frekuensi konsumsi

Status Anemia Total Anemia Tidak Anemia n % n % n %

Sawi

Tidak Pernah 64 41.8 132 53.4 196 49.0 Jarang 60 39.2 84 34.0 144 36.0 Kadang-kadang 23 15.0 28 11.3 51 12.7 Setiap Hari 6 4.0 3 1.3 9 2.3 Total 153 100 247 100 400 100

Daun Pepaya

Tidak Pernah 145 94.7 239 96.8 384 96.0 Jarang 7 4.6 7 2.8 14 3.5 Kadang-kadang 1 0.7 1 0.4 2 0.5 Setiap Hari 0 0 0 0 0 0 Total 153 100 247 100 400 100

Tabel 14 menunjukkan bahwa dari 11 jenis sayuran, tujuh jenis

diantaranya tidak pernah dikonsumsi contoh baik pada contoh yang anemia

maupun tidak anemia (46.3%-96.0%) diantaranya waluh, kembang kol, kol,

brokoli, daun singkong, sawi, dan daun pepaya. Hampir separuh contoh baik

anemia maupun tidak anemia jarang mengkonsumsi wortel (47.5%) dan kentang

(43.0%).

Kurang dari lima persen contoh mengkonsumsi sayuran setiap hari.

Persentase frekuensi setiap hari konsumsi sayuran sedikit lebih tinggi pada

contoh anemia. Hal ini memperlihatkan bahwa contoh anemia lebih sering

mengkonsumsi sayuran dibandingkan contoh tidak anemia dilihat dari frekuensi

konsumsi setiap hari. Berbeda dengan hasil penelitian Hulu (2004) yang

menunjukkan bahwa contoh yang tidak anemia lebih sering mengkonsumsi

sayuran dibandingkan contoh anemia.

Sayuran hijau seperti bayam lebih jarang dikonsumsi oleh contoh yang

anemia (43.2%) dibandingkan contoh tidak anemia (40.1%). Sayuran hijau

lainnya seperti kangkung lebih jarang dikonsumsi oleh contoh yang tidak anemia

(47.4%) bila dibandingkan dengan contoh anemia (36.0%) dan berada pada

kategori jarang. Sayuran daun berwarna hijau memiliki kandungan zat besi yang

tinggi sehingga jika sering dikonsumsi maka akan meningkatkan cadangan zat

besi di dalam tubuh. Beberapa jenis sayuran hijau juga mengandung asam

oksalat yang dapat menghambat penyerapan besi, namun efek menghambatnya

relatif lebih kecil dibandingkan asam fitat dalam serealia dan tanin yang terdapat

dalam teh dan kopi (Almatsier 2001).

Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan

yang signifikan antara frekuensi konsumsi sayuran waluh dan sawi dengan status

anemia contoh dengan nilai korelasi yang negatif (p<0.1). Hal ini memperlihatkan

Page 58: A08ear

bahwa semakin jarang waluh dan sawi dikonsumsi maka kecenderungan

menderita anemia akan semakin kecil. Hal ini diduga karena waluh dan sawi

menghambat penyerapan besi akibat asam oksalat yang terkandung didalamnya.

Asam oksalat akan mengikat besi sehingga apabila dikonsumsi dalam jumlah

banyak akan mempersulit penyerapan besi oleh tubuh.

Frekuensi Konsumsi Buah-buahan Buah-buahan merupakan pangan sumber vitamin dan mineral. Vitamin

yang banyak terkandung dalam buah-buahan diantaranya adalah vitamin C yang

sangat membantu penyerapan zat besi terutama nonheme.

Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi buah dan status anemia

Buah-buahan

Frekuensi konsumsi

Status Anemia Total Anemia Tidak Anemia n % n % n %

Jeruk

Tidak Pernah 26 17.0 38 15.4 64 16.0 Jarang 71 46.4 100 40.5 171 42.70 Kadang-kadang 42 27.5 78 31.6 120 30.0 Setiap Hari 14 9.1 31 12.5 45 11.3 Total 153 100 247 100 400 100

Pepaya

Tidak Pernah 106 69.3 167 67.6 273 68.3 Jarang 25 16.3 63 25.5 88 22.0 Kadang-kadang 15 9.8 13 5.3 28 7.0 Setiap Hari 7 4.6 4 1.6 11 2.7 Total 153 100 247 100 400 100

Tomat

Tidak Pernah 111 72.5 172 69.7 283 70.7 Jarang 22 14.4 47 19.0 69 17.3 Kadang-kadang 15 9.8 22 8.9 37 9.3 Setiap Hari 5 3.3 6 2.4 11 2.7 Total 153 100 247 100 400 100

Jambu Biji

Tidak Pernah 118 77.1 177 71.6 295 73.7 Jarang 30 19.6 56 22.7 86 21.5 Kadang-kadang 5 3.3 13 5.3 18 4.5 Setiap Hari 0 0 1 0.4 1 0.3 Total 153 100 247 100 400 100

Mangga

Tidak Pernah 107 69.9 152 61.5 259 64.7 Jarang 35 22.9 82 33.2 117 29.3 Kadang-kadang 9 5.9 12 4.9 21 5.3 Setiap Hari 2 1.3 1 0.4 3 0.7 Total 153 100 247 100 400 100

Nenas

Tidak Pernah 131 85.6 215 87.0 346 86.5 Jarang 20 13.1 28 11.4 48 12.0 Kadang-kadang 2 1.3 4 1.6 6 1.5 Setiap Hari 0 0 0 0 0 0 Total 153 100 247 100 400 100

Pisang

Tidak Pernah 92 60.1 122 49.4 214 53.5 Jarang 43 28.1 84 34.0 127 31.7 Kadang-kadang 14 9.2 36 14.6 50 12.5 Setiap Hari 4 2.6 5 2.0 9 2.3 Total 153 100 247 100 400 100

Page 59: A08ear

Berdasarkan Tabel 15, terlihat bahwa dari tujuh jenis buah-buahan, enam

jenis diantaranya tidak pernah dikonsumsi lebih dari separuh contoh baik pada

contoh yang anemia maupun tidak anemia (53.5%-86.5%) yaitu pepaya, tomat,

jambu biji, mangga, nenas, dan pisang. Hampir separuh dari contoh (42.7%)

mengkonsumsi jeruk dalam frekuensi jarang (kurang dari tiga kali seminggu) dan

kurang dari 12 persen contoh mengkonsumsi buah-buahan setiap hari.

Buah-buahan sumber vitamin C seperti jeruk, pepaya, tomat, jambu biji,

dan mangga dapat membantu penyerapan zat besi. Asam organik seperti vitamin

C dapat membantu penyerapan zat besi nonheme dengan cara mengubah besi

bentuk feri menjadi bentuk fero yang lebih mudah diserap. Persentase frekuensi

buah-buahan tersebut sedikit lebih tinggi dikonsumsi oleh contoh yang anemia.

Ini memperlihatkan bahwa contoh anemia lebih sering mengkonsumsi buah-

buahan dibandingkan contoh tidak anemia. Sejalan dengan hasil penelitian Hulu

(2004) yang menunjukkan bahwa contoh yang tidak anemia jarang

mengkonsumsi buah-buahan dibandingkan contoh anemia.

Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan

yang signifikan antara frekuensi konsumsi buah-buahan dengan status anemia

contoh (p<0.1) yaitu pada konsumsi pepaya. Hal ini memperlihatkan bahwa

semakin jarang pepaya dikonsumsi maka kecenderungan menderita anemia

akan semakin kecil. Hal ini diduga karena walaupun pepaya kaya akan vitamin C

yang dapat membantu penyerapan zat besi, namun apabila pepaya dikonsumsi

bersamaan dengan bahan pangan lain yang dapat menghambat penyerapan

besi seperti asam oksalat atau tanin maka pengaruh akhirnya dapat negatif.

Frekuensi Konsumsi Makanan Jajanan Hasil pada Tabel 16 menggambarkan frekuensi konsumsi makanan

jajanan contoh berdasarkan status anemia. Makanan jajanan dalam penelitian ini

meliputi bakso, mie, dan gorengan.

Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi makanan jajanan dan status

anemia

Makanan Jajanan

Frekuensi konsumsi

Status Anemia Total Anemia Tidak Anemia n % n % n %

Bakso

Tidak Pernah 92 60.1 158 64.0 250 62.5 Jarang 37 24.2 57 23.1 94 23.5 Kadang-kadang 22 14.4 27 10.9 49 12.3 Setiap Hari 2 1.3 5 2.0 7 1.7 Total 153 100 247 100 400 100

Page 60: A08ear

Makanan Jajanan

Frekuensi konsumsi

Status Anemia Total Anemia Tidak Anemia n % n % n %

Mie

Tidak Pernah 128 83.7 207 83.8 335 83.7 Jarang 18 11.7 20 8.1 38 9.5 Kadang-kadang 6 3.9 16 6.5 22 5.5 Setiap Hari 1 0.7 4 1.6 5 1.3 Total 153 100 247 100 400 100

Gorengan

Tidak Pernah 116 75.8 200 81.0 316 79.0 Jarang 23 15.0 24 9.7 47 11.7 Kadang-kadang 9 5.9 20 8.1 29 7.3 Setiap Hari 5 3.3 3 1.2 8 2.0 Total 153 100 247 100 400 100

Survei yang dilakukan Hurlock (1997) menunjukkan bahwa remaja suka

sekali jajan makanan ringan. Jenis makanan ringan yang dikonsumsi adalah kue-

kue yang manis dan golongan pastry serta permen. Namun, pada penelitian ini

makanan jajanan yang dikonsumsi contoh berbeda. Makanan jajanan dalam

penelitian ini meliputi bakso, mie, dan gorengan. Tabel 16 menunjukkan bahwa

lebih dari separuh contoh (61.5%-83.7%) tidak pernah mengkonsumsi makanan

jajanan seperti bakso, mie, dan gorengan. Hanya sekitar lima persen contoh

yang mengkonsumsi makanan jajanan setiap hari.

Persentase contoh yang anemia sedikit lebih rendah dibandingkan contoh

yang tidak anemia jika dilihat dari frekuensi konsumsi makanan jajanan setiap

hari. Hal ini menunjukkan bahwa contoh yang anemia jarang mengkonsumsi

makanan jajanan. Makanan jajanan juga memberikan kontribusi pada cadangan

zat besi tubuh karena terdapat zat besi yang terkandung didalamnya walaupun

sedikit. Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat

hubungan yang signifikan antara frekuensi jajanan dengan status anemia contoh

(p>0.1). Hal ini diduga karena jarangnya contoh mengkonsumsi makanan jajanan

di sekolah.

Frekuensi Konsumsi Minuman dan Suplemen Minuman dalam penelitian ini meliputi teh, kopi, dan susu serta konsumsi

suplemen. Bioavailabilitas zat besi dalam makanan sangat dipengaruhi oleh

faktor pendorong dan penghambat. Menurut FAO/WHO (2001), faktor

penghambat penyerapan zat besi diantaranya adalah the dan kopi. Tabel 17

menggambarkan frekuensi konsumsi minuman dan suplemen contoh

berdasarkan status anemia.

Page 61: A08ear

Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi minuman dan suplemen dan status anemia

Minuman Frekuensi konsumsi

Status Anemia Total Anemia Tidak Anemia n % n % n %

Teh

Tidak Pernah 31 20.3 48 19.4 79 19.7 Jarang 40 26.1 76 30.8 116 29.0 Kadang-kadang 30 19.6 46 18.6 76 19.0 Setiap Hari 52 34.0 77 31.2 129 32.3 Total 153 100 247 100 400 100

Kopi

Tidak Pernah 135 88.2 223 90.3 358 89.5 Jarang 13 8.5 20 8.1 33 8.3 Kadang-kadang 3 2.0 4 1.6 7 1.7 Setiap Hari 2 1.3 0 0 2 0.5 Total 153 100 247 100 400 100

Susu

Tidak Pernah 74 48.4 105 42.5 179 44.8 Jarang 31 20.3 48 19.4 79 19.7 Kadang-kadang 23 15.0 45 18.2 68 17.0 Setiap Hari 25 16.3 49 19.8 74 18.5 Total 153 100 247 100 400 100

Suplemen

Tidak Pernah 114 74.5 188 76.1 302 75.5 Jarang 18 11.8 28 11.3 46 11.5 Kadang-kadang 8 5.2 13 5.3 21 5.3 Setiap Hari 13 8.5 18 7.3 31 7.7 Total 153 100 247 100 400 100

Berdasarkan Tabel 17, terlihat bahwa proporsi terbesar contoh (32.3%)

mengkonsumsi teh setiap hari dan persentase contoh yang anemia (34%) sedikit

lebih tinggi dibandingkan contoh yang tidak anemia (31.2%). Hampir sebagian

besar contoh baik contoh anemia maupun tidak anemia tidak pernah

mengkonsumsi kopi. Terdapat sekitar 1.3 persen contoh anemia yang

mengkonsumsi kopi setiap hari.

Survei yang dilakukan Hurlock (1997) menunjukkan bahwa remaja

menyukai minuman ringan, teh, dan kopi yang frekuensinya lebih sering

dibandingkan konsumsi susu. Teh dan kopi mengandung tanin yang dapat

menghambat absorpsi besi dengan cara mengikatnya (Almatsier 2001). Menurut

Groff & Gropper (2000) diacu dalam Puri (2007), senyawa fenol dalam teh yang

dikonsumsi bersama dengan pangan sumber zat besi dapat menurunkan

absorpsi besi hingga 60 persen, sedangkan konsumsi kopi setelah makan dapat

menurunkan absorpsi besi hingga 40 persen. Menurunnya jumlah besi yang

diabsorpsi akan menurunkan cadangan besi di dalam tubuh.

Susu merupakan pangan sumber protein yang baik yang memiliki

bioavailabilitas yang tinggi. Protein yang terkandung didalamnya berperan dalam

distribusi zat gizi termasuk distribusi zat besi. Namun susu juga mengandung

Page 62: A08ear

kalsium yang tinggi yang dapat menghambat penyerapan zat besi. Tabel 17

menunjukkan bahwa hampir separuh contoh (44.8%) tidak pernah

mengkonsumsi susu. Hanya sekitar 18.5 persen contoh yang mengkonsumsi

susu setiap hari dan persentase terbesar konsumsi susu terdapat pada contoh

yang tidak anemia (19.8%). Terdapat sekitar 20.3 persen contoh yang anemia

yang jarang mengkonsumsi susu. Hal ini memperlihatkan kecenderungan bahwa

frekuensi konsumsi susu pada contoh yang tidak anemia relatif lebih sering

dibandingkan dengan contoh yang anemia.

Produk suplemen pada penelitian ini meliputi suplemen vitamin C, minyak

ikan, dan tambah darah. Suplemen makanan adalah produk yang digunakan

untuk melengkapi makanan. Pada dasarnya fungsi suplemen adalah sebagai zat

tambahan untuk memperbaiki dan meningkatkan daya tahan tubuh (Sudarisman

1997 diacu dalam Habibi 2003). Berdasarkan Tabel 17, terlihat bahwa sebagian

besar contoh (75.5%) tidak pernah mengkonsumsi suplemen. Terdapat sekitar

7.7 persen contoh yang mengkonsumsi suplemen setiap hari dan persentase

terbesar konsumsi suplemen terdapat pada contoh yang anemia (8.5%). Hal ini

memperlihatkan bahwa contoh anemia lebih sering mengkonsumsi suplemen

dibandingkan contoh tidak anemia diduga terkait dengan anemia yang

dialaminya. Secara keseluruhan hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan

bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi konsumsi

minuman dan suplemen dengan status anemia contoh (p>0.1).

Analisis Faktor Risiko Anemia Analisis multivariat menggunakan regresi logistik dilakukan untuk

mengetahui faktor risiko yang paling berkaitan dengan status anemia. Analisis

dilakukan menggunakan seluruh variabel yang berdasarkan analisis bivariat

berhubungan secara signifikan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui seberapa

besar interaksi semua variabel yang diduga menjadi faktor risiko terhadap status

anemia. Pada penelitian ini terdapat tujuh variabel yang diduga menjadi faktor

risiko anemia yaitu usia, status gizi antropometri, menstruasi, riwayat penyakit,

perilaku hidup bersih dan sehat, aktivitas fisik, dan frekuensi konsumsi pangan.

Setelah dilakukan analisis bivariat terdapat variabel yang secara signifikan

mempengaruhi status anemia yaitu usia, status menstruasi, dan frekuensi

konsumsi pangan.

Page 63: A08ear

Tabel 18 menunjukkan hasil analisis regresi logistik yang memperoleh

hasil, faktor risiko yang secara signifikan mempengaruhi kecenderungan status

anemia remaja putri yaitu usia dan status gizi antropometri (kurus dan normal)

(Lampiran 4). Pada penelitian ini, lauk hewani yang signifikan mempengaruhi

status anemia adalah telur ayam dan telur bebek yang dikonsumsi dalam

frekuensi sering, baik oleh contoh yang berstatus kurus maupun normal. Analisis

bivariat menunjukkan bahwa dengan semakin sering telur ayam dan telur bebek

dikonsumsi maka kecenderungan anemia akan semakin besar, diduga terkait

dengan adanya pangan penghambat penyerapan zat besi. Ini memperlihatkan

bahwa dengan semakin tingginya konsumsi lauk hewani terutama telur maka

akan mempengaruhi kecenderungan anemia, baik pada remaja putri yang

berstatus gizi kurus maupun normal.

Tabel 18 Hasil regresi logistik faktor risiko anemia

Faktor Risiko OR Sig. Usia 13-15 tahun (13-15thn=1, 10-12thn=0) 2.727 0.001* Status Gizi Kurus (IMT < 18.5 = 1, IMT > 25 = 0) 8.323 0.006* Normal (18.5 < IMT < 25 = 1, IMT > 25 = 0) 6.733 0.013* Konstanta 0.048 0.000

* Signifikan pada taraf kepercayaan 0.1

Hasil regresi logistik menunjukkan faktor risiko usia 13-15 tahun memiliki

nilai koefisien positif dan OR sebesar 2.73. Hal ini menunjukkan bahwa remaja

putri yang berada pada kisaran usia 13-15 tahun memiliki kecenderungan untuk

mengalami anemia 2.73 kali lebih besar dibandingkan remaja putri yang berusia

10-12 tahun. Ini diduga karena pada kisaran usia 13-15 tahun, seseorang baru

mengalami menstruasi sehingga kecenderungan anemia lebih besar

dibandingkan usia dibawahnya.

Pada penelitian ini, proporsi terbesar contoh berusia antara 10-12 tahun

dan hampir separuh contoh yang tidak anemia berada pada kisaran usia

tersebut. Hasil penelitian Dillon (2005) terhadap remaja putri di Tangerang

menunjukkan bahwa rata-rata usia menarche adalah 12 tahun. Remaja terutama

yang telah mengalami menstruasi, dibandingkan dengan yang belum menstruasi,

lebih rentan terhadap anemia. Saat menstruasi terjadi pengeluaran darah dari

dalam tubuh. Hal ini menyebabkan zat besi yang terkandung dalam hemoglobin,

salah satu komponen sel darah merah, juga ikut terbuang. Kehilangan zat besi

melalui menstruasi akan meningkatkan kebutuhan zat besi pada remaja wanita

(Depkes 1998). Wanita pada umumnya cenderung mempunyai simpanan zat

Page 64: A08ear

besi yang lebih rendah dibandingkan pria dan hal inilah yang membuat wanita

lebih rentan mengalami anemia saat asupan zat besi kurang atau kebutuhan

meningkat seperti saat menstruasi (Gleason & Scrimshaw 2007). Hal inilah yang

menyebabkan remaja putri yang berada pada kisaran usia 13-15 tahun memiliki

kecenderungan mengalami anemia dibandingkan remaja putri yang berusia 10-

12 tahun yang belum mengalami menstruasi.

Nilai koefisien yang positif dan OR yang lebih dari 1 pada faktor risiko

status gizi kurus menunjukkan bahwa dengan semakin rendah IMT atau semakin

kurus siswi maka kecenderungan remaja putri untuk mengalami anemia makin

meningkat sebesar nilai OR. Hasil regresi logistik menunjukkan faktor risiko

status gizi kurus memiliki OR sebesar 8.32. Hal ini memperlihatkan bahwa

remaja putri yang berstatus gizi kurus cenderung untuk mengalami anemia 8.32

kali lebih besar dibandingkan remaja putri yang berstatus gizi gemuk.

Faktor risiko status gizi normal juga menunjukkan peranan yang signifikan

dalam mempengaruhi kecenderungan remaja putri mengalami anemia. Remaja

putri yang memiliki status gizi normal memiliki OR sebesar 6.73. Hal ini

menunjukkan bahwa remaja putri yang berstatus gizi normal memiliki

kecenderungan 6.73 kali lebih besar untuk mengalami anemia dibandingkan

remaja putri yang berstatus gizi gemuk.

Penelitian Permaesih dan Herman (2005) menunjukkan bahwa remaja

yang mempunyai IMT kurang atau tubuh kurus mempunyai risiko 1.5 kali untuk

menjadi anemia. Selain itu, menurut ADB/SCN (2006), Selama masa remaja,

seseorang dapat mencapai 15 persen dari tinggi badan saat dewasa dan 50

persen dari berat badan. Oleh karena itu, kebutuhan zat gizi mencapai titik

tertinggi saat remaja dan adanya kekurangan zat gizi makro dan mikro dapat

mengganggu pertumbuhan dan menghambat pematangan seksual.

Menurut ABD/SCN (2001) diacu dalam Briawan (2008), wanita yang

berstatus gizi baik akan lebih cepat mengalami pertumbuhan badan dan akan

lebih cepat mengalami menstruasi, sebaliknya wanita yang berstatus gizi buruk

pertumbuhannya akan pelan dan lama serta menstruasinya akan lebih lambat.

Thompson (2007) menyatakan bahwa IMT mempunyai korelasi positif dengan

konsentrasi hemoglobin yang artinya jika seseorang memiliki IMT kurang maka

akan berisiko menderita anemia.

Page 65: A08ear

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan 1. Rata-rata kadar hemoglobin contoh adalah 12.4 ± 1.5 g/dl dengan rata-rata

kadar hemoglobin 12.4 ± 1.5 g/dl. Terdapat prevalensi anemia sebesar 38.3

persen. Lebih dari separuh contoh (61.7%) tidak mengalami anemia dan 6.0

persen contoh mengalami anemia sedang (kadar Hb < 8.0 g/dl).

2. Rata-rata usia contoh adalah 13.7 ± 1.9 tahun dengan kisaran usia antara 10-

18 tahun. Terdapat kecenderungan siswi yang berusia 13-15 tahun untuk

mengalami anemia. Rata-rata IMT contoh adalah 19.3 ± 3.3 kg/m2 dengan

kisaran IMT sebesar 11.9 kg/m2 hingga 37.5 kg/m2. Proporsi terbesar contoh

(48.0%) berada pada status gizi kurus.

3. Sebagian besar contoh (75.5%) sudah mengalami menstruasi dan memiliki

frekuensi menstruasi yang teratur. Frekuensi menstruasi yang tidak teratur

lebih sering dialami oleh contoh yang anemia. Contoh yang anemia

cenderung mengalami kehilangan darah yang lebih tinggi dibandingkan

dengan yang contoh tidak anemia dilihat dari jumlah pembalut yang diganti

setiap hari. Sebagian besar (87.7%) memiliki lama menstruasi yang tergolong

normal.

4. Sebagian besar contoh (99.3%) tidak memiliki riwayat penyakit yang

berhubungan dengan anemia seperti malaria, tuberculosis, dan kecacingan.

5. Sebagian besar contoh (91.3%) memiliki kebiasaan mencuci tangan baik

dengan atau tanpa sabun sebelum makan dan terdapat 8.7 persen contoh

yang memiliki kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan.

6. Lebih dari separuh contoh (52.0%) memiliki aktivitas fisik olahraga ringan.

Contoh yang anemia cenderung lebih banyak kehilangan zat besi selama

olahraga dibandingkan contoh yang tidak anemia dilihat dari intensitas

olahraga.

7. Hampir separuh contoh jarang mengkonsumsi ikan segar (47.3%) dan daging

ayam (48.5%). Telur ayam paling sering dikonsumsi oleh contoh setiap hari

(10.3%). Semakin jarang telur ayam dan telur bebek dikonsumsi maka

kecenderungan anemia akan semakin kecil (p<0.1). Lauk nabati dikonsumsi

kurang dari 20 persen contoh dengan frekuensi setiap hari. Kurang dari 5

persen contoh mengkonsumsi sayuran setiap hari. Semakin jarang waluh dan

sawi dikonsumsi maka kecenderungan akan semakin kecil (p<0.1). Kurang

dari 12 persen contoh mengkonsumsi buah-buahan setiap hari. Semakin

Page 66: A08ear

jarang pepaya dikonsumsi maka kecenderungan anemia akan semakin kecil.

Lebih dari separuh contoh tidak pernah mengkonsumsi makanan jajanan

(bakso, mie, dan gorengan). Contoh anemia lebih sering mengkonsumsi teh

dan kopi. Hampir separuh contoh (44.8%) tidak pernah mengkonsumsi susu.

8. Remaja putri yang berada pada kisaran usia 13-15 tahun memiliki

kecenderungan untuk mengalami anemia 2.73 kali lebih besar dibandingkan

remaja putri yang berusia 10-12 tahun. Remaja putri yang berstatus gizi

kurus cenderung untuk mengalami anemia 8.32 kali lebih besar dibandingkan

remaja putri yang berstatus gizi gemuk. Remaja putri yang berstatus gizi

normal memiliki kecenderungan 6.73 kali lebih besar untuk mengalami

anemia dibandingkan remaja putri yang berstatus gizi gemuk.

Saran 1. Secara umum tingkat konsumsi pangan sumber Fe contoh masih rendah.

Selain itu, terdapat korelasi yang negatif antara beberapa jenis pangan

sumber heme dengan status anemia sehingga perlu memperhatikan jenis zat

besi yang dikonsumsi karena akan mempengaruhi penyerapan besi oleh

tubuh.

2. Perlunya mengkaji tentang faktor risiko anemia yang diduga dapat

mempengaruhi kecenderungan status anemia terutama pada remaja putri

seperti karakteristik keluarga (besar keluarga, pendapatan dan pendidikan

orang tua) dan kebiasaan makan (frekuensi dan pantangan makan).

3. Mengingat cukup tingginya prevalensi anemia pada remaja putri pada

penelitian ini, untuk itu pemerintah perlu menjadwalkan kegiatan rutin seperti

suplementasi zat besi pada program PPAGB ini sebagai bentuk tindakan

pencegahan anemia pada remaja.

Page 67: A08ear

DAFTAR PUSTAKA

ACC/SCN. 1991. Controlling Iron Deficiency. Geneva Affandi B. 1990. Gangguan Haid pada Remaja dan Dewasa. Jakarta : FKUI

Akabas SR, KR Dolins. 2005. Micronutrient requirements of physically active

women: what can we learn from iron?. The Journal Of Nutrition;81(suppl):1246S–51S [5 April 2008]

Almatsier S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka

Utama Arisman. 2002. Gizi dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta : Buku

Kedokteran EGC Backstrand JR, LH Allen, AK Black, M deMata, GH Pelto. 2002. Diet and iron

status of nonpregnant women in rural Central Mexico. The Journal Of Nutrition 76:156–64 [5 April 2008]

Bartley KA, BA Underwood, RJ Deckelbaum. 2005. A life cycle micronutrient

perspective for women’s health. The Journal Of Nutrition;81(suppl): 1188S–93S.

Beard JL. 2000. Iron Requirements in Adolescent Females. The Journal Of

Nutrition 130: 440S–442S [3 April 2008] Beard JL, B Tobin. 2000. Iron status and exercise. The Journal Of Nutrition;

72(suppl):594S–7S [5 April 2008] Biesalski HK, JG Erhardt. 2007. Diagnosis of nutritional anemia – laboratory

assessment of iron status. Didalam Nutritional Anemia, Edited by Klaus Kraemer & Michael B. Zimmermann. Switzerland : Sight and Life Press

Briawan D. 2008. Efikasi suplementasi besi-multivitamin terhadap perbaikan

status besi remaja wanita [disertasi]. Bogor : Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor

Brody T. 1994. Nutrition Biochemistry. London : Academic Press Depkes [Departemen Kesehatan]. 1998. Pedoman Penanggulangan Anemia Gizi

untuk Remaja Putri dan Wanita Usia Subur. Jakarta : Depkes RI Depkes [Departemen Kesehatan]. 2004. Kualitas Sumber Daya Manusia

Ditentukan Pendidikan dan Kesehatan. www.depkes.go.id [13 Maret 2008]

Depkes [Departemen Kesehatan]. 2006. Rencana Pembangunan Kesehatan

Menuju Indonesia Sehat 2010. www.depkes.go.id [13 Maret 2008]

Page 68: A08ear

Dillon DHS. 2005. Nutritional health of Indonesian adolescent girls: the role of riboflavin and vitamin A on iron status [thesis]. Netherlands : Wageningen University

DiMeglio G. 2000. Nutrition in Adolescence. Journal of the American Academy of

Pediatrics [3 April 2008] Dinkes [Dinas Kesehatan] Kota Bekasi. 2007. Pencegahan dan penanggulangan

anemia gizi pada remaja putri SMP dan SMA di Kota Bekasi tahun 2007. Makalah disampaikan pada Pertemuan Sosialisasi Surveilan Gizi Rutin pada Remaja Putri Siswi SMP dan SMA di 4 Kab/Kota di Propinsi Jawa Barat di Hotel Sabang, 17-18 Juli 2007. Bandung.

Dreyfuss ML, RJ Stoltzfus, JB Shrestha, EK Pradhan, SC LeClerq, SK Khatry,

SR Shrestha, J Katz, M Albonico, KP West, Jr. 2000. Hookworms, Malaria and Vitamin A Deficiency Contribute to Anemia and Iron Deficiency among Pregnant Women in the Plains of Nepal. The Journal Of Nutrition 130: 2527–2536 [8 Maret 2008]

FAO/WHO. 2001. Human Vitamin and Mineral Requirement. Rome : FAO Food &

Nutrition Division Gleason G, NS Scrimshaw. 2007. An overview of the functional significance of

iron deficiency. Didalam Nutritional Anemia, Edited by Klaus Kraemer & Michael B. Zimmermann. Switzerland : Sight and Life Press

Habibi YN. 2003. Perilaku konsumsi suplemen pada anak prasekolah [skripsi].

Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Hayatinur E. 2001. Prevalensi anemia dan perilaku makan remaja putri di SMUN

2 Kuningan Kabupaten Kuningan [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Hulu DB. 2004. Faktor-faktor yang mempengaruhi status anemia dan kaitannya

dengan prestasi belajar pada siswi SMKN 1 Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Hurlock EB. 1997. Psikologi Perkembangan Edisi ke-5. Jakarta : Penerbit

Erlangga Irawati A, et al. 2000. Faktor Determinan Status Gizi dan Anemia Murid SD di

Desa IDT Penerima PMT-AS di Indonesia. Laporan Penelitian Rutin 1999/2000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Depkes RI

Jahari AB, I Jus’at. 2004. Review Data Berat Badan dan Tinggi Badan Penduduk

Indonesia. Didalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta. Khaerunnisa. 2005. Hubungan kadar hemoglobin dengan skor keluhan

menstruasi pada mahasiswa putri TPB IPB tahun 2003/2004 [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Page 69: A08ear

Kusharto CM, NY Sa’diyyah. 2006. Diktat Penilaian Konsumsi Pangan. Bogor: IPB Press

Maharani II. 2003. Faktor risiko yang mempengaruhi status anemia mahasiswa

USMI IPB 2002-2003 [skripsi]. Bogor : Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor

McLean E, M Cogswell, I Egli, D Wojdyla, B deBenoist. 2007. Worldwide

prevalence of anemia in preschool aged children, pregnant women and non-pregnant women of reproductive age. Didalam Nutritional Anemia, Edited by Klaus Kraemer & Michael B. Zimmermann. Switzerland : Sight and Life Press

Nurwulan I. 2003. Hubungan karakteristik lingkungan fisik rumah, perilaku hidup

sehat, serta akses terhadap pelayanan kesehatan dengan status kesehatan anak usia 3-5 tahun pada keluarga miskin di kecamatan Bogor Selatan [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Oppenheimer SJ. 2001. Iron and Its Relation to Immunity and Infectious Disease.

The Journal Of Nutrition 131: 616S–635S [3 April 2008] Permaesih D, S Herman. 2005. Faktor-faktor yang mempengaruhi anemia pada

remaja. Buletin Penelitian Kesehatan 33(4):162-171 Puri DK. 2007. Faktor-faktor yang berhubungan dengan status anemia

mahasiswi peserta program pemberian makanan tambahan di IPB, Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Ratnayani. 2005. Identifikasi karakteristik mahasiswa putra TPB IPB dengan

status gizi kurang [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Riyadi H. 2001. Metode Penilaian Status Gizi Secara Antropometri. Bogor :

Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Institut Pertanian Bogor

Ruel MT. 2001. Can Food-Based Strategies Help Reduce Vitamin A and Iron

Deficiencies? A Review of Recent Evidence. Washington DC : International Food Policy Research Institute

Shulman ST, JP Phair, HM Sommers. 1994. The Biologic & Clinical Basis of

Infectious Diseases, Fourth Edition, penerjemah Samik Wahab. Jogjakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada

Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya. Jakarta : DirJen PTDPN Supariasa IDN, I Fajar, B Bakri. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta : Buku

Kedokteran EGC Thompson B. 2007. Food-based approaches for combating iron deficiency.

Didalam Nutritional Anemia, Edited by Klaus Kraemer & Michael B. Zimmermann. Switzerland : Sight and Life Press

Page 70: A08ear

Thurnham DI, CA Northrop-Clewes. 2007. Infection and the etiology of anemia. Didalam Nutritional Anemia, Edited by Klaus Kraemer & Michael B. Zimmermann. Switzerland : Sight and Life Press

UNS – SCN [United Nation System – Standing Committee on Nutrition]. 2006.

Adolescence. Geneva WHO [World Health Organization]. 2001. Iron Deficiency Anaemia, Assessment,

Prevention, and Control : A guide for programme managers. Geneva : World Health Organization

WHO [World Health Organization]. 2004. Focusing on anaemia : Towards an

integrated approach for effective anaemia control. Geneva : World Health Organization

WHO [World Health Organization]. 2006. Adolescent Nutrition: A Review of the

Situation in Selected South-East Asian Countries. New Delhi : WHO Region Office for South-East Asia

Wijianto. 2002. Dampak suplementasi tablet tambah darah (TTD) dan faktor-

faktor yang berpengaruh terhadap anemia gizi ibu hamil di kabupaten Banggai propinsi Sulawesi Tengah [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Wirakusumah ES. 1998. Perencanaan Menu Anemia Gizi Besi. Jakarta : Trubus

Agriwidya Wiseman G. 2002. Nutrition & Health. London : Taylor & Francis Inc. Zhu YI, JD Haas. 1997. Iron depletion without anemia and physical performance

in young women. The Journal of Nutrition :66:334-41 [23 Juni 2008]

Page 71: A08ear

L A M P I R A N

Page 72: A08ear

Lampiran 1. Kuisioner penelitian

KUISIONER KEGIATAN PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN ANEMIA GIZI BESI

PADA REMAJA PUTRI SISWI SMP DAN SMU

A. Identitas Responden 1. Nama siswi : ....................................................................

2. Tanggal Lahir/Umur : ....................................................................

3. Nama Orang Tua : ....................................................................

4. Kelas : ....................................................................

B. Pernyataan Kesediaan Diambil darah 1. Apakah bersedia diambil darah?

1. Ya 2. Tidak

2. Hasil pemeriksaan darah, Hb : .........… g%

1. Anemia (Hb < 12 g%) 2. Normal (Hb ≥ 12 g%)

C. Data Antropometri dan Status Gizi 1. Berat Badan : ................., ................. kg

2. Tinggi Badan : ................., ................. m

3. Indeks Massa Tubuh (IMT) : ................., .................

4. Status Gizi :

1. Kurus : IMT < 18.5

2. Normal : IMT 18.5 – 24.9

3. Risiko untuk Gemuk : IMT 25.0 – 26.9

4. Gemuk : IMT ≥ 26.9

D. Aktivitas Fisik Kegiatan sehari-hari selain belajar (jawaban boleh lebih dari satu)

1. Olahraga ringan (jalan santai, lempar cakram, tolak peluru, senam

pernapasan, dll)

2. Olahraga sedang (basket, voli, lari, senam aerobik, jalan cepat, dll)

3. Olahraga berat (sepakbola, lari cepat >10 km, senam aerobik high

impact, dll)

NAMA SEKOLAH : ....................................................................

PUSKESMAS/KECAMATAN : ....................................................................

Page 73: A08ear

E. Pola Menstruasi 1. Frekuensi Menstruasi

1. Sebulan sekali 3. 2-3 bulan sekali

2. Sebulan dua kali 4. Lain-lain, sebutkan .................

2. Banyaknya Menstruasi

1. Sehari ganti 1-2 kali 3. Sehari ganti 5-6 kali

2. Sehari ganti 3-4 kali 4. Sehari ganti > 6 kali

3. Lama menstruasi

1. < 3 hari 3. 5 – 7 hari

2. 3 – 5 hari 4. > 7 hari

F. Riwayat Penyakit 1. Apakah pernah menderita sakit TB (sering batuk-batuk riak berdarah,

keluar keringat malam)?

1. Ya 2. Tidak

2. Apakah pernah menderita sakit malaria (Sering demam disertai

menggigil)?

1. Ya 2. Tidak

3. Apakah dalam satu bulan terakhir ini pernah keluar cacing?

1. Ya 2. Tidak

G. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Apakah mencuci tangan sebelum makan?

1. Mencuci tangan pakai sabun

2. Mencuci tangan tidak pakai sabun

3. Tidak mencuci tangan

H. Perilaku Makan 1. Berapa kali frekuensi makan dalam sehari?

1. > 3 kali 3. 2 kali

2. 3 kali 4. 1 kali, alasannya .................

2. Apakah ada pantangan makanan tertentu yang dianjurkan?

1. Ada, sebutkan alasannya ...................................................

2. Tidak ada

3. Apakah ada makanan tertentu yang dianjurkan?

1. Ada, sebutkan alasannya ..................................................

2. Tidak ada

Page 74: A08ear

Lampiran 2. Frekuensi Konsumsi Pangan FORMULIR RECALL KONSUMSI MAKANAN SUMBER ZAT BESI DAN VITAMIN C

KEGIATAN PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN ANEMIA GIZI BESI PADA REMAJA PUTRI SISWI SMP DAN SMU

NAMA SISWI : …………………………………………………………….

TANGGAL LAHIR/UMUR : …………………………………/…………………..tahun

NAMA SEKOLAH/KELAS : …………………………………………………………….

PUSKESMAS/KECAMATAN : …………………………………………………………….

KABUPATEN/KOTA : …………………………………………………………….

No Bahan Makanan Frekuensi Makan dalam Seminggu Tidak Setiap Hari 3 – 6 Kali < 3 Kali

SUMBER HEME 1. Lauk Hewani - Ikan segar - Ikan asin - Daging sapi - Daging ayam - Hati sapi - Hati ayam - Telur ayam - Telur bebek - Telur puyuh .......................... SUMBER NON HEME 2. Lauk Nabati - Tempe - Tahu - Kacang-kacangan .......................... 3. Sayuran - Waluh - Kembang kol - Kol - Brokoli - Wortel - Kentang - Daun singkong - Bayam - Kangkung - Sawi - Daun pepaya …………………. 4. Buah-buahan - Jeruk - Pepaya - Tomat - Jambu biji - Mangga - Nenas - Pisang .......................... 5. Makanan Jajanan .......................... 6. Minuman - Teh - Kopi 7. Suplemen

Page 75: A08ear

Lampiran 3. Hasil Uji Korelasi Spearman Faktor Risiko dengan Status Anemia

Faktor Risiko Koefisien Korelasi Sig.Usia 0.131 0.009*Status Gizi Antropometri - 0.043 0.396Status Menstruasi 0.113 0.023*Frekuensi Menstruasi 0.011 0.855Banyak Menstruasi 0.044 0.448Lama Menstruasi 0.028 0.632Riwayat Penyakit - 0.009 0.861Perilaku Hidup Bersih dan Sehat 0.011 0.824Aktivitas Fisik 0.023 0.641Lauk Hewani Ikan Segar 0.035 0.480Ikan Asin - 0.071 0.155Daging Sapi 0.005 0.928Daging Ayam 0.069 0.167Hati Sapi - 0.054 0.281Hati Ayam 0.018 0.725Telur Ayam - 0.085 0.088*Telur Bebek - 0.108 0.031*Telur Puyuh 0.029 0.558Lauk Nabati Tempe - 0.005 0.923Tahu - 0.034 0.496Kacang-kacangan - 0.042 0.398Sayuran Waluh - 0.103 0.040*Kembang Kol - 0.026 0.604Kol 0.015 0.757Brokoli - 0.077 0.123Wortel 0.010 0.840Kentang 0.052 0.298Daun Singkong 0.018 0.723Bayam 0.017 0.730Kangkung - 0.053 0.290Sawi - 0.087 0.082*Daun Pepaya - 0.017 0.733Buah-buahan Jeruk 0.074 0.138Pepaya - 0.123 0.014Tomat - 0.026 0.605Jambu Biji 0.055 0.274Mangga - 0.039 0.432Nenas 0.012 0.803Pisang 0.066 0.186Makanan Jajanan Bakso - 0.038 0.446Mie 0.069 0.170Gorengan 0.003 0.957Minuman Teh - 0.037 0.462Kopi - 0.054 0.281Susu 0.068 0.175Suplemen - 0.017 0.735

* Signifikan pada taraf kepercayaan < 0.1

Page 76: A08ear

Lampiran 4 Hasil Analisis Regresi Logistik

Faktor Risiko OR 90% C.I OR Usia 13-15 thn (13-15thn=1, 10-12thn=0) 2.727 1.673 - 4.539 16-18 thn (16-18thn=1, 10-12thn=0) 1.689 0.979 - 3.066 Status Gizi Kurus (IMT < 18.5 = 1, IMT > 25 = 0) 8.323 2.270 - 29.152 Normal (18.5<IMT<25=1, IMT>25= 0) 6.733 1.794 - 22.531 Menstruasi Sudah = 1, Belum = 0 1.220 0.689 - 2.066 Riwayat Penyakit Ya = 1, Tidak = 0 0.714 0.089 - 4.445 Aktivitas Fisik OR Sedang (Sedang = 1, Ringan = 0) 0.369 0.667 - 1.392 OR Berat (Berat = 1, Ringan = 0) 0.956 0.049 - 2.465 Konsumsi Pangan Telur ayam (Jarang = 1, Sering = 0) 0.901 0.173 - 1.734 Telur bebek (Jarang = 1, Sering = 0) 0.782 0.551 - 2.573 Konstanta 0.052

* Signifikan pada taraf kepercayaan 0.1