repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 20714 › Makalah Lengkap...
Transcript of repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 20714 › Makalah Lengkap...
0
Deskriptif Analisis Gejala Insomnia Terhadap Derajat
Keparahan Tremor Pada Pasien Penyakit Parkinson
*Fuad Fajrin M., **M. Iqbal Basri, **Muhammad Yunus Amran
* Peserta PPDS Neurologi FK Universitas Hasanuddin / RSUP dr.Wahidin Sudirohusodo, Makassar
**Staf Dosen dan Klinikal pada Departemen Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin,
RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar dan RS Pendidikan UNHAS,
Jl. Perintis Kemerdekaan KM 11, Makassar, Sulawesi Selatan.
DIPRESENTASIKAN DALAM RANGKA
1st Indonesian Sleep Medicine Meeting
With Theme “Why do I get sleep disorder”
Indonesia Neurological Association (PERDOSSI)
Bandung Branch, September 2nd
-4th
, 2016,
Bandung, Indonesia.
MAKASSAR 2016
1
Deskriptif Analisis Gejala Insomnia Terhadap Derajat
Keparahan Tremor Pada Pasien Penyakit Parkinson
*Fuad Fajrin M., **M. Iqbal Basri, **Muhammad Yunus Amran
* Peserta PPDS Neurologi FK Universitas Hasanuddin / RSUP dr.Wahidin
Sudirohusodo, Makassar
** Staf Pengajar Bagian Neurologi FK Universitas Hasanuddin / RS Universitas
Hasanuddin Makassar
Pendahuluan : Penyakit Parkinson (PP) merupakan penyakit degeneratif progresif
terbanyak kedua setelah penyakit Alzheimer. Insomnia pada pasien Penyakit Parkinson
sering ditemukan, namun jarang terdeteksi dan diperhatikan, sehingga dapat
menurunkan kualitas hidup pasien.TETRAS (The Essential Tremor Assesment Rating
Assesment Scale) berguna untuk mendeteksi derajat keparahan tremor pada pasien
Penyakit Parkinson.
Tujuan : Mengetahui hubungan insomnia dengan derajat keparahan tremor pada pasien
Penyakit Parkinson.
Metode : Penelitian deskriptif analisis secara potong lintang terhadap pasien Penyakit
Parkinson di RS Wahidin SUdirohusodo dan jejaringnya pada Agustus 2016. Subjek
yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan anamnesis dan pengisian kuesioner KSPBJ-
Insomnia Rating Scale dan TETRAS (The Essential Tremor Assesment Rating
Assesment Scale).
Hasil : Didapatkan 25 subjek dengan mayoritas laki-laki (84 %) dengan usia rata-rata
57 tahun, Didapatkan 25 subjek dengan mayoritas laki-laki (84 %) dengan usia rata-rata
57 tahun. Pada hasil uji Pearson-Chi Square pasien berdasarkan perbedaan jenis
kelamin terhadap derajat keparahan pasien Penyakit Parkinson diperoleh nilai P =
0.408. Pada hasil uji Pearson-Chi Square pasien berdasarkan perbedaan umur terhadap
derajat keparahan pasien Penyakit Parkinson diperoleh nilai P = 0.348. Sehingga tidak
didapatkan hubungan secara statistik antara Insomnia dengan derajat keparahan pasien
Penyakit Parkinson.
Diskusi : Tidak ada hubungan bermakna secara statistik antara insomnia dengan derajat
keparahan tremor pasien Penyakit Parkinson.
Kata Kunci : Insomnia, Parkinson disease, Tremor.
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Insomnia adalah kondisi di mana terdapat kesulitan untuk memulai tidur atau
mempertahankan tidur, dan dapat mempengaruhi fungsi harian. Para ahli
mendefinisikan insomnia sebagai berikut: bila yang bersangkutan memerlukan waktu
lebih dari 30 menit untuk memulai tidur, durasi tidur kurang dari enam jam, terbangun
lebih dari tiga kali dalam semalam, terjaga selama lebih dari 30 menit setelah onset
tidur, total lama tidur kurang dari 6 jam, atau merasakan bahwa tidak bugar setelah
terbangun, di mana kondisi-kondisi tersebut dirasakan minimal tiga kali dalam
seminggu (Kelompok Studi Gangguan Tidur PERDOSSI, 2014 dan Chawla, dkk 2016).
Sepertiga populasi dewasa dilaporkan pernah mengeluhkan insomnia dan insomnia
kronik terjadi pada sekitar 10-15% populasi. Prevalensi insomnia lebih banyak pada
kelompok lansia, jenis kelamin wanita, status sosial ekonomi rendah, pekerja dengan
sistem rotasi (shift), dan korban perceraian (Galimi, 2010).
Penyakit Parkinson merupakan penyakit degeneratif progresif terbanyak kedua
setelah penyakit Alzheimer, sekitar 1% dari penduduk usia 65-69 tahun. Gangguan tidur
pada pasien parkinson sering ditemukan, namun jarang terdeteksi dan diperhatikan,
sehingga dapat menurunkan kualitas hidup pasien.
3
Pada penelitian yang dilakukan oleh Welhelimna, dkk (2014) mengungkapkan
Terdapat hubungan yang signifikan antara derajat beratnya penyakit dengan total skor
PDSS (p<0,000), sedangkan usia dan durasi Pasien Parkinson tidak berkaitan dengan
gangguan tidur. Orang yang mengalami gangguan tidur sehingga membuat mereka
menendang atau berteriak selama tidur mungkin menghadapi resiko yang lebih besar
untuk terserang dementia atau Parkinson. (Postuma, 2015)
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui apakah insomnia
memiliki pengaruh terhadap tingkat keparahan gejala tremor pasien parkinson.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian
sebagai berikut:
Adakah pengaruh insomnia terhadap tingkat keparahan gejala tremor pasien parkinson
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh insomnia terhadap tingkat keparahan pasien parkinson.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi kejadian dan derajat insomnia pada pasien parkinson
b. Mengidentifikasi tingkat keparahan tremor pasien
4
c. Melakukan analisis terhadap pengaruh insomnia terhadap tingkat keparahan
tremor pasien parkinson
D. Hipotesis Penelitian
Terdapat pengaruh insomnia terhadap tingkat keparahan pasien parkinson, di mana
makin berat derajat insomnia, makin berat pula gangguan tremornya.
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih tentang adanya
hubungan antara insomnia dengan tingkat keparahan tremor parkinson.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi terhadap pembahasan
mengenai gangguan tidur khususnya insomnia, parkinson serta hubungan di
antara hal-hal tersebut
2. Manfaat praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi bahan pertimbangan dalam
menangani insomnia pada parkinson
b. Dari hasil penelitian ini, kita dapat mengetahui angka kejadian gangguan tidur
yang berkaitan dengan pasien parkinson.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Mengenai Parkinson
Penyakit Parkinson adalah salah satu penyakit neurodegeneratif
yang bersifat progresif. Penyakit ini merupakan penyakit
neurodegeneratif tersering kedua setelah demensia Alzheimer. Penyakit
Parkison paling banyak dialami pada usia lanjut dan jarang ditemukan
pada umur dibawah 30 tahun. Sebagian besar kasus ditemukan pada usia
40-70 tahun, rata-rata pada usia 58-62 tahun dan kirakira 5% muncul
pada usia dibawah 40 tahun. (PERDOSSI, 2008). Insiden lebih tinggi
pada laki-laki, ras kulit putih dan didaerah industri tertentu, insidensi
terendah terdapat pada populasi Asia dan kulit hitam Afrika. Faktor
l ingkungan memiliki peranan penting dalam menimbulkan penyakit ini
(Sharma, 2008)
Angka prevalensi penyakit Parkinson di Amerika Utara
diperkirakan sebesar 160 per 100.000 populasi dengan angka kejadian
sekitar 20 per 100.000 populasi. Prevalensi dan insidensi penyakit
Parkinson semakin meningkat seiring bertambahnya usia. Prevalensi
berkisar antara 0,5-1% pada usia 65-69 tahun. Pada umur 70 tahun
prevalensi dapat mencapai 120 dan angka kejadian 55 kasus per 100.000
populasi pertahun. Prevalensi meningkat sampai 1 -3% pada usia 80 tahun
6
atau lebih. Di Indonesia belum ada data prevalensi penyakit Parkinson
yang pasti , namun diperkirakan terdapat sekitar 400.000 penderita
penyakit Parkinson.Penyakit ini lebih banyak ditemukan pada pria dari
pada wanita dengan angka perbandingan 3:2 (Joesoef, 2007).
Penyakit Parkinson merupakan salah satu penyebab utama disabilitas di bidang
neurologi (Sobaryati, 2010). Disabilitas yang diakibatkan oleh penyakit ini akan
memberikan pengaruh besar pada standar kehidupan pasiennya. Selain itu, penyakit ini
juga dapat menimbulkan beban yang cukup berat dalam keluarga baik secara finansial
maupun fungsi sosial (WHO, 2008). Suatu studi di Amerika Serikat yang
mengkombinasikan berbagai survei nasionalnya memperkirakan bahwa beban ekonomi
bagi setiap pasien atau pun keluarganya untuk membiayai pengobatan penyakit ini
pertahun adalah USD 12.800 lebih tinggi dibanding biaya kesehatan per tahun bagi
kelompok penduduk dengan kisaran umur yang sama namun tanpa penyakit Parkinson.
Sedangkan kerugian finasial tidak langsung yang diakibatkan oleh penyakit ini,
misalnya kehilangan pekerjaan akibat progresifitas penyakit ini, diperkirakan dapat
mencapai angka USD 10.000 per pasien untuk setiap tahunnya (Kowal, 2013).
Perubahan pola tidur dan kewaspadaan adalah salah satu gejala yang paling sering,
selain parkinsonisme, pada gangguan gerakan . Sebanyak 60 % dari pasien dengan
penyakit Parkinson mengalami insomnia, 15-59 % gangguan perilaku tidur pada fase
(RE) tidur gangguan perilaku (RBDS), dan 30 % mengalami kantuk berlebihan pada
siang hari. (Arnulf , Isabelle : 2015)
7
B. Tinjauan Mengenai Insomnia
Area di otak yang berperan untuk kesiagaan terdiri dari beberapa kelompok
neuron yang berpusat di sekitar pons dan formasio retikularis dan meluas ke
hipotalamus. Terdapat beberapa neurotransmitter yang berperan, antara lain histamin
(dihasilkan oleh tuberomammilary nucleus [TMN]), norepinefrin (dihasilkan oleh locus
coeruleus [LC]), serotonin (dihasilkan oleh neuron serotonergik di dorsal raphe nuclei
[DRN]), dopamin (dihasilkan oleh neuron dopaminergik di area ventral tegmentum
[VTA]), dan asetilkolin (dihasilkan oleh neuron kolinergik di basal diensefalon). Setiap
neurotransmitter berperan dalam kesiagaan, namun lesi pada salah satunya tidak
mengganggu kewaspadaan. Nampaknya terdapat sistem yang redundan, di mana
ketiadaan dari satu neurotransmitter akan dikompensasi oleh neurotransmitter lainnya
(Chawla, 2016).
Hipotalamus anterior meliputi nukleus preoptik ventrolateral (VLPO), yang
mengandung gamma-aminobutyric acid (GABA) dan peptida galanin. Substansi-
substansi tersebut berproyeksi ke TMN dan regio kesiagaan di batang otak untuk
menginhibisi kesiagaan (Chawla, 2016).
Terdapat model flip-flop untuk regulasi bangun-tidur. Sisi tidur adalah VLPO,
dan sisi siaga meliputi neuron histaminergik TMN dan regio kewaspadaan batang otak
(DRN, VTA, dan LC). Setiap sisi menginhibisi sisi lainnya. Neuron hipokretin di
hipotalamus posterolateral berinteraksi baik dengan kondisi tidur maupun bangun dan
bekerja sebagai stabilizer untuk mencegah terjadinya transisi yang tiba-tiba dari kedua
sistem tersebut (Chawla, 2016).
8
Nukleus suprakiasmatik (suprachiasmatic nucleus; SCN) dipengaruhi oleh lingkungan
luar yakni silkus terang dan gelap. Sel ganglion retina mentransmisikan sinyal cahaya
melalui traktus retinohipotalamik untuk menstimulasi SCN. Terdapat suatu jaras
multisinaptik dari SCN menuju kelenjar pineal yang memproduksi melatonin. Sintesis
melatonin diinhibisi oleh terang dan distimulasi oleh gelap. Peningkatan kadar
melatonin di malam hari terjadi mulai pukul 8 hingga pukul 10 dan puncaknya antara
pukul 2 hingga pukul 4 dini hari, dan kemudian menurun secara bertahap (Chawla,
2016).
Progresi tidur normal berlangsung melalui sejumlah stadium pada setiap periode
tidur. Berdasarkan data polisomnografik (misalnya elektroensefalografi [EEG],
pergerakan mata, dan tonus otot), tidur dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu non-rapid
eye movement (NREM) dan rapid eye movement (REM). Setiap tahap ini memiliki
karakteristik yang unik. NREM kemudian dibagi lagi menjadi tidur dangkal (stadium 1
dan 2) serta tidur dalam (stadium 3 dan 4) yang disebut juga tidur gelombang lambat
(slow wave sleep [SWS]) atau delta sleep. Tidur NREM berprogresi dari stadium 1
hingga 4 dengan peningkatan kedalaman tidur dan ambang untuk dibangunkan. REM
sangat berbeda dengan NREM, ditandai dengan peningkatan aktivitas simpatik,
pergerakan mata yang cepat, bermimpi, serta peningkatan kedalaman dan kecepatan
pernapasan (Galimi, 2010).
Levenson (2015) menyatakan bahwa Insomnia merupakan suatu gangguan yang
ditandai dengan adanya ketidakpuasan dalam hal kualitas atau kuantitas tidur, yang
berkaitan dengan kesulitan memulai tidur, seringnya terbangun di malam hari, dan/atau
9
cepat terbangun di pagi hari. Hal ini juga ditandai dengan adanya distress yang
signifikan atau gangguan fungsi. Terdapat pula gejala harian seperti kelelahan, rasa
mengantuk, gangguan fungsi kognitif, dan gangguan suasana perasaan.
Pasien insomnia seringkali melaporkan berbagai keluhan subjektif yang
melebihi temuan objektif dari pemeriksaan polisomnigrafi. Perbedaan temuan subjektif
dan objektif pada pasien ini diduga disebabkan oleh proses sensorik yang persisten
selama tidur NREM. Akibatnya terjadi penurunan kemampuan pasien unrtuk
membedakan kapan tidur dan bangun (Kelompok Studi Gangguan Tidur PERDOSSI,
2014).
Berdasarkan Kelompok Studi Gangguan Tidur PERDOSSI (2014), insomnia
terbagi menjadi insomnia akut dan insomnia kronik. Insomnia akut disebut pula
insomnia transient. Adapun insomnia kronik dapat dibagi menjadi insomnia primer dan
sekunder (dengan komorbid).
Insomnia akut merupakan insomnia yang ditimbulkan oleh faktor pemicu yang
diketahui dengan jelas. Insomnia ini terjadi pada individu yang sebelumnya memiliki
pola tidur normal, tanpa adanya keluhan gangguan tidur. Kondisi ini berlangsung tidak
lebih dari satu bulan. (Pinto, 2010)
Untuk insomnia kronik, terdapat tiga faktor yang perlu dipertimbangkan yaitu:
predisposisi, presipitasi, dan yang memperburuk. Faktor predisposisi tergantung pada
hiperaktivitas dari sistem kesiagaan (mekanisme respon stres), hiperaktivitas dari aksis
hipotalamus, hipofisis, dan adrenal, anxietas dan depresi, abnormalitas pada
homeostatis tidur dan terjaga, abnormalitas pada ritme sirkadian (kontrol sirkadian
10
untuk tidur dan terjaga), dan abnormalitas pada mekanisme intrinsik untuk kontrol tidur
dan terjaga. Faktor presipitasi dan yang memperburuk tergantung pada faktor
psikososial, perubahan perilaku, dan karakteristik kognitif. Insomnia primer dapat
dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu psikofisiologik, idiopatik, dan paradoksikal.
Insomnia psikofisiologik terjadi dengan adanya kondisi hiperwaspada yang ditandai
dengan adanya anxietas yang berkaitan dengan tidur disertai timbuknya gejala-gejala
neurokognitif seperti kelelahan dan iritabilitas. Insomnia idiopatik timbul sebelum
pubertas dan menetap hingga dewasa dan biasanya terdapat riwayat insomnia dalam
keluarga. Insomnia paradoksikal adalah adanya keluhan subjektif mengenai kurangnya
kualitas tidur, meskipun secara objektif tidak terdapat abnormalitas tidur yang diperiksa
melalui alat polisomnografi (Chawla, 2016).
Insomnia dapat berkaitan dengan kondisi tertentu yang meliputi gangguan
mental dan afektif (depresi, distimia, gangguan bipolar, anxietas, skizofrenia, dan
gangguan somatoform), higiene tidur yang tidak adekuat (berkaitan dengan kebiasaan
yang tidak sesuai untuk adanya kualitas tidur yang baik, misalnya aktivitas yang
menimbulkan stres secara psikologik, konsumsi kafein, nikotin, alkohol, dan makan
dalam jumlah banyak, aktivitas fisik yang sangat berat menjelang waktu tidur, waktu
tidur dan bangun yang tidak konsisten, tidur siang yang lama, dan tidur menjelang
waktu tidur utama), kondisi medis tertentu (misalnya nyeri, infeksi, penyakit metabolik,
dan hipertiroidisme), serta penggunaan obat tertentu (misalnya psikostimulan dan
antidepresi) (Pinto, 2010).
11
Telah diidentifikasi beberapa gen yang mengatur irama sirkadian. Beberapa gen itu
antara lain CLOCK dan Per2. Suatu mutasi adau polimorfisme fungsional pada Per2
dapat mengakibatkan gangguan irama sirkadian yang dapat mengarahkan ke kejadian
insomnia. Adanya mutasi juga telah ditemukan pada gen yang mengkode subunit
GABAA beta 3 subunit pada pasien dengan insomnia kronik (Chawla, 2016).
Beberapa faktor penting yang terlibat dalam patofisiologi insomnia adalah
gangguan irama sirkadian siklus bangun – tidur, irama suhu tubuh, keinginan waktu
tidur dan terjaga. Pada beberapa penelitian dilaporkan bahwa keluhan yang dirasakan
pasien insomnia bukanlah disebabkan oleh adanya gangguan selama mereka tidur atau
karena sleep deprivation, akan tetapi disebabkan oleh karena waktu terjaga kognitifnya
selama 24 jam. Input sensori dan proses informasi tetap terjadi saat meraka tidur dan
mempengaruhi inisiasi tidur dan konsolidasi. Pasien insomnia memiliki tingkat
metabolisme yang lebih tinggi dan aktivitas elektroensefalografi yang lebih tinggi
frekuensinya selama tidur (Kelompok Studi Gangguan Tidur PERDOSSI, 2014).
Salah satu alat ukur penilaian insomnia yakni yang telah dilakukan oleh
Kelompok Studi Psikiatri Biologik Jakarta-Insomnia Rating Scale (KSPBJ-IRS).
KSPBJ-IRS digunakan untuk mengukur tingkat insomnia lansia. Kuesioner. KSPBJ-
IRS berupa daftar pertanyaan mengenai kesulitan untuk memulai tidur, terbangun pada
malam hari, terbangun lebih awal atau dini hari, merasa mengantuk pada siang hari,
sakit kepala pada siang hari, merasa kurang puas terhadap tidur, merasa kurang nyaman
atau gelisah saat tidut, mendapati mimpi buruk, badan terasa lemah, letih, kurang tenaga
12
setelah tidur, jadwal jam tidur sampai bangun tidak beraturan, tidur selama enam jam
dalam semalam.
Konsekuensi insomnia pada kehidupan sehari-hari adalah munculnya rasa lelah,
penurunan energi dan motivasi, gangguan kognitif (seperti konsentrasi, memori, reaksi,
dan pengambilan keputusan, penurunan performa, penurunan produktivitas di sekolah
dan tempat kerja, perubahan mood, dan penurunan kualitas hidup (Kelompok Studi
Gangguan Tidur PERDOSSI, 2014).
Insomnia merupakan kasus gangguan tidur tersering dijumpai dalam praktik
sehari-hari. Sepertiga populasi dewasa mengeluhkan insomnia dan sekitar 10% di
antaranya mengalami insomnia kronik. Prevalensi insonmnia lebih banyak pada
kelompok lansia, status sosial ekonomi rendah, pekerja dengan sistem rotasi (shift), dan
korban perceraian. Wanita juga lebih sering terkena insomnia dibandingkan pria.
Prevalensi insomnia juga meningkat pada populasi pengguna alkohol atau NAPZA,
pasien yang sedang dirawat di rumah sakit atau asrama, dan pasien yangs edang
mengalami gangguan medis atau neurologis tertentu (Kelompok Studi Gangguan Tidur
PERDOSSI, 2014).
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa prevalensi terjadinya insomnia pada
populasi umum dilaporkan bervariasi, yakni 6% hingga 48%. Disebutkan pula bahwa
sekitar 30% orang dewasa pernah mengeluhkan satu atau lebih gejala insomnia.
Insomnia kronik dilaporkan terjadi pada sekitar 10% hingga 15% dalam populasi
umum (Galimi, 2010).
13
C. Tinjauan Mengenai Tremor
Tremor adalah gerakan osilasi ritmik, selang-seling otot agonis dan antagonis,
sinusoidal, teratur. Kualitas ritmiknya yang membedakan tremor dengan gerakan
involunter lainnya, dan keterlibatan otot agonis dan antagonis membedakannya dengan
klonus. (Alarcon : 2004)
Suatu tremor normal, atau fisiologis, sudah melekat dalam sistem motorik. Ada
dalam semua kelompok otot yang berkontraksi dan persisten pada keadaan terjaga dan
bahkan pada fase fase-fase tertentu dari tidur. Merupakan gangguan gerakan yang
paling sering ditemukan, tetapi hanya sebagian kecil yang meminta bantuan medik.
Insiden dan prevalensi tremor meningkat seiring bertambah usia, mengenai lebih dari
4% pasien usia lebih dari 65 tahun. Lebih dari 2/3 populasi yang mengalami tremor
pada tangan mengalami kesulitan dalam kehidupan sehari - hari, dan menyebabkan
gangguan fungsional dan sosial. (Alarcon : 2004)
Etiologi dan patofisiologi tremor esensial belum pasti. Sekitar 50% tremor
esensial disertai riwayat keluarga, yang merupakan penyakit autosomal dominan, yang
berhubungan dengan tiga lokus (ETM1 pada 3q13, ETM2 pada 2p22-25 dan lokus
6p23) sebagai tambahan terhadap suatu polimorfis (Ser9Gly) pada gen pengkode
reseptor dopamine D3 yang meningkatkan risiko tremor esensial. (Alarcon : 2004)
Beberapa hipotesis telah diajukan untuk menjelaskan fisiologik tremor, yang
tradisional yaitu merupakan refleksi dari vibrasi pasif jaringan tubuh yang dihasilkan
oleh aktivitas mekanik yang berasal dari jantung. Tentunya hal ini bukannya penjelasan
lengkap. (Aminof MJ : 1999)
14
Tremor esensial klasik dapat disebabkan adanya abnormalitas pada segitiga
Guillain- Mollaret (nukleus ruber, nukleus oliva, dan serebellum). Beberapa studi
neurofisiologi baik secara langsung maupun tidak langsung menyatakan jaringan
neuronal, termasuk thalamus (termasuk nukleus ventralis intermedius), korteksi
sensorimotoris, nukleus oliva inferior, dan serebellum menyebabkan tremor esensial.
Terdapat peningkatan getaran dari traktus olivoserebelaris ke traktus rubrothalamikus.
Peningkatan metabolisme glukosa pada nucleus oliva dan peningkatan aliran darah pada
nukleus ruber, serebellum, dan thalamus bilateral pada pemeriksaan PET pada pasien
tremor esensial. Pada binatang, tremor serupa tremor esensial dipicu melalui stimulasi
nukleus oliva oleh harmalin alkaloid dan obat-obat serotonergik. (Alarcon : 2004)
Tremor esential non-klasik atau tremor esensial tidak terklasifikasi yaitu tremor
yang disertai gejala- gejala neurologis lainnya, seperti ataksia, bradikinesia ringan, atau
hipomimia; atau menjadi tremor istirahat. Hal ini dapat salah didiagnosis dengan
penyakit Parkinson.Namun, tremor esensial, tonus otot dan kekuatan otot normal.
(Alarcon : 2004).
Salah satu alat ukur penilaian tremor yakni dalam bentuk kuesioner TETRAS©
(The Essential Tremor Assesment Rating Scale) yang dibuat oleh Rodger Elbe for The
Tremor Research Group (TRG). TETRAS© dapat digunakan sebagai alat ukur penilain
dalam penelitian karena cepat, terpercaya, dan aplikatif dalam penggunaannya.
TETRAS© dapat digunakan untuk menilai derajat keparahan tremor dalam aktivitas
keseharian pasien yang mengalami gejala tremor. Dalam penilaian untuk aktivitas
keseharian TETRAS© menilai 12 aktivitas yakni berbicara, makan dengan
15
menggunakan sendok, minum dari gelas, kebersihan, memakai baju, menuangkan,
membawa makanan diatas piring, mengunci, menulis, bekerja, aktivitas keseharian, dan
efek social.(Roger : 2012)
D. Hubungan antara Insomnia dan Parkinson
Ada beberapa penelitian dan artikel yang menghubungan gejala insomnia dan
Parkinson. Salah satunya oleh Bradley (2013) dimana dijelaskan Penyakit Parkinson
adalah gangguan progresif neurodegenerative yang berhubungan dengan patologi pada
Lewy-body dalam struktur sistem saraf pusat dan perifer. Meskipun penyebab penyakit
Parkinson tidak sepenuhnya dipahami, analisis klinikopatologi telah menunjukkan
bahwa sistem posits untuk perubahan patologis pada Lewy body penyakit terkait. Sistem
ini menunjukkan topografi memprediksi perkembangan penyakit Lewy body dalam SSP,
dimulai pada struktur penciuman dan medula, kemudian berkembang rostrally dari
medula ke pons, kemudian ke otak tengah dan substantia nigra, struktur limbik, dan
struktur neokorteks. Jika topografi ini dan evolusi temporal penyakit Lewy body tidak
terjadi, manifestasi lain dari penyakit sebagai akibat dari degenerasi struktur penciuman
dan pontomedullary secara teoritis bisa dimulai bertahun-tahun sebelum perkembangan
degenerasi nigral menonjol dan fitur parkinsonian terkait penyakit Parkinson. Salah satu
manifestasi seperti penyakit prodromal Parkinson adalah gerakan mata (REM)
gangguan perilaku tidur cepat, yang merupakan parasomnia dimanifestasikan dengan
mimpi hidup yang terkait dengan perilaku mimpi berlakunya selama tidur REM.
Temuan dari penelitian hewan dan manusia telah menyarankan bahwa lesi atau
16
disfungsi dalam tidur REM dan kontrol motor sirkuit di struktur pontomedullary
menyebabkan perilaku tidur REM gangguan fenomena, dan degenerasi struktur ini
mungkin menjelaskan kehadiran perilaku tidur REM gangguan tahun atau dekade
sebelum onset parkinson pada orang yang mengembangkan penyakit Parkinson.
(Bradley : 2013)
Pada penelitian lain yakni secara deskriptif oleh Iranzo A, dkk (2006)
menunjukkan bahwa pada orang orang dengan gangguan pola tidur akan memudahkan
pengembangan gangguan neurodegenerative. Sehingga gangguan tidur dapat dijadikan
sebagai dasar untuk mendeteksi dini terjadinya gangguan neurodegenerative. Temuan
ini mungkin lebih menarik ketika strategi pengobatan dini yang efektif dan obat
neuroprotektif menjadi tersedia. (Irzano:2006)
Gejala non -motor pada pasien Parkinson nampaknya terkait dengan insomnia
subjektif. Gejala-gejala tersebut antara lain terkait dengan kelelahan dan pengobatan
dopaminergic yang berhubungan dengan gejala Parkinson. (Chung : 2013)
17
D. Kerangka Konsep
: variabel dependen
: variabel independen
: variabel antara
Insomnia
PARKINSON
- Tremor - Rigidity - Akinesia - Postural Instability
Peningkatan
Derajat Tremor
Insomnia
18
BAB III
METODE PENELITIAN
A. DESAIN PENELITIAN
Penelitian ini merupakan suatu penelitian analisis deskripsional secara potong
lintang.
B. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN
Tempat penelitian adalah di RSUP Wahidin Sudirohusodo dan jejaringnya
sedangkan waktu penelitian dimulai pada bulan Juli-Agustus 2016 hingga bulan
September 2016
C. POPULASI DAN SAMPEL
Populasi dalam penelitian ini adalah pasien poliklinik dan pasien rawat inap
dengan diagnosis Penyakit Parkinson.
D. ANALISIS DATA DAN UJI STATISTIK
Data penelitian dicatat dalam formulir instrumen penelitian. Setelah terkumpul,
data diolah melalui analisis statistik dengan SPSS for windows Version 22. Untuk
melihat pengaruh insomnia terhadap derajat keparahan tremor pasien Parkinson
digunakan uji t Test.
19
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Pada penelitian yang telah dilakukan diperoleh jumlah sampel sebanyak 25
orang dengan data usia, jenis kelamin, nilai Insomnia Rating Scale dan nilai TETRAS ©
yang dilampirkan sebagai berikut :
No.
Usia
(tahun)
Jenis
Kelamin
Nilai
IRS
Nilai
TETRAS
1 63 Pria 10 16
2 72 Wanita 11 15
3 55 Pria 10 12
4 45 Wanita 14 27
5 26 Wanita 14 24
6 54 Pria 11 14
7 54 Pria 13 16
8 46 Pria 11 18
9 60 Pria 13 14
10 75 Pria 10 16
11 46 Pria 12 14
12 60 Pria 10 16
13 53 Wanita 9 13
14 64 Pria 8 17
15 46 Pria 8 15
16 50 Pria 10 16
17 54 Pria 3 18
18 60 Pria 8 13
19 76 Pria 12 19
20 55 Pria 8 15
21 65 Pria 14 29
22 50 Pria 12 23
23 68 Pria 15 22
24 55 Pria 13 15
25 72 Pria 17 27
20
Tabel 1. Data sampel penelitian berdasarkan umur, jenis kelamin,nilai
Insomnia Rating Scale, dan TETRAS©
Dari data tersebut kemudian kami kelompokkan lagi berdasarkan jenis
kelamin. Berdasarkan jenis kelamin kami mendapatkan 21 sampel berjenis kelamin
laki-laki dan 3 sampel berjenis kelamin perempuan. Atas dasar tersebut kami lakukan
uji t-Test diperoleh nilai P>0.05 sehingga tidak tidak ada perbedaan hasil yang
signifikan secara uji t-tes student gejala Insomnia dengan laki-laki maupun perempuan
terhadap derajat keparahan tremor sedang dan ringan dengan menggunakan TETRAS©
pada pasien penyakit Parkinson
Grafik 1 Uji t-tes student pada sampel data jenis kelamin dengan nilai TETRAS©.
Berdasarkan data tersebut kemudian kami kelompokkan lagi berdasarkan usia.
Berdasarkan usia kami dapatkan ada 14 sampel penelitian berusia dibawah 60 tahun dan
11 sampel penelitian berusia diatas atau sama dengan 60 tahun. Atas dasar tersebut
kami lakukan uji t-Test diperoleh nilai P>0.05 sehingga tidak tidak ada perbedaan hasil
yang signifikan secara uji t-tes student gejala Insomnia dengan laki-laki maupun
21
perempuan terhadap derajat keparahan tremor sedang dan ringan dengan menggunakan
TETRAS© pada pasien penyakit Parkinson
Grafik 1 Uji t-tes student pada sampel data jenis kelamin dibandingkan dengan tingkat
keparahan tremor Pasien Parkinson
22
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang kami lakukan maka dapat diambil kesimpulan :
1. Gejala insomnia hampir sering ditemukan pada seluruh pasien parkinson sebagai
gejala non motorik pasien parkinson.
2. Tingkat keparahan tremor Parkinson dengan insomnia berada di tingkat ringan
berdasarkan nilai TETRAS ©.
3. Secara Statistik tidak ditemukan hubungan antara insomnia dengan derajat
keparahan tremor pasien Parkinson baik itu berdasarkan atas jenis kelamin
maupun usia.
B. Saran
Adapun saran penelitian selanjutnya ini :
1. Jumlah sampel yang lebih besar dari jumlah sampel pada penelitian sekarang.
2. Memperhatikan faktor – faktor yang mempengaruhi insomnia pasien Parkinson
yang disebabkan oleh gejala pasien Parkinson itu sendiri
3. Perlu dipertimbangkan faktor-faktor lain yang mempengaruhi tingkat keparahan
pasien Parkinson.
23
DAFTAR PUSTAKA
Alarcon, F, Zijlmans JCM, Duerias G, Cevallos N. (2004). Post -
Stroke Movement Disorders : report of 65 patients. J. Neurol
Neurosurgery Psychiatry (75) : 1568-1574. Alarcon, F, Zijlmans JCM,
Duerias G, Cevallos N. (2004). Post -Stroke Movement Disorders :
report of 65 patients. J. Neurol Neurosurg Psychiatry (75) : 1568-
1574.
Arnulf, Isabelle. Sleepiness in Idiopathic REM Sleep Behavior Disorder and
Parkinson Diseas. 2015; 15 [PubMed]
Boeve, Bradley. Idiopathic REM sleep behaviour disorder in the development of
Parkinson's disease. Volume 12, No. 5, p469–482, May 2013
Chung,Seokchoon.Bochneen, Nicholaas. Insomnia and Sleepiness in Parkinson
Disease: Associations with Symptoms and Comorbidities. Journal of Clinical Sleep
Medicine. http:///10.5664/jcsm.3150
Chawla J, Benbadis SR. Insomnia. Updated Februari 22, 2016.
http://emedicine.medscape.com/article/1187829-clinical#showall. Accessed April 5,
2016.
Galimi R. Insomnia in the elderly: an update and future challenges. G Gerontol
2010;58:231-247
Irzano. Rapid-eye-movement sleep behaviour disorder as an early marker for a
neurodegenerative disorder: a descriptive study. Lancet Neurol. 2006 Jul;5(7):572-
7.
Joesoef AA, Agoes A, Purnomo H, Dalhar M, Samino. Konsensus tatalaksana
penyakit parkinson. Surabaya: Kelompok Studi Movement Disorder (Gangguan
Gerak) Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSI), 2007.
Kelompok Studi Gangguan Tidur. Panduan Tatalaksana Gangguan Tidur Edisi 1
Tahun 2014. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI).
Kelompok Studi Neurobehaviour. Modul Neurobehaviour. 2008. Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI).
Levenson JC, Kay DB, Buysse DJ. The Pathophysiology of Insomnia. CHEST
2015; 147( 4 ): 1179 – 119
24
Pinto LR, Alves RC, Caixeta E, Fontenelle JA, Bacellar A, Poyares D. New
guidelines for diagnosis and treatment of insomnia. Arq Neuropsiquiatr
2010;68(4):666-675
Sharma, Nutan. Parkinson Disease. Greenwood Press :2008