57723616-Pneumonia.docx
-
Upload
monda-darma -
Category
Documents
-
view
49 -
download
1
Transcript of 57723616-Pneumonia.docx
PNEUMONIA
PNEUMONIA SUPURATIVA
Definisi
Pneumonia supurativa yang dapat disebut juga radang paru-paru bernanah ataupun abses
paru-paru merupakan radang parenkim dan saluran paru-paru yang disertai dengan
pembentukan nanah yang berasal dari proses radang terbuka atau dari abses. Radang yang
terjadi berlangsung kronik dan ditandai dengan kelelahan penderita, kekurusan, dispnoe,
batuk serta adanya ingus yang purulen dan berbau busuk.
Etiologi
Radang ini dapat disebabkan oleh kuman pembentuk nanah antara lain C. pyogenes,
Streptococcus sp., Staphylococcus aureus dan F. necrophorum. Kelanjutan dari penyakit
paru-paru yang lain seperti bronchitis atau penyakit infeksi yang lain seperti mastitis,
endometritis, myocarditis, dan omphalitis. Selain itu dapat juga disebabkan oleh kuman dan
jamur penyebab tuberkulosis, aktinobasilosis, nokardiosis dan koksidiomikosis.
Patogenesis
Radang ini tidak menunjukkan gejala klinis yang menyolok, terjadi kelesuan karena
toksemia. Nafsu makan menurun sehingga hewan lama kelamaan menjadi kurus. Dengan
meluasnya abses dan pecahnya abses, maka nanah akan tersebar dan dapat menyebabkan
tersumbatnya bronkiole.
Infeksi akan merangsang tubuh untuk melokalisasi radang, sehingga terbentuk lapisan
demarkasi disekitar sarang radang. Pengeringan isi abses akan meninggalkan suatu rongga
(kaverne) dalam paru-paru dengan dinding jaringan ikat. Proses tuberkulosis jaringan
disekitar sarang TBC akan mengalami mobilisasi giant cells hingga terbentuk jaringan
granulomatous yang merusak sel-sel jaringan paru-paru. Jaringan paru-paru yang tidak
berhasil membentuk lapisan demarkasi, maka nanah bersama jaringan paru-paru yang rusak
dan juga titik-titik darah segar akan dikeluarkan bersama ingus yang meleler atau dibatukkan.
Jika proses penyakit ini terjadi berdekatan dengan tepi paru-paru maka dapat melanjut pada
pleura sehingga terjadi pleuritis, kemudian rongga pleura akan terisi dengan udara dan nanah,
sehingga dispnoe yang terjadi akan semakin berat.
Gejala Klinis
Penderita mengalami penurunan nafsu makan, kurus, lemah, depresi. Rangsangan pada
bronkus menyebabkan batuk yang bersifat pendek, kasar dan kering. Apabila abses pecah
maka gejala dispnoe, batuk dan bau pernafasan yang busuk akan semakin jelas. Ingus yang
bersifat purulen akan keluar saat kepala ditundukkan. Pemeriksaan perkusi akan memberikan
suara pekak (abses) dan belanga pecah (kaverna).
Diagnosa
Pemeriksaan darah menunjukkan adanya lekositosis dan monositosis persisten, isolasi kuman
penyebab paru-paru bernanah pada batang tenggorok yang penting dalam penentuan
diagnosis dan terapi. Penentuan penyakit didasarkan pada gejala klinis dan juga dengan
melakukan uji tuberkulin. Diagnosa banding dengan penyakit paru-paru lain yaitu pnemonia
gangrenosa. Gambaran rontgenologik akan membantu dalam penentuan prognosa.
Terapi
Pengobatan pada nanah yang sudah menyebar di sebagian besar paru-paru, tidak akan
membuahkan hasil. Tetapi pada proses yang sudah terlokalisasi dan tidak luas, dapat
digunakan antibiotik berspektrum luas. Pengobatan juga dapat dilakukan secara simtomatik
dan suportif.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.,2008.CattleDisease.AlternativeVeterinaryMedicines. www.alternativevet.org
Anonim.,2008. Respiratory Disease of Calve Less Than One MonthOld.Abbey Veterinary
Group. http://www.abbey-vetgroup.co.uk
Subronto., Ilmu Penyakit Ternak I.
PNEUMONIA CROUPOSA
Sinonim
Pneumonia fibrinosa
Pneumonia lobaris
Definisi
Pneumonia fibrinosa merupakan radang paru-paru yang berlangsung akut, disertai
demam, batuk dan dispnoea, yang disebabkan oleh terisinya jaringan parenkim, alveoli dan
bronchioli oleh eksudat radang, sel-sel darah dan fibrin. Proses radang yang mengenai
sebagian besar lobus paru-paru ini kebanyakan disebabkan oleh infcksi kuman, hingga radang
paru-paru ini juga disertai dengan gejala toksemia. (Subronto, 2003)
Etiologi
Pneumonia fibrinosa termasuk yang paling banyak dijumpai dalam praktek. Semua
agen kuman dan virus yang disebutkan di dalam etiologi radang paru-paru dapat bertindak
sebagai penyebab pneumonia fibrinosa. Berbagai faktor seperti kelelahan, kedinginan,
kelemahan sehabis operasi dan sebagainya, merupakan faktor predis-posisi untuk terjadinya
pneumonia fibrinosa. (Subronto, 2003)
Pneumonia terbagi dalam tiga tingkat yaitu :
1. tingkat engouoment atau Anschopfung.
2. tingkat hepatisasi dan
3. tingkat resolusi atau perenceran.
Dalam tingkat hepatisasi, fibrin terbentuk di dalam alveoli. Tingkat hepatisasi dibagi
dalam tingkat hepatisasi merah, tingkat hepatisasi kelabu dan tingkat hepatisasi kuning. Yang
akhir ini mendahului tingkat resolusi. Yang sering terlihat 'ialah stadium hepatisasi merah dan
kelabu.
Tingkat engouement secara mikroskopik terlihat sebagai berikut : sebagian besar
paru-paru memperlihatkan gambar radang. Di dalam ruang alveoli, di dalam septa dan
jaringan antara ada eksudat yang masih bersifat sero-kataral, yakni eksudat yang mengandung
sedikit lekosit-lekosit dan eritrosit-eritrosit. Di dalam septa-septa, kapiler-kapiler
memperlihatkan gejala-gejala pembendungan (hiperemi aktif). Alveoli sebagian besar berisi
cairan berserum (edema radang).
Hepatisasi merah langsung mengikuti tingkat engouement. Secara makroskopik
terlihat dalam tingkat ini paru-paru yang sedikit membesar dan merah hitam. Konsistensinya
padat. Bidang sayatannya licin dan bila paru-paru ditekan maka.keluarlah cairan yang sero-
hemoragik dari bidang sayatan. Dalam tingkat pneumoni ini terbentuk fibrin di dalam
ruangan alveoli dan di dalam septa.
Fibrin ini kelihatan sebagai butir-butir halus yang menjulang di bidang sayatan paru-
paru. Tiap-tiap butir merupakan batang-batang atau sumbat-sumbat fibrin di dalam alveoli.
Pembuluh-pembuluh darah dalam dinding alveoli masih luas karena hiperemi aktif. Karena
eksudat berfibrin tersebut maka hawa di dalam ruangan-ruangan alveoli lambat laun ber-
kurang. Demikian juga hiperemi berkurang karena tekanan fibrin. Paru-paru sekarang
menjadi berat, membesar, kompak dan tidak mengempis lagi. Tingkat ini berubah menjadi
tingkat hepatisasi kelabu. Fibrin boleh dikatakan mengisi seluruh ruangan alveoli dan
pembuluh-darah di dalam septa sekarang tertekan dan tertutup oleh fibrin itu. Paru-paru di
dalam tingkat ini sangat kekurangan darah. Kekurangan darah dan adanya jumlah besar
lekosit-lekosit di dalam alveoli memberikan warna kelabu pada paru-paru dalam tingkat ini.
Paru-paru masih terasa kompak dan membengkak.
Tingkat berikut ialah hepatisasi kuning atau kelabu-kuning. Dalam tingkat ini kita
lihat bahwa peredaran darah mulai lagi terselenggara. Lekosit-lekosit borinti polimorf yang
jumlahnya kini memuncak menga-lami perlemakan kemudian runtuh. Hal ini memberikan
warna kekuning-kuningan pada jaringan paru-paru. Di samping runtuhan lekosit-lekosit
terlihat permulaan resolusi atau perenceran eksudat padat: Serabut:serabut fibrin, yang terlihat
sebagai serabut-serabut halus, membengkak dan me-mecah belah menjadi bagian-bagian
kecil. Selain oleh lekosit-lekosit berinti polimorf eksudat-eksudat padat juga diencerkan dan
diangkut oleh sel-sel alveoler yang mengelupas dan histiosit-histiosit yang tiba di bagian
pneumoni ini melalui jalan darah.
Oleh sebab itu bidang sayatan paru-paru yang tertimpa mulai basah dan
konsistensinya mulai menjadi lunak.
Dalam tingkat resolusi eksudat-eksudat telah mengencer semuanya dan dikeluarkan
dari paru-paru (a.l. dengan batuk). Penyingkiran eksudat encer sebagian besar dilaksanakan
melalui jalan-jalan limfe.
Pada manusia biasanya pneumokokkus menyebabkan macam pneumoni ini. Pada
hewan biasanya pasteurella yang menimbulkannya. Yang langsung menyebabkan kematian
ialah biasanya kelemahan jantung. Tingkat engouement dapat terjadi dalam beberapa jam.
Hepatisasi merah terjadi pada hari ke-3 sampai ke-5. Hepatisasi kelabu pada hari ke-6 sampai
ke-8.
Pneumonia crouposa pada lembu dan kerbau.
Di Indonesia sering ditemukan pneumoni crouposa atau fibrinosa pada paru-paru
lembu dan kerbau yang mati karena septichaemia haemorr-hagica. Seperti kita ketahui
penyakit ini terbagi dalam tiga bentuk yaitu bentuk paru-paru, bentuk intestinal dan bentuk
edema. Biasanya ketiga stadia ini tidak secara jelas dapat dipisahkan.
Di dalam paru-paru terlihat broncho-pneumoni yang biasanya bersi-fat lober sebagai
akibat pengluasan melalui jalan endo- dan peri-bronchial. Di dalam jaringan-antara terlihat
edema jelas, sedangkan bagian paru-paru ini menjadi padat. Pleura pulmonalis biasanya
suram dan kasar karena pembentukan lapisan-lapisan fibrin tipis. Warnanya biasanya merah
tua hingga kelabu (tingkat hepatisasi kelabu). Pada bidang yang kering dan berbutir-butir
halus sering terlihat bagian-bagian nekrotik yang jelas terba-tas terhadap jaringan di
sekitarnya. Di sekitar bagian nektorik ini sering terlihat tepi hemoragik (hiperemi kollateral).
Secara mikroskopik biasanya terlihat garis demarkasi jelas, sedangkan bronchi lama tetap
normal. Juga secara makroskopik pengluasan radang melalui jaringan peri-bronchial kadang-
kadang bagiis terlihat karena di dalam bagian-bagian nekrotik itu ditemukan bronchi yang
belum atau hanya sedikit berubah. Nekrosa itu dianggap disebabkan oleh toksin kuman-
kuman dan bukan oleh trombosa pembuluh-pembuluh darah karena pneumoni ini cepat sekali
mendatang-kan maut bagi hewan.
Pneumoni crouposa pada babi.
Macam pneumoni ini dapat disebabkan oleh virus (virus sampar babi) atau secara
sekunder oleh kuman-kuman lain, umpamanya Pasteu-rella suiseptica, salmonella clan
sebagainya. Di Indonesia pasteurella dapat menyebabkannya kausa primer.
Secara makroskopik dapat ditemukan bagian-bagian pneumoni dalam bermacam-
macam tingkat hepatisasi, perubahan-perubahan pada pleura dan jaringan antara (edema
radang) sebagaimana kita lihat pada sapi. Di sana sini dapat terlihat bronchi normal dalam
bagian-bagian pneumoni paru-paru. Juga nekrosa kadang-kadang terlihat. Di Indonesia pneu-
moni ini sering terlihat pada babi yang mati karena septichaemia haemor-rhagica
(pasteurellosis) sedangkan di Eropa pneumoni ini sering terlihat pada pes babi
Bacteri gram positive streptococcus pneumoniae adalah yang paling bertanggung
jawab pada kebanyakan kasus pneumonia lobar. Penyebab yang paling sering lainnya adalah
Mycoplasma, Legionella, atau organisme Gram-negative lainnya.
www.microscopyu.com/.../lobarpneumonialarge.html
Lobar pneumonia merupakan radang yang dengan cepat menyebar yang disebabkan
oleh infeksi bakteri yang mempunyai kapsul yang tebal, seperti pneumococci, yang
mempunyai polysaccharide capsules. teaching.path.cam.ac.uk/partIB_pract/P02/
Patogenisitas Pneumonia Croupusa
Dengan berbagai jalan masuk agen infeksi akan mencapai jaringan paru-paru. Apabila terjadi
infeksi pada suatu focus dalam paru-paru, sebagai reaksi jaringan akan terjadi pembesaran
pembuluh darah dan penurunan tekanan hingga darah dapat lebih banyak berada didaerah
infeksi. Proses berlangsung dari jaringan interstitial yang melanjut ke dalam jaringan
parenkim. Oleh adanya darah yang berlebihan ditempat infeksi, stadium awal radang dikenal
dengan nama stadium hiperemi. Selanjutnya cairan darah dan radang akan merembes
kedalam sela-sela jaringan , juga alveoli dan bronchioli, hingga bagian tersebut jadi berwarna
merah, dengan konsistensi kenyal seperti hati. Stadium demikian dinamai stadium hepatisasi
merah. Setelah stadium hepatisasi merah, sel darah putih akan dimobilisasikan ti tempat
radang, sedangkan sel darah merah mengalami kerusakan. Karena sel darah putih banyak
terkumpul, hingga memberikan warna abu-abu, stadium lanjut tersebut dikenal sebagai
stadium hepatisasi abu-abu. Apabila infeksi dapat diatasi, sel-sel darah putih yang masuk
akan berkurang, sedang yang ada tinggal reruntuhannya. Jonjot-jonjot fibrin dan reruntuhan
sel darah putih memberikan warna kekuning-kuningan, hingga stadiumnya dikenal dengan
stadium hepatisasi kuning. Stadium terakhir adalah stadium resolusi, dimana sel darah merah
mulai masuk lagi, jonjot-jonjot fibrin dan reruntuhan sel dihancurkan oleh enjima-enjima dan
kemudian diserap oleh darah. Yang tidak dapat diserap akan dikeluarkan bersama batuk, atau
keluar dalam bentuk ingus yang bersifat mucous atau mucopurulent.
Proses mobilisasi dan perlawanan sel darah putih terjadi kurang lebih dalam waktu 24 jam,
dan tercermin dalam peningkatan suhu tubuh sampai 40-41 °C. Suhu ini baru turun setelah 3-
5 hari, setelah resolusi radang mulai terjadi. Kebanyakan radang berlangsung pada beberapa
tempat yang tidak serentak terjadinya, sehingga suhu tubuh juga berjalan naik turun untuk 2-3
minggu. Apabila jumlah kuman penyebab infeksi cukup banyak, radang paru-paru ini juga
disertai dengan gejala-gejala.
Gejala Klinis
Gejala klinis yang muncul pada penyakit Pneumonia cropousa tidak selalu sama pada tiap
pasien, namun pada umumnya ditandai dengan gejala berupa tubuh terasa dingin dan
menggigil dan diikuti dengan peningkatan temperatur tubuh secara cepat hingga mencapai
103° - 105° F, kulit menjadi kering dan panas, pulsus cepat, respirasi meningkat tajam, wajah
tampak merah, penurunan kondisi secara cepat hingga menjadi lemas dan tidak mampu
melakukan apapun, eksitasi, sakit kepala berat, nyeri pada bagian dada dan menjadi lebih
sakit saat bergerak atau saat perkusi, cyanosis, insomnia (kesulitan tidur), batuk berdahak
yang bercampur darah, muntah kadang juga terjadi dengan disertai hilangnya nafsu makan
dan haus yang berlebihan, urine berwarna gelap dan sedikit, konstipasi dan kadang diare.
Figure 1
Right lung lobes as positioned in the thoracic cage. Line A is parallel to the floor if the calf were standing. C marks the bronchial bifurcation, and line B connects C with the tracheal alignment. Line B is parallel to line A and thus the floor if the calf were standing. Acute pneumonic processes, all ventral to line B, affect the anterior cranial, middle, and caudal lobes. The small posterior cranial lobe and tissue of the caudal lobe above line B are free of pneumonia.
Can J Vet Res. 2004 April; 68(2): 118–127.
Copyright and/or publishing rights held by the Canadian Veterinary Medical Association
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?tool=pubmed&pubmedid=15188956
Pemeriksaan patologi-klinis
Lekositosis, yang mungkin disertai penggeseran ke arah kiri (shift to the left) dalam
lekogram, merupakan gambaran yang kon-sisten ditemukan pada pemeriksaan darah. Dari
leleran hidung, atau lebih baik lagi dari cairan batang tenggorok, akan dapat diisolasi kuman-
kuman yang mungkin merupakan penyebab utama radang paru-paru kruposa.
Pemeriksaan patologi-anatomis
Pada permukaan paru-paru yang mengalami proses radang terlihat perubahan warna dan
konsistensi, sesuai dengan stadia yang telah disebutkan. Perubahan warna dan konsistensi
tersebut terdapat pada berbagai bagian paru-paru dalam satu pangsa, dan secara terpisah
dengan jelas. Gambaran tersebut menyerupai gambaran mosaik, hingga perubahan patologis
sering dikenal sebagai marbled lung. Pada bidang sayatan dari proses juga nampak
permukaan yang beraneka warna, sesuai dengan stadium radang, yang mengandung cairan
radang yang bersifat serosanguineus maupun mukopurulen. Jonjot-jonjot fibrin dan eksudat
radang terlihat menyumbat saluran bronchus maupun bronchiolus.
Diagnosa
Diagnosa ditentukan berdasarkan atas gejala-gejala yang telah diuraikan, dan juga pengujian
fisik serta dengan memperhatikan pneumonia bentuk lain, terutama pneumonia aspirasi dan
kataral. Juga terhadap infeksi parasit, pada saat-saat krisis, parasitemia, perlu diperhatikan.
Pada parasitemia kadang juga ditemukan gejala-gejala mirip pneumonia yang berupa demam
dan pernafasan yang cepat dan dangkal (Subronto, 1995).
Pneumonia dapat dicurigai ketika pada saat dada dilakukan pemeriksaan dengan
menggunakan mikroskop terdengar suara nafas yang kasar atau nafas terdengar pecah.
PNEUMONIA CROUPOSA
Sinonim
Pneumonia fibrinosa
Pneumonia lobaris
Definisi
Pneumonia fibrinosa merupakan radang paru-paru yang berlangsung akut, disertai
demam, batuk dan dispnoea, yang disebabkan oleh terisinya jaringan parenkim, alveoli dan
bronchioli oleh eksudat radang, sel-sel darah dan fibrin. Proses radang yang mengenai
sebagian besar lobus paru-paru ini kebanyakan disebabkan oleh infcksi kuman, hingga radang
paru-paru ini juga disertai dengan gejala toksemia. (Subronto, 2003)
Etiologi
Pneumonia fibrinosa termasuk yang paling banyak dijumpai dalam praktek. Semua
agen kuman dan virus yang disebutkan di dalam etiologi radang paru-paru dapat bertindak
sebagai penyebab pneumonia fibrinosa. Berbagai faktor seperti kelelahan, kedinginan,
kelemahan sehabis operasi dan sebagainya, merupakan faktor predis-posisi untuk terjadinya
pneumonia fibrinosa. (Subronto, 2003)
Pneumonia terbagi dalam tiga tingkat yaitu :
1. tingkat engouoment atau Anschopfung.
2. tingkat hepatisasi dan
3. tingkat resolusi atau perenceran.
Dalam tingkat hepatisasi, fibrin terbentuk di dalam alveoli. Tingkat hepatisasi dibagi
dalam tingkat hepatisasi merah, tingkat hepatisasi kelabu dan tingkat hepatisasi kuning. Yang
akhir ini mendahului tingkat resolusi. Yang sering terlihat 'ialah stadium hepatisasi merah dan
kelabu.
Tingkat engouement secara mikroskopik terlihat sebagai berikut : sebagian besar
paru-paru memperlihatkan gambar radang. Di dalam ruang alveoli, di dalam septa dan
jaringan antara ada eksudat yang masih bersifat sero-kataral, yakni eksudat yang mengandung
sedikit lekosit-lekosit dan eritrosit-eritrosit. Di dalam septa-septa, kapiler-kapiler
memperlihatkan gejala-gejala pembendungan (hiperemi aktif). Alveoli sebagian besar berisi
cairan berserum (edema radang).
Hepatisasi merah langsung mengikuti tingkat engouement. Secara makroskopik
terlihat dalam tingkat ini paru-paru yang sedikit membesar dan merah hitam. Konsistensinya
padat. Bidang sayatannya licin dan bila paru-paru ditekan maka.keluarlah cairan yang sero-
hemoragik dari bidang sayatan. Dalam tingkat pneumoni ini terbentuk fibrin di dalam
ruangan alveoli dan di dalam septa.
Fibrin ini kelihatan sebagai butir-butir halus yang menjulang di bidang sayatan paru-
paru. Tiap-tiap butir merupakan batang-batang atau sumbat-sumbat fibrin di dalam alveoli.
Pembuluh-pembuluh darah dalam dinding alveoli masih luas karena hiperemi aktif. Karena
eksudat berfibrin tersebut maka hawa di dalam ruangan-ruangan alveoli lambat laun ber-
kurang. Demikian juga hiperemi berkurang karena tekanan fibrin. Paru-paru sekarang
menjadi berat, membesar, kompak dan tidak mengempis lagi. Tingkat ini berubah menjadi
tingkat hepatisasi kelabu. Fibrin boleh dikatakan mengisi seluruh ruangan alveoli dan
pembuluh-darah di dalam septa sekarang tertekan dan tertutup oleh fibrin itu. Paru-paru di
dalam tingkat ini sangat kekurangan darah. Kekurangan darah dan adanya jumlah besar
lekosit-lekosit di dalam alveoli memberikan warna kelabu pada paru-paru dalam tingkat ini.
Paru-paru masih terasa kompak dan membengkak.
Tingkat berikut ialah hepatisasi kuning atau kelabu-kuning. Dalam tingkat ini kita
lihat bahwa peredaran darah mulai lagi terselenggara. Lekosit-lekosit borinti polimorf yang
jumlahnya kini memuncak menga-lami perlemakan kemudian runtuh. Hal ini memberikan
warna kekuning-kuningan pada jaringan paru-paru. Di samping runtuhan lekosit-lekosit
terlihat permulaan resolusi atau perenceran eksudat padat: Serabut:serabut fibrin, yang terlihat
sebagai serabut-serabut halus, membengkak dan me-mecah belah menjadi bagian-bagian
kecil. Selain oleh lekosit-lekosit berinti polimorf eksudat-eksudat padat juga diencerkan dan
diangkut oleh sel-sel alveoler yang mengelupas dan histiosit-histiosit yang tiba di bagian
pneumoni ini melalui jalan darah.
Oleh sebab itu bidang sayatan paru-paru yang tertimpa mulai basah dan
konsistensinya mulai menjadi lunak.
Dalam tingkat resolusi eksudat-eksudat telah mengencer semuanya dan dikeluarkan
dari paru-paru (a.l. dengan batuk). Penyingkiran eksudat encer sebagian besar dilaksanakan
melalui jalan-jalan limfe.
Pada manusia biasanya pneumokokkus menyebabkan macam pneumoni ini. Pada
hewan biasanya pasteurella yang menimbulkannya. Yang langsung menyebabkan kematian
ialah biasanya kelemahan jantung. Tingkat engouement dapat terjadi dalam beberapa jam.
Hepatisasi merah terjadi pada hari ke-3 sampai ke-5. Hepatisasi kelabu pada hari ke-6 sampai
ke-8.
Pneumonia crouposa pada lembu dan kerbau.
Di Indonesia sering ditemukan pneumoni crouposa atau fibrinosa pada paru-paru
lembu dan kerbau yang mati karena septichaemia haemorr-hagica. Seperti kita ketahui
penyakit ini terbagi dalam tiga bentuk yaitu bentuk paru-paru, bentuk intestinal dan bentuk
edema. Biasanya ketiga stadia ini tidak secara jelas dapat dipisahkan.
Di dalam paru-paru terlihat broncho-pneumoni yang biasanya bersi-fat lober sebagai
akibat pengluasan melalui jalan endo- dan peri-bronchial. Di dalam jaringan-antara terlihat
edema jelas, sedangkan bagian paru-paru ini menjadi padat. Pleura pulmonalis biasanya
suram dan kasar karena pembentukan lapisan-lapisan fibrin tipis. Warnanya biasanya merah
tua hingga kelabu (tingkat hepatisasi kelabu). Pada bidang yang kering dan berbutir-butir
halus sering terlihat bagian-bagian nekrotik yang jelas terba-tas terhadap jaringan di
sekitarnya. Di sekitar bagian nektorik ini sering terlihat tepi hemoragik (hiperemi kollateral).
Secara mikroskopik biasanya terlihat garis demarkasi jelas, sedangkan bronchi lama tetap
normal. Juga secara makroskopik pengluasan radang melalui jaringan peri-bronchial kadang-
kadang bagiis terlihat karena di dalam bagian-bagian nekrotik itu ditemukan bronchi yang
belum atau hanya sedikit berubah. Nekrosa itu dianggap disebabkan oleh toksin kuman-
kuman dan bukan oleh trombosa pembuluh-pembuluh darah karena pneumoni ini cepat sekali
mendatang-kan maut bagi hewan.
Pneumoni crouposa pada babi.
Macam pneumoni ini dapat disebabkan oleh virus (virus sampar babi) atau secara
sekunder oleh kuman-kuman lain, umpamanya Pasteu-rella suiseptica, salmonella clan
sebagainya. Di Indonesia pasteurella dapat menyebabkannya kausa primer.
Secara makroskopik dapat ditemukan bagian-bagian pneumoni dalam bermacam-
macam tingkat hepatisasi, perubahan-perubahan pada pleura dan jaringan antara (edema
radang) sebagaimana kita lihat pada sapi. Di sana sini dapat terlihat bronchi normal dalam
bagian-bagian pneumoni paru-paru. Juga nekrosa kadang-kadang terlihat. Di Indonesia pneu-
moni ini sering terlihat pada babi yang mati karena septichaemia haemor-rhagica
(pasteurellosis) sedangkan di Eropa pneumoni ini sering terlihat pada pes babi
Bacteri gram positive streptococcus pneumoniae adalah yang paling bertanggung
jawab pada kebanyakan kasus pneumonia lobar. Penyebab yang paling sering lainnya adalah
Mycoplasma, Legionella, atau organisme Gram-negative lainnya.
www.microscopyu.com/.../lobarpneumonialarge.html
Lobar pneumonia merupakan radang yang dengan cepat menyebar yang disebabkan
oleh infeksi bakteri yang mempunyai kapsul yang tebal, seperti pneumococci, yang
mempunyai polysaccharide capsules. teaching.path.cam.ac.uk/partIB_pract/P02/
Patogenisitas Pneumonia Croupusa
Dengan berbagai jalan masuk agen infeksi akan mencapai jaringan paru-paru. Apabila terjadi
infeksi pada suatu focus dalam paru-paru, sebagai reaksi jaringan akan terjadi pembesaran
pembuluh darah dan penurunan tekanan hingga darah dapat lebih banyak berada didaerah
infeksi. Proses berlangsung dari jaringan interstitial yang melanjut ke dalam jaringan
parenkim. Oleh adanya darah yang berlebihan ditempat infeksi, stadium awal radang dikenal
dengan nama stadium hiperemi. Selanjutnya cairan darah dan radang akan merembes
kedalam sela-sela jaringan , juga alveoli dan bronchioli, hingga bagian tersebut jadi berwarna
merah, dengan konsistensi kenyal seperti hati. Stadium demikian dinamai stadium hepatisasi
merah. Setelah stadium hepatisasi merah, sel darah putih akan dimobilisasikan ti tempat
radang, sedangkan sel darah merah mengalami kerusakan. Karena sel darah putih banyak
terkumpul, hingga memberikan warna abu-abu, stadium lanjut tersebut dikenal sebagai
stadium hepatisasi abu-abu. Apabila infeksi dapat diatasi, sel-sel darah putih yang masuk
akan berkurang, sedang yang ada tinggal reruntuhannya. Jonjot-jonjot fibrin dan reruntuhan
sel darah putih memberikan warna kekuning-kuningan, hingga stadiumnya dikenal dengan
stadium hepatisasi kuning. Stadium terakhir adalah stadium resolusi, dimana sel darah merah
mulai masuk lagi, jonjot-jonjot fibrin dan reruntuhan sel dihancurkan oleh enjima-enjima dan
kemudian diserap oleh darah. Yang tidak dapat diserap akan dikeluarkan bersama batuk, atau
keluar dalam bentuk ingus yang bersifat mucous atau mucopurulent.
Proses mobilisasi dan perlawanan sel darah putih terjadi kurang lebih dalam waktu 24 jam,
dan tercermin dalam peningkatan suhu tubuh sampai 40-41 °C. Suhu ini baru turun setelah 3-
5 hari, setelah resolusi radang mulai terjadi. Kebanyakan radang berlangsung pada beberapa
tempat yang tidak serentak terjadinya, sehingga suhu tubuh juga berjalan naik turun untuk 2-3
minggu. Apabila jumlah kuman penyebab infeksi cukup banyak, radang paru-paru ini juga
disertai dengan gejala-gejala sepsis.
gejala Klinis
Gejala klinis yang muncul pada penyakit Pneumonia cropousa tidak selalu sama pada tiap
pasien, namun pada umumnya ditandai dengan gejala berupa tubuh terasa dingin dan
menggigil dan diikuti dengan peningkatan temperatur tubuh secara cepat hingga mencapai
103° - 105° F, kulit menjadi kering dan panas, pulsus cepat, respirasi meningkat tajam, wajah
tampak merah, penurunan kondisi secara cepat hingga menjadi lemas dan tidak mampu
melakukan apapun, eksitasi, sakit kepala berat, nyeri pada bagian dada dan menjadi lebih
sakit saat bergerak atau saat perkusi, cyanosis, insomnia (kesulitan tidur), batuk berdahak
yang bercampur darah, muntah kadang juga terjadi dengan disertai hilangnya nafsu makan
dan haus yang berlebihan, urine berwarna gelap dan sedikit, konstipasi dan kadang diare.
Pemeriksaan patologi-klinis
Lekositosis, yang mungkin disertai penggeseran ke arah kiri (shift to the left) dalam
lekogram, merupakan gambaran yang kon-sisten ditemukan pada pemeriksaan darah. Dari
leleran hidung, atau lebih baik lagi dari cairan batang tenggorok, akan dapat diisolasi kuman-
kuman yang mungkin merupakan penyebab utama radang paru-paru kruposa.
Pemeriksaan patologi-anatomis
Pada permukaan paru-paru yang mengalami proses radang terlihat perubahan warna dan
konsistensi, sesuai dengan stadia yang telah disebutkan. Perubahan warna dan konsistensi
tersebut terdapat pada berbagai bagian paru-paru dalam satu pangsa, dan secara terpisah
dengan jelas. Gambaran tersebut menyerupai gambaran mosaik, hingga perubahan patologis
sering dikenal sebagai marbled lung. Pada bidang sayatan dari proses juga nampak
permukaan yang beraneka warna, sesuai dengan stadium radang, yang mengandung cairan
radang yang bersifat serosanguineus maupun mukopurulen. Jonjot-jonjot fibrin dan eksudat
radang terlihat menyumbat saluran bronchus maupun bronchiolus.
Diagnosa
Diagnosa ditentukan berdasarkan atas gejala-gejala yang telah diuraikan, dan juga pengujian
fisik serta dengan memperhatikan pneumonia bentuk lain, terutama pneumonia aspirasi dan
kataral. Juga terhadap infeksi parasit, pada saat-saat krisis, parasitemia, perlu diperhatikan.
Pada parasitemia kadang juga ditemukan gejala-gejala mirip pneumonia yang berupa demam
dan pernafasan yang cepat dan dangkal (Subronto, 1995).
Pneumonia dapat dicurigai ketika pada saat dada dilakukan pemeriksaan dengan
menggunakan mikroskop terdengar suara nafas yang kasar atau nafas terdengar pecah.
Secara fisik :
1. Kulit menunjukan memar (cyanosis)hipoksia
2. Respirasi dan jantung meningkat
3. Tekanan darah renah hipotensi
4. Penurunan suara pernapasan, ataupun abnormal (friksi,ngorok) karena kerusakan
jaringan pada paru-paru kedangkalan saluran pernapasan atau adanya cairan dan pus.
http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://anatpat.unicamp.br/
Sinar-X dan CT scan
Sinar-X pada umumnya dapat untuk mengkonfirmasikan hasil diagnosa pneumonia/radang
paru-paru. Paru-paru mempunyai beberapa segman yang dikenal dengan lobus, ketika terjadi
radang paru-paru mempengaruhi salah satu dari lobus dikenal sebagai pneumonia lobaris.
Tidak semua radang paru-paru dapat terlihat dengan sinar-x. Dalam beberapa hal CT scan
dapat mengungkap radang paru-paru yang tidak terlihat oleh sinar-x.
Pneumonia as seen on chest x-ray. A: Normal chest x-ray. B: Abnormal chest x-ray with shadowing from pneumonia in the right
lung (white area, left side of image).
Sampel sputum
Sampel sputum/sampel dahak dapat dikumpulkan dan diuji di bawah mikroskop. Jika
pneumonia yang disebabkan oleh bakteri atau jamur, maka organisme tersebut dapat
terdeteksi dengan pengujian ini.
Blood test
Pengujian darah dilakukan dengan mengukur sel darah putih. Sel darah putih dapat
memberikan pertanda apakah pneumonia tersebut disebabkan oleh bakteri atau virus. Jika
terjadi peningkatan jumlah neutrofil maka infeksi/radang paru-paru tersebut disebabkan oleh
bakteri dan jika terjadi peningkatan limfosit maka disebabkan olr virus.
Bronchoscopy
Bronchoscopy adalah suatu prosedur dimana tipis, fleksibel, dan juga dapat
teramati(tersinari) tabung dimasukkan ke dalam hidung atau mulut. Lintasan jalan nafas bisa
secara langsung diuji dan spesimen dari bagian paru-paru yang terinfeksi dapat diperoleh.
http://www.medicinenet.com/pneumonia/page2.htm#4howis
Prognosa
Pada proses radang yang disebabkan oleh kuman yang kurang patogen, pada umumnya
proses radang dapat diatasi. Proses yang telah berlangsung lebih dari 10 hari, prognosanya
meragukan (Subronto, 1995 ).
Pencegahan
Mengingat mudahnya penularan penyakit paru-paru yang disebabkan kuman dan virus, maka
penderita ditempatkan tersendiri/kandang isolasi. Pengawasan ketat pada hewan sehat
merupakan rangkain penanganan radang paru-paru di suatu peternakan. Penderita sendiri
dikandangkan di kandang yang bersih, hangat, ventilasi yang baik, dan terlindung dari angin
dan juga hujan.
Terapi
Pengobatan yang telah diuraikan di muka untuk radang paru-paru dapat digunakan pada
radang paru-paru fibrinosa. Penggunaan antibiotic seperti sulfonamid biasanya segera
membuahkan hasil yang berupa penurunan suhu tubuh dalam waktu 24 jam. Apabila dalam
waktu 48 jam tidak ada perubahaan, penggunaan antibiotika yang lain perlu dipertimbangkan.
Pada radang paru-paru yang disebabkan oleh virus, penggunaan antibiotika hanya baik untuk
melawan infeksi sekunder.
Pengobatan
Pengobatan suportif dan penempatan penderita di dalam kandang yang bersih dan hangat
perlu dianjurkan.
Differential diagnosis
Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) atau asma
Pulmonary edema
bronchiectasis
lung cancer
pulmonary emboli
DAFTAR PUSTAKA
Andrews, A. H. Bovine Medicine Diseases and Husbandry of Cattle Second Edition.. Blackwell Science
http://en.wikipedia.org/wiki/Pneumonia#Diagnosis
http://www.medicinenet.com/pneumonia/page2.htm#4howis
http://images.google.com/imgres?imgurl=http://www.scielo.br/img/revistas/pvb/
http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://anatpat.unicamp.br/
www.pfizersaudeanimal.com.br
http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://lh6.ggpht.com/
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?tool=pubmed&pubmedid=15188956
http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://www.szote.u-szeged.hu/radio/mellk1/
http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://www.solunetti.fi/tiedostot/kuvat_patologia/
http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://biomedicum.ut.ee/
http://www.henriettesherbal.com/eclectic/ellingwood1/croupous-pneumonia.html
Ressang. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Bogor : IPB Press.
Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak.Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
teaching.path.cam.ac.uk/partIB_pract/P02/
www.microscopyu.com/.../lobarpneumonialarge.html
Memuat…
Hasil tidak ditemukan.
Diagnóstico: Pneumonia Fibrinosa; Orgão: Pulmão de bovino
http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://lh6.ggpht.com/
Secara fisik :
1. Kulit menunjukan memar (cyanosis)hipoksia
2. Respirasi dan jantung meningkat
3. Tekanan darah renah hipotensi
4. Penurunan suara pernapasan, ataupun abnormal (friksi,ngorok) karena kerusakan
jaringan pada paru-paru kedangkalan saluran pernapasan atau adanya cairan dan pus.
Sinar-X dan CT scan
Sinar-X pada umumnya dapat untuk mengkonfirmasikan hasil diagnosa pneumonia/radang
paru-paru. Paru-paru mempunyai beberapa segman yang dikenal dengan lobus, ketika terjadi
radang paru-paru mempengaruhi salah satu dari lobus dikenal sebagai pneumonia lobaris.
Tidak semua radang paru-paru dapat terlihat dengan sinar-x. Dalam beberapa hal CT scan
dapat mengungkap radang paru-paru yang tidak terlihat oleh sinar-x.
Sampel sputum
Sampel sputum/sampel dahak dapat dikumpulkan dan diuji di bawah mikroskop. Jika
pneumonia yang disebabkan oleh bakteri atau jamur, maka organisme tersebut dapat
terdeteksi dengan pengujian ini.
Blood test
Pengujian darah dilakukan dengan mengukur sel darah putih. Sel darah putih dapat
memberikan pertanda apakah pneumonia tersebut disebabkan oleh bakteri atau virus. Jika
terjadi peningkatan jumlah neutrofil maka infeksi/radang paru-paru tersebut disebabkan oleh
bakteri dan jika terjadi peningkatan limfosit maka disebabkan olr virus.
Bronchoscopy
Bronchoscopy adalah suatu prosedur dimana tipis, fleksibel, dan juga dapat
teramati(tersinari) tabung dimasukkan ke dalam hidung atau mulut. Lintasan jalan nafas bisa
secara langsung diuji dan spesimen dari bagian paru-paru yang terinfeksi dapat diperoleh.
http://www.medicinenet.com/pneumonia/page2.htm#4howis
Prognosa
Pada proses radang yang disebabkan oleh kuman yang kurang patogen, pada umumnya
proses radang dapat diatasi. Proses yang telah berlangsung lebih dari 10 hari, prognosanya
meragukan (Subronto, 1995 ).
Pencegahan
Mengingat mudahnya penularan penyakit paru-paru yang disebabkan kuman dan virus, maka
penderita ditempatkan tersendiri/kandang isolasi. Pengawasan ketat pada hewan sehat
merupakan rangkain penanganan radang paru-paru di suatu peternakan. Penderita sendiri
dikandangkan di kandang yang bersih, hangat, ventilasi yang baik, dan terlindung dari angin
dan juga hujan.
Terapi
Pengobatan yang telah diuraikan di muka untuk radang paru-paru dapat digunakan pada
radang paru-paru fibrinosa. Penggunaan antibiotic seperti sulfonamid biasanya segera
membuahkan hasil yang berupa penurunan suhu tubuh dalam waktu 24 jam. Apabila dalam
waktu 48 jam tidak ada perubahaan, penggunaan antibiotika yang lain perlu dipertimbangkan.
Pada radang paru-paru yang disebabkan oleh virus, penggunaan antibiotika hanya baik untuk
melawan infeksi sekunder.
Pengobatan
Pengobatan suportif dan penempatan penderita di dalam kandang yang bersih dan hangat
perlu dianjurkan.
Differential diagnosis
Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) atau asma
Pulmonary edema
bronchiectasis
lung cancer
pulmonary emboli
DAFTAR PUSTAKA
Andrews, A. H. Bovine Medicine Diseases and Husbandry of Cattle Second Edition.. Blackwell Science
http://en.wikipedia.org/wiki/Pneumonia#Diagnosis
http://www.medicinenet.com/pneumonia/page2.htm#4howis
http://images.google.com/imgres?imgurl=http://www.scielo.br/img/revistas/pvb/
http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://anatpat.unicamp.br/
www.pfizersaudeanimal.com.br
http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://lh6.ggpht.com/
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?tool=pubmed&pubmedid=15188956
http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://www.szote.u-szeged.hu/radio/mellk1/
http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://www.solunetti.fi/tiedostot/kuvat_patologia/
http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://biomedicum.ut.ee/
http://www.henriettesherbal.com/eclectic/ellingwood1/croupous-pneumonia.html
Ressang. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Bogor : IPB Press.
Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak.Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
teaching.path.cam.ac.uk/partIB_pract/P02/
www.microscopyu.com/.../lobarpneumonialarge.html
Pneumonia Catarrhalis
A. Definisi
Pneumonia adalah keradangan paru, biasa dideskripsikan sebagai keradangan
parenkim atau alveoli paru dan terisinya alveoli oleh cairan secara abnormal sehingga
melanjut pada konsolidasi (Dorlan, 1994; Stedman, 2007). Konsolidasi atau solidifikasi
adalah proses memadat atau mengerasnya paru karena ruang udara terisi eksudat (Dorlan,
1994). Radang ini dapat disebabkan oleh berbagai agen etiologi; radang akibat infeksi bakteri
terkadang menyebabkan terjadinya toksemia (www.komunitas-dokterhewan.blogspot.com,
2008).
Penyakit pernafasan paling umum pada saluran pernafasan bawah adalah pneumonia.
Terdapat banyak sistem untuk mengklasifikasikan berbagai tipe pneumonia, salah satunya
berdasarkan lesi paru. Focal pneumonia menunjukkan perubahan pada satu atau lebih foci
yang berlainan dengan pola acak, misalnya abses karena emboli di tempat lain, tuberculosis,
atau actinomycosis. Lobular pneumonia menonjolkan pola anatomis dari lobuli, seperti pada
infeksi Pasteurella multocida. Lobar pneumonia seringkali parah dan meliputi area luas dari
lobus, misalnya pada fibrinous pneumonic pasteurellosis of cattle. Pneumonia difus atau
interstitialis seringkali meliputi seluruh bagian paru-paru, seperti pada penyakit Maedi pada
domba atau reaksi hipersensitivitas (www.merckvetmanual.com, 2008).
Pneumonia catarrhalis adalah keradangan jaringan paru yang terkait dengan catarrhal
(radang yang terutama mempengaruhi permukaan mucosa dan ditandai oleh keluarnya mucus
dan debris epitel yang melimpah), seringkali bersifat kronis. Bukti keradangan yang tampak
mencolok dari membran bronchial bermula dari area bronchioli terminal, yakni dengan
menyumbatnya eksudat mukopurulen yang membentuk bercak-bercak konsolidasi di lobuli
yang berdekatan; sehingga disebut pneumonia lobuler (Webster, 1913; Dorlan, 1994).
Penyakit ini banyak ditemukan pada sapi dan babi. Bronchopneumonia selalu diikuti dengan
bronchitis karena merupakan pneumonia yang spesifik berlokasi di bronchiolus dan alveoli
(Irons, 2006).
Sinonim dari pneumonia catarrhalis adalah capillary/vesicular bronchitis,
bronchoalveolitis, lobular pneumonia, bronchial pneumonia, bronchopneumonia (Thomas,
1907; Dorlan, 1994).
B. Etiologi
Bronchopneumonia seringkali bersifat sekunder menyertai infeksi saluran pernafasan
atas (ISPA), demam infeksi spesifik, dan penyakit yang melemahkan daya tahan tubuh,
meskipun dapat terjadi secara primer pada anakan maupun individu segala usia yang lemah
(Dorlan, 1994).
Menurut buku Diseases of Domestic Animals (1975), berikut ini adalah beberapa
penyebab bronchopneumonia:
● inhalasi materi asing, seperti debu yang menyebabkan iritasi membran mucosa dan
modifikasi sekret, peningkatan infeksi serta memacu keradangan bronchiolus dan alveoli
● iritasi zat kimia dan gas yang menyebabkan kongesti dan keradangan paru. Bila terjadi
peningkatan kuantitas dapat mengiritasi membran mucosa yang akhirnya menyebabkan
bronchopneumonia
● udara dingin, kabut dan perubahan suhu sangat berpengaruh terhadap faktor penyebab
sekresi pada membran mucosa
● bronchopneumonia muncul sebagai gejala sekunder dari penyakit spesifik
● peradangan yang terjadi di luar sistem respirasi
● infeksi materi mulut dan nasal yang mencapai bronchial
Faktor-faktor pengelolaan peternakan dan lingkungan hewan sangat berpengaruh
terhadap terjadinya radang paru sapi. Penempatan sapi di kandang yang lembab dan berdebu
dengan ventilasi yang jelek, overcrowding, pedhet yang tidak cukup mendapatkan kolostrum,
lingkungan yang dingin serta transportasi merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi
penyakit ini. Pada lingkungan yang buruk sering terjadi infeksi bakteri Pasteurela sp. dan
Streptococcus sp. Pneumonia yang disebabkan oleh virus pada hewan biasanya bersifat akut.
Pada kultur paru dari hewan yang mati karena pneumonia sering dijumpai adanya bakteri
Corynebacterium pyogenes, hemolytic staphylococci dan Pseudomonas aeruginosa
(www.komunitas-dokterhewan.blogspot.com, 2008). Enzootic pneumonia pada sapi
merupakan akibat dari interaksi kompleks antara berbagai macam stressor (yang
menyebabkan stress). Ventilasi yang buruk, level ammonia yang berlebihan pada tempat
penyimpanan pakan, perubahan nutrisi yang tiba-tiba, populasi yang terlalu padat dan
transportasi melemahkan mekanisme pertahanan sapi, sehingga berperan sebagai faktor
predisposisi agar sapi mudah terinfeksi virus tersebut (Bayer, 2008).
Bentuk akut dari pneumonia lobuler memiliki karakteristik yang sama dengan
pneumonia lobar, kecuali bahwa pola pneumonik ditemukan terpisah. Semua bentuk
bronchopneumonia tergantung pada invasi paru oleh mikroorganisme. Tidak ada organisme
yang ditemukan secara konstan pada setiap kasus hingga dapat dikatakan spesifik seperti
pada pneumonia lobar; kemungkinan dijumpai influenza bacillus, micrococcus catarrhalis,
pneumococcus, Friedlander's bacillus dan lain-lain. Kebanyakan kasus merupakan kombinasi
infeksi atau bahkan mengikuti demam infeksius, cacar, difteri, dsb., terutama pada kasus
anakan. Dalam hal ini, sering terjadi komplikasi yang fatal. Bronchopneumonia juga dapat
mengikuti operasi mulut atau trachea (Encyclopaedia Britannica, 1911)
Khususnya pada sapi, agen patogenik penyebab bronchopneumonia antara lain adalah
virus Parainfluenza 3 (PI-3), Adenovirus, Reovirus, Rhinovirus, virus ECBO, Coronavirus
(BRSV, BVD/MD atau Bovine Virus Diarrhea/Mucosal Disease). Berdasarkan penelitian
terbaru, infeksi BRSV dianggap sebagai penyakit independen di antara enzootic
bronchopneumonia complex (Bayer, 2008). Virus Infectious Bovine Rhinotracheitis,
Malignant Catharal Fever, Bovine Herpes Virus-4, Rotavirus juga disebutkan dapat menjadi
etiologinya (www.komunitas-dokterhewan.blogspot.com, 2008). Seringkali agen bakteri
sekunder menyebabkan bronchopneumonia yang parah saat virus berhasil merusak saluran
udara bagian atas dan bawah. Infeksi sekunder yang bersifat bakterial meliputi infeksi dari
Pasteurella hemolytica, P. multocida, Staphylococci, Haemophilus somnus, Chlamydia,
Mycoplasma, Corynebacteria, Streptococci, Mycobacterium tuberculosa (www.komunitas-
dokterhewan.blogspot.com, 2008; Bayer, 2008).
Tabel 1. Agen Patogenik Penyebab Bronchopneumonia pada Berbagai Hewan
Sapi Babi Domba Kambing Kuda
Llama &
Alpaca
Bison
ETIOLOGI
Pasteurella multocida
Mycoplasma hypopneumoniae
Mycoplasma ovipneumonia
e
Mycoplasma mycoides
subsp. mycoides
(Asterococcus
mycoides / Bovimyces
pleuro-pneumoniae)
Streptococcus equi subsp.
equi
BHV-1
Haemophilus somnus
Mycoplasma spp.
Actinobacillus pleuropneumoni
ae
Mannheimia haemolytica
Streptococcus equi subsp.
zooepidermicus
virus IBR
Mannheimia
haemolytica
PI-3
A. pyogenes PI-3
Rhodococcus (Corynebacter
-ium) equi
Pasteurella multocida
E. coli RSV
Pasteurella multocida tipe-A
(PmA)
haemolytic-StreptococciBordetella
(Haemophilus)
parapertussisMycoplasma
arginini
C. Patogenesis
Agen-agen infeksi memasuki jaringan paru-paru secara inhalasi, hematogen atau
limfogen. Infeksi secara hematogen dan limfogen menyebabkan terbentuknya foci-foci
radang yang letaknya tersebar pada berbagai lobus paru-paru (www.komunitas-
dokterhewan.blogspot.com, 2008). Biasanya penyakit diawali dengan inhalasi bakteri yang
selanjutnya menyerang daerah perbatasan bronchioalveolar. Bagian ini rawan karena tidak
dilindungi oleh mucus dan silia dan kekurangan makrofag. Jika telah mencapai alveoli, maka
bakteri atau benda asing harus dikeluarkan lagi melalui daerah transisi tersebut. Dari daerah
ini, proses penyakit akan terus melanjut ke alveoli ataupun ke seluruh pulmo melalui saluran
udara dan hubungan lainnya, misalnya pores of Kohn atau porus alveolaris (Purwandari,
2007).
Berat-ringan proses radang tergantung pada jenis, virulensi, dan jumlah agen infeksi
yang berhasil memasuki jaringan. Kejadian akut biasanya disebabkan oleh bakteri Pasteurela
sp. dan Mycoplasma sp., sedangkan yang disebabkan jamur atau bakteri Mycobacterium sp.
kebanyakan bersifat kronis dengan pembentukan granuloma. Sedangkan infeksi viral
berlangsung subklinis dan memerlukan faktor lain dalam patogenesisnya, yaitu kerja sama
dengan bakteri patogen lain maupun pengelolaan peternakan dan lingkungan yang buruk
(www.komunitas-dokterhewan.blogspot.com, 2008).
Radang paru akan menyebabkan terjadinya hipoksia karena terjadi gangguan
pertukaran gas oksigen dan karbondioksida. Sebagai kompensasi, hewan akan meningkatkan
frekuensi dan intensitas pernafasan. Karena adanya rasa sakit ketika bernafas yang
disebabkan oleh meningkatnya kepekaan jaringan yang mengalami radang, pernafasan
berlangsung cepat dan dangkal. Selain itu pernafasan yang normalnya tipe costoabdominal
akan berubah menjadi tipe abdominal (www.komunitas-dokterhewan.blogspot.com, 2008).
Dengan adanya hiperemi, paru-paru akan mengalami pemadatan (konsolidasi) yang
melanjut hingga berkonsistensi seperti hati (hepatisasi). Adanya eksudat pada saluran
pernafasan akan menyebabkan batuk bagi jaringan yang peka (www.komunitas-
dokterhewan.blogspot.com, 2008).
Berdasarkan proses keradangannya, mula-mula lobuli yang terkena tampak
membengkak kemerahan, bidang sayatan keluar eksudat cair (fase eksudasi), kemudian lobuli
berwarna kelabu (fase infiltrasi leukosit), akhirnya lobuli tampak berwarna merah kembali
(fase resorbsi). Pulmo akan hiperemik selama beberapa hari, kemudian warnanya akan
menjadi pucat dalam waktu seminggu. Pneumonia ringan akan mengalami resolusi selama 7-
10 hari dan pulmo akan menjadi normal dalam 3-4 minggu. Sequelae (akhir) dapat meliputi
pembentukan abses, bronchiectasis, adhesi pleura, fibrosis dan gangrene (Purwandari, 2007).
1. Pada Babi
Sebanyak 59,1% babi yang tampak sehat di abattoir Spanyol ternyata memiliki lesi
bronchopneumonia catarrhalis sehingga karkasnya tidak diterima saat inspeksi. Jumlah ini
menunjukkan 16,1% dari keseluruhan karkas babi yang ditolak di abattoir. Perubahan
patologis teramati saat organ dalam thorax tidak dapat dilepaskan dari karkas. Penyakit ini
memiliki prevalensi tinggi pada babi yang terganggu pertumbuhannya, sehingga diperkirakan
bronchopneumonia catarrhalis adalah salah satu penyebab gangguan tersebut (Martinez,
2006).
Penyebab utama bronchopneumonia catarrhalis pada babi yang umum diketahui
adalah Mycoplasma hyopneumoniae dan Actinobacillus pleuropneumoniae (Taylor, 1996).
Akan tetapi, pada 75% kasus, ternyata ditemukan isolat murni A. pyogenes. Infeksi bakteri A.
pyogenes kemungkinan bersifat sekunder terhadap pneumonia yang telah ada, dengan sifat
opportunistik karena membutuhkan adanya faktor predisposisi seperti luka trauma sebelum
invasi membran mucosa atau kulit (Martinez, 2006).
Bronchopneumonia subakut dapat diinduksi dengan pemberian endotoksin E. coli
(LPS) dikombinasikan dengan Pasteurella multocida tipe A (PmA). Tingkat keparahan
bronchopneumonia dapat diamati dengan pemeriksaan bronchoalveolar lavage fluid (BALF)
cytology, cytokines, serta pengukuran volume lesi paru dan perubahan pola nafas ekspiratorik
(Penh). Penyakit subakut terkarakterisasi dengan adanya infiltrasi makrofag, neutrofil, dan
limfosit, perubahan Penh dan peningkatan level mRNA dari IFN-gamma. Gejala yang
muncul proporsional dengan proses keradangan paru, perubahan fungsi pernafasan dan
perluasan lesi makroskopis (Halloy, 2004).
Jika bakteri diinokulasikan pada bronchus dengan teknik fiber optik, infeksi paru akan
terdistribusi secara multifokal. Berbeda dengan kerusakan alveoler yang difus yang terjadi
pada lung lavage atau pemberian toksin secara intravena, di mana ketiadaan aerasi
didistribusikan secara seragam (Goldstein, 2001).
Lesi bronchopneumonic pada anakan babi antara lain berupa akumulasi padat
neutrofil polimorfonuklear pada lumen bronchioler dan alveoli di sekitarnya termasuk satu
atau lebih lobulus pulmoner (Goldstein, 2001).
Pada area paru yang unventilated (tidak berpartisipasi dalam pertukaran udara),
bronchioli sangat terdistensi, terkait dengan high alveolar dead space selama periode ventilasi
mekanis. Tingkat distensi yang tergantung pada peningkatan berat paru dan penurunan fungsi
pernafasan mengindikasikan perluasan dan keparahan kerusakan paru. Overdistensi
menyebabkan lesi seperti emphysema. Edema alveoler jarang dijumpai dan terkait dengan
lesi bronchopneumonic (Goldstein, 2001).
Terapi ceftiofur 3 mg/kg secara intramuskuler setiap hari selama lima hari berturut-
turut mengurangi gejala batuk dan demam setelah 2-3 hari pengobatan. Peningkatan jumlah
sel radang berhenti setelah 15 hari pengobatan. Demikian juga, volume lesi paru berkurang
daripada tanpa pengobatan. Kombinasi pemberian flunixin 2 mg/kg secara intramuskuler
setiap hari selama tiga hari berturut-turut tidak memberikan perubahan hasil (Halloy, 2006).
2. Pada Domba
Anakan domba yang berumur di bawah 12 bulan pada sistem produksi yang intensif
biasa terserang bronchopneumonia kronis, seringkali dengan sifat subklinis. Penyakit ini
mempengaruhi tingkat pertumbuhan dan efisiensi konversi pakan dalam dunia produksi
domba (Jones et al., 1982).
Infeksi oleh Mycoplasma ovipneumoniae (73%) dan Mannheimia haemolytica (30%)
telah ditemukan sebagai etiologi kondisi ini dan berbagai lesi paru dapat muncul. Agen
patogenik lain yang berpotensi sebagai penyebab adalah virus parainfluenza tipe-3 (PI-3) dan
respiratory syncytial virus (RSV), species Streptococci yang bersifat hemolitik, Bordetella
parapertussis, juga Mycoplasma arginini. Faktanya, isolat Mycoplasma ovipneumoniae dari
kasus ini ternyata dapat mengalami heterogenitas genetik yang signifikan dan juga dapat
dikultur dari paru anakan domba yang normal (Sheehan, 2006).
Lesi mikroskopis yang umum pada daerah demarkasi berupa konsolidasi lobus
cranialis adalah peri-airway lymphoid hyperplasia, eksudasi intra-alveoler dan nodular
‘hyaline scars’. Akan tetapi, hal ini ternyata tidak ditemui pada 40% kasus di Inggris.
Temuan ini menggambarkan betapa kompleksnya etiopatogenesis dari penyakit ini dan
persyaratan tinggi untuk mengkombinasikan kriteria diagnostik saat diagnosis laboratoriknya
(Sheehan, 2006). Lesi yang terkhusus pada lokasi lobus cranialis dexter kemungkinan
menunjukkan separate ‘tracheal’ bronchus yang memventilasi lobus cranialis dexter pada
spesies ini. Pola aliran udara tertentu dapat menguntungkan deposisi partikel infeksius atau
menghambat pembersihan partikel, atau keduanya, pada lokasi ini (Saar dan Getty, 1975).
Meski infeksi M. ovipneumoniae dapat menginduksi eksudasi neutrofil intra-alveoler
ringan (Foggie et al., 1976), proses supurasi diperkuat dengan adanya infeksi oleh M.
haemolytica (Gilmour et al., 1982). M. haemolytica ditemukan pada 6 dari 10 paru dengan
respon supurasi yang mencolok. Peran bakteri ini disimpulkan sangat besar dengan melihat
lesi pulmoner yang menyeluruh bahkan hingga lobuli dan eksudat leukosit yang penuh
(Sheehan, 2006).
Infeksi mycoplasma sebelumnya atau yang sedang berlangsung akan mengganggu
aktivitas siliari hospes dan memfasilitasi invasi saluran pernafasan bawah oleh agen
patogenik lainnya seperti M. haemolytica. Kehadiran organisme mycoplasma juga dapat
memodulasi pertumbuhan atau produksi toksin M. haemolytica sehingga degenerasi leukosit
meluas dan nekrosis translobuler (pneumonia akut) tidak terjadi (Sheehan, 2006).
Deteksi antigen virus PI-3 pada 30% kasus menunjukkan kemungkinan adanya peran
agen ini dalam patogenesis bronchopneumonia kronis pada anakan domba, tetapi belum ada
asosiasi yang jelas antara keberadaan antigen viral dengan lesi pulmoner spesifik. Virus ini
bersifat opportunistik dan lebih umum mengikuti kasus pneumonia akut (Jones et al., 1986;
Sharp et al., 1978; Malone et al., 1988). Berbagai mekanisme infeksi virus PI-3 yang dapat
berkontribusi terhadap perkembangan pneumonia termasuk pembentukan pulmonary
microenvironment bagi sel-sel nekrotik dan cairan berprotein yang sesuai bagi pertumbuhan
bakteri (Cutlip et al., 1993) dan melalui inhibisi fungsi makrofag alveoler (Davies et al.,
1986). Sementara itu, belum ada bukti adanya keterlibatan RSV pada patogenesis penyakit ini
(Sheehan, 2006).
Nodular hyaline scars adalah lesi yang tidak biasa ditemukan pada kasus ini (Jones
dan Gilmour, 1991; Watt, 1996). Meski efek merusak dari lesi ini pada fungsi respirasi
adalah jelas dari stenosis saluran nafas kecil yang disebabkannya, patogenesisnya tidak jelas.
Foci antigen M. ovipneumoniae yang seringkali dijumpai dalam scar ini menunjukkan
kemungkinan peran agen patogenik tersebut dalam pembentukannya. 99% paru dengan lesi
ini juga mengalami eksudat yang kaya neutrofil atau makrofag pada proporsi yang signifikan
(Sheehan, 2006). Hal ini menunjukkan bahwa hyaline scar adalah respon terhadap
keradangan lokal yang persisten (Gilmour et al., 1982).
3. Pada Kambing
Anakan kambing dapat terkena bronchopneumonia subklinis karena infeksi
Mycoplasma mycoides subsp. mycoides. Hewan yang telah sembuh kemudian menjadi karier
(Bajmocy, 1999).
4. Pada Kuda
Bronchopneumonia bakterial seringkali bersifat sekunder terhadap infeksi saluran
pernafasan oleh Streptococcus equi subsp. equi, Rhodococcus equi dan Streptococcus equi
subsp. zooepidemicus (Pilipcinec, 1999).
Pada anakan kuda, Corynebacterium (Rhodococcus) equi menjadi penyebab utama.
Bakteri dapat bertahan hidup di dalam makrofag dan melarikan diri dari mekanisme
pertahanan paru normal, terutama pada pasien yang terimunokompromisasi. Tingkat
mortalitasnya adalah 80%, sebagian karena terapi yang kurang tepat. Kombinasi dua
antibiotik seperti erythromycin (25 mg/kg tiga kali sehari) and rifampicin (5 mg/kg dua kali
sehari) telah digunakan untuk anakan kuda sejak tahun 1981. Sebagian besar dari hewan ini
mengalami abses paru yang meluas dan C. equi dapat dikultur dari aspirat trakea. Durasi
terapi berkisar antara 4-9 minggu. Tingkat keberhasilan dinilai dengan radiografi dada normal
dan konsentrasi fibrinogen plasma yang melebihi 80% (Hillidge, 1986).
5. Pada Sapi
Pneumonia dapat menyerang sapi dalam bentuk akut maupun kronis. Gejala berupa
batuk dan refleks batuk positif, demam dan pulsus meningkat, bunyi tracheobronchial dan
bronchobronchiolar yang abnormal, serta terganggunya inspirasi pada anakan sapi penting
dalam mendiagnosa adanya bronchopneumonia, tetapi tidak dapat membedakan kasus ringan
atau sedang. Sementara itu, tingginya frekuensi nafas, dyspnoe, tanda-tanda parenkim
kompak, daerah diam, serta suara crackles dan whizzels adalah gejala terpenting yang perlu
diamati untuk diferensiasi kasus klinis bronchopneumonia (Goncalves, 2001).
Bronchopneumonia eksudatif yang menjadi penyebab utama kematian anakan sapi
dalam dua bulan pertama wabah memberikan lesi patologis berupa kerusakan vaskuler dan
nekrosis parenkim paru. Agen patogenik yang diisolasi dari paru adalah Pasteurella spp.,
Mycoplasma spp. dan virus PI-3 (Bryson, 1978).
Pemberian clenbuterol HCl hanya efektif untuk anakan sapi yang mengalami
bronchopneumonia subakut (Hajer, 1988).
6. Pada Llama dan Alpaca
Etiologi bronchopneumonia pada hewan ini adalah Bovine Herpes Virus 1 (BHV-1) dan
Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR). Gejala klinis yang timbul adalah anoreksia dan
hewan berbaring sepanjang hari. Kematian dapat terjadi secara cepat, yakni satu hari setelah
munculnya gejala. Lesi yang timbul adalah kongesti dan hemorrhagi pulmonum, bloody froth
pada trachea dan esofagus, serta terisinya bronchioli dengan gumpalan darah (Williams,
1991).
7. Pada Bison
American bison (Bison bison) dapat terkena bronchopneumonia karena infeksi Haemophilus
somnus (yang juga banyak menginfeksi hewan ternak di seluruh dunia), Mannheimia
haemolytica, serta P. multocida. Lesi makroskopis yang timbul adalah fibrinous pleuritis dan
konsolidasi lobus cranioventral, sementara perubahan histopatologi menunjukkan
bronchiolitis yang bersifat fibrinopurulen hingga necrotizing, vaskulitis, thrombosis, dan
dilatasi pembuluh darah, serta thrombosis limfatik septal (Dyer, 2001).
D. Gejala Klinis
Pada sapi, gejala dari pneumonia akibat infeksi viral meliputi batuk kering, demam
(suhu 42 ºC), depresi, leleran serous nasal dan okuler (www.komunitas-
dokterhewan.blogspot.com, 2008; Bayer, 2008). Frekuensi nafas mencapai 40-80 kali per
menit dengan tipe abdominal (tidak lagi costoabdominal). Selain itu, pulsus terhitung 60-90
kali per menit. Pada inspeksi terkadang tercium bau abnormal dari pernapasan penderita. Bau
busuk (halitosis, foxtor ex ero) berasal dari runtuhan sel atau dari produk bakteri penyebab
pneumonia (www.komunitas-dokterhewan.blogspot.com, 2008). Dengan auskultasi,
ditemukan suara pernafasan abnormal pada trachea (tracheal rale) dan juga terkadang pada
area paru bawah. Kasus fatal jarang terjadi dan kesembuhan dapat terjadi dalam satu minggu
(Bayer, 2008).
Infeksi bakterial sekunder diketahui melalui peningkatan temperatur, batuk basah
yang menyakitkan, laju pernafasan yang cepat, pernafasan dengan mulut, depresi berat,
anoreksia, dan salivasi. Terdapat penurunan yang signifikan pada produksi susu. Auskultasi
pada paru-paru tampak bunyi bronchial abnormal berupa ronchi basah pada area paru bawah
di kedua sisi (seharusnya vesikuler, yakni suara udara keluar-masuk alveolus) karena alveoli
berisi eksudat. Seringkali kematian terjadi dalam beberapa hari, terutama tanpa pengobatan,
pada kasus bronchopneumonia bakterial yang berat. Kasus kronis tidak umum terjadi (Bayer,
2008).
Gejala awal pneumonia pada sapi adalah berkurangnya asupan pakan. Pada beberapa
sapi terlihat dengan berkurangnya isi usus. Pada stadium ini hampir dapat dipastikan sapi
akan demam (temperatur rektal lebih dari 39,5 ºC). Tampak leleran cair yang berasal dari
hidung, tetapi sering tidak disadari, karena sapi hampir selalu menjilat hidungnya hingga
bersih. Seiring berjalannya penyakit, terjadi batuk dan usaha hewan untuk memasukkan udara
ke dalam paru-paru yang rusak semakin jelas dan meningkat. Leleran hidung pada saat ini
menjadi lebih kental dan mengandung flek dengan material berwarna putih (mucus dan pus).
Pada stadium ini hewan akan terlihat depresi dan sakit (Caldow, 2005). Pada sapi perah,
terjadi penurunan produksi susu bahkan terhenti sama sekali. Penderita malas berbaring,
gelisah, konstipasi dan oligouria (www.komunitas-dokterhewan.blogspot.com, 2008).
Adalah penting untuk mengetahui bahwa peningkatan usaha untuk bernafas pada sapi
muda dengan atau tanpa demam tidak selalu mengindikasikan pneumonia. Dehidrasi dan
asidosis yang ditemukan pada pemeriksaan sapi menghasilkan penafasan dalam yang lebih
sering dan dapat menipu bahkan orang yang paling berpengalaman sekalipun untuk berpikir
bahwa itu adalah pneumonia. Kegagalan dalam membuat perbedaan ini menghasilkan
kematian sapi, sehingga fluid therapy akan dibutuhkan untuk sapi pada kasus yang
menunjukkan gejala-gejala tersebut (Caldow, 2005).
E. Diagnosis
Penyakit ini dapat dicurigai dari gejala klinis seperti demam, dyspnea, batuk, leleran
hidung, dengan memperhatikan hasil auskultasi yang dihubungkan dengan anamnesis dari
kegiatan transportasi yang telah dilakukan atau kehadiran hewan baru dalam populasi,
kondisi perkandangan tertutup dan defisiensi dalam manajemen. Diagnosis kemudian dapat
dikonfirmasi dengan deteksi agen patogenik dengan kultur dari nasopharyngeal swabs atau
tracheal wash. Dua sampel serum juga dapat diambil untuk pemeriksaan lebih lanjut (Bayer,
2008).
Pada pemeriksaan paru dengan menggunakan stetoskop (auskultasi), akan terdengar
suara ronchi basah yang lemah (crackling rales) ataupun desis (whistling rales) (Dorlan,
1994; Goncalves, 2001). Sementara itu, hasil perkusi menunjukkan suara pekak-resonan
tanpa adanya perubahan batas-batas daerah perkusi. Suara resonansi yang dihasilkan
bervariasi mulai dari agak pekak pada daerah yang mengalami hiperemi hingga pekak total
pada daerah yang mengalami hepatisasi (www.komunitas-dokterhewan.blogspot.com, 2008).
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan (www.sehatgroup.web.id, 2007):
1.Pemeriksaan Radiologis (rӧntgen dada)
Pola radiologis dapat berupa pneumonia alveoler dengan gambaran air bronchogram
(airspace disease) misalnya pada kasus oleh Streptococcus pneumoniae;
bronkopneumonia (segmental disease); dan pneumonia interstisial (interstitial disease)
oleh virus dan mikoplasma. Pada pasien yang mengalami perbaikan klinis, ulangan
rӧntgen dada dapat ditunda karena resolusi pneumonia berlangsung 4-12 minggu.
2. Pemeriksaan Laboratorium (blood count)
Leukositosis umumnya menandai adanya infeksi bakteri; leukosit normal/rendah
dapat disebabkan oleh virus/mikoplasma, infeksi berat di mana tidak terjadi lagi
respons leukosit, atau infeksi pada orang yang tua atau lemah. Leukopenia
menunjukkan depresi imunitas. Faal hati mungkin terganggu.
3. Pemeriksaan Bakteriologis (kultur bakteri)
Bahan berasal dari sputum, darah, aspirasi nasotracheal/transtracheal, aspirasi
transthoracal, thoracosentesis, bronchoscopy atau biopsy. Untuk tujuan terapi
empiris, dilakukan pemeriksaan apus Gram, Burri Gin, Quellung test dan Z. Nielsen.
Bakteri yang predominan pada sputum yang disertai PMN kemungkinan merupakan
penyebab infeksi. Kultur bakteri merupakan pemeriksaan utama praterapi dan
bermanfaat untuk terapi selanjutnya.
4. Pemeriksaan Khusus
Dengan melihat titer antibodi terhadap virus, legionela, dan mycoplasma. Bernilai
diagnostik jika titer tinggi atau ada kenaikan titer mencapai 4 kali. Analisis gas darah
arteri dapat dilakukan untuk menilai tingkat hipoksia dan kebutuhan oksigen.
Diferensial diagnosis pada sapi perlu ditegakkan dari penyakit IBR, shipping fever,
lungworm pneumonia, BRSV (Bayer, 2008). Secara umum penyakit ini perlu dibedakan pula
dari gangguan jantung, hiperemi pulmonum, oedema pulmonum, emphysema pulmonum, dan
laryngotracheitis (www.komunitas-dokterhewan.blogspot.com, 2008).
Hewan yang mati dapat dinekropsi untuk menegakkan diagnosis. Pada uji apung
pulmo, jaringan paru yang berkonsolidasi akan terlihat melayang atau tenggelam
(www.komunitas-dokterhewan.blogspot.com, 2008).
Lesi makroskopis yang terlihat adalah paru-paru yang terinfeksi mengalami
konsolidasi dan pola lobuler terlihat menonjol. Lobus normal akan berselang-seling di antara
lobus yang terkena sehingga terlihat seperti checkerboard dengan konsistensi keras (ireguler).
Jika pleura terkena, maka dapat terjadi adhesi dengan lobus lainnya atau dengan bagian
parietal dari pleura (fibrous pleural adhesions). Warna bervariasi dari merah (akut, kongesti
dan hiperemi) hingga abu-abu pucat (radang kronis, infiltrasi leukosit, fibrosis). Jika terjadi
atelektasis, paru tak lagi membengkak dan tampak kolaps. Biasanya, eksudat purulen/pus
dapat terlihat pada jalan udara. Demikian pula, pada pengirisan paru ditemukan adanya
eksudat (serous hingga mukopurulen; tergantung penyebab, waktu, hospes). Pada kasus
bronchopneumonia kronis, eksudat tampak mukoid (Lopez, 2007; Purwandari, 2007;
www.komunitas-dokterhewan.blogspot.com, 2008).
Akibat yang umum terlihat adalah pada lobus cranioventralis, yakni berupa abses,
bronchiectasis, dan fibrosis (Lopez, 2007).
Histopatologi yang terlihat adalah adanya edema, eritrosit, fibrin, sel debris dan
sejumlah besar leukosit polimorfonuklear pada ruang bronchoalveolar pada kasus akut.
Sementara itu, campuran polimorfonuklear, PAM dan mucus (goblet cell hyperplasia)
tampak pada kasus yang lebih kronis. Dinding bronchi dan bronchioli biasanya terkena,
terbentuk abses (sekunder), dan terjadi kolaps alveoli akibat sumbatan saluran udara (Lopez,
2007; Purwandari, 2007). Dapat ditemukan benda inklusi pada pneumonia yang disebabkan
infeksi virus (www.komunitas-dokterhewan.blogspot.com, 2008).
F. Terapi
Perlakuan yang perlu diberikan pada hewan penderita, antara lain (Subronto, 2003):
mengistirahatkan hewan sakit secara total
membebaskan hewan dari faktor-faktor yang dapat memperburuk kondisi penyakitnya
memberikan antibiotik jika muncul gejala infeksi bakterial
Terapi seharusnya ditujukan pada infeksi bakterial sekunder. Terapi awal
antimikrobial perlu didasarkan pada sejarah penggunaan antibiotika pada kawanan ternak
tersebut. Jika hewan gagal merespon dalam tiga hari pengobatan, maka disarankan
memberikan antibiotik spektrum luas dan memilih antibiotik yang sesuai dengan karakteristik
yang muncul pada uji sensitivitas dan hasil kultur bakteri (Bayer, 2008).
Pengobatan (Howard, 2006):
1. Sulfonamid
Dengan withdrawal time yang pendek dan pemberian melalui intravena, sulfadimethoxine
merupakan pilihan yang cukup baik dan disarankan untuk diberikan pada hewan ternak yang
lokasi kandangnya berdekatan dengan pasar. Sedangkan pemberian melalui intramuskuler
atau subkutan pada ternak tidak cocok untuk diterapkan lantaran dapat menyebabkan
kerusakan jaringan yang cukup signifikan dengan tingginya konsentrasi sulfa yang diberikan.
Variasi sediaan senyawa sulfa antara lain adalah sebagai feed additive, bubuk larut air yang
dapat diberikan melalui air minum, ataupun oral bolus. Penggunaan senyawa sulfa
sebenarnya dilarang digunakan oleh Center for Veterinary Medicine kecuali penggunaan
dengan dosis yang dapat diterima dari sulfadimethoxine, sulfabromomethazine, dan
sulfaethoxypyridazine.
2. Penicillin
Senyawa penicillin biasanya diberikan dalam pakan hewan, termasuk di dalamnya
adalah penicillin G, aminopenicillin, amoxicillin, dan ampicillin. Penicillin bersifat larut air
dan terdistribusi dengan baik dalam jaringan tubuh.
3. Tetracyclin
Senyawa golongan ini memiliki sifat bakteriostatik jika diberikan dalam dosis
toleransi secara klinis. Meskipun demikian, sifat ini dapat berubah menjadi bakterisidal jika
dosis dinaikkan secara signifikan. Aktivitas signifikan ini dapat berpengaruh pada bakteri
gram negatif ataupun gram positif dan dalam lingkungan aerob maupun anaerob.
Tetracyclin dan chlortetracyclin tersedia dalam sediaan feed additive secara tunggal
atau dapat dikombinasikan dengan campuran antimikrobial lainnya. Oxytetracyclin diberikan
melalui injeksi intramuskuler, sedangkan tetracyclin dan chlortetracyclin diberikan secara
oral dalam bentuk serbuk larut air.
Dalam kasus penyakit respirasi pada hewan ternak potong, dapat digunakan
oxytetracyclin secara berkelanjutan. Dosis ekstra label merupakan dosis yang secara umum
digunakan. Pemberian secara intravena dengan dosis diatas 22 mg/kg (10 mg/lb) harus
dihindari karena dapat memicu terjadinya keracunan.
Selain itu, terdapat beberapa alternatif terapi dengan pemberian cephalosporin
(ceftriaxone, cefotaxime, ceftazidime, atau cefepime), makrolida (azithromycin,
clarithromycin dan erythromycin), fluorfenikol, aminoglikosida, aminosiklitol, linkosamida,
diterpin, dan fluorokuinolon (Poore, 2007).
Terapi pendukung untuk mengatasi penyakit respirasi (Meyer, 1962):
Tujuan pemberian terapi pendukung dalam pengobatan adalah untuk meningkatkan
efektivitas klinis antimikrobial, yakni dengan cara meringankan efek sakit akibat radang
dengan pemberian obat antiradang (non-steroidal anti-inflammatory drugs atau NSAID),
memblok aktivitas histamin untuk menurunkan suhu tubuh dengan pemberian antihistamin,
dan meningkatkan fungsi imun terhadap organ target (immunostimulating drugs).
● Aconite
Dosis: Tr : H : 0,6- 4 ml (circulary depressant)
● Ipecac dan opium
Dosis: Pv : H : 15-30 Gm (hypnotic dan expectorant).
Terapi symptomatis dan suportif lainnya termasuk bronchodilatator dan secretolytics
(Bayer, 2008). Pemberian Ca-boroglukonat dan vitamin C serta penanganan dehidrasi juga
sangat berguna untuk terapi pneumonia (www.komunitas-dokterhewan.blogspot.com, 2008).
G. Pencegahan
Banyak aspek yang harus diperhatikan dalam terapi pengobatan penyakit ini,
mengingat banyak hal yang dapat menjadi pemicu meningkatnya kasus bronchopenumonia.
Beberapa di antaranya berkaitan erat dengan aspek manajemen, yakni melihat sudut pandang
perlakuan dalam peternakan yang memungkinkan sapi/ternak dapat tumbuh dengan lebih
sehat, antara lain:
1. Dalam usaha untuk mencegah perluasan penyakit, maka hewan yang terdeteksi sakit
hendaknya diasingkan dalam kandang isolasi dan ditempatkan tersendiri.
2. Hewan yang baru datang hendaknya melalui tahap karantina terlebih dahulu (minimal
seminggu) lalu menjalani screening terhadap berbagai penyakit yang mungkin ada,
termasuk radang pneumonia kataralis, sebelum akhirnya dilepas ke kandang peliharaan.
3. Mempersiapkan hewan-hewan yang baru masuk secara imunologis sebelum dilepas ke
kandang atau padang penggembalaan serta menginduksi dan meningkatkan imunitas
kawanan dengan vaksinasi (pada sapi meliputi IBR, PI-3, BVD/MD, BRSV, Pasteurella,
dan Hemophilus somnus). Revaksinasi dilakukan secara reguler untuk mempertahankan
status vaksinasi.
4. Meminimalisir faktor-faktor yang menyebabkan kontak hewan dengan sumber dan vektor
penyakit (mencegah transmisi mekanis), atau faktor-faktor yang dapat memperparah
kondisi penyakit, misalnya : udara berdebu, kedinginan, gas beracun, spora jamur, dll.
Cara ini dapat dilakukan misalnya dengan penerapan sistem kandang tertutup.
5. Manajemen yang baik, sehingga memungkinkan hewan mendapat perlakuan yang lebih
tenang, sehingga mengurangi tingkat stress dari hewan tersebut.
(Howard, 2006; Bayer, 2008)
Selain itu, perlu diupayakan tindakan berikut:
Menjaga suhu kandang tetap hangat serta bebas dari hujan dan kekeringan
Membersihkan dan disinfeksi secara berkala kandang hewan, bedding, serta
perlengkapan transpor untuk mencegah penyebaran virus
Menjaga kondisi hewan tetap fit (memiliki unspecific defense mechanisms), yaitu
dengan pemberian mineral serta asupan zat besi yang cukup
Mencegah overcrowding (Anthony, 1955; Bayer, 2008).
Daftar Pustaka
Anonim. 2007. Pneumonia.
http://www.sehatgroup.web.id/articles/isiArt.asp?artID=75 Diakses pada 4
September 2008.
Anonim. 2008. Pneumonia pada Sapi.
http://komunitas-dokterhewan.blogspot.com/2008/03/pneumonia-pada-sapi.html
Diakses pada 4 September 2008.
Anonim. 2008. Cause of Respiratory Malfunction.
http://www.merckvetmanual.com/mvm/index.jsp?cfile=htm/bc/120103 Diakses pada 4
September 2008.
http://www.cfsph.iastate.edu/DiseaseInfo/ImageDB/imagesSGP.htm.
Anthony, D.J. 1955. Diseases of The Pig and Its Husbandry 4th edition. The Williams and
Wilkins Company. Baltimore, hal. 173.
Bajmocy, E. 1999. Disease Caused by Mycoplasma mycoides Subspecies mycoides lc in
Hungarian Goat Herds. Acta Veterinaria Hungarica 48 (3), pp. 277-293 (2000).
http://www.vmri.hu/~acta/48/cont483.htm Diakses pada 4 September 2008.
Bayer. 2008. Enzootic Bronchopneumonia.
http://www.animalhealth.bayerhealthcare.com/3371.0.html Diakses pada 4 September
2008.
Bryson, D.G. 1978. Observations on Outbreaks of Respiratory Disease in Housed Calves--(2)
Pathological and Microbiological Findings. The Veterinary Record, Vol 103, Issue 23,
503-509.
http://veterinaryrecord.bvapublications.com/cgi/content/abstract/103/23/503?
maxtoshow=&HITS=10&hits=10&RESULTFORMAT=&fulltext=bronchopneumonia
&andorexactfulltext=and&searchid=1&FIRSTINDEX=20&sortspec=relevance&res
ourcetype=HWCIT Diakses pada 4 September 2008.
Caldow, G. 2005. Pneumonia in Beef Cattle.
www.sac.ac.uk/mainrep/pdfs/tn571pneumonia inbeefcattle.pdf Diakses pada 4
September 2008.
Cutlip, R.C. Lehmkuhl, H.D. dan Brogden, K.A. 1993. Chronic Effects of Coinfection in
Lambs with Parainfluenza-3 Virus and Pasteurella haemolytica. Small Ruminant
Research 11 (1993), pp. 171–178.
Davies, D.H. Long, D.L. McCarthy, A.R. dan Herceg, M.. 1986. The Effect of Parainfluenza
Virus Type 3 on the Phagocytic Cell Response of the Ovine Lung to Pasteurella
haemolytica. Veterinary Microbiology 11 (1986), pp. 125–144.
Diseases of Domestic Animals (1975)
Dorlan Medical Dictionary (1994)
Dyer, N.W. 2001. Haemophilus somnus bronchopneumonia in American bison (Bison bison).
Journal of Veterinary Diagnostic Investigations 13:419–421 (2001).
http://jvdi.highwire.org/cgi/reprint/13/5/419.pdf Diakses pada 4 September 2008.
Encyclopaedia Britannica (1911). http://www.1911encyclopedia.org/Pneumonia Diakses
pada 4 September 2008.
Foggie, A. Jones, G.E. dan Buxton, D. 1976. The Experimental Infection of Specific
Pathogen Free Lambs with Mycoplasma ovipneumoniae. Research in Veterinary
Science 21 (1976), pp. 28–35.
Gilmour, J.S. Jones, G.E. Keir, W.A. dan Rae, A.G. 1982. Long-term Pathological and
Microbiological Progress in Sheep of Experimental Disease Resembling Atypical
Pneumonia. The Journal of Comparative Pathology 92 (1982), pp. 229–238.
Goldstein, I. 2001. Mechanical Ventilation-induced Air-Space Enlargement during
Experimental Pneumonia in Piglets. American Journal of Respiratory and Critical
Care Medicine, Volume 163, Number 4, March 2001, 958-964.
http://ajrccm.atsjournals.org/cgi/content/full/163/4/958 Diakses pada 4 September
2008.
Goncalves, R.C. Kuchembuck, M.R.G. Curi, P.R. 2001. Clinical Differentiation of Moderate
and Severe Bronchopneumonia in Calves. Cienc. Rural, Mar./Apr. 2001, vol.31, no.2,
p.263-269.
Hajer, R. 1988. The Effects of Clenbuterol Hydrochloride on the Pulmonary Function of
Calves with Subacute and Chronic Bronchopneumonia. The Veterinary Record, Vol
123, Issue 14, 370-372.
http://veterinaryrecord.bvapublications.com/cgi/content/abstract/123/14/370?
maxtoshow=&HITS=10&hits=10&RESULTFORMAT=&fulltext=bronchopneumonia
&andorexactfulltext=and&searchid=1&FIRSTINDEX=0&sortspec=relevance&reso
urcetype=HWCIT Diakses pada 4 September 2008.
Halloy, D.J. 2006. Efficacy of Ceftiofur and Flunixin in the Early Treatment of
Bronchopneumonia in Weaners. The Veterinary Record 158:291 (2006).
http://veterinaryrecord.bvapublications.com/cgi/content/abstract/158/9/291 Diakses
pada 4 September 2008.
Halloy, D.J. 2004. Pathophysiological Changes Occurring during Escherichia coli Endotoxin
and Pasteurella multocida Challenge in Piglets: Relationship with Cough and
Temperature and Predicitive Value for Intensity of Lesions. Vet. Res. 35 (2004) 309-
324.
http://www.vetres.org/index.php?
option=article&access=standard&Itemid=129&url=/articles/vetres/abs/2004/03/
V4004/V4004.html Diakses pada 4 September 2008.
Hillidge, C.J. 1986. Review of Corynebacterium (Rhodococcus) equi Lung Abscesses in
Foals: Pathogenesis, Diagnosis and Treatment. The Veterinary Record, Vol 119, Issue
11, 261-264.
http://veterinaryrecord.bvapublications.com/cgi/content/abstract/119/11/261?
maxtoshow=&HITS=10&hits=10&RESULTFORMAT=&fulltext=bronchopneumonia
&andorexactfulltext=and&searchid=1&FIRSTINDEX=10&sortspec=relevance&res
ourcetype=HWCIT Diakses pada 4 September 2008.
Jones, G.E. Field, A.C. Gilmour, J.S. Rae, A.G. Nettleton, P.F. dan McLauchlan, M. 1982.
Effects of Experimental Chronic Pneumonia on Bodyweight, Feed Intake and Carcase
Composition. The Veterinary Record 110 (1982), pp. 168–173.
Jones, G.E. Gilmour, J.S. Rae, A.G. McLauchlan, M. dan Nettleton, P.F. 1986. A Review of
Experiments on the Reproduction of Chronic Pneumonia in Sheep by the Use of
Pneumonic Lung Homogenate Suspensions. The Veterinary Bulletin 56 (1986) (4),
pp. 251–263.
Jones, G.E. dan Gilmour, J.S. 1991. Non-progressive (atypical) Pneumonia. In: W.B. Martin
and I.D. Aitken, Editors, Diseases of Sheep (second ed.). Blackwell Scientific
Publications. Oxford. UK (1991), pp. 150–157.
Irons, K. R. 2006. What is Bronchopneumonia?
http://www.associatedcontent.com/article/83907/what_is_bronchopneumonia.html Diakses
pada 5 September 2008.
Lopez, A. 2007. Pathology of Respiratory System Handout.
http://people.upei.ca/lopez/ Diakses pada 4 September 2008.
Malone, F.E. McCullough, S.J. McLoughlin, M.F. Ball, H.J. O’Hagan, J. dan Neill, S.D.
1988. Infectious Agents in Respiratory Disease of Housed, Fattening Lambs in
Northern Ireland. The Veterinary Record 122 (1988), pp. 203–207.
Martinez, J. 2006. Carcass Condemnation Causes of Growth Retarded Pigs at Slaughter. The
Veterinary Journal Volume 174, Issue 1, July 2007, Pages 160-164.
http://www.sciencedirect.com/science?
_ob=ArticleURL&_udi=B6WXN4K8SCBP3&_user=4555062&_rdoc=1&_fmt=&_o
rig=search&_sort=d&view=c&_acct=C000063390&_version=1&_urlVersion=0&_
userid=4555062&md5=dd2c6c0d66e5c6def66575539ea2dbc1 Diakses pada 4
September 2008.
Meyer, L. 1962. Veterinary Therapeutics and Pharmacologic. The Iowa State University.
Ames
Pilipcinec, E. 1999. Respiratory Diseases in Horses Induced by Bacteria and Fungi I.
http://www.uvm.sk/dept/journals/svc/1999-5.html Diakses pada 4 September 2008.
Poore, R. 2007. Pneumonia - Treatment Overview.
http://health.yahoo.com/infectiousdisease-overview/pneumonia Diakses pada 4
September 2008.
Purwandari, Y. 2007. Patologi Sistem Respirasi. Bahan Ajar Patologi Sistemik Veteriner.
Saar, L.I. dan Getty, R. 1975. Ruminant Respiratory System (Fifth Ed.). In: R. Getty, Editor,
Sisson and Grossman’s Anatomy of Domestic Animals vol. 1. W.B. Saunders
Company. Philadelphia. USA (1975), p. 934.
Howard, J.L. 2006. Current Veterinary Therapy 4 Food Animal Practice. W.B. Saunders Co.
Philadelphia, hal. 450.
Sharp, J.M. Gilmour, D.A. Thompson, D.A. dan Rushton, B. 1978. Experimental Infection of
Specific Pathogen-free Lambs with Parainfluenza Virus Type 3 and Pasteurella
haemolytica. The Journal of Comparative Pathology 88 (1978), pp. 237–243.
Sheehan, M. 2006. An Aetiopathological Study of Chronic Bronchopneumonia in Lambs in
Ireland. The Veterinary Journal Volume 173, Issue 3, May 2007, Pages 630-637.
http://www.sciencedirect.com/science?
_ob=ArticleURL&_udi=B6WXN4JT38SF1&_user=4555062&_rdoc=1&_fmt=&_ori
g=search&_sort=d&view=c&_version=1&_urlVersion=0&_userid=4555062&md5
=fa671925270d4c8a9e620ee68b4b2902 Diakses pada 4 September 2008.
Stedman's Medical Dictionary. Diakses pada 24 November 2007.
Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak Ia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta, hal
225.
Taylor, J.D. 1996. The Lungs. In: L.D. Sims and J.R.W. Glastonbury, Editors, Pathology of
the Pig: A Diagnostic Guide. Pig Research and Development Corporation and
Agriculture. Victoria. Australia (1996), pp. 219–238.
Thomas, R.L. 1907. The Eclectic Practice of Medicine.
http://www.henriettesherbal.com/eclectic/thomas/pneumonia-bro.html Diakses pada 4
September 2008.
Watt, N.J. 1996. Non-parasitic Respiratory Disease in Sheep. The Veterinary Annual 36
(1996), pp. 391–398.
Webster's Revised Unabridged Dictionary (1913)
Williams, J.R. 1991. Association of Bovine Herpesvirus Type 1 in a Llama with
Bronchopneumonia. Journal of Veterinary Diagnostic Investigations 3:258-260
(1991).
http://jvdi.org/cgi/reprint/3/3/258.pdf Diakses pada 4 September 2008.