7. Kitab Thaharah

37

Transcript of 7. Kitab Thaharah

Judul Asli :

Al-Bayyinatul Ilmiyyah Fil Mas’alatil Fiqhiyyah

Kitabut Thaharah

Edisi Indonesia :

KKiittaabb TThhaahhaarraahh

Penyusun : Abu Hafizhah

Setting Isi : Akh. Endik S.

Desain Sampul : Akh. Dhovan Luluh W.

Cetakan Pertama : 25 Muharram 1432 H / 31 Desember 2010 M

Didistribusikan oleh :

Islamic Center Abdullah Ghanim As-Sama’il

Jl. Soekarno – Hatta No. 83

Keniten - Ponorogo

Telp. 0352-485002 / 085259552566

email : [email protected]

Dibaca dan dikoreksi kembali oleh :

Ma’had Darul Fikri Al-Islami Beringin - Kauman - Ponorogo

LEMBAR PENGESAHAN

No. 25-32/ICP/XII/2010

Bismillahir Rahmanir Rahim

Yang bertanda tangan dibawah ini Imam Tetap Masjid

Islamic Center Ponorogo menerangkan dengan sesungguhnya

bahwa buku :

Judul Asli : Al-Bayyinatul Ilmiyyah Fil Mas’alatil Fiqhiyyah

Kitabut Thaharah

Edisi Indonesia : Kitab Thaharah

Penyusun : Abu Hafizhah

Telah kami baca dan kami koreksi.

Ponorogo, 25 Muharram 1432 H / 31 Desember 2010 M

Imam Tetap Masjid Islamic Center Ponorogo

Al-Ustadz Abu Fadhl

MUQADDIMAH

Thaharah merupakan salah satu dari syarat sahnya shalat dan

merupakan salah satu keindahan Islam. Apabila lahiriah manusia sudah suci dengan air dan batinnya pun suci dengan tauhid dan iman maka ruhaninya menjadi jernih, jiwanya menjadi baik, hatinya menjadi giat dan siap untuk bermunajat kepada Rabbnya dalam kondisi yang paling baik. Badan suci, hati suci, pakaian suci dan berada di tempat yang suci. Ini adalah puncak adab (kesopanan), penghormatan dan pengagungan kepada Rabb semesta alam dengan cara melaksanakan ibadah. Karena itulah bersuci merupakan separuh iman Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Abu Malik Al-Asy'ari z berkata bahwa Rasulullah n bersabda; ”Bersuci adalah separuh iman dan 'alhamdulillah' dapat memenuhi mizan (timbangan amal).” (HR. Muslim : 223)

BAB AIR

1. Macam-macam Air Air dibagi menjadi dua :

1. Air suci Yaitu air yang tetap sifat aslinya sebagaimana ia diciptakan.

a. Air yang keluar di tanah; sungai, sumur, air laut. Berdasarkan hadits dari Abu Hurairah z Rasulullah n bersabda ketika ditanya tentang air laut, beliau menjawab; “Air laut itu suci dan mensucikan serta halal bangkainya.”

(HR. Ibnu Majah) b. Air yang turun dari langit; salju, air hujan. Allah l berfirman;

“Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikankamu dengan hujan itu” (QS. Al-Anfal : 11)

2. Air najis

Yaitu air yang telah berubah dengan sesuatu yang najis, hingga berubah salah satu sifatnya.

Catatan:

• Jika air suci yang tercampur dengan sesuatu yang suci selama tidak keluar dari keasliannya (kemutlakannya), maka air tersebut suci dan dapat digunakan untuk bersuci. Dasarnya adalah hadits Ummu Athiyyah x,,, dimana Rasulullah n bersabda kepada para wanita yang memandikan jenazah put ri beliau; “Mandikanlah ia tiga kali, lima kali atau lebih dengan air dan bidara jika menurut kalian perlu. Dan jadikan basuhan terakhir dengan kapur barus atau sedikit dengannya.” (Muttafaq ‘alaih)

• Jika air suci yang tercampur dengan sesuatu yang suci dan telah keluar dari keasliannya (kemutlakannya), maka air tersebut suci akan tetapi tidak dapat digunakan untuk bersuci.

• Air yang najis bisa menjadi suci dengan hilangnya perubahan yang ada pada air tersebut (warna, bau, dan rasanya), baik hilang dengan

sendirinya atau dengan mengurasnya atau menambahkan air kepadanya, hingga perubahannya hilang (kembali ke air biasa).

• Apabila seseorang ragu apakah air itu najis atau suci, maka dia harus yakin bahwa asal dari segala sesuatu itu adalah suci.

BAB HAL-HAL YANG NAJIS 1. Macam-macam Najis

Najis dibagi menjadi dua : 1. ‘Ainiyah

Yaitu zat-zat yang najis; seperti anjing, babi, dan sebagainya. 2. Hukmiyah

Yaitu najis yang jatuh pada tempat atau sesuatu yang suci.

2. Pembagian Najis ‘Ainiyah Najis ‘ainiyah antara lain :

1. Kencing manusia Berdasarkan hadits Anas z, ia mengatakan;

“Seseorang Badui datang kemudian kencing di suatu sudut masjid, maka orang-orang menghardiknya, lalu Nabi n melarang mereka. Ketika ia telah selesai kencing, Nabi n menyuruh untuk diambilkan setimba air lalu disiramkan di atas bekas kencing itu.”

(Muttafaq ‘alaih. HR. Bukhari : 6025, Muslim : 284) 2. Kotoran manusia

Dari Abu Hurairah z bahwa Rasulullah n bersabda; ”Apabila seseorang di antara kamu menginjak Al-Adzaa (najis) dengan sepatunya maka sebagai pencucinya ialah debu tanah.”

(HR. Abu Dawud. : 381. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban) 3. Madzi

Yaitu cairan putih (bening) encer, dan lengket, yang keluar ketika naik syahwat. Tidak menyembur, dan tidak diikuti rasa lemas, terkadang keluar tanpa terasa. Dialami oleh pria dan wanita. Madzi adalah najis, oleh karena itulah Nabi n memerintahkan untuk membasuh kemaluan darinya. Berdasarkan hadits Ali z, ia berkata; “Aku adalah laki- laki yang sering keluar madzi. Aku malu menanyakan kepada Nabi n karena kedudukan puteri beliau. Lalu aku suruh Al-Miqdad bin Al-Aswad z untuk mennyakannya. Beliau lantas bersabda, ‘Dia (harus) berwudhu.’”

(Muttafaq ‘alaih, lafadz ini menurut Bukhari)

4. Wadi Yaitu cairan bening dan agak kental yang keluar setelah kencing.

Hukum wadi sama dengan madzi. Berdasarkan hadits dari Ibnu ‘Abbas c, ia berkata; “Mani, wadi, dan madzi. Adapun mani, maka ia wajib mandi. Sedangkan untuk wadi dan madzi, beliau n bersabda, ‘Basuhlah dzakar atau kemaluanmu dan wudhulah sebagaimana engkau berwudhu’ untuk shalat.’” (HR. Abu Dawud, Al-Baihaqi I/115) 5. Darah haidh

Diriwayatkan dari ‘Asma’ binti Abu Bakar x, ia berkata; “Seorang wanita datang kepada Nabi n, lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah n, pakaian salah seorang dari kami terkena haidh, apa yang harus kami perbuat? Rasulullah n menjawab; ”Ia harus mengeriknya dan menggosok-gosoknya dengan air, lalu disiram dengan air. Kemudian ia (boleh) melakukan shalat dengannya.’” (Muttafaq ‘Alaihi) 6. Kotoran hewan yang tidak halal dimakan dagingnya

Diriwayatkan dari ‘Abdullah z, ia berkata; “Nabi n hendak buang air besar, lalu beliau berkata, ‘Bawakan untukku tiga batu.’ Kemudian aku hanya menemukan dua batu dan satu kotoran keledai (yang sudah mongering). Beliau mengambil dua batu dan melemparkan kotoran itu. Beliau bersabda, ‘(kotoran) itu najis.’”

(HR. Bukhari) Adapun kencing hewan yang dagingnya bisa dimakan manusia adalah suci. Ini karena Nabi n pernah menyuruh seorang sahabat untuk meminum kencing unta. (HR. Bukhari)

Catatan :

Dari hadits ini bisa dipahami bahwa orang yang ingin istijmar (istinja’ dengan batu) setelah buang hajat, hendaknya tidak beristijmar dengan kurang dari tiga batu. Orang yang melebihkan dari tiga batu adalah lebih baik, tetapi jumlah hendaknya ganjil. Riwayat Abu Hurairah z, bahwa Rasulullah n bersabda;

“Barangsiapa beristijmar, hendaknya dengan jumlah yang witir (ganjil).” (HR. Bukhari)

7. Air liur anjing

Dari Abu Hurairah z bahwa Rasulullah n bersabda; “Sucinya bejana salah seorang diantara kalian jika dijilat anjing adalah dengan mencucinya sebanyak 7(tujuh) kali, yang pertama dengan tanah.” (HR. Muslim) 8. Babi

Tidak ada perbedaan pendapat diantara para ulama’ tentang najis dan haramnya daging babi, lemaknya, dan seluruh anggota badannya. Berdasarkan firman Allah l; “Katakanlah, tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi orang yang ingin memakannya kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi, karena semua itu kotor.”

(QS. Al-An’aam : 145) 9. Bangkai

Yaitu segala sesuatu yang tanpa disembelih secara syar’i. bangkai najis berdasarkan ijma.’ Dari Ibnu ‘Abbas z bahwa Rasulullah n bersabda; “Jika al-ihaab (kulit bangkai) telah disamak, maka sucilah ia.”

(HR. Muslim) Catatan :

Dikecualikan dari hal itu adalah : a. Bangkai ikan dan belalang

Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar c, ia mengatakan bahwa Rasulullah n bersabda; “Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai itu adalah bangkai ikan dan belalang. Sedangkan dua darah adalah hati dan limpa.”

(HR. Ahmad, dengan sanad yang shahih) b. Bangkai hewan yang darahnya tidak mengalir

Seperti; lalat, lebah, semut, kutu, dan yang sepertinya. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Hurairah z Rasulullah n bersabda;

“Jika lalat jatuh ke dalam wadah salah seorang diantara kalian, maka tenggelamkanlah semuanya kedalan air, kemudian buanglah karena sesungguhnya pada salah satu sayapnya ada penyakit dan pada sayap yang lainnya ada obat (penawar).”

(HR. Bukhari : 5782)

c. Tulang bangkai, tanduknya, kukunya, rambutnya, dan bulunya. Pada dasarnya semuanya adalah suci. Imam Bukhari telah mencantumkan dalam kitab Shahihnya I/43, Imam Az-Zuhri berkata tentang tulang pada bangkai, seperti tulang pada bangkai gajah dan yang lainnya; ‘Aku telah mendapati banyak ulama’ Salaf menggunakannya sebagai sisir dan mengambil minyak darinya. Mereka semua tidak mempermasalahkannya.” Hammad (guru Imam Bukhari) berkata; “Tidak ada masalah bulu pada bangkai.”

10. Darah yang mengalir

Yaitu yang mengalir dari binatang darat ketika disembelih Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t, bahwa darah dibagi menjadi 4(empat) antara lain : 1. Darah yang keluar dari hewan yang najis, baik sedikit maupun

banyak hukumnya adalah najis. Seperti; darah yang keluar dari babi, anjing, baik darah tersebut keluar dalam keadaan hidup atau mati.

2. Darah yang keluar dari binatang yang suci ketika hidupnya tetapi najis ketika mati, maka ketika masih hidup darah itu najis, tetapi dimaafkan kalau darah itu sedikit. Seperti; darah kambing. Adapun jika darah diatas keluar setelah binatang itu disembelih secara syar’i, maka, maka darah itu suci, meskipun nampak merah. Misalnya seorang menyembelih kambing,setelah kambing itu mati, lalu orang itu menguliti dan darahnya mengenainya, maka darah itu suci, baik darah itu banyak atau sedikit, dan ia tidak membahanyakan.

3. Darah yang keluar dari binatang yang suci baik dalam keadaah hidup maupun mati, maka darah itu suci. Seperti; darah ikan.

4. Darah yang keluar dari kemaluan depan dan belakang manusia, maka darah itu najis dan tidak dimaafkan. Seperti; darah haidh dan nifas.

3. Thaharah

Thaharah artinya bersih dan suci dari hadats atau najis. Jadi thaharah adalah menghilangkan kotoran-kotoran yang masih melekat di badan yang membuat tidak sahnya shalat dan ibadah yang lainnya. Sesungguhnya telah bersepakat kaum muslimin thaharah syar’iyah ada dua macam : 1. Thaharah dari hadats :

1. Hadats kecil dengan wudhu 2. Hadats besar dengan mandi 3. Pengganti keduanya bila ada udzur dengan tayamum

2. Thaharah dari khabats :

1. Membasuh 2. Memerciki 3. Menggosok 4. Menyamak 5. Mengambil dan Menghilangkan Najis

4. Thaharah dari khabats

Cara mensucikan najis antara lain : 1. Membasuh 1.1. Membasuh bejana yang dijilati anjing

Dari Abu Hurairah z, bahwa Rasulullah n bersabda; “(Cara) menyucikan bejana seseorang diantara kalian jika dijilat anjing adalah membasuh 7(tujuh) kali, yang pertama dengan tanah.”

(HR. Muslim : 366, Abu Dawud : 71) Catatan :

• Adapun badan anjing dan bulunya selain mulut adalah suci. Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar c, ia berkata; “Aku pernah bermalam di masjid pada masa Rasulullah n dan anjing-anjing; kencing, datang, dan pergi di dalam masjid. Mereka

(para sahabat) tidak ada yang menyiramnya dengan air sedikitpun.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud)

• Akan tetapi dianjurkan untuk menyiram tempat diamnya saja. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits Maimunah x, ia berkata; “Dirumahku ada seekor anjing kecil, lalu Nabi n mengeluarkan. Kemudian beliau menyiram tempatnya dengan air.”

(HR. Nasa’i, dengan sanad yang shahih) 1.2. Membasuh baju yang terkena haidh

Dari ‘Aisyah x ia berkata; “Dahulu salah seorang diantara kami haidh, kemudian ia menggosok bekas darah yang ada pada pakaiannya dengan jari-jemari ketika telah suci, lalu ia mencucinya dan menyiramkan semuanya dengan air. Selanjutnya ia melakukan shalat dengan baju itu.”

(HR. Bukhari : 308, Abu Dawud : 630) 1.3. Menyucikan tanah

Ini berdasarkan hadits dari Anas bin Malik z ia berkata; ”Seseorang badui datang kemudian kencing di suatu sudut masjid, maka orang-orang menghardiknya, lalu Nabi n melarang mereka. Ketika ia telah selesai kencing, Nabi n menyuruh untuk diambilkan setimba air lalu disiramkan di atas bekas kencing itu.” (Muttafaq ‘alaih) Catatan :

• Al-Lajnah Ad-Da’imah berfatwa; “Menghilangkan najis yang jatuh diatas sajadah dan karpet tidak cukup hanya menyapu dengan sapu bulu (tissue), tetapi harus mengguyurkan air diatasnya sehingga menghilangkan najis yang jatuh diatasnya; baik najis tersebut berupa air kencing atau najis lainnya. Jika najis itu mempunyai wujud, maka wajib menghilangkan wujudnya terlebih dahulu kemudian membasuhnya.”

• Cara membersihkan tanah atau kasur yang terkena tahi adalah dengan membersihkan dan menyiramkan air pada tempat yang terkena. Adapun bila terkena kencing, maka cukup dengan menyiramkan air banyak-banyak pada tempat yang terkena.

• Mencuci pakaian yang suci dan yang najis. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz t berkata; “Menurut pendapat yang lebih hati-hati, bahwa hendaklah pakaian yang najis dicuci tersendiri secara terpisah dengan air secukupnya serta menghilangkan belas najis yang melekat padanya. Jika sejumlah pakaian bercampur (antara yang suci dan yang najis) dicuci dengan air yang banyak, maka air itu dapat menghilangkan bekas najis dan pakaian yang suci tidak berubah karena bercampur dengan pakaian yang najis sehingga seluruh pakaian tersebut menjadi suci dengan itu.”

2. Memerciki 2.1. Memerciki pakaian yang terkena kencing bayi laki-laki yang hanya menyusu

Dari Abu Samah z bahwa Rasulullah n bersabda; “Air kencing bayi perempuan dicuci, sedangkan air kencing bayi laki-laki diperciki dengan air.” (HR. Abu Dawud : 376, Ibnu Majah : 526) 2.2. Memerciki pakaian yang terkena madzi

Sebagaimana hadits Sahal bin Hunaif z, beliau merasakan kesulitan karena madzi,lalu beliau bertanya kepada Nabi n, ‘Bagaimana jiaka ia mengenai pakaianku?’ Rasulullah n menjawab; “Cukuplah bagimu mengambil segenggam air lalu memercikkan pada pakaianmu dimana engkau melihat bahwa air tersebut mengenainya (tempat yang terkena madzi).”

(HR. Abu dawud : 215, Tirmidzi : 115, dan Ibnu Majah : 506) Catatan :

• Pengikut Imam Hambali, dan sebagian pengikut Imam Malik berpendapat; “Wajibnya mencuci kemaluan seluruhnya. Mereka berdalilkan dengan hadits ini, hadits ini menjelaskan secara gambalang tentang membasuh kemaluan, inilah hakekat lafadz membasuh, jadi membasuh keseluruhannya (bukan hanya tempet yang terkana madzi saja).

• Menghilangkan najisnya madzi harus dengan air. Berkata Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Ibnu Shalih Alu Bassam t; “Tidak cukup menghilangkan najisnya madzi dengan mengunakan batu, seperti membersihkan kencing, tetapi pada hal ini harus dengan air.

• Adapun mani adalah suci. Berkata Nashirudin Al-Albani t; “Tidak terdapat satu dalil pun yang mengatakan najisnya mani. Ada sebuah pembahasan panjang, yang ditulis oleh Ibnul Qayyim t dalam kitab I’lamul Muwaqqi’in, yang mana di dalamnya terdapat diskusi panjang anatara orang yang menganggap najisnya mani, dan orang yang berpendapat mani itu suci dan tampak jelas dalam diskusi tersebut, bahwa mani itu suci.”

3. Menggosok 31. Menggosok bagian bawah sandal

Diriwayatkan dari Abu Sa’id z, bahwa Nabi n bersabda; “Jika salah seorang dintara kalian datang ke masjid hendaklah ia membalik sandalnya dan melihatnya, jika melihat kotoran padanya handaklah ia gosokkan ke tanah lalu shalat.” (HR. Abu Dawud : 646) 3.2. Menyucikan bagian bawah pakaian wanita

Seorang wanita bertanya kepada Ummu Salamah x, isteri Nabi n, ia berkata; “Sesungguhnya aku adalah wanita yang memanjangkan ujung pakaianku dan berjalan di tempat yang kotor?” lalu Ummu salamah menjawab, “Nabi n bersabda, ‘Ujung pakaian yang tersebut disuciakn dengan tanah setelahtnya.’”

(HR. Abu dawud : 383, Tirmidzi : 143, dan Ibnu Majah : 531) 4. Menyamak 4.1. Menyamak kulit bangkai

Dari Ibnu ‘Abbas z Rasulullah n bersabda; “Kulit bangkai apa saja jika disamak, maka sucilah ia.”

(HR. Muslim : 366, Abu Dawud : 4133, Malik : 1079)

5. Mengambil dan Menghilangkan 5.1. Menyucikan sumur atau minyak samin ketika terkena najis

Dari Maimunah istri Nabi n ia berkata; “Bahwa ada seekor tikus yang jatuh ke dalam samin (sejenis mentega), lalu mati. Kemudian hal itu ditanyakan kepada Nabi n dan beliau menjawab: "Buanglah tikus dan samin yang ada di sekitarnya, dan makanlah (samin yang tersisa).” (HR. Bukhari, Ahmad, dan Nasa’i)

Catatan :

• Ketika sifat utama najis telah hilang dan berubah menjadi sesuatu yang suci, maka ia dihukumi suci. Misalnya kotoran yang telah menjadi tanah.

• Apabila teringat adanya najis sedang shalat, jika ia dapat membuang najis tersebut dengan tidak sampai membuka auratnya, maka hendaknya dibuang, shalatnya tetap dilanjutkan dan shalatnya sah. Sedangkan jika ia tidak dapat membuang najis yang ada pada dirinya tersebut, karena dapat dapat membuka auratnya. Maka dia tetap melanjutkan shalatnya dan tidak wajib menggulang.

• Apabila teringat adanya najis setelah shalat, maka shalatnya tetap sah (tidak perlu diulang). Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri z, Ia berkata; “Suatu hari kami shalat bersama Rasulullah n. Ketika shalat telah dimulai tiba-tiba beliau melepas sandalnya, lalu meletakkan disamping kirinya. Melihat Nabi n melepas sandalnya orang-orang ikut melepas sandal mereka. Setelah selesai shalat, beliau bertanya, ‘Mengapa kalian melepas sandal kalian?’ Mereka menjawab, ‘Karena kami melihat engkau melepas sandal.’ Beliau menjawab, ‘Tadi Jibril q datang untuk mengabarkan bahwa pada sandal saya terdapat kotoran, maka saya pun melepasnya. Apabila kalian datang ke masjid, maka hendaknya memperhatikan sandal kalian barangkali ada kotoran yang menempel, bersihkan dulu, baru kalian shalat.’” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

• Muntah adalah suci. Disebabkan hadits Ammar bin Yasir z yang menunjukkan tentang air muntah adalah hadits bathil. Karena tidak adanya dalil shahih yang menajiskan air muntah, maka kita

kembali kepada kaidah, “Asal segala sesuatu adalah suci.” Oleh karena itu imam Ibnu Hazm menegaskan akan sucinya air muntah seorang muslim, dalam kitabnya Al-Muhalla I/183. Inilah Madzhab Syaukani dalam Ad-Durorul Bahiyyah dan Sidiq Hasan Khan dalam Raudhoh Nadiyyah I/18-20 serta disetujui oleh Al-Albani t dalam Tamamul Minnah halaman 53.

• Najis yang kering tidak membahayakan. Berkata Syaikh Abdullah bin Abdirrahman Al-Jibrin t; “Menyentuh najis yang telah kering dengan badan dan pakaian yang tidak menajisinya, dan seperti ini juga masuk kamar mandi yang telah kering dan tidak beralas kaki dengan keadaan kedua telapak kaki telah kering tidak menajisinya. Kerena kenajisan itu dapat menajisi ia dalam keadaan basah.”

BAB WUDHU Allah l mencintai orang-orang yang bersih, sebagaimana

firmanNya; “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah : 222)

Dari Abu Hurairah z ia berkata, aku mendengar Rasulullah n bersabda; ”Sesungguhnya umatku akan datang pada hari kiamat dalam keadaan wajah dan tangan yang berkilauan dari bekas wudhu.” (Muttafaq ’alaih)

Dari Tsauban z ia berkata, telah bersabda Rasulullah n; “Luruskanlah dan mendekatlah, beramallah dan memilihlah. Dan ketauhilah bahwa sebaik-baik amal perbuatanmu adalah shalat. Dan tidaklah menjaga wudhu melainkan seorang mukmin.” (HR. Ahmad, Ad-Darimi, Ibnu Hibban, dan dihasankan oleh Syaikh

Al-Albani dalam Irwaul-Ghalil 405) Nabi n bersabda; ”Barang siapa yang berwudhu lalu membaguskannya, maka akan keluar kesalahan-kesalahannya dari badannya bahkan sampai keluar dari bawah kuku-kukunya.”(HR. Muslim : 245) Dari Abu Hurairah z, ia berkata bahwa Rasulullah n bersabda; ”Jika seorang hamba muslim atau hamba mukmin berwudhu lalu dia membasuh wajahnya, maka keluarlah dari wajahnya semua kesalahan yang dia lihat dengan kedua matanya bersama air atau tetes air yang terakhir. Jika dia membasuh kedua tangannya, maka keluarlah dari keduanya semua kesalahan yang dilakukan oleh tangannya bersama air atau tetes air yang terakhir. Jika dia membasuh kedua kakinya, maka keluarlah dari keduanya semua kesalahan yang dia berjalan dengan keduanya bersama air atau tetes air yang terakhir, sehingga dia keluar dalam keadaan bersih dari dosa-dosa.” (HR. Muslim)

1. Syarat sah wudhu Syarat-syarat wudhu adalah niat

Dari Amirul Mu’minin, ‘Umar bin Al Khattab z, dia berkata, saya mendengar Rasulullah n bersabda; “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan.” (Muttafaq ‘alaih. HR. Bukhari : 1 dan Muslim : 1907)

2. Rukun-rukun wudhu

Rukun-rukun wudhu antara lain : 1. Membasuh wajah

Batasan-batasan wajah adalah mulai dari tempat tumbuhnya rambut kepala yang normal sampai jenggot yang turun dari dua cambang dan dagu (janggut) memanjang (atas ke bawah), dan dari telinga kanan sampai telinga kiri melebar.

2. Berkumur dan menghirup air melalui hidung

Imam Ahmad berpendapat akan wajibnya berkumur-kumur dan beristinsyaq, dan ini juga pendapat Ibnu Abi Laila dan Ishaq. Diriwayatkan dari Humran -mantan budak Utsman z- ia mengatakan; “Bahwa Utsman z meminta air wudhu. Ia membasuh kedua telapak tangannya tiga kali lalu berkumur dan menghisap air dengan hidung dan menghembuskannya keluar” (Muttafaq ’alaihi) Dalam riwayat Abu Dawud; “Jika engkau berwudhu, maka berkumurlah!” 2. Membasuh kedua tangan hingga siku-siku

Dibasuh dari ujung-ujung jari hingga ke siku, dan siku masuk dalam daerah basuhan.

3 Mengusap kepala termasuk telinga

Cara mengusap kepala adalah dengan mengusap kepalanya dengan kedua tangannya dari muka ke belakang sampai tengkuk dan dikembalikan dari belakang ke muka, kemudian mengusap telinga. Mengusap kepala sekaligus telinga tersebut dengan satu kali usapan. Hal

ini berdasarkan hadits dari Abdullah Ibnu Zain Ibnu Ashim z tentang cara berwudhu dia berkata; ”Rasulullah n mengusap kepalanya dengan kedua tangannya dari muka ke belakang dan dari belakang ke muka.” (Muttafaq ’alaihi) Dan hadits dari Ali z tentang cara berwudhu Nabi n dia berkata; ”Beliau mengusap kepalanya satu kali.”

(HR. Abu Dawud. Tirmidzi dan Nasa'i) Adapun cara mengusap telinga adalah dengan memasukkan kedua

jari telunjuk ke dalam kedua telinga dan mengusap bagian luar kedua telinganya dengan ibu jari. Hal ini sebagaimana hadits dari Abdullah Ibnu Amr z tentang cara berwudhu ia berkata; ”Kemudian beliau mengusap kepalanya dan memasukkan kedua jari telunjuknya ke dalam kedua telinganya dan mengusap bagian luar kedua telinganya dengan ibu jarinya.” (HR. Abu Dawud dan Nasa'i) Dalil tentang mengusap kepala sekaligus telinga adalah hadits dari Abdullah ibnu Zaidz; ”Bahwa dia pernah melihat Nabi n mengambil air untuk mengusap kedua telinganya selain air yang beliau ambil untuk mengusap kepalanya.” (HR. Baihaqi) Menurut riwayat Muslim disebutkan: ”Beliau mengusap kepalanya dengan air yang bukan sisa dari yang digunakan untuk mengusap kedua tangannya.” yaikh Al-Albani dalam Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah : 995 mengatakan; “Tidak terdapat di dalam sunnah (hadits-hadits Nabi n) yang mewajibkan mengambil air baru untuk mengusap dua telinga. Keduanya diusap dengan sisa air dari mengusap kepala berdasarkan hadits Rubayyi’ z; ”Bahwasanya Nabi n mengusap kepalanya dengan air sisa yang ada di tangannya.” (HR. Abu Dawud dan lainnya dengan sanad hasan)” 4. Membasuh kedua kaki

Allah l berfirman; “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki…” (QS. Al-Maidah : 6)

5. Tertib (berurutan) Tertib merupakan rukun, karena Allah menuturkan rukun-rukun

wudhu didalam firmanNya secara tertib. Dan sebagiamana hadits dari Jabir Ibnu Abdillah z bahwa Rasulullah n bersabda; ”Mulailah dengan apa yang telah dimulai oleh Allah.”

(HR. Nasa'i dan Muslim) 6. Muwalah (terus-menerus)

Yang dimaksud dengan muwalah adalah bersambungan. Yaitu wudhu harus dilakukan bersambung dan tidak terpisah hingga anggota tubuh yang sebelumnya kering. Menurut Malikiyah dan Hanabilah hukum muwalah adalah fardhu (wajib). Anas z berkata; “Nabi n melihat seorang laki- laki sedangkan pada telapak kakinya ada bagian sebesar kuku yang belum terkena air, maka beliau bersabda, “Kembalilah lalu sempurnakan wudhumu.”

(HR. Abu Dawud dan Nasa'i) Seandainya muwalah tidak rukun tentu Nabi n tidak memerintahkan laki- laki tersebut untuk mengulangi wudhunya, tetapi cukup disempurnakan saja.

3. Sunnah-sunnah wudhu

Sunnah-sunnah wudhu antara lain : 1. Membaca basmalah

Jumhur ulama (Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Abu Hanifah, serta satu riwayat dari Imam Ahmad) bahwa membaca “Bismillah” ketika akan berwudhu hukumnya Mustahab, tidak wajib. Diriwayatkan dari Abu Hurairah z bahwa Rasulullah n bersabda; “Tidak sah shalat seseorang tanpa wudhu. Dan tidak ada wudhu untuk seseorang yang tidak menyebut nama Allah.”

(HR. Ahmad Abu Dawud dan Ibnu Majah, Hasan) 2. Bersiwak

Dari Abu Hurairah z dari Rasulullah n bahwa beliau bersabda; “Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya aku perintahkan mereka agar bersiwak setiap berwudhu.”

(HR. Malik, Ahmad, dan Nasa’i) 3. Membasuh kedua telapak tangan sebanyak tiga kali

Dari Humran -mantan budak Utsman z- ia mengatakan;

“Bahwa Utsman z meminta air wudhu. Ia membasuh kedua telapak tangannya tiga kali lalu berkumur dan menghisap air dengan hidung dan menghembuskannya keluar kemudian membasuh wajahnya tiga kali. Lalu membasuh tangan kanannya hingga siku-siku tiga kali dan tangan kirinya pun begitu pula. Kemudian mengusap kepalanya lalu membasuh kaki kanannya hingga kedua mata kaki tiga kali dan kaki kirinya pun begitu pula. Kemudian ia berkata, ’Saya melihat Rasulullah n berwudhu seperti wudhuku ini.’” (Muttafaq ’alaih)

Berkata Syaikh Ali Bassam t dalam Taudhihul Ahkam I/161; ”Disunnahkan mencuci dua tangan tiga kali hingga ke pergelangan tangan sebelum memasukkan kedua tangan tersebut ke dalam air tempat wudhu, dan ini merupakan sunnah menurut ijma'. Dan dalil bahwa mencuci kedua tangan hanyalah sunnah bahwasanya tidaklah datang penyebutan mencuci kedua tangan di dalam ayat-ayat (Al-Qur'an). Dan sekedar perbuatan Nabi n saja tidaklah menunjukan akan wajib, hanyalah menunjukan kemustahabannya. Dan ini adalah qaidah usuliyah.”

Catatan :

Membasuh kedua telapak tangan lebih ditekankan pada waktu bangun dari tidur malam. Diriwayatkan dari Abu Hurairah z bahwa Rasulullah n bersabda; ”Apabila seseorang di antara kamu bangun dari tidurnya maka janganlah ia langsung memasukkan tangannya ke dalam tempat air sebelum mencucinya tiga kali terlebih dahulu sebab ia tidak mengetahui apa yang telah dikerjakan oleh tangannya pada waktu malam.” (Muttafaq ‘alaihi. HR. Bukhari : 162, Muslim : 278,

lafazh ini miliknya) 4. Menggabungkan berkumur dan me masukkan air ke hidung (lalu mengeluarkannya) dengan segenggam (satu cidukan) air sebanyak tiga kali

Dari Abdullah Ibnu Zaid z tentang cara berwudhu; ”Kemudian beliau memasukkan tangannya lalu berkumur dan menghisap air melalui hidung satu tangan. Beliau melakukannya tiga kali.” (Muttafaq ’alaih)

5. Melakukan kumur dan memasukkan air ke hidung (lalu mengeluarkannya) dengan sangat bagi yang tidak puasa

Laqith Ibnu Shabirah z berkata bahwa Rasulullah n bersabda; “Hiruplah air ke dalam hidung dengan kuat, kecuali jika engkau sedang berpuasa.” (HR. Abu Dawud) 6. Menyela-nyelai jenggot yang tebal, jari-jemari tangan, dan jari-jari kaki

Dari Utsman zia berkata; ”Bahwa Nabi n menyela-nyelai jenggotnya dalam berwudhu.”

(HR. Tirmidzi. Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah) Dan hadits dari Laqith Ibnu Shabirah z berkata bahwa Rasulullah n bersabda; ”Sempurnakanlah dalam berwudhu usaplah sela-sela jari”

(HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah, hadits ini shahih menurut Ibnu Khuzaimah)

7. Mendahulukan yang kanan daripada yang kiri

’Aisyah x ia berkata; ”Adalah Nabi z suka mendahulukan yang kanan dalam bersandal menyisir rambut bersuci dan dalam segala hal.”

(Muttafaq ’alaihi. HR. Bukhari : 168, lafazh ini miliknya, Muslim : 268)

Dan hadits dari Abu Hurairah z bahwa Rasulullah n bersabda; ”Apabila kamu sekalian berwudhu maka mulailah dengan bagian-bagian anggotamu yang kanan.”

(HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah, hadits ini shahih menurut Ibnu Khuzaimah)

Imam Nawawi t berkata; ”Para ulama’ sepakat atas sunnahnya mendahulukan yang kanan dalam berwudhu, barangsiapa yang menyelisihinya, maka dia tidak mendapatkan keutamaan, tetapi sah wudhunya.” Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni berkata; ”Tidak diketahui adanya perselisihan tentang tidak wajibnya mendahulukan yang kanan atas yang kiri (maksudnya hal itu adalah sunnah dan bukan wajib).”

8. Membasuh tiga kali Ada riwayat shahih yang menyebutkan bahwa Nabi n pernah

wudhu sekali kali basuhan, dua kali basuhan dan tiga kali basuhan. Dan semuanya adalah Sunnah Nabi n. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas c berkata ”Nabi n pernah berwudhu satu kali satu kali.” (HR. Al-Bukhari : 157) Dari Abdullah bin Zaid n berkata; ”Bahwasanya Nabi n pernah berwudhu dua kali dua kali.”

(HR. Bukhari : 158) 9. Menggosok anggota wudhu

Abdullah ibnu Zaid z ia berkata; “Bahwa Nabi n pernah diberi air sebanyak dua pertiga mud lalu beliau gunakan untuk menggosok kedua tangannya.”

(HR. Ahmad dan dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah)

10. Berdo’a setelah berwudhu ’Umar z berkata, Rasulullah n bersabda;

”Tiada seorang pun di antara kamu yang berwudhu dengan sempurna kemudian berdo'a: ’Aku bersaksi bahwa tiada Sesembahan (yang berhak untuk disembah) selain Allah Yang Esa tiada sekutu bagiNya dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu hambaNya dan utusanNya.’ Kecuali telah dibukakan baginya pintu surga yang delapan ia dapat masuk melalui pintu manapun yang ia kehendaki.”

(HR. Muslim : 234, Abu Dawud : 169, Tirmidzi : 55, Nasa’i : 148, Ibnu Majah : 470)

Menurut riwayat Tirmidzi dengan tambahan (do’a): ”Ya Allah jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku pula termasuk orang-orang yang selalu mensucikan diri."

11. Shalat dua rakaat setelah berwudhu Dari Utsman z, Rasulullah n bersabda;

”Barangsiapa berwudhu seperti cara wudhuku ini, kemudian shalat dua raka'at di mana ia tidak berbicara dengan dirinya sendiri maka dosanya yang telah lalu akan diampuni."

(Muttafaq ‘alaih. HR. Bukhari : 162, Muslim : 278, lafazh ini miliknya)

Catatan : • Diperbolehkan setelah berwudhu mengeringkan air dengan sapu

tangan, handuk, atau yang semisalnya. Diantara salafus shalih yang membolehkan menyeka badan sesudah mandi dan wudhu adalah; Utsman bin Affan, Hasan bin ’Ali, Anas bin Malik g, Hasan Al-Bashri, Ibnu Sirin, Alqamah, Asy-Sya’bi, Sufyan Ats-Tsauri dan Ishaq bin Rahawaih pendapat ini yang dipegang oleh Abu Hanifah, Malik, Ahmad dan satu riwayat dari Madzhab Syafi’iyah, serta ini pendapat yang dipilih oleh Syaikh Abu Malik Kamal.

• Apabila seseorang mempunyai luka yang terbuka (tidak diperban) harus dibasuh dengan air. Jika berbahaya maka luka tersebut dapat diusap dengan air. Jika tidak mungkin dilakukan maka dapat beralih kepada tayamum. Dan jika luka tersebut tertutup (diperban) maka harus diusap dengan air. Namun, jika tidak mungkin dilakukan maka dapat beralih kepada tayamum. Tidak disyaratkan mengikat (perban) dalam keadaan suci dan tidak ada batasan waktu dalam mengusap perban. Ini adalah pendapat Sya ikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijiri.

• Barangsiapa yang sama sekali tidak mendapatkan air atau debu, maka dia boleh mengerjakan shalat semampunya dan tidak wajib mengulangi shalatnya. Ini adalah pendapat Syaikh Shalih bin Ghanim As-Sadlan.

4. Pembatal-pembatal wudhu Pembatal-pembatal wudhu antara lain :

1. Segala sesuatu yang keluar dari dubur dan qubul Dari Ali Ibnu Abu Thalib z bahwa Rasulullah n bersabda;

”Apabila seseorang di antara kamu kentut dalam shalat maka hendaknya ia membatalkan shalat, berwudhu, dan mengulangi shalatnya.”

(HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah. Hadits ini shahih menurut Ibnu Hibban)

Catatan : • Apabila seseorang yang yakin bahwa dia telah berwudhu, lalu

ragu-ragu apakah apakah dia sudah batal atau belum, maka ia harus berpegang pada apa yang ia yakini, yaitu suci sehingga ia tidak wajib berwudhu lagi, karena yang yakin adalah sudah berwudhu, sedang batalnya masih diragukan. Hal ini merupakan salah satu bentuk penerapan dari Qaidah Fiqhiyyah; ”Sesuatu yang yakin tidak bisa dihilangkan dengan keraguan” Qaidah ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah z berkata bahwa Rasulullah n bersabda; “Apabila seseorang di antara kamu merasakan sesuatu dalam perutnya kemudian dia ragu-ragu apakah dia mengeluarkan sesuatu (kentut) atau tidak maka janganlah sekali-kali ia keluar dari masjid kecuali ia mendengar suara atau mencium baunya”

(HR. Muslim : 362) • Darah yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur) membatalkan

wudhu, baik itu banyak atau sedikit. Sedangkan darah yang keluar dari bagian tubuh yang lain, seperti hidung, gigi, luka dan sebagainya tidak membatalkan wudhu, baik sedikit maupun banyak. Dan inilah pendapat Malikiyah dan Syafi'iyah. Disebutkan dalam suatu riwayat bahwa ‘Ubad bin Basyar z, ketika terkena panah (dan darahnya bercucuran), beliau (tetap) meneruskan shalatnya. (HR. Abu Dawud : 193)

• Lendir yang biasa keluar pada kebanyakan wanita, dan akan lebih banyak keluar ketika hamil, maka itu tidak membatalkan wudhu. Ini adalah pendapat Syaikh Abu Malik Kamal.

2. Tidur Nyenyak

Dari Muawiyah z bahwa Nabi n bersabda;

”Mata adalah tali pengikat dubur maka apabila kedua mata telah tidur lepaslah tali pengikat itu.” (HR. Ahmad dan Thabrani) Dan diriwayatkan dari Anas Ibnu Malik z berkata; ”Pernah para shahabat Rasulullah n pada jamannya menunggu waktu isya' sampai kepala mereka terangguk-angguk (karena kantuk) kemudian mereka shalat dan tidak berwudhu.”

(HR. Muslim : 376, Abu Dawud : 197, Tirmidzi : 78) 3. Hilang akal kerena sakit (gila), pingsan, atau mabuk

Karena hilangnya akal pada keadaan ini lebih besar daripada tidur. 4. Menyentuh kemaluan tanpa penghalang dan dengan syahwat

Menyentuh kemaluannya yang dapat membatalkan wudhu adalah menyentuhnya dengan menggunakan telapak tangan (dari jari-jari hingga ke pergelangan tangan), baik itu dengan telapak tangan atau dengan punggung tangan. (Nailul Authar 1/199). Dan menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu selama tidak disertai dengan syahwat. Diriwayatkan dari Busrah binti Shafwan z bahwa Rasulullah n bersabda; ”Barangsiapa menyentuh kemaluannya maka hendaklah ia berwudhu”

(HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah dan hadits ini shahih menurut Tirmidzi dan Ibnu Hibban)

Thalq Ibnu ’Ali z berkata; “Seorang laki- laki berkata, ’saya menyentuh kemaluanku’ atau ia berkata, ’seseorang laki- laki menyentuh kemaluannya pada waktu shalat

apakah ia wajib berwudhu? Nabi n menjawab: ”Tidak karena ia hanya sepotong daging dari tubuhmu.””

(HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah dan shahih menurut Ibnu Hibban, Ibnul Madiny berkata,

’Hadits ini lebih baik daripada hadits Busrah z’) Berkata Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani t; ”Sanad hadits ini shahih dan ini pendapat sebagian sahabat, diantaranya; Ibnu Mas’ud dan Ammar bin Yasir c, karena itu Imam Ahmad t memberikan pilihan boleh mengambil hadits ini (hadits Thalq Ibnu ’Ali z) atau sebelumnya (hadits Busrah binti Shafwan z)). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t menjama’ (menggabungkan) dua hadits tersebut dan beliau menjelaskan bahwa hadits pertama (hadits Busrah binti Shafwan z) membatalkan wudhu bila menyentuhnya dengan syahwat (nafsu), dan hadits ini (hadits Thalq Ibnu ’Ali z) apabila menyentuhnya tidak dengan syahwat, karena dalam hadits tersebut ada isyarat yang menunjukkan makna demikian, yaitu perkataan, ’Sebagian dari anggota tubuhmu’.”

Catatan :

Apabila seseorang menyentuh duburnya, maka hal itu tidak membatalkan wudhu karena tidak adanya dalil, dan pada dasarnya adalah boleh karena dubur tidak dinamakan kemaluan. Maka tidak sah menyamakannya dengan kemaluan karena tidak adanya alasan menggabungkan larangan keduanya. Ini adalah pendapat Syaikh Abu Malik Kamal.

5. Memakan daging unta

Dari Jabir Ibnu Samurah z; ”Bahwa seorang laki- laki bertanya kepada Nabi n, ’Apakah aku harus berwudhu setelah makan daging kambing?’ Beliau menjawab, ”Jika engkau mau.” Orang tersebut bertanya lagi, ’Apakah aku harus berwudhu setelah memakan daging unta?’ Beliau menjawab: ”Ya”

(HR. Muslim : 360) Imam an-Nawawi t berkata; “Pendapat ini (berwudhu karena memakan daging unta) lebih kuat dalilnya, walaupun jumhur menyalahinya.”

Catatan : • Begitu pula memakan usus, hati, babat atau sumsum unta adalah

membatalkan wudhu, karena hal tersebut sama dengan dagingnya. • Untuk lebih berhati-hati, maka sebaiknya berwudhu sesudah

minum atau makan kuah daging unta. • Adapun air susu unta tidak membatalkan wudhu, karena

Rasulullah n pernah menyuruh suatu kaum minum air susu unta dan tidak menyuruh mereka berwudhu sesudahnya.

5. Hal-hal yang tidak membatalkan wudhu

Hal-hal yang tidak membatalkan wudhu antara lain : 1. Menyentuh wanita tanpa penghalang

Diriwayatkan dari Aisyah x, ia berkata; “Suatu ketika aku tidur dihadapan Rasulullah n, sedangkan kedua kakiku ada disebelah kiblat beliau (ditempat sujud). Jika beliau sujud, beliau merabaku dengan tangannya, maka aku lipatkan kedua kakiku, jika aku berdiri, maka luruskan kembali keduanya,” Aisyah berkata, “Waktu itu dirumah-rumah belum ada lentera.”

(HR. Bukhari : 382, Muslim :272) Berkata Ibnu Qudamah t dalam kitabnya Al-Mughni I/190; ”Sesungguhnya semata-mata menyentuh saja tidak membatalkan wudhu, akan tetapi bisa batal jika sampai keluar madzi atau mani.”

2. Muntah

Banyak hadits-hadits yang menjelaskan bahwa muntah dapat membatalkan wudhu, akan tetapi hadits-hadits tersebut lemah dan tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.

3. Tertawa terbahak-bahak (dengan keras) didalam shalat

Jabir z ditanya tentang seseorang yang tertawa didalam shalat, beliau menjawab; “Ia mengulangi shalatnya tetapi tidak mengulangi wudhu.”

(HR. Bukhari). Dan ini pendapat jumhur ulama.

6. Hal-hal yang mewajibkan berwudhu Hal-hal yang mewajibkan berwudhu antara lain :

1. Shalat Allah l berfirman;

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki…” (QS. Al-Maidah : 6)

2. Thawaf disekitar ka’bah

Dari Ibnu Abbas c, dari Nabi n, bahwa beliau bersabda; “Thawaf di baitullah adalah shalat. Hanya saja Allah

menghalalkan bicara didalamnya.” (HR. Tirmidzi, Nasa’i, Hakim dan yang lainnya)

Catatan : Seorang yang berhadats kecil diperbolehkan menyentuh mushaf, meskipun demikian menyentuh mushaf dengan berwudhu adalah lebih utama. Berkata Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani t; ”Membaca Al-Qur'an tanpa berwudhu adalah suatu perkara yang dibolehkan, karena tidak ada suatu nash dalam Al-Kitab ataupun Sunnah yang melarang membaca Al-Qur'an tanpa bersuci.”

7. Hal-hal yang disunnahkan untuk berwudhu

Hal-hal yang disunnahkan untuk berwudhu antara lain : 1. Ketika berdzikir dan berdo’a kepada Allah l

Berdasarkan hadits Al-Muhajir bin Qunfudz z; ”Bahwa ia mengucapkan salam kepada Nabi n, dan beliau sedang berwudhu, Nabi n tidak menjawabnya hingga beliau selesai berwudhu, kemudian menjawabnya dan bersabda, ”Sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku untuk menjawab salammu hanya saja aku tidak suka menyebut Nama Allah sedangkan aku dalam kedaan tidak suci.”’

(HR. Abu Dawud : 17, Ibnu Majah : 350) Berwudhu dalam keadaan tersebut tidak wajib berdasarkan hadits ’Aisyah x ia berkata;

”Rasulullah n selalu berdzikir kepada Allah dalam setiap saat.” (HR. Muslim : 373 dan dita'liq –diriwayatkan secara muallaq-

oleh Bukhari : 68) 2. Ketika hendak tidur

Diriwayatkan dari Al-Bara’ bin Azib z, beliau berkata, Nabi n bersabda; ”Jika engkau mendatangi tempat berbaringmu (hendak tidur) maka berwudhulah seperti wudhumu ketika (akan) shalat kemudian berbaringlah di atas sisi (tubuh)mu yang kanan.”

(HR. Bukhari : 247, Muslim : 2710, dan selain keduanya)

3. Orang yang junub ketika hendak makan, minum, atau tidur Diriwayatkan dari ’Aisyah x, beliau berkata;

”Ketika Nabi n, dalam keadaan junub, dan beliau hendak makan atau tidur, maka beliau berwudhu sebagaimana wudhu (untuk) shalat.” (HR. Bukhari : 288, Muslim : 305, Abu Dawud : 222, Tirmidzi : 118,

dan yang lainnya) Berkata Syaikh Bin Baz t; ”Rasulullah n ketika sedang junub, lalu ingin tidur, beliau mendi terlebih dahulu. Dan masalah orang junub hendak tidur ini ada tiga kemungkinan :

• Seseorang tidur tanpa wudhu dan tanpa mandi, maka ini makruh dan menyelisihi sunnah

• Seseorang beristinja dan berwudhu sebagaimana wudhunya shalat kemudian tidur, maka ini diperbolehkan

• Seseorang berwudhu dan mandi terlebih dahulu kemudian tidur, maka ini adalah yang sempurna.”

4. Karena ingin mengulangi jima’

Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri zbahwasanya Rasulullah n bersabda; ”Apabila seseorang di antara kamu mendatangi istrinya (bersetubuh) kemudian ingin mengulanginya lagi maka hendaklah ia berwudhu antara keduanya.”(HR. Muslim : 308) Adapun mandi, maka Nabi n (pernah) mengelilingi istri- istrinya dengan sekali mandi. (HR. Muslim : 309)

5. Karena memakan makanan yang tersentuh api (dibakar/dipanggang)

Sebagaimana sabda Nabi n; ”Berwudhulah karena memakan makanan yang tersentuh api.”

(HR. Muslim : 351, Abu Dawud : 192, Tirmidzi : 79, Ibnu Majah : 485)

Dan telah tsabit dari hadits Ibnu Abbas c dan Amr bin Umayyah zdan Abu Rafi’ z; “Bahwasanya Nabi n makan daging yang tersentuh api kemudian beliau berdiri dan shalat dan tidak berwudhu.”

(HR. Bukhari : 5408 dan Muslim 1/273) Hal ini menunjukan bahwa disunnahkannya wudhu setelah memakan daging yang tersentuh api, bukan wajib.

6. Setiap akan shalat (walaupun belum batal wudhunya)

Sebagaimana hadits Abu Hurairah z, beliau berkata, Rasulullah n bersabda; ”Kalaulah tidak memberatkan umatku akan aku perintah mereka untuk berwudhu setiap shalat dan untuk bersiwak setiap berwudhu.”

(HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib : 95)

7. Setiap kali berhadats Dari Abu Hurairah z, ia berkata;

“Rasulullah n bersabda kepada Bilal z ketika shalat Shubuh, ”Hai Bilal, ceritakanlah kepadaku tentang amal yang paling bisa diharapkan yang pernah engkau kerjakan di dalam Islam. Karena sesungguhnya aku mendengar suara kedua sandalmu di hadapanku di dalam Surga." Bilal menjawab, "Amal yang pernah kukerjakan yang menurutku paling bisa diharapkan adalah bahwa aku tidak pernah bersuci di waktu malam atau siang melainkan, dengan bersuci itu, aku mengerjakan shalat sebanyak apa yang sudah dicatat untukku.”

(Muttafaq ’alaihi. HR. Bukhari : 1149, lafazh ini miliknya, Muslim :2458)

8. Setelah muntah Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Ma’dan dari Abu

Darda’ z; ”Bahwasanya Nabi n muntah lalu beliau berbuka kemudian berwudhu.”

(HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil : 111)

BAB MENGUSAP KHUF Disyari’atkan mengusap khuf saat berwudhu. Khuf adalah sepatu

yang menutupi mata kaki. Imam An-Nawawi t berkata dalam Syarh Muslim III/64;

”Ulama yang diperhitungkan dalam ijma’ (mu’tabar) telah sepakat tentang bolehnya mengusap khuf dalam safar maupun menetap. Baik itu untuk suatu kebutuhan ataupun tidak. Bahkan boleh bagi perempuan yang senantiasa berada dalam rumahnya. Demikian orang yang lumpuh yang tidak bisa berjalan.”

Dan termasuk dalam pembahasan ini adalah diperbolehkannya mengusap kaos kaki dan surban. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Al-Mughirah bin Syu’bah z ia berkata;

”Rasulullah n pernah berwudhu, beliau mengusap kaos kaki dan sandalnya.” (HR. Abu Dawud : 159, dinilai shahih oleh Al-Albani) Dan dari Amr bin Umayyah z berkata: ³ Aku pernah melihat Nabi n mengusap surban dan khufnya.”

(HR. Muslim : 276) 1. Syarat-syarat Diperbolehkannya Mengusap Khuf

Syarat-syarat yang harus terpenuhi dalam mengusap khuf adalah : 1. Khuf yang dipakai harus suci dan dipakai dalam keadaan suci (sudah memiliki wudhu terlebih dahulu)

Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri z, Ia berkata; “Suatu hari kami shalat bersama Rasulullah n. Ketika shalat telah dimulai tiba-tiba beliau melepas sandalnya, lalu meletakkan disamping kirinya. Melihat Nabi n melepas sandalnya orang-orang ikut melepas sandal mereka. Setelah selesai shalat, beliau bertanya, ‘Mengapa kalian melepas sandal kalian?’ Mereka menjawab, ‘Karena kami melihat engkau melepas sandal.’ Beliau menjawab, ‘Tadi Jibril q datang untuk mengabarkan bahwa pada sandal saya terdapat kotoran, maka saya pun melepasnya. Apabila kalian datang ke masjid, maka

hendaknya memperhatikan sandal kalian barangkali ada kotoran yang menempel, bersihkan dulu, baru kalian shalat.’”

(HR. Ahmad dan Abu Dawud) Dan dalil tentang memakai khuf dalam keadaan suci adalah hadits Mughirah Ibnu Syu’bah z ia berkata; ”Aku pernah bersama Nabi n ketika beliau berwudhu aku membungkuk untuk melepas kedua sepatunya lalu beliau bersabda, ’Biarkanlah keduanya sebab aku dalam keadaan suci ketika aku mengenakannya Kemudian beliau mengusap bagian atas keduanya.’”

(Muttafaq ’alaih. HR. Bukhari : 199, 5353, dan Muslim : 408,409)

2. Mengusap khuf hanya dibolehkan untuk menghilangkan hadats kecil

Tidak ada perbedaan pendapat di dalam masalah ini. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Shafwan Ibnu Assal z ia berkata; ”Nabi n pernah menyuruh kami jika kami sedang bepergian untuk tidak melepas sepatu kami selama tiga hari tiga malam lantaran buang air besar kencing dan tidur kecuali karena janabat.”

(HR. Nasa'i, Tirmidzi, dan Ibnu Khuzaimah, Hadits ini shahih menurut Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah)

3. Mengusap khuf sesuai dengan batas waktu yang telah ditetapkan

Mengusap khuf dapat dilakukan selama sehari semalam bagi orang mukim (menetap) dan 3(tiga) hari 3(tiga) malam bagi musafir. Dari Ali bin Abi Thalib z ia berkata; ”Rasulullah n telah menetapkan tiga hari tiga malam bagi orang musafir dan sehari semalam bagi orang mukim.” (HR. Muslim : 276) Jangka waktu mengusap khuf itu dimulai dari pertama kali mengusap sesudah memakai khuf

Catatan : • Apabila seorang membuka khuf atau kaos kaki setelah batal

wudhu, maka tidak sah menggunakan kembali, kecuali jika memulainya dengan berwudhu kemudian memakainya kembali.

• Apabila seseorang mengusap khuf di perjalanan selama satu hari kemudian ia memasuki daerahnya sendiri, maka ia dapat melanjutkan jangka waktu mengusap khuf bagi orang mukim (sehari semalam). Dan apabila orang mukim berangkat bepergian sementara telah mengusap khufnya selama 1(satu) hari, maka ia dapat melanjutkan jangka waktu mengusap khuf bagi orang musafir (tiga hari tiga malam) Ini adalah pendapat Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijiri.

• Apabila waktunya sudah habis dan seorang telah membuka khuf, sedangkan wudhunya belum batal, maka ia diperbolehkan untuk melakukan shalat dengan wudhu itu karena hal itu (membuka khuf) tidak membatalkan wudhu. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t dalam Kitab Al-Ikhtiyarat.

2. Tata Cara Mengusap Khuf

Tata cara mengusap khuf adalah dengan memasukkan tangannya ke air, lalu mengusapkan tangan kanannya ke sisi luar bagian depan khuf kanannya, mulai dari ujung jarinya sampai tengah-tengah tulang kering (depan betis) satu kali usapan, tanpa mengusap bagian bawah dan belakangnya. Kemudian mengusapkan dengan tangan kirinya ke khuf yang kiri dengan cara seperti itu juga Diriwayatkan dari Ali z ia berkata; “Seandainya agama itu cukup dengan akal maka bagian bawah khuf lebih utama untuk diusap daripada bagian atasnya. Aku benar-benar melihat Rasulullah n mengusap bagian atas kedua khuf nya.”

(HR. Abu Dawud : 140, dengan sanad yang hasan) Serta hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam kitab Sunannya bahwa Nabi n mengusap khuf (dengan cara) meletakkan tangan kanannya diatas khufnya yang kanan dan meletakkan tangan kirinya di atas khufnya yang kiri, kemudian mengusap bagian atasnya dengan satu kali usapan.

3. Tata Cara Mengusap Surban Rasulullah n mencontohkan bahwa bagi orang yang memakai

surban, maka dibolehkan untuk tidak membukanya saat berwudhu, selama surban tersebut tidak bernajis. Sebaiknya surban atau kerudung itu dipakai dalam keadaan suci (dari hadats). Adapaun cara mengusap surban adalah dengan mengusap bagian atas surbannya, atau dengan cara mengusap ubun-ubun lalu dilanjutkan dengan mengusap bagian atas surbannya. Diriwayatkan dari Mughirah Ibnu Syu'bah z; ”Bahwa Nabi n berwudhu lalu beliau mengusap ubun-ubunnya dan bagian atas surbannya dan kedua sepatunya.” (HR. Muslim)

Catatan :

• Adapun peci/kopiah/songkok bukan termasuk surban, sebagaimana dijelaskan oleh para Imam dan tidak boleh diusap diatasnya saat berwudhu seperti layaknya surban. Alasannya karena :

1. Peci/kopiah/songkok diluar kebiasaan dan juga tidak menutupi seluruh kepala.

2. Tidak ada kesulitan bagi seseorang untuk melepaskannya. • Bagi muslimah yang memakai kerudung/jilbab diperbolehkan

mengusap sebagian kecil dari rambut bagian depan dan bagian atas kerudungnya. Karena Ummu Salamah x (salah satu isteri Nabi n) pernah mengusap jilbabnya, hal ini disebutkan oleh Ibnul Mundzir. (Lihat al-Mughni, I/312 atau I/383-384). Hal ini sebagai qiyas dengan apa yang dilakukan oleh kaum pria yang diperolehkan untuk mengusap di atas imamah (surban). Tetapi dalam mengusap kerudung tidak dibatasi dengan waktu tertentu. Ini adalah pendapat Syaikh Abu Malik Kamal.

MARAJI’

1. Aktsar min Alf Jawab lil Mar’ah, Khalid Al-Husainan. 2. Al-Arba’in An-Nawawiyah, Abu Zakariya Yahya bin Syarif An-

Nawawi. 3. Al-Qawaidul Fiqhiyyah, Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu

Yusuf. 4. Al-Isyarah ila Miah Mukhalafah Taqa’u fith Thaharah,

Sulaiman bin Abdurrahman Al-Isa. 5. Al-Wajiz Fi fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz, Abdul Azhim bi

badawi al-Khalafi. 6. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Ibnu Rusy al-

Qurtuby al-Andalusy. 7. Bulughul Maram min Adilatil Ahkam, al-Hafizh Ibnu Hajar al-

Asqalani. 8. Fatawa Mar’atul Muslimah Kullu ma Yuhimmu Al-Mar’atul

Muslimah fi Syu’uni Diniha wa Dunyaha, Abu Malik Muhammad bin Hamid bin Abdul Wahhab.

9. Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq. 10. Fiqhus Sunnah lin Nisaa’i wa ma Yajibu an Ta’rifahu Kullu

Muslimatin mi Ahkam, Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim. 11. Majmu’ah Fatawa Madinatul Munawwarah, Muhammad

Nashirudin Al-Albani. 12. Mukhtasharul fiqhil Islami, Muhammad bin Ibrahim At-

Tuwaijiri. 13. Shahihul Matjar Ar-Rabih fi Tsawabil ’Amalish Shalih, Zakaria

Ghulam Qadir Al-Bakistani. 14. Shifat Wudhu Nabi n, Fahd bin Abdurrahman Asy-Syuwayyib. 15. Taisirul Allam Syarhu Umdatil Ahkam, Abdullah bin

Abdurrahman Ibnu Shalih Alu Bassam. 16. Taisirul Fiqh, Shalih bin Ghanim as-Sadlan. 17. Tuhurul Muslim fi Wudhuil Kitabi was Sunnati Mafhumun wa

Fadhailu wa Adabun wa Ahkamun, Said bin Wahf Al-Qahthani. 18. Umdatul Ahkam min Kalami Kharil Anam, Abdul Ghani Al-

Maqdisi.