A. Biografi Hassan Hanafi 1. Latar belakang keluarga · dalam seni lukis, musik, logika dan...

47
22 . BAB II PEMBAHASAN A. Biografi Hassan Hanafi 1. Latar belakang keluarga Hassan Hanafi lahir di Kairo, ibu kota Republik Arab Mesir (Jumhûriyyat Mishr al-‘Arabiyah), pada tanggal 13 Pebruari 1935. Keluarganya berasal dari Banû Swaif, salah satu propinsi di Mesir bagian selatan. Namun kemudian mereka pindah ke Kairo. Kakek Hanafi berasal dari al-Maghrib (Maroko), sedangkan neneknya berasal dari kabilah Bani> Mur. Gamal Abdel Nasser, presiden Mesir sebelum Anwar Sadat, berasal dari kabilah itu. Kakek Hanafi yang orang Maroko itu memutuskan untuk menetap di “negeri seribu menara” (Mesir) ketika ia singgah di negeri itu sepulang menunaikan ibadah haji. Pada persinggahan itu pula ia menikah dengan seseorang yang kemudian menjadi nenek Hanafi (Badruzaman, 2005: 41) Hanafi berasal dari keluarga pemusik, ia pun mempunyai hobi musik. Ia sempat dihadapkan pada dua pilihan antara musik atau filsafat. Ia memilih filsafat karena baginya ide-ide filsafat bagaikan musik yang selalu menghiasi telinganya. Sedangkan musik ibarat nada-nada kosong tanpa makna. Hanafi mengalami kebingungan ketika dihadapkan pada dua pilihan ini. Estetika minus piker atau piker minus estetika. Sampai kemudian ia temukan perpaduan antara keduanya dalam filsafat romantisme Hegel, Fichte, Schelling, Kierkegard dan terkhusus Henry Bergson. Sesekali datang penyesalan ketika ia

Transcript of A. Biografi Hassan Hanafi 1. Latar belakang keluarga · dalam seni lukis, musik, logika dan...

22

.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Hassan Hanafi

1. Latar belakang keluarga

Hassan Hanafi lahir di Kairo, ibu kota Republik Arab Mesir

(Jumhûriyyat Mishr al-‘Arabiyah), pada tanggal 13 Pebruari 1935.

Keluarganya berasal dari Banû Swaif, salah satu propinsi di Mesir bagian

selatan. Namun kemudian mereka pindah ke Kairo. Kakek Hanafi berasal dari

al-Maghrib (Maroko), sedangkan neneknya berasal dari kabilah Bani> Mur.

Gamal Abdel Nasser, presiden Mesir sebelum Anwar Sadat, berasal dari

kabilah itu. Kakek Hanafi yang orang Maroko itu memutuskan untuk menetap

di “negeri seribu menara” (Mesir) ketika ia singgah di negeri itu sepulang

menunaikan ibadah haji. Pada persinggahan itu pula ia menikah dengan

seseorang yang kemudian menjadi nenek Hanafi (Badruzaman, 2005: 41)

Hanafi berasal dari keluarga pemusik, ia pun mempunyai hobi musik. Ia

sempat dihadapkan pada dua pilihan antara musik atau filsafat. Ia memilih

filsafat karena baginya ide-ide filsafat bagaikan musik yang selalu menghiasi

telinganya. Sedangkan musik ibarat nada-nada kosong tanpa makna. Hanafi

mengalami kebingungan ketika dihadapkan pada dua pilihan ini. Estetika

minus piker atau piker minus estetika. Sampai kemudian ia temukan perpaduan

antara keduanya dalam filsafat romantisme Hegel, Fichte, Schelling,

Kierkegard dan terkhusus Henry Bergson. Sesekali datang penyesalan ketika ia

23

menyimak Beethoven atau menghadiri orkes Arab atau klasik. Namun ia

menghibur dirinya dengan mengatakan, “mengapa harus bersedih, saya kan

masih bisa bernyanyi dengan filsafat” (Idam, 2009:18).

Selain ilmu eksak dan filsafat, seni lukis juga ia gemari. Dalam suatu

lomba melukis, Hanafi keluar sebagai juara. Beethoven, Muhammad „Abduh

dan Raja Farouk adalah tokoh-tokoh yang pernah ia lukis. Lukisan-lukisannya

dipajang di sekolahnya. Dalam diri Hanafi ternyata berpadu minat dan bakat

dalam seni lukis, musik, logika dan filsafat (Badruzaman, 2005: 48).

Banyaknya hobi yang diminati Hanafi diwaktu kecil membuatnya menjadi

agak kebingungan dalam memilih minat selanjutnya yang akan dijalaninya

dikemudian hari.

2. Masa Pendidikan

Pendidikannya diawali di pendidikan dasar di Madrasah Sulayman

Ghawish, tamat tahun 1948. Setamat dari pendidikan dasar, Hanafi kecil

masuk sekolah pendidikan guru, al-mu’allimi>n. Kemudian melanjutkan ke

Madrasah Tsanawiyah Khalil Agha, Kairo, selesai pada tahun 1952. Selama

belajar di tsanawiyah ini, Hanafi aktif mengikuti diskusi-diskusi yang diadakan

oleh al-Ikhwa>n al-Muslimi>n. Kegiatan ini membuat Hanafi berkembang.

Bahkan ia juga mempelajari pemikiran Sayyid Qutb tentang keadilan sosial

dan keIslaman (Hefni, 2011: 168).

Sejak SMP, Hassan Hanafi sudah aktif berpartisipasi dalam kegiatan

demonstransi. Muncul kesadaran nasionalisme dalam dirinya. Bersama

sahabat-sahabatnya, Hanafi sempat pergi ke Asosiasi Pemuda Muslim untuk

24

mendaftarkan diri sebagai sukarelawan perang. Namun keinginannya itu tidak

disambut positif oleh mereka. Bahkan Hanafi dan sahabat-sahabatnya diminta

untuk bergabung Batalion Ahmad Husin. Peristiwa ini membangkitkan

kesadaran mendalam bagi Hassan Hanafi tentang realitas politik yang

dihadapinya. Ia menjadi sadar, bahwa ternyata friksi kepartaian lebih dominan

daripada persoalan kebangsaan yang menyangkut kepentingan orang banyak

(Hanafi, 2003: 7).

Pada tahun 1951, ketika Hassan Hanafi masih duduk di bangku SMA,

terlibat dalam perang urat syaraf dengan Inggris di terusan Suez, dan di sana ia

menyaksikan para syuhada. Bersama-sama dengan mahasiswa dia

mengabdikan diri untuk membantu gerakan revolusi yang telah dimulai pada

akhir tahun 40-an hingga revolusi itu meletus pada tahun 1952. Atas saran

anggota pemuda muslimin, pada tahun ini pula ia tertarik untuk mengikuti

gerakan Ikhwan al-Muslimin. Akan tetapi, ditubuh Ikhwan-pun terjadi

perdebatan yang sama dengan apa yang terjadi di pemuda muslimin.

Kemudian, Hanafi disarankan oleh para anggota Ikhwan untuk bergabung

dalam organisasi Mesir muda. Ternyata di dalam keadaan Mesir muda sama

dengan kedua organisasi tersebut. Hal ini mengakibatkan ketidakpuasan Hanafi

atas cara berpikir kalangan muda Islam yang terkotak-kotak. Kekecewaan ini

yang menyebabakan ia lebih tertarik pada pemikiran-pemikiran keagamaan,

revolusi dan perubahan sosial. ini juga yang menyebabkan ia beralih tertarik

pada pemikiran Sayyid Qutb, seperti tentang prinsip-prinsip keadilan sosial

dalam Islam (Kusnadiningrat, 1999 : 45).

25

Hanafi pun kemudian menjadi anggota Ikhwa>n, dan di bawah payung

organisasi ini ia mengkoordinir Persatuan Pelajar Mesir. Ikhwa>n dikenal

semakin kental dengan gerakan revolusi. Ketika terjadi perundingan antara

Inggris dan Mesir tentang terusan Suez pada bulan Maret 1954-dimana diantara

salah satu butir perundingan dinilai sangat merugikan bangsa Mesir karena

memberi peluang bagi Inggris untuk kembali menguasai Terusan Suez, Ikhwa>n

mengkritik sangat tajam atas hasil perundingan itu. Hanafi bertugas

mengedarkan selebaran kritik Ikhwa>n itu (Badruzaman, 2005: 49-50).

Hassan Hanafi selama menjadi mahasiswa di Jurusan Filsafat Fakultas

Adab Universitas Kairo Mesir punya prestasi akademik yang baik.

Keterlibatannya dalam banyak aktivitas Ikhwa>nul Muslimi>n, tidak menjadikan

Hanafi lupa diri terhadap tugas akademiknya. Hampir semua makalah-makalah

yang ia tulis mendapatkan nilai summa cum laude. Salah satunya tulisan

tentang “Teori Pengetahuan dan Kebahagiaan menurut Al-Ghazali. Tetapi

tidak sedikit pula pengalaman kurang baik ia terima, lantaran sikap dosennya

yang kurang terbuka, karena dalam setiap makalah atau jawabannya ketika

ujian, Hanafi sering menyantumkan pemikiran-pemikiran pribadinya mengenai

beberapa masalah yang dibahas atau diujikan (Hanafi, 2003:23)

Gelar kesarjanaannya ia raih pada tanggal 11 oktober 1956 dari Kulliyat

al-Adab (Fakultas Sastra) Jurusan Filsafat Universitas Kairo. Setelah itu Hanafi

pergi ke Perancis untuk memperdalam filsafat di Universitas Sorbonne, dengan

spesialisasi Filsafat Barat Modern dan Pra-Modern. Selama kurang lebih

sepuluh tahun Hanafi tinggal di Perancis, salah satu negara tempat para

26

orientalis berada. Dalam rentang waktu tersebut, tradisi, pemikiran, dan

keilmuan barat dikuasainya. Ia sempat pula mengajar Bahasa Arab di Ecole des

Langues Orientales di Paris (Badruzaman, 2005: 42).

Pada tahun 1966, ia berhasil menyelesaikan program master dan

doktornya di Universitas Sorbone, dengan mengشjukan tesis “Les Methodes

d’Esegeses: Essei sur La Science des Fondaments de la Comprehension Ilmu

Ushul Fiqih” dan desertasinya “Phenomenologie, L’etat actuel de la Methode

Phenomenologie et son Application au Phenomene Religiux.” Desertasi setebal

lebih dari 900 halaman itu mendapat penghargaan bagi penulisan karya ilmiah

terbaik di Mesir (Ridwan, 1998 : 220).

Semangat Hanafi untuk mengembangkan tulisan-tulisannya tentang

pembaharuan pemikiran Islam semakin tinggi, sejak Hanafi pulang dari

Perancis pada tahun 1966. Akan tetapi kekalahan Mesir dalam perang melawan

Israel tahun 1967 telah mengubah niatnya itu. Hanafi kemudian ikut serta

dengan rakyat, berjuang dan membangun kembali semangat nasionalisme

mereka pada sisi lain, untuk menunjang perjuangannya itu Hanafi juga mulai

memanfaatkan pengetahuan akademis yang telah ia peroleh dengan

memanfaatkan media massa sebagai corong perjuangannya. Hanafi menulis

artikel-artikel untuk menaggapi masalah-aktual untuk melacak faktor

kelemahan umat Islam. Di sini terlihat Hanafi ingin menggabungkan antara

semangat akademik dengan semangat kerakyatan. Artinya, sebagai seseorang

pemikir dan cendekiawan, Hanafi sangat peka terhadap persoalan yang sedang

27

dihadapi masyarakat (Gufron, teologi antroposentris Hassan Hanafi diakses

tanggal 15 oktober 2015. Pukul 23.20).

Sebagai seorang pendidik, Hanafi sehari-hari meluangkan waktunya

untuk mengajar di Universitas Kairo dan beberapa Universitas di luar negeri.

Pada tahun 1969, Hanafi menjadi Professor tamu di Perancis dan di Belgia

pada tahun 1970. tahun yang terakhir ini, Hanafi terkena masalah dengan

pemerintah sehingga ia di minta untuk memilih antara berhenti dari

aktivitasnya di Mesir atau pergi ke Amerika. Akhirnya, ia memilih yang kedua

dan disana ia mengajar. Hanafi mengajar di Universitas Temple (1971-1975)

dan di tempat inilah Hanafi menggunakan waktunya untuk menulis tentang

dialog agama-agama dan revolusi (Luthfi, 2004 : 55).

Sepulangnya dari Amerika Hanafi berusaha memulai tulisannya tentang

pembaharuan pemikiran Islam yang telah lama tertunda. Pertama, Hanafi

merintis penulisan buku al-Tura>ts wa al-Tajdi>d, namun akhirnya belum

terwujud pula karena ia dihadapkan pada pergerakan anti-pemerintah Sadat

yang pro-Barat dan melindungi Israel. Antara 1976-1981, terpaksa Hanafi

membantu menjernihkan situasi melalui tulisan-tulisannya yang kemudian

menjadi al-Din wa al-Tsawrah (8 Jilid) tahun 1980-1983, Hanafi menjadi

Professor tamu di Universitas Tokyo, tahun 1985 serta di Emirat Arab dan

Maroko pada tahun 1983-1984 (Nur Hakim, 2001 : 12)

3. Karya-karya Hassan Hanafi

Keterlibatan Hanafi pada gerakan-gerakan anti-pemerintahan Presiden

Anwar Sadat, menjadikannya dipecat dari Universitas Kairo dengan tuduhan

28

menentang penguasa. Hanafi pun kemudian banyak menulis di berbagai surat

kabar dan majalah. Tulisan-tulisannya merupakan refleksi Hanafi atas sejumlah

persoalan agama, sosial dan politik di Mesir. Ia kemudian mengumpulkan

tulisan-tulisannya tersebut dan menerbitkannya dalam bentuk buku berjudul al-

di>n wa al-tsaurah fi> Mishr 1952-1981 (Agama dan Revolusi di Mesir 1952-

1981). Buku itu dikemas dalam delapan volume-

1) Vol. I: Agama dan Kebudayaan Bangsa;

2) Vol. II:Agama dan Pembebasan Kebudayaan;

3) Vol. III: Agama dan Perjuangan Nasional;

4) Vol. IV: Agama dan Pembangunan Bangsa;

5) Vol. V: Gerakan-gerakan Keagamaan Kontemporer;

6) Vol. VI: Fundamentalisme Islam;

7) Vol. VII: Kanan dan Kiri dalam Pemikiran Islam;

8) Vol. VIII: Kiri Islam dan Kesatuan Nasioanal (Badruzaman,

2005: 46).

Pada periode yang terakhir (tahun 80-an sampai 90-an), karya-karya

Hanafi memiliki latar belakang politik yang relatif lebih stabil dibanding masa-

masa sebelumnya. Pada periode tersebut Hanafi menulis al-Tura>ts wa al-

Tajdi>d, yang memuat landasan teoritis bagi dasar-dasar pembaharuan dan

langkah-langkahnya. Al-Yassa>r al-Isla>mi> merupakan manifesto Hanafi yang

paling utuh, karena embrio gagasannya telah disemaikan sejak pergumulan

Hanafi dengan suasana sosial-politik yang penuh gejolak selama hampir 35

tahun, yaitu sejak tahun 1946 hingga tahun 1981 (Badruzaman, 2005: 56).

29

Berikut ini adalah karya-karya Hanafi dari buku terjemahan, :

مناذج من الفلسفة املسيحية )املعلم ألوغسطني, اإلميان باحثا عن العقل (1

ألنسليم, املوجود املاهية لتوما األكويين( الطبعة األوىل. دار الكتاب اجلامعية,

, الطبعة ٨٦٩١, الطبعة الثانية, اإلجنلو املصرية, القاهرة, ٨٦٩١اإلسكندرية

.٨٦١٨التنوير, بريوت, الثالث, دار

(Nama>dzij minal falsafah al-masi>chiyyah al-mu’alim liagustin,

al-iman ba>chitsan ‘anil ‘aql liunsali >m, al-mauju>d al-ma>hiyah

litu>ma> lakwi>ni> at-thab’ah al-ula. Da>rul kita>b al-ja>mi’iyah al-

iskandariyah 1968, at-thab’ah al-tsa>niyah al-inglo> al-mishriyah,

al-qa>hirah, 1968, at-thab’ah al-tsa>lits, da>rut tanwi>r, bairu>t, 1981)

اسبينوزا: رسالة يف الالهوت والسياسة, الطبعة األوىل, اهليئة العامة الكتاب, (2

, الطبعة الثالثة,٨٦٩١, الطبعة الثاين, األجنلو املصرية, القاهرة ٨٦٩١القاهرة

.٨٦١٨دار الطليعة, بريوت,

(Ispi>no>za>; risa>latu fil lah>u>t was siya>sah, at-thab’ah al-u>la, al-

hai’atul ‘ammah al-kita>b, al-qa>hirah 1973, at-thab’ah al-tsa>ni, al-

anglo al-mishriyah, al-qa>hirah 1978, at-thab’ah al-tsa>litsah, da>ru

at-thab’ah , bairu>t, 1981).

30

لسنج: تربية اجلنس البشري وأعمال أخرى, الطبعة األول, دار الثقافة اجلديدة, (3

.٨٦١٨, الطبعة الثانية, دار التنوير, بريوت ٨٦٩٩القاهرة

(Lising; tarbiyatul jinsi al-busyro> wa a’ma >lu ukhro>, at-thab’ah

al-awwal, da>ru al-tsaqo>fatul jadi>dah, al-qa>hiroh 1977, at-thab’ah

al-tsa>niyah, da>ru al-tanwi>r, bairu>t 1981)

جان بول سارتر: تعاىل األنا موجود, الطبعة األوىل, دار الثقافة اجلديدة, القاهرة (4

.٨٦١١, الطبعة الثانية, دار التنوير بريوت ٨٦٩٩

(Jan paul Sartre; ta’alal ana > mauju>d, at-thab’ah al-ula>, da>ru al-

tsaqo>fatul jadi>dah, al-qa>hirah 1977, at-thab’ah al-tsa>niyah, da>ru

al-tanwi>r bairu>t 1982).

(Hanafi, 1988 : 532)

Selain menerjemahkan buku-buku dari tokoh Barat, tentunya Hanafi juga

memiliki Karya dalam bahasa Arab :

يف فكرنا املعاصر, الطبعة األىل, دار الفكر العريب, قضايا معاصرة, اجلزء األول, (1

دار , الطبعة الثالثة, ۶۷۹۶الطبعة الثاين, دار التنوير, بريوت ۶۷۹۱القاهرة

۶۷۹۹الفكر العريب, القاهرة

(Qadha>ya Mu’a>shirah, al-juz-u al-awwal, fi fikrina> al-Mu’a>shir,

al-Thob’atu al-ula>, da>ru al-fikr al-‘Arabiy, al-Qa>hirah 1976 at-

31

thab’ah al-tsa>niy da>ru al-tanwi>r, Beirut 1981, at-thab’ah al-

tsa>litsatu da>ru al-fikr al-‘Arabiy, al-Qa>hirah 1987).

قضايا معاصرة, اجلزء الثاين, يف الفكر الغريب املعاصر, الطبعة األوىل, دار الفكر (2

, الطبعة ۶۷۹۱عة الثانية, دار التنوير, بريوت , الطب۶۷۹۹العريب, القاهرة,

۶۷۹۹الثالثة, دار الفكر العريب, القاهرة,

(Qadha>ya Mu’a>shirah, al-juz-u al-tsa>niy fi al-fikr al-Ghorbiy al-

Mu’a>shir, at-thab’ah al-u>la>, da>ru al-fikr al-‘Arabiy, al-Qa>hirah

1977, at-thab’ah al-tsa>niyah da>ru al-tanwi>r, Beirut 1982, at-

thab’ah al-tsa>litsah da>ru al-fikr al-‘Arabiy, al-Qa>hirah 1988)

الرتاث والتجديد, موقفنا من الرتاث القدمي, الطبعة األوىل املركز العريب للبحث (3

, الطبعة ۶۷۹۶, الطبعة الثانية دار التنوير, بريوت, ۶۷۹۱والنشر, القاهرة,

.۶۷۹۹ألجنلو املصرية, القاهرة الثالثة, ا

(al-tura>ts wa al-tajdi>d, mawqifuna> min al-tura>ts al-qadi>m, at-

thab’ah al-u>la> al-markazu al-‘arabiy li al-bahhts wa al-nashru, al-

Qa>hirah 1980, at-thab’ah al-tsa>niyah da>ru al-tanwi>r, Beirut 1981,

at-thab’ah al-tsa>litsah, al-anglu al-Mishriyah, al-Qa>hirah 1987)

, الطبعة ۶۷۹۶دراسات إسالمية, الطبعة األوىل, االجنلو املصرية, القاهرة (4

.۶۷۹۱الثانية, دار التنوير, بريوت

32

(Dira>satu Isla>miyah, at-thab’ah al-u>la>, al-anglu al-Mishriyah, al-

Qa>hirah 1981, at-thab’ah al-tsa>niyah da>ru al-tanwi>r, Beirut

1982)

من العقيدة إىل الثورة, حماولة إلعادة بناء علم اصول الدين, )مخسة جملدات( (5

۶۷۹۹, الطبعة الثانية دار التنوير, ۶۷۹۹الطبعة األول, مدبويل, القاهرة

(Min al-‘aqi>dah ila> al-tsawrah, mucha>walah li-i’a>dati bina>u ‘ilmu

ushu>lu al-di>n, (Khomsatu mujalada>tu) at-thab’ah al-u>la>, madbu>li>,

al-Qa>hirah 1988, at-thab’ah al-tsa>niyah da>ru al-tanwi>r, 1988)

, ۶۷۹۹, مثانية اجزاء مدبويل القاهرة ۶۷۹۶-۶۷۹۱الدين و الثورة يف مصر (6

۶۷۹۹دراسات فلسفية األجنلو املصرية, القاهرة

(al-di>n wa al-tsawrah fi> Mishra 1952-1981, tsama>niyatu ajza>u

madbu>li> al-Qa>hirah 1988, dira>sat falsafiyah al-anglu al-

Mishriyah, al-Qa>hirah 1988)

(Hanafi, 1988 : 534)

Karya Hassan Hanafi berbahasa Inggris dan Perancis antara lain :

1) Les Methodes d‟EXegese essai sur la science des fondements de

la Comprehension, ilm usul al-Fiqh, Le Caire, 1965.

2) L‟exegese de la phenomenologique, I‟Etat actuel de la method

Phenomenologique et son application au phenomene religieux

(Paris, 1965) ;e Caire 1980.

33

3) La Phenomenologie de I‟Exegese, essai d‟une hermeneutique

existentielle a partie du Nouveau Testament, (Paris, 1966) Le

Caire, 1988 (sous-press)

4) Religious Dialouge and Revolution essays on Judaism,

Christianity and Islam, Anglo-Egyption Bookshop, Cairo, 1977.

5) Dialouge Religieux et Revolution Vol. II, Anglo-Egyptian

Bookshop, Le Caire, 1989 (sous presse)

6) Religion, Ideology and Development, Anglo-Egyptian Bookshop,

Cairo 1989 (in print)

(Hanafi, 1988 : 535)

B. Kondisi masyarakat Mesir

1. Keadaan masyarakat Mesir

Negara Mesir menjadi jajahan Inggris setelah gagalnya Revolusi Arab

pada tahun 1882 M. Tentara Inggris mulai menyebar di seluruh penjuru negeri

untuk menjaga segala kepentingan Inggris di sana dan sejak saat itu mereka

menjadi penguasa yang harus ditaati. Sementara Sultan penguasa Mesir

hanyalah seperti boneka yang mudah dipermainkan oleh Inggris. Pada

perempat abad pertama abad 20 terjadilah beberapa peristiwa penting yang

berpengaruh kepada masyarakat Mesir, salah satunya Revolusi Bangsa Mesir

tahun 1919 M (Amin, 2005:34).

Selama pemerintahan Kerajaan Turki Utsmani atas Mesir (1517-1918),

kebudayaan Islam disana mengalami kemunduran, karena penguasa

berkeyakinan bahwa menuntut ilmu filsafat, ilmu bumi, ilmu pasti dan ilmu-

34

ilmu yang bertalian dengan itu menyebabkan kemurtadan. Perubahan ke arah

kebudayaan dan pendidikan hingga Mesir menjadi pusat ilmu pengetahuan

dunia Islam tidak lepas dari jasa Jamaluddin Al-Afghani (1837-1897) dan

muridnya Muhammad Abduh (1849-1905). Gema gagasan beliau beserta

murid-muridnya menggetarkan dunia Islam secara keseluruhan (Chirzin, 2001:

24).

Sepanjang dua tahun berlangsungnya perundingan, manuver-manuver

dan tipu daya-tipu daya pihak Inggris, maka pada akhirnya pihak Inggris

mengumumkan bahwa bangsa Mesir akan mendapatkan kebebasan dan

kemerdekaannya. Kemudian Inggris mengumumkan secara sepihak

berakhirnya perlindungan Inggris terhadap Mesir dan menyatakan bahwa

Mesir telah merdeka dan itu dikenal sebagai deklarasi 28 Februari 1922 M

(Amin, 2005:37).

Hanafi lahir dibesarkan dalam kondisi masyarakat Mesir yang penuh

pergolakan dan pertentangan. Dari sisi sosial politik, saat itu terdapat dua

kelompok ekstern yang saling berebut pengaruh. Pada sayap kiri ada partai

komunis yang semakin kuat atas pengaruh Soviet di seluruh dunia.

Kemenangan Soviet selama perang dan dikukuhkannya perwakilan Soviet di

Kairo (1942) ini semakin meningkatkan minat mahasiswa untuk belajar

Komunisme. Sementara di sayap kanan, ada Ikhwanul Muslimin, didirikan

Hasan al-Banna tahun 1929 di Ismailiah yang pro-Islam dan anti barat.

Kelompok ini memiliki sejumlah besar pengikut, termasuk Hanafi sendiri pada

35

awalnya (Rohmi, http://monitaadvanturestudy.blogspot.co.id.diakses 15 oktober

2015 pukul 23.20 WIB 2015).

Bukunya Hassan Hanafi yang berjudul Al-turats wa al-tajdid

menjelaskan ada 3 kelompok pemikiran yang tersebar di masyarakat yaitu

yang pertama, kelompok yang beranggapan bahwa warisan masa lalu meliputi

segala sesuatu dan menyediakan jawaban atas persoalan masa lalu dan masa

sekarang. Kelompok pertama ini ingin mengajak umat Islam kembali

memahami ajarannya secara totalitas yang diwakili oleh al-Banna dan

Ikhwanul Musliminnya. Kedua, kelompok yang beranggapan bahwa hanya

dengan hal-hal baru saja segala persoalan umat sekarang dapat di selesaikan.

Kelompok kedua cenderung kepada pemikiran bebas dan rasional, dengan

berkiblat pada peradaban barat dengan segala presentasinya. Ketiga, kelompok

yang bermaksud mengintegrasikan kedua kelompok tersebut, kelompok yang

berusaha memadukan Islam dan Barat yang diwakili oleh „Ali „Adul Raziq

(Amrullah,1997: 43).

Dalam menghadapi tantangan mordenitas dan liberalism politik,

kelompok pertama dan kebanyakan ulama konservatif menganggap bahwa

politik Barat tidak bisa diterapkan di Mesir, bid‟ah. Pengadopsian sistem

politik Barat oleh pemerintah Mesir berarti pengingkaran terhadap nilai-nilai

Islam. Sebaliknya, kelompok kedua yang kebanyakan para sarjana didikan

barat menganggap bahwa, jika ingin maju maka harus menerapkan sistem

Barat. Mereka menganggap bahwa para ulama adalah kendala mordenisasi,

bahkan penyebab keterbelakangan Mesir dalam sosial politik dan ekonomi.

36

Pemikiran dan gerakan kelompok kedua ini, banyak mendapat dukungan dari

pemerintah, sehingga dalam hal tertentu mereka dapat menjalankan program-

programnya (Rohmi, http://monitaadvanturestudy.blogspot.co.id.diakses 15

oktober 2015 pukul 23.20 WIB 2015)

2. Tokoh yang berpengaruh dalam pemikiran Hassan Hanafi

a) Jamaluddin al-Afghani (1838 M – 1897 M)

Sayyid Muhammad bin Safdar al Husayn (1838-1897) umunmnya

dikenal sebagai Sayyid Jamal-al-Din al-Afghani lahir di desa Asadabad dekat

Hamadan, daerah Kuran, Afghanistan. Al-Afghani merupakan aktivis politik,

nasionalis Islam, pencetus, perintis Islamisme dan Pan Islamisme. Ia

digambarkan sebagai pribadi yang lebih memperjuangkan kaum muslim

terhadap dominasi politik Barat dibandingkan masalah teologi (Bahar, 2013:

24).

Afghani melanjutkan belajar ke India selama satu tahun. Di India

Afghani menekuni sejumlah ilmu pengetahuan melalui metode modern.

Kemudian ia meneruskan perjalanannya menuju ke Mekkah untuk menunaikan

ibadah haji. Perjalanannya ini menghabiskan waktu selama setahun. Ia singgah

dari satu kota ke kota lain, sambil mengamati adat istiadat masyarakat yang

dilewati. Ia sampai Mekkah pada tahun 1857 (Edward, 1982 : 109).

Saat berada di India ia melihat umat Islam dalam kemunduran. Ia melihat

kemunduran umat Islam bukan karena Islam tidak sesuai dengan perubahan

zaman, melainkan disebabkan umat Islam telah dipengaruhi oleh sifat statis,

fatalis, meninggalkan akhlak yang tinggi, dan melupakan ilmu pengetahuan.

37

Kemudian factor lain yang ikut memundurkan umat Islam adalah lemahnya

persaudaraan, perpecahan umat Islam serta kesalahan dalam memahami qadha

dan qadar. Mereka tidak berbuat dan menggantungkan harapan pada nasib

(Mohammad, 2006:214).

Al-Afghani meletakkan titik balik saat ia berkelana dari India ke Mesir

dalam usahanya untuk membangkitkan umat Islam dan membela diri dari

tindakan-tindakan imperialism dengan cara menyatukan kekuatan mereka

sebagai bangsa yang berdiri sendiri atau sebagai bangsa muslim dalam rangka

memperoleh kembali kekuasaan dan harga diri mereka yang hilang (Chirzin,

2001: 25).

Saat di Kairo ia mempunyai beberapa murid salah satu muridnya adalah

Muhammad Abduh. Al-Afghani dimata Inggris adalah sosok yang berbahaya

yang mampu membangkitkan kembali semangat juang umat Islam. Sedangkan

Inggris adalah penyebab kemunduran umat Islam dan tidak ingin melihat umat

Islam bersatu. Akhirnya al-Afghani diusir dari Mesir oleh Inggris pada tahun

1879.

Kemudian ia berhijrah ke Eropa, ia antara lain berhijrah ke Paris,

London, dan Rusia. Ia di Rusia memberi pengaruh pada cendekiawan Rusia

dan menjadi orang kepercayaan Tsar. Karena pengaruhnya itu, Rusia

memperbolehkan orang Islam mencetak al-Qur‟an dan buku-buku agama

Islam, yang sebelumnya dilarang. Al-Afghani membuat jurnal Al-Urwat- Al-

Wuthqa yang mengecam keras Barat. Tapi jurnal ini dilarang diedarkan di

38

negara-negara muslim oleh penguasa Barat karena dikhawatirkan

menimbulkan semangat persatuan Islam (Mohammad.dkk, 2006:215).

Istambul, Turki adalah tempat terakhir perjuangan seorang al-Afghani. Ia

wafat pada 9 Maret 1897 dalam usia 59 tahun. Ide Jamaluddin al-Afghani

adalah “Pan-Islamisme”, sebuah gagasan untuk membangkitkan dan

menyatukan dunia Arab khususnya dan dunia Islam umumnya untuk melawan

kolonialisme Barat. Persatuan umat Islam harus diwujudkan kembali. Inti Pan-

Islamisme terletak pada ide bahwa Islam adalah satu-satunya ikatan kesatuan

kaum muslimin. Jika kekuatan itu diperkokoh, jika dia menjadi sumber

kehidupan dan pusat loyalitas mereka, maka kekuatan solidaritas yang luar

biasa akan memungkinkan pembentukan dan pemeliharaan negara Islam yang

kuat dan stabil (Mohammad.dkk, 2006: 217).

b) Muhammad Abduh (1849 M – 1905 M)

Nama lengkapnya adalah Muhammad Abduh bin Hassan Khair Ullah

(lahir di Desa Mahallat Nashr, Provinsi Ghorbiyah, Mesir pada 1265 H/1849

M) dan wafat pada tahun 1905. Ayahnya bernama Abduh Khair-Allah, warga

Mesir keturunan Turki. Sedangkan ibunya adalah perempuan yang berasal dari

suku Arab yang nasabnya sampai pada Umar Ibnul Khattab, sahabat nabi

Muhammad saw (Amri, 2013: 15).

Sejak kecil Abduh sudah dididik ayahnya dengan al-Qur‟an. Ayahnya

mengajarkan baca tulis dan menghafal al-Qur‟an. Hanya dengan belajar

kurang lebih tiga tahun saja ia sudah mampu menghafal seluruh isi al-Quran.

Pada usia 14 tahun Abduh dikirim ke Thanta, untuk menimba ilmu al-qur‟an,

39

bahasa arab dan fikih di sebuah lembaga pendidikan Masjid Al-Ahmad milik

al-Azhar. Ia hanya bertahan disana selama dua tahun saja karena dia sudah

merasa bosan belajar. Hal itu disebabkan karena, menurut Abduh system

pendidikannya hanya dengan menggunakan metode hafalan dan tidak memberi

kebebasan para muridnya untuk mengembangkan pikirannya (Mohammad,

2006:226). Menurut peneliti, dengan dasar kurangnya kebebasan dalam

mengembangkan pikiran yang dialami Abduh tersebut yang menginspirasi

pemikiran Hanafi yang ingin mengoptimalkan fungsi dari akal.

Abduh kemudian bertemu dengan al-Afghani dan belajar bersama lalu

bekerjasama melakukan reformasi di Mesir. Konsep yang sering diikuti oleh

para reformis seperti al-Afghani dan Abduh adalah bahwa Islam tidak bisa

menghadapi tantangan modernitas (dan Barat), kecuali muslim menerima

pendidikan modern, termasuk ilmu pengetahuan dan pengetahuan “rasional”

lainnya. Abduh menerima pelajaran tentang pemikiran Islam yang rasional

pertama kali dari al-Afghani yang tentu saja tidak pernah diajarkan oleh al-

Azhar dan institusi lainnya (Woodward, 2002: 240).

Muhammad Abduh bekerjasama dengan gurunya, Jamaluddin al-

Afghani. Kemudian mereka berdua mengelola majalah al-Urwah al-Wutsqa

yang terbit dari Paris. Abduh adalah ulama yang menganjurkan dan membuka

pintu ijtihad yang telah lama dikunci. Walaupun ide-ide pembaruan Abduh

banyak menuai kritik, ulama ini tetap konsisten menyebarkan pemikiran-

pemikiran pembaruan Islam. Abduh sangat tidak menyukai adanya ahli fikih

dan ulama yang hanya menyibukkan diri dengan masalah-masalah furu’iyah

40

dan meninggalkan masalah utama umat. Abduh juga dikenal sebagai tokoh

yang gigih memerangi segala bentuk khurafat, ia mengajak umat agar

memurnikan aqidah mereka (Mohammad, 2006:227).

Muhammad Abduh memandang akal berperan penting dalam mencapai

pengetahuan yang hakiki tentang iman. Akal dalam sitem teologi Abduh

bahkan memiliki kekuatan yang sangat tinggi. Berkat akal, orang dapat

mengetahui adanya Tuhan dan sifat-sifat-Nya, mengetahui adanya hidup di

akhirat, mengetahui kewajiban terhadap Tuhan, mengetahui kebaikan dan

kejahatan, serta mengetahui kewajiban membuat hokum-hukum. Namun

menurutnya, akal masih membutuhkan wahyu sebagai petunjuk hidup mereka.

Sebab wahyu sesungguhnya memiliki dua fungsi utama, yakni menolong akal

untuk mengetahui secara rinci mengenai kehidupan akhirat, dan menguatkan

akal agar mampu mendidik manusia untuk hidup secara damai dalam

lingkungan sosialnya (Mohammad, 2006:228).

Abduh menegaskan rasionalisme Islam yang inheren dan cocok dalam

mengantisipasi ilmu pengetahuan modern. Mirip dengan apa yang dilakukan

oleh mutakallim Mu‟tazilah dulu, dan juga tidak terlalu berbeda dengan

kelompok Islamisis sekarang, syekh Abduh bekerja untuk memperlengkapi

muslim dengan argument yang akan efektif di dunia modern dalam

mempertahankan Islam dari serangan luar (Eropa dan Kristen). Seperti

Islamiyun sekarang, beliau menegaskan bahwa Islam yang benar tidak

mengenal batasan Negara atau politik (Woodward, 2002: 247).

41

C. Pemikiran Kiri Islam Hassan Hanafi

Sejak ajaran Islam yang dibawa Adam hingga Islam pamungkas yang

dibawa Muhammad adalah “Ajaran Kiri”, dalam artian Islam adalah ajaran

praksis selalu memberontak terhadap tatanan-tatanan social yang menindas

dan diskriminatif. Para nabi pembawa Islam adalah hamba-hamba kebenaran

yang berjuang dengan sepenuh jiwa demi membela kesetaraan social

(Badruzaman, 2005 : 1-2). Arti „Kiri‟ disini adalah gerakan melawan

penindasan. Islam yang dibawa nabi Muhammad pun juga memberontak dari

tatanan social, yaitu memberontak dari penindasan kaum kafir Quraisy untuk

meraih kebebasan dan keadilan.

Ajaran Islam mengenai tauhid dan pengabdian kepada Tuhan bukan

suatu seruan religious seperti seruan konvensional yang biasa dikenal. Ia

adalah seruan untuk melaksanakan revolusi social. Seruan tersebut secara

langsung menyerang system kelas yang memperbudak manusia dengan tujuan

mengakhiri dominasi system-sistem yang tidak Islami, baik dalam bidang

akidah, tata pergaulan dalam bidang politik, social, ekonomi dsb (Chirzin,

2001: 59).

Jadi, yang dimaksud dengan Kiri Islam adalah kiri dalam pemikiran

Islam berikut produk-produknya, termasuk produk pemikiran klasik yang biasa

disebut turats, dan dalam perilaku umat Islam yaitu para penguasa, rakyat dan

kaum intelektualnya sepanjang sejarah mereka (Badruzaman, 2005 : 3-4).

Jurnal Kiri Islam adalah kelanjutan Al-Urwah al-Wutsqa dan Al-

Manar dilihat dari keterikatannya dengan agenda Islam al-Afghani; yaitu

42

melawan kolonialisme dan keterbelakangan, menyerukan kebebasan dan

keadilan sosial, serta mempersatukan kaum muslimin ke dalam blok Islam atau

blok Timur dalam suatu kesatuan yang dinamai dengan Al-Jami’ah al-

Islamiyah atau Pan Islamisme (Khoerotunnisa, http://pringtutul-

kalisabuk.blogspot.co.id diakses tanggal 15 Oktober 2015 pukul 23.20 WIB).

Mengenai penamaan Kiri Islam sendiri, ini menggambarkan arus yang

berkembang dalam esai-esai di dalamnya. Ia adalah nama ilmiah, sebuah

istilah ilmu politik yang berarti resistesi dan kritisisme dan menjelaskan jarak

antara realitas dan idealitas tapi bukan dalam pengertian menarik khalayak

untuk memilih satu partai memobilisasi massa. Ia juga terminologi ilmu-ilmu

kemanusiaan secara umum. Namun hanya merupakan ungkapan paling jujur

tentang realita kaum muslimin yang kehidupannya terpecah (Khoerotunnisa,

http://pringtutul-kalisabuk.blogspot.co.id diakses tanggal 15 Oktober 2015 pukul

23.20 WIB).

Pada bidang filsafat hukum Islam, Kiri Islam bukanlah aliran baru,

karena tetap bersandar pada aliran pemikiran fikih klasik, namun secara

selektif. Kiri Islam tidak mengikuti mazhab Hanafi, Syafi‟I atau Hanbali, tanpa

mendiskriminasikan anatara mazhab satu dengan yang lainnya (Badruzaman,

2005 : 71).

Hassan Hanafi sendiri menyadari, walaupun dengan nama Kiri Islam

akan menyebabkan perlawanan datang dari dua arah. Pertama Kelompok

“Persaudaraan Allah” akan berkata: tidak ada Kiri dan Kanan dalam Islam.

Islam adalah satu, umat Islam satu dan Tuhan satu. Sementara perlawanan

43

kedua dari kalangan pembela status quo (politik, ekonomi dan status sosial)

yang menolak perubahan akan mengatakan bahwa Kiri dan Kanan itu adalah

permainan kata-kata, untuk memecah belah umat, menyebar intrik dan fitnah.

Kiri adalah pengkhianat, pembangkang, penghasut dan tidak senang pada

kebaikan manusia (Khoerotunnisa: http://pringtutul-kalisabuk.blogspot.co.id

diakses tgl 15 Oktober 2015 pukul 23.20 WIB). Secara singkat dapat

dikatakan, Kiri Islam bertopang pada tiga pilar dalam rangka mewujudkan

kebangkitan Islam, revolusi Islam (revolusi Tauhid), dan kesatuan umat.

Ketiga pilar tersebut adalah sebagai berikut:

1. Revitalisasi Tradisi Islam

Tradisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online

mempunyai dua arti; yang pertama adalah tradisi merupakan adat kebiasaan

turun temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat;

yang kedua adalah tradisi merupakan penilaian atau anggapan bahwa cara-cara

yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar (KBBI daring, 2016).

Jadi yang dimaksud tradisi adalah hal-hal yang berupa adat kebiasaaan atau

cara-cara yang masih dilakukan di masyarakat dan dianggap menjadi yang

paling baik dan benar. Tradisi tersebut dapat berupa peninggalan lisan atau

tulis para pendahulu.

Tradisi adalah sesuatu yang sampai kepada bangsa yang ditinggalkan

oleh para pendahulu, diwarisi dari generasi ke generasi, terjadi untuk

gelombang-gelombang umum, orientasi-orientasi dan sekolah-sekolah

pemikiran dan berpengaruh dalam perjalanan kehidupan manusia (Hanafi,

44

2015 : 66). Menurut Peneliti, tradisi merupakan peninggalan yang diwariskan

oleh para pendahulu kepada generasi bangsa kemudian mampu memproteksi

diri dari gelombang-gelombang yang menjadi sebuah tuntutan sejarah.

Sedangkan tuntutan sejarah tidak bisa dihindarkan dari kehidupan manusia

karena hal itu adalah kelaziman yang terjadi di setiap zaman. Tugas generasi

bangsa dalam mewujudkan tuntutan sejarah berupa intervensi budaya sehingga

nantinya akan ada ketersambungan sejarah atau generasi-generasi zaman itu

mengabaikan tuntutan historis sehingga akar-akar historisnya terputus.

Kata “tradisi” (al-tura>ts) berasal dari penggunaan orang-orang modern

di bawah pengaruh pemikiran Barat, sebagai terjemahan tidak sadar dan tidak

langsung terhadap kata-kata seperti legacy, heritage, Uberlieferung sebagai

sesuatu yang menunjukkan akhir sebuah periode dan permulaan periode yang

lain (Hanafi, 2015: 118).

Tradisi menurut Hanafi dapat ditentukan dalam berbagai level.

Pertama, tradisi itu dapat kita tentukan dalam berbagai bentuk tulisan, buku,

manuskrip, atau lainnya yang tersimpan di perpustakaan atau tempat-tempat

lain. Kedua, Tradisi itu dapat ditemukan juga dalam rupa konsep-konsep,

pemikiran, dan ide-ide yang masih hidup dan hadir ditengah realitas. Kategori

pertama lebih bersifat matrialistik sedangkan yang kedua lebih bersifat abstrak.

Setiap tradisi mengusung semangat zamannya, mencerminkan tahap perjalanan

sejarah, ia bisa berubah-ubah dan berganti-ganti, dan terbentuk sesuai generasi

dan tantangan yang ada pada zamannnya (Hidayat:

45

http://cahayaakhirat.blogspot.co.id diakses tanggal 15 Oktober 2015 pukul

23.20 WIB).

Edward Shils merinci lebih jauh bahwa tradisi itu adalah sesuatu yang

ditransmisikan secara lisan maupun melalui tulisan; meliputi keyakinan agama

maupun persoalan yang terkait dengan keduniaan; mencakup keyakinan yang

dihasilkan dari logika, yang secara teori mengontrol prosedur intelektual

maupun keyakinan yang diterima tanpa renungan yang dalam. Tradisi

mencakup pemikiran keyakinan yang diwahyukan oleh Tuhan maupun

interpretasi terhadap keyakinan tersebut. Tradisi mencakup keyakinan yang

dibentuk melalui pengalaman maupun keyakinan yang diperoleh dari

kesimpulan logika. Dalam Islam, tradisi meliputi nilai ajaran yang termuat

dalam sumber pokok ajaran, al-Qur‟an dan Hadits, serta produk pemikiran

para ulama salaf dalam memahami dan menafsirkan sumber pokok ajaran

tersebut (Jainuri, 2014: 1).

Turats dalam pandangan Hassan Hanafi dianggap sebagai starting

point (nuqthah al-bida>yah) dalam melajukan upaya tajdi>d. Sedangkan nilai

tura>ts itu sendiri diukur dengan kredibilitasnya dalam menawarkan teori

praktis (nazhriyah ‘amaliyah) yang menafsirkan serta menyikapi suatu realitas

dan sekaligus mengembangkan teori tersebut (Badruzaman, 2005 : 79). Jadi,

dalam upaya pembaharuan yang dicetuskan Hanafi dimulai dari tradisi itu

sendiri, tidak dari „yang lain‟. Konsentrasi Hanafi dalam pembaharuan terletak

pada tradisi umat Islam.

46

Kiri Islam berupaya merekonstruksi khazanah klasik Islam. Tujuannya

adalah untuk membangun kembali paradigma ilmu pengetahuan Islam setelah

sekian waktu terlupakan dari agenda kehidupan umat Islam. Studi khazanah

Islam klasik bukan untuk mempertahankannya, melainkan untuk

menghilangkan aspeknya yang negative dan memilih unsur-unsur positif di

dalamnya guna kemajuan umat (Badruzaman, 2005 : 80).

Kebangkitan menuntut pula perubahan orientasi peradaban dari Allah

(theocentrism) kepada manusia (antrophocentrism), dari vertikal ke horizontal,

dari bahasa peradaban yang dogmatis-religius-ideologis-sufistik dan eksklusif

menjadi bahasa kemanusiaan universal dan rasional serta terbuka terhadap

dialog. Reformasi gagal karena sikap membela tradisi dipertahankan di tengah

perubahan zaman dan mendesaknya kebutuhan untuk bersikap kritis. Warisan

tradisi dianggap bagian fundamental dalam kebudayaan yang tidak bisa

diganggu gugat, dan ini digunakan status quo untuk menjustifikasi diri

(Hanafi, 2015 :244). Unsur utama kebangkitan ada pada sikap kritis umat

Islam. Setiap individu, tiap muslim wajib hukumnya untuk bersikap kritis,

apabila semua muslim menginginkan kemajuan dalam kehidupan social,

politik, ekonomi dan bernegara maka perlu adanya perubahan paradigma dari

metafisik ke rasional sosialis.

Turats bukanlah museum pemikiran yang dapat kita banggakan.

Bukan pula sesuatu yang berada dihadapan tempat kita berdiri dan dengan rasa

bangga kita mengajak dunia untuk bersama-sama melihat dan mengembara

dalam pemikiran. Akan tetapi turats merupakan suatu teori untuk aksi dan

47

membimbing moral, serta merupakan asset bangsa yang dapat disingkap dan

dieksploitasi serta dikembangkan guna merekonstruksi manusia dan

hubungannya dengan alam sekitar (Badruzaman, 2005 : 79). Jadi tradisi itu

bukan semata-mata warisan yang bersejarah layaknya benda dalam museum.

Akan tetapi tradisi menjadi pandangan hidup bangsa yang mampu menjadikan

manusia mengembangkan dirinya lebih baik lagi. Beserta mampu

memanfaatkan alam seperti dijelaskan dalam al-Qur‟an bahwa tugas manusia

di bumi adalah sebagai khali>fah yang mampu mengelola alam dengan baik.

Banyak ahli tafsir melakukan tafsir historis, seolah-olah al-Qur‟an

hanya berbicara untuk realitas, ruang dan waktu tertentu karena hanya

menampilkan peristiwa-peristiwa masa lalu. Sedangkan Kiri Islam

membangun tafsir perseptif (al-tafsir al-syu’uri) bahwa al-Qur‟an

mendeskripsikan manusia, hubungannya dengan manusia lain, tugasnya di

dunia, kedudukannya dalam sejarah, membangun system social dan politik

(Badruzaman, 2005 : 87). Menurut penulis, metode tafsir tradisi secara

perseptif yang ditawarkan Hanafi melalui Kiri Islam kurang tepat, karena

setiap pembacaan teks pasti ada metodenya tesendiri. Apalagi Al-Qur‟an yang

merupakan kitab suci umat Islam, kitab sakral dan orisinil tentunya punya

metode khusus untuk menafsirkannya yaitu dari ilmu-ilmu qur‟an yang sudah

ada yang dicetuskan oleh para ulama terdahulu. Memang, ahli tafsir

menafsirkan secara historis juga memiliki tujuan untuk mengingatkan

manusia. Jadi tidak bisa al-Qur‟an ditafsirkan secara perseptif yang bisa

48

dilakukan oleh setiap manusia tanpa menggunakan metode penafsiran khusus

al-Qur‟an.

2. Oksidentalisme: Menantang Peradaban Barat

Pilar kedua adalah perlu adanya menantang peradaban Barat. Hanafi

memperingatkan pembacanya akan bahaya imperialisme kultural Barat yang

cenderung membasmi kebudayaan bangsa-bangsa yang secara kesejarahan

kaya. Hanafi mengusulkan “Oksidentalisme” sebagai jawaban “Orientalisme”

dalam rangka mengakhiri mitos peradaban Barat. Oksidentalisme sangat

penting untuk membangun sikap kritis setiap muslim dalam menghadapi setiap

kemajuan dan serangan kebudayaan yang mayoritas berasal dari Barat.

Imperialisme kebudayaan dilakukan dengan cara menyerang

kebudayaan dari dalam, dan melepas afiliasi umat atas kebudayaannya sendiri,

sehingga umat tercerabut dari akarnya. Kiri Islam memperkuat umat Islam dari

dalam dan tradisinya sendiri berdiri melawan pembaratan yang pada dasarnya

bertujuan melenyapkan kebudayaan nasional dan memperkokoh hegemoni

kebudayaan Barat (Badruzaman, 2005 : 91). Menurut peneliti, umat Islam kini

harus menyadari bahwa realitas zaman sekarang sudah berubah dan semakin

berkembang. Kemudian kemajuan (modernitas) tak mungkin terhindarkan.

Maka umat Islam seharusnya segera sadar akan kondisi ini jika tidak mau terus

tertinggal dengan peradaban yang lain. Demi mewujudkan cita-cita

kembalinya kejayaan Islam maka umat Islam harus bangkit melawan Barat

dengan segala pembaratan, imperialism dsb.

49

Terlepas dari serangan gerakan reformasi terhadap kaum materialis,

yang direpresentasikan oleh kaum sosialis, komunis dan nihilis, baik di India

atau di Barat; dan terlepas dari penolakan kita terhadap frame berpikir dan

budaya Barat dengan segenap aspeknya, gerakan reformasi agama

menganggap Barat sebagai acuan pembaharuan dalam hal pencapaian

pembangunan dan kemajuan ilmu pengetahuan (Hanafi, 2015:246). Walaupun,

memang para reformis tetap melihat Barat sebagai acuan pembaharuan dalam

hal keberhasilannya di bidang ilmu pengetahuan dan pembangunan. Akan

tetapi menurut peneliti, kaum reformis dengan segala bentuk usahanya untuk

membangkitkan semangat reformasi adalah dengan menyeru lagi pada umat

Islam untuk kembali memperkuat akidah dan pemahaman sesuai apa yang

sudah dimilikinya (tradisi).

Seruan untuk menantang dan menggantikan peradaban Barat

kemudian ditindaklanjuti oleh Hanafi dengan mengemukakan bahwa umat

Islam harus mengembangkan Oksidentalisme (al-istighra>b) yang merupakan

tandingan (lawan) bagi Orientalisme (al-istisyra>q). Maka dari itu, Hanafi

menerbitkan sebuah buku yang cukup tebal yaitu Pengantar Ilmu

Oksidentalisme-Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istighrab (Badruzaman, 2005 : 92).

Bagi Hanafi, Oksidentalisme merupakan wacana yang muncul untuk

memberikan kemampuan kepada muslim dan lainnya untuk kembali

menangkap pengetahuan rasional umat manusia dan dunia yang telah dikaji

oleh Eropa dan Amerika sejak abad ke-16 (Woodward, 2002: 378)

50

Anggapan Barat sebagai guru abadi dan non-Barat adalah murid

abadi. Adapun hubungan diantara keduanya merupakan hubungan satu arah

(monologis). Penggunaan senantiasa oleh yang kedua (murid) dan pemberian

oleh yang pertama (guru). Destruksi dari yang kedua dan konstruksi-inovatif

dari yang pertama (Hanafi, 2015:39). Anggapan kebudayaan Barat lebih maju

menjadi alasan penerimaan secara terbuka terhadap „yang lain‟. Penerimaan

tersebut akan menjadikan negara-negara Islam mengikuti „yang lain‟ secara

utuh jika tidak diimbangi dengan penyesuaian dari budaya sendiri.

Penyesuaian perlu dilakukan karena setiap bangsa memiliki kebudayaan

sendiri yang harus diwujudkan dalam peradabannya menjadi ciri khas dan jati

diri bangsa.

Ajakan Hanafi untuk mempelajari dan mengembangkan ilmu

Oksidentalisme seperti itu merupakan ajakan untuk menyikapi Barat sebagai

objek studi, ajakan untuk mengubah sikap dan kedudukan dari objek pasif

menjadi subjek aktif. Ajakan untuk menghilangkan mental penakut dan

“pantas dijajah” (qa>bil li al-isti’mar) untuk diganti dengan mental pemberani,

percaya diri dan selanjutnya perasaan punya harga diri. Ajakan untuk

memperkecil dan mempersempit lahan dominasi Barat, untuk selanjutnya

menghilangkan sama sekali. Ajakan-ajakan tersebut merupakan ajakan

pembebasan dari hegemoni kultural dan superioritas Barat (Badruzaman, 2005

: 92).

Munculnya fenomena westernisasi dan tidak ada seorang pun yang

mengkritisinya kecuali gerakan salafiyah yang reaksioner, yang di kalangan

51

kita dituduh sebagai gerakan „kembali ke masa lalu‟. Generasi kelima tidak

berupaya mengubah nilai lama, yakni Barat sebagai acuan pembaharuan,

menjadi “mengurangi pengaruh Barat” dan mengembalikannya pada batas-

batas yang wajar untuk membuka ruang dan kemungkinan berinovasi seluas-

luasnya bagi bangsa-bangsa sesuai dengan pengalaman mereka masing-masing

(Hanafi, 2015:247). Menurut peneliti, dalam upaya pembaharuan para generasi

bangsa dihadapkan pada masalah social, politik, ekonomi dan budaya yang

kompleks. Sehingga perlu adanya solusi dalam menghadapi permasalahan

tersebut. Maka, tugas generasi bangsa adalah mengubah nilai lama yaitu Barat

sebagai acuan menjadi mengurangi pengaruh Barat dan mengembalikannya

pada batas yang wajar. Sehingga nanti akan terwujud inovasi dari sebuah

gagasan dan ide yang diciptakan untuk bangsanya yang akan mampu

mewujudkan peradabannya sendiri.

Semua itu tidak berarti seruan eksklusivitas, kembali kepada kegilaan

subjek diri atau penolakan untuk mengetahui yang lain dan inklusif terhadap

yang lain. Hal yang demikian itu bukanlah watak orang-orang terdahulu yang

terbuka terhadap kebudayaan atau peradaban yang berdampingan, terutama

kebudayaan Yunani. Belajar kepada yang lain adalah medium artifisial, bukan

tujuan akhir. Ia adalah tahapan dan bukan merupakan sejarah. Ia adalah

semata-mata motivator dan penggerak, bukan sebagai alternative pengganti

sesuatu secara esensial (Hanafi, 2015:38). Jadi, untuk mewujudkan kemajuan

bangsa, perlu adanya sikap terbuka terhadap kemapanan yang sudah

ditunjukan oleh „yang lain‟. Seperti yang ditunjukan oleh orang-orang

52

terdahulu sehingga Islam mampu memiliki sikap rasional karena kemauan

untuk belajar keilmuan terhadap „yang lain‟. Bukan berarti dengan belajar itu

mengurangi kadar martabat sebuah bangsa, karena sesungguhnya belajar itu

hanya sarana bukan tujuan akhir.

Ketika kesadaran kultural yang diproduksi tradisi diri (autonomous)

menjadi kesadaran inklusif terhadap peradaban-peradaban lain, maka dengan

cepat ia akan merepresentasikan „tradisi yang lain‟ menguasai dan memakai

bahasanya, memakai frase-frasenya, mempergunakan metode-metodenya dan

menyempurnakan kekurangan-kekurangannya. Kemudian, melalui afiliasi

dengan tradisi “yang lain” itu direkayasalah inovasi penciptaan sendiri

(Hanafi, 2015: 85). Apabila kesadaran dari tradisi mampu menjadi sikap

terbuka terhadap „yang lain‟ maka akan mudah mengadaptasikan tradisi diri

dengan „yang lain‟. Sehingga mampu menstubtitusi hal-hal yang negative

dengan hal yang lebih positif demi kemajuan bangsanya. Jadi ada afiliasi

antara dua peradaban yang mampu menciptakan inovasi baru.

Perasaan inferior generasi sekarang terhadap barat. Mulai dari bahasa,

budaya, intelektual, aliran-aliran pemikiran, teori-teori maupun pandangan-

pandangan merupakan hal yang membentuk perasaan nihilistik di kalangan

mereka yang kadang-kadang berbalik pada prasangka kemuliaan sebagaimana

yang terjadi komunitas-komunitas Islam kontemporer dan yang terjadi di

dalam Revolusi Islam Iran (2015:41). Ketidakmampuan umat Islam menyaingi

peradaban Barat yang sudah maju dikarenakan mulai lunturnya kepercayaan

diri. Para generasi bangsa tidak terlihat begitu antusias menggunakan budaya

53

sendiri, lebih suka meniru budaya Barat. Begitu juga dengan penggunaan

bahasa yang lebih mengidolakan bahasa Perancis dan tidak terlalu suka dengan

bahasa persatuan Arab Islam.

Oksidentalisme Hanafi adalah penyadaran dan penegasan

bahwasannya Barat, termasuk sejarah dan peradabannya bukanlah peradaban

dunia. Tidak ada alasan untuk menyatakan hal itu, apalagi memaksakan nilai-

nilai peradaban Barat. Oksidentalisme merupakan penyadadaran bahwa Barat

tidak lain hanyalah fenomena khusus, dalam kondisi khusus dan cakupan

wilayah yang khusus pula. Peradaban Barat adalah peradaban regional Eropa

yang secara gencar dan pongah menyatakan diri sebagai peradaban mondial

(Badruzaman, 2005: 92).

3. Sikap terhadap realitas dunia Islam

Kiri Islam mencurahkan segala potensi untuk menghadapi puncak

problematika zaman ini yakni imperialism, zionisme dan kapitalisme yang

merupakan ancaman eksternal, serta kemiskinan, ketertindasan dan

keterbelakangan yang merupakan ancaman internal (Shimogaki, 1993: 155).

Sampai saat ini, imperialisme tetap merupakan isu terpenting yang

dihadapi oleh dunia Islam. Dalam bidang ekonomi, imperialisme saat ini

muncul dalam korporasi multinasional. Sementara di sector budaya,

munculnya dalam bentuk pembaratan yang merupakan upaya pembunuhan

terhadap semangat kreatifitas bangsa dan mencabut mereka dari akar-akar

kesejarahan. Secara militer, imperialism mewujudkan diri dalam bentuk

pangkalan militer asing yang hadir di seluruh dunia Arab, dari Maroko sampai

54

tanah Arab timur. Tugas Kiri Islam adalah memberi peringatan secara terus

menerus dan membongkar model-model imperialism baru, rasisme Barat dan

salibisme historis yang terselubung (Badruzaman, 2005 : 102-103).

Gerakan salafiyah telah memindahkan percikan masa kini ke dalam

masa lampau karena kurang mampu menganalisis realitas, keterbatasan sarana-

sarana praksis dan jauhnya penggerak-penggerak realitas. Pada akhirnya,

menciptakan selubung dan tirai serta pembenaran pendapat, sehingga tertutup

upaya kritisisme terhadap tradisi lalu. Mereka maju ke belakang dengan

fanatisme dan membentuk organisasi-organisasi eksklusif yang terpisah dari

kebanyakan orang, di padang pasir ataupun di bawah bumi dan sangat cepat

berbenturan dengan otoritas negara (Hanafi, 2015: 112). Keinginan untuk

kemajuan dan kebangkitan juga ditunjukan oleh kelompok salafi. Akan tetapi

cara yang digunakan kelompok ini kurang signifikan, karena mereka hanya

mengajak kembali mengikuti tradisi secara penuh serta mengikuti penguasa

(selalu berbaik sangka pada penguasa) bukan mengajak mengkritisi realitas

dunia Islam terkini. Sehingga gerakan ini pun terlalu „mengikuti‟ pendapat

ulama terdahulu dan membanggakan tradisi diri.

Salah satu penyebab adanya ketidakseimbangan antara tradisi dan

filsafat dalam kesadaran kebangsaan umat muslim adalah bahwa tradisi

merupakan pengetahuan identitas. Tradisi disini adalah tradisi klasik kita yang

mengekspresikan identitas “diri”. Pada sisi lain filsafat yang kadang-kadang

maksudnya adalah filsafat Barat kontemporer kurang menjelaskan ekspresi

identitas (Hanafi, 2015: 124). Jadi menurut peneliti, ada sebuah jarak yang

55

membedakan tradisi dan filsafat dalam kesadaran kebangsaan umat muslim.

Tradisi dalam pandangan umat muslim adalah sebagai „pengetahuan historis‟,

sesuatu pengetahuan yang menjelaskan asal mula identitas diri. Sedangkan

filsafat sudah dipandang sebagai produk Barat yang harus dihindari karena

kekhawatiran akan memberikan dampak negatif bagi kaum muslim terutama

ideologinya yang mengusung kebebasan.

Zionisme juga masih menjadi ancaman laten bagi Islam dan kaum

muslimin. Ambisinya bukan saja penaklukan bumi Palestina, tetapi telah

merambah ke negeri-negeri sekitarnya: Suriah, Libanon, Mesir dan bahkan

lebih luas lagi sehingga hampir menguasai seluruh bumi. Lebih dari itu,

zionisme juga berupaya menyebarkan pemikiran-pemikirannya kepada

intelektual Arab Islam hingga terlena (Badruzaman, 2005 : 103).

Ancaman terhadap dunia Islam lainnya adalah kapitalisme yang

dibangun diatas landasan perilaku ekonomi bebas dan diikuti dengan

persaingan bebas, laba, rente dan riba. Kapitalisme, selain mendatangkan

dampak penindasan juga turut andil dalam menumbuhkan nilai-nilai destruktif

dan hedonism utilitarian. Hal itu berujung pada penciptaan kelas-kelas social

dan kesenjangan kesempatan, yang pada gilirannya mengakibatan pemusatan

otoritas di tangan pemilik modal. Padahal Islam secara objektif menolak

pemusatan modal di kalangan minoritas elit (QS. Al-Hasyr, 59:7) hak milik

istimewa , kelas social, penindasan, riba (Shimogaki, 1993 : 158).

Adapun misi Kiri Islam dalam masa-masa awal abad XV ini menurut

Hanafi (Badruzaman, 2005: 105-106) dapat didefinisikan sebagai berikut :

56

1. Memanifestasikan keadilan social di kalangan umat Islam dan

menciptakan masyarakat tanpa kelas, agar jurang yang

menganga antara kaum miskin dengan orang kaya dapat

terhapus, sesuai dengan nash al-Qur‟an.

2. Menegakkan masyarakat yang bebas dan demokratis, dimana

setiap individu berhak mengungkapkan pendapat,

menyuarakan kritik dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar.

3. Membebaskan tanah-tanah kaum muslim dari kolonialisme di

Palestina, menghapus pakta-pakta militer di dunia Islam dan

mengembalikan kekayaan kaum muslimin setelah sekian lama

sumber daya alam yang dimiliknya dihisap oleh imperialism.

4. Membangun Pan-Islamisme, dimulai dari kesatuan umat di

Mesir, kemudian Lembah Nil, Suriah, Maroko, Arab dan

akhirnya kesatuan umat Islam

5. Merumuskan system politik nasional yang bebas dari pengaruh

super power, yaitu kebijakan “bukan Barat dan bukan Timur

(La> Syarqiyah wa la> Gharbiyah), sealur dengan nas al-Qur‟an,

serta mempererat jalinan persahabatan dengan bangsa-bangsa

Asia-Afrika yang merupakan bangsa-bangsa Islam dan Dunia

Ketiga.

6. Mendukung gerakan revolusioner kaum terjajah dan tertindas

karena sesungguhnya Islam hadir untuk mereka. Revolusi

mereka identic dengan revolusi Islam.

57

Anggapan bahwa kemajuan (modernitas) adalah mengimpor produk-

produk luar beserta kemampuan mengoperasikan alat-alat teknologi modern

bukan merekayasa secara inovatif dan kreatif sarana-sarana bagi penguasaan

alam sehingga bangsa-bangsa non-Eropa harus menunggu “spare parts”

sarana-sarana yang belum diciptakan. Ketika produksi mengalami surplus

niscaya komunitas social kita menjadi komunitas social yang hancur karena

produk Barat. Dengan begitu Barat akan memunculkan produk-produk

lamanya yang senantiasa diafiliasikan kepada kita yang merepresentasikan

ordinasi kemajuan ilmiah dan teknologi (Hanafi, 2015: 90).

Sementara itu, bangsa-bangsa Islam merupakan bangsa-bangsa

termiskin di dunia sehingga kemiskinan dan keterbelakangan menjadi ancaman

internal. Kemiskinan adalah buruknya mutu gizi, makanan dan perumahan.

Sementara bangsa-bangsa yang kaya hidup dengan melimpahruahnya harta

benda, kemewahan, gedung-gedung istana dan bahkan jual beli pulau dan

pantai-pantai. Kiri Islam menuntut hak-hak kaum miskin di dalam harta

orang-orang kaya, lalu melakukan pengembangan masyarakat berdasarkan

nilai-nilai persamaan dan keadilan social. Bagi Hanafi, sosialisme merupakan

prinsip universal dan abadi, bukan sebagai system social yang mudah berubah

oleh perubahan rezim. Dalam dakwah-dakwah dan khutbah-khutbah tentang

Islam, kita selalu lantang mengutip ayat bahwa di dalam harta orang kaya

terdapat hak yang jelas untuk para peminta-minta dan kaum yang terlemahkan

(al-mahrum) (QS. Al-Ma‟arij, 70: 24-25). Dan bahwa harta benda adalah milik

Allah yang diamanatkan kepada kita hanya mempunyai hak memanfaatkan

58

dan membelanjakan, tetapi tidak berhak memonopoli dan menumpuknya

(Shimogaki, 1993 : 159-160).

Hanafi mengingatkan bahwa umat muslim jangan berharap dapat

mengembangkan ilmu pengetahuan dan mendambakan kemajuan jika belum

memliki sikap rasional, karena ilmu merupakan kelanjutan dari akal. Menurut

Hanafi, akal merupakan petunjuk bagi hidup ijtihad umat muslim. Ijtihad, yang

perangkat utamanya adalah akal merupakan jalan menuju kemajuan atau

seperti dikatakan Iqbal, merupakan dasar kebangkitan Islam. Kebebasan dan

demokrasi di negara-negara muslim merupakan syarat utama bagi proses

modernisasi (tahdits), dan modernisasi merupakan syarat utama bagi

perubahan dan rekonstruksi struktur social (Badruzaman, 2005 : 142).

D. Kritik Tradisi Islam Pemikiran Hassan Hanafi (1935M-…)

Tradisi dalam agama Islam terbagi menjadi, pertama adalah bentuk

ajaran yang tidak bisa berubah, contohnya ibadah mahdhoh yang diwariskan

secara terus menerus dari satu generasi ke generasi berikutnya yang bentuk

dan tata cara pengamalannya tetap seperti yang dicontohkan generasi awal.

Kedua, cara dan hasil pikiran yang diwariskan generasi masa lalu terkait

dengan pemahaman prinsip pokok ajaran yang terkait dengan masalah-masalah

social, budaya, ekonomi dan politik yang aplikasinya dalam kehidupan sehari-

hari selalu mengalami perubahan dari zaman ke zaman (Jainuri, 2014: 2).

Kata “tradisi” (al-turats) berasal dari penggunaan orang-orang modern

di bawah pengaruh pemikiran Barat, sebagai terjemahan tidak sadar dan tidak

langsung terhadap kata-kata seperti legacy, heritage, Uberlieferung sebagai

59

sesuatu yang menunjukkan akhir sebuah periode dan permulaan periode yang

lain (Hanafi, 2015: 118). Menurut peneliti, dari pengertian inilah yang coba

diwujudkan oleh Hanafi pembaharuan Islam melalui pemikiran Kiri Islam nya.

Hanafi menganggap tradisi kini sudah kurang relevan dengan realitas zaman,

maka masyarakat harus bersikap kritis terhadap peninggalan para ulama

tersebut.

Hanafi mengajak umat Islam kembali menggunakan pola berpikir

kaum mu’tazilah karena sifat rasionalnya. Sistem mu’tazilah, dipandang

sebagai refleksi gerakan rasionalisme, naturalisme, dan kebebasan manusia.

Sebaliknya, beliau melihat sistem asy’ariyah yang menurutnya telah mapan

selama berabad-abad di dunia Islam harus dibongkar, karena dianggap

bertanggung jawab atas kemandegan pemikiran umat (Asmuni, 2003: 130).

Menurut peneliti, ajakan Hanafi ini merupakan ajakan yang baik, ajakan agar

umat Islam kritis terhadap realitas zaman. Kondisi realitas zaman yang

berubah secara signifikan mewajibkan manusia untuk beradaptasi dengan

zaman. Jadi ijtihad harus terus diupayakan demi kemaslahatan umat, bukan

berarti harus mengubah semua tatanan dan hukum yang ada di masyarakat

secara keseluruhan. Akan tetapi perlunya melakukan ijtihad adalah agar

mampu menyelesaikan masalah-masalah yang ada dalam realitas zaman

sekarang, yang tidak terjadi di masa lampau.

Pemikiran keagamaan yang telah dihasilkan oleh ulama salaf terutama

dalam bidang hukum Islam, menjadi pedoman yang sangat penting bagi

pelaksanaan ibadah, muamalah serta untuk menjawab tantangan

60

perkembangan yang dialami umat. Keyakinan ini selanjutnya meniadakan

kemungkinan lain akan munculnya kejayaan yang sama dan membentuk sikap

“menerima” dan “tidak mencari” sesuatu yang diyakini benar (Jainuri, 2014:

3). Menurut peneliti, dengan keyakinan yang berlebih terhadap tradisi diri dan

menafikan kemungkinan munculnya kejayaan tradisi lain, maka akan

terjadinya kejumudan berpikir umat Islam. Sehingga umat Islam enggan

mencari kebenaran yang dihadapi oleh realitas zaman sekarang.

Tradisi memberi pandangan historis kepada bangsa, dimana

pandangan historis itu akan menjadikan bangsa membuat bagian kenyataan

zaman secara total dalam satu kesempatan. Setelah memahami dalam

kesempatan itu, ia akan sampai pada memandang dunia sebagai tolok ukur

abstrak yang tanpa waktu dan ruang (Hanafi, 2015 :67). Jadi, menurut peneliti,

tradisi memberikan paradigma yang menggiring suatu bangsa untuk

membentuk peradabannya dengan pengalaman sejarah dari tradisi tersebut.

Sehingga dalam memandang perkembangan dunia, tradisi akan selalu

dipegang dengan erat oleh setiap warga negaranya karena paradigma tradisi

yang mengakar didalam jiwa.

Teks-teks agama secara literal, menurutnya, sudah tak mampu lagi

membendung tuntutan zaman yang mengglobal dan kompleks. Maka dari itu,

diperlukan interpretasi yang non-literal, inklusif dan jauh dari postulat-postulat

teologis. Dalam hal ini, para ilmuan menemukan bahwa maqâshid asy-

syarî’ah (kemaslahatan) dipandang sebagai salah satu harapan untuk

menyelesaikannya (Hefni, 2011: 175).

61

Kemudian, dalam bukunya Hassan Hanafi yang berjudul Al-turats wa

al-tajdid menjelaskan ada 3 pendapat yang tersebar di masyarakat dalam

menghadapi realitas zaman yaitu yang pertama kelompok yang beranggapan

bahwa warisan masa lalu meliputi segala sesuatu dan menyediakan jawaban

atas persoalan masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang. Kedua,

kelompok yang beranggapan bahwa hanya dengan hal-hal baru saja persoalan

umat dapat di selesaikan. Ketiga, kelompok yang bermaksud mengintegrasikan

kedua kelompok tersebut (Amrullah,1997: 43). Hanafi termasuk kelompok

ketiga, yang memiliki cita-cita untuk melawan kolonialisme dengan cara

menggabungkan antara tradisi Islam dan pemikiran Barat.

1. Reinterpretasi Tradisi Klasik

Basis metodologis yang digunakan oleh Hanafi adalah merevitalisasi

turâts klasik dan merekonstruksinya supaya bias berdialog dengan, dan

bermanfaat untuk kondisi kontemporer. Ini merupakan jawaban atas

mawqifunâ min al-turâts al-qadîm (sikap kita atas khazanah klasik).

Rekonstruksi, menurut Hanafi adalah pembangunan kembali warisan-warisan

Islam berdasarkan semangat modernitas dan kebutuhan Muslim kontemporer

(Hefni, 2011: 175).

Hanafi dalam upayanya menghadapi realitas cenderung dengan

kelompok yang ketiga yaitu beliau ingin mengintegrasikan antara tradisi dan

pembaruan. Pendekatan yang dilakukan Hanafi menawarkan dua cara dalam

menafsirkan kembali khazanah Islam klasik. Pertama, reformasi bahasa

(linguistik). Bahasa adalah alat untuk mengekspresikan ide- ide sehingga perlu

62

direformasi agar tetap memenuhi fungsinya sebagai media ekspresi dan

komunikasi (Hefni, 2011: 176). Jadi, menurut peneliti reformasi bahasa sangat

dibutuhkan karena mampu memberikan perspektif yang lebih luas bagi

wawasan keIslaman bangsa Arab. Sehingga dalam istilah-istilah dapat

dikembangkan demi kemaslahatan bersama kaum muslimin dan mampu

dipahami di setiap kalangan.

Dengan demikian, makna yang dipegang adalah makna tradisi, sedang

bahasanya adalah bahasa yang telah direformasi. Misalnya, istilah “Islam”

yang biasanya secara umum diartikan sebagai sebuah agama tertentu, diganti

dengan makna “pembebasan”. Asumsi dasar dari pandangan teologi semacam

ini adalah bahwa Islam, menurut Hanafi, adalah protes, oposisi dan revolusi.

Baginya, Islam memiliki makna ganda. Jika untuk mempertahankan status-quo

suatu rezim politik, Islam ditafsirkan sebagai tunduk. Sedang jika untuk

memulai suatu perubahan sosial politik melawan status-quo, maka harus

menafsirkan Islam sebagai pergolakan (Hefni, 2011: 176-177).

Seluruh bangsa harus mengikuti barat dan berjalan berdasarkan

ketentuan-ketentuannya. Hal ini berimplikasi pada dekonstruksi karakter-

karakter atau identitas bangsa-bangsa dan pengalaman empiric mereka yang

independen, dan monopoli barat terhadap hak inovasi pengalaman-pengalaman

baru dan symbol-simbol modernitas yang lain (Hanafi, 2015:39). Bangsa non-

Barat sampai kini masih menjadikan Barat sebagai kiblatnya kemajuan

teknologi dan kedigdayaan budaya bangsa. Seolah-olah apa yang dilakukan

oleh Barat harus juga ditiru oleh bangsa non-Eropa. Padahal, tidak semua yang

63

diciptakan oleh Barat harus ditiru oleh non-Barat karena hal itu akan mengikis

identitas bangsa sendiri dan akhirnya nanti yang akan terjadi adalah hilangnya

identitas diri bangsa.

Kedua, pembaruan khazanah klasik dengan mengganti obyek kajian

dari ilmu-ilmu keIslaman tradisional yang sarat dengan latar belakang

kemunculannya (budaya lingkungan pada situasi dan kondisi tertentu). Hassan

Hanafi memberi contoh pada teologi (ilmu kalam). Pendekatan tradisional

mendefinisikan objek dari ilmu ini adalah keesaan Tuhan. Menurut Hassan

Hanafi, objek tersebut harus diganti dengan manusia, yakni kesatuan manusia.

Pergantian ini akan menggiring kita untuk mengakui persamaan manusia.

Dapat disimpulkan penafsiran yang bercorak transformatif sebagai hasil akhir

dari rumusan praktis metodologi ini. Ilmu Kalam/Teologi, misalnya dengan

konsepnya seperti Imâmah, Naql-Aql, Khalq al-Af‟al dan Tawhid, secara

berurutan menjadi Ilmu Politik, Metodologi Penelitian, Psikologi, dan

Psikilogi Sosial (Hefni, 2011: 177).

Pemahaman terhadap tradisi domestic dan tradisi Barat hanya

mungkin dengan pertama-tama memahami realitas kekinian, berdasarkan atas

realitas itu akan menjadikan sempurna proses rekonstruksi yang pertama dan

alternative yang kedua. Maka dari itu, harus ada klasifikasi yang detail bagi

persoalan-persoalan, tuntutan-tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan realitas yang

mungkin sebagai neraca analogis bagi pemahaman terhadap konstruksi tradisi

klasik dan alternative terhadap tradisi Barat atau teoritisasi langsung terhadap

realitas selama dua tradisi yang terdahulu „tradisi diri‟ dan „tradisi yang lain‟

64

semata-mata merupakan sarana-sarana kreasi dan pembelajaran atas inovasi-

inovasi.

Proyek pembaharuan Hanafi memfungsikan agama sebagai spirit

gerak menuju pembebasan manusia. Ia bergerak dari seperangkat aturan

normatif (Akidah) menuju praksis. Bahkan agama memberikan semangat

revolusioner, dalam menangkap semangat ini Hanafi memahami kembali teks-

teks untuk lebih mendapatkan legitimasi bagi proyek pembaharuannya, karena

bila tidak demikian maka kita akan terserabut dari akar dan identitas diri

sendiri. Ia pun melakukan kritik internal dan dari sinilah kita dapat

mengatakan kalau Hanafi menggunakan hermeneutika sebagai pisau bedah

untuk merealisasikan semua itu (Hidayat: http://cahayaakhirat.blogspot.co.id

diakses tgl 15 Oktober 2015 pukul 23.20 WIB).

Krisis “Filsafat dan Tradisi” direpresentasikan dalam dualisme

pemikiran filsafat kontemporer kita yaitu: filsafat yang biasanya diartikan

sebagai filsafat Barat modern dan kontemporer, tradisi yang biasanya diartikan

sebagai tradisi filsafat klasik. Maka dari itu, “yang lain” (al-akhar) adalah

modern dan kontemporer, sedangkan “diri” (al-ana) adalah sejarah klasik

(Hanafi, 2015: 122).

Krisis muncul dalam interaksi dialektis dengan tradisi klasik mengenai

penerjemahan keseluruhan ilmu pengetahuan tanpa seleksi ataupun

perkembangan sama sekali. Biasanya, kita melakukan penerjemahan filsafat,

kalam dan tasawuf tanpa ushul al-fiqh padahal ilmu ini, sebagaiman yang telah

diingatkan oleh para pelopor wacana filosofis pada zaman kita merupakan

65

lokasi inovasi yang paling krusial dalam pemikiran filososfis kita yang bersifat

logis dan metodologis (Hanafi, 2015: 126).

Beliau memiliki sebagian agenda kaum tradisionalis, yaitu Hanafi

mencoba mempertahankan tradisi tekstual Islam dan struktur isinya sekarang

dengan menyerahkan kembali teologi kalam Islam dalam konteks modern.

Bagi Hanafi, kalam lebih dari sekedar simbol rasionalisme. Kalam adalah

tradisi tekstual yang harus dibaca ulang mengingat situasi Islam saat ini di

dunia Islam yang diharapkan kemudian dapat memberikan makna yang

relevan dan sesuai dengan keadaan yang ada (Hidayat:

http://cahayaakhirat.blogspot.co.id diakses tanggal 15 oktober 2015 pukul

23.20 WIB).

2. Hermeneutika al-Qur’an

Al-Quran adalah wahyu yang diturunkan Allah kepada segenap

manusia khususnya yang beragama Islam. Ayat-ayat al-Qur‟an memiliki

struktur kata dan kalimat yang indah, sehingga di masa awal tak sedikit

masyarakat jahiliah (kafir Quraisy) yang mengidentikkan al-Qur‟an dengan

kumpulan syair. Jadi tidak heran jika nabi Muhammad Saw dianggap sebagai

penyair. Al-Qur‟an merupakan bagian dari keindahan wahyu Allah dalam

bentuk kata, kalimat, dan yang lebih mafhum disebut ayat (Mahatma, 2015:

68).

Masuknya beberapa gagasan dan metode ilmiah kedalam wacana

penafsiran al-Quran bukan tanpa masalah. Terutama jika mengaitkan beberapa

unsur asing kedalam al-Quran, seperti yang sering dicurigai oleh Fazlur

66

Rahman. Sehingga tidak aneh bila ada tuduhan bahwa mayoritas modernis

muslim menafsirkan al-Quran bukan untuk memahami makna sejati,

melainkan untuk mencapai tujuan ekstra qurani untuk menghilangkan

kesenjangan intelektual antara komunitas muslim dan penemuan-penemuan

Barat (Hidayat: http://cahayaakhirat.blogspot.co.id diakses tanggal 15 Oktober

2015. pukul 23.20).

Permasalalan tersebut menjadi dilema tersendiri bagi para pemikir

muslim, karena di satu sisi, mereka berkewajiban menafsirkan al-Quran sesuai

dengan tuntutan ilmiah dan objektif. Sementara disisi lain, terdapat

kepentingan moral untuk menjelaskan al-Quran sejalan dengan kebutuhan

umat Islam saat ini. Dua hal tersebut seperti dua sisi mata uang yang saling

melengkapi. Karena kesadaran para pemikir muslim terhadap realitas kekinian

dan pemenuhan standar ilmiah dalam penafsiran al-Quran sehingga

menghasilkan tulisan-tulisan yang dikembangkan oleh para pemikir muslim

kontemporer (Hidayat: http://cahayaakhirat.blogspot.co.id diakses tanggal 15

Oktober 2015 pukul 23.20).

Sikap muslim yang mengagungkan kejayaan masa lampau tercermin

dalam penghargaannya yang begitu tinggi terhadap kemajuan yang dicapai

oleh para ilmuwan muslim dalam segala bidang ilmu pengetahuan dan

keagamaan. Penghargaan tersebut adalah sikap yang wajar, tetapi kemudian

menjadi tidak wajar apabila sikap ini membentuk keyakinan bahwa kejayaan

masa lalu ini merupakan satu-satunya yang pernah dicapai umat Islam yang

nilai dan kebenarannya sangat mutlak (Jainuri, 2014: 3).

67

Hanafi berusaha menyajikan sebuah cara baru dalam menafsirkan teks

(Al-Quran dan tradisi) dalam hubungannya dengan realitas, dengan mencoba

menarik kembali teks kepada pendasarannya yaitu realitas. Sebagaimana al-

Quran misalnya yang tidak akan turun tanpa kaitan yang jelas dengan

kepentingan masyarakat masa nabi. Masalahnya adalah bagaimana

mengembalikan teks al-Quran tersebut kepada referensinya pada realitas.

Sementara teks tidaklagi memadai sekedar dirujuk dengan masa lalu yang

menjadi sebab turunnya ayat tersebut. Sebagai teks, al-Quran kini berhadapan

dengan realitas umat Islam kontemporer yang penuh persoalan sosial dan

kemanusiaan. Maka dari itu, perlu dilakukan penafsiran hermeneutika yang

melampaui penafsiran-penafsiran klasik terhadap teks al-Quran. Karena

diyakini penafsiran kontemporer lebih mampu menampilkan dimensi-dimensi

humanistik dari al-Quran yang selama ini bersembunyi dibalik kekakuan teks-

teks yang bernuansa teologis (Hidayat: http://cahayaakhirat.blogspot.co.id

diakses tanggal 15 Oktober 2015 pukul 23.20).

Sesungguhnya sikap terhadap tradisi klasik dan sikap terhadap tradisi

Barat merupakan dua introduksi peradaban yang mengekspresikan sikap

peradaban umat Islam pada saat ini, yang merupakan manifestasi dari tradisi

klasik dan kontemporer. Kedua peradaban itu pada hakikatnya merupakan

salah satu sumber pengetahuan yaitu al-naql yang berpaling dari sumbernya,

memindah dari masa lampau atau dari masa kini, dari „diri‟ atau dari „yang

lain‟. Oleh karena itu, sikap terhadap tradisi klasik di dalam salah satu

aspeknya adalah mengembalikan tradisi ke dalam realitas pertama dimana ia

68

tumbuh dan berasal secara tertentu, kemudian menghadapkan tradisi itu ke

dalam relitas aktual (Hanafi, 2015: 51).

Ketika membicarakan masalah akal dan naql, Hassan Hanafi

memberikan prioritas lebih pada akal daripada naql. Pentingnya akal adalah

untuk membangun pengetahuan keagamaan dan menegakkan keadilan. Naql

tanpa akal, menjadi pandangan semata, karena akal adalah basis naql. Bagi

Hanafi, pertimbangan merupakan suatu keniscayaan bagi kesejahteraan

muslim (Badruzaman, 2005 : 130).