73439983 Bab 1 Degenerasi
-
Upload
stefani-wijaya -
Category
Documents
-
view
149 -
download
10
Transcript of 73439983 Bab 1 Degenerasi
DEGENERASI
LAPORAN TUTORIAL
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Tutorial Blok
Penyakit Dentomaksilofasial II
Pada Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember
Disusun oleh:
Kelompok Tutorial III
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS JEMBER
2009
DAFTAR ANGGOTA KELOMPOK
Tutor : drg. Erawati Wulandari, M. Kes
Ketua : Islachul Lailiyah (081610101037)
Scriber Meja : lusi Nirmalawati (081610101048)
Scriber Papan : Ira Lahfatul M (081610101036)
Anggota :
1. Ira Lahfatul M (081610101035)
2. Islachul Lailiyah (081610101037)
3. lusi Nirmalawati (081610101048)
4. Ulil Rachima P (081610101054)
5. Ethica Aurora S (081610101056)
6. Nur Baiti Dwi M (081610101062)
7. Sukma Surya Putri (081610101065)
8. Sayyidatu A (081610101089)
9. Erwin Indra Kusuma (081610101090)
10. Ayu Novita Raga (081610101101)
11. Muhammad Iqbal (081610101103)
12. Dian Rosita Rahman (081610101104)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas laporan ini, tentang DEGENERASI.
Laporan ini disusun untuk memenuhi hasil diskusi tutorial kelompok III pada
skenario kedua.
Penulisan makalah ini semuanya tidak lepas dari bantuan berbagai pihak,
oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada :
1. drg. Erawati Wulandari, M. Kes. selaku tutor yang telah membimbing jalannya
diskusi tutorial kelompok III Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember dan
yang telah memberi masukan yang membantu, bagi pengembangan ilmu yang
telah didapatkan.
2. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan ini.
Dalam penyusunan makalah ini tidak lepas dari kekurangan dan kesalahan.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi
perbaikan–perbaikan di masa mendatang demi kesempurnaan laporan ini. Semoga
laporan ini dapat berguna bagi kita semua.
Jember, 05 November 2011
Tim Penyusun
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penuaan merupakan kejadian yang alamiah, adalah proses degenerasi yang
berlangsung pada setiap orang. Proses menua disebabkan oleh faktor intrinsik,
yang berarti terjadi perubahan struktur anatomik dan fungsi sel maupun jaringan
disebabkan oleh penyimpangan didalam sel/jaringan dan bukan oleh faktor luar
(penyakit). Menghambat penuaan berarti mempertahankan struktur anatomi pada
suatu tahapan kehidupan tertentu sepanjang mungkin maka untuk ini diperlukan
penguasaan ilmu anatomi. Terjadinya perubahan anatomik pada sel maupun
jaringan tiap saat dalam tahapan kehidupan menunjukan bahwa anatomi adalah
ilmu yang dinamis.
Banyak sekali keluhan-keluhan yang dialami oleh para manula yang
mengalami degenerasi. Diantaranya masalah musculoskeletal (misalnya
osteoporosis), pada wanita periode haid yang tidak teratur, sensasi semburan
panas ( Hot Flashes ), masalah seksual, rasa lesu dan gangguan tidur, perubahan
perasaan, perubahan bentuk tubuh, dan keluhan lain seperti nyeri kepala,
gangguan daya ingat (pelupa), nyeri persendian dan kaku otot, serta gangguan
konsentrasi dalam berpikir.
Untuk lebih jelasnya mengenai degenerasi dan mengetahui mengenai
penyebab, tanda-tanda, pemeriksaan, dll, dibahas secara lengkap pada makalah
ini.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dasar penuaan dan degenerasi?
2. Apa saja macam-macam degenerasi pada umumnya?(etiologi, patogenesis,
gambaran klinis, pemeriksaan, dan klasifikasi)
3. Apa saja macam-macam degenerasi jaringan keras rongga mulut (etiologi,
patogenesis, gambaran klinia, dan pemeriksaan)
4. Apa saja macam-macam degenerasi jaringan keras rongga mulut (etiologi,
patogenesis, gambaran klinis, dan pemeriksaan)
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami konsep dasar penuaan dan degenerasi
2. Untuk mengetahui dan memahami macam-macam degenerasi pada
umumnya (etiologi, patogenesis, gambaran klinis, pemeriksaan, dan
klasifikasi)
3. Untuk mengetahui dan memahami degenerasi jaringan keras rongga
mulut (etiologi, patogenesis, gambaran klinia, dan pemeriksaan)
4. Untuk mengetahui dan memahami degenerasi jaringan keras rongga
mulut (etiologi, patogenesis, gambaran klinis, dan pemeriksaan)
1.4 Maping
DEGENERASI DAN PENUAAN
KLASIFIKASI DEGENERASI
DEGENERASI JARINGAN LUNAK
DEGENERASI JARINGAN KERAS
MACAM-MACAM PENYAKIT DEGENERASI
ETIOLOGI
PEMERIKSAAN
KLINISPENUNJANG
HPA RO
BAB II. PEMBAHASAN
2.1 Degenerasi
a. Degenerasi Jaringan Lunak
1. Degenerasi Pulpa
Degenerasi pulpa merupakan kemunduran jaringan pulpa yang bukan
diakibatkan karena suatu keradangan. Degenerasi umumnya dijumpai pada gigi
orang tua, degenerasi juga dapat disebabkan oleh iritasi ringan yang persisten
pada gigi orang muda, seperti pada degenerasi kalsifik pulpa. Degenerasi tidak
berhubungan dengan infeksi atau karies, meskipun suatu kavitas atau tumpatan
mungkin dijumpai pada gigi yang terpengaruh. Tingkat awal degenerasi pulpa
biasnya tidak menyebabkan gejala klinis nyata. Gigi tidak berubah warna , dan
pulpa bereaksi secara normal terhadap tes listrik dan tes termal. Bila degenerasi
pulpa berkembang gigi mungkin berubah warna dan pulpa tidak bereaksi
terhadap stimulasi.
Sumber : (Grossman, Louis I. 1995. Ilmu endodonti dalam praktek. EGC :
Jakarta)
Macam – macam degnerasi pulpa yaitu :
1. DEGENERASI KALSIFIK
Pada degenerasi kalsifik, sebagian jaringan pulpa digantikan oleh
bahan mengapur; yaitu terbentuk batu pulpa atau dentikel. Kalsifikasi ini dapat
terjadi baik di dalam kamar pulpa ataupun saluran akar, tapi umumnya dijumpai
pada kamar pulpa.
Pproses pembentukan dentikel yaitu bahan mengapur selapis demi selapis dan
mempunyai struktur berlamina seperti kulit bawang, dan terletak tidak terikat di
dalam badan pulpa. Dentikel atau batu pulpa dapat menjadi cukup besar atau
memberikan suatu bekas pada kavitas pulpa bila massa mengapur tersebut
dihilangkan. Pada jenis kalsifikasi lain, bahan mengapur terikat pada dinding
kavitas pulpa dan merupakan suatu bagian utuh darinya. Tidak selalu mungkin
untuk membedakan satu jenis dari jenis lain pada radiograf.
Macam-macam dentikel yaitu: true dentikel merupakan dentikel yang
dibentuk oleh odontoblas seperti dentin sekunder dan false dentikel merupakan
dentikel dari jaringan pulpa yang mengalami pengapuran.
Mekanisme dentikel yang mengenai gigi masih belum diketahui.
sebagian besar dentikel terdiri atas apatit karbonat. Namun beberapa laporan
penelitian menerangkan beberapa bakteri berpotensi untuk menghasilkan apatit
dalam kondisi yang menggunakan media pada perkapuran.
Prevalensi : Diduga bahwa batu pulpa dijumpai pada lebih dari 60 % gigi orang
dewasa. Batu pulpa dianggap sebagai pengerasan yang tidak berbahaya, meskipun
rasa sakit yang menyebar (referes pain) pada beberapa pasien dianggap berasal
dari kalsifikasi ini pada pulpa.
Gigi dengan batu pulpa juga dicurigai sebagai fokus infeksi oleh
beberapa klinisi. Tidak ditemukan perbedaan dalam insidensi batu pulpa antara
kelompok pasien yang menderita encok dan kelompok sama.
Etiologi: terjadi setelah adanya pulpitis kemudian keradangan melokalisir pada
jaringan ikat sehingga jaringan fibrosa dapat mengalami pengapuran yang difuse.
Sumber : (Grossman, Louis I. 1995. Ilmu endodonti dalam praktek. EGC :
Jakarta)
Batu Pulpa merupakan proses perkapuran Dystrophic sebagai hasil
langsungnya, iatrogenic atau idiopathic di dalam stroma dari kamar pulpa ketika
pulpa mengapur dari sel necrotic. Disharmoni occlusal dan yang lain merupakan
penyebab utama dari masalah ini. Keberadaan batu occluding merupakan suatu
dari “ tanda bahaya” dalam hubungan dengan vitalitas gigi tertentu itu sebelum
melakukan prosedur untuk penyembuhan lebih lanjut.
Batu pulpa di dalam jaringan pulpa adalah suatu indikasi dari radang
kronis. Gambaran radiografinya yaitu nampak radiopaque pada batu pulpa di
dalam kamar pulpa.
( http://www1.umn.edu/webcore1/pulpth2.html#clinical )
Gambaran klinis : Gambaran Radiografis :
2. DEGENERASI ATROFIK
Pada jenis degenerasi ini yang diamati secara hitopatologis pada
pulpa orang tua, dijumpai lebih sedikit sel-sel stelat dan cairan interseluler
meningkat. Jaringan pulpa kurang sensitif daripada normal. Yang disebut ”atrofi
retikular” adalah suatu artifak (artifact) dihasilkan oleh penundaan bahan fiksatif
dalam mencapai pulpa dan hendaknya tidak dikelirukan dengan degenerasi
atrofik.
Gejala: Tidak terdapat diagnosis klinis.
Sumber : (Grossman, Louis I. 1995. Ilmu endodonti dalam praktek. EGC :
Jakarta)
Etiologinya tidak jelas, dan biasanya terdapat pada gigi yang tidak
berfungsi, missal pada gigi yang tertanam, terjadi pada orang tua biasanya atrofi
fisiologis / atrifik senilis. Memiliki gambaran HPA : sel stelat menurun, cairan
interselular meningkat, dan jaringan pulpa yang kurang sensitive. Gejala yang
terjadi tanpa keluhan. Secara visual menunjukkan normal, EPTnya hamper tidak
bereaksi / lebih besar dari normal, tes termisnya hamper tidak bereaksi,
pemeriksaan roentgen foto menunjukkan pulpa dan saluran akar mengecil.
Perawatannya dibiarkan, namun bila ada keluhan lakukan pulpektomi – EDTAC :
Largal Ultra, namun bila tidak berhasil lakukan pencabutan.
( http://jada.ada.org/cgi/reprint/128/3/353.pdf )
Pulpa yang mungkin terkalsifikasi seperti atrofi terlihat lebih kecil
daripada biasanya. Pada beberapa contoh pulpa yang menyusut tebagi menjadi
beberapa bagian dari volume aslinya. Pada contoh tersebut, jumlah reparative
dentin yang besar ditemukan mengisi ruang yang sebenarnya berisi jaringan
pulpa. Pada gigi anterior, kamar pulpa berisi reparative dentin yang besar,
beberapa diantaranya bagian atas pulpa dari tepi insisal terisi dengan reparative
dentin dan dibatasi saluran akar. Paa gigi posterior, tanduk pulpa telah menyusut
dan digantikan oleh reparative dentin. Saluran akar juga dibatasi oleh penambahan
dentin. Di sana terlihat menurunnya ukuran sel seperti halnya penguranagn jmlah
sel. Sebagian besar pulpa seperti ini ada peningkatan jumlah dan distribusi serat
kolagen. Ini sering terlihat pada gigi anterior dimana bundle kolagen terjadi
peningkatan yang nyata di mahkota gigi. Pada gigi posterior, bundle kolagen
meningkat di sebagian besar saluran akar. Dengan peningkatan jumlah serat
kolagen, pembuluh darah terlihat lebih besar dan lebar, lapisan odontoblas di
pulpa ini berkurang banyak dan odontoblas menjadi rata dan lebih kuboid.
(Samuel Seltzer&I.B.Bender.1965;237-238)
3. DEGENERASI FIBROUS
Adalah penggantian sebagian / seluruh pulpa dengan jaringan ikat
fibrosa. Biasanya terjadi pada gigi dengan alveolus soket yang dalam dan pulpitis
kronis. Gejalanya asymptomatis. Jika dilakukan tes termis , EPT : hamper tidak
bereaksi, pada roentgen foto : normal, kadang – kadang resorbsi tl. Alveolar,
secara visual biasanya sulit untuk untuk mendiagnosa, secara HPA menunjukkan
gambaran proses degenerasi pulpa
( http://jada.ada.org/cgi/reprint/128/3/353.pdf )
Bentuk degenerasi pulpa ini ditandai dengan pergantian elemen selular
oleh jaringan penghubung fibrous. Pada pengambilan dari saluran akar, pulpa
demikian mempnyai penampilan khusus serabut keras. Penyakit ini tidak
menyebabkan gejala khusus untuk membantu diagnosis klinis.
Sumber : (Grossman, Louis I. 1995. Ilmu endodonti dalam praktek. EGC :
Jakarta)
Pada pulpa normal, serat kolagen tidak terlihat di bagian mahkota gigi
posterior yang bebas karies dan belum dioperasi. Pada gigi anterior, kuantitas
kolagen mahkota lebih besar secara signifikan. Pada apikal saluran akar ketiga ada
transisi berangsur-angsur dari sel pulpa menjdi lebih bersifat kolagen, jaringan sel
lebih sedikit dimana ada pembuluh darah dan saraf. Fibrosis pada bagian atap
pulpa meningkat yang dipengaruhi oleh karies, abrasi, atrisi dan dengan jelas
terlihat setelah tindakan operasi yang bersamaan pengisisan tanduk pulpa oleh
reparatif dentin. Ada pengurangan secara simultan jumlah sel-sel pulpa. Pada
inflamasi pulpa kronis, fibosis dengan jelas meningkat dan pembuluh darah
menjadi menonjol serta banyak yang berdilatasi.
( Samuel Seltzer&I.B.Bender.1965;230 )
4. ARTIFAK PULPA
Pernah diperkirakan bahwa vakuolisasi odontoblas adalah suatu jenis
degenerasi pulpa ditandai dengan ruang kosong yang sebelumnya diisi oleh
odontoblas. Kemungkinan ini adalah suatu artifak yang disebabkan karena
fiksasi jelek spesimen jaringan. Degenerasi lemak pulpa, bersama-sama dengan
atrofi retikular dan vakuolisasi, semuanya mungkin artifak dengan sebab sama
yaitu fiksasi tidak memuaskan.
Sumber : (Grossman, Louis I. 1995. Ilmu endodonti dalam praktek. EGC :
Jakarta)
Berupa ruang kosong akibat vakuolisasi odontoblas, disebabkan : fiksasi specimen
jaringan → jelek, dan adanya degenerasi lemak + atrofi retikuler.
( http://jada.ada.org/cgi/reprint/128/3/353.pdf )
Sebuah jumlah kondisi yang digambarkan sebagai indikasi patologi
atau perubahan regresif sekarang dipercaya sebagai atribut artifak karena fiksasi
yang buruk atau kesalahan dalam perubahan jaringan yang ada disekitar atrofi
retikuler, vakuolisasi lapisan odontoblast, bentukan blister dan degenerasi lemak.
Perubahan pulpa lain yang mungkin saat interfecta atau kegagalan fiksasi dapat
menimbulkan peningkatan eosinofil substansi dasar pulpa khususnya pada daerah
tanduk pulpa. ( Samuel Seltzer&I.B.Bender.1965;232 )
5. METASTASIS TUMOR
Metastasis sel-sel tumor ke pulpa gigi jarang terjadi, kecuali mungkin
pada tingkat akhir. Mekanisme terjadinya keterlibatan pulpa demikian pada
kebanyakan kasus adalah perluasan lokal langsung dari rahang. Satu laporan
mencatat keterlibatan pulpa gigi molar pada pasien berusia 11 tahun dengan
condromiksosarkoma rahang bawah. Dari 39 pasien yang diperiksa dengan tumor
maligna di dalam mulut, hanya satu dimana ditemukan sel-sel tumor di dalam
pulpa.
Sumber : (Grossman, Louis I. 1995. Ilmu endodonti dalam praktek. EGC :
Jakarta)
Biasanya terjadi pada tingkat akhir, namun sangat jarang terjadi. Mekanisme oleh
karena perluasan local langsung dari rahang.
( http://jada.ada.org/cgi/reprint/128/3/353.pdf )
6. RESORPSI INTERNAL
Resorpsi internal adalah perusakan tulang gigi yang berasal dari pulpa,
kebanyakan sentral di dalam ruang pulpa. Resorpsi internal ini di mulai dalam
kamar pulpa atau saluran akar gigi.
Etiologi : Meskipun faktor – faktor predisposisi tidak diketahui, prosesnya
kelihatannya berhubungan dengan inflamasi pulpa dan adanya bakteri. Hal ini
dimungkinkan oleh adanya infeksi jaringan pulpa nekrotik koronal pada daerah di
mana resorpsi terjadi. Produk samping jaringan pulpa nekrotik mencapai daerah
yang terresorpsi melalui tubuli dentin. Kemudian menuju dari suatu daerah
jaringan nekrotik yang terinfeksi ke jaringan yang vital. Resorpsi internal dentin
didahului oleh hilangnya lapisan odontoblastik sel, diikuti oleh invasi sel – sel
penyerap dentin seperti makrofag. Inflamasi dan resorpsi berikutnya dapat
disebabkan oleh : trauma, pengambilan sebagian pulpa, karies, pulp capping
dengan kalsium hidroksida, atau gigi yang retak.
Gejala – gejala : Resorpsi internal biasanya asimtomatik dan ditemukan pada
evaluasi radiografik rutin. Dan pada mahkota gigi, resorpsi internal dapat terlihat
sebagai daerah yang kemerah – merahan disebut ” bintik merah muda ” ( pink
spot ). Daerah kemerah – merahan ini menggambarkan jaringan granulasi yang
terlihat melalui daerah mahkota yang teresorbsi.
Diagnosis : resorpsi internal dapat mempengaruhi baik mahkota maupun akar
gigi, atau dapat cukup meluas untuk melibatkan gigi. Dapat merupakan suatu
proses lambat, progresif, berhenti dan mulai lagi ( intermitten ) yang berjalan
mengikuti waktu 1 atau 2 tahun, atau dapat juga berkembang secara cepat dan
dapat melubangi gigi kira – kira dalam beberapa bulan. Meskipun tiap gigi dalam
mulut dapat terlibat. Yang paling mudah atau rentan terkena adalah gigi depan
rahang atas. Biasanya resorpsi internal didiagnosis pada waktu peeriksaan
radiografik rutin. Terlihatnya pink spot terjadi nanti pada proses resorptif, bila
integritas mahkota sudah membahayakan. Radiograf biasanya menunjukan suatu
perubahan pada penampilan diding pada saluran akar atau kamar pulpa, dengan
daerah radiolusen bulat atau ovoid.
Perawatan : Proses resorpsi dapat berkembang lambat, cepat, atau
berselang – seling periode aktif dan tidak aktif. Karena sukar untuk menentukan
tingkat aktifitas, perawatan harus segera dimulai setelah diagnosis dibuat.
Ekstirpasi pulpa menghentikan proses resorpsi internal. Diindikasikan perawatan
endodontik rutin, tetapi obsturasi kerusakan memerlukan suatu bahan penutup
khusus, lebih diutamakan dengan cara gutta perca yang diliatkan. Pada
kebanyakan pasien, resorpsi internal berkembang tanpa terlihat karena tidak
menimbulkan rasa sakit, sampai akar berlubang. Dalam kasus semacam ini, pasta
kalsium hidroksida dimampatkan pada saluran akar dan diperbaharui secara
periodik sampai kerusakan menjadi baik. Perbaikan selesai bila terjadi rintangan /
barrer mengapur. Apabila perbaikan telah selesai, saluran akar dengan
kerusakannya diobsturasi dengan gutta perca yang diliatkan. Bila resorpsi
berlanjut, kemungkinan besar akan mengakibatkan perforasi dinding gigi.
Pengelolaan terdiri atas pengambilan jaringan pulpa, diikuti oleh perawatan
saluran akar.
Prognosis : Bagus sekali bila jaringan yang terinflamasi bisa dibersihkan dan juga
bila belum terjadi perforasi pada akar atau mahkoya. Dalam kejadian suatu
perforasi akar – mahkota, prognosisnya berhati – hati dan tergantung pada
terbentuknya rintangan mengapur atau pembukaan ke perforasi yang
memungkinkan perbaikan secara bedah.
Bila resorpsi internal berkembang melalui gigi ke dalam periodontium,
maka muncul masalah baru yaitu inflamasi periodontal, perdarahan dan kesukaran
dalam obsturasi saluran. Adanya perforasi tidak selalu dapat ditentukan secara
radiografik kecuali bila ditemukan suatu lesi radikular lateral bersebelahan dengan
daerah kerusakan resorpsi. Secara klinis, biasanya ada perdarahan di dalam
saluran yang terus – menerus setelah semua pulpa diambil. Selain itu bila saluran
dikeringkan dengan poin kertas, perdarahan mungkin hanya terlihat pada tempat
perforasi. Pada beberapa kasus perforasi yang sudah lama, suatu fistula tampak
jelas pada mukosa mulut di sebelah kerusakan.
Diagnosis Banding: bila reasorbsi interna berkembang dalam ruang periodontal
dan timbul suatu lubang pada akar, maka sukar untuk membedakannya dari
reasorbsi eksternal.
Sumber : (Grossman, Louis I. 1995. Ilmu endodonti dalam praktek. EGC :
Jakarta)
7. OSTEITIS MEMADAT / CONDENSING OSTEITIS
Condensing Osteitis merupakan reaksi terhadap infeksi. Ini berbeda
dengan keradangan pada periapikal dimana pembentukan tulang lebih banyak
terlibat dari pada kerusakan tulang. Hasilnya yaitu lesi yang radiopak. Reaksi
sklerosis ini ternyata menghasilkan resistensi yang baik pada pasien dengan
derajat virulensi yang rendah terhadap bakteri. Condensing osteitis biasa terjadi
pada usia muda dan predileksi yang sering terjadi pada regio molar dan juga
berhubungan dengan gigi yang karies atau adanya restorasi yang besar. Penyakit
pulpa yang irreversible ada atau tidaknya hubungan dengan karies masih belum
diketahui. Tidak biasanya Condensing Osteitis terjadi sebagai suatu reaksi
infeksi perodontal dari infeksi gigi.
Etiologi : infeksi dari jaringan periapikal oleh organisme dari virulesnsi rendah
Perawatan : Perawatan umum yang dilakukan tergantung dari faktor
penyebabnya. Dapat dilakukan terapi endodontik atau ekstraksi gigi. Untuk kasus
yang tidak diketahui faktor penyebabnya seperti karies yang tidak nyata, dapat
dilakukan pemeriksaan sinar x secara periodik.
Prognosis : Pada kasus gigi yang di ekstraksi daerah dari condensing osteitis
Diagnosa Banding : secara radiografi ada persamaan dengan osteosclerosis dan
sementoblastoma. Jika dilakukan tes elektris dengan hasil yang tidak normal maka
cenderung didiagnosa sebagai osteosclerosis dan sementoblastoma.
( http://www.zhub.com/pathology/listings/58.html )
8. CEMENTO FIBROSIS = OSTEOFIBROSIS
Kelainan rahang ini termasuk displasia dan mungkin bertalian displasia
fibosa, yang soliter atau multipel dijumpai disuatu tempat pada skelet. Tulang
setempat kadang-kadang diganti oleh jaringan fibrosa dan dijumpai beberapa
batang tulang. Bila kelainan ini timbul pada gigi geligi, dan disebelah apikal juga
sementum maka dapat dijumpai kecuali pada tulang. Karena itu diberi nama
displasia fibroosseosa (sementosa) periapikal.
Etiologi: terjadi banyak spekulasi, tetapi tidak diketahui secara positif. Kelainan
ini bukan gangguan bakterial atau endodontik.
Gejala-gejala: kadang-kadang rasa sakit, parastesi dan anastesi (kalau ada
hubungan dengan foramen mentalis) atau pembenkakan mungkin perpindahan
gigi. Tetapi keluhan utama adalah pembengkakan.
Kelainan ini mempunyai tiga bentuk yang mewakili stadium berturut-turut :
Stadim I: secara rontgenografis menunjukkan radiolusen. Radiolusen ini terjadi
karena prolifersi fibroblas dan penambahan kolaen mendorong jaringan tulang.
Tentang stadium permulaan hanya sedikit diketahui.
Stadium II: ditandai oleh pembentukan sementum (dominan) dan tulang.
Perbandingan antara jaringan ikat, sementum dan tulang sangat berubah-ubah.
Foto rontgen menunjukkan radiolusen namun beberapa bagian tampak
radiopaque.
Stadium III: tercapai kalau lesi (hampir) seluruhnya termineralisasi dan kadang-
kadang terdapat batas jaringan fibrosa ditepi. Foto rontgen terlihat banyak
terdapat homogen bercak-bercak kecil, namun terlihat massa yang hampir
homogen. Sehingga terdapat kemiripan dengan osteitis yang kondensasi atau
dengan osteomielitis sklerosis fokal yang klinis. Kadang-kadang terlihat sebagian
akar menghilang.
Perawatan: tidak perlu dilakukan perawatan. Pada kelainan besar yang sangat luas
koreksi berulang sangat perlu.
Prognosis: penyembuhan dapat timbul disetiap stadium
Dianosis Banding: stadium I tidak dapat dibedakan dengan periodontitis apikalis.
Pada stadium III terdapat kemiripan dengan osteitis yang kondensasi atau dengan
osteomielitis sklerosis fokal yang klinis.
Prevalensi: kelainan ini dijumpai hampir selalu pada gigi geligi tetap denan
mengutamakan gigi depan ranhang bawah terutama gigi insisif sentral. Namun
kelainan ini juga dapat dijumpai pada rahang yang tidak bergigi, karena anomali
pada pencabutan tertinggal dalam rahang. Kelainan ini sering dialami oleh wanita
(90%) dan lebih sering pada orang kulit putih (7:3)
B. jaringan keras
Osteoartritis (OA) adalah bentuk dari arthritis yang berhubungan dengan
degenerasi tulang dan kartilago yang paling sering terjadi pada usia lanjut.
Osteoartritis, yang juga disebut dengan penyakit sendi degeneratif, artritis
degeneratif, osteoartrosis, atau artritis hipertrofik, merupakan salah satu masalah
kedokteran yang paling sering terjadi dan menimbulkan gejala pada orang – orang
usia lanjut maupun setengah baya. Terjadi pada orang dari segala etnis, lebih
sering mengenai wanita, dan merupakan penyebab tersering disabilitas jangka
panjang pada pasien dengan usia lebih dari 65 tahun. Lebih dari sepertiga orang
dengan usia lebih dari 45 tahun mengeluhkan gejala persendian yang bervariasi
mulai sensasi kekakuan sendi tertentu dan rasa nyeri intermiten yang berhubungan
dengan aktivitas, sampai kelumpuhan anggota gerak dan nyeri hebat yang
menetap, biasanya dirasakan akibat deformitas dan ketidakstabilan sendi.
A. Definisi
Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi yang karakteristik dengan
menipisnya rawan sendi secara progresif, disertai dengan pembentukan tulang
baru pada trabekula subkondral dan terbentuknya rawan sendi dan tulang baru
pada tepi sendi (osteofit).
B. Etiologi.
Osteoartritis seringkali terjadi tanpa diketahui sebabnya, yang disebut dengan
osteoartritis idiopatik. Pada kasus yang lebih jarang, osteoartritis dapat terjadi
akibat trauma pada sendi, infeksi, atau variasi herediter, perkembangan, kelainan
metabolik dan neurologik, yang disebut dengan osteoartritis sekunder. Onset usia
pada osteoartritis sekunder tergantung pada penyebabnya; maka dari itu, penyakit
ini dapat berkembang pada dewasa muda, dan bahkan anak-anak, seperti halnya
pada orang
tua. Sebaliknya, terdapat hubungan yang kuat antara osteoartritis primer dengan
umur. Presentasi orang yang memiliki osteoartritis pada 1 atau beberapa sendi
meningkat dari dibawah 5% dari orang-orang dengan usia antara 15-44 tahun
menjadi 25%-30% pada orang-orang dengan usia 45-64 tahun, dan 60%-90%
pada usia diatas 65 tahun. Selain hubungan erat ini dan pandangan yang luas
bahwa osteoartritis terjadi akibat proses wear & tear yang normal dan kekakuan
sendi pada orang-orang dengan usia diatas 65 tahun, hubungan antara penggunaan
sendi, penuaan, dan degenerasi sendi
masih sulit dijelaskan. Terlebih lagi, penggunaan sendi selama hidup tidak
terbukti menyebabkan degenerasi. Sehingga, osteoartritis bukan merupakan akibat
sederhana dari penggunaan sendi.
C. Patogenesis
Degenerasi pada tulang rawan sendi secara patogenesisnya dapat dibagi
menjadi 3 tahap, yaitu:
1. Stage I : Gangguan atau perubahan matriks kartilago. Berhubungan
dengan peningkatan konsentrasi air yang mungkin disebabkan gangguan
mekanik, degradasi makromolekul matriks, atau perubahan metabolism
kondrosit. Awalnya konsentrasi kolagen tipe II tidak berubah, tapi jaring-
jaring kolagen dapat rusak dan konsentrasi aggrecan dan derajat agregasi
proteoglikan menurun.
2. Stage II : Respon kondrosit terhadap gangguan atau perubahan matriks.
Ketika kondrosit mendeteksi gangguan atau perubahan matriks, kondrosit
berespon dengan meningkatkan sintesis dan degradasi matriks, serta
berproliferasi. Respon ini dapat menggantikan jaringan yang rusak,
mempertahankan jaringan, atau meningkatkan volume kartilago. Respon
ini dapat berlangsung selama bertahun-tahun.
3. Stage III : Penurunan respon kondrosit. Kegagalan respon kondrosit untuk
menggantikan atau mempertahankan jaringan mengakibatkan kerusakan
tulang rawan sendidisertai dan diperparah oleh penurunan respon
kondrosit. Penyebab penurunan respon ini belum diketahui, namun
diperkirakan akibat kerusakan mekanis pada jaringan, dengan kerusakan
kondrosit dan downregulasi respon kondrosit terhadap sitokin anabolik.
D. Pemeriksaan
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi degenerasi sendi
diantaranya adalah pemeriksaan rontenologis. Gambaran Ro: terdapat celah sendi
pada sendi yang sakit dan terdapat spur formation.
2.2 OSTEOPOROSIS
Definisi
Osteoporosis merupakan penipisan tulang yang abnormal, mungkin
idiopatik atau sekunder terhadap penyakit lain. Yang ditandai oleh berkurangnya
massa dan mineral tulang sehingga menyebabkan kondisi tulang menjadi rapuh,
keropos dan mudah patah.
Osteoporosis termasuk penyakit gangguan metabolism, dimana tubuh
tidak mampu menyerap dan menggunakan bahan-bahan untuk proses pertulangan
secara normal, seperti zat kapur = Kalsium, phospat, dan bahan-bahan lainnya.
Pada keadaan ini terjadi pengurangan masa/ jaringan tulang dibandingkan
dengan keadaan normal. Atau dengan bahasa awam, tulang lebih ringan dan lebih
rapuh. Meskipun mungkin zat-zat dan mineral untuk pemebentuk tulang di dalam
darah masih dalam batas nilai normal. Proses pengurangan ini terjadi di seluruh
tulang dan berkelanjutan sepanjang kehidupan.
Epidemiologi
Osteoporosis merupakan penyakit dengan gejala yang sangat berfariasi
dari seorang penderita yang lain, mulai yang dari tanpa gejala sampai yang berat
hingga menimbulkan patah tulang (fraktur).
Sebanyak 50% wanita yang menderita Osteoporosis mungkin akan
mengalami patah tulang lebih dari satu kali. Diperkirakan resiko seorang wanita
yang menderita osteoporosis, memiliki resiko patah tulang pangkal paha sama
dengan resiko kanker payudara dan kanker rahim.
Meskipun penyakit osteoporosis lebih banyak menyerang wanita, tidak
menutup kemungkinan tarjadi pada pria. Sama halnya seperti wanita, penyakit
osteoporosis pada pria juga dipengaruhi hormone estrogen. Namun bedanya, laki-
laki tidak mengalami menopause, sehingga osteoporosis dating lebih lambat.
Selain itu juga dipengaruhi oleh, massa tulang perempuan lebih kecil daripada
pria.
Saat wanita memasuki usia 35 tahun, kepadatan tulang wanita menyusut
0,55- 1% setiap tahunnya. Setelah memasuki masa menopause, dimana kadar
hormone estrogen menurun secara signifikan, wanita bisa kehilangan 2-3 % massa
tulang setiap tahunnya dan itu berlangsung selama 10 tahun masa awal
menopause. Namun, tidak berarti semua wanita menopause akan mengalami
osteoporosis. Hal ini dipengeruhi oleh, kepadatan tulang, factor nutrisi, aktivitas
fisik.
Gejala Klinis
bila tidak ada keadaan/ penyakit pemberat lainnya (komplikasi), bisa saja
tidak ada keluhan, mungkin hanya rasa sakit/ tidak enak atau pegal-pegal di
bagian punggung atau di daerah tulang yang mengalami osteoporosis.
Rasa sakit/ nyeri biasanya hanya setempat dan tidak menyebar, dan
bertambah berat bila mendapat tekanan atau beban. Rasa sakit/ nyeri ini bisa
hilang sendiri setelah beberapa minggu atau beberapa hari.
Pemadatan ruas tulang ini sering terjadi pada ruas tulang dada bawah dan
ruas tulang pinggang. Sedangkan patah tulang pinggul/ pangkal tulang paha dan
ujung tulang pengumpil, biasanya karena kecelakaan/ jatuh.
Diagnosa secara Klinis
Keluhan paling mula biasanya sakit di daerah punggung, karena kelainan
terjadi pada ruas tulang belakang.
Penampilan penderita osteoporosis lebih tua dari sebayanya, baik karena
kulit yang berkerut, mungkin terkait dengan penderitaan sakit yang
berkepanjangan, maupun karena postur tubuh yang agak membungkuk bila
osteoporosis mengenai ruas-ruas tulang punggung sehingga penyakit ini pernah
diberi istilah janda bongkok (Widow’s hump), karena memang penderitanya
banyak wanita tua yang menjanda ditinggal mati suami.
Sebagai tambahan, terlihat tonjolan lengkunga tulang rusuk bawah, lebih
menonjol dari tonjolan pinggiran tulang punggung atas depan.
Etiologi
A. Factor umum ( primer ) :
1. Penurunan hormone estrogen .
Hormone estrogen sangat penting untuk menjaga kepadatan massa tulang.
Turunnya kadar hormone ini bisa disebabkan karena indung telur diangkat
atau diradiasi karena kanker, menopause atau pada keadaan
hipogonadisme. Kekurangan hormone estrogen akan mengakibatkan lebih
banyak resorbsi tulang daripada pembentukan tulang .
2. Level awal kepadatan tulang .
Secara normal, dalam massa hidupnya wanita kehilangan separuh massa
tulang dan pria kehilangan seperempat massa tulang dibandingkan pada
massa mudanya. Apakah level residual tersebut berkurang cukup banyak
untuk menyebabkan osteoporosis yang parah, sebagian tergantung pada
level awal kepadatan tulang. Contohnya, orang kulit hitam secara umum
lebih banyak tulang awal, sehingga jarang menderita osreoporosis secara
klinis. Wanita eropa bagian utara yang memiliki postur tubuh kecil dan
langsing ( kurus ) memiliki tulang yang lebih ringan dan lebih mudah
terkena osteoporosis.
3. Pencernaan dan absorpsi kalsium .
Jika kalsium yang diabsorpsi tidak cukup untuk menggantikan kalsium
yang hilang melalui feses dan urine ( 150-250 mg per hari ) maka kalsium
akan dimobilisasi dari tulang di bawah pengaruh hormone paratiroid .
4. Penuaan .
Selain efek hormone estrogen, kehilangan tulang juga berkaitan dengan
usia. Umumnya penuaan memperlambat tingkat pembentukan tulang pada
setiap proses remodeling tulang. Akibatnya lebih banyak terjadi resorpsi
tulang daripada pembentukan tulang. Dan ketidakseimbangan ini dapt
menyebabkan osteoporosis.
B. Factor resiko lain ( sekunder )
1. Penyakit sistemik , seperti :
• Penyakit endokrin .
• Penyakit gastrointestinal .
• Gangguan pada sumsum tulang .
• Penyakit pada jaringan ikat .
2. Konsumsi alcohol menahun .
3. Obstruksi pernafasan kronik .
4. Merokok
5. Pemakaian obat-obatan kortikosteroid .
Pathogenesis
Patogenesis osteoporosis pada hakekatnya adalah rangkaian yang terjadi
mulai dari pembentukan tulang sampai terjadi proses resorpsi tulang yang lebih
menonjol. Oleh sebab itu untuk dapat mengerti terjadi osteoporosis maka perlu
kiranya memahami struktur tulang yang normal.
Tulang normal terdiri dari komposisi yang kompak dan padat, berbentuk
bulat dan batang padat serta terdapat jaringan berongga yang diisi oleh sumsum
tulang. Tulang ini merupakan jaringan yang terus berubah secara konstan, dan
terus diperbaharui. Jaringan yang tua akan digantikan dengan jaringan tulang yang
baru. Proses ini terjadi pada permukaan tulang dan dikatakan sebagai remodelling.
Dalam remodeling ini melibatkan osteoclast sebagai perusak jaringan tulang dan
osteoblas sebagai pembentuk sel sel tulang baru. Menjelang usia tua proses
remodeling ini berubah. Aktifitas osteoclast menjadi lebih dominan dibandingkan
dengan aktifitas osteoblast sehingga menyebabkan osteoporosis. Separuh
perjalanan hidup manusia, tulang yang tua akan di resorpsi dan terbentuk serta
bertambahnya pembentukan tulang baru ( formasi ). Pada saat kanak kanak dan
menjelang dewasa, pembentukan tulang terjadi percepatan dibadingkan dengan
proses resorpsi tulang, yang mengakibatkan tulang menjadi lebih besar, berat dan
padat. Proses pembentukan tulang ini terus berlanjut dan lebih besar dibandingkan
dengan resorpsi tulang sampai mencapai titik puncak massa tulang ( peak bone
mass ), yaitu keadaan tulang sudak mencapai densitas dan kekuatan yang
maksimum. Dan Peak bone mass ini tercapai pada umumnya pada usia menjelang
30 tahun. Setelah usia 30 tahun secara perlahan proses resorpsi tulang mulai
meningkat dan melebihi prose formasi tulang. Kehilangan massa tulang terjadi
sangat cepat pada tahun tahun pertama masa menopause, dan Osteoporosispun
berkembang akibat proses resorpsi yang sangat cepat atau proses penggantian
terjadi sangat lambat. Cepat lambatnya terjadi Osteoporosis hampir sama cepat
atau tidaknya massa tulang puncak tercapai selama pembentukan tulang.
Dari gambar ini tampak perbedaan yang nyata antara tulang yang
mengalami osteoporosis. Pada dinding tulang yang kompak ( padat ) akan
mengalami penipisan yang mudak terjadi fraktur, dan paa tulang yang
beronggapun tampak terjadi ketidak sinambungan antara rongga. Tulang
merupakan jaringan yang terus hidup dan tumbuh. Tulang sendiri terdiri dari
jaringan kolagen yang lebih dominan, yang akan membentuk kerangka lunak dan
kalsium yang akan membentuk jaringan keras dan padat. Komposisi ini
menjadikan tulang dalam keadaan yang kuat dan tidak fleksibel saat mendapat
tekanan dalam posisi berdiri. Kombinasi antara kolagen dan kalsium ini sebanyak
99 % terdapat pada tulang dan gigi, sisanya terdapat pada sel darah darah.
Ditinjau secara anatomi, pada keadaan normal tulang rangka, sebanyak 25%
volume tulang anatomi yang spesifik sebagai jaringan tulang. Dan 75 %
merupakan sumsum tulang (bone marrow) dan lemak, tetapi ini sangat bervariasi
tergantung sebagaimana besar tulang skeletonnya. Pada jaring tulang yang
spesifik, hanya 60% berupa mineral tulang dan 40% merupakan jaringan organik,
berupa kolagen. Sumsum tulang mengandung stroma, jaringan mieloid, sel lemak,
pembuluh darah, sinusoid, dn beberapa jaringan limfe.
Osteoporosis adalah identik dengan kehilangan massa tulang, yaitu
kelainan tulang yang merujuk pada kelainan kekuatan tulang. Apabila kekuatan
tulang ini menurun maka merupakan faktor predisposisi terjadinya fraktur. Bone
Strength atau kekuatan tulang adalah penggambaran dari densitas tulang dan
kualitas tulang; Densitas tulang adalah jumlah mineral dalam gram per volume,
yang merupakan bagian dari kekuatan tulang sebesar 70%, sedangkan kualitas
tulang ditentukan oleh arsitektur, perubahan, akumulasi kerusakan dan
mineralisasi. Tulang terdiri atas sel dan matriks. Terdapat dua sel yang penting
pada pembentukan tulang yaitu osteoclas dan osteoblas. Osteoblas berperan pada
pembentukan tulang dan sebaliknya osteoklas pada proses resorpsi tulang. Matriks
ekstra seluler terdiri atas dua komponen, yaitu anorganik sekitar 30-40% dan
matrik inorganik yaitu garam mineral sekitar 60-70 %. Matrik inorganik yang
terpenting adalah kolagen tipe 1 ( 90%), sedangkan komponen anorganik terutama
terdiri atas kalsium dan fosfat, disamping magnesium, sitrat, khlorid dan karbonat.
Selama kehidupan proses resorpsi dan formasi tulang terus berlangsung.
Pada awalnya pembentukan tulang lebih cepat dibanding dengan resorpsi, yang
menghasilkan tulang mejadi besar, berat dan padat.
Dalam pembentukan massa tulang tersebut tulang akan mengalami
perubahan selama kehidupan melalui tiga fase: Fase pertumbuhan, fase
konsolodasi dan fase involusi. Pada fase pertumbuhan sebanyak 90% dari massa
tulang dan akan berakhir pada saat eepifisi tertutup. Sedangkan pada tahap
konsolidasi yang terjadi usia 10-15 tahun. Pada saat ini massa tulang bertambah
dan mencapai puncak ( peak bone mass ) pada umur tiga puluhan. Serta terdapat
dugaan bahwa pada fase involusi massa tulang berkurang ( bone Loss ) sebanyak
35-50 tahun.
Gambar ini memberikan suatu ilustrasi bahwa pada saat remodelling
tulang maka tampak terjadi percepatan pembetukan tulang dan pada saat terjadi
bone turn over yang tingg yaitu suatu keadan proses resopsi tulang lebih menonjol
dibandingkan dengan formasi tulang. Percepat osteoporosis tergantung dari hasil
pembentukan tulang sampai tercapainya massa tulang puncak.
Massa tulang puncak ini terjadi sepanjang awal kehidupan sampai dewasa
muda. Selama ini, tulang tidak hanya tumbuh tetapi juga menjdai solid. Pada usia
rata – rata 25 tahun tulang mencapai pembentuk massa tulang puncak. Walaupun
demikian massa puncak tulang ini secara individual sangat bervariasi dan pada
umumnya pada laki-laki lebih tinggi dibanding pada wanita. Massa puncak tulang
ini sangatlah penting, yang akan menjadi ukuran seseorang menjadi risiko
terjadonya fraktur pada kehidupannya. Apabila massa puncak tulang ini rendah
maka akan mudah terjadi fraktur, tetapi apabila tinggi maka akan terlindung dari
ancaman fraktur.
Faktor faktor yang menentukan tidak tercapainya massa tulang puncak
sampai saat ini belum dapat dimengerti sepenuhnya tetapi diduga terdapat
beberapa faktor yang berperan, yaitu genetik, intake kalsium, aktifitas fisik, dan
hormon seks. Untuk memelihara dan mempertahan massa puncak tulang adalah
dengan diet, aktifitas fisik, status reproduktif, rokok, kelebiham konsumsi alkohol,
dan beberapa obat. Secara garis besar patofisiologi osteoporosis berawal dari
Adanya massa puncak tulang yang rendah disertai adanya penurunan massa
tulang. Massa puncak tulang yang rendah ini diduga berkaitan dengan faktor
genetik, sedangkan faktor yang menyebabkan penurunan massa tulang adalah
proses ketuaan, menopause, faktor lain seperi obat obatan atau aktifitas fisik yang
kurang serta faktor genetik. Akibat massa puncak tulang yang rendah disertai
adanya penurunan massa tulang menyebabkan densitas tulang menurun yang
merupakan faktor resiko terjadinya fraktur.
Di dalam Tulang yang mengalami osteoporosis akan ditemukan struktur
padat dan rongga tulang berkurang. Penipisan dinding luar tulang lebih nyata dan
keadaan ini meningkatkan resiko fraktur. Hilangnya massa tulang juga tampak
pada tulang berongga.
Aktifitas remodeling tulang ini melibatkan faktor sistemik dan faktor
lokal. Faktor sistemik adalah Hormonal hormonal yang berkainan dengan
metabolisme tCalsium, seperti Hormon Parathiroid, Vitamin D, Calcitonin,
estrogen, androgen, hormone pertumbuhan, dan hormon tiroid. Sedangkan faktor
lokal adalah Sitokin dan faktor pertumbuhan lain.
Klasifikasi
1. Ostetoporosis primer .
Osteoporosis primer dapat timbul tanpa keadaan yang mendasar. Bisa
terjadi pada pria maupun wanita segala usia, tetapi lebih sering terjadi
pada wanita setelah menopause.
Pada osteoporosis primer terdapat 2 tipe, yaitu :
Tipe 1 . osteoporosis pasca menopause
Osteoporosis ini timbul setelah menopause sebagai akibat
rendahnya hormone estrogen. Tipe ini terjadi pada usia 51-70 tahun dan
wanita lebih banyak terkena osteoporosis daripada pria dengan ratio 6:1,
pengurangan massa tulang terutama terjadi di trabekular.
Tipe 2. Osteoporosis senilis
Osteoporosis ini terjadi pada usia diatas 70 tahun. Wanita beresiko
2 kali lebih besar daripada pria. Massa tulang berkurang di daerah kroteks
dan trabekular.
2. Osteoporosis sekunder
Osteoporosis ini terjadi karena adanya penyakit tertentu atau akibat dari
pengobatan seperti, penyakit menahun, penyakit keganasan, penggunaan
obat tertentu, kelainan endokrin dan gangguan hormone. Osteoporosis
sekunder ini lebih jarang ditemukan, hanya sekitar 5 % dari seluruh
osteoporosis.
Pemeriksaan
Laboratorium :
Pada tahap awal kejadian osteoporosis :
• Kadar Ca dan P, serta laju endap darah masih dalam batas normal.
• Kadar alkalin phospahatase darah masih normal , kecuali bila sudah terjadi
patah tulang .
• Alkalin phosphatase sedikit lebih tinggi dari kadar normal.
• Kadar zat kapur (Ca) dan pospat ,serta PTH ( Para Thyroid Hormone )
dalam darah biasanya normal.
Rontgen :
Terlihat berkurangnya kepadatan tulang dan menghilangnya susunan trabikula.
Bila terjadi patah tulang punggung, tampak gambaran balon-balon di sela-sela
ruang tulang punggung daerah pinggang.
Lapisan keras tulang ( korteks ) dari tulang panjang tampak menipis, yang juga
sebagai akibat dari peningkatan aktivitas penyerapan tulang pada penyakit
osteoporosis. Sedangkan lapisan keras bagian luar tulang ( periosteum ) kelihatan
lebih halus pada gambaran rontgen.
Pada osteoporosis sekunder, karena adanya gangguan hormone kortikosteroid,
gambaran rontgen tulang tengkorak seperti bening karena tipisnya ( radio
luscent ).
Densitometry :
Dibandingkan kedua pemeriksaan diatas, densitometry merupakan pemeriksaan
yang paling akurat karena yang diukur adalah massa tulang. Prinsip pemeriksaan
densitometry dapat dilihat dari gambaran dibawah ini :
Pada pengukuran dengan alat Densitometry, pasien akan diukur BMDnya. BMD
adalah ukuran kepadatan tulang. Angka BMD -1 sampai positif termasuk Normal.
Jika angka BMD -1s.d-2,5 termasuk Osteopenia. Dan jika angka BMD dibawah
-2,5 termasuk Osteoporosis. Dari pengukuran BMD ini kita bisa mengantisipasi
untuk hal-hal yang lebih parah .
2.3 XEROSTOMIA
Xerostomia : mulut kering akibat produksi kelenjar ludah yang berkurang.
Gangguan produksi kelenjar ludah tersebut dapat diakibatkan oleh gangguan /
penyakit pada pusat ludah, syaraf pembawa rangsang ludah ataupun oleh
perubahan komposisi faali elektrolit ludah. Gangguan tersebut diatas dapat terjadi
oleh karena rasa takut / cemas, depresi, tumor otak, obat-obatan tertentu, penyakit
kencing manis, penyakit ginjal dan penyakit radang selaput otak.Keluhan mulut
kering dapat terjadi akut atau kronis, sementara atau permanen dan kurang atau
agak sempurna. Dalam bentuk apa keluhan mulut kering timbul, tergantung dari
penyebabmya. Banyak faktor yang dapat menyebabkan mulut kering.
Penyebab mulut kering diantaranya :
• radiasi pada daerah leher dan kepala,
• Sjogren sindrom,
• Penyakit-penyakit sistemik,
• Efek samping obat-obatan,
• Gangguan !okal pada kelenjar saliva,
• Demam, diare, diabetes, gagal ginjal
• Berolahraga, stress
• Bernafas melalui mulut
• Kelainan syaraf
• Stress dan juga usia.
Mulut kering juga dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Keadaan-
keadaan fisiologis seperti berolahraga, berbicara terlalu lama, bernafas melalui
mulut, stress dapat menyebabkan keluhan mulut kering (Haskell dan
Gayford,1990; Sonis dkk,1995). Penyebab yang paling penting diketahui adalah
adanya gangguan pada kelenjar saliva yang dapat menyebabkan penurunan
produksi saliva, seperti radiasi pada daerah leher dan kepala, penyakit lokal pada
kelenjar saliva dan lain-lain (AISaif, 1991; Haskell dan Gayford, 1990; Glass
dkk,1984; Amerongan, 1991; Sonis dkk,1995).
Radiasi Dada daerah leher dan kepala.
Terapi radiasi pada daerah leher dan kepala untuk perawatan kanker telah
terbukti dapat mengakibatkan rusaknya struktur kelenjar saliva dengan berbagai
derajat kerusakan pada kelenjar saliva yang terkena radioterapi. Hal ini
ditunjukkan dengan berkurangnya volume saliva (AI-Saif, 1991; Glass dkk,1980;
Amerongan, 1991; Sonis dkk,1995). Jumlah dan keparahan kerusakan jaringan
kelenjar saliva tergantung pada dosis dan lamanya penyinaran (tabel 2)
(Amerongan, 1991). Gangguan pada kelenjar saliva ada beberapa penyakit lokal
tertentu yang mempengaruhi kelenjar saliva dan menyebabkan berkurangnya
aliran saliva. Sialodenitis kronis lebih umum mempengaruhi kelenjar
submandibula dan parotis. Penyakit ini menyebabkan degenerasi dari sel asini dan
penyumbatan duktus (AI-Sa if, 1991). Kista-kista dan tumor kelenjar saliva, baik
yang jinak maupun ganas dapat menyebabkan penekanan pada struktur-struktur
duktus dari kelenjar saliva dan dengan demikian mempengaruhi sekresi saliva
(AI-Sa if, 1991; Kidd dan Bechal,1992). Sindrom Sjogren merupakan penyakit
autoimun jaringan ikat yang dapat mempengaruhi kelenjar airmata dan kelenjar
saliva. Sel-sel asini kelenjar saliva rusak karena infiltrasi limfosit sehingga
sekresinya berkurang (AI-Saif, 1991; Kidd dan Bechal,1992; Haskell dan
Gayford,1990; Sonis dkk, 1995)
Kesehatan umum yang terganggu.
Pada orang-orang yang menderita penyakit-penyakit yang menimbulkan
dehidrasi seperti demam, diare yang terlalu lama,diabetes, gagal ginjal kronis dan
keadaan sistemik lainnya dapat mengalami pengurangan aliran saliva (AI-
Saif,1991; Amerongan, 1991). Hal ini disebabkan karena adanya gangguan dalam
pengaturan air dan elektralit, yang diikuti dengan terjadinya keseimbangan air
yang negatif yang menyebabkan turunnya sekresi saliva (Amerongan, 1991).
Pada penderita diabetes, berkurangnya saliva drpengaruhi oleh factor
angiopati dan neuropati diabetik, perubahan pada kelenjar parotis dan karena
poliuria yang berat (Scully dan Cawsan,1993; Sidabutar dkk 1992) Penderita
gagal ginjal kronis terjadi penurunan output. Untuk menjaga agar keseimbangan
cairan tetap terjaga pertu intake cairan dibatasr. Pembatasan intake cairan akan
menyebabkan menurunnya aliran saliva dan saliva menjadi kental (Scully dan
Cawson,1993; Sidabutar dkk,1992).
Penyakit-penyakit infeksi pernafasan biasanya menyebabkan mulut terasa
kering. Pada rnfeksi pemafasan bagian atas, penyumbatan hidung yang terjadi
menyebabkan penderita bernafas melalui mulut (Haskell dan Gayford,1990).
Penqqunaan obat-obatan.
Banyak sekali obat yang mempengaruhr sekresi saliva.
Obat-obatan yang menyebabkan mulut kering (Kidd dan Bechal,1992;
Amerongan, 1991; Glass dkk,1984)
© Analgesic mixtures Cold medications
© Anticonvulsants Diuretics
© Antiemetics Decongentans
© Antihistamins Expectorants
© Antihypertensives Muscle relaxants
© Antinauseants Psycho tropics drugs
© Antiparkinsons Sedatives
© Antipruritics Antispasmodics
. Obat-obat tersebut mempengaruhi aliran saliva dengan meniru aksi system
syaraf autonom atau dengan secara langsung beraksi pada proses seluler yang
diperlukan untuk salivasi. Obat-obatan juga dapat secara tidak langsung
mempengaruhi saliva dengan mengubah keseimbangan cairan dan elektrolit atau
dengan mempengaruhi aliran darah ke kelenjar (AI-Sa if: 1991).
. Keadaan fisiologis.
Tingkat aliran saliva biasanya dipengaruhi oleh keadaan-keadaan
fisiologis. Pada saat berolahraga, berbicara yang lama dapat menyebabkan
berkurangnya aliran saliva sehingga mulut terasa kering (AI-Saif,1991; Haskell
dan Gayford,1990). Bernafas melalui mulut juga akan memberikan pengaruh
mulut kering (Haskell dan Gayford,1990; Sonis dkk,1995) Gangguan emosionil,
seperti stress, putus asa dan rasa takut dapat menyebabkan mulut kering. Hal ini
disebabkan keadaan emosionil tersebut Merangsan terjadinya pengaruh simpatik
dari sistem syaraf autonom dan menghalangi sistem parasimpatik yang
menyebabkan turunnya sekresi saliva(Haskell dan Gayford,1990).
Usia.
Keluhan mulut kering sering ditemukan pada usia lanjut. Keadaan ini
disebabkan oleh adanya perubahan atropi pada kelenjar saliva sesuai dengan
pertambahan umur yang akan menurunkan produksi saliva dan mengubah
komposisinya sedikit (Kidd dan Bechal, 1992; Sonis dkk, 1995). Seiring dengan
meningkatnya usia, terjadi proses aging. Terjadi perubahan dan kemunduran
fungsi kelenjar saliva, dimana kelenjar parenkim hilang yang digantikan oleh
jaringan lemak dan penyambung, lining sel duktus intermediate mengalami atropi.
Keadaan ini mengakibatkan pengurangan jumlah aliran saliva (Pedersen dan Loe,
1986; Sonis dkk,1995). Selain itu, penyakit- penyakit sistemis yang diderita pad a
usia lanjut dan obat-obatan yang digunakan untuk perawatan penyakit sistemis
dapat memberikan pengaruh mulut kering pada usia lanjut (Ernawati, 1997).
Keadaan-keadaan lain.
Agenesis dari kelenjar saliva sangat jarang terjadi, tetapi kadang-kadang
ada pasien yang mengalami keluhan mulut kering sejak lahir. Hasil sialograf
menunjukkan adanya cacat yang besar dari kelenjar saliva (Haskell dan Gayford,
1990). Kelainan syaraf yang diikuti gejala degenerasi, seperti skle osis multiple
akan mengakibatkan hilangnya innervasi kelenjar saliva, kerusak n pada parenkim
kelenjar dan duktus, atau kerusakan pada suplai darah kele jar saliva juga dapat
mengurangi sekresi saliva (AI-Saif,1991). Belakangan telah dilaporkan bahwa
pasien-pasien AIDS juga mengalami mulut kering, sebab terapi radiasi untuk
mengurangi ketidaknyamaan pada sarkoma kaposi intra oral dapat m nyebabkan
disfungsi kelenjar saliva (AI- Sa if, 1991).
Dampak dari xerostomia
Produksi saliva yang berkurang selalui disertai dengan perubahan dalam
komposisi saliva yang mengakibatkan sebagian besar fungsi saliva tidak dapat
berjalan dengan lancar. Hal ini mengakibatkan timbulnya beberapa keluhan pada
penderita mulut kering.
Akibat keluhan mulut kering (AI-Saif, 1991; Amerongan,
1991; Kidd dan Bechal, 1992; Sonis dkk,1995).
• Mukosa mulut kering, mudah teriritasi
• Sukar berbicara
• Sukar mengunyah dan menelan
• Persoalan dengan protesa
• Penimbunan lendir Rasa seperti terbakar
• Gangguan pengecapan
• Perubahan jaringan lunak
• Pergeseran dalam mikroflora mulut
• Karies gigi meningkat
• Radang periodonsium
• Halitosis
• Kepekaan terhadap rasa berkurang,
• Kesukaran dalam memakai gigi palsu,
• Mulut terasa seperti terbakar dan sebagainya.
Mengingat pentingnya peranan saliva dan akibat yang ditimbulkan oleh
karena berkurangnya aliran saliva, maka perlu diupayakan penanggulangan
terhadap pasien-pasien dengan keluhan mulut kering.
Berkurangnya saliva menyebabkan mengeringnya selaput lendir, mukosa
mulut menjadi kering, mudah mengalami iritasi dan infeksi. Keadaan ini
disebabkan oleh karena tidak adanya daya lubrikasi infeksi dan proteksi dari
saliva (Amerongan, 1991; Kidd dan Bechal, 1992). Proses pengunyahan dan
penelanan, apalagi makanan yang membutuhkan pengunyahan yang banyak dan
makanan kering dan kental akan sulit dilakukan. Rasa pengecapan dan proses
bicara juga akan terganggu (Kidd dan Bechal,1992; Amerongan,1991; Son is dkk,
1995).Kekeringan pada mu ut menyebabkan fungsi pembersih dari
salivaberkurang, sehingga terjadi radang yang kronis dari selaput lendir yang
disertai keluhan mulut terasa seperti terbakar (Wall, 1990). Pada penderita yang m
makai gigi palsu, akan timbul masalah dalam hal toleransi terhadap gigi palsu.
Mukosa yang kering menyebabkan pemakaian gigi palsu tidak menyenangkan,
karena gagal untuk membentuk selapis tipis mucus untuk tempat gigi palsu
melayang pada permukaannya (Haskell dan Gayford,1990). Selain itu karena
turunnya tegangan permukaan antara mukosa yang kering dengan permukaan gigi
palsu (Kidd den Bechal,1992). Susunan mikroflora ulut mengalami perubahan,
dimana mikro organism kariogenik seperti str ptokokus mutans, laktobacillus den
candida meningkat. Selain. itu, fungsi bakteriostase dari saliva berkurang.
Akibatnya pasien yang menderita mulut kering akan mengalami peningkatan
proses karies gigi, infeksi candida dan gingivitis (Amerongan,1991; Kidd dan
Bechai,1992; Sonis dkk,1995).
TASTE DISOSDER
Sudah merupakan hukum alam bahwa setiap makhluk di dunia ini akan
mengalami proses menua. Pada manusia proses menua itu sebenarnya telah terjadi
sejak manusia dilahirkan dan berlangsung terus sampai mati. Proses menua dapat
menimbulkan keluhan atau kelainan, baik itu pada jaringan keras ataupun jaringan
lunak rongga mulut. Ketika bertambah tua, dengan menurunnya nafsu makan,
dapat dipahami bahwa golongan usia lanjut merupakan kelompok yang rentan
terhadap penyakit dan cacat karena perubahan organobiologik tubuh akibat proses
degeneratif alamiah. Menurunnya fungsi faali serta parameter metabolisme seiring
dengan meningkatnya usia akan mengganggu penggunaan zat gizi (Axell, 1992;
Murjiah dan Dinarto. 2002).
Proses menua merupakan proses yang terjadi di dalam tubuh yang berjalan
perlahan-lahan tapi pasti, pada proses menua terjadi penurunan fungsi tubuh
secara berangsur-angsur dan akhirnya menjadi manusia dengan usia lanjut
(Wasjudi, 2000) Proses menua dapat menimbulkan keluhan atau kelainan, baik
pada jaringan keras ataupun jaringan lunak rongga mulut. Ketika bertambah tua,
di tambah dengan menurunnya nafsu makan, maka dapat dipahami bahwa
golongan usia lanjut merupakan kelompok yang rentan terhadap penyakit dan
cacat karena terjadinya perubahan organobiologik tubuh akibat proses degeneratif
alamiah. Menurunnya fungsi faali serta parameter metabolisme seiring dengan
meningkatnya usia akan mengganggu penggunaan zat gizi (Axell, 1992; Murjiah
dan Dinarto. 2002).
Biasanya orang tua mengeluh tidak adanya rasa makanan. Keluhan ini
dapat disebabkan karena dengan bertambahnya usia mempengaruhi kepekaan rasa
akibat berkurangnya jumlah pengecap pada lidah, kehilangan unsur-unsur reseptor
pengecap juga dapat mengurangi fungsional yang dapat mempengaruhi turunnya
sensasi rasa, perubahan ini harus diingat orang tua mengenai berkurangnya
kenikmatan pada saat makan (Papas AS et al., 1991).
Pengecap merupakan fungsi utama taste buds dalam rongga mulut, namun
indera pembau juga sangat berperan pada persepsi pengecap. Selain itu, tekstur
makanan seperti yang dideteksi oleh indera pengecap taktil dari rongga mulut dan
keberadaan elemen dalam makanan seperti merica, yang merangsang ujung saraf
nyeri, juga berperan pada pengecap.
Indera pengecap kurang lebih terdiri dari 50 sel epitel yang termodifikasi,
beberapa di antaranya disebut sel sustentakular dan lainnya disebut sel pengecap.
Sel pengecap terus menerus digantikan melalui pembelahan mitosis dari sel
disekitarnya, sehingga beberapa diantaranya adalah sel muda dan lainnya adalah
sel matang yang terletakke arah bagian tengah indera dan akan segera terurai dan
larut (Guyton, 1997).
Lidah mempunyai lapisan mukosa yang menutupi bagian atas lidah, dan
permukaannya tidak rata karena ada tonjolan-tonjolan yang disebut dengan
papilla, pada papilla ini terdapat reseptor untuk membedakan rasa makanan.
Apabila pada bagian lidah tersebut tidak terdapat papilla lidah menjadi tidak
sensitif terhadap rasa (Lynch et al., 1994; Ganong, 1998; Budi, . 2004).
Sel reseptor pengecap adalah sel epitel termodifikasi dengan banyak
lipatan permukaan atau mikrovili, sedikit menonjol melalui poripori pengecap
untuk meningkatkan luas permukaan sel yang terpajan dalam mulut. Membran
plasma mikrovili mengandung reseptor yang berikatan secara selektif dengan
molekul zat kimia. Hanya zat kimia dalam larutan atau zat padat yang telah larut
dalam air liur yang dapat berikatan dengan sel reseptor (Amerongen, 1991).
Sensasi rasa pengecap timbul akibat deteksi zat kimia oleh resepor khusus
di ujung sel pengecap (taste buds) yang terdapat di permukaan lidah dan palatum
molle. Sel pengecap tetap mengalami perubahan pada pertumbuhan, mati dan
regenerasi (Budi, . 2004; Boron , . 2005).
Sel pengecap mengalami perubahan pada pertumbuhan, mati dan
regenerasi. Proses ini bergantung dari pengaruh saraf sensoris karena jika saraf
tersebut dipotong maka akan terjadi degenerasi pada pengecap. Taste buds yang
dilayani oleh serat saraf sensoris adalah taste buds pada 2/3 lidah bagian anterior
(papilla filiformis dan sebagian papilla fungiformis) dilayani oleh chorda tympani
cabang dari N. Facialis (N.VII) (Ganong, 1998; Boron, 2005).
Gambar Lidah dan Pembagian Papilla
Keterangan papilla pada lidah:
1. Pp. fungiformis : 2/3 anterior lidah
2. Pp. circumvalata : post.lidah, depan sulkus
terminalis
3. Pp. foliata : post-lateral lidah
Masing-masing papilla pengecap dipersarafi 50 serat saraf dan setiap serat
saraf menerima masukan dari rata-rata 5 papilla pengecap. Papilla circumvalata
yang lebih besar masing-masing mengandung sampai 100 papilla pengecap,
biasanya terletak di sisi papilla, tetapi karena terbatasnya data maka disebutkan
ada sekitar 200-250 taste buds per papilla circumvalata pada setiap individu
dibawah usia 20 tahun, dan menurun hingga 200 taste buds atau kurang menjelang
maturitas, dan kurang lebih 100 taste buds menjelang usia 75 tahun. Penelitian
dengan mikroelektroda pada satu taste buds memperlihatkan bahwa setiap taste
buds biasanya hanya merespon terhadap satu dari empat rangsang kecap primer,
bila substansi pengecap berada dalam konsentrasi rendah. Pada konsentrasi tinggi,
sebagian besar taste buds dapat dirangsang oleh dua, tiga atau bahkan empat
rangsang pengecap primer dan juga oleh beberapa rangsang pengecap yang lain
yang tidak termasuk dalam kategori primer (Diah Savitri,1997; Ganong, 1998).
Pada orang usia lanjut, permukaan dorsal lidah cenderung menjadi lebih
licin karena atrofi papilla lidah. Perubahan histopatologi pada lidah menunjukkan
adanya atrofi papilla yang sering dimulai dari ujung lidah dan sisi lateral.
Beberapa peneliti melaporkan jumlah taste buds yang terdapat pada papilla
circumvalata berkurang yang menyebabkan menurunnya sensitivitas rasa (Sayuti,
1998).
Pemeriksaan Penunjang yang dilakukan untuk mendeteksi gangguan
pengecapan ialah:
1. The Drop Technique
Digunakan 4 macam rasa manis (gula pasir), pahit (kinin),
kecut/asam (lar. Asam cuka) dan asin (larutan garam).
Penderita diminta utk mengidentifikasi rasa dari bahan tes yang
diletakkan diatas lidah sambil menutup hidung.
2. Elektrogustometri
Tes pengecapan secara kuantitatif.
Mineral Zn
Salah satu perubahan yang terjadi pada air ludah penderita dengan gangguan
pengecapan adalah berkurangnya kadar Zn di dalam air ludah. Kadar Zn pada air
ludah orang dewasa berkisar 90-120 ìg/100 ml. Mineral Zn berperanan di dalam
fungsi berbagai indera seperti melihat, mencium bau dan mengecap.
Kadar Zn di dalam air ludah ditentukan oleh diet/ makanan yang dikonsumsi,
misalnya makanan yang berasal dari protein hewani mengandung banyak mineral
Zn, sedangkan sebaliknya makanan yang berasal dari protein tumbuh-tumbuhan
mengandung sedikit Zn.
Pada mereka yang menjadi vegetarian (mengkonsumsi makanan yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan) dan padamereka yang tidak nafsu makan karena gangguan
kejiwaan (anoreksia nervosa) dapat mengakibatkan kurangnya mineral Zn
sehingga hal ini perlu mendapat perhatian jika mengalami gangguan pengecapan.
HUBUNGAN MENAPOUSE DENGAN PENUAAN DAN DEGENERASI
Menopause merupakan rangkaian proses fisiologis dari tubuh dan
bukan merupakan kelainan atau keadaan patologis. Dampaknya baru disadari
setelah angka harapan hidup wanita di negara maju bertambahn panjang melebihi
enam dekade. Pada umumnya penurunan kemampuan reproduksi atau yang biasa
disebut dengan fertilitas mulai waktu usia menginjak 35 tahun dan bertambah
semakin signifikan diatas usia 40 tahunterjadi pada .
Menopause disebut juga sebagai “syndrom menghilangnya
estrogen”. Estrogen merupakan salah satu hormon yang dihasilkan oleh oleh
kelenjar gonadotropin pada wanita. Pada keadaan menopause produksi estrogen
berkurang drastis dan pada akhirnya akan terhenti sama sekali.Pada dasarnya
menopause juga terjadi pada laki-laki tetapi hanya berbeda istilah yang biasanya
disebut dengan andropause hanya saja datangnya lebih lambat dibandingkan
dengan wanita. Kedua keadaan ini biasa disebut sebagai gonadopause.
Pada tiga sampai empat tahun pra-menopause terjadi perubahan
hormonal yaitu peningkatan produksi FSH sedangkan inhibin dan estrogen
mengalami penurunan. Lamanya masa menstruasi semakin pendek seiring dengan
bertambah singkat pula fase folikuler dalam siklus mestruasi wanita. Usia
penderita menopause bervariasi tergantung pada banyak faktor. Misalnya,
gambaran usia menopause seorang ibu mampu menggambarkan pula kapan
seorang anak akan mengalami menopause dan pada perokok cenderung
mengalami menopause lebih awal dibandingakan yang tidak merokok.
Pada masa menopause produksi dari estrogen terhenti sedangkan
androgen masih tetap diproduksi meskipun dalam jumlah yang kecil. Wanita
pasca menopause tidak selalu menderita defisiensi estrogen. Organ dan jaringan
tubuh kita yaitu hati, ginjal dan lemak dapat memproduksi suatu enzim yang
disebut dengan aromatase. Fungsi dari enzim ini adalah mengubah androgen yang
masih diproduksi oleh tubuh menjadi estrogen jenis estron. Oleh karena itu pada
wanita penderita obesitas defisiensi estrogen jarang terjadi. Akan tetapi estron
termasuk estrogen yang lemah sehingga meskipun jumlahnya cukup banyak tetap
tidak mampu menghindari timbulya kelainan-kelainan yang disebabkan oleh
syndrom berkurangnya estrogen dari dalam tubuh sepertihot flashes, osteoporosis
dan gangguan pada sistem kardiofaskular. Selain itu, produksi estron yang
berlebihan pada wanita obesitas tanpa disertai produksi dari progesteron seperti
pada fase ovulasi dalam siklus menstruasi akan menyebabkan resiko hiperplasi
dan kanker endometrium.
Terapi dengan menggunakan estrogen dan 38rogesterone pengganti
masih menjadi perdebatan dari para ahli.
BAB III. PENUTUP
KESIMPULAN
1. Pada skenario didapatka adanya 2 degenerasi yaitu degenerasi jaringan
lunak dan degenerasi jaringan keras.
- Degenerasi jaringan lunak misalnya degenerasi pulpa
- Degenerasi jaringan keras misalnya degenerasi sendi
Faktor etiologi dari degeneras: usia, kapasitas kekuatan jaringan tersebut,
penurunan kekuatan jaringan. Pada umumnya pathogenesis degenerasi lunak
maupun keras merupakan akibat dari penurunan usia dan ini mengakibatkan
penimbunan sel dan lipid sehingga terjadi secara bertahap.
2. Osteoporosis merupakan suatu penyakit dimana massa tulang menjadi
rapuh dan berkurang (matriks penyusunnya).
Etiologi : usia dan penyakit sistemik dll
Pathogenesis terjadi osteoporosis ada 4 tahap :
a. Kadar Ca dan P, serta laju endap darah masih dalam batas normal.
b. Kadar alkalin phosphate darah masih normal kecuali bila sudah terjadi
patah tulang
c. Alkalin phosphate lebih tinggi dari kadar normal
d. Kadar zat kapur (Ca) dan pospat, serta PTH (para thyroid hormone) dalam
darah biasanya normal.
Pemeriksaan bisa dilakukan dengan rontgenologis maupun laboratorium
Gejala klinis: sering capek dan daya tahan tubuh berkurang, dan nyeri pada
tulang
Klasifikasi osteoporosis:
a. Osteoporosis primer
b. Osteoporosis sekunder
c. Osteoporosis pada usia anak anak
d. Osteoporosis pada usia muda
3. Xerostomia merupakan suatu penyakit dimana terdapat kekeringan saliva
dalam rongga mulut.
Etiologi xerostomia : usia, sinar radiasi (pada kepala dan leher), obat obatan,
stress dll
Pathogenesis dari xerostomia dijelaskan sesuai dengan etiologi xerostomia
misalnya saja pada usia semakin tua usia seseorang maka daya tahan aliran
saliva yang berasal dari kelenjar saliva dan duktusnya mengalami
kemunduruan, obat obatan juga merangsang saraf otonom yang dapat
menyebabkan aliran saliva berkurang.
Gejala klinis : terdapat karies, ada sensasi terbakar, terdapat manifestasi oral
candida, taste disosder dll.
Pemerikasaannya bisa menggunakan sialograf dan pemeriksaan palpasi dan
penentuan vsikositas komposisi dari saliva.
4. Taste disosder : Sensasi rasa pengecap timbul akibat deteksi zat kimia oleh
resepor khusus di ujung sel pengecap (taste buds) yang terdapat di permukaan
lidah dan palatum molle. Sel pengecap tetap mengalami perubahan pada
pertumbuhan, mati dan regenerasi.
5. Menopause disebut juga sebagai “syndrom menghilangnya estrogen”.
Estrogen merupakan salah satu hormon yang dihasilkan oleh oleh kelenjar
gonadotropin pada wanita. Pada keadaan menopause produksi estrogen
berkurang drastis dan pada akhirnya akan terhenti sama sekali.Pada dasarnya
menopause juga terjadi pada laki-laki tetapi hanya berbeda istilah yang
biasanya disebut dengan andropause hanya saja datangnya lebih lambat
dibandingkan dengan wanita. Kedua keadaan ini biasa disebut sebagai
gonadopause.
DAFTAR PUSTAKA
Axell T. 1992. The oral mucosa as mirror of general health or disease. Scand. J. Dent. Res. p. 9
Guyton AC, Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Irawati S. Ed. ke-9. Penerbit EGC. Jakarta. hlm. 841-3.
Lynch MA, Brightman VJ, Greenberg MS. 1994. Ilmu Penyakit Mulut: Diagnosis dan Terapi. Alih bahasa: Sianita K. Jilid 1. Ed. ke-8. Percetakan Binarupa Aksara. Jakarta. hlm. 513, 518-19.
Murjiah Dinarto. 2002. Nutrisi pada Usia Lanjut. Dalam buku: Pegangan penatalaksanaan Nutrisi Pasien. Soemilah S, et al. Perhimpunan Dokter Gizi Medik Indonesia. Jakarta. hlm. 51-52
Papas AS, Niessen LC, Chauncey HH. 1991. Geriatric Dentistry, Aging and Oral Health. Mosby – Year Book. America. p. 19.
Sayuti Hasibuan. 1998. Keadaan-keadaan di Rongga Mulut yang Perlu Diketahui pada Usia Lanjut. Majalah Kedokteran Gigi USU. No.4.
Januari. hlm. 43.
Yatim,faisal.2003. Osteoporosis (Penyakit Kerapuhan Tulang) pada Manula. Jakarta : Pustaka Popular Obor
Haskell, R & Cayford J.J. 1991. Penyakit Mulut. Jakarta : EGC
Grossman, Louis I. 1995. Ilmu Endodonti dalam Praktek. Jakarta : EGC