77132229 Trauma Torak
-
Upload
renny-niunifat-joseph -
Category
Documents
-
view
29 -
download
4
description
Transcript of 77132229 Trauma Torak
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Insiden
Cedera toraks merupakan salah satu penyebab utama kematian. Banyak penderita meninggal
setelah sampai di rumah sakit, dan banyak diantara kematian ini sebenarnya dapat dicegah
dengan meningkatkan kemampuan diagnostik dan terapi. Kurang dari 10% dari cedera tumpul
toraks dan hanya 15 – 30% dari cedera tembus toraks yang membutuhkan tindakan torakotomi.
1.2 Patofisiologi
Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis sering disebabkan oleh cedera toraks. Hipoksia jaringan
merupakan akibat dari tidak adekuatnya pengangkutan oksigen ke jaringan oleh karena
hipovolemia (kehilangan darah), pulmonary ventilation/perfusion mismatch (contoh kontusio,
hematoma, kolaps alveolus) dan perubahan dalam tekanan intratoraks (contoh: tension
pneumotoraks, pneumotoraks terbuka). Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh tidak
adekuatnya ventilasi akibat perubahan tekanan intratoraks atau penurunan tingkat kesadaran.
Asidosis metabolik disebabkan oleh hipoperfusi dari jaringan (syok).
1.3 Initial assestment dan pengelolaan
1. Pengelolaan penderita terdiri dari:
a. Primary survey
b. Resusitasi fungsi vital
c. Secondary survey
d. Perawatan definitif
2. Karena hipoksia adalah masalah yang sangat serius pada cedera toraks, intervensi dini
perlu dilakukan untuk pencegahan dan mengoreksinya.
3. Cedera yang bersifat mengancam nyawa secara langsung, dilakukan terapi secepat dan
sesederhana mungkin.
4. Kebanyakan kasus cedera toraks yang mengancam nyawa diterapi dengan mengontrol
airway atau melakukan pemasangan selang toraks atau dekompresi toraks dengan jarum.
5. Secondary survey membutuhkan riwayat cedera dan kewaspadaan yang tinggi terhadap
adanya cedera toraks yang bersifat khusus.
BAB II
PRIMARY SURVEY: CEDERA YANG MENGANCAM NYAWA
Primary survey pada penderita trauma toraks dimulai dengan airway. Masalah utama harus
dikoreksi begitu teridentifikasi.
A. Airway
Cedera berat pada airway harus dikenali dan dikoreksi saat melakukan primary survey. Patensi
airway dan ventilasi harus diniliai dengan mendengarkan gerakan udara pada hidung penderita,
mulut, dan dada serta dengan inspeksi pada daerah orofaring untuk sumbatan airway oleh benda
asing, dan dengan mengobservasi retraksi otot-otot interkostal dan supraklavikular .
Cedera laring dapat bersamaan bersamaan dengan cedera toraks. Walaupun gejala klinis yang
ada kadang tidak jelas, sumbatan airway karena cedera laring merupakan cedera yang
mengancam nyawa.
Beberapa kondisi yang jarang ditemukan mungkin timbul pada penderita dengan cedera
skeletal yang menyebabkan gangguan bermakna pada airway dan pernapasan penderita. Sebagai
contoh adalah cedera pada dada bagian atas, yang menyebabkan dislokasi kearah posterior atau
fraktur dislokasi dari sendi sternoklavikular. Ini dapat menimbulkan sumbatan airway bagian
atas, bila displacement dari fragmen proksimal fraktur atau komponen sendi distal menekan
trakea. Hal ini juga dapat menyebabkan cedera pembuluh darah pada ektremitas yang
homolateral akibat kompresi fragmen fraktur atau laserasi dari cabang utama arkus aorta.
Cedera ini diketahui bila ada : sumbatan airway atas (stridor), adanya tanda berupa
perubahan dari kualitas suara (jika penderita masih dapat bicara), dan cedera yang luas pada
dasar leher dengan terabanya defek pada region sendi sternoklavikular.
Penanganan pada cedera ini adalah menstabilkan patensi airway, yang terbaik dengan
intubasi endotrakeal, walaupun hal ini kemungkinan sulit dilakukan jika ada tekanan yang cukup
besar pada trakea. Yang paling penting, reposisi tertutup dari cedera yang terjadi dengan cara
mengekstensikan bahu, mengangkat klavikula dengan pointed clamp seperti towel clip dan
melakukan reposisi fraktur secara manual. Cedera seperti ini bila dilakukan tindakan diatas
biasanya akan tetap stabil walaupun penderita dalam posisi berbaring.
B. Breathing
Dada dan leher penderita harus terbuka selama penilaian breathing dan vena-vena leher.
Pergerakan pernapasan dan kualitas pernapasan dinilai dengan observasi, palpasi, dan
didengarkan. Gejala yang terpenting dari trauma toraks adalah hipoksia termasuk peningkatan
frekuensi dan pola pernapasan, terutama pernapasan yang dengan lambat memburuk. Sianosis
adalah gejala hipoksia yang lanjut pada penderita trauma.Tetapi bila sianosis tidak ditemukan
bukan merupakan indikasi bahwa oksigen jaringan adekuat atau airway adekuat. Jenis cedera
toraks yang penting dan mempengaruhi breathing (yang harus dikenal dan diketahui selama
primary survey adalah keadaan-keadaan dibawah ini:
1). Tension pneumothorak
Tension pneumotorak berkembang ketika terjadi one-way-valve (fenomena ventil),
kebocoran udara yang berasal dari paru-paru atau dari luar melalui dinding dada, masuk
kedalam rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi (one-way-valve). Akibat udara yang masuk
kedalam rongga pleura yang tidak dapat keluar lagi, maka tekanan di intrapleural akan semakin
meninggi, paru-paru menjadi kolaps, mediastinum akan terdorong kesisi berlawanan dan
menghambat pengembalian darah vena ke jantung (venous return) serta menekan paru
kontralateral.
Penyebab tersering dari tension pneumotorak adalah komplikasi penggunaan ventilasi
mekanik (ventilator) dengan ventilasi tekanan positif pada penderita yang ada kerusakan pada
pleura visceral. Tension pneumotorak juga dapat timbul sebagai komplikasi dari pneumotorak
sederhana akibat cedera toraks tembus atau tajam dengan perlukaan parenkim paru yang tidak
menutup atau setelah salah arah pada pemasangan kateter subklavia atau vena jugularis interna.
Kadangkala defek atau perlukaan pada dinding dada juga dapat menyebabkan tension
pneumotoraks, jika salah cara menutup defek atau luka tersebut dengan pembalut kedap udara
(occlusive dressings) yang kemudianakan menimbulkan mekanisme katup (flap-valve). Tension
pneumotorak juga dapat terjadi pada fraktur tulang belakang toraks yang mengalami pergeseran
(displace thoracic spine fractures).
Diagnosis tension pneumotorak ditegakkan secara klinis, dan terapi tidak boleh terlambat
oleh karena menunggu konfirmasi radiologis. Tension pneumotorak ditandai dengan gejala nyeri
dada, sesak berat, distress pernapasan, takikardia, hipotensi, deviasi trakea, hilangnya suara
napas pada satu sisi dan distensi vena leher. Sianosis merupakan manifestasi lanjut. Karena ada
kesamaan gejala antara tension pneumotorak dan tamponade jantung maka pada awalnya sering
membingungkan, namun perkusi yang hipersonor dan hilangnya suara napas pada hemitoraks
yang terkena pada tension pneumotorak akan dapat membedakannya.
Tension pneumotorak membutuhkan dekompresi segera dan penanggulangan awal yang
cepat berupa insersi jarum yang berukuran besar pada sela iga dua garis midklavikular pada
hemitorak yang terkena. Tindakan ini akan mengubah tension pneumotorakmenjadi
pneumotorak sederhana (catatan: kemungkinan terjadi pneumotorak yang bertambah akibat
tertusuk jarum). Evaluasi ulang selalu diperlukan. Terapi definitif selalu dibutuhkan dengan
pemasangan selang dada (chest tube) pada sela iga ke-5 (setinggi putting susu) di anterior dari
garis midklavikular.
2). Pneumotorak terbuka (sucking chest wound)
Defek atau luka yang yang besar pada dinding dada akan menyebabkan pneumotorak
terbuka. Tekanan di dalam rongga pleura akan segera menjadi sama dengan tekanan atmosfir.
Jika defek pada dinding dada lebih besar dari 2/3 diameter trakea maka udara cenderung
mengalir melalui defek karena mempunyai tahanan yang kurang atau lebih kecil dibandingkan
dengan trakea. Akibatnya ventilasi terganggu sehingga menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia.
Langkah awal adalah menutup luka dengan kasa oklusif steril yang diplester hanya pada tiga
sisi saja. Dengan penutupan seperti ini diharapkan akan terjadi efek katup (flutter type valve)
dimana saat inspirasi kasa penutup akan menutup luka, mencegah kebocoran udara dari dalam.
Saat ekspirasi kasa penutup akan terbuka untuk menyingkirkan udara keluar. Setelah itu maka
sesegera mungkin dipasang selang dada yang harus berjauhan dari luka primer. Menutup seluruh
sisi luka akan menyebabkan terkumpulnya udara didalam rongga pleura yang akan
menyebabkan tension pneumotorak kecuali jika selang dada sudah terpasang. Kasa penutup
sementara yang dapat digunakan adalah plastic wrap atau petrolatum Gauze, sehingga penderita
dapat dilakukan evaluasi dengan cepat dan dilanjutkan dengan penjahitan luka. Penjahitan luka
primer seringkali diperlukan.
3). Flail Chest
Flail chest terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi memiliki kontinyuitas dengan
keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga multiple pada dua atau
lebihtulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya segmen flail chest (segmen
mengambang) menyebabkan gangguan pada pergerakan didning dada. Bila terjadi kerusakan
parenkim paru di bawah kerusakan dinding dada maka akan menyebabkan hipoksia yang serius.
Kesulitan utama pada kelainan flail chest yaitu cedera pada parenkim paru yang mungkin terjadi
(kontusio paru). Walaupun ketidakstabilan dinding dada menimbulkan gerakan paradoksal dari
dinding dada pada inspirasi dan ekspirasi, defek ini sendiri saja tidak akan menyebabkan
hipoksia. Yang menyebabkan hipoksia pada penderita ini terutama disebabkan nyeri yang
mengakibatkan gerakan dinding dada menjadi tertahan dan cedera jaringan parunya.
Flail chest mungkin tidak terlihat pada awalnya, karena splinting (terbelat) dengan dinding
dada. Gerakan pernapasan menjadi buruk dan toraks bergerak secara asimetris dan tidak
terkoordinasi. Palpasi gerakan pernapasan yang abnormal dan krepitasi iga atau fraktur tulang
rawan membantu diagnosis. Dengan foto torak akan lebih jelas karena akan terlihat fraktur iga
yang multipel, akan tetapi terpisahnya sendi kostokondral tidak akan terlihat. Pemeriksaan
analisis gas darah yang menunjukkan hipoksia akibat kegagalan pernapasan, juga membantu
dalam diagnosis flail chest.
Terapi awal yang diberikan adalah pemberian ventilasi adekuat, oksigen yang dilembabkan
dan resusitasi cairan. Bila tidak ditemukan syok maka pemberian cairan kristaloid intravena
harus lebih berhati-hati untuk mencegah kelebihan pemberian cairan . Kerusakan parenkim paru
pada flail chest akan sangat sensitifterhadap kekurangan atau kelebihan resusitasi cairan.
Pengukuran yang lebih spesifik ahrus dilakukan agar pemberian cairan benar-benar optimal.
Terapi definitif ditujukan untuk mengembangkan paru-paru dan berupa oksigenasi yang
cukup serta pemberian cairan dan analgesia untuk memperbaiki ventilasi.Tidak semua
membutuhkan bantuan ventilator. Pencegahan hipoksia merupakan hal penting pada penderita
trauma, dan intubasi serta ventilasi untuk waktu yang singkat mungkin diperlukan, sampai
diagnosis dan pola cedera yang terjadi pada penderita tersebut lengkap. Indikasi timing/waktu
untuk melakukan intubasi dan ventilasi tergantung pada penilaian hati-hati dari frekuensi
pernapasan, tekanan oksigen arterial, dan penilaian kinerja pernapasan.
4). Hematotorak Masif
Terkumpulnya darah dan cairan di salah satu hemitoraks dapat menyebabkan gangguan
usaha bernapas akibat penekanan paru-paru dan menghambat ventilasi yang adekuat. Perdarahan
yang banyak dan cepat akan mempercepat timbulnya syok dan akan dibahas lebih lanjut pada
bagian sirkulasi.
C. CIRCULATION
Denyut nadi penderita harus dinilai kualitas, frekuensi dan keteraturannya. Pada penderita
hipovolemia, denyut nadi arteri radialis dan arteri dorsalis pedis mungkin tidak teraba oleh
karena volume yang kecil. Tekanan darah dan tekanan nadi harus diukur dan sirkulasi perifer
dinilai melalui inspeksi dan palpasi kulit untuk warna dan temperatur. Vena leher harus dinilai
apakah distensi atau tidak. Ingat, distensi vena leher mungkin tidak nampak pada penderita
hipovolemia walaupun ada tamponade jantung, tension pneumotorak, atau cedera diafragma.
Monitor jantung dan pulse oximeter harus dipasang pada penderita. Penderita yang dicurigai
cedera toraks terutama pada daerah sternum atau cedera deselerasi yang hebat harus dicurigai
adanya cedera miokard apabila ada disaritmia. Hipoksia ataupun asidosis akan mempermudah
terjadinya. Kontraksi ventrikel prematur, disritmia yang kerap terjadi, mungkin membutuhkan
terapi dengan bolus lidokain segera (1mg/kg) dilanjutkan dengan drip lidokain (2-4 mg/menit).
Pulseless Electric Activity (PEA), merupakan dimana pada EKG ditemukan irama,
sedangkan pada perabaan nadi tidak ditemukan pulsasi. PEA dapat ditemukan pada tamponade
jantung, tension pneumotorak, hipovolemia, atau bahkan yang lebih buruk lagi ruptur jantung.
Cedera torak yang akan mempengaruhi sirkulasi dan harus ditemukan pada primary survey
adalah:
1). Hemotorak massif
Hemotorak massif yaitu terkumpulnya darah dengan cepatlebih dari 1500 cc di dalam rongga
pleura. Hal ini sering disebabkan oleh luka tembus yang merusak pembuluh darah sistemik atau
pembuluh darah pada hilus paru. Hal ini juga dapat disebabkan cedera tumpul. Kehilangan darah
menyebabkan hipoksia. Vena leher dapat kolaps akibat adanya hipovolemi berat, tetapi kadang
dapat ditemukan distensi vena leher, jika disertai tension pneumotorak. Jarang terjadi efek
mekanik dari darah yang terkumpul di intratorak lalu mendorong mediastinum sehingga
menyebabkan distensi dari pembuluh darah vena leher. Diagnosis hemotorak ditegakkan dengan
adanya syok yang disertai suara napas menghilang dan perkusi pekak pada sisi dada yang
mengalami trauma.
Terapi awal hemotorak massif adalah dengan penggantian volume darah yang dilakukan
bersamaan dengan dekompresi rongga pleura. Dimulai dengan infuse cairan kristaloid secara
cepat dengan jarum besar dan kemudian pemberian darah dengan golongan spesifik secepatnya.
Darah dari rongga pleura dapat dikumpulkan dalam penampungan yang cocok untuk
autotransfusi. Bersamaan dengan pemberian infuse, sebuah selang dada (chest tube) no 38
French dipasang setinggi putting susu, anterior dari garis midaksilaris lalu dekompresi rongga
pleura selengkapnya. Ketika kita mencurigai hemotoraks massif pertimbangan untuk melakukan
autotranfusi. Jika pada awalnya keluar 1500 ml, kemungkinan besar penderita tersebut
membutuhkan torakotomi segera.
Beberapa penderita pada awalnya darah yang keluar kurang dari 1500 ml, tetapi pendarahan
tetap berlangsung. Ini juga membutuhkan torakotomi. Keputusan torakotomi diambil bila
didapatkan kehilangan darah terus-menerus sebanyak 200 cc/jam dalam waktu 2 sampai 4 jam,
tetapi status fisiologi penderita tetap lebih diutamakan. Transfusi darah diperlukan selama ada
indikasi untuk torakotomi. Selama penderita dilakukan resusitasi, volume darah awal yang
dikeluarkan dengan selang dada (chest tube) dan kehilangan darah selanjutnya harus
ditambahkan kedalam cairan pengganti yang akan diberikan. Warna darah ( arteri atau vena)
bukan merupakan indicator yang baik untuk dipakai sebagai dasar dilakukannya torokotomi.
Luka tembus toraks di daerah anterior, medial dari garis puting susu atau l;uka didaerah
posterior, medial dari skapula harus dipertimbangkan kemungkinan diperlukannya torakotomi,
oleh karena kemungkinan melukai pembuluh darah besar, struktur hilus atau jantung yang
potensial menjadi tamponade jantung. Torakotomi harus dilakukan oleh ahli bedah yang sudah
mendapat latihan dan berpengalaman.
2). Tamponade Jantung
Tamponade jantung sering disebabkan oleh luka tembus. Walaupun demikian, cedera tumpul
juga dapat menyebabkan pericardium berisi darah, baik dari jantung, pembuluh darah besar
maupun dari pembuluh darah perikard. Perikard manusia terdiri dari struktur jaringan ikat yang
kaku dan walaupun relative sedikit darah yang terkumpul, namun sudah dapat menghambat
aktivitas jantung dan mengganggu pengisian jantung. Mengeluarkan darah atau cairan perikard,
perikardiosintesis, sering hanya keluar 15 ml sampai 20 ml, sudah akan memperbaiki
hemodinamik.
Diagnosis tamponade jantung tidak mudah. Diagnostik klasik adalah Trias Beck yang terdiri
dari peningkatan tekanan vena, penurunan tekanan arteri dan suara jantung menjauh. Penilaian
suara jantung menjauh sulit ditemukan bila ruang gawat darurat dalam keadaan berisik, distensi
vena leher tidak ditemukan karena penderita hipovolemia, dan hipotensi sering disebabkan oleh
hipovolemia.
Pulsus paradoxus adalah keadaan fisologis dimana terjadi penurunan dari tekanan darah
sistolik selama inspirasi spontan. Bila penurunan tersebut lebih dari 10 mmHg, maka ini
merupakan tanda lain terjadinya tamponade jantung. Tetapi tanda pulsusparadoxus tidak selalu
ditemukan, lagi pula sulit mendeteksinya dalam ruang gawat darurat. Tambahan lagi, jika
tertapat tension pneumothorax, terutama sisi kiri, maka akan sangat mirip dengan tamponade
jantung.
Tanda kussmaul (peningkatan tekanan vena pada saat inspirasi biasa) adalah kelainan
paradoksal yang sesungguhnya dan menunjukkan adanya tamponade jantung. PEA pada keadaan
tidak ada hipovolemia dan tension pneumothorax harus dicurigai adanya tanponade jantung.
Pemasangan CVP dapat membantu diagnosis, tetapi tekanan yang tinggi dapat ditemukan pada
berbagai keadaan lain. Pemeriksaan USG (Echocardiografi) merupakan metode non invasif yang
dapat membantu penilaian pericardium, tetapi banyak penelitian yang melaporkan angka
negative yang tinggi yaitu sekitar 5 sampai 10%. Pada penderita cedera tumpul dengan
hemodinamikabnormal boleh dilakukan pemeriksaan USG abdomen, yang sekaligus dapat
mendeteksi cairan di kantung perikard, dengan syarat tidak menghambat resusitasi, serta
dilakukan tim yang berpengalaman melakukan USG (lihat Bab 5, Cedera abdomen, V.F, Studi
diagnostic spesifik pada cedera tumpul).
Tamponade jantung dapat timbul perlahan, sehingga memungkinkan evaluasi yang lebih
teliti, atau timbul cepat sehingga memerlukan diagnosis dan terapi yang cepat pula. Cara
diagnosis yang dilakukan dapat berupa USG (Fosuced assessment sonogram in cedera-FAST)
dan / perikardiosentesis. FAST bila dilakukan di USG adalah cara yang cepat dan akurat untuk
melihat jantung dan pericardium. Di tangan pemeriksa yang berpengalaman akurasi adalah
sekitar 90%. Bila FAST menunjukan cairan intraperikardial, maka dapat dilakukan
perikardiosentesis untuk menstabilkan sementara hemodinamik penderita sambil menunggu
transportasi ke kamar operasi, dimana dapat dilakukan torakotomi dan perikardiotomi untuk
memeriksa cedera jantungnya. Namun demikian, tidak semua rumah sakit dapat melakukan
FAST. Perikardiosentesis akan bersifat diagnostic maupun terapeutik, namun bukan terapi
definitive untuk tamponade jantung (Untuk informasi mengenai FAST lihat Bab 5 Cedera
Abdomen).
Evakuasi cepat darah dari perikard merupakan indikasi bila penderita dengan syok
hemoragik tidak member respon pada resusitasi cairan dan mungkin ada tamponade jantung.
Tindakan ini menyelamatkan nyawa dan tidak boleh diperlambat untuk mengadakan
pemeriksaan diagnostic tambahan. Metode sederhana untuk mengeluarkan cairan dari perikard
adalah dengan perikardiosintesis. Kecurigaan yang tinggi adanya tamponade jantung pada
penderita yang tidak memberi respon terhadap usaha resusitasi , merupakan indikasi untuk
melakukan tindakan perikardiosintesis melalui metode subksifoid, Tindakan alternative lain,
adalah melakukan operasi jendela perikard atau torakotomi dengan perikardiotomi oleh seorang
ahli bedah. Prosedur ini akan lebih baik dilakukan di ruang operasi jika kondisi penderita
memungkinkan.
Walaupun kecurigaan besar akan adanya tamponade jantung, tetap dilakukan pemberian
dilakukan cairan infuse awal karena akan dapat meningkatkan tekanan vena dan meningkatkan
cardiac output untuk sementara, sambil melakukan persiapan untuk tindakan perikardiosintesis
melalui subksifoid. Pada tindakan ini penggunaan plastic-sheated needle atau insersi dengan
teknik Seldinger merupakan cara yang paling baik, tetapi dalam keadaan yang lebih gawat,
prioritas adalah aspirasi darah dari kantung perikard. Monitoring Elektrokardiografi dapat
menunjukan tertusuknya miokard (peningkatan voltase dari gelombang T, ketika jarum
perikardiosentesis menyentuh epikardium) atau terjadinya disritmia. Karena luka jantung
mungkin menutup sendiri, perikardiosentesis akan memperbaiki gejala untuk sementara. Namun
semua penderita dengan perikardiosentesis yang positif akan memerlukan torakotomi, atau
median sternotomi, untuk pemeriksaan dan perbaikan cedera jantungnya. Perikardiosentesis
mungkin negative karena darah dalam rongga pericardium beku. Persiapan untuk merujuk
penderita ini harus dilakukan. Perikardiotomi melalui suatu operasi torakotomi dapat
menyelamatkan nyawa, namun hanya dapat dikerjakan ahli bedah yang berpengalaman.
TORAKOTOMI RESUSITASI
Pijatan jantung tertutup untuk henti jantung atau PEA kurang efektif pada keadaan penderita
yang hipovolemia. Penderita yang luka tembus toraks yang sampai di rumah sakit tidak teraba
denyut nadi tetapi masih ada aktivitas elektrik dari miokard merupakan calon untuk torakotomi
resusitasi secepatnya. Seorang ahli bedah yang berpengalaman harus ada ketika penderita sampai
di ruang gawat darurat untuk menetapkan indikasi dan melakukan operasi, yang mungkin akan
berhasil .
Torakotomi antero-lateral kiri dilakukan untuk mendapat akses langsung ke jantung, sambil
meneruskan resusitasi cairan. Intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik mutlak harus
dikerjakan .
Penderita dengan cedera tumpul yang sampai di rumah sakit dan tidak teraba denyut nadi
akan tetapi masih ada aktifitas miokard tidak ada indikasi torakotomi resusitasi.
Tindakan terapi efektif yang dapat dikerjakan selama torakotomi adalah:
1. Evakuasi darah di perikard yang menyebabkan tamponade jantung.
2. Kontrol langsung sumber pendarahan pada pendarahan intratoraks.
3. Pijatan jantung terbuka.
4. Klem silang aorta descendens untuk mengurangi kehilangan darah dibawah diafragma
dan meningkatkan perfusi ke otak da jantung.
Berbeda hasilnya jika ini dilakukan pada cedera tumpul. Banyak laporan
mengkonfirmasikan tidak efektifnya hasil torakotomi di ruang gawat darurat untuk penderita
yang mengalami henti jantung setelah cedera tumpul.
Setelah memberikan terapi bagi cedera yang langsung mengancam nyawa, perhatian dapat
di teruskan ke survey sekunder.
BAB III
SECONDARY SURVEY:
CEDERA TORAKS YANG DAPAT MENGANCAM NYAWA
Secondary survey membutuhkan pemeriksaan fisik yang lebih dalm dan teliti. Foto toraks tegak
dibuat jika kondisi penderita memungkinkan, serta pemeriksaan analisis gas darah, monitoring
pulse oximeter dan elektrokardiogram. Pada foto toraks harus dinilai pengembangan paru,
adanya cairan, ada tidaknya pelebaran mediastinum. Pada fraktur iga multipel atau fraktur iga
pertama dan/atau iga kedua harus dicurigai bahwa cedera yang terjadi pada toraks dan jaringan
lunak dibawahnya sangat berat.
Delapan cedera toraks yang mungkin mematikan terdapat di bawah ini:
1. Pneumotoraks sederhana
2. Hemotoraks
3. Kontusio paru
4. Perlukaan percabangan trakeo-bronkial
5. Cedera tumpul jantung
6. Cedera aorta
7. Cedera diafragma
8. Mediastinal traversing wound
Tidak seperti kondisi yang langsung mengancam nyawa yang harus dikenal selama primary
survey, cedera diatas biasanya pada pemeriksaan fisik dan tidak jelas. Pengenalan membutuhkan
indeks kecurigaan yang tinggi. Cedera-cedera ini sering kali tidak terdiagnosis saat awal setelah
cedera namun dapat berakibat fatal.
A. Pneumotoraks sederhana
Pneumotoraks disebabkan masuknya udara pada ruang potensial antara pleura viseral dan
parietal. Dislokasi-fraktur vertebra torakal juga dapat ditemukan bersama dengan pneumotoraks.
Laserasi paru merupakan penyebab tersering dari pneumotoraks akibat cedera tumpul.
Dalam keadaan normal rongga toraks dipenuhi oleh paru-paru yang pengembanganya
sampai dinding dada oleh karena adanya tegangan permukaan (tekanan negative) antara kedua
permukaan pleura. Adanya udara di dalam rongga pleura akan menyebabkan kolapsnya jaringan
paru. Gangguan ventilasi-perfusi terjadi karena darah menuju paru yang kolaps tidak mengalami
ventilasi sehingga tidak ada oksigenasi.
Ketika pneumotoraks terjadi, suara nafas menurun pada sisi yang terkena dan pada perkusi
hipersonor. Foto toraks-posisi tegak pada saat ekspirasi akan membantu menegakkan diagnosis.
Terapi terbaik pada pneumotoraks adalah dengan pemasangan chest tube pada sela iga ke 4
atau ke 5, anterior dari garis mid-aksilaris. Bila pneumotoraks hanya dilakukan observasi atau
aspirasi saja, maka akan mengandung resiko. Sebuah selang dada dipasang dan dihubungkan
dengan WSD, dengan atau tanpa pengisapan, dan foto toraks dilakukan untuk mengkonfirmasi
pengembangan kembali paru-paru. Anestesis umum atau ventilasi dengan tekanan positif tidak
boleh diberikan pada penderita dengan pneumotoraks traumatic atau pada penderita yang
mempunyai resiko terjadinya pneumotoraks intraoperatif yang tidak terduga sebelumnya, sampai
dipasang chest tube. Pneumotoraks sederhana dapat menjadi tension pneumotoraks yang
mengancam nyawa terutama jika awalnya tidak diketahui dan ventilasi dengan tekanan positif
diberikan. Toraks penderita juga harus dilakukan dekompresi sebelum transportasi udara.
B. Hemotoraks
Penyebab utama dari hemotoraks adalah laserasi paru atau laserasi dari pembuluh darah
interkostal atau arteri mamaria internal yang disebabkan oleh cedera tajam atau cedera tumpul.
Dislokasi fraktur dari vertebra torakal juga dapat menyebabkan terjadinya hemotoraks. Biasanya
pendarahan berhenti spontan dan tidak memerlukan intervensi operasi.
Hemotoraks akut yang cukup banyak sehingga terlihat pada foto toraks, sebaiknya diterapi
dengan selang dada caliber besar. Selang dada tersebut akan mengeluarkan darah dari rongga
pleura, mengurangi resiko terbentuknya bekuan darah di dalam rongga pleura, dan dapat dipakai
dalam memonitor kehilangan darah selanjutnya. Evakuasi darah atau cairan juga memungkinkan
dilakukannya penilaian terhadap kemungkinan terjadinya rupture diafragma traumatic.
Walaupun banyak factor yang berperan dalam memutuskan perlunya indikasi operasi pada
penderita hemotoraks, status fisiologi dan volume darah yang keluar dari selang dada merupakan
factor utama. Sebagai patokan bila darah yang dikeluarkan secara cepat dari selang dada
sebanyak 1500 ml, atau bila darah yang keluar lebih dari 200 ml tiap jam untuk 2 sampai 4 jam,
atau jika membutuhkan transfuse darah terus menerus, eksplorasi bedah harus dipertimbangkan.
C. Kontusi Paru
Kontusi paru adalah kelainan yang paling sering ditemukan pada golongan potentially lethal
chest injury. Kegagalan bernafas dapat timbul perlahan dan berkembang sesuai waktu, tidak
langsung terjadi setelah kejadian, sehingga rencana penanganan definitive dapat berubah
berdasarkan perubahan klinis. Monitoring harus ketat dan berhati-hati, juga diperlukan evaluasi
penderita yang berulang-ulang.
Penderita dengan hipoksia yang bermakna (PaO2 < 65 mmHg atau 8,6 kPa dalam udara
ruangan, SaO2 < 90% ) harus dilakukan intubasi dan diberikan bantuan ventilasi pada jam-jam
pertama setelah trauma. Kondisi medic yang berhubungan dengan kontusio paru seperti penyakit
paru kronis dan gagal ginjal menambah indikasi untuk melakukan intubasi lebih awal dan
ventilasi mekanik. Beberapa penderita dengan kondisi stabil dapat di tangani secara selektif
tanpa intubasi endotrakeal atau ventilasi mekanik.
Monitoring dengan pulse oximeter, pemeriksaan analisis gas darah, monitoring EKG dan
perlengkapan alat bantu pernafasan diperlukan untuk penanganan yang optimal. Jika kondisi
penderita memburuk dan perlu ditransfer maka harus dilakukan intubasi dan ventilasi terlebih
dahulu.
D. Cedera Trakeobronkial
Cedera terhadap trakea dan bronkus utama merupakan perlukaan yang luar biasa dan mempunyai
potensial fatal yang sering kali sudah terlihat pada saat penilaian awal. Perlukaan ini sering
disebabkan oleh cedera tumpul dan terjadi pada 1 inci dari karina. Kebanyakan penderita
meninggal di tempat kejadian. Bila penderita sampai dirumah sakit, resiko kematian meningkat
disebabkan karena cedera lain yang menyertai.
Jika dicurigai adanya perlukaan trakeobronkial, harus melakukan konsultasi segara. Pada
penderita dengan perlukaan trakeobronkial sering ditemukan hemoptisis, emfisema subkutan dan
tension pneumothoraks dengan pergeseran medistinum. Adanya pneumotoraks dengan
gelembung udara yang banyak pada WSD setelah dipasang selang dada harus dicurigai adanya
cedera trakeobronkial. Sering dibutuhkan lebih dari satu selang dada pada kebocoran yang besar.
Diagnosis perlukaan ini dilakukan dengan cara bronkhoskopi. Inkubasi pada cabang bronkus
utama kontralateral dibutuhkan sementara waktu untuk mencukupi kebutuhan akan oksigenasi.
Intubasi seringkali mengalami keulitan karena adanya distorsi anatomi akibat hematom
paratrakeal, akibat cedera orofaringeal yang menyertai atau cedara terhadap trakobronkial itu
sendiri. Untuk penderita seperti ini diperlukan intervensi operasi segera. Untuk penderita yang
stabil, terapi operasi dari perlukaan trakeobronkial dapat ditunda sampai reaksi radang akut dan
edema diserap.
E. Cedera Tumpul Jantung
Cedera tumpul jantung dapat menyebabkan kontusio otot jantung, rupture atrium atau
ventrikel, ataupun kebocoran katup. Rupture ruang jantung ditandai dengan tamponade jantung
yang harus diwapadai saat primary survey. Kadang-kadang tanda dan gejala dari tamponade
lambat terjadi bila yang rupture adalah atrium
Penderita dengan kontusio miokard akan mengeluh rasa tidak nyaman pada dada tetapi
keluhan tersebut juga bisa disebabkan kontusio dinding dada atau fraktur sternum dan /atau
fraktur iga. Diagnosis pasti hanya dapat ditegakkan dengan inspeksi dari miokard yang
mengalami trauma. Gejala klinis yang penting pada kontusio miokard adalah hipotensi,
gangguan hantaran yang jelas pada EKG atau gerakan dinding jantung yang tidak normal pada
pemeriksaan ekokardiografi dua dimensi. Perubahan EKG dapat bervariasi dan kadang
menunjukan suatu infark miokard yang jalas. Kontraksi ventrikel premature yang multipel, sinus
takikardi yang tak bisa diterangkan, fibrilasi atrium, bundle branch block (biasanya kanan) dan
paling sering adalah perubahan segmen ST yang ditemukan pada gambaran EKG. Elevasi dari
tekanan vena sentral yang tidak ada penyebab lain merupakan petunjuk dari disfungsi ventrikel
kanan sekunder akibat kontusio jantung. Juga penting untuk diingat bahwa kecelakaannya sendiri
mungkun dapat disebabkan adanya serangan infark miokard akut.
Pemeriksaan troponin tidak dilakukan pada kontusio miokard yang terdiagnosis karena
adanya konduksi yang abnormal mempunyai resiko terjadinya disritmia akut, dan harus di
monitor 24 jam pertama, karena setelah interval tersebut resiko disritmia akan menurun secara
bermakna.
F. Ruptur Aorta (Traumatic Aortic Disruption)
Ruptur aorta traumatik sering menyebabkan kematian segera setelah kecelakaan mobil tabrakan
frontal atau jatuh dari ketinggian. Untuk penderita yang selamat sesampainya dirumah sakit,
kemungkinan sering dapat diselamatkan bila ruptur aorta dapat diidentifikasi dan secepatnya
dilakukan operasi.
Penderita dengan rupture aorta (yang kemungkinan dapat ditolong), biasanya laserasi yang
terjadi tidak total dan dekat dengan ligamentum arteripsum. Kontinuitas dari aorta dipertahankan
oleh lapisan atventisia yang masih utuh atau adanya hematom medistinum yang mencegah
terjadinya kematian segera. Banyak penderita yang sempat sampai di rumah sakit dalam keadaan
hidup, meninggal di rumah sakit jika tidak diberi terapi. Walaupun ada darah yang lolos ke
dalam mediastinum, tetapi pada hakekatnya ini adalah suatu hematoma yang belum pecah.
Hipotensi menetap atau berulang akan ditemukan sedangkan pendarahan di tempat lain tidak
ada. Bila rupture aorta berupa transepsi aorta, maka pendarahan yang terjadi masuk ke dalam
rongga pleura dan menyebabkan hipotensi, biasantya berakibat fatal dan penderita harus
dilakukan operasi dalam hitungan menit.
Seringkali gejala ataupun tanda spesifik rupture aorta tidak ada, namun adanya kecurigaan
yang besar atas riwayat trauma, adanya gaya deselerasi dan temukan radiologis yang khas diikuti
arteriografi merupakan dasar dalam penetapan diagnosis. Angiografi harus dilakukan secara
agresif karena penemuan foto toraks, terutam apada posisi berbaring, hasilnya tidak dapat
dipercaya. Apabila ditemukan pelebaran mediastinum pada foto toraks dan lakukan pemeriksaan
angiografi maka hasil positif untuk rupture aorta adalah sekitar 3% gambaran radiologi yag ada
di bawah ini dapat dipergunakan sebagai indikasi adanya cedera terhadap pembuluh darah besar
didalam rongga toraks .
1. Pelebaran mediastinum.
2. Obliterasi lengkung aorta.
3. Deviasi trakea kearah kanan.
4. Hilangnya ruang antara arteri pulmonal dan aorta (jendela aorta-pulmonal tidak jelas).
5. Bronkus utama kiri tertekan ke bawaah.
6. Deviasi dari esophagus kearah kanan.
7. Pelebaran paratrakeal tidak merata.
8. Pelebaran paraspinal.
9. Ditemukan adanya pleural atau apical cap.
10. Hemotoraks kiri.
11. Fraktur iga 1 atau ke-2 atau scapula
Positif palsu atau negaif palsu terdapat pada tiap-tiap tanda foto ronsen diatas tetapi hanya
jarang (hanya 1%-2%) tidak akan ditemukan tanda ataupun pada penderita dengan cedera
pembuluh darah besar. Kecurigaan sedikit saja akan adanya cedera aorta sudah merupakan alas
an untuk mengirim penderita ke fasilitas yang mampu untuk mempertajam diagnosis. Angiografi
merupakan pemeriksaan gold standard, tetapi transesofageal echokardigrafi (TEE) merupakan
suatu pemeriksaan yang minimal invasive yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan CT- scan akan banyak memakan waktu sehingga tidak dianjurkan untuk
menegakkan diagnosis definitive.
CT helical dengan kontras saat ini merupakan cara terbaik untuk skrining cedera aorta.
Akurasi dengan CT helical mencapai 100%, namun sangat tergantung alat dan ahli. Bila CT
helical tidak menunjukan adanya hematoma mediastinum maupun cedera aorta, maka
pemeriksaan selanjutnya tidak diperlukan. Bila CT helical positif harus dilakukan aortografi.
Ahli bedah cedera kemudian yang menentukan pemeriksaan selanjutnya.
Di rumah sakit tanpa kemampuan operasi jantung, keputusan untuk mengirim penderita yang
curiga cedera aorta mungkin sulit. Pemakaian CT helikal dan ahlinya akan dapat menentukan
bahwa penderita tidak perlu dikirim karena sudah dikenali tidak ada cedera aorta.
Ahli bedah yang berpengalaman harus membantu penegakan diagnosis. Terapi yang
dilakukan dapat berupa penjahitan primer aorta atau reseksi dan dipasang graft.
G. Cedera Difragma
Ruptur diafragma traumatic lebih sering terdiagnosis pada sisi kiri, karena obliterasi hepar pada
sisi kanan atau adanya hepar pada sisi kanan sehingga mengurangi kemungkinan terdiagnosisnya
ataupun terjadinya rupture diafragma kanan. Sementara itu adanya usus, gaster atau selang
diagnostik mempermudah mendeteksi pada hemotoraks kiri. Prevalensi sesungguhnya ( untuk
kejadian sisi kiri atau kanan) belum diketahui. Cedera tumpul menghasilkan robekan besar yang
menyebabkan timbulnya herniasi organ abdomen. Sedangkan cedera tajam menghasikan
perforasi kecil yang sering memerlukan waktu yang bisa sampai tahunan untuk berkembang
menjadi hernia diafragmatika.
Diagnosis perlukaan ini pada awalnya bisa terlewatkan jika salah menginterpretasikan foto
toraks sebagai elevasi diafragma, dilatasi gaster akut, pneumohemotoraks local atau hematom
subpulmonal. Jika di curigai adanya laserasi pada diafragma kiri, selang gaster harus dipasang.
Bila selang gaster tampak didalam rongga toraks pada foto toraks, maka tidak diperlukan
pemeriksaan ronsen dengan kontras. Kadang, diagnosis tidak dapat ditegakkan dengan foto
ronsen ataupun setelah pemasangan selang dada pada hemitoraks kiri. Pada keadaan ini
pemeriksaan gastrointestinal bagian atas dengan kontras harus dilakukan jika diagnosis masih
ragu-ragu/ tidak jelas. Bila ditemukan cairan peritoneum keluar dari selang dada juga dapat
mengkonfirmasi diagnosis. Prosedur minimal invasive endoskopi (torakoskopi) dapat membantu
dalam mengevaluasi diafragma pada kasus-kasus yang diagnosisnya sulit ditegakkan.
Ruptur diafragma kanan jarang terdiagnosa pada periode awal setelah trauma. Hepar sering
mencegah terjadinya herniasi dari organ abdominal lainnya masuk ke rongga toraks. Gambaran
elevasi diafragma kanan pada x-ray toraks mungkin dapt ditemukan. Ruptur diafragma sering
ditemukan secara kebetulan, karena operasi untuk cedera abdominal lain. Terapinya adalah
penjahitan langsung.
H. Mediastinal Traversing Wounds
Cedera penetrans melintasi mediastinum, dapat mencederai struktur utama di mediastinum
misalnya jantung, pembuluh darah besar, percabangan, trakeobronkinal, atau esophagus.
Diagnosis ditegakkan bila pemeriksaan fisik yang teliti dan foto toraks menunjukan adanya luka
masuk di satu hemitoraks dan luka keluar atau peluru bersarang di hemitoraks kontra-lateralnya.
Hati-hati bila menjumpai luka dengan pecahan peluru berada di dekat organ mediastinum karena
kemungkinan adanya luka yang melintasi mediastinum. Konsultasi bedah multak harus
dilakukan.
Adanya syok menjadi indikasi adanya kehilangan darah karena pendarahan intratoraks,
tension pneumothorax atau tamponade jantung. Pemasangan selang dada bilateral harus
dilakukan untuk mengatasi hemopneumotoraks dan darah yang keluar harus diukur. Indikasi
untuk melakukan torakotomi sito sama dengan indikasi pada hemotoraks massif. Persiapan
torakotomi dilakukan untuk kedua hemitoraks. Tetapi secara umum harus dimulai pada sisi yang
kehilanagn darahnya paling banyak. Penderita dengan curiga tamponade jantung dilakukan terapi
seperti pada uraian sebelumnya. Penderita yang dicurigai emfisema mediastinum harus dicurigai
adanya cedera terhadap cedera esofagus atau percabangan trakeobronkial. Hematom
mediastinum atau pleural cap dicurigai adanya cedera pada pembuluh darah besar. Jangan lupa
memeriksa fungsi neurologi bila peluru melewati medulla spinalis.
Penderita dengan hemodinamik normal, walaupun tanpa gejala klinis atau tanpa kelainan
gambaran struktur mediastinum pada foto ronsen, tetap harus dilakukan evaluasi untuk
menyingkirkan kemungkinan cedera vaskuler, trakeobronkial atau cedera esofagus. Selang
toraks dipasang sesuai indikasi. Jika belum ada rencana operasi, maka dilakukan pemeriksaan
evaluasi segera seperti CT helical atau angiografi yang dapat memperlihatkan gambaran aorta
torakalis dan cabang utamanya. Jika hasil CT helical atau angiogram negatif, dilakukan
esofagografi memakai kontras. Pemeriksaan esofagoskopi akan meningkatkan kepastian bahwa
tidak ada cedera esofagus. Bronkoskopi harus dilakukan untuk mengevaluasi percabangan
trakeobronkial. Untuk mengevaluasi jantung dan pericardium terbaik dengan menggunakan CT
Scan atau Ultrasound. Jika hemodinamik penderita memburuk, yang dapat terjadi setiap saat
selama evaluasi non-operatif, maka harus dipertimbangkan adanya cedera lain dan lakukanlah
reevaluasi A,B,C,D,E. Dekompresi segera pada tension pneumothorax, atau pada tamponade
jantung mungkin dibutuhkan. Setelah identifikasi perlukaan, dapat langsung dilakukan perbaikan
melalui sayatan yang sesuai.
Secara keseluruhan angka moralitas untuk luka tembus mediastinum sekitar 20%. Persentase
ini menjadi berlipat ganda jika disertai hemodinamik yang tidak stabil. Sekitar 50% penderita
dengan luka tembus mediastinum desertai hemodinamik tidak stabil dan 30% pada evaluasi
memberikan hasil positif dan kemudian memerlukan operasi.
MANIFESTASI CEDERA TORAKS LAIN
Cedera toraks penting lainnya yang harus dideteksi selama secondary survey walaupun cedera
tersebut tidak segera mengancam nyawa tetapi cedera tersebut potensial untuk memburuk.
A. Emfisema Subkutis
Emfisema subkutis dapat disebabkan oleh cedera ledakan. Walaupun tidak memerlukan
terapi, penyebab timbulnya kelainan ini harus dicari. Jika penderita menggunakan ventilasi
dengan tekanan positif pemasangan selang dada harus dipertimbangkan untuk di pasang pada sisi
yang terdapat emfisema subkutis sebagai antisipasi terhadap berkembangnya tension
pneumothorax.
B. Crushing Injury to the Chest (Troumatic Asphyxia)
Tergencetnya toraks akan menimbulkan kompresi yang tiba-tiba dan sementara terhadap
vena cava superior dan menimbulkan plethora serta petechiae yang meliputi badan bagian atas,
wajah dan lengan. Dapat terjadi edema yang berat bahkan edema otak. Yang harus diterapi
adalah cedera penyerta.
C. Fraktur Iga, Sternum dan Skapula
Iga merupakan komponen dari dinding toraks yang apling sering mengalami trauma. Perlukaan
yang terjadi pada igi sering bermakna. Terfiksirnya iga yang patah akibat nyeri dapat
menyebabkan gangguan ventilasi, oksigenasi dan reflex batuk. Batuk yang tidak efektif untuk
mengeluarkan secret dapat mengakibatkan insiden atelektasis, da pneumonia meningkat secara
bermakna bila sudah ada penyakit paru-paru sebelumnya.
Iga bagian atas ( iga ke 1 sampai ke 3) dilindungi oleh struktur tulang dari bahu. Tulang
scapula, humerus dan klavikula dengan seluruh otot-otot akan melindungi terhadap cedera iga
tersebut. Bila dutemukan fraktur tulang scapula, iga pertama dan kedua atau sternum harus
curiga akan adanya cedera berat, sehingga harus dipertimbangkan adanya cedera kepala, leher,
medulla spinalis, paru-paru dan pembuluh darah besar. Karena adanya cedera penyerta tersebut,
mortalitas akan meningkat menjadi 35%. Konsultasi bedah harus dilakukan.
Fraktur sternum dan scapula secara umum disebabkan oleh benturan langsung. Kontusio paru
dapat menyertaifraktur sternum. Cedera tumpul jantung harus selalu dipertimbangkan bila ada
fraktur sternum. Terapi operasi terkadang diindikasikan untuk fraktur sternum atau scapula.
Dislokasi sternoklavikula kearah mediastinum dangan mengakibatkan obstruksi dari vena cava
superior. Bila ini terjadi reduksi segera dibutuhkan.
Yang paling sering mengalami cedera adalah iga bagian tengah (iga ke 4 sampai iga ke 9).
Kompresi anteroposterior dari rongga toraks akan menyebabkan lengkung iga akan lebih
melengkung lagi kearah lateral dengan akibat timbulnya frakturpada titik tengah (bagian lateral)
iga. Cedera langsung pada iga akan cenderung menyebabkan fraktur dengan pendorong ujung-
ujung fraktur masuk ke dalam rongga pleura dan potensial menyebabkan cedera intratorakal
seperti pneumotoraks. Seperti kita ketahui pada penderita dengan usia muda dinding dada lebih
fleksibel sehingga jarang terjadi fraktur iga, olehkarena itu adanya fraktur iga multipel pada
penderita usia muda memberikan informasipada kita bahwa cedera yang terjadi sangat besar
dibandingkan bila terjadi cedera yang sama terjadi pada orang tua. Patah tulang iga terbawah (10
sampai 12) harus curiga adanya cedera hepar atau lien.
Pada penderita dengan cedera iga akan ditemukan nyeri tekan pada palpasi dan krepitasi jika
teraba atau terlihat adanya deformitas, harus curiga fraktur iga. Foto toraks harus dibuat untuk
menghilangkan kemungkinan cedera intratorakal dan bukan untuk mengidentifikasi fraktur iga.
Teknik khusus untuk visualisasi iga selain harganya mahal, tidak dapat mendeteksi seluruh iga,
posisi yang dibutuhkan untuk pembuatan x-ray tersebut menimbulkan rasa nyeri dan tidak
mengubah tindakan, sehingga pemeriksaan ini tidak dianjurkan. Plester iga, pengikat iga dan
bidai eksternal merupakan kontra indikasi. Yang penting adalah menghilangkan rasa sakit agar
penderita dapat bernafas dengan baik. Blok interkostal, anestesi epidural dan analgesi sistemik
dapat dipertimbangkan untuk mengatasi rasa nyeri.
D. Cedera Tumpul Esofagus
Cedera esofagus lebih sering disebabkan oleh karena cedera tembus. Cedera tumpul esofagus
walaupun jarang tetapi mematikan bila tidak teridenfikasi. Cedera tumpul esophagus disebabkan
oleh gaya kompresi dari isi gaster yang masuk ke dalam esophagus akibat cedera berat pada
abdomen bagian atas. Gaya tersebut menyebabkan robekan linear pada esofagus bagian bawah
dan mengakibatkan kebocoran cairan gaster ke dalam mediastinum. Akibat selanjutnya akan
terjadi mediastinitis, yang cepat atau lambat akan pecah ke dalam rongga pleura yang kemudian
akan menyebabkan terjadinya empyema. Cedera esofagus dapat disebabkan oleh kesalahan
pemasangan instrumentasi (contoh: selang nasogaster, endoskopi, dilator).
Gambaran klinis padaruptur esofagus harus dipertimbangkan pada penderita-penderita (1)
yang mempunyai pneumotoraks kiri atau hemotoraks tanpa adanya fraktur iga (2) Penderita yang
menerima cedera langsung yang berat terhadap sternum bagian bawah atau epigastrium dan nyeri
atau syok yang tidak proposional terhadap cedera yang dialami atau (3) didapatkan sisa makanan
pada selang dada setelah darah keluar. Adanya udara mediastinum juga membantu diagnosis
yang kemudian dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan memakai kontras atau sofagoskopi.
Drainase yang luas dari rongga pleura dan mediastinum dengan penjahitan langsung terhadap
luka yang terjadi melalui torakotomi adalah terapi yang dilakukan jika hal ini memungkinkan.
Operasi yang dilakukan dalam beberapa jam setelah cedera akan memberikan prognosis yang
lebih baik.
E. Indikasi Lain untuk Pemasangan Selang Dada
1) Secara selektif penderita yang dicurigai cedera paru berat terutama jika penderita akan
dikirim melalui udara atau darat.
2) Penderita yang akan dilakukan anestesis umum untuk terapi terhadap cedera yang lain
(cedera kepala atau ekstremitas), yang dicurigai terdapat cedera paru-paru bermakna.
3) Penderita yang membutuhkan ventilasi dengan tekanan positif yang dicurigai adanya
cedera dada.
SIMPULAN
Cedera toraks sering ditemukan pada penderita cedera multipel dan dapat merupakan masalah
yang mengancam nyawa. Penderita dengan cedera torak tersebut biasanya dapat diterapi atau
kondisi diperbaiki sementara dengan tindakan yang relative sederhana seperti intubasi, ventilasi,
selang dada atai perikardiosintesis dengan jarum. Kemampuan untuk mengenal cedera ini dan
kemampuan melakukan tindakan dapat menyelamatkan nyawa.