8.BAB I

20
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kehidupan ini terdiri dari dua kutub pertentangan, antara “hidup” dan “mati”. Demikian jugalah yang menjadi paham dasar manusia sejak masa purba sebagai bentuk dualisme keberadaan hidup (Sumardjo, 2002 : 107). Proses kehidupan menuju kematian merupakan proses yang pasti dijalani setiap manusia dan mahluk hidup yang lain. Kematian merupakan akhir dari perjalanan hidup manusia. Kelangsungan sesudah mati belum dapat dijelaskan dengan penalaran yang logis, sepertinya akan selalu menjadi misteri. Namun sudah sejak dahulu kala, manusia telah memiliki semacam bentuk konsep kepercayaan tentang kelangsungan hidup sesudah kematian. Menurut Koentjaraningrat (1985 : 237), di dalam banyak konsep religi suku-suku di Indonesia, kematian menunjukkan adanya kepercayaan bahwa seseorang yang sudah tidak hidup lagi, akan menjadi makluk halus. Makluk halus 1

Transcript of 8.BAB I

Page 1: 8.BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Kehidupan ini terdiri dari dua kutub pertentangan, antara “hidup” dan “mati”.

Demikian jugalah yang menjadi paham dasar manusia sejak masa purba sebagai

bentuk dualisme keberadaan hidup (Sumardjo, 2002 : 107). Proses kehidupan

menuju kematian merupakan proses yang pasti dijalani setiap manusia dan mahluk

hidup yang lain.

Kematian merupakan akhir dari perjalanan hidup manusia. Kelangsungan

sesudah mati belum dapat dijelaskan dengan penalaran yang logis, sepertinya akan

selalu menjadi misteri. Namun sudah sejak dahulu kala, manusia telah memiliki

semacam bentuk konsep kepercayaan tentang kelangsungan hidup sesudah

kematian. Menurut Koentjaraningrat (1985 : 237), di dalam banyak konsep religi

suku-suku di Indonesia, kematian menunjukkan adanya kepercayaan bahwa

seseorang yang sudah tidak hidup lagi, akan menjadi makluk halus. Makluk halus

diungkapkan seolah-olah memiliki kepribadian tersendiri karena jiwanya telah

berubah menjadi ruh.

Pada berbagai bahasa daerah di Indonesia, terdapat dua macam istilah yang

khusus membedakan ungkapan kata untuk “jiwa”, dan ungkapan untuk “ruh”. Hal ini

sebagai tanda bahwa dalam alam pikiran berbagai suku bangsa di Indonesia, kedua

paham itu dibedakan dengan sangat jelas penggunaannya. Dalam bahasa Batak

Toba misalnya, kata untuk “jiwa” adalah tondi, sedangkan kata untuk “ruh” adalah

1

Page 2: 8.BAB I

begu. Dalam bahasa Mentawai kata untuk jiwa adalah ketsat, sedangkan kata untuk

ruh adalah sanitu, dalam bahasa Jawa misalnya, kata untuk Jiwa adalah nyawa,

sedangkan kata untuk ruh adalah arwah, dsb (Koentjaraningrat, 1985 : 237).

Kepercayaan manusia akan adanya ruh yang dapat mempengaruhi

kehidupan manusia bermula dari kepercayan akan adanya kekuatan-kekuatan

tertentu yang ada di sekitar tempat tinggalnya, seperti batu besar atau pohon besar.

Kepercayaan terhadap batu yang mempunyai pengaruh tertentu terhadap manusia

sampai saat ini masih berlangsung di beberapa daerah di Indonesia. Kepercayaan

semacam ini diperkirakan yang mendasari pendirian bangunan megalitik

(Wiradnyana, 1995 : 39).

Bangunan megalitik berguna sebagai media penghubung kepada arwah

nenek moyang. Para pendukung budaya megalitik percaya bahwa arwah nenek

moyang mereka dapat memberikan berkah apabila membantu perjalanannya ke

dunianya yang baru (Geldern, 1945 : 149). Penelitian terhadap peninggalan tradisi

megalitik yang sudah mati menunjukkan beragam perkiraan fungsi bangunan yang

semuanya berkaitan dengan upacara-upacara pemujaan dengan arwah nenek

moyang. Oleh Sumijati Atmosudiro (Atmosudiro, 1981 : 39), fungsi-fungsi itu

kemudian dirangkum menjadi tiga yaitu : 1. sebagai sarana atau tempat pemujaan

dengan bentuk yang digunakan berupa menhir, bangunan berundak, 2. sebagai

perwujudan nenek moyang atau penolakan bala dengan bentuk-bentuk seperti arca

sederhana, 3. sebagai wadah penguburan antara lain : waruga, dolmen, dan

kalamba. Selain ketiga kelompok tersebut, masih ada juga bangunan-bangunan

megalitik yang belum jelas fungsinya seperti lumpang batu, batu berlubang.

2

Page 3: 8.BAB I

Pengkajian kebudayaan megalitik itu dapat dimasukkan dalam kajian religi,

yang tidak semata dikaji secara kebendaan (fisik), tetapi juga melibatkan aspek

gagasan yang mendasar dari tampilan luar benda itu (meta-fisik). Dalam ilmu

arkelogi, kajian religi mempelajari asal-usul perkembangan, dan tindakan religius

melalui budaya bendawi yang saling berkaitan. Melalui tinggalan budaya materi

religius, para arkeolog mencoba bercerita tentang praktek-praktek peribadatan, ritus,

upacara-upacara, mitos, atau kalau mungkin tentang konsep-konsep dan ajaran

manusia pendukung budaya materi religius tersebut (Sonjaya, 2003 : 12). Maka

secara sadar atau tidak sadar, kajian Arkeologi-religi sering bersinggungan dengan

pembahasan dimensi ruang yang tidak nyata atau secara umum dikenal dengan

sebutan alam gaib.

Alam gaib sebagai dunianya para ruh nenek-moyang, dipandang dalam

berbagai macam rasa oleh para pelaku budaya megalitik. Ekspresi rasa cinta,

hormat, bakti, tetapi juga takut, ngeri, atau dengan suatu campuran dari berbagai

macam rasa itu, mendorong manusia untuk melakukan berbagai perbuatan yang

bertujuan untuk semakin menjalin hubungan dengan dunia gaib. Hal ini dapat

disebut sebagai sebuah kelakuan keagamaan atau religious behaviour

(Koentjaraningrat, 1985 : 243).

Kelakuan keagamaan yang dilaksanakan menurut tata kelakuan yang baku,

disebut sebagai upacara keagamaan (religious ceremonies) atau ritus (rites).

Menurut Koentjaraningrat ( Koentjaraningrat, 1985 : 243), secara umum komponen

upacara keagamaan dapat terbagi empat, yaitu : a. tempat upacara, b. saat

3

Page 4: 8.BAB I

upacara, c. benda-benda dan alat upacara, dan d. orang-orang yang melakukan dan

memimpin upacara.

Di dalam melakukan kelakuan-kelakuan keagamaan yang bersifat baku itu,

manusia selalu dihinggapi semacam emosi keagamaan. Emosi keagamaan

menyebabkan manusia bersikap sesuai dengan suatu getaran yang menggerakkan

jiwanya dan sering tercurah saat menghadapi sebuah upacara adat religius

(Koentjaraningrat, 1987 : 80). Contoh yang dapat diberikan untuk semakin

memahami emosi keagamaan itu adalah seperti pada saat aktivitas penguburan.

Aktivitas penguburan adalah bagian dari ritual kematian dimana banyak

manusia dalam keadaan perasaan sedih sering ditemukan menyertakan bekal-bekal

kubur di dalam kuburan si mati. Emosi keagaman pada contoh itu adalah perasaan

sedih manusia yang ditinggalkan si mati, namun hal itu tidak berhenti begitu saja.

Mereka mengekspresikan kepercayaan mereka melalui bekal kubur sebagai tanda

kepercayaan akan adanya kehidupan sesudah kematian.

Pada masa lalu upacara kematian memegang peranan yang penting sebagai

salah satu bentuk upacara keagamaan dalam tradisi megalitik. Kematian seseorang

yang telah memiliki keturunan, diyakini akan mengalami ritual penguburan dengan

tidak sembarangan karena kedudukannya kelak adalah sebagai leluhur yang

disembah. Hal ini dapat dilihat dari temuan kubur-kubur megalitik dengan patung-

patung leluhur sebagai objek pemujaan (Soejono, 1975 : 24).

Menurut Marett (seorang filsuf, peneliti kepercayaan primitif), orang-orang

yang memiliki sebuah perasaan yang menghubungkan antara emosi keagamaan

dengan benda-benda sebagai objek pemujaan, akan menghasilkan suatu bentuk

4

Page 5: 8.BAB I

adat-istiadat kematian yang akan diakui masyarakat. Perasaan itu terhadap objek

pemujaan adalah rasa ”taqwa”, yaitu suatu gabungan rasa takut, kagum, hormat,

dan juga cinta (Pritchard, 1984 : 43-44).

Ritual penguburan orang yang sudah mati merupakan suatu adat-istiadat

kematian yang dilakukan masyarakat megalitik di tempat yang sering dihubungkan

dengan asal-usulnya. Kematian itu sendiri dianggap tidak membawa perubahan

esensial dalam kedudukan dan sifat seseorang. Hal itu karena manusia yang telah

mati tetap akan mempunyai kedudukan yang sama seperti ketika masih hidup

(Soejono, 1984 : 210).

Adanya kepercayaan tersebut mengakibatkan kuburan merupakan tempat

yang dipakai sebagai tempat berbagai upacara keagamaan. Hal ini dapat dimengerti

karena kubur dibayangkan sebagai tempat yang paling mudah untuk menjalin

komunikasi dengan para roh nenek moyang. Mereka tidak perlu lagi harus pergi

jauh-jauh ke puncak gunung yang tinggi, seberang lautan, di dalam hutan belantara

atau di bawah bumi, sebagaimana kepercayaan beragam suku bangsa di Indonesia

(Koentjaraningrat, 1985 : 239).

Sebelum masuknya agama Kristen ke daerah mereka, suku bangsa Batak

percaya bahwa kematian merupakan masa transisi saat manusia akan berpindah

dari kehidupan alam nyata menuju kehidupan alam orang mati. Mereka menyatakan

bahwa orang yang mati hanya raganya saja, sedangkan jiwanya berjalan terus

menempuh perjalanan ke alam lain (Siahaan, 1964 : 45). Maka sudah sepantasnya

ada campur tangan orang yang masih hidup untuk membantu orang mati, saat akan

berpindah ke alam kehidupannya yang baru. Konsep kepercayaan ini memunculkan

5

Page 6: 8.BAB I

daya cipta dalam mengekspresikan cara atau tingkah laku orang yang ditinggalkan

si mati saat hendak mengantarkan si mati ke alam lain. Hal ini yang pada akhirnya

berkembang menjadi sebuah upacara kematian yang dapat disebut juga sebagai

upacara penguburan primer.

Setelah lama dikubur, ternyata keluarga yang ditinggalkan masih merasa

perlu mengekspresikan konsep kepercayaannya itu lagi. Konsep kepercayaan awal,

dari hanya untuk mengantarkan si mati ke alam barunya, berkembang menjadi

keinginan untuk tetap dapat berinteraksi dengan orang-orang mati yang telah berada

di alam lain. Cara pengekspresiannya adalah dengan mengumpulkan seluruh tulang

belulang orang-orang mati ke dalam satu wadah kubur baru dalam sebuah upacara

keagamaan. Konsep kepercayaan seperti ini merupakan cikal bakal munculnya

kebudayaan ritual kematian dalam suku bangsa Batak pra-Kristen yang dinamakan

upacara penguburan sekunder mangongkal holi. Istilah sekunder dipakai karena

sebelumnya telah dilakukan upacara penguburan (primer) pada saat kematiannya.

Oleh karena itu ketika diupacarakan lagi melalui aktivitas penggalian tulang-belulang

si mati dari kubur primer, untuk dikuburkan kembali ke dalam kubur sekunder,

dapatlah disebut sebagai upacara penguburan sekunder.

Mangongkal holi berarti menggali tulang-belulang orang mati untuk

dikuburkan di tempat yang lain. Dalam bahasa batak Toba, holi berarti tulang atau

tulang belulang. Disebut juga saring-saring yaitu tulang tengkorak orang yang

meninggal (Sinaga, 1999 : 112). Berdasarkan buku Pedoman Pelaksanaan Adat

Batak dalihan natolu, alasan secara logika pengadaan upacara mangongkal holi

adalah untuk memindahkan dan mengubur tulang si mati ke batu napir (Sihombing,

6

Page 7: 8.BAB I

1989 : 44). Batu napir adalah bangunan kuburan komunal yang terbuat dari bahan

batu yang di dalamnya disediakan kapling-kapling kuburan untuk lima atau tujuh

orang yang memiliki hubungan satu keluarga (Sinaga, 1999 : 121).

Ritual mangongkal holi dilakukan sebagai bentuk penghormatan pada orang

tua termasuk di dalamnya kakek dan leluhur. Bila ada yang berpendapat bahwa

hormat kepada orang tua hanya dilakukan pada masa hidupnya, maka orang Batak

memiliki sedikit perbedaan yang cenderung menjadi unik. Mereka tetap

menghormati orang tua mereka meskipun telah lama mati dengan cara memelihara

kuburannya atau menyimpan tulang-belulangnya di dalam kubur sekunder (batu na

pir) (Sinaga, 2000 :112 - 118).

Namun ada juga yang mengatakan bahwa upacara mangongkal holi

merupakan sebuah pemborosan karena pembuatan makam yang indah untuk

tulang-belulang yang meninggal tidak mungkin bisa dinikmatinya lagi. Upacara

mangongkal holi telah menjelma menjadi sebuah kesempatan menunjukkan pamer

status sosial bagi anak cucunya yang telah meraih kesuksesan (Situmorang, 1992 :

212. Rambey : 2001, Silalahi, 2005).

Dari pengamatan sekilas pada data etnografi upacara mangongkal holi,

penulis melihat adanya beberapa transformasi yang terjadi, pada beberapa unsur

upacara tersebut. Rentang masa yang panjang dari masa megalitik hingga

sekarang, sangat mungkin mengakibatkan terjadinya transformasi sosial budaya

masyarakat Batak yang awalnya terisolir di Pulau Samosir. Oleh karena itu,

penelitian ini akan mencoba membahas seberapa jauh transformasi pada upacara

mangongkal holi terjadi dari masa dahulu hingga sampai masa terkini.

7

Page 8: 8.BAB I

Berdasarkan kamus riset (Komaruddin : 1984), kata “transformasi” diartikan

sebagai perubahan bentuk atau struktur dari sebuah bentuk ke bentuk lainnya.

Transformasi terhadap upacara mangongkal holi tidak hanya akan ditinjau dari

perubahan bentuk fisik kubur masyarakat Batak tetapi juga dilihat dari aspek ide

atau gagasan (ideology) terlaksananya upacara itu, perilaku manusianya sendiri

yang menjalankan ritual upacara mangongkal holi, dan peralatan yang diciptakan

manusia pendukung budaya tersebut untuk dipakai sebagai alat bantu dalam

penyelenggaraan upacara tersebut.

Upacara penguburan sekunder mangongkal holi menarik untuk dipelajari,

karena kajian secara ilmiah terhadap bentuk kebudayaan seperti itu di Indonesia

masih sangat jarang. Melalui penelitian disiplin ilmu arkeologi, diharapkan upacara

itu semakin jelas dipahami maknanya oleh masyarakat umum terutama generasi

penerus suku bangsa Batak. Mereka semakin cenderung tidak mengerti akan

identitas asli suku mereka akibat semakin hilang ditelan perubahan zaman. Melalui

pemahaman tersebut, diharapkan muncul kesadaran untuk melestarikan upacara

tersebut sebagai kekayaan budaya warisan nenek moyang, dan tentu saja

bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya disiplin ilmu arkeologi.

B. RUMUSAN MASALAH

Dari uraian di atas, ada masalah menarik dalam Upacara Penguburan

Sekunder Mangongkal Holi pada masyarakat Batak Toba di wilayah kabupaten Toba

Samosir, yang hendak dikaji lebih lanjut melalui disiplin ilmu Arkeologi. Masalah

yang akan dijawab dirumuskan sebagai berikut :

8

Page 9: 8.BAB I

1. Bagaimana proses ritual upacara mangongkal holi berlangsung pada masa

pra Kristen dan Kristen ?

2. Bagaimana bentuk transformasi wujud kebudayaan (ide atau gagasan,

aktivitas atau perilaku dan artefak) pada upacara mangongkal holi ?

Tujuan penelitian upacara mangongkal holi ini adalah untuk melihat adanya

fenomena transformasi pada salah satu unsur kebudayaan, yaitu religi pada

masyarakat Batak Toba. Fenomena transformasi kebudayaan religi merupakan

gejala perubahan kepercayaan atau agama orang Batak secara berkesinambungan

dari pra-Kristen menjadi Kristen yang masih dapat dirasakan pada masa sekarang.

C. METODE PENELITIAN

Fenomena transformasi dapat dianalisis secara metodologis untuk

menjelaskan faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya perubahan demi

perubahan. Etnografi adalah pekerjaan pendeskripsian suatu kebudayaan dengan

tujuan untuk mendapatkan pandangan hidup dari sudut pandang emik (pendukung

kebudayaan yang dikaji atau yang dideskripsi) atau sudut pandang etik (orang-orang

dari luar kebudayaan yang dikaji atau yang dideskripsi) (Spradley, 1997 : 3). Dapat

ditarik sebuah pemahaman, bahwa etnoarkeologi merupakan ilmu arkeologi yang

menggunakan pendekatan dengan menggunakan data etnografi untuk menangani

masalah-masalah Arkeologi (Mundarjito, 1981: 17).

Dalam penelitian ini, etnoarkeologi tidak hanya sekedar membuat sebuah

dokumentasi upacara kematian atau penguburan sekunder, yang lazim digunakan

9

Page 10: 8.BAB I

sebagai analogi dalam memecahkan masalah-masalah rekonstruksi kebudayaan

pada masyarakat yang sudah punah, dengan hanya menyisakan sisa-sisa budaya

materi (data Arkeologis) saja. Pemakaian pendekatan etnoarkeologi dalam

penelitian ini, diharapkan akan mampu menghasilkan model-model upacara

kematian atau penguburan sekunder dari beberapa dimensi waktu. Hasil dari

penelitian etnoarkeologi ini adalah sebuah hipotesis tentang terjadinya transformasi

budaya pada upacara mangongkal holi dari masa pra-Kristen ke masa sesudah

terjadinya misi pengkristenan hingga sampai masa terkini.

Analisis data bersifat kualitatif, karena yang akan diteliti berupa upacara

yang berkonteks dengan ideologi manusia yang tidak dapat dihitung besarannya.

Metode kualitatif ini lebih peka dalam menyesuaikan dengan nilai data bila

dibandingkan dengan kuantitatif. Adapun beberapa prinsip dasar yang digunakan

sebagai karakteristik penelitian kualitatif (Moleong,1996 : 4-8) adalah sebagai

berikut :

1. Peneliti sebagai alat (instrumen) yang dapat menilai dan mempertanggung

jawabkan kebenaran ilmiah dari penelitiannya.

2. Peneliti menggunakan penalaran logika secara induktif yang menarik kesimpulan

umum akan dari data-data tiap kesimpulan khusus.

3. Deskriptif analitis. Peneliti mendeskripsikan data dengan menginterpretasikannya

secara tepat dan bertanggung jawab, untuk memperoleh fakta atau gejala tertentu

yang didapat dari hasil penelitian.

10

Page 11: 8.BAB I

4. Adanya “batas” yang ditentukan oleh “fokus”. Peneliti membatasi penelitiannya

atas dasar fokus penelitian yang sudah jelas, yaitu transformasi unsur kebudayaan

religi pada upacara mangongkal holi dari masa pra Kristen hingga masa Kristen.

5. Desain penelitian bersifat sementara. Peneliti telah menyusun secara terus-

menerus desain penelitian yang mudah disesuaikan dengan kenyataan lapangan

(tidak menggunakan desain yang telah disusun secara ketat dan kaku), selama tidak

keluar dari jalur fokus penelitian yang telah ditetapkan sejak awal.

6. Peneliti melaporkan hasil penelitiannya (hipotesis) kepada orang yang dijadikan

sebagai sumber data. Hal ini disebabkan karena pemberi data berhak

mengetahuinya, disamping akan menjadi lebih baik verifikasinya apabila

dikonfirmasikan ulang dengan orang-orang yang ada kaitannya dengan yang diteliti.

Dari prinsip-prinsip dasar tahapan penelitian diatas, tahapan penelitian akan

dilakukan dalam empat tahap yaitu :

1. Tahap Pengumpulan data

1.a. Studi kepustakaan dan dokumentasi

Studi kepustakaan merupakan tahapan pengumpulan data sekunder, yang

mendukung terhadap penelitian ini. Dalam kasus penelitian terhadap upacara

mangongkal holi, transformasi kebudayaan diteliti melalui data sejarah, data

arkeologis, dan data etnografi. Data sejarah diperoleh melalui sumber-sumber lisan

maupun tulisan (buku-buku sejarah, arsip, sumber dari internet) yang menerangkan

tentang adanya upacara tersebut dalam masyarakat Batak dari masa terawal hingga

masa terkini. Data arkeologis diperoleh melalui temuan tinggalan artefaktual seperti

kubur-kubur sekunder di Pulau Samosir dan pengamatan jenis-jenis benda

11

Page 12: 8.BAB I

artefaktual yang pernah dideskripsikan pada sumber-sumber arsip dan benda-benda

artefaktual yang dipakai pada saat upacara mangongkal holi sampai saat ini. Data

etnografi diperoleh melalui pengamatan langsung (observasi partisipatif) pada saat

penyelenggaraan sebuah ritual upacara mangongkal holi. Selain itu, data dapat juga

diperoleh melalui pencarian dokumentasi foto atau video tentang upacara

mangongkal holi. Selain itu, data dapat diperoleh dari sumber lain seperti pencarian

data melalui situs internet, dokumentasi hasil foto / gambar yang pernah diterbitkan,

pengamatan melalui beberapa dokumentasi video upacara mangongkal holi yang

pernah berlangsung.

1.b.Observasi ke lapangan

Data primer diperoleh melalui observasi partisipasi di lapangan. Dalam observasi

dilakukan wawancara. Tehnik wawancara yang digunakan adalah wawancara bebas

berstruktur dan responden diarahkan peneliti bercerita seluas-luasnya tentang objek

material maupun non material dari upacara mangongkal holi tersebut. Kegiatan

wawancara juga berguna untuk mencocokkan keterangan yang diperoleh dari

sumber lainnya. Hasil wawancara ini tidak dapat begitu saja digunakan namun harus

dikritik dahulu kebenarannya sehingga akan didapat data-data yang cukup valid.

Kritik kebenaran hasil wawancara dapat dilakukan melalui perbandingan jawaban

yang diperoleh dari para informan yang menggunakan pertanyaan yang sama.

Jawaban-jawaban dari para informan akan dipilih berdasarkan jawaban yang

memiliki tingkat kebenaran yang tertinggi dari sudut pandang penulis dan penulis

bertanggung jawab akan pemilihan jawaban itu.

12

Page 13: 8.BAB I

2. Klasifikasi data

Keseluruhan data objek penelitian baik berupa data sejarah, data arkeologi,

maupun data etnografi dideskripsikan kemudian berdasarkan masa pra-Kristen atau

masa sesudah pengkristenan, sehingga diharapkan akan dapat dilihat perbedaan

yang menguatkan akan hipotesis terjadinya transformasi budaya pada upacara

mangongkal holi.

3. Analisis Data

Dalam penelitian ini, data etnografi upacara mangongkal holi pada masa

sekarang akan dibandingkan dengan data upacara mangongkal holi pada masa

lampau. Wujud transformasi terhadap upacara mangongkal holi tersebut akan dilihat

melalui hasil data-data perbandingan yang muncul, apakah telah terjadi perubahan-

perubahan wujud kebudayaan (dalam bentuk ide atau gagasan, aktivitas atau

perilaku, maupun kelengkapan upacara atau artefak).

Tahapan ini juga akan melihat secara kualitatif faktor internal dan eksternal

yang membuktikan telah terjadi transformasi budaya. Adapun cara menganalisisnya

berdasarkan parameter wujud kebudayaan itu sendiri, yaitu : wujud ide atau

gagasan, wujud aktivitas atau tingkah laku, dan wujud kebendaan atau artefak.

Ketiga variabel wujud kebudayaan tersebut masing-masing terdiri dari berbagai

komponen parameter pengamatan, yang dapat dijabarkan pada bagan dibawah ini :

13

Page 14: 8.BAB I

pengamatan transformasi budaya upacara mangongkal holi

gagasan / ide Pelaku dan aktivitas budaya materi

1. Makna dan fungsiupacara terhadappenyembahan ataupenghormatankepada leluhur

1.Tata cara ritual 2. Pelaku upacara

1. Perlengkapan upacara2. Wadah kubur

4. Tahap kesimpulan

Pada tahap ini, diharapkan penelitian telah memberikan suatu gambaran

yang jelas berupa hipotesis untuk menjawab sejauh mana telah terjadi transformasi

kebudayaan dalam upacara mangongkal holi tersebut.

14