84776785-Fraktur-Maksila-Mandibula

14
FRAKTUR MAKSILA GEJALA KLINIS Gejala klinis pada fraktur maksila terdiri dari: 1. Anterior open bite Pada le fort I, apabila oklusi terganggu biasanya terjadi kontak prematur pada daerah posterior yang mengakibatkan gigitan terbuka pada daerah anterior. 2. Racoon eyes 3. Diplopia 4. Kadang – kadang CSF rhinorhea/ootrhea Rhinorhea / otorhea cerebrospinal fluid Robeknya meningea (selaput otak) akan mengakibatkan kebocoran cairan serebrospinal (CSS) dan hilangnya barier meningeal terhadap infeksi. Kebocoran CSS paling sering terjadi pada fraktur os. Ethmoidalr /os. Temporale. Akumulasi CSS pada sinus ethmoidale, sinus frontalis, dan sinus maksilaris dapat terjadi. Sistem klasifikasi le fort Fraktur bagian tengah wajah meliputi fraktur yang terjadi pada maksila, zigoma dan kompleks nasoorbitoetmoid. Biasanya fraktur bagian tengah wajah diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi Le Fort. Makin ke in ferior lokasi fraktur, makin rendah nomornya, misalnya Le Fort I atau horizontal, Le Fort II atau pyramidal, dan Le Fort III atau craniofacial disjunction. Fraktur Le Fort I Fraktur le fort tipe I disebabkan oleh tekanan yang berasal dari apical gigi. Fraktur ini menyebabkan terpisahnya prosesus alveolaris dan palatum durum dari basis maksila atau palatinanya. Pasien kadang merasa bahwa maksilanya dapat bergerak. Apabila oklusi terganggu biasanya terjadi kontak premature pada daerah posterior yang mengakibatkan gigitan terbuka pada`daerah anterior. Palpasi pada`tulang alveolar bagian bukal menimbulkan rasa nyeri khususnya pada daerah pendukung. Deformitas tangga (perubahan bentuk) dan gangguan kontinuitas yang sering terlihat bilateral dan melibatkan dinding lateral sinus maksilaris, akan mendukung diagnosis. Apabila pergeseran sangat nyata, akan mengakibatkan tergantungnya maksila dan pemisahan ini terlihat dengan jelas pada proyeksi wajah anterolateral. Hypoesthesia dari nervus infraorbital dapat megakibatkan edema yang dapat terjadi secara cepat. Fraktur maksila unilateral dapat juga terjadi, dengan fraktur yang mengarah ke garis sutura palatal ataupun ke daerah di sekitarnya. Daerah ecchymosis pada palatal biasanya terjadi bersama-sama dengan maloklusi ataupun displacement dari fragment fraktur. Fraktur Le Fort II Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin secara klinis mirip dengan fraktur hidung. Bila fraktur horizontal biasanya berkaitan dengan tipisnya dinding sinus, fraktur pyramidal melibatkan sutura-sutura. Sutura zygomaticomaxilaris dan nasofrontalis/ nasolacrimalis merupakan sutura yang paling sering terkena. seperti padafraktur Le Fort I bergeraknya lengkung rahang atas, bisa merupakan suatu keluhan atau ditemukan saat pemeriksaan. Derajat gerakan sering tidak lebih besar dibanding fraktur Le Fort I, seperti juga gangguan oklusinya tidak separah pada fraktur Le Fort I (horizontal). Kadang-kadang terjadi mati rasa pada daerah kulit yang dipersyarafi oleh n. infraorbitalis (V2). Manifestasi klasik dari fraktur ini adalah edema periorbital bilateral. Pada waktu itu juga terjadi bersama- sama dengan ecchymosis, dan akan disebut ‘raccon sign’. Kondisi ini dapat terjadi karena trauma secara langsung

Transcript of 84776785-Fraktur-Maksila-Mandibula

FRAKTUR MAKSILA

GEJALA KLINISGejala klinis pada fraktur maksila terdiri dari:

1. Anterior open bitePada le fort I, apabila oklusi terganggu biasanya terjadi kontak prematur pada daerah posterior yang

mengakibatkan gigitan terbuka pada daerah anterior.2. Racoon eyes3. Diplopia 4. Kadang – kadang CSF rhinorhea/ootrhea

Rhinorhea / otorhea cerebrospinal fluidRobeknya meningea (selaput otak) akan mengakibatkan kebocoran cairan serebrospinal (CSS) dan

hilangnya barier meningeal terhadap infeksi. Kebocoran CSS paling sering terjadi pada fraktur os. Ethmoidalr /os. Temporale. Akumulasi CSS pada sinus ethmoidale, sinus frontalis, dan sinus maksilaris dapat terjadi.

Sistem klasifikasi le fortFraktur bagian tengah wajah meliputi fraktur yang terjadi pada maksila, zigoma dan kompleks

nasoorbitoetmoid. Biasanya fraktur bagian tengah wajah diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi Le Fort. Makin ke in ferior lokasi fraktur, makin rendah nomornya, misalnya Le Fort I atau horizontal, Le Fort II atau pyramidal, dan Le Fort III atau craniofacial disjunction.

Fraktur Le Fort IFraktur le fort tipe I disebabkan oleh tekanan yang berasal dari apical gigi. Fraktur

ini menyebabkan terpisahnya prosesus alveolaris dan palatum durum dari basis maksila atau palatinanya. Pasien kadang merasa bahwa maksilanya dapat bergerak. Apabila oklusi terganggu biasanya terjadi kontak premature pada daerah posterior yang mengakibatkan gigitan terbuka pada`daerah anterior. Palpasi pada`tulang alveolar bagian bukal menimbulkan rasa nyeri khususnya pada daerah pendukung. Deformitas tangga (perubahan bentuk) dan gangguan kontinuitas yang sering terlihat bilateral dan melibatkan dinding lateral sinus maksilaris, akan mendukung diagnosis. Apabila pergeseran sangat nyata, akan mengakibatkan tergantungnya maksila dan pemisahan ini terlihat dengan jelas pada proyeksi wajah anterolateral.Hypoesthesia dari nervus infraorbital dapat megakibatkan edema yang dapat terjadi secara cepat. Fraktur maksila unilateral dapat juga terjadi, dengan fraktur yang mengarah ke garis sutura palatal ataupun ke daerah di sekitarnya. Daerah ecchymosis pada palatal biasanya terjadi bersama-sama dengan maloklusi ataupun displacement dari fragment fraktur.

Fraktur Le Fort IIFraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin secara klinis mirip dengan

fraktur hidung. Bila fraktur horizontal biasanya berkaitan dengan tipisnya dinding sinus, fraktur pyramidal melibatkan sutura-sutura. Sutura zygomaticomaxilaris dan nasofrontalis/ nasolacrimalis merupakan sutura yang paling sering terkena. seperti padafraktur Le Fort I bergeraknya lengkung rahang atas, bisa merupakan suatu keluhan atau ditemukan saat pemeriksaan. Derajat gerakan sering tidak lebih besar dibanding fraktur Le Fort I, seperti juga gangguan oklusinya tidak separah pada fraktur Le Fort I (horizontal). Kadang-kadang terjadi mati rasa pada daerah kulit yang dipersyarafi oleh n. infraorbitalis (V2).

Manifestasi klasik dari fraktur ini adalah edema periorbital bilateral. Pada waktu itu juga terjadi bersama-sama dengan ecchymosis, dan akan disebut ‘raccon sign’. Kondisi ini dapat terjadi karena trauma secara langsung

ataupun dapat berasal dari peningkatan edema yang cepat. Maloklusi dapat terjadi dan ini biasanya terjadi bersamaan dengan open bite. Tahap-tahap deformitas dapat dipalpasi pada area infraorbital. Perubahan bentuk ini dapat ditonjolkan dengan mencapai gigi anterior maksiladan menggerakkan fraktur secara anterior-posterior. Fraktur yang besar dari dasar orbital ataupun dinding medial dapat terjadi bersama-sama dengan fraktur ini. Cairan rhinorrhea cerebrospinal dapat juga dideteksi selanjutnya. Epistasis juga sering ditemukan.

Fraktur Le Fort IIIFraktur Le Fort III atau craniofacial disjunction, merupakan cedera yang parah.

Bagian tengah wajah benar-benar terpisah dari tempat perlekatannya yakni basis crania. Fraktur ini biasanya disertai dengan cedera kranioserebral, yang mana bagian yang terkena trauma dan besarnya tekanan dari trauma yang bisa mengakibatkan pemisahan tersebut, cukup kuat untuk mengakibatkan trauma intracranial. Di sini terjadi perdarahan subkonjungtiva dalam berbagai tingkat keparahan, dan kelompak mata mengalami pembengkakan, disertai ekimosis/ edema periorbital bilateral. Pemeriksaan klinis memberi hasil mengejutkan.

Diagnosis

Otot pterygoid internal dan eksternal bersama-sama mempunyai tanggungjawab terhadap adanya tarikan posterior dan inferior pada fraktur maksila. Ini akan benar apakah le Fort tipe I atau Le Fort tipe II.Suplai darah ke maksila yaitu melalui arteri palatina mayor. Bersamaan dengan arteri alveolar superior dan posterior, mereka menyuplai palatum lunak dan palatum keras. Pada regio anterior, cabang terminal dari artery nasopalatina mencapai foramen incisivum, dan menyuplai mucoposterium dari bagian anterior palatum. Suplai saraf sensori yaitu melalui divisi dua dari syaraf trigeminal. Syaraf ini keluar dari foramen infraorbital dan kemudian menyuplai regio nasal lateral, labial superior, dan palpebral inferior. Syaraf ini juga menyuplai mukosa labial dan gigi bagian anterior.

Fraktur Le Fort type IFraktur Le Fort tipe I disebabkan oleh gaya yang diterima diatas apek gigi. Fraktur ini biasanya berupa

displacemen posterior dan inferior yang seringnya menyebabkan open bite. Fraktur ini dapat diperlihatkan sebagai impaksi, immovable, atau free-floating segment.Hypoesthesia dari syaraf infraorbital dapat menyebabkan edema yang dapat terjadi dengan sangat cepat. Fraktur maksila unilateral dapat juga terjadi, dengan fraktur yang tentunya melewati garis sutura palatal atau yang berdekatan dengan itu. Area ecchymotic palatal biasanya dapat mendeteksi adanya fragmen fraktur, bersamaan dengan maloklusi atau displasmen. Dengan memegang incisivus maksila, kegoyangan (mobilitas) maksila dapat dideteksi.

Le Fort tipe II atau Fraktur PiramidalFraktur Le Fort tipe II biasanya dihubungkan dengan fraktur piramidal, dengan apek piramid adalah sutura

nasofrontal. Manifestasi klasik dari fraktur ini adalah edema periorbital bilateral, pada beberapa kejadian dihubungkan dihubungkan dengan ecchymosis, memberikan peningkatan ‘’raccoon sign’’. Hypoesthesia dari syaraf infraorbital biasanya dapat juga ditemukan. Kondisi ini terjadi oleh karena trauma langsung atau karena perkembangan edema yang sangat cepat. Maloklusi dapat juga dideteksi dan biasanya dihubungkan dengan openbite. Tingkat kerusakan yang terjadi dapat dipalpasi pada area area dekat infraorbital. Tingkat kerusakan ini dapat juga dideteksi pada area sutura nasofrontal. Kerusakan ini dapat dipertegas dengan memegang gigi maksila anterior dan menggerakan fraktur komplek ke arah anteroposterior. Kerusakan yang terjadi di dasar orbita atau pada dinding medial dapat dihubungkan dengan fraktur ini. Cairan cerebrospinal rhinorrhea dapat juga dideteksi namun tidak utama. Epistaksis dapat juga ditemukan.

PERAWATANDasar penata-laksanaan fraktur wajah bagian tengah adalah imobilisasi atau mempertahankan posisi

bagian fraktur antara struktur superior yang utuh dengan mandibula di bagian inferior. Hal tersebut dicapai dengan melakukan fiksasi skeletal eksternal dan Internal biasanya dikombinasikan dengan fiksasi maksilomandibular. Menempatkan fragmen atau unit fraktur ke posisi yang benar dengan mandibula yang utuh akan mengarahkan frakmen ke anteroposterior (koronal) dan mediolateral (sagital) sehingga hanya hubungan superior/inferior yang masih harus diperbaiki. Karena penempatan ke superior yang berlebihan hampir tidak mungkin, maka dilakukan usaha untuk imobilisasi unit-unit fraktur setinggi mungkin. Deformitas sisa yang terjadi pada fraktur wajah bagian tengah meliputi wajah yang tampak iebih panjang dan dish face. Wajah yang panjang bisa djhindari dengan melakukan reposisi superior yang baik. Dish face diakibatkan karena beberapa fragmen fraktur bergeser ke posterior atau posterior canting dari aspek superior segmen fraktur pada waktu imobilisasi. Komplikasi ini sulit dihindari dan perlu dilakukan koreksi sekunder.

a. Fiksasi skeletal internalFiksasi skeletal internal dilakukan dengan melekatkan kawat suspend (baja tahan karat ukuran 0,018 atau

0,2 inchi, 0,45 atau 0,5 mm) pada titik tertentu di tulang bagian superior. Bagian yang paling sering adalah aperture, piriformis, spina nasalis, tonjolan malar, arcus zygomaticus dan prosesus zygomaticus ossis frontalis (lihat Gb. 10-33 C). Dengan perkecualian pengawatan sirkumzigomatik yang ditempatkan dengan menggunakan teknik awl atau jarum lurus ganda, penempatan alat ini memerlu-kan diseksi dan pembuatan lubang pada tulang. Fiksasi kraniomaksilar terdiri atas perlekatan kawat suspensi pada maksila (atau pada alat), sedangkan perlekatan terhadap mandibula disebut fiksasi kraniomandibular. Apabila mandibula utuh, atau karena perawatan bisa stabil, maka fiksasi kraniomandibular Iebih dianjurkan dibanding kraniomaksilar, karena pendekatan ini merupakan perlekatan terbaik untuk mempertahankan posisi komponen maksila yang mengalami fraktur (Gb. 10-44).

b. Fiksasi skeletal eksternal

Fiksasi skeletal eksternal tergantung penggunaan headcap yang terbuat dari gips atau frame halo (Gb. 10-45). Headcap dipasang dengan tempat untuk perlekatan kawat sus-pensi (heavy welding rods bekerja dengan baik). Alat halo ditempatkan menempel kranium dengan menggunakan sekrup yang menembus lembaran tulang kor-tikal sebelah hiar. Kedua alat tersebut mempunyai manfaat yang nyata: memungkinkan perlekatan kawat suspensi dalam arah anterosuperior, yang tidak bisa dicapai dengan fiksasi eksternal, yang dapat mem-bantu dalam menangani kasus komplikasi dish face. Peralatan ini juga diperlengkapi dengan sistem untuk aktivasi dengan menggunakan elastik. Tekanan aktif yang diperlukan untuk mereduksi impaksi atau fraktur yang sudah lama terjadinya bisa dicapai dengan menggunakan kawat yang mcnyilang pipi ke alat maksilar,yang diaktifkan dengan elastik. Baik headcap maupun halo tidak nyaman, dan sukar ditoleransi oleh pasien.

c. Reduksi terbukaPeranan reduksi terbuka pada penanganan fraktur wajah bagian tengah tidaklah sebesar pada fraktur

mandibular. Pengawatan transoseus pada tempat di mana terjadi pemisahan sutura mengarahkan frakmen fraktur dengan tepat pada satu atau lebih dataran, tetapi jarang memberikan stabilisasi atau imobilisasi yang baik, yang sangat diperlukan. Pelat tulang (pelat adaptasi) pada fraktur maksilar tertentu kadang-kadang diindikasikan pada keadaan khusus yang memerlukan ostesintcsis, misalnya keadaan yang secara umum merupakan kontraindikasi atau tidak dapat mentoleransi fiksasi mandibular

Penanganan fraktur le fort I

1. Fraktur le fort IDirawat dengan menggunakan arch bar/alat maksila dan

mandibula, fiksasi maksilomandibula, dan suspensi kraniomandibular yang didapatkan dari pengawatan sirkum zigomatik. Apabila segmen frakttur mengalami impaksi, maka dilakukan pengungkitan. Untuk itu diperlukan tekanan yang besar, baik secara langsung menggunakan tang pengungkit, atau secara langsung menggunakan tang pengungkit, atau secara tidak langsung dengan mengunakan tekanana pada alat gigi rahang atas (splint/arch bar). Tahapan yang paling kritis adalah reduksi fraktur maksila dengan jalan mendorong (dengan jari) mandibula ke arah superior ( tekanan balik akan terjadi di daerah dahi) sebelum dilakukan pengawatan dengan kawat suspensi. Kawat suspensi secara tidak langsung dilekat pada alat mandibular (splint/arch bar) dengan menggunakan kawat skunder. Apabila tidak berhasil mendapatkan suspensi pada fraktur le fort I maka bisa terjadi hilangnya freeway space, atau cacat kosmetik yaitu wajah panjang, atau keduanya.

2. Fraktur le fort IIPenatalaksanaan fraktur le fort II atau piramida serupa dengan le fort I. Perbedaan yang mendasar adalah

perlu dilakukan juga perawatan fraktur nasal dan dasar orbita. Fraktur nasal biasanya direduksi dengan teknik tertutup (close reduction) menggunakan molding digital dan splinting.

3. Fraktur le fort IIIFraktur le fort III, craniofasial disjunction, dirawat dengan menggunakan arch bar/ alat lain, fiksasi

maksilomandibular, pengawatan langsung bilateral, atau pemasangan plat pada sutura zigomatikofrontalis dan suspensi kraniomandibular pada prosessus zigomatikus ossis frontalis. Seperti pada fraktur le fort I, gaya ke arah superior yang mengenai mandibula pada waktu memasang kawat fiksasi merupakan persyaratan yang penting (kritis) untuk keberhasilan perawatan. Apabila kawat suspensi dari alat/pesawat maksilar atau mandibular (fiksasi ekstraskeletal) dilekatkan pada headcap atau pesawat halo, diperlukan pula reduksi manual terhadap elemn fraktur. Jangka waktu untuk imobilisasi fraktur le fort bervariasi4-8 minggu, tergantung sifat fraktur dan kondisi pasien. Rontgen pasca-reduksi dan pasca-imobilisasi diperlukan untuk semua fraktur wajah bagian tengah, seperti halnya pada fraktur mandibular.

FRAKTUR MANDIBULA

Etiologi dan insidensi

Literatur menunjukkan bahwa 43% dari fraktur mandibula diakibatkan oleh kecelakaan lalulintas, 34% dikarenakan suatu serangan, 7% dikarenakan suatu hubungan kerja, 7% terjadi dikarenakan jatuh, 4% terjadi dalam kecelakaan olahraga, dan sisanya dikarenakan berbagaimacam hal. Luka dental dan wajah yang terjadi pada kecelakaan olahraga secara khusus telah dievaluasi oleh Hill et al; dari 130 pasien, 31% menderita fraktur mandibula, dan 26% mengalami fraktur alveolar dan dental. Sane dan Ylipaavalniemi mempelajari 8640 kecelakaan yang terjadi pada pemain sepak bola Finnish. Mereka menemukan 6,4% luka terjadi pada region maxillofacial dan dental. Dalam hal ini, 81% berpengaruh pada gigi atau prosesus alveolaris, dan 11% fraktur pada mandibula dan pertengahan ketiga dari wajah. Linn et al melaporkan pada 319 pasien untuk kecelakaan dalam olahraga di Netherland, 15% pasien yang mengalami fraktur mandibula dan 5,5% fraktur prosesus alveolaris mandibula atau mengalami gigi luxasi atau keduanya.

Terdapat sedikit pembelajaran pada fraktur mandibula yang diakibatkan oleh luka tembakan pada pegawai sipil. Khalil dan Shaladi dari Libya melaporkan dari 18 pasien, 8 mengalami fraktur mandibula dan luka jaringan lunak. Kasus ini berkaitan dengan perkelahian, yang lainnya karena kecelakaan. France Vaillant dan Benoist mengevaluasi 14 kasus dari luka tembakan pada mandibula. Usia pasien berkisar antara 6 sampai 68 tahun. Dua anak merupakan korban kecelakaan, dan yang dewasa korban pembunuhan atau penyerangan.

Dental implant telah merevolusi perawatan restorative dari pasien edentulous pada decade terakhir. Sayangnya sambungan penempatan dan muatan implant telah patah. Sejak implantasi menjadi popular, fraktur pada mandibula dan tulang maxillofacial lain menjadi lebih umum. Sejumlah resorpsi osseous sekunder pada penggunaan protesa dalam jangka waktu yang panjang dan peningkatan insiden dari abnormalitas metabolic pada populasi usia lanjut tersedia untuk lower grade pada penerimaan tulang. Untuk alasan ini, seleksi pasien yang tertinggi, dan melekat pada prinsip osteointegrasi yang bagus memberikan hasil yang lebih baik. Manson et al menjelaskan penyebab dari fraktur sebagai penurunan masa tulang, defisiensi mineral tulang dari tulang atrophic dan pergeseran tulang, penekanan selama penempatan implant, dan tempat tekanan tensil selama fungsi mandibula. Pada beberapa kasus lanjutan, Tolman dan Keller menganjurkan pada implant yang mengalami undergone osteointegration dan termasuk kedalam garis fraktur sebaiknya tidak dikembalikan. Implan yang terinfeksi tentu harus dikembalikan. Penggunaan dari open reduction and internal fixation (ORIF) harus dihindari dikarenakan oleh sejumlah patahan periosteal dan sejumlah tulang pada atrophic mandibula. Untuk alasan ini, perawatan konservatif pada fraktur merupakan pilihan terbaik.

Klasifikasi Fraktur mandibula menurut daerah terjadinya fraktur diklasifikasikan menjadi:

1. Fraktur dento-alveolar2. Symphyseal, parasymphyseal3. Badan mandibula4. Angle5. Ramus6. Koronoid dan7. Kondilus

Fraktur mandibula dapat terjadi beriringan dengan trauma pada bagian lain seperti mulut (termasuk fraktur mandibula yang terjadi melewati membran periodontal gigi), atau kulit, atau dapat hanya berupa fraktur yang simpel atau kominutif.

Perawatan standar untuk fraktur mandibula adalah open reduction and internal fixation (ORIF) dengan mini-plates. Fraktur mandibula pada pasien dengan trauma pada gigi bisa di reduksi dan diperbaiki menggunakan intermaxillary fixation (IMF) yang dicapai dengan penempatan arch bars.

Jika pasien memiliki gigi yang sedang atau baru erupsi setengahnya pada garis fraktur, maka harus dipertimbangkan apakah gigi tersebut harus dicabut untuk menghindari kecenderungan terjadinya infeksi lanjut atau gigi tersebut dapat dipertahankan. Pada umumnya ahli bedah akan cenderung mempertahankan daripada mencabutnya kecuali gigi tersebut mengalami fraktur, memiliki karies yang besar atau memiliki patologi periapikal.Fraktur kondilus yang tidak mengganggu oklusi biasanya dirawat secara konservatif, yaitu dengan soft diet dan pemeriksaan rutin. Perawatan dengan cara IMF selama2 minggu biasa digunakan jika fraktur mandibula menyebabkan terganggunya oklusi.

Tanda KlinisSebagai dokter gigi yang berkompeten kita harus tahu dan memahami apa saja tanda-tanda dari fraktur

mandibula untuk memudahkan proses diagnosa. Berikut adalah beberapa tanda dari adanya fraktur mandibula.1. Perubahan oklusi

Pasien dengan fraktur mandibula biasanya memiliki gangguan oklusi, sebagai klinisi kita bisa menanyakan pada pasien mengenai ada atau tidaknya kelainan yang dirasakan ketika mereka mengoklusikan gigi karena, perubahan oklusi dapat di anggap sebagai tanda diagnostik utama dari fraktur mandibula. Fraktur pada gigi, tulang alveolar, trauma TMJ serta otot pengunyahan bisa menyebabkan kelainan oklusi ini. Sebagai contoh:

Kelainan Oklusi Daerah yang diduga mengalami fraktur

• Kontak prematur gigi post.• Openbite anterior

Kondilus atau sudut mandibula (bilateral)

Openbite posterior Prosesus alveolar anterior atau daerah parasymphyseal

Posterior crossbite Kondilus dan midline symphyseal dengan miringnya segmen posterior dari mandibula

Retrognatik Kondilus dan sudut mandibulaUnilateral openbite Sudut ipsilateral dan

parasymphysealPrognatik Efusi TMJ

2. Anestesia, Parestesia atau Disestesia Bibir Bawah

Hal ini berkaitan dengan gangguan pada nervus alveolar inferior dimana nervus ini melewati foramen mandibula. Jika bibir bawah mati rasa, mungkin saja terjadi fraktur pada daerah distal foramen mandibula.

3. Pergerakan Mandibula yang Abnormal

Fraktur pada daerah mandibula bisa menimbulkan keabnormalan dari pergerakan mandibula secara signifikan. Keterbatasan pembukaan mulut dan trismus bisa menjadi tanda dari fraktur mandibula. Hal ini juga berkaitan dengan kerja otot-otot pengunyahan. Salah satu contoh sederhana adalah jika terjadi fraktur kondilus unilateral maka saat pembukaan mulut akan terjadi deviasi ke daerah yang terjadi fraktur, hal ini terjadi karena fungsi dari otot pterygoid pada sisi yang tidak terkait tetap ada sehingga terjadilah deviasi.Contoh lain:Kelainan Pergerakan Mandibula Daerah yang Kemungkinan

Mengalami FrakturKetidakmampuan membuka rahang Prosesus koroniod, ramus dan lengkung

zigomatikumKetidak mampuan menutup rahang Prosesus alveolaris, ramus, sudut atau

symphysisPergerakan lateral Kondilus (bilateral), ramus dengan

displacement tulang

4. Perubahan Kontur Wajah dan Lengkung Mandibula

Perubahan kontur wajah yang disebabkan karena fraktur mandibula bisa tersamarkan dengan adanya pembengkakan, namun kita tetap harus bisa membedakannya, apalagi bila sudah terlihat adanya ketidaksimetrisan pada bentuk wajah pasien dan adanya penyimbangan dari bentuk kurva mandibula (u-shaped).

Perubahan pada wajah Daerah yang Kemungkinan Mengalami Fraktur

Bagian lateral yang lebih datar Korpus, ramus, sudut mandibulaRetruded chin Parasymphyseal (bilateral)Pemanjangan wajah Subkondilar (bilateral), sudut, korpus

menyebabkan posisi mandibula lebih ke bawah

5. Laserasi, Hematoma dan Ekimosis

Arah dan tipe fraktur bisa kita lihat dan perkirakan melalui laserasi yang terjadi namun untuk lebih tepatnya bisa dengan bantuan pemeriksaan radiografik. Ekimosis pada dasar mulut bisa mengindikasikan terjadinya trauma pada korpus mandibula dan symphyseal.

6. Hilangnya Gigi dan Krepitasi atau Palpasi

Tenaga yang kuat bisa menyebabkan kehilangan gigi dan tidak menutup kemungkinan terjadinya fraktur pada tulang dibawahnya. Sebagai dokter gigi, kita harus melakukan palpasi pada bagian mandibula dengan menggunakan kedua tangan dengan posisi ibu jari pada gigi dan jari yang lain berada di batas bawah mandibula, namun dibutuhkan pemeriksaan radiofrafis untuk memastikan fraktur tersebut. Palpasi pada tepi-teepi mandibula mungkin bisa menunjukkan deformitas seperti tangga (step deformity) apabila edema dan hematoma tidak parah. Pemeriksaan ini sering menunjukkan terpisahnya gigi satu dengan yang lain dan terputusnya kontinuitas dataran oklusal yang mengalami fraktur.

7. Dolor, Tumor, Rubor dan Color

Adanya keempat tanda ini, merupakan tanda utama dari trauma , pada daerah mandibula meningkatkan kemungkinan adanya fraktur pada daerah tersebut.

8. Kesulitan atau ketidakmampuan untuk mengunyah

Pemeriksaan radiologis juga diperlukan untuk memperkuat diagnosa, beberapa teknik foto yang bisa digunakan pada kasus fraktur mandibula ini antara lain, panoramik, lateral oblique, posteroanterior, occlusal view, periapikal view, reverse towne’s dan CT scan.

Perawatan Ada dua cara penatalaksanaan fraktur mandibula, yaitu cara tertutup/ konservatif dan terbuka/

pembedahan. Pada teknik tertutup, reduksi fraktur dan imobilisasi mandibula dicapai dengan jalan menempatkan peralatan fiksasi maksilomandibular. Pada prosedur terbuka, bagian yang fraktur dibuka dengan pembedahan, dan segmen direduksi dan difiksasi secara langsung dengan menggunakan kawat atau plat. Teknik terbuka dan tertutup tidaklah selalu dilakukan tersendiri, tetapi kadang-kadang dikombinasikan. Pendekatan ketiga adalah merupakan modifikasi dari teknik terbuka, yaitu metode fiksasi skeletal eksternal. Pada teknik fiksasi skeletal eksternal pin ditelusupkan ke dalam kedua segmen untuk mendapatkan tempat perlekatan alat penghubung (connecting appliance), yang bisa dibuat dari logam atau akrilik, yang menjembatani bagian-bagian fraktur dan menstabilkan segmen tanpa melakukan imobilisasi mandibula. Semua metode perawatan tersebut masing-masing mempunyai indikasi, keuntungan, dan kekurangan. Dasar pemikiran perawatan yang baik adalah respons fleksibel, yakni kemauan dan kemampuan untuk menggunakan teknik yang ada (alat-alat yang diperlukan), dengan profesionalisme yang memadai.

1. Reduksi tertutup

Reduksi tertutup sangat sesuai untuk penatalaksanaan kebanyakan fraktur mandibular dan secara spesifik diindikasikan untuk kasus dimana gigi terdapat pada semua segmen atau segmen edentulus di sebelah proksimal dengan pergeseran yang hanya sedikit. Indikasi metode reduksi tertutup adalah sebagai berikut:

a. Fraktur menguntungkan tanpa adanya pergeseran tempat (nondisplace favorable fracture)

b. Fraktur comunitted yang luas

c. Fraktur pada mandibula yang edentulous

d. Fraktur mandibula pada anak

e. Fraktur processus coronoidalis

f. Fraktur kondilus

Gigi-gigi sangat diperlukan untuk fungsi perlekatan alat, misalnya untuk malleable arch bars berbagai teknik perawatan, dan splint logam/ akrilik. Malleable stock arch bar tersedia dalam bentuk gulungan atau potongan-potongan dengan panjang tertentu. Arch bar dengan mudah bisa dipasang menggunakan anestesi local atau anestesi umum, dengan jalan mengikatkannya terhadap gigi menggunakan kawat baja tahan karat ukuran 0,018 atau 0,20 inchi, 0,45 atau 0,5 mm (dapat dilihat pada tabel). Kawat tersebut diinsersikan melingkari tiap-tiap gigi (melalui diatas arch bar pada satu sisi, dan di bawah arch bar pada sisi yang lain), dan ujung-ujung kawat dipilin searah dengan jarum jam. Ujung kawat yang berlebih dipotong dan dilipat sedemikian rupa sehingga tidak melukai mukosa bukal atau labial. Jika terjadi pergeseran segmen yang nyata, biasanya diatasi dengan memotong arch bar pada bagian yang mengalami fraktur, karena apabila bar menjembatani fraktur, maka akan cenderung memisahkan atau mengganggu segmen-segmennya.

Tabel ukuran kawatUkuran

gaugeDiameter

(inch) (mm)22 0,028 0,70

23 0,024 0,60

24 0,022 0,55

25 0,020 0,50

26 0,018 0,45

27 0,016 0,40

28 0,014 0,35

• Fiksasi

Fiksasi maksilomandibular dilakukan dengan menggunakan elastic atau kawat untuk menghubungkan loop (lug) arch bar atau alat maksilar dan mandibular yang lain. Apabila suatu segmen mengalami pergeseran cukup banyak, maka dianjurkan untuk melakukan imobilisasi segmen yang pergeserannya sedikit dahulu, kemudian melakukan reduksi dan imobilisasi segmen yang lain secara digital atau manual. Apabila suatu fraktur belum lama terjadi yakni kurang dari 72-96 jam, reduksi biasanya dilakukan dengan memanipulasi. Pada fraktur yang sudah lama terjadi, stabilisasi dari elemen yang tidak bergeser atau hanya bergeser sedikit, dilakukan pertama kali dengan menggunakan elastic atau kawat dan kemudian memasang elastic yang cukup kuat tarikannya terhadap segmen yang pergeserannya lebih banyak. Kawat bersifat pasif, sedangkan elastik bersifat aktif. Elastik yang dikenakan pada gigi yang tidak mempunyai antagonis akan mengakibatkan ekstruksi atau pada kasus yang lebih hebat mengakibatkan gigi lepas. Semua pasien dengan pengawatan maksilomandibular harus dibekali alat pemotong kawat yang bisa digunakan setiap saat.

• System eyelet

Pengawatan langsung yang paling sering digunakan adalah tekni eleyet (Ivy loop). Pada sistem ini kawat dipilinkan satu sama lain untuk membentuk loop. Kedua ujung kawat dilewatkan ruang interproksimal, dengan loop tetap disebelah bukal. Satu ujung dari kawat dilewatkan di sebelah distal dari gigi distal dan kembalinya di bawah atau melalui loop, sedangakan ujung yang lain ditelusupkan pada celah interproksimal mesial dari gigi mesial. Akhirnya loopnya dikencangkan dengan jalan memilinnya. Beberapa eyelet bisa ditempatkan pada gigi posterior untuk mendapatkan tempat perlekatan kawat atau elastik yang digunakan untuk fiksasi

maksilomandibular. Sistem eyelet tidak rumit dan mudah dilakukan. Ini ideal untuk penanganan kasus dengan cepat apabila diperlukan stabilitas sementara, atau apabila durasi anestesi umum harus dikurangi. Empat eyelet, dengan fiksasi maksilomandibular yang baik, sering memberikan hasil imobilisasi mandibular yang memuaskan untuk merawat fraktur subkondilar unilateral dengan pergeseran yang hanya sedikit.

Keterangan gambar :Teknik pengawatan langsung. A. Metode pengawatan langsung yang

sederhana adalah dengan ,eme,patkan kawat melingkari gigi-gigi di dekatnya pada rahang yang berlawanan. B. Kawat-kawat tersebut kemudian dikaitkan satu sama lainsedemikian rupa sehingga membentuk X (Teknik Gilmer) untuk membantu fiksasi maksilomandibular. C. Pengawatan eyelet dilakukan dengan membentuk loop kawat dan memasukkan kedua ujung kawat keruang interproksimal (1). Kedua ujung kawat kemudian dimasukkan lagi ke arah bukal (2). Ujung distal ditelusupkan ke dalam loop (3). Kemudian ujung-ujung kawat tersebut ditarik, supaya ikatannya kuat, dan akhirnya dipilinkan satu sama lain (4). (Catatan: Ujung-ujung kawat dipilin pada bagian mesial) Suatu eyelet bisa ditempatkan pada satu gigi individual dengan membentuk sebuah loop, menyusupkan ujung kawat dan kemudian memilin ujungnya pada aspek mesial (5).

• Splint

Arch bar memberikan daerah perlekatan untuk fiksasi maksilomandibular, tetapi secara teknik tidak berfungsi sebagai splint, karena jarang memeberikan imobilisasi dan stabilisasi segmen fraktur dengan baik. Suatu splint merupakan alat individual yang ditujukan untuk imobilisasi atau membantu imobilisasi segmen-segmen fraktur. Pembuatan suatu splint memerlukan bahan cetak, fasilitas labolatorium dan waktu yang relatif lama. Splint ini biasanya merupakan logam tuang (cor), atau terbuat dari akrilik. Pada fraktur komplikata, apabila reduksi oklusi yang benar tidak mudah dilakukan, orientasi model dengan menggunakan tangan dan pematahan model untuk mewakili segmen fraktur mungkin bisa mengatasi masalah ini. Splint secara khusus diindikasikan apabila terjadi kehilangan substansi tulang (misalnya luka kena tembak) untuk mencegah kolaps atau untuk mendapatkan kembali panjang lengkung rahang. Splint bisa disemenkan atau dipasang dengan kawat terhadap gigi.

• Gunning splint

Fraktur edentulus membawa problema tersendiri dalam imobilisasi. Apabila mempunyai protesa gigi maka bisa digunakan untuk fiksasi maksilomandibular. Salah satu cara adalah dengan membuat lubang pada basis akrilik di regio interproksimal gigi-gigi dari geligi tiruan dan kemudian dilakukan pengawatan arch bar terhadap basis protesa. Apabila pasien tidak memakai geligi tiruan, maka dilakukan pencetakan dan kemudian dibuat gunning splint yang mirip basis protesa dengan bite plane. Splint dibuat overclosed, karena dimensi vertical yang berlebihan sering tidak dapat ditolelir dengan baik. Geligi tiruan yang digunakan sebagai splint, atau Gunning splint sering dilapisi dengan kondisioner jaringan.

• Pengawatan sirkummandibular

Geligi tiruan atau splint mandibular sering distabilisasi dengan menggunakan tiga pengawatan sirkummandibular, satu melingkari mandibula pada regio parasimfis dan dua pada daerah posterior dari foramen mentale. Kawat-kawat ini diinsersikan dengan jarum penusuk (awl) atau metode jarum lurus ganda (double straight needle). Awl adalah sebuah jarum yang dilengkapi dengan pegangan. Pada teknik awl, jarum tersebut

ditusukkan pada kulit (yang sudah dipersiapkan) di bawah mandibula dan muncul pada dasar mulut. Awl tersebut ditelusupi kawat, ditarik, dan dilewatkan pada aspek bukal mandibula ke dalam vestibulum, di sini kawat dilepas. Kemudian kawat dilewatkan diatas geligi tiruan dan ujung-ujungnya dipuntir/dipilin agar terjadi stabilisasi. Pada teknik jarum lurus ganda, suatu jarum dilewatkan sebelah lingual dari mandibula, masuk ke dalam dasar mulut dan kawat ditarik. Yang lain diinsersikan dari bagian bukal pada titik insersi yang sama untuk menuju ke vestibulum dan kemudian ditarik. Ujung-ujung kawat tersebut dilewatkan diatas geligi tiruan kemudian dikencangkan satu sama lain.

• Stabilisasi pada geligi tiruan atas

Geligi tiruan atau splint maksila distabilisasi dengan pengawatan sirkumzigomatik, dan apabila diperlukan, insersi kawat pada apertura piriformis atau spina nasalis. Kawat sirkumzigomatik diinsersikan dengan teknik yang serupa dengan pengawatan sirkummandibular, satu ujung kawat dilewatkan di bawah (medial) arcus zygomaticus dan satu di atas (lateral). Untuk ini digunakan awl atau teknik double straight needle. Insersi pengawatan pada fossa piriformis dan spina nasalis memerlukan pengangkatan flap agar bisa mencapai tulang, membur tulang, dan melewatkan kawat (transosseus) untuk perlekatan geligi tiruan.

• Fiksasi tulang eksternal

Fiksasi tulang eksternal yang sering dipakai adalah alat fiksasi Bi-phase. Dengan alat ini, pin-pinnya diinsersikan melalui insisi kutan ke dalam tulang yang sebelumnya dilubangi dengan bur. Pin dimasukkan melalui korteks bukal dan tulang kanselus dan sedikit tertanam pada tulang kortikal lingual. Paling tidak dua pin untuk tiap-tiap segmen fraktur. Kemudian pin-pin tersebut dijembatani dengan bar (dengan menggunakan klem), dan reduksi diamati dengan sinar-X. Kemudian bar digantikan dengan konektor akrilik, yang bentuknya disesuaikan, dengan menggunakan peralatan khusus. Fiksasi eksternal untuk fraktur mandibular memberikan keuntungan dalam mereduksi dan stabilisasi segmen proksimal yang mengalami pergeseran apabila reduksi terbuka merupakan kontraindikasi, untuk mencegah kolaps dimana tulangnya banyak yang hilang, dan untuk menstabilkan segmen pada teknik grafting. Alat ini bisa digunakan untuk mengontrol segmen pada saat melakukan reseksi mandibula, karena penyakit neoplastik.

2. Reduksi terbuka

Untuk melakukan reduksi terbuka pada fraktur mandibula bisa melalui kulit atau oral. Antibiotik dan peralatan intraoral yang baik memberikan dukungan tambahan pada pendekatan peroral. Secara teknis, setiap daerah pada mandibula dapat dicapai dan dirawat secara efektif secara oral kecuali pada daerah subkondilar. Walaupun jalan masuk melalui mulut tidak semudah perkutan, modifikasi pengawatan langsung (pengawatan tepi atas atau transalveolar dan transsirkumferensial) menjadikan teknik ini mempunyai keberhasilan tinggi, dengan rasa sakit dan komplikasi yang minimal. Jika digunakan pelat tulang, pendekatan oral sering dikombinasi dengan pendekatan perkutan dengan menggunakan teknik instrumentasi transkutan.

Indikasi metode ini adalah sebagai berikut:a. Fraktur yang tidak menguntungkan (displaced unfavorable) pada sudut mandibula.

b. Fraktur yang tidak menguntungkan (displaced unfavorable) pada badan mandibula atau daerah parasimfisis mandibula

c. Terjadinya kegagalan pada metode tertutup

d. Fraktur yang membutuhkan tindakan osteotomy (malunion)

e. Fraktur yang membutuhkan bone graft

f. Multiple fraktur

Keterangan gambar :

A dan B. Reduksi terbuka peroral. A. Pergeseran superior dari segmen edentulous proksimal dikontrol dengan menginsersikan kawat transirkummandibular tunggal. Awl digunakan untuk melewatkan kawat di balik tepi bawah mandibula. B. Apabila didapatkan tulang dan jalan masuk memadai, suatu kawat tunggal bias ditelusupkan dengan metode transalveolar. C dan D. Osteosintesis. C. Pergeseran dari segmen proksimal edentulous dikontrol dengan osteosintesis perkutan memakai kawat yang ditempatkan sedemikian rupa sehingga membentuk huruf ”X”. D. Osteosintesis peroral diselesaikan dengan pelat kompresi tulang (bone plate). Pada pendekatan ini sering digunakan kombinasi peralatan perkutan / peroral.

• Reduksi tulang peroral

Reduksi tulang peroral dari fraktur mandibula sering dilakukan untuk mengendalikan fragmen edentulus proksimal yang bergeser. Situasi ini umumnya berupa fraktur yang melalui alveolus gigi molar ketiga yang impaksi/ erupsi sebagian. Tindakan dilakukan pada pasien diberi anestesi local atau sedasi atau anestesi umum. Arch bar atau alat fiksasi yang lain pertama-tama diikatkan pada tempatnya dan suatu flap envelope mukoperiosteal yang dimodifikasi (lebih besar dan terletak lebih ke arah bukal) dibuat untuk jalan masuk ke daerah molar ketiga. Molar ketiga dikeluarkan, biasanya bisa dilakukan sangat mudah dengan menggunakan elevator dan distraksi anterior dari segmen distal. Lubang unikortikal dibuat pada dinding alveolar sebelah bukal dari kedua frakmen, dan sebuah kawat baja tahan karat (0,018 atau 0,020 inch, 0,45 atau 0,5 mm) ditelusupkan ke dalamnya. Reduksi diakhiri dengan manipulasi manual (seringkali segmen proksimal dipegang dengan tang pemegang tulang. Stabilisasi awal didapatkan dari banyaknya gerigi fraktur yang saling mengunci. Ujung-ujung kawat dipilin untuk mengencangkan segmen pada posisi reduksi, dan ditempatkan kawat/elastic untuk fiksasi maskilomandibular. Bagian tersebut diirigasi dengan larutan saline steril, diperiksa, dan kawat disesuaikan, dipotong, serta ditekuk. Penutupan flap dilakukan dengan jahitan kontinu memakai chromic gut 3-0. Reduksi ini dikatakan berhasil apabila segmen edentulus proksimal yang dapat bergerak tadinya bergeser dicekatkan ke frakmen distal/anterior yang sudah diimbolisasi (fiksasi maksilomandibular).

• Reduksi terbuka pada simfisis

Fraktur parasimfisis ini dirawat dengan pengawatan transalveolar pada tepi atas, apabila gigi di dekat garis fraktur tidak ada. Pada situasi tipikal yang lain, fraktur parasimfisis yang bergeser distabilisasi pada tepi bawah melalui jalan masuk yang diperoleh dengan membuka simfisis. Flap dibuat dengan menempatkan insisi 3-4 mm di bawah pertemuan mukosa bergerak dan tak bergerak. Inisisi submukosal dibuat miring sedemikian rupa sehingga periosteum diiris di bawah origo m. mentalis. Pemisahan periosteum dimulai dengan elevator periosteal, dan pengelupasan dilakukan dengan tekanan digital ke arah inferior. Perhatian perlu diarahkan untuk mempertahankan bundle neurovascular mentalis, dengan hati-hati menggesernya/melindunginya hanya jika bundle kemungkinan bisa cedera yakni apabila digunakan instrument putar. Lubang dibuat pada kedua segmen pada tepi bawah, dan sebuah kawat baja tahan karat (0,020 atau 0,022 inch, 0,5 atau 0,55 mm) dilewatkan, sering dibuat berbentuk seperti angka 8. Keuntungan dari teknik bentuk angka 8 ini karena tidak diperlukannya insersi kawat lingual. Segmen-segmen diatur letaknya dan ujung kawat dipilin, dipotong, dan dibengkokkan. Fiksasi maksilomandibular diakhiri dengan menempatkan kawat atau elastic yang menghubungkan arch bar atau alat yang lain. Bagian tersebut kemudian diirigasi dengan menggunakan larutan saline steril diperiksa, dan ditutup. Kemungkinan terjadinya dehisensi (pemisahan) dari garis jahitan bisa dikurangi apabila m. mentalis terjaga dengan baik.

Submukosa dan mukosa dijahit dengan chromic gut 3-0 (atau polyglycolic acid, Dexon) dengan teknik kontinu sederhana atau mattres. Pembalut dengan tekanan (pressure dressing) dipasang untuk mempertahankan posisi jaringan lunak terhadap tulang sehingga bisa mengurangi pembentukan rongga mati (dead space) dan hematom. Pendekatan dari angulus mandibulae dan symphysis mandibulae bisa dimodifikasi sehingga memungkinkan pembedahan dilakukan pada setiap bagian dari mandibula bagian anterior, yakni korpus mandibulae dan regio mentalis.

• Tindak lanjut

Perawatan pendukung pasca bedah terdiri atas analgesik, dan bila diindikasikan ditambah antibiotik, aplikasi dingin dan petunjuk diet. Rontgen pasca reduksi dan pasca-imobilisasi perlu dilakukan. Reduksi terbuka bisa memperpendek masa fiksasi maksilomandibular, dan pembukaan percobaan yang dilakukan pada minggu keempat atau kelima kadang-kadang dilakukan untuk mengetahui derajat kesembuhan klinis, terutama pada anak yang masih muda. Normalnya, kawat transoseus untuk stabilisasi segmen tidak dilepas. Jika kawat teraba di bawah mukosa daerah edentulus yang akan diberi protesa atau terbuka selama dilakukan bedah praprostetik, kawat harus dilepas. Pelepasan tersebut dilakukan dengan bantuan anestesi local. Pelepasan dilakukan dengan membuat insisi di atas kawat, kemudian kawat tersebut di bebaskan dan dipotong.

• Reduksi terbuka perkutan

Reduksi terbuka perkutan pada fraktur mandibula diindikasikan apabila reduksi tertutup atau peroral tidak berhasil, terjadi luka-luka terbuka, atau apabila akan dilakukan graft tulang seketika. Fraktur subkondilar tertentu dan fraktur yang sudah lama atau yang mengalami penggabungan yang keliru atau tidak bergabung juga merupakan indikasi untuk reduksi perkutan terbuka. Pendekatan terbuka biasanya dikombinasikan dengan fiksasi maksilomandibular untuk mendapatkan stabilisasi maksimum dari segmen fraktur. Apabila terjadi luka-luka terbuka, jalan masuk langsung ke daerah fraktur bisa didapatkan hanya dengan sedikit modifikasi. Fraktur pada daerah angulus dan corpus mandibulae dicarikan jalan masuk melalui diseksi submandibular, misalnya dengan pendekatan Risdon, di mana insisi ditempatkan sejajar garis tegangan kulit pada daerah inframandibular. Bagian yang mengalami fraktur dibuka dengan diseksi tumpul dan tajam, dengan tetap mempertahankan n. mandibularis marginalis cabang dari n. fascialis. Fraktur symphysis dan parasymphysis mandibulae dirawat dengan membuat insisi submental. Seperti pada semua reduksi terbuka, pengelupasan periosteum diusahakan minimal, dan hanya dilakukan pembukaan flap secukupnya saja untuk jalan masuknya alat. Lubang dibuat pada tepi inferior dari kedua frakmen, dan kawat baja tahan karat (0,018 atau 0,02 inch, 0,45 atau 0,5 mm) ditelusupkan. Reduksi dilakukan pertamakali dengan manipulasi dan kemudian dipertahankan dengan memilinkan kedua ujung kawat transoseus satu sama lain. Dasar dari teknik stabilisasi konservatif adalah meninggalkan bahan asing sesedikit mungkin misalnya lebih memilih menggunakan kawat disbanding pelat, dan memakai kawat sesedikit mungkin. Bagian yang direduksi kemudian diirigasi dan diamati. Periosteum pertama-tama dirapatkan dengan jahitan chromic gut 2-0 atau 3-0. Selanjutnya luka ditutup lapis demi lapis dan kemudian dipasang pembalut tekanan, yakni berupa kasa penyerap dengan anyaman yang halus, yang diberi bismuth tribromphenate/petrolatum (Xeroform) dan gulungan pembalut elastik yang lebarnya 4-5 inch (Kerlix).

• Pemasangan pelat tulang

Jika pasien mengalami gangguan mental/ inkompeten, memiliki gangguan konvulsif yang kurang terkontrol, atau seorang pemabuk atau pecandu obat bius; jika mobilisasi awal dari mandibula diinginkan agar dapat mengurangi kemungkinan terjadinya ankilosis (beberapa fraktur subkondilar); dan untuk fraktur edentulous mandibular tertentu, reduksi dan imobilisasi kaku dengan pelat tulang (Vitalium, titanium) akan sangat bermanfaat. Teknik ini tidak dipilih untuk kasus kontaminasi yang luas, atau fraktur kominusi yang lebar, dan jika penutupan primer baik mucosal atau dermal, tidak bisa dicapai. Pada beberapa kasus pelat tulang bisa dikombinasikan dengan fiksasi maksilomandibular, splinting, atau fiksasi skeletal eksternal. Dalam menangani

masalah yang sulit ini, pendekatan individual dan orisinil sangat dibutuhkan. Pembedahan biasanya dilakukan di dalam kamar bedah karena menggunakan anestesi umum. Bagian yang mengalami fraktur dibuka secara peroral atau dengan pendekatan submandibular (Risdon) atau submental. Sering digunakan pelat kompresi, dimana bidang insersi dari sekrup ditempatkan sedemikian rupa sehingga mengakibatkan penutupan bagian fraktur secara aktif dan bukannya pasif (pelat adaptasi). Pelat kemudian dikunci dengan memasukkan sekrup setelah dilakukan reduksi dan diperiksa dengan mengamati oklusinya. Periosteum kemudian didekatkan satu sama lain dan dilakukan penutupan. Walaupun beberapa pelat mungkin tetap ditinggal ditempatnya, tetapi pengeluaran sesudah terjadi penyembuhan dianjurkan oleh pabrik-pabrik tertentu sehingga diperlukan pembedahan ulang. Pada keadaan edentulus, pemasangan pelat mungkin mengganggu pembedahan praprostetik atau rehabilitasi praprostetik. Kegagalan system imobilisasi dengan pelat tulang kebanyakan disebabkan oleh karena ketidakstabilan dan infeksi/osteomielitis. Pelat tulang merupakan teknik yang relatif sensitif, dan kegagalan kadang-kadang harus dihadapi oleh seorang ahli bedah.

• Reduksi terbuka pada fraktur subkondilar

Banyak fraktur subkondilar mandibula bilateral dan kebanyakan fraktur kondilar pada orang dewasa memerlukan reduksi terbuka. Pada kasus fraktur subkondilar bilateral, baik segmen yang pergeserannya paling besar, maupun fragmen yang lebih besar bisa direduksi sendiri-sendiri atau bersama-sama. Fraktur dislokasi yang parah dan tidak direduksi sering mengakibatkan cacat permanen. Cacat ini termanifestasi berupa perubahan rentang gerakan, keterbatasan dan oklusi yang tidak tepat. Pendekatan pembedahan yang biasanya dilakukan pada regio subkondilar adalah preaulikular. Insisi vertical sepanjang 4-5 cm dibuat sebelah anterior dari kartilago telinga.

Dengan diseksi tumpul dan tajam yang dilakukan hati-hati untuk melindungi cabang-cabang n. facialis, maka bisa dicapai daerah yang mengalami fraktur. Segmen fraktur yang mengalami pergeseran sering terletak pada fossa infratemporalis, yang cenderung menyulitkan pengembaliannya ke tempat semula. Stabilitas dilakukan dengan pengawatan transoseus atau pemasangan pelat. Fiksasi maksilomandibular idealnya sudah dipasang di tempatnya sebelum dilakukan penutupan untuk memastikan bahwa stabilitas frakmen kondilar telah dicapai.

• Perawatan yang tertunda

Penatalaksanaan fraktur yang sudah lama, baik yang umurnya sudah lebih dari 14 hari atau sudah tahunan, membawa masalah tersendiri. Fraktur yang sudah berumur 14 hari menunjukkan tahap awal penyembuhan, yakni organisasi beku darah dan proliferasi jaringan granulasi/jaringan ikat. Beberapa fraktur yang sudah lama, menunjukkan adanya pseudartrosis, yang meliputi perkembangan kapsula fibrus dan tepi fraktur kortikal yang tidak tervaskularisasi dengan baik serta tereburnasi. Fraktur-fraktur jenis ini, paling baik dirawat dengan jalan masuk melalui kutan dan reduksi terbuka. Bagian yang mengalami fraktur dipesiapkan, yaitu jaringan granulasi dan jaringan fibrous dibersihkan, dan tepi-tepi fraktur yang sudah lama diperbarui untuk memaparkan tulang dengan vaskularisasi yang lebih baik. Bila fraktur yang relatif masih baru sering direduksi dan distabilisasi secara langsung, untuk fraktur yang sudah lama mungkin diperlukan graft tulang apabila terjadi kehilangan lengkung rahang yang nyata, atau gangguan oklusi.

Sumber :Pedersen, Gordon W. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Alih Bahasa Purwanto dan Basoeseno.

Cetakan I. Jakarta: EGC.Pedersen & PetersonFonseca. 2005. Oral and Maxillofacial Surgery 3rd Ed. Missouri: Elsevier.