5Skripsi - Bab 123456

download 5Skripsi - Bab 123456

of 59

description

5Skripsi - Bab 123456

Transcript of 5Skripsi - Bab 123456

59

BAB IPENDAHULUAN1.1. Latar BelakangKonjungtivitis lebih dikenal sebagai pink eye, merupakan inflamasi atau peradangan pada konjungtiva (selaput bening yang menutupi bagian berwarna putih pada mata dan permukaan bagian dalam kelopak mata). (Anonim, 2009) Konjungtivitis adalah penyakit mata paling umum di dunia. Penyakit ini pertama kali dijelaskan pada 1969. Sejak laporan pertama dari Ghana, infeksi tersebut telah dijelaskan di sejumlah negara lain, termasuk China, India, Mesir, Kuba, Singapura, Taiwan, Jepang, Pakistan, Thailand, dan Amerika Serikat.Peradangan pada konjungtiva menyebabkan timbulnya berbagai macam gejala, salah satunya adalah mata merah. Gejala penting konjungtivitis adalah sensasi benda asing, yaitu sensasi tergores atau terbakar, sensasi penuh di sekeliling mata, gatal, dan fotofobia. Keluhan-keluhan tersebut terjadi karena pembengkakan (edema) konjungtiva, serta pembesaran (hipertrofi) kelenjar di sekitar konjungtiva sehingga berasa seperti ada sesuatu yang mengganjal di dalam mata.Karena lokasinya, konjungtiva terpajan oleh banyak mikroorganisme dan faktor-faktor lingkungan lain yang mengganggu. (Vaughan & Asbury, 2008) Penyakit ini bervariasi mulai dari konjungtivitis ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis berat dengan banyak sekret purulen kental. (Hurwitz, 2009) Penyebab umumnya eksogen, tetapi bisa endogen. Patogen umum yang dapat menyebabkan konjungtivitis adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus, Neisseria meningitidis, sebagian besar strain adenovirus manusia, virus herpes simpleks tipe 1 dan 2, dan dua picornavirus. Dua agen yang ditularkan secara seksual dan dapat menimbulkan konjungtivitis adalah Chlamydia trachomatis dan Neisseria gonorrhoeae. Konjungtivitis dapat disebabkan oleh berbagai macam hal, seperti infeksi oleh bakteri atau virus, reaksi alergi terhadap debu atau bulu binatang, iritasi oleh angin atau asap (polusi udara), dan pemakaian lensa kontak (terutama dalam jangka panjang). (Anonim, 2009) Kadang, konjungtivitis bisa berlangsung selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Konjungtivitis semacam ini bisa disebabkan oleh kelainan pada saluran air mata, kepekaan terhadap bahan kimia atau pemaparan oleh iritan.Konjungtivitis bakteri adalah kondisi umum di kalangan kaum muda dan orang dewasa di seluruh Amerika Serikat. Menurut Ferri's Clinical Advisor, beberapa bentuk konjungtivitis, bakteri dan virus, dapat ditemukan pada 1,6 persen menjadi 12 persen dari semua bayi yang baru lahir di Amerika Serikat. Konjungtivitis bakteri biasanya mengenai kedua mata. Ciri khasnya adalah keluar kotoran mata dalam jumlah banyak, berwarna kuning kehijauan.Konjungtivitis virus biasanya mengenai satu mata. Pada konjungtivitis ini, mata sangat berair. Kotoran mata ada, namun biasanya sedikit. Konjungtivitis virus biasanya tidak diobati, karena akan sembuh sendiri dalam beberapa hari.Konjungtivitis alergi biasanya mengenai kedua mata. Tandanya, selain mata berwarna merah, mata juga akan terasa gatal. Gatal ini juga seringkali dirasakan di bagian hidung. Produksi air mata juga berlebihan sehingga mata sangat berair.Konjungtivitis jamur merupakan konjungtivitis yang jarang terjadi, sedangkan 50% infeksi jamur yang terjadi tidak memperlihatkan gejala. Penyebab tersering dari konjungtivitis jamur adalah Candida albicans. Selain Candida albicans, penyakit ini juga dapat disebabkan oleh Sporothrix schenckii, Rhinosporidium seeberi, dan Coccidioides immitis.Beberapa jenis konjungtivitis dapat hilang dengan sendiri, tetapi ada juga yang memerlukan pengobatan. (Effendi, 2008) Pengobatan spesifik tergantung dari identifikasi penyebab. Konjungtivitis karena bakteri dapat diobati dengan obat tetes atau salep antibiotik. Pengobatan konjungtivitis virus terutama ditujukan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder. Konjungtivitis karena alergi diobati dengan antihistamin atau kortikosteroid, sedangkan konjungtivitis karena jamur sangat jarang. Selain itu, air mata buatan (artificial tears) juga dapat diberikan agar mata terasa lebih nyaman, sekaligus melindungi mata dari paparan alergen atau mengencerkan alergen yang ada di lapisan air mata. Pembersihan kelopak mata dengan air mata buatan dan salep dapat menyegarkan dan mengurangi gejala pada kasus ringan.Belum adanya data penderita konjungtivitis di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin, Palembang, maka dilakukan penelitian tentang prevalensi penderita konjungtivitis yang berkunjung ke Poliklinik Mata EED di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin, Palembang.1.2. Rumusan MasalahBerapa angka kejadian penderita konjungtivitis di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin, Palembang, periode 01 Januari 2013 31 Desember 2013?1.3. Tujuan Penelitian1.3.1. Tujuan UmumUntuk mengetahui prevalensi penderita konjungtivitis di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin, Palembang, periode Januari 2013 - Desember 2013.1.3.2. Tujuan KhususUntuk mengetahui konsep medis dari penyakit konjungtivitis yang meliputi pengkajian, diagnosis, perencanaan, implementasi, dan evaluasi.1.4. Manfaat Penelitian1.4.1. Manfaat ilmiah1. Hasil penelitian mengenai angka kejadian pada penderita konjungtivitis di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin, Palembang, diharapkan dapat digunakan sebagai acuan penelitian yang sejenis serta dapat menjadi dasar penelitian selanjutnya.2. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk merumuskan perencanaan penatalaksanaan serta dapat menambah wawasan konsep medis konjungtivitis.1.4.2. Manfaat bagi masyarakat 1. Sesuai dengan tujuan awal, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan menambah pengetahuan masyarakat mengenai konjungtivitis sehingga dapat melakukan pengobatan secara cepat dan tepat sekaligus dapat menghindari komplikasi yang dapat terjadi, yang nantinya bisa meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat di Indonesia.2. Dengan adanya makalah ini, diharapkan mampu mengubah pola pikir masyarakat untuk merubah perilakunya menjadi perilaku yang peduli tentang arti penting kesehatan dan memperhatikan sanitasi lingkungannya menjadi lebih baik agar dapat menurunkan angka mortalitas dan morbilitas penyakit konjungtivitis.1.4.3. Manfaat bagi Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin, PalembangHasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mengevaluasi angka kejadian penderita konjungtivitis sehingga dapat membuat penatalaksanaan dan perencanaan yang lebih baik.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1. Landasan Teori2.1.1. DefinisiKonjungtivitis merupakan radang konjungtiva atau radang selaput lendir yang menutupi belakang kelopak dan bola mata. Reaksi inflamasi ini ditandai dengan dilatasi vaskular, infiltrasi seluler, dan eksudasi.Konjungtivitis dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu konjungtivitis akut dan konjungtivitis kronis. Konjungtivitis akut adalah reaksi peradangan yang muncul tiba-tiba dan diawali dengan satu mata (unilateral) serta dengan durasi kurang dari empat minggu, sedangkan konjungtivitis kronis adalah reaksi peradangan yang durasinya lebih dari empat minggu. (Vaughan & Asbury, 2008)2.1.2. Anatomi dan FisiologiKonjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva tarsalis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi palpebra (suatu sambungan mukokutan) dengan epitel kornea di limbus.Konjungtiva tarsalis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada forniks superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera menjadi konjungtiva bulbaris.Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbital di forniks dan melipat berkali-kali. Adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik. Duktus-duktus kelenjar lakrimal bermuara ke forniks temporal superior. Konjungtiva bulbaris melekat longgar pada kapsul tenon dan sklera di bawahnya, kecuali di limbus (tempat kapsul Tenon dan konjungtiva menyatu sepanjang 3 mm). Lipatan konjungtiva bulbaris yang tebal, lunak, dan mudah bergerak (plica semilunaris) terletak di kantus internus. Struktur epidermoid kecil semacam daging (caruncula) menempel secara superfisial ke bagian dalam plica semilunaris dan merupakan zona transisi yang mengandung baik elemen kulit maupun membran mukosa. (Vaughan & Asbury, 2008)Histologi

Gambar 1. Histologi KonjungtivaLapisan sel konjungtiva terdiri atas dua hingga lima lapisan sel epitel silindris bertingkat, superfisial, dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, di atas caruncula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri atas sel-sel epitel skuamosa bertingkat. Sel-sel epitel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus. Mukus yang terbentuk mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata prakornea secara merata. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen.Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisialis) dan satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus.Kelenjar lakrimal aksesorius (kelenjar Krause dan Wolfring), yang struktur dan fungsinya mirip kelenjar lakrimal, terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar Krause berada di forniks atas, sisanya ada di forniks bawah. Kelenjar Wolfring terletak di tepi atas tarsus atas. (Vaughan & Asbury, 2008)Perdarahan, Limfatik, dan Persarafan Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama dengan banyak vena konjungtiva membentuk jaringan vaskular konjungtiva yang sangat banyak. Pembuluh limfe konjungtiva tersusun di dalam lapisan superfisial dan profundus dan bergabung dengan pembuluh limfe palpebra membentuk pleksus limfatikus yang kaya. Konjungtiva juga menerima persarafan dari percabangan (oftalmik) pertama nervus V. Saraf ini memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit. (Vaughan & Asbury, 2008)2.1.3. PatofisiologiKonjungtiva selalu berhubungan dengan dunia luar sehingga menyebabkan kemungkinan konjungtiva terinfeksi dengan mikroorganisme sangat besar. Pertahanan oleh konjungtiva terutama karena adanya tear film pada konjungtiva yang berfungsi untuk melarutkan kotoran-kotoran dan bahan-bahan toksik yang mengalir melalui saluran lakrimalis ke meatus nasi inferior.Di samping itu, tear film juga mengandung beta lysin, lysozym, IgA, dan IgG yang berfungsi untuk menghambat pertumbuhan kuman. Apabila ada mikroorganisme patogen yang mampu menembus pertahanan tersebut, maka terjadi infeksi konjungtiva yang disebut konjungtivitis. (Ilyas, 2011)2.1.4. EtiologiKonjungtivitis dapat disebabkan oleh berbagai macam hal, seperti:a. infeksi oleh mikroorganisme (virus atau bakteri)b. reaksi alergi terhadap debu, serbuk sari atau bulu binatangc. iritasi oleh angin, debu, asap dan polusi udara lainnya; sinar ultravioletd. pemakaian lensa kontak, terutama dalam jangka panjang.2.1.5. Gejala Gejala penting konjungtivitis adalah sensasi benda asing, yaitu sensasi tergores atau terbakar, sensasi penuh di sekeliling mata, gatal, dan fotofobia. Sensasi benda asing dan sensasi tergores atau terbakar sering dihubungkan dengan edema dan hipertrofi papila yang biasanya menyertai hiperemia konjungtiva. Jika ada rasa sakit, kornea agaknya juga terkena.Gambaran klinis yang terlihat pada konjungtivitis dapat berupa mata merah dengan kelopak mata lengket akibat produksi sekret yang meningkat terutama pada pagi hari. Selain itu, juga ditemukan fotofobia, lakrimasi, pseudoptosis akibat kelopak mata membengkak, kemosis, hipertropi papil, folikel, membran, pseudomembran, granulasi, flikten, mata merasa seperti adanya benda asing, sensasi seperti ada tekanan, dan rasa panas serta kadang didapatkan adanya adenopati preaurikular.Tanda-tanda penting konjungtivitis adalah hiperemia, mata berair, eksudasi, pseudoptosis, hipertrofi papilar, kemosis, folikel, pseudomembran dan membran, granuloma, dan adenopati preaurikular.Hiperemis konjungtiva bulbi (injeksi konjungtiva) adalah tanda klinis konjungtivitis akut yang paling menyolok. Kemerahan paling jelas di forniks dan makin berkurang ke arah limbus karena dilatasi pembuluh-pembuluh konjungtiva posterior. Warna merah terang menandakan konjungtivitis bakteri, dan tampilan putih susu mengesankan konjungtivitis alergika. Hiperemia tanpa infiltrasi sel mengesankan iritasi oleh penyebab fisik seperti angin, matahari atau asap, tetapi sesekali dapat muncul pada penyakit yang berhubungan dengan ketidakstabilan vaskular, misalnya acne rosacea.Mata berair (epifora) sering kali menyolok pada konjungtivitis. Sekresi air mata diakibatkan oleh adanya sensasi benda asing, sensasi terbakar atau tergores atau oleh rasa gatalnya. Transudasi ringan juga timbul dari pembuluh-pembuluh yang hiperemik dan menambah jumlah air mata tersebut. Kurangnya sekresi air mata yang abnormal mengesankan keratokonjungtivitis sika. (Vaughan & Asbury, 2010)Eksudasi adalah ciri semua jenis konjungtivitis akut. Eksudatnya berlapis-lapis dan amorf pada konjungtivitis bakteri dan berserabut pada konjungtivitis alergika. Pada hampir semua jenis konjungtivitis, didapatkan banyak kotoran mata di palpebra saat bangun tidur. Jika eksudat sangat banyak dan palpebranya saling melengket, agaknya konjungtivitis disebabkan oleh bakteri atau klamidia.Pseudoptosis adalah terkulainya palpebra superior karena infiltrasi di otot Muller. Keadaan ini dijumpai pada beberapa jenis konjungtivitis berat, misalnya trakoma dan keratokonjungtivitis epidemika.Hipertrofi papilar adalah reaksi konjungtiva non-spesifik yang terjadi karena konjungtiva terikat pada tarsus atau limbus di bawahnya oleh serabut-serabut halus. Ketika berkas pembuluh yang membentuk substansi papila (bersama unsur sel dan eksudat) mencapai membran basal epitel, pembuluh ini bercabang-cabang di atas papila mirip jeruji payung. Eksudat radang mengumpul di antara serabut-serabut dan membentuk tonjolan-tonjolan konjungtiva. Pada penyakit-penyakit nekrotik (trakoma), eksudat dapat digantikan oleh jaringan granulasi atau jaringan ikat.Bila papilanya kecil, tampilan konjungtiva umumnya licin, seperti beludru. Konjungtiva dengan papila merah mengesankan penyakit bakteri atau klamidia (konjungtiva tarsal merah mirip beludru adalah khas pada trakoma akut).Pada infiltrasi berat konjungtiva dihasilkan papila raksasa. Pada keratokonjungtivitis vernal, papila ini disebut juga papilla cobblestone karena tampilannya yang rapat; papila raksasa beratap rata, poligonal, dan berwarna putih susu-kemerahan. Di tarsus superior, papila macam ini mengesankan keratokonjungtivitis vernal dan konjungtivitis papilar raksasa dengan sensitivitas terhadap lensa kontak; di tarsus inferior, mengesankan keratokonjungtivitis atopik. Papila raksasa dapat pula timbul di limbus, terutama di daerah yang biasanya terpajan saat mata terbuka (antara pukul dua dan empat dan antara pukul delapan dan 10). Di sini papila tampak berupa tonjolan-tonjolan gelatinosa yang dapat meluas sampai ke kornea. Papila limbus khas untuk keratokonjungtivitis vernal, tetapi jarang pada konjungtivitis atopik.Kemosis konjungtiva sangat mengarah pada konjungtivitis alergika, tetapi dapat timbul pada konjungtivitis gonokok atau meningokok akut dan terutama pada konjungtivitis adenoviral. Kemosis konjungtiva bulbaris terlihat pada pasien trikinosis. Sesekali, kemosis tampak sebelum terlihatnya infiltrat atau eksudat. (Vaughan & Asbury, 2010)Folikel tampak pada sebagian besar kasus konjungtivitis virus, semua kasus konjungtivitis klamidia, kecuali konjungtivitis inklusi neonatal, beberapa kasus konjungtivitis parasitik, dan pada beberapa kasus konjungtivitis toksik yang diinduksi oleh pengobatan topikal, seperti idoxuridine, dipivefrin, dan miotik. Folikel-folikel di forniks inferior dan tepi tarsus mempunyai sedikit nilai diagnostik, tetapi jika terdapat pada tarsus (terutama tarsus superior), harus dicurigai adanya konjungtivitis klamidia, viral atau toksik (pascamedikasi topikal). Folikel merupakan suatu hiperplasia limfoid lokal di dalam lapisan limfoid konjungtiva dan biasanya mempunyai sebuah pusat germinal. Secara klinis, folikel dapat dikenali sebagai struktur bulat kelabu atau putih yang avaskular. Pada pemeriksaan slit-lamp, tampak pembuluh-pembuluh kecil yang muncul pada batas folikel.Pesudomembran dan membran adalah hasil dari proses eksudatif dan hanya berbeda derajatnya. Pesudomembran adalah suatu pengentalan (koagulum) di atas permukaan epitel, yang bila diangkat, epitelnya tetap utuh. Membran adalah pengentalan yang meliputi seluruh epitel, yang jika diangkat, meninggalkan permukaan yang kasar dan berdarah. Pseudomembran dan membran dapat menyertai keratokonjungtivitis epidemika, konjungtivitis virus herpes simpleks primer, konjungtivitis streptokok, difteria, pemfigoid sikatrikal, dan erythema multiforme mayor. Membran dan pseudomembran dapat pula akibat luka bakar kimiawi, terutama luka bakar alkali.Konjungtivitis ligneosa adalah bentuk istimewa konjungtivitis membranosa rekuren. Keadaan ini bilateral, terutama pada anak-anak, lebih banyak pada perempuan, dan mungkin menyertai temuan sistemik lain, seperti nasofaringitis dan vulvovaginitis.Granuloma konjungtiva selalu mengenai stroma dan paling sering berupa kalazion. Penyebab endogen lain adalah sarkoid, sifilis, penyakit cat-scratch, dan coccidioidomycosis (jarang). Sindrom okuloglandular Parinaud terdiri atas granuloma konjungtiva dan pembesaran kelenjar getah bening preaurikular; kelompokan penyakit ini memerlukan pemeriksaan biopsi untuk memastikan diagnosis.Fliktenula merupakan reaksi hipersensitivitas lambat terhadap antigen mikroba, misalnya, antigen stafilokok atau mikobakterial. Fliktenula konjungtiva awalnya berupa perivaskulitis dengan penumpukan limfosit di pembuluh darah. Bila keadaan ini sampai menimbulkan ulkus konjungtiva, dasar ulkus akan dipenuhi oleh leukosit polimorfonuklear.Limfadenopati preaurikular adalah tanda penting konjungtivitis. Sebuah kelenjar getah bening preaurikular tampak jelas pada sindrom okuloglandular Parinaud dan jarang pada keratokonjungtivitis epidemika. Sebuah kelenjar getah bening preaurikular besar atau kecil, kadang-kadang sedikit nyeri tekan, ada konjungtivitis virus herpes simpleks primer, keratokonjungtivitis epidemika, konjungtivitis inklusi, dan trakoma. Kelenjar getah bening preaurikular kecil tanpa nyeri tekan terdapat pada demam faringokonjungtiva dan konjungtivitis hemoragik akut. Kadang-kadang limfadenopati preaurikular terlihat pada anak-anak dengan infeksi kelenjar meibom.2.1.6. Epidemiologi Di negara maju seperti Amerika Serikat, incidence rate konjungtivitis bakteri sebesar 135 per 10.000 penderita konjungtivitis bakteri, baik pada anak-anak maupun pada orang dewasa dan juga lansia. (Smith dan Waycaster, 2009) Konjungtivitis juga salah satu penyakit mata yang paling umum di Nigeria bagian timur, dengan incidence rate yaitu 32,9 % dari 949 kunjungan di Departemen Mata Aba Metropolis, Nigeria, pada tahun 2004 hingga 2006. (Amadi et al, 2009)Penelitian yang pernah dilakukan di Philadelphia, menunjukkan incidence rate konjungtivitis bakteri sebesar 54 % dari semua kasus di departemen mata pada tahun 2005 hingga tahun 2006. Provinsi Yunnan, Cina, antara Augustus dan September tahun 2007 telah terjadi wabah konjungtivitis hemoragik akut (Acute Hemorrhagic Conjunctivitis). Sebanyak 3.597 kasus dilaporkan secara resmi dan tingkat kejadian penderita konjungtivitis mencapai sehingga 1391/100.000 penduduk. (Yan et al, 2010)Berdasarkan Bank Data Departemen Kesehatan Indonesia (2004), pasien rawat inap konjungtivitis dan gangguan lain konjungtivitis adalah 12,6 %, dan pasien rawat jalan konjungtivitis adalah 28,3 %. (DEPKES RI, 2004) Indonesia pada tahun 2009, dari 135.749 kunjungan ke poli mata, total kasus konjungtivitis dan gangguan lain pada konjungtiva ialah 73 % dan yang tersering diderita adalah konjungtivitis jenis kataralis epidemika 80 %. Konjungtivitis juga termasuk dalam 10 besar penyakit rawat jalan terbanyak pada tahun 2009. (KEMENKES RI, 2010)Epidemiologi Distribusi:Orang Konjungtivitis dapat terkena pada bayi maupun pada orang dewasa. Konjungtivitis pada bayi baru lahir, bisa mendapatkan infeksi gonokokus pada konjungtiva dari ibunya ketika melewati jalan lahir sedangkan pada usia dewasa, penyakit ini didapat dari hubungan seksual.Jenis KelaminPenyakit ini dapat menyerang pada siapa saja, baik pada laki-laki maupun perempuan. Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Regional di Hong Kong menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan pada jumlah penderita konjungtivitis pria dan wanita. Perbandingan ini juga sama hasilnya dengan penelitian yang dilakukan di Santiago, Chile oleh Haas et al yang menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap penderita konjungtivitis berdasarkan jenis kelamin. Jika ada perbedaan, hal ini mungkin berkaitan dengan lifestyle, kondisi higienis, dan lingkungan pekerjaan yang berbeda pada wanita dan pria. Tempat Penyakit konjungtivitis terdapat di berbagai negara, baik negara maju maupun berkembang. Seperti halnya di Amerika Serikat, penyakit ini umumnya terdapat pada kaum muda dan dewasa, menurut Ferris Clinical Advisor.WaktuPenyakit ini biasanya menyerang hanya pada satu bagian mata, dalam waktu 12 sampai 48 jam. Setelah infeksi mulai, mata menjadi merah dan nyeri. Selain itu, penyakit konjungtivis dapat terjadi kapan saja, baik musim hujan ataupun pada musim kemarau.LingkunganPenyakit ini dapat muncul pada lingkungan yang tidak higienis atau yang terkontaminasi, serta biasanya lebih cepat menyebar pada daerah-daerah yang padat penduduknya.

2.1.7. Klasifikasi A. Konjungtivitis Bakteri

Gambar 3. Konjungtivitis Bakteri(Sumber: Academy of American Ophthalmology, Bab 4, Halaman 88)Mata memiliki serangkaian mekanisme pertahanan untuk mencegah invasi bakteri; ini termasuk faktor bakteriostatik dalam air mata, kekuatan geser dari berkedip, sistem kekebalan tubuh yang utuh, dan jumlah koloni bakteri non-patogen yang normal dan kompetitif untuk mencegah invasi oleh organisme yang abnormal. Ketika mekanisme pertahanan ini memecah, infeksi oleh bakteri atau patogen dapat terjadi. Terdapat dua bentuk konjungtivitis bakteri akut (termasuk hiperakut dan subakut) dan kronik. Konjungtivitis bakteri akut biasanya jinak dan dapat sembuh sendiri, berlangsung kurang dari 14 hari. (Vaughan & Asbury, 2010) Pengobatan dengan salah satu antibakteri yang tersedia biasanya menyembuhkan dalam beberapa hari. Sebaliknya, konjungtivitis hiperakut (purulen) yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae atau Neisseria meningitidis dapat menimbulkan komplikasi mata berat bila tidak diobati sejak dini. Konjungtivitis kronik biasanya sekunder terhadap penyakit palpebra atau obstruksi duktus nasolakrimalis. (Vaughan & Asbury, 2008)Umumnya, konjungtivitis ini bermanifestasi dalam bentuk iritasi dan pelebaran pembuluh darah (injeksi) bilateral, eksudat purulen dengan palpebra saling melengket saat bangun tidur, dan kadang-kadang edema palpebra. Infeksi biasanya mulai pada satu mata dan melalui tangan menular ke sebelahnya. Infeksi dapat menyebar ke orang lain melalui benda yang dapat menyebarkan kuman (fomit).Konjungtivitis bakteri hiperakut (purulen) disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae, Neisseria kochii, dan Neisseria meningitidis yang ditandai oleh eksudat purulen yang banyak. Konjungtivitis meningokok kadang-kadang terjadi pada anak-anak. Setiap konjungtivitis berat dengan banyak eksudat harus segera dilakukan pemeriksaan laboratorium dan segera diobati. Jika ditunda, bisa terjadi kerusakan kornea atau kehulangan mata, atau konjungtiva dapat menjadi gerbang masuk Neisseria gonorrhoeae atau Neisseria meningitidis, yang mendahului sepsis atau meningitis.Konjungtivitis mukopurulen (catarrhal) akut sering terdapat dalam bentuk epidemik dan disebut mata merah (pink eye) oleh kebanyakan orang awam. Penyakit ini ditandai dengan hiperemia konjungtiva akut dan sekret mukopurulen berjumlah sedang. Penyebab paling umum adalah Streptococcus pneumoniae pada iklim sedang dan Haemophilus aegyptius pada iklim tropis. Penyebab yang kurang umum adalah stafilokokus dan streptokokus lain. Konjungtivitis yang disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus aegyptius dapat disertai perdarahan subkonjungtiva. Konjungtivitis Haemophilus aegyptius di Brazil diikuti dengan demam purpura fatal yang ditimbulkan oleh toksin bakteri terkait plasmid.Konjungtivitis subakut paling sering disebabkan oleh Haemophilus influenzae, dan terkadang oleh Escherichia coli, dan spesies proteus. Infeksi Haemophilus influenzae ditandai dengan eksudat tipis, berair atau berawan.Konjungtivitis bakteri kronik terjadi pada pasien dengan obstruksi duktus nasolakrimalis dan dakriosistitis kronik, yang biasanya unilateral. Infeksi ini juga bisa menyertai blefaritis bakterial kronik atau disfungsi kelenjar meibom. Pasien dengan sindrom palpebra-lunglai (floppy lid syndrome) atau ektopian dapat terkena konjungtivitis bakterial sekunder. Konjungtivitis bakteri dapat disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae dan Streptococcus pyogenes walaupun jarang. Pseudomembran atau membran yang dihasilkan oleh organisme ini dapat terbentuk pada konjungtiva palpebralis. Kasus-kasus konjungtivitis kronik yang jarang, yang disebabkan oleh Moraxella catarrhalis, basil coliform atau proteus, sulit dibedakan secara klinis.Pada kebanyakan kasus konjungtivitis bakteri, organisme penyebabnya dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan mikroskopik kerokan konjungtiva yang dipulas dengan pulasan Gram atau Giemsa; pemeriksaan ini menampilkan banyak neutrofil polimorfonuklear. Kerokan konjungtiva untuk pemeriksaan mikroskopik dan biakan disarankan untuk semua kasus dan diharuskan jika penyakitnya purulen, bermembran, atau berpseudomembran. Studi sensitivitas antibiotik juga diperlukan, tetapi terapi antibiotik empiris harus dimulai. Bila hasil uji sensitivitas antibiotik sudah didapatkan, terapi dengan antibiotik spesifik dapat diberikan.Blefaritis marginal kronik sering menyertai konjungtivitis stafilokok, kecuali pada pasien sangat muda yang bukan sesaran blefaritis. Parut konjungtiva dapat mengikuti konjungtivitis pseudomembranosa dan membranosa, dan pada kasus tertentu diikuti oleh ulserasi kornea dan perforasi.Ulserasi kornea marginal dapat terjadi pada infeksi Neisseria gonorrhoeae, Neisseria kochii, Neisseria meningitidis, Streptococcus pneumoniae, Haemophilus aegyptius, dan Moraxella catarrhalis; jika produk toksik Neisseria gonorrhoeae berdifusi melalui kornea masuk ke bilik mata depan, dapat timbul iritis toksik.Terapi spesisfik konjungtivitis bakteri tergantung pada temuan agen mikrobiologiknya. Sambil menunggu hasil laboratorium, dokter dapat memulai terapi dengan antimikroba topikal spektrum luas (misalnya, polymyxin-trimethoprim). Pada setiap konjungtivitis purulen yang pulasan Gramnya menunjukkan diplokokus gram-negatif, sugestif neisseria, harus segera dimulai terapi topikal dan sistemik. Jika kornea tidak terlibat, ceftriaxone satu (1) g yang diberikan dosis tunggal per intramuskular biasanya merupakan terapi sistemik yang adekuat. Jika kornea terkena, dibutuhkan ceftriaxone parenteral, satu sehingga dua (1 2) g per hari selama lima hari.Pada konjungtivitis purulen dan mukopurulen, saccus konjungtivalis harus dibilas dengan larutan saline agar dapat menghilangkan sekret konjungtiva. Untuk mencegah penyebaran penyakit ini, pasien dan keluarga diminta memperhatikan higiene perorangan secara khusus.B. Konjungtivitis Viral

Gambar 4. Konjungtivitis Viral(Sumber: Academy of American Ophthalmology, Bab 4, Halaman 89)Konjungtivitis viral adalah suatu penyakit umum yang dapat disebabkan oleh berbagai jenis virus. Keadaan ini berkisar antara penyakit berat yang dapat menimbulkan kecacatan, sampai infeksi ringan yang cepat sembuh sendiri. (American Academy of Ophthalmology)Infeksi konjungtiva virus diduga disebabkan oleh droplet pernapasan udara atau langsung dari jari seseorang ke permukaan konjungtiva pada kelopak mata. Setelah masa inkubasi dari lima sampai 12 hari, penyakit ini memasuki fase akut dan menyebabkan debit berair, hiperemia konjungtiva, dan pembentukan folikel. 1. Konjungtivitis Folikular Viral AkutDemam FaringokonjungtivalDemam faringokonjungtival ditandai oleh demam 38,3C - 40C, sakit tenggorokan, dan konjungtivitis folikular pada satu atau dua mata. Folikel sering sangat mencolok pada kedua konjungtiva dan mukosa faring. Penyakit ini bisa bilateral ataupun unilateral. Mata merah dan berair sering terjadi, selain itu mungkin ada keratitis epitel superfisial untuk sementara dan sesekali terdapat sedikit kekeruhan di subepitel. Yang khas adalah limfadenopati preaurikular (tidak nyeri tekan). Sindrom ini mungkin tidak lengkap, hanya terdiri atas satu atau dua tanda utama (demam, faringitis, dan konjungtivitis).Demam faringokonjungtival umumnya disebabkan oleh adenovirus tipe 3 dan kadang-kadang oleh tipe 4 dan 7. Virusnya dapat dibiakkan dalam sel-sel He-La dan diidentifikasi oleh uji netralisasi. Dengan berkembangnya penyakit, virus ini dapat juga didiagnosis secara serologis melalui peningkatan titer antibodi penetral-virus. Namun, diagnosis klinis adalah suatu hal yang mudah dan jelas lebih praktis.Kerokan konjungtiva terutama mengandung sel mononuklear dan tidak ada bakteri yang tumbuh pada biakan. Keadaan ini lebih sering pada anak-anak daripada orang dewasa dan mudah menular di dalam kolam renang berklor rendah. Tidak ada pengobatan spesifik, tetapi konjungtivitis umumnya sembuh sendiri kira-kira dalam 10 hari. (Vaughan & Asbury, 2010)Keratokonjungtivitis EpidemikaKeratokonjungtivitis epidemika umumnya bilateral. Awalnya sering pada satu mata saja, dan biasanya mata pertama lebih parah. Pada awalnya, terdapat injeksi konjungtiva, nyeri sedang, dan mata berair; dalam lima sehingga 14 hari dan akan diikuti oleh fotofobia, keratitis epitel, dan kekeruhan subepitel yang bulat. Sensasi kornea normal dan terdapat nodus preaurikular dengan nyeri tekan yang khas. Edema palpebra, kemosis, dan hiperemia konjungtiva menandai fase akut, dengan folikel, dan perdarahan konjungtiva yang muncul dalam 48 jam. Dapat terbentuk pseudomembran (sesekali membran sejati) dan mungkin disertai, atau diikuti, parut datar atau pembentukan simblefaron.Konjungtivitisnya berlangsung paling lama empat minggu. Kekeruhan subepitel terutama terfokus di pusat kornea, biasanya tidak pernah ke tepian; menetap berbulan-bulan, tetapi sembuh tanpa parut.Keratokonjungtivitis epidemika disebabkan oleh adenovirus tipe 8, 19, 29, dan 37 (subgrup D adenovirus manusia). Virus-virus ini dapat diisolasi dalam biakan sel dan diidentifikasi dengan uji netralisasi. Kerokan konjungtiva menampakkan reaksi radang mononuklear primer; bila terbentuk pseudomembran, juga tampak neutrofil yang banyak.Keratokonjungtivitis epidemika pada orang dewasa terbatas di bagian luar mata, tetapi pada anak-anak mungkin terdapat gejala-gejala sistemik infeksi virus, seperti demam, sakit tenggorokan, otitis media, dan diare. Transmisi nosokomial selama pemeriksaan mata sangat sering terjadi melalui jari-jari tangan dokter, alat-alat pemeriksaan mata yang kurang steril atau pemakaian larutan yang terkontaminasi. Larutan mata, terutama anestetik topikal, mungkin terkontaminasi saat ujung penetes obat menyedot materi terinfeksi dari konjungtiva atau bulu mata. Virus dapat bertahan dalam larutan tersebut, yang akan menjadi sumber penyebaran.Bahaya kontaminasi botol larutan dapat dihindari dengan memakai penetes steril peribadi atau tetes mata dengan kemasan unit-dose. Mencuci tangan secara teratur di antara pemeriksaan dan pembersihan serta sterilisasi alat-alat yang menyentuh mata, khususnya tonometer, juga merupakan suatu keharusan. Tonometer aplanasi harus diusap dengan alkohol atau hipoklorit, kemudian dibilas dengan air steril dan dikeringkan dengan hati-hati.Sekarang ini belum ada terapi yang spesifik, tetapi kompres dingin akan mengurangi beberapa gejala. Kortikosteroid selama konjungtivitis akut dapat memperpanjang keterlibatan kornea lebih lanjut sehingga harus dihindari. Agen antibakteri harus diberikan jika terjadi superinfeksi bakterial. (Vaughan & Asbury, 2010)Konjungtivitis Virus Herpes SimpleksKonjungtivitis virus herpes simpleks (HSV), biasanya mengenai anak kecil, adalah suatu keadaan luar biasa yang ditandai oleh injeksi unilateral, iritasi, sekret mukoid, nyeri, dan fotofobia ringan. Penyakit ini terjadi pada infeksi primer, virus herpes simpleks, atau saat episode kambuh herpes mata. Keadaan ini sering disertai keratitis herpes simpleks, dengan kornea yang menampakkan lesi-lesi epitel tersendiri yang umumnya menyatu membentuk ulkus tunggal atau ulkus epitelial bercabang banyak (dendritik). Konjungtivitisnya folikular atau lebih jarang, pseudomembranosa. Pasien yang mendapat antivirus topikal mungkin akan mengalami konjungtivitis folikular, yang dapat dibedakan karena konjungtivitis folikular herpetik munculnya akut. Vesikel-vesikel herpes terkadang muncul di palpebra dan tepian palpebra, disertai edema palpebra hebat. Khasnya, ditemukan sebuah nodus preaurikular kecil yang nyeri tekan. (American Academy of Ophthalmology)Tidak ditemukan bakteri di dalam kerokan atau biakan. Jika konjungtivitisnya folikular, reaksi radangnya terutama mononuklear, tetapi jika ada pseudomembran, reaksinya terutama polimorfonuklear akibat kemotaksis nekrosis.Inklusi intranuklear (karena adanya marginasi kromatin) tampak dalam sel-sel konjungtiva dan kornea dengan fiksasi Bouin dan pulasan Papanicolaou, tetapi tidak tampak pada pulasan Giemsa. Temuan sel-sel epitelial raksasa multinukleus mempunyai nilai diagnostik.Virusnya mulai diisolasi dengan mengusapkan sebuah aplikator berujung Dacron kering atau alginat calcium di atas konjungtiva secara hati-hati dan memindahkan sel-sel terinfeksi ke biakan jaringan yang sesuai.Konjungtivitis virus herpes simpleks (HSV) dapat berlangsung selama 2 minggu; jika timbul pseudomembran, dapat meninggalkan parut linear halus atau parut datar. Komplikasi dapat berupa keterlibatan kornea (termasuk dendrit) dan vesikel pada kulit. Virus herpes tipe 1 merupakan penyebab hampir seluruh kasus mata; tipe 2 adalah penyebab umum pada neonatus dan langka pada dewasa. Pada neonatus, mungking terdapat penyakit generalisata yang disertai ensefalitis, korioretinitis, dan hepatitis. Setiap infeksi virus herpes simpleks pada neonatus harus diobati dengan obat antivirus sistemik (acyclovir) dan dipantau di rumah sakit.Konjungtivitis yang terjadi pada anak di atas satu tahun atau pada orang dewasa umumnya sembuh sendiri dan mungkin tidak perlu terapi. Namun, antivirus topikal atau sistemik harus diberikan untk mencegah terkenanya kornea. Pada ulkus kornea, mungkin diperlukan debridemen kornea - dengan mengusap ulkus dengan kain kering secara hati-hati, penetesan obat antivirus, dan penutupan mata selama 24 jam. Antivirus topikal sendiri harus diberikan selama tujuh hari (misalnya, trifluridine setiap dua jam sewaktu bangun). Keratitis herpetik dapat pula diobati dengan salep acyclovir tiga persen lima kali sehari selama 10 hari atau dengan acyclovir 400 mg lima kali sehari selama tujuh hari. Penggunaan kortikosteroid dikontraindikasikan karena bisa memperburuk infeksi herpes simpleks dan mengubah penyakit dari suatu proses singkat yang sembuh sendiri menjadi infeksi berat berkepanjangan.Konjungtivitis Penyakit NewcastleKonjungtivitis penyakit Newcastle adalah penyakit yang jarang didapat, ditandai dengan perasaan terbakar, gatal, nyeri, merah, berair-mata, dan penglihatan kabur (jarang). Keadaan ini sering terjadi dalam bentuk epidemi kecil di antara pekerja peternakan unggas yang menangani burung yang sakit atau di dokter hewan atau petugas laboratorium yang bekerja dengan virus atau vaksin hidup.Konjungtivitis ini mirip dengan yang disebabkan oleh virus lain, dengan kemosis, nodus preaurikular kecil, dan folikel-folikel di tarsus superior dan inferior. Tidak ada atau tidak diperlukan pengobatan untuk penyakit yang sembuh-sendiri ini.Konjungtivitis Hemoragika AkutSeluruh benua dan kebanyakan pulau di dunia pernah mengalami epidemi besar konjungtivitis hemoragika akut. Pertama kali diketahui di Ghana pada tahun 1969. Konjungtivitis in disebabkan oleh enterovirus tipe 70 dan sesekali oleh coxsackievirus A24. Penyakit ini khas memiliki inkubasi yang pendek (48 jam) yang berlangsung singkat (satu minggu). Gejala dan tanda yang biasa berupa nyeri, fotofobia, sensasi benda asing, banyak mengeluarkan air mata, kemerahan, edema palpebra, dan perdarahan subkonjungtiva; kadang-kadang juga terjadi kemosis. Perdarahan subkongjungtiva umumnya difus, tetapi awalnya dapat berupa bintik-bintik; mulai dari konjungtiva bulbaris superior dan menyebar ke bawah. Kebanyakan pasien mengalami limfadenopati preaurikular, folikel konjungtiva, dan keratitis epitel. Uveitis anterior pernah dilaporkan; terdapat demam, malaise, dan mialgia generalisata pada 25% kasus; paralisis motorik ekstremitas ada pada kasus-kasus jarang di India dan Jepang.Virus ini ditularkan melalui kontak erat dari orang ke orang dan oleh benda penular seperti seprai, alat-alat optik yang terkontaminasi, dan air. Penyembuhan terjadi dalam satu minggu dan tidak ada pengobatan yang pasti. (Ilyas, 2011)2. Konjungtivitis Viral KronikBlefarokonjungtivitis Molluscum ContagiosumSebuah nodul molluscum pada tepian atau kulit palpebra dan alis mata dapat menimbulkan konjungtivitis folikular kronik unilateral, keratitis superior, dan pannus superior, dan mungkin menyerupai trakoma. Reaksi radangnya terutama mononuklear (berbeda dengan reaksi pada trakoma). Lesi bulat, berombak, putih-mutiara, non-inflamatorik dengan bagian pusat yang melekuk khas untuk molluscum contagiosum. Biopsi menunjukkan inklusi sitoplasma eosinofilik yang memenuhi seluruh sitoplasma sel yang membesar, mendesak inti ke satu sisi.Eksisi, insisi sederhana pada nodul yang memungkinkan darah tepi memasukinya, atau krioterapi akan menyembuhkan konjungtivitisnya. Pada kasus yang sangat jarang, nodul-nodul molluscum timbul di konjungtiva. Pada kondisi ini, eksisi nodul juga menyembuhkan konjungtivitisnya. Lesi molluscum contagiosum yang multipel di palpebra atau wajah ditemukan pada pasien AIDS. (Vaughan & Asbury, 2008)Blefarokonjungtivitis Varicella-ZosterHiperemia dan konjungtivitis infiltrative, disertai dengan erupsi vesikular yang khas di sepanjang penyebaran dermatom nervus trigeminus cabang oftalmika, adalah khas herpes zoster (sebaiknya disebut zoster simpleks). Konjungtivitisnya biasanya papilar, tetapi pernah ditemukan folikel, pseudomembran, dan vesikel temporer yang kemudian berulserasi. KGB preaurikular yang nyeri tekan terdapat pada awal penyakit. Sekuelenya dapat berupa jaringan parut di palpebra, entropion, dan bulu mata yang salah-arah.Lesi palpebra dan varicella, yng mirip lesi kulit (pox) di tempat lain, mungkin timbul di kedua palpebra atau tepian palpebra dan sering meninggalkan parut. Sering kali timbul konjungtivitis eksudatif ringan, tetapi lesi konjungtiva yang diskret (kecuali pada limbus) sangat jarang ditemukan. Lesi di limbus menyerupai fliktenula dan dapat melalui seluruh tahapan vesikel, papul, dan ulkus. Kornea di dekatnya mengalami infiltrasi dan bertambah vaskularisasinya.Pada zoster maupun varicella, kerokan dari vesikel palpebranya mengandung sel raksasa dan banyak leukosit polimorfonuklear; kerokan dari konjungtiva pada varicella dan dari vesikel konjungtiva pada zoster dapat mengandung sel raksasa dan monosit. Virus dapat diperoleh dari biakan jaringan sel-sel embrio manusia.Acyclovir oral dosis tinggi (800 mg per oral lima kali sehari selama 10 hari), jika diberi pada awal perjalanan penyakit, agaknya akan mengurangi dan menghambat beratnya penyakit. (Vaughan & Asbury, 2008)Keratokonjungtivitis CampakEnantema khas campak sering kali mendahului erupsi kulit. Pada tahap awal ini, tampilan konjungtiva mirip kaca yang aneh, yang dalam beberapa hari diikuti oleh pembengkakan plica semilunaris (tanda Meyer). Beberapa hari sebelum erupsi kulit, timbul konjungtivitis eksudatif dengan sekret mukopurulen; dan saat muncul erupsi kulit, timbul bercak-bercak Koplik pada konjungtiva dan terkadang carunculus. Pada saat tertentu (masa kanak-kanak dini, masa dewasa lanjut), keratitis epitelial akan mengikuti.Pada pasien imunokompeten, keratokonjungtivitis campak hanya meninggalkan sedikit atau sama sekali tanpa sekuele, tetapi pada pasien kurang gizi atau imunoinkompeten, penyakit mata ini sering kali disertai infeksi HSV atau infeksi bakterial sekunder oleh S pneumoniae, H influenzae, dan organisme lain. Agen-agen ini dapat menimbulkan konjungtivitis purulen yang disertai ulserasi kornea berat dengan perforasi dan kehilangan penglihatan pada anak-anak kurang gizi di negara berkembang.Kerokan konjungtiva menunjukkan reaksi sel mononuklear, kecuali jika ada pesudomembran atau infeksi sekunder. Sediaan pulas Giemsa menampilkan sel-sel raksasa. Karena tidak ada terapi yang spesifik, hanya tindakan-tindakan penunjang saja yang dilakukan, kecuali jika ada infeksi sekunder. (Vaughan & Asbury, 2008)C. Konjungtivitis JamurKonjungtivitis CandidaKonjungtivitis yang disebabkan oleh Candida (biasanya Candida albicans) adalah infeksi yang terjadi; umumnya tampak sebagai bercak putih. Keadaan ini dapat timbul pada pasien diabetes atau pasien yang terganggu sistem imunnya, sebagai konjungtivitis ulseratif atau granulomatosa.Kerokan menunjukkan reaksi radang sel polimorfonuklear. Organisme mudah tumbuh pada agar darah atau media Sabouraud dan mudah diidentifikasi sebagai ragi bertunas (budding yeast) atau sebagai pseudohifa (jarang).Infeksi ini berespons terhadap amphotericin B (3-8 mg/ mL) dalam larutan air (bukan garam) atau terhadap krim kulit nystatin (100.000 U/ g) empat sampai enam kali sehari. Obat ini harus diberikan secara hati-hati agar benar-benar masuk ke dalam saccus konjungtivalis dan tidak hanya menumpuk di bagian palpebra.

Konjungtivitis Jamur LainSporothrix schenckii, walaupun jarang, bisa mengenai konjungtiva atau palpebra. Jamur ini menimbulkan penyakit granulomatosa yang disertai KGB preaurikular yang jelas. Pemeriksaan mikroskopik dari biopsi granuloma menampakkan conidia (spora) gram-positif berbentuk-cerutu.Rhinosporidium seeberi, meskipun jarang, bisa mengenai konjungtiva saccus lakrimalis, palpebra, canaliculi, dan sklera. Lesi khas berupa granuloma polipoid yang mudah berdarah dengan trauma minimal. Pemeriksaan histologik menampakkan granuloma dengan spherula besar terbungkus yang mengandung endospora myriad. Penyembuhan dicapai dengan eksisi sederhana dan kauterisasi pada dasarnya. Coccidioides immitis jarang menimbulkan konjungtivitis granulomatosa yang disertai KGB preaurikular yang jelas (sindrom okuloglandular Parinaud). Ini bukanlah suatu penyakit primer, tetapi merupakan manifestasi dari penyebaran infeksi paru primer (demam San Joaquin Valley). Penyakit yang menyebar memberi prognosis buruk. (Vaughan & Asbury, 2008)

D. Konjungtivitis Imunologik (Alergika)

Gambar 5. Konjungtivitis Imunologik(Sumber: Academy of American Ophthalmology, Bab 4, Halaman 90)1. Reaksi Hipersensitivitas Humoral SegeraKonjungtivitis Hay FeverRadang konjungtiva non-spesifik ringan umumnya menyertai hay fever (rinitis alergika). Biasanya ada riwayat alergi terhadap tepung sari, rumput, atau bulu hewan. Pasien mengeluh gatal, kemerahan, mata berair, dan sering mengatakan matanya seakan-akan tenggelam dalam jaringan sekitarnya. Terdapat injeksi ringan di konjungtiva tarsalis dan konjungtiva bulbaris; selama serangan akut sering ditemukan kemosis berat (yang menjadi sebab kesan tenggelam tadi). Mungkin terdapat sedikit kotoran mata, khususnya setelah pasien mengucek matanya. Eosinofil sulit ditemukan pada kerokan konjungtiva. Jika alergennya menetap, dapat timbul konjungtivitis papilar. (Ilyas, 2011)Pengobatan dilakukan dengan penetesan vasokonstriktor-antihistamin topikal. Kompres dingin membantu mengatasi gatal-gatal, dan antihistamin per oral hanya sedikit manfaatnya. Respons langsung terhadap pengobatan cukup memuaskan, tetapi kekambuhan sering ditemukan, kecuali bila antigennya dihilangkan. Untungnya, frekuensi serangan dan beratnya gejala cenderung menurun dengan meningkatnya usia.Keratokonjungtivitis VernalPenyakit yang juga dikenal sebagai catarrh musim semi dan konjungtivitis musiman atau konjungtivitis musim kemarau ini adalah penyakit alergi bilateral yang jarang; biasanya mulai pada tahun-tahun prapubertas dan berlangsung selama 10 tahun. Penyakit ini lebih banyak pada anak laki-laki dibandingkan perempuan. Alergen spesifiknya sulit dilacak, tetapi pasien keratokonjungtivitis vernal biasanya menampilkan manifestasi alergi lainnya, yang diketahui berhubungan dengan sensitivitas tepung sari rumput. Penyakit ini lebih jarang di daerah hangat, da hampir tidak ada di daerah dingin. Penyakit ini hampir selalu lebih parah selama musim semi, musim panas, dan musim gugur daripada di musim dingin. Paling banyak ditemukan di Afrika sub-Sahara dan Timur Tengah.Pasien umunya mengeluh sangat gatal dengan kotoran mata berserat-serat. Biasanya terdapat riwayat alergi di keluarga (hay fever atau eksim), dan terkadang disertai riwayat alergi pasien itu sendiri. Konjungtiva tampak putih-susu, dan terdapat banyak papila halus di konjungtiva tarsalis inferior. Konjungtiva tarsalis superior sering menampilkan papila raksasa mirip batu kali. Setiap papila raksasa berbentuk poligonal, dengan atap rata, dan mengandung berkas kapiler.Mungkin terdapat kotoran mata berserabut dan pseudomembran fibrinosa (tanda Maxwell-Lynos). Pada beberapa kasus, terutama pada orang Negro turunan Afrika, lesi paling mencolok terdapat di limbus, yaitu pembengkakan gelatinosa (papillae). Sebuah pseudogerontoxon (kabut serupa busur) sering terlihat pada kornea dekat papila limbus. Bintik-bintik Tranta adalah bintik-bintik putih yang terlihat di limbus pada beberapa pasien dengan fase aktif keratokonjungtivitis vernal. Ditemukan banyak eosinofil dan granula eosinofilik bebas di dalam bintik Tranta dan sediaan hapus eksudat konjungtiva yang terpulas Giemsa.Mikropannus sering tampak pada keratokonjungtivitis vernal palpebra dan limbus, tetapi pannus besar jarang dijumpai. Parut konjungtiva biasanya tidak ada, kecuali pasien telah menjalani krioterapi, pengangkatan papila, iradiasi atau prosedur yang dapat merusak lainnya. Mungking terbentuk ulkus kornea superfisial (perisai) (lonjong dan terletak di superior) yang dapat berakibat parut ringan di kornea. Keratitis epitelial difus yang khas sering kali terlihat. Tidak satu pun lesi kornea ini berespons baik terhadap terapi standar. (Vaughan & Asbury, 2008)Keratokonjungtivitis AtopikPasien dermatitis atopik (eksim) sering kali juga menderita keratokonjungtivitis atopik. Tanda dan gejalanya adalah sensasi terbakar, pengeluaran sekret mukoid, merah, dan fotofobia. Tepian palpebranya eritematosa, dan kongjungtiva tampak putih seperti susu. Terdapat papila-papila halus, tetapi papila raksasa kurang nyata dibandingkan pada keratokonjungtivitis vernal, dan lebih sering terdapat di tarsus inferior - berbeda dengan papila raksasa keratokonjungtivitis vernal, yang ada di tarsus superior. Tanda-tanda kornea yang berat muncul pada perjalanan lanjut penyakit setelah eksaserbasi konjungtivitis terjadi berulang kali. Timbul keratitis perifer superfisial yang diikuti dengan vaskularisasi. Pada kasus yang berat, seluruh kornea tampak kabur dan mengalami vaskularisasi, ketajaman penglihatan pun menurun. Penyakit ini mungkin disertai keratokonus.Biasanya ada riwayat alergi (hay fever, asma atau eksim) pada pasien atau keluarganya. Kebanyakan pasien pernah mederita dermatitis atopik sejak bayi. Parut pada lipatan fleksura (lipat siku dan pergelangan tangan) dan lutut sering ditemukan. Seperti dermatitisnya, keratokonjungtivitisatopik berlangsung berlarut-larut dan sering mengalami eksaserbasi dan remisi. Seperti keratokonjungtivitis vernal, penyakit ini cenderung kurang aktif saat pasien telah berusia 50 tahun.Kerokan konjungtiva menampakkan eosinofil, meskipun tidak sebanyak yang terlihat pada keratokonjungtivitis vernal. Sering timbul parut pada konjungtiva maupun kornea, dan terbentuk katarak atopik, plak subkapsular posterior atau katarak mirip-perisai anterior. Keratokonus ablatio retinae, dan keratitis herpes simpleks cukup banyak dijumpai pada pasien dengan keratokonjungtivitis atopik; dan terdapat banyak kasus blefaritis dan konjungtivitis bakterial sekunder, umumnya oleh stafilokokus.Penanganan keratokonjungtivitis atopik sering mengecewakan. Setiap infeksi sekunder harus diobati. Harus diusahakan kontrol lingkungan. Terapi topikal jangka panjang dengan obat penstabil sel mast adalah hal yang terpenting. Antihistamin oral juga bermanfaat. Obat-obat anti-inflamasi non-steroid yang lebih baru, seperti ketorolac dan lodoxamide, dapat mengatasi gejala pada pasien-pasien ini. Steroid topikal jangka pendek dapat meredakan gejala. Pada kasus-kasus berat, plasmaferesis atau imunosupresan sistemik bisa menjadi terapi tambahan. Pada kasus lanjut dengan komplikasi kornea berat mungkin diperlukan transplantasi kornea untuk memperbaiki ketajaman penglihatannya. (Vaughan & Asbury, 2010)Konjungtivitis Papilar RaksasaKonjungtivitis papilar raksasa dengan tanda dan gejala yang mirip konjungtivitis vernal dapat dijumpai pada pasien pengguna lensa kontak atau mata buatan dari plastik. Ini kemungkinan suatu penyakit hipersensitivitas tipe lambat yang kaya-basofil (hipersensitivitas Jones-Mote), dengan komponen IgE humoral. (Vaughan & Asbury, 2008) Mengganti prostesis mata plastik dengan kaca dan memakai kaca mata bukan lensa kontak dapat menyembuhkan. Jika lensa kontak tetap harus dipakai, diperlukan tindakan tambahan. Perawatan lensa kontak yang baik, termasuk zat bebas-pengawet, sangat penting. Disinfeksi dengan hidrogen peroksida dan pembersihan lensa kontak secara enzimatik juga menolong. Penggantian lensa kontak ke jenis weekly-disposable atau daily-disposable mungkin diperlukan jika cara-cara lain tidak menolong. Bila semua ini gagal, pemakaian lensa kontak harus dihentikan.2. Reaksi Hipersensitivitas Tipe LambatFliktenulosisKeratokonjungtivitis fliktenularis adalah respons hipersensitivitas lambat terhadap protein mikroba, termasuk protein dari basil tuberkel, Staphylococcus spp, Candida albicans, Coccidioides immitis, Haemophilus aegyptius, dan Chlamydia trachomatis serotipe L1, L2, dan L3. Dulu fliktenulosis di USA paling sering terjadi akibat hipersensitivitas lambat terhadap protein basil tuberkel manusia. Basil ini masih menjadi penyebab paling umum di daerah-daerah dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi. Namun, sekarang kebanyakan kasus yang berhubungan dengan hipersensitivitas tipe lambat di Amerika Serikat disebabkan Staphylococcus aureus. (American Academy of Ophthalmology)Fliktenula konjungtiva timbul sebagai lesi kecil (umumnya berdiameter satu hingga tiga mm) yang keras, merah, meninggi, dan dikelilingi zona hiperemia. Di limbus sering berbentuk segitiga, dengan apeks mengarah ke kornea. Di sini terbentuk pusat putih-kelabu, yang segera menjadi ulkus dan mereda dalam 12 hari. Lesi awal fliktenula dan pada kebanyakan kasus kambuh (biasanya) terjadi di limbus, tetapi ada juga yang di kornea, bulbus, dan, sangat jarang, di tarsus.Berbeda dengan fliktenula konjungtiva, yang tidak meninggalkan parut, fliktenula kornea berkembang sebagai infiltrtat kelabu amorf dan selalu meninggalkan parut. Sejalan dengan perbedaan ini, terbentuk parut pada sisi-kornea lesi limbus dan tidak pada sisi konjungtivanya. Hasilnya adalah suatu parut bentuk segi tiga dengan dasar pada limbus, suatu tanda penting fliktenulosis lama yang mengenai limbus.Fliktenula konjungtiva biasanya hanya menimbulkan iritasi dan air mata, tetapi fliktenula di kornea dan limbus umumnya disertai fotofobia hebat. Fliktenulosis sering dipicu oleh blefaritis aktif, konjungtivitis bakterial akut, dan defisiensi diet. Parut fliktenular, yang mungkin minimal atau luas, sering kali diikuti dengan degenerasi nodular Salzmann.Secara histologis, fliktenula adalah infiltrasi sel-sel bulat kecil ke perivaskular dan subepitel setempat, yang diikuti oleh sejumlah besar sel polimorfonuklear saat epitel di atasnya mengalami nekrosis dan terkelupas - serangkaian peristiwa yang merupakan ciri khas reaksi hipersensitivitas tipe tuberkulin lambat.Fliktenulosis yang diinduksi oleh tuberkul protein dan protein dari infeksi sistemik lain berespons secara dramatis terhadap kortikosteroid topikal. Terjadi pengurangan sebagian besar gejala dalam 24 jam dan lesi hilang dalam 24 jam berikutnya. Fliktenulosis oleh protein stafilokokus berespons agak lebih lambat. Antibiotik topikal hendaknya ditambahkan pada blefarokonjungtivitis stafilokokal aktif. Pengobatan harus ditujukan terhadap penyakit pencetus; steroid, bila efektif, hendaknya hanya dipakai untuk mengatasi gejala akut dan parut kornea yang menetap. Parut kornea berat mungkin memerlukan transplantasi kornea. (Vaughan & Asbury, 2008)Konjungtivitis Ringan Sekunder Akibat Blefaritis KontakPengobatan diarahkan pada penemuan agen penyebab dan menghilangkannya. Blefaritis kontak cepat membaik dengan kortikosteroid topikal, tetapi pemakaiannya harus dibatasi. Penggunaan steroid jangka panjang di palpebra dapat menimbulkan glaukoma steroid dan atrofi kulit dengan telangiektasis yang memperburuk penampilan.

D. Konjungtivitis Kimia atau IritatifKonjungtivitis Iatrogenik akibat Pemberian Obat TopikalKonjungtivitis folikular toksik atau konjungtivitis non-spesifik infiltratif, yang diikuti pembentukan parut, sering kali terjadi akibat pemberian jangka panjang dipivefrin, miotik, idoxuridine, neomycin, dan obat-obat lain dengan bahan pengawet atau vehikulum yang toksik atau yang menimbulkan iritasi. Perak nitrat yang diteteskan ke dalam saccus konjungtivalis saat lahir (profilaksis Crede) sering menjadi penyebab konjungtivitis kimia ringan. Jika produksi air mata berkurang akibat iritasi yang kontinu, konjungtiva bisa cedera lebih lanjut karena berkurangnya pengenceran terhadap agen perusak saat agen tersebut diteteskan ke dalam saccus konjungtivalis. (Vaughan & Asbury, 2008)Kerokan konjungtiva sering mengandung sel-sel epitel berkeratin, sejumlah neutrofil polimorfonuklear, dan sesekali ada sel berbentuk aneh. Pengobatan terdiri atas penghentian agen penyebab dan pemakaian tetesan yang ringan, atau sama sekali tanpa tetesan. Sering kali, reaksi konjungtiva menetap sampai berminggu-minggu atau berbulan-bulan lamanya setelah penyebabnya dihilangkan.Konjungtivitis Pekerjaan oleh Bahan Kimia dan IritanAsam, alkali, asap, angin, dan hampir setiap substansi iritan yang masuk ke saccus konjungtivalis dapat menimbulkan konjungtivitis. Beberapa iritan yang umum, yaitu pupuk, sabun, deodoran, spray rambut, tembakau, bahan-bahan make-up (mascara), dan berbagai asam dan alkali. Di daerah tertentu, asbut (campuran asap dan kabut) menjadi penyebab utama konjungtivitis kimia ringan. Iritan spesifik dalam asbut belum dapat ditetapkan secara positif, dan pengobatannya non-spesifik. Efek pada mata tidak ada yang permanen, tetapi mata yang terkena sering kali merah dan terasa menganggu terus-menerus. Pada luka karena asam, asam mengubah sifat protein jaringan dan efeknya langsung timbul. Alkali tidak mengubah sifat protein dan cenderung cepat menyusup ke dalam jaringan, serta menetap di dalam jaringan konjungtiva. Di sini alkali terus merusak selama berjam-jam atau berhari-hari lamanya, tergantung konsentrasi molar dan jumlah yang masuk. Perlekatan antara konjungtiva tarsalis dan bulbaris (simblefaron) dan parut kornea lebih mungkin terjadi pada agen penyebab alkali. Pada kejadian manapun, gejala utama luka bahan kimia adalah nyeri, pelebaran pembuluh darah (injeksi), fotofobia, dan blefarospasme. Riwayat kejadian pemicu biasanya dapat terungkap. (Vaughan & Asbury, 2008)Saccus konjungtivalis harus dibilas segera dan menyeluruh dengan air atau larutan garam, dan setiap materi padat harus disingkirkan secara mekanis. Jangan memakai antidot kimiawi. Tindakan lanjutannya, yaitu dengan steroid topikal intensif, tetes mata askorbat dan sitrat, sikloplegik, terapi antiglaukoma seperlunya, kompres dingin, dan analgesik sistemik. Konjungtivitis bakterial dapat diobati dengan agen antibakteri yang sesuai. Parut kornea mungkin memerlukan transplantasi kornea, dan simblefaron mungkin memerlukan bedah plastik pada konjungtiva dan kornea prognosisnya buruk meskipun dibedah, tetapi dengan pengobatan memadai yang dimulai segera, parut yang terbentuk akan minimal dan prognosisnya lebih baik.

2.2. DiagnosisDiagnosis konjungtiva ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium.

Tabel 1. Pembedaan jenis-jenis konjungtivitis umum Temuan Klinis dan SitologiViralBakteriKlamidiaAlergika

GatalMinimalMinimalMinimalHebat

HiperemiaGeneralisataGeneralisataGeneralisataGeneralisata

Mata berairBanyakSedangSedangMinimal

EksudasiMinimalBanyakBanyakMinimal

Adenopati preaurikularSeringJarangHanya sering pada konjungtivitis inklusiTak ada

Pada kerokan dan eksudat yang dipulasMonositBakteri, PMNPMN, sel plasma, badan inklusiEosinofil

Disertai sakit tenggorokan dan demamSesekaliSesekaliTak pernahTak pernah

Pada pemeriksaan klinis, didapatkan adanya hiperemi konjungtiva, sekret, atau edema konjungtiva. Pemeriksaan laboratorium ditemukannya kuman-kuman atau mikroorganisme dalam sediaan langsung dari kerokan konjungtiva, juga sel-sel radang polimorfonuklear atau sel-sel radang mononuklear. (Vaughan & Asbury, 2010)Pada konjungtivitis karena jamur ditemukan adanya hyfe, sedangkan pada konjungtivitis karena alergi ditemukan sel-sel eosinofil.

Tabel. 2 Diagnosis banding sebab-sebab umum mata meradang Konjungtivitis AkutIritis AkutGlaukoma AkutTrauma / Infeksi Kornea

InsidensiSangat seringSeringJarangSering

SekretSedang sampai banyak sekaliTidak adaTidak adaEncer atau purulen

Ketajaman PenglihatanTidak ada efek pada penglihatanSedikit kaburSangat kaburBiasanya kabur

NyeriTidak adaSedangBeratSedang sampai berat

Injeksi KonjungtivaDifus ; lebih ke arah fornicesTerutama sirkumkornealTerutama sirkumkornealTerutama sirkumkorneal

KorneaJernihBiasanya jernihBerkabutPerubahan kejernihan sesuai penyebabnya

Ukuran PupilNormalKecilDilatasi sedang dan terfiksasiNormal atau kecil

Respon Cahaya PupilNormalBurukTidak adaNormal

2.3. PenatalaksanaanPengobatan spesifik tergantung dari identifikasi penyebab. Konjungtivitis karena bakteri dapat diobati dengan sulfonamide (Sulfacetamide 15 %) atau antibiotika (Gentamicin 0,3 % atau Chloramphenicol 0,5 %).Konjungtivitis karena jamur sangat jarang, sedangkan konjungtivitis karena virus pengobatannya terutama ditujukan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder. Konjungtivitis karena alergi diobati dengan antihistamin (Antazidine 0,5 % atau Rapazoline 0,05 %) atau kortikosteroid (misalnya, Dexamethasone 0,1 %).Bila konjungtivitis disebabkan oleh mikroorganisme, penderita diajar bagaimana cara menghindari kontaminasi mata yang sehat atau mata orang lain. Penderita diberikan instruksi untuk tidak menggosok mata yang sakit dan kemudian menyentuh mata yang sehat, mencuci tangan setelah setiap kali memegang mata yang sakit, dan menggunakan kain lap, handuk, atau sapu tangan baru yang terpisah untuk membersihkan mata yang sakit.Pembersihan kelopak mata 2 sampai 3 kali sehari dengan air mata artifisial dan salep juga dapat menyegarkan dan mengurangi gejala pada kasus ringan. Pada kasus yang lebih berat dibutuhkan steroid topikal atau kombinasi antibiotik-steroid. Sikloplegik hanya dibutuhkan apabila dicurigai adanya iritis. Pada banyak kasus, Prednisolone asetat, satu tetes, cukup efektif tanpa adanya kontraindikasi.2.4. PrognosisBila segera diatasi, konjungtivitis ini tidak akan membahayakan. Namun jika penyakit radang konjungtiva tidak segera ditangani atau diobati, bisa menyebabkan kerusakan atau gangguan pada mata.

2.5. Kerangka Teori Gambar 6. Kerangka Teori

Konjungtivitis

Klasifikasi

Konjungtivitis BakteriKonjungtivitis VirusKonjungtivitis KlamidiaKonjungtivitis AlergiKonjungtivitis JamurKonjungtivitis KimiaKonjungtivitis Iritatif

DefinisiPatofisiologiEtiologiPatogenesisTanda GejalaKlasifikasiDiagnosisPenatalaksanaanPrognosis

BAB IIIMETODE PENELITIAN

3.1. Jenis PenelitianJenis penelitian yang digunakan adalah studi deskriptif. Data penelitian menggunakan data sekunder, dengan melihat seluruh data penderita penyakit konjungtivitis yang tercatat dalam laporan rekam medis di Poliklinik Mata (EED) di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin, Palembang, selama periode 01 Januari 2013 31 Desember 2013.3.2. Lokasi Penelitian dan Waktu PenelitianPenelitian dilakukan di bagian rekam medis Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin, Palembang. Kegiatan penelitian dilakukan selama bulan Juni 2013 - Desember 2013.3.3. Populasi Penelitian dan Sampel Penelitian3.3.1. PopulasiData dari rekam medis penderita konjungtivitis yang berkunjung ke Poliklinik Mata (EED) di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin, Palembang, dari periode 01 Januari 2013 - 31 Desember 2013.3.3.2. SampelSampel yang diambil dalam melaksanakan penelitian ini adalah dari catatan rekam medis penderita penyakit mata yang memenuhi kriteria inklusi, yaitu penderita konjungtivitis yang berkunjung ke Poliklinik Mata EED di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin, Palembang.3.3.3. Kriteria Inklusi Jumlah penderita konjungtivitis yang berkunjung ke Poliklinik Mata EED di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin, Palembang.3.3.4. Kriteria EksklusiJumlah penderita konjungtivitis yang berkunjung ke Poliklinik Mata (EED) di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin, Palembang, dengan kelainan sistemik.3.3.5. Cara Pengambilan SampelData yang dikumpulkan adalah data sekunder dari Poliklinik Mata EED di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin, Palembang, jika memenuhi kriteria inklusi.3.4. Variabel PenelitianVariabel penelitian ini terdiri dari faktor penyebab konjungtivitis, yaitu bakteri, virus, klamidia, parasitik, imunologik (alergika), jamur, kimia atau iritatif.3.5. Definisi Operasional a. DefinisiRadang konjungtiva (konjungtivitis) adalah penyakit mata pada membran mukosa yang transparan dan tipis, yang membungkus permukaan mata.b. Alat UkurPengumpulan data dengan memeriksa semua data dari rekam medis penderita konjungtivitis yang berkunjung ke Poliklinik Mata EED di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin, Palembang, dari periode 01 Januari 2013 - 31 Desember 2013.c. Cara UkurCara ukur dengan melihat ada tidaknya penderita konjungtivitis tanpa kelainan sistemik.d. Hasil UkurJumlah data penderita konjungtivitis (tanpa berkaitan dengan kelainan sistemik) yang berkunjung ke Poliklinik Mata (EED) di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin, Palembang, dari periode 01 Januari 2013 - 31 Desember 2013.3.6. Cara Kerja/Cara Pengumpulan DataData yang dikumpulkan dalam penelitian deskriptif ini merupakan data sekunder yang diambil dari bagian rekam medis di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin, Palembang. Peneliti mengumpul data dengan memeriksa dan mengambil semua data dari rekam medis penderita konjungtivitis yang berkunjung ke Poliklinik Mata di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin, Palembang.3.7. Rencana Cara Pengolahan dan Analisis Data3.7.1. Pengolahan DataPenelitian untuk mengumpulkan data dilakukan melalui penulusuran rekam medis di bagian rekam medis untuk mata di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin, Palembang.Setelah data didapatkan, data akan diidentifikasi sesuai variabel yang telah ditetapkan dan kemudian dikelompokkan berdasarkan pengelompokan yang telah ditentukan.3.7.2. Analisis DataData yang terkumpul dari catatan rekam medis akan ditabulasi, diolah, dan ditampilkan secara deskriptif dalam bentuk tabel frekuensi, carta pai, atau carta batang. Semua ini akan menggunakan perangkat lunak SPSS (Statistical Product and Service Solution) 21.0.

Rencana/Jadwal Kegiatan

KegiatanBulan

JuniJuliAugSeptOktNopDes

Membuat Proposal Penelitian

Penyelesaian Proposal

Ujian Proposal

Mengumpul Data

Mengolah Data

Menulis Laporan Hasil Penelitian

Penyusunan Laporan

Ujian Skripsi

3.8. Alur PenelitianGambar 7. Alur Penelitian

Pemaparan data hasil penelitianPengolahan dan penyajian data secara deskriptif dalam bentuk tabel frekuensi, carta pai, atau carta batangIdentifikasi angka kejadian penderita konjungtivitis sesuai variabel yang telah ditetapkanHitung angka kejadian penderita konjungtivitisPenelitianData dari rekam medis penderita konjungtivitisPenderita konjungtivitis yang berkunjung ke Poliklinik Mata EED di Rumah Sakit Umum PusatDr. Mohammad Hoesin, Palembang, dari periode01 Januari 2013 - 31 Desember 2013

Proposal Penelitian

BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN4.1. Hasil Penelitian dan PembahasanPenelitian ini dilakukan dengan pengambilan data sekunder dari rekam medis penderita konjungtivitis yang berkunjung ke Poliklinik Mata External Eye Disease (EED) di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin, Palembang. Subjek penelitian adalah semua penderita konjungtivitis yang berkunjung ke Poliklinik Mata EED di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin, Palembang, periode Januari-Desember 2013 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pada penelitian ini jumlah sampel yang didapatkan adalah sebanyak 48 penderita konjungtivitis. 4.1.1. Kejadian Konjungtivitis Berdasarkan Jenis KelaminPenelitian ini menunjukkan dari 48 penderita konjungtivitis, didapatkan 19 orang (39,6 %) adalah laki-laki dan 29 orang (60,4 %) adalah perempuan, dengan perbandingan 1 : 1.5.Pada penelitian ini, didapatkan secara total 48 penderita konjungtivitis. Berdasarkan jumlah tersebut, didapatkan bahwa perempuan merupakan penderita terbanyak.

Tabel 3. Distribusi pasien penderita konjungtivitis berdasarkan jenis kelamin di Poliklinik Mata EED di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin, Palembang, periode Januari - Desember 2013Jenis KelaminFrekuensiPersen (%)

Laki-Laki1939,60

Perempuan2960,40

Total48100,00

Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Regional di Hong Kong menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan pada jumlah penderita konjungtivitis laki-laki dan perempuan. Perbandingan antara pasien laki-laki dan wanita mendekati 1 : 1. (Yip et al, 2007)Perbandingan ini juga sama hasilnya dengan penelitian yang dilakukan di Santiago, Chile oleh Haas et al, 2009 yang menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap penderita dengan konjungtivitis berdasarkan jenis kelamin.Hasil ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Dhika Alloyna, 2010 tentang prevalensi konjungtivitis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Sumatra Utara (2009 dan 2010) bahwa dari 285 pasien penderita konjungtivitis, pasien terbanyak yaitu perempuan 154 pasien (54 %).Luas wilayah Kota Palembang 400.61 km dengan jumlah penduduk 1.523.310 orang. Dalam survei yang diambil dari buku Profil Kesehatan Kota Palembang (2012), seluruh penduduk yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Palembang, sebanyak 129.964 (8,5 %) adalah penduduk laki-laki dewasa dan 132.399 (8,7 %) adalah penduduk perempuan dewasa. Makanya, hal ini bisa saja terjadi karena populasi wanita dewasa di Palembang lebih banyak dibandingkan populasi laki-laki dewasa. Dalam satu penelitian yang dilakukan oleh Covadonga Robles Urquijo and Anne Milan di sekitar tahun 2002, rasio jenis kelamin diperkirakan hampir 1.06 laki-laki/perempuan. Dalam kebanyakan penduduk, laki-laki dewasa cenderung memiliki tingkat kematian yang lebih tinggi dibandingkan perempuan dewasa usia yang sama, bahkan setelah mengambil penyebab khusus untuk perempuan seperti kematian ketika melahirkan anak. Walaupun usia adalah hubungan faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi dengan kejadian konjungtivitis, aktivitas fisik yang berat dan kebiasaan merokok atau mengkonsumsi minuman beralkohol merupakan salah satu faktor resiko yang berkontribusi kepada mortalitas yang tinggi untuk laki-laki.Tingkat kematian yang lebih rendah bagi perempuan sepanjang alur kehidupan berkontribusi terhadap jumlah wanita yang lebih tinggi dari laki-laki dalam kalangan masyarakat sehingga menyebabkan populasi wanita yang rentan menderita penyakit konjungtivitis.

Gambar 8. Distribusi pasien penderita konjungtivitis berdasarkan jenis kelamin di Poliklinik Mata EED di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin, Palembang, periode Januari - Desember 2013

4.1.2. Kejadian Konjungtivitis Berdasarkan UsiaPada penelitian ini terdapat distribusi usia pada penderita konjungtivitis, dari 48 sampel penderita konjungtivitis, didapatkan bahwa dalam kelompok balita (usia 0 - 5 tahun) dan kanak-kanak (usia 5 - 11 tahun) tidak ada penderita. Untuk kelompok remaja (usia 12 - 25 tahun), jumlah penderita laki-laki adalah 5 orang (10,4 %) dan jumlah penderita perempuan adalah 7 orang (14,58 %). Untuk kelompok dewasa (usia 26 - 45 tahun), jumlah penderita laki-laki adalah 3 orang (6,25 %) dan jumlah penderita perempuan adalan 13 orang (27,1 %). Sedangkan untuk kelompok lansia (usia 46 - 65 tahun), jumlah penderita laki-laki adalah 8 orang (16,67 %) dan jumlah penderita perempuan adalah 7 orang (14,58 %). Untuk kelompok manula (usia lebih dari 65 tahun), jumlah penderita laki-laki adalah 3 orang (6,25 %) dan jumlah penderita perempuan adalah 2 orang (4,17 %).Tabel 4. Distribusi pasien penderita konjungtivitis berdasarkan usia di Poliklinik Mata EED di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin, Palembang, periode Januari - Desember 2013Usia (tahun)Jenis KelaminFrekuensiPersen (%)

Laki-LakiPerempuan

Balita (0-5)0000

Kanak-Kanak (5-11)0000

Remaja (12-25)Dewasa (26-45)Lansia (46-65)Manula (>65)538371372121615524,9833,3531,2510,42

Total192948100,00

Didapatkan bahwa dari 48 kasus konjungtivitis, paling banyak terjadi pada pasien kelompok dewasa, yaitu sebanyak 16 orang (33,33 %) dengan jumlah pasien perempuan sebanyak 13 orang, dari seluruh pasien penderita konjungtivitis di Poliklinik Mata EED di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin, Palembang, periode 01 Januari 2013 - 31 Desember 2013.Hal ini disebabkan oleh kombinasi beberapa faktor, termasuk kesuburan yang rendah, peningkatan jangka hidup, dan gerakan kohort 'baby boom' yang besar melalui struktur usia. Kohort yang paling besar, adalah dari usia 25 sampai 64 tahun yang membentuk sekitar 28 % dari populasi wanita keseluruhan tahun itu.Perbedaan kelompok usia ini dapat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh, faktor lingkungan, gaya hidup serta kebersihan diri dan lingkungan (Budiati, 2004). Hal ini bisa saja terjadi karena pasien usia 26 - 45 tahun terlalu sibuk sehingga tidak terlalu peduli akan kebersihan diri sendiri, seperti seringnya mencuci tangan, mengganti handuk mandi dan lainnya, sehingga infeksi dan iritasi lebih banyak terjadi pada usia ini.Gambar 9. Distribusi pasien penderita konjungtivitis berdasarkan kelompok usia di Poliklinik Mata EED di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin, Palembang, periode Januari - Desember 2013

4.1.3. Kejadian Konjungtivitis Berdasarkan Jenis KonjungtivitisPada penelitian ini, dari jumlah sampel 48 penderita konjungtivitis, diketahui bahwa 17 orang (35,4 %) menderita konjungtivitis bakteri, 11 orang (22,9 %) menderita konjungtivitis viral, dan 20 orang (41,7 %) menderita konjungtivitis alergika.

Tabel 5. Distribusi pasien penderita konjungtivitis berdasarkan jenis konjungtivitis di Poliklinik Mata EED di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin, Palembang, periode Januari - Desember 2013Jenis KonjungtivitisJenis KelaminFrekuensiPersen (%)

Laki-LakiPerempuan

Bakteri7101735.40

Viral741122.90

Alergika5152041.70

Total192948100.00

Konjungtivitis terdiri dari delapan faktor penyebab, yaitu bakteri, virus, klamidia, parasitik, imunologik (alergika), jamur, dan kimia atau iritatif, tapi dalam penelitian ini hanya tiga jenis konjungtivitis yang ditemukan, yaitu bakteri, virus, dan imunologik (alergika).Didapatkan bahwa dari 48 kasus konjungtivitis, paling banyak terjadi konjungtivitis alergika, yaitu sebesar 20 orang (41,7 %) dari seluruh pasien penderita konjungtivitis di Poliklinik Mata EED di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin, Palembang, periode Januari - Desember 2013.Berdasarkan jenis konjungtivitis, didapatkan bahwa sebanyak 17 orang (35,4 %) menderita konjungtivitis bakteri, sebanyak 11 orang (22,9 %) menderita konjungtivitis viral, dan 20 orang (41,7 %) menderita konjungtivitis alergika. Angka kejadian konjungtivitis alergika lebih tinggi berbanding yang lain.Menurut hasil penelitian retrospektif World Allergy Organization (WAO), didapatkan bahwa konjungtivitis alergika mempunyai prevalensi yang paling tinggi berbanding yang lain, yaitu pada pasien di unit rawat jalan di Thessaloniki, Yunani dengan angka kejadian 5 - 22 % antara 1 Januari 1996 dan 31 Desember 2010.Terutama di Amerika Serikat, konjungtivitis alergika diperkirakan mempengaruhi 15 - 20 % dari populasi umum. Wuthrich et al. mengevaluasi prevalensi dan keparahan gejala pada 509 pasien dengan gejala konjungtivitis dan didiagnosis sebagai konjungtivitis alergika pada 93,3 % kasus.Selain itu, dalam studi populasi di Helsinki oleh Pallasaho et al., riwayat keluarga untuk konjungtivitis ditemukan menjadi faktor risiko yang signifikan untuk sensitisasi alergi. Keturunan adalah faktor risiko lain konjungtivitis alergika, dengan peningkatan resiko antara 30 dan 50 %.Hal ini juga bisa terjadi karena infeksi ini bersifat musiman, dipengaruhi faktor iklim dan cenderung kambuh pada musim panas. Musim panas di Kota Palembang memicu munculnya konjungtivitis alergika, selain berhubungan dengan sensitivitas terhadap alergen yang terdapat di udara. Alergen musiman termasuk serbuk sari pohon di musim semi, serbuk sari rumput di musim panas, dan serbuk sari rumput di akhir musim panas, meskipun ada beberapa variasi berdasarkan lokasi geografis.Ada beberapa penyebab utama polusi udara, sebagian besar dapat dikaitkan dengan penipisan ozon stratosfer yang telah lama dikenal sebagai ancaman bagi kesehatan manusia serta ekosistem.Selain itu, salah satu penyebab utama pencemaran udara adalah manufaktur. Asap dari pabrik yang meliputi sulfur oksida, nitrogen oksida, karbon monoksida, dan dioksida, serta senyawa organik yang mudah menguap dan partikulat menjadi faktor risiko yang signifikan untuk sensitisasi alergi.Menurut penelitian yang dilakukan oleh The McGraw-Hill Companies, diperkirakan 20 juta orang dirawat karena penyakit iritasi mata di kota-kota seperti Palembang, Sumatera dan Banjarmasin, Kalimantan mengalami kebakaran besar sehingga indeks polusi udara (Air Pollution Index) sering melewati 800, yang diklasifikasikan oleh The Environmental Protection Agency, United States (US-EPA) sebagai darurat kualitas udara, yaitu berbahaya bagi kesehatan manusia.Gambar 10. Distribusi pasien penderita konjungtivitis berdasarkan jenis konjungtivitis di Poliklinik Mata EED di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin, Palembang, periode Januari - Desember 2013

4.1.4. Kejadian Konjungtivitis Berdasarkan BilateralitasPada penelitian ini, dari jumlah sampel 48 penderita konjungtivitis, didapatkan 16 orang (33,3 %) menderita penyakit konjungtivitis pada okuli dextra, 11 orang (22,9 %) menderita penyakit konjungtivitis pada okuli sinistra, dan 21 orang (43,8 %) menderita penyakit konjungtivitis pada okuli dextra dan sinistra.

Tabel 6. Distribusi pasien penderita konjungtivitis berdasarkan bilateralitas konjungtivitis di Poliklinik Mata EED di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin, Palembang, periode Januari - Desember 2013BilateralitasJenis KelaminFrekuensiPersen

Laki-LakiPerempuan

Okuli DextraOkuli Sinistra8388161133.3022.90

Okuli Dextra-Sinistra8132143.80

Total192948100.00

Berdasarkan bilateralitas konjungtivitis, paling banyak terjadi konjungtivitis alergika pada okuli dextra dan sinistra (mata kanan dan kiri), yaitu sebanyak 21 orang (43,8 %).Penelitian yang dilakukan di Belanda menunjukkan penyakit ini tidak hanya mengenai satu mata saja, tetapi bisa mengenai kedua mata, dengan rasio 2 : 96 pada satu mata dan 14 : 99 pada kedua mata. (Ilyas DSM, Sidarta, 2002)Menurut penelitian oleh Therese (2002), diketahui bahwa konjungtivitis memang lebih banyak pada kedua konjungtiva mata kanan dan kiri. Hal ini berkaitan dengan letak anatomi mata kanan dan kiri yang berdekatan serta cara penyebaran ke mata yang lain yang biasanya terjadi diperantarai oleh tangan. Tangan merupakan perantara utama terjadinya penularan dari mata yang satu ke satu lainnya. Jika mata kanan menderita konjungtivitis bakteri atau virus, maka besar kemungkinan mata kiri akan tertular karena pada saat tangan menggosok mata kanan karena terasa gatal atau mengusap kotoran mata, tanpa sengaja tangan akan menyentuh mata kiri sehingga terjadi penularan. Secara umum konjungtivitis sering ditemukan pada kedua mata kiri dan mata kanan, namun tidak jarang juga konjungtivitis hanya pada salah satu mata saja, yaitu mata kiri atau mata kanan.Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dhika Alloyna (2010) bahwa bilateralitas konjungtivitis terbanyak pada kedua mata kiri dan kanan, yaitu pada 154 pasien (54 %) dan sisanya pada salah satu mata saja, mata kanan 49 pasien (17,2 %) dan mata kiri 73 pasien (25,6 %).Gambar 11. Distribusi pasien penderita konjungtivitis berdasarkan bilateralitas konjungtivitis di Poliklinik Mata EED di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin, Palembang, periode Januari - Desember 2013

4.2. Keterbatasan PenelitianPada penelitian ini, terdapat keterbatasan peneliti dalam melakukan penelitian, diantaranya yaitu:1. Keterbatasan data yang didapatkan dari rekam medis sehingga terdapat beberapa variabel yang tidak dapat dianalisis.

BAB VKESIMPULAN DAN SARAN5.1. KesimpulanBerdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain:1. Kejadian konjungtivitis berdasarkan jenis kelamin, didapatkan bahwa perempuan merupakan penderita terbanyak.2. Kejadian konjungtivitis berdasarkan distribusi usia, kelompok usia dewasa (26 - 45 tahun) paling banyak menderita penyakit konjungtivitis.3. Kejadian konjungtivitis berdasarkan jenis konjungtivitis, sebagian besar konjungtivitis yang dialami oleh penderita konjungtivitis adalah konjungtivitis alergika.4. Berdasarkan bilateralitas konjungtivitis, konjungtivitis pada okuli dextra dan sinistra adalah lebih dominan dibandingkan dengan konjungtivitis pada okuli dextra dan okuli sinistra.5.2. SaranDari seluruh proses penelitian yang telah dilakukan, dapat timbul beberapa saran yang mungkin dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berperan dalam penelitian ini. Saran yang dapat diberikan adalah:1. Disarankan kepada instansi dan praktisi kesehatan (dokter, perawat, dan lain-lain) agar memberikan penyuluhan kepada penderita konjungtivitis tentang penanganan konjungtivitis. Selain itu, penderita konjungtivitis harus diberikan pertolongan pertama dengan benar.2. Bagi pihak yang berkaitan dengan penelitian ini, dalam hal ini pihak Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin, Palembang, disarankan untuk meningkatkan kualitas pengarsipan, dan pencatatan hal-hal yang dianggap perlu dari penderita konjungtivitis. Karena diharapkan dari pencatatan yang baik, dapat mempermudah dalam menganalisis riwayat penyakit konjungtivitis, dan secara tidak langsung juga dapat mempermudah dalam membuat perencanaan dan penjelasan pada pasien dengan penyakit konjungtivitis.3. Masyarakat dalam hal ini sangat diharapkan agar lebih memperhatikan kesehatan mata terutama konjungtivitis (mata merah) yang disebabkan oleh virus, bakteri, dan alergi. Dengan adanya pengetahuan yang lebih tentang konjungtivitis oleh masyarakat, baik itu cara pencegahan, penularan dan sebagainya diharapkan dapat menekan angka infeksi pada mata yang disebabkan oleh konjungtivitis.4. Disarankan agar penelitian tentang konjungtivitis terus dilakukan karena semakin dalam pengetahuan tentang konjungtivitis, maka semakin baik upaya pencegahannya.1