8. Bab II Tinjauan Pustaka
-
Upload
heru-herdian -
Category
Documents
-
view
229 -
download
0
description
Transcript of 8. Bab II Tinjauan Pustaka
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gelombang Seismik
Gelombang seismik merupakan gelombang mekanis yang muncul akibat
adanya gempa bumi. Gelombang seismik termasuk dalam gelombang elastik
karena medium yang dilalui yaitu bumi bersifat elastik yang mengakibatkan
perubahan bentuk pada material dimana gelombang tersebut merambat. Perubahan
bentuk tersebut terjadi akibat interaksi antara gradien tekanan melawan gaya-gaya
elastik. Oleh karena itu sifat penjalaran gelombang seismik bergantung pada
elastisitas batuan yang dilewatinya.
Gelombang seismik dapat ditimbulkan dengan dua metode yaitu metode
aktif dan metode pasif. Metode aktif adalah metode penimbulan gelombang
seismik secara disengaja menggunakan gangguan yang dibuat oleh manusia,
contohnya dinamit. Metode pasif adalah gangguan yang muncul terjadi secara
alamiah, contohnya gempa. Salah satu metode geofisika yang paling banyak
digunakan dalam eksplorasi minyak dan gas bumi adalah metode seismik refleksi.
Metode seimik refleksi digunakan untuk menyelidiki struktur lapisan bawah
permukaan dengan target kedalaman yang cukup jauh (Telford et al., 1990).
Metode ini memberikan gambaran yang cukup baik tentang bawah permukaan.
Metode seismik refleksi didasarkan pada penjalaran gelombang yang
dipantulkan oleh suatu sumber aktif seperti ledakan dinamit, air gun, vibrouses,
dan lain-lain yang kemudian menembus material batuan di bawah permukaan dan
dipantulkan kembali oleh suatu reflektor berupa bidang batas lapisan batuan dan
direkam oleh receiver di permukaan yang ditunjukkan pada Gambar 2.1).
3
Gambar 2.1 Ilustrasi survey seismik darat (Wordpress.com, 2015)
Kecepatan penjalaran gelombang seismik pada batuan bawah permukaan
berbeda-beda. Perbedaan ini dipengaruhi oleh beberapa sifat fisis pada batuan.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi cepat rambat gelombang seismik antara
lain :
a. Litologi Batuan
Kecepatan rambat gelombang seismik pada setiap lapisan akan
berbeda-beda, hal ini disebabkan karena setiap lapisan batuan memiliki
tingkat kekerasan yang berbeda-beda. Tingkat kekerasan yang berbeda-
beda ini menyebabkan perbedaan kemampuan suatu batuan untuk
mengembalikan bentuk dan ukuran seperti semula ketika diberikan gaya
padanya (Sheriff, R.E, dan Geldart, L.P, 1995).
b. Densitas
Semakin besar tekanan pada batuan maka akan semakin besar
densitas dari batuan tersebut. Densitas pada umumnya bertambah dengan
bertambahnya kedalaman. Hubungan densitas dengan kecepatan
perambatan gelombang seismik dalam batuan dirumuskan oleh Hukum
Gardner sebagai berikut :
ρ = α v1/4 (2.1)
Dimana ρ merupakan densitas batuan, α merupakan konstanta Gardner
(0,31) dan v adalah kecepatan rambat gelombang seismik. Dari persamaan
Gardner diatas dapat diketahui bahwa semakin cepat rambat gelombang
seismik maka nilai densitas suatu batuan akan semakin bertambah (Sheriff,
R.E, dan Geldart, L.P, 1995).
c. Porositas
Gelombang seismik akan merambat dengan kecepatan yang lebih
lambat saat melalui batuan berporos sehingga menyebabkan nilai densitas
suatu batuan akan semakin kecil. Pori-pori batuan yang terisi fluida juga
dapat memberikan pengaruh terhadap cepat rambat gelombang seismik
4
pada formasi batuan tersebut. Apabila pori-pori batuan terisi air maka
densitasnya akan lebih besar dibandingkan pori-pori batuan yang terisi
minyak. Sedangkan pori-pori batuan yang terisi minyak nilai densitasnya
juga akan lebih besar dibandingkan pori-pori batuan yang terisi gas. Hal
ini disebabkan karena densitas air lebih besar dibandingkan dengan
densitas minyak dan densitas minyak lebih besar dari densitas gas. Oleh
sebab itu cepat rambat gelombang seismik pada batuan berpori yang terisi
air akan lebih besar dibandingkan dengan batuan berpori yang terisi
minyak ataupun gas (Sheriff, R.E, dan Geldart, L.P, 1995).
Tabel 2.1 Skala penentuan baik tidaknya kualitas batuan jika ditinjau dari
nilai porositasnya (Koesoemadinata, 1978).
Harga Porositas
(%)Skala
0 – 5 Diabaikan (negligible)
5 – 10 Buruk (poor)
10 – 15 Cukup (fair)
15 – 20 Baik (good)
20 – 25 Sangat baik (very good)
> 25 Istimewa (excellent)
d. Kedalaman dan Tekanan
Batuan yang berada pada lapisan bawah akan mengalami tekanan
dari lapisan diatasnya sehingga batuan yang berada paling bawah akan
mengalami tekanan paling besar dari lapisan diatasnya. Dengan demikian
porositas akan berkurang dengan bertambahnya kedalaman. Tekanan yang
semakin besar menyebabkan semakin rapatnya suatu batuan yang ditandai
dengan semakin kecilnya porositas suatu batuan. Akibatnya kecepatan
gelombang seismik akan semakin bertambah seiring bertambahnya
kedalaman (Sheriff, R.E, dan Geldart, L.P, 1995).
e. Umur, Frekuensi dan Temperatur
Secara umum, batuan yang lebih tua berada pada lapisan paling
5
bawah. Semakin tua usia suatu batuan maka semakin dalam pula posisi
lapisan batuan tersebut dari permukaan bumi. Proses sementasi akan
terjadi dalam waktu yang lebih lama dengan bertambahnya usia suatu
batuan, lapisan tersebut juga mengalami tekanan tektonik yang lebih lama
sehingga densitasnya juga semakin besar. Dengan kata lain, gelombang
akan merambat semakin cepat pada batuan yang memiliki umur yang lebih
tua. Kecepatan gelombang seismik akan berubah terhadap frekuensi
karena mekanisme absorpsi (penyerapan). Nilai temperatur yang semakin
besar pada suatu lapisan batuan akan mengalami pemuaian. Akibat
terjadinya pemuaian maka porositas pada suatu batuan akan semakin besar
sehingga densitas batuan tersebut akan semakin kecil. Oleh sebab iu,
kecepatan rambat gelombang akan semakin kecil seiring bertambahnya
temperatur pada suatu lapisan. Namun, semakin besar kedalaman suatu
lapisan batuan maka semakin besar temperaturnya akan tetapi kecepatan
rambat gelombang seismik akan semakin besar juga. Hal ini disebabkan
karena pengaruh berkurangnya kecepatan akibat bertambahnya temperatur
jauh lebih kecil dibandingkan bertambahnya kecepatan akibat
bertambahnya densitas suatu lapisan akibat tekanan, sedimentasi dan lain-
lain (Sheriff, R.E, dan Geldart, L.P, 1995).
2.1.1 Konsep Dasar Gelombang Seismik
a. Impedansi Akustik (IA) dan Koefisien Refleksi (KR)
Salah satu sifat akustik yang khas pada batuan adalah Impedansi
Akustik (IA) yang merupakan hasil perkalian antara densitas (ρ) dan
kecepatan (v)
IA = ρ v (2.2)
Dalam mengontrol harga IA kecepatan mempunyai arti lebih penting
daripada densitas. Sebagai contoh, porositas atau material pengisi pori
batuan (air, minyak, gas) lebih mempengaruhi harga kecepatan daripada
densitas. Anstey (1977) menganalogikan IA dengan acoustic hardness.
Batuan yang keras (hard rock) dan sukar dimampatkan, seperti batu
6
gamping, granit mempunyai IA yang tinggi, sedangkan batuan yang lunak
seperti lempung yang lebih mudah dimampatkan mempunyai IA yang
rendah.
Hubungan antara kecepatan rambat gelombang dengan massa jenis
batuan dapat dinyatakan sebagai Koefisien Refleksi (KR). Adapun
perbandingan energi yang dipantulkan dengan energi datang pada keadaan
normal adalah :
E( pantul)E(datang)
=KR x KR (2.3)
Adapun kekuatan dari refleksi berhubungan langsung dengan
perbedaan impedansi akustik pada batas medium. Kekuatan refleksi pada
bidang batas dapat dihitung dalam koefisien refleksi (KR), dengan energi
datang yang dipantulkan pada keadaan normal. Koefisien refleksi
ditunjukkan pada persamaan berikut :
KR=(IA 2−IA 1)( IA1+ IA 2)
(2.4)
dimana :
KR = Koefisien Refleksi
IA1 = Impedansi akustik lapisan atas
IA2 = Impedansi akustik lapisan bawah
Harga kontras IA dapat diperkirakan dari amplitudo refleksinya, semakin
besar amplitudonya semakin besar refleksi dan kontras IA-nya. Sesuai
dengan pers.(2.2), maka hanya sebagian kecil energi yang direfleksikan,
sedangkan sebagian besar lainnya akan terus dipancarkan pada lapisan
yang lebih dalam sehingga memungkinkan terjadi refleksi berikutnya
(Sukmono, 1999).
b. Hukum Snellius
7
Bunyi Hukum Snellius yaitu “Gelombang akan dipantulkan atau
dibiaskan pada bidang batas antara dua medium”. Dengan persamaan
hukum Snellius sebagai berikut :
8
Gambar 2.2 Ilustrasi penjalaran gelombang seismik dalam medium bumi
(Triyono, 2014). Mengkaji minyak dan Gas bumi
sin isin r
=V 1V 2
(2.5)
dimana :
i = Sudut datang
r = Sudut bias
V1 = Kecepatan gelombang pada medium 1
V2 = Kecepatan gelombang pada medium 2
(Kiswarasari, 2013).
Indeks cepat rambat gelombang (v) di bawah permukaan bumi
sangat berhubungan dengan rapat massa (ρ). Semakin besar rapat massa
batuan maka semakin besar kecepatan rapat gelombang. Sehingga
gelombang seismik yang merambat di bawah permukaan bumi sebagian
akan terefleksikan kembali ke permukaan dan sebagiannya diteruskan
merambat di bawah permukaan. Penjalaran gelombang seismik mengikuti
Hukum Snellius yang dikembangkan dari Prinsip Huygens, menyatakan
bahwa sudut pantul dan sudut bias merupakan fungsi dari sudut datang dan
kecepatan gelombang (Hutabarat, 2009).
9
c. Prinsip Huygens
Prinsip Huygens menyatakan bahwa setiap titik pada muka
gelombang merupakan sumber bagi gelombang baru. Posisi dari muka
gelombang dalam dapat seketika ditemukan dengan membentuk garis
singgung permukaan untuk semua wavelet sekunder. Prinsip Huygens
mengungkapkan sebuah mekanisme dimana sebuah pulsa seismik akan
kehilangan energi seiring dengan bertambahnya kedalaman.
Gambar 2.3 Skema penjalaran gelombang Prinsip Huygens
(.....................)
d. Prinsip Fermat
Gelombang menjalar dari satu titik ke titik lain melalui jalan
tersingkat waktu penjalarannya. Dengan demikian jika gelombang
melewati sebuah medium yang memiliki variasi kecepatan gelombang
seismik, maka gelombang tersebut akan cenderung melalui zona-zona
kecepatan tinggi dan menghindari zona-zona kecepatan rendah.
Gambar 2.4 Skema penjalaran gelombang Prinsip Fermat
(.....................................)
10
2.2 Petroleum System
2.2.1 Batuan Induk (Source Rock)
Batuan induk itu adalah batuan sedimen yang bisa menghasilkan
hidrokarbon. Pada bukti yang terdapat pada data-data geokimia,
hidrokarbon berasal dari material organik yang terkubur dalam batuan
sedimen yang disebut batuan induk. Untuk mengetahui dan
memperkirakan distribusi dan jenis dari batuan induk dalam ruang dan
waktu, sangat penting untuk mengetahui sumber biologis dari petroleum.
Lapisan batuan induk (source beds) terbentuk ketika sebagian kecil dari
karbon organik yang bersikulasi dalam siklus karbon di bumi tekubur
dalam lingkungan sedimentasi dimana oksidasi terhalang untuk dapat
berlangsung (Koesoemadinata, 1980).
2.2.2 Pematangan (Maturation)
Maturasi adalah proses perubahan secara biologi, fisika, dan kimia
dari kerogen menjadi minyak dan gas bumi. Proses maturasi berawal sejak
endapan sedimen yang kaya bahan organik terendapkan. Pada tahapan ini,
terjadi reaksi pada temperatur rendah yang melibatkan bakteri anaerobik
yang mereduksi oksigen, nitrogen dan belerang sehingga menghasilkan
konsentrasi hidrokarbon.
Proses ini terus berlangsung sampai suhu batuan mencapai 50
derajat celcius. Selanjutnya, efek peningkatan temperatur menjadi sangat
berpengaruh sejalan dengan tingkat reaksi dari bahan-bahan organik
kerogen. Karena temperatur terus mengingkat sejalan dengan
bertambahnya kedalaman, efek pemanasan secara alamiah ditentukan oleh
seberapa dalam batuan sumber tertimbun (gradien termal).
11
Gambar 2.5 Kurva pematangan minyak dan gas bumi
(https://rovicky.wordpress.com)
Terlihat bahwa minyak bumi secara signifikan dapat dihasilkan
diatas temperature 50°C atau pada kedalaman sekitar 1200m lalu terhenti
pada suhu 180°C atau pada kedalaman 5200m. Sedangkan gas terbentuk
secara signifikan sejalan dengan bertambahnya temperature/kedalaman.
Gas yang dihasilkan karena faktor temperatur disebut dengan termogenik
gas, sedangkan yang dihasilkan oleh aktivitas bakteri (suhu rendah,
kedalaman dangkal <600m) disebut dengan biogenic gas
(Koesoemadinata, 1980).
2.2.3 Migrasi Hidrokarbon
Migrasi didefinisikan sebagai pergerakan minyak dan gas di bawah
permukaan. Migrasi primer merupakan sebutan untuk tahapan dari proses
migrasi, berupa pelepasan (ekspulsi) hidrokarbon dari batuan
induk (source rock) yang berbutir halus dan berpermeabelitas rendah ke
lapisan penyalur (carrier bed) yang memiliki permeabelitas lebih tinggi.
12
Akumulasi merupakan pengumpulan dari hidrokarbon yang telah
bermigrasi dalam keadaan yang secara relatif diam dalam waktu yang
lama. Trap merupakan istilah dimana migrasi terhenti dan akumulasi
terjadi.
a. Migrasi Primer
Gambar 2.6 Migrasi primer (http://pages.geo.wvu.edu)
Migrasi primer yaitu Proses bergeraknya hidrokarbon dari batuan
induk ke lapisan penyalur (carrier bed). Migrasi primer berjalan lambat
karena minyak bumi harus cukup untuk keluar dari batuan induk yang
memiliki permeabilitas matrik yang rendah. Migrasi primer berakhir
ketika hidrokarbon telah mencapai carrier bed untuk terjadinya migrasi
sekunder.
b. Migrasi Sekunder
13
Gambar 2.7 Migrasi sekunder (http://pages.geo.wvu.edu)
Migrasi sekunder yaitu perpindahan hidrokarbon dari carier bed ke
jebakan atau trap. Ketika hidrokarbon berhasil keluar dari batuan sumber
dan mengalami migrasi sekunder, pergerakan dari hidrokarbon akan
dipengaruhi oleh gaya pelampungan (bouyancy). Migrasi sekunder terjadi
pada arah yang dipengaruhi oleh gaya pelampungan yang paling besar.
Pergerakan ini awalnya menuju ke arah atas, dan lalu mengikuti
kemiringan carrier bed apabila hidrokarbon menemui lapisan dengan
permeabelitas kurang di atas carrier bed. Keberadaan struktur dan
perubahan fasies mungkin menyebabkan tekanan kapilaritas lebih
dominan daripada gaya pelampungan, sehingga arah migrasi mungkin
akan berubah, dan atau terhenti (Koesoemadinata, 1980).
2.2.4 Batuan Reservoir
Batuan reservoir adalah wadah di bawah permukaan yang
mengandung minyak dan gas. Ruangan penyimpanan minyak dalam
reservoir berupa rongga-rongga atau pori-pori yang terdapat di antara
butiran mineral atau dapat pula di dalam rekahan batuan yang mempunyai
porositas rendah. Pada hakikatnya setiap batuan dapat bertindak sebagai
batuan reservoir asal mempunyai kemampuan untuk menyimpan dan
meloloskan minyak bumi. Batuan reservoir dapat juga bertindak sebagai
lapisan penyalur aliran minyak dan gas bumi dari tempat minyak bumi
tersebut keluar dari batuan induk (migrasi primer) ke tempat
14
berakumulasinya dalam suatu perangkap. Jadi reservoir merupakan bagian
kecil daripada batuan reservoir yang berada dalam keadaan sedemikian
sehingga membentuk suatu perangkap.
a. Porositas
Porositas suatu medium adalah perbandingan volume
rongga-rongga pori terhadap volume total seluruh batuan.
Perbandingan ini biasanya dinyatakan dalam persen dan disebut
porositas.
Rumus : Porositas (ɸ) = Volum pori−pori
Volum keseluruhanbatuan×100 % (2.6)
Gambar 2.8 Porositas pada batuan (mpgpetroleum.com)
Porositas bisa dikategorikan dalam beberapa kategori sebagai
berikut :
1. Berdasarkan cara pembentukannya
Porositas Primer : Porositas yang terbentuk pada waktu
batuan tersebut diendapkan atau terbentuk. Porositas primer
dapat berkurang akibat proses tekanan yang berlebih
(overburden) oleh batuan diatasnya, atau proses
sedimentasi.
15
Porositas Sekunder : Porositas batuan yang terbentuk
setelah terbentuknya batuan tersebut, akibat adanya proses
disolusi (zat padat melarut) dan rekahan.
2. Berdasarkan tingkat efektifitasnya
Porositas Total : merupakan rasio dari jumlah total pori-
pori dibandingkan dengan volume bulk pori tersebut.
Porositas Efektif : merupakan rasio dari pori-pori (ruang
kosong) yang saling berhubungan dibandingkan dengan
volume bulk pori.
b. Permeabilitas
Permeabilitas atau kelulusan adalah suatu sifat batuan
reservoir untuk dapat meluluskan cairan melalui pori-pori yang
berhubungan, tanpa rusak partikel pembentuk atau kerangka batuan
tersebut (Koesoemadinata, 1980).
Gambar 2.9 Permeabilitas pada batuan (mpgpetroleum.com)
2.2.5 Jebakan Reservoir (Reservoir Trap)
Eksplorasi minyak dan gas bumi sampai kini ditunjukan kepada
pencarian perangkap atau jebakan (trap) yang menggandung arti seolah-
olah minyak terjebak atau tersangkut dalam suatu keadaan sehingga tidak
bisa lepas lagi. Hal ini disebabkan karena walaupun minyak merupakan
suatu fasa tersendiri, namun selalu berada bersama-sama dengan air. Suatu
16
perangkap adalah tidak lain daripada bentuk lapisan penyekat. Lapisan
penyekat itu terbentuk sedemikian rupa sehingga minyak tidak dapat lari
kemana-mana lagi. Bentuk ini akan menahan tetes-tetes minyak dalam
perjalanannya sepanjang garis-garis gaya (Koesoemadinata, 1980).
2.2.6 Batuan Penutup (Cap Rock)
Minyak dan gas terdapat di dalam reservoir. Untuk dapat menahan
dan melindungi fluida tersebut, maka lapisan reservoir ini harus
mempunyai penutup di bagial luar lapisannya. Batuan penutup adalah
batuan yang memiliki permeabilitas dan porositas yang rendah, sehingga
menghambat kandungan petroleum dalam reservoir untuk bermigrasi.
Batuan penutup yang umum adalah serpih (shale) dan batuan avaporit
(proses penguapan). Jadi lapisan penutup didefinisikan sebagai lapisan
yang berada dibagian atas dan tepi reservoir yang dapat dan melindungi
fluida yang berada di dalam lapisan di bawahnya (Koesoemadinata, 1980).
2.3 Geologi Daerah Penelitian
2.4 Log
Log adalah suatu grafik kedalaman (kadang-kadang waktu) dari satu set
data yang menunjukkan parameter yang diukur secara berkesinambungan di
dalam sebuah sumur (Harsono, 1994). Log elektrik pertama kali digunakan pada 5
september 1927 oleh H. Doll dan Schlumberger bersaudara pada lapangan minyak
kecil di Pechelbronn, Alsace, sebuah provinsi di timur laut Prancis (Ellis &
Singer, 2008). Pada tahun 1929 mulai digunakan Log Resistivitas, selang 3 tahun
berikutnya pada tahun 1932 diikuti dengan digunakan Log SP (Spontaneous
Potential), kemudian Log Neutron menyusul pada tahun 1941, dan pada tahun
1950-an diikuti dengan log-log lainnya (Schlumberger, 1989).
Kegiatan untuk mendapatkan data log disebut logging. Logging
memberikan data yang diperlukan untuk mengevaluasi secara kuantitatif
banyaknya hidrokarbon di lapisan pada situasi dan kondisi sesungguhnya. Kurva
17
log memberikan informasi yang dibutuhkan untuk mengetahui sifat-sifat batuan
dan cairan. Berdasarkan dari jenisnya maka log dapat dibedakan menjadi 3 jenis,
antara lain :
1. Log lapangan (Acquisition Logs) → Log orisinil atau yang masih mentah
yang belum dikoreksi sama sekali, biasanya sering ditandai dengan tulisan
Field Print.
2. Log transmisi → Log yang menunjukkan bahwa log tersebut bukan
turunan dari log lapangan melainkan log yang telah dikirimkan dari lokasi
melalui jasa satelit atau telepon, biasanya ditandai dengan tulisan Field
Transmitted Log.
3. Log yang sudah diproses → Log yang diproses pada CSU (Cyber System
Unit) dan juga meliputi produk-produk dari FLIC (Field Log
Interpretation Center) (Harsono, 1994).
Adapun bagian-bagian utama pada log antara lain :
1. Kepala-log (Heading)
Sebuah log umumnya memiliki judul/kepala pada bagian atas yang
mencantumkan semua informasi yang berhubungan dengan sumur,
misalnya : jenis instrumen yang dipakai, kalibrasi instrumentasi, skala
kurva dan informasi lain (terlampir).
2. Kolom Log (Tracks)
Umumnya terdapat 3 kolom kurva, yang dikenal sebagai kolom 1, 2 dan 3,
dihitung dari kiri kekanan. Kolom kedalaman memisahkan kolom 1 dan 2.
Tiap kolom kurva boleh memuat boleh dari 1 kurva.
3. Skala Kedalaman
Log standar memiliki dua skala kedalaman, yang satu digunakan untuk
korelasi, yang satu lagi digunakan untuk interpretasi yang rinci. Skala
korelasi bisa 1 : 1000 atau 1 : 500 dan skala rinci 1 : 200. Satuan
kedalaman bisa dalam kaki atau meter. Pada skala korelasi, garis
kedalaman akan terjadi setiap 5 meter atau 10 feet, sedangkan skala rinci
terjadi setiap 2 feet atau satu meter.
4. Kecepatan Logging
18
Kecepatan logging terekam pada sisi kanan dan kiri dari log lapangan,
berupa garis patah-patah. Setiap garis patah terjadi setiap satu menit,
panjang garis patah dalam feet atau meter menunjukkan kecepatan logging
pada kedalaman itu setiap menit, kalau dikalikan 60 akan memberikan
kecepatan dalam feet (atau meter)/jam. Misalnya garis patah 30 feet, maka
logging speed pada saat dan di kedalaman itu adalah 30 x 60 = 1800
ft/jam. Jika kecepatan logging terlalu tinggi akan mengakibatkan resolusi
kurva menjadi rendah, sebaliknya kecepatan logging terlalu rendah akan
memberikan data yang sangat banyak sehingga menjadi tidak efisien dan
tidak diperlukan (Harsono, 1994).
2.5 Well Logging
Well logging dalam bahasa Prancis disebut carrotage electrique yang
berarti electrical coring, hal itu merupakan definisi awal dari well logging ketika
pertama kali ditemukan pada tahun 1927. Saat ini well logging didefinisikan
sebagai perekaman karakteristik dari suatu formasi batuan yang diperoleh melalui
pengukuran pada sumur bor. Kegunaan utama dari well logging adalah untuk
mengkorelasikan pola-pola electrical conductivity yang sama dari satu sumur ke
sumur lain (Ellis & Singer, 2008).
Berdasarkan proses kerjanya, logging dibagi menjadi dua jenis yaitu
wireline logging dan logging while drilling (Ellis & Singer,2008).
a. Wireline Logging
Wireline logging dilakukan ketika pemboran telah berhenti dan kabel
digunakan sebagai alat untuk mentransmisikan data. Untuk menjalankan
wireline logging, lubang bor harus dibersihkan dan distabilkan terlebih
dahulu sebelum peralatan logging dipasang. Hal yang pertama kali
dilakukan adalah mengulurkan kabel ke dalam lubang bor hingga
kedalaman maksimum lubang bor tersebut. Sebagian besar log bekerja
ketika kabel tersebut ditarik dari bawah ke atas lubang bor. Kabel tersebut
berfungsi sebagai transmiter dan sekaligus sebagai penjaga agar alat
logging berada pada posisi yang diinginkan (Bateman, 1985). Kabel
tersebut digulung dengan menggunakan motorized drum yang digerakkan
19
secara manual selama logging berlangsung. Drum tersebut menggulung
kabel dengan kecepatan antara 300 m/jam (1000 ft/jam) hingga 1800
m/jam (6000 ft/jam) tergantung pada jenis alat yang digunakan (Ellis &
Singer, 2008). Adapun kelebihan dan kekurangan dari wireline logging
antara lain :
1. Mampu melakukan pengukuran terhadap kedalaman logging
secara otomatis.
2. Kecepatan transmisi datanya lebih cepat daripada LWD,
mampu mencapai 3Mb/detik.
3. Namun pada wireline logging, informasi yang didapat bukan
merupakan real-time data.
b. Logging While Drilling
Logging while drilling (LWD) merupakan suatu metode pengambilan
data log dimana logging dilakukan bersamaan dengan pemboran. LWD
beroperasi dengan cara mengirimkan sinyal ke permukaan dalam format
digital melalui pulse telemetry melewati lumpur pemboran dan kemudian
ditangkap oleh receiver yang ada di permukaan. Sinyal tersebut lalu
dikonversi dan log tetap bergerak dengan pelan selama proses pemboran.
Logging berlangsung sangat lama dari beberapa sesudah pemboran dari
beberapa menit hingga beberapa jam tergantung pada kecepatan pemboran
dan jarak antara bit dengan sensor dibawah lubang bor (Harsono, 1994).
Layanan yang saat ini disediakan oleh perusahaan penyedia jasa LWD
meliputi gamma ray, resistivity, density, neutron, survey lanjutan misalnya
sonik. Tipe log tersebut sama tetapi tidak identik dengan log sejenis yang
digunakan pada wireline logging. Secara umum, log LWD dapat
digunakan sama baiknya dengan log wireline logging dan dapat
diinterpretasikan dengan cara yang sama pula (Darling, 2005). Meskipun
demikian, karakteristik dan kualitas data kedua log tersebut sedikit
berbeda. Adapun kelebihan dan kekurangan dari LWD antara lain :
1. Data yang didapat berupa real-time information.
20
2. Dapat digunakan untuk melintasi lintasan yang sulit.
3. Menyediakan data awal apabila terjadi hole washing-out.
4. Data yang ditransmisikan tidak secepat wireline logging.
Well logging mempunyai makna yang berbeda-beda untuk setiap orang.
Bagi seorang geolog, well logging merupakan teknik pemetaan untuk kepentingan
eksplorasi bawah permukaan. Bagi seorang petrofisisis, well logging digunakan
untuk mengevaluasi potensi produksi hidrokarbon dari suatu reservoir. Bagi
seorang geofisisis, well logging digunakan untuk melengkapi data yang diperoleh
melalui seismik. Seorang reservoir enginer menggunakan well log sebagai data
pelengkap untuk membuat simulator (Ellis & Singer, 2008).
Data yang didapat melalui berbagai alat logging yang berbeda tersebut
kemudian diolah oleh CSU (Cyber Service Unit). CSU merupakan sistem logging
komputer terpadu di lapangan yang dibuat untuk kepentingan logging dengan
menggunakan program komputer yang dinamakan cyberpack. Sistem komputer
CSU merekam, memproses, dan menyimpan data logging dalam bentuk digital
dengan format LIS (Log Information Standard), DLIS (Digital Log – Interchange
Standard) (Harsono, 1994).
Adapun macam – macam log antara lain :
2.5.1 Log-log yang Menunjukkan Zona-zona Permeabel
Mencari zona-zona permeabel adalah langkah pertama dalam
melakukan analisa log. Ini dilakukan dengan menggunakan beberapa jenis
log diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Log Gamma Ray
Log Gamma Ray merespon radaiasi gamma alami pada suatu
formasi batuan (Ellis & Singer, 2008). Pada formasi batuan sedimen, log
ini biasanya mencerminkan kandungan unsur radioaktif di dalam formasi.
Hal ini dikarenakan elemen radioaktif cenderung untuk terkonsentrasi di
dalam lempung dan serpih yang tidak permeabel. Formasi bersih biasanya
mempunyai tingkat radioaktif yang sangat rendah, kecuali apabila formasi
21
tersebut terkena kontaminasi radioaktif misalnya dari debu vulkanik atau
granit (Schlumberger, 1989).
Gamma ray dihasilkan oleh gelombang elektromagnetik berenergi
tinggi yang dikeluarkan secara spontan oleh elemen radioaktif. Hampir
semua radiasi gamma yang ditemukan di bumi berasal dari isotop
potassium (K) serta unsur radioaktif uranium (U) dan thorium (Th).
Gamma ray memiliki satuan API atau GAPI (American Petroleum
Institute) (Schlumberger, 1989).
Untuk melewati suatu materi, gamma ray akan bertumbukan
dengan atom dari zat penyusun formasi. Gamma ray akan kehilangan
energinya setiap kali mengalami tumbukan. Kemudian setelah energinya
hilang, gamma ray akan mengalami penyerapan (absorbsi) oleh atom
formasi melalui suatu proses pelepasan elektron yang disebut efek
fotoelektrik (Ellis & Singer, 2008). Jadi gamma ray diabsorbsi secara
bertahap (gradual) dan energinya mengalami pengurangan (reduksi) setiap
kali melewati formasi. Laju absorbsi berbeda-beda sesuai dengan densitas
formasi. Formasi dengan jumlah unsur radioaktif yang sama per unit
volum tapi mempunyai densitas yang berbeda akan menunjukkan
perbedaan tingkat radioaktivitas. Formasi yang densitasnya lebih rendah
akan terlihat sedikit lebih radioaktif. Respon log gamma ray setelah
dilakukan koreksi terhadap lubang bor dan sebagainya sebanding dengan
berat konsentrasi unsur radioaktif yang ada di dalam formasi
(Schlumberger, 1989).
1. Spectral Gamma Ray Log
Sama seperti log gamma ray, spectral gamma ray mengukur
radioaktivitas alami dari formasi. Namun berbeda dengan log
gamma ray yang hanya mengukur radioaktivitas total, log ini dapat
membedakan konsentrasi unsur potassium, uranium, dan thorium
di dalam formasi batuan (Schlumberger, 1989).
Log spectral merekam jumlah potassium, uranium, dan
thorium yang ada di dalam formasi. Unsur-unsur tersebut biasanya
22
ditampilkan di dalam kolom (Track) 2 dan 3 dari log. Konsentrasi
thorium dan uranium ditampilkan dalam berat per juta (bpj)
sedangkan konsentrasi potassium ditampilkan dalam bentuk
persentase.
Jumlah total ketiga unsur radioaktif tersebut direkam di dalam
kurva GR yang ditampilkan di track 1. Respon total tersebut
dideterminasi berdasarkan kombinasi linear dari konsentrasi
potassium, thorium, dan uranium. Kurva GR standar ditampilkan
dalam API unit. Nilai CGR (Corected Gamma Ray) juga dapat
ditampilkan biasanya pada track 1. Nilai tersebut merupakan
jumlah sinar gamma yang berasal dari potassium dan thorium saja,
tanpa uranium (Harsono, 1994).
23
Gambar 2.10 Respon Gamma Ray terhadap litologi bawah permukaan
(Rider, 1996)
b. Log SP (Spontaneous Potential)
Log SP adalah rekaman perbedaan potensial listrik antara elektroda
di permukaan yang tetap dengan elektroda yang terdapat di dalam lubang
bor yang bergerak naik turun. Potensial listrik tersebut disebut
spontaneous potential oleh Conrad Schlumberger dan H.G. Doll yang
menemukannya. Supaya SP dapat berfungsi, lubang bor harus diisi dengan
lumpur konduktif. Satuan ukur dalam spontaneous potential adalah
milivolt (mV) (Harsono, 1994).
Secara alamiah, karena perbedaan kandungan garam air, arus listrik
hanya mengalir di sekeliling perbatasan formasi di dalam lubang bor. Pada
lapisan serpih dimana tidak ada aliran listrik, sehingga potensialnya adalah
24
konstan dengan kata lain SP-nya rata. Pembacaan ini disebut garis dasar
serpih (Shale Base Line). Saat mendekati lapisan permeabel, kurva SP
akan mengalami penyimpangan arah (defleksi) ke kiri (-) atau ke kanan
(+). Defleksi ini dipengaruhi oleh salinitas relatif dari air formasi dan
lumpur penyaring (Harsono, 1994). Jika salinitas air formasi lebih besar
daripada salinitas lumpur penyaring maka defleksi akan mengarah ke kiri
sebaliknya apabila salinitas lumpur penyaring yang lebih besar daripada
salinitas air formasi maka defleksi akan mengarah ke kanan (Harsono,
1994).
Penurunan kurva SP tidak pernah tajam saat melewati dua lapisan
yang berbeda melainkan selalui mempunyai sudut kemiringan. Jika lapisan
permeabel sangat tebal maka kurva SP menjadi konstan bergerak
mendekati nilai maksimum dan sebaliknya apabila memasuki lapisan
serpih lain maka kurva akan bergerak kembali ke nilai serpih secara
teratur. Kurva SP tidak dapat direkam di dalam lubang bor yang diisi
dengan lumpur non-konduktif, hal ini dikarenakan lumpur tersebut tidak
dapat menghantarkan arus listrik antara elektroda dan formasi. Apabila
resistivitas antara lumpur penyaring dan air formasi hampir sama, defleksi
akan sangat kecil dan kurva SP menjadi tidak begitu berguna (Harsono,
1994).
Tahapan pertama yang dilakukan dalam analisis log adalah
mengenal lapisan permeabel dan yang tidak permeabel. Untuk itu
digunakan log SP dan juga dengan bantuan dari log gamma ray. Log
gamma ray dan SP membedakan serpih dan yang bukan serpih dengan
cara yang berbeda. SP merupakan pengukuran secara elektrik, sedangkan
gamma ray adalah pengukuran secara radioaktif. Pada penyajiannya yaitu
pembacaan serpih disebelah kanan dan pasir yang permeabel disebelah kiri
pada kolom 1. Pada formasi lunak, SP memberikan perbedaan yang lebih
kontras antara serpih dan pasir daripada gamma ray. Sebaliknya pada
formasi yang keras perubahan SP akan sangat kecil, sehingga tidak dapat
membedakan lapisan yang permeabel dan tidak permeabel. Pada keadaan
25
seperti ini, log gamma ray memberikan resolusi yang baik dibandingkan
log SP (Harsono, 1994).
Gambar 2.11 Contoh respon Log SP terhadap pasir dan serpih
(Schlumberger, 1989).
c. Log Resistivitas
Log resistivitas adalah suatu alat yang dapat merekam tahanan jenis
formasi ketika dilewati kuat arus listrik yang dinyatakan dalam ohm-meter.
Resistivitas dapat mencerminkan batuan dan fluida yang terkandung di
dalam pori-porinya. Reservoir yang berisi hidrokarbon akan mempunyai
tahanan jenis lebih tinggi (lebih dari 10 ohm-meter), sedangkan apabila
jenisnya hanya beberapa ohm-meter. Suatu formasi yang porositasnya
26
sangat kecil (tight) juga akan menghasilkan tahanan jenis yang sangat
tinggi karena tidak mengandung fluida konduktif yang dapat menjadi
konduktor alat listrik (Schlumberger, 1989).
Menurut jenis alatnya, log ini dibagi menjadi dua, antara lain :
1. Laterolog
Log yang dipakai untuk pemboran yang menggunakan lumpur
pemboran yang konduktif misalnya lumpur yang kadar garamnya
tinggi (salt mud). Laterolog menggunakan peralatan yang sensitif
terhadap resistivitas sehingga sangat akurat digunakan pada formasi
dengan resistivitas sedang sampai tinggi.
2. Induksi
Log yang digunakan untuk pemboran yang menggunakan lumpur
pemboran konduktif sedang, non-konduktif (misalnya oil-base muds)
dan pada lubang bor yang hanya berisi udara. Alat tersebut karena
sangat sensitif terhadap konduktivitas akan lebih baik digunakan pada
formasi batuan dengan resistivitas rendah sampai sedang (Harsono,
1994).
Berdasarkan tempat pengambilan datanya, log tahanan jenis dapat dibagi
menjadi tiga, antara lain :
1. Laterallog Shallow (LLS)
Log tahanan jenis dangkal yang digunakan untuk mengukur tahanan
jenis zona invasi yakni zona yang berada disekitar tabung bor. Zona
ini dapat dipengaruhi oleh air lumpur bor atau mud filtrat.
2. Spherically Focus Log (SFL)
Log tahanan jenis menengah yang digunakan untuk mengukur tahanan
jenis zona transisi yakni zona yang sebagian dari fluidanya terusir oleh
mud filtrat dan sebagian masih fluida asli.
3. Laterallog Deep (LLD)
Log tahanan jenis dalam yang digunakan untuk tahanan jenis formasi
yang tidak terganggu oleh proses pemboran. Tujuan penggunaannya
adalah untuk mengukur tahanan jenis asli (Rt), membantu mengetahui
27
porositas dan permeabilitas batuan serta digunakan untuk mengetahui
kejenuhan air (Sw) dan korelasi
Gambar 2.12 Respon Resistivitas terhadap litologi bawah permukaan
(Rider, 1996)
2.5.2 Log-log yang Mengukur Porositas Formasi
a. Log Densitas
Log densitas merupakan salah satu alat yang digunakan untuk
merekam bulk density pada formasi batuan. Bulk density merupakan
densitas total dari batuan yang meliputi matriks padat dan fluida yang
mengisi pori. Secara geologi, bulk density merupakan fungsi dari densitas
mineral yang membentuk batuan tersebut dan volume fluida bebas yang
menyertainya (Schlumberger, 1989).
Prinsip kerja dari log densitas menggunakan sebuah sumber
radioaktif yang diarahkan ke dinding bor yang mengeluarkan sinar gamma
28
berenergi sedang ke dalam formasi. Sinar gamma tersebut bertumbukan
dengan elektron yang ada di dalam formasi. Sinar gamma tersebut terus
bergerak dengan energinya yang tersisa. Jenis interaksi ini dikenal sebagai
hamburan Compton. Hamburan sinar gamma tersebut kemudian ditangkap
oleh detektor yang ditempatkan di dekat sumber sinar gamma. Makin
lemahnya energi yang kembali menunjukkan makin banyaknya elektron-
elektron dalam batuan, yang berarti makin banyak/padatnya
butiran/mineral penyusun batuan persatuan volum. Jumlah sinar gamma
yang kembali tersebut kemudian digunakan sebagai indikator dari densitas
formasi (Schlumberger, 1989). Nilai hamburan Compton dipengaruhi oleh
jumlah elektron yang di dalam formasi. Sebagai akibatnya, respon density
tool dibedakan berdasarkan densitas elektronnya (jumlah elektron tiap
centimeter kubik). Densitas elektron berhubungan dengan true bulk
density yang bergantung pada densitas matriks batuan, porositas formasi,
dan densitas fluida yang mengisi pori.
Kegunaan dari log densitas adalah dapat menghitung densitas,
menghitung porositas, dan menentukan keterdapatan fluida (cros plot
dengan log neutron). Pada penampilan log, kurva densitas diskala secara
langsung dalam g/cc. Jika alatnya dikerjakan tersendiri, skala dari kurva
densitas (RHOB) biasanya 2-3 g/cc. Tetapi biasanya alat densitas
dikerjakan bersama-sama dengan alat neutron, maka skala nya diatur
menjadi 1.95 – 2.95 g/cc, hal ini dilakukan untuk memudahkan pembacaan
porositas karena tanggapan alat densitas dan neutron akan sama pada
lapisan gamping berisi air (Harsono, 1994).
29
Gambar 2.13 Respon Densitas terhadap litologi bawah permukaan (Rider, 1996)
b. Log Neutron
Menurut Harsono (1994) log neutron merupakan log yang berfungsi
untuk menentukan besarnya porositas suatu batuan. Prinsip dasar dari log
ini adalah memancarkan neutron secara terus menerus dan konstan pada
suatu lapisan batuan. Partikel-partikel neutron tersebut memancar
menembus formasi dan bertumbukan dengan material-material dari
formasi tersebut. Akibatnya neutron kehilangan sedikit energi, namun
besar dan kecilnya energi yang hilang tergantung dari perbedaan massa
neutron dengan massa material pembentuk batuan atau formasi.
30
Hilangnya energi yang paling besar adalah apabila neutron
bertumbukan dengan suatu atom yang mempunyai massa yang sama atau
hampir sama, seperti halnya atom hidrogen. Apabila konsentrasi hidrogen
di dalam suatu formasi cukup besar, maka hampir semua neutron akan
mengalami penurunan energi serta tidak tertangkap jauh dari sumber
radioaktifnya. Sebaliknya apabila konsentrasi hidrogen kecil, partikel-
partikel neutron akan memancar lebih jauh menembus formasi sebelum
tertangkap oleh detektor.
Pengukuran porositas neutron pada evaluasi formasi ditunjukkan
untuk mengukur indeks hidrogen yang terdapat pada formasi batuan.
Indeks hidrogen didefinisikan sebagai rasio dari konsentrasi atom hidrogen
setiap cm3 batuan terhadap komposisi air murni pada suhu 75oF. Jadi, log
neutron porositas tidaklah mengukur porositas sesungguhnya dari batuan,
melainkan yang diukur adalah komposisi hidrogen yang terdapat pada
pori-pori batuan. Secara sederhana, semakin berpori suatu batuan maka
semakin banyak komposisi hidrogen dan semakin tinggi indeks hidrogen.
Dengan demikian, serpih yang banyak mengandung hidrogen dapat
ditafsirkan memiliki porositas yang tinggi pula. Untuk mengantisipasi
ketidakpastian (uncertainty) tersebut, maka interpretasi porositas dapat
dilakukan dengan mengolaborasikan log densitas.
Log neutron mengukur indeks hidrogen formasi menggunakan
sumber neutron radioaktif yang ditembakkan ke formasi dengan neutron
yang cepat. Neutron bertumbukan dengan atom dari formasi, mentransfer
energi melalui tumbukan. Transfer energi yang paling efisien adalah
dengan atom hidrogen karena massa hidrogen diperkirakan sama dengan
massa neutron. Gas mempunyai indeks hidrogen yang rendah
dibandingkan air, sehingga menyebabkan alat akan mencatat porositas
yang rendah pada formasi yang memiliki indikasi gas. Jika digunakan
bersama log densitas, akan sangat mudah untuk mengidentifikasi interval
formasi yang memiliki keterdapatan gas.
31
Gambar 2.14 Respon Neutron terhadap litologi bawah permukaan
(Rider, 1996)
c. Log Sonic
Log sonic adalah log yang menggambarkan waktu kecepatan suara
yang dikirimkan atau dipancarkan kedalam formasi sehingga pantulan
suara yang kembali diterima oleh receiver. Waktu yang diperlukan
gelombang suara untuk sampai ke receiver disebut “interval transit time”
atau ∆t. Besar atau kecilnya ∆t yang melalui suatu formasi tergantung dari
jenis batuan dan besarnya porositas batuan serta isi kandungan dalam
batuan (Harsono, 1994).
Log sonic juga digunakan untuk menentukan harga porositas batuan,
mengukur kecepatan gelombang suara di dalam batuan. Hal ini
menunjukkan bahwa log sonic juga hampir sama dengan log densitas dan
32
log neutron. Adapun kecepatan gelombang tersebut bergantung pada jenis
litologi suatu formasi, jumlah ruang pori yang saling berhubungan, dan
jenis fluida yang ada di dalam pori. Log ini sangat berguna untuk
memisahkan lapisan dengan kecepatan yang sangat rendah seperti
batubara. Selisih waktu penerimaan ini direkam oleh log dengan satuan
microsecond per feet (μsec/ft) yang dapat dikonversikan dari kecepatan
rambat gelombang suara dalam ft/sec.
Tabel 2.2 Transite Time Matrik untuk Beberapa Jenis Batuan (Harsono,
1994).
33
Gambar 2.15 Respon Sonic terhadap litologi bawah permukaan
(Rider, 1996)
34