8.BAB I
-
Upload
difrai-simatupang -
Category
Documents
-
view
536 -
download
19
Transcript of 8.BAB I
![Page 1: 8.BAB I](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022073010/5571f36349795947648df3ac/html5/thumbnails/1.jpg)
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Kehidupan ini terdiri dari dua kutub pertentangan, antara “hidup” dan “mati”.
Demikian jugalah yang menjadi paham dasar manusia sejak masa purba sebagai
bentuk dualisme keberadaan hidup (Sumardjo, 2002 : 107). Proses kehidupan
menuju kematian merupakan proses yang pasti dijalani setiap manusia dan mahluk
hidup yang lain.
Kematian merupakan akhir dari perjalanan hidup manusia. Kelangsungan
sesudah mati belum dapat dijelaskan dengan penalaran yang logis, sepertinya akan
selalu menjadi misteri. Namun sudah sejak dahulu kala, manusia telah memiliki
semacam bentuk konsep kepercayaan tentang kelangsungan hidup sesudah
kematian. Menurut Koentjaraningrat (1985 : 237), di dalam banyak konsep religi
suku-suku di Indonesia, kematian menunjukkan adanya kepercayaan bahwa
seseorang yang sudah tidak hidup lagi, akan menjadi makluk halus. Makluk halus
diungkapkan seolah-olah memiliki kepribadian tersendiri karena jiwanya telah
berubah menjadi ruh.
Pada berbagai bahasa daerah di Indonesia, terdapat dua macam istilah yang
khusus membedakan ungkapan kata untuk “jiwa”, dan ungkapan untuk “ruh”. Hal ini
sebagai tanda bahwa dalam alam pikiran berbagai suku bangsa di Indonesia, kedua
paham itu dibedakan dengan sangat jelas penggunaannya. Dalam bahasa Batak
Toba misalnya, kata untuk “jiwa” adalah tondi, sedangkan kata untuk “ruh” adalah
1
![Page 2: 8.BAB I](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022073010/5571f36349795947648df3ac/html5/thumbnails/2.jpg)
begu. Dalam bahasa Mentawai kata untuk jiwa adalah ketsat, sedangkan kata untuk
ruh adalah sanitu, dalam bahasa Jawa misalnya, kata untuk Jiwa adalah nyawa,
sedangkan kata untuk ruh adalah arwah, dsb (Koentjaraningrat, 1985 : 237).
Kepercayaan manusia akan adanya ruh yang dapat mempengaruhi
kehidupan manusia bermula dari kepercayan akan adanya kekuatan-kekuatan
tertentu yang ada di sekitar tempat tinggalnya, seperti batu besar atau pohon besar.
Kepercayaan terhadap batu yang mempunyai pengaruh tertentu terhadap manusia
sampai saat ini masih berlangsung di beberapa daerah di Indonesia. Kepercayaan
semacam ini diperkirakan yang mendasari pendirian bangunan megalitik
(Wiradnyana, 1995 : 39).
Bangunan megalitik berguna sebagai media penghubung kepada arwah
nenek moyang. Para pendukung budaya megalitik percaya bahwa arwah nenek
moyang mereka dapat memberikan berkah apabila membantu perjalanannya ke
dunianya yang baru (Geldern, 1945 : 149). Penelitian terhadap peninggalan tradisi
megalitik yang sudah mati menunjukkan beragam perkiraan fungsi bangunan yang
semuanya berkaitan dengan upacara-upacara pemujaan dengan arwah nenek
moyang. Oleh Sumijati Atmosudiro (Atmosudiro, 1981 : 39), fungsi-fungsi itu
kemudian dirangkum menjadi tiga yaitu : 1. sebagai sarana atau tempat pemujaan
dengan bentuk yang digunakan berupa menhir, bangunan berundak, 2. sebagai
perwujudan nenek moyang atau penolakan bala dengan bentuk-bentuk seperti arca
sederhana, 3. sebagai wadah penguburan antara lain : waruga, dolmen, dan
kalamba. Selain ketiga kelompok tersebut, masih ada juga bangunan-bangunan
megalitik yang belum jelas fungsinya seperti lumpang batu, batu berlubang.
2
![Page 3: 8.BAB I](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022073010/5571f36349795947648df3ac/html5/thumbnails/3.jpg)
Pengkajian kebudayaan megalitik itu dapat dimasukkan dalam kajian religi,
yang tidak semata dikaji secara kebendaan (fisik), tetapi juga melibatkan aspek
gagasan yang mendasar dari tampilan luar benda itu (meta-fisik). Dalam ilmu
arkelogi, kajian religi mempelajari asal-usul perkembangan, dan tindakan religius
melalui budaya bendawi yang saling berkaitan. Melalui tinggalan budaya materi
religius, para arkeolog mencoba bercerita tentang praktek-praktek peribadatan, ritus,
upacara-upacara, mitos, atau kalau mungkin tentang konsep-konsep dan ajaran
manusia pendukung budaya materi religius tersebut (Sonjaya, 2003 : 12). Maka
secara sadar atau tidak sadar, kajian Arkeologi-religi sering bersinggungan dengan
pembahasan dimensi ruang yang tidak nyata atau secara umum dikenal dengan
sebutan alam gaib.
Alam gaib sebagai dunianya para ruh nenek-moyang, dipandang dalam
berbagai macam rasa oleh para pelaku budaya megalitik. Ekspresi rasa cinta,
hormat, bakti, tetapi juga takut, ngeri, atau dengan suatu campuran dari berbagai
macam rasa itu, mendorong manusia untuk melakukan berbagai perbuatan yang
bertujuan untuk semakin menjalin hubungan dengan dunia gaib. Hal ini dapat
disebut sebagai sebuah kelakuan keagamaan atau religious behaviour
(Koentjaraningrat, 1985 : 243).
Kelakuan keagamaan yang dilaksanakan menurut tata kelakuan yang baku,
disebut sebagai upacara keagamaan (religious ceremonies) atau ritus (rites).
Menurut Koentjaraningrat ( Koentjaraningrat, 1985 : 243), secara umum komponen
upacara keagamaan dapat terbagi empat, yaitu : a. tempat upacara, b. saat
3
![Page 4: 8.BAB I](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022073010/5571f36349795947648df3ac/html5/thumbnails/4.jpg)
upacara, c. benda-benda dan alat upacara, dan d. orang-orang yang melakukan dan
memimpin upacara.
Di dalam melakukan kelakuan-kelakuan keagamaan yang bersifat baku itu,
manusia selalu dihinggapi semacam emosi keagamaan. Emosi keagamaan
menyebabkan manusia bersikap sesuai dengan suatu getaran yang menggerakkan
jiwanya dan sering tercurah saat menghadapi sebuah upacara adat religius
(Koentjaraningrat, 1987 : 80). Contoh yang dapat diberikan untuk semakin
memahami emosi keagamaan itu adalah seperti pada saat aktivitas penguburan.
Aktivitas penguburan adalah bagian dari ritual kematian dimana banyak
manusia dalam keadaan perasaan sedih sering ditemukan menyertakan bekal-bekal
kubur di dalam kuburan si mati. Emosi keagaman pada contoh itu adalah perasaan
sedih manusia yang ditinggalkan si mati, namun hal itu tidak berhenti begitu saja.
Mereka mengekspresikan kepercayaan mereka melalui bekal kubur sebagai tanda
kepercayaan akan adanya kehidupan sesudah kematian.
Pada masa lalu upacara kematian memegang peranan yang penting sebagai
salah satu bentuk upacara keagamaan dalam tradisi megalitik. Kematian seseorang
yang telah memiliki keturunan, diyakini akan mengalami ritual penguburan dengan
tidak sembarangan karena kedudukannya kelak adalah sebagai leluhur yang
disembah. Hal ini dapat dilihat dari temuan kubur-kubur megalitik dengan patung-
patung leluhur sebagai objek pemujaan (Soejono, 1975 : 24).
Menurut Marett (seorang filsuf, peneliti kepercayaan primitif), orang-orang
yang memiliki sebuah perasaan yang menghubungkan antara emosi keagamaan
dengan benda-benda sebagai objek pemujaan, akan menghasilkan suatu bentuk
4
![Page 5: 8.BAB I](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022073010/5571f36349795947648df3ac/html5/thumbnails/5.jpg)
adat-istiadat kematian yang akan diakui masyarakat. Perasaan itu terhadap objek
pemujaan adalah rasa ”taqwa”, yaitu suatu gabungan rasa takut, kagum, hormat,
dan juga cinta (Pritchard, 1984 : 43-44).
Ritual penguburan orang yang sudah mati merupakan suatu adat-istiadat
kematian yang dilakukan masyarakat megalitik di tempat yang sering dihubungkan
dengan asal-usulnya. Kematian itu sendiri dianggap tidak membawa perubahan
esensial dalam kedudukan dan sifat seseorang. Hal itu karena manusia yang telah
mati tetap akan mempunyai kedudukan yang sama seperti ketika masih hidup
(Soejono, 1984 : 210).
Adanya kepercayaan tersebut mengakibatkan kuburan merupakan tempat
yang dipakai sebagai tempat berbagai upacara keagamaan. Hal ini dapat dimengerti
karena kubur dibayangkan sebagai tempat yang paling mudah untuk menjalin
komunikasi dengan para roh nenek moyang. Mereka tidak perlu lagi harus pergi
jauh-jauh ke puncak gunung yang tinggi, seberang lautan, di dalam hutan belantara
atau di bawah bumi, sebagaimana kepercayaan beragam suku bangsa di Indonesia
(Koentjaraningrat, 1985 : 239).
Sebelum masuknya agama Kristen ke daerah mereka, suku bangsa Batak
percaya bahwa kematian merupakan masa transisi saat manusia akan berpindah
dari kehidupan alam nyata menuju kehidupan alam orang mati. Mereka menyatakan
bahwa orang yang mati hanya raganya saja, sedangkan jiwanya berjalan terus
menempuh perjalanan ke alam lain (Siahaan, 1964 : 45). Maka sudah sepantasnya
ada campur tangan orang yang masih hidup untuk membantu orang mati, saat akan
berpindah ke alam kehidupannya yang baru. Konsep kepercayaan ini memunculkan
5
![Page 6: 8.BAB I](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022073010/5571f36349795947648df3ac/html5/thumbnails/6.jpg)
daya cipta dalam mengekspresikan cara atau tingkah laku orang yang ditinggalkan
si mati saat hendak mengantarkan si mati ke alam lain. Hal ini yang pada akhirnya
berkembang menjadi sebuah upacara kematian yang dapat disebut juga sebagai
upacara penguburan primer.
Setelah lama dikubur, ternyata keluarga yang ditinggalkan masih merasa
perlu mengekspresikan konsep kepercayaannya itu lagi. Konsep kepercayaan awal,
dari hanya untuk mengantarkan si mati ke alam barunya, berkembang menjadi
keinginan untuk tetap dapat berinteraksi dengan orang-orang mati yang telah berada
di alam lain. Cara pengekspresiannya adalah dengan mengumpulkan seluruh tulang
belulang orang-orang mati ke dalam satu wadah kubur baru dalam sebuah upacara
keagamaan. Konsep kepercayaan seperti ini merupakan cikal bakal munculnya
kebudayaan ritual kematian dalam suku bangsa Batak pra-Kristen yang dinamakan
upacara penguburan sekunder mangongkal holi. Istilah sekunder dipakai karena
sebelumnya telah dilakukan upacara penguburan (primer) pada saat kematiannya.
Oleh karena itu ketika diupacarakan lagi melalui aktivitas penggalian tulang-belulang
si mati dari kubur primer, untuk dikuburkan kembali ke dalam kubur sekunder,
dapatlah disebut sebagai upacara penguburan sekunder.
Mangongkal holi berarti menggali tulang-belulang orang mati untuk
dikuburkan di tempat yang lain. Dalam bahasa batak Toba, holi berarti tulang atau
tulang belulang. Disebut juga saring-saring yaitu tulang tengkorak orang yang
meninggal (Sinaga, 1999 : 112). Berdasarkan buku Pedoman Pelaksanaan Adat
Batak dalihan natolu, alasan secara logika pengadaan upacara mangongkal holi
adalah untuk memindahkan dan mengubur tulang si mati ke batu napir (Sihombing,
6
![Page 7: 8.BAB I](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022073010/5571f36349795947648df3ac/html5/thumbnails/7.jpg)
1989 : 44). Batu napir adalah bangunan kuburan komunal yang terbuat dari bahan
batu yang di dalamnya disediakan kapling-kapling kuburan untuk lima atau tujuh
orang yang memiliki hubungan satu keluarga (Sinaga, 1999 : 121).
Ritual mangongkal holi dilakukan sebagai bentuk penghormatan pada orang
tua termasuk di dalamnya kakek dan leluhur. Bila ada yang berpendapat bahwa
hormat kepada orang tua hanya dilakukan pada masa hidupnya, maka orang Batak
memiliki sedikit perbedaan yang cenderung menjadi unik. Mereka tetap
menghormati orang tua mereka meskipun telah lama mati dengan cara memelihara
kuburannya atau menyimpan tulang-belulangnya di dalam kubur sekunder (batu na
pir) (Sinaga, 2000 :112 - 118).
Namun ada juga yang mengatakan bahwa upacara mangongkal holi
merupakan sebuah pemborosan karena pembuatan makam yang indah untuk
tulang-belulang yang meninggal tidak mungkin bisa dinikmatinya lagi. Upacara
mangongkal holi telah menjelma menjadi sebuah kesempatan menunjukkan pamer
status sosial bagi anak cucunya yang telah meraih kesuksesan (Situmorang, 1992 :
212. Rambey : 2001, Silalahi, 2005).
Dari pengamatan sekilas pada data etnografi upacara mangongkal holi,
penulis melihat adanya beberapa transformasi yang terjadi, pada beberapa unsur
upacara tersebut. Rentang masa yang panjang dari masa megalitik hingga
sekarang, sangat mungkin mengakibatkan terjadinya transformasi sosial budaya
masyarakat Batak yang awalnya terisolir di Pulau Samosir. Oleh karena itu,
penelitian ini akan mencoba membahas seberapa jauh transformasi pada upacara
mangongkal holi terjadi dari masa dahulu hingga sampai masa terkini.
7
![Page 8: 8.BAB I](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022073010/5571f36349795947648df3ac/html5/thumbnails/8.jpg)
Berdasarkan kamus riset (Komaruddin : 1984), kata “transformasi” diartikan
sebagai perubahan bentuk atau struktur dari sebuah bentuk ke bentuk lainnya.
Transformasi terhadap upacara mangongkal holi tidak hanya akan ditinjau dari
perubahan bentuk fisik kubur masyarakat Batak tetapi juga dilihat dari aspek ide
atau gagasan (ideology) terlaksananya upacara itu, perilaku manusianya sendiri
yang menjalankan ritual upacara mangongkal holi, dan peralatan yang diciptakan
manusia pendukung budaya tersebut untuk dipakai sebagai alat bantu dalam
penyelenggaraan upacara tersebut.
Upacara penguburan sekunder mangongkal holi menarik untuk dipelajari,
karena kajian secara ilmiah terhadap bentuk kebudayaan seperti itu di Indonesia
masih sangat jarang. Melalui penelitian disiplin ilmu arkeologi, diharapkan upacara
itu semakin jelas dipahami maknanya oleh masyarakat umum terutama generasi
penerus suku bangsa Batak. Mereka semakin cenderung tidak mengerti akan
identitas asli suku mereka akibat semakin hilang ditelan perubahan zaman. Melalui
pemahaman tersebut, diharapkan muncul kesadaran untuk melestarikan upacara
tersebut sebagai kekayaan budaya warisan nenek moyang, dan tentu saja
bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya disiplin ilmu arkeologi.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari uraian di atas, ada masalah menarik dalam Upacara Penguburan
Sekunder Mangongkal Holi pada masyarakat Batak Toba di wilayah kabupaten Toba
Samosir, yang hendak dikaji lebih lanjut melalui disiplin ilmu Arkeologi. Masalah
yang akan dijawab dirumuskan sebagai berikut :
8
![Page 9: 8.BAB I](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022073010/5571f36349795947648df3ac/html5/thumbnails/9.jpg)
1. Bagaimana proses ritual upacara mangongkal holi berlangsung pada masa
pra Kristen dan Kristen ?
2. Bagaimana bentuk transformasi wujud kebudayaan (ide atau gagasan,
aktivitas atau perilaku dan artefak) pada upacara mangongkal holi ?
Tujuan penelitian upacara mangongkal holi ini adalah untuk melihat adanya
fenomena transformasi pada salah satu unsur kebudayaan, yaitu religi pada
masyarakat Batak Toba. Fenomena transformasi kebudayaan religi merupakan
gejala perubahan kepercayaan atau agama orang Batak secara berkesinambungan
dari pra-Kristen menjadi Kristen yang masih dapat dirasakan pada masa sekarang.
C. METODE PENELITIAN
Fenomena transformasi dapat dianalisis secara metodologis untuk
menjelaskan faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya perubahan demi
perubahan. Etnografi adalah pekerjaan pendeskripsian suatu kebudayaan dengan
tujuan untuk mendapatkan pandangan hidup dari sudut pandang emik (pendukung
kebudayaan yang dikaji atau yang dideskripsi) atau sudut pandang etik (orang-orang
dari luar kebudayaan yang dikaji atau yang dideskripsi) (Spradley, 1997 : 3). Dapat
ditarik sebuah pemahaman, bahwa etnoarkeologi merupakan ilmu arkeologi yang
menggunakan pendekatan dengan menggunakan data etnografi untuk menangani
masalah-masalah Arkeologi (Mundarjito, 1981: 17).
Dalam penelitian ini, etnoarkeologi tidak hanya sekedar membuat sebuah
dokumentasi upacara kematian atau penguburan sekunder, yang lazim digunakan
9
![Page 10: 8.BAB I](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022073010/5571f36349795947648df3ac/html5/thumbnails/10.jpg)
sebagai analogi dalam memecahkan masalah-masalah rekonstruksi kebudayaan
pada masyarakat yang sudah punah, dengan hanya menyisakan sisa-sisa budaya
materi (data Arkeologis) saja. Pemakaian pendekatan etnoarkeologi dalam
penelitian ini, diharapkan akan mampu menghasilkan model-model upacara
kematian atau penguburan sekunder dari beberapa dimensi waktu. Hasil dari
penelitian etnoarkeologi ini adalah sebuah hipotesis tentang terjadinya transformasi
budaya pada upacara mangongkal holi dari masa pra-Kristen ke masa sesudah
terjadinya misi pengkristenan hingga sampai masa terkini.
Analisis data bersifat kualitatif, karena yang akan diteliti berupa upacara
yang berkonteks dengan ideologi manusia yang tidak dapat dihitung besarannya.
Metode kualitatif ini lebih peka dalam menyesuaikan dengan nilai data bila
dibandingkan dengan kuantitatif. Adapun beberapa prinsip dasar yang digunakan
sebagai karakteristik penelitian kualitatif (Moleong,1996 : 4-8) adalah sebagai
berikut :
1. Peneliti sebagai alat (instrumen) yang dapat menilai dan mempertanggung
jawabkan kebenaran ilmiah dari penelitiannya.
2. Peneliti menggunakan penalaran logika secara induktif yang menarik kesimpulan
umum akan dari data-data tiap kesimpulan khusus.
3. Deskriptif analitis. Peneliti mendeskripsikan data dengan menginterpretasikannya
secara tepat dan bertanggung jawab, untuk memperoleh fakta atau gejala tertentu
yang didapat dari hasil penelitian.
10
![Page 11: 8.BAB I](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022073010/5571f36349795947648df3ac/html5/thumbnails/11.jpg)
4. Adanya “batas” yang ditentukan oleh “fokus”. Peneliti membatasi penelitiannya
atas dasar fokus penelitian yang sudah jelas, yaitu transformasi unsur kebudayaan
religi pada upacara mangongkal holi dari masa pra Kristen hingga masa Kristen.
5. Desain penelitian bersifat sementara. Peneliti telah menyusun secara terus-
menerus desain penelitian yang mudah disesuaikan dengan kenyataan lapangan
(tidak menggunakan desain yang telah disusun secara ketat dan kaku), selama tidak
keluar dari jalur fokus penelitian yang telah ditetapkan sejak awal.
6. Peneliti melaporkan hasil penelitiannya (hipotesis) kepada orang yang dijadikan
sebagai sumber data. Hal ini disebabkan karena pemberi data berhak
mengetahuinya, disamping akan menjadi lebih baik verifikasinya apabila
dikonfirmasikan ulang dengan orang-orang yang ada kaitannya dengan yang diteliti.
Dari prinsip-prinsip dasar tahapan penelitian diatas, tahapan penelitian akan
dilakukan dalam empat tahap yaitu :
1. Tahap Pengumpulan data
1.a. Studi kepustakaan dan dokumentasi
Studi kepustakaan merupakan tahapan pengumpulan data sekunder, yang
mendukung terhadap penelitian ini. Dalam kasus penelitian terhadap upacara
mangongkal holi, transformasi kebudayaan diteliti melalui data sejarah, data
arkeologis, dan data etnografi. Data sejarah diperoleh melalui sumber-sumber lisan
maupun tulisan (buku-buku sejarah, arsip, sumber dari internet) yang menerangkan
tentang adanya upacara tersebut dalam masyarakat Batak dari masa terawal hingga
masa terkini. Data arkeologis diperoleh melalui temuan tinggalan artefaktual seperti
kubur-kubur sekunder di Pulau Samosir dan pengamatan jenis-jenis benda
11
![Page 12: 8.BAB I](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022073010/5571f36349795947648df3ac/html5/thumbnails/12.jpg)
artefaktual yang pernah dideskripsikan pada sumber-sumber arsip dan benda-benda
artefaktual yang dipakai pada saat upacara mangongkal holi sampai saat ini. Data
etnografi diperoleh melalui pengamatan langsung (observasi partisipatif) pada saat
penyelenggaraan sebuah ritual upacara mangongkal holi. Selain itu, data dapat juga
diperoleh melalui pencarian dokumentasi foto atau video tentang upacara
mangongkal holi. Selain itu, data dapat diperoleh dari sumber lain seperti pencarian
data melalui situs internet, dokumentasi hasil foto / gambar yang pernah diterbitkan,
pengamatan melalui beberapa dokumentasi video upacara mangongkal holi yang
pernah berlangsung.
1.b.Observasi ke lapangan
Data primer diperoleh melalui observasi partisipasi di lapangan. Dalam observasi
dilakukan wawancara. Tehnik wawancara yang digunakan adalah wawancara bebas
berstruktur dan responden diarahkan peneliti bercerita seluas-luasnya tentang objek
material maupun non material dari upacara mangongkal holi tersebut. Kegiatan
wawancara juga berguna untuk mencocokkan keterangan yang diperoleh dari
sumber lainnya. Hasil wawancara ini tidak dapat begitu saja digunakan namun harus
dikritik dahulu kebenarannya sehingga akan didapat data-data yang cukup valid.
Kritik kebenaran hasil wawancara dapat dilakukan melalui perbandingan jawaban
yang diperoleh dari para informan yang menggunakan pertanyaan yang sama.
Jawaban-jawaban dari para informan akan dipilih berdasarkan jawaban yang
memiliki tingkat kebenaran yang tertinggi dari sudut pandang penulis dan penulis
bertanggung jawab akan pemilihan jawaban itu.
12
![Page 13: 8.BAB I](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022073010/5571f36349795947648df3ac/html5/thumbnails/13.jpg)
2. Klasifikasi data
Keseluruhan data objek penelitian baik berupa data sejarah, data arkeologi,
maupun data etnografi dideskripsikan kemudian berdasarkan masa pra-Kristen atau
masa sesudah pengkristenan, sehingga diharapkan akan dapat dilihat perbedaan
yang menguatkan akan hipotesis terjadinya transformasi budaya pada upacara
mangongkal holi.
3. Analisis Data
Dalam penelitian ini, data etnografi upacara mangongkal holi pada masa
sekarang akan dibandingkan dengan data upacara mangongkal holi pada masa
lampau. Wujud transformasi terhadap upacara mangongkal holi tersebut akan dilihat
melalui hasil data-data perbandingan yang muncul, apakah telah terjadi perubahan-
perubahan wujud kebudayaan (dalam bentuk ide atau gagasan, aktivitas atau
perilaku, maupun kelengkapan upacara atau artefak).
Tahapan ini juga akan melihat secara kualitatif faktor internal dan eksternal
yang membuktikan telah terjadi transformasi budaya. Adapun cara menganalisisnya
berdasarkan parameter wujud kebudayaan itu sendiri, yaitu : wujud ide atau
gagasan, wujud aktivitas atau tingkah laku, dan wujud kebendaan atau artefak.
Ketiga variabel wujud kebudayaan tersebut masing-masing terdiri dari berbagai
komponen parameter pengamatan, yang dapat dijabarkan pada bagan dibawah ini :
13
![Page 14: 8.BAB I](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022073010/5571f36349795947648df3ac/html5/thumbnails/14.jpg)
pengamatan transformasi budaya upacara mangongkal holi
gagasan / ide Pelaku dan aktivitas budaya materi
1. Makna dan fungsiupacara terhadappenyembahan ataupenghormatankepada leluhur
1.Tata cara ritual 2. Pelaku upacara
1. Perlengkapan upacara2. Wadah kubur
4. Tahap kesimpulan
Pada tahap ini, diharapkan penelitian telah memberikan suatu gambaran
yang jelas berupa hipotesis untuk menjawab sejauh mana telah terjadi transformasi
kebudayaan dalam upacara mangongkal holi tersebut.
14