A. Latar Belakang Masalah ) merupakan salah satu tanaman...

16
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jinten hitam (Nigella sativa) merupakan salah satu tanaman obat yang banyak dimanfaatkan untuk pengobatan tradisional. Jinten hitam umum digunakan sebagai antihipertensi, diuretika, antidiare, penambah nafsu makan, analgesik dan antibakteri. Studi yang dilakukan Ahmad dkk. (2013) menemukan potensi lain dari jinten hitam sebagai antidiabetes, antikanker, immunomodulator, antiinflamasi, bronkodilator, dll. Sebagian besar efek terapi dari tanaman ini diketahui dari adanya senyawa timokuinon (Ahmad dkk., 2013). Timokuinon merupakan komponen bioaktif terbesar dari minyak essensial biji jinten hitam yang tergolong senyawa terpenoid (Odeh dkk., 2014). Timokuinon yang memiliki banyak aktivitas terapeutik ini tidak semata-mata dapat digunakan untuk pengobatan. Hal ini dikarenakan timokuinon bersifat lipofilik (log P = 2,54) (Singh dkk., 2012) yang menyebabkan kelarutannya rendah dalam air (549-669 µg/mL) (Salmani dkk., 2014). Komponen dengan kelarutan kurang dari 10 mg/mL memiliki masalah disolusi yang sangat signifikan (Talegaonkar dkk., 2008). Kelarutan yang rendah menyebabkan bioavailabilitas dalam tubuh menjadi rendah sehingga dosis yang diberikan untuk mencapai efek terapi menjadi tinggi. Sediaan jinten hitam (Nigella Sativa) umumnya terdapat di pasaran dalam bentuk sediaan kapsul dengan dosis 600 mg. Strategi formulasi yang tepat sangat dibutuhkan untuk mengatasi masalah bioavailabilitas jinten hitam.

Transcript of A. Latar Belakang Masalah ) merupakan salah satu tanaman...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Jinten hitam (Nigella sativa) merupakan salah satu tanaman obat yang

banyak dimanfaatkan untuk pengobatan tradisional. Jinten hitam umum digunakan

sebagai antihipertensi, diuretika, antidiare, penambah nafsu makan, analgesik dan

antibakteri. Studi yang dilakukan Ahmad dkk. (2013) menemukan potensi lain dari

jinten hitam sebagai antidiabetes, antikanker, immunomodulator, antiinflamasi,

bronkodilator, dll. Sebagian besar efek terapi dari tanaman ini diketahui dari adanya

senyawa timokuinon (Ahmad dkk., 2013). Timokuinon merupakan komponen

bioaktif terbesar dari minyak essensial biji jinten hitam yang tergolong senyawa

terpenoid (Odeh dkk., 2014). Timokuinon yang memiliki banyak aktivitas

terapeutik ini tidak semata-mata dapat digunakan untuk pengobatan. Hal ini

dikarenakan timokuinon bersifat lipofilik (log P = 2,54) (Singh dkk., 2012) yang

menyebabkan kelarutannya rendah dalam air (549-669 µg/mL) (Salmani dkk.,

2014). Komponen dengan kelarutan kurang dari 10 mg/mL memiliki masalah

disolusi yang sangat signifikan (Talegaonkar dkk., 2008). Kelarutan yang rendah

menyebabkan bioavailabilitas dalam tubuh menjadi rendah sehingga dosis yang

diberikan untuk mencapai efek terapi menjadi tinggi. Sediaan jinten hitam (Nigella

Sativa) umumnya terdapat di pasaran dalam bentuk sediaan kapsul dengan dosis

600 mg. Strategi formulasi yang tepat sangat dibutuhkan untuk mengatasi masalah

bioavailabilitas jinten hitam.

2

Peningkatan bioavailabilitas jinten hitam dapat dilakukan melalui formulasi

berbasis lemak, salah satunya SNEDDS. Beberapa tahun terakhir ini, SNEDDS

banyak dikembangkan untuk mengatasi permasalahan obat baru, terutama untuk

menaikkan kelarutan, absorpsi dan stabilitas obat yang sukar larut dalam air.

SNEDDS adalah sistem yang terdiri dari campuran minyak, surfaktan dan ko-

surfaktan yang dapat membentuk nanoemulsi secara spontan ketika bertemu fase

air melalui agitasi yang ringan dalam lambung (Gupta dkk., 2011). Sistem ini secara

spontan akan membentuk emulsi minyak dalam air dengan ukuran partikel < 100

nm dengan adanya cairan lambung setelah administrasi oral (Joshi dkk., 2013).

SNEDDS mampu meningkatkan ketersediaan hayati obat karena ukuran

dropletnya yang berukuran nano mampu meningkatkan disolusi dan absorpsi oral

sehingga akan meningkatkan bioavailabilitas dalam tubuh secara signifikan (Nazzal

dkk., 2002). Sistem ini juga dapat menaikkan permeabilitas obat melalui membran

biologis karena adanya komponen lipid dan surfaktan dalam formulasi. Keuntungan

lainnya adalah stabilitas yang tinggi, 100% efisiensi penangkapan obat, dosis

pemberian yang tidak terlalu besar, frekuensi pemberian yang tidak terlalu sering

(karena peningkatan bioavailabilitas), kemudahan dalam proses pembuatan dan

scale-up (Gupta dkk., 2011).

Dalam penelitian ini, ekstrak etanolik jinten hitam diformulasi menjadi

SNEDDS menggunakan minyak nabati sebagai fase minyak. Minyak nabati

memiliki banyak keuntungan jika digunakan sebagai fase minyak pada formulasi

berbasis lemak. Minyak nabati termasuk dalam golongan lipid, yaitu senyawa

organik yang tidak dapat larut dalam air, tetapi dapat larut dalam pelarut organik

3

non polar seperti senyawa hidrokarbon atau dietil eter. (Wijayanti, 2008).

Penggunaan minyak nabati sebagai fase minyak tidak akan menyebabkan masalah

keamanan dikarenakan minyak nabati menghasilkan produk degradasi yang mudah

dieksresi oleh tubuh (Singh dkk., 2009). Umumnya minyak nabati mengandung 90-

98% trigliserida, yaitu terdapat 3 molekul asam lemak yang terikat pada gliserol

(Wijayanti, 2008). Trigliserida memiliki kemampuan untuk menstimulasi sekresi

empedu sehingga sistem yang mengandung obat akan diemulsifikasi lebih lanjut

oleh garam empedu (Chime, 2014). Trigliserida juga bersifat lipofil sehingga akan

mampu menaikkan kelarutan obat yang juga bersifat lipofil jika digunakan sebagai

fase minyak. Minyak nabati mengandung asam lemak jenuh seperti kaproat,

miristat, laurat. Minyak yang mengandung salah satu komponen tersebut menjadi

pilihan dalam formulasi SNEDDS karena mampu memberikan stabilitas dan nilai

HLB yang optimal. Minyak nabati yang digunakan pada proses skrining adalah

minyak jagung, minyak zaitun dan VCO (Virgin Coconut Oil).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, timbul permasalahan

sebagai berikut :

1. Apakah campuran minyak nabati, surfaktan dan ko-surfaktan yang didapat

dari proses skrining dan optimasi dapat menghasilkan formula SNEDDS

ekstrak etanolik jinten hitam yang homogen dan stabil, ditandai dengan

tidak adanya pemisahan fase dan pengendapan?

4

2. Apakah SNEDDS yang dihasilkan memiliki extract loading, tingkat

kejernihan, ukuran tetes nanoemulsi, waktu emulsifikasi, serta kestabilan

dalam cairan lambung buatan dan cairan usus buatan yang baik?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui apakah campuran minyak nabati, surfaktan dan ko-

surfaktan yang didapat dari proses skrining dan optimasi dapat

menghasilkan formula SNEDDS ekstrak etanolik jinten hitam yang

homogen dan stabil, ditandai dengan tidak adanya pemisahan fase dan

pengendapan.

2. Untuk mengetahui apakah SNEDDS ekstrak etanolik jinten hitam yang

dihasilkan memiliki extract loading, tingkat kejernihan, ukuran tetes

nanoemulsi, waktu emulsifikasi, serta kestabilan dalam cairan lambung

buatan dan cairan usus buatan yang baik.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam hal

formulasi sediaan SNEDDS ekstrak etanolik jinten hitam dan menjadi dasar dalam

pengembangan produk baru berupa sediaan SNEDDS ekstrak etanolik jinten hitam

yang dapat digunakan untuk berbagai tujuan seperti antibakteri, antifungi,

antidiabetes, antioksidan, dan lain-lain.

5

E. Tinjauan Pustaka

1. Jinten Hitam (Nigella sativa)

Nigella sativa atau di Indonesia lebih dikenal dengan jinten hitam

merupakan salah satu tanaman obat yang banyak digunakan di Indonesia. Jinten

hitam merupakan tanaman berbunga tahunan. Biji jinten hitam dikenal

masyarakat dengan banyak sebutan, diantaranya black seed, black caraway seed,

habbatu sawda, habatul baraka, dan black cumin (El tahir dan Bakeet, 2006;

Gali-Muhtasib dkk., 2006).

Jinten hitam adalah tanaman semak semusim dengan tinggi sekitar 30 cm.

Jinten hitam memiliki batang tegak, lunak dan berwarna hijau kemerahan. Daun

tunggal, lonjong, ujung dan pangkal runcing, pertulangan menyirip, hijau. Bunga

majemuk, bentuk karang, benang sari, tangkai sari dan kepala sari kuning,

mahkota batang corong, putih kekuningan. Buah berbentuk polong, bulat

panjang, berwarna coklat kehitaman. Biji kecil, bulat, hitam. Akar tunggang,

coklat (Riset dan Teknologi Indonesia, 2002). Bentuk tanaman dan biji jinten

hitam dapat dilihat pada gambar 1.

Adapun penamaan secara sistemika:

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Ranunculales

6

Famili : Ranunculaceae

Genus : Nigella

Spesies : Nigella sativa (Riset dan Teknologi Indonesia, 2002)

Gambar 1. Tanaman dan biji jinten hitam (Darakhshan dkk., 2015)

Biji jinten hitam agak keras, bentuk limas ganda dengan kedua ujungnya

meruncing, limas yang satu lebih pendek dari yang lain, bersudut 3-4, panjang

1,5 mm sampai 2 mm, lebar lebih kurang 1 mm, permukaan luar berwarna hitam

kecoklatan hitam kelabu sampai hitam, berbintik-bintik, kasar, berkerut, kadang-

kadang dengan beberapa rusuk membujur atau melintang. Pada penampang

melintang biji terlihat kulit biji berwarna hitam kecoklatan sampai hitam,

endosperma berwarna kuning kemerahan, kelabu, atau kelabu kehitaman

(Depkes RI, 1979).

Berbagai penelitian yang bertujuan untuk mengetahui aktivitas biologi

dan potensi terapeutik dari jinten hitam telah banyak dilakukan. Hasil yang

didapat menunjukkan bahwa jinten hitam memiliki spektrum aktivitas biologi

yang sangat luas. Jinten hitam telah banyak dimanfaatkan untuk terapi berbagai

7

macam penyakit seperti bronkitis, asma, diare, rematik, diabetes mellitus, dll.

Hampir semua aktivitas biologis dari jinten hitam ini disebabkan karena adanya

senyawa timokuinon (Ahmad dkk., 2013). Struktur kimia timokuinon dapat

dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Struktur kimia timokuinon

Berbagai komponen aktif dari biji jinten hitam telah banyak diisolasi dan

diidentifikasi. Biji jinten hitam diketahui mengandung 28-36% minyak tetap

(fixed oil), 0,4-2,5% minyak esensial (essential oil), protein (16-19,9%),

karbohidrat (33,9%), serat (5,5%), air (6%), mineral (1,79%-3,74%), alkaloid,

saponin dan kumarin (Tembhurne dkk., 2014). Ekstrak etanolik jinten hitam

diketahui mengandung steroid, tannin, flavonoid, kumarin, glikosida kardiak,

saponin, diterpen dan alkaloid (Ishtiaq dkk., 2013; Sharma dkk., 2011).

2. SNEDDS (Self-nanoemulsifying drug delivery system)

SNEDDS adalah sistem yang terdiri dari campuran minyak, surfaktan,

dan ko-surfaktan yang dapat membentuk nanoemulsi secara spontan setelah

bertemu fase air melalui agitasi yang ringan dalam lambung (Gupta dkk., 2011).

Nanoemulsi yang terbentuk terlihat transparan dikarenakan ukuran dropletnya

yang sangat kecil (< 100 nm) (Thakur dkk., 2013). Ukuran droplet nanoemulsi

yang sangat kecil mengakibatkan obat dapat melewati membran sepanjang

8

saluran pencernaan dengan cepat dan meminimalisir iritasi akibat adanya kontak

antara partikel obat dengan dinding saluran pencernaan (Makadia dkk., 2013).

Formulasi SNEDDS lebih dipilih daripada nanoemulsi karena

nanoemulsi mengandung air yang dapat menurunkan stabilitas formulasi.

Volume SNEDDS yang dihasilkan juga lebih kecil daripada volume nanoemulsi

sehingga akan meningkatkan kenyamanan penggunaaannya. Volume yang lebih

kecil memungkinkan SNEDDS dikemas di dalam sediaan kapsul, baik dalam

hard maupun soft gelatin (Gupta dkk., 2011). Pengurangan dosis pemberian akan

mengurangi efek samping yang berhubungan dengan dosis. SNEDDS juga dapat

membentuk larutan lipid yang stabil tanpa perlu proses emulsifikasi dengan

energi tinggi (Date dkk., 2010).

Komponen penyusun SNEDDS antara lain minyak sebagai pembawa

obat, surfaktan sebagai emulgator minyak ke dalam air melalui pembentukan

lapisan film antar muka dan menjaga kestabilannya, serta ko-surfaktan untuk

membantu kerja surfaktan sebagai emulgator. SNEDDS yang dihasilkan harus

kompatibel antar komponennya, aman untuk dikonsumsi, memiliki kapasitas

pelarutan obat yang baik dan memiliki kemampuan self-emulsifying yang baik

(Han dkk., 2011). Karakteristik formula SNEDDS dipengaruhi oleh rasio

minyak dan surfaktan, kepolaran dan muatan tetesan emulsi. Formula SNEDDS

juga dipengaruhi oleh sifat fisikokimia dan konsentrasi minyak, surfaktan dan

ko-surfaktan, rasio masing-masing komponen, pH dan suhu saat emulsifikasi

terjadi, serta sifat fisikokimia obat (Obitte dkk., 2011).

Pemilihan komponen SNEDDS yang digunakan pada formulasi

9

SNEDDS ekstrak etanolik jinten hitam didasarkan pada kelarutan ekstrak

etanolik jinten hitam di dalam masing-masing komponen. Pemilihan komponen

SNEDDS juga dapat didasarkan pada kemampuan untuk bercampur antar

komponen SNEDDS, kompatibilitas dengan cangkang kapsul yang akan

digunakan dan tipe formulasi (Pouton dan Porter, 2008).

Komponen utama SNEDDS adalah sebagai berikut:

a. Minyak

Minyak merupakan komponen penting dari sistem yang bukan hanya

berfungsi untuk melarutkan obat tetapi juga memfasilitasi transport obat

melalui sistem limfatik intestinal sehingga absorbsi obat dari saluran

pencernaan juga meningkat (Balakumar dkk., 2013). Fase minyak yang

digunakan pada proses skrining antara lain VCO (Virgin Coconut Oil),

minyak zaitun dan minyak jagung.

VCO merupakan minyak kelapa murni yang diproduksi dari daging

kelapa segar yang diolah dalam suhu rendah, tanpa melalui pemanasan

tinggi sehingga kandungan yang penting dalam minyak dapat

dipertahankan. Kandungan asam lemak jenuh VCO antara lain asam kaproat

(0,2%), asam kaprilat (6,1%), asam kaprat (8,6%), asam laurat (50,5%),

asam miristat (16,1%), asam palmitat (7,5%), asam stearat (1,5%), asam

arakidat (0,02%). Kandungan asam lemak tidak jenuh dalam VCO antara

lain asam palmitoleat (0,2%), asam oleat (6,5%), asam linoleat (2,7%).

Asam laurat di dalam tubuh akan diubah menjadi monolaurin atau senyawa

monogliserida yang mempunyai manfaat sebagai antivirus, antibakteri dan

10

antiprotozoa (Prabawati, 2005).

Minyak zaitun memiliki kandungan utama asam lemak tidak jenuh

antara lain asam oleat (80%), asam linoleat (6%), asam linolenat (0,7%),

dan asam palmitoleat (0,6%). Minyak zaitun juga mengandung asam lemak

jenuh, antara lain asam palmitat (9%), asam stearat (3%), dan asam arakidat

(0,4%) (Singh dkk., 2009). Asam oleat bermanfaat dalam mengurangi

kolesterol darah, menjaga fungsi sistem imun dan mencegah aterosklerosis

(Yu dkk., 2005).

Kandungan asam lemak tidak jenuh dalam minyak jagung antara lain

asam lemak linoleat (60%), asam oleat (25%), asam linolenat (1%), asam

palmitoleat (0,2%). Kandungan asam lemak jenuh dalam minyak jagung

antara lain asam miristat (0,1%), asam palmitat (11%), asam margarat

(0,1%), asam stearat (2%), asam arakidat (0,4%), dan asam behenat (0,1%)

(Singh dkk., 2009). Asam linoleat terkonjugasi bermanfaat sebagai zat

pencegah kanker dan mencegah penyakit kardiovaskular (Yu dkk., 2005).

b. Surfaktan

Surfaktan merupakan komponen penting dalam formulasi SNEDDS.

Surfaktan dapat melarutkan komponen obat yang hidrofobik dalam jumlah

besar (Singh dkk., 2009). Surfaktan akan membentuk lapisan film antar

muka di permukaan, membantu menstabilkan emulsi dan meningkatkan

absorpsi obat ke dalam sel dengan berpartisi ke dalam membran sel dan

merusak struktur membran lipid bilayer sehingga akan meingkatkan

permeasi obat (Gursoy dan Benita, 2004). Bentuk sediaan emulsi o/w untuk

11

penggunaan oral dan parenteral dengan menggunakan surfaktan nonionik

akan menghasilkan stabilitas in-vivo yang lebih baik (Kawakami dkk.,

2006). Surfaktan non-ionik juga relatif lebih aman digunakan daripada

surfaktan ionik. Surfaktan non-ionik diketahui lebih stabil terhadap

pengaruh pH dan perubahan kekuatan ionik, lebih aman dan biokompatibel

(Singh dkk., 2009).

Kriteria penting yang juga harus diperhatikan pada pemilihan

surfaktan adalah nilai HLB (Hydrophillic-Liphophillic Balance). Surfaktan

dan ko-surfaktan hidrofilik akan lebih mudah membentuk lapisan antar

muka dan menurunkan energi yang diperlukan untuk membentuk

nanoemulsi sehingga stabilitas akan meningkat (Kommuru dkk., 2001).

Surfaktan dengan nilai HLB < 10 bersifat hidrofobik (contoh: sorbitan

monoester) dan dapat membentuk nanoemulsi air dalam minyak (w/o),

sedangkan surfaktan dengan nilai HLB > 10 bersifat hidrofilik (contoh:

polisorbat 80) dan dapat membentuk nanoemulsi minyak dalam air (o/w)

(Debnath dkk., 2011).

Konsentrasi surfaktan berperan dalam pembentukan tetesan

berukuran nanometer. Konsentrasi surfaktan dalam sistem SNEDDS harus

disesuaikan agar tidak terlalu besar dan menimbulkan efek yang tidak baik

pada saluran cerna (Singh dkk., 2009), karena itu penentuan konsentrasi

surfaktan yang digunakan merupakan faktor penting pada formulasi

(Kawakami dkk., 2006). Penelitian menggunakan surfaktan non-ionik yaitu

Tween 80.

12

Tween 80 atau polyoxyethylene-(20)-sorbitan monooleate

(C64H124O6) memiliki nilai HLB 15 dan bobot molekul 604,8128 g/mol,

kelarutan di air 5-10 g/100 mL pada suhu 23oC, dan densitas sebesar 1.064.

Tween 80 dikategorikan sebagai generally recognized as nontoxic and

nonirritant dengan LD50 pemberian secara oral pada tikus sebesar 25 mg/kg

BB (Rowe dkk., 2009). Struktur kimia Tween 80 dapat dilihat pada gambar

3.

w+x+y+z=20

Gambar 3. Struktur kimia Tween 80

c. Ko-surfaktan

Ko-surfaktan ditambahkan pada formula SNEDDS untuk

meningkatkan extract loading, menurunkan waktu emulsifikasi, dan

mengatur ukuran tetes pada nanoemulsi (Makadia dkk., 2013). Ko-surfaktan

membantu surfaktan dalam menurunkan tegangan antar muka sehingga

dapat mengecilkan ukuran partikel nanoemulsi (Debnath dkk., 2011).

Penelitian menggunakan PEG 400 sebagai ko-surfaktan.

Polietilen Glikol 400 (PEG 400) memiliki nilai HLB 11,4 dan

diklasifikasikan GRAS (Generally regarded as safe) oleh FDA sehingga

aman digunakan untuk bahan tambahan makan, obat-obatan, dan juga

13

kosmetik (Chime dkk., 2014). PEG 400 memiliki nilai LD50 pemberian

secara oral pada tikus sebesar 28,9 g/kg BB (Rowe dkk., 2009).

PEG 400 memiliki rumus struktur HOCH2(CH2OCH2)mCH2OH

dimana m merupakan jumlah rata-rata gugus oksietilen, dengan bobot

molekul sebesar 380-429 g/mol, berwujud cairan kental jernih, stabil, tidak

berwarna, bau khas agak lemah, agak higroskopik, dan pahit, serta dapat

larut dalam air, etanol, aseton dan hidrokarbon aromatik, namun praktis

tidak larut dalam eter dan hidrokarbon alifatik (Depkes RI, 1995). Struktur

kimia PEG 400 dapat dilihat pada gambar 4.

n = 8.7

Gambar 4. Struktur kimia PEG 400

F. Landasan Teori

Timokuinon yang merupakan komponen bioaktif terbesar dari jinten hitam

diketahui memiliki log P = 2,54 (Singh dkk., 2012). Hal ini mengindikasikan bahwa

timokuinon merupakan senyawa lipofilik. Kelarutan timokuinon dalam air

diketahui 549-669 µg/mL (Salmani dkk., 2014). Kelarutan dalam air yang rendah

ini akan menimbulkan masalah pada penggunaan oral dikarenakan timokuinon sulit

untuk tersolubilisasi dalam air dan diabsorpsi tubuh. Peningkatan kelarutan

timokuinon dalam ekstrak etanolik jinten hitam ini dapat dilakukan melalui suatu

formulasi berbasis lemak, salah satunya SNEDDS.

14

SNEDDS didefinisikan sebagai sistem yang terdiri dari campuran minyak,

surfaktan dan ko-surfaktan yang dapat membentuk nanoemulsi secara spontan

ketika bertemu fase air melalui agitasi yang ringan dalam lambung dengan ukuran

tetes emulsi berkisar nanometer (Mahmoud dkk., 2013). Ukuran tetes emulsi yang

berukuran nanometer akan meningkatkan disolusi dan absoprsi oral sehingga akan

meningkatkan bioavailabilitas dalam tubuh secara signifikan (Nazzal dkk., 2002).

SNEDDS akan menyebar secara merata di saluran pencernaan dan gerakan untuk

proses digesti pada lambung dan usus halus akan menyediakan agitasi yang

dibutuhkan untuk proses self-emulsification (Kyatanwar dkk., 2010). Keberhasilan

pada pengembangan SNEDDS dapat dilihat dari kejernihan, waktu emulsifikasi,

ukuran droplet, dan distribusi ukuran yang dinyatakan dalam indeks polidispersitas.

Fase minyak yang digunakan pada formulasi SNEDDS adalah minyak

nabati. Minyak nabati adalah minyak yang diperoleh dari tumbuhan. Sebagian besar

minyak nabati (95-98%) terdiri dari tiga ester asam lemak dan gliserol, yang sering

disebut trigliserida. Sekitar 2-5% sisanya terdiri dari campuran senyawa minor

seperti lemak, alkohol, ester, dll (Aluyor dkk., 2009). Penggunaan minyak nabati

yang mengandung trigliserida dengan rantai medium-panjang dirasa tepat untuk

meningkatkan kelarutan obat yang lipofil dikarenakan trigliserida merupakan

senyawa yang memiliki lipofilisitas tinggi (Singh dkk., 2009). Minyak nabati

banyak digunakan dalam formulasi SNEDDS karena banyak mengandung asam

lemak seperti kaproat, kaprilat, laurat, miristat. Komponen tersebut memberikan

kegunaan yang potensial, stabilitas dan HLB yang optimal terhadap SNEDDS yang

dihasilkan (Singh dkk., 2009).

15

Pramudita (2014) pada penelitiannya berhasil memformulasikan SNEDDS

ketoprofen menggunakan VCO sebagai fase minyak, kombinasi Tween 80 dan

Tween 20 sebagai surfaktan dan PEG 400 sebagai ko-surfaktan, menghasilkan

nanoemulsi dengan ukuran diameter 2,1 nm dan distribusi ukuran partikel yang

seragam. Fathoroni (2014) pada penelitiannya menggunakan minyak zaitun sebagai

fase minyak penyusun komponen SNEDDS simvastatin, Tween 80 sebagai

surfaktan dan PEG 400 sebagai ko-surfaktan. Ukuran partikel yang dihasilkan

berukuran 26,66 nm dengan distribusi ukuran partikel yang seragam. AlHaj dkk.

(2010) dalam penelitiannya berhasil memformulasi Solid Lipid Nanopartikel yang

memuat minyak esensial jinten hitam dengan ukuran droplet yang dihasilkan

berkisar 66-142,70 nm. Penelitian yang dilakukan Tubesha dkk. (2013)

menghasilkan nanoemulsi timokuinon dengan komposisi timokuinon murni,

glycerololeat, 2% Tween 80 dan akuades. Ukuran partikel yang dihasilkan berkisar

116,27-122,7 nm, lebih kecil dibanding emulsi timokuinon konvensional yang

berkisar antara 489,2-680,2 nm. Berdasarkan hasil beberapa penelitian tersebut,

diperkirakan formulasi ekstrak etanolik jinten hitam menjadi SNEDDS dengan

menggunakan minyak nabati sebagai fase minyak dapat dilakukan.

16

G. Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini yaitu:

1. Campuran minyak nabati, surfaktan dan ko-surfaktan yang didapat dari

proses skrining dan optimasi dapat menghasilkan formula SNEDDS

ekstrak etanolik jinten hitam yang homogen dan stabil, ditandai dengan

tidak adanya pemisahan fase dan pengendapan.

2. SNEDDS yang dihasilkan memiliki extract loading, tingkat kejernihan,

ukutan tetes nanoemulsi, waktu emulsifikasi, serta kestabilan dalam cairan

lambung buatan dan cairan usus buatan yang baik.