repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · BAB I PENDAHULUAN -...
Transcript of repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · BAB I PENDAHULUAN -...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebudayaan merupakan persoalan yang sangat komplek dan luas, misalnya
kebudayaan yang berkaitan dengan cara manusia hidup, adat istiadat dan tata krama.
Kebudayaan sebagai bagian dari kehidupan, cenderung berbeda antara satu suku
dengan suku lainnya, khususnya di Indonesia. Masyarakat Indonesia yang heterogen
juga adat istiadat dan kebiasaannya yang berbeda dan masih dipertahankan sampai
saat ini, termasuk adat perkawinan.
Masyarakat Bugis merupakan salah satu suku yang masih mempertahankan
budaya dan adat istiadatnya di Indonesia. Suku Bugis yang tergolong ke dalam suku-
suku Melayu Deutero, berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan
"ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana,
Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Mereka menjuluki dirinya sebagai To
Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi.
Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk
beberapa kerajaan lain. Masyarakat Bugis ini kemudian mengembangkan
kebudayaan, bahasa, aksara Lontara dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa
kerajaan Bugis klasik dan besar antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa dan
Sawitto (Kabupaten Pinrang), Sidenreng dan Rappang. Suku Bugis yang menyebar
dibeberapa Kabupaten memiliki adat istiadat yang masih dipertahankan
keberadaannya.
2
Dalam masyarakat Bugis, hubungan kekerabatan merupakan aspek utama,
baik dinilai penting oleh anggotanya maupun fungsinya sebagai suatu struktur dasar
dalam suatu tatanan masyarakat. Pengetahuan mendalam tentang prinsip-prinsip
kekerabatan sangat penting bagi orang Bugis untuk membentuk tatanan sosial
mereka. Aspek kekerabatan tersebut termasuk perkawinan, karena dinggap sebagai
pengatur kelakuan manusia yang bersangkut paut dengan seksnya dan kehidupan
rumah tangganya. Selain itu perkawinan juga berfungsi untuk mengatur ketentuan
akan harta gengsi sosial dan lebih penting lagi adalah memelihara hubungan
kekerabatan.
Suku Bugis khususnya Bugis Bone, memaknai perkawinan berarti siala atau
mengambil satu sama lain, jadi perkawinan merupakan ikatan timbal balik. Pihak-
pihak yang terlibat berasal dari strata sosial yang berbeda, namun setelah mereka
menikah mereka akan menjadi mitra dalam menjalani kehidupannya. Perkawinan
dalam adat Bugis Bone merupakan salah satu bagian terpenting dalam kehidupan
manusia, suatu perkawinan tidak hanya merupakan peristiwa yang dialami oleh dua
orang individu berlainan jenis, melibatkan berbagai pihak, baik kerabat keluarga
maupun kedua mempelai lebih dalam lagi perkawinan melibatkan kesaksian dari
anggota masyarakat melalui upacara perkawinan yang dianggap sebagai pengakuan
masyarakat terhadap bersatunya dua orang individu dalam ikatan perkawinan.
Guna memahami budaya Bugis Bone, khususnya dalam prosesi upacara
perkawinan adat Bugis Bone yang terkait dengan mitos dan spirit religus, maka
3
dibutuhkan pemahaman terhadap budaya tersebut. Sistem budaya yang berlaku dalam
masyarakat Bugis Bone, merupakan simbolisme pada suku Bugis.
Dalam proses pelaksanaan upacara perkawinan adat Bugis Bone secara umum
terdapat simbol-simbol yang sarat akan makna sehingga sangat penting diketahui
makna dari simbol-simbol perkawinan adat tersebut. Simbol-simbol yang terdapat
dalam prosesi perkawinan adat Bugis Bone bukan sekedar simbol-simbol yang dibuat
tanpa makna namun, pesan komunikasi tersebut tersirat dalam simbol tersebut.
Terdapat hubungan yang mutlak antara manusia dengan kebudayaan
menyebabkan manusia pada hakikatnya disebut mahluk budaya. Kebudayaan itu
sendiri terdiri atas simbol-simbol dan nilai-nilai merupakan hasil karya dari tindakan
manusia. Makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol. Pesan
simbolik yang diciptakan manusia dalam situasi tertentu pada dasarnya ditujukan
untuk manusia agar dapat melakukan komunikasi. Dalam komunikasi melihat pesan-
pesan yang bersifat simbolis, misalnya kata yang terungkap, suatu gerak tubuh seperti
menggelengkan kepala, simbol-simbol seperti rumah adat Bugis Bone (Bola Soba)
yang sarat akan makna dan peristiwa, seperti perkawinan. Dimana simbol-simbol
suatu budaya memiliki makna yang telah disepakati atau dipercayai masyarakat
setempat.
Pemahaman akan makna simbolik dalam upacara perkawinan merupakan
keberlanjutan suatu kebudayaan. Maka dianggap perlu untuk melakukan penelitian
dengan tujuan untuk mengeksplorasi pesan atau makna simbolik yang terkandung
dalam setiap aktivitas upacara perkawinan adat Bugis Bone. Oleh karena itu untuk
4
menghindari terjadinya kesalahpahaman interpretasi bagi orang-orang internal
maupun eksternal masyarakat Bugis Bone, maka penelitian ini sangat menarik untuk
di eksplorasi.
Karya budaya manusia penuh dengan simbolisme sesuai dengan tata
pemikiran atau paham yang mengarahkan pola-pola kehidupan sosialnya, demikian
pula budaya tradisional Bugis Bone terdapat banyak hal yang diungkapkan secara
simbolik, seperti dalam ritual pelaksanaan perkawinan adat yang memiliki berbagai
tahap mekanisme perkawinan mulai dari awal pelamaran sang mempelai perempuan
yaitu mattiro, mappesek-pesek, mammanu-manu, madduta malino, mappasierekeng
hingga prosesi akad nikah seperti mappasau, mappacci, akad nikah, mappasiluka,
marellau dampeng dan setelahnya yaitu prosesi mapparola ke rumah mempelai laki-
laki.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis melakukan penelitian dalam rangka
penulisan skripsi yang menyangkut tentang budaya Bugis Bone dalam perkawinan
adat beserta makna dari simbol-simbol yang terkandung didalamnya dengan judul :
Pesan Simbolik Dalam Prosesi Perkawinan Adat Bugis Bone di Kabupaten Bone.
5
B. Fokus Penelitian
Salah satu kebudayaan masa lampau yang sampai sekarang ini masih
dilaksanakan adalah upacara perkawinan. Dalam upacara adat perkawinan suku Bugis
Bone dianggap salah satu tahapan terpenting dalam hidup seseorang. Suatu
perkawinan tidak hanya merupakan peristiwa yang dialami oleh dua orang mempelai
melainkan melibatkan kerabat, keluarga dan kesaksian dari masyarakat.
Pada prosesi upacara perkawinan adat, banyak aktivitas atau kegiatan yang
bagi suku Bugis Bone merupakan satu hal yang biasa karena mereka telah memahami
makna dan pesan-pesan yang terkandung dalam setiap proses yang dijalankan.
Meskipun ada sebagian masyarakat Bugis yang kurang memahami makna tersebut,
apalagi bagi orang-orang yang di luar suku Bugis, menganggap prosesi tersebut
dianggap sangat rumit karena simbol yang terdapat, sehingga dalam proses
pemahaman adat Bugis Bone tersebut, sarat akan makna dan nilai-nilai kehidupan
karena latar belakang budaya yang berbeda.
Pada prosesi upacara perkawinan adat Bugis Bone terdapat banyak hal yang
diungkapkan dengan menggunakan pesan-pesan simbolik, dan kesemuanya selalu
berpatokan pada nilai-nilai yang terkandung dalam kepercayaan masyarakat suku
Bugis Bone. Berdasarkan penjelasan diatas, penulis tertarik untuk menulis,
mengeksplorasi pesan simbolis dalam upacara perkawinan suku Bugis Bone dengan
pertanyaan penelitian:
1. Bagaimana tahap-tahap dalam proses perkawinan adat Bugis Bone di
Kabupaten Bone?
6
2. Apa makna pesan simbolik dalam prosesi upacara perkawinan adat Bugis
Bone berdasarkan ritual dan adat istiadat Bugis Bone di Kabupaten Bone?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menemukan tahap-tahap dalam proses perkawinan adat Bugis Bone
di Kabupaten Bone.
2. Untuk mengeksplorasi dan mengkategorisasikan makna pesan simbolik
dalam prosesi upacara perkawinan adat Bugis berdasarkan ritual dan adat
istiadat Bugis di Kabupaten Bone.
Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
a. Sebagai bahan rujukan bagi mahasiswa lain yang ingin mengadakan
penelitian lebih lanjut dibidang komunikasi khususnya kajian
komunikasi antar budaya.
b. Sebagai bahan masukan bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada
khususnya etnografi komunikasi sebagai suatu tipe penelitian yang
dapat digunakan untuk memahami budaya perkawinan adat Bugis
Bone.
c. Sebagai bahan masukan mengenai pemaknaan pesan simbolik, pesan
verbal dan non verbal bagi akademisi yang ingin meneliti lebih lanjut
tentang perkawinan Bugis atau simbolisasi perkawinan adat lainnya.
7
2. Kegunaan praktis
a. Sebagai bahan masukan khususnya masyarakat Bugis Bone maupun
suku lainnya dalam mengetahui makna pesan simbolik yang terdapat
pada upacara perkawinan adat Bugis.
b. Sebagai bahan masukan dan pembelajaran bagi tokoh adat, dan agama
dalam memahami budaya suku Bugis Bone, khususnya dalam prosesi
perkawinan.
D. Kerangka Konseptual
Komunikasi merupakan kebutuhan yang sangat fundamental (mendasar), baik
fisik maupun secara psikis (kejiwaan). Dalam setiap interaksi yang terjadi antara
individu dengan yang satu dengan yang lainnya atau antara individu dengan
kelompok atau antara kelompok dengan kelompok pasti terjadi komunikasi.
Komunikasi yang ditujukan kepada kelompok lain tak lain adalah sebuah pertukaran
kebudayaan. Kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus
dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya.
Koentjaraningrat (1997:54).
James P. Spradley dalam (Sobur, 2003:177) menyatakan bahwa semua makna
budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol. Pengetahuan kebudayaan
lebih dari suatu kumpulan simbol, baik istilah-istilah rakyat maupun jenis-jenis
simbol lain. Sedemikian tak terpisahkannya hubungan manusia dengan kebudayaan,
sampai ia disebut mahluk budaya. Kebudayaan sendiri terdiri atas gagasan-gagasan,
8
simbol-simbol, dan nilai-nilai sebagai hasil karya dari tindakan manusia, sehingga
tidaklah berlebihan jika ada ungkapan, “begitu eratnya kebudayaan manusia dengan
simbol-simbol, sampai manusia pun disebut mahluk dengan simbol-simbol. Manusia
berpikir, berperasaan, dan bersikap dengan ungkapan-ungkapan yang simbolis.”
Sebagai mahluk sosial dan juga sebagai mahluk komunikasi, manusia
menggunakan berbagai macam simbol, baik yang diciptakan oleh manusia itu sendiri
maupun yang bersifat alami. Simbol-simbol tersebut pada dasarnya terbagi atas dua
yaitu simbol verbal dan non verbal. Simbol verbal dalam pemakaiannya
menggunakan bahasa. Bahasa dapat didefinisikan seperangkat kata yang telah
disusun secara berstruktur sehingga menjadi himpunan kalimat yang mengandung
arti. Manusia dalam berkomunikasi selain menggunakan kode verbal (bahasa) juga
memakai kode non verbal biasa disebut dengan bahasa isyarat atau bahasa diam.
Pemberian arti terhadap kode non verbal sangat dipengaruhi oleh sistem sosial
budaya masyarakat yang menggunakannya. Dari berbagai studi yang pernah
dilakukan sebelumnya, kode non verbal dapat dikelompokkan dalam beberapa bentuk
antara lain :
a. Kinesik ialah kode non verbal yang ditunjukkan oleh gerakan-gerakan
badan.
b. Gerakan mata (eye gaze) mata adalah alat komunikasi yang paling berarti
dalam memberi isyarat tanpa kata. Ungkapan “pandangan mata
mengundang” atau lirikan matanya memiliki arti adalah isyarat yang
ditimbulkan oleh gerakan-gerakan mata.
9
c. Sentuhan (touching) ialah isyarat yang dilambangkan dengan sentuhan
badan.
d. Paralanguage ialah isyarat yang ditimbulkan dari tekanan atau irama
suara sehingga penerima dapat memahami sesuatu dibalik apa yang
diucapkan.
e. Diam, berbeda dengan tekanan suara, sikap diam juga merupakan kode
non verbal yang mempunyai arti. Mix Picard dalam (Cangara, Hafied,
1998:110) menyatakan bahwa diam tidak semata-mata mengundang arti
bersikap negatif, tetapi juga bisa melambangkan sikap positif.
f. Postur tubuh, orang lahir ditakdirkan dengan berbagai bentuk tubuh. Well
dan Siegel dalam (Cangara, Hafied 1998:110) berhasil menggambarkan
bentuk-bentuk tubuh manusia dengan karakternya.
g. Kedekatan dan ruang (proximity and spatial), adalah kode non verbal
yang menunjukkan kedekatan dari dua objek yang mengandung arti.
h. Artifak dan visualisasi, hasil seni juga banyak memberi isyarat yang
mengandung arti. Para antropolog sudah lama memberi penjelasan
terhadap benda-benda yang digunakan oleh manusia dalam hidupnya.
Artifak selain dimaksudkan untuk kepentingan estetika, juga menunjukkan
status identitas diri seseorang atau suatu bangsa.
i. Warna, juga memberi arti terhadap objek. Hal ini dapat dilihat pada
upacara-upacara ritual lainnya yang sering dilambangkan dengan warna-
warni.
10
j. Kronemik, waktu mempunyai arti tersendiri dalam kehidupan manusia.
Bagi masyarakat tertentu, melakukan suatu pekerjaan sering kali melihat
waktu. Misalnya membangun rumah, menanam padi, melaksanakan
perkawina, membeli sesuatu dan sebagainya.
k. Bunyi, jika paralanguage dimaksudkan sebagai tekanan suara yang keluar
dari mulut untuk menjelaskan ucapan verbal, banyak bunyi-bunyian yang
dilakukan sebagai tanda isyarat yang tidak dapat digolongkan sebagai
paralanguage.
l. Bau (smell), bau juga menjadi kode non verbal, selain digunakan untuk
melambangkan status seperti kosmetik, bau juga dapat dijadikan sebagai
petunjuk arah.
Dalam proses perkawinan adat Bugis memiliki makna tertentu yang hanya
dipahami oleh masyarakat setempat. Makna tersebut tertuang dalam simbol-simbol
yang terdapat dalam prosesi adat Bugis Bone, sebagai salah satu sistem makna yang
kompleks, untuk mengatur tingkah laku mereka dan kebudayaan bagi masyarakat
suku Bugis Bone.
Dalam budaya Bugis yang masih sangat asli (tradisional), dalam
menyampaikan pesannya melalui beberapa cara yang sulit dipahami oleh orang-orang
di luar suku Bugis, terutama pada proses upcara perkawinannya yang sarat akan
makna pesan simbolik.
Komunikasi yang serasi atau efektif dapat dicapai apabila pihak-pihak yang
terlibat dalam suatu komunikasi memberikan arti dan makna yang sama kepada
11
lambang-lambang atau simbol-simbol yang digunakan. Manusia merupakan homo
simbolicum yang mampu menciptakan simbol-simbol yang memiliki makna tertentu.
Salah satu cara yang digunakan para ahli untuk membahas lingkup makna
yang lebih besar ini adalah dengan membedakan antara makna denotatif dengan
makna konotatif. Untuk memahami makna denotasi dan konotasi Arthur Asa Berger
menyatakan bahwa konotasi melibatkan simbol-simbol, historis dan hal-hal yang
berhubungan dengan emosional (Sobur, 2003:263). Dikatakan objektif sebab makna
dinotatif ini berlaku umum. Sebaliknya, makna konotatif bersifat subyektif dalam
pengertian bahwa ada pergeseran dari makna umum (denotatif) karena sudah ada
penambahan rasa dan nilai tertentu.
Pada budaya Bugis terdapat banyak hal yang diungkapkan melalui simbol-
simbol yang memiliki makna tertentu yang hanya dipahami oleh masyarakat suku
Bugis itu sendiri, terutama pada prosesi upacara perkawinan adat, dimana simbol-
simbol yang terdapat didalamnya memiliki makna tertentu yang diwariskan melalui
sejarah. Ini sejalan dengan pendapat Clifford Geertz dalam buku (Abdullah, 2006:1)
mengatakan bahwa kebudayaan adalah sebuah pola dari makna-makna yang tertuang
dalam simbol-simbol yang diwariskan melalui sejarah. Kebudayaan adalah sebuah
sistem dari konsep-konsep yang diwariskan dan diungkapkan dalam bentuk simbolik
melalui mana manusia berkomunikasi, mengekalkan, dan mengembangkan
pengetahuan tentang kehidupan ini dan bersikap terhadap kehidupan ini.
Titik sentral rumusan kebudayaan Geertz dalam (Abdullah, 2006:1) terletak
pada simbol, yaitu bagaimana manusia berkomunikasi melalui simbol. Di satu sisi,
12
simbol terbentuk melalui dinamisasi interaksi sosial, merupakan realitas empiris,
yang kemudian diwariskan secara historis, bermuatan nilai-nilai, dan sisi lain simbol
merupakan acuan wawasan, memberi “petunjuk” bagaimana warga budaya tertentu
menjalankan hidup, media sekaligus pesan komunikasi dan representasi realitas
sosial.
Dalam penelitian ini tahapan proses perkawinan suku Bugis Bone secara
umum dapat dibagi atas tiga tahapan yaitu tahapan pra nikah, nikah dan tahapan
setelah nikah yaitu :
Prosesi pelamaran sang calon pengantin
1. Mattiro (menjadi tamu)
Merupakan suatu proses dalam penyelenggaraan perkawinan. Mattiro
artinya melihat dan memantau dari jauh atau Mabbaja laleng (membuka
jalan).
2. Mapessek-pessek (mencari informasi)
Saat sekarang ini, tidak terlalu banyak melakukan mapessek-pessek
karena mayoritas calon telah ditentukan oleh orang tua mempelai laki-laki
yang sudah betul-betul dikenal. Ataupun calon mempelai perempuan telah
dikenal akrab oleh calon mempelai laki-laki.
3. Mammanuk-manuk (mencari calon)
Biasanya orang yang datang mammanuk-manuk adalah orang yang
datang mapessek-pessek supaya lebih mudah menghubungkan pembicaraan
yang pertama dan kedua. Berdasarkan pembicaraan antara pammanuk-manuk
13
dengan orang tua si perempuan, maka orang tua tersebut berjanji akan
menyampaikan kepada keluarga dari pihak laki-laki untuk datang kembali
sesuai dengan waktu yang ditentukan. Jika terjadi kesepakatan maka
ditentukanlah waktu Madduta mallino (duta resmi).
4. Madduta mallino
Mallino artinya terang-terangan mengatakan suatu yang tersembunyi.
Jadi duta mallino adalah utusan resmi keluarga laki-laki ke rumah perempuan
untuk menyampaikan amanat secara terang-terangan apa yang telah dirintis
sebelumnya pada waktu mappesek-pesek dan mammanuk-manuk.
5. Mappasiarekkeng
Mappasiarekkeng artinya mengikat dengan kuat. Biasa jua disebut
dengan mappettuada maksudnya kedua belah pihak bersama-sama mengikat
janji yang kuat atas kesepakatan pembicaraan yang dirintis sebelumnya.
Dalam acara ini akan dirundingkan dan diputuskan segala sesuatu yang
bertalian dengan upacara perkawinan, antara lain:
a. Tanra esso (Penentuan hari perkawinan)
b. Balanca (Uang belanja)/ doi menre (uang naik atau uang yang
digunakan mempelai wanita untuk mengadakan pesta dan akad
nikah dari calon mempelai laki-laki)
c. Sompa (emas kawin) dan lain-lain yaitu pemberian berupa uang
atau harta dari pihak keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan
sebagai syarat sahnya pernikahan menurut ajaran Islam.
14
Prosesi akad perkawinan
Sejak tercapainya kata sepakat, maka kedua belah pihak keluarga sudah
mempersiapkan keberlangsungan perkawinan tersebut. Makin tinggi status sosial dari
keluarga yang akan mengadakan pesta perkawinan, maka makin lama juga dalam
persiapan yang dilakukan. Untuk pelaksanan perkawinan dilakukan dengan
menyampaikan kepada seluruh sanak keluarga dan rekan-rekan. Hal ini dilakukan
oleh beberapa orang wanita dengan menggunakan pakaian adat.
Perawatan dan perhatian akan diberikan kepada calon pengantin biasanya tiga
malam berturut-turut sebelum hari pernikahan calon pengantin mappasau (mandi
uap), calon pengantin memakai bedak hitam yang terbuat dari beras ketan yang
digoreng sampai hangus yang dicampur dengan asam jawa dan jeruk nipis. Setelah
acara mappasau, calon pengantin dirias untuk upacara mappacci atau tudang penni.
Mappaccing berasal dari kata paccing yang berati bersih, mappaccing artinya
membersihkan diri. Upacara ini secara simbolik menggunakan daun pacci (pacar).
Karena acara ini dilaksanakan pada malam hari maka dalam bahasa Bugis disebut
”Wenni Mappacci”.
Setelah prosesi mappacci selesai, keesokan harinya mempelai laki-laki diantar
ke rumah mempelai wanita untuk melaksanakan akad nikah (jika belum melakukan
akad nikah). Karena pada masyarakat Bugis Bone ada juga yang telah melaksanakan
akad nikah sebelum acara perkawinan dilangsungkan yang disebut istilah kawissoro.
Kalau sudah melaksanakan kawissoro hanya diantar untuk melaksanakan acara
mappasilukang dan makkarawa yang dipimpin oleh indo’botting. Setelah
15
mappasilukang dan makkarawa maka dilanjutkan dengan acara marellau dampeng
memohon maaf kepada kedua orangtua pengantin, dan kepada seluruh keluarga
terdekat yang sempat hadir pada akad nikah tersebut.
Prosesi sesudah akad nikah
Mapparola acara ini merupakan prosesi penting dalam perkawinan adat Bone
yaitu merupakan kunjungan balasan dari pihak perempuan ke pihak laki-laki. Adapun
marola wekka dua yaitu mempelai perempuan hanya bermalam satu malam saja dan
sebelum matahari terbit kedua mempelai kembali kerumah mempelai perempuan.
Setelah seluruh prosesi akad perkawinan berlangsung, biasanya diadakan
acara resepsi (walimah) dimana semua tamu undangan hadir untuk memberikan doa
restu dan sekaligus menjadi saksi atas pernikahan kedua mempelai agar mereka tidak
berburuk sangka ketika suatu saat melihat kedua mempelai bermesraan.
16
Berdasarkan pemaparan diatas, maka digambarkan kerangka konseptual
sebagai berikut:
Gambar 1.1 : Kerangka Konseptual Penelitian
Prosesi Lamaran
MattiroMappesek-pesekMammanuk-manukMadduta MalinoMappasierekkeng
Prosesi akad nikah
MappasauMappacciAkad nikahMappasilukaMarellau dampeng
Prosesi setelah akad
MapparolaResepsiMapparola bekke dua
Pesan Verbal:
LisanTulisan
Pesan Non Verbal:KinesikGerakan MataSentuhanParalanguageDiamPostur tubuhKedekatan dan ruangArtifak dan visualisasiWarnaWaktuBunyiBau
Pesan Simbolik
Prosesi PerkawinanBugis Bone
17
E. Metode Penelitian
1. Waktu dan Lokasi penelitian
Penelitian ini berlangsung selama kurang lebih (Dua) bulan yaitu
dimulai bulan Juni sampai dengan bulan Agustus 2012. Penelitian dilakukan
dengan cara terlibat dan mengamati langsung beberapa prosesi perkawinan
Bugis Bone yang dilakukan di Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan.
2. Tipe Penelitian
Tipe penelitian ini mengacu pada studi etnografi, dengan metode yang
digunakan oleh Spradley dalam (Basrowi & Sukidin, 2002:78) yang khas
untuk mempelajari etnografi (dengan jalan mengerjakan dan melakukan
sendiri) secara sistematis, terarah, dan efektif. Metode itu adalah Development
Research Sequence atau Alur Penelitian Maju Bertahap. Metode ini memilik
lima prinsip.
Pertama, teknik tunggal dimana peneliti melakukan berbagai teknik
penilitian secara bersamaan dalam satu fase penelitian. Kedua, identifikasi
tugas, yaitu peneliti harus mengenali langkah-langkah pokok yang harus
dilaluinya dalam menjalankan teknik tersebut. Ketiga, setiap langkah pokok
tadi, sebaiknya dijalankan secara berurutan atau maju bertahap. Keempat,
penelitian orisinal maksudnya mempelajari cara untuk untuk melakukan
wawancara etnografi dengan mempraktikannya dalam proyek penelitian
sungguhan bukan untuk kepentingan latihan saja.
18
3. Informan
Informan dalam penelitian ini adalah tokoh-tokoh adat suku Bugis Bone
yang dianggap mampu dan memahami budaya Bugis secara mendalam.
Adapun usaha dalam menemukan informan dapat dilakukan dengan cara
berikut:
a. Peran dalam unit sosial, dalam banyak situasi, orang yang memiliki
kedudukan strategis dalam komunitas, organisasi atau masyarakat
jelas bahwa ia kemungkinan besar mengetahui banyak informasi.
Dengan pertimbangan tertentu, peneliti harus menghindarkan
informan yang memiliki posisi marginal atau terasing dari kultur dan
struktur sosialnya sendiri.
b. Berpengetahuan, ini adalah kriteria yang paling penting. Seorang
informan harus memiliki pengetahuan, tanpa itu ia hanya sekedar
orang awam, yang tidak memiliki sesuatu yang seorang peneliti dapat
manfaatkan.
c. Kesediaan, informan hanya bermanfaat bila ia memiliki keinginan
untuk menjalin kerjasama dengan peneliti. Bila ia menolak menjawab
pertanyaan-pertanyaan peneliti, betapa pun berharganya informasi
yang dimilikinya, ia sama sekali tidak bermafaat bagi peneliti.
d. Komunikatif, informan harus memiliki kemampuan untuk
menyampaikan informasinya dalam suatu bahasa yang dapat
19
dimengerti oleh peneliti. Tanpa itu, peneliti dapat memperoleh
pemahaman yang keliru, bahkan salah sama sekali.
Penentuan informan dilakukan dengan cara purposive sampling yaitu
peneliti yang menentukan sendiri informan yang akan diwawancarai
berdasarkan pertimbangan representatitif. Kriteria yang telah ditentukan
dalam penelitian ini adalah:
a. Orang-orang yang memahami adat Bugis Bone dengan baik dan bersedia
memberikan informasi yang relevan dengan penelitian ini.
b. Indo’botting tersebut berpengalaman dalam perkawinan adat Bugis,
khususnya adat Bugis Bone, minimal dua tahun telah menjalani
pekerjaannya mengatur prosesi adat perkawinan Bugis Bone.
c. Salah satu tokoh adat Bugis Bone, yakni penghulu, atau ‘Bissu’ yang
memahami prosesi, simbol, dan makna perkawinan Bugis Bone.
d. Berprofesi atau mempunyai keahlian dalam menyelenggarakan
perkawinan Bugis Bone, dalam hal ini Indo’botting sangat berperan
penting
4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini terbagi dalam dua jenis
data :
a. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh penulis secara langsung
dari lokasi penelitian (Field Research) yang merupakan acuan utama
20
dalam penulisan skripsi ini. Adapun data primer tersebut terbagi dalam
dua jenis berdasarkan cara diperolehnya data tersebut antara lain:
Observasi
Pada penelitian ini penulis mengumpulkan data melalui observasi
partisipan yaitu peneliti berfungsi sebagai partisipan, ikut serta dalam
kegiatan yang dilakukan kelompok yang diteliti, baik kehadirannya
diketahui atau tidak. Data tersebut dilengkapi dengan dokumentasi
pelaksanaan Perkawinan Bugis Bone yang berupa dokumentasi visual
yaitu gambar atau foto-foto yang relevan dengan penelitian.
Wawancara Mendalam (Indepth Interview)
Pengumpulan data juga dilakukan melalui wawancara mendalam
terhadap tokoh-tokoh adat Bugis yang nantinya terpilih menjadi
informan dalam penelitian ini, yaitu tadi bissu, indo’botting, tokoh
agama dan adat lainnya.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh penulis melalui
penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu pengumpulan data yang
diperoleh dari berbagai data yang berhubungan dengan penelitian berupa
buku-buku, data dari perpustakaan dan literatur-literatur yang berkaitan
dengan masalah penelitian.
21
F. Teknik Analisis Data
Teknik analasis data yang dianggap relevan oleh penulis adalah analisis data
kualitatif dengan mengungkapkan fakta yang ditemui di lapangan untuk memberikan
gambaran tentang permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.
Berpedoman pada penelitian kualitatif, pengolahan data dan analisis data
dilakukan bersamaan pada proses penelitian. Proses awal analisis data dimulai dengan
menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber yaitu dari wawancara dan
pengamatan yang sebelumnya sudah dijelaskan pada teknik pengumpulan data baik
berupa dokumen maupun dokumen yang diperoleh penulis selama mengadakan
penelitian. Setelah mempelajari berusaha memahami data, maka peneliti berusaha
membuat abstraksi data (rangkuman inti), setelah rangkuman inti didapatkan maka
selanjutnya mengkategorikan data berdasarkan tema yang disesuaikan dengan
penelitian ini.
Penyajian data yang diperoleh dalam penelitian kualitatif ini akan disajikan
berbentuk uraian-uraian, kata-kata yang tentunya akan mengarahkan pada pokok
fokus penelitian yang telah dirumuskan dalam penelitian ini. Karena penelitian ini
merupakan penilitian yang bersifat deskriptif, maka data dideskriptifkan berdasarkan
peristiwa dan pengalaman penting dari kehidupan atau beberapa bagian pokok dari
kehidupan objek penelitian untuk kemudian dilakukan penarikan kesimpulan atau
verifikasi dari rumusan masalah yang telah ditentukan sebelumnya.
22
Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan disajikan Diagram alir yang
menjelaskan komponen-komponen dari teknik analisis data yang dilakukan dalam
penelitian.
Masa pengumpulan data
REDUKSI DATAAntisipasi Selama Pasca
PENYAJIAN DATASelama Pasca
PENARIKAN KESIMPULAN/VERIVIKASI Analisis
Selama Pasca
Gambar 1.2: Diagram AirKomponen-komponen Analisis Data
Sumber : Milles & Huberman (1992:19)
23
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Komunikasi
A.1. Konsep Komunikasi
Komunikasi merupakan kebutuhan utama manusia dalam berinteraksi dengan
manusia atau individu lainnya. Komunikasi berhubungan dengan perilaku manusia,
dan kepuasan akan tercapai apabila terpenuhi kebutuhan berinteraksi dengan
manusia-manusia lainnya. Berangkat dari asumsi tersebut, dapat diambil suatu
kesimpulan bahwa setiap individu membutuhkan hubungan sosial dengan individu
lainnya. Dan kebutuhan ini akan terpenuhi bila melalui pertukaran pesan yang
berfungsi untuk mempersatukan manusia.
Dalam komunikasi terjadi pertukaran pesan dalam setiap perilaku dan
tindakan manusia. Pesan tersebut dapat disampaikan melalui lambaian tangan,
tersenyum, menganggukkan kepala atau dengan bahasa-bahasa isyarat lainnya.
Ketika setiap perilaku individu terjadi pertukaran lambang atau simbol berarti sebuah
proses komunikasi telah berlangsung.
Perilaku juga dapat disadari maupun tidak disadari. Kadang-kadang kita
melakukan sesuatu tanpa menyadarinya, terutama perilaku kita itu bersifat nonverbal.
Kebiasaan seperti menggigit kuku jari tangan, menganggukkan kepala, menatap dan
tersenyum, misalnya seringkali berlangsung tanpa disadari. Oleh karena itu suatu
24
pesan terdiri dari perilaku-perilaku yang dapat diartikan, kita harus mengakui
kemungkinan memberikan pesan yang tidak kita ketahui.
Dengan konsep mengenai hubungan-hubungan perilaku sadar-tidak sadar
ataupun sengaja-tidak sengaja ini, dapat dirumuskan suatu definisi komunikasi. Disini
komunikasi didefinisikan sebagai apa yang terjadi bila makna diberikan kepada suatu
perilaku. Bila seseorang memperhatikan perilaku kita dan memberinya makna, maka
komunikasi telah terjadi, terlepas dari apakah kita menyadari perilaku kita atau tidak
dan disengaja atau tidak. Bila kita memikirkan hal ini, kita harus menyadari bahwa
tidak mungkin bagi kita untuk tidak berprilaku. Setiap perilaku manusia adalah
potensi komunikasi. Maka tidak mungkin bagi kita untuk tidak berkomunikasi.
Jane Pauley dalam (Lilweri 2009:7) memberikan definisi khusus atas
komunikasi, setelah membandingkan tiga komponen yang harus ada dalam sebuah
peristiwa komunikasi, jadi kalau satu komponen kurang maka komunikasi tak akan
terjadi. Dia berkata komunikasi merupakan : “(1) transmisi informasi, (2) transmisi
pengertian, (3) menggunakan simbol-simbol yang sama.”
Beberapa ahli juga mencoba memberikan definisi tentang komunikasi sebagai
berikut:
Raymond S. Ross dalam Mulyana (2000:62) mengemukakan bahwa
komunikasi sebagai berikut:
Komunikasi (intensional) adalah suatu proses menyortir, memilih danmengirimkan simbol-simbol sedemikian rupa sehingga membantu pendengarmembangkitkan makna atau respons dari pikirannya yang serua dengan yangdimaksudkan komunikator.
25
B. Konsep Pesan Dalam Komunikasi
Pesan adalah keseluruhan dari apa yang disampaikan oleh komunikator. Pesan
seharusnya mempunyai inti pesan atau tema sebagai pengaruh di dalam usaha
mencoba mengubah sikap dan tingkah laku penerima pesan. Pesan dapat disampaikan
panjang lebar, namun yang perlu diperhatikan dan diarahkan adalah tujuan akhir dari
pesan itu sendiri. Pesan (message) terdiri dari dua aspek, yaitu isi pesan (The content
of message) dan lambang atau simbol untuk mengekspresikannya. Lambang utama
pada komunikasi umumnya adalah bahasa, karena hanya bahasalah yang dapat
mengungkapkan pikiran dan perasaan, fakta dan opini hal yang kongkrit dan abstrak,
pengalaman yang sudah lalu dan yang akan datang dan sebagainya.
Pesan merupakan seperangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh
pihak yang mengirim pesan. Pesan dapat berupa gagasan, pendapat dan sebagainya
yang sudah dituangkan dalam suatu bentuk dan melalui lambang komunikasi
diteruskan kepada orang lain atau penerima pesan.
Dalam bentuknya pesan merupakan sebuah gagasan-gagasan yang telah
diterjemahkan ke dalam simbol-simbol yang dipergunakan untuk menyatakan suatu
maksud tertentu. Dimana pesan adalah serangkaian isyarat yang diciptakan oleh
seseorang untuk saluran tertentu dengan harapan bahwa serangkaian isyarat atau
simbol itu akan mengutarakan atau menimbulkan suatu makna tertentu dalam diri
orang lain yang hendakdiajak berkomunikasi. Dalam penyampaian pesan, pesan dapat
disampaikan dengan: a. Lisan secara langsung melalui tatap muka b. Menggunakan
26
media atau saluran. Kedua model penyampaian pesan diatas merupakan bentuk
penyampaian pesan yang secara umum didalam komunikasi.
Dan bentuk pesan sendiri dapat bersifat: a) informasi memberi keterangan-
keterangan dan kemudian komunikan dapat mengambil kesimpulan sendiri, dalam
situasi tertentu pesan informative lebih berhasil dari pada pesan persuasif. b)
persuasif bujukan, yaitu membangkitkan pengertian dan kesadaran seseorang bahwa
apa yang kita sampaikan akan memberikan rupa pendapat atau sikap sehingga ada
perubahan. c) coersif memaksa dengan menggunakan sanksi-sanksi.
Secara umum, jenis pesan terbagi menjadi dua, yaitu pesan verbal dan non
verbal. Pesan verbal adalah jenis pesan yang penyampaiannya menggunakan kata-
kata, dan dapat dipahami isinya oleh penerima berdasarkan apa yang didengarnya.
Sedangkan, pesan non-verbal adalah jenis pesan yang penyampaiannya tidak
menggunakan kata-kata secara langsung, dan dapat dipahami isinya oleh penerima
berdasarkan gerak-gerik, tingkah laku, mimik wajah, atau ekspresi muka pengirim
pesan. Pada pesan non-verbal mengandalkan indera penglihatan sebagai penangkap
stimuli yang timbul.
C. Konsep Simbol dan Makna
Makna muncul dari hubungan khusus antar kata (sebagai simbol verbal) dan
manusia. Makna tidak melekat pada kata-kata, namun kata-kata membangkitkan
makna dalam pikiran orang. Jadi tidak ada hubungan langsung antara subjk dengan
simbol yang digunakan untuk mempresentasikan sesuatu. Misalnya “saya sakit perut”
27
pengalaman itu nyata tapi tidak seorangpun dapat merasakan rasa sakit itu, bahkan
dokter yang berusaha mengobati rasa sakit kita. Jadi hubungan itu diciptakan dalam
pemikiran pembicara.
Upaya memahami makna, sesungguhnya merupakan salah satu masalah
filsafat yang tertua dalam umur manusia. Konsep makna telah menarik disiplin
komunikasi, psikologi, sosiologi, antropologi dan linguistik. Itulah sebabnya,
beberapa pakar komunikasi sering menyebut kata makna ketika mereka merumuskan
definisi komunikasi. Para ahli mengakui, istilah makna memang merupakan kata dan
istilah yang membingungkan, ada tiga hal yang dicobajelaskan oleh para filsuf dan
linguis sehubungan dengan usaha menjelakan istilah makna (Sobur, 2003: 256),
ketiga hal itu yakni: (1) menjelaskan makna kata secara alamiah; (2) mendeskripsikan
kalimat secara alamiah; dan (3) menjelaskan makna dalam proses komunikasi.
Brown (Sobur2003:256) mendefinisikan makna sebagai kecenderungan
(disposisi) total untuk menggunakan atau bereaksi terhadap suatu bentuk bahasa.
Terdapat banyak komponen dalam makna yang dibangkitkan suatu kata atau kalimat.
Dengan kata-kata Brown, “seseorang mungkin menghabiskan tahun-tahunnya yang
produktif untuk menguraikan makna suatu kalimat tunggal dan akhirnya tidak
menyelesaikan tugas itu”
Untuk memahami apa yang disebut makna atau arti, kita perlu menoleh
kembali kepada teori yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure (Sobur, 2004:
257) bapak linguistik modern asal Prancis, di dalam bukunya yang terkenal Course
in General Linguistik. Menurut Saussure, setiap tanda linguistik terdiri atas dua unsur
28
yakni; (1) yang diartikan dan (2) yang mengartikan yang diartikan sebenarnya adalah
konsep atau makna dari suatu tanda-bunyi. Sedangkan yang mengartikan adalah
bunyi-bunyi itu sendiri, yang terbentuk dari fonem-fonem bahasa yang bersangkutan.
Jadi, dengan kata lain setiap tanda linguistik dari unsur bunyi dan unsur makna.
Makna adalah balasan terhadap pesan. Suatu pesan terdiri dari tanda-tanda
dan simbol-simbol yang sebenarnya tidak mengandung makna. Makna baru akan
timbul, ketika ada seseorang yang menafsirkan tanda dan simbol yang bersangkutan
dan berusaha memahami artinya. Dari segi psikologis, tanda dan simbol bertindak
selaku perangsang untuk membangkitkan balasan dipihak penerima pesan. Oleh
karena itu, makna akan terlihat merupakan bagian dari dua hal, yakni bagian dari
penafsiran terhadap informasi yang terkandung dalam simbol-simbol, dan bagian dari
proses pertanyaan. Proses ini membawa tahap pemahaman kepada lapisan yang telah
mendalam serta lebih luas. Mungkin saja pada awalnya makna digambarkan sebagai
sesuatu yang ada pada diri seseorang, namun telah diketahui makna dari simbol-
simbol yang dipergunakan dalam komunikasi juga tergantung dari proses yang
berlangsung antara orang-orang yang menggunakan informasi.
Ada beberapa pandangan yang menjelaskan ihwal teori atau konsep makna.
Model prosesi makna Wendell Johnson dalam (Sobur 2003:258) menawarkan
sejumlah implikasi bagi komunikasi antarmanusia sebagai berikut:
1. Makna ada dalam diri manusia, makna tidak terletak pada kata-kata
melainkan pada manusia. Manusia menggunakan kata-kata untuk
mendekati makna yang akan dikomunikasikan. Tetapi kta-kata itu tidak
29
secara sempurna dan lengkap menggambarkan makna yang
dimaksudkan.
2. Makna berubah, kata-kata relatif statis tetapi yang makna dari kata
tersebut yang terus berubah dan ini khusunya terjadi pada dimensi
emosional dari makna.
3. Makna membutuhkan acuan, walaupun tidak semua komunikasi
mengacu kepada dunia nyata, komunikasi hanya masuk akal bilamana
mempunyai kaitan dengan dunia atau lingkungan eksternal.
4. Penyingkatan yang berlebihan akan mengubah makna, berkaitan erat
dengan gagasan bahwa makna membutuhkan acuan adalah masalah
komunikasi yang timbul akibat penyingkatan berlebihan tanpa
mengaitkannya dengan acuan yang konkret dan dapat diamati.
5. Makna tidak terbatas jumlahnya, pada suatu saat tertentu jumlah kata
dalam bahasa terbatas, tetapi maknanya tidak terbatas.
6. Makna dikomunikasikan hanya sebagaian, maka yang diperoleh dalam
suatu kejadian bersifat multiaspek dan sangat kompleks, tetapi hanya
sebagian saja dari makna-makna ini yang dapat dijealskan. Karena itu
pemahaman yang sebenarnya atau pertukaran makna secara sempurna
yang merupakan tujuan ideal yang ingin dicapai namun tidak tercapai.
30
D. Pesan Verbal dan Non Verbal
D.1. Pesan verbal
Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu
kata atau lebih. Bahasa dapat juga dianggap sebagai sistem kode verbal dalam
(Mulyana, 2005:259). Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan
aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan
dipahami suatu komunitas.
Jalaluddin Rakhmat (1994:283), mendefinisikan bahasa secara fungsional dan
formal. Secara fungsional, bahasa diartikan sebagai alat yang dimiliki bersama untuk
mengungkapkan gagasan. Ia menekankan dimiliki bersama, karena bahasa hanya
dapat dipahami bila ada kesepakatan di antara anggota-anggota kelompok sosial
untuk menggunakannya. Secara formal, bahasa diartikan sebagai semua kalimat yang
terbayangkan, yang dapat dibuat menurut peraturan tata bahasa. Setiap bahasa
mempunyai peraturan bagaimana kata-kata harus disusun dan dirangkaikan supaya
memberi arti. Kalimat dalam bahasa Indonesia yang berbunyi “Di mana saya dapat
menukar uang?” akan disusun dengan tata bahasa bahasa-bahasa yang lain sebagai
berikut:
· Inggris: Dimana dapat saya menukar beberapa uang? (Where can I change some
money?).
· Perancis: Di mana dapat saya menukar dari itu uang? (Ou puis-je change de
l’argent?).
31
· Jerman: Di mana dapat saya sesuatu uang menukar? (Wo kann ich etwasGeld
wechseln?).
. Spanyol: Di mana dapat menukar uang? (Donde puedo cambiar dinero?).
Tata bahasa meliputi tiga unsur: fonologi, sintaksis, dan semantik. Fonologi
merupakan pengetahuan tentang bunyi-bunyi dalam bahasa. Sintaksis merupakan
pengetahuan tentang cara pembentukan kalimat. Semantik merupakan pengetahuan
tentang arti kata atau gabungan kata-kata.
Menurut Larry L. Barker dalam (Mulyana, 2005:265), bahasa mempunyai tiga
fungsi: penamaan (naming atau labeling), interaksi, dan transmisi informasi.
a. Penamaan atau penjulukan merujuk pada usaha mengidentifikasikan objek,
tindakan, atau orang dengan menyebut namanya sehingga dapat dirujuk dalam
komunikasi.
b. Fungsi interaksi menekankan berbagi gagasan dan emosi, yang dapat
mengundang simpati dan pengertian atau kemarahan dan kebingungan.
c. Melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang lain, inilah yang
disebut fungsi transmisi dari bahasa. Keistimewaan bahasa sebagai fungsi
transmisi informasi yang lintas-waktu, dengan menghubungkan masa lalu,
masa kini, dan masa depan, memungkinkan kesinambungan budaya dan
tradisi kita.
Ketika kita berkomunikasi, kita menterjemahkan gagasan kita ke dalam
bentuk lambang (verbal atau non verbal). Proses ini lazim disebut penyandian
(encoding). Bahasa adalah alat penyandian, tetapi alat yang tidak begitu baik (lihat
32
keterbatasan bahasa di atas), untuk itu diperlukan kecermatan dalam berbicara,
bagaimana mencocokkan kata dengan keadaan sebenarnya, bagaimana
menghilangkan kebiasaan berbahasa yang menyebabkan kerancuan dan
kesalahpahaman.
D.2. Pesan non verbal
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali dihadapkan pada hal-hal yang
unik, seperti makin langkanya orang yang bisa menganut prinsip satu kata dan
perbuatan, makin banyak orang yang pintar bicara tetapi tidak disertai dengan
perbuatan yang sesuai dengan ucapannya. Ataukah kita sering dihadapkan pada
sesuatu yang justru kontradiksi dengan presepsi kita. Misalnya orang cenderung
menggunakan atribut tertentu justru untuk menipu orang lain.
Dari berbagai studi yang pernah dilakukan sebelumnya, kode nonverbal dapat
dikelompokkan dalam beberapa bentuk, antara lain:
a. Kinesik
Yaitu kode nonverbal yang ditunjukkan oleh gerakan-gerakan badan.
b. Gerakan mata (eye gaze)
Mata adalah alat komunikasi yang paling berarti dalam memberi isyarat tanpa
kata. Ungkapan “pandangan mata mengundang” atau lirikan matanya
memiliki arti adalah isyarat yang ditimbulkan oleh gerakan-gerakan mata.
Bahkan ada yang menilai bahwa gerakan mata adalah pencerminan hati
seseorang.
33
c. Sentuhan
Yaitu isyarat yang dilambangkan dengan sentuhan badan, menurut bentuknya
sentuhan dibagi dalam tiga macam yaitu: kinesthetic, sociofugal, dan thermal.
d. Paralanguage
Paralanguage adalah isyarat yang ditimbulan dari tekanan atau irama suara
sehingga penerima dapat memahami sesuatu dibalik apa yang diucapkan.
e. Diam
Berbeda dengan tekanan suara, sikap diam juga merupakan kode non verbal
yang mempunyai arti. Max picard dalam (Cangara, 1998:110) menyatakan
bahwa diam tidak semata-mata mengandung arti bersikap negatif tetapi juga
bisa melambangkan sikap positif.
f. Postur tubuh
Manusia lahir ditakdirkan dengan berbagai bentuk tubuh. Well dan Siegel
(Cangara, 1998: 110) dua orang ahli psikologi melalui studi yang mereka
lakukan, berhasil menggambarkan bentuk-bentuk tubuh manusia dan
karakternya.
g. Kedekatan dan ruang (proximity and spatial), adalah kode non verbal yang
menunjukkan kedekatan dari dua objek yang mengandung arti.
h. Artifak dan visualisasi, hasil seni juga banyak memberi isyarat yang
mengandung arti. Para antropolog sudah lama memberi penjelasan terhadap
benda-benda yang digunakan oleh manusia dalam hidupnya. Artifak selain
34
dimaksudkan untuk kepentingan estetika, juga menunjukkan status identitas
diri seseorang atau suatu bangsa.
i. Warna, juga memberi arti terhadap objek. Hal ini dapat dilihat pada upacara-
upacara ritual lainnya yang sering dilambangkan dengan warna-warni.
j. Kronemik, waktu mempunyai arti tersendiri dalam kehidupan manusia. Bagi
masyarakat tertentu, melakukan suatu pekerjaan sering kali melihat waktu.
Misalnya membangun rumah, menanam padi, melaksanakan perkawina,
membeli sesuatu dan sebagainya.
k. Bunyi, kalau paralanguage dimaksudkan sebagai tekanan suara yang keluar
dari mulut untuk menjelaskan ucapan verbal, banyak bunyi-bunyian yang
dilakukan sebagai tanda isyarat yang tidak dapat digolongkan sebagai
paralanguage.
l. Bau (smell), bau juga menjadi kode non verbal, selain digunakan untuk
melambangkan status seperti kosmetik, bau juga dapat dijadikan sebagai
petunjuk arah.
E. Konsep Simbol
Secara etimologis simbol berasal dari kata Yunani “sym-ballein” yang berarti
melemparkan bersama suatu benda atau perbuatan dikaitkan dengan suatu ide (Sobur,
2003:155). Ada pula yang menyebut symbolos yang berarti tanda atau ciri yang
memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Biasanya simbol terjadi berdasarkan
metonimi yakni nama untuk benda lain yang berasosiasi atau yang menjadi
35
atributnya. Semua simbol melibatkan tiga unsur yaitu simbol itu sendiri, satu rujukan
atau lebih dan hubungan antara simbol dengan rujukan. Ketiga hal tersebut
merupakan dasar bagi makna simbolik.
Simbol adalah bentuk yang menandai sesuatu yang lain diluar perwujudan
benntuk simbolik itu sendiri. Peirce (Sobur 2003:156) simbol diartikan sebagai tanda
yang mengacu pada objek tertentu diluar tanda itu sendiri. Hubungan antara simbol
sebagai penanda dengan sesuatu yang ditandakan (petanda) sifatnya konvensional.
Berdasarkan konvensi tersebut masyarakat pemakainya menafsirkan ciri hubungan
antara simbol dengan objek yang diacu dan menafsirkan maknanya. Simbol
merupakan kata atau sesuatu yang bisa dianalogikan sebagai kata yang telah terkait
dengan penafsiran pemakai, kaidah pemakaian sesuai dengan jenis wacananya dan
kreasi pemberian makna sesuai dengan intensi pemakainya. Simbol yang ada dalam
dan berkaitan dengan ketiga hal tersebut disebut dengan bentuk simbolik.
Pada dasarnya simbol dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Simbol-simbol universal, berkaitan dengan arketipos, misalnya tidur
sebagai lambang kematian.
2. Simbol kultural yang dilatar belakangi oleh suatu kebudayaan tertentu
misalnya Badik dalam kebudayaan Bugis.
3. Simbol individual yang biasanya dapat ditafsirkan dalam konteks
keseluruhan karya seorang pengarang.
Pengklasifikasian yang hampir sama dikemukakan oleh Arthur Asa Berger
(Sobur 2003:157) Berger mengklasifikasikan simbol-simbol menjadi: (1)
36
konvensional, (2) aksidental, (3) universal. Simbol-simbol konvensional adalah kata-
kata yang dipelajari yang ada untuk menyebut atau menggantikan sesuatu. Sebagai
kontrasnya simbol aksidental sifatnya lebih individu, tertutup dan berhubungan
dengan sejarah kehidupan seseorang, sedangkan simbol universal adalah sesuatu yang
berakar dari pengalaman semua orang. Upaya untuk memahami simbol seringkali
rumit atau kompleks, oleh karena fakta bahwa logika dibalik simbolisasi seringkali
tidak sama dengan logika yang digunakan orang didalam proses-proses pemikiran
kesehariannya.
Dalam bahasa komunikasi, simbol seringkali diistilahkan sebagai lambang.
Simbol atau lambang adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu
lainnya, berdasrkan kesepakatan kelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan
verbal), perilaku non verbal, dan objek yang maknanya disepakati bersama, misalnya
memasang bendera dihalaman rumah untuk menyatakan penghormatan atau
kecintaan kepada negara.
F. Komunikasi Sebagai Proses Simbolik
Hampir semua pernyataan manusia baik yang ditujukan untuk kepentingan
dirinya, maupun untuk kepentingan orang lain dinyatakan dalam bentuk simbol.
Hubungan antara pihak-pihak yang ikut serta dalam proses komunikasi banyak
ditentukan oleh simbol atau lambang-lambang yang digunakan dalam berkomunikasi.
Seorang penyair yang mengagumi sekuntum bunga, akan mengeluarkan
pernyataan lewat bahasa “alangkah indahnya bunga ini”, ataukah seorang polisi lalu
37
lintas yang tidak bisa berdiri terus dipersimpangan jalan, peranannya dapat digantikan
lewat rambu-rambu jalan atau lampu pengantur lalu lintas. Simbol merupakan hasil
kreasi manusia dan sekaligus menunjukkan tingginya kualitas budaya manusia dalam
berkomunikasi dengan sesamanya.
Simbol dapat dinyatakan dalam bentuk bahasa lisan (verbal) maupun melalui
isyarat-isyarat tertentu (non-verbal). Simbol membawa pernyataan dan diberi arti oleh
penerima, karena itu memberi arti terhadap simbol yang dipakai dalam
berkomunikasi bukanlah hal yang mudah, melainkan suatu persoalan yang cukup
rumit.
Proses pemberian makna terhadap simbol-simbol yang digunakan dalam
berkomunikasi, selain dipengaruhi faktor budaya, juga faktor psikologis, terutama
pada saat pesan di decode oleh penerima. Sebuah pesan yang disampaikan dengan
simbol yang sama, bisa saja berbeda arti bilamana individu yang menerima pesan itu
berbeda dalam kerangka berpikir dan kerangka pengalaman.
G. Pengertian Kebudayaan
Dalam pengertian antropologi, budaya tidak ada perbedeaan arti antara
budaya dan kebudayaan. Kebudayaan berasal dari kata buddhayah yang merupakan
bentuk jamak kata buddhi, yang berarti budi atau akal. Jadi kata kebudayaan dapat
diartikan hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal. Kata lain dalam bahasa inggris
yang juga berarti budaya adalah culture, berasal dari kata latin colere yang artinya
mengolah atau mengerjakan atau dapat diartikan segala daya dan upaya manusia
38
untuk mengolah alam. Jadi secara umum kebudayaan dapat diartikan seluruh cara
hidup suatu masyarakat.
Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia berpikir, merasa,
mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa,
persahabatan, kebiasaan makan, praktik komunikasi, tindakan-tindakan sosial,
kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik, dan teknologi, semua itu berdasarkan pola-
pola budaya.
Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal
budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai,
sikap, makna, hierarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam
semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari
generasi ke generasi melalui usaha individual kelompok. Koentjaraningrat (1990:180)
mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil
karya manusia dalam rangka kehidupan masyrakat yang dijadikan milik manusia
dengan belajar.
Clifford Geertz dalam (Saifuddin 2005:288) mengemukakan definisi kebudayaan
sebagai:
(1) suatu sitem keteraturan dari makna dan simbol-simbol, yang denganmakna dan simbol-simbol tersebut individu-individu mendifinisikan duniamereka, mengekspresikan perasaan-perasaan mereka, dan membuat penilaianmereka; (2) suatu pola makna-makna yang ditransmisikan secara historis yangterkandung dalam bentuk-bentuk simbolik, yang melalui bentuk-bentuksimbolik tersebut manusia berkomunikasi, memantapkan danmengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap terhadap
39
kehidupan; (3) suatu peralatan simbolik bagi mengontrol perilaku, sumber-sumber ekstrasomatik dari informasi; (4)oleh karena kebudayaan adalah suatusimbol, maka proses kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan dandiintrepetasi.
Manusia dan kebudayaan merupakan suatu kesatua yang tidak dapat
terpisahkan, sementara itu pendukung kebudayaan adalah manusia itu sendiri.
Sekalipun manusia akan mati tetapi kebudayaan yang dimilikinya akan terus
diwariskan pada keturunannya. Pewarisan kebudayaan manusia tidak selalu terjadi
secara vertikal atau kepada anak cucu mereka, melainkan dapat pula secara horizontal
yaitu manusia yang satu dapat belajar kebudayaan dari manusia yang lainnya.
Berbagai pengalaman manusia dalam rangka kebudayaannya diteruskan dan
dikomunikasikan kepada generasi berikutnya oleh individu lainnya. Berbagai gagasan
dapat dikomunikasikan dengan orang lain dengan mengembangkan berbagai gagasan
dalam bentuk lambang-lambang ataupun bahasa, baik secara lisan maupun tulisan.
H. Makna Denotatif dan Makna Konotatif
Makna denotatif suatu kata ialah makna yang biasa kita temukan dalam
kamus. Sebagai contoh, didalam kamus, kata mawar berarti “sejenis bunga”. Makna
konotatif ialah makna denotatif yang ditambah dengan segala gambaran, ingatan, dan
perasaanyang ditimbulkan oleh kata mawar itu sendiri. Denotasi adalah hubungan
yang digunakan didalam tingkat pertama pada sebuah kata yang secara bebas
memegang peranan penting didalam ujaran Lyons (Sobur 2003: 263). Makna denotasi
40
bersifat langsung, yaitu makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda. Dan pada
intinya dapat disebut sebagai gambaran sebuah pertanda.
Dalam Sobur (2004:263) menjelaskan mengenai makna denotatif dengan
sebua contoh amplop, kata amplop bermakna sampul yang berfungsi tempat mengisi
surat surat yang akan disampaikan kepada orang lain atau kantor, instansi, jawatan
dan lain-lain. Makna ini adalah makna denotasinya, tetapi pada kalimat “berilah ia
amplop agar urusanmu segera selesai”, maka kata amplop itu sudah bermakna
konotatif, yakni berilah ia uang. Kata amplop dan uang masih ada hubungan, karena
uang dapat saja diisikan didalam amplop. Dengan kata lain amplop mengacu kepada
uang, dan lebih khusus lagi uang pelancar, uang pelicin, uang sogok, uang semir.
Jika denotasi sebuah kata adalah definisi objektif kata tersebut, makna
konotasi sebuah kata adalah makna subjektif atau emosionalnya menurut Devito
dalam Sobur (2003:263) yang menyatakan bahwa kta konotasi melibatkan simbol-
simbol historis dan hal-hal yang berhubungan dengan emosional. Dikatakan objektif
sebabmakna denotatif ini bersifat umum. Makna konotatif bersifat subjektif dalam
pengertian bahwa ada pergeseran dari makna umum (denotatif) karena sudah ada
penambahan rasa dan nilai tertentu. Kalau makna denotatif hampir bisa dimengerti
oleh mereka yang jumlahnya relatif lebih kecil. Jadi sebuah kata disebut mempunyai
makna konotatif apabila kata itu mempunya “nilai rasa” baik positif maupun negatif.
Jika tidak mempunyai nilai rasa, maka dikatakan tidak memiliki nilai konotasi disebut
berkonotasi netral. Ketika ia berbicara tentang denotasi, kita menunjuk pada asosiasi
primer yang dimiliki sebuah kata bagi kebanyakan anggota masyarakat linguistik
41
tertentu. Sedangkan konotasi merujuk kepada asosiasi sekunder yang dimiliki sebuah
kata bagi seorang atau lebih anggota masyarakat itu. Chaer, dalam Sobur (2003:264).
Namun kadang-kadang konotasi sebuah kata sama, hampir stiap orang kadang-
kadang hanya berkaitan dengan pengalaman satu individu saja, atau lebih sering
dengan sekelompok kecil individu tertentu saja.
I. Makna Simbolik Yang Berkaitan Dengan Budaya
Dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat menjumpai beraneka ragam
kebudayaan. Kita mengenal kebudayaan dalam bentuk warisan kekayaan yang telah
dicapai oleh umat manusia, dirangkum serta diteruskan dari generasi kepada generasi
selanjutnya. Adapula yang terwujud dalam proses perkembangan. Proses kebudayaan
ini dapat dengan sangat jelas kita ikuti, apabila kita ingat bahwa kehidupan manusia
selalu dihadapkan pada masyarakat, lingkungan serta dunia alamnya.
Kebudayaan terdiri dari pola-pola berpikir, merasa dan bertindak yang dicapai
dan disalurkan melalui simbol. Disini penulis ingin memberikan gambaran lebih
lanjut tentang makna simbolik dari satu upacara adat masyarakat Bugis yang masih
terus dilaksanakan. Dalam budaya masyarakat Bugis ketika sebuah keluarga akan
membangun rumah atau pindah ke rumah baru terdapat serangkaian upacara adat
yang harus dijalankan, mulai saat persiapan bahan-bahan untuk membangun rumah,
ketika rumah akan dibangun atau didirikan, lalu ketika rumah tersebut siap untuk
ditinggali, bahkan saat rumah tersebut sudah dihuni. Rangkaian upacara adat tersebut
sarat akan makna-makna simbolik yang terkandung dalam setiap tahapannya, berikut
42
rangkaian upacara tersebut: Upacara Makkarawa Bola. Makkarawa Bola terdiri dari
dua kata yaitu makkarawa (memegang) dan bola (rumah), jadi makkarawa bola bisa
diartikan memegang, mengerjakan, atau membuat peralatan rumah yang telah
direncanakan untuk didirikan dengan maksud untuk memohon restu kepada Tuhan
agar diberikan perlindungan dan keselamatan dalam penyelesaian rumah yang akan
dibangun tersebut. Tempat dan waktu upacara ini diadakan di tempat dimana bahan–
bahan itu dikerjakan oleh panre (tukang) karena bahan–bahan itu juga turut
dimintakan doa restu kepada Tuhan. Waktu penyelenggaraan upacara ini ialah pada
waktu yang baik dengan petunjuk panrita bola, yang sekaligus bertindak sebagai
pemimpin upacara.
Bahan–bahan upacara yang harus dipersiapkan terdiri atas: ayam dua ekor,
dimana ayam ini harus dipotong karena darahnya diperlukan untuk pelaksanaan
upacara kemudian tempurung kelapa daun waru sekurang – kurangnya tiga lembar.
Tahap pelaksanaan upacara makkarawa bola ini ada tiga, yaitu 1) waktu memulai
melicinkan tiang dan peralatannya disebut makkattang, 2) waktu mengukur dan
melobangi tiang dan peralatannya yang disebut mappa, 3) waktu memasang kerangka
disebut mappatama areteng.
Setelah para penyelenggara dan peserta upacara hadir, maka ayam yang telah
disediakan itu dipotong lalu darahnya disimpan dalam tempurung kelapa yang
dilapisi dengan daun waru, sesudah itu darah ayam itu disapukan pada bahan yang
akan dikerjakan. Dimulai pada tiang pusat, disertai dengan niat agar selama rumah itu
dikerjakan tuan rumah dan tukangnya dalam keadaan sehat dan baik–baik, bila saat
43
bekerja akan terjadi bahaya atau kesusahan, maka cukuplah ayam itu sebagai
gantinya. Selama pembuatan peralatan rumah itu berlangsung dihidangkan kue–kue
tradisional seperti : Suwella, Sanggara, Onde-Onde, Roko–roko unti sering juga
disebut doko-doko, Peca’ Beppa, Barongko dan Beppa loka, dan lain – lainnya.
Tahap upacara Mappatettong Bola (mendirikan rumah). Tujuan upacara ini
sebagai permohonan doa restu kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar rumah yang
didirikan itu diberkahi dan dilindungi dari pengaruh-pengaruh roh jahat yang
mungkin akan menganggu penghuninya. Upacara ini diadakan di tempat atau lokasi
dimana rumah itu didirikan, sebagai bentuk penyampaian kepada roh-roh halus
penjaga – penjaga tempat itu bahwa orang yang pernah memohon izin pada waktu
yang lalu sekarang sudah datang dan mendirikan rumahnya. Sehari menjelang dirikan
pembangunan rumah baru itu, maka pada malam harinya dilakukan pembacaan kitab
barazanji.
Adapun bahan–bahan dan alat–alat kelengkapan upacara itu terdiri tas : ayam
’bakka’ dua ekor, satu jantan dan satu betina. Darah kedua ayam ini diambil untuk
disapukan dan disimpan pada tiang pusat rumah, ini mengandung harapan agar tuan
rumah berkembang terus baik harta maupun keturunannya. Selain itu, Bahan–bahan
yang ditanam pada tempat posi bola (pusat atau bagian tengah rumah) dan aliri pakka
yang akan didirikan ini terdiri atas : awali (periuk tanah atau tembikar), sung appe
(sudut tikar dari daun lontar), balu mabbulu (bakul yang baru selesai dianyam),
penno-penno (semacam tumbuh-tumbuhan berumbi seperti bawang), kaluku (kelapa),
Golla Cella (gula merah), Aju cenning (kayu manis), dan buah pala. Kesemua bahan
44
tersebut diatas dikumpul bersama – sama dalam kuali lalu ditanam di tempat dimana
direncanakan akan didirikan aliri posi bola itu dengan harapan agar pemilik rumah
bisa hidup bahagia, aman, tenteram, dan serba cukup.
Setelah tiang berdiri seluruhnya, maka disediakan pula sejumlah bahan –
bahan yang akan disimpan di posi bola seperti kain kaci 1 meter, diikatkan pada posi
bola, padi dua ikat, golla cella (gula merah), kaluku (kelapa), saji pattapi (nyiru),
sanru (sendok sayur), piso (pisau), pakkerri (kukur kelapa). Bahan–bahan ini
disimpan diatas disimpan dalam sebuah balai – balai di dekat posi bola. Bahan ini
semua mengandung nilai harapan agar kehidupan dalam rumah itu serba lengkap dan
serba cukup. Setelah kesemuanya itu sudah dilaksanakan, barulah tiba saat Mappanre
Aliri, memberi makan orang – orang yang bekerja mendirikan tiang – tiang rumah itu.
Makanan yang disajikan terdiri atas sokko (ketan), dan pallise, yang mengandung
harapan agar hidup dalam rumah baru tersebut dapat senantiasa dalam keadaan
cukup.
Tahap upacara Menre Bola Baru (naik rumah baru) tujuannya sebagai
pemberitahuan tuan rumah kepada sanak keluarga dan tetangga sedesa bahwa
rumahnya telah selesai dibangun, selain sebagai upacara doa selamat agar rumah baru
itu diberi berkah oleh Tuhan dan dilindungi dari segala macam bencana.
Perlengkapan upacara yang disiapkan adalah dua ekor ayam putih jantan dan betina,
loka (utti) manurung, loka atau utti (pisang) panasa (nangka), kaluku (kelapa), golla
cella (gula merah), tebbu (tebu), panreng (nenas) yang sudah tua. Sebelum tuan
rumah (suami isteri) naik ke rumah secara resmi, maka terlebih dahulu bahan bahan
45
tersebut diatas disimpan di tempatnya masing – masing, yaitu : (1) Loka manurung,
kaluku, golla cella, tebu, panreng dan panasa di tiang posi bola. (2) Loka manurung
disimpan di masing–masing tiang sudut rumah. Tuan rumah masing–masing
membawa seekor ayam putih. Suami membawa ayam betina dan isteri membawa
ayam jantan dengan dibimbing oleh seorang sanro bola atau orang tertua dari
keluarga yang ahli tentang adat berkaitan dengan rumah. Sesampainya diatas rumah
kedua ekor ayam itu dilepaskan, sebelum sampai setahun umur rumah itu, maka ayam
tersebut belum boleh disembelih, karena dianggap sebagai penjaga rumah. Setelah
peserta upacara hadir diatas rumah maka disuguhkanlah makanan–makanan atau kue–
kue seperti suwella, jompo–jompo, curu maddingki, lana–lana (bedda), konde–konde
(umba–umba), sara semmu, doko–doko, lame–lame. Pada malam harinya diadakanlah
pembacaan kitab barazanji oleh imam kampung, setelah tamu pada malam itu pulang
semua, tuan rumah tidur di ruang depan. Besok malamnya barulah boleh pindah ke
ruang tengah tempat yang memang disediakan untuknya.
Tahap Upacara Maccera Bola. Setelah rumah itu berumur satu tahun maka
diadakanlah lagi upacara yang disebut maccera bola. “Maccera Bola” artinya
memberi darah kepada rumah itu dan merayakannya. Jadi sama dengan ulang tahun.
Darah yang dipakai maccera ialah darah ayam yang sengaja dipotong untuk itu, pada
waktu menyapukan darah pada tiang rumah dibacakan mantra, “Iyyapa uitta dara
narekko dara manu”, artinya nantinya melihat darah bila itu darah ayam. Ini
maksudnya agar rumah terhindar dari bahaya. Pelaku maccera bola ialah sanro
(dukun) bola atau tukang rumah itu sendiri.
46
Dalam kebudayaan tercakup hal-hal bagaimana persepsi manusia terhadap
dunia lingkungan serta masyarakat, seperangkat nilai-nilai yang menjadi landasan
pokok untuk memotivasi setiap langkah yang hendak dan harus dilakukannya dan
sehubungan dengan itu pola hidup serta cara kemasyarakatan. Dengan demikian
kebudayaan menunjukkan identitas serta integritas seseorang atau suatu bangsa.
J. Makna Perkawinan
Pernikahan mungkin salah satu praktek kebudayaan yang sakral yang sering
dilakukan oleh masyarakat. Kegiatan yang dibayangkan, bahkan dipercayai sebagai
perwujudan ideal hubungan cinta antara dua individu. Telah menjadi urusan banyak
orang atau institusi, mulai dari orang tua, keluarga besar, institusi agama sampai
negara.
Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 1, bahwa perkawinan
ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami dan
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan keluarga
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernikahan merupakan perjanjian yang
resmi antar dua individu yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk
menciptakan sebuah kekerabatan. Pernikahan dilakukan sesuai dengan adat yang
dianut atau disepakati oleh kedua calon pengantin.
Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau
dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan suatu ikatan secara hukum
agama, hukum negara, dan hukum adat. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam
47
dan variasi antar bangsa, suku satu dengan yang lainnya pada satu bangsa, agama,
budaya maupun kelas sosial. Penggunaan adat atau aturan tertentu kadang-kadang
berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu pula.
Pengesahan secara hukum suatu pernikahan biasanya terjadi pada saat
dokumen tertulis yang mencatatkan pernikahan ditanda tangani. Upacara pernikahan
sendiri biasnya merupakan acara yang dilangsungkan untuk melakukan upacara
berdasarkan adat istiadat yang berlaku dan kesempatan untuk merayakannya bersama
keluarga dan teman. Wanita dan pria yang sedang melangsungkan pernikahan disebut
pengantin, dan setelah upacaranya selesai kemudian mereka dinamakan suami-istri.
K. Perkawinan Bugis
Dalam masyarakat Bugis Bone, sebagaimana masyarakat lain di Nusantara ini
upacara perkawinan atau pernikahan menandai dimulainya jalinan hubungan
berdasarkan cinta kasih yang sah menurut adat (aturan-aturan duniawi) dan agama
(aturan-aturan ukhrawi). Berawal dari peristiwa perkawinan itulah suami istri dapat
menapaki masa depannya, membina rumah tangga dan melanjutkan keturunannya.
Upacara perkawinan yang dalam bahasa Bugis disebut tudang botting bukan
hanya menyatukan dua orang menjadi sepasang suami istri, tetapi juga menyatukan
dua rumpun keluarga yang lebih besar yaitu keluarga dari pihak mempelai laki-laki
dan keluarga dari pihak mempelai wanita. Penyatuan kedua keluarga besar tersebut
dalam bahasa bugis disebut silorongeng (saling mengulurkan tangan) atau
mappasideppe mabelae (mendekatkan yang jauh).
48
Pandangan masyarakat Bugis tentang perkawinan dan tata cara
pelaksanaannya, pada dasarnya memiliki persamaan antara daerah satu dengan daerah
lainnya. Hanya saja dalam segi-segi kecil sering ditemukan perbedaan-perbedaan
yang tidak terlalu prinsipil. Misalnya, acara ripaddupai yang masih sering dijumpai
didaerah Sidenreng Rappang, Soppeng dan daerah-daerah sekitarnya, merupakan hal
yang tidak ditemukan didaerh lain. Acara ripaddupai ini dilaksanakan dirumah
mempelai wanita yang dipandu oleh seorang indo’botting (juru rias pengantin). Pada
saat mempelai laki-laki selesai membuka pakaian pengantin, disiapkan sembilan
lembar sarung untuk dipakai. Kesembilan sarung tersebut dipasangkan kepada
mempelai laki-laki yang dimulai dari kepala sampai kaki. Satu lembar diantaranya
diikatkan dipinggang untuk dipakai tidur, sedangkan yang lainnya dilepas dan
disimpan kembali.
Menurut berbagai sumber makna dari acara ripaddupai itu adalah agar
mempelai laki-laki kelak dapat mengetahui bahwa diantara banyak sarung yang ada
dirumah isterinya, hanyalah sarung isterinya yang berhak diapakainya. Artinya
banyak keluarga dan kerabat isterinya tetapi yang menjadi hak miliknya hanyalah
isterinya yang telah dinikahinya.
K. 1. Jenis-jenis Perkawinan Bugis
Melihat dari proses pelaksanaannya, dalam masyarakat Bugis, dikenal
beberapa jenis perkawinan antara lain :
a. Perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan peminangan.
49
Perkawinan jenis ini berlaku secara turun menurun bagi masyarakat Bugis
yang bersifat umum, baik golongan bangsawan maupun bagi masyarakat
biasa. Perbedaannya hanya dilihat dari tata cara pelaksanaannya, yakni bagi
golongan bangsawan, melalui proses yang panjang dengan upacara adat
tertentu. Sedangkan bagi masyarakat biasa dilaksanakan secara sederhana
sesuai kemampuan.
b. Perkawinan silariang (kawin lari)
Jenis perkawinan yang dilaksanakan tidak berdasarkan peminangan, tetapi
karena kedua belah pihak mengadakan mufakat untuk lari ke rumah penghulu
untuk minta perlindungan dan selanjutnya dinikahkan. Sebenarnya dalam
masyarakat Bugis khususnya Bugis Bone, peristiwa silariang (melarikan diri
untuk dinikahkan) adalah suatu perbuatan yang mengakibatkan siri’ bagi
keluarga perempuan.
K. 2. Syarat-syarat Untuk Melangsungkan Perkawinan
Sesuai dengan adat yang berlaku dalam masyarakat Bugis Bone, persyaratan
lebih banyak dibebankan kepada pihak laki-laki. Disamping ia harus menyiapkan diri
untuk menjadi nahkoda dalam melayarkan bahtera rumah tangga yang akan dibinanya
nanti. Dapat dikatakan bahwa hampir seluruh pembiayaan perkawinan dibebankan
kepada pihak laki-laki, karena disamping harus menaikkan doi’ menre (uang belanja),
juga harus membawa persembahan yang sekarang ini dikenal dengan nama leko’
(sirih pinang) yang nilainya tidak sedikit.
50
Disamping itu, apabila calon mempelai laki-laki berasal dari daerah luar,
maka kepadanya diharuskan membayar pallawa tana. Besarnya pallawa tana
ditentukan oleh pemuka adat setempat atau penghulu dimana mempelai wanita itu
berdomisili. Pallawa tana itu merupakan tanda atau pengakuan bagi mempelai laki-
laki bahwa dirinya siap mengikuti segala aturan-aturan adat dan aturan-aturan agama
yang berlaku di daerah itu.
K. 3. Perkawinan Yang Dilarang
Sejak dahulu adat yang berlaku dalam masyarakat Bugis melarang
perkawinan antara dua orang (laki-laki dan perempuan) yang masih memiliki
hubungan darah yang dekat, seperti:
Seorang pria dilarang kawin dengan wanita yang menurunkannya (ibu
atau nenek) baik melalui ayah maupun melalui ibu.
Seorang pria dilarang kawin dengan wanita yang menurun darinya (anak,
cucu,cicit) baik keturunan anak wanita.
Seorang pria dilarang kawin dengan wanita dari keturunan ayah atau dari
keturunan ibu (saudara kandung atau anak dari saudara kandung).
Seorang pria dilarang kawin dengan wanita saudara dari yang
menurunkan (saudara kandung ayah atau saudara kandung ibu, saudara
kandung kakek atau nenenk baik dari ayah maupun dari ibu).
Dari hal yang disebutkan di atas, berarti seorang pria dilarang kawin dengan
seorang wanita dalam garis keturuanan lurus ke atas dan ke bawah tanpa batas.
51
Apabila hali ini terjadi masyarakat Bugis menganggapnya sebagai peristiwa
malaweng (perbuatan haram menurut Islam). Sesuai hukum adat yang berlaku dalam
masyarakat Bugis Bone khususnya, keduanya akan ditenggelamkan di laut sebagai
makanan ikan, karena merupakan pelanggaran hukum adat yang berat.
K. 4. Masalah Perjodohan
Dahulu, masalah pemilihan jodoh bagi masyarakat Bugis Bone, selalu
dipilihkan oleh orang tua. Kedua mempelai nanti akan saling kenal setelah duduk
dipelaminan atau setelah masing-masing membuka pakaian pengantin yang ditandai
dengan suatu acara yang disebut ripasiewa yaitu adat yang dimkasudkan untuk saling
menyapa.
Dalam memilih jodoh, masyarakat Bugis Bone biasanya memperhatikan
faktor-faktor sebagai berikut:
a. Faktor obyektif, yaitu adanya kesiapan untuk berumah tangga yang dititik
beratkan kepada masalah ekonomi, kedewasaan, mental, karakter, kecerdasan
dan sebagainya.
b. Faktor subyektif, yaitu adanya dasar saling cinta mencintai. Dahulu faktor ini
lahir setelah terlaksananya perkawinan, karena pada umumnya mempelai
dijodohkan oleh orang tua dan tidak saling mengenal.
Dalam masyarakat Bugis Bone, dikenal adanya pelapisan sosial yang sampai
sekarang masih sering terjadi perimbangan dalam hal perjodohan. Seorang yang
berasal dari golongan bangsawan selalu mempertimbangkan untuk memilih jodoh
52
dari golongan masyarakat biasa, golongan hamba atau ata’ yang pernah dikenal pada
zaman masa lampau. Dahulu hubungan antara anak bangsawan dengan anak orang
biasa apalagi anak seorang hamba dianggap sebagai suatu pelanggaran yang disebut
nasoppa’i tekkenna, artinya tertusuk oleh tombaknya sendiri. Yang artinya hal yang
memungkinkan seorang lelaki yang berasal dari golongan biasa dapat mengawini
seorang wanita dari golongan bangsawan, adallah harus memiliki kelebihan seperti to
warani (pemberani), to sugi (orang kaya), cendekiawan atau pemimpin agama.
53
BAB III
GAMBARAN LOKASI PENELITIAN
A. Asal Usul Orang Bugis
Suku Bugis merupakan suku yang tergolong ke dalam suku-suku Deutero-
melayu, atau Melayu muda. masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama
dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata ‘Bugis’ berasal dari kata To Ugi, yang berarti
orang Bugis. Penamaan ‘ugi’ sendiri merujuk pada nama raja pertama kerajaan Cina
(bukan negara Tiongkok, tapi salah satu daerah yang terdapat di jazirah Sulawesi
Selatan tepatnya Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La
Sattumpugi.
Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada
raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau
pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan
bersaudara dengan Batara Lattu, ayahanda dari Sawerigading.
Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa
anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar didunia dengan jumlah
kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (yang dipertuan di
ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi
masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk
Banggai, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.
54
Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk
beberapa kerajaan lain. Masyarakat Bugis ini kemudian mengembangkan
kebudayaan, bahasa, aksara, pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis
klasik dan besar antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa dan Sawitto
(Kabupaten Pinrang), Sidenreng dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk etnik
Bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar
dan Mandar. Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu,
Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Sinjai, Barru. Daerah peralihan antara Bugis
dan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah
peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang.
B. Sejarah Berdirinya Kabupaten Bone
Kerajaan Tana Bone dahulu terbentuk pada awal abad ke- IV atau pada tahun
1330, namun sebelum Kerajaan Bone terbentuk sudah ada kelompok-kelompok dan
pimpinannya digelar KALULA Dengan datangnya LA UBBI yang digelar TO
MANURUNG (Manurungge Ri Matajang) atau MATA SILOMPO-E. maka
terjadilah penggabungan kelompok-kelompok tersebut termasuk Cina, Barebbo,
Awangpone dan Palakka. Pada saat pengangkatan TO MANURUNG MATA
SILOMPO- E menjadi Raja Bone, terjadilah kontrak pemerintahan berupa sumpah
setia antara rakyat Bone dalam hal ini diwakili oleh penguasa Cina dengan 10
MANURUNG, sebagai tanda serta lambang kesetiaan kepada Rajanya sekaligus
merupakan pencerminan corak pemerintahan Kerajaan Bone diawal berdirinya.
55
Disamping penyerahan diri kepada Sang Raja juga terpatri pengharapan
rakyat agar supaya menjadi kewajiban Raja untuk menciptakan keamanan,
kemakmuran, serta terjaminnya penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat. Adapun
teks sumpah yang diucapkan oleh penguasa Cina mewakili rakyat Bone berbunyi
sebagai berikut:
“ ANGIKKO KURAUKKAJU RIYAAOMI’RI RIYAKKENG
KUTAPPALIRENG ELOMU ELO RIKKENG ADAMMUKKUWAMATTAMPAKO
KILAO.. MALIKO KISAWE. MILLAUKO KI ABBERE.
MUDONGIRIKENG TEMMATIPPANG. MUAMPPIRIKKENG
TEMMAKARE. MUSALIMURIKENG TEMMADINGING “
Terjemahan bebas:
“ ENGKAU ANGIN DAN KAMI DAUN KAYU, KEMANA BERHEMBUSKESITU
KAMI MENURUT KEMAUAN DAN
KATA-KATAMU YANG JADI DAN BERLAKU ATAS KAMI, APABILAENGKAU
MENGUNDANG KAMI MENYAMBUT
DAN APABILA ENGKAU MEMINTA KAMI MEMBERI, WALAUPUN ANAK
ISTRI KAMI JIKA TUANKU TIDAK SENANGI KAMIPUN TIDAK
MENYENANGINYA, TETAPI ENGKAU MENJAGA KAMI AGAR TENTRAM,
ENGKAU BERLAKU ADIL MELINDUNGI AGAR KAMI MAKMUR
DAN SEJAHTERA ENGKAU SELIMUTI KAMI AGAR TIDAK KEDINGINAN ‘
56
Budaya masyarakat Bone demikian Tinggi mengenai sistem norma atau adat
berdasarkan Lima unsur pokok masing-masing : Ade’, Bicara, Rapang, Wari dan
Sara yang terjalin satu sama lain, sebagai satu kesatuan organis dalam pikiran
masyarakat yang memberi rasa harga diri serta martabat dari pribadi masing-masing.
Kesemuanya itu terkandung dalam satu konsep yang disebut “Siri” merupakan
integral dari ke Lima unsur pokok tersebut diatas yakni pangadereng ( norma adat),
untuk mewujudkan nilai pangadereng maka rakyat Bone memiliki sekaligus
mengamalkan semangat budaya.
SIPAKATAU artinya : Saling memanusiakan, menghormati atau menghargai harkat
dan martabat kemanusiaan seseorang sebagai mahluk ciptaan ALLAH tanpa
membeda - bedakan, siapa saja orangnya harus patuh dan taat terhadap norma adat
atau hukum yang berlaku.
SIPAKALEBBI artinya : Saling memuliakan posisi dan fungsi masing-masing dalam
struktur kemasyarakatan dan pemerintahan, senantiasa berprilaku yang baik sesuai
dengan adat dan budaya yang berlaku dalam masyarakat
SIPAKAINGE artinya: Saling mengingatkan satu sama lain, menghargai nasehat,
pendapat orang lain, manerima saran dan kritikan positif dan siapapun atas dasar
kesadaran bahwa sebagai manusia biasa tidak luput dari kekhilafan. Dengan
berpegang dan berpijak pada nilai budaya tersebut diatas, maka sistem pemerintahan
Kerajaan Bone adalah berdasarkan musyawarah mufakat. Hal ini dibuktikan dimana
waktu itu kedudukan ketujuh ketua kaum (Matoa Anang) dalam satu majelis dimana
MenurungE sebagai ketuanya ketujuh kaum itu diikat dalam satu ikatan persekutuan
57
yang disebut Kawerang, artinya Ikatan Persekutuan Tana Bone. Sistem Kawerang ini
berlangsung sejak ManurungE sebagai Raja Bone pertama hingga Raja Bone ke IX
yaitu Lapttawe Matinroe Ri Bettung pada akhir abad ke XVI.
Pada tahun 1605 Agama Islam masuk di Kerajaan Bone dimasa pemerintahan
Raja Bone ke X Latenri Tuppu Matinroe Ri Sidendreng. Pada masa itu pula sebuatan
Matoa Pitu diubah menjadi Ade Pitu ( Hadat Tujuh ), sekaligus sebutan Matoa
mengalami pula perubahan menjadi Arung. Arung misalnya Matua Ujung disebut
Arung Ujung dan seterusnya. Demikian perjalanan panjang Kerajaan Bone, maka
pada bulan Mei 1950 untuk pertama kalinya selama Kerajaan Bone terbentuk dan
berdiri diawal abad ke XIV atau tahun 1330 hingga memasuki masa kemerdekaan
terjadi suatu demonstrasi rakyat dikota Watampone yaitu menuntut dibubarkannya
Negara Indonesia Timur, serta dihapuskannya pemerintahan Kerajaan dan
menyatakan berdiri dibelakang pemerintah Republik Indonesia Beberapa hari
kemudian para anggota Hadat Tujuh mengajukan permohonan berhenti.
Disusul pula beberapa tahun kemudian terjadi perubahan nama distrik atau
onder distrik menjadi Kecamatan sebagaimana berlaku saat ini. Pada tanggal 6 April
1330 melalui rumusan hasil seminar yang diadakan pada tahun 1989 di Watampone
dengan diperkuat Peraturan Daerah Kabupaten Dati II Bone No.1 Tahun 1990 Seri C,
maka ditetapkanlah tanggal 6 April 1330 sebagai hari jadi Kabupaten Bone dan
diperingati setiap tahun.
58
C. Keadaan Geografis
Daerah Kabupaten Bone merupakan salah satu Kabupaten yang terdapat di
Propinsi Sulawesi Selatan, secara Geografis letaknya sangat strategis karena adalah
pintu gerbang pantai timur Sulawesi Selatan yang merupakan pantai Barat Teluk
Bone memiliki garis pantai yang cukup panjang membujur dari Utara ke Selatan
menelusuri Teluk Bone tepatnya 174 Kilometer sebelah Timur Kota Makassar, luas
wilayah Kabupaten Bone 4,556 KM Bujur Sangkar atau sekitar 7,3 persen dari luas
Propinsi Sulawesi Selatan, didukung 27 Kecamatan, 333 Desa dan 39 Kelurahan,
dengan jumlah penduduk 648,361 Jiwa.
Keadaan tanahnya yang subur, terutama di daerah-daerah yang terletak
dibagian pesisiran umumnya adalah tanah datar, seperti daerah Barebbo, Tanete
Riattang, Mare, Tonra, Salomekko, dan sebagian lagi daerahnya datar dan berawa-
rawa. Secara keseluruhan daerah Bone tidak sesuai untuk digunakan sebagai daerah
persawahan karena tanahnya bercampur batu. Selain itu, jenis tanah di daerah ini
adalah tanah jenis aluvial hidromorf glei yang berakar rendah, complex mediteran
coklat kekuningan.
Kabupaten Bone secara geografis berbatasan dengan Kabupaten Wajo
disebelah utara dengan sungai cenrana sebagai batasnya, disebelah timur teletak
Teluk Bone, di sebelah selatan dengan sungai tangka dan tanah-tanah pemerintahan
yang terdapat diantara Gunung Katanorang, Bowoloangi dan Bontonuli, batas ini
adalh batas yang ditetapkan pada tahun 1860 setelah perang Bone selesai. Di sebelah
barat dengan Tabete, Mario, Soppeng, sungai Walannae, dan Danau Tempe.
59
Wilayah Kabupaten Bone boleh dikatakan tidak memilikki gunung-gunung
yang tinggi. Sungai yang paling penting adalah Sungai Walannae berhulu di Gunung
Bawakaraeng, mengalir ke bagian tenggara Kabupaten Bone dan mengaliri dataran
Bengo, dan daerah Soppeng. Beberapa bagian alirannya mengaliri daerah Lamuru,
berlanjut ke daerah-daerah Mario-ri-wawo dan Mario-ri-awa dan akhirnya bersatu
dengan Sungai Cenrana di sebelah Timur Danau Tempe Kabupaten Wajo. Jalur
utama aliran sungai ini dari selatan ke utara Sungai Cenrana berhulu di Gunung
Latimojong, di perbatasan Luwu dan Toraja.
D. Pemerintahan di Era Otoda
Otonomi daerah yang sebagaimana digariskan oleh Undang – Undang No. 22
Tahun 1999 yang secara efektif diberlakukan pada 1 Januari 2001, memang akan
menyita berbagai pemikiran bagi pemerintah ditingkat Kabupaten, karena dalam
pelaksanaannya memerlukan transportasi para digmatik terutama dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dari pemikiran ini pemerintah Kabupaten
Bone berupaya merumuskan langkah-langkah yang strategis serta berbagai kebijakan
untuk menjawab tuntutan yang sifatnya mendesak seperti peningkatan Sumber Daya
Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Potensi Bone merupakan salah satu daerah
yang berada dipesisir Timur Sulawesi Selatan memiliki peranan yang penting dalam
perdagangan Barang dan jasa dikawasan Timur Indonesia, apalagi Kabupaten yang
berpenduduk 648.361 Jiwa memiliki Sumber Daya Alam disektor pertambangan
60
misalnya bahan industri atau bangunan, emas, tembaga, perak, batubara dan pasir
kuarsa.
Seluruhnya dapat dieksplorasi dan eksploitasi, namun hal ini akan menjadi
peluang emas bagi masyarakat Bone dalam peningkatan Kesejahteraan dimasa yang
akan datang dalam pelaksanaan Otonomi Daerah sedikitnya hal ini akan menjadi
penunjang utama peningkatan pembangunan.
K. Lapisan Sosial Pada Masyarakat Bugis Bone
Masyarakat Bugis membeda-bedakan manusia menurut tinggi rendah
keturunannya. Ukuran satu-satunya ialah soal darah atau unsur keturunan sebagai
unsur primair, untuk itu perlu dibedakan terlebih dahulu macam-macam keturunan
yaitu :
1. Wija (keturunan) ana’ eppona MappajungE, ialah keturunan anak cucu
raja, menurut garis lurus dari raja ke XV
2. Wija Mappajung, ialah keturunan raja-raja sebelum masuk Islam dan
sebelum menjadi raja La Patau Matanna Tikka, raja XV.
3. Wija To Leb’bi, ialah keturunan orang-orang mulia, yakni famili-famili
dari ibu-bapak La Patau Matanna Tikka.
4. Wija Anakarussala, ialah keturunan orang-orang merdeka, biasa juga
disebut Tosama.
5. Wija Ata, ialah keturunan hamba.
61
Tiap individu dalam banyak masyarakat Bone, termasuk dalam salah satu
lapisan, walaupun baginya tidak berlaku lagi perbedaan fasilitas-fasilitas lapangan
kerja seperti sediakala. Dewasa ini sedang mengalami proses perubahan, namun
sering menyatakan diri terutama kalau akan terjadi perkawinan, klafikasi darah
muncul jadi persoalan secara diam-diam tapi dengan tajam.
62
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Informan
Pada penelitian yang dilakukan menggunakan etnografi komunikasi peneliti
kemudian memilih dan mewawancarai sejumlah informan yang relevan memahami,
menjalankan simbol dan makna dalam prosesi perkawinan adat suku Bugis
khususnya suku Bugis Bone. Berikut latar belakang beberapa informan yang telah
memberikan sumbangsih informasi yang bermanfaat kepada penulis dalam
melakukan penelitian ini adalah :
Informan yang pertama, yaitu Abidin sehari-hari beliau bekerja sebagai
pengelola Saoraja museum Lapawawoi yang beralamat di Jalan MH Thamrin
Museum Lapawawoi Kabupaten Bone beliau juga dikenal sebagai budayawan Bugis
oleh masyarakat Bone. Abidin, sapaan akrab beliau dianggap merupakan tokoh
budaya Masyarakat Bone yang juga merupakan putra bungsu dari Andi Mappasissi
atau lebih dikenal dengan Petta Awangpone yang dalam masyarakat Bone termasuk
pemangku adat yang ikut melestarikan kebudayaan Bone.
Informan yang kedua adalah Rahman (mammi’ fitri) berusia 50 tahun
pengelola Bola Soba yaitu Soraja (rumah raja Bugis) rumah tinggal panglima perang
kerajaan Bone di masa pemerintahan Raja Bone XXXII tahun 1895-1905, yaitu Andi
Abdul Hamid Baso Pagilingi Petta Ponggawae salah seorang putra Raja Bone XXXI
(Lapawawoi Karaeng Sigeri). Namun setelah kerajaan Bone di bawah kekuasaan
63
Belanda, rumah ini dijadikan sebagai penginapan para tetamu dari kalangan penguasa
ketika itu, sehingga seterusnya menjadi lazim dengan sebutan “Bola Soba”. Bola
yang sekarang ini juga dijadikan sebagai sarana berbagai kegiatan seni dan budaya di
daerah ini, mammi’ Fitri lah yang mengatur segala sesuatu kegiatan dirumah itu.
Mammi’ Fitri juga merupakan seorang Indo’ botting yaitu seseorang yang dipercaya
untuk mengerjakan suatu perkawinan adat dikalangan masyarakat Bugis Bone,
dimulai dari merias pengantin, perlengkapan pelantin, bahkan setiap tahapan adat
perkawinan Bugis Bone yang dilalui oleh pengantin diurus oleh mammi’ Fitri.
Informan yang terakhir adalah Andi Immank, pria yang berusia 32 tahun ini
menjabat sebagai wakil sekertaris dewan kesenian Bone, dan juga sebagai protokeler
diberbagai acara adat di Kabupaten Bone termasuk protokoler perkawinan. Andi
imran sapaan untuk narasumber penulis yang satu ini, Andi Imran tinggal di Jalan
Lapawawoi no. 10 Kab. Bone, Andi Imran sudah mendalami karirnya sebagai
protokoler acara adat pada saat usia 20 tahun, keahliannya sebagai protokoler
diperoleh dari mengikuti sanggar Bola Soba yang ditekuninya sejak duduk dibangku
SMP dan mulai memberanikan diri pada usianya menginjak usia 20 tahun. Awalnya
karena permintaan keluarga, dan orang-orang disekitarnya hingga kini Andi Imran
dipercayai untuk memprotokoleri perkwaninan adat Bugis Bone diberbagai daerah di
Indonesia.
64
B. Tahapan Prosesi Perkawinan Adat Bugis Bone
Konsep suatu perkawinan bagi masyarakat Bugis Bone,merupakan sesuatu
yang sakral dan sangat penting. Tetapi melalui beberapa fase dengan rentang waktu
yang agak panjang serta melibatkan orang tua, kerabat dan keluarga. Perkawinan
dianggap ideal apabila prosesi-prosesi yang telah menjadi ketentuan adat dan agama
tersebut dilalui.
Perkawinan dianggap sangat penting dalam kehidupan seseorang, karena
merupakan babak baru untuk membentuk keluarga sebagai unit terkecil dari suatu
masyarakat. Sesuai dengan sifat dan watak orang Bugis Bone yang religius dan
mengutamakan kekeluargaan, maka untuk menuju kepada suatu perkawinan
diperlukan partisipasi keluarga dan kerabat untuk merestui perkawinan tersebut.
Sebelum acara perkawinan dilangsungkan maka ada beberapa prosesi adat
yang harus dilalui, prosesi-prosesi tersebut adalah sebagai berikut:
b. Mammanu’ manu adalah merupakan langkah awal yang dilakukan oleh
orang tua laki-laki yang bermaksud mencarikan jodoh (pasangan) anaknya
yang akan berlanjut ke jenjang perkawinan. Mammanu’manu artinya
melakukan kegiatan seperti burung yang terbang kesana kemari, tujuannya
adalah untuk menemukan seorang gadis yang kelak akan dilamarnya.
Setelah menemukan seorang gadis yang menurut pertimbangan bisa
dijadikan isteri oleh anaknya, maka dilanjutkanlah kegiatan itu kepada
langkah selanjutnya yang disebut “mappese’pese’ (menyelidiki). Setelah
pihak perempuan mendengar bahwa pihak laki-laki benar ingin melamar,
65
dengan segala kerendahan hati pihak perempuan akan berkata “narekko
makkoitu adatta- soroni tangngaka-nakubali tangnga toi. (kalau begini
maksud anda, kembalilah mempelajari keluarga kami dan saya juga
mempelajari keluarga anda)”.
c. Massuro (meminang) yaitu mengutus beberapa orang ke rumah
perempuan yang akan dilamar, biasanya orang yang diutus tersebut adalah
orang-orang yang mengetahui tentang seluk beluk cara meminang.
Pertama-tama ia harus mengemukakan maksudnya dengan penuh sopan
santun agar orang tua dan keluarga perempuan yang akan dilamarnya
tidak merasa tersinggung.
Salah seorang dari rombongan to’ madduta mengemukakan
maksud kedatangannya dengan kata-kata yang halus yang bersifat
ungkapan-ungkapan yang bermakna. Sementara orang yang menerimanya
juga menjawabnya dengan kata-kata yang halus serta penuh makna
simbolis.
Berikut ini adalah salah satu contoh dialog antara to-madduta
dengan to riaddutai:
- To madduta : Iyaro bunga puteta-tepu tabakka toni- engkanaga
sappo na? (Bunga putih yang sedang mekar, apakah sudah me
miliki pagar?).
+ To riaddutai: De’ga pasa ri kampotta- balanca ri liputta mulincoma
66
bela? (apakah tidak ada pasar dikampung anda, jualan
ditempat anda sehingga anda pergi jauh?).
-To madduta: Engka pasa ri kampokku- balanca ri lippuku- naekaiya
nyawami kusappa (ada pasar dikampungku, jualan di
tempatku, tetapi yang kucari adalah hati yang budi
pekerti yang baik).
+To riaddutai: Iganaro maelo ri bunga puteku-temmakkedaung temak
Temakkecolli (siapakah yang berminat terhadap bunga
putihku, tidak berdaun tidak pula berpucuk).
Sementara pihak perempuan segera melakukan musyawarah dengan
keluarganya untuk membicarakan hal berbagai hal seperti besarnya uang
belanja, uang mahar, serta hari pernikahan. Pihak laki-laki pun kembali
melakukan hal yang sama guna membicarakan persiapan menjelang
perkawinan.
d. Mappettu ada, setelah terjadi kesepakatan bahwa lamaran pihak laki-laki
telah diterima baik oleh pihak orang tua perempuan, maka ditentukanlah
waktu pelaksanaan acara mappetu ada yaitu memutuskan segala apa yang
diperlukan dalam pelaksanaan pernikahan nanti. Dalam acara mappetu
ada, dibicarakan berbagai hal yang berhubungan dengan pernikahan yang
meliputi:
67
Tanra Esso: penentuan hari pernikahan baik laki-laki maupun pihak
perempuan mempertimbangkan tentang waktu-waktu luang bagi
keluarga. Misalkan saja apabila keluarga tersebut terdiri dari petani maka
dipilh waktu pada saat selesai panen, sedangkan apabila keluarga terdiri
dari pegawai maka dipilih pada waktu libur atau hari minggu.
Doi menre: sesudah menetapkan hari pernikahan (tanra esso), maka hal
yang paling penting adalah besarnya uang naik yang diberikan oleh
pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Sekarang ini untuk menetapkan
uang belanja pihak perempuan selalu melihat harga yang berlaku
dipasaran. Kalau pihak perempuan menghendaki pesta pernikahan itu
ramai, maka uang belanja yang diminta juga tinggi, kecuali kalau antara
laki-laki dan perempuan ada saling pengertian, maka biasanya
diserahkan saja kepada laki-laki tentang berapa kemampuannya.
Menurut aturannya uang belanja ini merupakan biaya yang
diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan dalam rangka
pelaksanaan pesta pernikahan tersebut. Dalam acara mappetu ada
tersebut memang telah dibicarkan dan disepakati apabila sesudah
menikah dan terjadi masalah, misalnya laki-laki tidak mampu memberi
nafkah batin kepada isterinya maka, sehingga terjadi perceraian maka
uang belanja tersebut tidak dikembalikan.
68
Sompa (mahar) adalah pemberian pihak laki-laki kepada perempuan
yang dinikahinya, baik itu berupa uang atau benda, sebagai salah satu
syarat sahnya pernikahan. Jumlah sompa sebagaimana yang diucapkan
oleh mempelai laki-laki pada saat akad nikah, menurut ketentuan adat
jumlahnya bervariasi menurut tingkat kebangsawanan seseorang.
Sompa yang berlaku sejak lama di daerah Bugis, dinilai dengan
mata uang lama yang di sebut real (orang Bugis menyebutnya rella).
Bagi bangsawan tinggi sompa dinyatakan dengan kati senilai 88 real,
ditambah satu orang hamba atau ata senilai 40 real dan satu ekor kerbau
senilai 25 real. Sompa bagi perempuan dari kalangan bangsawan tinggi
disebut sompa bocco yang bisa mencapai 44 kati. Sedangkan bagi
perempuan dari kalangan bangsawan menengah kebawah hanya satu
kati, bagi orang baik-baik setengah kati, dan bagi kalangan orang biasa
hanya seperempat kati.
e. Mappasiarekeng dan Mappaenre balanca yaitu dalam pelaksanaannya
orang biasa menggabungkan pada acara mappetu ada dengan acara
mappasiarekang dan mappaenre balanca. Itu tergantung dari kesempatan
kedua belah pihak calon pengantin dengan berbagai pertimbangan
misalnya, mengirit biaya dan mengefesienkan waktu. Acara
mappasierekeng yaitu menguatkan kembali apa yang telah dibicarakan
dan mappaenre balanca yaitu membawa sejumlah uang belanja sesuai
69
dengan kesepakatan antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan pada
saat mappetu ada. Rombongan pihak laki-laki terdiri dari laki-laki dan
perempuan yang berpakaian adat dan dipimpin oleh seseorang yang
dituakan. Begitu pula perempuan menyambut kedatangan rombongan
pihak laki-laki dengan pakaian adat pula.
Pihak laki-laki membawa sirih pinang untuk mappaota
(menyuguhkan sesuatu) berupa tujuh ikat daun sirih, tujuh biji buah
pinang, tujuh bungkus kapur, tujuh bungkus tembakau. Semua jenis benda
tersebut mengandung makna penghargaan kepada calon mempelai wanita
termasuk seluruh keluarganya. Selain itu, pihak laki-laki membawa pula
barang berupa satu buah cincin dan dua lembar sarung. Cincin dan sarung
tersebut dipasangkan kepada calon mempelai wanita setelah acara
mappasierekeng selesai. Cincin dan sarung tersebut dimaksudkan sebagai
tanda ikatan yang dalam bahasa Bugis disebut passeo dari calon mempelai
laki-laki kepada calon mempelai wanita.
Kebiasaan suku Bugis pada masa lampau yaitu mengunyah daunsirih, maka pemberian daun sirih dengan segala kelengkapannya,seperti pinang, tembakau, gambir, kapur dan lain-lain merupakanpenghargaan yang tinggi pada masa lampau. (Abidin)
f. Mappada atau mattampa (mengundang) yaitu dilakukan baik oleh pihak
laki-laki maupun pihak perempuan untuk memberi informasi kepada
segenap keluarga, handai tolan tentang akan dilaksanakannya pesta
pernikahan tersebut. Kegiatan ini biasanya dilaksanakan tujuh hari
70
sebelum acara puncak. Dahulu sebelum adanya alat percetakan, kegiatan
mappada atau mattampa dilakukan oleh beberapa orang wanita atau lak-
laki untuk menyampaikan secara lisan kepada segenap keluarga tentang
rencana pernikahan tersebut. tersebut. Oleh kerena itu, kegiatan ini
disebut juga madduppa atau mappaisseng.
Orang yang melakukan kegiatan madduppa atau mattampa itu,
terdiri dari laki-laki dan perempuan dengan pakaian adat lengkap.
Biasanya berpasang pasangan yaitu jumlah laki-laki sama dengan jumlah
perempuan. Selain itu, jumlah orang yang akan melakukan kegiatan
mappada atau mattampa disesuaikan dengan tingkat kebangsawanan
orang yang akan ripada.
Kalau orang yang akan ripada atau ritampai tersebut tergolongbangsawan tinggi, maka pattampa berjumtah 12 orang,bangsawan menengah enam orang, dan masyarakat biasa empatatau dua orang. (Mammi’ Fitri)
g. Mappasau (mandi sauna) yaitu beberapa hari sebelum pesta pernikahan
dilaksanakan, calon mempelai wanita dirawat dengan cara mappasau
(mandi uap). Tujuan adalah agar keringat dan bau badan menjadi segar.
Setiap mandi pagi atau petang diharuskan memakai bedda lotong (bedak
hitam) yang terbuat dari beras yang digoreng sampai hangus lalu
ditumbuk sampai halus. Disamping itu, selama beberapa hari sebelum
pesta pernikahannya, calon mempelai wanita diharuskan selalu memakai
71
bedak basah atau lulur. Hal ini dilakukan agar kulit calon mempelai
wanita kelihatan bercahaya.
Dalam masyarakat Bugis Bone ada semacam kepercayaan bahwacalon mempelai itu mudah terkena bahaya yang disebutraporaponna (rentang dengan bahaya), karena itu maka itu keduacalon pengantin melakukan prosesi ini sebagai tolak bala.(Mammi’ Fitri)
Dahulu kala ritual ini dilaksanakan selama 40 hari, dewasa inihanya 3 hari atau 7 hari atau malah hanya 1 kali sebelum acaratudampenni atau mappacci. (Andi Immank)
h. Cemme passili (mandi tolak bala) dilakukan sebagai permohonan
kepadaAllah SWT agar dijauhkan dari segala macam bahaya. Acara ini
dilaksanakan pada pagi hari ketika matahari mulai muncul di sebelah
timur. Cemme passili dilakukan oleh calon mempelai laki-laki dan
calon mempelai wanita untuk memasuki acara - mappacci pada malam
harinya.
Tata cara pelaksanaannya dipandu oleh indo' botting (juru rias
pengantin) dengan mendudukkan calon mempelai di atas sebuah kelapa
yang masih utuh yang diletakkan di atas loyang besar. Calon mempelai
memakai baju dan sarung yang baru yang sebentar akan diserahkan
kepada indo' botting yang memandikannya. Selama prosesi mandi tolak
bala itu berlangsung, lilin (dahulu pesse pelleng) harus selalu manyala.
Air yang akan digunakan untuk cemme passili harus dilekke
(diambil) dengan suatu acara khusus yang dilakukan oleh indo' botting.
72
Disamping itu, air yang akan dimandikan kepada calon mempelai
tersebut dicampur dengan ramuan-ramuan seperti yang dipakai pada saat
mandi sauna (mappasau). Dari beberapa sumber disebutkan bahwa sumber
air yang akan digunakan biasanya berasal dari beberapa sumur bersejarah
dan masih dianggap punya kelebihan (keramat) dibanding sumber air biasa.
Sumur yang dianggap suci di masyarakat Bone ini ada beberapa diantaranya
yaitu:
1) Bubung Manurungé disebut juga bubung Cemma yang terletak di jalan
Manurungé (tidak ada lagi)
2) Bubung Lassonrong disebut juga bubung Suwabeng terletak di sekitar
jalan Lassonrong sekarang jalan Irian.
3) Bubung Laccokkong yang terletak di sekitar jalan Serigala
dilingkungan Laccokkong Kel. Watampone
4) Bubung Lagaroang yang terletak di Kelurahan Bukaka
Adapun bahan-bahan yang akan digunakan adalah:
• Daun sirih simbol harga diri
• Daun serikaja simbol kekayaan
• Daun waru simbol kesuburan
• Daun tebu simbol kenikmatan
• Daun ta’baliang simbol penangkis bala
• Bunga cabbéru simbol keceriaan
• Daun cangadori simbol penonjolan
73
• Maja alosi atau mayang pinang
Kedelapan bahan tersebut dimasukkan ke dalam gentong atau
loyang terbuat dari tanah liat sebagai simbol lekat atau saling melengket
yang telah dialasi dengan semacam tikar yang disebut okkong atau
appereng sebagai simbol jalinan kebersamaan. Setelah semuanya siap
maka dilakukanlah penyiraman pertama yang dilakukan oleh indo’ botting
dengan membaca Basmalah kemudian dilanjutkan dengan membaca
beberapa doa kiranya Allah SWT senantiasa memberikan berkah –Nya
kepada calon mempelai.
Penyiraman dimulai dengan: Kepala 3x kemudian selangkah atau
bahu kanan 3x. Bahu kiri 3x, punggung dan seluruh badan sebanyak 3x,
sesudah indo’ botting mempersilahkan kepada sesepuh atau keluarga
lainnya untuk melakukan hal yang sama. Setelah selesai maka air itu pun
dipercikkan ke arah luar pintu rumah dengan maksud agar semua yang
tidak baik keluar pula melalui pintu. Sesudah cemme passili’ atau
mappassili’ selesai maka calon mempelai baik itu laki-laki maupun
perempuan disilakan mandi seperti biasa.
Calon mempelai perempuan kemudian memakai:
• Waju tokko warna merah jambu
• Lipa’ sabbé warna hijau dan perhiasan sekedarnya.
Calon mempelai pria bisa memakai:
• Waju belladada (warna tidak ditentukan)
74
• Lipa’ sabbé yang serasi
• Songko’ pamiring
Dahulu, masyarakat Bugis menggunakan air dari sumur yangdianggap keramat. Tetapi sekarang karena hal seperti itu sulituntuk dilakukan, maka orang yang akan melakukan cemmepassili cukup mengambilnya dari sumber air yang ada dalamrumah. (Abidin)
i. Mappacci berasal dari kata pacci (daun pacar) yaitu semacam tumbuhan
yang oleh orang Bugis daunnya biasa digunakan sebagai belo kanuku
(hiasan atau pemerah kuku), terutama pada saat memasuki bulan
ramadhan. Kemudian dari kata pacci dikonotasikan menjadi kata paccing
(bersih atau suci) yang diyakini akan memiliki makna bagi kedua calon
mempelai. Dengan demikian acara mappacci mempunyai arti simbolis
yaitu kebersihan dan kesucian sebagai suatu unsur yang sangat diperlukan
sebelum memasuki acara puncak dari prosesi perkawinan.
Acara mappacci disebut juga tudampenni (duduk malam) dilaksanakan
di rumah masing-masing calon mempelai pada malam hari sebelum
pelaksanaan resepsi pernikahan yang disebut tudabbotting (duduk
pengantin) pada malam berikutnya. Pelaksanaan acara mappacci ini hanya
dihadiri oleh kerabat, keluarga dan tetangga terdekat kedua calon
mempelai. Sebelum acara mappacci atau tudampenni dilaksanakan, pada
sore harinya keluarga kedua calon mempelai melakukan kegiatan yang
disebut mallekke' pacci (pengambilan daun pacci/pacar). Kalau calon
75
mempelai tersebut adalah keturunan bangsawan, maka tempat malekke'
pacci dilakukan di rumah raja atau pemangku adat. Sedangkan bagi calon
mempelai yang hanya berasal dari orang kebanyakan (masyarakat biasa),
maka tempat mallekke pacci dilakukan dirumah kerabat terdekatnya saja.
Apabila calon mempelai berasal dari keturunan bangsawan, maka
yang melakukan mallekke' pacci adalah keluarga yang terdiri atas pria dan
wanita, tua, muda, dengan pakaian adat lengkap. Iring-iringannya adalah
sebagai berikut:
1. Pembawa tombak
2. Pembawa tempat sirih
3. Pembawa bosara yang berisi kue-kue
4. Pembawa daun pacci yang dipayungi dengan lellu
5. Pembawa alat bunyi-bunyian berupa gendang, gong, anabbeccing
dan lain-lain.
Apabila calon mempelai tersebut berasal dari orang kebanyakan,
maka yang akan melakukan mallekke' pacci cukup satu atau dua orang
keluarga terdekatnya juga dengan pakaian adat lengkap. Langsung
melakukannya di rumah kerabat calon mempelai atau langsung
mengambil daun pacci dari pohonnya.
Acara mappacci oleh masyarakat Bugis diyakini mengandungmakna simbolis kebersihan dan kesucian bagi calon mempelaibaik laki-laki maupun perempuan. Artinya baik calon mempelailaki-laki rnaupun calon mempelai wanita dianggap masih suci dan
76
bersih, oleh karena itu bagi calon mempelai yang berstatus jandaatau duda, tidak lagi ada acara mappacci. (Abidin)
Kebiasaan lain masyarakat Bugis Bone yaitu akan menggelarBarasanji pada saat mengadakan hajatan baik itu berupaperkawinan, pemakaman, selamatan kelahiran atau acara ritualsemacamnya, jika pada upacara perkawinan maka pembacaanBarasanji diadakan dan diikuti dengan upacara mappaenretemme’yang dirangkaikan dalam upacara malam mappaci. (AndiImmank)
j. Mappaenre botting sebagai acara puncak prosesi perkawinan adalah saat
mappaenre botting yaitu mempelai laki-laki diantar ke rumah mempelai
wanita. Pada hari itu orang Bugis menyebutnya mata gau' (puncak acara),
atau biasa juga disebut sebagai esso appabbottingeng (hari pengantin).
Orang-orang yang mengantar mempelai laki-laki ke rumah mempelai
wanita disebut pampawa botting (pengantar pengantin) yang terdiri dari
laki-laki dan perempuan dengan pakaian adat.
Setelah berada di depan rumah mempelai wanita, mempelai laki-laki
bersama pengiringnya dijemput oleh keluarga perempuan yang berjumlah
empat orang atau lebih terdiri dari laki-laki atau perempuan. Mereka
berpakaian adat dan membawa sirih pinang (sekarang rokok) atau benda
apa saja sebagai tanda bahwa mempelai laki-laki berserta rombongannya
telah diperkenankan memasuki rumah mempelai wanita. Sedangkan dari
calon mempelai laki-laki membawa leko' (sirih pinang). Mappaenre leko'
biasanya dilakukan dua kali, pertama pada acara mappasiarekeng atau
77
meppetu ada yang disebut leko' caddi: Kedua pada acara mappaenre
botting atau acara pernikahan yang disebut leko' lompo. Perbedaannya
hanya dari segi jumlah barang yang dibawa, yaitu leko' caddi jumlahnya
sedikit, sedangkan leko lompo jumlahnya banyak dan lebih lengkap.
Misalnya, kalau calon mempelai wanita adalah keturunan bangsawan
tinggi, maka jumlah bosara yang berisi kue-kue tradisional sebanyak
14 buah. Disamping itu, bosara yang jumlahnya 12 atau 14 buah berisi
kue-kue tradisional seperti onde-onde, cucuru' te'ne, baje', dodoro',
doko'doko' utti, dan sebagainya. Selanjutnya alat-alat kecantikan, alat-alat
untuk mandi, pakaian dan perhiasan sesuai kemampuan pihak laki-laki.
Sedangkan bagi orang biasa jumlahnya hanya sampai 12 buah. Bahkan
ada yang mengharuskan calon mempelai laki-laki membawa dua ekor
ayam (jantan dan betina) yang oleh orang Bugis disebut pattampa baja
(pengundang siang).
Sementara di depan pintu rumah mempelai wanita berjejer
sejumlah penjemput laki-laki dan perempuan dengan pakaian adat.
Seorang perempuan tua menunggu di pintu sambil menebarkan beras
ke arah mempelai laki-laki dituntun menuju lamming (pelaminan)
yang telah tersedia dan para pengiringnya disilahkan mengambil
tempat untuk duduk. Beberapa saat kemudian, akad nikahpun dimulai
dengan tuntunan wali atau pegawai syara' yang ditunjuk sebagai wakil
dari orang tua mempelai wanita. Dengan menggenggam tangan imam,
78
pengantin laki-laki mengulangi ikrar-wajib sesuai ketentuan agama
Islam, kemudian menandatangani buku nikah. Imam menanyakan apa
bentuk mahar dan kadang-kadang seorang imam juga menanyakan
uang belanja dan dicatat oleh pegawai KUA. Salah seorang wali
pengantin laki-laki menyerahkan uang belanja kepada keluarga
mempelai wanita. Setelah mengucapkan ijab qabul (akad nikah) dan
proses penyerahan mahar dan uang belanja dari wali pengantin laki-
laki kepada keluarga pengantin perempuan, maka mempelai laki-laki
dituntun oleh seorang laki-laki yang berpengalaman masuk ke kamar
mempelai wanita untuk makkarawa (memegang) bahagian-bahagian
tubuh mempelai wanita sebagai tanda bahwa keduanya sudah sah
untuk bersentuhan.
Tetapi menurut adat kebiasaan, pemegang kunci pintu kamar
mempelai wanita tidak akan membuka pintu sebelum diberi uang oleh
pengantar mempelai laki-laki yang disebut pattimpa tange' (pembuka
pintu). Begitu pula ketika mempelai laki-laki telah berada dalam
kamar, tidak akan lagi dibukakan kelambu sebelum mengeluarkan
uang yang disebut pattimpa boco' (pembuka kelambu). Setelah
semuanya dipenuhi oleh pengantar mempelai laki-laki, barulah
mempelai laki-laki diperkenankan duduk dekat pengantin wanita
untuk melakukan sentuhan yang dipandu oleh pengantar. Menurut
kebiasaan, pengantar mempelai laki-laki berusaha untuk mengarahkan
79
mempelai laki'-laki agar dapat menyentuh bagian tubuh mempelai
wanita yang dianggap memiliki makna simbolis.
Kemudian mempelai laki-laki memasangkan cincin di jari
pengantin wanita dan duduk disampingnya selama beberapa saat
sebelum mereka dipandu kembali untuk menyalami orang tua
pengantin wanita.
Pengantin laki-laki berusaha menyentuh ubun-ubun mempelaiwanita atau bagian leher dengan harapan setelah menjadi isteriyang sah akan selalu tunduk kepada suaminya. Ada pula yangmaraba perut, dengan harapan bahwa kehidupannya kelah akanmengalami kesulitan. Oleh masyarakat Bugis/Makassar, begitupula masyarakat Mandar menyakini bahwa sentuhan pertamasang suami akan menentukan berhasil tidaknya membina rumahtangga dikemudian hari. (Mammi’ Fitri)
k. Mapparola yaitu acara mempelai perempuan diantar oleh keluarga dan
sanak saudaranya ke rumah mempelai laki-laki. Pelaksanaannya biasanya
setelah acara akad nikah biasanya dua atau tiga jam setelah kedatangan
pengantin laki-laki atau keesokan harinya, dengan pakaian seperti pada
hari pernikahan. Acara perkawinan tersebut berpindah dari rumah
mempelai perempuan ke rumah mempelai laki-laki yang dihadiri oleh para
undangan. Sebagai tanda syukur pihak keluarga pengantin laki-laki
kembali mappaota (memberi sesuatu) kepada mempelai perempuan.
Ketika rombongan pengantin wanita tiba dirumah pengantin laki-laki,
pengantin wanita belum boleh meninggalkan kendaraan yang
80
ditumpanginya sampai mertuanya datang menjemputnya. Pihak pengantin
wanita akan mengiringi pasangan baru itu sebelum diterima dan
dipersilahkan duduk seperti tata cara yang dilakukan pihak perempuan
ketika menerima pihak laki-laki. Sesaat sebelum pengantar pengantin
wanita pergi maka pengantin perempuan akan membawa pemeberian
sarung kepada ibu pengantin laki-laki dan menyerahkan sarung itu
kepadanya.
Orang tua pengantin wanita dalam masyarakat Bugis Bone tidakpernah ikut kerumah besannya karena dianggap tidak patut bagimereka untuk mengunjungi menantu barunya sampai pihak laki-laki telah mengunjungi mereka dalam acara Massita baiseng (AndiImmank)
l. Resepsi, apabila resepsi dilakukan pada malam itu juga, dan
diselenggarakan pihak pengantin wanita di ruang resepsi atau oleh kedua
belah pihak di tempat yang disewa. Jika pihak wanita melangsungkan
resepsi siang dan resepsi malam, maka pihak pengantin pria akan
melaksanakan respsi pada hari berikutnya.
m. Menginap tiga malam dan pertemuan antar besan yaitu pada hari ketiga,
kedua mempelai kembali ke rumah mempelai perempuan, tetapi tidak lagi
berpakaian pengantin. Begitu pula pengantarnya tidak lagi seramai ada
saat mappaenre botting dan mapparola. Baik mempelai maupun
pengantar yang dalam bahasa Bugis disebut pampawa, semuanya
berpakaian biasa.
81
Pada malam harinya orang tua mempelai laki-laki datang ke rumah
mempelai perempuan massita baiseng (menemui besan). Kemudian pada
hari keempat, kedua mempelai kembali ke rumah mempelai laki-laki
untuk mabbenni tellumpenni (bermalam tiga malam). Pengantarnya hanya
terdiri dari keluarga dekat pengantin perempuan seperti orang tua atau
saudaranya. Tetapi sekarang ini pada umumnya mabbenni tellumpenni itu
hanya dilaksanakan satu malam saja.
Dengan selesainya prosesi tersebut, maka selesailah sudah rangkaian acara
perkawinan dan kedua pasang suami isteri tersebut siap memulai hidup baru. Acara-
acara lainnya seperti kunjungan keluarga, ziarah kubur dan lain-lain, dilaksanakan
berdasarkan kesepakatan antara keduanya. Berikut tahapan prosesi perkawinan adat
Bugis Bone yang ditampilkan dalam bentuk tabel:
Tahap perkawinan Kegiatan yang dilakukan
Prosesi Pelamaran
Mammanu-manu Prosesi mencarikan jodoh dari keluarga laki-laki
MassuroSetelah mendapatkan pilihannya maka dilakukan pelamaranke keluarga perempuan
Mappettu ada Membicarakan kesepakatan mengenai hari pernikahan,sompa, dan doi' balanca
Mappasiarekeng Menyepakati kembali apa yang telah dibicarakan padatahap mappettu ada, juga memasangkan cincin kepadapengantin perempuan
Tabel 4.1 Tahapan Prosesi Lamaran Pada Perkawinan Adat Bugis BoneSumber : Hasil Olahan Data Primer, Tahun 2012
82
Tahap perkawinan Kegiatan yang dilakukan
Prosesi sebelum akad nikah
Mappada Memberi Informasi kepada kerabat dan keluarga tentangakan dilaksanakannya pesta pernikahan
Mappasau Mandi uap yang dilakukan oleh pengantin perempuan
Cemme passili Mandi tolak bala yang dilaksanakan kedua mempelai sebelum malam mappaci
Mappacci Sebagai malam renungan bagi calon pengantin juga bermakna sebagai prosesi prosesi penyucian kepada calonpengantin
Tabel 4.2 Tahapan Prosesi Sebelum Akad Nikah Pada Perkawinan Adat BugisBone
Sumber : Hasil Olahan Data Primer, Tahun 2012
Tabel 4.3 Tahapan Akad Nikah pada Prosesi Perkawinan Adat Bugis BoneSumber : Hasil Olahan Data Primer, Tahun 2012
Tahap perkawinan Kegiatan yang dilakukan
Tahap akad nikah
Mappaenre botting
Mengantar pengantin laki-laki ke rumah pengantin perempuan, prosesi ijab kabul, dan juga membawa sompa, leko', dandoi' balanca
Mappasikarawa
Mempertemukan pengantin laki-laki dan pengantin perempuan, pengantin laki-laki menyentuh pengantin perempuanuntuk pertama kalinya
83
Tahap perkawinan Kegiatan yang dilakukan
Prosesi setelah akad nikah
MapparolaKunjungan balasan pengantin perempuan ke rumah pengantinlaki-laki
Resepsi Menjamu keluarga dan kerabat dalam sebuah pesta
Menginap tiga malam
Pada malam ketiga kedua mempelai kembali kerumahmempelai perempuan dan bermalam tiga hari selanjutnyapada malam keempat pengantin kembali kerumah laki-lakidan juga bermalam tiga malam
Tabel 4.4 Prosesi Setelah Akad Nikah Pada Prosesi Perkawinan Adat BugisBone
Sumber : Hasil Olahan Data Primer, Tahun 2012
C. Makna Pesan Simbolik Dalam Upacara Perkawinan Adat Bugis Bone
Prosesi perkawinan adat Bugis Bone sarat akan pesan simbolik yang
mengandung makna dari setiap prosesinya, baik itu verbal maupun non verbal selaras
dalam setiap prosesinya. Berikut hasil eksplorasi penulis mengenai makna prosesi
simbolik pada perkawinan Bugis Bone.
a. Mappettu ada
Beberapa gambar akan membantu penulis dalam mendiskripsikan makna dari
prosesi-prosesi yang terangkai dalam acara mappettu ada.
84
Gambar 4.1: Prosesi mappettu ada, kedua keluarga saling berunding mencapaikesepakatan bersama.
Sumber: Data Primer, diperoleh pada tahun 2012
Pada gambar 4.1 pertemuan dari keluarga calon mempelai wanita
menyambut pelamaran keluarga calon mempelai laki-laki, dalam situasi diatas
pesan verbal yaitu baik tulisan maupun bahasa digunakan. Sedangkan dalam
pesan non verbal yaitu kedekatan dan ruang yang mencakup wilayah sosial
yaitu kedekatan yang berjarak antara 4 sampai 12 kaki, masih simbol non
verbal kedekatan dan ruang dari segi terrritory dari sudut ruang dan posisi
pertemuan ini mempunyai posisi saling berhadapan dimana untuk
menyampaikan lamaran dan berunding diantara dua keluarga dapat berlangsung
efektif. Selain dari kedekatan dan ruang pesan non verbal yang ada pada situasi
gambar diatas yaitu paralanguage digunakan pada saat masing-masing utusan
kedua belah pihak keluarga saling berbalas sajak atau pantun dalam melamar
sang calon pengantin wanita.
85
Gambar 4.2: Prosesi pemasangan cincin kepada calon mempelai wanita darikeluarga calon mempelai laki-laki
Sumber: Data Primer, diperoleh pada tahun 2012
Pada gambar 4.2 pesan non verbal yang terdapat pada situasi ini yaitu artifak
dan visualisasi dimaksudkan sebagai pemasangan cincin emas dari calon pengantin
laki-laki kepada calon pengantin perempuan yang disebut juga sebagai passeo’ pada
masyarakat Bugis Bone sebagai tanda ikatan calon mempelai laki-laki kepada calon
mempelai wanita.
b. Mappassau
Gambar 4.3: prosesi mappasau, pengantin perempuan duduk diatas sebuah tungkulalu ditutupi selembar sarung
Sumber: Data Primer, diperoleh pada tahun 2012
86
Pada prosesi mappassau seperti gambar diatas, peralatan yang
digunakan yaitu belanga yang terbuat dari tanah liat, belanga tersebut berisi
air yang dicampur dengan ramuan, seperti daun sukun, daun pandan, rampa
patappulo (rempah 40 macam) dan akar-akar yang harum. Belanga yang
berisi air dan ramuan tersebut ditutup mulutnya dengan daun pisang dan
diletakkan di atas tungku. Setelah mendidih, belanga tersebut diangkat dan
diletakkan disuatu tempat, kemudian calon mempelai wanita disuruh untuk
berdiri diatasnya dengan berselimut sarung.
c. Cemme passili
Gambar 4.4: Prosesi cemme passili calon pengantin dimandikan oleh indo’ bottingdengan menggunakan rempah-rempah yang mengandung makna simbolis
Sumber: Data Primer, diperoleh pada tahun 2012
Pada saat acara mappasau dan cemme passili makna dari simbol non verbal
yang pada prosesi ini adalah bau, dimana perlengkapan dari prosesi mappasau dan
cemme pasili yaitu terdiri dari rempah-rempah, akar-akaran, dan bunga-bungaan yang
mengeluarkan bau harum, pada masyarakat Bugis Bone dipercaya dapat menolak
87
bala kepada sang calon pengantin. Karena dalam kepercayaan masyarakat Bugis
Bone, bahwa calon mempelai itu mudah terkena bahaya yang disebut raporaponna.
d. Mappacci
Gambar 4.5: Keluarga pengantin memberikan daun pacci ditangan pengantinSumber: Data Primer, diperoleh pada tahun 2012
Dalam prosesi mappacci, pesan vebal seperti bahasa, yang digunakan
protokoler acara untuk membimbing jalannya acara dimalam mappacci.
Biasanya dengan menguraikan satu persatu makna simbolik dari berbagai
kelengkapan mappacci, juga memanggil orang-orang yang telah dipilih oleh
keluarga calon pengantin untuk memberi daun pacar ditangan pengantin pada
malam mappacci. Adapun simbol non verbal pada prosesi mappacci yaitu:
a. kinesik, yaitu pada saat calon pengantin menengadahkan telapak tangannya
keatas yang memberi isyarat bahwa calon pengantin siap diberikan daun pacar,
affect displays tidak jarang pada malam mappacci sang calon pengantin
meneteskan air matanya karena perasaan haru pada saat orang tua sang calon
pengantin memberi daun pacar ketangan calon pengantin,
88
b. Paralanguage pada saat protokol memberi penekanan-penekanan dalam
menguraikan makna dari acara malam mappacci.
c. Diam, calon pengantin tidak diperbolehkan berbicara selama prosesi ini
berjalan diharapkan sang calon pengantin bersikap mallebi’.
d. Waktu, mappacci umumnya diadakan pada malam hari yaitu dengan maksud
sebagai malam renungan bagi sang calon pengantin untuk menghadapi
kehidupan yang baru pada esok harinya setelah upacara akad nikah.
e. Bunyi, pada malam mappaci yaitu adanya tabuhan gendang dan tui-tui (alat
kesenian tiup dari Sulawesi selatan) pada saat pembawa lilin menjemput orang
tua yang akan memberi daun pacar kepada calon pengantin.
f. Artifak dan visualisasi, berikut makna dari simbol ini:
Pucuk daun pisang yang diletakkan diatas bantal, melambangkan
kehidupan yang berkesinambungan, sebagaimana keadaan pohon
pisang yang setiap saat terjadi pergantian daun. Bagi masyarakat Bugis
diartikan sebagai kelanjutan keturunan.
Sarung Bugis (lipa sabbe) sebanyak tujuh lembar diletakkan secara
berlapis-lapis di atas pucuk daun pisang, melambangkan martabat atau
harga diri, karena sarung bagi orang Bugis/Makassar di Sulawesi
Selatan dan juga bagi orang Mandar di Sulawesi Barat, merupakan
penutup aurat. Tujuh lembar mengandung makna kebenaran, yakni tuju
dalam bahasa Bugis berarti benar, mattujui berarti berguna.
89
Berdasarkan pengertian ini, para keluarga calon mempelai
mengharapkan setelah melangsungkan perkawinan, pada hari-hari
mendatang keduanya berguna baik bagi dirinya sendiri, maupun
terhadap keluarga dan orang lain.
Bantal yang terbuat dari kain, berisi kapuk atau kapas, sebagai alas
kepala pada saat tidur, melambangkan kesuburan.
Daun nangka yang dihubung-hubungkan satu sama lainnya sehingga
berbentuk tikar bundar, diletakkan diatas tujuh lembar sarung tadi.
Daun panasa oleh orang Bugis menghubungkan dengan kata menasa
(cita-cita atau pengharapan). Hal ini mengandung makna agar calon
mempelai nantinya setelah menikah memiliki pengharapan untuk
membina rumah tangga dalam keadaan sejahtera dan murah rezeki.
Benno (kembang beras) ditaruh dalam sebuah piring dan diletakkan
berdekatan dengan tempat.daun pacci. Benno memiliki makna agar calon
mempelai nantinya setelah berumah tangga dapat berkembang dan
berketurunan yang dilandasi cinta kasih, penuh kedamaian dan
kesejahteraan.
Pesse' pelleng yaitu alat penerang masa lalu sebelum orang mengenal
minyak bumi dan listrik yang terbuat dari kemiri yang ditumbuk halus dan
dicampur dengan kapas agar mudah direkatkan pada lidi. Dewasa ini
karena pesse' pelleng sudah sulit untuk ditemukan, maka orang
90
menggantinya dengan lilin. Lilin itu ditetakkan berdekatan dengan tempat
benno dan daun pacci, yang mengandung makna agar calon mempelai
dalam menempuh masa depannya senantiasa mendapat petunjuk dari Al-
lah SWT.
e. Mappaenre Botting
Gambar 4.6: prosesi mappaenre botting, kedatangan pengantin laki-laki disambutdengan tari-tarian dari keluraga pengantin perempuan
Sumber: Data Primer, diperoleh pada tahun 2012
Gambar 4.6 menggambarkan pada saat calon mempelai laki-laki tiba di rumah
calon mempelai wanita disambut dengan tarian paddupa diiringi tabuhan gendang
dan alat musik tui-tui. Sementara beberapa pampawa botting dari calon pengantin
pria terlihat membawa leko’ dan sompa, untuk diberikan kepada calon pengantin
wanita. Makna simbolik yang ada pada gambar diatas artifak dan visualisasi, dan
bunyi. Makna dari leko’ tersebut adalah segala bentuk pengahargaan dari calon
pengantin laki-laki kepada calon pengantin wanita. sedangkan makna dari bunyi tui-
tui dan tabuhan gendang yaitu iringan musik tari padduppa yang diartikan sebagai
tari tradisional Bugis Makassar yang ditujukan untuk memberikan sambutan kepada
tamu atau pejabat yang hadir dalam suatu acara dalam hal ini acara perkawinan.
91
Adapun makna simbolik lainnya yaitu waktu prosesi mappaenre botting harus digelar
sebelum matahari berada pada puncaknya.
Diharapkan rejeki dan kehidupan rumah tangga si pengantin akan terusmeningkat seperti matahari yang terus naik ke puncaknya, maka dari itubiasanya orang Bugis Bone melangsungkan akad nikah pada jam 10 pagi dandan tidak boleh melewati jam 12 siang. (Mammi Fitri)
g. Akad nikah
Gambar 4.7: Prosesi ijab kabul pengantin laki-laki dihadapan penghuluSumber: Data Primer, diperoleh pada tahun 2012
Pada gamabar 4.7 yaitu pada prosesi ijab qabul sang calon pria menggenggam
tangan penghulu dan disaksikan oleh wali laki-laki dari calon pengantin wanita
beserta seluruh keluarga yang menghadiri prosesi akad nikah, simbol verbal yang di
ucapkan baik dari penghulu maupun dari mempelai laki-laki yaitu berupa ikrar
pernikahan. Ijab qabul merupakan syarat sah dalam sebuah pernikahan, seperti halnya
sebuah transaksi, maka ijab qabul merupakan transaksi suci dan sakral yang
langsung berhubungan dengan Allah SWT. Sebuah pernyataan permintaan dan
penerimaan yang menyangkut sepanjang kehidupan pengantin, khusunya pengantin
perempuan yang dimintakan oleh pengantin pria kepada ayah sang pengantin
92
perempuan. Dalam prosesi verbal telah diucapkan secara lisan oleh mempelai laki-
laki, maka simbol non verbal pada prosesi ini yaitu paralanguage adanya
penekenan-penekan suara yang disampaikan penghulu kepada mempelai pria pada
saat membimbing ijab qabul dan juga touching atau sentuhan, makna non verbal
menggenggam tangan antara mempelai penganti laki-laki dan penghulu adalah
sebuah simbol dimana pengantin laki-laki memohon restu untuk menikahi calon
pengantin wanita dan berikrar baik dihadapan wali calon pengantin wanita dan
seluruh keluarga yang menghadiri prosesi tersebut tetapi juga berikrar dihadapan
Allah SWT beserta malaikatnya yang turut menyaksikan prosesi tersebut.
Gambar 4.8: Penyerahan doi’ balanca dan sompa dari keluarga pengantin laki-lakikepada keluarga pengantin prempuan
Sumber: Data Primer, diperoleh pada tahun 2012
Setelah pengantin laki-laki mengucapkan ijab kabul maka keluarga dari
mempelai laki-laki menyerahkan doi’ balanca dan sompa kepada keluarga pengantin
perempuan. Adapun lise sompa berisi dari sejumlah barang yang memiliki makna
simbolis yang dipercaya membawa kebaikan bagi pasangan pengantin dikemudian
hari, berikut makna artifak dan visualisasi dari barang-barang lise’ sompa tersebut:
93
Beras, merupakan lambang perbekalan rumah tangga
Keping-kepingan panci goreng, sesuatu yang sudah tua, namun masih
kuat, tahan lama, meski terbentur keras
Sepotong kunyit, hadiah obat yang sering digunakan untuk bayi, juga
kepada orang tua yang baru melahirkan
Buah pala, simbol kesuksesan
Kayu manis, simbol keharmonisan rumah tangga, satu keluarga
dengan anak kesayangan tanpa ada percekcokan
Jarum, simbol kemampuan menambal hal-hal secara adil penuh
hormat dan kejujuran
Keranjang kecil dan daun lontar, sebagai simbol persatuan,
sebagaimana barang itu disimpan dalam satu keranjang
Secarik kain keset, simbol bahwa pengantin laki-laki menyiapkan
segala kebutuhan sehingga kemudian, ketika pasangan pengantin
bertengkar maka sang istri tidak bisa mengatakan pada suaminya “bila
engkau menikahi saya, kamu bahkan tidak membawakan saya
pengeset kaki”
Buah nangka, simbol cinta
Daun penno-penno, simbol banyak uang
Pisau, simbol kelahiran anak
Selembar uang, tidak kekurangan uang
94
Belanga, simbol kemudahan dan kecukupan
h. Mappasikarawa
Gambar 4.9: Prosesi mappasikarawa yang dilakukan sang pengantin, indo’ bottingmemberi bau-bauan kepada sepasang pengantin
Sumber: Data Primer, diperoleh pada tahun 2012
Setelah akad nikah selesai maka dilanjutkan dengan acara mappasiluka atau
mappasikarawa. Acara ini merupakan kegiatan mempertemukan mempelai laki-laki
dengan pasangannya. Pengantin laki-laki diantar oleh seseorang yang dituakan oleh
keluarganya menuju kamar pengantin perempuan. Setiba di kamar, oleh orang yang
mengantar menuntun pengantin laki-laki untuk menyentuh bagian tertentu tubuh
pengantin perempuan. Ada beberapa variasi bagian tubuh yang disentuh, antara lain:
Ubun-ubun, memegang bahkan menciumnya agar laki-laki tidak
diperintah oleh istrinya.
Bagian atas dada, agar kehidupan keluarga dapat mendatangkan rezeki
yang banyak seperti gunung.
Jabat tangan atau ibu jari, diharapkan nantinya kedua pasangan ini saling
mengerti dan saling memaafkan.
95
Ada yang memegang telinganya dengan maksud agar istrinya dapat
senantiasa mendengar ajaran suaminya.
Adapula yang langsung mencium aroma harum istrinya seperti tradisi
yang dilakukan di Arab Saudi.
Dari penjelasan makna simbolik prosesi mappasiluka atau mappasikarawa
pada gambar 4.8 maka jelas pesan non verbal pada prosesi ini yaitu kedekatan dan
ruang dari segi territory, sentuhan dan bau.
i. Mapparola
Gambar 4.10: Pengantin perempuan membawa sarung yang diserahkan kepadamertuanya
Sumber: Data Primer, diperoleh pada tahun 2012
Makna non verbal artifak dan visualisasi disimbolkan dengan pemberian
sarung dari pengantin perempuan kepada mertuanya yang diartikan pengantin
perempuan memberikan penghargaan dan kasih sayangnya kepada orang tua
suaminya. Dengan kegiatan ini diharapkan kedua pasangan ini mampu mencurahkan
kasih sayangnya kepada orang tua tanpa ada perbedaan, sehingga kehidupan rumah
96
tangganya senantiasa dinaungi oleh keridhoan orang tua yang berujung kepada
keridhoan Allah SWT.
j. Resepsi atau Tudang Botting
Gambar 4.11: Tamu undangan memberi selamat kepada sepasang pengantin padaprosesi tudang botting
Sumber: Data Primer, diperoleh pada tahun 2012
Makna simbolik yang ada pada acara resepsi atau tudang botting yaitu
kedekatan dan ruang dari segi wilayah umum yang ditunjukkan dari pasangan
pengantin duduk disebuah panggung yang juga disebut pelaminan yang telah dihias
oleh beragam perlengkapan perkawinan Bugis. Juga makna simbolik sentuhan dapat
dilihat ketika para tamu undangan yang datang akan langsung naik kepelaminan
untuk menyalami sepasang pengantin baru, yang juga berati memberi doa dan
restunya kepada sepasang pengantin agar kelak nantinya membangun keluarga yang
sakinah, mawaddah dan warohmah.
97
j. Baju Pengantin
Gambar 4.12: Baju pengantin adat Bugis BoneSumber: Data Primer, diperoleh pada tahun 2012
Pakaian pengantin adat Bugis terlihat lebih rumit dibandingkan pengantin dari
adat lainnya, baik dari pengantin wanita maupun pengantin laki-lakinya. Pakaian adat
pengantin Bugis Bone yang mengandung simbol artifak dan visualisasi, juga simbol
warna pada baju pengantin Bugis mempunyai makna tersendiri pada masyarakat
Bugis Bone, berikut uraian dari setiap detail pakaian pengantin tersebut:
1. Pakaian pengantin pria terdiri atas:
a. Baju bella dada
b. Tope yaitu sejenis sarung yang modelnya sama
dengan rok wanita, pinggirnya dihiasi denga emas
atau perak
98
c. Sigara' yaitu hiasan penutup kepala
d. Passapu dengan ambara yaitu sapu tangan dengan
hiasannya
e. Keris pasattimpo atau tatarapeng yaitu hulu dan
sarungnya terbuat dari emas atau perak
f. Potto naga yaitu gelang tangan yang berbentuk
ular naga
g. Sembang atau selempang
h. Sulara (celana)
i. Talibennang yaitu pengikat keris
j. Maili yaitu sejenis mainan yang tergantung pada
keris
2. Pakaian dan Perhiasan Mempelai Wanita terdiri atas:
a. Waju ponco (baju bodo) yang dihiasi rante patimbang toboro
b. Tope dengan rantenya
c. Passapu: selendang dengan mainannya
d. Sulara (celana)
e. Salepe (ikat pinggang)
f. Bossa atau kalaru: gelang bersusun atau getangan panjang
g. Lola: gelang tangan bagian atas atau bawah bossa atau kalaru
h. Geno mabbute (katung berantai)
i. Rante kote: kalung panjang yang diikatkan bila dipakai
99
j. Geno sibatu: kalung yang mainannya hanya satu
k. Sima'taiya: pengikat lengan baju
l. Bangkara': anting-anting panjang
m. Saloko: mahkota
n. Pinang goyang: hiasan sanggul berupa kembang yang goyang
o. Bunga eka: sunting rambut
p. Bunga simpolong: kembang sanggul,
q. Poddo simpolong: pembungkus sangkul
Setiap mempelai diiringi pula oleh bali botting atau passeppi yang
pakaiannya sama dengan mempelai, baik warna maupun modelnya. Dahulu, pakaian
adat dalam suatu upacara tertentu yang melambangkan suatu kehidmatan
mempunyai pembatasan dari segi warna utamanya bagi perempuan. Warna baju
bodo pada zaman dahulu dibatasi pemakainya, antara lain sebagai berikut:
warna hijau hanya untuk putri bangsawan
warna merah lombok atau merah darah untuk gadis remaja
warna merah tua untuk orang yang sudah kawin
warna ungu untuk janda
warna hitam untuk wanita yang sudah tua
warna putih untuk inang pengasuh
Sekarang ini tidak ada lagi pembatasan warna pakaian atauperlengkapan penganntin seperti jaman dahulu, sekarangtergantung dari selera pemakainya. Selain itu dalam masyarakatBugis Bone dikenal pula lipa' (sarung) yang coraknya lebar
100
(cure'lebba'). Pada umumnya lipa' (sarung) dipakai oleh wanitaatau laki-laki dengan tidak ada klasifikasi tentang bangsawanatau orang biasa”. (Mammi Fitri)
Demikian makna dari prosesi perkawinan adat Bugis Bone, simbol-simbol
yang terkandung dalam prosesi perkawinan adat Bugis Bone, baik yang tersirat
lewat tahapan pelaksanaannya, maupun lewat perangkat-perangkat kelengkapannya,
menggambarkan betapa tingginya nilai budaya yang diwariskan oleh leluhur kita
yang tentunya harus tetap dijunjung tinggi dan tetap dilestarikan. Untuk lebih
jelasnya berikut makna pesan simbolik yang disajikan dalam bentuk tabel:
Prosesi Simbol Bentuk Simbolik Makna
Mappettu ada Bahasa Pantun, Musyawarah Sebagai pengantar untuk menyampaikan maksuddari kelurga laki-laki kepada keluarga perempuan
Kedekatan dan ruang Posisi duduk Berunding untuk mencapai kesepakatanmengenai sompa, doi balanca, dan tanggalpernikahan
Paralanguage Pantun Berbalas sajak atau pantun bugis untukmeminang pengantin perempuan
Artifak dan visualisasi Cincin Pemasangan cincin sebagai tanda ikatan calonpeng ngantin laki-laki kepada calon pengantinperempuan
Tabel 4.5 Makna Pesan Simbolik Pada Prosesi Mappettu Ada Perkawinan AdatBugis Bone
Sumber : Hasil Olahan Data Primer, Tahun 2012
101
Prosesi Simbol Bentuk Simbolik Makna
Mappasau Bau Rampa patappulo Sebagai tolak bala kepada calon pengantin
Tabel 4.6 Makna Pesan Simbolik Pada Prosesi Mappasau Perkawinan AdatBugis Bone
Sumber : Hasil Olahan Data Primer, Tahun 2012
Prosesi Simbol Bentuk Simbolik Makna
Cemme Passili Bau Daun sirih Sebagai simbol harga diri
Daun waru Sebagai simbol kesuburan
Daun tebu Sebagai simbol kenikmatan
Daun ta'baliang Sebagai simbol penangkis bala
Daun Serikaja Sebagai simbol kekayaan
Daun cangadori sebagai simbol penojolan
Bunga cabberu Sebagai simbol penonjolan
Tabel 4.7 Makna Pesan Simbolik Pada Prosesi Cemme Passili PerkawinanAdat Bugis Bone
Sumber : Hasil Olahan Data Primer, Tahun 2012
102
Tabel 4.8 Makna Pesan Simbolik Pada Prosesi Mappacci Perkawinan AdatBugis Bone
Sumber : Hasil Olahan Data Primer, Tahun 2012
Prosesi Simbol Bentuk Simbolik Makna
Mappacci BahasaDigunakan protokoler untuk membimbing jalannya acaradimalam mappacci
Kinesik Menengadahkantangan keatas
Perasaan haru yang ditunjukkan dari pengantin ataupunkeluarga dari si pengantin
Paralanguage Penekanan-penekanan protokoler dalam menguraikanmakna mappacci
Diam Diharapkan calon pengantin bersikap malebbi'
Waktu Malam hari Sebagai malam renungan terakhir kepada calon pengantinuntuk menghadapi kehidupan yang baru
Bunyi Gendang, Tui-tui Iringan pembawa lilin untuk menjemput orang tuayang akan memberi daun pacci kepada pengantin
Artifak dan visualisasi Pucuk daun pisang Melambangkan kehidupan yang berkesinambungan
Lipa sabbe' Melambangkan martabat dan harga diri
Bantal Melambangkan kesuburan
Daun nangka Melambangkan kesejahteraan dan berlimpah rezeki
Benno' Melambngkan kasih sayang, kedamaian dan kesejahteraan
LilinDiharapkan calon pengantin dalam menempuh masadepannya akan selalu diberkahi oleh Allah SWT
103
Prosesi Simbol Bentuk Simbolik Makna
MappaenreBotting
Artifak dan visualisasi Leko' Segala bentuk penghargaan yang diberikan pengantin laki-lakikepada pngantin perempuan berupa leko’
Bunyi Gendang dan tui-tuiBunyi dari alat musik sebagai iringan musik tari padu ppauntuk memberi sambutan kepada keluarga pengantin laki-laki
Waktu Pagi hariDiharapkan rejeki dan kehidupan rumah tangga pengantinakan terus sejahtera seperti matahari naik kepuncaknya
Bahasa Ijab kabul Ikrar pernikahan yang diucapkan oleh pengantin laki- lakidihadapan penghulu, wali nikah, saksi beserta keluarga yanghadir
Paralanguage Adanya penekanan-penekan yang disampaikan penghulukepada calon pengantin laki-laki
Sentuhan Permohonan restu pengantin laki-laki untuk menikahipengantin perempuan
Artifak dan visualisasi Beras Merupakan lambang perbekalan rumah tangga
Keping-kepingan panci Sesuatu yang sudah tua, namun masih kuat, meski terbenturkeras
Sepotong kunyit Hadiah obat yang digunakan untuk bayi
Buah pala Simbol kesuksesan
Kayu manis Simbol keharmonisan rumah tangga
Jarum Simbol kemampuan menambal hal-hal secara adil
Keranjang kecil daunlontar
Sebagai simbol persatuan
Secarik kain keset Simbol pemenuhan kebutuhan
Buah nangka Simbol cinta
Daun penno-penno Simbol banyak uang
Pisau Simbol kelahiran anak
Selembar uang Tdak kekurangan uang
104
Tabel 4.9 Makna Pesan Simbolik Pada Prosesi Mappaenre Botting PerkawinanAdat Bugis Bone
Sumber : Hasil Olahan Data Primer, Tahun 2012
Tabel 4.10 Makna Pesan Simbolik Pada Prosesi Mappasikarawa DalamPerkawinan Adat Bugis Bone
Sumber : Hasil Olahan Data Primer, Tahun 2012
Tabel 4.11 Makna Pesan Simbolik Pada Prosesi Mapparola Dalam PerkawinanAdat Bugis Bone
Sumber : Hasil Olahan Data Primer, Tahun 2012Tabel 4.12 Makna Pesan
Belanga Simbol kemudahan dan kecukupan
Prosei Simbol Bentuk Simbol Makna
Mappasikarawa Kedekatan dan ruang Posisi duduk Mempertemukan pengantin untuk pertama kalinya dalamikatan perkawinan
Sentuhan Ubun-ubun Bermakna agar laki-laki tidak diperintah oleh istrinya
Bagian atas dada Agar kehidupan keluarganya mendatangkan rezeki yangbanyak
Jabat tangan Diharapakan sepasang pengantin saling mengerti danmemaafkan
Memegang telinga Agar istrinya senantiasa mendengar ajaran suaminya
Bau Diharapkan pengantin akan memiliki rasa senasibsepenanggungan dalam menjalani kehidupan rumahtangganya
Prosesi Simbol Bentuk Simbolik Makna
Mapparola Artifak danvisualisasi
Pemberian Sarung Sebagai simbol pengahrgaan dan kasih sayang daripengantin perempuan kepada orang tua suaminya
105
Prosesi Simbol Bentuk Simbolik Makna
Tudang Botting Kedekatan dan ruang Penataan tempat Penataan posisi tempat pengantin duduk menghadap tamuundangan, sebagai makna menjamu setiap tamu undanganyang datang
Sentuhan Jabat tangan Setiap tamu undangan akan menjabat tangan pengantinuntuk memberi doa dan selamat kepada sepasangpengantin baru
Tabel 4.12 Makna Pesan Simbolik Pada Prosesi Tudang Botting DalamPerkawinan Adat Bugis Bone
Sumber : Hasil Olahan Data Primer, Tahun 2012
Tabel 4.13 Makna Pesan Simbolik Pada Pakaian Pengantin Adat Bugis BoneSumber : Hasil Olahan Data Primer, Tahun 2012
D. Pembahasan
Sejalan dengan pendapat Clifford Geertz dalam (Sobur, 2003:178) yaitu
kebudayaan adalah sebuah sistem dari konsep-konsep yang diwariskan dan
diungkapkan dalam bentuk-bentuk simbolik melalui mana manusia berkomunikasi,
Prsesi Simbol Bentuk Simbolik Makna
Baju Pengantin Artifak danvisualisasi
Sebagai nilai estetika dan juga menunjukkan strata kepadapengantin yang memakainya
Warna Hijau Hanya untuk putri bangsawan
Merah lombok Untuk gadis remaja
Merah tua Untuk perempuan yang sudah menikah
Ungu Untuk perempuan janda
Hitam Untuk wanita yang sudah tua
Putih Untuk pengasuh
106
mengekalkan dan memperkembangkan pengetahuan tentang kehidupan ini dan
bersikap terhadap kehidupan ini.
Sebagai mahluk sosial dan juga sebagai mahluk komunikasi, manusia
menggunakan berbagai macam simbol, baik yang diciptakan oleh manusia itu
sendiri maupun yang berisfat alami. Pada dasarnya simbol-simbol tersebut terbagi
atas dua, yaitu simbol verbal dan non verbal. Pada kebudayaaan Bugis terdapat
banyak hal yang diungkapkan melalui simbol-simbol yang memiliki makna tertentu
yang hanya dapat dipahami oleh masyarakat suku Bugis itu sendiri. Pada prosesi
perkawinan adat dimana simbol-simbol yang terdapat didalamnya memiliki makna
tertentu yang diwariskan melalui sejarah. Pada dasarnya simbol dapat dibedakan
atas dua macam yaitu simbol verbal dan non verbal.
Simbol verbal dalam pemakaiannya menggunakan bahasa, bahasa dapat
didefinisikan sebagai separangkat kata yang telah disusun secara berstruktur
sehingga menjadi himpunan kalimat yang mengandung arti. Maka dalam seluruh
rangkaian prosesi perkawinan adat Bugis Bone menggunakan simbol verbal yaitu
bahasa, dimulai dari tahap pelamaran,sebelum akad nikah, akad nikah, dan sampai
tahap setelah akad nikah.
Selanjutnya, selain dengan simbol verbal manusia juga memakai simbol non
verbal dalam berkomunikasi, simbol non verbal dapat dikelompokkan dalam
beberapa bentuk. Maka simbol-simbol non verbal yang terdapat dalam prosesi
perkawinan adat Bugis Bone adalah sebagai berikut:
107
a. Kinesik yaitu simbol nonverbal yang ditunjukkan oleh gerakan-gerakan
badan, adapun dalam prosesi perkawinan Bugis Bone, makna simbol ini
ditemukan dalam prosesi mappacci adapu gerakan kinesik tersebut
termasuk dalam affect displays.
b. Sentuhan yaitu simbol yang dilambangkan dengan sentuhan badan,
menurut bentuknya sentuhan dibagi dalam tiga macam yaitu: kinesthetic,
sociofugal, dan thermal. Dalam prosesi perkawinan Bugis Bone makna
simbol ini ditemukan dalam prosesi ijab kabul, mappasikarawa dan
resepsi.
c. Paralanguage adalah simbol yang ditimbulkan dari tekanan atau irama
suara sehingga penerima dapat memahami sesuatu dibalik apa yang
diucapkan adapun dalam prosesi perkawinan Bugis Bone makna simbol
ini ditemukan dalam prosesi mappetu ada, mappacci, dan ijab kabul.
d. Diam, sikap diam juga merupakan simbol non verbal yang mempunyai
arti. Max picard dalam (Cangara, 1998:110) menyatakan bahwa diam
tidak semata-mata mengandung arti bersikap negatif tetapi juga bisa
melambangkan sikap positif. Pada prosesi perkawinan Bugis Bone makna
simbolis dari sikap diam ini juga ditemukan pada saat prosesi mappacci.
e. Kedekatan dan ruang (proximity and spatial), adalah simbol non verbal
yang menunjukkan kedekatan dari dua objek yang mengandung arti.
Kedekatan dapat dibedakan atas territory dan zone, selain dari kedekatan
dari segi territory ada juga beberapa ahli yang melihat dari sudut ruang
108
dan posisi. Pada prosesi perkawinan adat Bugis Bone kedekatan dan ruang
dapat ditemukan dari segi territorry pada wilayah sosial pada prosesi
mappettu ada, segi wilayah intim pada prosesi mappasikarawa dan segi
wilayah umum pada acara resepsi.
f. Artifak dan visualisasi, hasil seni juga banyak memberi isyarat yang
mengandung arti. Artifak selain dimaksudkan untuk kepentingan estetika,
juga menunjukkan status identitas diri seseorang atau suatu bangsa. Dalam
prosesi perkawinan adat Bugis Bone makna simbolik artifak dan
visualisasi ditemukan dalam prosesi mappettu ada, mappacci, mappaenre
botting, sompa dan lise’ sompa, mapparola, serta baju pengantin juga
sarat akan makna simbolis yang juga termasuk dalam simbol artifak dan
visualisasi.
g. Warna, juga memberi arti terhadap objek. Hal ini dapat dilihat pada
upacara-upacara ritual lainnya yang sering dilambangkan dengan warna-
warni termasuk dalam adat perkawinan Bugis Bone, warna baju bodo atau
pakaian yang digunakan pengantin mempunyai makna simbolis yaitu
untuk menunjukkan strata sosial si pemakainya.
h. Kronemik, waktu mempunyai arti tersendiri dalam kehidupan manusia.
Bagi masyarakat tertentu, melakukan suatu pekerjaan sering kali melihat
waktu. Misalnya membangun rumah, menanam padi, melaksanakan
perkawinan , membeli sesuatu dan sebagainya. Pada upacara perkawinan
adat Bugis Bone prosesi mappacci dilaksanakan pada waktu malam hari
109
sedang prosesi aka d nikah dilaksanakan sebelum matahari berada pada
posisi puncaknya.
i. Bunyi, banyak bunyi-bunyian yang dilakukan sebagai tanda isyarat yang
tidak dapat digolongkan sebagai paralanguage. Bunyi-bunyian dalam
prosesi perkawinan adat Bugis Bone dimaksudkan sebagai iring-iringan
calon pengantin khususnya pada prosesi mappacci dan mappaenre botting.
j. Bau (smell), bau juga merupakan simbol non verbal, selain digunakan
untuk melambangkan status seperti kosmetik, bau juga dapat dijadikan
sebagai petunjuk arah. Dalam prosesi perkawinan adat Bugis Bone bau-
bauan terdapat dalam prosesi cemme pasili, mappasau dan
mappasikarawa.
Simbol non verbal yang tidak ditemukan dalam prosesi perkawinan adat
Bugis Bone yaitu gerakan mata dan postur tubuh. Sedang simbol non verbal yang
lainnya bisa ditemukan dalam setiap prosesi perkawninan adat Bugis Bone yang
sarat akan makna yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita untuk terus
dipertahankan dan tetap dijaga keasliannya.
110
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari penelitian penulis mengenai makna simbolik dalam prosesi perkawinan
adat Bugis Bone di Kabupaten Bone, maka penulis menarik kesimpulan dan saran
sebagai berikut:
A. Kesimpulan
Banyak makna kehidupan yang dapat dipetik dari prosesi perkawinan adat
dalam masyarakat Bugis Bone yang sampai hari ini masih tetap dilaksanakan.
Tahap demi tahap pelaksanaannya mengandung nilai-nilai yang sakral sebagai
warisan budaya leluhur dari masa ke masa. Maka tahap- tahap tersebut dibagi
menjadi tiga tahap yaitu tahap lamaran, sebelum akad nikah, akad nikah dan
setelah akad nikah.
1. Berikut penulis menarik kesimpulan dari setiap tahap-tahap perkawinan adat
Bugis Bone:
Pada tahap lamaran ada beberapa acara yang biasanya dilangsungkan
oleh masyarat Bugis Bone adapun dalam tahap ini yaitu mammanu’ manu yaitu
tahap dimana pihak mempelai laki-laki mencarikan jodoh anaknya yang akan
berlanjut ke jenjang perkawinan, massuro atau meminang sang calon mempelai
wanita namun pihak mempelai laki-laki hanya mengutus beberapa orang dari
pihak keluarganya untuk melamara calon mempelai wanita selanjutnya, pada
acara mappettu ada dimaksudkan telah terjadinya kesepakatan antara dua
111
keluarga baik keluarga laki-laki maupun dari keluarga perempuan . Adapun
kegiatan yang pada jaman dahulu yaitu mappasierekeng dan mappaenre balanca
dipisahkan dengan acara mappettu ada, tetapi dijaman sekarang masyarakat
Bugis Bone menggabungkan dua acara tersebut dengan pertimbangan
menghemat waktu dan biaya.
Tahap selanjutnya yaitu tahap menjelang akad nikah dimana segala
sesuatu yang berhubungan dengan kedua mempelai telah dibicarakan pada tahap
lamaran, prosesi pertama yaitu mappada atau mengundang kegiatan ini
merupakan memberi informasi kepada seluruh keluarga dan kerabat mengenai
akan dilaksanakannya pesta pernikahan tersebut, menjelang beberapa hari
pernikahan maka calon mempelai wanita dirawat dengan cara mappasau,
selanjutnya sebelum malam mappaci maka dilakukan cemme passili. Pada
malam harinya akan dilaksanakan acara mappacci yang begitu banyak
memiliki makna simbolis dan diyakini oleh masyarakat Bugis Bone salah
satunya yaitu sebagai kegiatan mensucikan diri dari berbagai hal yang buruk
sebelum memasuki hari perkawinan.
Pada hari akad nikah pada masyarakat Bugis Bone disebut mappaenre
botting sebagai puncak prosesi perkawinan, mempelai laki-laki kerumah calon
mempelai wanita untuk melakukan ijab kabul, setelah ijab kabul pengantin laki-
laki dituntun menuju kamar istrinya untuk makkarawa prosesi ini juga biasa
disebut mappasikarawa oleh masyarakat Bugis Bone.
112
Setelah seluruh tahap akad nikah berlangsung dan sepasang pengantin
telah sah menjadi suami dan istri maka berlanjut pada tahap acara setelah akad
nikah yaitu mapparola, setelah acara mapparola biasanya kedua pihak pengantin
menggelar resepsi pernikahan Setelah resepsi di gelar biasanya ada acara-acara
lainnya seperti ziarah kubur, kunjungan keluarga dan lain-lain berdasarkan
kesepakatan dua keluarga. Maka berakhirlah seluruh tahap-tahap perkawinan
dalam adat Bugis Bone.
2. Perkawinan adat Bugis Bone sarat akan makna simbolik yang terkandung
didalamnya baik dari prosesi perkawinannya maupun perlengkapannya, adapun
pesan simbolik baik verbal maupun non verbal pada prosesi mappetu ada yaitu
simbol verbal baik itu bahasa maupun tulisan sedang dalam simbol non verbal
meliputi kedekatan dan ruang dari segi wilayah sosial dan juga pada segi
terrotorinya yaitu ruang dan posisi, simbol non vebal lainnya pada prosesi ini
yaitu artifak dan visualisasi. Pada acara mappasau dan cemme passili simbol
non verbal pada prosesi yaitu bau.
Dalam prosesi mappaci, simbol verbal seperti bahasa, dan simbol non
verbal yaitu kinesik, diam, waktu, bunyi, dan juga artifak dan visualisasi yang
terkandung dalam prosesi ini. Selanjutnya pada tahap akad nikah atau prosesi
mappaenre botting simbol non verbal yang terkandung didalamnya yaitu dari
simbol verbal seperti bahasa dan tulisan sedang dalam simbol non verbal yaitu
paralanguage, sentuhan, bunyi, dan juga artifak dan visualisasi. Adapula dalam
prosesi mappasikarawa setelah prosesi akad nikah simbol non verbal yang
113
terkandung didalamnya yaitu kedekatan dan ruang dari segi territory, sentuhan
dan juga bau.
Prosesi setelah akad nikah seperti mapparola tidak luput dari simbol,
seperti simbol non verbal artifak dan visualisasi juga sentuhan. Pada resepsi
pernikahan atau tudang botting adanya simbol kedekatan dan ruang juga
sentuhan. Tidak hanya pada prosesinya pakaian pengantin adat Bugis Bone yang
terkesan rumit juga mempunyai simbol non verbal yang terkandung didalamnya
seperti warna, dan juga artifak dan visualisasi.
B. Saran-saran
1. Prosesi perkawinan adat dalam masyarakat Bugis Bone cenderung mengalami
pergeseran yang dapat berakibat kaburnya nilai-nilai sakral yang terkandung di
dalamnya, oleh karenanya diharapkan pada masa ini dan akan datang prosesi
perkawinan adat terus dipertahankan dan mengalami penyempurnaan.
2. Dalam pembinaan rumah tangga yang bahagia lahir batin, maka pemahaman
tentang tata krama berumah tangga seperti yang telah disimbolkan pada perangkat
dan tata cara perkawinan adat Bugis Bone, diharapkan sebagai cikal bakal
terbentuknya suatu pola pikir kerukunan bermasyarakat dan berbangsa.