digilib.unila.ac.id › 54834 › 3 › SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdf · STRATEGI MILITER...

76
STRATEGI MILITER AMERIKA SERIKAT DI SENGKETA LAUT CINA SELATAN (Skripsi) Oleh RUZMALYDA ANNAASTUSI ZHULWITRA JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2018

Transcript of digilib.unila.ac.id › 54834 › 3 › SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdf · STRATEGI MILITER...

STRATEGI MILITER AMERIKA SERIKAT DI SENGKETA LAUT CINA

SELATAN

(Skripsi)

Oleh

RUZMALYDA ANNAASTUSI ZHULWITRA

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2018

2

ABSTRAK

STRATEGI MILITER AMERIKA SERIKAT DI SENGKETA LAUT CINA

SELATAN

Oleh

Ruzmalyda Annaastusi Zhulwitra

Sengketa di Laut Cina Selatan (LCS) merupakan isu yang berpotensi mengancam

kepentingan nasional Amerika Serikat (AS). Penelitian ini bertujuan menjelaskan

bagaimana strategi militer AS di sengketa LCS yang berdasar pada strategi

keamanan maritim Asia Pasifik. Penelitian ini berjenis deskriptif kualitatif dengan

teknik pengumpulan data melalui studi pustaka dan studi dokumentasi. Hasil

penelitian menunjukkan AS menjalankan empat strategi di LCS, yang di

antaranya : menggelar latihan militer bersama, menggelar patrol rutin, memberi

pinjaman dana militer, dan membentuk kerjasama pertahanan, yang keseluruhan

dilakukan AS bersama mitra pertahanannya. Penelitian ini mencoba memberi

saran terkait pengerahan strategi militer AS, yaitu untuk menambah frekuensi

aktivitas militer yang dijalankan serta memperluas hubungan AS bersama para

mitra pertahanannya agar dapat menambah intensitas kehadiran AS di LCS.

Kata kunci : Strategi militer, sengketa, potensi ancaman

3

ABSTRACT

US MILITARY STRATEGY AT SOUTH CHINA SEA DISPUTE

By

Ruzmalyda Annaastusi Zhulwitra

South China Sea (SCS) dispute is a regional issue with some potential of threat for

national interest of United States of America (US). This research aims to describe

military strategy of US at South China Sea, based on Asia Pacific Maritime

Security Strategy. The type of this research is qualitative descriptive. This

research collected data by public documents. This research shows US has four

strategies in SCS dispute, i.e : doing militry exercise, having routine military

patrol, giving military loan, building defense cooperation up with its partners.

This research suggests US to increase its military frequency and enlarge its

relation with its defense partners, so it can increase the existence of US in SCS.

Keywords : militery strategy, dispute, potential of threat

4

STRATEGI MILITER AMERIKA SERIKAT DI SENGKETA LAUT CINA

SELATAN

Oleh

RUZMALYDA ANNAASTUSI ZHULWITRA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar

SARJANA HUBUNGAN INTERNASIONAL

Pada

Jurusan Ilmu Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2018

6

7

8

PERSEMBAHAN

Penulis persembahkan karya ini untuk :

Ayah

Bunda

Kakak, Adik

Keponakan kecilku

serta

Almamater Universitas Lampung

9

SANWACANA

Alhamdulillahhirobbilalamin penulis mengucap syukur kepada Allah SWT karena

atas segala nikmat, rahmat, dan izin-Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Ucapan

terima kasih penulis ucapkan kepada beragam pihak yang telah membantu penulis

baik berupa dukungan, do’a, waktu, dan jasa lainnya selama penyusunan skripsi.

Semoga skripsi ini dapat memberi manfaat berarti di masa mendatang. Penulis

juga mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Kedua orang tua, terima kasih Ayah dan Bunda telah menjadi motivator

yang tidak henti memberi do’a, dukungan, perhatian yang tentunya

menjadi penyemangat penulis. Terima kasih telah mengajarkan kesabaran

dan kelapangan dalam bertindak. Terima kasih untuk selalu siaga menjadi

konsultan di segala hal dan menjadi inspirasi bagi penulis.

2. Mas Fahmi Tarumanegara, S.IP., M.Si., M.B.A., sebagai pembimbing

yang sangat banyak memberi pembelajaran. Terima kasih banyak atas

bantuan, dukungan, ide, dan pelajaran berharga yang telah diberikan.

Terima kasih untuk segala pengertian selama penyusunan skripsi. Terima

kasih telah mendorong penulis untuk tetap belajar berkreasi dan percaya

dengan kemampuan diri. Terima kasih untuk pengalaman yang luar biasa.

3. Bapak Agus Hadiawan, M.Si., sebagai dosen pembimbing skripsi. Terima

kasih atas waktu, saran, dan pengertian yang telah diberikan kepada

penulis. Terima kasih banyak atas masukan, perbaikan, penambahan

berbagai ide dalam skripsi ini.

4. Bapak Syamsul Maarif, S.IP., M.Si., sebagai dosen pembahas skripsi.

Terima kasih atas semua pelajaran, ide, serta masukan yang diberikan.

5. Bapak Dr. Syarief Makhya, M.Si., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Lampung.

10

6. Drs. Aman Toto Dwijono, M.H., selaku Ketua Jurusan Hubungan

Internasional Universitas Lampung.

7. Ibu Dwi Wahyu Handayani, S.IP., M.Si., selaku Sekretaris Jurusan

Hubungan Internasional Universitas Lampung dan dosen pembimbing

akademik. Terima kasih atas dukungan, pelajaran, dan bantuan yang telah

diberikan.

8. Seluruh jajaran dosen dan staff Jurusan Hubungan Internasional

Universitas Lampung.

9. Seluruh jajaran dosen dan staff Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Lampung.

10. Serta terima kasih kepada semua relasi atas dukungan, do’a, bantuan, ide,

dan lain sebagainya yang telah diberikan kepada penulis.

Bandar Lampung, 13 Desember 2018

Ruzmalyda Annaastusi Zhulwitra

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ........................................................................................ i

DAFTAR TABEL ................................................................................ iii

DAFTAR GAMBAR ........................................................................... iv

DAFTAR SINGKATAN ...................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................... 6

C. Tujuan Penelitian .................................................................... 7

D. Kegunaan Penelitian .................................................................. 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................... 9

A. Penelitian Terdahulu ................................................................ 9

B. Sengketa Wilayah ..................................................................... 15

C. Kepentingan Nasional .............................................................. 18

D. Strategi Militer ......................................................................... 20

E. Efektivitas Strategi Militer ........................................................ 24

F. Kerangka Pemikiran ................................................................. 25

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ........................................... 27

A. Jenis Penelitian ......................................................................... 27

B. Fokus Penelitian ....................................................................... 27

C. Sumber Data ............................................................................ 28

D. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 28

E. Teknik Analisis Data ................................................................ 29

BAB IV GAMBARAN UMUM .......................................................... 31

A. Sengketa Wilayah di Laut Cina Selatan .................................... 31

B. Nilai Strategis di Laut Cina Selatan .......................................... 41

ii

C. Data Aktivitas Militer AS di Laut Cina Selatan ........................ 46

BAB V HASIL DANPEMBAHASAN ................................................ 49

A. Klasifikasi Sengketa Wilayah di Laut Cina Selatan .................... 49

1. Sengketa LCS antara Tiongkok-Vietnam ............................ 51

2. Sengketa LCS antara Tiongkok-Filipina ............................. 56

3. Sengketa LCS antara Tiongkok-Malaysia ........................... 61

4. Sengketa LCS antara Vietnam-Filipina ............................... 63

5. Sengketa LCS antara Vietnam-Malaysia ............................ 64

6. Sengketa LCS antara Filipina-Malaysia .............................. 65

B. Strategi Militer AS di Laut Cina Selatan ..................................... 69

1. Strategi Militer AS Menggelar Latihan Militer Bersama ..... 70

2. Strategi Militer AS Menggelar Patroli Militer Rutin ........... 73

3. Strategi Militer AS Memberi Pinjaman Dana Militer .......... 76

4. Strategi Militer AS Membentuk Kerjasama Pertahanan ...... 77

C. Efektivitas Strategi Militer AS di Sengketa LCS ......................... 83

BAB VI KESIMPULAN ..................................................................... 90

A. Kesimpulan ................................................................................ 90

B. Saran .......................................................................................... 91

Rekomendasi Penelitian ....................................................................... 93

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 94

iii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1.1. Aksi AS-Tiongkok di Sengketa LCS ................................................. 5

2.1. Komparasi Penelitian Terdahulu ........................................................ 14

4.1. Timeline di LCS 2012-2016 ............................................................... 40

4.2. Perdagangan AS di Jalur Dagang LCS ............................................... 43

4.3. Jalur Kabel Bawah Laut di LCS ........................................................ 44

4.4. Aktivitas Militer AS di LCS .............................................................. 47

5.1. Klasifikasi Sengketa LCS antara Tiongkok-Vietnam ......................... 51

5.2. Klasifikasi Sengketa LCS antara Tiongkok-Filipina ............................ 57

5.3. Klasifikasi Sengketa LCS antara Tiongkok-Malaysia ......................... 62

5.4 Klasifikasi Sengketa LCS antara Vietnam-Filipina .............................. 63

5.5. Klasifikasi Sengketa LCS antara Vietnam-Malaysia ............................ 64

5.6. Klasifikasi Sengketa di LCS ............................................................... 65

5.7. Situasi Sengketa di LCS Pasca Keterlibatan Strategi Militer AS ......... 88

iv

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1. Kerangka Pemikiran .......................................................................... 24

4.1. Outposts Tiongkok di LCS ................................................................. 32

4.2. Outposts Vietnam di LCS ................................................................... 34

4.3. Outposts Filipina di LCS .................................................................... 36

4.4. Outposts Malaysia di LCS .................................................................. 38

4.5. Outposts Brunei di LCS ..................................................................... 39

4.6. Jalur Perdagangan Global di LCS ...................................................... 42

4.7. Jalur Kabel Bawah Laut di LCS ........................................................ 43

5.1. Intensitas Ketegangan di Sengketa LCS ............................................ 68

5.2. Strategi Militer AS di Sengketa LCS .................................................. 82

5.3. Efektivitas Strategi Militer AS di Sengketa LCS ............................... 84

v

DAFTAR SINGKATAN

AAE : Asia Africa Europe

AAG : Asia-America Gateway

AF : Air Force

APEC : Asia-Pacific Economic Cooperation

APG : Asia-Pacific Gateway

AS : Air Speed

ASEAN : Asossiation of Southeast Asia Nations

CARAT : The Cooperation Afloat Readiness and Tarining

CIA : Central Intelligence Agency of America

CLCS : Commission on the Limits of The Continental Shelf

CSG : Carrier Strike Group

CVN : USS Carl Vinson Group

CVW : Carrier Air Wing

DD : Destroyer

DDH : Destroyer Carrying-Helicopter

DESRON : Destroyer Squadron

DoC : The Declaration on Conductof Parties in the South China Sea

DoD : The Department of Defense United States of America

EA : Enemy Aircraft

EAC-C2C : East Asia Crossing City-to-City

EIA : Energy Information Administration

F/A : Fighter/Attack

FEA : Fiber-Optic Link around The Globe Europe Asia

FF : Free Flight Helicopter

HSC : High Speed Craft

HSM : Helicopter Maritime Strike Squadron

vi

LCC : An amphibious command ship

LCS : Laut Cina Selatan

LCS : Littoral Combat Ship

LHD : Multipurpose Amphibious Assault Ship

LPD : USS Green Bay

MI : Mahkamah Internasional

NEA : Naval Exercise Activity

OBOR : One Belt One Road

PACOM : Pasific Command

PTA : Pivot to Asia

SAM : Surface to Air Missile

SJC : Southeast Asia Japan Cable

SKRM : Sistem Kabel Rakyat Malaysia

SPE : Subgame Perfect Equiblirium

T-AKE : Lewis and Clark-Class dry cargo ship

TGN-IA : Tata Global Network Intra Asia

UNCLOS : United Nation Convention on The Law of The Sea

UNCTAD : United Nation Conference on Trade and Development

USGS : United States Geological Survey

VAQ : Electronic Attack Squadron

VAW : Carrier Airborne Early Warning Squadron

VFA : Strike Fighter Squadron

ZEE : Zona Eksklusif Ekonomi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Seiring beragamnya ancaman yang dihadapi suatu negara, maka kondisi

dari dalam maupun luar negara bahkan dari kawasan yang berbeda turut menjadi

perhatian negara tersebut. Bary Buzan (1991, hlm.4) dalam bukunya yang

berjudul People, States, and Fear menyatakan “security in any objective sense,

measures the absence of threat to acquired values, in a subjective sense, the

absence of fear that such values will be attacked”, sehingga keamanan dalam

konteks negara secara sederhana merupakan kondisi ketika negara merasa aman

dari ancaman dalam memenuhi kepentingan nasionalnya. Artinya negara berada

di posisi tidak aman ketika ada kepentingannya yang terancam.

Kondisi tidak aman tersebut tengah dihadapi oleh Amerika Serikat (AS)

terhadap isu sengketa wilayah di Laut Cina Selatan (LCS). Sengketa LCS

berdasarkan sejarah sudah terjadi sejak abad 19, dimana semula LCS hanya

diperebutkan oleh tiga negara bersengketa (claimant), yaitu Tiongkok, Vietnam,

dan Filipina; yang kemudian Malaysia dan Brunei pada abad 20 turut hadir

sebagai claimant baru di sengketa. Sengketa LCS hingga kini belum berhasil

diselesaikan bahkan sengketa menimbulkan ketegangan antar claimants meski

sudah ada peraturan PBB yang mengatur sengketa internasional.

2

Faktor penyebab terjadinya sengketa LCS adalah keberadaan kandungan

sumber daya mineral di LCS. Energy Information Administration (EIA)

memprediksi cadangan sumber daya di LCS mencapai 11 miliar barel minyak dan

190 triliun m3 gas alam (Metelitsa Alexender, 2014). Menurut Alfred Thayer

Mahan (2015) sumber daya laut merupakan kekayaan yang tidak tertandingi,

sehingga hal yang wajar ketika negara sekitar LCS bersaing memperoleh sumber

daya di LCS yang berujung menimbulkan sengketa wilayah.

Di antara claimants LCS, Tiongkok merupakan claimant dominan, baik

dalam hal jumlah wilayah klaim maupun intensitas aksi yang dilakukan di LCS.

Tiongkok mengklaim hampir seluruh perairan LCS dengan presentase 90% LCS

(Bateman, 2009). Tiongkok juga telah menambah fungsi outposts-nya yang

semula berfungsi sebagai penanda wilayah, namun kini juga berfungsi sebagai

lokasi penggalian sumber daya mineral. Tiongkok aktif menunjukkan

keseriusannya dalam memperoleh kedaulatan di LCS sepanjang tahun 2011

hingga 2014, yang ditandai dari pembangunan pangkalan militer Tiongkok di

LCS sehingga memicu ketegangan antar claimants. Sengketa LCS tidak hanya

terjadi antara Tiongkok dengan setiap claimants LCS melainkan juga ada yang

terjadi di antara Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei.

Ketegangan sengketa di LCS ternyata tidak hanya menganggu claimants

melainkan juga AS. Jalur dagang, jalur kabel bawah laut (submarine cable), dan

base militer AS ada yang terletak di LCS, yang artinya kepentingan AS

mengalami potensi ancaman dari sengketa LCS. Sepertiga perdagangan dunia

melalui laut melintasi LCS sebagai jalur pengirimannya, dimana 1,2 trilliun US$

dari perdagangan tersebut merupakan transaksi dagang dari dan menuju AS

3

(sumber:http://chinapower.csis.org/much-trade-transits-south-china-sea/, 29

Oktober 2017). Kemudian ada 10 jalur submarine cable yang diletakkan di

wilayah LCS, dimana di antara jalur tersebut merupakan jalur kabel yang dimiliki

oleh AS. Dua dari lima base militer AS untuk wilayah Asia Tenggara berada

sangat dekat dengan wilayah sengketa LCS. Selain keberadaan jalur strategis dan

base militer tersebut, AS juga menghadapi potensi ancaman dari adanya dominasi

Tiongkok di LCS melalui sengketa, mengingat AS dan Tiongkok merupakan dua negara

besar yang tidak lepas dari persaingan kemampuan negara terutama di bidang ekonomi.

AS yang mendapati kepentingannya banyak berpotensi terancam oleh sengketa LCS,

maka memutuskan terlibat di sengketa, yang keputusan tersebut didasarkan pasal 51

Piagam PBB (United Nations, 2016, Chapter VII) :

Pasal di atas menunjukkan AS yang merupakan bukan negara bersengketa

(non claimant) dapat terlibat di sengketa LCS demi menjaga perdamaian dan

keamanan internasional. Selain didasarkan pasal di atas, AS juga memiliki

landasan untuk turut menyelesaikan sengketa wilayah yang tertulis pada Asia

Pacific Maritime Security Strategy, yang menuliskan bahwa AS berkepentingan

dalam menyelesaikan sengketa wilayah sehingga AS tentu akan terlibat dalam

sengketa tersebut. Keterlibatan AS mulanya dijalankan melalui pemberian

pernyataan terkait sengketa LCS melalui petinggi AS, seperti John Kerry,

Sekretaris Departemen Pertahanan yang pada tahun 2013 menyatakan AS

“Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of individual or collective self-defence if an armed attack occurs against a

Member of the United Nations, until the Security Council has taken

measures necessary to maintain international peace and security. Measures taken by Members in the exercise of this right of self-defence

shall be immediately reported to the Seucrity Council an shall not in any

way affect the authority and responsibility of the Security Council under

the present Charter to take at any time such action as it deems necessary in order to maintain or restore international peace and security”

4

mendukung penuh penyelesaian sengketa dengan menerapkan prinsip

internasional (sumber : www.thediplomat.com/2013/12/us-warns-china-against-a-

south-china-sea-adiz/ diakses pada 14 Desember 2016). John Kerry tahun 2014

kembali memberi pernyataan atas aksi penggalian Tiongkok di zona eksklusif

ekonomi (ZEE) Vietnam merupakan aksi provokatif dan meminta kedua

claimants berdamai.

Pernyataan-pernyataan tersebut ternyata tidak mengurangi ketegangan

claimants di sengketa LCS. Tiongkok di tahun 2013 tetap merampungkan proyek

reklamasinya yang dibangun di perairan Spratly yang memicu ketegangan dengan

Filipina dan Vietnam yang juga merupakan claimants atas Spratly. Selanjutnya di

tahun 2014, meski sudah diperingati atas penerobosan Tiongkok ke ZEE Vietnam,

Tiongkok kembali menerobos ZEE Filipina yaitu di perairan Scarborough yang

mengakibatkan kapal patoli Filipina bertabrakan dengan kapal Tiongkok.

Tiongkok terbukti tetap melakukan pelanggaran dan aksi klaim di LCS, meski AS

telah mengecam dan memperingati Tiongkok.

Mendapati Tiongkok yang terus melakukan aksi klaim sehingga memicu

ketegangan di sengketa LCS, AS mengirimkan armada militernya ke wilayah

LCS. AS setelah mendapati proyek reklamasi Tiongkok pada 2013 telah

mengirim AS 332 Super Puma Helicopter untuk berpatroli di sekitar proyek

reklamasi tersebut (sumber : https://search.usa.gov/search?affiliate=dod_pacom

&query=South%20china20%sea, diakses pada 21 Oktober 2017). AS tahun 2014

menanggapi penerobosan Tiongkok di ZEE Filipina dengan membentuk

kerjasama pertahanan AS-Filipina. Kemudian pada 2016, AS mengecam

reklamasi dan militerisasi Tiongkok di LCS. John Richardson (2017), Kepala

5

Angkatan Laut AS menyatakan AS melakukan penerbangan, pelayaran, dan

pengoperasian sesuai hukum internasional.

Respon AS terhadap aksi Tiongkok ternyata tidak hanya didasarkan

adanya keagresifan Tiongkok di sengketa LCS, melainkan juga dari persaingan

AS dan Tiongkok dalam memperoleh mitra, dimana Tiongkok membutuhkan

mitra untuk kelangsungan kerjasama Tiongkok yang dikenal dengan One Belt

One Road (OBOR) dan AS membutuhkan mitra untuk kelangsungan

kebijakannya yang dikenal dengan Pivot to Asia (PTA)

(sumber:www.wsws.org/en/articles/2015/12/04/obor-d04.html, diakses pada

23 Oktober 2017), yang keduanya berkaitan dengan negara sekitar LCS dan jalur

yang melintasinya, sehingga AS-Tiongkok terlibat persaingan dalam perolehan

mitra dari wilayah yang sama, yang menimbulkan ketegangan.

Tabel 1.1. Aksi AS-Tiongkok di Sengketa LCS

(sumber : hasil olah data penelitian dari berbagai sumber)

Tabel di atas menunjukkan AS selalu menyikapi aksi klaim Tiongkok

kecuali pada tahun 2015 karena di tahun tersebut aksi Tiongkok di LCS

mengalami penurunan drastis. Aksi Tiongkok-AS paling banyak terjadi pada 2014

dimana pada tahun tersebut AS bersama mitra pertahanannya, yaitu Filipina resmi

kembali membentuk kerjasama pertahanan sejak keduanya terakhir membentuk

kerjasama pada 1951. Aksi AS di LCS tersebut merupakan realisasi dari

0

1

2

3

4

5

6

7

2013 2014 2015 2016

AS

Tiongkok

6

pernyataan Hillary Clinton selaku Sekretaris Negara yang disampaikan pada

agenda US Engagement in The Asia Pacific 2012 lalu, dimana AS akan lebih

banyak terlibat dalam aspek perkembangan negara Asia termasuk dalam aspek

keamanan (sumber:https://youtube/f7DnsxgxHs, diakses pada 12 April 2018),

yang artinya permasalahan sengketa LCS turut menjadi perhatian bagi AS.

Selain didasarkan hukum internasional dan pernyataan di atas, AS sangat

jelas memiliki kepentingan di LCS yaitu demi kelangsungan transaksi dagang,

pengiriman informasi dari maupun menuju Asia-AS, stabilitas satu-satunya base

militer AS yang berada di sekitar LCS, dan terutama untuk mengurangi peluang

Tiongkok mendominasi Asia melalui sengketa LCS, mengingat penguasaan

Tiongkok di LCS sama saja berpotensi menutup akses AS di tiga kepentingannya.

Mendapati kondisi ini maka AS hadir di dalam sengketa LCS.

Keberadaan aksi AS tersebut membuktikan bahwa AS selama lima tahun

terakhir terbukti serius memposisikan diri di LCS. Namun hingga kini sengketa

LCS belum mampu diselesaikan. Bila sengketa dibiarkan terus berlanjut, maka

tidak menutup peluang dimana sengketa berpotensi menimbulkan konflik baru

bahkan semakin mengekskalasi intensitas ketegangan sengketa yang tentu

berdampak merugikan bagi banyak negara terlebih bagi AS.

B. Rumusan Masalah

Dalam pasal 51 yang tertulis pada Piagam PBB, setiap negara memiliki

hak untuk membela diri demi menjaga kedaulatan negara dan perdamaian serta

keamanan internasional. Ketegangan yang ditimbulkan dari sengketa secara

langsung telah mengganggu stabilitas kawasan tersebut. AS telah menghimbau

7

aksi klaim maupun pelanggaran yang terjadi di sengketa namun himbauan

tersebut tidak menyelesaikan sengketa maupun mampu meredam ketegangan yang

ada mengingat aksi klaim terus terjadi, sehingga AS mengirimkan militer ke LCS.

Enam tahun AS mengerahkan militer di sengketa LCS, namun sengketa belum

mampu diselesaikan. Dengan begitu, peneliti merumuskan masalah penelitian ini,

yaitu “(1) Bagaimana strategi militer Amerika Serikat di Sengketa Laut Cina

Selatan, (2) Bagaimana efektivitas strategi militer Amerika Serikat di Sengketa

Laut Cina Selatan ?”

Peneliti menganggap sengketa LCS merupakan permasalahan darurat

solusi yang bila dibiarkan maka berpotensi mengancam keamanan, perekonomian

bahkan jalur dagang dan jalur komunikasi dunia. Atas alasan inilah sengketa LCS

penting untuk disikapi serius. Hal yang menarik pada sengketa ini adalah adanya

kehadiran non claimant yaitu AS yang bahkan tidak berbatasan dengan LCS

justru mengerahkan strategi militer di sengketa LCS.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu :

1. Menjelaskan strategi militer AS di sengketa LCS.

2. Menjelaskan efektivitas strategi militer AS di sengketa LCS.

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan teoritis :

Penelitian ini mencoba menyampaikan urgensi stabilitas keamanan dalam

hubungan internasional dimana keamanan suatu kawasan tidak hanya

8

berpotensi mengancam stabilitas aktor dalam satu kawasan melainkan juga

bagi aktor dari luar kawasan, dimana pada penelitian ini AS menjadi aktor

luar kawasan yang kepentingan nasionalnya berpotensi terancam akibat

keberadaan sengketa di kawasan LCS sehingga AS menjalankan strategi

yang didominasi dengan realisasi kerjsama pertahanan, dimana menurut

asumsi neorealisme negara dipandang sebagai aktor rasional yang

meyakini terjalinnya kerjasama negara dengan aktor lain merupakan

respon negara dari anarkinya sistem internasional.

2. Kegunaan praktis :

Penelitian dapat digunakan sebagai pertimbangan khususnya bagi

Pemerintah negara-negara yang bersengketa dalam menyusun strateginya

dan menyikapi kehadiran negara di luar negara bersengketa dimana

penelitian ini berupaya memberi solusi dalam menuntaskan sengketa.

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu

Peneliti mencoba memaparkan beberapa penelitian terdahulu sebagai

gambaran awal mengenai strategi militer untuk membantu menjawab pertanyaan

penelitian. Berbagai penelitian dengan tema serupa telah banyak dilakukan di

antaranya oleh Renato De Castro, Arthur S. Ding dan Paul A. Huang, Elinor

Sloan, serta David B. Carter. Fokus penelitian yang dilakukan peneliti ialah

strategi militer Amerika Serikat (AS) di sengketa Laut Cina Selatan (LCS) yang

belum dikaji secara mendalam pada penelitian-penelitian terdahulu.

Pertama, penelitian yang dilakukan Renato De Castro berjudul U.S.

Grand Strategy in Post-Cold War Asia-Pacific. Penelitian ini menganalisis grand

strategy AS pasca Perang Dingin. Castro menggunakan kerjasama ekonomi dan

strategi militer sebagai objek penelitian, sedangkan untuk konsep yang digunakan,

Castro menggunakan konsep hegemoni Robert O. Keohane untuk menjelaskan :

(1) alasan AS merubah fokus kebijakan, (2) konsep kekuatan militer yang

menjelaskan pengaruh kekuatan militer terhadap hegemoni suatu negara, dan (3)

konsep kerjasama ekonomi yang menjelaskan pentingnya aspek ekonomi.

Pembahasan penelitian ini dimulai dengan penjelasan sebutan ‘hegemoni’

yang melekat pada AS. Dengan dilatarbelakangi istilah hegemoni, Pemerintah AS

membentuk kebijakan tatanan kawasan baru guna menciptakan stabilitas di

10

kawasan Asia Pasifik. AS memfokuskan hal tersebut pada dua komponen yaitu,

komponen politik-diplomatik yang diyakini AS dapat membuka peluang pasar

bebas yang nantinya mampu memberi kestabilan ekonomi dan komponen militer

yang diperlukan sebagai pendukung kestabilan kawasan.

Castro menyimpulkan bahwa AS merubah kebijakan grand strategy-nya

di Asia Pasifik pasca Perang Dingin, yang semula hanya berorientasi pada

keamanan dan politik kini juga fokus pada aspek ekonomi. Relevansi penelitian

Castro dengan penelitian ini adalah kedua penelitian menyikapi stabilitas di

kawasan Asia-Pasifik pasca Perang Dingin melalui pertimbangan dua komponen,

yang artinya penelitian Castro dapat digunakan sebagai pemberi komponen

pertimbangan penelitian.

Kedua, penelitian Arthur S. Ding dan Paul A. Huang berjudul Taiwan’s

Paradoxical Perceptions of The Chinese Military. Penelitian ini bertujuan

menjawab apakah adanya ancaman militer Tiongkok terhadap Taiwan, perubahan

kebijakan Tiongkok serta keterlibatan AS di Asia-Pasifik dapat meningkatkan

jumlah konflik yang terjadi. Ding dan Huang mendeksripsikan kebijakan militer

Taiwan dan militer Tiongkok serta keterlibatan AS untuk mengetahui pengaruh

ketiganya terhadap intensitas terjadinya suatu konflik. Ding-Huang menggunakan

konsep doktrin yang menjelaskan perlunya penerapan doktrin untuk

memertahankan kedaulatan suatu negara dan konsep strategi pertahanan yang

menjelaskan pentingnya menentukan strategi tepat untuk negara.

Penjelasan penelitian ini terdiri dari empat poin, yaitu : persepsi Taiwan

terhadap ancaman dari militer Tiongkok, perubahan pendekatan yang digunakan

Tiongkok pada Taiwan, analisis strategi pertahanan atau strategi militer Taiwan

11

terkait meningkatnya konflik antar-selat yang terjadi, serta analisis pembaharuan

pertahanan Taiwan dalam menghadapi ancaman yang ditimbulkan militer. Ding

dan Huang menyatakan bahwa meski hubungan Tiongkok dan Taiwan mengalami

kemajuan di bawah Pemerintahan Presiden Ma-Ying-Jeou ketika ada perbedaan

antara kebijakan politik di dua negara ini, maka anggapan Taiwan terhadap

ancaman yang ditimbulkan oleh militer Tiongkok tidak dapat dihilangkan.

Relevansi penelitian Ding dan Huang dengan penelitian ini adalah kedua

penelitian memiliki keterlibatan AS dalam isu yang berbeda, yang artinya

penelitian ini dapat menjadi pembanding bagaimana keterlibatan AS terkait

kebijakan militer Tiongkok dan militer Taiwan dengan keterlibatan AS di

sengketa LCS yang di dalamnya juga terdapat kehadiran Tiongkok.

Ketiga, penelitian Elinor Sloan berjudul US-Cina Military and Security

Developments Implications for Canada. Penelitian ini membahas perkembangan

militer dan keamanan antara AS-Tiongkok serta memprediksi implikasinya bagi

Kanada melalui analisis pengaruh perkembangan kapabilitas militer AS dan

militer Tiongkok terhadap Kanada. Pada penelitiannya, Sloan fokus pada

anggaran dan persenjataan militer. Konsep yang digunakan Sloan, di antaranya,

konsep strategi militer (Sloan) yang menjelaskan perlunya penetapan strategi yang

tepat dan konsep military power, sebagai konsep yang menjelaskan kekuatan

militer dipengaruhi strategi militer yang dipilih negara.

Penjelasan penelitian ini dimulai dengan membahas kemajuan kapabilitas

militer Tiongkok secara garis besar kemudian mengidentifikasi kemajuan yang

terjadi, serta sedikit menginformasikan maksud dan kepentingan tersembunyi dari

kemajuan militer. Sloan menyimpulkan bahwa fakta-fakta objektif

12

mengindikasikan militer Tiongkok telah mengalami peningkatan, seperti

penambahan anggaran militer, perluasan pelatihan angkatan militer, dan

pemfokusan pada teknologi militer.

Militer AS pada dasarnya fokus pada strategi widening anti-access dari

wilayah timur hingga barat Pasifik, termasuk Laut Cina Selatan. Interpretasi dua

negara ini akan mempengaruhi Kanada, dimana terbukanya kemungkinan perang

antara negara di bagian barat Pasifik. Relevansi penelitian Sloan dengan

penelitian ini adalah kedua penelitian sama-sama membahas militer Tiongkok

yang pada penelitian Sloan, fakta objektif menunjukkan Tiongkok telah

meningkatkan militernya, yang artinya penelitian Sloan dapat dijadikan argumen

pendukung dalam penelitian ini terkait militer Tiongkok di LCS karena Tiongkok

juga menurunkan militernya di sengketa LCS.

Keempat, penelitian yang dilakukan David B. Carter berjudul The Strategy

of Territorial Conflict. Penelitian ini bertujuan menjawab apakah sengketa

wilayah dapat mempengaruhi pembuatan strategi. Carter menjadikan sengketa

Sino-Vietnamese untuk studi kasus penelitian. Carter berfokus pada karakter

wilayah, keberadaan sumber daya yang bernilai ekonomi, dan keberadaan

kelompok minoritas di antara negara-negara yang berkonflik. Carter

menggunakan konsep subgame perfect equiblirium (SPE) untuk menganalisis

faktor bergabung ataupun bersaingnya negara dalam menyikapi sengketa.

Model Carter menjelaskan logika terjadinya konsolidasi di suatu sengketa

wilayah, atau mengapa dan kapan negara sasaran melakukan konsolidasi wilayah

guna meningkatkan kapabilitas militer. Carter menyimpulkan bahwa sengketa

wilayah memungkinkan kerjasama antara aktor yang berkonflik agar

13

meningkatkan kemampuan demi terjadinya persaingan yang efektif. Relevansi

penelitian Carter dengan penelitian ini adalah kedua penelitian meneliti strategi

dalam sengketa, yang artinya jawaban penelitian Carter dapat digunakan sebagai

hipotesis penelitian ini.

Dari keempat penelitian terdahulu ada kesamaan yang dimiliki dengan

penelitian ini seperti aktor yang terlibat maupun fokus bahasannya. Keempat

penelitian di antaranya dapat menjadi : (1) pemberi komponen dasar yang dapat

diaplikasikan dalam penelitian seperti komponen politik-diplomatik dan

komponen militer, (2) pemberi hipotesis mengenai fakta negara yang tengah

bersengketa memiliki kecenderungan untuk bersitegang atau justru bergabung

untuk menyelesaikan sengketa wilayah, (3) pemberi argumen pendukung

penelitian yang menyatakan Tiongkok tengah meningkatkan kemampuan militer

di kawasan Asia-Pasifik, dan (4) pembanding keterlibatan AS terkait kebijakan

militer Tiongkok dan militer Taiwan dengan keterlibatan AS di sengketa LCS.

Meski keempatnya memiliki kesamaan, penelitian ini tetap berbeda

dengan penelitian terdahulu, yaitu penelitian ini membahas strategi AS di

sengketa LCS dimana pada penelitian terdahulu belum ada yang membahasnya.

Adapun penelitian Carter fokus Sino-Vietnamese, penelitian Castro mengkaji

grand strategy AS pasca Perang Dingin, sedangkan penelitian Sloan dan

penelitian Ding-Huang keduanya lebih mengkaji militer Tiongkok, dimana

keseluruhan penelitian tersebut belum mengkaji strategi AS. Penelitian terdahulu

juga tidak memiliki rentang waktu penelitian, sedangkan penelitian ini memulai

pengolahan data sejak tahun 2013 yaitu satu tahun pasca AS menyatakan akan

meningkatkan kehadiran di LCS.

14

Tabel 2.1. : Komparasi Penelitian Terdahulu

Renato De

Castro

Arthur S. Ding &

Paul D. Huang

Elinor Sloan David B. Carter T

op

ik

Pen

elit

ian

Strategi AS

setelah

Perang

Dingin di Asia Pasifik

Pengaruh militer

negara dan

kebijakan

terhadap intensitas terjadinya konflik

Implikasi dari

perkembangan aspek

militer dan keamanan

AS-Tiongkok bagi Kanada

Strategi konflik sengketa

wilayah

Meto

delo

gi Observasi

kebijakan dan

staretgi

militer AS

Observasi

perubahanan

militer Tiongkok

dan militer

Taiwan

Studi dokumen

pengaruh

perkembangan militer

AS-Tiongkok bagi

Kanada

Menganalisis faktor

bergabung ataupun

bersaingnya negara di

konflik sengketa wilayah

menggunakan model

theoretical.

Kon

sep

Hegemoni,

kekuatan

militer,

kerjasama

ekonomi

doktrin, strategi

pertahanan

Strategi militer,

military power

Subgame perfect

equiblirium (SPE)

Kesi

mp

ula

n

Fokus

kebijakan grand

strategy AS

mengalami

perubahan

Militer negara dan

kebijakan yang dibuat

memengaruhi

intensitas

terjadinya suatu

konflik

Kemungkinan

terjadinya perang antar negara di bagian barat

Pasifik menurun;

Kemungkinan

terjadinya pengukuran

tingkat keamanan dan

regulasi yang berada di

perairan meningkati

Wilayah yang

disengketakan memungkinkan untuk

menimbulkan kerjasama

antara aktor yang

berkonflik untuk

meningkatkan

kemampuan mereka demi

persaingan yang efektif

(sumber : hasil rangkuman dari berbagai sumber)

Dari empat penelitian terdahulu ini secara umum menunjukkan strategi

militer diatur oleh kebijakan negara, dimana kebijakan ini dipengaruhi

kepentingan nasional dan pemaknaan aspek keamanan bagi suatu negara.

Perubahan strategi militer suatu negara dapat dilihat dari beberapa hal, seperti

bagaimana kebijakan luar negeri dibuat, bagaimana tindakan negara dalam

menyediakan anggaran maupun persenjataan militer, termasuk bagaimana

menyebarkan doktrin demi keberhasilan strategi militer negara tersebut.

Tiga dari empat penelitian ini membahas strategi militer AS dengan

berbagai fokus kajian, seperti aspek ekonomi, aspek keamanan, dan aspek

kawasan. Perbedaan penelitian ini dengan empat penelitian terdahulu terletak pada

fokus masalah dan rentang waktu objek penelitian. Keempatnya membahas

15

strategi militer, namun belum membahas strategi militer di sengketa LCS secara

khusus. Keempat penelitian tersebut juga tidak menentukan rentang waktu dari

dan sampai kapan penelitian mereka masih relevan digunakan, sedangkan

penelitian ini akan fokus pada strategi AS di sengketa LCS dari tahun 2013.

B. Sengketa Wilayah

Sengketa ialah sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat,

pertengkaran, perbantahan, termasuk perkara kecil, serta perebutan atas suatu

wilayah atau daerah. Menurut Adolf Huala (2004, hlm.3), sengketa adalah

pertentangan pandangan dua negara mengenai pelaksanaan kewajiban dalam

perjanjian. Pengertian Huala tersebut dilengkapi lagi oleh Francesco Mancini

(2013, hlm.3) yang menyatakan faktor penyebab terjadinya sengketa adalah

ketidakjelasan perbatasan suatu wilayah, misalnya : penetapan batas wilayah suatu

negara pasca kemerdekaan ditentukan dengan mengikuti wilayahnya pada masa

pra kemerdekaan tanpa memperhatikan budaya, agama, bahasa/identitas bangsa di

wilayah tersebut. Atas penetapan batas yang kurang memperhatikan aspek

identitas, maka sengketa wilayah cenderung terjadi. Dari definisi tersebut dapat

disimpulkan bahwa sengketa wilayah merupakan ketiadaan kesepakatan antara

dua aktor atau lebih mengenai kedaulatan maupun kewenangan atas suatu wilayah

yang didasarkan pada beragam dimensi.

Beragamnya definisi suatu sengketa wilayah memunculkan adanya

klasifikasi sengketa berdasar aspek yang berbeda. Daniel Dzurek (IBRU

Boundary and Security Bulletin, 2000, hlm.83) mengenalkan tiga aspek dalam

klasifikasi tersebut, yang di antaranya :

16

1. Intensifying factors merupakan aspek yang membedakan sengketa

berdasar faktor intensif, seperti recent acts (tindakan yang dilakukan

claimants), serta keterlibatan pihak ketiga yang pada penelitian ini

diartikan sebagai kehadiran militer AS.

2. Magnitude diartikan sebagai aspek yang membedakan sengketa berdasar

seberagam apa objek yang diperebutkan, seperti luas reklamasi yang

diperoleh, serta status objek yang diperebutkan, seperti occupied islets,

pillboxes, dan undersea banks.

3. Nature merupakan aspek yang mengklasifikasi sengketa berdasar hal yang

menyangkut kealamiahan sengketa misalnya : motif bersengketa, motif ini

muncul sebagai pemicu terjadinya sengketa seperti penerobosan batas

wilayah, serta metode penyelesaian yang menjelaskan metode yang

claimants gunakan.

Berdasarkan Piagam PBB pasal 33 ayat 1 (1995), penyelesaian sengketa

internasional dapat ditempuh melalui tujuh metode, di antaranya :

1. Negosiasi adalah penyelesaian sengketa yang dituntaskan dengan cara

berunding atau bermusyawarah tanpa melibatkan pihak ketiga. Negosiasi

melibatkan pihak yang bersengketa, dapat terdiri atas dua pihak atau lebih.

2. Enquiry (penyelidikan) ialah penyelesaian sengketa yang dituntaskan

dengan menyelediki fakta-fakta terkait sengketa untuk menentukan

perjanjian atau komitmen yang relevan untuk diterapkan. Metode ini

memungkinkan lembaga internasional terlibat dalam penyelesaian.

3. Mediasi adalah penyelesaian sengketa yang dituntaskan dengan

melibatkan pihak ketiga sebagai mediator pihak bersengketa dalam

17

berunding. Metode ini hanya dapat dilakukan bila pihak bersengketa

menyetujui mediator sebagai pihak ketiganya serta mediator bersedia

mengikuti ketentuan dari pihak bersengketa.

4. Konsiliasi merupakan penyelesaian sengketa yang dituntaskan melalui

penyelidikan dan evaluasi terkait sengketa dengan melibatkan pihak

ketiga. Metode ini juga diartikan dengan penyelesaian yang

menggabungkan enquiry dan mediasi.

5. Good office (jasa baik) adalah penyelesaian yang hampir serupa dengan

mediasi namun metodie ini mediator tidak terlibat dalam penyeledikan

fakta maupun dalam perundingan.

6. Arbitrase merupakan penyelesaian yang sama dengan mediasi, namun

peran mediator yang pada metode lebih berwenang dalam memberi solusi

sengketa internasional dan keputusan yang dihasilkan lebih mengikat.

7. Penyelesaian secara yudisial merupakan penyelesaian dengan mengajukan

sengketa ke pengadilan internasional. Pengadilan ini dibedakan menjadi

dua, yaitu pengadilan internasional permanen seperti Mahkamah

Internasional (MI), dan pengadilan khusus (ad hoc) seperti The Inter

American Court of Human Right.

8. Badan regional merupakan penyelesaian yang melibatkan badan regional

seperti ASEAN sebagai pihak yang memberi solusi sengketa.

Dari penjelasan klasifikasi ini, sengketa LCS dapat menggunakan model

Dzurek untuk mengelompokkan sengketa LCS berdasarkan faktor claimants,

ketegangan, proyek reklamasi, dan lainnya. Model klasifikasi Dzurek juga

18

menerangkan bahwa semakin beragamnya aspek yang berada pada satu sengketa

menunjukkan semakin intens sengketa tersebut terjadi.

C. Kepentingan Nasional

Konsep kepentingan nasional merupakan dasar yang menentukan perilaku

luar negeri suatu negara. Konsep ini digunakan untuk menunjukkan bahwa

kepentingan nasional merupakan dasar dalam melakukan kebijakan luar negeri

suatu negara. Menurut Fred A. Sondermann (1960), kepentingan nasional ialah

hal yang berkaitan dengan perang kata yang terdapat pada kebijakan luar negeri,

yang kemudiang menjadi dasar negara dalam merespon aktivitas internasional.

Kemudian Donald E. Nuechterlein (1976) mendefinisikan bahwa kepentingan

nasional ialah suatu kebutuhan negara yang berkaitan dengan negara-negara

lainnya dari lingkup eksternal. Nuechterlein menyatakan keputusan yang ada di

kepentingan nasional merupakan suatu proses politik, dimana suatu pemimpin

memiliki sudut pandang yang berbeda-berbeda dalam mengambil sebuah

keputusan namun pada akhirnya akan mengambil kesimpulan dan membuat suatu

keputusan. Nuechterlein membagi kepentingan nasional menjadi empat poin,

yaitu : 1) defence interest; 2) economic interest; 3) world order interest; serta 4)

ideological interest. Berdasar definisi tersebut, dapat disimpulkan kepentingan

nasional merupakan alasan aktor melakukan suatu tindakan dengan didasari

tujuan tertentu.

Kepentingan nasional sangat erat kaitannya dengan kebijakan yang

dikeluarkan oleh negara dalam mencapai tujuan dari negaranya, seperti memenuhi

kebutuhan dari warga negaranya, termasuk menyejahterakan masyarakat.

Kepentingan nasional berkaitan dengan kebijakan luar negeri suatu negara karena

19

kepentingan nasional dapat mentukan para pengambil keputusan dalam

merumuskan dan menetapkan tindakan suatu negara di dunia internasional.

Kepentingan nasional dapat digunakan untuk mendeksripsikan, menjelaskan,

memrediksikan, maupun menganjurkan sebuah perilaku internasional (Maso’ed

Mohtar, 1990, hlm.2). Praktisi hubungan internasional secara umum menyepakati

bahwa kepentingan nasional merupakan alasan utama dari sebuah tindakan yang

dilakukan negara. Morgenthau menekankan kepentingan nasional lebih

diutamakan dibanding kepentingan regional (Maso’ed Mohtar, 1990, hlm.166).

Suatu negara dalam pemenuhan kepentingan nasional akan melakukan

satu ataupun banyak aksi, dimana satu dari banyak aksi tersebut di antaranya aksi

balance of threat (BOT). BOT merupakan kondisi yang menyarankan suatu

negara untuk membentuk aliansi demi mencegah munculnya kekuatan dominan

yang mendominasi negara tersebut ataupun membentuk koalisi untuk memenuhi

tujuan serupa (Michael P.Watson, 2001).

Pencegahan dominasi negara di satu negara tentu ditujukan demi

melindungi kepentingan nasional negara. Pada teori BOT, negara akan beraksi

ketika negara tersebut berada di posisi terancam sehingga negara terdorong untuk

ikut menyeimbangkan ancaman yang terjadi. Penyeimbangan ancaman ini dapat

dibedakan menjadi dua macam, yaitu BOT eksternal dan internal. BOT eksternal

dijalankan melalui pembentukan aliansi ataupun koalisi (Mearsheimer, hlm.243).

Sedangkan BOT internal merupakan aksi yang dijalankan negara ke lingkup

dalam negara tanpa melibatkan aktor eksternal, seperti peningkatan kapabilitas

militer negara tersebut.

20

D. Strategi Militer

Strategi merupakan cara atau upaya yang dilakukan untuk mencapai

tujuan. Menurut George Steiner (Nickols Fred, 2016, hlm.2) strategi adalah cara

yang dilakukan untuk menyikapi atau memprediksi tindakan dari pesaing. Henry

Mintzberg (ibid.,hlm.3) menyatakan ada banyak sudut pandang dalam

mendefinisikan kata strategi namun di antaranya ada empat hal yang sering

digunakan yaitu : (1) strategi - rencana bagaimana memperoleh apa yang dituju,

(2) strategi - pola aksi yang telah digunakan dari waktu ke waktu, (3) strategi -

posisi bagaimana memposisikan diri dalam suatu isu, dan (4) strategi - perspektif

yang berisi visi dan tujuan.

Dapat disimpulkan strategi adalah cara atau upaya baik dilakukan melalui

perencanaan maupun memprediksi aksi yang perlu dijalankan untuk memperoleh

tujuan tertentu, sehingga secara sederhana strategi militer merupakan bagian kecil

dari konsep strategi.

Dalam pendefinisian strategi militer mengenal istilah grand strategy. Frasa

“grand strategy” kali pertama digunakan oleh Liddle Hart untuk mendeskripsikan

strategi higher level ketika berperang. Bagi Hart, strategi merupakan seni militer

yang dilakukan untuk memenuhi tujuan kebijakan. Grand strategy hanya berlaku

ketika adanya paksaan dari lingkup internasional (Dueck Collin, 2006, hlm.10).

Grand strategy juga diartikan sebagai hal yang dibentuk untuk mencapai tujuan

nasional dengan memberdayakan sumber daya, sehingga grand strategy dapat

dianggap sebagai cabang kebijakan luar negeri. Untuk menentukan grand strategy

yang sesuai dengan kebijakan luar negeri suatu negara maka suatu negara perlu

mengidentifikasi grand strategynya. Collin Dueck menjelaskan identifikasi

21

terhadap grand strategy dapat disadari pada tiga aspek utama, yaitu : kepentingan

nasional, potensi ancaman pada kepentingan nasional, serta sumber daya untuk

menghadapi ancaman tersebut.

Menurut Dueck, grand strategy juga dapat merepresentasikan peta konsep

dan kumpulan ide kebijakan yang mendeskripsikan cara mencocokan

pengidentifikasi sumber daya dengan kepentingan suatu negara. Identifikasi ini

mengarah pada pertanyaan mengenai bagaimana negara mengatur tingkatan

kepentingan nasional, potensi ancaman, serta sumber daya yang dimilikinya.

Identifikasi grand strategy memunculkan bentuk strategi yang dapat dipilih suatu

negara untuk menghadapi negara lain. Shiping Tang (2010,hlm.100) merumuskan

strategi tersebut dengan sebutan “Realis’m Ladder of Strategies”, diantaranya : (1)

preventive war ialah strategi negara yang dilakukan untuk mencegah perubahan

yang merugikan dalam memunculkan power antar Negara, (2) containment

merupakan strategi untuk membendung suatu penyebaran pengaruh maupun

paham seperti penyebaran ideologi yang dibedakan menjadi aktif dan pasif, (3)

engagement merupakan strategi yang cenderung digunakan negara defensif untuk

menciptakan trust pihak lawan dalam aspek pertahanan., (4) security cooperation

merupakan komponen penting dalam lingkup global untuk melancarkan aksi

bersama, (5) do nothing adalah strategi dimana negara tidak memberi respon

apapun terhadap aksi dari pihak lawan, dan (6) appeasement, merupakan strategi

dimana negara memilih tidak melibatkan diri dalam permasalahan yang terjadi.

o Strategi Keamanan Maritim Asia Pasifik

Dalam e-blueprint Asia Pacific Maritime Security Strategy (2015, hlm.5),

konteks strategi di kawasan ini dijelaskan dalam empat poin, yaitu competing

22

territorial and maritime claim; military and maritime law enforcement

modernziation; maritime challenges; dan dispute resolution, yang keempatnya

memiliki empat fokus strategi, yaitu :

1. Memperkuat kapasitas militer. AS akan menempatkan militernya untuk

lebih berdistribusi di Asia Pasifik, seperti dalam hal investasi, dimana AS

akan menambah jumlah, frekuensi, dan pengalaman dalam latihan militer

bersama kawasan; dalam hal pola kekuatan, dimana angkatan laut AS akan

menambah jumlah kapal sekitar 30%, untuk meningkatkan keberadaan

militernya di Pasifik; dan dalam hal operations,exercises, training, dimana

AS akan melakukan aktivitas militernya di kawasan secara rutin sebagai

perlindungan kebebasan penggunaan laut dan udara sesuai hokum.

2. Mempertahankan kerjasama AS dengan mitra pertahanan AS, seperti : AS

tetap melakukan kerjasama dengan mitra di kawasan untuk membangun

kapasistas militer kedua negara tersebut.

3. Menumbuhkan trust dari mitra terhadap AS, dimana AS akan

meningkatkan hubungan diplomasi untuk menumbuhkan transparansi dan

mengurangi potensi adanya miskalkulasi di antara AS dengan mitra

kerjasama, yang dapat dijalankan dengan melakukan dialog bilateral,

membangun pangkalan militer untuk mengembangkan kapasitas kerjasama

di area yang memiliki kepentingannya, dan mengurangi potensi konflik

dengan memfokuskan aktivitas militernya untuk meningkatkan operasi

keamanan, melalui pengembangan lembaga, seperti ASEAN.

4. Memperkuat keamanan kawasan sesuai hukum internasional, seperti : AS

akan tetap beroperasi dan berpatroli di laut dan udara di wilayah mana pun

23

yang diatur dalam hukum internasional, dan mengondisikan keberadaan

militer untuk melindungi kepentingannya.

Aksi militer AS diatur agar meningkatkan intensitas militernya guna

mencapai tujuan strategi, yaitu melindungi kepentingan nasional AS dan

mempromosi stabilitas suatu kawasan. Oleh karena ini, AS perlu melakukan dan

meningkatkan kerjasama pertahanan dengan claimant di LCS.

Dalam pelaksanaan strategi, suatu negara tentu memiliki power masing-

masing. Menurut Michael Barnett dan Raymond Duvall (2005, hlm.39), power

ialah produksi dari interaksi yang terjadi dalam hubungan sosial, yang

memengaruhi kapasitas suatu aktor untuk menentukan keadaan dan tujuan yang

dimiliki. Definisi power juga dinyatakan oleh Kenneth Waltz, yaitu sebagai

konsep utama penteori realis dalam politik internasional, dimana definisi power

masih memunculkan banyak perdebatan (Walter, 2013, hlm.273). Selanjutnya

Robert Gilpin mendeskripsikan power sebagai konsep yang paling kompleks

dalam lingkup hubungan internasional. Menurut JFSC, power dapat didefinisikan

sebagai kemampuan aktor untuk mendapatkan hal yang dicapai. Berdasar

beberapa definisi mengenai power, peneliti menyimpulkan power merupakan

suatu konsep yang memiliki pengaruh bagi aktor dalam berperilaku, baik negara,

organisasi, kelompok, individu, dan aktor lainnya.

Joseph Nye membedakan power dalam dua bentuk yaitu soft power dan

hard power atau coercive power (Jan Wagner, 2014). Soft power merupakan

kapasitas aktor untuk menarik aktor lain sehingga aktor lain tersebut menjalankan

tujuan yang diinginkan oleh aktor pertama. Power ini secara sederhana sering

dilakukan dalam bentuk diplomasi yang bersifat tidak memaksa. Sedangkan hard

24

power ialah power yang digunakan aktor kuat untuk memaksa aktor lemah. Power

ini berkaitan erat dengan kekuatan militer, paksaan, serta kekerasan. Bagi paham

realisme, coercive power merupakan power paling unggul yang berpotensi

memunculkan efek penangkalan atau deterrence. Penerapan hard power

umumnya terjadi ketika suatu negara menghadapi ancaman langsung, yang artinya

negara tersebut berada di situasi tidak aman sehingga memutuskan menerapkan

aksi bersifat hard power demi menangkal dampak merugikan negara tersebut.

E. Efektivitas Strategi Militer

Efektivitas menurut Robert (2014, hlm.180) merupakan frasa yang sering

diartikan sebagai hasil yang positif, keefektifan, efisiensi, dan keakuratan.

Efektivitas juga merupakan standar untuk mengukur besaran dari capaian yang

berhasil didapatkan (Potocan V, hlm.254). Sedangkan dalam kamus Oxford, kata

efektivitas dimaknai dengan kesuksesan, sukses, efisiensi, produktivitas,

bermanfaat, potensi, dan kekuatan (sumber:https://en.oxforddictionaries.com/

theasurus/effectiveness, diakses pada 30 November 2018). Dari definisi tersebut

disimpulkan bahwa efektivitas merupakan tolak ukur atas ada atau tidaknya

keberhasilan maupun capaian yang diperoleh dari suatu tindakan.

Pengukuran efektivitas dilakukan dengan membandingkan situasi sebelum

dengan situasi setelah suatu tindakan dilakukan. Robert membedakan pengukuran

efektivitas dalam dua bentuk, yaitu ex ante dan ex post. Ex ante merupakan

pengukuran efektivitas dengan mengidentifikasi dan memperhitungkan baik

capaian dari suatu capaian maupun input yang dilakukan dalam periode khusus

untuk masa mendatang. Sedangkan ex post merupakan pengukuran yang

25

memperhitungkan aksi yang telah dilakukan sebagai input dan capaian. Tingkat

akurasi penggunaan ex post lebih besar karena tolak ukur yang digunakan

merupakan aksi yang telah tejadi lebih dahulu (Robert, hlm.181).

F. Kerangka Pemikiran

Penelitian ini mencoba menjelaskan masalah sengketa LCS untuk dikaji

dan bagaimana berartinya kestabilan kawasan LCS bagi AS yang secara jelas

justru bukan bagian dari negara yang bersengketa atas LCS.

Sengketa LCS merupakan sengketa yang telah berlangsung lebih dari tiga

dekade dengan jumlah negara yang bersengketa (claimants) mencapai lima negara

sekaligus, yaitu Tiongkok, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei. Selama

bersengketa, hampir seluruh claimants terlibat ketegangan sengketa akibat aksi

masing-masing claimants dalam menunjukkan keseriusan untuk memperoleh

wilayah klaimnya, terutama Tiongkok. Tiongkok merupakan claimant dengan

jumlah klaim paling banyak yaitu mencapai 90% dari keseluruhan perairan LCS.

Sengketa LCS ternyata tidak terjadi di sembarang wilayah melainkan

terjadi di wilayah yang memiliki peran dalam kelangsungan dua jalur infrastruktur

negara, yaitu jalur perdagangan dunia dan jalur kabel bawah laut (submarine

cable). Keberadaan dua jalur tersebut tidak hanya berarti bagi negara di kawasan

LCS maupun sekitarnya melainkan juga berarti bagi AS yang justru merupakan

non claimant dan bahkan tidak berbatasan langsung dengan LCS.

Sengketa LCS dianggap penting bagi AS karena jalur dagang dan jalur

submarine cable AS ada yang melintas di perairan LCS dimana sebagian besar

pasokan barang dari dan menuju AS juga berasal dari Asia. Selain keberadaan dua

26

jalur tersebut, mitra pertahanan AS yaitu Filipina juga turut menjadi claimant atas

LCS dan terlibat ketegangan dengan Tiongkok yang merupakan rival AS dari

wilayah Asia. Sengketa LCS berpotensi mengancam kepentingan AS terutama

dalam aspek ekonomi dan aspek keamanan.

AS mengerahkan strategi militer di sengketa LCS demi melindungi

kepentingan ekonomi dan keamanan AS dengan menjalankan strategi yang

merupakan realisasi dari strategi keamanan maritim Asia-Pasifik, yang di

antaranya yaitu : menggelar latihan militer bersama, melakukan patroli militer

rutin, memberi pinjaman dana militer, dan membentuk kerjasama pertahanan

dengan mitra AS di Asia.

Dari pemaparan pola pemikiran peneliti dalam penelitian ini maka peneliti

membentuk kerangka pemikiran sebagai berikut :

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran

Sengketa Wilayah di Laut Cina Selatan

(Kepentingan AS)

ekonomi dan keamanan

AS mengerahkan strategi militer ke Laut Cina Selatan melalui strategi keamanan maritim Asia

Pasifik

Memperkuat

kapasitas militer Mempertahankan

kerjasama

Menumbuhkan

trust pada mitra Memperkuat

keamanan kawasan

Latihan Militer

Bersama

Membentuk

kerjasama

Pinjaman Dana

Militer

Patroli Militer

Rutin

27

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dimana pendekatan

kualitatif umumnya menggunakan logika berfikir induktif, cenderung bersifat

historis dan membuka ruang eksplorasi terhadap hal-hal non materiil. Konteks

historical diartikan bahwa dalam penelitian ini fakta yang dimunculkan

didasarkan pada fakta yang memiliki konteks historis sesuai dengan situasi yang

terjadi. Penelitian ini bersifat deskriptif yang berarti penelitian ini memaparkan

fakta menjadi hasil pemikiran yang sesuai tujuan penelitian. Kemudian penelitian

ini merujuk pada logika berfikir induktif dimana penelitian memaparkan strategi

militer Amerika Serikat (AS) di sengketa Laut Cina Selatan (LCS).

B. Fokus Penelitian

Penelitian ini memiliki dua fokus, di antaranya :

1. Strategi militer AS di sengketa LCS yang dijalankan melalui empat

realisasi, yaitu :

1) Menggelar latihan militer bersama mitra pertahanan AS.

2) Menggelar patroli militer rutin dengan mitra pertahanan AS.

3) Memberi pinjaman dana militer kepada mitra pertahanan AS.

4) Membentuk kerjasama pertahanan bersama mitra pertahanan AS.

28

2. Efektivitas strategi AS di sengketa LCS yang berhasil memperoleh empat

capaian, yaitu :

1) Penurunan intensitas ketegangan di sengketa LCS.

2) Penambahan mitra pertahanan AS di wilayah LCS.

3) Perolehan akses base militer.

4) Peralihan sikap pasif Malaysia di sengketa LCS

C. Sumber Data

Karakter penelitian ini ialah multiple sources of data yang mengartikan

peneliti mengumpulkan data dari berbagai bentuk seperti dokumen daripada

berpatokan pada satu sumber data (Creswell, 2014, hlm.185). Penelitian ini

menggunakan data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari studi pustaka atau

dokumen, yang dalam penelitian ini lebih banyak memeroleh data digital seperti

e-journal dan situs resmi, diantaranya : e-report Departemen Pertahanan AS dan

e-blueprint Strategi Keamanan Maritim Asia Pasifik serta penelitian terdahulu

yang berkaitan dengan objek penelitian.

D. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian kualitatif terdapat empat teknik dasar dalam

pengumpulan data, yang satu diantaranya digunakan dalam penelitian ini yaitu

qualitative documents atau qualitative documentation (Creswell, 2014, hlm.190).

Dalam penelitian ini, seluruh dokumen yang mampu dikumpulkan merupakan

dokumen yang diperoleh melalui teknik studi pustaka dan studi dokumentasi.

29

1. Teknik studi pustaka, peneliti melakukan browsing untuk mengumpulkan

data yang berkaitan dengan sengketa LCS, aksi militer AS, aksi claimants,

dan nilai strategis LCS bagi AS, yang diantaranya data tersebut berupa

surat kabar internasional versi digital, seperti BBC, CNN, NewYork

Times, Diplomat, dan lain sebagainya

2. Teknik studi dokumentasi, peneliti mengunjungi perpustakaan Kedutaan

Besar AS di Jakarta dengan memperoleh e-journal maupun laporan digital

dari departemen pertahanan AS, seperti US Military Strategy.

E. Teknik Analisis Data

Data yang terkumpul dalam tahap pengumpulan data dianalisis peneliti

melalui enam tahap, yaitu organizing, reading, coding, generating,

representating, serta making an interpretation (ibid., hlm.197).

1. Tahap satu yaitu organizing merupakan tahap dimana semua data yang

berhubungan dengan sengketa LCS seperti situasi sengketa, claimants

yang terlibat, respon yang dilakukan AS, aksi yang dilakukan claimants,

hubungan AS dengan claimants, sumber daya yang dimiliki AS maupun

claimants, dan data lainnya dikumpulkan menjadi satu bacaan.

2. Setelah data terkumpul dalam satu bacaan, tahap selanjutnya adalah

reading sekaligus coding, untuk mengorganisir bacaan menjadi beberapa

bagian agar data yang diperoleh fokus pada satu pemikiran, seperti data

situasi sengketa LCS digabung dengan claimants yang terlibat untuk

menjelaskan claimant mana yang aktif dalam sengketa, kemudian data

30

mengenai respon AS di LCS digabung dengan sumber daya yang AS

kerahkan untuk menjelaskan hasil dari pertimbangan AS.

3. Setelah data terorganisir menjadi beberapa pemikiran, tahap selanjutnya

ialah generating. Di tahap ini dari data tersebut dihubungkan dengan

konsep yang digunakan, seperti data yang menunjukkan keterlibatan AS di

LCS sebagai bentuk respon AS terhadap dominasi Tiongkok di LCS

dihubungkan dengan konsep strategi yang menunjukkan keterlibatan AS

sama dengan keterlibatan Tiongkok dalam sengketa, kemudian data

banyaknya claimants yang terlibat dihubungkan dengan konsep sengketa

wilayah yang menunjukkan Tiongkok terbukti sebagai claimants LCS

paling aktif di sengketa LCS sehingga hal tersebut berpotensi mengancam

kepentingan AS.

4. Tahap selanjutnya adalah representating, tahap ini menampilkan deskripsi

menyeluruh dari data yang ditampilkan dalam bentuk sketsa dalam

penelitian ini seperti sketsa dari kesimpulan klasfikasi sengketa dalam

LCS, strategi AS di sengketa dalam LCS, dan efektivitas strategi AS.

5. Tahap terakhir ialah making an interpretation, dimana sketsa data ditelaah

kemudian peneliti menjelaskan isi sketsa dalam bentu sub bab

pembahasan. Sketsa dari data yang diperoleh melalui lima tahap ini

diantaranya baik sketsa mengenai klasifikasi sengketa, maupun

pelaksanaan dan efektivitas strategi militer AS di LCS.

Sehingga data yang semula raw dan belum memberikan jawaban

penelitian, setelah melalui enam tahap analisis data mampu menjawab pertanyaan

penelitiaan mengenai bagaimana strategi militer AS di dalam sengketa LCS.

31

BAB IV

GAMBARAN UMUM

A. Sengketa Wilayah di Laut Cina Selatan

Sengketa Laut Cina Selatan (LCS) diperebutkan oleh Tiongkok, Vietnam,

Filipina, Malaysia, dan Brunei. Pengklaiman LCS didasari pada beragam hal,

seperti Tiongkok didasari peta kuno Dinasti Qing, Vietnam berdasarkan peta kuno

dan perjanjian San Francisco 1951, sedangkan Filipina, Malaysia, dan Brunei,

ketiganya berdasarkan zona eksklusif ekonomi (ZEE). Keragaman bukti tersebut

menimbulkan kelima claimants saling mengklaim sehingga sengketa pun terjadi.

Claimant pertama – Tiongkok, mengajukan klaim atas Spratly, Parasel,

dan Scarborough. Pengklaiman ini selain dilatarbelakangi perluasan wilayah juga

untuk memperoleh sumber daya mineral, mengingat Tiongkok tahun 2016

memiliki jumlah penduduk mencapai 1,37 miliar jiwa (https://www

.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/ch.html, diakses pada 28

September 2018) sehingga energi yang dibutuhkan Tiongkok juga berjumlah

banyak. Menurut Alexender (2014, hlm.3), Badan Energy Information

Adminsstartion memprediksi cadangan sumber daya di LCS mencapai 11,00

miliar barel minyak dan 190 triliun m3 gas alam. LCS juga menjadi perairan

berarti bagi Tiongkok, dimana lebih dari 80% impor minyaknya dipasok melalui

perairan LCS (Fravel, 2011, hlm.296).

32

Dari tiga wilayah yang diklaim Tiongkok, perairan Spratly merupakan

wilayah dengan outposts paling luas akibat adanya proyek reklamasi. Tiongkok

hanya memiliki tujuh outposts yang seluruhnya berjenis occupied islets di Spratly.

Tiongkok memperoleh perluasan mencapai 316.800 m2 di tahun 2016 dimana

Fiery Cross Reef, Subi Reef, dan Mischief Reef mampu menampung 24 fighters

sekaligus. Tiongkok juga menempatkan senjata baru seperti anti-aircraft guns dan

close-in-weapon-sytems di Hughes Reef di tahun yang sama.

(sumber : smh.com.au)

Gambar 4.1. Outposts Tiongkok di LCS

Sedangkan Parasel merupakan perairan yang letaknya paling dekat dengan

Tiongkok secara geografis. Tiongkok memiliki 20 outposts yang diantaranya juga

mengalami proyek reklamasi. Outposts Tiongkok bahkan memiliki infrastruktur

lebih lengkap, diantaranya terdiri dari lima pelabuhan kecil, tiga pelabuhan besar,

lima lapangan helicopter, satu lapangan pesawat udara, dan satu surface to air

missile (SAMs) (sumber: https://amti.csis.org/island-tracker/ diakses pada 09

April 2018). Tiongkok dit tahun 2016 bahkan membangun jembatan dari North

Island ke Middle Island. Tiongkok juga menambah armada jenis Air-Force J-11B

fighters ke Woody Island.

Kemudian perairan Scarborough merupakan wilayah klaim Tiongkok yang

tidak memiliki outpost satupun. Adapun militernya yang beroperasi di

33

Scarborough merupakan militer yang berpangkal di Pulau Hainan milik Filipina.

Tiongkok pernah menambah 12 vessels ke Scarborough pasca penahanan delapan

kapal nelayan miliknya oleh Filipina.

Total klaim Tiongkok mencapai 90%, mengingat klaimnya berada di tiga

perairan sekaligus. Selama mengklaim LCS, Tiongkok tidak pernah mengajukan

sengketa ke pihak berwenang seperti Mahkamah Internasional. Tiongkok hanya

pernah menggelar pertemuan bilateral maupun multilateral dengan claimants

lainnya. Pertemuan yang baru ini digelar adalah joint agreement bersama Vietnam

pada November 2017.

Dari tiga wilayah yang Tiongkok klaim, hanya di Scarborough Tiongkok

mempermasalahkan kegiatan patroli Amerika Serikat (AS). Melalui Juru Bicara

Menteri Pertahanan Tiongkok, Wu Qian, Tiongkok menyatakan “We strongly

urge the United States to immediately mend its ways and end illegal provocations

in the name of so-called freedom of navigation.”. Dari pernyataan ini terlihat

Tiongkok menganggap keberadaan AS di Scarborough bersifat provokasi dan

meminta AS untuk tidak mencampuri sengketa LCS. Kecaman Tiongkok

ditanggapi balik oleh AS yang menyatakan bahwa keberadaannya di LCS untuk

menjaga stabilitas kawasan sesuai hukum internasional.

Claimant kedua – Vietnam, mengajukan klaim atas Spratly dan Parasel.

Pengklaiman ini dilatarbelakangi perolehan sumber daya dan aspek keamanan.

Tahun 1979, Vietnam diinvasi dengan Tiongkok dan berhasil mengirim mundur

militer Tiongkok. Meski berhasil, namun invasi tersebut menyebabkan ribuan

sipil Vietnam tewas. Dan Tiongkok telah memiliki tujuh base militer di Spratly,

yang juga merupakan wilayah klaim Vietnam. Oleh karena ini, tidak menutup

34

kemungkinan Tiongkok akan menginvasi Vietnam kembali sebagai bentuk

penguasaannya di Vietnam.

(sumber : smh.com.au)

Gambar 4.2. Outposts Vietnam di LCS

Vietnam telah memiliki 21 outposts yang terdiri dari 13 pillobxes, delapan

occupied islets, dan enam undersea banks di perairan Spratly. Vietnam

memperoleh perluasan sebanyak 16.496 m2 (sumber : https://amti.csis.org/island-

tracker/ diakses pada 09 April 2018). Meski sudah unggul dalam jumlah outposts,

Vietnam tetap meningkatkan militernya. Vietnam yang sebelumnya tidak

melibatkan angkatan udara di LCS, sejak tahun 2014 menurunkan pesawat baik

untuk berpatroli maupun transportasi militer, yang diantaranya berjenis non-

combat seperti Su-27, PZL M28B, dan CASA C-295 (sumber :

https://search.usa.gov/search?affiliate=dod_pacom&query=South%20china20%se

a, 21 Oktober 2017). Anggaran militer Vietnam juga mengalami peningkatan

yang dananya digunakan untuk pembelian roket di lima outposts serta

pembangunan dua hangar tambahan.

Sedangkan di Parasel, Vietnam tidak memiliki outposts satupun. Nihilnya

keberadaan outposts Vietnam tidak mengartikan kemampuan militer Vietnam

tidak ditingkatkan. Tahun 2013, Vietnam menambah kapal yang dikirim ke

Parasel yang terdiri atas TT-120 untuk berpatroli, dan satu unit H-222 yang

35

berfungsi untuk transportasi militer serta menurunkan pesawat jenis 3 CASA C-

212, dan satu unit kapal jenis DN-2000.

Ketiadaan outposts Vietnam di Parasel ditanggapi oleh AS. Bagi AS,

Vietnam justru memiliki kedaulatan atas Parasel. Hal ini menunjukkan Vietnam

memperoleh dukungan AS atas klaim yang diajukannya. Dukungan tersebut

direalisasikan dengan menggelar latihan militer bersama AS-Vietnam di perairan

Spratly sejak 2012. AS juga memberi bantuan berupa dana militer ke Vietnam

senilai 18 juta US$ (www.voanews.com/ amp/2802695.html diakses pada 20

September 2018).

Selain AS, Mahkamah Internasional (MI) turut dilibatkan dalam sengketa

ini. Berbeda dengan Tiongkok, Vietnam melibatkan MI dalam penyelesaian

sengketa. Vietnam bersama Filipina mengajukan sengketa LCS dengan pihak

lawan Tiongkok pada 2012. Putusan menyatakan Vietnam memiliki hak untuk

melakukan penggalian sumber daya di Parasel karena wilayah tersebut memang

kedaulatan Vietnam. Namun Tiongkok menolak hasil putusan tersebut.

Claimant ketiga – Filipina, mengajukan klaim atas Spratly dan

Scarborough sebagai kedaulatannya. Pengklaiman ini dilatarbelakangi aspek

kedaulatan dan perolehan sumber daya, khususnya ikan. Kedaulatan bagi suatu

negara merupakan hal penting. Tanpa kedaulatan maka negara tidak berwenang

mengatur pemerintahan di wilayah tersebut.

Menurut Mark (2014, hlm. 27) Filipina memiliki sembilan outposts di

Spratly, dengan tujuh diantaranya berstatus occupied islets, satu pillbox, dan satu

undersea bank. Filipina tidak melakukan reklamasi di outposts-nya. Pada 2014,

Filipina telah memesan dua unit FA-50 fighters untuk menggantikan F-5 fighters,

36

tiga unit pesawat berjenis medium-lift, dua unit pesawat jenis light-lift, combat

utility helicopters jenis eight bell 412 produksi Kanada, serta delapan attack

helicopters jenis AW109.

(sumber : smh.com.au)

Gambar 4.3. Outposts Filipina di LCS

Sedangkan di Scarborough, Filipina tidak meletakkan outpost buatan

satupun. Adapun militer yang ditugaskan menjaga perairan Scarborough berasal

dari pangkalan militer Pualu Luzon dan Pulau Mindanao. Pengiriman tersebut

juga diikuti dengan pengajuan sengketa ke MI. Namun di tahun 2013, Tiongkok

menyatakan tidak akan mengikuti putusan yang dibuat MI.

Ketiadaan outpost Filipina di Scarborough tidak mengartikan Filipina nihil

patroli ataupun pengamanan. Filipina yang merupakan satu-satunya claimant yang

beraliansi dengan AS memperoleh dukungan dan bantuan militer AS. Dibanding

Filipina, AS lebih rutin berpatroli di Scarborough dalam lima tahun terakhir

dengan mengirimkan kapal maupun pesawat patroli, yang diantaranya berjenis

CVN 73, LCS 1, 12 F-18 fighter jet, DDG (112, 97, 82) dan lainnya. Selain rutin

berpatroli, Filipina-AS memiliki program kerjasama yang disebut dengan

Balikatan Exercise. Sejak 2011, Balikatan Exercise mengganti fokusnya yang

semula dilakukan dalam bentuk bantuan militer untuk aksi kemanusiaan menjadi

latihan militer bersama. Pergantian fokus ini juga diiringi adanya penambahan

37

gelaran senjata yang dilakukan Filipina. Dari 2011-2016, umumnya jumlah

personel yang AS kerahkan dalam Balikatan Exercise mengalami peningkatan.

Claimant keempat – Malaysia, mengajukan klaim atas Spratly.

Pengklaiman ini dilatarbelakangi oleh motif ekonomi. Keberadaan Malaysia

dalam sengketa LCS sudah berlangsung sejak 1983. Malaysia menargetkan lima

outposts-nya menjadi destinasi wisata. Perairan Layang-Layang merupakan satu

lokasi yang telah Malaysia jadikan destinasi wisata.

Malaysia memiliki tiga outposts Spratly di tahun 2012, yang kemudian

bertambah menjadi lima outposts di tahun 2015. Ashley (2014, hlm.2)

menyatakan Malaysia tidak melakukan reklamasi di outposts-nya, namun kelima

outposts tersebut masing-masing sudah dilengkapi pangkalan militer. Melalui

Perdana Menteri Malaysia, Najib Tun Razak menyampaikan Malaysia telah

menyiapkan 5,87 juta US$ untuk anggaran pertahanan (sumber :

www.upi.com/Top_News/World-News/2017/03/22/Malaysia-stresses-military-sp

ending-amid-South-China-Sea-dipsute/5431490184787/ diakses pada 14 April

2018). Anggaran ini digunakan untuk penyediaan 50 vessels baru serta

pemeliharaan 15 armada kapal Malaysia, termasuk littoral combat ship, offshore

patrol vessel, littoral mission vessel, multi-role support ship, dan submarines.

Malaysia dalam menyelesaikan sengketa lebih melibatkan cara damai,

yaitu melalui kerjasama pertahanan. Malaysia justru menggelar kerjasama dengan

Tiongkok yang merupakan claimant dengan wilayah klaim dan perolehan

reklamasi paling banyak. Malaysia-Tiongkok bergabung dalam Peace and

Friendship. Kerjasama ini bertujuan memererat hubungan Tiongkok-Malaysia

terutama dalam menanggapi ancaman keamanan maritim kawasan. Kerjasama ini

38

telah dibentuk sejak 2012 bersamaan dengan munculnya pernyataan Malaysia

yang tidak mempermasalahkan aktivitas militer Tiongkok di Spratly. Malaysia

juga pernah bergabung latihan militer bersama AS.

(sumber : smh.com.au)

Gambar 4.4. Outposts Malaysia di LCS

Malaysia menyerahkan penyelesaian sengketa ke organisasi regional, yaitu

ASEAN. Dalam sambutannya di dialog Asia-Pasifik ke 30, Menteri Najib Tun

Razak menyatakan “In the meantime, I urge all of us to recommit to the full and

effective implementation of the Declaration on the Conduct of Parties in the South

China Sea ..” (sumber : www.thestar.com.my/news/nation/2016/05/30/najib-

razak-calls-on-asean-to-work-peaceful-resolutions-to- south-china-sea/, diakses

pada 10 April 2018). Deklarasi tersebut berisi 10 poin yang secara garis besar

menyatakan semua anggota ASEAN dan Tiongkok telah sepakat untuk

menyelesaikan sengketa LCS melalui upaya damai.

Claimant kelima – Brunei, merupakan claimant yang tidak memposisikan

militernya di LCS. Dibanding claimant lain, luas ZEE Brunei merupakan paling

kecil. Meski hanya mengajukan sengketa dengan luas yang kecil, namun motif

memeroleh sumber daya merupakan tujuan utama Brunei. Dalam 10 tahun

terakhir, produksi minyak di Brunei cenderung menurun setiap tahun. Produksi

tertinggi didapat pada 2006, yaitu senilai 221 ribu barel minyak per hari dan pada

39

2016, produksinya hanya dapat mencapai 121 ribu barel (https://

www.statista.com/statistics/609166/oil-production-in-brunei/ diakses pada 11

Oktober 2017).

Dari data tersebut menunjukkan bahwa produksi minyak Brunei selama 10

tahun terakhir mengalami penurunan sehingga Brunei memerlukan sumber daya

mineral tambahan guna memenuhi kebutuhan negaranya. Untuk meningkatkan

produksi minyak, Brunei memerlukan pasokan minyak dalam jumlah lebih.

Mendapati sumber daya di LCS yang melimpah, Brunei memertahankan

keberadaan ZEEnya, dengan menyatakan kedaulatannya di Spratly, yaitu Louisa

Reef dan Rifleman Bank, serta perluasan dari ZEE di sekitar selatan LCS.

(sumber : smh.com.au)

Gambar 4.5. Outposts Brunei di LCS

Militer Brunei tidak mengalami peningkatan maupun gelaran senjata yang

diperuntukkan dalam menyikapi sengketa LCS. Anggaran militer Brunei memang

meningkat di tahun 2016. Namun peningkatan tesebut digunakan untuk

pemeliharaan senjata militer laut dan udara Brunei. Meski Brunei menjadi silent

claimant, namun Brunei pernah berpartisipasi dalam latihan militer yang

dilakukan AS bersama Malaysia. Brunei juga mengadakan pertermuan bilateral

dengan Malaysia, dimana keduanya sepakat mengikuti aturan garis tepi pantai

dalam menentukan batas ZEE. Selain ini, Brunei juga hadir di pertemuan

40

multilateral yang dibentuk bersama Tiongkok, Kamboja, dan Laos pada 2016

untuk membahas penyelesaian sengketa LCS.

Tabel 4.1. Timeline di LCS pada 2012-2016

Tahun Timeline Aktor

2016

Juli Tiongkok mempropaganda keabsahan putusan pengadilan

atas posisi Filipiina di LCS melalui media

Tiongkok, Filipina

Mei Tiongkok menahan kapal pengintai Amerika Tiongkok,Amerika

Febuari Hasil pantauan satelit di LCS menunjukkan Tiongkok

tengah memerluas Tree Island dan North Island di Spratly Tiongkok

2015 November Amerika dan Malaysia mengadakan latihan militer bersama Malaysia, Amerika

April

Presiden Amerika berkunjung ke Manila untuk

menandatangani 10 tahun kerjasama pertahanannya dengan

Filipina

Filipina, Amerika

2014

September Filipina dan Amerika melakukan latihan militer bersama Filipina, Amerika

Agustus Militer Tiongkok menahan kapal pengintai Amerika Tiongkok, Amerika

Mei Tiongkok memindahkan lokasi penggalian minyak miliknya

ke sekitar Parasel Tiongkok

Maret

Outpost Tiongkok di Cuarteron Reef dan Gaven Reef

terpantau satelit; Filipina bersama Amerika menandatangani

The Enhance Defense Cooperation Academy (EDCA)

Tiongkok, Filipina,

Amerika

Febuari Pangkalan militer buatan Tiongkok di Mischief Reef

terpantau satelit Tiongkok

Januari

Tiongkok menerapkan peraturan baru dimana non-Chinese

fishing crew harus memiliki izin sebelum melakukan

penangkapan ikan di LCS

Tiongkok

2013

Desember Militer Amerika melakukan penghalauan pada militer

Tiongkok Tiongkok, Amerika

November Tiongkok mengeluarkan zona identifikasi pertahanan udara

di Laut Cina Timur; Amerika mengirmkan dua jet ke LCS Tiongkok, Amerika

April Media Vietnam menyatakan kapal wisata Tiongkok berlayar

hingga ke perairan Parasel Tiongkok, Vietnam

Maret Malaysia menyatakan tidak mempermasalahkan militerisasi

Tiongkok di ZEEnya, James Shoal

Tiongkok,

Malaysia

Januari Filipina menginisiasi klaim Tiongkok ke UNCLOS,

Tiongkok menolak berpartisipasi pada arbitrase tersebut

Tiongkok, Filipina,

UNCLOS

2012

Desember Tiongkok mengajukan klaim atas Laut Cina Timur ke

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Tiongkok, MI

Novemvber Kapal penangkap ikan Tiongkok memutus kabel eksplorasi

sumber daya milik Vietnam di sekitar Con Co Island Tiongkok, Vietnam

Juli Tiongkok mengerahkan militernya di Spratly Tiongkok

April

Filipina menahan nelayan Tiongkok yang berlayar di

Scarborough; Filipina dan Amerika melakukan latihan

militer bersama

Tiongkok, Filipina,

Amerika

Maret Tiongkok menahan 21 nelayan Vietnam yang dianggap

telah melakukan penangkapan ikan ilegal di Parasel Tiongkok, Vietnam

Febuari Perdana Menteri Tiongkok menyatakan tidak ada negara

termasuk Tiongkok yang mengklaim keseluruhan LCS Tiongkok

(sumber : hasil olah data penelitan dari berbagai sumber)

41

Berdasar tabel di atas, aksi yang dilakukan claimant masih di tingkat

penghalauan kapal, baik militer maupun penangkap ikan yang berlayar di LCS.

Claimant paling aktif mengontrol disputed area adalah Tiongkok, yang

selanjutnya disusul Filipina sebagai claimant aktif kedua. Sedangkan Brunei

merupakan claimant pasif. Intensitas aksi militer dan politik yang terjadi di LCS

relatif sama. Penyelesaian sengketa LCS melibatkan organisasi seperti Mahkamah

Internasional (MI) dan ASEAN. Aktor yang terlibat di LCS tidak hanya claimant

dan organisasi internasional, melainkan non-claimant state seperti Amerika yang

menunjukkan keterlibatannya di sengketa LCS melalui pengerahan militer.

Dari pemaparan di atas disimpulkan maksud perebutan wilayah LCS

dipengaruhi beragam faktor. Secara keseluruhan, keberadaan sumber daya

menjadi faktor yang diperebutkan claimant di LCS. Negara dengan upaya klaim

terbanyak di LCS adalah Tiongkok. Claimant dengan disputed area terluas juga

diajukan oleh Tiongkok yang mengklaim hampir seluruh wilayah LCS.

Berbanding terbalik dengan Brunei, negara ini merupakan claimant dengan

disputed area terkecil. Pengajuan disputed area oleh masing-masing claimant ada

yang didasari pada peta kuno dan ada pula dengan mengandalkan garis ZEE.

B. Nilai Strategis di Laut Cina Selatan

LCS merupakan perairan yang dapat disebut sebagai perairan strategis.

Jalur-jalur pendukung infrastruktur negara seperti jalur perdagangan dan kabel

bawah laut keduanya melintasi perairan ini. Keberadaan jalur tersebut

mengartikan LCS memiliki peran dalam kelangsungan transaksi dagang, dan

penyampaian informasi.

42

Gamber 4.6. Jalur Dagang LCS (sumber : www.shipmap.org)

Ket. :

: jalur kapal tanker pegangkut minyak

: jalur kapal container pengangkut manufacture goods

: jalur kapal dry bulks pengangkut batu bara

: jalur kapal gas bulks pengangkut gas alam

: jalur kapal vehicles pengangkut kendaraan

Gambar jalur dagang menunjukkan di antara transkasi manufacture goods

yang melintas di LCS terdapat transaksi Amerika dimana tahun 2016 sekitar 40%

ekspor impor Amerika diperoleh dari dan menuju kawasan Asia, sehingga

perairan LCS memiliki kontribusi baik di perdagangan tingkat global, kawasan,

bahkan Amerika (sumber : (www.atlas/media.mit.edu/en/ diakses pada 10

Desember 2017). Jalur dagang dari dan menuju Amerika di LCS didominasi jalur

perdagangan manufacture goods. Untuk Asia, jalur perdagangannya didominasi

perdagangan batu bara. Sedangkan jalur dagang dari dan menuju Afrika di LCS

didominasi jalur perdagangan minyak.

Dengan kata lain perdagangan yang melintasi LCS merupakan jalur

strategis dan penting karena LCS menghubungkan perdagangan dari dan menuju

tiga benua sekaligus, yaitu Amerika, Asia, dan Afrika. Secara keseluruhan, jalur

dagang LCS memiliki kontribusi dalam pasokan ekspor impor sebagai penyokong

pertumbuhan ekonomi. Keberadaan jalur dagang inilah yang mendorong Amerika

terlibat di sengketa LCS.

43

Tabel 4.2. Perdagangan Amerika di Jalur Dagang LCS (triliun US$)

(sumber : www.atlas/media.mit.edu/en/)

Jika dilihat pada tabel di atas, transaksi Amerika per tahun cenderung

meningkat dengan mitra dagang terbesar adalah Tiongkok, dimana 80% dari

keseluruhan transaksi merupakan transaksi Amerika-Tiongkok. Artinya Tiongkok

merupakan mitra dagang terbesar Amerika di claimants LCS.

Selain menjadi perairan dengan kontribusinya yang berpengaruh di jalur

perdagangan, LCS juga dilintasi jalur kabel bawah laut (submarine cable).

Kemunculan proyek submarine cable dibangun pasca Perang Dingin.

Pembangunan proyek dipelopori oleh perusahaan-perusahaan internasional,

seperti AT&T (Amerika) dan BT (Inggris).

Gambar 4.7. Jalur Kabel Bawah Laut di LCS (sumber : www.submarinecablemap.com)

0.00

0.20

0.40

0.60

0.80

1.00

1.20

1.40

1.60

2011 2012 2013 2014 2015 2016

Tiongkok

Vietnam

Filipina

Malaysia

Brunei

44

Awal tahun 2017, jumlah kabel bawah laut mencapai 428 kabel yang

beroperasi di perairan dunia (sumber: http://www2.telegeography.com/submarine-

cable-faqs-frequently-asked-questions diakses pada 29 Oktober 2017). Sepuluh

dari 428 submarine cable diletakkan di LCS, yang menghubungkan komunikasi

banyak negara dari beragam benua, termasuk AS.

Tabel 4.3. Jalur Kabel Bawah Laut di LCS

Nama Tahun

ber

operasi

Panjang

Kabel

(ribu km)

Negara asal Pemilik Perusahaan Landing

Points

Asia-America

Gateway (AAG)

2009 20,00 Malaysia, Thailand, Indonesia, New

Zealand, Brunei, Vietnam, AS,

Singapura, Filipina, India, Australia,

Inggris, Kamboja

10 titik

SeaMeWe-3 1999 39,00 Tiongkok, Inggris, Singapura, Italia,

AS, Thailand, Belanda, Mesir,

Indonesia, Brunei, Portugal, Maroko,

Filipima, Arab Saudi, Sri Lanka, Turki,

Vietnam, Pakistan, Afrika Selatan, Argentina, Myanmar, Djibouti

39 titik

Asia-Pacific

Gateway (APG)

2016 10,40 Tiongkok, Vietnam, Korea Selatan,

Singapura, AS

11 titik

FLAG Europe-

Asia (FEA)

1997 28,00 Inggris 17 titik

APCN-2 2001 19,00 Singapura, Tiongkok, AS, Inggris,

Malaysia, Singapura, Filipina, Korea

Selatan, Hong Kong

10 titik

Asia Africa

Europe-1 (AAE-

1)

2017 25,00 Tiongkok, Mesir, Djibouti, Pakistan,

Vietnam, Uni Emirat Arab, Qatar,

Yaman, India, Kamboja, Yunani

20 titik

Tata TGN-Intra

Asia (TGN-IA)

2009 6,70 India 4 titik

EAC-C2C 2002 36,50 Australia 16 titik

Southeast Asia

Japan Cable

(SJC)

2013 8,90 Tiongkok, Brunei, Singapura,

Indonesia, AS, India

4 titik

Sistem Kabel

Rakyat 1Malaysia

2017 3,80 Malaysia 6 titik

(sumber : www2.teleography.com)

Ada 78 kabel perusahaan yang melintasinya, dimana delapan diantaranya

termasuk perusahaan telekomunikasi terbesar di dunia, seperti Verizon dan AT&T

yang keduanya merupakan perusahaan milik AS. Hal ini menunjukkan jalur

submarine cable yang melintas di LCS memiliki peran dalam kelangsungan

45

komunikasi banyak negara mengingat perusahaan yang berada di dalamnya

adalah perusahaan dari beragam negara.

Kabel SeaMeWe-3 adalah kabel terpenting di LCS. Selain merupakan

kabel pertama yang beroperasi dan memiliki panjang yang paling panjang,

SeaMeWe-3 juga dimiliki oleh negara-negara yang berasal dari Asia, AS, Afrika,

dan Eropa. Hal ini mengartikan SeaMeWe-3 menghubungkan lebih dari tiga

benua, dimana bila kabel ini terputus maka jalur komunikasi tiga benua tersebut

ikut terpengaruh. Dari tabel di atas menunjukkan semua claimant LCS memiliki

jalur submarine. Hal ini mengartikan, negara di Asia Timur yang tidak memiliki

submarine hanya Korea Utara. Sedangkan semua negara di Asia Tenggara

memiliki jalur submarine. Secara keseluruhan, Tiongkok dan AS menjadi negara

dengan jumlah kepemilikan kabel bawah laut terbanyak, yaitu enam dari 10 kabel.

Dari pemaparan kedua jalur infrastruktur yang melintasi LCS,

menunjukkan LCS sangat penting dan strategis. Adanya sengketa LCS tidak

hanya menimbulkan ketegangan, melainkan dapat menghambat laju kedua jalur

tersebut. Pada jalur perdagangan misalnya, satu per tiga perdagangan global

melintasi LCS, bila ketegangan sengketa LCS semakin meningkat, maka tidak

menutup kemungkinan transasksi perdagangan dapat terhambat atau bahkan harus

melintasi perairan lain untuk kelangsungan transaksinya. Hal ini juga berlaku

pada jalur submarine cable, sengketa LCS berpotensi membatasi atau bahkan

memutus akses komunikasi negara. Dengan kata lain, kedua jalur ini memang

memiliki keterkaitan dengan kelangsungan banyak negara untuk memenuhi

kebutuhan negaranya.

46

C. Data Aktivitas Militer AS di Sengketa Laut Cina Selatan

Sebagai negara dengan pangkalan militer yang tersebar di penjuru dunia,

AS tentu mengerahkan militernya di LCS. Dari enam komando yang dimiliki,

komando Pasifik menjadi komando yang bertanggungjawab merespon ketegangan

di LCS. Pasca kebijakan Sekretaris AS mengenai Asia sebagai “poros” pada 2012

lalu (sumber:https://youtube/f7DnsxgxHs, diakses pada 12 April 2018), AS terus

menunjukkan komitmennya. AS cenderung melakukan kerjasama dengan militer

negara di sekitar LCS, melalui kerjasama yang dibentuk, AS dapat meningkatkan

kapasitas keamanan maritim mitranya, sebagai respon dari ancaman yang tengah

dihadapi mitranya, sekaligus membangun keamanan maritim lebih luas di

kawasan.

Keterangan :

(sumber : defense.gov)

Gambar 4.8. Pesebaran U.S. Command

Dalam konteks sengketa LCS, Pacific Command (PACOM) merupakan

militer AS yang bertanggungjawab merespon situasi yang terjadi. PACOM

merupakan militer AS yang dibentuk untuk mencapai kepentingan keamana

sekaligus melindungi kepentingan nasional AS khusus di wilayah Pasifik.

Bersama mitra pertahanannya di Asia Pasifik, PACOM meningkatkan stabilitas

kawasan Asia Pasifik dengan memromosi kerjasama keamanan, mendukung

perkembangan yang damai, menanggungjawab segala kemungkinan-kemungkinan

: North Command

: Europe Command

: Central Command

: Pacific Command

: South Command : Africa Command

47

yang terjadi, menghalangi adanya agresi, dan bahkan melakukan penyerangan

demi memeroleh kemenangan.

Aktivitas militer AS di sengketa LCS mulai banyak ditemui sejak 2013,

yaitu satu tahun setelah AS melalui Hillary Clinton, Sekretaris Negara AS

bermaksud meningkatkan keterlibatannya di tiga aspek perkembangan Asia

termasuk keamanan kawasan.

Tabel 4.4. Aktivitas Militer AS di LCS

(sumber : hasil olah data penelitian dari berbagai sumber)

Tahun Bulan Eksekutor Misi

2016

Maret LCC 19 Patroli Filipina

F/A 18 E Super Horent, CVW 9, HSM 71, HSC 14, VAW 112, VAQ 33, VFA 151-97-

Patroli Filipina

April 4904 US troops, 3773 Philippine troops; Exercise Balikatan

Mei DDG 110 Patroli Filipina

Juni DDG 111-73-92 CARAT Malaysia

EA 18 G, DDG 91, F 352 NEA Vietnam

Oktober LHD 6, LPD 20 Patroli Vietnam

T-AKE 11 : AS 332 Super Puma Helicopter Patroli Filipina

Desember AS memberi 40 juta USS ke Filipina Pinjaman dana militer

2015

April Pemerintah AS-Filipina Kerjasama EDCA

5000 US troops, 6600 Philippine troops, 76

US &15 Philippine warplanes,3 US & 1

Philippine warship

Exercise Balikatan

Juli Pemerintah AS-Vietnam Joint Vison Statement

Agustus LHD 2 : LPD 23, LSD 47 CARAT Malaysia

September LCS 3, PDG 82 NEA Vietnam

November USS Fitzgerald LHD 2, DDG 82-88, CG 62 Patroli Filipina

Desember B 52, LCC 19, LST 4003

AS memberi 60 juta US$ ke Filipina

AS memberi 32,8 juta US$ ke Vietnam

Patroli Filipina

Pinjaman dana militer

Pinjaman dana militer

2014

Febuari CVN 74 Patroli Filipina

April 2500 US troops, 3000 Philippine troops Exercise Balikatan

Juni LSD 48, CARAT CARAT Malaysia

Juli LCS 3, DDG 82 NEA Vietnam

Agustus SAGEX : DDG 108, RSS Victory, S 70-B Patroli Filipina

DDG 97, F50, RSS Stalwart Patroli Filipina

Oktober VFA 195 : CVN 73, CVW 5 Patroli Filipina

Desember PASSEX : DDG 112, F 734

AS memberi 50 juta US$ ke Filipina

Patroli Filipina

Pinjaman dana militer

2013

April 12 F-18 Hornet Fighter Jet, 8000 US troops Exercise Balikatan

Agustus CVN 73 CARAT Malaysia

September LCS 1 Patroli Filipina

November AS memberi 18 juta US$ ke Vietnam Pinjaman dana militer

2012 Desember Hillary Clinton, Sekretaris Negara AS Kebijakan PTA

2011 September Pemerintah AS-Vietnam MoU Vietnam-AS

48

Berdasar tabel di atas, AS cenderung melakukan patroli rutin di LCS. AS

lebih sering mengadakan latihan militer bersama Filipina. Selain berlatih militer

bersama claimant, AS juga mengerahkan militernya dengan militer Jepang dan

Australia. Latihan militer bersama yang rutin dilakukan AS ialah latihan tahunan

Balikatan. Exercise Balikatan merupakan bentuk komitmen dari kerjasama

pertahanan AS-Filipina 1951 yang fokus pada beragam misi, seperti bantuan

kemanusiaan, aksi pasca bencana alam, penyerangan aksi teror, termasuk operasi

militer lainnya (sumber : www.marforpac.marines.mil/Exercises /Balikatan/

diakses pada 7 Desember 2017).

Keterlibatan AS di sengketa LCS banyak dijalankan bersama militer

Filipina dimana per 2013 sampai 2016, AS-Filipina telah melaksanakan 10 kali

gelaran patroli, tiga kali gelaran latihan militer, tiga kali pemberian dana militer

dari AS kepada Filipina, dan membentuk satu kerjasama pertahanan pada 2015.

Sedangkan AS-Vietnam hanya didapati telah berinteraksi terkait sengketa LCS

sebanyak tujuh aktivitas, yaitu tiga kali gelaran patroli, dua kali pemberian dana

militer, dan membentuk dua kerjasama pertahanan. Terakhir adalah keterlibatan

AS bersama Malaysia yang hanya dijalankan dalam bentuk tiga kali gelaran

latihan militer. AS terbukti mulai sering melibatkan diri di sengketa LCS sejak

tahun 2013, ketika AS telah mengeluarkan kebijakan Pivot to Asia pada 2012,

dimana sebelumnya, kehadiran AS hanya berupa latihan militer bersama AS-

Malaysia dan AS-Filipina.

90

BAB VI

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Strategi Amerika Serikat (AS) di sengketa Laut Cina Selatan (LCS)

seluruhnya merupakan strategi tingkat security cooperation yang dijalankan di

tiga sengketa dari lima sengketa LCS. Strategi AS hanya terjadi jika Tiongkok

terlibat di dalam sengketa mengingat klaim dan aksi yang dilakukan Tiongkok

berpotensi mengancam akses jalur dagang, jalur komunikasi, dan base militer AS

di LCS. Strategi AS dijalankan dengan meningkatkan kapasitas militer AS

bersama seluruh claimants LCS kecuali Tiongkok.

Strategi militer merupakan bagian strategi keamanan maritim Asia Pasifik

yang juga terbentuk dari pertimbangan AS untuk melindungi kepentingan yang

berpotensi terancam oleh sengketa di LCS. Strategi AS dijalankan melalui empat

realisasi, yaitu latihan bersama, patroli militer, pinjaman dana militer, dan

kerjasama pertahanan dengan mitra AS. AS hanya menjalankan strategi tingkat

kerjasama pertahanan, meski lebih dari separuh akses AS berpotensi terancam.

Strategi AS dianggap berhasil bukan dalam menyelesaikan sengketa,

melainkan dalam menekan dominasi Tiongkok di sengketa LCS dengan

menyeimbangkan rivalitas Tiongkok bersama mitra AS. Strategi AS dianggap

berhasil karena pasca pengerahan strateginya, intensitas ketegangan di LCS

mengalami penurunan meski aksi bersitegang masih terjadi.

91

Strategi AS di LCS secara keseluruhan dijalankan sebagai upaya AS untuk

melindungi kepentingan yang berpotensi terancam oleh peluang dominasi

Tiongkok di sengketa LCS. Kondisi tersebut mendorong AS menjalankan empat

strategi yang dilatarbelakangi empat alasan, yaitu untuk menambah jumlah mitra

AS di Asia, untuk menunjukkan eksistensi AS di tengah kemajuan Tiongkok,

untuk mempertahankan mitra AS agar tetap bergantung dengan AS, dan untuk

memblokade intervensi terhadap mitra AS yang berasal dari aktor selain AS.

Keberadaan militer di sengketa LCS secara jelas menjadi isu pematah

pernyataan yang menyatakan fokus kajian keamanan pasca Perang Dingin tidak

lagi bersifat militer maupun senjata. Pernyataan tersebut ternyata tidak sesuai,

karena hingga saat ini sengketa LCS yang merupakan isu keamanan tradisional

terbukti masih terjadi dan justru melibatkan kekuatan militer banyak pihak dan

bahkan menimbulkan ketegangan yang cenderung serupa dengan Perang Dingin.

Penelitian ini menegaskan kondisi balance of threat (BOT) yang

dijalankan oleh AS di LCS ternyata tidak hanya disebabkan oleh faktor

terancamnya kemampuan militer negara tersebut melainkan juga oleh adanya

potensi ancaman pada aspek ekonomi khususnya keberadaan jalur dagang dan

jalur kabel bawah laut dimana kedua jalur tersebut tidak berhubungan dengan

aspek militer sebagaimana yang dijelaskan pada definisi BOT.

B. Saran

Penelitian ini mencoba memberi masukan saran terhadap strategi yang

telah dijalankan AS di sengketa LCS, di antaranya :

92

1. AS dalam strategi pertama yaitu strategi gelaran latihan militer dijalankan

bersama Filipina dan Malaysia dan hanya dilakukan dalam lima agenda.

Peneliti menyarankan AS untuk menambah agenda dalam gelaran latihan

militernya, seperti simulasi militer dalam menyikapi penambahan

reklamasi di LCS sehingga ketika kembali terjadi penambahan reklamasi

maka Filipina dan Malaysia sudah dalam situasi siap untuk menyikapinya.

2. AS dalam strategi kedua yaitu strategi pelaksanaan patroli militer rutin

hanya dijalankan dengan Vietnam dan Filipina. Peneliti menyarankan AS

untuk menambahkan Malaysia sebagai mitra patroli militernya. Dengan

begitu, AS lebih berpotensi terlibat di sengketa mengingat jumlah mitra

pertahanan AS hampir mencakup semua claimants LCS.

3. AS dalam strategi ketiga yaitu strategi pemberian dana militer kepada

Vietnam dan Filipina selama lima tahun hanya memberi dana sebesar

200,8 juta US$. Peneliti menyarankan AS untuk menambah anggaran dana

sehingga mitra AS mampu menambah eksistensi mitra-AS di LCS.

4. AS dalam strategi keempat yaitu strategi pembentukan kerjasama

pertahanan, dimana AS hanya menjalin kerjasama dengan Vietnam dan

Filipina tanpa membentuk kerjasama baru dengan Malaysia. Peneliti

menyarankan AS untuk membentuk kerjasama pertahanan dengan

Malaysia agar AS lebih banyak memiliki landasan dalam pelaksanaan

strateginya di sengketa LCS.

Keempat saran merupakan saran bagi pelaksanaan strategi militer AS agar

strategi yang dijalankan dapat berpotensi untuk lebih meredam atau bahkan

menyelesaikan sengketa di LCS.

93

REKOMENDASI PENELITIAN

Selain menemukan poin tersebut, penelitian ini juga masih memiliki

kelemahan yang di antaranya :

1. Penelitian belum menggunakan data primer dimana hampir semua analisis

hanya didasarkan dari data sekunder dan pernyataan narasumber tidak

langsung, sehingga peneliti selanjutnya disarankan menggunakan data

primer, seperti melakukan wawancara dengan pejabat militer maupun

pertahanan AS guna memperoleh keabsahan data demi menghindari

kemungkinan mispersepsi dari data yang diperoleh.

2. Penelitian ini hanya membahas strategi militer Amerika Serikat (AS) di

LCS sejak pernyataan Pivot to Asia AS pada 2012 lalu sehingga penelitian

tidak mampu menjelaskan apakah capaian dari strategi militer yang

dijalankan merupakan hasil dari pelaksanaan dalam kurun waktu tersebut

atau tidak. Penelitian ini tidak menganalisis faktor lain yang mungkin lebih

sesuai, sehingga peneliti selanjutnya disarankan membahas strategi AS

pada banyak aspek agar penelitian dapat menjelaskan aspek mana yang

lebih berdampak.

94

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Bateman Sam. 2009. Security International Politics in The South Cina Sea.

Canada : Routledge.

Bowdush. Randall G.. 2013. Military Strategy : Theory and Concepts. Lincoln :

University of Nebraska. hlm. 201.

Buzan Bary. 2008. People. States & Fear. Colchester : ECPR Press. hlm.4.

Creswell. John W.. 2014. Research Design Qualitative, Quantitative, and Mixed

Methods 4th edition. Los Angeles : Sage Publication. hlm. 185.

Dueck. Collin. 2006. Reluctant Crusaders : power. culture.and change in

American Grand Strategy. Newjersey : Princeton University Press. hlm.

10.

Dzurek. Daniel J.. 2000. What Makes Some Boundary Disputes Important ?.

IBRU Boundary and Security Bulletin. Durham : Durham University .

hlm.83.

Fravel. M. Taylor. 2011. China’s Strategy in the South China Sea. Contemporary

Southeast Asia vol.33. no.3. pp.292-319. Bukit Timah : ISEAS. hlm. 296.

Green Michael. dkk. 2017. Countering Coercion in Maritime Asia. Washington

DC : CSIS. hlm. 256.

Mancini. Francesco. 2013. Uncertain Borders : Territorial Dispues in Asia. hlm.3.

Metelitsa. Alexender. 2014. Oil and Gas Resources and Transits Issues in the

South China Sea. New York : Asia Society Policy. hlm.3

Neuman, W. L. 2014. Social Reseacrh Methhods : Qualitative and

Quantitative Approaches 7th edition. Inggris : Pearson Education

Limited.

95

Rustandi Agus. 2016. The South China Sea Dispute : Opportunities for ASEAN to

enhance its policies in order to achieve resolution. Canberra : Australian

Government Department of Defence.

Tang. Shiping. 2010.A Theory of Security Strategy for Our Time. Amerika Serikat

: Palgrave macmillan. hlm. 100.

Jurnal, Tesis, Disertasi, Working Paper

Amer Ramses. Jianwei Li. 2017. Policy Brief No.196 March 27. 2017. Creatively

Managing China-Vietnam Relations in The South China Sea. Stockholm :

Institute for Security and Development Policy. hlm. 1

ASEAN China Summit. 2016. Joint Statement of The Foreign Ministers of

ASEAN Member States and China on The Full and Effective

Implementation of The Declaration on the Conduct of Parties in the South

China Sea. Vientiane : ASEAN. hlm.2

Carter. David B.. 2010. The Strategy of Territorial Conflict. American Journal of

Political Science. Vol. 54. No.4. Bloomington : Midwest Political Science

Association.

Castro. Renato De. 1994. U.S. Grand Strategy in Post-Cold War Asia –Pacific.

Contemporary Southeast Asia. Vol.16. No. 3 . Pasir Panjang : Institute of

Southeast Asian Studies (OSEAS).

Department of Defence United States of America. 2015. Asia-Pacific Maritime

Security Strategy. New York : DoD. hlm.5

Ding. Arthur S. & Huang. Paul A.. 2011. Taiwan’s Paradoxical Perceptions of

The Chinese Military : More Capable but Less Threatening ?. Cina’s

Perspectives. No. 4. (88). Hong Kong : French Centre for Research on

Contemporary China.

Huala. Adolf. 2004. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta: Sinar

Grafika.

Kuik Cheng C.. 2013. The Chinese Journal of International Politics. Vol. 6. 2013.

429-467. Making Sense of Malaysia’s China Policy : Assymetry.

96

Proximity. and Elite’s Domestic Authority. Oxford : Oxford University

Press. hlm. 433

Lunn Jon. Lang Arabella. 2016. Briefing Paper Number 7481. 12 July 2016. The

South China Sea Dispute : July 2016 Update. London : House of Common

Library. hlm. 9

Model United Nations 36th Annual Conference. 2014. South China Sea Disputes.

Canisius College : New York. hlm. 12

Nickols Fred. 2016. Strategy Definitions & Meanings. Ohio : Nicklos.us. hlm. 2

Pedrozo. Raul Pete. 2014. A CNA Occasional Paper. China versus Vietnam : An

analysis of the Competing Claims in the South China Sea. Arlington :

CNA Analysis & Solution. hlm. 24

Roach. J. Ashley. 2014. A CNA Occasional Paper. Malaysia and Brunei : An

Analysis of their Claims in the South China Sea. Arlington : CNA

Analysis & Solution. hlm.2.

Rosen. Mark E. 2014. A CNA Occasional Paper. Philippine Claims in the South

China Sea : A Legal Analysis. Arlington : CNA Analysis & Solution. hlm.

27.

Sloan. Elinor. 2011. US-Cina Military and Security Developments : Implications

for Canada . International Journal. Vol. 66. No. 2. Canada. the US. and

Cina : A New Pacific Triangle ? (October). California : SAGE

Publications. Ltd. On behalf of the Canadian International Council.

Stein Tonnesson. 2001. An International History of The Dispute In The South

Cina Sea. (EAI Working Paper No.71). Singapura : East Asian Institute

Working Papers Series. hlm. 9

United Nations. Chapter VII : Action With Respect to Threats to The peace.

Breaches of The Place. and Acts of Aggression. Manhattan : United

Nations.

Sumber Online

Asia Maritime Transparency Initiative. 2018. Island Tracker. Washington DC :

CSIS. diakses melalui https://amti.csis.org/island-tracker/ 09 April 2018

pukul 10.26 WIB.

97

Bernama. 2016. Malaysia to Maintain Strong Relations with Regional and

International Mitras-Najib. Jalan Riong : News Strait Times. diakses

melalui www.nst.com.my/node/148696/amp. 07 September 2018 pukul

14.53 WIB.

Buckley Chris. 2017. Beijing Warns U.S. Over Navy Patrol in South China Sea.

New York : The New York Times Company. diakses melalui

www.nytimes.com/2017/08/11/world/asia/south-china-sea-trump-navy-

patrol-amp.html 10 Agustus 2017 pukul 20.19 WIB.

Center for Strategic and Internastional Studies. 2017. How much trade transits

the South China Sea ?. Washington DC : CSIS. diakses melalui

http://chinapower.csis.org/much-trade-transits-south-china-sea/. 29

Oktober 2017. pukul 18.57 WIB.

Central Intelligence Agency. 2017. East & Southeast Asia : China. Virginia :

CIA. data diakses melalui https://www.cia.gov/library/publications/the-

world-factbook/geos/ch.html. 28 September. pukul 15:24 WIB.

Cheng Nicholas. 2016. Najib calls on Asean to resolve South China Sea dispute.

Petaling Jaya : Star Media Group Berhad. diakses melalui

www.thestar.com.my/news/nation/2016/05/30/najib-razak-calls-on-asean-

to-work-peaceful-resolutions-to- south-china-sea/. 10 April 2018 pukul

15.37 WIB.

Daiss Tim. 2016. South China Sea Mission : Advanced U.S attack Jets Arrives in

Philippines. New Jersey : Forbes Media. diakses melalui

www.forbes.com/sites/timdaiss/2016/06/17/south-china-sea-mission-

advanced-u-s-attack-jets-arrive-in-philippines/amp/. 20 Agustus 2018

10.15 WIB.

Elemia Camille. 2016. No Chinese Reclamation in Scarborough Shoal – DND.

Kota Pasig : Rappler. diakses melalui www.rappler.com/nation/149421-

no-chinese-reclamation-scarborough-shoal-dnd. diakses pada 06

September 2018 pukul 22.15 WIB.

Jennings Ralph. 2018. Malaysian PM Shows Signs of Bolder Stance on South

China Sea. Washington DC : Federal Amerika Serikat. diakses melalui

www.voanews.com/amp/4453209.html. 7 Oktober 2018 pukul 21.37 WIB.

98

Johnson Jesse. 2017. China confirms deployment of fighters to South China Sea

Island for first time. Tokyo : The Japan Times. Ltd.. diakses melalui

www.japantimes.co.jp/news/2017/12/02/asia-pacific/china-confirms-

deployment-fighters-south-china-sea-island-first-

time/#.W6XgGVUxC0M. 20 Agustus 2018 pukul 12.14 WIB.

Lockett. Hudson. 2016. Asia maritime tensions. Hong Kong : Nikkei Inc.. diakses

melalui www.google.co.id/amp/s/amp.ft.com/content/aa32a224-480e-

11e6-8d68-72e9211e86ab. 6 Desember 2017. pukul 13.14 WIB

OEC. 2018. United States. Massachusetts : MIT Media Lab.. diakses melalui

www.atlas/media.mit.edu/en/. 10 Desember 2017 pukul 11.15 WIB.

Office of the Spokeperson. 2013. Fact Sheet : US-Vietnam Comprehensive

Mitraship. Hanoi : Public Affairs Section US Embassy Hanoi. diakses

melalui www.vn.usembassy.gov/20131216factsheet-us-vietnam-

comprehensive-mitraship/. 05 Oktober 2018 pukul 13.39 WIB.

Parietti Melissa. 2018. The World’s Top 10 Telecommunications Companies. New

York : Investopedia. LLC. diakses melalui

www.investopedia.com/articles/markets/030216/worlds-top-10-

telecommunications-companies.asp. 1 Januari 2018. pukul 10.49 WIB.

Pu. Wei. 2015. How the Eleven-dash line Became a Nine-dash line. and other

stories. Washington DC : RFA. diakses dari

https://www.rfa.org/english/commentaries/line-

07162015121333.html/ampR. 11 Oktober 2017. pukul 08.50 WIB.

Rappler.com. 2016. US military aid to PH increases in 2015-2016. diakses

melalui www.rappler.com/nation/156439-us-military-aid-philippines.

Pasig : Rappler Holdings Corporation. 22 September 2018 pukul 21.17

WIB.

Rosenfeld. Everett. 2014. What’s really behind China’s clash with Vietnam. New

Jersey : NBC Universal. diakses melalui

https://www.google.co.id/amp/2014/05/15/south-china-sea-the-real-

reason-behind-the-china-vietnam-conflict.html. 10 Agustus 2018. pukul

13.14 WIB.

99

Sands, Gary. 2016. US warns China against a South China Sea. Tokyo : James

Pach. diakses melalui www.thediplomat.com/2013/12/us-warns-china-

against-a-south-china-sea-adiz/ pada 14 Desember 2016

Shim Elizabeth. 2017. Malaysia stresses military spending amid South China Sea

dispute. Washington DC : United Press International. diakses melalui

www.upi.com/Top_News/World-News/2017/03/22/Malaysia-stresses-

military-spending-amid-South-China-Sea-dipsute/5431490184787/. 14

April 2018 pukul 10.15 WIB.

Sims Alexandra. 2016. Philippines president Rodrigo Duterter orders US forces

out of country. cutting 65 years of military ties. London : Independent

News & Media. diakses melalui

www.independent.co.uk/news/world/asia/rodrigo-duterte-orders-us-forces-

out-of-the-philippines-cutting-65-years-of-military-ties-a7353961.html. 7

Oktober 2018 pukul 21.34 WIB.

Statista. 2017. Oil Production in Brunei from 2006 to 2016. London : Statista Inc..

diakses melalui https://www.statista.com/statistics/609166/oil-production-

in-brunei/. 11 Oktober 2017. pukul 19.09 WIB.

Straits Times. 2016. Before and After satellite images : What has been built o the

reefs that China occupies in the Spratlys. Toa Payoh : Singapore Press

Holdings. diakses melalui www.straitstimes.com/asia/se-asia/before-and-

after-satellite-images-what-has-been-built-on-disputed-islands-in-the-

south. 22 Oktober 2017. pukul 19.22 WIB.

Symonds Peter. 2015. One Belt. One Road : China’s respnse to the US “pivot”.

Michigan : ICFI. diakses melalui

www.wsws.org/en/articles/2015/12/04/obor-d04.html. 20 Oktober 2017.

TeleGeography. 2017. Submarine Cable 101. Washington DC : PriMetrica.Inc.

diakses melalui http://www2.telegeography.com/submarine-cable-faqs-

frequently-asked-questions. 29 Oktober 2017. pukul 21.50 WIB.

The Balance. 2018. US Imports and Exports with Components and Statistics. New

York : Dotdash Publishing. diakses melalui www.thebalance.com/u-s-

imports-and-exports-components-and-statistics-3306270. 10 September

2018 pukul 12.19 WIB.

100

The United States Marine Corps. 2017. Exercises Balikatan. Pacific. New York :

Department of Defense United States of America. diakses melalui

www.marforpac.marines.mil/Exercises /Balikatan/. 7 Desember 2017.

pukul 14.12 WIB.

TheEconomist. 2015. Who rules the Waves ?. London : Economist Group. diakses

melalui www.economist.com/news/international/21674648-cina-no-

longer-accepts-america-should-be-asia-pacifics-dominant-naval-power-

who-rules. diakses pada 23 Oktober 2016. pukul14.17 WIB

Tilghman Anrew. 2016. The U.S Military is moving into these 5 bases in the

Philippines. Virginia : Sightline Media Group. diakses melalui

www.militarytimes.com/news/your-military/2016/03/21/the-u-s-military-

is-moving-into-these-5-bases-in-the-philippines/ 02 September 2018 pukul

13.14 WIB.

Tri. Ngo Minh. 2014. Lessons from the Battle of the Paracel Islands. diakses

melalui https://thediplomat.com/2014/01/lessons-from-the-battle-of-the-

paracel-islands/. Tokyo : The Diplomat. 11 Agustus 2018. pukul 20.29

WIB.

U.S. Department of State East Asia and Pacific Media Hub. 2012. The United

States’ Pivot Towards the East Asia and Pacific. California : YouTube.

diakses melalui https://www.youtube.com/watch?v=f7iDnsxgxHs. 12

April 2017 pukul 21.12 WIB.

U.S. Pacific Command. 2017. U.S. Pacific Command. New York : PACOM.

diakses melalui https://search.usa.gov/search?affiliate=dod_pacom

&query=South%20china20%sea. 21 Oktober 2017. pukul 20.50 WIB;

US Department of State East Asia and Pacific Media Hub. 2012. The United

States ‘Pivot to Towards the East Asia and Pacific’. California : The

YouTube. diakses melalui https://youtube/f7iDnsxgxHs 10 Desember

2017 pukul 19.10 WIB.

US Embassy. 2013. US-Vietnam Comprehensive Mitraship. Washington DC :

usembassy.gov. diakses melalui https://usembassy.gov/20131216

factsheet-us-vietnam-comprehensive-mitraship/. 06 September 2018.

pukul 22.08 WIB.

101

USTR.gov. 2013. U.S.- ASEAN-10 Trade and Investment Facts. Washington :

Office of The United States Trade Representative. diakses melalui

https://ustr.gov/issue-areas/trade-organizations/association-southeast-

asian-nations-asean/us-asean-10-trade-and; dan WITS. 2018. China Trade

Statistics. Washington DC : World Bank. diakses melalui

https://wits.worldbank.org/CountryProfile/en/CHN. 01 Oktober 2018

pukul 21.48 WIB

Vietnamnet. 2018. Vietnam-Malaysia Bolster Defence Relation. Quận Đống Đa :

Vietnam Net Bridge. diakses melalui

https://english.vietnamnet.vn/fms/government/196687/vietnam--malaysia-

bolster-defence-relations.html. 06 September 2018. pukul 19.15 WIB.

VOA News. 2015. US Pledges $18 Million for Vietnam to Buy Patrol Boats.

Washington DC : Broadcasting Board of Governors. diakses melalui

www.voanews.com/amp/2802695.html. 20 September 2018 pukul 17.18

WIB.

Vuving Alexander L. 2016. South China Sea : Who Occupies What in the

Spratlys?. Tokyo : James Pach. diakses melalui

www.diplomat.com/2016/05/south-china-sea-who-claims-what-in-the-

spratlys/. 06 September 2018 pukul 10.17 WIB.

2017. Tracking Vietnam’s Force Build-Up in The South China Sea.

Washington DC : CSIS. diakses melalui https://amti.csis.org/tracking-

vietnams-force-build-south-china-sea/. 8 September 2018 pukul 18.10

WIB.