72102203 Pengelolaan Bangunan Hijau Tinjauan Pada Aspek Manajemen Konstruksi Konferensi Budi Luhur
-
Upload
christina-natalia -
Category
Documents
-
view
15 -
download
1
Transcript of 72102203 Pengelolaan Bangunan Hijau Tinjauan Pada Aspek Manajemen Konstruksi Konferensi Budi Luhur
PENGELOLAAN BANGUNAN HIJAU
TINJAUAN PADA ASPEK MANAJEMEN KONSTRUKSI
Wulfram I. Ervianto Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik ,Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Jl. Babarsari No. 44 Yogyakarta 55281
Telp. (0274) 487711 Fax 0274) 487748
ABSTRAK
Isu tentang ketidakoptimalan pemanfaatan energi hangat diperbincangkan oleh berbagai kalangan.
Tertuduh pertama penyebab kerusakan lingkungan adalah para profesional bidang pembangunan yang
terdiri dari perencana dan pembangun. Sebagian beranggapan bahwa telah terjadi ketidakstabilan
lingkungan yang berakibat langsung terhadap pemanasan global, hal ini disebabkan oleh perencana
dimana hasil rancangannya cenderung merusak. Sebagai respon terhadap isu tersebut kiranya
diperlukan peninjauan kembali tata kelola berbagai proyek pembangunan fisik.
Sebagai sumber inspirasi dan penggalian informasi didasarkan pada referensi, hasil penelitian, majalah
ilmiah populer dan sumber lainnya. Media koleksi informasi digunakan jaringan internet.
Hasil dari pengkajian dari berbagai sumber adalah pola pengelolaan proyek mendatang harus dirubah
secara gradual mengarah pada pemanfaatan energi minimal dengan mengubah konsep perencanaan,
demikian juga pada tahap konstruksi yang dilakukan oleh pembangun. Setelah bangunan terwujud
dianjurkan dimunculkan pihak yang mengelola semua fasilitas bangunan dengan bekal pengetahuan
operasional yang benar. Berbeda dengan proyek jaman dahulu, pada konsep yang diusulkan ini harus
terjadi komunikasi antar pihak baik proses perencanaan, konstruksi dan operasional sehingga dapat
diyakinkan bahwa produk perencanaan mampu direalisasikan oleh pembangun dan produk pembangun
mampu dioperasikan oleh pihak yang bertanggung jawab. Integrasi dari berbagai pihak menjadi faktor
penting dalam tata kelola pembangunan.
Kata kunci : perencanaan; pembangunan; tata kelola; bangunan hemat energi
1. PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu dan teknologi dalam
pembangunan mengalami kemajuan yang pesat,
hal ini ditandai dengan semakin singkat waktu
yang dibutuhkan dalam membangun berbagai
fasilitas fisik. Tanpa mengesampingkan aspek
mutu bangunan, capaian batasan biaya
pelaksanaan pembangunanpun jarang
dilampaui. Kondisi ini tak lepas dari
ketersediaan sumberdaya yang mumpuni, baik
tenaga ahli maupun peralatan yang dibutuhkan
selama proses membangun.
Selain hal tersebut diatas, pola pengelolaan
proyekpun mengalami perubahan yang cukup
signifikan jika dibandingkan dua dekade yang
lalu, dimana pengelola proyek sebagian besar
masih menggunakan pola pengelolaan
konvensional. Saat ini, telah berkembang
berbagai cara pengelolaan yang variatif dan
diyakini lebih baik dibandingkan dengan
konvensional telah diterapkan dalam berbagai
pengelolaan proyek konstruksi.
Perkembangan konsep dalam perancangan
bangunan dalam beberapa tahun terakhir ini
sedikit demi sedikit mengalami perubahan
orientasi. Perubahan orientasi ini disikapi
dikarenakan maraknya bencana disepanjang
tahun, pada musim kemarau bencana
kekeringan muncul dan pada musin hujan
bencana banjir datang. Beberapa aspek yang
dicurigai sebagai penyebabnya adalah telah
terjadi ketidakseimbangan pada alam yang
kemungkinan disebabkan oleh aktifitas manusia
dalam menyediakan berbagai fasilitas dalam
bentuk pembangunan fisik. Cara pandang
seperti hal tersebut diatas dimana perancang
mengesampingkan aspek lingkungan disebut
dengan cara konvensional.
“Mengapa dalam membangun sebaiknya fokus
pada “green building”?. Sebuah pertanyaan
yang harus direspon oleh pengelola
pembangunan. Akhir-akhir ini, akibat aktivitas
manusia telah dirasakan seluruh makhluk hidup
dimuka bumi ini dengan ditandainya suhu
global yang meningkat, krisis energi, timbulnya
bencana yang diyakini disebabkan oleh
ketidakstabilan lingkungan sebagai akibat dari
kegiatan pembangunan.
Pemilik bangunan dapat merasakan langsung
aspek positif dari kepemilikan bangunan yang
“green” dibandingkan dengan konvensional,
yaitu : (1) rendahnya biaya operasional, sebagai
akibat efisiensi dalam pemanfaatan energi dan
air.; (2) lebih nyaman, dikarenakan suhu dan
kelembaban ruang mudah dikontrol; (3)
pembangun wajib memberikan perhatian
terhadap kelembaban, memilih material yang
sedikit mengandung bahan kimia dan sistem
sirkulasi udara yang mampu memberikan
lingkungan dalam ruang yang sehat; (4) mudah
dan murah dalam penggantian komponen
bangunan serta biaya perawatan dan perbaikan
yang relatif rendah. Pembangun harus dapat
memenuhi hasil kerjanya sesuai dengan
rancangan bangunan yang “green”, sedangkan
faktor penting lainnya adalah pemilik bangunan
harus mampu mengoperasikannya.
2. KAJIAN PUSTAKA
2.1. Pengaruh dari persyaratan “hijau”
Dalam menerapkan konsep bangunan hijau
akan mempengaruhi seluruh proses dalam
mewujudkan sebuah bangunan, termasuk
didalamnya aspek biaya, jadwal dan
produktivitas bagi kontraktor. Kadang kala
terjadi kesalahan dalam memahami bahwa
penerapan konsep bangunan hijau hanya
berpengaruh tahap disain saja dan menjadi
urusan kontraktor dalam mewujudkan disain
tersebut menjadi kenyataan. Pesyaratan
bangunan hijau akan berpengaruh terhadap
proses pengadaan kontraktor sampai dengan
penyerahan proyek tersebut. Dengan sendirinya
dengan adanya persyaratan bangunan hijau ini
akan berpengaruh terhadap cara kerja
kontraktor dan sub-kontraktor selama
pelaksanaan di lapangan. Persyaratan bangunan
hijau ini diantaranya adalah : (a) site layout, (b)
manajemen sisa konstruksi, (c) peroteksi dan
penyimpanan material bangunan, (d) kualitas
udara di lokasi proyek selama proses
konstruksi, (e) pemahaman berbagai
persyaratan bangunan hijau.
2.2. Green Poject Delivery
Bangunan hijau dapat diwujudkan melalui
berbagai cara sejak proses disain sampai dengan
penyelesaian dan akhirnya diserahkan kepada
pemilik proyek. Bangunan hijau ini akan
menjadi permasalahan utama bagi kontraktor
dalam mewujudkannya, karena dengan
sendirinya konsep ini akan berpengaruh
terhadap lingkup kerja dan risiko bagi
kontraktor. Pengelolaan ini menjadi sangat
penting bagi kontraktor dalam
mengorganisasikannya selama proses
berlangsung, dikenal dengan project delivery
system. Terdapat berbagai jenis project
delivery, namun tidak dapat ditentukan
manakah yang paling tepat diterapkan dalam
sebuah proyek mengingat karakter proyek
adalah unik.
Berbagai cara pengelolaan proyek yang
dimungkinkan adalah : (a) metoda kontrak
umum; (b) metoda kontrak terpisah; (c) metoda
kontak rancang bangun; (d) metoda swakelola;
dan (e) metoda manajemen konstruksi. Jika
dicermati lebih lanjut dari kelima metoda
kontrak tersebut dapat dibedakan menjadi
beberapa kelompok, yaitu : (a) design-bid-
build, tujuan utama dari metoda ini adalah
diperoleh biaya yang cukup rendah, proses
seleksi berbagai pihak dilakukan oleh pemilik
proyek. Metoda yang termasuk dalam
kelompok ini adalah metoda kontrak umum dan
kontrak terpisah; (b) construction management,
pemilik proyek mengadakan kontrak dengan
konsultan manajemen konstruksi, perencana
dan kontraktor, dimana setiap kontrak terpisah
satu sama lain; (c) design-build, metoda ini
hanya terdapat satu kontrak antar pemilik
proyek dengan pihak penyedia jasa yang
mempunyai kepakaran dalam perencanaan dan
pelaksanaan.
2.3. Tahapan proyek “green building”
Sistem pengelolaan proyek yang berorientasi
“green” akan berbeda dengan proyek-proyek
pada umumnya, perbedaan terjadi pada proses
perencanaan dan konstruksi dan tim proyek
harus menyadari perbedaan ini. Setelah aspek
pembiayaan proyek disetujui oleh pemilik
proyek maka proses selanjutnya seperti gambar
1 berikut (Kibert C.J., 2008) :
Sumber : Charle J. Kibert, 2008
Gambar 1 : Tahap eksekusi proyek “green”
building
Setting priorities, ketika keputusan telah
ditetapkan untuk membangun “green building”,
maka pemilik proyek harus menetapkan
prioritas utama yang hendak dicapai, misalnya
saja lebih diutamakan dalam konservasi energi
dibandingkan pemanfaatan air. Salah satu
pertimbangan dalam penetapan prioritas ini
ditentukan oleh daerah/lokasi tempat dimana
bangunan akan dibangun.
Selection of the team project, melakukan seleksi
tim proyek yang didasarkan pada kualifikasi
yang ditetapkan oleh pemilik proyek,
diantaranya adalah kualifikasi dari arsitek,
disain interior, arsitek landscape, konstruktor,
mekanikal dan elektrikal dimana semua pihak
akan bekerja bersama dalam proses
perencanaan. Selain itu, juga dipaparkan
tentang “green building” yang diinginkan oleh
pemilik proyek.
Integrated design process, agar terbentuk
kerjasama yang baik dalam tim proyek maka
dibutuhkan interaksi dan komunikasi dari
berbagai pihak yang terlibat didalamnya.
Mengingat konsep “green” ini relatif baru
dalam industri jasa kontruksi maka diharapkan
semua pihak dalam tim proyek untuk dapat
memahami tujuan utamanya yaitu : efisiensi,
keberlanjutan, sertifikasi, bangunan sehat.
Pemahaman tersebut mencakup tiga hal utama
yaitu : pertama, dapat memenuhi tujuan
utamanya untuk memberikan informasi tentang
proyek yang sesungguhnya diinginkan; kedua,
membiasakan dengan apa yang menjadi
prioritas utama dari pemilik proyek untuk
mencapai “green building”; ketiga, memberi
kesempatan kepada tim proyek dalam
menyelesaikan program yang akan dijalankan
untuk mencapai “green” building. Dalam
rancangan konvensional setiap pihak akan
memulai pekerjaannya sesuai dengan kerangka
waktu masing-masing, berbeda dengan
rancangan “green” semua pihak berkewajiban
memberi masukan sepanjang proses
perencanaan. Perbedaan yang signifikan antar
kedua konsep tersebut terletak pada tahap IDP.
Input from the wide variety of parties, tahap ini
merupakan tahap konsolidasi dari berbagai
pihak, diantaranya dari tim proyek, pemilik,
pengguna dan pihak lain yang ikut
berkontribusi dari proyek ini.
Execution of the design process, sesuai dengan
pentahapan disain, pengembangan disain,,
dokumen proyek, dokumen tentang bangunan
“green” guna mendapatkan sertifikasi, yang
dibuat dalam IDP.
Construction of the building, pada tahap ini
kontraktor harus mengimplementasikan “green”
building, meminimalisasi gangguan di lokasi
pekerjaan, melindungi hewan dan tumbuhan,
meminimalisasi sisa pembangunan dan
sebisanya mendaur ulang, menjamin bangunan
yang dihasilkan cukup sehat, melakukan
dokumentasi pada tahap konstruksi untuk
“green” building.
Final commissioning and handover to the
owner, tahap ini proyek dipindah tangankan
kepada pemilik proyek untuk selanjutnya
dimanfaatkan.
Berbeda dengan Kibert, C.J., US Green
Building Council, 1996 mengemukakan
tahapan dalam eksekusi bangunan “green”
adalah sebagai berikut :
Kegiatan dalam setiap tahapnya adalah sebagai
berikut :
Setting priorities for the
green building project
Selection of the
team project
Implementing and Integrated
Design Process (IDP)
Conduct charrette to obtain input for the
project from the wide variety of parties
Execution of the design
process
Construction of the
building
Final commisioning and
handover to the owner
Develop Green VisionEstablish Project Goals and Green Design CriteriaSet PrioritiesDevelop Building ProgramEstablish BudgetAssemble Green TeamDevelop Partnering StrategiesDevelop Project ScheduleReview Laws and StandardConduct ResearchSelect Site
PRE-DESIGN
2.4. Siklus Hidup Proyek Konstruksi
Dalam perkara disain, salah satu harapan
perancang dalam merancang bangunan adalah
kelak bangunannya dapat berfungsi dengan baik
sesuai dengan yang telah ditetapkan. Dalam
proyek konstruksi, perancang bangunan adalah
sebuah tim umumnya terdiri dari berbagai
disiplin ilmu, dimana satu sama lain saling
berkolaborasi sesuai dengan disiplin ilmu
masing-masing untuk menghasilkan karya
terbaik dari sistem sebuah bangunan. Banyak
aspek yang dipertimbangkan oleh perancang
dalam hal menetapkan sistem atau material
yang akan diaplikasikan dalam sebuah
bangunan sesuai dengan kepakaran masing-
masing, salah satunya adalah aspek umur
material yang akan mempengaruhi umur
bangunan secara keseluruhan.
Tahapan dalam siklus hidup sebuah proyek
konstruksi pada umumnya mengikuti pola
sebagai berikut : studi kelayakan, perencanaan,
pengadaan, pelaksanaan dan operasional. Pada
setiap tahap mempunyai tujuan yang berbeda
dengan tingkat akurasi yang tidak sama. Misal
pada kegiatan estimasi biaya sebuah proyek
pada tahap studi kelayakan akan berbeda
dengan tahap perencanaan, tahap pengadaan,
tahap pelaksanaan dan tahap operasional.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jika
pemilik proyek hendak mendapatkan hasil yang
maksimal maka sebaiknya mengikuti pola yang
umum digunakan. Sedangkan apabila salah satu
tahap diabaikan dengan tujuan
menyederhanakan proses membangun maka
posibilitas terjadinya ketidaksesuaian akan
semakin besar dan potensi terjadinya konflik
akan semakin tinggi.
Gambar 2 : Siklus hidup dipandang sebagai
sistem
2.5. Sistem Pengelolaan Konvensional
Pada umumnya pengelolaan proyek diawali
dengan proses perencanaan yang dilakukan oleh
konsultan, dimana keanggotaannya terdiri dari
berbagai disiplin ilmu. Arsitek mengawali
proses perencanaan dengan produk yang
dihasilkan berupa gambar rencana dan
dilengkapi dengan spesifikasi bahan yang akan
digunakan. Proses berikutnya adalah
menetapkan dimensi struktur bangunan yang
dilakukan oleh konstruktor bangunan. Pada saat
yang bersamaan disiplin ilmu lain juga
melakukan perencanaan sesuai dengan keahlian
masing-masing, misal : mekanikal elektrikal,
plumbing dan lainnya. Setelah seluruh proses
perencanaan diselesaikan maka akan
dilanjutkan dengan proses berikutnya yaitu
pengadaan kontraktor, diikuti dengan
pengadaan subkontraktor dan pemasok berbagai
jenis kebutuhan. Dengan adanya berbagai pihak
yang berperan dalam proyek sekaligus proses
konstruksi dijalankan dan pada akhirnya
bangunan tersebut dimanfaatkan oleh
penggunanya.
2.6. Sistem Pengelolaan “Green”
“Green construction” hanya akan terjadi
manakala dipersyaratkan dalam dokumen
kontrak. Kontraktor dalam membangun sebuah
bangunan terfokus pada pemenuhan apa yang
dipersyaratkan dalam rencana proyek dan
spesifikasi, dalam hal ini kontraktor lebih
bersifat pasif. Posisi kontraktor dalam sistem
pengelolaan proyek menjadi sangat tidak
menguntungkan untuk menjadi pihak yang aktif
STUDI KELAYAKAN PERILAKU PENGGUNAOPERASIONALPELAKSANAANPENGADAANPERENCANAAN
masukan
perencanaan
Confirm Green Design CriteriaDevelop Green SolutionTest Green SolutionSelect Green SolutionCheck Cost
Refine Green SolutionDevelop, Test, Select Green SolutionCheck Cost
Document Green Materials and SystemCheck Cost
DESIGN
CONSTRUCTIONDOCUMENT
DESIGNDEVELOPMENT
SCHEMATICDESIGN
Clarify Green SolutionEstablish CostSign Contract
BID
Review Sustitutions and Submittals for Green ProductReview Materials Test DataBuild ProjectCommision the System. Testing. Operations and Maintenance Manuals. Training
CONSTRUCTION
Re-Commision the SystemsPerform MaintenanceConduct Post OccupancyEvaluation
OCCUPANCY
dalam mewujudkan “green construction”.
Kontraktor sebagai pihak yang mempunyai
tanggung jawab sosial dalam menjalankan
profesinya akan berpartisipasi aktif dalam
mewujudkan “green construction” dengan
beberapa alasan (Glavinich T.E., 2008) : (1)
pengguna jasa mensyaratkan penyedia
jasa/pemasok berorientasi terhadap lingkungan
dan menyediakan semua material dan jasa yang
ramah terhadap lingkungan, termasuk
didalamnya kontraktor yang proaktif terhadap
lingkungan.; (2) Kontraktor yang ada di
lapangan termasuk seluruh karyawannya
mempunyai komitmen terhadap lingkungan dan
mengutamakan cara bekerja yang ramah
terhadap lingkungan, sehingga mampu
memberikan kontribusi dalam mencari solusi
bukan malah menjadi sumber masalah; (3)
Kontraktor bertanggung jawab atas pemenuhan
undang-undang lingkungan dan regulasi yang
ditetapkan; (4) meningkatnya overhead cost
sebagai usaha untuk pemenuhan undang-
undang tentang lingkungan serta regulasi yang
ditetapkan dengan cara mengalihkan risiko
kepada pihak ketiga/pihak asuransi; (5)
meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap
lingkungan akan menyebabkan pemerintah
menetapkan regulasi yang semakin ketat
terhadap seluruh industri termasuk jasa
konstruksi yang tidak proaktif terhadap
lingkungan.
2.7. Pengertian “Green construction”
“Green construction” dapat didefinisikan
(Glavinich T.E., 2008):
Green construction is a planning and managing
a construction project in accordance with the
contract document in order to minimize the
impact of the construction process on the
environment.
Dalam definisi tersebut menempatkan
kontraktor untuk berperan proaktif peduli
terhadap lingkungan, serta selalu meningkatkan
efisiensi dalam proses konstruksi, konservasi
energi, efisiensi pemanfaatan air, dan
sumberdaya lainnya selama masa konstruksi
serta meminimalisasi material sisa konstruksi.
Tujuan dari sustainable construction adalah
(Conceil International du Batiment, 1994) :
“ creating and operating a healty build
environment based on resource efficiency and
ecological design”
2.8. “Green Construction” Tanpa “Green
Design”
Jika pemilik proyek menghendaki bangunan
yang ramah lingkungan maka sejak tahap awal
tim perencana bangunan sudah harus
mengimplementasikan konsep-konsep “green
building” dalam perencanaannya. Terlepas
apakah kontraktor terlibat dalam proses
perencanaan atau tidak tetapi tujuan utamanya
adalah merealisasikan bangunan sesuai dengan
keinginan pemilik proyek dalam batasan waktu
dan biaya. Keahlian kontraktor dalam
perencanaan pelaksanaan dan pengaturan
selama proses konstruksi termasuk proses
pengadaan material, tenaga kerja dan peralatan
dalam usaha menyelesaikan seluruh pekerjaan,
terlepas dikerjakan sendiri atau oleh pihak
ketiga pada pekerjaan yang spesifik. Kontraktor
tetap harus bertanggung jawab selama proses
konstruksi berlangsung dan bertindak proaktif
peduli terhadap lingkungan dan tetap
berorientasi pada “green construction” tanpa
melihat perencanaan yang “green” atau tidak.
2.9. Kontraktor “Green”
Menjadi kontraktor “green” dalam menjalankan
profesinya harus ditumbuhkan dan ditanamkan
menjadi bagian dalam budaya perusahaan.
Fokus dari kontraktor “green” tidak hanya
terkonsentrasi pada kegiatan di lapangan dalam
merealisasikan fisik bangunan saja, namun juga
harus ditumbuhkan dalam lingkungan kantor,
misalnya melakukan recycled kertas bekas
fotocopy, penggunaan lampu hemat energi,
penggunaan sensor, penggunaan alat
perkantoran hemat energi. Termasuk dalam
pemilihan kendaraanpun tetap berorientasi pada
konsumsi energi jika hendak menjadi
kontraktor “green”.
3. METODOLOGI
Untuk mendapatkan sistem pengelolaan yang
berpotensi diterapkan dalam pengelolaan
bangunan hijau dilakukan pengkajian secara
mendalam terhadap semua delivery system
4. HASIL DAN DISKUSI
Dari proses pengkajian dapat dilihat bahwa
beberapa delivery sistem yang berpotensi
diaplikasikan dalam bangunan “green” adalah:
(1) metoda rancang bangun; (2) metoda
swakelola; (3) metoda manajemen konstruksi.
Metoda rancang bangun, hampir semua aspek
kegiatan dalam bangunan “green” dapat
diakomodasi oleh metoda ini. Keterlibatan
perencana/pelaksana dimulai sejak terjadinya
kontrak yaitu setelah pengguna jasa
memformulasi bangunan “green” kedalam
dokumen Kerangka Acuan Kerja. Berdasarkan
dokumen tersebut perencana/pelaksana dapat
menjalankan kewajiban sebagai profesinya
untuk merealisasikan bangunan “green”.
Perencana/pelaksana dalam metoda ini berada
dalam satu payung perusahaan mempunyai
posibilitas yang tinggi untuk berinteraksi antara
ranah perencanaan dan pelaksanaan. Hal ini
merupakan salah satu faktor kunci dalam
mengimplementasikan konsep bangunan
“green”, seperti tahap IDP yang dikemukakan
oleh Charle J. Kibert, 2008. Berbeda dengan
US Green Building Council, 1996,
dikemukakan bahwa tiap pihak dalam siklus
hidup proyek dapat berdiri berdiri sendiri
namun disyaratkan tetap memberikan
kontribusi dalam setiap pentahapan bangunan
“green”. Hal ini akan sedikit merepotkan
manakala perencana telah ditetapkan namun
pelaksana belum ditetapkan, sehingga kecil
posibilitas terjadinya interaksi antar keduanya.
Metoda swakelola, dalam metoda ini tidak
terjadi kontrak antara pengguna jasa dengan
penyedia jasa. Metoda ini tepat diterapkan
untuk proyek yang bersifat sederhana dan
tingkat kesulitannya tidak tinggi. Karakter
metoda ini adalah semua pihak berada dalam
satu payung organisasi sehingga posibilitasnya
cukup tinggi dalam merealisasikan bangunan
“green”. Persyaratan utama yang perlu
dipenuhi adalah tersedianya tenaga ahli yang
kompeten dalam berbagai disiplin ilmu.
Metoda Manajemen Konstruksi, berbeda
dengan dua metoda terdahulu, metoda ini lebih
difokuskan adanya pihak yang mempunyai
kewajiban utama mengelola seluruh proses
dalam sebuah proyek. Manajemen konstruksi
merupakan representasi dari pengguna jasa
yang didasarkan pada hubungan kontraktual.
Sukses dan tidaknya sebuah proyek sangat
ditentukan oleh tingkat kepakaran konsultan
manajemen konstruksi. Sedangkan proses
selanjutnya dapat mengikuti satu dari berbagai
delivery system yang ada.
5. KESIMPULAN
Berdasarkan paparan dari tiga delivery system
yang berpotensi untuk diimplementasikan
dalam bangunan “green”, dapat disimpulkan
bahwa sistem yang dianggap baik untuk
mengelola proyek bangunan “green” adalah
rancang bangun namun dilakukan penyesuaian
agar terjadi sinkronisasi dengan konsep
bangunan “green”. Tidak menutup
kemungkinan penggabungan antara sistim
rancang-bangun dengan manajemen konstruksi
dirasakan menghasikan kinerja yang baik.
Bentuk struktur keterkaitan satu sama lain
dalam menghasilkan bangunan “green” seperti
pada gambar 4.
Gambar 3 : Kombinasi Manajemen Konstruksi
dengan Rancang Bangun
DAFTAR PUSTAKA
1. Glavinich T.E., 2008, Contractors Guide
to Green Building Construction :
Management, Project Delivery,
Documentation, and Risk Reduction,
John Wiley.
2. Kibert C.J., 2008, Sustainable
Construction, John Wiley & Sons,
Inc.Hoboken, New Jersey.