6 BAB II 2.1. - sinta.unud.ac.id II.pdf · Anggota dari family Equisetaceae adalah tanaman...

15
6 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan tentang Paku Ekor kuda (Equisetum debile L.) 2.1.1. Klasifikasi Nama paku ekor kuda merujuk pada segolongan kecil tumbuhan (sekitar 20 spesies) yang termasuk dalam genus Equisetum (dari equus yang berarti "kuda" dan setum yang berarti "rambut tebal" dalam bahasa Latin). Anggota-anggotanya dapat dijumpai di seluruh dunia kecuali Antartika. Di kawasan Asia Tenggara (Indonesia termasuk di dalamnya) hanya dijumpai satu spesies alami saja, E. ramosissimum subsp. Debile (Winter dan Amoroso, 2003), yang dikenal sebagai rumput betung dalam bahasa Melayu, tataropongan dalam bahasa Sunda, dan petongan dalam bahasa Jawa. Kalangan taksonomi masih memperdebatkan apakah kelompok ekor kuda merupakan divisio tersendiri, sebagai Equisetophyta (atau Sphenophyta), atau suatu kelas dari Pteridophyta, sebagai Equisetopsida (atau Sphenopsida). Hasil analisis molekular menunjukkan kedekatan hubungan dengan Marattiopsida (Smith, 2006). Paku ekor kuda merupakan tumbuhan dengan genus tunggal, yaitu Equisetum. Genus ini hanya memuat kira-kira 25 spesies, sebagian hidup di darat dan sebagian hidup di rawa-rawa (Adwinta, 2012). Tanaman perennial ini memiliki nama daerah yaitu rumput betung, ekor kuda, pipa kuda atau rumput ular. Ada beberapa anggota keluarga ini yang asli di barat daya. Anggota dari family Equisetaceae adalah tanaman pre-historik,

Transcript of 6 BAB II 2.1. - sinta.unud.ac.id II.pdf · Anggota dari family Equisetaceae adalah tanaman...

6

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan tentang Paku Ekor kuda (Equisetum debile L.)

2.1.1. Klasifikasi

Nama paku ekor kuda merujuk pada segolongan kecil tumbuhan (sekitar

20 spesies) yang termasuk dalam genus Equisetum (dari equus yang berarti "kuda"

dan setum yang berarti "rambut tebal" dalam bahasa Latin). Anggota-anggotanya

dapat dijumpai di seluruh dunia kecuali Antartika. Di kawasan Asia Tenggara

(Indonesia termasuk di dalamnya) hanya dijumpai satu spesies alami saja, E.

ramosissimum subsp. Debile (Winter dan Amoroso, 2003), yang dikenal sebagai

rumput betung dalam bahasa Melayu, tataropongan dalam bahasa Sunda, dan

petongan dalam bahasa Jawa. Kalangan taksonomi masih memperdebatkan

apakah kelompok ekor kuda merupakan divisio tersendiri, sebagai Equisetophyta

(atau Sphenophyta), atau suatu kelas dari Pteridophyta, sebagai Equisetopsida

(atau Sphenopsida). Hasil analisis molekular menunjukkan kedekatan hubungan

dengan Marattiopsida (Smith, 2006).

Paku ekor kuda merupakan tumbuhan dengan genus tunggal, yaitu

Equisetum. Genus ini hanya memuat kira-kira 25 spesies, sebagian hidup di darat

dan sebagian hidup di rawa-rawa (Adwinta, 2012).

Tanaman perennial ini memiliki nama daerah yaitu rumput betung, ekor

kuda, pipa kuda atau rumput ular. Ada beberapa anggota keluarga ini yang asli di

barat daya. Anggota dari family Equisetaceae adalah tanaman pre-historik,

7

merupakan tumbuhan paku yang memiliki informasi tentang bagaimana dan

mengapa mereka bisa hidup sekian lama. Tanaman ini tersebar oleh spora yang

berada di suatu lokasi dan memiliki suatu sistem percabangan rizoma yang luas

yang tertanam sangat dalam di tanah (Anonim, 2007).

Tjitrosoepomo (2005) mengklasifikasikan tumbuhan paku ekor kuda

sebagai berikut:

Divisi : Pteridophyta

Kelas : Equisetinae

Ordo : Equisetales

Famili : Equisetinaceae

Genus : Equisetum

Spesies : Equisetum debile L.

2.1.2. Morfologi

Gambar 2.1. Sketsa Tumbuhan Paku Ekor Kuda (Equisetum sp.)

Pada penampang melintang, batang kelihatan mempunyai suatu

lingkaran berkas-berkas pengangkut kolateral, dua lingkaran saluran-saluran

8

antar sel, dan satu ruang udara lisigen di pusat. Berkas pengangkut dalam

sporofil mempunyai susunan konsentris. Pada buku-buku batang terdapat

suatu karangan daun serupa selaput atau sisik, berbentuk meruncing,

mempunyai satu berkas pengangkut yang kecil. Daun-daun itu di bagian

bawah berlekatan menjadi suatu sarung yang menyelubungi batang, terutama

bagian bawah tiap-tiap ruas. Ruas-ruas memperlihatkan pertumbuhan

interkalar. Cabang-cabang tidak keluar dari ketiak daun melainkan di antara

daun-daun dan menembus sarung keluar. Karena daun amat kecil, batang dan

cabang-cabangnya yang mempunyai fungsi sebagai assimilator tampak

berwarna hijau karena mengandung klorofil (Tjitrosoepomo, 2005).

Gambar 2.2. Batang Equisetum debile L. yang berwarna hijau (kanan) dan sorusnya yang

berbentuk strobilus (kiri)

2.1.3. Kandungan Fitokimia

Berbagai macam spesies dari Equisetum mengandung flavonoid, glikosida,

asam fenolat, sejumlah besar asam silika dan silikat. Juga mengandung lipid yang

terdiri dari triakontanedioat (equisetolat) dan asam oktakosanedioat, rhodoxanthin,

kandungan silikon dan polifenol, asam polifenol termasuk kafein dan asam

9

protokatekin. Equisetum debile juga mengandung alkaloid termasuk nikotin.

Kandungan silikon di dalamnya telah diekstrak dari tanaman untuk aplikasi

pengobatan (Ghani, 2003).

Tumbuhan paku ekor kuda (Equisetum sp.) telah diteliti sebagai

hepatoprotektif dalam kasus hepatitis, karena memiliki antioksidan dan

menghambat radikal bebas. Beberapa spesies dari genus Equisetum dapat

membantu menurunkan tingkat glukosa darah dan dapat membantu mengatasi

diabetes tipe 2, dan memiliki efek antimikrobial yang baik (Stuart, 2005).

Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Mimica (2008) menunjukkan

bahwa genus Equisetum mengandung senyawa fenol berupa isoquercitrin,

apigenin 5-O-glukosida, kaempferol 3-O-glikosida, di-E-caffeoyl-meso-asam

tartarat, asam fenolat 1 dan asam fenolat 2 yang memiliki fungsi sebagai

antioksidan aktif.

Secara khusus Equisetum debile mengandung asam kersik 5%-10%, asam

oksalat, asam malat, asam akonitat (asam equisetat), asam tanat, kalium, natrium,

thiaminase dan saponin (Anonim, 2005).

10

2.2. Antioksidan dan Radikal Bebas

2.2.1. Pengertian Antioksidan

Antioksidan sebenarnya didefinisikan sebagai inhibitor yang bekerja

menghambat oksidasi dengan cara bereaksi dengan radikal bebas reaktif

membentuk radikal bebas tak reaktif yang relatif stabil. Tetapi mengenai radikal

bebas yang berkaitan dengan penyakit, akan lebih sesuai jika antioksidan

didefinisikan sebagai senyawa-senyawa yang melindungi sel dari efek berbahaya

radikal bebas oksigen reaktif (Sofia, 2005).

Ciri utama dari antioksidan adalah kemampuannya untuk menjebak radikal

bebas. Radikal bebas yang sangat reaktif dan oksigen yang hadir dalam sistem

biologi dari berbagai sumber. Radikal bebas dapat mengoksidasi asam nukleat,

protein, lipid atau DNA dan dapat memulai penyakit degeneratif. Antioksidan

senyawa seperti fenolik, polifenol dan flavonoid asam radikal bebas seperti

peroksida, atau hidroperoksida lipid peroxyl dan dengan demikian menghambat

mekanisme oksidatif yang mengakibatkan penyakit degeneratif (Prakash, 2001.)

Senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami adalah yang berasal

dari tumbuhan. Kingdom tumbuhan, Angiosperm memiliki kira-kira 250.000

sampai 300.000 spesies dan dari jumlah ini kurang lebih 400 spesies yang telah

dikenal dapat menjadi bahan pangan manusia. Isolasi antioksidan alami telah

dilakukan dari tumbuhan yang dapat dimakan, tetapi tidak selalu dari bagian yang

dapat dimakan. Antioksidan alami tersebar di beberapa bagian tanaman, seperti

pada kayu, kulit kayu, akar, daun, buah, bunga, biji dan serbuk sari. Senyawa

11

antioksidan alami tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik atau polifenolik

yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol

dan asam-asam organik polifungsional. Golongan flavonoid yang memiliki

aktivitas antioksidan meliputi flavon, flavonol, isoflavon, kateksin, flavonol dan

kalkon. Sementara turunan asam sinamat meliputi asam kafeat, asam ferulat, asam

klorogenat, dan lain-lain (Pratt,1992).

2.2.2. Uji Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH

Metode DPPH (difenilpikril hidrazil) merupakan suatu metode untuk

memperkirakan aktivitas antioksidan yang ditetapkan secara spektrofotometri.

Metode ini didasarkan pada kemampuan antioksidan dalam menghambat

radikal bebas dengan mendonorkan atom hidrogen. Aktivitas antioksidan

dengan menggunakan DPPH ditunjukkan dengan adanya perubahan warna

ungu kemerahan. Setelah bereaksi dengan senyawa antioksidan, DPPH akan

tereduksi dan berubah warna menjadi kuning. Perubahan tersebut dapat diukur

dengan spektrofotometri pada panjang gelombang 517 nm (Molyneux, 2004).

2.2.3. Senyawa Radikal Bebas

Radikal bebas dapat diartikan sebagai atom atau molekul yang

memiliki elektron yang tidak berpasangan sehingga memiliki sifat yang sangat

reaktif (Fessenden dan Fessenden, 1982). Senyawa radikal bebas dapat timbul

karena adanya berbagai proses kimia kompleks dalam tubuh manusia. Radikal

bebas yang ada dalam tubuh manusia berasal dari dua sumber yaitu sumber

endogen dan sumber eksogen. Radikal bebas yang berasal dari dalam tubuh

12

atau endogen berasal dari proses metabolisme aerobik dan beberapa jenis

enzim yang mampu menghasilkan radikal bebas dalam jumlah yang cukup.

Sedangkan radikal bebas yang berasal dari luar tubuh atau eksogen seperti

penggunaan obat-obatan, radioterapi, asap rokok dan polusi udara (Lobo,

dkk., 2010).

Mekanisme reaksi radikal bebas merupakan suatu deret reaksi

bertahap yang terdiri atas tiga tahap yaitu tahap inisiasi, tahap propagasi dan

tahap terminasi. Tahap inisiasi merupakan tahap pembentukan awal radikal

bebas. Tahap propagasi merupakan tahap pembentukan radikal baru dari

radikal bebas dan akan mengakibatkan perkembangbiakan radikal-radikal

bebas yang baru. Tahap terminasi merupakan tahap pengakhiran reaksi radikal

bebas yang mengubah radikal bebas rekatif menjadi radikal bebas yang stabil

(Fessenden dan Fessenden, 1982).

Radikal-radikal bebas yang dapat terbentuk seperti superoksida

(O-2*), hidroksil (HO*), nitroksida (NO*), peroksil (HOO*) dan asam

hipoklorit (HOCl*) (Gutteridge dan Halliwell, 1994).

Radikal bebas dapat merusak komponen-komponen sel dalam tubuh baik

itu komponen struktural maupun komponen fungsional yang dapat

mempertahankan kehidupan sel. Membran yang rusak akibat serangan radikal

bebas akan kehilangan kemampuan untuk mengangkut air, oksigen atau

nutrisi ke sel. Asam lemak tak jenuh sangat rawan terhadap serangan radikal

bebas terutama radikal hidroksil (Dean, 1997).

2.2.4. Mekanisme Kerja Antioksidan Melawan Radikal Bebas

13

Mekanisme kerja antioksidan memiliki dua fungsi. Fungsi pertama

merupakan fungsi utama dari antioksidan yaitu sebagai pemberi atom

hidrogen. Antioksidan (AH) yang mempunyai fungsi utama tersebut sering

disebut sebagai antioksidan primer. Senyawa ini dapat memberikan atom

hidrogen secara cepat ke radikal lipida (R*, ROO*) atau mengubahnya ke

bentuk lebih stabil, sementara turunan radikal antioksidan (A*) tersebut

memiliki keadaan lebih stabil dibanding radikal lipida.

Fungsi kedua merupakan fungsi sekunder antioksidan, yaitu

memperlambat laju autooksidasi dengan berbagai mekanisme diluar

mekanisme pemutusan rantai autooksidasi dengan pengubahan radikal lipida

ke bentuk lebih stabil (Gordon,1990).

Penambahan antioksidan (AH) primer dengan konsentrasi rendah pada

lipida dapat menghambat atau mencegah reaksi autooksidasi lemak dan

minyak. Penambahan tersebut dapat menghalangi reaksi oksidasi pada tahap

inisiasi maupun propagasi. Radikal-radikal antioksidan (A*) yang terbentuk

pada reaksi tersebut relatif stabil dan tidak mempunyai cukup energi untuk

dapat bereaksi dengan molekul lipida lain membentuk radikal lipida baru

(Gordon, 1990).

Inisiasi : R* + AH ----------> RH + A*

Radikal lipida

Propagasi : ROO* + AH -------> ROOH + A*

Gambar 2.3. Reaksi Penghambatan Antioksidan Primer terhadap Radikal Lipid

(Gordon, 1990)

14

Besar konsentrasi antioksidan yang ditambahkan dapat berpengaruh

pada laju oksidasi. Pada konsentrasi tinggi, aktivitas antioksidan grup fenolik

sering lenyap bahkan antioksidan tersebut menjadi prooksidan. Pengaruh

jumlah konsentrasi pada laju oksidasi tergantung pada struktur antioksidan,

kondisi dan sampel yang akan diuji.

AH + O2 -----------> A* + HOO*

AH + ROOH ---------> RO* + H2O + A*

Gambar 2.4.

Antioksidan Bertindak sebagai Prooksidan pada Konsentrasi Tinggi (Gordon, 1990)

2.3. Reaksi Peroksidasi Lipid

2.3.1. Terjadinya Reaksi Peroksidasi Lipid dan Senyawa MDA

Peroksidasi lipid adalah reaksi penyerangan radikal bebas terhadap asam

lemak tidak jenuh jamak (PUFA) yang mengandung sedikitnya tiga ikatan

rangkap. Reaksi ini dapat terjadi secara alami di dalam tubuh yang diakibatkan

oleh pembentukan radikal bebas secara endogen dari proses metabolisme di dalam

tubuh. Peroksidasi lipid diinisiasi oleh radikal bebas seperti radikal anion

superoksida, radikal hidroksil dan radikal peroksil. Radikal bebas secara

berkesinambungan dapat dibuat oleh tubuh kita. Setiap radikal bebas yang

terbentuk oleh tubuh dapat memulai suatu reaksi berantai yang akan terus

berlanjut sampai radikal bebas ini dihilangkan oleh radikal bebas lain dan oleh

sistem antioksidan tubuh (Halliwell & Gutteridge 1999).

15

Jika antioksidan yang terdapat dalam tubuh tidak sebanding dengan radikal

bebas yang masuk dalam tubuh, maka akan terjadi reaksi pembentukan radikal

bebas secara terus menerus yang akan meningkatkan reaksi peroksidasi lipid oleh

radikal bebas sehingga kadar MDA akan meningkat (Lefrina, 2009 dalam

Yanuhar, 2009).

MDA atau malondealdehid adalah senyawa dialdehida yang mengndung

tiga atom karbon dengan gugus karbonil berada pada posisi atom C1 dan C3.

MDA mempunyai rumus kimia C3H4O2 dengan berat molekul 72. Reaksi

pembentukan MDA diawali dengan terbentuknya radikal lipid akibat serangan

radikal bebas pada ikatan tak jenuh dari suatu asam lemak (Momuat, 2011).

MDA adalah produk akhir dari reaksi peroksidasi lemak dalam tubuh yang

merupakan produk oksidasi asam lemak tidak jenuh dan bersifat toksik terhadap

sel. MDA merupakan senyawa yang dapat menggambarkan aktivitas oksidan

(radikal bebas) di dalam sel. Tingginya kadar MDA dalam tubuh dipengaruhi oleh

kadar peroksidasi lemak yang secara tidak langsung menunjukkan jumlah radikal

bebas yang terdapat dalam tubuh (Asni dkk, 2009).

2.3.2. Metode Pengukuran Reaksi Peroksidasi Lipid

Radikal bebas yang disebabkan oleh peroksidasi lipid adalah suatu proses

yang kompleks dan muncul dalam beberapa tahap, ada banyak teknik yang

tersedia untuk mendeteksi dan mengukur hasil peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid

dapat diuji dengan pengukuran terhadap hilangnya asam lemah tak jenuh, generasi

hasil peroksidasi primer atau hasil degradasi sekunder. Untuk lebih lengkap dapat

dilihat pada tabel 2.1.

16

Tabel 2.1 Metode yang Digunakan untuk Mendeteksi dan Mengukur Peroksidasi Lipid

Non Enzimatik Yang diukur Metode Hilangnya substrat Asam lemak tak jenuh GC/HPLC Oksigen elektroda Produk primer Jumlah hidroperoksida lipid Uji FOX – Absorbansi 550-600 nm Oksidasi iodida – Absorbansi 358 nm Glutathione peroxidase

Cyclooxigenase Individual lipid hidroperoksida HPLC – chemiluminescence

GC-MS/HPLC – Absorbansi 230-235 nm Dien konjugat HPLC – Absorbansi 230-235 nm

Spektroskopi derivate sekunder Hasil degradasi sekunder Gas hidrokarbon

GC

TBARS/MDA Uji TBA – Absorbansi 532-535 nm Uji TBA Fluoresence Uji TBA-HPLC – Absorbansi 532-535 nm Uji TBA-HPLC Fluoresence

Aldehid GC-MS/HPLC/Antibody/Fluoresence F2-isoprostan GC-MS

Enzyme immunoassay Radioimmunoassay

(Sodergren, 2000).

Salah satu uji yang paling umum dilakukan adalah uji TBA (Asam

Tiobarbiturat). Uji ini terkenal karena mudah dan murah. Sampel yang diuji

dipanaskan dengan TBA pada pH rendah, dan kromogen merah muda diukur

absorbansinya kurang lebih pada 532 nm, atau dengan fluorescence pada 553 nm.

Uji TBA sering digunakan untuk mengukur terbentuknya MDA pada sistem

peroksidasi lipid, maka hasilnya sering ditunjukkan dalam µmol MDA equivalen.

Uji TBA dapat bekerja dengan baik saat dilakukan untuk sistem membran

(mikrosom dan liposom), tapi pada penggunaan untuk cairan tubuh dan ekstrak

jaringan sering bermasalah (Halliwell dan Chirio, 1993).

17

Pengukuran konsentrasi MDA dalam penelitian ini menggunakan metode

uji TBA. Momuat (2011) mengatakan bahwa MDA bila direaksikan dengan TBA

dalam suasana asam akan menghasilkan kompleks MDA-TBA yang berwarna

merah muda. Janero (1990) melaporkan bahwa MDA dan metode uji TBA

merupakan metode yang paling banyak digunakan sebagai indeks diagnosa

kerusakan/terjadinya peroksidasi lipid dan pembentukan hidroperoksida lemak.

Reaktivitas MDA-TBA merupakan indikator bagi peroksidasi lipid, baik secara

kualitatif maupun kuantitatif.

2.4. Mekanisme Kerja Antioksidan pada Peroksidasi Lipid Plasma Darah

Antioksidan memiliki dua prinsip mekanisme kerja. Pertama adalah

mekanisme pemecahan rantai oleh transfer elektron untuk senyawa radikal bebas

yang muncul dalam sistem tubuh, contohnya radikal lemak. Mekanisme kedua

adalah menngurangi timbulnya ROS (reactive oxygen species) dan RNS (reactive

nitrogen species) dengan memutus rantai ikatannya.

Faktanya dalam tubuh manusia, semua antioksidan bekerja dalam sebuah

tim yaitu sistem antioksidan, yang bertanggung jawab untuk mencegah dari efek

penghancuran oleh radikal bebas dan racun hasil dari metabolism. Selain itu,

antioksidan berperan mengontrol tingkat formasi radikal bebas sebagai sebuah

sistem yang terkoordinasi dimana perbedaan dalam sebuah komponen berakibat

pada efisiensi sistem lainnya (Peter, 2007 dalam Dauqan, 2011).

18

John (1989) dalam Dauqan (2011) mengemukakan bahwa ada empat

mekanisme yang mungkin terjadi dari fungsi antioksidan yang mereduksi rentang

oksidasi lemak dan minyak. Keempat mekanisme tersebut adalah:

1. Donasi hidrogen oleh antioksidan

2. Donasi elektron oleh antioksidan

3. Penambahan lipid oleh antioksidan

4. Pembentukan rantai ikatan antara lipid dan antioksidan.

2.5. Mencit sebagai Hewan Coba

Mencit merupakan hewan yang paling umum digunakan pada penelitian

laboratorium sebagai hewan percobaan, yaitu sekitar 40-80%. Mencit memiliki

banyak keunggulan sebagai hewan percobaan, yaitu siklus hidup yang relatif

pendek, jumlah anak per kelahiran banyak, variasi sifat-sifatnya tinggi dan mudah

dalam penanganannya (Moriwaki, 1994).

Mencit harus diberikan makan dengan kualitas tetap karena perubahan

kualitas dapat menyebabkan penurunan berat badan dan tenaga. Seekor mencit

dewasa dapat mengkonsumsi pakan 3-5 gram setiap hari. Mencit yang bunting

dan menyusui memerlukan pakan yang lebih banyak. Jenis ransum yang dapat

diberikan untuk mencit adalah ransum ayam komersial (Smith, 1988).

Kandungan protein ransum yang diberikan minimal 16%. Kebutuhan zat-zat

makanan yang diperlukan untuk pemeliharaan mencit adalah protein kasar 20-

25%, kadar lemak 10-12%, kadar pati 44-55%, kadar serat kasar maksimal 4%

dan kadar abu 5-6% (Smith, 1988).

19

Tabel 2.2. Data Biologik Mencit Normal

1. Konsumsi pakan per hari 2. Konsumsi air minum per hari 3. Diet protein 4. Ekskresi urine per hari 5. Lama hidup 6. Bobot badan dewasa

a. Jantan b. Betina

7. Bobot lahir 8. Dewasa kelamin (jantan=betina) 9. Siklus estrus (menstruasi) 10. Umur sapih 11. Mulai makan pakan kering 12. Rasio kawin 13. Jumlah kromosom 14. Suhu rektal 15. Laju respirasi 16. Denyut jantung 17. Pengambilan darah maksimum 18. Jumlah sel darah merah (Erytrocyt) 19. Kadar haemoglobin(Hb) 20. Pack Cell Volume (PCV) 21. Jumlah sel darah putih (Leucocyte)

5 g (umur 8 minggu) 6,7 ml (umur 8 minggu) 20-25% 0,5-1 ml 1,5 tahun 25-40 g 20-40 g 1-1,5 g 28-49 hari 4-5 hari (polyestrus) 21 hari 10 hari 1 jantan – 3 betina 40 37,5oC 163 x/mn 310 – 840 x/mn 7,7 ml/Kg 8,7 – 10,5 X 106 / µl 13,4 g/dl 44% 8,4 X 103 /µl

�����������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������