9 BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS tergantung pada...
-
Upload
phungkhanh -
Category
Documents
-
view
224 -
download
0
Transcript of 9 BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS tergantung pada...
KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Teoretis
2.1.1 Pelayanan
Miando Sahala H. Panggabean menyatakan bahwa kepatuhan wajib pajak
dalam memenuhi kewajibannya membayar pajak
petugas pajak memberikan mutu pelayanan yang terbaik kepada wajib pajak.
Selama ini peranan yang fiskus miliki lebih banyak pada peran seorang
pemeriksa. Padahal untuk menjaga agar wajib pajak tetap patuh terhadap
kewajiban perpajakannya dibutuhkan peran yang lebih dari sekedar pemeriksa
(dalam Jatmiko, 2006: 21). Pelayanan adalah suatu proses bantuan kepada orang
lain dengan cara-cara tertentu yang memerlukan kepekaan dan hubungan
interpersonal agar tercipta kepuasan dan keberhasi
Rajif ). Menurut Kotler (1985) dalam Darmastria (2011) pelayanan yaitu setiap
kegiatan yang manfaatnya dapat diberikan dari satu pihak kepada pihak lain yang
pada dasarnya tidak berwujud (
Menurut Supadmi (2008: 9) pelayanan yang berkualitas yaitu pelayanan yang
dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan dan tetap dalam batas memenuhi
standar pelayanan yang dapat dipertangungjawabkan serta harus dilakukan secara
terus-menerus. Sedangkan pelayanan menurut Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara No. 81 Tahun 1993 yang kemudian disempurnakan dengan Surat
Keputusan Mentri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63 Tahun 2003 adalah
segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelen
BAB II
KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS
Miando Sahala H. Panggabean menyatakan bahwa kepatuhan wajib pajak
dalam memenuhi kewajibannya membayar pajak tergantung pada bagaimana
petugas pajak memberikan mutu pelayanan yang terbaik kepada wajib pajak.
Selama ini peranan yang fiskus miliki lebih banyak pada peran seorang
pemeriksa. Padahal untuk menjaga agar wajib pajak tetap patuh terhadap
akannya dibutuhkan peran yang lebih dari sekedar pemeriksa
(dalam Jatmiko, 2006: 21). Pelayanan adalah suatu proses bantuan kepada orang
cara tertentu yang memerlukan kepekaan dan hubungan
interpersonal agar tercipta kepuasan dan keberhasilan (Boediono, 2003 dalam
Rajif ). Menurut Kotler (1985) dalam Darmastria (2011) pelayanan yaitu setiap
kegiatan yang manfaatnya dapat diberikan dari satu pihak kepada pihak lain yang
pada dasarnya tidak berwujud (intangible) dan tidak berakibat pemilikan
Menurut Supadmi (2008: 9) pelayanan yang berkualitas yaitu pelayanan yang
dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan dan tetap dalam batas memenuhi
standar pelayanan yang dapat dipertangungjawabkan serta harus dilakukan secara
. Sedangkan pelayanan menurut Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara No. 81 Tahun 1993 yang kemudian disempurnakan dengan Surat
Keputusan Mentri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63 Tahun 2003 adalah
segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan
9
Miando Sahala H. Panggabean menyatakan bahwa kepatuhan wajib pajak
tergantung pada bagaimana
petugas pajak memberikan mutu pelayanan yang terbaik kepada wajib pajak.
Selama ini peranan yang fiskus miliki lebih banyak pada peran seorang
pemeriksa. Padahal untuk menjaga agar wajib pajak tetap patuh terhadap
akannya dibutuhkan peran yang lebih dari sekedar pemeriksa
(dalam Jatmiko, 2006: 21). Pelayanan adalah suatu proses bantuan kepada orang
cara tertentu yang memerlukan kepekaan dan hubungan
lan (Boediono, 2003 dalam
Rajif ). Menurut Kotler (1985) dalam Darmastria (2011) pelayanan yaitu setiap
kegiatan yang manfaatnya dapat diberikan dari satu pihak kepada pihak lain yang
) dan tidak berakibat pemilikan sesuatu.
Menurut Supadmi (2008: 9) pelayanan yang berkualitas yaitu pelayanan yang
dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan dan tetap dalam batas memenuhi
standar pelayanan yang dapat dipertangungjawabkan serta harus dilakukan secara
. Sedangkan pelayanan menurut Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara No. 81 Tahun 1993 yang kemudian disempurnakan dengan Surat
Keputusan Mentri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63 Tahun 2003 adalah
ggara pelayanan
10
publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun
pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pendapat lain diungkapkan oleh Gronroos dalam Astuty (2011: 23) yang
mengartikan pelayanan sebagai:
“aktivitas atau serangkaian aktivitas yang bersifat tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara konsumen dengan karyawan atau hal-hal lain yang disediakan oleh perusahaan pemberi pelayanan yang dimaksudkan untuk memecahkan permasalahan konsumen atau pelanggan”.
Salah satu upaya untuk mencapai tingkat kepuasan yang tinggi atas pelayanan
perpajakan adalah dengan meningkatkan kualitas pelayanan kepada wajib pajak
sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-45/PJ/2011 mengenai
“pelayanan prima”. Menurut Syamsuri (2011) pelayanan prima merupakan
pelayanan yang memenuhi pelayanan standar terhadap permintaan pelanggan.
Pelayanan yang memenuhi standar adalah kualitas suatu produk yang diharapkan
oleh pelanggan. Kata ”Prima” memiliki arti harfiah ’yang terbaik’. Pelayanan
prima diartikan sebagai pelayanan yang terbaik, yang dapat diberikan oleh
pemerintah kepada masyarakat.
2.1.1.1 Pola Pelayanan Publik
Pola pelayanan publik dapat dibedakan dalam 5 macam pola, yaitu
(Syamsuri, 2011):
a. Pola Pelayanan Teknis Fungsional.
Pola pelayanan masyarakat yang diberikan oleh suatu instansi pemerintah
sesuai dengan bidang tugas, fungsi dan kewenangannya.
11
b. Pola Pelayanan Satu Pintu.
Merupakan pola pelayanan masyarakat yang diberikan secara tunggal oleh
suatu unit kerja pemerintah berdasarkan pelimpahan wewenang dari unit kerja
pemerintah terkait lainnya yang bersangkutan.
c. Pola Pelayanan Satu Atap.
Pola pelayanan disini dilakukan secara terpadu pada satu instansi pemerintah
yang bersangkutan sesuai kewenangan masing-masing.
d. Pola Pelayanan Terpusat.
Pola pelayanan masyarakat yang dilakukan oleh suatu instansi pemerintah
yang bertindak selaku koordinator terhadap pelayanan instansi pemerintah
lainnya yang terkait dengan bidang pelayanan masyarakat yang bersangkutan.
e. Pola Pelayanan Elektronik.
Pola pelayanan yang menggunakan teknologi informasi dan komunikasi yang
merupakan otomasi dan otomatisasi pemberian layanan yang bersifat on-line
sehingga dapat menyesuaikan diri dengan keinginan dan kapasitas pelanggan.
Suatu tempat pelayanan perpajakan yang terintegrasi dengan sistem yang
melekat pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dalam memberikan pelayanan
perpajakan disebut tempat pelayanan terpadu (TPT). Rangkaian kegiatan
terpadu yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan adalah sebagai
berikut (Supadmi , 2008:11) :
12
a. Pelayanan umum yang sederhana
Pelayanan umum berkualitas apabila pelaksanaannya tidak menyulitkan,
prosedurnya tidak banyak seluk-beluknya, persyaratan mudah dipenuhi
pelanggan, tidak bertele-tele, tidak mencari kesempatan dalam kesempitan.
b. Pelayanan umum yang terbuka
Aparatur yang bertugas melayani pelanggan harus memberikan penjelasan
sejujur-jujurnya, apa adanya dalam peraturan atau norma, jangan menakut-
nakuti, jangan merasa berjasa dalam memberikan pelayanan agar tidak timbul
keinginan mengharapkan imbalan dari pelanggan, standar pelayanan harus
diumumkan, ditempel pada pintu utama kantor.
c. Pelayanan umum yang lancar
Untuk menjadi lancar diperlukan sarana yang menunjang kecepatan dalam
menghasilkan output
d. Pelayanan umum yang dapat menyajikan secara tepat
Yang dimaksud tepat di sini adalah tepat arah, tepat sasaran, tepat waktu, tepat
jawaban, dan tepat dalam memenuhi janji. Misal kantor pelayanan pajak
dalam melakukan penagihan pajak tepat pada waktu wajib pajak mempunyai
uang.
e. Pelayanan umum yang lengkap
Lengkap berarti tersedia apa yang diperlukan oleh pelanggan. Untuk dapat
menjamin pelayanan berkualitas harus didukung sumber daya manusia dan
sarana yang tersedia.
13
f. Pelayanan umum yang wajar
Pelayanan umum yang wajar berarti tidak ditambah-tambah menjadi
pelayanan yang bergaya mewah, tidak dibuat-buat, pelayanan biasa seperlunya
sehingga tidak memberatkan pelanggan.
g. Pelayanan umum yang terjangkau
Dalam memberikan pelayanan, uang retribusi dari pelayanan yang diberikan
harus dapat dijangkau oleh pelanggan.
2.1.1.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelayanan Publik
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kualitas pelayanan publik yang
antara lain disebabkan oleh (Syamsuri, 2011):
a. Struktur organisasi
Struktur organisasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam suatu
organisasi. Berkaitan dengan struktur organisasi beberapa indikator yang
digunakan untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan
publik ini adalah :
1. Tingkat pembagian tugas pokok dan fungsi;
2. Kejelasan pelaksanaan tugas antar instansi;
3. Tingkat hubungan antara atasan dan bawahan.
b. Kemampuan aparat
Aparatur negara atau aparatur adalah para pelaksana kegiatan dan proses
penyelenggaraan pemerintahan negara, baik yang bekerja di dalam tiga badan
14
eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun mereka yang sebagai pegawai negeri
sipil pusat dan daerah yang ditetapkan dengan peraturan peraturan pemerintah.
Berkaitan dalam hal kualitas pelayanan publik, maka kemampuan aparat sangat
berperan penting dalam hal ikut menentukan kualitas pelayanan publik tersebut.
untuk itu indikator-indikator dalam kemampuan aparat adalah sebagai berukut :
1. Tingkat pendidikan aparat;
2. Kemampuan penyelesaian pekerjaan sesuai jadwal;
3. Kemampuan melakukan kerja sama;
4. Kemampuan menyesuaikan diri terhadap perubahan yang dialami
organisasi;
5. Kemampuan dalam menyusun rencana kegiatan;
6. Kecepatan dalam melaksanakan tugas;
7. Tingkat kreativitas mencari tata kerja yang terbaik;
8. Tingkat kemampuan dalam memberikan pertanggungjawaban kepada
atasan;
9. Tingkat keikutsertaan dalam pelatihan yang berhubungan dengan bidang
tugasnya.
c. Sistem pelayanan
Kaitannya dengan sistem pelayanan yang perlu diperhatikan apakah ada
pedoman pelayanan, syarat pelayanan yang jelas, batas waktu, biaya atau tarif,
prosedur, buku panduan, media informasi terpadu saling menghargai dari masing-
masing unit terkait atau unit terkait dengan masyarakat yang membutuhkan
pelayanan itu sendiri. Sistem pelayanan adalah kesatuan yang utuh dari suatu
15
rangkaian pelayann yang saling terkait, bagian atau anak cabang dari suatu sistem
pelayanan terganggu maka akan menganggu pula keseluruhan palayanan itu
sendiri. Dalam hal ini apabila salah satu unsur pelayanan sepertinggi mahalnya
biaya, kualitasnya rendah atau lamanya waktu pengurusan maka akan merusak
citra pelayanan di suatu tempat. Beberapa indikator sistem pelayanan yang
menjadi faktor menentukan dalam pengukuran kualitas pelayanan publik adalah :
1. Kenyamanan dalam memperoleh pelayanan berkait dengan lokasi
tempat pelayanan;
2. Kejelasan informasi tentang pelayanan yang diberikan;
3. Perlindungan terhadap dampak hasil pelayanan.
Kemampuan suatu institusi penyelenggaraan pelayanan publik untuk
memberikan pelayanan terbaiknya kepada konsumen, telah menjadi sebuah
tuntutan yang harus dilaksanakan dalam pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan
publik tersebut. Menurut Kirom (2010: 5) faktor-faktor yang menjadi bagian dari
ketidakmampuan memberikan pelayanan yang baik antara lain: sarana dan
fasilitas yang kurang memadai, kondisi lingkungan yang kurang mendukung,
tidak tersedianya SDM yang dapat bekerja secara profesional pada bidangnya dan
sebagainya. Supadmi (2008: 12-13) mengatakan bahwa pelayanan yang
berkualitas harus dapat memberikan 4k, yaitu keamanan, kenyamanan,
kelancaran, dan kepastian hukum. Kualitas pelayanan dapat diukur dengan
kemampuan memberikan pelayanan yang memuaskan, dapat memberikan
pelayanan dengan tanggap, kemampuan, kesopanan, dan sikap dapat dipercaya
yang dimiliki oleh aparat pajak.
16
2.1.1.3 Dimensi Kualitas Pelayanan
Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1994) mengemukakan mengenai 5 (lima)
dimensi kualitas pelayanan dengan pengukuran servqual, yang terdiri dari :
1. Kehandalan (Reliability)
Kemampuan untuk memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan tepat dan
kemampuan dapat dipercaya, terutama dalam memberikan pelayanan secara
tepat waktu dengan cara yang sama sesuai jadwal yang telah dijanjikan.
2. Daya tanggap (Responsiveness)
Kemampuan atau keinginan para karyawan untuk membantu dan memberikan
pelayanan yang dibutuhkan konsumen.
3. Jaminan (Assurance)
Berkaitan dengan pengetahuan, keramahan, kesopanan, dan sifat dapat
dipercaya dari pemberi jasa untuk menghilangkan sifat keragu-raguan
konsumen dan merasa terbebas dari bahaya dan resiko atas jasa yang
diterimanya.
4. Empati (Emphaty)
Berkaitan dengan sikap karyawan maupun perusahaan untuk perhatian dan
memahami kebutuhan maupun kesulitan, komunikasi yang baik, perhatian
pribadi, kemudahan dalam melakukan komunikasi.
5. Wujud nyata (Tangibles)
Meliputi tersedianya fasilitas fisik, perlengkapan dan sarana komunikasi dan
lain-lain yang dapat dan harus ada dalam proses jasa.
17
2.1.2 Kepatuhan
Kepatuhan berasal dari kata dasar patuh, yang menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Patuh berarti suka menurut perintah, taat pada perintah atau aturan,
berdisiplin. Sedangkan Kepatuhan berarti bersifat patuh, ketaatan, tunduk, atau
patuh pada ajaran atau aturan (dalam Rajif, 2011: 32). Erard dan Feinstin (1994)
seperti dikutip Widjaya (2011: 34), menggunakan teori psikologi dalam kepatuhan
wajib pajak, yaitu rasa bersalah dan rasa malu, persepsi wajib pajak atas
kewajaran dan keadilan beban pajak yang mereka tanggung, dan pengaruh
kepuasan terhadap pelayanan pemerintah.
Menurut internal revenue servise (IRS) dalam Laksono (2011: 27)
mendefinisikan Tax Compliance sebagai ”accurate, timely and fully paid return
without IRS enforcement effort”. Dengan demikian kepatuhan pajak dapat
didefinisikan sebagai memasukkan dan melaporkan pada waktunya informasi
yang diperlukan, mengisi secara benar jumlah pajak terutang dan membayar pajak
pada waktunya tanpa adanya tindakan pemaksaan. Ketidakpatuhan timbul jika
salah satu syarat definisi tidak terpenuhi. Pendapat lain yang dikemukakan oleh
Norman D. Nowak dalam Zain (2008: 11) misi utama dari instansi pajak adalah
menciptakan dan mengembangkan iklim perpajakan yang bercirikan :
a. Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan
peraturan perundang- undangan perpajakan.
b. Mengisi formulir pajak dengan tepat.
c. Menghitung pajak dengan jumlah yang benar.
d. Membayar pajak tepat pada waktunya.
18
2.1.2.1 Jenis Kepatuhan Wajib Pajak
Menurut Supadmi (2008: 6-7 ) ada dua macam kepatuhan, yaitu kepatuhan
formal dan kepatuhan material.
a. Kepatuhan formal adalah keadaan dimana wajib pajak memenuhi kewajiban
perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang
perpajakan.
b. Kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi
semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai dengan isi dan jiwa
undang- undang perpajakan. Kepatuhan material dapat juga meliputi
kepatuhan formal.
2.1.2.2 Kriteria Wajib Pajak Patuh
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2007 tentang kriteria wajib
pajak patuh adalah sebagai berikut :
1. Tepat waktu dalam menyampaikan SPT .
a. Penyampaian SPT tahunan tepat waktu dalam 3(tiga) tahun terakhir.
b. Penyampaian SPT masa yang terlambat dalam tahun terakhir untuk masa
pajak Januari sampai November tidak lebih dari 3 (tiga) masa pajak untuk
setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut; dan
c. SPT masa yang terlambat sebagaimana dimaksud pada huruf b telah
disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian SPT masa masa
pajal berikutnya.
19
2. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali
tunggakan pajak yang telah memperoleh izin mengangsur atau menunda
pembayaran pajak.
3. Laporan keuangannya diaudit oleh akuntan publik atau lembaga pengawas
keuangan pemerintah dengan pendapat wajar tanpa pengecualian selama
3 (tiga) tahun berturut-turut; dan
4. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.
2.1.3 Wajib Pajak Orang Pribadi
Wajib pajak menurut Undang-Undang No 16 tahun 2009 tentang ketentuan
umum tentang cara perpajakan pasal 1, ayat 2 yang merupakan perubahan
terakhir Undang-Undang No 6 tahun 1983 adalah orang pribadi atau badan,
meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak yang mempunyai
hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan. Menurut Mardiasmo (20011: 60), kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh wajib pajak adalah sebagai berikut:
1. Mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP
2. Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP
3. Menghitung dan membayar sendiri pajak dengan benar
4. Mengisi dengan benar SPT (SPT diambil sendiri), dan memasukkan ke kantor
pelayanan pajak dalam batas waktu yang telah ditentukan
5. Menyelenggarakan pembukuan/pencatatan
20
6. Jika diperiksa wajib :
- memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang
menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan
penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas wajib pajak,
atau objek yang terutang pajak
- memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang
dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan.
7. Apabila dalam waktu mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen
serta keterangan yang diminta, wajib pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk
merahasiakan, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh
permintaan untuk keperluan pemeriksaan.
2.2 Tinjauan Empiris
Berbagai penelitian telah dilakukan sebelumnya seperti penelitian yang
dilakukan oleh Supadmi (2008) menyatakan bahwa untuk meningkatkan
kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya kualitas
pelayanan harus ditingkatkan oleh aparat pajak. Ariesta (2011) menyimpulkan
ketiga variabel independen yaitu tingkat pengetahuan wajib pajak, tingkat
penghasilan wajib pajak, dan pelayanan fiskus memiliki pengaruh positif terhadap
kepatuhan wajib pajak dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan. Penelitian
serupa juga dilakukan oleh Yulianti (2010) yang menyimpulkan bahwa pengenaan
sanksi denda tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak,
sedangkan pelayanan fiskus dan kesadaran perpajakan berpengaruh secara
signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak. Sementara Rajif (2011) melalui
21
analisis regresi berganda terlihat pengaruh yang signifikan dari variabel
pemahaman, kualitas pelayanan, ketegasan sanksi, dan variabel yang dominan
dalam penelitian ini adalah ketegasan sanksi perpajakan ketiga variabel secara
bersama-sama menunjukkan konstribusi sebesar 75,8 % dan sisanya 24,2%
dipengaruhi oleh variabel yang lain yang tidak diteliti.
Penelitian yang dilakukan oleh Fauvelle (1999) mengasumsikan bahwa
kepatuhan wajib pajak adalah sebuah fungsi cara mereka memandang pemerintah
dengan tindakannya. Semakin pemerintah sah, efisien, dapat dipercaya, semakin
tinggi kemampuan politiknya untuk memastikan kepatuhan pajak. Murphy (2003)
dalam penelitiannya secara khusus menunjukkan bahwa, jika wajib pajak merasa
buruk diperlakukan oleh otoritas pajak sebagai akibat dari pelanggaran mereka, ini
dapat menyebabkan mereka mempertanyakan keabsahan kewenangan pajak. Hal
ini kemudian dapat mempengaruhi kesediaan mereka untuk mematuhi, dan dapat
sebenarnya menyebabkan resistensi aktif. Penelitian yang sama juga dilakukan
oleh Martinez dan Torgler (2009) mereka berpendapat bahwa tingkat semangat
pajak adalah variabel endogen yang dipengaruhi oleh antara lain, kebijakan pajak
dan reformasi administrasi perpajakan. Reformasi dalam administrasi pajak
termasuk reorganisasi teritorial lembaga perpajakan, komputerisasi pelayanan,
karir profesional ditingkatkan bagi para pejabat pajak, dan mengatur instrumen
lain untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak sukarela dan memerangi
penggelapan pajak.
Penelitian ini memiliki persamaan dengan penelitian-penelitian sebelumnya,
yaitu sama-sama menguji pengaruh pelayanan terhadap kepatuhan wajib pajak.
22
Perbedaan Penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah tempat, waktu,
sampel penelitian dan variabel penelitian. Penelitian terdahulu oleh beberapa
peneliti, dapat dilihat pada tabel 3 berikut.
Tabel 3: Tinjauan Empiris
No Nama Judul Variabel Penelitan Hasil Penelitian
1.
Ni Luh
Supadmi
(2008)
Meningkatkan kepatuhan
wajib pajak melalui
kualitas pelayanan
Kepatuhan wajib pajak (Y)
Kualitas pelayanan (X):
1. Keamanan
2. Kenyamanan
3. Kelancaran
4. Kepastian Hukum
Untuk meningkatkan kepatuhan wajib
pajak dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya kualitas pelayanan
harus ditingkatkan oleh aparat pajak
2.
3.
4.
Vicky Cesio
Ariesta
(2011)
Ulfah Yulianti
(2011)
Mohamad
Rajif (2011)
Pengaruh tingkat
pengetahuan, Tingkat
penghasilan, dan pelayanan
fiskus terhadap tingkat
kepatuhan wajib pajak
orang pribadi dalam
pelaksanaan kewajiban
perpajakan (Studi kasus
wilayah di Bekasi Barat)
Pengaruh pengenaan
sanksi denda, pelayanan
fiskus dan kesadaran
perpajakan terhadap
kepatuhan wajib pajak
(Studi kasus wajib pajak
orang pribadi yang
melakukan usaha
perdagangan kios di pasar
proyek bekasi timur)
Pengaruh pemahaman,
kualitas pelayanan, dan
ketegasan sanksi
perpajakan terhadap
kepatuhan pajak pengusaha
UKM di daerah Cirebon
Kepatuhan wajib pajak (Y)
1. Tingkat pemgetahuan
(XI)
2. Tingkat penghasilan
(XII)
3. Pelayanan fiskus (XIII)
Kepatuhan pajak (y)
1. Pengenaan sanksi (xi)
2. Pelayanan fiskus (xii)
3. Kesadaran perpajakan
(xiii)
Kepatuhan pajak (y)
1. Pemahaman (xi)
2. Kualitas Pelayanan (xii)
3. Ketegasan sanksi
perpajakan (xiii)
Ketiga variabel independen yaitu
tingkat pengetahuan wajib pajak,
tingkat penghasilan wajib pajak, dan
pelayanan fiskus memiliki pengaruh
positif terhadap kepatuhan wajib
pajak dalam pelaksanaan kewajiban
perpajakan.
Pengenaan sanksi denda tidak
berpengaruh secara signifikan
terhadap kepatuhan wajib pajak,
sedangkan pelayanan fiskus dan
kesadaran perpajakan berpengaruh
secara signifikan terhadap kepatuhan
wajib pajak.
Melalui analisis regresi berganda
terlihat pengaruh yang signifikan dari
variable pemahaman, kualitas
pelayanan, ketegasan sanksi, dan
variabel yang dominan dalam
penelitian ini adalah ketegasan sanksi
perpajakan, ketiga variabel secara
bersama-sama menunjukkan
23
5.
6.
6
Jorge
Martinez-
Vazquez and
Benno
Torgler
(2009)
Cristine
Fauvelee-
Aymar
(1999)
Kristina
Murphy
(2003)
The evolution of tax
morale in modern Spain
The political and tax
capacity aof govenmant in
defeloping countries
Procedural justice and tax
compliance
In this paper we analyze tax
morale in Spain over the
period 1981-2000 using
survey data from the WVS
and the EVS.
Three concepts the
government's legitimacy,
efficiency and credibility are
developed to explain this
compliance and thus the tax
capcity of the state.
A strategy that aims to
emphasise the procedural
justice aspects of a
regulatory encounter.
konstribusi sebesar 75,8% dan sisanya
24,2% dipengaruhi oleh variabel yang
lain yang tidak diteliti.
We have argued that the level of tax
morale is an endogenous variable
affected by, among other things, tax
policy and tax administration
reforms. Clearly, keeping tax morale
high is a valuable asset for the entire
country
The present analysis assumes that
taxpayer's compliance, are a function
of the way they perceive the
government and its actions. The more
the government is legitimate, eficient,
credible, the higher is its political
capacity to ensure tax compliance . A
legitimate government is one that can
count on willing compliance or at
least, assent to its directives
In particular, the findings from the
present study have shown that if
taxpayers feel poorly treated by a tax
authority as a result of their
infractions, this can lead to them
questioning the legitimacy of the tax
authority. This can then go on to
affect their willingness to comply, and
can in fact lead to active resistance
Sumber: Data diolah, 2012
2.2 Kerangka Berfikir
Sistem pemungutan pajak di Indonesia menganut self assessment system,
yaitu wajib pajak diberikan kepercayaan dan tanggung jawab yang lebih besar
untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan kewajiban pajaknya. Wajib pajak
yang menghitung pajaknya dengan benar, menyetor dan melaporkan pajak tepat
waktu merupakan wajib pajak yang patuh. Dalam meningkatkan kepatuhan wajib
24
pajak, Direktorat Jenderal Pajak telah melakukan modernisasi administrasi
perpajakan, sebagai dasar dari konsep modernisasi administrasi perpajakan ialah
pelayanan prima dan pengawasan intensif dengan pelaksanaan good governance.
James & Nobes (dalam Jahja, 2011:25) menyatakan bahwa “ No tax system can
function effectively without the cooperation of the great majority of taxpayer, so
the factors which affect compliance are importance”. Yang dapat diartikan bahwa
tidak satupun sistem perpajakan dapat berfungsi dengan efektif tanpa peran serta
sebagian besar wajib pajak, karena itu faktor-faktor yang mempengaruhi
kepatuhan pajak sangatlah penting.
Zain (2007: 32-36) menyatakan bahwa “dalam usaha penciptaan iklim
perpajakan yang sehat yang dapat dilakukan oleh instansi pajak dan merupakan
tanggung jawabnya untuk dikembangkan adalah system perpajakan yang adil,
sanksi administarsi dan pidana, pelayanan dan bantuan terhadap wajib pajak serta
reputasi petugas pajak. Kirchler dalam Victoria (2008) menyatakan bahwa jika
otoritas pajak menggunakan pendekatan polisi dan perampok (menggunakan rasa
takut audit dan denda untuk menegakkan kepatuhan pajak), maka wajib pajak
menemukan cara untuk menghindari membayar semua pajak mereka, tetapi jika
otoritas perpajakan menggunakan pendekatan berorientasi layanan (memberi
kemudahan untuk memahami instruksi, aturan yang jelas untuk diikuti, dan
perlakuan hormat yg tak berpihak), maka wajib pajak secara sukarela membayar
pajak.
“ If taxing authorities use a cops-and-robbers approach (using the fear of audits and fines to enforce tax compliance), then taxpayers find ways to avoid paying all of their taxes; but if taxing authorities use a service-oriented approach (giving easy-to-understand instructions, clear rules to follow, and
25
unprejudiced respectful treatment), then taxpayers voluntarily pay their taxes” . Hal yang sama juga diungkapkan oleh Torgler (2005) yakni wajib pajak lebih
cenderung untuk mematuhi hukum jika pertukaran antara pajak yang dibayar dan
pelayanan pemerintah yang dilakukan dirasa adil. Dengan demikian tindakan
positif oleh negara dimaksudkan untuk meningkatkan sikap positif pembayar
pajak, komitmen untuk sistem pajak dan pembayaran pajak, dan dengan demikian
untuk meningkatkan perilaku kepatuhan.
”Taxpayers are more inclined to comply with the law if the exchange between the paid tax and the performed government services are found to be equitable. Thus, positive actions by the state are intended to increase taxpayers’ positive attitudes and commitment to tax system and tax-payment, and thus to enhance compliant behaviour ”.
Martinez dan Torgler (2009) berpendapat bahwa tingkat semangat pajak
adalah variabel endogen yang dipengaruhi oleh antara lain, kebijakan pajak dan
reformasi administrasi perpajakan. Jelas, menjaga semangat tinggi pajak adalah
aset berharga untuk seluruh negara. Reformasi dalam administrasi pajak termasuk
reorganisasi teritorial lembaga perpajakan, komputerisasi pelayanan, karir
profesional ditingkatkan bagi para pejabat pajak, dan mengatur instrumen lain
untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak sukarela dan memerangi penggelapan
pajak.
“We have argued that the level of tax morale is an endogenous variable affected by, among other things, tax policy and tax administration reforms. Clearly, keeping tax morale high is a valuable asset for the entire country. These reforms in tax administration included the territorial reorganization of the tax agency, the computerization of services, upgraded professional careers for tax officials, and setting up other instruments for increasing voluntary taxpayer compliance and fighting tax evasion”.
26
Penelitian Murphy (2003) secara khusus menunjukkan jika wajib pajak
merasa buruk diperlakukan oleh otoritas pajak sebagai akibat dari pelanggaran
mereka, ini dapat menyebabkan mereka mempertanyakan keabsahan kewenangan
pajak. Hal ini kemudian dapat mempengaruhi kesediaan mereka untuk mematuhi,
dan dapat sebenarnya menyebabkan resistensi aktif.
“ In particular, the findings from the present study have shown that if taxpayers feel poorly treated by a tax authority as a result of their infractions, this can lead to them questioning the legitimacy of the tax authority. This can then go on to affect their willingness to comply, and can in fact lead to active resistance”. Berdasarkan penjelasan di atas kerangka pemikiran dapat digambarkan
seperti pada gambar 1 berikut :
Gambar 1 : Kerangka Pemikiran
Pelayanan Pajak 1. Kehandalan (Reliability) 2. Daya Tanggap (Responsiveness) 3. Jaminan (Assurance) 4. Empati (Emphaty) 5. Wujud Nyata (Tangibles)
Kepatuhan Wajib Pajak
1. Kepatuhan Formal 2. Kepatuhan Material
Penelitian terdahulu : - Supadmi (2008) - Ariesta (2011) - Yulianti (2011) - Rajif (2011) - Martinez and Torgler (2009) - Fauvelle (1999) - Murphy (2003)
27
2.4 Hipotesis
Hipotesis merupakan hubungan yang diduga secara logis antara dua variabel
atau lebih yang dapat diuji secara empiris. Menurut Sugiyono (2010: 64) hipotesis
merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, di mana
rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan.
Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori
yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh dari
pengumpulan data. Sehubungan dengan penelitian ini maka yang menjadi
hipotesis dalam penelitian ini yakni terdapat pengaruh pelayanan terhadap
kepatuhan wajib pajak orang pribadi.