77499 Abdul Ghofur Fitk

102
1 “Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Studi Pemikiran Pendidikan Syed Muhammad Naquib Al-Attas”. Oleh : Abdul Gofur NIM : 104011000083 Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1429 H/2008 M “Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Studi Pemikiran Pendidikan Syed Muhammad Naquib Al-Attas”.

Transcript of 77499 Abdul Ghofur Fitk

Page 1: 77499 Abdul Ghofur Fitk

1

“Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Studi Pemikiran Pendidikan

Syed Muhammad Naquib Al-Attas”.

Oleh :

Abdul Gofur

NIM : 104011000083

Jurusan Pendidikan Agama Islam

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta

1429 H/2008 M

“Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Studi Pemikiran Pendidikan

Syed Muhammad Naquib Al-Attas”.

Page 2: 77499 Abdul Ghofur Fitk

2

Skripsi :

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi

Syarat-syarat guna Mencapai Gelar Sarjana Strata I

Dalam Bidang Pendidikan Agama Islam

Oleh :

Abdul Gofur

NIM : 104011000083

Dibawah Bimbingan :

Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA

NIP : 150222550

Jurusan Pendidikan Agama Islam

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta

1429 H/2008

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, Pencipta alam semesta,

Dzat yang Maha Rahman dan Rahim, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis

dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini sebagai salah satu syarat dalam

memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam pada Fakultas Ilmu Tarbiyah

Page 3: 77499 Abdul Ghofur Fitk

3

dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Judul yang

penulis ajukan adalah:

“Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Study Pemikiran Pendidikan Syed

Muhammad Naquib Al-Attas)”.

Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad

SAW semoga tercurah pula kepada keluarga dan pengikutnya yang menjadi

Pendidik umat manusia.

Penullis sangat menyadari keterbatasan kemampuan penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini, juga penulis menyadari bahwa setiap manusia pasti sangat

memerlukan bantuan dari sesamamnya. Oleh sebab itu dengan ketulusan hati dan

kerendahan hati ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-

dalamnya kepada semua yang telah membantu penulis, antara lain:

1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Abdul Fattah Wibisono, MA, Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam dan

Drs. Syafiudin Siddiq, sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Jakarta

3. Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA, Dosen Pembimbing utama Penulis dalam

menyelesaikan skripsi, yang telah meluangkan waktu dan pikiran disela-sela

kesibukannya untuk memberikan bimbingan kepada penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

4. Orang tuaku yang tercinta, Ibunda Hj. Aisyah dan Ayahanda H. Rochmani yang

dengan sabar memberikan dukungan moril maupun materil, dan kepada saudara-

saudaraku yang tercinta.

5. Sahabat dan teman-temanku dari jurusan PAI angkatan 2004, Humaidi, Amin

Rahman, Faishil Qibthiyah, Melati Triksiana, khusus kepada Muhammad

Muyasser yang telah membantu dengan memberikan perhatian serta memberikan

bantuan moril, sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan

6. Kepada teman-teman Nurul Hikmah yang mau menemani berdiskusi di waktu

senggang untuk sekedar “memuntahkan” unek-unek akibat banyak buku yang

diacak-acak, sehingga skripsi ini terselesaikan.

Page 4: 77499 Abdul Ghofur Fitk

4

Akhirnya hanya kepada Allah Jualah penulis berharap dan memanjatka do’a

semoga amal baik semua pihak da termasuk daripada Shodaqoh Jariyah yang telah

membantu dalam menyelesaikan skripsi ini senantiasa mendapat balasan yang

berlipat dari Allah SWT, dan semoga ilmu yang penulis dapatkan termasuk ilmu

yang bermanfa’at.

Amien Ya Rabbal ‘Alamin

Jakarta, 20 Agustus 2008

Page 5: 77499 Abdul Ghofur Fitk

5

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ………………………………………...….….. 1

A. Tujuan dan Signifikansi Penelitian ……………………………..……...13

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………………………..….……. 15

C. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian …………………………………………………...15

2. Sumber Data …………………………………………...………....16

3. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data ……………………....…16

4. Pedoman Penelitian ……………………………………………....17

D. Sistematika Pembahasan ……………………………………………... …17

BAB II : OTOBIOGRAFI SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS

A. Riwayat Hidup dan Kariernya …………………………….……………18

B. Situasi Sosial Keagamaan ………………………………….……………20

C. Karya-karya Intelektualnya ……………………………………….…….26

BAB III : PARADIGMA ISLAMISASI ILMU

A. Pengertian dan Tujuan Islamisasi Ilmu ……………………............……32

B. Ruang Lingkup Islamisasi Ilmu………………………………………….36

1. Klasifikasi Ilmu………………………………………………….. 38

2. Sumber Ilmu………………………………………………………46

3. Metode Ilmu………………………………………………………47

C. Faktor Pendukung dan Penghambat Islamisasi Ilmu…………………….53

Page 6: 77499 Abdul Ghofur Fitk

6

BAB IV : PANDANGAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS

DALAM MENJAJAKI KEMUNGKINAN ISLAMISASI ILMU

A. Latar Belakang Tujuan…………………………………………………..55

B. Konsep Islamisasi Ilmu Syed Muhammad Naquib Al-Attas……………70

C. Karakteristik Islam dan Ilmu Syed Muhammad Naquib Al-Attas………83

D. Pengaruh Islamisasi Naquib al-Attas Terhadap Pendidikan……………..89

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan………………………………………………………………93

B. Saran-saran……………………………………………………………….94

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………..95

Page 7: 77499 Abdul Ghofur Fitk

7

BAB I

PENDAHULUAN

E. Latar belakang masalah

Terdapat Fenomena menarik mengusung abad ke-21, kemajuan peradaban Barat

menjadi suatu kiblat utama peradaban bangsa lain. Kemajuan teknologi tak terbatas

jangkaunnya. Barat menjadi ikon kemajuan peradaban abad 21, kemajuan peradaban

Barat tidak disertai dengan nilai-nilai pada aspek pendidikan, pemaksaan hak akan

negara lain tentang suatu model negara terlihat pada penyerbuan besar-besaran

negara Adidaya bersama para sekutunya terhadap negara kecil penghasil minyak,

pemaksaan ideology menjadi model utama baik itu bermadzhab sosialis komunis,

kapitalis, bahkan agamis, ideology diperankan sebagai mesin kekuatan yang

diharapkan dapat mengangkat martabat para pengusung ideology mereka, satu-

satunya perahu yang dapat mengantarkan pada tujuan yaitu tentang konsepsi

pendidikan.

Aneka panorama ini pada satu sisi mengikuti pendapatnya Zeno pada 2500

yang lalu bahwa seluruh benda_ baik benda yang hidup maupun yang mati_

bergerak kepada arah kehancuran sedangkan pada sisi lain bahwa neraca pendidikan

tak jelas arahnya pada satu ideology yang di tawarkan oleh negara-negara maju, hal

ini berimplikasi pada apakah sesungguhnya konsep pendidikan yang sesuai tujuan

utama penciptaan manusia dimuka bumi ini sebagai Kholifah Fil ‘ardhi. Selain

daripada itu pendidikan yang bermutu merupakan wahana SDM yang mampu

menerapkan, mengembangkan dan menguasai IPTEK dengan tetap dilandasi nilai-

Page 8: 77499 Abdul Ghofur Fitk

8

nilai agama, moral dan budaya luhur bangsa, sedangkan kualitas SDM terbukti

menjadi factor cerminan kemajuan suatu bangsa1.

Pendidikan memiliki andil yang sangat besar dalam membangun suatu

peradaban yang luhur. Dilihat dalam segi obyek formalnya, pendidikan memang

menjadikan sarana kemampuan manusia untuk dibahas dan dikembangkannya.

Dalam persoalan kemajuan pendidikan dan umat, kemampuan manusia ini harus

menjadi perhatian utama, karena ia menjadi penentunya. Ini berarti kajian

pendidikan berhubungan langsung dengan pengembangan sumber daya manusia

yang belakangan ini diyakini lebih mampu mengalahkan kemajuan peradaban

daripada sumberdaya alam. Ada banyak negara yang potensi alamnya kecil tetapi

potensi sumberdaya manusianya besar mampu mengalahkan kemampuan negara

yang sumber alamnya besar tetapi sumber daya manusianya kecil seperti Indonesia.

Nilai-nilai etika sudah menjadi moralitas bangsa yang tergadaikan,

keurgensian reinternalisasi nilai-nilai pendidikan sudah tidak lagi melahirkan

manusia yang ‘’baik’’, tetapi justru melahirkan destroyer bagi kesejahteraan umat

manusia dan alam semesta. Mungkin karena fenomena ini Mangunwijaya

(Tholkhah,2004:129 )mengatakan bahwa ‘’ ……. Apa guna kita memiliki seribu

alumni sekolah yang cerdas, tetapi masyarakat dibiarkan bodoh? Segeralah kaum

sekolah itu akan menjadi penjajah rakyat dengan modal kepintaran mereka………

Di dalam kacamata sejarah, umat Islam pernah mencapai masa keemasan

peradaban ditandai dengan kemajuan diberbagai aspek, ekonomi, sastra, politik,

geografi yang menjadi sentral peradaban, penyerapan ilmu-ilmu yang berkembang

1 Manshur Isha, Diskursus Pendidikan Islam. ( Yogyakarta : Global Pustaka Utama 2001)

cet I, hal 1

Page 9: 77499 Abdul Ghofur Fitk

9

diIslamisasikan menjadi ilmu yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, perhatian para

penguasa terhadap pendidikan mengantarkan peradaban umat Islam tak tertandingi,

dan banyak melahirkan tokoh-tokoh handal sepanjang sejarah, seperti, Abu Hamid

Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ibnu Rusydy, Al-Faraby, Ibnu Maskawaih

dan masih banyak tokoh lainnya2.

Kekalahan Islam akibat penghancuran yang dilakukan oleh Hulagu Khan

terhadap kota Baghdad sebagai pusat kekuasaan Islam pada tahun 1258 M

mengakibatkan kemunduran umat Islam dalam segala bidang kehidupan, baik

ekonomi, politik, budaya maupun pendidikan. Pasca penghancuran itu, umat Islam

seakan-akan sudah kehilangan semangat dalam menggali ilmu pengetahuan umum

yang bersifat ilmiah. Pembahasan-pembahasan serius dalam bidang kebudayaan

(sastra), filsafat, dan teologi yang seringkali dilakukan para Ilmuwan yang hidup

pada zaman kejayaan peradaban Islam, hilang tak membekas.

Kemiskinan intelektual ini tidak bisa pulih, meskipun terdapat penyatuan

kembali hampir seluruh wilayah Islam pada abad ke-16 dibawah dinasti Turki

Utsmani. Penguasa baru ini sama sekali tak mampu melindungi kebudayaan Islam

yang luhur, kendatipun dibatas wilayah-wilayah kekuasaanya sendiri. Sementara itu

sistem pendidikan dalam periode ini, sebagaimana dilaporkan oleh Nikki R. Keddie,

dikuasai oleh para pemimpin agama, yaitu Ulama3.

Kondisi seperti ini berlangsung sangat lama, sehingga pendidikan Islam

berada dalam keterbelakangan. Pendidikan Islam tidak lagi memberikan perspektif

2 C.A.Qadir Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, (Jakarta,Yayasan obor

Indonesia,2002) h.75 3 Nikki R. Keddie (ed), Scholars, saints and Sufism: Muslim Religioon Institutions in The

Middle East Since 1500, (Berkeley dan Los Angeles, 1972) bab I.

Page 10: 77499 Abdul Ghofur Fitk

10

masa depan yang cerah. Keadaan demikian berlaku di semua negara Islam.

Beriringan dengan masa ini, negara-negara Islam sedang menjadi obyek jajahan bagi

bangsa Eropa, sementara itu Napoleon mendarat dimesir pada tahun 1798 M.

Namun, ekspedisi ini datang tidak hanya untuk kepentingan militer, tetapi juga

untuk keperluan ilmiah, sehingga dia membawa para ahli dalam berbagai cabang,

tampaknya kedatangan Napoleon ini direspon oleh para pemikir Islam dengan

perlawanan baik fisik maupun intelektual4.

Umat Islam setelah mengalami masa kejayaan, memasuki masa-masa

kemunduran, hal ini diakibatkan banyak faktor tetapi faktor yang paling mendasar

ialah kurangnya perhatian para penguasa pada pendidikan, umat Islam mulai

mengalami kerancuan berfikir yang dahulu diperankan oleh para pendahulunya,

umat Islam sudah tidak lagi menggunakan rasionalitas berubah menjadi pola pikir

yang cenderung eksklusif, konservatif dalam memandang kehidupannya5, di satu sisi

para penguasa tidak menggunakan nuraninya lagi dalam menjalankan

pemerintahannya.

Pendidikan diberbagai dunia bahkan di Indonesia hanya diartikan Transfer of

Knowledge, nilai-nilai moralitas tak lagi menjadi perhatian serius, hal ini berakibat

pada lahirnya robot-robot yang tak bermoral. Hilangnya sosok Nabi Muhammad saw

sebagi Public Figure mengantarkan kebobrokan moral umat manusia mencapai

klimaksnya.

4 Mujammil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode

Kritik,( Surabaya, Erlangga. 2005) hal. 209 5 Poeradisastra, Sumbangan IslamTerhadap Perkembangan Modern. (Jakarta, P3M,1985)

h.35

Page 11: 77499 Abdul Ghofur Fitk

11

Dalam hal ini Syed Muhammad Naquib al-Attas berkomentar bahwa

pengalaman keruntuhan dan perpecahan kekuatan dan masyarakat Islam membuat

masyarakat Islam, terutama tokoh reformernya, menilik kembali konsep-konsep

Ibnu Khaldun tentang Ummah dan Negara dalam Islam sehingga sebagai usaha

dikerahkan kepada pembangunan kembali konsep-konsep tersebut. Dengan

demikian, perhatian terhadap konsep-konsep individu dan peranan yang

dimainkannya dalam mewujudkan dan membina umat dan negara Islam dan

membina umat dan negara Islam itu sudah terabaikan sama sekali. Namun,

bagaimana suatau umat dan negara Islam dapat dibangun dan ditegakkan sementara

umat Uslam secara individual, yang menjadi sel-selnya, berada dalam keadaan

bingung dan tidak mengerti apa-apa tentang Islam dan ajaran-ajarannya?6

Seiring dengan berkembangnya peradaban manusia tak terlepas dari

pendidikan dalam aspek epistemology ilmu yang telah di bangun oleh para pakar

pendidikan baik ahli di Barat maupun di timur.

Epistemologi secara umum dapat diartikan dengan filsafat yang membahas

tentang pengetahuan. Banyak hal menarik yang dibahas dalam epistemology, seperti

apakah seputar akal atau indera yang menjadi alat utama untuk mendapatkan

pengetahuan atau dalam bentuk pertanyaan lain apakah pengetahuan yang shohih,

semata-mata dihasilkan dari hasil logika atau observasi ketat saja.

Epistemologi Barat kini telah menjadi suatu cara pemikiran dan pencarian

yang sangat dominan dengan mengesampingkan cara-cara pengetahuan alternatif

lainnya. Bahkan sesungguhnya seluruh planet ini dibentuk dengan citra manusia

6 Syed Muhammad al-Naquib al-Attas, [Ed.], Aims and Objectives of Islamic Education

(Jeddah : Hodder and Stoughton, King Abdul Aziz University, 1979), hal 5-6

Page 12: 77499 Abdul Ghofur Fitk

12

Barat, imperalisme tersebut menunjukkan tanda-tanda akan terus merambah, jika hal

ini dibiarkan, maka perilaku utilitarinisme, hedonisme, sekulerisasi bahkan cara

pandang materialisme akan melanda masyarakat muslim dan hal ini sebahagiannya

disebabkan oleh factor-faktor epistemologis.

Selain itu epistemologi Barat cenderung mengarah kepada authopocentris,

artinya epistemologinya didasarkan pada tradisi budaya yang dikuatkan kembali

melalui premis-premis filosofis ketat berdasarkan pada spekulasi-spekulasi yang

hanya di dasarkan yang hanya mencakup hazanah sekuler atas manusia sebagai

entitas fisik7 dan hewan rasional dengan menggantungkan diri pada kemampuan

intelektual manusia untuk menyingkap materi dan lingkungan eksistensinya

sehingga nilai moral dan etisnya menjadi penuntun dan pengatur, tidak ada kepastian

dalam proyeksi pandangan dunia dan pengarahan kehidupan mereka, dikarenakan

nilai-nilai pengetahuan mereka selalu bergantung pada tinjauan dan perubahan akal

semata8.bahkan tokoh sekaliber Sigment Freud meyakini bahwa eksistensi diluar

relitas adalah ilusi atau non sense, bahkan menurut lingkaran Wina, jika tidak

diverifikasi secara empirik Tuhan hanyalah hipotesis yang tak diperlukan dalam

kerja ilmiah.

Epistemologi Barat yang digencarkan oleh Rene Descartes yang mengarah

kepada antroposentrisme. Ungkapan Rene Descartes, menurut Mujammil Qomar,

bahwa saya pikir saya ada tidak semata-mata menunjukkan pemberdayaan potensi

manusia, tetapi ungkapan itu sekaligus berusaha untuk membalikkan kondisi dan

7 Yudi Lathief dan Subandi Ibrahim. Kekerasan Spiritual dalam Masyarakat pasca

Modern.Jurnal Ulumul Qur’an No 3 Vol V,1994,h.77, Lihat pula Mulyadi Kertanegara, Menyibak Tirai Kejahilan.Pengantar Epistemologi Islam ( Bandung, Mizan, 2002,Cet.I) h.8-15

8 Seyyed Hussei Naser, Islam dan Krisi Lingkungan,Terj. Abbas al-Jauhari dan Ihsan Ali Fauzi, dalam jurnal islamika, no 3 januari- maret. 1994.h.10

Page 13: 77499 Abdul Ghofur Fitk

13

tradisi sebelumnya yang mendasarkan kebenaran pada sumber-sumber kekuasaan

diluar manusia, seperti kekuasaan gereja, kitab suci, tradisi atau negara. Pada

Descartes yang kemudian diikuti oleh para filosof dan ilmuwan berikutnya manusia

diangkat derajatnya pada posisi yang menentukan sesuatu kebenaran. Manusia

berdasarkan “Ijtihad’’ pemikirannya dapat membuat kriteria sendiri untuk mengukur

dan menentukan kebenaran. Manusia berdasarkan kewenangannya itu, tidak perlu

lagi menunggu petunjuk-petunjuk yang datang dari luar kekuatan dirinya hanya

untuk menentukan kebenara, apalagi kebenaran pengetahuan.

Perkembangan ilmu yang begitu pesat telah melahirkan berbagai teknologi

sering factor manusia terabaikan, dimana bukan lagi teknologi yang berkembang

seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, namun manusianyalah yang

seharusnya menyesuaikan diri dengan teknologi, dewasa ini, ilmu bahkan diambang

kemajuan yang memengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri, jadi

ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi9. Pada tahap inilah masalah

moral muncul kepermukaan, jika dalam masalah kontemplasi masalah moral

berkaitan dengan metafisika keilmuan, maka pada tahap praksis inilah masalah

moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah, atau secara filosofis

dapat dikatakan, dalam tahap pembangunan konsep terdapat masalah moral yang

ditinjau dari segi ontology keilmuan, sedangkan dalam tahap penerapan konsep

terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi aksiologi keilmuan10

9 Rodhiyah Khuza’i, Dialog Epistemologi Mohammad Iqbal dan Charles

S.Peirce.(Bandung. PT. Refika Aditama. 2007) hal.45 10 Jujun S. Sumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, cet.

VI. 1990) hal. 234

Page 14: 77499 Abdul Ghofur Fitk

14

Hegemoni Barat terhadap terknologi Barat atas negara-negara diseluruh

dunia membawa pengaruh yang sangat besar terhadap gaya, corak dan pandangan

kehidupan masyarakat. Mereka seperti tak sadarkan diri mengikuti pola-pola

pemikiran dari sains Barat, sehingga cara-cara pemikirannya, cara pandangannya

dan persepsinya terhadap sains dan hal-hal terkait yang menjadi implikasinya

menjadi terBaratkan. Dalam konteks sejarahnya, bahwa saints Barat modern

dibangun atas dasar semangat kebebasan dan penentangan terhadap doktrin ajaran

Kristen, sehingga ia mencoba menampilkan pola pikir yang berlawanan dengan

tradisi pemikiran agama, (Kristen) sebagai antitesis. Misi yang paling mencolok

yang disisipkan kedalam sains Barat modern itu adalah sekulerisasi, konsep

sekulerisasi disosialisasikan dan dipropagandakan sedemikian rupa dikalangan para

ilmuwan, mahasiswa, pelajar, kelompok-kelompok ilmuwan lainnya, dan

masyarakat pada umumnya, untuk mendapatkan pembenaran-pembenaran secara

ilmiah. Pada akhirnya, konsep sekulerisasi ilmu pengetahuan itu menjadi opini

publik pada tingkat global.

Ada beberapa kelompok masyarakat yang paling dirugikan akibat penerapan

sekulerisasi pengetahuan Barat modern itu. Mereka adalah kelompok yang

berpegang teguh pada ajaran yang yang tingkat kebenarannya absolut dan memiliki

ikatan moral dengan ajaran agamanya, terutama masyarakat muslim. Ketika

mengikuti arus perkembangan sains modern Barat, mereka secara sadar maupun

‘’terpaksa’’ harus menggantikan nilai-nilai religius mereka dengan nilai-nilai sekuler

yang sangat bertentangan dengan ajaran agamanya yang selama ini agama Islam

dipedomani sebagai satu-satunya jembatan yang dapat mengantarkan umat manusia

Page 15: 77499 Abdul Ghofur Fitk

15

untuk selamat dunia dan akhirat, dan juga agama sebagai basic bangunan ilmu

pengetahuan, kondisi inilah yang menjadi perhatian muslim, sebab dapat

membahayakan keimanan (akidah) Islam termasuk tokoh Muslim abad modern Syed

Muhammad Naquib al-Attas serta R.Isma’il al-faruqi.

Berhadapan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan

teknologi, para ilmuwan terbagi menjadi dua. Pertama, golongan yang

menghendaki, bahwa ilmu itu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik secara

ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini, tugas ilmuwan adalah menemukan

pengetahuan dan terserah kepada penggunaannya. Kedua, netralitas ilmu terhadap

nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan pada

penggunaannya, bahkan pemilihan objek penelitian, kegiatan keilmuan harus

berlandaskan pada asas-asas moral11.

Agama sebagai basis epistemology satu hal yang tak dapat ditawar-tawar

lagi. Terlebih lagi sumber ajaran Islam, Al Qur’an dan Sunnah mengajarkan untuk

mencari Ilmu dan kearifan, serta menempatkan orang-orang yang berpengetahuan

pada derajat yang tinggi. Dalam Al-Qur’an sendiri terdapat kata al-‘Ilmi dan kata-

kata jadiannya sebanyak 780 kali. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kajian

ilmu dalam agama (Islam).

Islam agama yang memacu umatnya untuk terus secara berkesinambungan

untuk belajar dalam memahami pendidikan, terdapat makna utama antara lain yaitu12

: Ta’dib, salah satu konsep kunci utama yang merujuk pada hakikat dari inti makna

pendidikan adalah istilah ta’dib yang berasal dari kata adab. Istilah adab dianggap

11Jujun S. Sumantri. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar. hal. 235 12 Mujammil Komar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode

Kritik . Hal 104

Page 16: 77499 Abdul Ghofur Fitk

16

dapat mewakili makna utama pendidkan Islam. Istilah ini menurut Naquib al-attas

sangat penting dalam rangka memberi arti pendidikan Islam. Adab adalah disiplin

tubuh, jiwa dan ruh; disiplin yang menegaskan pengenalan dan pengakuan tempat

yang tepat hubungannya dengan kemampuan dan potensi jasmaniyah, intelektual

dan ruhaniyah; pengenalan dan pengakuan akan kenyataan bahwa ilmu dan wujud

ditata secara hierarkis sesuai dengan tingkat derajatnya. Dalam adab akan tercermin

keadilan dan kearifan. Adab meliputi kehidupan material dan spiritual. Adab juga

bermakna undangan kepada perjamuan yang bisa membawa kepada kenikmatan

ruhaniyah, adab melibatkan disiplin pikiran dan jiwa, tindakan yang betul dan aspek

kehormatan. Penekanan adab mencakup amal dan ilmu sehingga mengkombinasikan

ilmu dan amal serta adab secara harmonis, ketiganya sebagai pendidikan. Pendidikan

dalam kenyataannya adalah ta’dib, karena adab sebagaimana didefinikasikan

mencakup ilmu dan amal sekaligus.13

Prof. Dr. H. Abudin Nata berpendapat mengenai akar kata pendidikan

didalam Islam yang bersumberkan dari al-Qur’an bahwa selain kata tarbiyah

terdapat pula kata ta’lim, kata ini oleh para penerjemah sering diartikan

pengajaran14. Dalam hubungan ini jusuf A faisal, pakar dalam bidang pendidikan

mengatakan bahwa pengertian pendidikan Islam dari sudut etimologi (ilmu akar

kata) sering digunakan istilah ta’lim dan tarbiyah yang berasal dari kata ‘allama dan

rabba yang dipergunakan didalam al-Qur’an, sekalipun kata tarbiyah lebih luas

konotasinya, yaitu mengandung arti memelihara, membesarkan, dan mendidik

sekaligus mengandung makna mengajar (‘allama).selanjutnya Faisal megutip

13 Muhammad al-Naquib al-attas, Konsep Pendidkan dalam Islam ( Bandung,: Mizan,1994) hal. 52-60

14 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam ( Jakarta, PT Wacana Ilmu Logos, 1997) hal.5

Page 17: 77499 Abdul Ghofur Fitk

17

pendapat Naquib Alatas dalam bukunya yang berjudul Islam and Seculerism yag

mengatakan bahwa selain kata tarbiyah dan ta’lim sebagaimana tersebut diatas

terdapat pula kata ta’dib yang ada hubungannya dengan kata adab yag berarti

susunan15

Istilah ini dalam kaitannya dengan arti pendidikan Islam telah dikemukakan

oleh Syed Muhammad Naquib al-attas yang menyatakan bahwa istilah ta’dib

merupakan istilah yang sangat tepat untuk menunjuk arti pendidikan Islam.

Pengertian ini didasarkan bahwa arti pendidikan adalah meresapkan dan

menanamkan adab pada manusia16, disamping alasan makna kebahasan lainnya.

Dalam konteks Islam, sains tidak menghasilkan kebenaran yang absolut.

Istilah yang paling tepat untuk mendefinisikan pengetahuan adalah al-‘ilm , karena

memiliki dua komponen. Pertama : bahwa seluruh sumber asli pengetahuan adalah

wahyu atau al qur’an yang mengandung kebenaran yang absolut. Kedua : bahwa

metode mempelajari pengetahuan yang sistematis dan koheren semuanya sama-sama

valid; semua memiliki bagian dari satu kebenaran dan realitas-bagian yang sangat

bermanfaat untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Dua komponen ini

menunjukkan, bahwa al’ilm memiliki akar sandaran yang lebih kuat dibanding sains

dalam versi Barat, akar sandaran al-‘ilm justru berasal langsung dari sang maha

berilmu dan sang pencipta. Tuhan yang secara teologis diyakini sebagai sang

penguasa segala-galanya17

15 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an.( Bandung: Mizan, 1992) cet. Ke-2. hal156 16 Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, ter. Karsido Djoyoswarno (Jakarta:

Pustaka,1991) hal. 222 17 Mujammil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode

Kritik . hal 105

Page 18: 77499 Abdul Ghofur Fitk

18

Realitas ini selanjutnya memiliki perbedaan bobot kualitas kebenaran.

Pengetahuan yang bersumber pada wahyu, sebagaimana disebut al-ilm tersebut

memiliki bobot kualitas yang lebih tinggi daripada sains. Keunggulan ini akan

semakin kokoh dengan dukungan penggunaan metode yang valid, sehingaga

pengetahuan yang dihasilkan tidak secara keseluruhan apriori terhadap wahyu, tetapi

juga melalui tahapan-tahapan mekanisme kerja ilmiah. Banyak ayat al-qur’an yang

berkenaan dengan fenomena alam dan secara ilmiah terbuktikan kebenarannya.

Cara memperoleh materi pengetahuan sangat bergantung pada karakteristik

materinya itu sendiri, apakah ia berada dalam pengalaman manusia yang empiris

(sensual), rasional, atau hermeneutis. Jika karakteristik materinya adalah empiris

(sensual), maka metode yang digunakan adalah observasi, eksperimen, dan induktif

inferensial. Jika karakteristik materinya adalah rasional/aksiomatik, maka metode

analisis yang digunakan adalah metode deduktif. Jika karakteristik materinya adalah

hermeneutis, maka metode yang digunakan adalah verstehen, yakni untuk

menangkap makna yang lebih dalam, sehingga diperoleh kesimpulan kasus, atau

metode reflektif, yakni metode analitis yang prosesnya mondar-mandir antara yang

empirik dengan yang abstrak18.

Cara pengembangan ilmu pendidikan Islam bisa menggunakan metode

penelitian ilmiah (saintifik), metode penelitian filosofis ( kefilsafatan ), dan juga bisa

menguinakan metode penelitian mistik ( sufistik ). Hal ini tergantung pada apa yang

menjadi objek penelitian. Agaknya ilmu pendidikan Islam tidak mungkin hanya

berisi ilmu (sains) pendidkan Islam, tetapi pada bagian-bagian tertentu memerlukan

18 Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, Mengurai benang kusut Dunia Pendidikan.

(Jakarta, PT. Raja Grafindo, 2006 ) hal. 34

Page 19: 77499 Abdul Ghofur Fitk

19

teori-teori filosofis, sehingga pada pengembangannya menggunakan metode

penelitian filosofis. Kadang-kadang juga menggunakan teori-teori yang non empirik

atau tidak terjangkau oleh logika. Sehingga perlu menggunakan metode penelitian

mistik-sufistik.

Menguaknya gagasan “Islamisasi Pengetahuan’’ abad modern, yang

dilontarkan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas yang dengan gencarnya

mengkritik gagasan-gagasan para tokoh muslim sebelumnya yang terjebak pada

konsep sekularisasi, karena menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas bahwa

tantangan yang terbesar yang dialami umat bukanlah kebodohan tetapi pengetahuan

yang dipahamkan dan disebarkan keseluruh pelosok dunia oleh peradaban Barat. Hal

ini sejalan dengan Isma’il Al-Faruqi (1984) bahwa system pendidikan telah dicetak

dalam sebuah karikatur, sehingga ia dipandang sebagai inti malaise atau penderitaan

yang dialami umat19.

Terinspirasi oleh gagasan Islamisasi Pengetahuan yang dilontarkan oleh

Syed Muhammad Naquib al-Attas, Penulis dalam menyelesaikan kelengkapan kajian

ilmiah strata I, serta untuk mencapai ridho Allah SWT. Penulis mengajukan judul

“Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Study Pemikiran Pendidikan Syed

Muhammad Naquib. Al-Attas)”.

19 Muhaimin. Nuansa Baru Pendidikan Islam, Mengurai benang kusut Dunia Pendidikan.

h.38

Page 20: 77499 Abdul Ghofur Fitk

20

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Permasalahasn pokok yang akan dibahas didalam penelitian ini adalah

konsep Islamisasi Pengetahuan Syed Muhammad Naquib Al-attas dan factor-faktor

yang melatar belakangi munculnya konsep tersebut.

Identifikasi permasalahan dalam penelitian ini adalah upaya refleksi

pendidikan Islam tentang Islamisasi Pengetahuan Syed Muhammad Naquib al-Attas.

Sebagai pijakan dalam penelitian ini akan dijabarkan rumusan masalah sebagai

berikut :

1. Faktor apakah yang melatar belakangi munculnya gagasan Islamisasi Ilmu?

2. Bagaimana pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas terhadap

Epistemology Islam dengan Barat ?

3. Bagaimana pengaruh Islamisasi Ilmu terhadap gerakan kependidikan yang

dilakukan Syed Muhammad Naquib al-Attas ?

C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian

Untuk mengetahui latar belakang pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas

1. Untuk mengetahui gerakan kependidikan Syed Muhammad Naquib al-Attas

2. Dapat menggali gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Syed Muhammad

Naquib Al-attas

Adapun Signifikansi penelitian sebagai berikut untuk :

1. Memberikan kontribusi bagi pengembangan pemikiran pendidikan Islam di

Indonesia.

Page 21: 77499 Abdul Ghofur Fitk

21

2. Memberikan sumbangan bagi pengembangan kepustakaan Islam dan

khazanah intelektual Islam Indonesia.

3. Memperoleh bahan-bahan serta cara melakukan reorientasi pendidikan,

sehingga dapat dijadikan bahan-bahan perbandingan dengan reorientasi

pendidikan yang dilakukan di Indonesia.

D. Metodologi Penelitian.

Sebagai suatu kajian terhadap pemikiran tokoh, dalam hal ini penulis

menggunakan pendekatan filosofos,20 yaitu pendekatan yang menggunakan

argumen-argumen, pemikiran dan logika dalam analisis data. Selanjutnya karena

penelitiannya terhadap kehidupan seseorang dalam hubungannya dengan

masyarakat, sifa-sifat, watak, pengaruh pemikiran dan idenya serta pembentukan

watak tokoh tersebut selama hidupnya, maka sebagai pendekatannya adalah

pendekatan sejarah (historical approach).

` Adapun secara metodologis penelitian ini menggunakan metode penelitian

deskriptif, serta diskursus. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan dalam

pencarian data adalah penelitian kepustakaan (library research) dengan cara

melacak lalu menyeleksinya kemudian menelaah dan terakhir mengklasifikasi data

yang ada korelasinya dengan obyek penelitian.

Sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi sumber primer dan

sekunder dari karya-karya tulis yang memiliki kaitan dengan permasalahan yang

20 Metode penelitian filosofis ini dilakukan dengan cara metodis umum yang berlaku bagi

pemikiran filsafat. Selanjutnya Anton barke merinci langkah-langkah metode tersebut menjadi 12 langkah, lihat Anton barker dan Ahmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian filsafat (Yogya:Kanisius,1990) h.63-65

Page 22: 77499 Abdul Ghofur Fitk

22

terdapat dalam penelitian ini baik buku, jurnal, makalah serta website yang ada

hubungannya. Adapun sumber-sumber data primer, antara lain : (1) Syed

Muhammad Naquib Al-attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, (Bandung: Mizan,

1983), cet, ke-3. (2) Syed Muhammad Naquib Al-attas, Islam dan Sekularisme,

(Bandung: Pustaka, 1981), cet, ke-1. (3) Syed Muhammad Naquib Al-attas, Islam

dan Filsafat Sains, (Bandung: Mizan, 1995), cet, ke-1. (4) Syed Muhammad Naquib

Al-attas, Prolegomena to the Methaphysics of Islam an Exposition of the

Fundamental Elemens of The World View of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001)

cet, ke-2.

Adapun sumber data sekunder, antara lain, (1) Wan Mohd Nor Daud, Filsafat

dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-attas (Bandung: Mizan,

2003), cet, ke-1. (2) Syed Muhammad Naquib Al-attas, Risalah untuk kaum

Muslimin, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001). Adapun untuk menganalisis data,

digunakan metode analisis isi (Content Analysis). Analisis isi disini dimaksudkan

untuk menganalisis makna yang terkandung dalam keseluruhan pemikiran Syed

Muhammad Naquib al-Attas tentang konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan.

E. Sistematika Pembahasan

Untuk memudahkan pembahasan masalah dalam proposal skripsi ini, penulis

membagi menjadi beberapa bab dan masing-masing terdiri dari sub-bab, yaitu

sebagai berikut :

Bab I : Pendahuluan yang membahas latar belakang masalah, permasalahan,

tujuan penelitian, metodelogi penelitian, dan sistematika pembahasan.

Page 23: 77499 Abdul Ghofur Fitk

23

Bab II : Otobiografi Syed Muhammad Naquib Al-attas, meliputi riwayat hidup

dan karier hidup serta karya-karyanya.

Bab III : Paradigma keilmuan, meliputi pengertian dan tujuan Islamisasi Ilmu,

Ruang lingkup Islamisasi Ilmu, factor pendukung dan penghambat

Islamisasi Ilmu.

Bab IV : Menjajaki kemungkinan Islamisasi Ilmu,meliputi: latar belakang

tujuan, konsep Islamisasi Ilmu Naquib al-Attas, konkluvistik

Islamisasi Ilmu Naquib al-Alatas, Pengaruh Islamisasi Ilmu Naquib

al-Attas terhadap Pendidikan.

Bab V : Penutup, Kesimpulan dan Saran.

Page 24: 77499 Abdul Ghofur Fitk

24

BAB II

OTOBIOGRAFI SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS

A. Riwayat Hidup dan Kariernya

Syed Muhammad Naquib al-Attas lahir pada tanggal 5 september

1931 M. nama lengkapnya adalah Syed Muhammad Naquib ibn Ali ibn Abdullah

ibn Muhsin al-Attas silsilah keluarganya melalui silsilah sayyid dalam keluarga

Ba’lawi di sampai kepada Imam Husein cucu Nabi Muhammad SAW21. Moyang

Naquib berasal dari Hadramaut (Yaman) diantara leluhurnya ada yang menjadi

ulama’ besar, yaitu Syed Muhammad ‘Alaydrus(dari silsilah Ibu), guru dan

pembimbing ruhani syed Abu Hafs Umar ba Syaiban yang berhasil mengantarkan

Nur al-Din al-Raniri, seorang Ulama terkemuka di dunia melayu- ke tarekat

Rifa’iyah. Ibunda Syed Muhammad Naquib al-Attas, yaitu Syarifah Raguan A,

berasal dari Bogor, Jawa Barat, dan merupakan keturunan-keturunan dari raja-raja

Sunda Sukaparna22.

Sedangkan dari pihak ayah, al-Attas merupakan cucu dari seorang wali yang

bernama Syed Abdullah ibn Muhsin ibn Muhammad al-Attas, yang sangat terkenal

tidak hanya di Indonesia, tetapi juga sampai ke negeri Arab, neneknya Ruqoyyah

Hanum, adalah wanita Turki berdarah aristokrat yang menikah dengan Ungku

Abdul Majid. Adik Sultan Abu Bakar johor( W. 1895) yang menikah dengan adik

Ruqoyah Hanum, Khodijah. Yang kemudian menjadi ratu Johor. Setelah Ungku

Abdul Majid wafat, ia meninggalkan dua orang anak. Ruqoyah menikah untuk

Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas,

( Bandung, Mizan,2003) cet. Ke-1, h. 45 22 Saiful Muzani, Pandangan Dunia dan Gagasan Islamisasi Syed Muhammad Naquib al-

Attas’’ dalam jurnal al-hikmah. ( No.3 edisi Juli – Oktober 1991 ), h.90

Page 25: 77499 Abdul Ghofur Fitk

25

kedua kalinya dengan syed Abdullah al-Attas dan dikaruniai seorang anak, Syed

Ali al-Attas, yaitu bapak dari Syed Muhammad Naquib al-Attas.

Syed Muhammad Naquib al-Attas merupakan anak kedua dari tiga

bersaudara. Kakaknya bernama Syed Husein, seorang ahli Sosiologi dan mantan

Wakil Rektor Universitas Malaya, sedangkan adiknya bernama Syed Zaid seorang

Insinyur kimia dan mantan Dosen Institut Teknologi MARA. Sepupu Neneknya

dari pihak ayah, bernama Ungku Abdul Aziz – anak dari Ungku Abdul Madjid –

berasal dari keluarga bangsawan Melayu, termasuk keluarga Datuk Onn Jafar,

ayah dari Datuk Hussein Onn yang merupakan mantan Perdana Menteri Malaysia

dan tokoh pendiri sekaligus Presiden pertama UMNO (United Malaya National

Organisation), yaitu sebuah Partai Politik yang menjadi tumpuan kerajaan

Malaysia sejak mendapatkan kemerdekaan dari Kerajaan Inggris.

Melihat latar belakang keluarga al-Attas yang telah penulis ketengahkan,

Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah sosok yang dapat dikategorikan yang

tergolong berdarah biru, yang bukan berasal dari keluarga biasa secara sosio

kultural, akan tetapi dari golongan ningrat, didalam dirinya mengalir tidak hanya

darah biru tetapi juga semangat dan emosi keagamaan yang luhur dan tinggi dalam

hirarki spiritualitas Islam, yakni keluhuran dan kesucian pribadi seperti yang

diajarkan dalam ajaran tasawuf.

Page 26: 77499 Abdul Ghofur Fitk

26

B. Situasi Sosial Keagamaannya

Dalam usia yang relatif muda al-Attas telah mendapatkan pendidikan dari

keluarganya, dari keluarga yang berasal dari Bogor. Ia memperoleh pendidikan

dalam Ilmu- ilmu keislaman. Sedangkan dari keluarganya yang berada di Johor, ia

memperoleh pendidikan kesusastraan , bahasa dan budaya Melayu. Tampaknya

kedua orang tuanya menginginkan al-Attas untuk mendalami ilmu di Negeri Jiran

Malaysia. Disinilah ia mendapatkan pendidikan dasar di Ngee Primary School

(1936-1941)23.

Namun pada pertengahan tahun 1940-an Jepang menduduki Malaysia, al-

Attas kembali dikirim ketanah air tempat beliau dilahirkan untuk meneruskan

pendidikannya di Madrasah al’Urwatul Wutsqo, Sukabumi, belajar Bahasa Arab

dan agama Islam.

Setelah perang Dunia ke II tepatnya pada tahun 1946, al-Attas kembali ke

Malaysia melanjutkan kembali pendidikannya dibukit Zahroh School dan

selanjutnya di English College ( 1046-1951). Selama menyelesaikan

pendidikannya, al-Attas tinggal bersama pamannya yang bernama Ungku Abdul

Aziz ibn Ungku Abdul Madjid. Pamannya ini yang mempunyai perpustakaan yang

sangat bagus, terutama manuskrip sastra dan kesejarahan Melayu. Fasilitas

perpustakaan ini tidak disia-siakan oleh al-Attas. Beliau banyak menghabiskan

masa mudanya untuk membaca dan mendalami manuskrip-manuskrip yang

tersedia diperpustakaan tersebut. Lingkungan intelektual inilah yang kemudian

23 Syaidul Muzani, Pandangan Dunia Dan Gagasan Islamisasi Ilmu Syed M.N.Al-Attas, h.91

Page 27: 77499 Abdul Ghofur Fitk

27

banyak mempengaruhi pola pikir, tulisan dan tutur bahasa al-Attas dikemudian

hari.

Pada tahun 195 setelah al-Attas selesai menyelesaikan pendidikannya di

Englis college. Ia kemudian masuk dinas militer dan karena prestasinya yang

sangat mengagumkan ia berkesempatan mengikuti pendidikan militer di Eton Hall,

Chester, Wales, kemudian di Royal Military Academy, Sandhurst, Inggris, Inggris

(1952-1955). Selama di Inggris, ia menyempatkan diri untuk memahami aspek-

aspek yang memahami aspek-aspek yang mempengaruhi semangat dan gaya hidup

masyarakat Inggris24.

Setelah selesai mengikuti pendidikan militer di Sandurst, al-Attas

ditugaskan menjadi pegawai kantor di resimen tentara kerajaan Malaya, yang pada

saat itu disibukkan oleh perlawanan kaum komunis yang bersarang dihutan.

namun, tampaknya jiwa intelektualnya telah mendarah daging didalam dirinya,

sehingga ia mengambil keputusan untuk meninggalkan dunia kemiliteran dan

menjatuhkan pilihan pada dunia akademik, walaupun pada saat itu ia telah

berpangkat Letnan.

Karier akademiknya setelah keluar dari dinas militer, ia masuk ke

Universitas of Malay, Singapura, 1957-195925. ketika di Universiatas ini

kecemerlangan intelektualnya kembali terbukti, dengan menulis dua buah buku.

Buku yang pertama adalah Ruba’iyat. Sedangkan buku yang kedua adalah some

Aspects of shufism as Understood and practised Among the Malays, yang

24 Syaidul Muzani. Pandangan Dunia Dan Gagasan Islamisasi Ilmu Syed M.N.Al-Attas, H.

92 25 A. Khudhori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar), cet.ke-

1, h. 251

Page 28: 77499 Abdul Ghofur Fitk

28

diterbitkan oleh Lembaga Penelitian Sosiologi Malaysia pada 1963, buku yang

kedua ini sangat bagus, sehingga ia mendapatkan tawaran beasiswa oleh

pemerintahan Kanada melalui Canada Council Foollowship untuk belajar di

Institud of Islamic Studies, Universitas McGill, Monteral Kanada, Kesempatan itu

ia manfaatkan dengan sebaik-baiknya dalam kurun waktu 3 tahun ia berhasil

meraih gelar M.A. setelah tesisnya yang berjudul Raniri and the Wujudiyyah of

17th Century Acheh, lulus dengan nilai yang sangat memuaskan, selama di

Universitas McGill, al-Attas banyak berkenalan dengan pemikir-pemikir dunia,

seperti : Fazlur Rahman, Sir Hamilton Gibb, Syed Husein Naser, dan Toshihiko

Izutsu.

Karier akademik al-Attas tidak hanya berhenti di Universitas McGill,

akan tetapi, al-Attas kemudian menempuh program doktor di School of Oriental

and African Studies, Universitas London, yang oleh banyak kalangan dianggap

sebagai pusat kaum Orientalis26. Disini al-Attas menekuni teologi dan metafisika

dan menulis disertasi dengan judul The Mysticm of Hamzah Fanshuri yang juga

lulus dengan nilai yang sangat memuaskan.

Sekembali dari London pada tahun 1965. al-Attas langsung dilantik menjadi

ketua jurusan sastra di fakultas kajian Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur.

Dari tahun 1968-1970, al-Attas menjabat sebagai Dekan Fakultas Sastra dikampus

yang sama. Kariernya terus menanjak dan dilembaga ini al-Attas berusaha

menjadikan bahasa melayu sebagai pengantar Fakultas dan Universitas. Namun

26 A. Khudhori Shoeh, Wacana Baru Filsafat Islam hal.256

Page 29: 77499 Abdul Ghofur Fitk

29

usaha itu mendapat tantangan dosen-dosen lain yang tidak sepakat dengan idenya

tersebut.

Pada tahun 1970 al-Attas termasuk salah seorang pendiri Universitas

Kebangsaan Melayu (UKM), dan menjabat sebagai Dekan pertama dari institut

bahasa, kesusastraan dan Kebudayaan Melayu di UKM. Pada tanggal 24 januari

1972 beliau diangkat profesor dalam bidang bahasa dan kesusastraan Melayu di

Universitas yang sama, dengan pidato pengukuhan “ Islam dalam Sejarah

Kebudayaan Melayu”

Berkat semangat dan prestasinya dalam bidang pemikiran sastra dan

kebudayaan, khususnya dalam dunia Melayu dan Islam, sehingga beliau menerima

beberapa penghargaan, diantaranya yaitu, menerima penghargaan dari pemerintah

Iran pada tahun 1975 sebagai “Sarjana Akademi Falsafah Maharaja Iran” ( Fellow

Of The Imperal Iranian Academi of Filosophy), penghargaan dari pemerintah

Pakistan, tahun 1979, atas kajian-kajiannya yang mendalam tentang pemikiran

Iqbal ( Iqbal centenary Commemorative medal), sebagai anggota American

Philoshopical Assosiation ( World of Islam Festival) yang diadakan di London

pada tahun pada 1976.

Al-Attas telah melanglang buana keberbagai Negara, menjadi

Narasumber atau peserta pada acara-acara yang bertaraf Internasional, diantaranya

seperti, memimpin Komite yang membahas tujuan dan definisi pendidikan Islam

pada Konferensi Dunia pertama mengenai pendidikan yang berlangsung di

Mekkah pada tahun 1997.

Page 30: 77499 Abdul Ghofur Fitk

30

Pada tahun 1978, al-Attas meminta UNESCO untuk memimpin

pertemuan para Ahli Sejarah Islam yang diselenggarakan di Allepo, Suriah

Didalam Negeri sendiri al-Attas telah menjadi Icon bagi bangsa Malaysia,

karena kapasitas intelektualnya tidak di ragukan lagi, sehingga berbagai

penghargaan dan jabatan juga diberikan kepada beliau, diantaranya: al-Attas

dipilih menjadi ketua lembaga Tun Abdul Razak untuk studi Asia Tenggara ( Tun

Abdul Razak Khair of Shouteast Asian Studiers) di Universitas Ohio, Amerika

Serikat, pada tahun 1980-1982. Al-attas juga yang mendirikan ISTAC seklaligus

Rektor ISTAC ( Interantional Institut of Islamic Thought and Civization),

Malaysia sejak 1987. pada tahun 1993, Dato’ Seri Anwar Ibrahim dalam

kapasitasnya sebagai presiden ISTAC dan universitas Islam Malaysia Internasional

( International Islamic University Malaysia) menunjuk al-Attas sebagai pemegang

pertama kursi kehormatan Abu Hamid al-Ghazali dalam studi pemikiran Islam (

Abu Hamid al-Ghazali Chair of Islamic Thought) di ISTAC. Kemudian pada

tahun 1994 Raja Husein dari Yordania juga mengangkatnya sebagai anggota Royal

Academy of Yordan27.

Al-Attas adalah sebagai pakar yang menguasai pelbagai disiplin ilmu, seperti

Teologi, filsafat, Metafisika, sejarah dan sastra, selain itu, beliau rupanya juga

memiliki keahlian dalam bidang seni, seperti kaligrafi. Dalam bidang ini, al-Attas

pernah mengadakan pameran kaligrafi di Museum Tropen, Amsterdam, pada tahun

1954. Al-Attas jugalah yang telah merancang dan mendesain bangunan kampus

ISTAC pada tahun 1991. Pada tahun 1993, al-Attas diminta menyusun tulisan

27 A. Khudhori Shoeh, Wacana Baru Filsafat Islam hal.257-258

Page 31: 77499 Abdul Ghofur Fitk

31

klasik yang unik untuk kursi kehormatan al-Ghazali. Pada tahun 1994 al-Attas

diminta menggambar Auditorium dan Masjid ISTAC lengkap dengan lanskap dan

dekorasi interior yang bercirikan seni arsitektur Islam yang dikemas dalam

sentuhan tradisional dan gaya kosmopolitan.

Melihat prestasi dan aktivitas al-Attas di atas, tidak heran kalau Fazrul Rahman

memuji al-Attas dan menyebutnya sebagai “seorang pemikir jenius”. Al-Attas

datang dengan menggulirkan ide-ide fundamental dan mapan yang telah diabaikan

oleh sebagaian orang dan disalahpahami oleh sebagian yang lain. Kemudian,beliau

mengklarifikasikan, menjabarkan, dan menghubungkan ide tersebut dengan

lingkungan intelektual dan dinamika budaya umat Islam kontemporer. Tidak

hanya itu beliau juga aktif memberikan solusi terhadap permasalahan yang

berkaitan dengan aspek-aspek sejarah, intelektual, dan kebudayaan Islam di

gugusan pulau rumpun Melayu. Misalnya beliau berhasil memecahkan misteri

tanggal Inkskripsi Trengganu dan menghitungnya dengan tepat, setelah lebih dari

setengah abad membingungkan para Orientalis.

Pemikiran dan tulisan-tulisan al-Attas mengenai agama Islam dan

hubungannya dengan identitas kebudayaan dan sejarah telah menyedot perhatian

bagi khalayak ramai., khususnya para mahasiswa. Mahasiswa-mahasiswa yang di

bawah bimbingannya ini kemudian membentuk ABIM (Angkatan Belia Islam

Malaysia), GAPIM (Gabungan Penulis Islam Malaysia), dan ASASI (Akademi

Sains Islam). Sehingga banyak kalangan yang berpendapat bahwa al-Attas

merupakan salah seorang tokoh yang ikut berperan membuka pintu bagi

kebangkitan Islam di Malaysia sejak tahun 1970.

Page 32: 77499 Abdul Ghofur Fitk

32

C. Karya-karya Intelektual Syed Muhammad Naquib al-Attas

1. Buku dan Monograf

Al-Attas di samping mengajar dan memberikan seminar di berbagai tempat,

ia juga sangat produktif dalam menulis, berbagai buku dan monograf, baik dalam

bahasa Inggris maupun Melayu telah ia hasilkan. Hasil karyanya telah banyak

diterjemahkan berbagai bahasa, seperti bahasa Arab, Persia, Turki, Undu,

Malayalam, Indonesia, Prancis, Jerman, Rusia, Bosnia, Jepang, India, Korea dan

Albania.28 Dalam karyanya itu al-Attas mengupas berbagai masalah seperti,

bahasa, sejarah, tasawuf, filsafat, pendidikan dan lain sebagainya. Diantara

karya-karya al-Attas telah diterbitkan adalah sebagai berikut:

1. Rangkaian Rubu’iyat, terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP) Kuala

Lumpur, 1959. Dalam buku al-Attas mengkontribusikan bentuk-bentuk baru dan

syair-sayair orisinil yang terdapat di dunia Melayu. Di samping itu, al-Attas

juga memaparkan pemikiran-pemikiran sufi yang muncul dari kesadarannya

tehadap tuhan melalui pandangan batin dan rasa (dzauq).

2. Some Aspect of Shufism as Understood and Practised Among The Malays,

terbitan Malaysian Sosiological Research Institute, Singapura, 1963. buku ini

membahas tentang berbagai persoalan dari berbagai aspek pemahaman yang

terkandung dalam pokok-pokok ajaran sufi, serta melihat pula penerapannya

yang dipraktekkan di Malaysia.

3. Preliminary Statenment on The General Theory of the Islamization of the

Malay-Indonesia Archipelago, terbitan DBP, Kuala Lumpur, 1968. dalam buku

28A. Khudhori Shoeh. Wacana Baru Filsafat Islam h.55

Page 33: 77499 Abdul Ghofur Fitk

33

ini al-Attas mengemukakan argumen-argumen yang menolak pendapat para ahli

sejarah yang menyatakan bahwa kedatangan Islam di kepulauan Melayu dan

Nusantara secara langsung dibawa oleh pedagang-pedagang Gujarat, India ke

Pasai dan Gresik. Menurut al-Attas untuk membuktikan kedatangan Islam ke

Nusantara adalah harus dilakukan dengan penelitian yang mendalam

karakteristik internal Islam di kedua wilayah tersebut. Untuk menguatkan

pendapatnya al-Attas mengajukan teori umum tentang proses Islamisasi di

kepulauan Melayu dan Nusantara yang didasarkan pada sejarah literatur Islam

Melayu-Indonesia dan sejarah pandangan dunia muslim seperti terlihat dalam

perubahan-perubahan konsep-konsep dan istilah-istilah kunci dalam literatur

Melayu-Indonesia.

4. Islam: The Concep of Religion and the Foundation of Ethics and Morality,

terbitan Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM), Kuala Lumpur, 1976. Telah

diterjemahkan kedalam bahasa Korea, Jepang dan Turki. Karya ini menjelaskan

konsep Islam sebagai suatu agama (din), dalam uraiannya al-Attas secara

singkat menjelaskan arti din yang saling berkaitan yang menunjuk kepada

iman., kepercayaan-kepercayaan, praktek-praktek dan ajaran-ajaran yang dianut

oleh orang-orang muslim baik secara individu mapun kolektif sebagai suatu

komunitas. Kemudian merangkumnya secara keseluruhan sebagai suatu

kesatuan pengertian yang obyektif sebagai agama yang disebut dengan Islam.

Disamping itu, dalam buku ini al-Attas juga menegaskan bahwa tantangan ilmu

pengetahuan merupakan tantangan terbesar yang dihadapi umat Islam saat ini.

Page 34: 77499 Abdul Ghofur Fitk

34

5. Islam dan Sekularisme, terbitan ABIM, Kuala Lumpur, 1978. Telah

diterjemahkan ke dalam bahasa Malayalam, India, Persia, Urdu, Indonesia,

Turki, Arab, dan Rusia. Buku ini sangat terkenal di kalangan intelektual

Muslim. Di dalamnya al-Attas membahas konsep sekularisasi atau

sekularisme dalam perspektif bahasa dan asal-usul serta sejarah kelahirannya.

Kesimpulannya bahwa konsep sekulerisasi atau sekularisme tidak dapat

diterima karena sangat bertentangan dengan ajaran Islam.

6. (Ed.) Ains and Objectives of Islamic Education: Islamic Education Series,

terbitan Hodder and Stoughton dan King Abdul Aziz University, Londong:

1979., diterjemahkan ke dalam bahasa Turki. Buku ini merupakan editan dari

kumpulan makalah-makalah yang di presentasikan oleh para pembicara

dalam Konferensi Internasional Pertama tentang Pendidikan Islam yang

diadakan di Makkah pada tanggal 30 Maret – 8 April 1977. Dalam

konferensi itu al-Attas dipilih sebagai pembicara utama dengan

mempresentasikan makalah kunci yang berjudul; Preliminary Thoughts on

the Nature of Knoeledge and the Definition and Aims of Educational. Al-

Attas dalam makalah tersebut memaparkan gagasan-gagasan awal yang di

ajukan Al-Attas mengenai sifat-sifat ilmu pengetahuan, serta definisi dan

tujuan-tujuan pendidikan.

7. The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy

of Education, terbitan ABIM, Kuala Lumpur, 1980., diterjemahkan ke dalam

bahasa Indonesia, Persia, dan Arab. Buku ini merupakan materi yang

dipersiapkan al-Attas selaku pembicara pada Konferensi Internasional Kedua

Page 35: 77499 Abdul Ghofur Fitk

35

tentang Pendidikan Islam yang berlangsung di Islamabad pada tanggal 15 -

20 Maret 1980. buku ini sebagai lanjutan gagasan-gagasan yang telah

disampaikannya pada Konferensi Internasional Pertama di Makkah.

Kandungan buku ini, menjelaskan tentang definisi yang berhubungan dengan

unsur-unsur esensial dalam konsep pendidikan serta konsep kependidikan

dalam Islam yang berlandaskan atas beberapa konsep pokok tertentu yaitu

konsep agama (din), konsep manusia (insan), konsep ilmu (‘ilm dan

ma’rifah), konsep kebijakan (hikmah), serta konsep lainnya yang berkaitan.

8. Islam and the Philosophy of Science, terbitan ISTAC, Kuala Lumpur 1989.

buku ini telah diterjemahkan berbagai bahasa, seperti bahasa Indonesia,

Bosnia, Persia, dan Turki. Karya ini memaparkan masalah penting yang

dihadapi umat Islam dewasa ini adalah masalah ilmu yang kemudian menjadi

faktor penyebab dari masalah-masalah lain. Oleh sebab itu, al-Attas berusaha

mengungkap kembali sistem metafisika yang pernah terbangun dalam tradisi

Islam. Sebagai langkah praktisnya adalah perencanaan sebuah universitas

yang memiliki struktur yang berasas pada pandangan dunia Islam dan

merupakan medium penyampaian hikmah dalam tradisi Islam.

9. The Nature of Man and the Psychology of the Human Soul, terbitan ISTAC,

Kuala Lumpur, 1990. buku telah diterjemahkan ke dalam bahasa Persia. Isi

buku ini merupakan kelanjutan dari gagasan al-Attas dalam menjelaskan

kembali tentang metafisika Islam sebagaimana yang dituangkan dalam

bukunya yang pertama seri metafisika Islam, yaitu Islam and the Philosophy

of Science.

Page 36: 77499 Abdul Ghofur Fitk

36

10. The Degrees of the Existence, terbitan ISTAC, Kuala Lumpur, 1994. inti dari

buku ini adalah kesimpulan-kesimpulan akhir tentang metafisika Islam,

karena buku ini sangat ringkas, penulis berupaya menguraikan kembali

kesimpulan-kesimpulan metafisika Islam yang telah dicapai oleh para

intelektual muslim beberapa abad yang silam.

11. Prolegomena to the Metaphysics of Islam, terbitan ISTAC, Kuala Lumpur,

1995, buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia. Isi buku ini

memuat kumpulan yang merupakan titik kulminasi gagasan dan pemikiran

al-Attas tentang perlunya Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer.

Gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan yang mendalam terhadap dampak

negatif yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan kontemporer.

2. Artikel

Al-Attas sebagai seorang pemikir yang jenius, tidak hanya

mencurahkan pikiran cerdasnya melalui buku, tapi juga dalam bentuk

artikel, di antaranya adalah sebagai berikut:

1. “I slamic Culture in Malaysia”, Malaysian Society of Orientalis,

Kuala Lumpur, 1966.

2. “Rampaian Sajak”, Bahasa, Persatuan Bahasa Melayu Universiti

Malaya no. 9, Kuala Lumpur, 1968.

3. “Indonesia: 4 (a) History: The Islamic Period”, Encyclopedia of

Islam, edisi baru, E.J. Brill, Leiden, 1971.

4. “Konsep Baru Mengenai Rencana serta Cara-Gaya Penelitian

Ilmiah Pengkajian Bahasa, Kesusastraan, dan Kebudayaan Melayu”,

Page 37: 77499 Abdul Ghofur Fitk

37

Buku Panduan Jabatan Bahasa dan Kesusastraan Melayu, Universiti

Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur, 1972.

5. “Islam in Malaysia”, Malaysia Panorama, Edisi Spesial,

Kementerian Luar Negeri Malaysia, Kuala Lumpur, 1974.

6. “Islam dan Kebudayaan Malaysia” Syarahan Tun Sri Lanang, seri

kedua, Kementerian Kebudayaan, Belia dan Sukan, Kuala Lumpur,

1976.

7. “Some Reflection on the Philosophical Aspects of Iqbal’s Thought”,

International Congress on the Centenary of Muhammad Iqbal,

Lahore, 1977.

8. The Concept of Education in Islam: Its Form, Method, and System of

Implementation”, World Symposium of al-Isra’, Ammam, 1979.

9. ASEAN – Kemana Haluan Gagasan Kebudayaan Mau Diarahkan?”

Diskusi, jil. 4, no. 11 – 12, November – Desember, 1979.

10. “Hijrah: Apa Artinya?” Panji Masyarakat, Desember, 1979.

11. “Knowledge and Non-Knowlwdge”, Readings in Islam, No. 8, First

Quarter, Kuala Lumpur, 1980.

12. “The Concept of Education in Islam”, Second World Conference on

Muslim Education, Islamabad, 1980.

13. “Religion and Secularity”, Congress of the world’s Religions, New

York, 1985.

Page 38: 77499 Abdul Ghofur Fitk

38

BAB III

PARADIGMA KEILMUAN

A. Pengertian dan Tujuan Islamisasi Ilmu

Islam adalah agama yang mengarahkan memerintahkan umatnya

untuk menjadikan ajaran agama islam dengan sumber utamanya sebagai rahmatan

lil’alamin. Bagi komunitas Muslim Islam adalah sebuah sistem agama, kebudayan,

dan peradban secra menyeluruh, ia merupakan sistem holistik yang menyentuh

setiap aspek kehidupan manusia. Etika dan nilai-nilainya menyerap setiap aktivitas

manusia, termasuk dadalamnya ilmu pengetahuan29. Sedang kejaian pemiskinan

intelektual spiritual Barat, menurut Sayyed Husein Naser, itu disebabkan karena

Barat telah menduniawikan ( mensekulerkan) pengetahuan dan kehilangan kontak

dengan yang kudus30. Sehingga, tampak keduanya memposisikan paradigma yang

berbeda.

Salah satu implikasi diatas yang muncul kemudian adlah menurut banyak

pihak, ilmu pengetahuan modern menjadi tantangan tersendiri, terutama bagi

kalangan pendidkan Islam, kemudian, hal ini menjadi

Isu yang besar: yakni Islamisasi Ilmu pengetahuan (Islamization of

Knowledge). Isu ini hanya akan berarti jika dipandang dalam konteks bangkitnya

kesadaran dikalangan dunia Islam yangg dihadapkan dengan ilmu pengetahuan

modern. Yakni model pengkajian alam semesta yang dikembangkan oleh filosof dan

1 Nasim Butt, “ Scince and Muslim Society”, diterjemahkan Masdar Hilmi: Sanins dam

masyarakat Islam, (Bandung:: Pustaka Hidayah, 1996), cet. Ke-1 hal 69 30

Page 39: 77499 Abdul Ghofur Fitk

39

Ilmuwan Barat sejak abad ke tujuh belas, termasuk seluruh aplikasi praktisnya di

wilayah teknologi31.

Istilah Islamisasi untuk pertma kalinya sangat populer ketika konfrensi Dunia

yang pertama kalinya tentang Pendidikan Islam yang dilangsungkan di Makkah pada

April 1977. Islamisasi adalah konsep pembebasan manusia dari tradisi-tradisi yang

bersifat magnis-sekuler. Yang membelenggu pikiran dan prilakunya32. Islamisasi

dalam pengertian ini meniscayakan pada pendestruksian terhadap kekuatan-kekuatan

tradisi yang tidak mempunyai kerangka argumentasi yang jelas.

Sedang Islamisasi dalam kontek pengetahuan adalah suatau upaya integrasi

wawasan ilmu pengetahuan yang harus ditempuh sebagai awal proses integrasi

kehidupan kaum Muslimin33. Bagi al-Faruqi, pengintegrasian pengetahuan tersebut

dilakukan dengan cara memasukkan pengetahuan baru dengan warisan Islam dengan

melakukan Eliminasi, perubahan, reintrepetasi, dan penyesuaian terhadap

komponen-komponennya sebagai pandangan Dunia Islam (Wolrd view Islam), serta

menetapkan nilai-nilainya. Dengan demikian usaha Islamisasi ini, bagi umat Islam

tidak perlu berbuat dari kerangka pengetahuan modern, dan mampu memanfaatkan

khazanah Islam klasik dengan tidak harus mempertahankannya secara mutlak karena

terdapat beberapa kecenderungan yang kurang relevan dengan perkembangan

modern.

31 Osman Bakar, “Tawhid and Science: Essays oon the history and philoshopy of Islamic

science”. Diterjemahkan oleh yuliani Liputo, Tauhid dan Sains: Essay tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994) cet. Ke-1 hal.214

32 Mughal, Amien Rais, Cakrawala Islam: antara Cita dan Fakta, (Bandung: Mizan, 1990), hal 867.

33 A.M. Saefudin. Desakralisasi Pemikiran Landasan Islamisasi, (Bandung: Mizan, 1990), hal.86

Page 40: 77499 Abdul Ghofur Fitk

40

Bagi Osman Bakar, Islamisasi Ilmu pengetahuan diterjemahkan

sebagai usaha untuk menyediakan sebuah model alternatif bagi ilmu pengetahuan

modern. Usaha ini dilangsungkan guna merumuskan kajian yang mencakup alam

semesta, bersama aplikasi teknologinya yang didasarkan pada prinsip-prinsip

Islam34.

Beberapa prinsip ilmu pengetahuan dalam Islam diantaranya sebagai berikut

:

1. Ilmu pengetahuan tidak ditujukan kepada kepentingan praktis partrikular, tetapi

didelegasi untuk tujuan-tujuan memahami eksistensi alam dan manusia. Dengan

ini ilmu pengetahuan akan mampu menghantarkan umat pada peningkatan iman

kepada Tuhan yang menciptakan ilmu sekaligus sebagai sumber ilmu tersebut.

2. melepaskan ikatan-ikatan ilmu pengetahuan dari pengaruh sekulerisme.

Desekulerisasi ini akan menghadirkan pada keniscayaan kebenaran religius

secara diferensial.

3. Ilmu pengetahuan didasarkan pada sumber ayat-ayat al-qur’an disamping

fenomena alam.35

Dalam ketiga inilah terjadi hubungan simultan dan saling

melengkapi (complentary), yang pada tahap selanjutnya membutuhkan

pada susunan langkah-langkah praktis dalam usaha Islamisasi Ilmu

Pengetahuan.

Isma’il Raji al-Faruqi menawarkan 12 ( dua belas) tahapan, yaitu : (1)

penguasaan disiplin ilmu modern dan penguraian katagoris;(2) survei

34 Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays oon the history and philoshopy of Islamic science h. 214-235

35 Mulyanto, “ Islamisasi Ilmu pengetahuan”, Ulumul Qur’an, no.9, vol. II/1991 hal 58

Page 41: 77499 Abdul Ghofur Fitk

41

displin ilmu pengetahuan, (3) penguasaan khazanah Islam sebuah

ontologi;(4) penguasaan khazanah ilmiah islami, tahap analisa ; (5)

penemuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin ilmu modern,

tingkat perkembangannya dimasa ini; (7) penilaian krits terhadap

khazanah Islam, tingkat perkembangan dewasa ini; (8) survei

permasalahan yang dihadapi umat Islam (9) survei permasalahan yang

dihadapi umt manusia (10) analisis kreatif dan sintesis; (11) penuangan

kembali disiplin ilmu modern kedalam kerangka Islam; (12)

penyebarluasan ilmu-ilmu yang telah di Islamisasi.

Al-Faruqi mementingkan konsep Tauhid sebagai kerangka yang

harus dipahami secara utuh sehingga mempunyai implikasi terhadap

keseluruhan aspek kehidupan umat Islam, tak terkecuali ilmu pengetahuan.

Tauhid dipahami bahwa Tuhan tidak hanya sebagai absolut dan penyebab

utama, tetapi juga menjadi inti dari ajaran-ajaran normatif, prinsip ini

menyatakan bahwa Tuhan adalah wujud yang memerintah. Gerakan,

gagasan, dan tindakan Tuhan adalah realitas yang tidak bisa diragukan, tetapi

hal itu bagi manusia merupakan nilai36. Konsep ini bukan hanya sekedar

sebagai sumber atau penyebab utama ilmu pengetahuan, maka empirisme

absolut tidak dapat diterima bukan hanya karena prinsip positivistiknya yang

mutlak, tetapi juga karena relitas itu sendiri merupakan gerakan, gagasan dan

tindakan Tuhan.

36 Ismail Raji al-Faruqi, Tawhid: : Its Implication for thought and life” diterjemahkan oleh Rahmani Astuti, Tauhid, (Bandung: Pustaka, 1995), cet. Ke-2, hal.2

Page 42: 77499 Abdul Ghofur Fitk

42

Impilikasi pandangan tauhid diatas dapat ditemukan pada

pandangannya tentang alam semesta (universe) yang menjadi materi ilmu

pengetahuan modern. Bagi al-Faruqi, sistem alam raya tidak hanya sebagai

sistem material dari sebab akibat, tetapi juga bersifat teologikal yang

keseluruhan elemennya mempunyai tujuan dan fungsi masing-masing yang

teratur. Bahkan alam raya ini diciptakan sebagai miniatur bagi manusia untuk

memperoleh kebahagiaan dari Tuhan. Prinsip demikian memberikan

pengaruh pada ilmu pengetahuan bahwa alam semesta tidak hanya cukup

dipahami secara fosifistik, tetapi juga harus memahami tujuan dari pola

hubungan harmonis alam itu, sehingga memberi manfaat bagi umat manusia.

Prinsip ini mengajarkan bahwa ilmu pengetahuan tidak semata-mata bersifat

saintifik an sich, tetapi juga merupakan pengetahuan tentang keteraturan

alam secara menyeluruh.

B. Ruang lingkup Islamisasi Ilmu

Dalam skala global, persoalan pokok yang dihadapi agama memang masalah

sekulerisasi. Sekulerisasi itu menjelajahi kehidupan sosial dalam dua bentuk.

Menurut Dr. Zubaedi M.Ag. M.pd. dalam bukunya Islam Benturan dan antar

Peradaban, membagi dua masaah tersebut menjadi dua, yakni sekulerisasi obyektif

dan sekulerisasi subyektif. Sekulerisasi obyektif bersifat konkret dan radikal,

biasanya ditandai dengan pemisahan urusan/bidang agama ruhaniah dengan

urusan/bidang material jasmaniah. Praktik ini mudah kita temukan dalam sejarah

Page 43: 77499 Abdul Ghofur Fitk

43

kehidupan masyarakat modern, terutama negara-negara Barat yang mempunyai

pengalaman negatif soal hubungan agama (gereja) dengan keilmuan37.

Adapun sekulerisasi subyektif bersifat halus, biasanya ditandai dengan

perasaan atau keyakinan batin untuk tidak menghubungkan pegalaman pragmatis

sehari-hari dengan pengalaman keagamaan. Ia cenderung membebaskan diri dari

kontrol ataupun komitmen terhadap nilai-nilai agama. Begitu halusnya sampai-

sampai orang yang mempraktikannya kadang-kadang kurang menyadarinya.

Barangkali pernah dalam sanubari kita bahwa saya makan untuk kenyang, bekerja

untuk mencari uang, dan meraih prestasi atas dasar kemampuannya sendiri.

Semuanya steril dari campur tangan atau kepentingan Tuhan. Kalau keyakinan

hanya sampai disitu, maka kita telah mengidap gejala sekulerisasi subyektif.

Fenomena sekuleristik ini telah menjadi kecenderungan umum masyarakat

modern. James L. Peacock dan A. Thomas Kirsch, penulis buku The Human

Direction, adalah sebagai ilmuan yang bependapat seperti itu, menurut keduanya,

masa depan manusia adalah sekuler dan transendentalisasi atau proses dimana Tuhan

menjadi impersonal.

Jika dilacak, munculnya kecenderungan masyarakat modern kearah

sekuleristik dikondisikan oleh sains dan teknologi. Kontruksi Iptek modern yang

kurang mengakomodasi dimensi religiutas bersumber dari paradigma yang

diandalkan oleh para ilmuan modern dalam membangun pengetahuan yang bercorak

rasionalistik, positivistik, dan pragmatis. Cara berpikir yang lebih mementingkan

hal-hal rasional-material dan menafikan hal-hal spiritual metafisik ini secara tidak

37 Zubaedi. Islam Benturan dan Antar Peradaban, (Jogjakarta, AR-RUZZ MEDIA, 2007)

cet.I hal 216

Page 44: 77499 Abdul Ghofur Fitk

44

sadar telah mereduksi dimensi kemanusiaan yang secara fitrah tidak bisa lepas dari

hal-hal mistis spiritualis. Salah satu dampaknya, umat menjadi terperangkap pada

jaringan sistem rasionalitas ilmu pengetahuan dan teknologi yang kurang humanis.

Jika sudah demikian, manusia modern akan mengalami kekosongan dalam landasasn

moral dan kurang mampu memenuhi kebutuhan pokoknya dalam aspek nilai-nilai

Ilahiyah (Transenden)38.

Pengalaman masyarakat Barat setidak-tidaknya telah memberikan pelajaran

berharga akan hal ini. Masyarakat yang kini memasuki Era Post-Industrial

Society_dengan meraih kemakmuran material melimpah berkat perangkat teknologi

yang serba mekanis dan otomatis_ bukannya semakin mendekati kebahagiaan hidup,

namun, justru menghadapi berbagai kecemasan hidup dan rendahnya rasa

kebermaknaan hidup. Mereka merasa cukup dengan berbagai kemudahan hidup

yang dihasilkan iptek modern, sementara itu pemikiran dan paham keagamaan yang

bersumber dari ajaran wahyu kian ditinggalkan. Akibatnya, kehidupan

keagamaannya meluncur pada post- Cristian Era dengan mengembangkan pola

hidup sekulerisasi. Mereka berpaling dari “dunia sana” dan hanya memusatkan pada

“ disini dan sekarang ini”. Karena mereka memuja kemakmuran material yang

disimbolkan dengan penguasaan uang, maka agama paling dominan dalam

kehidupannya diistilahkan dengan The Religion of Money39.

Kita akui fenomena keberagamaan sebagian pemeluk Islam belum

mencerminkan idealitas sebagaimana yang dituntut oleh ajaran Islam. Nilai-nilai

Islam belum berfungsi sepenuhnya sebagai sumber nilai yang menjadi tolak ukur

38.Zubaedy. Islam Benturan dan Antar Peradaban hal 217 39. Zubaedy. Islam Benturan dan Antar Peradaban , l. 218

Page 45: 77499 Abdul Ghofur Fitk

45

dan rujukan dalam menilai baik-buruk sebuah perbuatan. Yang sering terjadi, umat

Islam mengeksploitasi ajarannya demi memuluskan kepentingan pribadi maupun

golongannya sendiri. Islam diidentikkan dalam sebuah simbol, slogan, dan aliran

pemahaman keislaman tertentu yang cenderung membelah kehidupan sosial umat

Islam dalam retakan-retakan sosial dan cenderung menempatkan pemeluk Islam

diluar kelompok atau organisasinya sebagai saingan dan musuh. Jika gejala ini

berkembang, sudah pasti makna Islam yang seharusnya menjadi rahmatal lil’alamin

dan pemersatu umat menjadi tereduksi.

Adapun ruang lingkup Islamisasi ilmu diantaranya:

1. Klasifikasi ilmu

Al-Attas mengklasifikasikan ilmu, sebagaimana yang telah dilakukan

oleh para filosofis, pakar, dan orang bijak khususnya para sufi. Pengklasifikasian ini

dilakukan al-Attas tidak terlepas dari tiga unsur: ketidak terbatasan ilmu

pengetahuan, kemuliaan tanggung jawab untuk mencarinya, dan keterbatasan hidup

manusia.

Klasifikasi ilmu pengetahuan kedalam beberapa kategori umum bergantung

pada pelbagai pertimbangan. Misalnya berdasarkan metode mempelajarnya, kita

akan mengenal pengetahuan Iluminatif atau Gnostik dan ilmu sains. Ilmuwan

menamakan dua kategori ini sebagai Ilmu Naqliyah dan Ilmu Aqliyah (rasional)

ataupun Tajribiyah (empiris). Berdasarkan dari aspek kewajiban manusia

mempelajarinya, pengetahuan dibagi menjadi Fardlu Ain dan Fardlu Kifayah.

Setiap bagian ini sudah pasti memiliki tingkat yang berbeda-beda. Klasifikasi

diatas tidak bisa dianggap sebagai dualitas karena tidak memiliki validitas yang

Page 46: 77499 Abdul Ghofur Fitk

46

sama ataupun ekslusitas yang setara. Sebagai contoh, walaupun lebih tinggi

dibandingkan ilmu-ilmu intelektual ( al-‘Ulum al-Aqliyyah), ilmu-ilmu agama (al-

‘Ulum al-Naqliyyah) tidak dapat dijelaskan tanpa ilmu-ilmu intelektual, terutama

pada zaman kita sekarang ini. Ilmu-ilmu intelektual tanpa ilmu-ilmu agamaakan

menyesatkan dan sangat sofistik. Disamping itu, klasifikasi ilmu tidak mengingkari

validitas dan status yang satu terhadap yang lain, melainkan mengakui legitimasi dan

status ilmiah masing-masing ilmu tersebut.40

Al-attas mengklasifikasikan ilmu berdasarkan cara-cara untuk

mempelajarinya terbagi mejadi 2 (dua), yaitu ilmu Iluminasi (Ma’rifah) dan ilmu

sains (ilmu Pengetahuan). Pengklasifikasian ini dilakukan untuk mewujudkan

keadilan dalam menempatkan dua kubu yang berbeda, yaitu kubu si pengenal dan

kubu yang dikenal atau antara subyek dan obyek.41

1. Ilmu Iluminasi (Ma’rifat )

Iluminasi (Ma’rifah) adalah ilmu yang diberkan Allah SWT. Sebagai

karunia-Nya kepada insan. Ilmu ini diperoleh oleh insan yang melakukan amal

ibadah serta kesucian hidupnya yakni dengan keihsanannya beribadah kepada Allah

SWT. Berdasarkan ilmu yang benar42. Manusia menerima ilmu ini melalui dzauq

dan kasf. Dzauq yaitu pandangan batin atau rasa ruhani yang dialami secara

langsung. Sedagkan kasf yaitu penyingkapan hijab yang menyelubungi alam hakiki

40 Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam, (Jakarta:UIN Jakarta Press, 2003), cet. Ke-1, h.1

41 A. Sony Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu pengetahuan: sebuah Tinjauan Filosofis, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), cet, ke-1 h. 19

42 Sesorang apabla ingin memperoleh ilmu ini, maka ia wajib mempelajari dan memiliki ilmu syarat utma ini, yaitu diantaranya ia wajib memahami dengan sempurna rukun-rukun Islam dan Iman. Wajib mengenai tauhid. Wajib mengerjakan amal ibadah kepada Allah swt. (Untuk lebih lengkapnya lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, op.cit., h. 80)

Page 47: 77499 Abdul Ghofur Fitk

47

kandungan ilmu ini dengan sekejap alam ruhani dapat dilihat oleh penglihatan

ruhani.

Ilmu ini merupakan yang paling valid dan paling tinggi, yaitu wahyu yang

diterima oleh Nabi kemudian diikuti intuisi orang-orang bijak, para wali, dan

ilmuwan. Ilmu iluminasi hanya terjadi pada makhluk hidup yang melibatkan orang

yang ingin mengetahui (Knower) dan sesuatu yang hendak diketahui (known)

melalui perkataan ataupun cara-cara lain yang bisa dipahami dengan jelas, setelah

terlebih dahulu ada rasa saling mngenal dan memercayai diantara keduanya dan

keinginan untuk dipahami oleh diri yang ingin berbagi rahasia-rahasia dan kondisi

batinnya. Jika benar-benar ingin mendekatkan diri pada objek ilmunya, dia dengan

sendirinys mengharuskan orang yang ingin mengetahui itu mengenal dan mengakui

sesuatu yang ingin diketahuinya dengan cara yang tepat, sesuai dengan personalitas

dan tingkat yang ingin diketahuinya.

Objek iluminasi bersifat non-fisik. Ilmu ini merupakan konsumsi bagi jiwa

manusia. Dalam konteks Nabi Muhammad sebagaimana yang disinggung di atas,

ilmu ini diberikan dalam bentuk al-Qur’an, yang kemudian dipahami dan diamalkan

oleh Nabi sebagai sunnah. Dalam perspektif hukum al-Qur’an dan sunnah ini disebut

dengan syari’at, sedangkan dalam perspektif spiritualitas disebut dengan ilmu

Ladunni dan Hikmah. Oleh sebab itu, ilmu iluminasi yang diperoleh Nabi

merupakan ilmu tertinggi dan selalu menjadi referensi dan petunjuk dalam semua

formulasi sains dan aktivitas umat.

2.Ilmu Sains (Ilmu Pengetahuan)

Page 48: 77499 Abdul Ghofur Fitk

48

Ilmu sains adalah ilmu yang diperoleh oleh insans berdasarkan daya usaha

akliyahnya sendiri yang berasal dari pengalaman hiidup, penelitian, dan

pegkajian indera jasmani43 terhadap obyek-obyek yang bersifat materi.

Pengamatan indera terhadap objek-objek tersebut tentu saja tidak cukup untuk

memberi atau menerapkan objek-objek fisik itu sebagaimana adanya, karena

sering terjadi bahwa informasi yang ditangkap oleh pengamatan indera

konvensional adalah keliru. Misalnya suara gemuruh dari halilintar yang kita

dengar belum tentu terjadi pada saat kita mendengarnya. Dengan demikian

diperlukan cara-cara tertentu untuk membuat pengalaman inderawi mwnjadi

obyektif. Karena kebutuhan yang semacam inilah yang pertama kali metode

observasi inderawi. Metode ini adalah yang paling sering dipakai oleh

pengetahuan jenis apapun44.

Beberapa langkah bisa ditempuh untuk menyempurnakan pengamatan

inderawi, yaitu: Pertama, pengukuran (Measurement) adalah cara yang efektif

untuk menentukan ukuran yang lebih akurat tentang sebuah jarak atau besarnya

objek. Kedua, menggunakan alat bantu, seperti mikroskop, teleskop, dan

sebagainya. Ketiga, mengadakan eksperimen-eksperimen (tajribat) tentang hal-

hal yang belum jelas oleh pengamatan inderwi. Misalnya eksperimen yang

dilakukan oleh al-Biruni untuk mengukur keliling bumi cukup mengesankan

dengan memanfaatkan rumus-rumus trigonometri, dia memperoleh nilai keliling

bumi yang sangat akurat bahkan dibandingkan dengan ukuran modern.

43 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat sains,., h.78 44 Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2005), cet. Ke-

1,h.97

Page 49: 77499 Abdul Ghofur Fitk

49

Tetapi, betapapun canggihnya metode pengamatan indrwai yang kita miliki,

pengamatan indra tetap saja tidak memadai, karena sehebat-hebatnya

pengamatan indra, ia tidak akan mampunmenembus objek-objek non fisik karena

sifatnya yang indrawi. Padahal objek-objek no-indrawi tersebut tidak sedikit.

Nah, disinilah keterlibatan ilmu iluminasi dengan sains, untuk menutupi

kelemahan-kelemahan ilmu sains tersebut.

Ilmu sains bersifat empiris atau acak dan pencapaiannya menempuh jalan-

jalan yang betingkat-tingkat imu pegetahuan sebagai sifat Allah swt. Yang Maha

Qadim adalah tidak terbatas. Namun sebagaimana yang telah dikemukakan di

atas bahwa keterlibatan ilmu pengetahuan, kemudian tanggung jawab untuk

mencarinya, dan keterbatasan hidup manusia. Dengan demikian, konsekuensi

logisnya kemudian adalah manusia harus membatasi keinginanya dalam mencari

ilmu pengetahuan. Dapat dikatakan bahwa tidak mungkin (mustahil) bagi

manusia untuk menguasai seluruh ilmu pengetahuan yang setiap saat terus

berubah dan berkembang. Walaupun demikian, al-Attas mengajak umat Islam

untuk tidak boleh tertinggal dari bangsa lain, oleh karenanya umat Islam harus

mampu membangun dan mengatur sistem pendidikan yang mampu

mengakomodir ilmu-ilmu pengetahuan yang diperlukan.

Kemudian jika ditinjau dari aspek kewajiban manusia mempelajarinya, ilmu

dikalsifikasilan menjadi Fardhu ‘Ain dan Fardhu Kifayah.45 Ilmu iluminasi

(Ma’rifat ) merupakan ilmu Fardhu ‘Ain. 46 artinya ilmu yang harus dipelajari

45 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-

Attas, h. 270 46 Konsep ini bukan berarti umat Islam harus mempelajari ilmu iluminasi saja, sebab ada

keterkaitan antara ilmu iluminasi dan sains. Misalnya walaupun ilmu iluminasi statusnya lebih tinggi

Page 50: 77499 Abdul Ghofur Fitk

50

oleh setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan, maka setiap individu akan

menanggung beban apabila meninggalkan kewajiban ini.47 Sedangkan ilmu

pengetahuan merupakan ilmu Fardhu Kifayah. Maksudnya yaitu ilmu

pengetahuan yang hanya wajib diketahui dan dipelajari oleh beberapa orang saja,

maka apabila sebagian atau beberapa orang menunaikan kewajiban itu, gugurlah

kewajiban bagi yang lain.

Konsep ilmu Fardhu ‘AIn dan Fardhu Kifayah harus dipahami secara lebih

mendalam, agar tidak keliru dalam tatarn praktis. Konsep al-Attas tentang itu

jangan dipahami bahwa Al-Attas telah membangun dinding yang membatasi

umat Islam dlam mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Karena

seperti yang diungkapkan di atas bahwa ilmu pengetahuan memiliki batasan-

batasan yang berbeda-beda. Akan tetapi, justru pandangan seperti itu akan sangat

mebantu dalam mengarahkan pendidikan untuk lebih jujur, praktis, dan lebih

bermakna bagi orang yang sedang menjalaninya. Jadi, pendapat yang

mengatakan bahwa ilmu itu tidak perlu dipisah-pisahkan48 tidaklah tepat.

Untuk lebih mudah memahami konsep fardhu ‘ain dan fardhu kifayah dalam

konsep al-Attas, berikut akan diuraikan secara lebih terperinci:

dari ilmu sains, namun ilmu iluminasi tidak bisa dijelaskan tanpa ilmu-ilmu sains. Dengan demikian umat Islam juga wajb mempelajari ilmu sains sebagai sarana pendukung dalam mempelajari ilmu iluminasi tersebut.

47 Ilmu ini bisa dipelajari oleh umat Islam, misalnya yang termasuk dlam ilmu ini salah satu diantaranya, adalah al-Quran yang harus dipelajari oleh setiap umat Islam baik laki-laki maupun perempuan. (Lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Ibid,.h.157)

48 Yaitu adanya pemahaman sebagian ulama nbahwa menuntut ilmu agama tergolong fardhu ‘ain, sementara ilmu non-agama termasuk fardhu kifayah, lihat Abd. Rachman Assegaf, Membangun Format Pendidikan Islam di Era Globalisasi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2004), cet. Ke-1, h. 18

Page 51: 77499 Abdul Ghofur Fitk

51

1. Fardhu ‘Ain

Al-Attas menyatakan bahwa fardhu ‘ain bukanlah kumpulan ilmu

yang kaku dan tertutup.49 Ruang lingkup fardhu ‘ain sangat luas sesuai

dengan perkembangan dan tanggung jawab spiritual, sosial, dan

profesionalisme seseorang.50 Dengan demikian, karena Islam mewajibkan

mencari ilmu tingkat tinggi, maka fasilitas untuk mencapainya merupakan

sesuatu yang diisyaratkan. Oleh sebabitu, seorang muslim diwajibkan

menguasai ilmu-ilmu yang membantu memperoleh ilmu-ilmu yang lebih

tinggi tersebut, seperti ilmu keterampilan membaca, menulis dan

menghitung.

Adapun ilmu-ilmu yang termasuk dalam kategori fardhu ‘ain adalah

ilmu-ilmu agama yaitu sebagai berikut:

a) Al-Quran; pembacaan dan penafsiran (Tafsir dan Ta’wil)

b) As-Sunnah; kehidupan Nabi, sejarah dan pesan-pesan para Rasul

sebelumnya, hadis dan riwayat-riwayat otoritasnya.

c) Asy-Syari’ah; undang-undang hukum, prinsip-prinsip, dan

praktek-praktek Islam (Islam, Iman, dan Ihsan).

d) Teologi; Tuhan, esensi-Nya, sifat-sifat dan nama-nama-Nya serta

tindakan-tindakan-Nya (at-Tauhid).

49 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-

Attas., h.273 50 Misalnya di ISTAC meskipun ditawarkan beberapa mata kuliah dalam bidang hukum dan

fiqih Islam namun tidak diwajibkan, kecuali dalam kasus-kasus yang bersifat individual, yaitu jika pembimbing mahasiswa merekomendasikannya atau jika mahasiswa itu belajar bidang kebudayaan Islam.

Page 52: 77499 Abdul Ghofur Fitk

52

e) Metafisika Islam (at-Tashawuf), Psikologi, Kosmologi, dan

Ontologi; unsur-unsur yang sah dalam filsafat Islam (termasuk

doktrin-doktrin kosmologis yang benar, berkenaan dengan

tingkatan-tingkatan wujud).51

f) Ilmu Linguistik; bahasa Arab, tata bahasa leksikografi, dan

kesusasteraannya.

Perlu ditekankan kembali disini karena kategorisasi fardhu ‘ain

bukanlah suatu hal yang statis. Oleh karena itu, dalam proses pendidikan ia

harus dipelajari harus mempertimbangkan keadaan peserta didik, tidak mesti

diketahui dalam waktu yang sama. Akan tetapi untuk memudahkan dapat

dilakukan dengan cara bertahap (gradual). Di samping itu, ilmu fardhu ‘ain

bersifat dinamis dan berkembang sesuai dengan kemapuan intelektual dan

spiritual seseorang serta keadaan masyarakatnya.

2. Fardhu Kifayah

Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa ilmu fardhu kifayah

tidak diwajibkan kepada setiap indvidu muslim untuk mempelajarinya.

Kewajiban itu gugur apabila telah ada sebagian atau beberapa orang telah

memnuhi kewajiban tersebut. Namun, tidak ada di antara umat Islam yang

memnuhi kewajiban itu, maka seluruh umat Islam harus turut bertanggng

51 Menurut al-Attas mata kuliah ini merupakan yang paling fundamental dalam kurikulum

pendidikan Al-Attas, bukan saja karena meliputi semua elemen yang paling penting dalam pandangan Islam mengenai realitas dan kebenaran sebagaiman yang diterangkn dalam al-Quran, hadis, teologi, dan filsafat, serta ilmu pengetahuan mengenai bahasa Arab klasik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ilmu ini harus dipelajari oleh setiap mahasiswa yang belajar di ISTAC. Lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas., h. 277

Page 53: 77499 Abdul Ghofur Fitk

53

jawab dan menanggung resiko atas segala kesuatu yang ditimbulkannya.

Sudah tentu kategorisasi ini sangat urgen karena akan memberikan landasan

teoritis dan motivasi keagamaan kepada umat Islam untuk mempelajarinya

dan mengembangkan segala ilmu ataupun teknologi yang diperlukan untuk

kemakmuran umat Islam. Al-Attas mengklasifikasikan ilmu fardhu kifayah

manjdi:52

a. Ilmu-ilmu kemanusiaan,

b. Ilmu-ilmu alam,

c. Ilmu-ilmu terapan,

d. Ilmu-ilmu teknologi,

e. Perbandingan agama,

f. Kebudayaan dan peradaban Barat,

g. Ilmu-ilmu linguistik: bahasa-bahasa Islam,

h. Sejarah Islam,

Dari klasifikasi ilmu fardhu kifayah di atas, al-Attas tidaklah

bermaksud untuk membatasi cakupan ilmu pengetahuan yang harus

dipelajari dan dikuasi oleh umat Islam. Karena seperti yang diungkapkan

oleh Al-Attas bahwa semua ilmu datang dari Allah,53 yang tidak terhitung

jumlahnya. Di samping itu, sebagaiaman halnya ilmu fardhu ‘ain bersifat

dinamis, sudah barang tentu ilmu fardhu kifayah juga bahkan lebih bersifat

dinamis, yang terus mengalami perkembangan seiring dengan perubahan

kebutuhan masyarakat dan tuntutan zaman.

52 Syed M. Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan, h. 90-91 Syed M. Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan, h. 42, lihat juga Abudin Nata, et al. ntegrasi

Ilmu Agama dan Ilmu Umum, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003), Cet. Ke-1, h. 80

Page 54: 77499 Abdul Ghofur Fitk

54

2. Sumber dan Metode Ilmu

1. Sumber Ilmu

Menurut al-Attas, ilmu datang dari Tuhan yang kemudian ditafsirkan

oleh kekuatan fakultas-fakultas manusia, sehingga pengetahuan yang dimiliki

manusia adalah tafsiran terhadap pengetahuan dari Tuhan. Dengan konsep ini, dari

sisi sumbernya, pengetahuan adalah masuknya makna sesuatu dari Tuhan kedalam

jiwa manusia; sebaliknya dari sisi subyek manusianya, pengetahuan adalah

sampainya jiwa pada makna sesuatu obyek pengetahuan54.

Dengan pemaknaan yang demikian, bagi al-Attas, objek pengetahuan

bukan ada-nya melainkan makna dari ada-nya, atau makna dari realitas objek.

Artinya, subjek (manusia) yang memegang peranan yang lebih penting dalam

menentukan apa yang ada pada objek. Makna objek ada dalam persepsi manusia

bukan dalam diri objek55.konsep ini tentu sangat kontradiksi dengan epistemologi

Barat yang positivistik, materialistik, dan empiris. Dunia Barat meyakini bahwa

makna pengetahuan sebenarnya ada dalam diri objek (in-self) itu sendiri secara

objektif, dan otonom, dan tanpa ada intervensi dari manusia (subjek). Artinya,

manusia bersikap pasif, yang diisi objek materal melalui pengalaman inderawi56.

2. Metode Ilmu

Dalam menafsirkan pengetahuan dari Tuhan dan menangkap makna-makna

objek pengetahuan, menurut al-Attas, manusia dapat menggunakan kekuatan

fakultas-fakultas yang telah dianugerahkan kepada setiap manusia, yaitu melalui

54 Syed M. Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan, h. 42, lihat juga Abudin Nata, et al.,

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, (Jakarta: UIN jakarta Press, 2003), cet.ke-1,h. 80 55 (Lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, h.44). 56 A. Khudlori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), cet.

Ke-1, h.261

Page 55: 77499 Abdul Ghofur Fitk

55

panca indra (al-khawass ai-khamsah), akal sehat (al-‘aql as-Salim), berita yang

benar (al-Khabar as-Shadiq), dan intuisi (Ilham).57 Panca indera (al-Khawass al-

Kamsah) menurut al-Attas sepakat dengan Iqbal yang menyatakan bahwa Islam

tidak pernah mengecilkan peranan indra, yang pada dasarnya merupakan saluran

yang sangat penting dalam pencapaian ilmu pengetahuan mengenai realitas empiris.

Bahkan al-Attas juga menganggap bahwa indra sebagai instrumen pokok bagi jiwa

dalam mengetahui aspek-aspek tertentu dari sifat-sifat dan ilmu Allah swt, indra

disini mengacu pada pengamatan dan persepsi lima indra lahir, yakni perasaan

tubuh, pencium perasa lidah, penglihatan, dan pendengaran, yang semua berfungsi

mempersepsikan hal-hal partikular dalam alam lahir. Namun, terkait dengan panca

indra lahir ini ada lima indra batin yang secara bathiniyyah mempersepsikan cita-cita

indrawi dan maknanya, menyatukan, atau memilahkan, mengkonsepsi gagasan

tentangnya, menyimpan hasil-hasil pencerapan dan melakukan interaksi

terhadapnya. Kelima indra batin ini adalah indera umum, representasi, estimasi,

pengingat kembali dan imajinasi. Dalam hal ini persepsi adalah rupa (form) dari

objek lahiriyah, yakni representasi realitas atau inderawi, bukan realitas itu sendiri.

Apa yang disebut realitas lahir atau objek lahir adalah sesuatu yang diabstraksikan

oleh indra, yang disebut ‘rupa’ (form), bukan realitas itu sesungguhnya dalam

dirinya sendiri yang disebut ‘makna’. Perbedaan antara rupa dan makna objek-objek

indrawi adalah bahwa ‘rupa’ merupakan apa yang pertama kali dipersepsi oleh indra

57 Al-Attas membuktikan kekuatan fakultas-fakultas ini setelah menelti pendapat Para

Filosof dan Teolog Muslim, seperti Ibnu Sina, al-Ghazali, al-Nasafi, al-Taftazani, dan Al-Raniri (Lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas. h, 158)

Page 56: 77499 Abdul Ghofur Fitk

56

lahir dan kemudian oleh indra batin, sedang ‘makna’ adalah apa yang dipersepsi

indra batin dari objek tanpa terlebih dahulu dipersepsi indra lahir58.

Adapun mengenai masalah akal, al-Attas meambah dengan kata shifat

“sehat” setelah perkataan akal (Sound Reason). Hal ini disebabkan akal manusia

memiliki tendensi menghasilkan pemikiran yang tidak benar atau tidak tepat.

Disamping itu, akal manusia dipengaruhi oleh estimasi dan imajinasi, yang bisa

salah atau kurang tepat ketika akal menegasikan kemampuannya untuk memahami

realitas spiritual melalui daya lain yang dimiliki manusia, yaitu intuisi.

Akal sehat bukan sekedar unsur-unsur indrawi atau fakultas mental yang

secara logis mensistemasi dan menafsirkan fakta-fakta pengalaman indrawi menjadi

citra akliyah yang dapat dipahami, atau yang melakukan kerja abstraksi fakta-fakta

dan data indrawi serta hubungan keduanya. Lebih dari itu, akal disini adalah

substansi ruhaniyah yang melekat dalam organ pemahaman yang disebut hati (qalb)

yang merupakan tempat terjadinya intuisi. Jadi, apa yang disebutkan diatas baru

merupakan bagian dari aspek akal.

Kemudian mengenai berita yang benar merupakan sumber lain dari ilmu

pengetahuan yang dapat diklsifikasikan menjadi 2 (dua) jenis. Pertama adalah

berita yang terbukti secara berkesinambungan (continue) oleh orang-orang yang

memilki ahlak yang mulia, yang tidak mungkin menimbulkan pemikiran bagi orang

bahwa mereka akan melakukan dan menyebarkan kesalahan . contoh hadits

mutawatir. Kedua, berita absolut yang dibawa oleh Nabi yang berdasarkan wahyu.

58 Syed M. Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, h. 35-36

Page 57: 77499 Abdul Ghofur Fitk

57

Berkenaan dengan intuisi itu sendiri, al-Attas tidak membatasi pada pengenalan

langsung tanpa perantara, oleh subjek yang mengenali tentang dirinya sendiri,

keadaan sadarnya, diri-diri lain yang seperti dirinya, dunia lahiriyah, hal-hal

universal nilai-nilai atau kebenaran-kebenaran rasional. Intuisi juga mencakup

pemahaman langsung akan kebenaran-kebenaran agama, realitas dan eksistensi

Tuhan, serta realitas eksistensi sebagai lawan essensi; bahkan dalam tingkat yang

lebih tinggi, intuisi adalah intuisi terhadap eksistensi itu sendiri59.

Intuisi tidak datang pada sembarang orang, tapi ia diperoleh oleh orang-orang yang

hatinya telah bersih, telah siap, dan sanggup menerima pengetahuan tersebut60.

Kemampuan menerima secara langsung itu diperoleh melalui latihan, yang

dalam Islam disebut riyadhah. Konon, kemampuan orang-orang itu sampai bisa

melihat Tuhan, berbincang dengan Tuhan, melihat surga, neraka, dan alam ghaib

lainnya. Dari kemampuan ini dapat dipahami bahwa mereka tentu mempunyai

pengetahuan tingkat tinggi yang banyak sekali dan meyakinkan pengetahuan itu

diperoleh bukan lewat indra dan bukan lewat akal, melainkan lewat hati61. Intuisi ini

datang pada orang yang merenungkan secara terus menerus hakekat realitas, untuk

kemudian selam pereenungan mendalam ini dan dengan kehendak-Nya, kesadaran

akan dirinya dan kesadaran subjektifnya terhapuskan, lalu masuk kedalam kedirian

yang lebuih tinggi, baqa’ dalam Tuhan. Ketika kembali kepada keadaan manusiawi

dan subyektifnya, yang bersangkutan kehilangan apa yang ditemukan, tetapi ilmu

59 Syed M. Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains.h. 37 60 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005) cet, ke-2, h. 108 61 Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, akal, dan Hati sejak Thales sampai Capra, (Bandung:

Remaja Rosdakarya, 2002) h. 58

Page 58: 77499 Abdul Ghofur Fitk

58

tentang apa yang ia temukan, pengalaman ruhani yang dialami selama baqa’, tetap

ada pada dirinya62.

Meskipun pengalaman intuitif tidak bisa dikomunikasikan, akan tetapi pemahaman

mengenai kandungannya atau ilmu pengetahuan yang berasal darinya dapat

transformasikan. Intuisi terdiri pelbagai jenis dan tingkat, yang terendah adalah yang

dialami oleh para ilmuwan dan sarjana dalam penemuan-penemuan mereka,

sedangkan yang tertinggi dialami oleh para Nabi. Dan perlu diketahui bahwa semua

ilmu pengetahuan ketika untuk pertama kalinya diperhatikan oleh pemeerhatinya

adalah sesuatau yang dicapai melalui intuisi,.

C. Faktor Pendukung dan Penghambat Islamisasi Ilmu

Usaha-usaha yang dilakukan para pakar ilmuwan muslim dengan

berbagai upaya yang dilakukan menghasilkan berbagai gagasan yang

terkonsentrasikan pada usaha Islamisasi ilmu pengetahuan. Berbagai macam

faktor pendukung diupayakan pengamatan dan penelitian tentang berbagai faktor

yang ditimbulkan seiring dengan semakin pesatnya kemajuan peradaban Barat.

Makin banyak saja orang yang yakin bahwa apa yang disebut sebagai

peradaban modern, yang di dalamnya kita hidup sekarang ini, sedang berada

dalam krisis. Padahal, berbicara tentang peradaban modern adalah berbicara

tentang sains modern dan penerapannya, demikian kata seorang penulis sejarah

sains Barat. Memang, kedengarannya agak berlebihan, tapi dalam kenyataannya

sains modern bisa menerangkan berbagai persoalan modern – tepatnya krisis

global – masa kini. Tentang alienasi individual, rusaknya lingkungan manusia,

62 Syed M. Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains. h. 38

Page 59: 77499 Abdul Ghofur Fitk

59

dan sebagainya. Masalah-masalah inilah – bersama masalah-masalah lain – yang

saling mempengaruhi dan terakumulasi dalam apa yang sekarang sering disebut

krisis global. Dan jika disebut peradaban modern, itu artinya bagian terbesar dari

negara-negara di dunia; karena hampir seluruh negara – kecil atau besar –

dengan sadar atau terpaksa sedang atau telah berjalan ke arahnya. Dengarlah

Gregory Bateson: 63 “Sudah jelas bagi banyak orang bahwa banyak bahaya

mengerikan telah tumbuh dari kekeliruan-kekeliruan epistimologi Barat. Mulai

insektisida sampai polusi, malapetaka atomik, ataupun kemungkinan mencairnya

topi es antariksa. Di atas segalanya, dorongan fantastik kita untuk

menyelamatkan kehidupan-kehidupan perorangan telah menciptakan

kemungkinan bahaya kelaparan dunia di masan mendatang.”

Kalau krisis-krisis ini didaftar secara lebih terinci, maka akan didapatkan

daftar yang amat panjang. Contoh pertama – dan mungkin yang terbesar – adalah

krisis lingkungan. Ekosistem alam kita berada dalam keadaan yang amat labil.

Karena terlalu banyaknya campur tangan manusia di dalamnya, baik

direncanakan maupun tidak. Efek rumah kaca akibat banyaknya gas

karbondioksida hasil pembakaran bahan bakar fosil tidak hanya mengancam

sebagian dunia, tapi seluruh dunia. Ancaman lain adalah menipisnya lapisan

ozon atmosfer karena gas-gas yang dilepaskan pada penggunaan penyegar,

misalnya “deodoran” dan “aerosol”. Meskipun jumlahnya kecil, hanya seperjuta

bagian, ozon sangat penting untuk melindungi kehidupan dari serangan sinar

ultraviolet sinar matahari. Berkurangnya ozon bisa mengakibatkan bencana bagi

63 Dikutip dari Ziauddin Sardar, Masa Depan Islam, (Pustaka Salman), 1987, hal.88.

Page 60: 77499 Abdul Ghofur Fitk

60

kesehatan manusia maupun makhluk lainnya. Ada perkiraan yang menyebutkan

bahwa pengurangan ozon akan mencapai tiga persen pada tahun 2000, dan lebih

dari sepuluh persen pada tahun 2050. pada 1986 telah ditemukan lubang ozon di

atmosfer di atas antartika yang ternyata meluasnya lebih cepat dari dugaan

semula. Lalu, atmosfer di Eropa saat ini mendapat tambahan sulfur satu gram

lebih tiap satu meter persegi sebagai polusi udara. Ini bisa mengakibatkan hujan

asam yang merusakkan hutan-hutan dan perairan. Tanah-tanah produktif di

Dunia Ketiga berubah menjadi gurun dengan kecepatan yang mencengankan.

Setiap tahunnya, enam juta hektar tanah produktif berubah menjadi gurun. Tiga

dasawarsa mendatang berarti gurun telah bertambah seluas Saudi Arabia.

Keadaan ini tidak mendukung tata kehidupan umat yang mampu

melahirkan peradaban Islami64.

Kemudian secara rinci Mujammil Qomar mengatakan bahawa yang

diakibatkan oleh dikotomi pendidikan menyebabkan :

1. Kegagalan merumuskan Tauhid dan bertauhid

2. Lahirnya syirik yang berakibat adanya dikotomi fikrah Islam.

3. Adanya dikotomi kurikulum

4. Terjadinya dikotomi dalam proses pencapaian tujuan pendidikan

5. Adanya dikotomi lulusan pendidikan dalam bentuk split personality

ganda dalam arti kemuyrikan, kemunafikan, kemunafikan yang

melembaga dalam sistem keyakinan, sistem pemikiran , sikap, cita-

cita dan perilaku yang disebut sekulerisme.

64 Amrullah Ahmad, Kerangka dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam”, dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia antara cita dan fakta, ( Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1991), hal. 94

Page 61: 77499 Abdul Ghofur Fitk

61

6. Rusaknya sistem pengelolaan lembaga pendidikan

7. Lembaga pendidikan melahirkan manusia yang berkepribadian

ganda, yang justru menimbulkan dan memperkokoh sistem kehidupan

umat yang sekuleristik, rasionalistik-empiristik-intuitif dan

materealistik.

8. Lahirnya peradaban Barat sekuler yang dipoles dengan nama Islam.

9. Lahirnya Da’i yang berusaha merealisasikan Islam dalam bentuknya

yang memisahkan kehidupan sosial politik-ekonomi ilmu

pengetahuan, teknologi dengan ajaran Islam, agama urusan dan

berkaitan dengan akhirat dan ilmu-ilmu teknologi untuk urusan

dunia65.

Demikian bahaya yang selalu mengancam dan terisolir kandasnya Islamisasi

Ilmu sebagai upaya pendidikan dalam membebaskan kekuatan pendidikan

dominasi Barat yang mengancam kelangsungan hidup umat manusia. Akibat-

akibat yang harus disadari adalah dengan penerapan pendidikan yang dikotomik

itu pihak yang mengalami kerusakan atau kerugian bukan sekedar sistem dan

lembaga pendidikan Islam saja, melainkan juga merugikan alumni pendidikan

Islam, peradaban Islam, dan suasana kehidupan umat. Semua komponen ini

tertimpa penderitaan yang berkepanjangan.

65 Amrullah Ahmad. Kerangka dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam”, dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia antara cita dan fakta, h. 95

Page 62: 77499 Abdul Ghofur Fitk

62

BAB IV

PANDANGAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS DALAM

MENJAJAKI KEMUNGKINAN ISLAMISASI ILMU

A. Latar Belakang Tujuan

Sejak mengalami masa Renaisanc beberapa abad silam, telah berhasil

mengantarkan Barat kepuncak kejayaan. Para Ahli Sains dan Cendekiawan Barat

mengembangkan dan menguasai pelbagai disiplin ilmu-ilmu yang

pendekatannya bersifat rasionalistik (Aqliyah). Lahir dari lingkungan

Sekulerisme, Ulitirianisme, Materialisme, dan Hedonisme, secara otomatis akan

mempengaruhi konsep, penafsiran dan makna ilmu itu sendiri. Hal ini terjadi

karena seperti yang dikemukakan oleh Richard Tarnas bahwa didepan mata

manusia itu ada “lensa” yang memfilter penglihatan, “lensa” itu dipengaruhi

nilai, pengalaman, keterbatasan, trauma, dan harapan66. Hal ini juga berlaku bagi

ilmuwan muslim, namun juga jangan sampai menggiring kita pada

subyektivisme dan relativisme murni, karena Tuhan merupakan sumber ilmu

yang sebenarnya- yang bebas dari keraguan dan kebingungan- adalah obyektif,

yakni wujudnya tidak tergantung pada imajinasi manusia67. Dengan demikian

ilmu yang diperoleh tidak terikat dengan batasan nasional, etnik, dan gender.

Sekulerisasi yang melibatkan tiga komponen terpadu, yaitu

tidak mengakui adanya unsur transenden dalam alam semesta, memisahkan

66 Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), cet, ke-1, h.54-55 67 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-

Attas, (Bandung Mizan, 2003), cet: ke-1, h.332

Page 63: 77499 Abdul Ghofur Fitk

63

agama dari dunia politik dan nilai yang tidak mutlak atau relatif. Ketiga

komponen tersebut dilihat dari kaca mata Islam bukan saja bertentangan dengan

fitrah manusia, tetapi juga telah memutuskan ilmu dari pondasinya dan

menggesernya dari tujuannya yang hakiki. Oleh karena itu, konsep ilmu Barat

menimbulkan krisis dari pada melahirkan keharmonisan, kebaikan dan keadilan.

Krisis tersebut dapat didiagnosa paling tidak, dari dua sisi. Sisi pertama yang

melekat sempurna pada subyek manusianya yang dicirikan oleh gejala

disorientasi dan alieniasi, dan disisi lain, pada peradaban modern yag

dibagunnya sendiri yang ditandai eksploitasi dan disfungsionalisasi68.

Al-attas dengan tepat dan berani menyatakan bahwa:

“Tantangan terbesar yang secara diam-diam telah timbul

tantangan pengetahuan, memang, tidak sebagai tantangan terhadap kebodohan,

tetapi pengetahuan yang dipahamkan dan disebarkan keseluruh dunia oleh

peradaban Barat. Pengetahuan barat itu sifatnya telah menjadi penuh

permasalahan karena ia telah kehilangan maksud yang sebenarnya sebagai

akibat dari pemahaman yang tidak adil. Ia juga telah menyebabkan kekacauan

dalam kehidupan manusia, dan bukannya perdamaian dan keadilan.

Pengetahuan Barat tersebut berdalih betul, namun hanya memberi hasil

kebingungan dan skeptisisme69.

Apa yang dirumuskan dan disebarkan oleh Barat adalah ilmu

pengetahuan yang telah dituangi dengan watak dan kepribadian peradaban Barat

68 Moefich Hasbullah, Proyek Islamisasi Sains: Dekonstruksi Modernitas Dan Rekontruksi

Alternatif Islam. (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2000), cet. Ke-1, h. xxviii 69 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan sekulerisme, (Bandung: Pustaka, 1981), cet.

Ke-1. h. 195

Page 64: 77499 Abdul Ghofur Fitk

64

itu sendiri. Ilmu pengetahuan yang disebarkan itu hanyalah pegetahuan semu

yang dilebur secara halus dengan yang sejati sehingga orang-orang yang

mengambil dengan tidak sadar seakan-akan menerima pengetahuan yang sejati.

Peradaban Barat yang dimaksudkan al-Attas disini adalah peradaban yang telah

tumbuh dari peleburan historis dari kebudayaan, filsafat, nilai dan aspirasi

Yunani, dan Romawi kuno beserta perpaduannya dengan ajaran Yahudi dan

Kristen yang kemudian yang dikembangkan lebih jauh oleh rakyat latin,

Jermania, Kelitik dan Nordik. Dari Yunani kuo diperoleh unsur-unsur filosofis

dan epistemologis dan landasan-landasan pendidikan dan etika serta estetika,

dari Romawi unsur-unsur hukum dan ilmu tata negara serta pemerintahan, dari

ajaran Yahudi dan Kristen unsur-unsur kepercayaan religius dari rakyat Latin,

Jermania. Keltik dan Nordik nilai-nilai semangat dan tradisional mereka yang

bebas dan nasional70. Sebenarnya Islam juga punya andil yang sangat signifikan

dalam bidang pengetahuan dan didalam menanamkan semangat rasional dan

ilmiah, yang kemudian telah dimodifikasi kembali agar selaras dengan pola

kebudayaan dan peradaban Barat.

Pemahaman ilmu dan pandangan hidup ( selanjutnya disebut Worldview)

Barat ini menular dinegara Islam setelah berlngsungnya penjajahan dimana

banyak negara Islam dijajah Barat seperti Inggris dan Perancis. Barat melakukan

westernisasi ilmu pengetahuan melalui pendidikan yang mereka dirikan

dinegara-negara jajahan mereka. Pendidikan yang mereka dirikan juga didukung

70 Syed Muhammad Naquib al-Attas Islam dan sekulerisme, h. 197

Page 65: 77499 Abdul Ghofur Fitk

65

oleh worldview Barat yang mulai mempengaruhi pandangan mereka. Ini

mengakibatkan kekeliruan, dan manusia muslim kehilangan adab.

Dalam pandangan al-Attas, westernisasi ilmu adalah hasil dari

kebingungan dan skeptisisme. Westernisasi telah mengangkat keraguan dan

dugaan ketahap metodologis ‘ilmiah’. Bukan hanya itu, westernisasi juga telah

menjadikan skeptisisme ketingkat sebagai alat epistemologi yang syah dalam

keilmuwan. Namun demikian, bukan berarti al-Attas menolak keraguan dan

skepisime sama sekali; ia menolak keraguan dan skeptisisme per se, sehingga ia

setuju dengan pendapat filosof dan epistemolog muslim kenamaan, al-Ghazali

(1508- 1111 M), yang menyatakan bahwa seseorang tidak bisa sungguh-sungguh

percaya sampai ia merasa ragu, dan bahwa skeptisisme yang sehat adalah

penting utuk kemajuan intelektual. Yang ditolak adalah keraguan dan

skeptisisme keilmuan Barat yang -sampai- mengorbankan atau mengabaikan

nilai-nilai sosial dan kultural71.

Tambahnya lagi, ilmu Barat tidak dibangun diatas landasan wahyu dan

kepercayaan agama. Akan tetapi dibangun diatas tradisi budaya yang diperkuat

dengan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekuler yang

menjadikan manusia sebagai makhluk rasional. Konsekuensinya kemudian

adalah ilmu ilmu pengetahuan dan nilai-nilai etika dan moral, yang diatur oleh

rasio manusia, terus menerus mengalami perubahan. Bahkan, pengetahuan barat,

telah mengukir sejarah dengan mengakibatkan kerusakan pada tiga kerajaan

alam: satwa, nabati dan tambang.

71 Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual, terj. Priyono, (Surabaya: Risalah Gusti, 1998)

h.43

Page 66: 77499 Abdul Ghofur Fitk

66

Yang lebih dahsyat lagi, setelah peneliti sains memiliki kemampuan

untuk menciptakan bentuk kehidupan baru lewat rekayasa genetika, pada April

1987 Kantor Hak Cipta Amerika Serikat mengumumkan bahwa organisme

hidupini-termasuk binatang- dapat diberikan hak paten. Memang terjadi

perdebatan atas keputusan ini, tetapi tidak sedikit juga ilmuwan yang

mendukung keputusan tersebut. Kalau memang manusia telah mampu

menciptakan suatu organisme hidup baru, lalu dimanakah peran sang pencipta?

Ini juga manusia mengajukan pertanyaan-pertanyaan penting lainnya yang sudah

keluar dari lingkup ilmu pengetahuan.

Ada dampak lain yag ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan kontemporer,

yaitu dampak psikologis, misalnya. Termasuk meningkat pesatnya statistik

penderita depresi, kegeisahan, psikosis dan sebagainya. Sebagaimana halnya

pada abad ke-17, sekali lagi kita mengalami destabilisasi dan keterpecahan ,

ketika paradigma keagamaan digugat. Ujung-ujungnya: tingkat penderita jiwa

dan pelaku bunuh diri terus meningkat. Inilah akibat langsung pemisahan antara

manusia sebagai ilmu pengetahuan kontemporer dengan obyeknya yang

menandai filsafat sains Barat sekarang ini. Oleh karena itu, al-Attas berpendapat

ilmu yang berkembang di Barat tidak semestinya diterapkan didunia Muslim.

Ilmu bisa dijadikla alat yang sangat halus dan tajam bagi penyebarluasan cara

dan pandangan hidup sesuatu kebudayaan72. Sebabnya, ilmu bukan bebas nilai (

Value-Free), tetapi sarat nilai ( Value Laden)73.

72 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, ( Kuala Lumpur : ISTAC, 2001)h, 49 73 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin h. 134

Page 67: 77499 Abdul Ghofur Fitk

67

Para Ilmuwan Muslim berusaha untuk menggali khazanah ilmu yang sudah

lama dikumandangkan, diantaranya adalah cendekiawan Muslim yaitu Syed

Muhammad Naquib al-Attas sebagai “Mega Proyek” gagasan tersebut mengandung

tujuan yang sangat penting yang akan dicapai.

Adapun Tujuan yang hendak dicapai dengan terealisasinya gagasan

Islamisasi ilmu, diantaranya74:

1. Mengeluarkan Ilmu pengetahuan kontemporer penafsiran-penafsiran yang

berlandaskan ideologi, makna dan ungkapan sekuler yang bertentangan dengan

ajaran Islam

2. Menjadikan Islam sebagai alternatif epistemologi Barat

3. Mengembangkan ilmu yang hakiki untuk membangun pemikiran dan

rohani pribadi muslim yang dapat meningkatkan keimanannya dan keteakwaannya

kepada Allah SWT.

4. Islamisasi Ilmu akan melahirkan keamanan, kebaikan, keadilan dan

kekuatan keimanan.75

5. Menghilangkan konsep dikotomi ilmu yang berakibat pada pemisahan

antara ilmu agama dan ilmu umum, karena pada hakekatnya ilmu bersumber dari

yang maha tunggal yaitu Allah SWT

B. Konsep Islamisasi Ilmu Naquib al-Attas

Membandingkan antara Islam dengan filsafat dan ilmu

pengetahuan kontemporer, sebagaimana yang disadari oleh al-Attas terdapat

persamaan khususnya dalam hal-hal yang menyangkut sumber dan metode

74 Roshnani Hashim, gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Komtemporer, Islamia,1,6, (juli-september,2005)h.31

75 Roshnani hashim. gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Komtemporer. h 31

Page 68: 77499 Abdul Ghofur Fitk

68

ilmu, kesatuan cara mengetahui secara nalar dan empiris, kombinasi

realisme, idealisme dan pragmatisme sebagai fondasi kognitif bagai filsafat

sains; proses dan filsafat sains. Bagaimana, ia menegaskan bahwa terdapat

sejumlah perbedaan sejumlah perbedaan mendasar dalam pandangan hidup

(divergent worldviews).76wolrdview Islam menurut al-Attas merupakan

pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang tampak oleh mata hati

kita dan yang menjelaskan hakekat wujud; oleh karena apa yang dipancarkan

Islam adalah wujud yang total maka wolrdview Islam berarti pandangan

Islam tentang wujud (ru’yat al-Islam lil-wujud).77

No Elemen Worldview Islam Woeldview Barat

1 Prinsip Tauhidi Dikotomik

2 Asas Wahyu, Hadits, akal,

Pengalaman, dan intuisi

Rasio, spekulasi,

filosofis

3 Sifat Otensitas dan kajian Rasionalitas, terbuka

dan selalu berubah

4 Makna Realitas dan

kebenaran

Berdasarkan kajian

metafisis

Pandangan sosial,

kultural, empiris

5 Obyek kajian Visible dan invisible Tata nilai

masyarakat

76 Syed Muhammad Naquib al-Attas Islam dan Filsafat Sains, (Bandung: Mizan, 1995), cet.

Ke-1, h.189 77 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Methaphisics of Islam and

Exposition of Fundamental Elements of the Worldview of Islam ( Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), cet. Ke-2, h.2

Page 69: 77499 Abdul Ghofur Fitk

69

Dari tabel diatas jelas sekali bahwa antara worldview Islam

dan Barat terdapat perbedaan yang sangat fundamental yang tidak mungkin

dikompromikan. Worldview Islam tidak berdasarkan dikotomis seperti

obyektif-subyektif, historis-normatif, tekstual-kontekstual. Akan tetapi,

realitas dan kebenaran dipahami dengan metode tauhidi dimana terdapat

kesatuan antara kaedah empiris, rasional, deduktif dan induktif, sebagaiman

para sarjana pada masa silam menggunakan berbagai metode dalam

penyelidikan mereka. Realitas dan kebenaran dalam konsep Islam bukan

semata-mata fikiran tentang alam inderawi dan peranan manusia dalam

sejarah, sosial, politik dan budaya sebagaimana yang ada dalam konsep Barat

sekuler mengenai dunia yang hanya menaruh perhatian terhadap dunia

empiris saja. Tetapi lebih dari itu, memaknai realitas dan kebenaran

berdasarkan kajian metafisis terhadap dunia yang empiris dan non empiris.

Dengan demikian, wolrdview Islam mencakup dunia akhirat, yang mana

aspek dunia tidak boleh terpisah dan harus dikorelasikan dengan cara yang

sangat mendalam kepada aspek akhirat, dengan keyakinan bahwa aspek

akhirat merupakan yang terakhir dan final. Worldview Islam bersumber

kepada wahyu yang didukung oleh akal dan intuisi. Substansi keimanan dan

pengamalan ibadahnya, doktrinnya serta sistem teologinya telah ada dalam

wahyu dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW .

Permasalahan yang sangat krusial yang dihadapi umat Islam adalah

bagaimana menemukan kembali konsep dasar Islam dalam menghadapi ilmu

pengetahuan yang sekuleristik menjadi Islami.

Page 70: 77499 Abdul Ghofur Fitk

70

Naquib al-Attas beranggapan bahwa solusi dari permasalahan yang

kita (Umat Islam) hadapi adalah Islamisasi Ilmu pengetahuan. Menurut

beliau, pada awalnya semua ilmu ada pada bentuknya yang Islami. Namun

seiring dengan perkembangan zaman, bentuk fithrah ilmu sedidit demi

sedikit berubah. Perubahan itu terjadi bersamaan dengan proses sekulerisasi

masyarakat yang terjadi di Eropa yang beberapa ratus kemudian diekspor

kedunia Islam. Definisi sekulerisasi yang menurut Naquib al-Attas paling

sesuai adalah definisi yang diberikan oleh seorang teolog Belanda,

Coernelius Van Peursen yang pernah menduduki kursi filsafat di universitas

Leiden. Van peursen mendefinisikan sekulerisasi sebagai “ Pembebasan

seseorang, pertama dari kontrol religius dan kemudian metafisis, terhadap

pemikiran dan bahasanya”.78 Berarti menurut Van peursen ada dua aspek

yang sangat penting dalam isu sekulerisasi ini : pemikiran dan bahasa.

Mengapa demikian? Tentu kita dapat mengerti aspek sekulerisasi pemikiran

karena seseorang melakukan segala sesuatunya sesuai dengan pemikirannya.

Berarti, jika pemikirannya sudah sekuler, pandangan-hidupnya juga akan

sekuler. Jika ia sudah sampai pada tigkat ini, maka ia akan berpendapat

bahwa dirinya adalah segalanya, dan tidak ada otoritas yang lebih tinggi lagi

adri dirinya. Dengan demikian, amal-amalnya pun akan dikerjakan sesuai

dengan hatinya sendiri. Inilah proses pergantian fokus dari tuhan kepada

manusia seperti yang telah termaktub dalam inti filsafat Humanisme.79

78 Syed. Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Sekulerisme. Hal 17 79 Ismail Fajrie Alatas, Konsep Ilmu dalam Islam, (jakarta Diwani Publissing 2006), h. 278

Page 71: 77499 Abdul Ghofur Fitk

71

Setelah berangkat dari pemikiran kemudian dari bahasa menurut isu

sekulerisasi yang berkembang, mengapa demikian? Bahasa adalah sebuah

fenomena kultural dimana bahasa terbentuk berdasarkan pengalaman historis

dan kultural sebuah bangsa,. Karena adanya perbedaan pengalaman antara

satu bangsa dengan bangsa yang lainnya, maka bahasanya pun juga banyak

berbeda. Yang dimaksud perbedaan disini adalah dari segi semantik,

sehingga banyak kita jumpai konsep-konsep serta terminologi yang terdapat

disatu bahasa, namun tidak terdapat ibahasa yang lain. Salah satu contoh

adalah kesulitan yang dihadapi oleh para penerjemah bahasa Arab menuju

Bahasa Inggris. Bahasa Arab adalah bahasa yang sangat metafisis akibat

keberadaan al-Qur’an, sedangkan bahasa Inggris telah berubah menjadi

bahasa yang sangat teknis, mekanis dan anti-metafisis. Oleh karena itu

banyak kata-kata kunci dari bahasa Arab yang tidak dapat diterjemahkan

kedalam bahasa inggris karena ketiadaan konsep yang sama. Salah satu

contoh yang paling konkret adalah kata qalb, fu’ad dan lubb. Seseorang yang

akan menerjemahkan kata ini kedalam bahasa Inggris akan sangat kesulitan

untuk melakukannya karena ketiadaan perbedaan antara terminologi tersebut.

Kata yang dapat mendeskripsikan ketiganya hanyalah heart atau hati.

Sedangkan dalam bahasa Arab, ketiga terminolog itu mendeskripkan

tingkatan hati yang berbeda-beda. Namun karena ketiadaan terminologi

yang sama dalam bahasa Inggris, maka ketiga kata tersebut hanya dapat

diterjemahkan dengan satu kata: heart. Akibat dari ketidak tepatan

Page 72: 77499 Abdul Ghofur Fitk

72

penerjemahan, maka pemahaman seseorang akan suatu hal juga akan tidak

tepat.

“ Atas dasar inilah,sayyidi naquib mendefinisikan Islamisasi sebagai :

“ Pembebasan manusia dari tradsi magis, mitologis, animistis, kultur-

nasional (yang bertentangan dengan Islam) dan dari belenggu paham sekuler

terhadap pemikiran dan bahasanya “ juga pembebasan dari kontrol dorongan

fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil terhadap hakikat diri atau

jiwanya, sebab manusia dalam wujud fisiknya cenderung lupa terhadapa

hakikat dirinya yang sebenarnya, menjadi bodoh akan tujuan yang

sebenarnya, dan berbuat tidak adil terhadapnya, Islamisasi adalah suatu

proses menuju bentuk asalnya ( Fithrah) yang tidak sekuat proses evolusi

dan devolusi….80

Dalam definisi Islamisasi diatas, terdapat dua aspek yang perlu

diungkapkan lebih lanjut. Yang pertama, pada tingkat individu, konsekuensi

dari islamisasi adalah pengakuan terhadap Nabi (saw) sebagai pemimpin dan

pribadi teladan bagi pria maupun wanita baik pada tingkat kolektif, sosial

dan historis81. Pengakuan terhadap derajat dari tingkat Nabi (saw) yang

begitu tinggi, akan diresapinya dan dipikirkannya, sehingga tidak akan

mungkin terlontar dari lisannya bahwa “Nabi (saw) adalah manusia biasa”.

Seseorang yang terdidik secara Islami tidak akan berani melontarkan kata-

kata yang seperti ini. Sebaliknya, dengan penuh kerendahan hati dan diri, dia

akan mengakui ketinggian posisi Nabi yang juga telah diakui oleh Allah Swt.

80 Syed. Muhammad Naquib al-Attas , Islam and Sekulerism. hal 45 81 Syed. Muhammad Naquib al-Attas Islam dan sekulerisme, Hal 45

Page 73: 77499 Abdul Ghofur Fitk

73

Pada saat pengakuan itu sudah terpatri, maka dengan sendirinya, pribadi dan

kehidupan beliau (saw) akan menjadi simbol dan realisasi kesempurnaan

moralitas dan etika82. Dengan demikian ia akan menyontoh kesempurnaan

tersebut, dalam upayanya untuk menyempurnakan dirinya sendiri.

Pengertian Islamisasi pada tingkat individu ini, sangat berhubungan

dengan konsep adab. Sayyidi Naquib beranggapan bahwa dilema yang

dihadapi umat Islam telah membentuk lingkaran setan yang didahului dengan

sekulerisasi ilmu pengetahuan.

Pada aspek yang kedua terjadi setelah proses pertama selesai, yaitu

memasukkan elemen-elemen Islam dan konsep-konsep kunci kesetiap

cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan83. Proses inilah yang

kemudian dikenal dengan The Islamisation of Knowledge . perlu ditegskan

bahwa dmesteernisasi dan Islamisasi ilmu pengetahuan adalah kerja-kerja

kognitif dan spiritual yang terjadi secara bersamaan. Tanpa ada celah waktu.

Sebelum “memisahkan “dan “mengeluarkan” ide-ide dan konsep-konsep

yang tidak Islami, seseorang pertama-tama harus mampu

mengidentifikasikan semua itu dan memiliki pemahaman yang mendalam

mengenai pandangan dunia Islam berikut semua elemen dan konsep

kuncinya84. Proses ini menurut Ismail Fajrie Alatas senada dengan kalimat

La Ilaha Illallah (Tiada Tuhan Selain Allah) yang berisi dua klaus yang

tersambung dalam satu kalimat. Klaus yang pertama La Ilaha (Tiada Tuhan)

adalah sebuah penolakan dari konsep-konsep serta elemen ketuhanan yang

82 Syed. Muhammad Naquib al-Attas ,Islam dan sekulerisme , Hal 45 83 Syed. Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam 84 Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam. Syed M. Naquib Al-Attas, hal 339

Page 74: 77499 Abdul Ghofur Fitk

74

ada dialam semesta ini. Sedangkan klaus yang kedua Illallah (Selain Allah)

adalah afirmasi bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Tuhan yang ada dan

yang diakui. Kedua aksi ini, penolakan dan afirmasi terjadi secara simultan

sehingga tidak terdapat celah yang kosong antara kedua aksi tersebut.

Dengan demikian, Islamisasi ilmu pengetahuan juga bekerja secara simultan.

Setelah mengetaui secara mendalam mengenai pandangan hidup

Islam dan Barat, maka proses Islamisasi ilmu baru bisa dilaksanakan.

Adapun metodologi yang digunakan al-Attas dalam proses Islamisasi ilmu

pengetahuan kontemptorer, terdiri dari dua proses atau langkah yang saling

berkaitan, yaitu:

1. Proses Verifikasi, yaitu mengenali dan memisahkan unsur-unsur (4 unsur

yang telah disebutkan sebelumnya) yang dibentuk oleh budaya dan

peradaban Barat, kemudian dipisahkan dan diasingkan dari tubuh

pengetahuan kontemporer85 khususnya dalam ilmu pengetahuan

humaniora. Bagaimanapun, ilmu-ilmu alam, fisika, ilmu-ilmu terapan

juga harus dislamkan, khusunya dalam penafsiran-penafsiran akan fakta-

fakta dalam formulasi teori-teori.

Menurut al-Attas, jika tidak sesuai dengan pandangan hidup Islam,

maka fakta menjadi tidak benar. Selain itu, ilmu-ilmu modern harus

diperiksa dengan teliti. Ini mencakup metode, konsep, praduga, simbol,

dari ilmu modern, beserta aspek-aspek empiris, dan rasional, dan yang

berdampak kepada nilai-nilai dan etika, penafsiran historis ilmu tersebut,

85 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sukelarisme, h. 202

Page 75: 77499 Abdul Ghofur Fitk

75

bangunan teori ilmunya, praduga berkaitan dengan dunia dan rasionalitas

proses-proses ilmiah, teori ilmu tersebut tentang alam semesta,

klasifikasinya, batasannya, hubungan dan keterkaitannya dengan ilmu-

ilmu lainnya serta hubungan dengan sosial harus diperiksa dengan teliti.86

2. Memasukkan elemen-elemen Islam dan konsep kunci ke dalam setiap

cabang Ilmu pengetahuan kontemporer yang relevan.87 Dengan

masuknya itu, maka akan merubah bentuk-bentuk, nilai-nilai dan tafsiran

konseptual isi pengetahuan. Selanjutnya, al-Attas juga merincikan dan

beberapa konsep dasar Islam yang harus dituangkan ke dalam setiap

cabang ilmu apa pun yang dipelajari oleh umat Islam adalah seperti

berikut ini :88

a. Konsep agama (Din)

b. Konsep manusia (Insan)

c. Konsep ilmu (‘Ilm dan Ma’rifah)

d. Konsep kearifan (Hikmah)

e. Konsep keadilan (‘Adl)

f. Konsep prbuatan yang benar (‘Amal sebagai adab)

g. Konsep universitas (Kulliyah-Jami’ah)

Dalam penerapan prktisnya sangat terkait dengan dubnia pendidikan.

Konsep agama (din) menunjukkan kepada maksud mencari pengetahuan dan

keterlibatan dalam prose pendidikan. Konsep manusia (insan) kepada ruang

86 Syed Muhammad Naquib al-Attas Prolegomena to the Methaphisics of Islam and

Exposition of Fundamental Elements of the Worldview of Islam h. 114 87 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam. Syed M. Naquib Al-

Attas h. 337 88 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sukelarisme, h. 233

Page 76: 77499 Abdul Ghofur Fitk

76

lingkup. Konsep ilmu (‘ilm dan ma’rifah) mengacu kepada isi.89 Konsep

kearifan (hikmah) kepada kreteria dalam hubungannya dengan konsep

manusia (insan) dan ilmu (ilm dan ma’rifah). Konsep keadilan (‘adl) kepada

pengembangan dalam hubungannya dengan konsep kearifan (hikmah).

Konsep perbuatan yang benar (‘amal sebagai adab) kepada metode dalam

hununggannya dengan konsep agama (din) – konsep keadilan (‘adl). Konsep

universitas (kulliyah-jami’ah) dianggap penting karena berfungsi sebagai

implementasi semua konsep itu dan menjadi model sistem pendidikan untuk

tingkat rendah.

Untuk lebih memahami, penulis akan memberikan sebuah study

kasus berkenaan dengan metodologi Islamisasi ilmu diatas dalam salah satu

aspek dari disiplin ilmu psikologi.

Psikologi merupakan bidang yang cukup menarik, karena kedudukannya

yang istimewa antara fisik dan metafisik. Ilmu psikologi yang sekarang

berkembang dengan subur didunia, tak terkecuali dunia Islam adalah

psikologi yang dibangun oleh peradaban Barat. Oleh karena itu, sesuai

dengan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer, maka psikologi

harus diislamkan.

1. Proses Verifikasi

89 Proses memasukkan konsep ilmu (‘ilm dan ma’rifat) ke dalam ilmu Barat yang telah

diverifikasi dalam aplikasinya terkait dengan dunia pendidikan. Ilmu yang telah di Islamkan ini isinya harus disesuaikan dengan saaran ilmu itu ditujukan. Tentunya siswa sekolah lanjutan dengan mahasiswa dari isi ilmu yamh mereka terima tidak sama. Oleh sebab itu, guru dan pihak lain yang telibat dalam pendidikan (stakeholder) harus mampu mendesain kurikulum yang sesuai dengan kapasitas intelektual dan psikologis orang yang menerima ilmu tersebut.

Page 77: 77499 Abdul Ghofur Fitk

77

Dalam kajian ilmiah modern Barat, “Jiwa” tidak lagi

dipandang sebagai substansi immaterial yang berkaitan dengan dunia

metafisik, tetapi semata-mata sebagai fungsi otak yang bersifat fisik dengan

sisitem neorilogisnya yang canggih. Psikologi telah mengalami reduksi dan

degradasi yang parah. Dengan keinginannya untuk diakui sebagai disiplin

ilmiah, psikologi harus rela tunduk pada paradigma positivistik, dengan

membatasi kajiannya hanya pada bidang-bidang empiris dengan resiko ia

harus kehilangan dimensi metafisiknya. Misalnya dalam Behavourisme90,

jiwa dipandang tidak lebih dari fungsi neurologis otak, yang mengatur

tindakan atau langkah manusia sebagai respon terhadap stimulus yang datang

dari luar. Manuasia sering tidak bisa dibedakandai hewan biasa, seperti

anjing dan tikus, yang bertindak hanya sebagai respon titik terhadap stimulus

dari luar dirinya. Akhirnya jiwa manusia atau pikirannya dipandang hanya

ebagai fungsi neurologis otak. Bahkan pandangan bahwa jiwa merupakan

fungsi otak itu pun masih terlalu dualistik, sehingga yang tersisah sekarang

ini hanyalah otak. Jiwa atau akal telah diidentik dengan otak sebagai organ

tubuh.

Ini tentu saja akan menimbulkan masalah yang besar dalam tradisi

intelektual muslim, karena jiwa itu sama saja dengan otak, maka kelangsngan

hidup setelah kematian atau konsep apapun yang terkait dengan hari akhir

90 Peletak dasar Behaviorisme adalah Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936) dan William

McDougall (1871-1938). Aliran ini mengemukakan bahwa obyek psikologi hanyalah perilaku manusia yang kelihatan nyata dan menolak mempelajari tingkah laku yang tidak tampak dari luar. Peletak dasar/ sari teori ini adalah Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936) dan William McDougall (1871-1938). Lihat Ahmad Fauzi, Psikologi Umum, (Bandung : Pustaka Setia, 1999), Cet. Ke-2, h. 26

Page 78: 77499 Abdul Ghofur Fitk

78

(akhirat) tidak akan mempunyai arti apapun.91 Padahal kita ketahui

kepercayan kepada hari akhir marupakan pilar kepercayaan yang pokok,

yang membedakan orang yang briman dan orang kafir. Tradisi keilmuan

yang dilandasi ajaran Islam tidak akan mendukung pandangan materialistik

jiwa seperti yang diajukan oleh Ilmuwan Barat. Dengan demikian konsep

jiwa menurut Barat harus ditolak atau dibuang dalam ilmu psikologi,

kemudian harus dimasukkan konsep jiwa yang sesuai dengan ajaran Isalam.

2. Memasukkan elemen-elemen Islam dan konsep kunci Islam

Konsep “jiwa” dalam Islam berbeda dengan konsep yang selama ini

diyakini Barat. Jiwa dalam Islam bersifat immaterialitas. Miskawaihi dalam

karya monumentalnya, Tahdzib al-Akhlaq, mencoba membuktikan

immaterialitas jiwa dengan mengajukan argumen sebagai berikut: “sudah

menjadi tabiat benda-benda fisik untuk menerima hanya satu bentuk saja pada

satu saat”. Misalnya meja, kalau pun kita bisa memisahkan kai meja dari

daunnya, lalu kita menggantungkan daunnya itu di dinding maka pada saat itu ia

tidak bisa lagi disebut meja melainkan papan tulis. Jadi ketika ia menerima

bentuk baru yaitu papan tulis maka ia berhenti menjadi meja. Dengan demikian

benda fisik hanya mampu menerima satu bentuk saja pada satu saat, tidak bisa

lebih dari itu. Tetapi menurut Miskawaih manusia mampu menerima berbagai

bentuk – dalam bentuk ratusan bahkan ribuan konsep abstrak – tanpa mengubah

atau merusak bentuk aslinya.

91 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam, (Jakarta:UIN

Jakarta Press, 2003), cet. Ke-1., h. 149

Page 79: 77499 Abdul Ghofur Fitk

79

Ketika konsep immaterialitas jiwa ini masuk ke dalam psikologi

sebagaimana diuraikan di atas, maka akan merubah dengan drastis teori-teori

yang telah dirumuskan. Tadinya, teori psikologi mengakui bahwa jiwa manusia

bersifat materi, akan melahirkan pengingkaran terhadap hari akhir. Maka dengan

konsep jiwa immaterial, jiwa manusia dapat meneruskan perjalanan hidupnya

setelah kematian untuk kembali kepada asalnya, yang tidak lain adalah Allah

swt.

Setelah konsep psikologi yang Islami dirumuskan, tugas

selanjutnya manurut al-Attas memasukkan konsep kunci Islam, misalnya konsep

universitas (kulliyah-jami’ah) yaitu harus ditransformasikan kepada para

mahasiswa yang belajar di Universitas.

Al-attas menolak pandangan yang menyatakan bahwa Islamisasi

ilmu bisa tercapai dengan melakukan stempelan Islami pada ilmu

pengetahuan. Usaha yang demikian hanya akan memperburuk keadaan dan

tidak berfaedah sebab unsur asing atau kuman penyakit itu masih terdapat

pada tubuh ilmu itu. Ia Cuma akan menghasilkan ilmu yang Islam pun bukan

dan sekuler pun bukan.92

92 Rosnani Hashim, gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Komtemporer h. 35

Page 80: 77499 Abdul Ghofur Fitk

80

C. Karakteristik Islamisasi Ilmu Naquib al-Attas

Bagi Sayyidi Naquib al-Attas, kehancuran pendidikan islam

karena ketiadaan adab yang menjadi pondasi utama pendidikan Islam yang

menghasilkan banyak problematika yang selanjutnya berimplikasi pada

permasalahan yang sangat kompleks yang kita hadapi saat ini. Menurut beliau:

1. Kebingungan dan kekeliruan persepsi mengenai Ilmu

pengetahuan yang selanjutnya menciptakan:

2. Ketiadaan adab dari masyarakat. Akibat dari kedua hal

tersebut adalah:

3. Munculnya pemimpin yang bukan saja tidak layak memimpin

umat, melainkan juga tidak memiliki akhlak yang luhur dan

kapasitas intelektual dan spiritual yang memadai, yang sangat

diperlukan dalam kepemimpinan Islam. Mereka akan

mempertahankan kondisi yang telah disebutkan pada point

pertama akan terus mengontrol permasalahan-permasalahan

sosial kemasyarakatan melalui tangan para pemimpin lain

yang berwatak sama dengan mereka dan mendominasi

pelbagai sektor kehidupan93

Oleh karena itu, pada tingkat individu, proses Islamisasi berhubungan

langsung dengan pengenalan kembali adab. Dari zaman Rasul (saw), adab sudah

merupakan bagian penting dari pendidikan Islam. Hal ini dapat dilihat dari

perintah guna mengemulasi sunnah Nabi (saw) yang secara konseptual disatukan

93 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, hal 137-138

Page 81: 77499 Abdul Ghofur Fitk

81

dengan ilmu dan amal. Para sahabat beliau (saw) telah diperintahkan langsung

oleh Allah (swt) guna mengikuti dan mencontoh sang Nabi. Perintah ini tertulis

dalam Al-Qur’an yang berbunyi “Sungguh pada diri Rsulullah itu teladan yang

baik bagi kamu, bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan hari kemudian

dan banyak mengingat Allah (swt) ( Q.S al-Ahzab: 21)”

Oleh karena itu, Islamisasi pada tingkat individu menekankan

sebagian derajat Rasul (saw) sehingga guna mencapai kesempurnaan seseorang

harus mencoba mengikutinya.

Pada tingkat epistemologis, Islamisasi berkaitan dengan

pembebasan akal manusia dari keraguan (syakk), prasangka (dzann) dan

argumentasi kosong ( mira’) menuju pencapaian keyakinan (yaqin) dan

kebenaran (haqq) mengenai realitas-realitas spiritual, penalaran dan material94.

Ia akan membersihkan dirinya dari segala ilmu yang berbau negatif serta ilmu-

ilmu palsu. Sebaliknya, dirinya akan dipenuhi dengan ilmu-ilmu yang dibangun

diatas keyakinan adalah: ”keadaan dimana sesuatu yang diketahuinya,

menampakkan dirinya tanpa meninggalkan ruang keraguan ataupun posibilitas

kesalahan dan ilusi, dan hatinya tidak akan memperbolehkan posibilitas yang

demikian terjadi95.

Oleh karena itu, ilmu yang dibangun diats keyakinan bersifat positif, dan

karenanya pandangan hidup seseorang yang memilikinya juga positif.

Pada tingkat linguistk, Islamisasi berarti membersihkan dan

merehabilitasi kata-kata kunci yang penting bagi pembahasan ilmu dari sisa-sisa 94 Al-Ghazali, al-Munqidz. Hal 26 95 Al-Attas, The Concept of Education in Islam, hal 7-12

Page 82: 77499 Abdul Ghofur Fitk

82

efek sekulerisasi yang ada. Islamisasi akan mengembalikan betuk semantik kata-

kata kunci tersebut, kepada bentuk asalnya sehingga pemahaman yang

didapatkan darinya akan sesuai dengan pandangan hidup serta pengalaman

historis dan kultural dimana kata-kata itu terbentuk. Jikalau kata-kata itu

terbentuk. Jikalau bahasa telah terIslamisasi, maka pemikiran seseorangpun akan

dengan mudah terislamisasi, karena bahasa dan keberadaan kata-kata kunci dan

terminologi inilah yang sesungguhnya mengatur daya pikiran seseorang.

Setelah mendefinikan Islamisasi, Sayyidi Naquib lantas mencoba

mengaplikasikan konsep tersebut dalam tingkat praktis. Didalam Islam and

Secularism, Sayyidi Naquib menjelaskan bahwa Islamisasi Pengetahuan dalam

masa kini melibatkan dua proses yang saling berhubungan. Yang pertama adalah

pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang membentuk

kebudayaan dan peradaban Barat dari setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini,

khususnya ilmu-ilmu humaniora. Beliau menyebut proses ini dengan

Dewesternization of Knowledge. Adapun elemen-elemen yang ‘asing’ harus

dipisahkan dan dieliminasi dari ilmu pada umumnya mempunyai lima karakter

yang saling berhubungan:

1. Mengandalkan kekuatan akal semata untuk membimbing manusia dalam

mengarungi kehidupan.

Berbicara mengenai rasionalitas dalam konteks peradaban modern

Barat, tentu kita tak bisa melupakan salah seorang tokoh utama, seorang filosof

kenamaan dari perancis Rene Descartes. Ungkapannya yang sangat populuer

Page 83: 77499 Abdul Ghofur Fitk

83

yaitu cogito ergo sum ( saya berpikir, maka saya ada)96. Telah menjadikan rasio

satu-satunya kriteria untuk mengukur suatu kebenaran. Pemikiran Rene

Descartes telah mengilhami gerakan-gerakan rasionalitas, khususnya apa yang

dikenal sebagai gerakan “pencerahan’ (aufklarung) di Perancis dan Jerman yang

melibatkan tokoh-tokoh besar Barat termasuk Immanel Kant (w. 1804) dan

Hegel (w. 1831). Akibat dari penekanan yang kuat terhadap rasionalitas oleh

masyarakat Barat modern munculnya paham-paham yang menolak unsur-unsur

non-rasional seperti yang banyak terdapat pada agama dan mistisme cenderung

ditolak sebagai ilusi dan halusinasi. Wahyu yang pada dasarnya diterima melalui

intuisi juga tidak diterima oleh masyarakat Barat. Bahkan Nabi sering dianggap

sebagai Psikopat yang mengalami gangguan kejiwaan, khususnya epilepsi97.

2. Mengikuti dengan Setia Validitas Pandangan Dualistis mengenai Realitas dan

Kebenaran.

Pandangan mengenai hakikat dan kebenaran semata-mata berdasarkan pada

alam fisik dan keterlibatan manusia dalam sejarah, sosial, politik dan budaya.

Artinya hanya dibatasi pada dunia yang dilihat. Disamping itu, pandangan hidup

Barat berdasarkan kepada metode dikotomis seperti obyektif dan subyektif,

historis dan normatif. Tentu ini sangat bertentangan dengan Islam yang

96 Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003), cet. Ke-1, h.xvi 97 Konsep Kenabian oleh psikolog modern tidak dianggap sebagai pengalaman normal, melainkan sebagai penyakit mental. Bahkan Danah Zohar dan Ian Marshal, ketika berbicara mengenai kecerdasan spiritual, mengadopsinya sebagai contoh-contoh dari pengalaman parab pasien epilepsi. Untuk lebih lengkapnya lihat Danah Zohar dan Ian Manrshall, SQ: memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dan berpikir integralistik dan holistik untuk memaknai kehidupan, (Bandung: Mizan, 2001),h.81

Page 84: 77499 Abdul Ghofur Fitk

84

memandang dunia berdasarkan kajian metafisis terhadap yang nampak dan tidak

nampak, serta tidak mengenal adanya dikotomis terhadap hakikat dan kebenaran.

3. Membenarkan aspek temporal wujud yang memproyeksikan suatu pandangan

dunia sekuler.

Epistemologi Barat Modern-sekulern semakin bergulir dengan

munculnya filsafat dialektika Hegel (w. 1831) yang terpengaruh oleh Kant.

Menurut Hegel, pengetahuan adalah on going process, dimana apa yang aku

ketahui dan aku mengetahui terus berkembang: tahap yang sudah tercapai

“disangkal” atau di “negasi” oleh tahapan baru. Bukan dalam arti bahwa tahap

lama itu tidak berlaku lagi, tetapi tahap lama itu tidak berlaku lagi, tetapi tahap

lama itu tidak benar karena terbatas, dan dengan demikian jangan dianggap

kebenaran. Tetapi yang benar dalam penyangkalan tetap dipertahankan98.

Sedangkan dalam Islam dalam hal-hal yang sudah jelas dan final tidak bersifat

temporal dan tidak memerlukan perkembangan dan perubahan.

4. 4. Pembelaan Terhadap Doktrin Humanisme.

Humanisme merupakan paham filsafat yang mengajarkan bahwa manusi

mampu mengatur dirinya dan alam. Humanisme telah muncul sejak zaman Yunani

Lama (Yunani Kuno). Paham ini meyakini bahwa manusia memiliki kemampuan

untuk membuat aturan yang mengatur manusia dan alam. Peraturan ini haru

berdasarkan dan bersumber pada sesuatu yang ada pada manusia, yang tak lain

adalah akal. Akal diyakini oleh Humanisme mampu menciptakan peraturan-

peraturan yang cocok untuk manusia tanpa ada intervensi dari unsur lain selain

98 Faranz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari sosialisme ke Utopis Perselisihan Revisionisme, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001)h, 56

Page 85: 77499 Abdul Ghofur Fitk

85

manusia itu sendiri. Dengan demikian Humanisme meminggirkan atau tidak

mengakui peranan Tuhan dalam mengatur kehidupan manusia.

Karena ilmu pengetahuan dalam kebudayaan dan peradaban Barat itu justru

menghasilkan krisis ilmu pengetahuan yang berkepanjangan, sebagaiman yang telah

dikemukakan diatas. Oleh sebab itu, al-Attas sangat khawatir terhadap masuknya

aspek-aspek yang berasal dari pandangan filsafat barat kedalam pikiran elit terdidik

umat Islam tersebuit sangat berpengaruh dalam menimbulkan sebuah fenomena

yang oleh al-Attas diidentifisikasikan sebagai “deislamisasi pikiran umat Islam”

yang begitu merusak dan membahayakan. Al-Attas menegaskan lagi bahwa ilmu

yang dikembangkan Barat bukanlah bersifat sejagat tetapi umumnya sifatnya

etnosentrik dan Eurosentrik khususnya. Maka ilmu itun tidak boleh digunakan apa

adanya disemua tempat dan keadaan, khususnya masyarakat Islam yang mempunyai

nilai dan kepercayaan yang berbeda dengan peradaban barat. Ilmu bisa dijadikan alat

yang sangat halus dan tajam bagi menyebarluaskan cara dan pandangan hidup

sesuatu kebudayaan. Karena ilmu tidaklah netral. Hal ini terjadi, menurut al-Attas

karena ilmu sifat (shifah) jiwa yang rasional (al-nafs al-nathiqah) ketika jiwa itu

memahami makna suatu objek pengetahuan, yaitu pada saat orang mengetahui dapat

meletakkan obyek itu secara benar atau menghubungkannya secara tepat dengan

elemen-elemen kunci pandangan hidupnya. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan

berada dalam otak, apa yang berada dalam luarn otak hanyalah obyek pengetahuan

(al-ma’lumat).99 Bukti yang menunjukkan ilmu berada dalam otak adalah mengapa

terdapat perbedaan daya tangkap antara seseorang siswa dengan siswa yang lainnya

99 Wan Mohd Nor Wan Da8ud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam. Syed M. Naquib Al-Attas h. 330-331

Page 86: 77499 Abdul Ghofur Fitk

86

dalam merespon pelajaran yang disampaikan oleh guru yang sama dan dengan

materi pelajaran yang sama, padahal mereka sama-sama memiliki otak.

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya dalam membedah virus yang

terkandung dalam ilmu Barat, al-Attas mengobatinya dengan Islamisasi ilmu. Al-

Attas menegaskan bahwa Islamisasi diawali dengan Islamisasi ilmu. Al-Attas

menegaskan bahwa Islamisasi diawali dengan bahasa sebagaimana yang dibuktikan

oleh al-Qur’an ketika diturunkan kepada orang Arab. Salah satu contoh Islamisasi

bahasa yang dilakukan oleh al-qur’an adalah kata karim. Pada masa jahiliyah, kata

ini berarti kemulyaan garis keturunan yang dengan kedermawanan, sehingga kata

karim merupakan lawan kata darikata bukhl (pelit). Al-qur’an kemudian mengganti

bidang semantik karama menjadi kemuliaan berdasarkan taqwa, sehingga

menghasilkan suatau medan semantik yang sama sekali tidak dikenal sebelumnya.100

5. Peniruan terhadap drama dan tragedi yang dianggap sebagai realitas

universal dalam kehidupan spiritual, atau transendental, atau kehidupan batin

manusia, yaitu dengan menjadikan drama dan tragedi sebagai elemen yang riil dan

dominan dalam jati diri dan eksistensi manusia101.

D. Pengaruh Islamisasi Ilmu Naquib al-Attas Terhadap Pendidikan

Didalam sejarah perjalanan intelektual muslim, kita dapat melacak dan

membuktikan bahwa gagasan Islamisasi Ilmu sebenarnya bukanlah suatu hal yang

asing bagi umat Islam, sebab pernah dilakukan oleh para intelektual muslim pada

saat itu. Pada abad ke III H, misalnya sejarah menunjukkan pesatnya terjadinya

pengislamisasian ilmu-ilmu yunani. Intelektual muslim telah memahami masalah

100 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan sekulerisme,. h. 63 101 Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam, hal 44-45

Page 87: 77499 Abdul Ghofur Fitk

87

dikotomi yang ada pada saat itu dan berusaha bukan saja untuk mengislamikan ilmu

asing akan tetapi juga melahirkan ilmu baru melalui penyelidikan. Karya al-Ghazali

, Thahafatul al-Falasifah yang sangat monumental dan fenomenal merupakan salah

satu contoh unggul tentang usaha Islamisasi ilmu asing pada zaman tersebut. Dalam

karyanya itu al-Ghazali menonjolkan 20 ide dalam pandangan Islam102, yang

diadopsi oleh pemikir Islam dari falsafah Yunani dan menyatakan empat,

diantaranya tidak bisa diterima, karena bertentangan dengan aqidah Islam yang

benar103. Memang secara terminologi beliau tidak menggunakan Islamisasi, namun

aktivitas yang beliau lakukan substansinya adalah sama dengan Islamisasi ilmu

kontemporer. Sayyed Hosen Nasr, seorang sarjana falsafah dan sejarah sains Islam

dalam beberapa karyanya sekitar tahun 1960-an.

Pengaruh gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan yang disosialisasikan oleh

Syed Muhammad Naquib al-Attas masih sangat terbatas, hal ini yang juga diujarkan

oleh al-Attas dalam sambutannya ketika dilantik sebagai ketua dewan kursi Al-

Ghazali pada tahun 1993. gagasan ini masih terlalu dini untuk dinilai secara

terperinci mengenai pengeruh Islamisasi Ilmu pengetahuan terhadap pendidikan dari

mereka yang bekerja tanpa ada sokongan bantuan dana dari organisasi-organisasi

dan tanpa dorongan dari media masa. Keterbatasan penilaian ini semakin tersa

karena umat Islam termasuk dan disebabkan, oleh para eit dan para pemimpin

mereka yang berpendidikan, “ masih berada dalam lautan kekagetan dan

102 Pertama, kemestin sebab akibat, kedua, jiwa manusia adalah jauhar (substance) yang

berdiri sendiri. Tidak terpatri (muntabi’ah) dalam jisim. Ketiga, jiwa-jiwa itu tidak abadi. Keempat, mustahil jiwa-jiwa itu dikembalikan kepada jasad. (Lihat Ahmad Daudy, segi-segi pemikiran Falsafi dalam Islam, (jakarta: Bulan Bintang, 1984), cet. Ke-1, h.73

103 A. Khudhori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, (yogykarta: Pustaka Pelajar, 2004), cet ke-1, h.241

Page 88: 77499 Abdul Ghofur Fitk

88

kebimbangan terhadap diri mereka,”pandangan semacam ini telah bercokol terlebih

dahulu sebelum akibat-akibatnya sempat dievaluasi. Namun, terlepas dari

keterbatasan yang ada, harus diakui bahwa ide-ide al-Attas telah memancing banyak

reaksi, yang diantaranya menghasilkan perkembangan yang signifikan dalam

pemikiran dan praktik Islam kontemporer.

Dengan menampilkan figur, seperti Shadr Al-Din Al-Syairazi atau Mulla

Shadra (w. 1641 M). Falzur Rahman, salah seorang sarjana Islam terkemuka,

memberikan kriteria utama yang membuat seseorang itu layak disebut sebagai

seorang pemikir besar dan orisinal:

Pemikir besar dan orisinal itu adalah yang menemukan gagasan

pokok (master idea), yaitu prinsip dasar yang mengandung semua realitas lalu

memahaminya sehingga menjadi sesuatu yang baru dan penting. Gagasan pokok itu

mengubah dasar-dasar perspektif kita dalam melihat realitas bahkan memberikan

solusi yang segar dan jitu terhadap permasalahan-permasalahan lama yang

menganggu pikiran manusia.104

Meskipun layak untuk diperhatikan, terdapat beberapa catatan yang perlu

dipertimbangkan mengenai kriteria yang dikemukakan Rahman diatas. Pertama,

kriteria itu menepikan manusia-manusia agung yang telah memberkahi permukaan

bumi ini, yaitu para nabi. Tidak satupun diantara mereka yang megklaim telah

menemukan gagasan pokok, sebab, sebagaimana yang sering dikatakan al-Attas

dalam pelbagai kesempatan, sebagian besar gagasan pokok - seperti gagasan

mengenai keuniversalan Tuhan dalam agama, nasib manusia, dan prinsip-prinsip

104 Fazlur Rahman, The Philoshopy of Mulla Shadra ( Albany: Newyork: SUNY press,

1975), h. 13

Page 89: 77499 Abdul Ghofur Fitk

89

moral-pada hakekatnya tidak ditemukan oleh akal manusia yang tidak dipersiapkan.

Para nabi sudah tentu bukan sekedar para pemikir seperti yang telah mereka ajarkan

sangat banyak menyentuh perkara-perkara mendasar yang selama ini menghantui

pemikiran manusia. Berdasarkan hal ini, kriteria lain yang lebih inklusif mengenai

seseorang yang bisa disebut sebagai pemikir besar sangat diperlukan.105

Seorang pemikir besar tidak harus menemukan master idea. Sebaliknya, ia

harus mampu menemukan kembali dan mengafirmasikan sebuah kebenaran yang

terlupakan, terabaikan, atau tersalah pahami, dan menerjemahkan dalam pelbagai

aspek pemikiran denga cara yang berbeda dan belum pernah dilakukan sebelumnya

secara mantap dan konsisten, walaupun dalam melakukan hal ini ia dikelilingi oleh

pelbagai kebodohan dan penolakan.

Dalam konteks al-Attas, beliau sangat layak dianggap sebagai seorang

pemikir besar dan orisinal didunia Islam kontemporer, karena selama ini dia telah

menggulirkan ide-ide fundamental dan mapan yang telah diabaikan oleh sebagian

orang dan disalah pahami oleh sebagian yang lain. Kemudian dia megklarifikasikan,

menjabarkan, dan menghubungkan ide tersebut dengan lingkungan intelektual dan

dinamikan budaya umat Islam kontemporer. Dia juga datang dengan membawa

beberapa solusi terhadap pelbagai permasalahan yang berkaitan dengan aspek-aspek

sejarah, intelektual, dan kebudayaan Islam digugusan pulau rumpun Melayu. Tidak

heran jika Fazlur Rahman memuji al-Attas dan menyebutnya sebagai “pemikir

Jenius”.

105 Wan Mohd Nor Wan Daud. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam. Syed M. Naquib Al-Attas. H. 60

Page 90: 77499 Abdul Ghofur Fitk

90

Gagasan-gagasan dan tulisan-tulisan al-Attas dalam disiplin filsafat islam

yang menyentuh pelbagai disiplin ilmu agama, pendidikan dan sains termasuk

diantara yang terbaik dan paling kreatif dalam khazanah pemikiran Islam

kontemporer. Dia adalah orang pertama di Dunia Islam kontemporer yang

mendefinisikan, mengonseptualsaskan, dan menjabarkan arti, arti dan muatan

pendidikan Islam, ide dan metode islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer, hakikat

dan pendirian universitas Islam, serta formulasi dan sitematisasi metafisika Islam

dan filsafat sains dalam bentuk yang sangat sistematis dan filosofis. Semua ide ini

merupakan sesuatu yanng fundamental untuk menghidupkan kembali ilmu-ilmu

agama, yang 900 tahun lalu berusaha dicapai al-Ghazali..

Wan Mohd Daud mengatakan adalah kalau dikatakan bahwa kita

memerlukan versi terbaru dari peradaban Barat yang sama untuk menghadapi

rentetan permasalahan yang disebabkan oleh peradaban modern dan sekuler Barat.

Sebaliknya, yang kita perlukan adalah suatu peradaban yang berbeda secara

mendasar dari peradaban Barat, yang berakar dalam dan dibimbing oleh ide dan

tujuan agama yang benar. Ide dasar dan metode yang dipakai al-Attas sebagai

sintesis yang kreatif dari ide-ide besar yang dikenal dan diakkui slema ini. Insya

allah, hal ini kedepan akan memberikan pengaruh yang sangat besar dalam

kehidupan Intelektual dan kebudayaan Muslim pada masa sekarang dan yang akan

datang.

Al-Attas pernah terlibat dalam polemik yang serius dengan beberapa

orientalis Belanda yang berpengaruh, seperti profesor G.W.J.Drewes,P.Voorhoeve,

dan A. Teeuw mengenai kajian sejarah Islam, filologi dan sejarah kesusastraan

Page 91: 77499 Abdul Ghofur Fitk

91

Melayu, suatu polemik yang memberikan titik terang dan nuansu baru dalam dunia

penelitian dan kajian yang selama ini masih terasa samar-samar Dia adalah orang

pertama yang dengan jelas menggagas teori umum mengenai proses Islamisasi di

kepulauan Melayu-Indonesia, sebuah teori yang turut membidani lahirnya kesadaran

untuk melakukan penafsiran ulang terhadap sejarah Islam di Asia Tenggara106.

Selain itu al-Attas juga merupakan sarjana pertama yang menemukan dan

meghitung tanggal yang tepat mengenai inskripsi trengganu dan dengan demikian

telah berhasil menjawab teka-teki yang selama lebih dari setengah abad

membingungkan para orientalis. Ini adalah karya yang sangat penting. Yang telah

memberikan sumbangan yang penting dalam penulisan sejarah Islam di Asia

Tenggara. Karya-karyanya yang lain juga memberikan catatan yang jelas mengenai

asal mula syair, gubahan bahsa dalam kesusastraan bahasa Melayu, dan menetapkan

Hamzah Fanshuri sebagai orang pertama yang melahirkan syair Melayu.

Komentar al-Attas mengenai pandangan-pandangan Fanshuri dan Al-Raniri

merupakan karya kajian manuskrip ( abad ke-16 dan ke-17) pertama yang

membahas tasawuf-Melayu. Pada kenyataannya, selain menemukan dan

menerbitkan penelitiannya yang sangat cermat mengenai manuskrip Melayu tertua

ini, dia juga berhasil memecahkan teka-teki penyusunan kalender melayu-Islam

dengan benar..

Al-Attas juga merupakan orang yang bertanggung jawab dalam

memformulasikan dan mengonseptualisasikan peranan bahasa Melayu dalam

pembangunan bangsa (nation building) dalam sejumlah diskusi dengan para

106 Wan Mohd Nor Wan Daud. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam. Syed M. Naquib Al-

Attas h. 62.

Page 92: 77499 Abdul Ghofur Fitk

92

pemimpin politik pada tahun 1968. formulasi dan konseptualisasi ini merupakan

salah satu faktor terpenting yang menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi

negara Malaysia. Sebagai dekan fakultas sastra, Universitas Malaya, dia secara

pribadi terjun untuk menerapkan dan memobilisasikan fakultas dan organisasi-

organisasi mahasiswa kearah penerapan bahasa Melayu secara lebih sistematik

sebagai bahasa intelektual dan akademis.

Tulisan-tulisan al-Attas berbahasa Melayu mengenai agama Islam memiliki

bentuk prosa yang unik dan bisa dijadikan contoh literer bagi sarjana dan penulis

malaysia yang berorientasi Islam. Sebagai seorang pemilir, filosof dan konseptor

untuk menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa Nasional Malaysia, dapat

dikatakan bahwa tulisan-tulisannya yang berbahasa Melayu diatas bisa dianggap

sebagai aplikasi pertama pemakaian bahasa Melayu modern dalam wacana

intelektual dan filsafat, hal ini dengan sendirinya menimbulkan gaya bahasa yang

baru107. Syed Nasir Ismail, yang ketika itu menjabat sebagai Direktur Dewan Bahasa

dan Pustaka, menulis dalam kata pengantarnya untuk buku al-Attas, Rangkaian

Ruba’iyat, bahwasanya al-Attas tidak hanya mengontribusikan bentuk-bentuk baru

dan orisinal syair Melayu, tetapi juga telah mempreentasikan pemikiran-pemikiran

tinggi dan beradab yang didasarkan pada filsafat.108 Zainal Abidin ibn Ahmad ,

seorang ahli linguistik bahasa Melayu modern terkenal yang lebih sering dipanggil

dengan ZAABA, dalam kata pengantarnya untuk buku yang sama mengatakan bahwa

(Rangkaian Ruba’iyat)…. Adalah sebuah karya yang berkaitan dengan pemikiran

dan perasan yang muncul dari kesadaran seorang hamba terhadap Tuhannya melalui

107 I Wan Mohd Nor Wan Daud. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam. Syed M. Naquib Al-Attas h. 63

108 Al-Attas, Rangkaian Ruba’iyat, (KL: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1959)h.i

Page 93: 77499 Abdul Ghofur Fitk

93

pandangan batin dan dzauq (rasa) sebagaimana yang terjadi pada kalangan

cendekiawan sufi.109

Menurut Prof. Wan Mohd Nor Daud dalam bukunya Filsafat dan

Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas mengatakan

“Meskipun belum ada kajian yang memadai mengenai sumber pemikiran dan

dasar-dasar kebangkitan Islam di Malaysia sejak 1970, banyak yang berpendapat

bahwasanya al-Attas merupakan salah seorang tokoh yang memainkan peran penting

dalam hal itu. Perlu diketahui bahwa yang terdapat dalam logo ABIM (Angkatan

Belia Islam Malaysia) dan ASASI (Akademi Sains Islam) adalah kaligrafi buatan al-

Attas yang sangat imaginatif. Dialah orang yang mengusulkan agar majalah ABIM

diberi nama Risalah, yang pada dekade 70-an dan awal 80-an menginspirasikan

karakter pergerakan ABIM untuk lebih mementingkan pendidikan daripada politik,

penciptaan masyarakata Islam daripada negara atau undang-undang Islam, dan tetap

mengadakan rangkaian seminar mengenai pemikiran ilmu-ilmu keislaman yang telah

dibawa oleh, diantaranya Imam Syafi’I, Al- Ghazali, Ibnu Khaldun, Syah

Waliyyullh dan Muhammad Iqbal. Elemen dan aktivitas ini merupakan dampak

yang ditimbulkan dari ide-ide yang dikembangkan oleh Al-Attas, meskipun dia

mungkin tidak setuju dengan perincian implementasi gagasannya secara

keseluruhan. Disamping itu, perkembangan intelektualitas dan spiritualitas beberapa

tokoh politik dan intelektual Malaysia sekarang, seperti Dato’ Seri Anwar Ibrahim,

Osman Bakar, Sidek Fadil, Muhammad Affandi Hasan, dan Fuad Hasan bisa

dikatakan sangat dipengaruhi ajaran dan tulisan al-Attas. Melaluinyalah kalangan

109 Al-Attas, Rangkaian Ruba’iyat h.iii

Page 94: 77499 Abdul Ghofur Fitk

94

terdidik Malaysia diperkenalkan kepada sarjana-sarjana, seperti Ismail Al-Faruqi

dan Sayyed Husein Naser110.

Menghidupkan kembali konsepsi ilmu menurut perspektif Islam, yng diikuti

dengan penyebaran dan penerapannya yang tepat dan efektif, akan memberikan

kontribusi yag rill dalam upaya mengembalikan agama Islam sebagai sebuah al-Din

yang, sebagaimana disebutkan al-Attas dalam pelbagai tulisannya, tidak hanya sarat

dengan muatan-muatan keruhanian, tetapi juga, sebagai akibat dari aspek keruhanian

itu, datang sebagai sebuah peradaban yang luhur. Sebagaimana yang sering

disampaikannya dalam aktivitas ceramah malam minggu ( Saturday Night Lecture)

di ISTAC sejak 1991, peradaban Barat modern perlu meninjau kembali cara-cara

dialognya dengan Islam, karena hanya peradaban Islamlah yang bisa menjadi cermin

sejati dan berguna bagi Barat, yang dengannya mereka bisa melihat kesalahan-

kesalahan mereka bahkan bisa dijadikan sandaran untuk keluar ranjau-ranjau tragedi,

kehampaan, dan penderitaan hidup yang berkepanjangan yang sekarang masih

menyelimuti mereka.

110 Al-Attas, Rangkaian Ruba’iyat h. 65

Page 95: 77499 Abdul Ghofur Fitk

95

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan analisa sebagaimana yang telah diuraikan pada bab-

bab sebelumnya, maka pada bab terakhir ini dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut:

1. Al-Attas adalah seorang ilmuwan muslim kontemporer yang menguasai pelbagai

disiplin ilmu, seperti teologi, filsafat, metafisika, sejarah sastra dan kaligrafi.

2. Ilmu tidak didefinisikan secara hadd, tetapi hanya didefiniisikan secara rasm,

karena ilmu bersifat tidak terbatas (limitless) dan tidak memiliki ciri-ciri

yang spesifik.

3. Menurut al-Attas, pada hakikatnya semua ilmu pengetahuan berasal dari Tuhan

yang ditafsirkan oleh kekuatan fakultas-fakultas manusia, yaitu melalui.

Panca indera, akal sehat, berita yang benar, dan intuisi. Dengan demikian,

pengetahuan yang dimiliki oleh manusia merupakan hasil tafsiran terhadap

pengetahuan Tuhan. Ilmu tersebut dapat diperoleh melalui dua cara:

pertama, sebagai sesuatu yang datang dari Allah swt, bisa dikatakan bahwa

ilmu itu adalah datangnya (hushul) makna sesuatu atau objek ilmu kedalam

jiwa pencari ilmu. Kedua, sebagai sesuatu yang diterima oleh jiwa yang aktif

dan kreatif, ilmu bisa diartikan sebagai datangnya jiwa (wushul) pada makna

sesuatu atau objek ilmu.

4. Al-Attas mengklasifikasikan ilmu kedalam dua kelompok, yaitu ilmu iluminasi

(ma’rifat) dan ilmu sains. Ilmu iluminasi merupakan ilmu fardhu ‘ain.

Page 96: 77499 Abdul Ghofur Fitk

96

Sedangkan ilmu sains teramsuk kelompok ilmu fardhu kifayah. Klasifikasi

ini tidaklah statis, tapi dinamis yang dapat disesuaikan dengan kemampuan

intelektual dan spiritual serta kebutuhan masyarakat. Disamping itu,

klasifikasi ini juga akan membantu mengarahkan pendidikan untuk lebih

jujur, praktis, dan lebih bermakna.

5. Tantangan terbesar Umat Islam saat ini adalah tantangan terhadap pengetahuan

yang ditransformasikan oleh Barat keseluruh dunia termasuk dunia Islam.

Pengetahuan Barat tidak semestinya diterapkan didunia Islam begitu saja,

karena pengetahuan itu telah kehilangan maksud yang sebenarnya sebagai

akibat dari pemahaman yang tidak adil, ia juga telah menyebabkan

kekacauan tiga kerajaan alam; satwa, nabati, dan tambang, bukannya

mendatangkan perdamaian dan keadilan.

6. Ilmu pengetahuan tidaklah bebas nilai (netral), tetapi sarat nlai yang dapat

dipengaruhi dan disusupi oleh nilai-nilai budaya, agama, psikologis,

pengalaman, pandangan dunia pelaku. Oleh karena itu, intuk membersihkan

ilmu pengetahuan kontemporer dari nilai-nilai yang tidak sesuai dengan Ilam

yang terkandung dalam ilmu, al-Attas menawarkan strategi yang disebut

dengan Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer. Islmaisasi ilmu dalam

dalam konsep al-Attas hanya ditujukkan kepada ilmu pengetahuan

kontemporer saja, sebab turats Islamyy telah diislamkan oleh para

cendekiawan muslim yang memiliki otoritas pada zaman dahulu, seperti;

yang telah dilakukan oleh Imam Al-Ghazali terhadap filsafat.

Page 97: 77499 Abdul Ghofur Fitk

97

7. Gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan yang diformulasikan oleh al-Attas

merupakan “revolusi episthemologi” sebagai jawaban terhadap krisis

epistemologis yang melanda bukan hanya dunia Islam akan tetapi juga

budaya dan peradaban Barat. Dalam operasionalisasi gagasan ini melibatkan

dua langkah, yaitu; pertama, mengenali dan memisahkan unsur-unsur yang

dibentuk oleh budaya dan peradaban Barat, kemudian dippisahkan dan

diasingkan dari tubuh pengetahuan modern, khususnya dalam pengetahuan

humaniora. Kedua, memasukkan elemen-elemen Islam dari konsep kunci

kedalam setiap cabang ilmu pegetahuan mas kini yang relevan. Proses

Islamisasi ilmi pengetahuan kontemporer ini tidakah mudah, menurut orang-

orang yang terlibat didalamnya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang

mendalam terhadap peradaban Islam dan Barat.

8. Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer bukanlah suatu evolusi tetapi

pengembalian manusia kepada fitrahnya. Artinya Islamisasi ilmu ini dapat

melindungi manusia khususnya umat Islam dari ilmu yang sudah tercemar

dan menyesatkan yang dapat menimbulkan kerusakan terhadap kehidupan

umat manusia.

B. Saran-saran

Sebagai upaya untuk mensukseskan usaha “Mega Proyek” Islamisasi ilmu

pengetahuan kontemporer, penulis menyarankan sebagai berikut:

1. Kepada cendekiawan yang berinteraksi dengan filsafat ilmu, penulis

menghimbau untuk beroartisipasi dalam menyambut, memahami, dan

mengembangkan mega proyek Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer

Page 98: 77499 Abdul Ghofur Fitk

98

sebagaimana yang telah digagas oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas.

Karena islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer sangat penting sekali,

untuk menyelamatkan umat Islam dari nilai-nilai yang bertentangan dengan

Islam.

2. Kepada pihak Universitas Islam yang notabene Lembaga Pendidikan Tinggi

Islam yang terlibat langsung dalam upaya besar gagasan Islamisasi ilmu

pengetahuan kontemporer, diharapkan mampu menjadi “motor” dalam

melakukan upaya Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer. Memang saat ini

sudah ada upaya kearah itu, seperti mengadakan seminar tentang reintegrasi

ilmu agama dan umum, penerbitan buku, dan sebagainya. Akan tetapi usaha

tersebut harus lebih ditingkatkan lagi dengan memformulasikan model

“Pendidikan Integral” antara ilmu agama dan ilmu umum dalam

penyelenggaraan pendidikan di UIN yang mampu menghilangkan nuansa

pendidikan dikotomis.

3. Untuk mensukseskan Mega Proyek ini juga tidak dapat dipisahkan dari

pengaruh Political Will, sebab ia melibatkan institusi pendidikan dibawah

kendali pemerintah yang berkuasa. Reformasi pendidikan yang selama ini

cenderung bernuansa politis sudah saatnya dihilangkan, kemudian lebih

diarahkan kepada kebijakan pendidikan yang mendukung pembangunan

epistemologis yang sesuai dengan pandangan hidup Islam. Disamping itu,

untuk merealisasi program ini membutuhkan banyk tenaga dan waktu, sudah

pasti akan menelan biaya yang tidak sedikit, maka bantuan pemerintah dan

organisasi-organisasi besar sangat dibutuhkan.

Page 99: 77499 Abdul Ghofur Fitk

99

DAFTAR PUSTAKA

Alatas, Ismail Fajrie, Konsep Ilmu dalam Islam. Jakarta: Diwani Publissing,

2006

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Konsep Pendidikan dalam Islam.

Bandung: Mizan, 1994.

________________, Risalah Untuk Kaum Muslimin. Kuala Lumpur:

ISTAC, 2001

________________, Islam dan Filsafat Sains. Bandung: Mizan, 1995, cet.

Ke-2

________________, Aims and Objectives of Islamics Education. Jeddah:

Hodder and Stoughton, King Abdul Azis University, 1979

________________, Prolegomena to the Methaphisics of Islam and

Exposition of Fundamental Elements of the Worldview of Islam.

Kuala Lumpur: ISTAC, 2001, cet. ke-2.

al-Faruqi, Ismail Rajie, Tawhid: Its Implication for Thought and Life,

diterjemahkan oleh Rahmani Astuti, Tauhid. Bandung: Pustaka,

1995, cet. Ke-2.

Assegaf, Abdur Rahman, Membangun Format Pendidikan Islam di Era

Globalisasi. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2004. cet. Ke-1

Bachtiar, Amsal, Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005, cet.

Ke-2.

Barker, Anton dan Zubair, Charris, Ahmad, Metodologi Penelitian Filsafat.

Yogya: Kanisius, 1990

Bakar, Osman, Tawhid and Science: Essay on the History and Philosophy of

Islamic Science diterj. Yulianto Liputo, Tauhid dan Sains: Essay

Tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam. Bandung: Pustaka

Hidayah, 1994, cet. Ke-1

Daudy, Ahmad, Segi-segi Pemikiran Falsafi Dalam Islam. Jakarta: Bulan

Bintang, 1984, cet. Ke-1

Fauzi, Ahmad, Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia, 1991. cet. Ke-2

Page 100: 77499 Abdul Ghofur Fitk

100

Ghulsyani, Mahdi, Filsafat Sains Menurut Al-Qur’an, Bandung, Mizan,

1998. cet. Ke 10.

Hasbullah, Muflich, Proyek Islamisasi Sains: Dekonstruksi Modernitas dan

Rekonstruksi Alternatif Islam. Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2000. cet.

Ke-1

Isha, Manshur, Diskursus Pendidikan Islam. Yogyakarta: Global Pustaka

Utama, 2001. cet. Ke-1

Keraf, Sony dan Dua, Mikhael, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan

Filosofis. Yogyakarta: Kanisius, 2001, cet. ke-1

Kartanegara, Mulyadi, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Islam. Jakarta: Logos

Wacana Ilmu, 1999

Lathief, Yudi dan Ibrahim, Subandi, Kekerasan Spiritual dalam Masyarakat

Pasca Modern. Jurnal ‘Ulumul Qur’an, no.3. Vol. V, 1994

Khuza’I, Rodhiyah: Dialog Epistemologi Muhammad Iqbal dan Charles S.

Peirce. Bandung: PT. Refika Aditama, 2007

Keddie, Nikki R, (ed), Scholar, Sains and Sufisme: Muslim Religion

Institution in The Middle East Since 1500. Berkeley dan Los Angeles,

1972.

Mahdi, Muhsin“ Religious Belief and Scientific Belief”, The American

Journal of Islamic Social Science jil. 11, no.2, musim panas 1994

Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam. Jakarta: Logos

Wacana Ilmu, 1999

Mizan, Syaiful, Pandangan Dunia dan Gagasan Islamisasi Syed Muhammad

Naquib al-Attas. Dalam Jurnal Al-Hikmah no.3. 1991.

Mughal dan Rais, Amien, Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta.

Bandung: Mizan. 1990

Mulyanto, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Ulumul Qur’an. No. 9, Vol II/

1991.

Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam: mengurai Benang Kusut Dunia

Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo, 2006

Page 101: 77499 Abdul Ghofur Fitk

101

Nasser, Seyed Husein, Islam dan Krisis Lingkungan. Terj. Al-Abbas Al-

Jauhari dan Ihsan Ali Fauzi. Jurnal Islamika. No,3. 1994

Nowothny, Helga, Knowledge Without Science. Science Without Knowledge.

The Touch of Midas. Mancester University Press, 1984.

Nata, Abudin, et, al, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum. Jakarta: UIN

Jakarta Press, 2003, cet. Ke-1

Poeradisastra, Sumbangan Islam terhadap Perkembangan Modern. Jakarta:

P3M, 1985.

Qadir, C.A, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam. Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia, 2002.

Qomar, Mujammil, Epistemologi Pendidikan Islam, Dari Metode Rasional

Hingga Metode Kritik. Surabaya: Erlangga, 2005.

Rahman, Fazlur, The Philosophy of Mulla Shadra. Albany, Newyork: Sunny

Press, 1975.

____________, “ Some Reflection on the Recontruction of Muslim society in

Pakistan”, Islamic Studies, jil.6, no.2, juni 1967.

Saefuddin, AM, Desakralisasi Pemikiran Landasan Islamisasi. Bandung:

Mizan, 1990

Sardar, Ziauddin, Jihad Intelektual Merumuskan Parameter-Parameter Sains

Islam, editor dan terj. Ae Priyono. Surabaya: Risalah Gusti, 1998.

Suhartono, Suparlan, Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jogjakarta: Ar-Rauzz

Media, 2005, cet. Ke-1

Shihab, Quraisy, Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1992

Sumantri, Jujun.S, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar. Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan, 1990, cet. Ke-VI

Sholeh, A. Khudhori, Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2004. cet, ke-1

Sholeh, Munawwar, Cita-cita Realita Pendidikan, Pemikiran dan Aksi

Pendidikan di Indonesia. Depok: Institut For Public Education, 2007.

cet. Ke-1.

Page 102: 77499 Abdul Ghofur Fitk

102

Suseno, Frans Magnis, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme ke Utopis

Perselisiham Revisionisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001

Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004, cet.

Ke-1

_____________, Filsafat Umum. Akal dan Hati, sejak Thales sampai Capra.

Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002

Usa, Muslih, Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta.

Jogjakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1991.

Wan Daud, Nor Wan Mohd, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed

Muhammad Naquib Al-Attas. Bandung: Mizan, 2001, cet. Ke-1

Zubaedy, Islam: Benturan dan Antarperadaban. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,

2007. cet ke-1