6. Fauziddin

17
PENGARUH PRETEND PLAY TERHADAP PERKEMBANGAN BAHASA DAN KEMATANGAN SOSIAL ANAK-ANAK PRASEKOLAH THE INFLUENCE OF PRETEND PLAY TO THE LANGUAGE DEVELOPMENT AND SOCIAL MATURITY OF PRESCHOOL CHILDREN Moh. Fauziddin Dosen STKIP Pahlawan Tuanku Tambusai Riau, Indonesia Abstrak Dunia anak dekat dengan mainan. Permainan anak merupakan stimulasi yang baik bagi perkembangan anak. Namun tidak semua mainan mampu memberikan pengaruh bagi perkembangan anak. Penelitian ini mengungkapkan tentang pengaruh pretend play bagi perkembangan bahasa dan kematangan sosial pada anak-anak prasekolah. Pretend play sendiri adalah bentuk permainan yang didalamnya mengandung unsur berpura-pura. Permainan ini berbeda dengan role play, karena dalam pretend play selain terdapat sejumlah aturan, digunakan sejumlah peralatan yang menunjang permainan. Dengan demikian, kalau dalam role play penekanannya lebih pada peran yang dimainkan, maka dalam pretend play lebih pada peralatan yang dipakai dan yang menunjang unsur “pura-pura” yang ada dalam permainan. Penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimen pada 30 siswa taman kanak-kanak dengan rentang usia 3 sampai 4 tahun, yang terbagi secara random dalam dua kelompok yaitu kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Perkembangan bahasa diukur dengan menggunakan Verbal Language Development Scale (VLDS) dan kematangan sosialnya diukur dengan menggunakan Vineland Social Maturity Scale (VSMS). Setelah melalui perhitungan t- matching test, kedua kelompok tidak mengalami perbedaan di awal eksperimen. Dengan menggunakan analisis ANAVA satu jalan didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan Penelitian Dosen PGPAUD STKIP Pahlawan Tuanku Tambusai Riau Page 82

Transcript of 6. Fauziddin

Page 1: 6. Fauziddin

PENGARUH PRETEND PLAY TERHADAP PERKEMBANGAN BAHASA DAN KEMATANGAN SOSIAL

ANAK-ANAK PRASEKOLAH

THE INFLUENCE OF PRETEND PLAY TO THE LANGUAGE DEVELOPMENT AND SOCIAL MATURITY

OF PRESCHOOL CHILDREN

Moh. FauziddinDosen STKIP Pahlawan Tuanku Tambusai Riau, Indonesia

Abstrak

Dunia anak dekat dengan mainan. Permainan anak merupakan stimulasi yang baik bagi perkembangan anak. Namun tidak semua mainan mampu memberikan pengaruh bagi perkembangan anak. Penelitian ini mengungkapkan tentang pengaruh pretend play bagi perkembangan bahasa dan kematangan sosial pada anak-anak prasekolah.

Pretend play sendiri adalah bentuk permainan yang didalamnya mengandung unsur berpura-pura. Permainan ini berbeda dengan role play, karena dalam pretend play selain terdapat sejumlah aturan, digunakan sejumlah peralatan yang menunjang permainan. Dengan demikian, kalau dalam role play penekanannya lebih pada peran yang dimainkan, maka dalam pretend play lebih pada peralatan yang dipakai dan yang menunjang unsur “pura-pura” yang ada dalam permainan.

Penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimen pada 30 siswa taman kanak-kanak dengan rentang usia 3 sampai 4 tahun, yang terbagi secara random dalam dua kelompok yaitu kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Perkembangan bahasa diukur dengan menggunakan Verbal Language Development Scale (VLDS) dan kematangan sosialnya diukur dengan menggunakan Vineland Social Maturity Scale (VSMS).

Setelah melalui perhitungan t- matching test, kedua kelompok tidak mengalami perbedaan di awal eksperimen. Dengan menggunakan analisis ANAVA satu jalan didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dalam perkembangan bahasa dan tidak ada perbedaaan yang signifikan dalam kematangan sosial.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pretend play mempengaruhi perkembangan bahasa anak dan tidak memberikan pengaruh pada kematangan sosial anak.

Key Words : Pretend Play, Perkembangan Bahasa, Kematangan Sosial

Penelitian Dosen PGPAUD STKIP Pahlawan Tuanku Tambusai Riau Page 82

Page 2: 6. Fauziddin

PENDAHULUAN

Dunia anak tidak dapat dipisahkan dengan bermain. Bermain sendiri sering diartikan sebagai suatu aktivitas sambil lalu dan dianggap tidak mempunyai manfaat yang banyak. Di samping itu banyak orang tua yang menganggap bermain hanya menghabiskan biaya saja, mambikin ruangan kantor dan membuat ribut. Orang tua lebih memperhatikan pada kegiatan – kegiatan serius yang harus dilakukan oleh anak yaitu acara – acara les, kursus dan mengerjakan pekerjaan rumah, sehingga akibatnya makin banyak orang tua yang kurang menyadari pentingnya bermain bagi putra – putrinya.

Orang tua karena harus banyak melakukan kegitan an di luar rumah, seringkali memberikan permainan yang lebih memfokuskan pada perkembangan kognisi anak, karena sifat permainan tersebut lebih memfokuskan pada perkembangan kognisi maka tidak membutuhkan interaksi dengan teman lain, tidak mengotori ruangan, dan membuat anak tenang karena dipaksa berpikir. Permainan tersebut misalnya jenis pemainan elektronik video game, vega, ninetendo, play station, game watch dan jenis – jenis permainan lain yang dapat di download dari internet.

Di samping itu di kota – kota besar banyak sekali bermunculan perumahan – perumahan. Kebanyakan rumah – rumah yang ada dalam perumahan memiliki pagar, sehingga interaksi antar penghuni kurang intensif seperti yang ada di desa ataupun rumah di kampung. Akibat dari keadaan yang demikian ini, anak – anak di kota besar yang tinggal dalam perumahan seperti itu, akan jarang berinteraksi dengan teman – temannyaatau

melakukan bermain secara kelompok. Akhirnya permainan individual yang kebanyakan hanya lebih menyentuh aspek kognisi akan menjadi pilihan anak.

Perkembangan anak yang optimal tidak dapat dicapai apabila anak hanya diberi rangsangan yang meningkatkan satu aspek saja. Anak akan berkembang secara optimal apabila diberi rangsangan pada kognisi dan afeksinya. Alasannya apabila seorang anak terlalu sering dirangsang kognisinya dan afeksinya tidak, maka anak akan terbiasa menganalisis apa yang dihadapinya dengan menggunakan pikiran saja tanpa perasaan atau kognisi saja tanpa afeksi. Dengan demikian permainan yang sebaiknya diberikan kepada anak adalah permainan yang dapat mengembangkan dua aspek tersebut.

Menurut Smith (1978), Smart & Smart (1982), dan Sajono (1987) pada tahap perkembangan usia 3-5 tahun, yaitu usia anak persekolahan, bermain akan memberikan kesempatan pada anak untuk mengekspresikan fantasi dan bakat. Anak – anak dapat menggunakan benda – benda atau situasi untuk mengeskpresikan fantasi melalui bahasa dan tingkah laku yang berbeda. Dengan demikian apabila anak diarahkan tidak hanya pada perkembangan faktor kognisi saja melainkan juga pada faktor afeksi, maka anak akan berkembang secara optimal.

Keadaan optimal tersebut di atas dapat sebagai dasar adanya keseimbangan dalam perkembangan anak. Menurut Hurlock (2000), apabila anak mengalami keseimbangan pada aspek – aspek perkembangannya, maka dia akan dapat melalaui masa – masa

83

Page 3: 6. Fauziddin

berikutnya tanpa harus melalui “sesuatu yang sulit” atau mengalami ketidak – seimbngan. Selanjutnya masih menurut Hurlock, pemaianan yang dapat menimbulkan pengaruh terhadap penyesuaian pribadi dan sosial sangat penting bagi perkembangan anak.

Sementara itu, kenyataan yang ada saat ini banyak bermunculan permainan elektronik yang bersifat individual, sehingga tidak mengembangkan pola interaksional dengan teman sebaya ataupun kurang dapat mengembangkan penyesuaian pribadi dan sosial anak.

Menurut Hurlock (2000), salah satu bentuk permainan yang dapat meningkatkan perkembangan kognisi dan afeksi, adalah pretend play. Hal ini disebabkan karena dalam pretend play anak diharuskan bermain dengan menggunakan bahasa sebagai pengantar dan mengajarkan anak untuk bermain peran, sehingga permainan tersebut akan merangsang aspek kognisi dan aspek afeksi.

Secara luas pengertian pretend play adalah bentuk permainan aktif anak – anak, yang di tampilkan melalui perilaku dan bahasa yang jelas, serta berhubungan dengan materi atau situasi yang seolah – olah hal itu mempunyai atribut sama dengan yang sebenarnya (Hurlock,2000). Suasana yang sebenarnya, misalnya : sebuah rumah, sebuah toko, atau tempat praktek doter. Di samping itu McCall dkk. (dalam Mussen, 1988) juga menyatakan bahwa dalam pretend play anak berusaha mengambil peranan orang lain, misalnya peran orang tua, dokter, penjual, dan sebagainya.

Dalam pretend play perkembangan afeksi anak dapat dilihat dari kemampuan anak dalam menangkap keinginan teman bermain, dalam memainkan peran, serta dalam mengekspresikan emosi sesuai keadaan yang ada. Perkembangan afeksi anak akan nampak secara keseluruhan dalam kematangan sosial dan juga di saat anak mengekspresikan emosinya dalam situasi sosial atau dalam situasi ” pura – pura”. Dengan demikian, sesuai dengan yang dilakukan dalam pretend play, maka anak akan belajar melatih emosinya dalam hal ini afeksinya anak ketika menghadapi situasi soaial yang ada. Ketrampilan – ketrampilan dalam menghadapi situasi sosial akan lebih membuat anak berkembang aspek afeksinya, dan akan nampak dalam kematangan sosial.

Dalam pretend play, perkembangan kognisi dapat dilihat dalam kemampuan menangkap makna kata – kata yang diucapkan oleh teman bermain yaitu perkembangan pebendaharaan kata yang ada serta cara mengekspresikan secara nonverbal. Selanjutnya, mengingat perkembangan bahasa dapat digunakan sebagai indikator perkembangan kognisi, maka dengan adanya penambahan perbendaharaan kata berarti terjadi peningkatan dalam kognisi.

Perkembangan anak masa prasekolah sendiri mempunyai ciri – ciri yang khas bagi kelompok masa tersebut. Perkembangan yang mencolok pada masa prasekolah adalah perkembangan sosial dan perkembangan kognitif, walaupun tidak menutup kemungkinan bekembangnya kepribadian, emosi dan lain sebagainya (Mussen dkk.,

84

Page 4: 6. Fauziddin

1984; Peterson, 1989; Monks dkk., 2003, Santrock, 2004).

Perkembangan sosial anak masa prasekolah ditandai oleh meluasnya lingkungan sosial. Anak melepaskan diri dari keluarga dan makin mendekatkan diri pada orang lain di samping anggota keluarga. Kontak yang terjadi dengan teman sebaya makin intensif dan anak – anak saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Hal tersebut dapat digunakan sebagai sarana anak untuk belajar sosial melalui kehidupan teman ataupun balajar peran apabila dapat bermain bersama.

Saling mempengaruhi di antara anak prasekolah, menjadikan terbentuknya aturan – aturan yang diberlakukan dalam kelompok dan terben tuk pula pengertian tentang siapa yang berkuasa dan siapa yang tidak, siapa yang selalu memimpin dan siapa yang selalu mengalah. Karakteristik anak yang terlalu dominan akan merugikan teman – temannya yang selalu mengalah. Dengan demikian perlu adanya alat agar anak tidak merasa didominasi yaitu permainan jenis kelompok (Smart & Smart, 1982). Hal ini disebabkan permainan jenis kelompok akan menjadikan anak prasekolah mengetahui aturan – aturan yang harus dilakukan dalam kelompok, sehingga apabila terjadi ada anggota kelompok yang selalu dominan pada saat tertentu akan dikritik oleh temannya. Pola yang demikian akan mengakibatkan anak berinterakasi secara timbal balik tanpa ada yang selalu dominan. Dengan kata lain prmainan akan dapat menjadi lat sosialisasi yaitu proses anak belajar mengenai standar, nilai dan sikap yang diharapkan kebudayaan atau

lingkungan masyarakat mereka (Mussen, 1984)

Perkembangan kognitif anak masa prasekolah ditandai dengan kategorisasi – kategorisasi baik untuk diri sendiri maupun untuk masyarakat. Terdorong rasa ingin tahu tentang sesuatu yang berada di sekelilingnya serta keinginan untuk membuat kategori – kategori yang ada di sekelilingnya, maka muncul pemahaman anak terhadap bahasa sebagai alat untuk menandai kategori – kategori tersebut (Rubin dkk, 1983).

Permainan ada pada setiap tingkat usia manusia, namun demikian permainan seringkali dianggap sebagai suatu bagian yang bersifat alamiah bagi seorang anak. Gambaran seorang anak akan terlintas apabila melihat sebuah permainan. Tentunya tak berlebihan apabila dikatakan bahwa dunia anak adalah dunia bermain (Cohen, 1993; Smart & Smart, 1982; Peterson, 1989; Monks dkk., 2003; Hurlock, 1993).

Berdasarkan ciri perkembangan sosial anak prasekolah, maka ada kecenderungan anak prasekolah untuk mengembangkan interaksi pada lebih banyak teman. Mengingat hal tersebut, maka menurut Rubin dkk., (1983) bahwa sebaiknya permainan anak ketika masa prasekolah lebih mengarah pada pretend play dengan bentuk permainan sosial daripada permainan solitair.

Penampakan aktivitas anak memainkan pretend play makin tinggi ketika anak berumur 3-4 tahun. Hal ini ditunjang oleh pendapat Shatz dkk., (dalam Cohen 1993) bahwa pada usia 3 tahun, anak secara khusus mrnggunakan mentalnya untuk bermimpi,

85

Page 5: 6. Fauziddin

mengingat, berpikir dan berpura – pura. Wellman (1985, dalam Cohen 1993)) berpendapat bahwa pada usia 4 tahun anak sadar bahwa apa yang merupakan pura – pura itu adalah sesuatu yang ada dalam kenyataan.

Fungsi pretend play bagi anak prasekolah akan menjembatani hubungan sosial anak dengan teman di sekolahnya. Selain itu pretend play bagi anak prasekolah juga berfungsi untuk mengembangkan bahasa anak yaitu mengembangkan jumlah perbendaharaan anak yaitu mengembangkan jumlah perbendaharaan kata dan kalimat anak (Rubin dkk, 1983; Fein, 1989, Cohen ,1993).

Smith (1978) juga menyatakan bahwa pada usia 3 tahun, anak menunjukkan kesadaran yang lebih besar pada kepura-puraannya dan cenderung untuk meniru orang lainsecara menyeluruh. Mereka menjadi ayah dan ibu dengan segala perilaku dan juga kadang atribut yang dikenakan oleh orang yang lebih dewasa.

Di sisi lain, menurut teori perkembangan, maka anak prasekolah berkembang melalui proses pengalaman dan kematangan (Hurlock,2000). Berdasarkan ungkapan tersebut, maka Cohen(1993) menyatakan bahwa semakin sedikit permainan, maka semakin sedikit pula pengalaman anak. Dengan demikian apabila anak tidak mendapatkan pengalaman malaui bermain, maka terdapat kekurangan dalam proses berkembang pada anak prasekolah. Disamping itu pretend play mengharuskan anak untuk aktif menerima respon dari teman yang lain dan mengontrol peran yang dia mainkan. Kondisi yang demikian ini akan menyebabkan anak mengetahui

kategori sosial dan peran sosial serta dapat mengontrol diri, sehingga anak dapat mengarahkan diri pada kematangan.

Mussen (1980) menyatakan bahwa perkembangan bahasa anak usia prasekolah dapat dikategorikan sebagai berikut. Pada usia anak 3 tahun, perbendaharaan katanya sekitar 1000 kata dan sekitar 80% diucapkan dengan jelas bahkan untuk yang masih asing. Tata bahasa yang lebih komplekspun dapat diucapkan, walaupun dalam pengucapan tidak sama persis dengan yang biasa diucapkan oleh orang dewasa dan juga masih sering terjadi kesalahan. Ciri lainnya bahwa anak sudah dapat mengatakan kata-kata yang menggambarkan waktu yang akan datang, misalnya ”nanti aku sekolah” ; kalau sudah besar aku mau jadi dokter dan sebagainya.

Pada usia anak 4 tahun bahasanya berkembang dengan baik. Kalimat lebih panjang dan lebih kompleks, dapat mengatakan dua ide dalam satu kalimat. Misalnya ” angga mau makan dan akau nggak mau”. Perbedaan yang terjadi dengan bahasa orang dewasa adalah terletak dalam gaya pengucapan saja. Dengan demikian bahasa anak prasekolah mulai menjadi lebih kompleks dari sebelumnya. Anak sudah mulai dapat mengatakan ”di sini” dan ” di sana” , juga kata-kata”jarang” atau ” kadang-kadang” serta telah dapat menggunakan kata benda dan kata kerja sebagaimana mestinya.

Jenis permainan sangatlah banyak dan masing-masing memiliki fungsi dan tujuan tertentu. Menurut para ahli yang telah dikemukakan di depan, permaianan yang baik adalah permainan yang merangsang kognisis,afeksi dan psikomotor. Dalam jenis pretend play anak

86

Page 6: 6. Fauziddin

diransgsang untuk memainkan peran dan merespon peran teman. Pada saay yang bersamaan , anak berkomunikasi dengan menggunakan bahsa sebagai pengantar. Dengan demikian apabil pretend play diberikan pada anak prasekolah, maka dengan sendirinya akan mengembangkan kemampuan bahsa dan kematangan sosialnya. Perlakuan pretend play secara berkala akan mempercepat anak berkembang kemampuan bahsa dan bahasa sosialnya, mengingat akibat dari pemberian pretend play tidak akan nampak hanya dengan satu kali pemberian.

Kapan seorang anak telah dapat dikatakan melakukan pretend play? Menurut McCune-Nicolich (dalam Hope-Graff,1993; dan Cohen, 1993) terdapat beberapa tahapan perkembangan dalam pretend play. Tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut.Tahap 0, Pola PrasimbolisTidak melakukan pretend play. Anak menunjukkan pemahaman terhadap penggunaan objek dan bentuk objek. Sifat dari objek lebih dianggap sebagai stimulus yang serius oleh anak daripada sebagai alat permainanTahap 1, Pola Simbolis Untuk DiriDalam melakukan pretend play anak sudah dapat melihat keterkaitan langsung antara mainan dengan dirinya. Anak siap untuk bermain dan menampakkan kesadaran bahwa permainan itu hanya pura-pura.Tahap 2, Permainan Simbolis Berpola TunggalAnak mengembangkan permainan dalam kondisi di luar aktivitasnya sendiri, yaitu anak mulai memainkan peran atau aktivitas orang ataupun objek lain/Tahap 3, Permainan Simbolis Kombinasi

Dalam kondisi ini anak dapat melakukan pola kombinasi tunggal yaitu memainkan satu pretend play yang berhubungan dengan beberapa aktor. Anak dapat pula memainkan pola kombinasi beragam yaitu beberapa peran yang berhubungan satu dengan yang lain dan ada dalam satu rangkaian.Tahap 4, Permainan Simbolis TerencanaAnak menunjukkan pola perilaku secara verbal dan non verbal, berinteraksi dengan peran dan aktivitas anak lain secara baik.

Berdasarkan tahap-tahap tersebut di atas terlihat bahwa pretend play dapat dikategorikan sebagai permainan individual maupun permainan kelompok. Stase 0-2 anak memainkan permainan secara individua, dan pada stase 3 dan 4 anak memainkannya secara kelompok.

CARA PENELITIAN

SUBJEK PENELITIANSubjek dalam penelitian ini

adalah anak pra sekolah di TK Pembina Bangkinang kabupaten Kampar kelas A atau kelas nol kecil. Usia subyek berkisar antara 3-4 tahun. Bahasa yang digunakan seharu-hari bahasa Indonesia. Jumlah populasi adalah anak laki-laki 31 orang dan yang perempuan 27 anak. Setelah dilakukan kontrol sesuai dengan tujuan dari penelitian, didapatkan subjek penelitian sejumlah 30 orang anak. Subyek tersebut dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok kontrol dan kelompok eksperimen secara random. Pada masing-masing kelompok terdiri dari anak perempuan dan laki-laki. Komposisi

87

Page 7: 6. Fauziddin

pada kelompok kontrol adalah 6 anak laki-laki dan 9 anak perempuan. Sedangkan pada kelompok eksperimen terdiri dari 7 anak laki-laki dan 8 anak perempuan.

CARA PENELITIANSetelah didapatkan subjek

pada masing-masing kelompok 15 anak, maka kemudian pada masing-masing kelompok dibagi dalam tiga kelompok, karena perlakuan yang diberikan mengandung kerjasama dan tetapi tidak menutup kemungkinan anak dari kelompok yang satu akan berpindah ke kelompok yang lain. Pembagian kelompok di awal hanya untuk memberikan kemudahan dalam pendistribusian alat mainan pretend play dan memudahkan dalam observasi untuk merekam data tambahan.

Eksperimen dilakukan dengan menggunakan rancangan Before-after Control Group atau control group pretest postest design (Kerlinger,1990). Subyek pada awal eksperimen diukur tingkat perkembangan bahasanya dengan menggunakan Language Verbal Language Development Scale (VLDS) dan juga Vineland Social Maturity Scale (VSMS). Setelah itu dilakukan group matching yaitu penyamaan kondisi awal antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Perhitungan yang dilakukan adalah menghitung perbedaan di awal test dengan menggunakan t- matching. Didapatkan hasil t = -0,552 dengan p = 0,592 untuk kematangan sosialnya dan pada perkembangan bahasa didapatkan t = 0,674 dengan p = 0,512. Dengan demikian didapatkan kesimpulan bahwa antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen berada dalam

keadaaan seimbang. Setelah diketahui keadan dua kelompok seimbang, baru kemudian dilakukan eksperimen.

Alat-alat yang digunakan dalam eksperimen adalah pretend play yang diambilkan dari macam mainan hospital play. Alat mainan tersebut terdiri dari baju dokter, peralatan bidang kedokteran seperti stetoskop, suntik, obat-obatan dsb (lihat gambar 1) dan kemudian ditambahkan dengan alat mainan pelengkap yang berupa boneka dan peralatan rumah tangga seperti sendok makan, gelas dan cangkir, dan sebagainya. Selama anak bermain dilakukan observasi untuk mendapatkan data tambahan.

Peralatan Permainan Rumah Sakit/Dokte

Pelaksanaan eksperimen dilakukan seminggu 3 kali dan dilakukan selama tiga kali dalam satu bulan. Waktu yang diberikan fleksibel sampai anak menunjukkan perilaku pretend play di kelompoknya, yaitu saat kelompok anak diamati menunjukkan perilaku yang ada pada tahap 4. Tahap tersebut adalah tahap permainan simbolis terencana yang memiliki ciri-ciri anak menunjukkan pola perilaku secara verbal dan non verbal, berinteraksi dengan peran dan aktivitas anak lain secara baik.

88

Page 8: 6. Fauziddin

Setelah dalam kelompok tersebut anak melakukan permainan dalam tahap 4, maka anak dilakukan pengukuran perkembangan bahasa dengan menggunakan Language Verbal Language Development Scale (VLDS) dan juga Vineland Social Maturity Scale (VSMS). untuk kematangan sosialnya. Kemudian hasil hitungannya diperbandingkan antara kelompok kontrol dengan kelompok eksperimen. Pada anak kelompok kontrol tidak diberikan mainan pretend play. Mereka diberi mainan bongkar pasang dan setting duduknya tetap sendiri, bukan berkelompok.

HASIL DAN PEMBAHASANHasil pengukuran pada akhir

eksperimen dilakukan dengan anava satu jalan. Hasil pengukuran dengan menggunakan SPSS (Statistical Package for Social Science) didapatkan hasil F = 3,0866 dengan p = 0,0899 (p > 0,05) untuk kematangan sosial. Dengan demikian dapat dikatakan tidak ada perbedaan dalam kematangan sosial antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Sedangkan hasil dari pengukuran anava 1 jalan untuk perkembangan bahasa didapatkan hasil sebesar F = 15,2270 dengan p = 0,0005 (p < 0,05) yang berarti bahwa terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara kelompok kontrol dengan kelompok eksperimen dalam perkembangan bahasa.

Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa dalam kematangan sosialnya tidak terjadi perbedaan antara kelompok kontrol dengan kelompok eksperimen. Tidak terjadinya perbedaan tersebut dapat saja dikarenakan beberapa hal yaitu: Pertama, seleksi subjek yang tidak tepat dan ikut campurnya orang tua

dalam memotivasi anak-anak yang terlepas dari kontrol peneliti. Kemungkinan kedua, pengalaman subjek. Artinya subjek telah terbiasa memainkan mainan ini, khususnya pada kelompok kontrol. Kemungkinan ketiga adalah instrument yang kurang tepat karena definisi kematangan sosial yang digunakan kurang mengena. Selanjutnya kemungkinan yang keempat adalah kematangan subyek. Usia yang digunakan adalah usia yang memungkinkan anak untuk berkembang cepat. Masa anak yang sensitif the critical-periods hypothesis atau teachable moment ini membuat anak berkembang secara pesat dan berlaku pada semua anak.

Pada perkembangan bahasa terjadi perbedaan yang signifikan. Perkembangan bahasa ini berkaitan dengan perkembangan kognitif. Hal ini sejalan dengan hasil tulisan Bergen (2002) menunjukkan bahwa pretend play memiliki pengaruh terhadap perkembangan kognitif anak. Dalam penelitian tersebut digambarkan bahwa perkembangan kognitif anak adalah menyangkut kemampuan dalam perencanaan, negosiasi, problem solving dan pencapaian tujuan.

Carruthers (2002, h.225-249) menyatakan bahwa pretend play pada anak memiliki dasar perkembangan kognitif sama dengan berpikir kreatif dan kemampuan memecahkan masalah orang dewasa. Dalam studi dengan Structural Equation Model yang dilakukan Guo, dkk. (2000), bahwa stimulasi kognitif dapat diprediksi melalui alat-alat maupun interaksi ibu dan anak, yang akhinya akan mempengaruhi pada perkembangan intelektual. Swebel,dkk. (1999,

89

Page 9: 6. Fauziddin

h.333-348) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pretend play akan mempengaruhi perkembangan imajinasi anak.

Perkembangan kognitif juga terkait dengan kemampuan anak dalam bahasa. Menurut Hulle,dkk (2004), melalui analisis dengan Structural Equation Model didapatkan bahwa selain jenis kelamin maka lingkungan akan mempengaruhi dalam perolehan bahasa anak sebesar kurang lebih 54 –78 %. Demikian juga analisa yang dilakukan oleh Garrett,dkk. (1994, h.147 –163), bahwa lingkungan rumah memiliki pengaruh pada status perkembangan anak yang berkaitan dengan kemampuan akademik dengan mediator kompetensi seorang ibu.

Curran (1999, h.47 –55), melakukan studi observasional pada pretend play anak-anak. Hasilnya menyatakan bahwa pretend play akan membuat anak mengembangkan kemampuan bernarasi, baik ketika mengawali bermain sampai mengakhiri permainan.

KESIMPULAN DAN SARANKesimpulan yang dapat

ditarik bahwa akibat adanya perlakuan pretend play secara berkala pada anak prasekolah akan meningkatkan perkembangan bahasa anak dan tidak dapat meningkatkan kematangan sosialnya. Walaupun kelompok kontrool tidak dikenai perlakuan manun ternyata terjadi peningkatan pada beberapa subjek. Pada anak prasekolah yang pendiam ndan sulit berkomunikasi, pretend play banyak membantu untuk berkomunikasi karena situasi kelompok yang mendukung.

Untuk dapat mengambil kesimpulan yang lebih meyakinkan tentang pengertian sebab akibat dari sebuah perlakukan dalam hal ini pretend play, maka penelitian perlu dibuat dalam ruang khusus yang benar-benar terkontrol dan waktu yang lebih lama untuk mendeteksi secara pasti bahwa pretend play dapat memepengaruhi kematang sosial anak. Pretend play lebih memungkinkan mengembangkan bahasa karena permainan ini sifat mainan ini efektif dimainkan kelompok sehingga memungkinkan anak berinteraksi.

Bagi para pendidik dan orang yang terlibat dalam pendidikan dan pengasuhan anak, perlu memberikan mainan secara seimbang antara permaianan yang elektronok dengan pretend play karena dengan memberikan stimulasi yang demikian ini anak akan mampu mengembangkan aspek perkembangannya dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Bergen, D. (2002). The Role of pretend play in children’s Cognitive Development.

Early childhooad Research & Practice, v4 i1 pNa, ERIC Clearinghouse on Elementary & Early Childhood Education

Candida, Peterson (1989).Looking Forward Through The Life-Span Developmental

Psychology. New Jerey : Prentice Hall, Inc.

Carruthers, P. (2002). Human Creativity; Its Cognitive Basis, its Evolution, and its

Connections with Childhood Pretence. The British Jounal

90

Page 10: 6. Fauziddin

for the Philosophy of Science. 53,2. Academic Research Library. p.225 – 249.

Cohen, David (1993). The development of Play. New York

: Routledge. Second Edition

Curran, J.M. (1999). Constraints of pretend play : Explicit and implicit Rules. Journal

of Research in Childhood Education. 14., Academic Research Library, p. 47-55.

Fein, G.G. (1989) Mind Meaning and Affect: Proposals For a Teori of Pretense.,

dalam Grover J.W (editor). Developmental Review, Perspective in Behavior and Cognition . New York: Academic Press, Inc. 9, 345-363.

Galvin, K.M., Bylund, C.L., Brommel, B.J. (2004). Family Communication : Cohesion and Change. Boston, Pearson Education, Inc.

Garrett, P., Ferron, J., Ng’andu, N., Bryant, D. & Harbin, G. (1994). A Structural

Model for the Developmental Status of Young Children. Journal of Marriage and The Family. 56. 1. Academic Research Library. p. 147 – 163.

Guo, G. & Harris, K.H. (2000). The Mechanims Mediating The Effects of Povrty on

Children’s Intellectual Development. Demography.

37,4, Academic Research Library. p. 431-447

Hendrick, J.(1991). Total Learning : Developmental Curriculum for The Young Child. New York : Macmillan Publishing Company. Third Edition

Hoppe-Graff, S. (1993) Individual differences in the emergence of pretend Play, dalam R.Case & W. Edelstein (editor ) The new structuralism in Cognitive Develkopment. Theori And Research On Individual Pathways Contribution Human Development. Basel, Karger, 23.57-70.

Hulle, C. A. V., Goldsmith, H.H. & Lemery, K.S. (2004). Genetic, Environmental,

and Gender Effects on Individual Differences in Toddler Expressive

Language. Journal of Speech, Language and Hearing Research. 47.4., Academic Research Library. p. 904 - 912

Hurlock, E.B. (2000). Perkembangan anak Jilid I. Jakarta: penerbit Erlangga

Monks, F.J., Knoers, A.M.P., dan Haditono, S.R. (2004). Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya (revisi-3). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Mussen, PH., Conger, J.J., Kagan, J., & Huston, A.C. (1988)

91

Page 11: 6. Fauziddin

Perkembangan dan Kepribadian anak Jilid I . (terjemahan). Jakarta : Penerbit Erlangga

Papalia, Diane. E., Olds, Sally W. , Fieldman, Ruth D., (2001) Human Development,

8th d. New York: McGraw-Hill.

Rubin, K.H., Fein, G,G. & Vandenberg, B. (1983). Play. In Paul H. Mussen (ed.),

Handbook of Child Psychology. 4th ed. New York, John Wiley & Sons. Inc.

Sajono, T.I.(1987). Peranan Alat Bermain Dalam Perkembangan Anak, Dalam

Rangsangan Dini Untuk Perkembangan Anak. Jakarta pusat: Yayasan Jambangan Kasih.

Santrock, John. W. (2004). Child Development. New York: McGraw-Hill

Smart, M.S. & Smart R.,C. (1982) Children : development and Relationship. New

york: Macmillan Publishung Co. inc,

Sutton-Smith, B. (1978). Children at play, dalam Janice T. G. & Phillis B. (Editor).

Growing up: the study of Children. Manila : Addison-Weslet Publising Company, Inc. 175-181

Schwebel, D.C. (1999). Preschoolers’pretend Play and Theory of Mind: The role

of Jointly constructed pretence. British Journal of Developmental Psychology. 17, 333-348, British Psychological Society.

92