8 BAB II - eprints.unisnu.ac.ideprints.unisnu.ac.id/1398/3/2.Bab 2.pdf · Dari sudut pandang...

22
8 BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Perkawinan Dalam bahasa Indonesia, kata perkawinan berasal dari kata kawin yang menurut bahasa artinya perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami istri. 1 Pengertian perkawinan menurut arti kata berarti bergabung, hubungan kelamin dan juga berarti akad. Dalam arti terminologis artinya; akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafaz na-ka-ha atau za-wa-ja. 2 Nikah berarti perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami dan beristri secara resmi. 3 Nikah adalah perjanjian, dapat dimaknai tidak hanya dimensi jasmani saja, tetapi juga dimensi rohani dan aqli. Artinya, menikah merupakan sebuah perjanjian seutuhnya seseorang sebagai manusia yang memiliki dimensi fisik, rohani ataupun kecerdasan akal. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan, bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 4 1 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hlm. 531-532. 2 Amir Syarifuddin, Garis-garis Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2003), hlm. 74. 3 Lukman A. Irfan, Nikah, (Yogyakarta: PT. Pustaka Insan Madani, 2007), hlm. 1-2. 4 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Bab I Pasal 2 ayat (2).

Transcript of 8 BAB II - eprints.unisnu.ac.ideprints.unisnu.ac.id/1398/3/2.Bab 2.pdf · Dari sudut pandang...

8

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Perkawinan

Dalam bahasa Indonesia, kata perkawinan berasal dari kata kawin yang

menurut bahasa artinya perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami istri.1

Pengertian perkawinan menurut arti kata berarti bergabung, hubungan

kelamin dan juga berarti akad. Dalam arti terminologis artinya; akad atau

perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan

menggunakan lafaz na-ka-ha atau za-wa-ja.2

Nikah berarti perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami

dan beristri secara resmi.3 Nikah adalah perjanjian, dapat dimaknai tidak hanya

dimensi jasmani saja, tetapi juga dimensi rohani dan aqli. Artinya, menikah

merupakan sebuah perjanjian seutuhnya seseorang sebagai manusia yang

memiliki dimensi fisik, rohani ataupun kecerdasan akal.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

disebutkan, bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.4

1 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: BalaiPustaka, 2007), hlm. 531-532.

2 Amir Syarifuddin, Garis-garis Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2003), hlm. 74.3 Lukman A. Irfan, Nikah, (Yogyakarta: PT. Pustaka Insan Madani, 2007), hlm. 1-2.4 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Bab I Pasal 2 ayat (2).

9

Perkawinan adalah sebuah gerbang untuk membentuk keluarga yang

bahagia.5 Perkawinan itu sendiri adalah suatu hal yang sangat dianjurkan.6

Perkawinan adalah suatu persetujuan antara seorang laki-laki dan seorang

perempuan di dalam bidang hukum keluarga.7 Adapun menurut Kompilasi

Hukum Islam, perkawinan adalah akad yang sangat kuat dan mitsaaqan

ghaliidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan

ibadah.8 Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang

sakinah, mawaddah dan rahmah.9

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa arti perkawinan atau

pernikahan adalah suatu akad perikatan untuk menghalalkan hubungan

kebahagiaan hidup keluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang

dengan cara yang diridhai Allah SWT.

Perkawinan merupakan sesuatu yang suci, sesuatu yang dianggap luhur

untuk dilakukan. Bahkan menikah dapat mendatangkan rezeki.10 Oleh karena itu,

apabila seseorang hendak melangsungkan perkawinan dengan tujuan sementara

saja seolah-olah sebagai tindakan permainan, agama Islam tidak

memperkenankannya. Perkawinan hendaknya dinilai sebagai sesuatu yang suci,

5 Anik Farida, Perempuan dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian di Berbagai KomunitasAdat, (Jakarta Timur: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2007), hlm. 3.

6 Sayyid Muhammad Ridhwi, Marriage & Morals in Islam, (Jakarta: PT. Lentera Basritama,1997), hlm. 28.

7 Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Rineka Cipta,1997), hlm. 98.

8 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo,1992), hlm. 114.

9 Ibid., hlm. 114.10 Yusuf Anas, Fikih Khusus Dewasa, (Jakarta: Al-Huda, 2010), hlm. 5.

10

yang hanya akan dilakukan oleh orang-orang dengan tujuan luhur dan suci. Hanya

dengan demikian tujuan perkawinan dapat tercapai.

Perkawinan erat kaitannya dengan upaya membentuk rumah tangga, yaitu

unit terkecil dalam suatu masyarakat, suatu tempat dimana orang menyusun dan

membina keluarga.11 Dengan kata lain berkeluarga berarti memupuk sebuah

keluarga baru antara suami istri melalui jenjang pernikahan, menyatukan watak

yang berbeda antara keduanya, menjalin hubungan yang erat dan harmonis,

bekerja sama untuk mencukupi kebutuhan jasmani dan rohani masing-masing.

Membesarkan dan mendidik anak-anak yang akan lahir, menjalin persaudaraan

antara keluarga besar dari pihak suami dengan keluarga besar dari pihak istri,

bersama-sama mengatasi kesulitan dan problematika yang mungkin terjadi dan

bersama-sama mentaati perintah agama.

1. Dasar Hukum Perkawinan Islam

Perkawinan merupakan perintah agama yang langsung difirmankan

oleh Allah SWT didalam Al-Qur’an, diantaranya;

12

11 Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002),hlm. 46.

12 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Madinah: Mujamma’ al Malik Fahdli Thiba’at al Mush-haf asy Syarif, 1415 H), hlm. 114.

11

Artinya; “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telahmenciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allahmenciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allahmemperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan)nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah)hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga danMengawasi kamu” (QS. an-Nisa: 1).

13

Artinya; “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, danorang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamuyang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jikamereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nyadan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS.an-Nur: 32).

Adapun hukum pernikahan menurut Islam dapat digolongkan menjadi 5

(lima) macam, yaitu;

a. Wajib

Perkawinan wajib hukumnya bagi orang yang telah berkeinginan

kuat untuk menikah, telah mempunyai kemampuan untuk melakukan dan

bertanggung jawab akan kewajibannya dan khawatir apabila tidak menikah

akan mudah terjerumus dalam perbuatan zina.

b. Sunnah

13 Ibid., hlm. 549.

12

Perkawinan sunnah hukumnya bagi orang yang telah berkeinginan

kuat untuk menikah, mempunyai kemampuan untuk melakukan dan

bertanggungjawab akan kewajibannya, tetapi tidak khawatir melakukan

perbuatan zina bila tidak menikah.

c. Haram

Perkawinan haram hukumnya bagi orang yang belum berkeinginan

serta tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan

bertanggungjawab atas kewajibannya, karena justru apabila kawin akan

membawa kemadharatan.

d. Makruh

Perkawinan menjadi makruh hukumnya bagi orang yang telah

berkeinginan kuat untuk kawin, tetapi dikhawatirkan tidak atau belum

mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan bertanggung jawab akan

kewajibannya dan apabila tidak menikah tidak ada kekhawatiran akan

berbuat zina.

e. Mubah

Perkawinan menjadi mubah hukumnya bagi orang yang tidak

terdesak oleh alasan-alasan yang mewajibkan kawin maupun alasan-alasan

yang mengharamkan kawin.14

2. Rukun dan Syarat Pernikahan

14 Rois Mahfud, Al-Islam (Pendidikan Agama Islam), (Jakarta: Erlangga, 2011), hlm. 38-39.

13

Rukun perkawinan menurut istilah adalah sighat, calon suami, calon

istri, dua orang saksi, mas kawin (mahar), wali.15 Adapun syarat-syarat sahnya

perkawinan dalam Islam untuk masing-masing rukun tersebut adalah;

a. Syarat calon mempelai laki-laki;

1) Beragama Islam

2) Jelas laki-laki

3) Jelas orangnya

4) Dapat memberikan persetujuan

5) Tidak terdapat halangan perkawinan16

b. Syarat calon mempelai wanita;

1) Beragama Islam

2) Perempuan

3) Jelas orangnya

4) Dapat dimintai persetujuan

5) Tidak terdapat halangan perkawinan17

c. Syarat wali nikah;

1) Baligh

2) Berakal

3) Merdeka

4) Laki-laki

15 Mukhsin Nyak Umar, Wali Nikah (Perspsektif Empat Mazhab), (Aceh: NadiyaFoundation, 2006), hlm. 22-26.

16 Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2009),hlm. 12.

17 Zainudin Ali, Op. Cit., hlm. 12.

14

5) Islam18

3. Tujuan dan Hikmah Pernikahan

Perkawinan bukanlah suatu sarana yang bersifat permainan, tetapi

memiliki dimensi yang jauh lebih penting dalam rangka membina rumah

tangga yang bahagia dan sejahtera. Dalam hal ini perkawinan memiliki

maksud dan tujuan yang sangat mulia berkenaan dengan pembinaan

keluarga yang diliputi cinta dan kasih sayang antara suami dengan istri,

timbul rasa kasih sayang antara orang tua dengan anak-anaknya dan adanya

kasih sayang antara sesama keluarga.

Faedah pernikahan diantaranya; 1) membantu memelihara kemaluan,

menahan pandangan, serta menjaga agama dan akhlak, 2) Pahala dan

balasan yang besar dengan memenuhi perintah Allah dan Rasul-Nya untuk

menikah, 3) mewujudkan jalinan kasih sayang dan kesehatan antara suami-

istri yang dapat menepis kesedihan dan mengatasi penyakit jiwa dan fisik

yang disebabkan oleh kesendirian, dan hidup membujang.19

Sebagaimana firman Allah

20

18 Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 201.19 Syaikh Fuad Shalih, Liman Yuridu az-Zawaj wa Tajawaz (terj.), (Solo: PT. Aqwam Media

Profetika, 2008), hlm. 23.20 Departemen Agama RI, Op. Cit., hlm. 644.

15

Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakanuntukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderungdan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramurasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itubenar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (QS.ar-Rum: 21).

Tujuan perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi

petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis,

sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban

anggota keluarga. Sejahtera artinya tercipta ketenangan lahir dan batin

disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir batinnya. Tujuan perkawinan

selanjutnya adalah memenuhi kebutuhan biologis yang mendasar untuk

berkembang biak. Anak-anak merupakan pernyataan dari rasa keibuan dan

kebapakan.21

Dari sudut pandang sosiologis, perkawinan merupakan sarana

fondamental untuk membangun masyarakat sejahtera berdasarkan prinsip-

prinsip humanisme, tolong menolong, solidaritas dan moral yang luhur.

Dilihat dari sudut ekonomi, perkawinan merupakan sarana fondamental

untuk menumbuhkan etos kerja dan rasa tanggung jawab yang kuat terhadap

pekerjaan, efektif dan efesiensi. Sedangkan dilihat dari sudut kedokteran,

perkawinan merupakan tahap awal kehidupan seks yang sehat serta bebas

dari penyakit, bebas dari gangguan jiwa dan proses regenerasi yang sehat

dan sejahtera.

21 Abdur Rahman, Shari’ah the Islamic Law (terj), (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996), hlm. 5.

16

Sayid Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah menyatakan beberapa

keutamaan dan faedah perkawinan, diantaranya;

a. Manusia terhindar dari perbuatan zina, karena manusia memiliki naluri

seksual yang paling kuat dan eksplosif.

b. Perkawinan merupakan cara yang ditempuh manusia untuk berkembang

biak dan mendapatkan keturunan yang baik.

c. Dengan perkawinan, naluri kaibuan dan keayahan akan tumbuh

sempurna.

d. Perkawinan akan menumbuhkan kesadaran akan tanggung jawab

berumah tangga.

e. Dengan perkawinan akan muncul dan berkembang pembagian tugas yang

di satu pihak sesuai dengan keadaan rumah tangga, sedang di pihak lain

sesuai dengan keadaan dan suasana luar.22

Adapun manfaat nikah sebagai berikut;

a. Dikarunianya anak.

b. Dapat melindungi dari setan, mengatasi keinginan hawa nafsu yang

meletup-letup, menjaga pandangan mata dan menjaga kehormatan.

c. Dapat menghibur dan dan memanjakan diri dengan duduk bersantai

memandang dan bercanda dengan keluarga.

d. Memberi keleluasaan hati dalam mengatur rumah tangga.

22 Rois Mahfud, Op. Cit., hlm. 39-40.

17

e. Berjuang melatih diri dengan cara mengurus serta melaksanakan hak-hak

isteri, sabar mendidik akhlaknya, ikut menanggung penderitaannya dan

berusaha membimbingnya ke jalan yang lurus.23

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari

perkawinan untuk mewujudkan pribadi-pribadi yang sakinah (tenteram dan

damai) yang dilandasi oleh mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih sayang).24

4. Batasan Usia Pernikahan

Kedewasaan menjadi salah satu faktor penting dalam membina

kehidupan rumah tangga seseorang. Oleh karena itu, dalam Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan bahwa perkawinan

hanya diijinkan jika pihak pria sudah berusia 19 tahun dan pihak istri

mencapai usia 16 tahun. Adapun bagi calon mempelai yang belum mencapai

umur 21 tahun harus mendapat ijin dari orang tua, sebagaimana diatur dalam

pasal 6 ayat 2, 3, 4,5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan.

Dengan kata lain bagi pria atau wanita yang telah mencapai umur 21

tahun tidak perlu ada izin dari orang tua untuk menikah. Hal ini juga

dijelaskan dengan pasal 7 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa

yang perlu memakai izin orang tua untuk melakukan perkawinan ialah pria

23 Syaikh Hafizh Ali, Kado Pernikahan, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), hlm. 13.24 Lukman A. Irfan, Op. Cit., hlm. 2.

18

yang telah mencapai umur 19 tahun dan bagi wanita yang telah mencapai

umur 16 tahun.25

Ketentuan yang sudah ada dalam undang-undang ini menganut

prinsip bahwa calon suami-istri harus telah “masak jiwa raganya” untuk

dapat melangsungkan perkawinan, supaya dapat mewujudkan tujuan

perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian serta mendapatkan

keturunan yang baik dan sehat.26 Dan tidak bisa dipungkiri bahwa dalam

perkembangannya terdapat perbedaan pendapat mengenai batasan usia

kedewasaan ini.

Hukum adat pada umumnya tidak mengatur batas umur seseorang

untuk melaksanakan perkawinan. Kedewasaan seseorang didalam hukum

adat diukur dengan tanda-tanda tubuh. Bagi anak wanita dikatakan sudah

dewasa apabila sudah haid (datang bulan), dan buah dada sudah menonjol.

Bagi anak pria ukurannya hanya dilihat dari perubahan suara, bangun tubuh,

sudah mengeluarkan air mani atau sudah mempunyai nafsu seks.

Walaupun dalam Islam tidak ditemukan batasan umur yang pasti

mengenai ketentuan umur yang ideal dalam melaksanakan perkawinan. al-

Qur’an hanya menyebut konsep nikah tanpa mempersoalkan usia, akan

tetapi dalam perkembangannya terdapat perbedaan mengenai batasan usia

diperbolehkannya seseorang melakukan pernikahan.

5. Pernikahan Dini

25 Abdurrahman, Op. Cit., hlm. 117.26 Penjelasan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

19

“Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan yang salah satu

atau kedua mempelai masih di bawah umur 16 tahun untuk wanita

dan 19 tahun untuk pria”.27

Orang yang akan menikah, menurut hukum di Indonesia harus

memenuhi batas umur minimal. Seorang calon mempelai yang akan

melangsungkan pernikahan dan belum mencapai umur 21 tahun harus

mendapat izin orang tua.

Di pedesaan, menikah di usia muda masih wajar dilakukan.28 Umur

perkawinan di daerah pedesaan lebih muda dari pada di perkotaan.

Pernikahan dini yang terjadi di desa biasanya disebabkan karena tingkat

pendidikan yang rendah. Sedangkan sebab yang lain adalah terjadi hamil

diluar nikah atau biasa disebut “kecelakaan”. Kasus hamil diluar nikah lebih

banyak terjadi di perkotaan dari pada di desa. Hal ini karena pergaulan

bebas antara laki-laki dan perempuan di kota.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pernikahan

dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh perempuan yang berumur

dibawah 19 tahun, dan laki-laki yang berumur dibawah 20 tahun. Pasangan

muda pernikahan dini harus diberikan pembekalan yang memadai tentang

norma-norma berkeluarga, adat istiadat, perilaku dan budaya malu, rasa

hormat, dan pemahaman agama. Selain itu harus ditunjukkan tentang

luhurnya sebuah pernikahan.

27 Lukman A. Irfan, Op. Cit., hlm. 26.28 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya,

2013), hlm. 205.

20

Allah mensyariatkan pernikahan dan dijadikan dasar yang kuat bagi

kehidupan manusia karena adanya nilai-nilai yang luhur dan beberapa

tujuan utama yang baik bagi manusia yaitu untuk mencapai kehidupan yang

bahagia dan menjauhi dari ketimpangan dan penyimpangan.29

Pernikahan dini memberikan pendapat yang berbeda-beda kepada

orang lain, ada yang setuju dan ada yang tidak. Dalam agama Islam,

pernikahan dini tidak dilarang, karena hal ini dapat mencegah perzinaan.

Pernikahan dini memiliki kerugian dan keuntungan.

a. Kerugian Pernikahan Dini

Kerugian pernikahan dini akan lebih dirasakan oleh wanita.

Dalam hubungannya dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan yang menetapkan batas umur kawin 16 tahun untuk

wanita, dapat menimbulkan kerugian sebagai berikut;

1) Pada usia 16 tahun seorang wanita sedang mengalami masa pubertas,

yaitu masa peralihan dari anak-anak menjadi dewasa. Pada usia ini

seorang wanita belum siap fisik dan mentalnya menjadi ibu rumah

tangga.

2) Kawin pada usia muda (16 tahun) berarti wanita tersebut paling tinggi

baru memperoleh pendidikan 9 tahun (tamat SMP). Pendidikan pada

wanita mempengaruhi beberapa hal, diantaranya pendidikan anak-

29 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Amzah: 2009), hlm. 39.

21

anak dan keberhasilan program keluarga berencana serta

kependudukan.

3) Kawin usia muda berarti memberi peluang kepada wanita belasan

tahun untuk hamil dengan resiko tinggi.

4) Kawin pada usia muda berarti memperpanjang kesempatan

reproduksi.

5) Kawin pada usia muda merupakan faktor predis posisi untuk KLR

(Kanker Leher Rahim)30.

Selain pendapat di atas, masih ada kerugian dalam pernikahan

dini yaitu adanya ketidakmatangan emosi. Mereka seharusnya tidak

kawin sampai emosi dan pandangan mereka tumbuh dan matang. Setiap

perkawinan dimana salah satu pihak tidak dewasa adalah beresiko.

Mereka cenderung belum dapat menerima tanggung jawab yang perlu

untuk suatu perkawinan yang bahagia, kerugian juga terjadi dalam

keuangan.

Perkawinan jika dilakukan terlalu dini dalam umur belasan tahun,

biasanya keibuan (melahirkan anak) datangnya lebih cepat juga, dan

timbullah komplikasi. Kesukaran-kesukaran keuangan mengakibatkan

kejengkelan pada kedua pihak, dan kemudian keinginan seksual.

b. Keuntungan Pernikahan Dini

30 Ahmad Tholabi Kharlie, Op. Cit., hlm. 213.

22

Pernikahan dini tidak hanya memberikan kerugian-kerugian tetapi

juga keuntungan. Ada beberapa keuntungan yang bisa ditarik dan diambil

manfaatnya dari pernikahan dini, yaitu;

1) Merupakan amalan sunnah.

2) Allah tidak menyukai tindakan yang terburu-buru, kecuali pada tiga

hal yang diantaranya menikahkan seorang anak gadis ketika datang

orang yang cocok.

3) Dengan umur yang masih dini, membuat si gadis hanya

berkesempatan untuk memandang satu laki-laki suaminya.

4) Mencegah meluasnya bahaya zina.31

Segala sesuatu hendaknya jangan dilihat dari satu sisi saja.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa tentang pernikahan

dini hendaknya jangan dilihat dengan kacamata sebelah saja. Selain

melihat kerugiannya, pernikahan dini juga memiliki keuntungan.

B. Wali

1. Pengertian Wali

Kata wali adalah mufrad dari auliya, yang berarti mencintai, dekat,

teman, menolong, orang yang mengurus, tetangga.32 Wali menurut istilah

ulama Fiqh ada beberapa pengertian yaitu; Wali adalah suatu ketentuan

hukum syara’ yang dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan

bidang hukumnya. Perwalian itu ada yang umum dan ada yang khusus.

31 Ummu Aisyah, Az-Zawaj al-Mubakir, (terj.), (Solo: Samudera, 2008), hlm. 47-49.32 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab Indonesia Al Munawir, Cet. XIV, (Surabaya: PT.

Pustaka Progresif, 1997), hlm. 1582.

23

Perwalian yang khusus adalah berkenaan dengan manusia dan harta benda.

Pembicaraan disini dibatasi pada masalah perkawinan yang berkaitan

dengan manusia dan masalah wali nikah.

Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi

bagi calon wanita yang hendak menikahkannya.33 Keberadaan wali sebagai

salah satu syarat sahnya pernikahan didasarkan kepada sabda Nabi SAW;

34النكاحإالبوليوشاھدىعدل

Dalam suatu pernikahan, perempuan tidak boleh menikahkan dirinya

sendiri melainkan harus menyerahkan kepada pihak walinyaJika wali nikah

dilakukan oleh orang yang tidak berhak menjadi wali nikah, maka

perkawinan itu adalah batal.35 Wali dalam suatu pernikahan merupakan

hukum yang harus dipenuhi calon mempelai wanita yang bertindak

menikahkannya. Wali dapat langsung melaksanakan akad nikah. Perwalian

dalam perkawinan adalah suatu wewenang syar’i atas segolongan manusia

yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna, karena kekurangan tertentu

pada orang yang dikuasai, demi kemaslahatannya sendiri.

Dalam hal hak perwalian, wali nikah bisa terjadi karena lima hal,

antara lain;

33 Abdurrahman, Op. Cit., hlm. 118.34 Abu ‘Isa Muhammad Ibn ‘Isa Ibn Saurah at-Tirmidzi, al-Jami’ as-Shahih, (Beirut: Dar al-

Fikr, tt), hlm. 1020.35 Neng Djubaedah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat menurut Hukum

Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 111.

24

a. Hubungan kekerabatan baik kerabat dekat (seperti ayah, kakek, dan anak

laki-laki) maupun kerabat jauh (seperti anak laki-laki paman, saudara

ayah atau saudara ibu).

b. Hubungan pemilikan, seperti hamba sahaya dengan tuannya.

c. Hubungan yang ditimbulkan karena memerdekakan budak. Seseorang

mempunyai hubungan secara syara’ dengan hamba sahaya yang telah

dimerdekakannya. Oleh karena itu, menurut ulama Fiqh, orang tersebut

dapat mewarisi harta hamba sahaya yang dimerdekakannya dan berhak

memaksa hamba sahaya itu menikah dengan seorang wanita.

d. Hubungan mawali yaitu hubungan yang disebabkan perjanjian antara dua

orang yang mengikatkan diri untuk saling membantu apabila salah satu

pihak dikenakan denda karena melakukan sesuatu tindak pidana, seperti

pembunuhan. Pihak yang membantu ikut menanggung beban biaya denda

tersebut dan berhak mewarisi dan menjadi wali nikahnya.

e. Hubungan antar penguasa dan warga Negara, seperti kepala Negara,

wakilnya atau hakim. Mereka berhak menjadi wali bagi orang yang tidak

mempunyai wali dari kerabat dekat dalam pernikahan.36

Adapun orang-orang yang sah menjadi wali adalah;

a. Bapak

b. Kakek, yaitu bapak dari bapak

c. Saudara laki-laki sekandung

d. Saudara laki-laki sebapak

36 Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. ke-3, (Jakarta: PT. Ictiar BaruVan Hoeve, 1996), hlm. 1337.

25

e. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung

f. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak

g. Saudara bapak yang laki-laki (paman)

h. Anak laki-laki dari paman

i. Hakim37

2. Dasar Hukum Wali

Untuk mengurai dasar hukum wali nikah tidak ditemukan ayat-ayat

al-Qur’an yang menjelaskan secara detail dan terperinci, namun ada

beberapa ayat al-Qur’an yang menunjukkan keharusan adanya wali dalam

pernikahan sehingga ayat tersebut digunakan dasar hukum adanya wali

dalam pernikahan. Allah berfirman;

....38

Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelummereka beriman (QS. Al-Baqarah: 221).

Ayat tersebut ditujukan kepada wali supaya mereka tidak

menikahkan wanita-wanita Islam kepada orang-orang musyrik. Andaikata

wanita itu mempunyai hak secara langsung untuk menikahkan dirinya tanpa

wali, maka tidak ada artinya ayat tersebut ditujukan kepada wali. Tetapi

karena akad nikah adalah urusan wali, maka larangan tersebut ditujukan

kepada wali.

37 M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab Fiqih, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000),hlm. 139.

38 Departemen Agama, Op. Cit., hlm. 85.

26

Muhammad Abduh menafsirkan ayat tersebut bahwa laki-laki itu

menikahkan dirinya dan menikahkan para wanita yang menyerahkan

urusannya terhadap orang lain (wali). Sebab, seorang wanita tidak bisa

menikahkan dirinya secara bebas tetapi harus dengan wali. Hal ini

dikarenakan perwalian itu merupakan kerabat (keluarga) dan kasih sayang

antara keluarga serta dalam pergaulan. Hal itu tidak akan sempurna dan

tercapai manfaatnya kecuali dengan pertolongan dan perantaraan wali

terhadap wanita, serta adanya persyaratan kerelaan dan izin wanita secara

terus terang bagi seorang janda dan diam bagi persyaratan seorang gadis

yang masih diliputi rasa malu.

Kemudian dalam ayat lain;

39

Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masaiddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi merekakawin lagi dengan bakal suaminya. Apabila telah terdapatkerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf” (QS. al-Baqarah: 232).

39 Departemen Agama RI, Op. Cit, hlm. 87.

27

3. Macam-macam Wali

Dalam pernikahan dikenal adanya beberapa macam wali,

diantaranya;

j. Wali Mujbir

Wali mujbir adalah wali yang mempunyai hak paksa. Wali nikah

ini mempunyai hak memaksa anak gadisnya untuk menikah dengan

seorang laki-laki dalam batas-batas yang wajar. Wali mujbir ini

mempunyai adalah mereka yang mempunyai garis keturunan ke atas

dengan perempuan yang akan menikah. Wali mujbir dapat mengawinkan

anak gadisnya tanpa persetujuan putrinya jika penting untuk

kebaikannya.

Kebolehan wali mujbir ini dengan syarat-syarat sebagai berikut;

1) Jika putrinya dinikahkan dengan laki-laki yang sekufu’.

2) Jika mahar yang diberikan calon suami sebanding dengan kedudukan

putrinya (mahar mithl).

3) Jika tidak dinikahkan dengan laki-laki yang mengecewakannya.

4) Jika tidak ada konflik kepentingan antara wali mujbir dengan putrinya

dan dengan laki-laki (calon suaminya).

5) Jika putrinya tidak mengikrarkan ia tidak perawan lagi.

k. Wali Nasab

Wali nasab merupakan wali nikah yang memiliki hubungan

keluarga calon calon pengantin perempuan. Wali nasab ialah saudara

28

laki-laki sekandung, bapak, paman, beserta keturunannya menurut gadis

patrilineal (laki-laki).

l. Wali Hakim

Wali hakim merupakan wali yang ditunjuk dengan kesepakatan

kedua belah pihak (calon suami istri). Wali hakim itu harus mempunyai

pengetahuan sama dengan qadhi.

Wali hakim yaitu hakim atau naibnya dapat tidak bertindak

menjadi wali nikah bagi perempuan yang sudah baligh, berakal serta

kepada kufu’-nya, yaitu laki-laki yang sebaya/sepadan dalam

kedudukannya dengan perempuan itu yang berada dalam wali

kekuasaannya bilamana;

1) Walinya sudah mati semua, tiada yang masih hidup, atau

2) Wali akrabnya sedang tidak ada, yaitu sedang bepergian yang

jaraknya dua marhalah (yaitu lebih kurang = 90 km), sulit dihubungi

serta tidak ada wakilnya.

3) Wali akrabnya bertempat tinggal di tempat lain yang jauhnya kurang

dari 2 marhalah, hanya sukar untuk menemuinya karena dalam

perjalanannya ada gangguan keamanan wali akrabnya sedang tahanan

yang tidak diizinkan untuk dihubungi meskipun dengan surat.

4) Wali akrabnya sudah lama menghilang tanpa berita, tanpa alamat,

entah masih hidup atau sudah mati atau sudah terjadinya peperangan

atau sudah terjadinya kerusakan kapan yang ditumpanginya.

29

5) Wali akrabnya menolak untuk menjadi wali nikah karena tidak setuju

kepada calon menantu.40

40 Sudarsono, Op. Cit., hlm. 202-206.