BEST BOOK For White Folks Who Teach in the Hood and the Rest of Y all Too Reality
5_BATUK DARAH_Jusuf & Hood Alsagaff
-
Upload
melzmyself -
Category
Documents
-
view
88 -
download
5
Transcript of 5_BATUK DARAH_Jusuf & Hood Alsagaff
BATUK DARAH
M. Jusuf Wibisono
Hood Alsagaff
PENDAHULUAN
Batuk darah atau hemoptysis adalah salah satu gejala yang paling penting pada
penyakit paru, pertama karena merupakan bahaya potensial adanya perdarahan yang
gawat yang memerlukan tindakan segera dan intensif, dimana batuk darah masif yang
tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan angka kematian yang tinggi. Kedua
karena batuk darah hampir selalu disebabkan oleh penyakit bronkopulmonal (Wolfe,
1977; Ingbar,1999).
Pada umumnya penderita batuk darah telah mempunyai penyakit dasar, tetapi
keluhan yang berasal dari penyakit dasar tadi tidak mendorong penderita untuk pergi
berobat. Penderita baru datang berobat ketika timbul batuk darah, walaupun darah yang
keluar hanya sedikit atau berupa dahak yang bergaris-garis merah, Batuk darah
merupakan keadaan yang menakutkan bagi penderita dan keluarganya. Akibat
ketakutan inilah pendenita akan menahan batuknya, hal ini akan memperburuk keadaan
karena akan timbul penyulit seperti penyumbatan saluran napas atau sufokasi, asfiksi
dan eksanguinasi (Wolfe, 1977; Ingbar, 1999).
Penyakit yang mendasari timbulnya batuk darah dapat dicari dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan radiologi. Sering prosedur diagnostik seperti bronkoskopi,
bronkografi dan pulmonary angiography diperlukan untuk diagnostik definitif (Health
communities. com. 2002).
DEFINISI
Sinonim batuk darah adalah hemoptoe atau hemoptysis. Hemoptysis berasal dari
bahasa Yunani yaitu haima yang berarti darah dan ptysis yang berarti diludahkan.
Menurut kamus kedokteran Dorland, hemoptysis atau batukdarah adalah ekspektorasi
darah atau mukus yang berdarah. Beberapa penulis seperti Johnston dan Obraska
1
berpendapat bahwa perdarahan yang terjadi harus berasal dari saluran napas bagian
bawah (dari glottis ke bawah), bukan berasal dari saluran napas bagian atas atau saluran
pencernaan. Jadi perlu dibedakan antara batuk darah dan muntah darah (Cahill,1994;
Alsagaff, 1995).
Berdasarkan jumlah darah yang keluar, Pursel membagi batuk darah menjadi :
Derajat 1 : bloodstreak2 : 1 - 30 cc3 : 30 - 150 cc4 : 150 - 500 cc
Massive : 500 - 1000 cc atau lebih.
Johnson membuat pembagian lain menurut jumlah darah yang keluar menjadi :
1. Single hemoptysis yaitu perdarahan berlangsung kurang dari 7 hari.
2. Repeated hemoptysis yaitu perdarahan berlangsung lebih dari 7 hari dengan interval
2 sampai 3 hari.
3. Frank hemoptysis yaitu bila yang keluar darah saja tanpa dahak.
ETIOLOGI
Berdasarkan penyebab batuk darah, Ingbar (1999) membagi sebagai berikut:
Tabel 1. Etiologi batuk darah menurut prosentasi
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------Etiologi % insiden % kasus; % kasus dengan
dg batuk darah batuk darah masif----------------------------------------------------------------------------------------------------------Ca bronkogenik 10-15% 30-50% 10%Bronkiektasis 20% 24-45% 30%Tuberkulosis paru 25-40% 5-20% 20%Abses paru 1-6% 10-15% 25%Adenoma bronkial 1% 40-55% 10%Eksaserbasi PPOK 10-20% 10% <5%Kardiovaskuler 1-7% ? ?AVM 10% 40% 25%--------------------------------------------------------------------------------------------------------
2
3
Tabel 2. Penyebab batuk darah-----------------------------------------------------------------------------------------------------------Kardiologi
Mitral stenosis
Trikuspid endokarditis
Penyakit jantung bawaan
Hematologi
Koagulopati
DIC
Trombositopeni
Platelet disfunction
Infeksi
Abses paruMisetomaPneumonia nekTotikanParasitJamur / tuberkulosaVirus
Neoplasma
Adenoma bronkialKarsinoma bronkogcnikMetastase kanker
Trauma
Cedera dada tajam / tumpulRuptur bronkusErmboli lemakTracheal-innominateArteryfistula
Penyakit sistemik
Goodpasteur syndromeWegener's granulomatosisSystemic lupus erythematosusVaskulitisIdinnathir pulmnnarv homosiderosis
(Dikutip dari Ingbar DH. Massive hemoptysis : Assesment and Management. Clin
Chest Med. 1994 ; 15 : 147)
4
ParuBronkiektasisEmboli paruKistik fibrosisEmfisema bulosa
IstrogenikBronkoskopiSwan-Ganz infarctionRuptur arteri pulmonarisAspirasi transtrakealLymphangiograp,ky
VaskulerHipertensi pulmonalA V malformationAneurisma, aorta
Obat / ToksinAntikoagulanPenisilaminAnhidrid trimetalikSolventsKokainAspirinTrombolitik
Lain-lainAmiloidosisBronkolitiasisEndometriosisBenda asingKriptogenik
Septic pulmonary emboli
Berdasarkan usia penderita, Pursel membagi batuk darah menjadi :
a. Anak-anak dan remaja : - bronkiektasis
- stenosis mitral
- tuberkulosis
b. Umur 20 - 40 tahun : - tuberkulosis
- bronkiektasis
- stenosis mitral
c. Umur lebih dari 40 tahun : - karsinoma bronkogen
- tuberkulosis
- bronkiektasis
PATOGENESIS
1. Batuk darah pada tuberculosis pada umumnya terjadi oleh karena :
a. Adanya Rasmussen's aneurysm yang pecah (Thompson, 1992; Wolfe, 1977).
Teori dimana terjadi perdarahan aneurisma dari Rasmussen ini telah lama
dianut, tetapi beberapa laporan otopsi lebih membuktikan terdapat
hipervaskularisasi bronkus yang merupakan percabangan dari arteri bronkialis
lebih banyak merupakan asal dari perdarahan. Setelah berkembangya
arteriografi dapat dibuktikan bahwa pada setiap proses paru terjadi
hipervaskularisasi dari cabang-cabang arteri bronkialis yang berperan
memberikan nutrisi pada jaringan paru bila terdapat kegagalan arteri pulmonalis
dalam melaksanakan fungsinya untuk pertukaran gas. Oleh karena itu
terdapatnya Rasmussen aneunisma pada kaverna tuberkulosis yang merupakan
asal perdarahan diragukan. (Thompson, 1992).
b. Adanya kekurangan protrombin yang disebabkan oleh toksemia dari baksil
tuberkulosa yang menginfeksi parenkim paru ( Health communities.com.2002).
5
2. Batuk darah pada karsinoma paru (Miller, 1980; Ingbar, 1999).
Terjadi oleh karena erosi permukaan tumor dalam lumen bronkus atau berasal dari
jaringan tumor yang mengalami nekrosis, pecahnya pembuluh darah kecil pada area
tumor atau invasi tumor ke pembuluh darah pulmoner.
3. Batak darah pada bronkiektasis (Wolfe , 1977; Santiago, 1991) :
a. Mukosa bronkus yang sembab mengalarni infeksi dan trauma batuk
menyebabkan perdarahan.
b. Terjadi anastomose antara pembuluh darah bronchial dan pulmonal dan juga
terjadi aneurisma, bila pecah teriadi perdarahan.
c. Pecahnya pembuluh darah dari jaringan granulasi pada dinding bronkus yang
mengalami ektasis.
4. Batuk darah pada bronkitis kronis (Santiago, 1991; Thompson, 1992) :
Terjadi oleh karena mukosa yang sembab akibat radang, terobek oleh mekanisme
batuk.
5. Batuk darah pada abses paru (Santiago, 1991; Thompson, 1992):
Pada abses kronik dengan kavitas berdinding tebal yang sukar menutup, maka
pembuluh darah pada dinding tersebut mudah pecah akibat trauma pada saat batuk.
6. Batuk darah pada mitral stenosis dan gagal jantung kiri akut (Ingbar, 1999) :
a. Bila batuk darah ringan, perdarahan terjadi secara perdiapedesis, karena tekanan
dalam vena pulmonalis tinggi menyebabkan ruptur vena pulmonalis atau distensi
kapiler sehingga butir darah merah masuk ke alveoli.
b. Menurut Ferguson, batuk darah terjadi karena pecahnya varises di mukosa
bronkus.
c. Pada otopsi ternyata ada anastomose vena pulmonalis dan vena bronkialis yang
hebat sehingga tampak seperti varises.
6
7. Batuk darah pada infark paru (Ingbar,1999; Thompson, 1992) :
Pada infark paru karena adanya penutupan arteri, maka terjadi anastomose. Selain
itu juga terjadi reflek spasme dari vena di daerah tersebut, akibatnya terjadi daerah
nekrosis dimana butir-butir darah masuk ke alveoli dan terjadi batuk darah.
8. Batuk darah pada Good Pasture syndrome ( Ingbar,1999; Thompson, 1992) :
Terjadi kelainan pada membrana basalis alveolo kapiler yaltu terbentuknya
antibody to glomerular basement membrane (anti GBM Ab) lebih spesifiknya
kolagen tipe IV pada paru sehingga membuat hilangnya keutuhan membrana
basalis epithelial-endotelial dan memudahkan masuknya sel darah merah dan
netrofil masuk ke dalam alveoli.
9. Batuk darah pada infeksi jamur (Ingbar , 1999; Santiago, 199 1)
Terjadi friksi pada pergerakan mycetoma dan terjadi pelepasan antikoagulan serta
enzym proteolitik yang menyerupai tripsin dari jamur.
10. Batuk darah pada batuk keras (Ingbar , 1999; Thompson 1992) :
Sifat khas bahwa darah terletak di permukaan sputum, jadi tidak bercampur
didalamnya.
a. Kelenjar getah bening yang mengapur, waktu batuk terjadi erosi pada bronkus
yang berdekatan.
b. Mungkin bronkolit yang ada pada saat batuk menggeser lumennya.
c. Batuk yang keras dan berulang-ulang merobek mukosa bronkus.
DIAGNOSIS
Diagnosis pada batuk darah meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang seperti pemeriksan dahak, radiologik, bronkoskopi dan
bronkografi (Haporik, 1990; Primack , 1995; Ingbar , 1999)
7
Anamnesis meliputi :
1. Membedakan batuk darah dan muntah darah (Alsagaff , 1995).
Batuk darah Muntah darah
a. Darah dibatukkan dengan rasa a. Darah dimuntahkan dengan rasa mual
panas di tenggorokan.
b. Darah berbuih bercampur udara b. Darah bercampur sisa makanan
c. Darah segar berwarna merah muda c. Darah terkena asam lambung berwama
hitam.
d. Darah bersifat alkalis d. Darah bersifat asam
e. Kadang-kadang terjadi anemia e. Sering terjadi anemia
f. Tes benzidin negatif f. Tes benzidin positif
2. Bagaimana batuk darahnya?
Misalnya bila batuk darah disertai sputum yang purulen dicurigai penyakit yang
mendasari adalah infeksi paru. Bila batuk darah tanpa pus dicurigai penyakit yang
mendasari adalah tuberkolosis, karsinoma. atau infark paru. Bila batuk darah berbau
busuk dicurigai abses paru dan bila batuk darah berupa frothy sputum dicurigai
edema paru.
3. Pola batuk darah
Pola batuk darah dapat membantu menentukan penyebab batuk darah. Misalnya,
pasien dengan bronkitis atau bronkiektasis biasanya mengalami batuk darah
berulang. Jika batuk darah terjadi setiap bulan yang berhubungan dengan saat
menstruasi, dicurigai sebagal Catamenial hemoptysis.
4. Anamnesis tentang gejala otolaring, jantung dan paru yang dapat membantu
melokalisir sumber perdarahan.
8
5. Faktor risiko sebagai kondisi penyebab.
Merokok, usia, trauma dada, riwayat bepergian ke daerah endemis parasit, virus,
jamur atau bakteri tertentu.
6. Gejala lain yang menyertai.
Bila terdapat gejala lain seperti penurunan berat badan disertai batuk darah dicurigai
sebagai karsinoma, bila terdapat riwayat keringat malam, demam yang tidak tinggi
dicunigai sebagai tuberkulosis. Bila batuk darah disertai hematuri dicurigai sebagai
Good Pasture Syndrome.
Pemeriksaan Fisik
1. Periksa tanda vital.
2. Pemeriksaan pada hidung, mulut, faring posterior dan laring termasuk pemeriksaan
laringoskopi.
3. Pemeriksaan leher, dada, jantung dan paru.
Pemeriksaan Laboratorium.
1. Pemeriksaan darah pada perdarahan masif perlu evaluasi Hb dan faal hemostasis.
2. Pemeriksaan dahak penting diperiksa sputum BTA pada penderita tuberkulosa,
sitologi sputum pada penderita karsinoma bronkogenik dan kultur sputum jamur.
3. Pemeriksaan lain tergantung penyakit dasarnya.
Selain pemeriksaan laboratorium, banyak pemeriksaan yang dapat dilakukan
untuk mendiagnosis batuk darah, antara lain : radiologik, bronkoskopi, bakteriologi,
mikologi dan serologi. Pemeriksaan radiologik meliputi foto thorax PA dan lateral,
tomografi, bronkografi dan arteriografi (Mc.Guinness, 1994; Bookstein, 1977).
Pemeriksaan radiologik yang cukup penting adalah foto thorax yang dapat mengungkap
65,2% sumber perdarahan. Sedangkan sebab perdarahan yang sukar dilihat pada
pemeriksaan foto thorax seperti bronkiektasis, dapat dilihat dengan pemeriksaan
bronkografi. Tindakan bronkoskopi sebaiknya dilakukan sebelum perdarahan berhenti
9
untuk mengetahui asal perdarahan.
Indikasi bronkoskopi pada batuk darah adalah ( Mc. Guiness, 1994; Bookstein , 1977) :
1. Bila tidak didapatkan kelainan radiologik
2. Batuk darah yang berulang-ulang.
3. Batuk darah yang masif, sebagai tindakan terapeutik yaitu membersihkan gurnpalan
darah yang keluar / penghisapan dan untuk menghentikan perdarahan dengan cara
- Iced saline lavage
- Instilasi topical agent (epinefrin, trombin, trombin-fibrinogen)
- Endobronkial tarnponade
- Laser fotokoagulasi (Nd YAG Laser= Noodymium Y trium Aluminium Gernerd
Laser atau argon laser).
KOMPLIKASI
Kornplikasi yang dapat mengancarn jiwa penderita adalah asfiksia, sufokasi dan
kegagalan sirkulasi akibat kehilangan banyak darah dalarn waktu singkat. Kornplikasi
lain yang mungkin terjadi adalah penyebaran. penyakit ke sisi paru yang sehat dan
atelektasis. Atelektasis dapat terjadi karena surnbatan saluran napas sehingga paru
bagian distal akan mengalarni kolaps dan terjadi atelektasis (Ingbar,1999; Wedel,1982).
Tingkat kegawatan dari batuk darah ditentukan oleh 3 faktor :
1. Terjadinya asfiksia karena adanya pernbekuan darah dalarn saluran pernapasan.
Pada dasarnya asfiksia tergantung dari :
a. frekuensi batuk darah
b. jumlah darah yang dikeluarkan
c. kecemasan penderita
d. siklus inspirasi
e. reflek batuk yang buruk
f. posisi penderita
2. Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya batuk darah dapat menimbulkan
syok hipovolemik. Bila jumlah perdarahan banyak maka digolongkan dalam
massive hemoptysis. Kriteria massive hemoptysis menurut Yeoh (1965) adalah
10
perdarahan 200 cc dalarn 24 jam sedang menurut Sdeo (1976) adalah perdarahan lebih
dari 600 cc dalam 24 jam.
3. Aspirasi pneumonia.
Yaitu infeksi yang terjadi beberapa jam atau beberapa hari setelah perdarahan.
Aspirasi adalah masuknya bekuan darah ke dalam jaringan paru yang mempunyai
sifat-sifat sebagai berikut :
a. Meliputi bagian yang luas dari paru.
b. Terjadi pada bagian percabangan bronkus yang lebih kecil.
c. Disamping perdarahan dapat pula disebabkan oleh masuknya cairan lambung ke
dalam paru karena penutupan glotis yang tidak sempurna.
d. Dapat diikuti sekunder infeksi.
Aspirasi pneumonia merupakan keadaan berat karena saluran napas dan bagian
fungsional paru tidak dapat berfungsi dengan baik.
PENATALAKSANAAN
Batuk darah yang kurang / tidak masif dapat ditangani secara konservatif sedang batuk
darah masif memerlukan tindakan yang lebih agresif-intensif seperti bronkoskopi atau.
operasi. Tujuan pokok terapi adalah mencegah tersumbatnya saluran pernapasan oleh
bekuan darah, mencegah kemungkinan penyebaran infeksi dan menghentikan
perdarahan (Ingbar, 1999; Yang , 1978).
A. Penatalaksanaan Konservatif
1. Menenangkan penderita dan memberitahu penderita agar jangan takut- takut
untuk membatukkan darahnya.
2. Penderita diminta berbaring pada posisi bagian paru yang sakit atau sedikit
trendelenburg, terutama bila refleks batuknya tidak adekuat.
3. Jaga agar jalan napas tetap terbuka. Bila terdapat tanda-tanda surnbatan jalan
napas perlu dilakukan pengisapan atau bila diperlukan dilakukan pemasangan
pipa endotrakeal. Pemberian oksigen hanya berarti bila jalan napas bebas
hambatan / sumbatan.
11
4. Pemasangan IV line atau IVFD untuk penggantian cairan maupun untuk jalur
pemberian obat parenteral.
5. Pemberian obat hemostatik belum jelas manfaatnya pada batuk darah yang tidak
disertai kelainan faal hemostatik.
6. Obat-obat dengan efek sedasi ringan dapat diberikan bila penderita gelisah.
Obat-obat penekan refleks batuk hanya diberikan bila terdapat batuk yang
berlebihan dan merangsang timbulnya perdarahan lebih banyak.
7. Transfusi darah diberikan bila hematrokit turun di bawah nilai 25-30% atau Hb
di bawah 10 gr% sedang perdarahan masih berlangsung.
B. Penatalaksanaan Bedah
Indikasi tindakan bedah menurut Busroh (1978) :
1. Batuk darah > 600 cc / 24 jam dan dalam pengamatan batuk darah tidak berhenti.
2. Batuk darah 250 - 600 cc / 24 jam , Hb < 10 gr% dan batuk darah berlangsung
terus.
3. Batuk darah 250 - 600 cc / 24 jam, Hb > 10 gr% dan dalam. pengamatan 48 jam
perdarahan tidak berhenti.
Kriteria operasi menurut Amitana (1968):
1. Perhatikan sumber perdarahan
2. Aspirasi berulang
3. Adanya kavitas penyebab terjadinya perdarahan berulang
4. Faal paru yang minimal sehingga setiap perdarahan menyebabkan ancaman
kematian
Tindakan bedah meliputi :
1. Reseksi paru : lobektomi atau pneumonektomi
2. Terapi kolaps : pneumoperitoneum, pneumotoraks artifisial, torakoplasti,frenikolisis
(membuat paralise n. phrenicus).
3. Lain-lain : embolisasi artifisial.
12
Ad 1. Reseksi paru ditujukan untuk membuang sisa-sisa kerusakan akibat penyakit
dasarnya. Macam reseksi :
- pneumonektomi : reseksi satu paru seluruhnya
- bilobektomi : reseksi dua lobus
- lobektomi : reseksi satu lobus
- wedge resection : reseksi sebagian kecil jaringan paru.
- enukleasi : bila kelainan patologis kecil dan jinak
- segmentektomi : reseksi segmen bronkopulmonal.
Berdasarkan foto thorax dan pemeriksaan faal paru, luasnya operasi dapat ditentukan
sebelum operasi. Prinsipnya adalah mempertahankan sebanyak mungkin jaringan paru
yang dianggap sehat. Luas dan jenis lesi (proses inflamasi, abses atau kavitas)
menentukan jenis reseksi yang akan dilaksanakan (Gourin & Garzon, 1978).
Ad 2. Terapi Kolaps (Wedel , 1982; Yang , 1978)
Bertujuan untuk mengistirahatkan bagian paru yang sakit dengan cara membuat
kolaps jaringan paru yang sakit tersebut. Pendapat ini benar untuk kelainan berbentuk
kavitas, tetapi cara ini banyak ditinggalkan karena komplikasinya banyak.
Prosedur yang termasuk dalarn kelompok terapi kolaps
* Pneumothorax artificial
Yaitu dengan memasukkan udara ke rongga pleura, kemudian secara bertahap
ditambahkan udara sehingga tercapai kolaps pada jaringan paru yang sakit. Bila
paru kolaps maka bagian tersebut dapat istirahat sehingga mempercepat proses
penyembuhan. Bila terdapat adesi dan paru tidak dapat kolaps dilakukan
intrapleural pneumonolysis (operasi Jacoboes) , tetapi sering terjadi komplikasi
perdarahan. Karena sering terjadi empiema setelah pneumotorak artifisial, tindakan
ini sudah tidak dilakukan lagi.
13
*. Pneumoperitoneum .
Yaitu tindakan memasukkan udara ke rongga peritoneum dengan tujuan menaikkan
diafragma agar terjadi kolaps pada jaringan paru dengan harapan lesi di apikal akan
menyembuh.
* Paralise nervus phrenicus
Dengan anestesi lokal nervus phrenicus dibebaskan dari perlekatannya di m.
scalenus anterior , kemudian saraf dirusak (crushed) sehingga timbul paralise
diafragma. Akibatnya akan terjadi elevasi diafragma dan diharapkan apeks paru
dapat diistirahatkan sehingga, terjadi proses penyembuhan.
* Torakoplasti
Yaitu suatu bentuk operasi dimana kolaps paru terjadi dengan cara menghilangkan
supporting framework-nya,misalkan dengan membuang tulang iga dari dinding dada.
Indikasi torakoplasti :
Dulu : torakoplasti hampir selalu dilakukan setelah lobektomi atau pneumonektomi
dengan tujuan meminimalisasi kemungkinan terjadinya over distensi parenkim paru
yang tersisa selain itu dead space akan segera menutup (obliterasi) sehingga resiko
terbentuknya fistula bronkopleural dan empiema dapat dikurangi.
Sekarang : Kebutuhan torakoplasti diragukan dan dilakukan bila direncanakan
reseksi lebih dari 1 lobus atau untuk mengatasi komplikasi tindakan reseksi seperti
fistula bronkopleura dan empiema.
Ad. 3 Embolisasi artifisial (Remy, 1977; Health communities. com. 2002).
Embolisasi artifisial atau Bronchial Artery Embolization (BAE) adalah
penyuntikan gel-foam atau polivinil alkohol melalui kateterisasi pada arteri
bronkialis. Menurut Ingbar (1999) embolisasi berhasil menghentikan perdarahan
95% . Dengan meningkatnya penggunaan embolisasi arteriografi, sekarang
penggunaan tindakan pembedahan untuk pengelolaan batuk darah masif mulai
ditinggalkan.
14
PROGNOSIS
Pada batuk darah idiopatik prognosisnya baik, kecuali jika penderita mengalami batuk
darah yang rekuren.
Pada batuk darah sekunder ada beberapa faktor yang menentukan prognosis, yaitu :
1. Derajat batuk darah.
Pada single hemoptysis mempunyai prognosis baik, sedang batuk darah yang profus
dan bergumpal-gumpal prognosisnya jelek.
2. Macam penyakit dasar yang menyebabkan batuk darah.
Pada karsinoma bronkogenik prognosisnya jelek.
3. Kecepatan dalam penatalaksanaan batuk darah masif
Misalnva tindakan trakeostomi, bronkoskopi atau tindakan bedah pada saat yang
tepat.
Menurut Crocco (1968), pasien dengan batuk darah masif ( 600 mL ) dalam waktu:
- kurang dari 4 jam mempunyai mortality rate 71%.
- 4 - 16 jam mempunvai mortality rate 22%.
- 16 - 48 jam mempunyai mortality rate 5%.
RINGKASAN
Batuk darah adalah ekspektorasi darah atau mukus yang berdarah. Perdarahan
yang terjadi haruslah berasal dari saluran napas bagian bawah (dari glotis ke bawah),
bukan berasal dari saluran napas bagian atas atau saluran pencernaan. Jadi harus
dibedakan antara batuk darah dan muntah darah.
Batuk darah adalah kondisi umum dengan banyak kausa. yang menjadi
penyebabnya. Penyebab batuk darah dapat dikategorikan menjadi infeksi, tumor dan
kelainan kardiovaskuler. Patogenesis tergantung pada penyakit dasarnya.
Diagnosis batuk darah dibuat dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium (darah, sputum sitologi,
bakteriologi, mikologi dan serologi), bronkoskopi, foto thorax, tomografi, bronkografi
dan arteriografi.
Komplikasi yang dapat terjadi adalah asfiksia, sufokasi. dan kegagalan
kardiosirkulasi akibat kehilangan banyak darah dalam waktu singkat. Selain itu dapat
15
terjadi penyebaran penyakit ke sisi paru yang sehat. Atelektasis dapat terjadi karena
sumbatan saluran napas sehingga paru bagian distal mengalami kolaps. Tingkat
kegawatan dari batuk darah ditentukan oleh terjadinya asfiksia, jumlah darah yang
keluar dan aspirasi pneumonia.
Penatalaksanaan batuk darah tergantung pada masif tidaknya batuk darah. Pada
batuk darah yang tidak / kurang masif ditangani secara konservatif sedang pada batuk
darah masif memerlukan usaha yang agresif intensif seperti bronkoskopi atau operasi.
Tindakan operasi dapat berupa reseksi paru, terapi kolaps dan embolisasi arteri
bronkialis.
Prognosis baik pada batuk darah idiopatik, kecuali terjadi batuk darah rekuren
sedang pada batuk darah sekunder tergantung dari derajat batuk darah, macam penyakit
dasar yang menyebabkan batuk darah dan kecepatan dalam bertindak.
DAFTAR PUSTAKA
1. Alsagaff H, Mukty A. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Airlangga University Press, Surabaya, 1995; 301-5.
2. Bookstein JJ et al. The role of bronchial arteriography and therapeutic embolization in hernoptysis. Chest 1977; 72: 658.
3. Cahill BC. Massive hemoptysis: assesment and management. Clin Chest Med, 1994; 15:147.
4. Gourin A, Garzon AA. Operative treatment of massive hernoptysis. Ann Thoracic Surgery. 1978; 18: 52.
5. Haponik EF, Chin R. Hemoptysis: clinicans perspective. Chest 1990; 97: 469.6. Health communities com. Pulmonology channel, Hernoptysis. Feb.27.2002.7. Ingbar DH. Hemoptysis in Medical management ofpulmonary diseases. Ed by
Davis GS. Marcell Decker Inc. New York, 1999; 341-55.8. Knot-Craig CJ, Oostuizen JB, Rossouw G, et al. Management and prognosis of
massive hemoptysis: recent experience with 120 patients. J Thorac Cardiovasc Surg, 1993; 105: 394.
9. Mc Guiness G, Beacher JR, Harkin TJ et al. Hernoptysis : prospective high resolution CT bronchoscopic correlation. Chest, 1994; 105: 1155
10. Miller RR. Mc Gregor DH. Hemorrhage ftom carcinoma of the lung. Cancer, 1980;46: 200.
11. Primack SL, Miller RR, Muller NL. Diffuse pulmonary hemorrhage : clinical, pathologic and imaging features. AJR, 1995; 164: 295.
12. Remy J. Treatment of hemoptysis by embolization of bronchial arteries. Diagnosis Radiol,1977; 122: 33.
13. Santiago S, Tobias J, Williams AJ. A reappraisal of the causes of hemoptysis. Arch Intern Med, 199 1; 151: 2449.
14. Smiddy JF, Elliot RC. The evaluation of hemoptysis with fiber optic bronchoscopy. Chest, 1973; 64: 158.
16
15. Thompson Ab. Pathogenesis, evaluation and therapy for massive hemoptysis. Chn Chest Med, 1992; 13: 69.
17