51710380 Buku Ekonomi Pembangunan Pendidikan SS Edited

download 51710380 Buku Ekonomi Pembangunan Pendidikan SS Edited

of 136

Transcript of 51710380 Buku Ekonomi Pembangunan Pendidikan SS Edited

BAB I PARADIGMA PEMBANGUNAN EKONOMI Orang sering berbicara tentang "pembangunan" . Mungkin pertanyaan yang muncul adalah: apa sebenarnya yang dimaksud dengan pem bangunan? Bab ini akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan menelusuri ev olusi makna pembangunan sejak ekonomi pembangunan lahir, yakni setelah Perang Du nia II. 1.1. PANDANGAN TRADISIONAL Pada mulanya upaya pembangunan negara sedang berkembang (NSB)' diidentikkan dengan upaya meningkatkan pendapatan per kapita, atau populer disebut strategi pertumbuhan ekonomi. Semula banyak yang beranggapa n yang membedakan antara negara maju dengan NSB adalah pendapatan rakyatnya. Den gan ditingkatkannya pendapatan per kapita diharapkan masalah-masalah seperti pen gangguran, kemiskinan, dan ketimpangan distribusi pendapatan yang dihadapi NSB d apat terpecahkan, misalkan melalui apa yang dikenal dengan "dampak merembes ke b awah" (trickle down effect. Indikator berhasil tidaknya pembangunan semata-mata dilihat dari meningkatnya pendapatan nasional (GNP) per kapita riil, dalam arti tingkat pertumbuhan pendapatan nasional dalam harga konstan (setelah dideflasi d engan indeks harga) harus lebih tinggi dibandingkan tingkat pertumbuhan penduduk . Fenomena ini terlihat dari pemikiran-pemikiran awal mengenai pembangunan, sepe rti teori Harrod-Domar, Arthur Lewis, WW Rostow, Hirschman, RosensteinRodan, Nur kse, Leibenstein. Seperti judul buku karya monumental Arthur Lewis, pembangunan ekonomi dianggap merupakan kajian The Theory of Economic Growth. lni mencerminka n munculnya teori pertumbuhan dan pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan utama dari setiap kebijakan ekonomi di negara manapun. Sepanjang dasawarsa 1950-an, sementa ra pembangunan ekonomi diidentikkan dengan pertumbuhan ekonomi, ekonomi pembangu nan sebagai cabang ilmu ekonomi yang relatif baru memusatkan perhatian pada fakt or-faktor penentu pertumbuhan ekonomi (Arndt, 1996: h. 6). Meskipun banyak varia n pemikiran, pada dasarnya mereka sependapat bahwa kata kunci dalam pembangunan adalah pembentukan modal. Oleh karena itu, strategi .pembangunan yang dianggap p aling sesuai adalah akselerasi pertumbuhan ekonomi dengan mengundang modal asing dan melakukan industrialisasi. Diundangnya modal asing nampaknya diilhami oleh kisah sukses Rencana Marshall dalam membantu pembangunan negara Eropa Barat dan Jepang. Adapun industrialisasi yang memusatkan perhatian pada sektor-sektor mode rn dan padat modal nampaknya tidak dapat dipisahkan dari pengalaman Inggris seba gai negara industri pertama. 1

Tak pelak lagi konsep dan strategi pembangunan semacam itu dijiwai oleh pengalam an negara-negara Eropa. Inilah yang disebut eurocentrism, Eropa sentris, dalam p emikiran awal tentang pembangunan (Hettne, 1991). Paham developmentalis gaya Ero pa ini ditandai dengan munculnya kapitalisme, naiknya masyarakat borjuis sebagai kelas sosial yang dominan, relatif berhasilnya revolusi industri, dan diperkena lkannya "pertumbuhan" sebagai ide perkembangan masyarakat. Tradisi pemikiran aru s utama (mainstream) Eropa diterjemahkan lebih lanjut oleh: model liberal, strat egi kapitalis negara (state capitalist strategy), model Soviet, dan Keynesianism e. Model liberal mendasarkan diri pada berlangsungnya mekanisme pasar, industria lisasi yang bertahap, dan perkembangan teknologi. Strategi kapitalis negara meru pakan reaksi terhadap paradigma modernisasi. Model Soviet pada dasarnya merupaka n perkembangan lebih lanjut dari strategi kapitalis negara, yang nampaknya diilh ami oleh kisah sukses Soviet dalam program industrialisasinya. Aliran Keynesian merupakan manifestasi dari kapitalisme yang telah mencapai tahap dewasa, yang in tinya menghendaki campur tangan pemerintah dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sekitar tahun 1960, ketika data makro yang dapat diperbandingkan secara internas ional telah tersedia, Maddison, Denison, dan para ahli lain menemukan bahwa perb edaan dalam pembentukan modal dan faktor input tidak banyak menjelaskan mengapa timbul perbedaan dalam pertumbuhan ekonomi. Ternyata baru disadari ada banyak fa ktor yang tadinya dianggap "residual", ikut berperanan dalam meningkatkan pertum buhan ekonomi. Residual di sini dikaitkan dengan investasi modal manusia dan kem ajuan teknologi. Pentingnya investment in man, yang menekankan peranan faktor pe ndidikan dan budaya, merupakan tahap pertama menuju konsep pembangunan yang sema kin tidak murni ekonomi lagi. 1.2. PARADIGMA BARU DALAM PEMBANGUNAN Pada akhir d asawarsa 1960-an, banyak NSB mulai menyadari bahwa "pertumbuhan" (growth) tidak identik dengan "pembangunan" (development). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, set idaknya melampaui negara-negara maju pada tahap awal pembangunan mereka, memang dapat dicapai namun dibarengi dengan masalah- masalah seperti pengangguran, kemi skinan di perdesaan, distribusi pendapatan yang timpang, dan ketidakseimbangan s truktural (Sjahrir 1986, bab1). Fakta ini pula agaknya yang memperkuat keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang diperlukan (necessary) tetapi t idak mencukupi (sufficient) bagi proses pembangunan (Esmara 1986: h.12; Meier, 1 989: h.7). Pertumbuhan ekonomi hanya mencatat peningkatan produksi barang dan ja sa secara nasional, sedangkan pembangunan berdimensi lebih luas dari sekedar pen ingkatan pertumbuhan ekonomi. 2

Hal inilah yang menandai dimulainya masa pengkajian ulang tentang arti pembangun an. Myrdal (1968), misalnya mengartikan pembangunan sebagai pergerakan ke atas d ari seluruh sistem sosial. Ada pula yang rnenekankan pentingnya pertumbuhan deng an perubahan (growth with change), terutama perubahan nilai-nilai dan kelembagaa n. Kondisi ini dilandasi argumen adanya dimensi kualitatif yang jauh lebih penti ng dibanding pertumbuhan ekonomi. Meier (1989: hal. 6) lebih khusus mengatakan : ... perhaps the definition that would now gain widest approval is one the defin es economic development as the process whereby the real per capita income of a c ountry increases over a long period of time--- subject to the stipulations that the number of people below an 'absolute poverty line does not increases, and tha t the distribution of income does not more unequal." Dengan kata lain, pembangun an ekonomi tidak lagi memuja GNP sebagai sasaran pembangunan, namun lebih memusa tkan perhatian pada kualitas dari proses pembangunan. Selama dasawarsa 1970-an, redefinisi pembangunan ekonomi diwujudkan dalam upaya meniadakan, setidaknya men gurangi, kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan. Dudley Seers (1973) menunjuk 3 sasaran utama pembangunan dengan mengatakan : ".. What has been happening to poverty ? What has been happening to unemployment ? What has been to inequality ? If all three of these have declined from high levels then beyond doubt this ha s been a period of development for the country concerned. If one or two these ce ntral problems have been growing worse, especially if all three have it would be strange to call the result 'development , even if per capita income doubled'. T idak terlalu berlebihan apabila banyak yang memandang bahwa definisi Seers berar ti meredefinisi pembangunan dalam konteks tujuan sosial. Dengan cepat dimensi ba ru mengenai pembangunan mendapat sambutan dari penganjur strategi yang berorient asi kesempatan kerja, pemerataan, pengentasan kemiskinan, dan kebutuhan pokok. O bsesi Seers nampaknya didorong oleh keprihatinannya melihat kenyataan pembanguna n di NSB. Timbul kesan bahwa is "tidak sabar" melihat implementasi strategi anti kemiskinan, orientasi pada kesempatan kerja, dan pemerataan pembangunan, yang s ering hany a berhenti sebagai retorika politik para penguasa di NSB semata. In' pula agaknya yang mendorong munculnya konsep dan strategi pembangunan yang baru. Sejarah mencatat munculnya paradigma baru dalam pembangunan seperti pertumbuhan dengan distribusi, kebutuhan pokok (basic needs), pembangunan mandiri (self-rel iant development), pembangunan berkelanjutan dengan perhatian 3

terhadap alam (ecodevelopment), pembangunan yang memperhatikan ketimpangan penda patan menurut etnis (ethnodevelopment). Barangkali menarik untuk menelusur ide d asar masing-masing paradigma tersebut. A.Strategi Pertumbuhan Dengan Distribusi Para proponen strategi "pertumbuhan dengan distribusi", atau "redistribusi dari pertumbuhan", pada hakekatnya menganjurkan NSB agar tidak hanya memusatkan perha tian pada pertumbuhan ekonomi (memperbesar "kue" pembangunan) namun juga mempert imbangkan bagaimana distribusi "kue" pembangunan tersebut. Situasi ini bisa diwu judkan dengan kombinasi strategi seperti peningkatan kesempatan kerja, investasi modal manusia, perhatian pada petani kecil, sektor informal dan pengusaha ekono mi lemah. Dengan kata lain, syarat utamanya adalah orientasi pada sumber Jaya ma nusia, atau ada yang menyebut sebagai orientasi populisme dalam pembangunan. B.S trategi Kebutuhan Pokok Embrio pendekatan kebutuhan pokok bermula dari program I LO (International Labour Organization) tentang "World Development" pada tahun 19 69 dan "Dekiarasi tentang Prinsip-Prinsip dan Program Aksi Strategi Kebutuhan Po kok dalam Pembangunan" pada Konferensi Dunia tentang kesempatan kerja pada tahun 1976. Hanya perdebatan yang sering muncul adalah berkisar mengenai apa yang dim aksud dengan kebutuhan pokok. Ada yang berpendapat, kebutuhan pokok mencakup keb utuhan minimum konsumsi (pangan, sandang, perumahan) dan jasa umum (kesehatan, t ransportasi umum, air, fasilitas pendidikan). Sementara itu, pendekatan lain leb ih mementingkan apa yang dapat membuat hidup ini lebih berharga. Todaro (1989, h . 89), misalnya, menekankan 3 nilai dasar pembangunan, yaitu life-sustenance (ke mampuan menyediakan kebutuhan dasar), self- esteem (kebutuhan untuk dihargai), d an freedom (kebebasan untuk memilih) Strategi pemenuhan kebutuhan pokok dengan demi kian telah mencoba memasukkan semacam "jaminan" agar setiap kelompok sosial yang paling lemah mendapat manfaat dari setiap program pembangunan. Dengan kata lain , konsep kebutuhan pokok harus dipandang sebagai dasar utama dalam strategi pemb angunan ekonomi dan sosial. C.Strategi Pembangunan Mandiri Strategi pembangunan mandiri agaknya berkaitan dengan strategi pertumbuhan dengan distribusi, namun s trategi ini memiliki pola motivasi dan organisasi yang berbeda. Pada dekade 1970 -an, strategi ini populer sebagai antitesis dari paradigma dependensia dan tidak 4

bisa dilepaskan dari pengalaman India pada masa Mahaatma Gandhi, Tanzania di baw ah Julius Nyerere, dan Gina di bawah Mao Zedong. Konsep Mao lebih menekankan pad a usaha-usaha mandiri dengan sedikit atau tanpa integrasi dengan luar. Di Cina, dikembangkan teknologi "pribumi" daripada mengimpor teknologi dari luar. Konsep "mandiri" dibawa ke tingkat internasional oleh negara-negara non-blok pada perte muan di Lusaka tahun 1970, dan dielaborasi lebih lanjut pada konferensi non-blok di Georgetown tahun 1972. Dengan demikian konsep "mandiri" telah muncul sebagai konsep strategis dalam forum internasional sebelum konsep "Tata Ekonomi Dunia B aru" (NIEO) lahir dan menawarkan anjuran kerjasama yang menarik dibanding menari k diri dari percaturan global. Perjuangan mengejar kemandirian pada tingkat loka l, nasional, atau regional, kadang kala bersifat revolusioner, di lain kasus kad ang bersifat reaktif. D.Strategi Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan berkelanj utan, atau sustainable development, muncul ketika isu mengenai lingkungan muncul pada dasa warsa 1970. Pesan utamanya adalah bahwa tata dunia baru atau lama tid ak akan menguntungkan apabila sistem biologis alam yang menopang ekonomi dunia t idak diperhatikan. Sinyal pertama mengenai batas pertumbuhan adalah laporan dari Club of Rome pada tahun 1972. Dengan menggunakan ekstrapolasi ekonometrika dari data statistik, penulis buku The Limits to Growth menyimpulkan bahwa "bila tren d pertumbuhan saat ini dalam penduduk dunia, industrialisasi,polusi, produksi ma kanan, dan deplesi sumberdaya terus tidak berubah, batas pertumbuhan atas planet ini akan dicapai dalam waktu kurang dari 100 tahun mendatang". Namun ternyata r amalan Club of Rome tidak terbukti. Pemikiran mereka pun mendapat banyak kritik baik secara metodologis maupun asumsinya bahwa sumberdaya terbatas jumlahnya. Ke ndati demikian, akhir-akhir ini isu mengenai lingkungan hidup semakin gencar den gan adanya laporan mengenai menipisnya lapisan ozon di atas planet bumf kita, is u polusi (udara, air, tanah), erosi tanah, dan penggundulan hutan. Lester Brown (1981) menunjuk 4 area utama dari sudut pandang sustainabilitas, yaitu: tertingg alnya transisi energi, memburuknya sistem biologis utama (perikanan laut, padang rumput, hutan, lahan pertanian), ancaman perubahan iklim (polusi, dampak "rumah kaca", dsb), serta kurangnya bahan pangan. Pada gilirannya, ini memperkuat pand angan bahwa strategi pembangunan di banyak negara seakan "buta" terhadap Iingkun gan hidup. Para pendukung utama pembangunan berkelanjutan lalu menunjuk pentingn ya strategi ecodevelopment, yang intinya mengatakan bahwa masyarakat dan ekosite m di suatu daerah harus berkembang bersama-sama menuju produktivitas dan pemenuh an kebutuhan yang 5

lebih tinggi; namun yang paling utama strategi pembangunan ini harus berkelanjut an, balk dari sisi ekologi maupun sosial. E.Strategi Berdimensi Etnik Strategi e thnodevelopment, bermula muncul dari konflik antaretnis. Isu antar etnis (rasial , suku) berkembang di Afrika, dan semakin intens terjadi di Asia Selatan pada da sa warsa 1980-an. Hal ini sering terjadi terutama pada masyarakat di mana terdap at multi etnis. Tidak ada "bahasa penjelas" yang sama untuk konflik antar etnis ini. Namun setidaknya konflik yang biasa muncul adalah: konflik atas penguasaan sumber Jaya alam, konflik yang berkaitan dengan proyek infrastruktur (yang mempe ngaruhi ekosistem suatu daerah), konflik akibat ketimpangan pembangunan, konflik mengenai ide dasar strategi pembangunan nasional, konflik atas bagaimana pemeri ntah mendistribusikan sumberdaya. Sejauh ini baru Malaysia yang secara terbuka m emasukkan konsep ethnodevelopment dalam formulasi Kebijaksanaan Ekonomi Baru-nya (NEP). NEP dirancang dan digunakan untuk menjamin agar buah pembangunan dapat d irasakan kepada semua warga negara secara adil, balk is dari komunitas Cina, Ind ia, dan masyarakat pribumi Malaysia (Faaland, et.al., 1990). Fenomena inilah bar angkali sebab utama adanya data mengenai distribusi antaretnis dalam setiap publ ikasi data Malaysia. 1.3. PARADIGMA PEMBANGUNAN Demikian banyak makna pembanguna n yang diturunkan oleh para ahli berdasarkan pengalaman di berbagai negara dan s tudi empiris yang mereka lakukan. Boleh dikata hampir setiap orang peduli dengan pembangunan sebagai tujuan yang diinginkan bagi negara dan penduduk di negara D unia Ketiga. Namun begitu banyak interpretasi mengenai "makna pembangunan" sehin gga orang kadang-kadang bertanya-tanya apakah pembangunan hanya tidak lebih meru pakan pandangan utopis setiap orang? Persis apa yang dikatakan oleh Arndt (1996) : "Almost everyone considers development -- even economic development -- a desir able objective for the countries and people of the Third World. But so diverse h ave the interpretations of 'development' become that one sometimes wonders wheth er it now stands for anything more substantial than everyone's own utopia". Seja rah pemikiran mengenai pembangunan memang diwarnai dengan evolusi makna pembangu nan. Dari pemujaan terhadap pertumbuhan, hingga paradigma baru dalam pembangunan seperti pertumbuhan dengan distribusi, kebutuhan pokok (basic needs), pembangun an mandiri (self-reliant development), pembangunan berkelanjutan dengan 6

perhatian terhadap alam (ecodevelopment), pembangunan yang memperhatikan ketimpa ngan pendapatan menurut etnis (ethnodevelopment). Akhir-akhir ini mulai antre be berapa paradigma lain, seperti: wanita dalam pembangunan, pembangunan regional/s pasial, dan pembangunan masyarakat. Kendati demikian, banyak yang memandang berb agai paradigma baru tentang pembangunan ini masih berada pada dataran normatif. Artinya kontribusinya mengenai pembangunan tidak berbicara dalam konteks aktual (das sein; what to be) namun lebih membahas apa yang seharusnya dilakukan (das s ollen; what ought to be). Atau alternatifnya, kita mau tidak mau harus mengkombi nasikan berbagai paradigma tersebut dalam formulasi maupun implementasi kebijaks anaan. Nampaknya tidak salah apabila disimpulkan bahwa pembangunan harus dilihat sebagai proses yang multidimensi yang mencakup tidak hanya pembangunan Ekonomi, namun juga mencakup perubahan- perubahan utama dalam struktur sosial, erilaku. dan kelembagaan. BACAAN YANG DIANJURKAN Arndt, H.W., The Search for A New Develo pment Paradigm, Panglaykim Memorial Lecture, Jakarta, 14 Mei 1996. Esmara, Hendr a, Politik Perencanaan Pembangunan: Teori, Kebijaksanaan dan Prospek, PT Gramedi a, Jakarta, 1986. Faaland, Just, J.R. Parkinson, Rais Saniman, Growth and Ethnic Inequality: Malaysia's New Economic Policy, Hurst & Company, London, 1990. Henr iot, Peter J.A., "Development Alternatives: Problems, Strategies, and Values", d alam Michael P. Todaro (ed), The Struggle for Economic Development: Readings in Problem and Policies, Longman, New York & London, 1983. Hettne, Bjorn, Developme nt Theory and the Three World, Longman Scientific and Technical, Essex, 1991, ba b 2 dan 5. Meier, Gerald M., Leading Issues in Economic Development, 5th. editio n, Oxford University Press, New York, 1989, bab1. Seers, Dudley, The Meaning of Development", dalam Charles K. Wilber (ed.), the Political Economy of Developmen t and Underdevelopment, Random House, New York, 1973. Sjahrir, Ekonomi Politik K ebutuhan Pokok: Sebuah Tinjauan Prospektif, LP3ES, Jakarta, 1986, bab 1. 7

BAB II INDIKATOR PEMBANGUNAN Pembangunan selalu menimbulkan dampak, balk positif maupun negatif. Oleh karena itu diperlukan indikator sebagai tolok ukur terjadi nya pembangunan. Bab ini akan menguraikan mengenai indikator-indikator ekonomi m aupun sosial yang dikenal dalam ekonomi pembangunan. 2.1. PERLUNYA INDIKATOR PEM BANGUNAN Sebagaimana dijelaskan pada Bab 1, paradigma tradisional mengenai pemba ngunan cenderung mengidentikkan pembangunan dengan pertumbuhan ekonomi. Dewasa i ni, definisi pembangunan ekonomi yang paling banyak diterima adalah: suatu prose s di mana pendapatan per kapita suatu negara meningkat selama kurun waktu yang p anjang, dengan catatan bahwa jumlah penduduk yang hidup di bawah "garis kemiskin an absolut" tidak meningkat dan distribusi pendapatan tidak semakin timpang (Mei er, 1995: hi). Yang dimaksud dengan proses adalah berlangsungnya kekuatan-kekuat an tertentu* yang sating berkaitan dan mempengaruhi. Dengan kata lain, pembangun an ekonomi lebih dari sekedar pertumbuhan ekonomi. Proses pembangunan menghendak i adanya pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan perubahan (growth plus change) dalam: Pertama, perubahan struktur ekonomi: dari pertanian ke industri atau jasa . Kedua, perubahan kelembagaan, balk lewat regulasi maupun reformasi kelembagaan itu sendiri. Penekanan pada kenaikan pendapatan per kapita (GNP riil dibagi jum lah penduduk) dan tidak hanya kenaikan pendapatan nasional riil menyiratkan bahw a perhatian pembangunan bagi negara miskin adalah menurunkan tingkat kemiskinan. Pendapatan nasional rill (atau GNP pada harga konstan) yang meningkat seringkal i tidak diikuti dengan perbaikan kualitas hidup. Bila pertumbuhan penduduk meleb ihi atau sama dengan pertumbuhan pendapatan nasional maka pendapatan per kapita bisa menurun atau tidak berubah, dan jelas ini tidak dapat disebut ada pembangun an ekonomi. Kurun waktu yang panjang menyiratkan bahwa kenaikan pendapatan per k apita perlu berlangsung terus menerus dan berkelanjutan. Rencana pembangunan lim a tahun baru merupakan awal dari proses pembangunan. Tugas yang paling berat ada lah menjaga sustainabilitas pembangunan dalam jangka yang lebih panjang. 8

Tambahan catatan berupa rekor kemiskinan absolut dan distribusi pendapatan agakn ya menu njuk pentingnya kualitas proses pembangunan. Yang penting tidak hanya me ningkatkan "kue nasional" namun juga bagaimana "kue" tersebut didistribusikan se cara merata atau tidak. Pembangunan bukan merupakan tujuan melainkan hanya slat sebagai proses instrumental untuk menurunkan kemiskinan, menyerap tenaga kerja, dan menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan. Mengingat adanya berbagai maca m dimensi pembangunan, sebagaimana dijelaskan dalam Bab 1, fokus tujuan pembangu nan di masing-masing negara dapat berbeda satu sama lain. Dengan demikian, kita harus mengartikan pembangunan ekonomi sebagai kemajuan ekonomi atau kenaikan kes ejahteraan ekonomi. Peningkatan pendapatan riil per kapita hanyalah merupakan se bagian dari indeks kesejahteraan ekonomi. Kesejahteraan ekonomi mengandung perti mbangan nilai mengenai tingkat distribusi pendapatan yang diinginkan. Karena itu , kesejahteraan ekonomi tidak hanya mempertanyakan keadilan distributif namun ju ga membicarakan bagaimana komposisi "kue nasional" dan bagaimana kue ini dinilai oleh masyarakat. Dengan demikian, indikator-indikator kunci pembangunan secara garis besar pada dasarnya dapat diklasifikasikan menjadi: (1) indikator ekonomi; (2) indikator sosial. Variabel yang termasuk sebagai indikator ekonomi adalah: GNP per kapita, laju pertumbuhan ekonomi, GDP per kapita dengan Purchasing Power Parity. Variabel yang termasuk indikator sosial adalah HDI (Human Development I ndex) dan PQLI (Physical Quality Life Index) atau Indeks Mutu Hidup. 2.2. INDIKA TOR EKONOMI A.Klasifikasi Negara Untuk tujuan operasional dan analitikal, kriter ia utama Bank Dunia dalam mengklasifikasikan kinerja perekonomian suatu negara a dalah GNP (Gross National Product, atau Produk Nasional Bruto) per kapita. GNP p er kapita adalah GNP dibagi dengan jumlah penduduk. Klasifikasi negara berdasark an kelompok pendapatannya dapat saja berubah pada setiap edisi publikasi Bank Du nia, terutama dalam World Development Report yang terbit setiap tahun, karena be rubahnya GNP per kapita. Bank Dunia (1995) mengklasifikasikan negara berdasarkan tingkatan GNP per kapitanya sebagai berikut: 1. Negara berpenghasilan rendah (low-income economies) adalah kelompok negara-ne gara dengan GNP per kapita kurang atau sama dengan US$ 695 pada tahun 1993. 9

2. Negara berpenghasilan menengah (middle-income economies) adalah kelompok nega ranegara dengan GNP per kapita lebih dari US$ 695 namun kurang dari US$ 8.626 pada tahun 1993. Dalam kelompok negara berpenghasilan menengah dapat dibagi menjadi: (1) negara berpenghasilan menengah papan bawah (lower-middle-income economies) dengan GNP per kapita antara US$ 695 hingga US$ 2.785; (2) negara berpenghasilan menengah papan atas (upper-middle-income economies) dengan GNP per kapita lebih dari US$ 2.785 namun kurang dari US$ 8.626. 3. Negara berpenghasllan tinggi (high-Income economies) adalah kelompok negara-n egara dengan GNP per kapita US$ 8.626 atau lebih pada tahun 1993. 4. Dunia (World) mel iputi semua negara di dunia, termasuk negara-negara yang datanya langka dan deng an penduduk kurang dari 1 juta jiwa. Negara berpenghasilan rendah dan menengah k adang disebut negara sedang berkembang (developing countries). Jelas ini sekadar untuk memudahkan klasifikasi, dan tidak ada maksud untuk menggeneralisasi bahwa semua negara dalam kelompok ini mengalami tahapan pembangunan yang sama. Klasif ikasi menurut penghasilan tidak selalu mencerminkan status pembangunan (IBRD, 19 93). Namun pada umumnya, negara sedang berkembang (NSB) memiliki karakteristik y ang relatif sama, yaitu: (1) tingkat kehidupannya rendah, dengan ciri penghasila n rendah, ketimpangan distribusi pendapatan tinggi, rendahnya tingkat kesehatan dan pendidikan; (2) tingkat produktivitasnya rendah; (3) pertumbuhan penduduk da n beban ketergantungannya tinggi; (4) tingkat pengangguran dan setengah mengangg urnya tinggi dan cenderung meningkat; (5) ketergantungan terhadap produksi perta nian dan ekspor produk primer demikian signifikan; (6) dominan, tergantung, dan rentan dalam hubungan internasional (Todaro, 1994: h. 38-54). Dalam publikasi la ris Bank Dunia yang berjudul The East Asian Miracle: Economic Growth and Public Policy (1993), diperkenalkan beberapa sebutan, yaitu: 1) High Performing Asian Economies (HPAEs), yang diidentifikasi karena memiliki ciri umum yang sama, seperti pertumbuhan ekspor yang amat cepat. Dalam kelompok HPAEs ini dapat dibagi lagi menurut lamanya catatan sukses mempertahankan pertumbuhan ekonomi, yaitu: Pertama, 4 Macan Asia (The Four Tigers), yang biasanya diidenti kkan dengan Hongkong, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan. Negara-negara ini ti ngkat pertumbuhan ekonominya amat cepat dan mulai mendekati ranking negara berpe nghasilan tinggi. Kedua, newly industrializing economies (NIEs), yang meliputi I ndonesia, Malaysia, dan Thailand. 10

2) Asia Timur mencakup semua negara berpenghasilan rendah dan menengah di kawasa n Asia Timur dan Tenggara serta Pasifik. 3) Asia Selatan mencakup Bangladesh, Bhutan, India, Myanmar, Nepal, Pakistan, da n Srilangka. 4) Sub-Sahara Afrika meliputi semua negara di sebelah selatan gurun Sahara terma suk Afrika Selatan, namun tidak termasuk Mauritius, Reunion, dan Seychelles. 5) Eropa, Timur Tengah, dan Afrika Utara mencakup negara berpenghasilan menengah di kawasan Eropa (Bulgaria, Czechoslovakia, Yunani, Hungaria, Polandia, Portugal, R umania, Turki, dan bekas Yugoslavia) dan semua negara di kawasan Afrika utara da n Timur Tengah, serta Afghanistan. 6) Amerika Latin dan Karibia terdiri atas semua negara Amerika dan Karibia di se belah selatan Amerika Serikat. Delapan negara HPAEs memang tumbuh Iebih pesat dan kons isten dibanding kelompok negara mana pun di dunia sejak tahun 1960 hingga 1990. Negara-negara ini rata-rata pertumbuhan GDP riilnya 5,5 persen per tahun, melebi hi semua negara di kawasan Amerika Latin dan Sub-Sahara Afrika (kecuali Botswana yang kaya dengan berlian). Gambar 2.1 menunjukkan hubungan antara GDP per kapit a relatif terhadap GDP Amerika Serikat pada tahun 1960 dan pertumbuhan GDP per k apita dari 119 negara selama periode 1960 hingga 1985 (IBRD, 1993: h. 29). Negar a sedang berkembang (NSB) agaknya tidak dapat mengejar negara maju dilihat dari sisi pertumbuhannya karena 70 persen NSB tumbuh Iebih lambat dibanding rata-rata negara berpenghasilan tinggi. Lebih memprihatinkan lagi, ada 13 NSB yang GDP pe r kapitanya menurun. Kendati demikian, pertumbuhan HPAEs sangat berlainan dengan NSB pada umumnya karena pertumbuhan GDP-nya jauh di atas rata-rata negara berpe nghasilan tinggi. Tidak seperti NSB Iainnya, HPAEs mulai mengejar negara-negara industri. Gambar 2.1. Hubungan antara pertumbuhan GDP dan GDP per kapita 11

B.GNP Per Kapita Dengan Purchasing poower Parity Perbandingan antarnegara berdas arkan GNP per kapita seringkali menyesatkan. Hal ini disebabkan adanya pengkonve rsian penghasilan suatu negara ke dalam satu mata uang yang sama (baca: dolar AS ) dengan kurs resmi. Kurs nominal ini tidak mencerminkan kemampuan relatif daya beli mata uang yang berlainan, sehingga kesalahan sering muncul saat dilakukan p erbandingan kinerja antarnegara. Oleh karena itu, purchasing power parity (PPP) dianjurkan sebagai alat pengkonversi yang lebih tepat dalam mengkonversi GNP dal am mata uang lokal ke dollar. Irving Kravis, et.al. (1975, 1978, 1982, 1987) mem pelopori penggunaan PPP riil dalam perbandingan GDP antar negara. Penyesuaian at as data GDP ini mencerminkan daya bell satu unit mata uang lokal untuk membeli b arang dan jasa di negara tersebut, yang mungkin lebih rendah atau lebih tinggi d aya belinya untuk membeli barang dan jasa di negara lain pada kurs valas yang be rlaku. Tabel 2.1 menunjukkan GNP per kapita menurut kurs pasar yang berlaku dan GNP per kapita dengan PPP di beberapa NSB. Terlihat bahwa daya bell mata uang NS B biasanya lebih tinggi dibanding kurs resminya. Di negara-negara yang hargaharg a domestiknya relatif rendah, GNP per kapita menurut PPP umumnya lebih tinggi di banding GNP per kapita dengan kurs resmi. Nilai GNP per kapita dengan PPP dipero leh dengan memasukkan faktor konversi tertentu yang didesain untuk menyamakan da ya bell mata uang di masing-masing negara. Faktor konversi, yang tidak lain PPP, adalah jumlah unit mata uang suatu negara yang diperlukan untuk membeli sejumla h barang dan jasa di pasar domestik sama dengan daya beli satu dolar di AS. 12

Negara India Pakistan China Srilanka Indonesia Filipina Papua Nugini Thailand Tu rki Brazil Malaysia Argentina Australia Hongkong Singapura GNP / Kapita menurut Kurs Pasar 180 300 430 600 740 850 1.130 2.110 2.970 2.930 3.140 7.220 17.500 18.060 19.850 31.490 GNP / Kapita PPP 900 1.220 2.170 2.330 3.150 2.670 2.350 6.260 3920 5.370 7.930 8.250 17.910 21.560 19.510 20.850 Tabel 2.1. GNP Per Kalipta NSB tahun 1993, Kurs Pasar vs PPP (dalam US Dollar ) 2.3. INDIKATOR SOSIAL Indikator Sosial Sebagai Alternatif Indikator Pembangunan GNP per kapita sebagai ukuran tingkat kesejahteraan mempunyai banyak kelemahan. Kelemahan umum yang sering dikemukakan adalah tidak memasukkan produksi yang tid ak melalui pasar seperti dalam perekonomian subsisten, jasa ibu rumah tangga, tr ansaksi barang bekas, kerusakan lingkungan, dan masalah distribusi pendapatan. A kibatnya bermunculan upaya untuk memperbaiki maupun menciptakan indikator lain s ebagai pelengkap ataupun alternatif dari indikator kemakmuran yang tradision al. Pada tahun 1970, UNRISD (United Nations Research Institute on Social Developmen t) mengembangkan indikator sosial-ekonomi, yang terdiri atas: 9 indikator sosial dan 7 indikator ekonomi (Iihat Tabel 2.2). Semula ada 73 indikator, namun akhir nya hanya 16 13

indikator tersebut yang dipilih. Indikator-indikator ini dipilih atas dasar ting ginya korelasi dalam membentuk indeks pembangunan dengan menggunakan "bobot timb angan" yang berasal dari berbagai tingkat korelasi. Indeks pembangunan tersebut ternyata mempunyai korelasi yang lebih erat dengan indikator sosial dan ekonomi dibanding korelasi GNP per kapita dengan indikator yang sama. Tentunya ranking b erbagai negara dengan indeks pembangunan ini berbeda dengan ranking dengan mengg unakan ukuran GNP per kapita. Ditemukan juga bahwa indeks pembangunan ini mempun yai korelasi yang lebih erat dengan GNP per kapita negara maju dibanding dengan NSB. Dapat disimpulkan bahwa pembangunan sosial berlangsung lebih cepat dibandin g pembangunan ekonomi sampai dengan tingkat US$ 500 per kapita (dengan tahun das ar 1960). Daftar Indikator Kunci Pembangunan Sosial-Ekonomi versi UNRISD 1. Harapan hidup 2. Persentase penduduk di daerah sebanyak 20.000 atau lebih Kon sumsi protein hewani per kapita per hari 3. Kombinasi tingkat pendidikan dasar dan menengah Rasio pendidikan luar sekolah 4. Rata-rata jumlah orang per kamar 5. Sirkulasi surat kabar per 1000 penduduk 6. Persentase penduduk usia kerja dengan listrik, gas, air, dsb. Produksi pertan ian per pekerja pria di sektor pertanian Persentase tenaga kerja pria dewasa di pertania n 7. Konsumsi listrik, kw per kapita 8. Konsumsi baja, kg per kapita 9. Konsumsi e nergi, ekuivalen kg batubara per kapita Persentase sektor manufaktur dalam GDP 10. Perdagangan luar negeri per kapita 11. Persentase penerima gaji dan upah ter hadap angkatan kerja Sumber: UNRISD, 1970 Studi lain yang dilakukan oleh Irma Adelman dan Cynthia Mor ris (1967) mengukur kinerja pembangunan dalam dimensi pola interaksi antara fakt or sosial, ekonomi, dan politik. Mereka mengklasifikasikan 74 NSB berdasarkan 40 variabel sosial, ekonomi, dan politik. Analisis faktor digunakan untuk menguji interdependensi antara variabel sosial dan politik dan tingkat pembangunan ekono minya. Mereka menyimpulkan berbagai korelasi terjadi antara variabel-variabel ku nci tertentu dengan pembangunan ekonomi. Indeks Mutu Hidup (PQLI) 14

Untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat, Morris D. Morris memperkenalkan Physical Quality Life Index (PQLI), yang lazim diterjemahkan sebagai Indeks Mut u Hidup (IMH). PQLI merupakan indeks komposit (gabungan) dari 3 indikator, yaitu : harapan hidup pada usia satu tahun, angka kematian, dan tingkat melek huruf. U ntuk masing-masing indikator, kinerja ekonomi suatu negara dinyatakan dalam skal a 1 hingga 100, di mana 1 merupakan kinerja terjelek, sedangkan 100 adalah kiner ja terbaik. Begitu kinerja ekonomi suatu negara dinyatakan dalam skala 1 hingga 100 untuk masing-masing indikator tersebut, maka indeks kompositnya dapat dihitu ng dari rata-rata penilaian atas ketiga indikator, dengan memberikan bobot yang sama untuk masing-masing indikator. Sebagai contoh, Tabel 2.3 menyajikan indikat or PQLI untuk masing-masing propinsi di Indonesia pada tahun 1971, 1980, dan 199 0. PQLI di Indonesia meningkat dari 45 pada tahun 1971, menjadi 57 pada tahun 19 80, dan naik menjadi 73 pada tahun 1990. Kendati demikian, di antara negara-nega ra ASEAN, PQLI Indonesia termasuk yang paling rendah. Bila dibandingkan antar pr opinsi, terdapat begitu besar variasi PQLI meskipun dengan tingkat yang menurun sebesar 0,1224, 0,1162, dan 0,0864 masing-masing untuk tahun 1971, 1980, dan 199 0 (Ardani, 1996: h. 28). Namun umumnya PQLI mengalami peningkatan untuk masing-m asing propinsi, dengan rata-rata kenaikan per tahun selama 1971-1990 sebesar 2,6 persen. DI Yogyakarta dan Sulawesi Tenggara merupakan propinsi yang memiliki pe ningkatan PQLI tercepat sebesar 3,6 persen per tahun. Pada tahun 1971, PQLI tert inggi dipegang oleh Sulawesi Utara (62). Pada tahun 1980 dan 1990, rekor PQLI di raih oleh DKI Jakarta (72 dan 86). Human Development Index (HDI) Upaya yang pali ng ambisius dan terbaru dalam menganalisis perbandingan status pembangunan sosia l ekonomi, balk di NSB maupun negara maju telah dilakukan oleh UNDP (United Nati ons Development Program) secara sistematis dan komprehensif. UNDP menerbitkan se ri tahunan dalam publikasi berjudul Human Development Reports. Hal yang menarik dan berharga dari laporan ini, yang diterbitkan sejak tahun 1990, adalah penyusu nan dan perbaikan Human Development Index (HDI). Seperti halnya POLI, HDI mencob a meranking semua negara dalam skala 0 (sebagai tingkatan pembangunan manusia ya ng terendah) hingga 1 (pembangunan manusia yang tertinggi) berdasarkan atas 3 tu juan atau produk pembangunan, yaitu: (1) usia panjang yang diukur dengan tingkat harapan hidup; (2) pengetahuan yang diukur dengan rata-rata tertimbang dari jum lah orang dewasa yang dapat membaca (diberi bobot dua pertiga) dan rata-rata tah un sekolah (diberi bobot sepertiga); dan (3) penghasilan yang diukur dengan pend apatan per kapita riil yang telah disesuaikan, yaitu 15

disesuaikan menurut Jaya bell mata uang masingmasing negara dan asumsi menurunny a utilitas marginal penghasilan dengan cepat. Dengan 3 ukuran pembangunan ini da n menerapkan suatu formula yang kompleks terhadap data 160 negara pada tahun 199 0, ranking HDI semua negara dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu: (1) negara dengan pembangunan manusia yang rendah (low human development) bila nilai HDI berkisar antara 0,0 hingga 0,50; (2) negara dengan pembangunan manusia yang menengah (med ium human development) bila nilai HDI berkisar antara 0,51 hingga 0,79; dan (3) negara dengan pembangunan manusia yang tinggi (high human development) bila nila i HDI berkisar antara 0,80 hingga 1,0. Negara dengan nilai HDI di bawah 0,5 bera rti tidak memperhatikan pembangunan manusianya; negara dengan nilai HDI 0,51 hin gga 0,79 berarti mulai memperhatikan pembangunan manusianya; negara dengan nilai HDI lebih dari 0,8 berarti amat memperhatikan pembangunan manusianya. Perlu dic atat bahwa HDI mengukur tingkat pembangunan manusia secara relatif, bukan absolu t. Selain itu, HDI memfokuskan pada tujuan akhirpembangunan (usia panjang, penge tahuan, dan pilihan material) dan tidak sekadar alat pembangunan (hanya GNP per kapita). Tabel 2.4 menunjukkan perhitungan HDI dan rankingnya. Barbados adalah N SB dengan nilai HDI tertinggi. Sementara di antara negara-negara maju, ranking t ertinggi diraih oleh Kanada, ke-2 oleh Swiss, dan ke-8 oleh AS. Perbedaan rankin g GNP per kapita dengan ranking HDI yang positif (lihat kolom ke-5) menunjukkan bagaimana ranking relatif suatu negara meningkat bila digunakan HDI sebagai indi kator sebagai ganti dari GNP per kapita; tanda negatif menunjukkan sebaliknya. B eberapa negara, seperti Gabon, Brunei, Angola, Namibia, Arab Saudi, dan Uni Emir at Arab, ranking pendapatan per kapitanya jauh melebihi ranking HDI. Negara-nega ra tersebut berarti memiliki potensi untuk menggunakan pendapatannya guna memper baiki kesejahteraan rakyatnya. Sementara itu, negara-negara lain, seperti China, Kolumbia. Costa Rica, Cuba, Guyana, Madagaskar, Indonesia, dan Srilangka, memil iki ranking HDI jauh di atas ranking penghasilannya (ditunjukkan oleh tanda posi tif pada kolom ke-5). Keadaan ini memperlihatkan bahwa negara tersebut telah ban yak menggunakan pendapatannya untuk meningkatkan kapabilitas manusianya. Dengan demikian, indikator HDI jauh melebihi pertumbuhan konvensional. Memang suatu per tumbuhan ekonomi adalah penting untuk mempertahankan kesejahteraan rakyatnya. Na m un pertumbuhan bukan merupakan akhir dari pembangunan manusia. Pertumbuhan eko nomi hanyalah satu alat yang penting. Akan tetapi yang lebih penting adalah baga imana pertumbuhan ekonomi digunakan untuk memperbaiki kapabilitas manusianya, da n pada gilirannya bagaimana rakyat menggunakan kapabilitasnya. Amartya Sen, seor ang ahli 16

ekonomi dari Harvard, menegaskan bahwa pembangunan ekonomi seharusnya diterjemahkan sebagai suatu proses ekspansi dari kebebasan positif yang dinikmat i oleh masyarakat. la mengamati bahwa masalah riil di NSB adalah menurunnya kual itas kehidupan daripada rendahnya pendapatan. Sen menginterpretasikan pembanguna n sebagai proses yang memperluas entitlement dan kapabilitas manusia untuk hidup sesuai dengan yang diinginkannya. "Entitlement" adalah sejumlah komoditi yang d apat diperoleh seseorang dalam masyarakat dengan menggunakan seluruh hak dan pel uang yang dia miliki. "Kapabilitas" diartikan sebagai mencakup apa yang dapat ma upun tidak dapat dilakukan, misalnya bebas dari kelaparan, dari kekurangan gizi, partisipasi dalam masyarakat, bebas bepergian menengok teman, memperoleh tempat tinggal yang memadai, dsb. Kendati HDI memberikan wawasan yang Iebih luas menge nai pembangunan, Todaro (1995: h. 65) memberikan catatan berikut; Pertama, pembe ntukan HDI sebagian didorong oleh strategi politik yang didesain untuk memfokusk an perhatian pada aspek pembangunan kesehatan dan pendidikan. Kedua, ketiga indi kator tersebut merupakan indikator yang bagus namun bukan ideal (misalnya, tim P BB ingin menggunakan status nutrisi bagi anak berusia di bawah lima tahun sebaga i indikator kesehatan yang ideal, tetapi datanya tidak tersedia). Ketiga, nilai HDI suatu negara mungkin membawa dampak yang kurang menguntungkan karena mengali hkan fokus dari masalah ketidakmerataan dalam negara tersebut. Keempat, alternat if pendekatan yang memandang ranking GNP per kapita, dan kemudian melengkapinyad engan indikator sosial lain masih dihargai. Kelima, kita harus selalu ingat bahw a indeks ini merupakan indikator pembangunan yang "relatif", bukan absolut, sehi ngga bila semua negara mengalami peningkatan pada tingkat tertimbang yang sama, maka negara miskin tidak akan memperoleh penghargaan atas kemajuannya. BACAAN YA NG DIANJURKAN Ardani, Amiruddin, Regional Development in Indonesia: Issues and C hallenges, Discussion Paper No. 36, Nagoya University, Nagoya, 1996. Biro Pusat Statistik, Profit Kesejahteraan Rakyat 1995, Jakarta, April 1996. , Indikator So sial Wanita 1994, Jakarta, Januari 1996. IBRD, The East Asian Miracle: Economic Growth and Public Policy, Oxford University Press, Oxford, 1993, bab 1. Kuncoro, Mudrajad, Manajemen Keuangan lntemasional: Pengantar Ekonomi dan Bisnis Global, BPFE, Yogyakarta, 1996, bab 10. Meier, Gerald M., Leading Issues in Economic De velopment, edisi ke-6, Oxford University Press, New York, 1995, bab I. B. 17

BAB III TEORI PEMBANGUNAN Begitu kompleksnya pembangunan menyebabkan hingga saat ini tidak ada satu teori pembangunan yang tepat diterapkan bagi semua negara di dunia. Harus diakui, teori-teori pembangunan yang ada, khususnya di awal perkem bangan cabang ilmu ekonomi ini, sangat didominasi oleh hasil pemikiran Para ekon om Barat. Pola pikir dan buah pikiran seorang pakar tentunya tidak akan pernah l epas dari tata nilai dan kondisi Iingkungan yang ada di sekitarnya. Demikian pul a halnya dengan ekonom Barat yang mencoba memformulasikan strategi pembangunan d alam suatu kerangka teori yang sistematis, di mana dasar dari teori yang mereka hasilkan hanya dapat terpenu hi bila teori tersebut diterapkan di Barat. Itulah sebabnya mengapa teori-teori pembangunan yang merupakan hasil pemikiran ekonom B arat, pada banyak kasus ternyata kurang tepat diterapkan begitu saja di negara s edang berkembang (NSB). Perbedaan tata nilai, sistem sosial; dan kondisi Iingkun gan antara negara maju, yang umumnya di benua Eropa dan Amerika, dengan NSB yang umumnya terletak di benua Afrika dan Asia, menyebabkan penerapan teori-teori pe mbangunan yang ada banyak yang menjumpai "kegagalan". Lepas dari permasalahan te rsebut, terdapat banyak teori pembangunan yang telah diformulasikan oleh para ek onom, dan sulit untuk mengelompokkan teori-teori tersebut pada suatu aliran tert entu. Dalam bab ini akan ditelusuri teori-teori dasar pembangunan yang ada, sesu ai dengan pengelompokkan yang dilakukakan oleh Todaro (1991; 1994). Dalam pembah asan mengenai teori pembangunan, khususnya pembangunan ekonomi, dikenal 4 pendek atan yang dominan yaitu: (1) Teori pertumbuhan linear (linear stages of growth); (2) Teori pertumbuhan struktural; (3) Teori revolusi ketergantungan internasion al (dependensia); (4) Teori Neo-Klasik. 3.1. TEORI PERTUMBUHAN LINEAR Model pert umbuhan linear mendominasi perkembangan teori pembangunan sejak pertama kali dik emukakan oleh Adam Smith dan mengalami puncak kejayaannya dengan lahirnya teori pertumbuhan yang dikemukakan oleh Rostow. Teori-teori pembangunan yang dikemukak an oleh Adam Smith, Karl Marx, dan Rostow termasuk dalam model pertumbuhan linea r. Dasar pemikiran dari model ini adalah evolusi proses pembangunan yang dialami oleh suatu negara selalu melalui tahapan-tahapan tertentu. Tahapan-tahapan ters ebut merupakan proses urutan seperti halnya aliran air sungai. Artinya, pentahap an tersebut adalah mutlak 18

harus dilalui oleh suatu negara yang sedang membangun, di mana tahap-tahap pemba ngunan tersebut harus dilalui satu-persatu secara berurutan menuju tingkat yang semakin tinggi. 3.1.1. Teorl Pertumbuhan Adam Smith Adam Smith membagi tahapan p ertumbuhan ekonomi menjadi 5 tahap yang berurutan, yaitu dimulai dari masa perbu ruan, masa berternak, masa bercocoktanam, perdagangan dan yang terakhir adalah t ahap perindustrian. Menurut teori ini, masyarakat akan bergerak dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern yang kapitalis. Dalam prosesnya, pertumbuhan ek onomi akan semakin terpacu dengan adanya sistem pembagian keraja antarpelaku eko nomi. Dalam hal ini Adam Smith memandang pekerja sebagai salah satu input (masuk an) bagi proses produksi. Pembagian kerja merupakan titik central pembahasan dal am teori Adam Smith, dalam upaya meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Spesia lisasi yang dilakukan oleh tiap-tiap pelaku ekonomi tidak lepas dari faktor-fakt or pendorong yaitu: (1) peningkatan keterampilan pekerja, dan (2) penemuan mesin -mesin yang menghemat tenaga. Spesialisasi akan terjadi jika tahap pembangunan e konomi telah menuju ke sistem perekonomian modern yang kapitalistik. Meningkatny a kompleksitas aktivitas ekonomi dan kebutuhan hidup di masyarakat, mengharuskan masyarakat untuk tidak lagi melakukan semua pekerjaan secara sendiri, namun leb ih ditekankan pada spesialisasi untuk menggeluti bidang tertentu. Dalam pembangu nan ekonomi, modal memegang peranan yang penting. Menurut teori ini, akumulasi m odal akan menentukan cepat atau lambatnya pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada suatu negara. Modal tersebut diperoleh dari tabungan yang dilakukan masyarakat. Adanya akumulasi modal yang dihasilkan dari tabungan, maka pelaku ekonomi dapat menginvestasikannya ke sektor dalam upaya untuk meningkatkan penerimaannya. Perl u dicatat bahwa akumulasi modal dan investasi sangat bergantung pada pada perila ku menabung masyarakat, sementara di sisi lain kemampuan menabung masyarakat dit entukan oleh kemampuan menguasai dan mengeksplorasi sumberdaya yang ada. Artinya bahwa orang yang mampu menabung pada dasarnya adalah kelompok masyarakat yang m enguasai dan mengusahakan sumber-sumber ekonomi, yaitu para pengusaha dan tuan t anah. Pekerja merupakan satu-satunya pelaku ekonomi yang tidak memiliki kemampua n menabung karena mereka tidak mampu menguasai dan mengusahakan sumber-sumber ek onomi yang ada. Menurut Adam Smith proses pertumbuhan akan terjadi secara simult an dan memiliki hubungan keterkaitan satu dengan yang lain. Timbulnya peningkata n kinerja pada suatu sektor akan meningkatkan daya tank bagi pemupukan modal, me ndorong kemajuan 19

teknologi, meningkatkan spesialisasi, dan memperluas pasar. Hal ini akan mendoro ng pertumbuhan ekonomi semakin pesat. Proses pertumbuhan ekonomi sebagai suatu " fungsi tujuan" pada akhirnya harus tunduk terhadap "fungsi kendala" yaitu keterb atasan sumberdaya ekonomi. Pertumbuhan ekonomi akan mulai mengalami perlambatan jika daya dukung alam tidak mampu lagi mengimbangi aktivitas ekonomi yang ada. K eterbatasan sumberdaya merupakan faktor yang dapat menghambat pertumbuhan ekonom i tersebut, bahkan dalam perkembangannya hal tersebut justru menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi. Penurunan pertumbuhan ekonomi akan terus terjadi karena mat a rantai tabungan, akumulasi modal, dan investasi tetap terjalin dan berkaitan e rat satu sama lain. Jika investasi rendah, maka kemampuan menabung akan turun, s ehingga akumulasi modal akan mengalami penurunan pula. Jika hal tersebut terjadi berarti laju investasi juga akan rendah dan akan menurunkan pertumbuhan ekonomi . Akhirnya kapitalisme dalam hal ini akan berada pada kondisi stasioner, yaitu p ada tingkat pertumbuhan sama dengan nol. Semua tahap pembangunan di atas tidak l epas dari kondisi dasar , yaitu bahwa pasar yang dihadapi adalah persaingan semp urna. Persaingan sempurna mempunyai karakteristik: (1) ada banyak penjual dan pe mbeli di pasar; (2) produk yang diperjualbelikan bersifat homogen; (3) tidak ada kolusi antara penjual maupun pembeli; (4) semua sumberdaya memiliki mobilitas s empurna; (5) balk pembeli maupun penjual memiliki informasi sempurna mengenai ko ndisi pasar (Awh, 1976, h. 242-3). Pasar persaingan sempurna pada dasarnya tidak pernah ada di dunia. Suatu hal yang mustahil bagi perekonomian untuk berada pad a kondisi di mana semua asumsi dasar persaingan sempurna berlaku. Penetapan asum si tidak realistis ini adalah salah satu kelemahan teori pembangunan versi Adam Smith. Teori pembangunan Adam Smith tidak dapat dilepaskan dari evolusi pentahap an proses pembangunan yang terjadi secara berjenjang dan harus dilewati satu per satu. Demikian pula halnya dengan tingkat pertumbuhan, yaitu dimulai suatu titi k tertentu, kemudian secara lambat mulai peningkatan; laju pertumbuhan akan terj adi secara cepat sampai titik optimal tertentu dan akan menurun hingga mencapai titik nol. Pentahapan ini merupakan hal yang nampaknya tidak dapat ditawar-tawar lagi. Kemungkinan terjadinya gelombang konjungtur dalam proses pertumbuhan ekon omi nampaknya merupakan hal yang tidak mungkin menurut teori tersebut. Teori ter sebut menetapkan bahwa akhir dari kapitalisme adalah kondisi stasioner, tanpa ke mungkinan terjadinya gelombang konjungtur. Kritik lain mengenai teori pertumbuha n Adam Smith ini adalah pembagian kelompok masyarakat yang secara eksplisit dapa t menabung dan tidak dapat menabung hanya didasarkan pada jenis usaha yang digel utinya. Sangat tidak realistis jika para pekerja diasumsikan tidak memiliki kema mpuan untuk menabungkan uangnya dari sisa pendapatan 20

yang dibelanjakan. Adam Smith mengabaikan peran perbankan sebagai badan penghimp un dan penyalur surplus Jana dari masyarakat, dan juga mengabaikan adanya kecend erungan orang untuk menabung meski pendapatannya relatif tidak besar. Adam Smith mengasumsikan hanya para tuan tanah dan pengusaha yang mampu melakukan aktivita s menabung, untuk kemudian modal tersebut diinvestasikan ke sektor riil. Dalam h al ini secara implisit Adam Smith menyatakan bahwa gaji pekerja demikian kecilny a, sementara di sisi lain laba pengusaha demikian besarnya sehingga mereka mampu mengakumulasikan modalnya. Artinya dalam sistem ekonomi kapitalis posisi tawarmenawar (bargaining position) pekerja terhadap pengusaha relatif sangat kecil. J ika hal ini terjadi maka konsekuensinya adalah terjadi ekploitasi para pengusaha terhadap para pekerja. Asumsi ini menunjukkan "kekejaman" teori Adam Smith deng an sistem ekonomi kapitalisnya. Suatu hal yang "menyakitkan" bahwa dalam suatu s istem yang diciptakan manusia terjadi eksploitasi manusia atas manusia lain. Let ak ketidakadilan sistem tersebut adalah pada diskriminasi kesempatan untuk menab ung, yang berkaitan erat dengan diskriminasi kemampuan penguasaan faktor produks i dan konsumsi sumberdaya. 3.1.2. Teori Pembangunan Karl Marx Karl Marx dalam bu kunya Das Kapital membagi evolusi perkembangan masyarakat menjadi tiga, yaitu di mulai dari feodalisme, kapitalisme dan kemudian yang terakhir adalah sosialisme. Evolusi perkembangan masyarakat ini akan sejalan dengan proses pembangunan yang dilaksanakan. Masyarakat feodalisme mencerminkan kondisi di mana perekonomian y ang ada masih bersifat tradisional. Dalam tahap ini tuan tanah merupakan pelaku ekonomi yang memiliki posisi tawar menawar tertinggi relatif terhadap pelaku eko nomi lain. Perkembangan teknologi yang ada menyebabkan terjadinya pergeseran di sektor ekonomi, di mana masyarakat yang semula agraris-feodal kemudian mulai ber alih menjadi masyarakat industri yang kapitalis. Seperti halnya pada masa feodal , pada masa kapitalisme ini para pengusaha merupakan pihak yang memiliki tingkat posisi tawar menawar tertinggi relatif terhadap pihak lain khususnya kaum buruh . Mark menyesuaikan asumsinya terhadap cara pandang ekonomi Klasik ketika itu de ngan memandang buruh sebagai salah satu input dalam proses produksi. Artinya bur uh tidak memiliki posisi tawar menawar sama sekali terhadap para majikannya, yan g merupakan kaum kapitalis. Konsekuensi logis penggunaan asumsi dasar tersebut a dalah kemungkinan terjadinya eksploitasi besar-besaran yang dilakukan para pengu saha terhadap buruh. Di sisi lain, pada masa itu pemupukan modal kemudian menjad i kata kunci bagi upaya peningkatan 21

pendapatan yang lebih besar di masa yang akan datang. Sejalan dengan perkembanga n teknologi, para pengusaha yang menguasai faktor produksi akan berusaha memaksi malkan keuntungannya dengan menginvestasikan akumulasi modal yang diperolehnya p ada input modal yang bersifat padat kapital. Eksploitasi terhadap kaum buruh dan peningkatan pengangguran yang terjadi akibat subtitusi tenaga manusia dengan in put modal yang padat kapital, pada akhirnya akan menyebabkan revolusi sosial yan g dilakukan oleh kaum buruh. Fase ini merupakan tonggak baru bagi munculnya suat u tatanan sosial alternatif di samping tata masyarakat kapitalis, yaitu tata mas yarakat sosialis. Sepanjang teori pembangunan yang dikemukakannya, Marx selalu m endasarkan argumennya pada asumsi bahwa masyarakat pada dasarnya terbagi menjadi dua golongan, yaitu : masyarakat pemilik tanah dan masyarakat bukan pemilik tan ah, masyarakat pemilik modal dan masyarakat bukan pemilik modal. Asumsi lain yan g mendukung adalah bahwa di antara kedua kelompok masyarakat tersebut sebenarnya terjadi konflik kepentingan di antara mereka. Oleh karena itu dalam pola berpik irnya, Marx selalu mendasarkan teorinya pada kondisi pertentangan antarkelas dal am masyarakat. Menurut Marx, kemampuan para pengusaha untuk melakukan akumulasi modal teletak pada kemampuan mereka dalam memanfaatkan nilai lebih dari produkti vitas buruh yang dipekerjakan. Nilai buruh yang dinyatakan dalam bentuk upah mer upakan jumlah tenaga yang diperlukan untuk menghasilkan tenaga buruh tersebut. A rtinya upah akan sama dengan nilai sarana kehidupan yang diperlukan seorang buru h untuk mempertahankan kehidupannya. Pada kenyataannya nilai upah yang diberikan jauh lebih kecil dibandingkan dengan produktivitas buruh tersebut dalam suatu p roses produksi. Selisih antara nilai produktivitas buruh dan nilai tenaga buruh yang dinyatakan dalam bentuk upah inilah yang kemudian disebut dengan nilai lebi h. Nilai lebih merupakan keuntungan yang diperoleh oleh para pengusaha. Karena t ingkat keuntungan yang diperoleh oleh para pengusaha adalah fungsi dari nilai le bih, maka untuk memaksimalkan keuntungan, para pengusaha tidak akan segan-segan mengeksploitasi pekerja. Nilai lebih akan meningkat jika upah diturunkan atau pr oduktifitas dinaikkan dengan asumsi semua faktor lain tidak berubah. Penurunan u pah buruh nampaknya sulit untuk dilakukan mengingat tingkat upah yang terjadi pa da masa kapitalisme semata-mata diberikan agar buruh tetap hidup dan dapat beker ja. Artinya penetapan upah tersebut tidak lebih besar daripada kebutuhan hidup p ada tingkat subsisten. Hal ini merupakan dampak dari asumsi dasar bahwa buruh di pandang seperti input yang lain. 22

Upaya untuk memaksimalkan keuntungan yang nantinya akan diakumulasikan dalam ben tuk kapital, yang pada akhirnya akan diinvestasikan kembali oleh para pengusaha, hanya dapat dilakukan dengan cara meningkatkan produktivitas kerja. Peningkatan efisiensi kerja ini tidak terlepas dari kondisi pasar yang kian kompetitif. Sem akin sengitnya persaingan antarpara pemilik modal akan menjurus pada upaya mere but pangsa pasar sebesar-besarnya. Jika diasumsikan bahwa kualitas barang yang d iperdagangkan adalah homogen, maka produsen hanya dapat melaksanakan strategi pe nurunan harga output sebagai upaya menguasai pasar. Prasyarat untuk kondisi sema cam itu adalah sistem produksi yang semakin efisien dan produktif. Dengan kata l ain, peningkatan produktivitas kerja dan efisiensi produksi merupakan hal yang t idak dapat ditawar-tawar lagi. Hal tersebut dapat dilakukan dengan investasi khu susnya pada barang modal yang bersifat padat kapital untuk meningkatkan produkti vitas kerja tersebut. Konsekuensinya pengusaha akan menurunkan penggunaan tenaga buruh dan diganti dengan penggunaan mesin-mesin yang lebih produktif dan efisie n. Akibat penggunaan mesin-mesin tersebut tingkat pengangguran akan semakin meni ngkat, dan Jaya bell masyarakat akan semakin menurun akibat semakin banyaknya ti ngkat pengangguran yang terjadi. Akumulasi ketertindasan kaum buruh dalam pereko nomian kapitalis yang terus dieksploitasi, meningkatnya pengangguran, dan ditamb ah konflik antarkelas masyarakat yang terus terjadi, maka Marx kemudian menyimpu lkan bahwa kapitalisme akan berakhir dengan timbulnya revolusi sosial yang dilak ukan oleh kaum buruh. Revolusi ini akan membawa perubahan mendasar pada segala b idang, terutama pada sistem produksi dan pemilikan sumberdaya. Akumulasi modal d alam sistem kapitalis akan dig anti dengan pemerataan kesempatan pemilikan sumbe rdaya, individualis dalam masyarakat kapitalis akan berubah menjadi sistem kemas yarakatan yang sosialis. Pada tahap ini, Marx menawarkan suatu sistem baru yaitu sistem perekonomian sosialis, sebagai alternatif dari sistem kapitalis yang saa t itu merupakan satu-satunya sistem perekonomian yang dikenal. Kritik terhadap t eori Marx terutama tertuju pada asumsi adanya nilai lebih dalam suatu perekonomi an. Dalam dunia nyata tidak dikenal adanya istilah nilai lebih ini, karena meman g di dunia nyata kita berkutat dengan harga yang terwujud dan nyata. Jadi Marx d alam hal ini telah menciptakan dunia nilai yang abstrak yang membuat teorinya ag ak "sukar dan kaku" untuk memahami bekerjanya kapitalisme (Jhingan, 1988, h.151) Kritik lain adalah adanya keharusan perubahan dari masyarakat kapitalis menuju sosialis hanya dapat dilakukan dengan jalan revolusi. Haruskah suatu upaya untuk menuju kepada suatu kondisi yang "dianggap" baik harus dilakukan dengan revolus i yang tentunya akan 23

membawa korban yang besar? Apakah sudah tidak ada lagi kejernihan pemikiran dari kedua belah pihak untuk berdialog satu dengan yang lain? Kekakuan Marx dalam me ndeskripsikan proses perubahan dari masyarakat agraris-feodal menuju masyarakat kapitalis dan terakhir adalah masyarakat sosialis, nampaknya sangat diwarnai sub yektivitas dan kebencian Marx terhadap sistem kapitalis. Itulah sebabnya mengapa Marx mendiskripsikan bahwa kehancuran kapitalis yang akan digantikan oleh sosia lis harus melalui suatu revolusi. Artinya Marx tidak menginginkan keberadaan par a pengusaha yang berjaya di masa kapitalis untuk menghirup udara sosialisme, men gingat revolusi kaum buruh jelas-jelas melawan kaum pengusaha tersebut. Kendati demikian, ternyata Marx justru banyak menyumbang terhadap kelanggengan kehidupan ekonomi kapitalis. Dengan adanya kritik dan sinyalemen terhadap perkiraan dampa k negatif sistem kapitalis, terutama terhadap buruh, maka hal tersebut justru me njadi masukan bagi ekonom kapitalis untuk menyempurnakan sistem yang ada, hingga dampak negatif yang digambarkan Marx dapat dihindari. Marx merupakan orang pert ama yang memberikan gambaran sisi negatif dari sistem kapitalisme jika sistem te rsebut diterapkan berdasarkan perhitungan ekonomi semata tanpa mempertimbangkan unsur kemanusiaan dan nilai sosial kemasyarakatan. Marx menunjukkan kepada dunia bahwa tahap pembangunan ekonomi tidaklah semulus yang diperkirakan sebelumnya. Untuk mencapai perekonomian sosialis, terlebih dahulu harus melewati tahap depre si ekonomi akibat kapitalisme yang merajalela tanpa kendali. Toeri Marx tentang depresi ekonomi inilah yang pada akhirnya justru memperkuat argumentasi Keynes y ang merekomendasikan peningkatan peran pemerintah bagi upaya mengatasi depresi e konomi yang ada. 3.1.3. Teori Pertumbuhan Rostow Teori pertumbuhan ekonomi yang dikemukakan oleh Walt Whitman Rostow merupakan garda depan dari linear stage of growth theory. Pa da dekade 1950-1960, teori Rostow banyak mempengaruhi pandangan dan persepsi par a ahli ekonomi mengenai strategi pembangunan yang harus dilakukan. Teori Rostow didasarkan pada pengalaman pembangunan yang telah dialami oleh negara-negara maj u terutama di Eropa. Dengan mengamati proses pembangunan di negara- negara Eropa dari mulai abad pertengahan hingga abad modern, maka kemudian Rostow memformula sikan pola pembangunan yang ada menjadi tahap-tahp evolusi dari suatu pembanguna n ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara tersebut. 24

Rostow membagi proses pembangunan ekonomi suatu negara menjadi lima tahap yaitu: (1) Tahap perekonomian tradisional; (2) Tahap prakondisi tinggal landas; (3) Ta hap tinggal landas; (4) Tahap menuju kedewasaan; (5) Tahap konsumsi massa tinggi . Berikut ini akan diuraikan masing-masing tahapan ini. Tahap L Perekonomian Tra disional Perekonomian pada masyarakat tradisional cenderung bersifat subsisten. Pemanfaatan teknologi dalam sistem produksi masih sangat terbatas. Dalam perekon omian semacam ini sektor pertanian memegang peranan penting. Masih rendahnya pem anfaatan teknologi dalam proses produksi menyebabkan barangbarang yang diproduks i sebagian besar adalah komoditas pertanian dan bahan mentah Iainnya. Struktur s osial kemasyarakatan dalam sistem masyarakat seperti ini bersifat berjenjang. Ke mampuan penguasaan sumberdaya yang ada sangat dipengaruhi oleh hubungan darah da n keluarga. Tahap II. Prakondisi Tinggal Landas Tahap kedua dari proses pertumbu han Rostow ini pada dasarnya merupakan proses transisi dari masyarakat agraris m enuju masyarakat industri. Sektor industri mulai berkembang di samping sektor pe rtanian yang masih memegang peranan penting dalam perekonomian. Tahap kedua ini merupakan tahap yang menentukan bagi persiapan menuju tahap-tahap pembangunan be rikutnya, yaitu tahap tinggal landas. Sebagai tahapan yang berfungsi mempersiapk an dan memenuhi prasyaratprasyarat pertumbuhan swadaya, diperlukan adanya semang at baru dari masyarakat. Menurut pengamatan Rostow, negara-negara di Eropa menga lami tahap kedua ini kira-kira pada abad ke-1 5 sampai ke-1 6. Pada saat itu ter jadi terjadi perubahan radikal dalam masyarakat Eropa dengan munculnya semangat Renaissance. Semangat ini telah membalikkan semua tata nilai masyarakat Eropa saat itu yang cenderung statis menjadi sangat dinamis. Perubaha n paradigma berfikir nampaknya merupakan istilah yang Iebih tepat untuk menilai fenomena itu. Pada tahap ini, perekonomian mulai bergerak dinamis, industri-industri bermuncul an, perkembangan teknologi yang pesat, dan lembaga keuangan resmi sebagai pengge rak Jana masyarakat mulai bermunculan, serta terjadi investasi besar-besaran ter utama pada industri manufaktur. Tahap ini merupakan tonggak dimulainya industria lisasi. lndustrialisasi dapat dipertahankan jika dipenuhi prasyarat sebagai beri kut: pertama, peningkatan investasi di sektor infrastruktur/prasarana terutama p rasaran transportasi; kedua, terjadi revolusi teknologi di bidang pertanian untu k memenuhi peningkatan permintaan penduduk kota yang semakin 25

besar; ketiga, perluasan impor, termasuk impor modal, yang dibiayai oleh produks i yang efisien dan pemasaran sumber alam untuk ekspor. Proses pembangunan dan in dustrialisasi yang berkelanjutan akan terjadi dengan menanamkan kembali keuntung an yang diptroleh dalam sektor yang menguntungkan. Tahap lll. Tinggal Landas Tin ggal landas merupakan tahap yang menentukan dalam keseluruhan proses pembangunan dalam keseluruhan proses pembangunan bagi kehidupan masyarakat. Pengalaman nega ra-negara Eropa menunjukkan bahwa tahap ini berlaku dalam waktu yang relatif pen dek yaitu kira-kira dua dasawarsa. Dalam tahap ini akan terjadi suatu revolusi i ndustri yang berhubungan erat dengan revolusi metode produksi. Tinggal landas di definisikan sebagai tiga kondisi yang sating berkaitan sebagai berikut : 1. 2. 3 . Kenaikan laju investasi produktif antara 5-10 persen dari pendapatan nasional; Perkembangan salah satu atau beberapa sektor manufaktur penting dengan laju per tumbuhan tinggi; Hadirnya secara cepat kerangka politik, sosial, dan institusion al yang menimbulkan hasrat ekspansi di sektor modern, dan dampak eksternalnya ak an memberikan daya dorong pada pertumbuhan ekonomi. Prasyarat pertama dan kedua sangat berkaitan erat satu sama lain. Kenaikan laju investasi produktif antara 5 -10 persen dari GNP pada akhirnya akan menyebabkan pertumbuhan yang tinggi pada sektor-sektor dalam perekonomian, khususnya sektor manufaktur. Sektor manufaktur diharapkan memiliki tingkat pertumbuhan tertinggi karena sektor tersebut merupa kan indikator bagi perkembangan industrialisasi yang yang dilakukan. Di samping itu sektor manufaktur adalah sektor yang memiliki keterkaitan terbesar dengan se ktor-sektor lain. Jika sektor manufaktur berkembang pesat, maka sektor-sektor la in pun akan terpengaruh untuk berkembang pesat pula. Pada akhirnya pertumbuhan y ang tinggi pada semua sektor ini akan berakibat pada perkembangan GNP yang lebih tinggi dari kondisi semula. Prasyarat ketiga merupakan kondisi yang harus dipen uhi agar prasyarat pertama dan kedua dapat terpenuhi dengan baik. Prasyarat keti ga merupakan "iklim" yang memungkinkan terpenuhinya prasyarat pertama dan kedua terpenuhi. Tanpa terpenuhinya prasyarat ketiga, praktis prasyarat pertama dan ke dua tidak akan terpenuhi. Prasyarat ketiga ini menunjukkan kesadaran Rostow bahw a perubahan perekonomian pada dasarnya merupakan konsekuensi dari perubahan moti f dan inspirasi nonekonomi dari seluruh lapisan masyarakat. Artinya perubahan ek onomi dalam skala besar tidak akan terjadi selama tidak ada iklim kondusif 26

yang memungkinkan perubahan tersebut. lklim kondusif tersebut adalah perubahan f aktorfaktor nonekonomi dari masyarakat yang sejalan dengan proses pertumbuhan ek onomi yang terjadi. Tahap IV. Tahap Menuju Kedewasaan Tahap ini ditandai dengan penerapan secara efektif teknologi modern tertfadap sumberdaya yang dimiliki. Ta hapan ini merupakan tahapan jangka panjang di mana produksi dilakukan secara swa daya. Tahapan ini juga ditandai dengan munculnya beberapa sektor penting yang ba ru. Pada saat negara berada pada tahap kedewasaan teknologi, terdapat tiga perub ahan penting yang terjadi: (1) Tenaga kerja berubah dari tidak terdidik menjadi terdidik; (2) Perubahan watak pengusaha dari pekerja keras dan kasar berubah men jadi manager efisien yang halus dan sopan; (3) Masyarakat jenuh terhadap industr ialisasi dan menginginkan perubahan lebih jauh. Tahap V. Tahap Konsumsi Massa Ti nggi Tahap konsumsi massa tinggi merupakan akhir dari tahapan pembangunan yang d ikemukakan oleh Rostow. Pada tahap ini akan ditandai dengan terjadinya migrasi b esarbesaran dari masyarakat pusat perkotaan ke pinggiran kota, akibat pembanguna n pusat kota sebagai sentral bagi tempat bekerja. Penggunaan alat transportasi p ribadi maupun yang bersifat transportasi umum seperti halnya kereta api merupaka n suatu hal yang sangat dibutuhkann. Pada fase ini terjadi perubahan orientasi d ari pendekatan penawaran (supply side) menuju ke pendekatan permintaan (demand s ide) dalam sistem produksi yang dianut. Sementara itu terjadi pula pergeseran pe rilaku ekonomi yang semula lebih banyak menitikberatkan pada sisi produksi, kini beralih ke sisi konsumsi. Orang mulai berfikir bahwa kesejahteraan bukanlah per masalahan individu, yang hanya dipecahkan dengan mengkonsumsi barang secara indi vidu sebanyak mungkin, namun lebih dari itu mereka memandang kesejahteraan dalam cakupan yang lebih luas yaitu kesejahteraan masyarakat bersama dalam arti luas. Terlepas dari permasalahan di atas terdapat tiga kekuatan utama yang cenderung meningkatkan kesejahteraan dalam tahap konsumsi besar-besaran ini (Jhingan, 1988 : h.188): 1. 2. Penerapan kebijakan nasional guna meningkatkan kekuasaan dan pengaruh melampaui batas-batas nasional; Ingin memiliki satu negara kesejahteraan (welfare state) d engan pemerataan pendapatan nasional yang lebih adil melalui pajak progresif, pe ningkatan jaminan sosial, dan fasilitas hiburan bagi para pekerja; 27

3. Keputusan untuk membangun pusat perdagangan dan sektor penting seperti mobil, jaringan rel kereta api, rumah murah, dan berbagai peralatan rumah tangga yang menggunakan listrik dan sebagainya. Amerika merupakan satu-satunya negara yang p ertama kali mencapai era konsumsi massa tinggi ini, yaitu sekitar tahun 1920. Ha l yang sama kemudian diikuti oleh beberapa negara Eropa Barat. Satu-satunya nega ra di Asia yang telah mencapai tahap tersebut adalah Jepang. Kritik Terhadap Teo ri Rostow Pentahapan pembangunan seperti yang digambarkan oleh Rostow adalah sis tem pentahapan di mana suatu tahapan tidak dapat terjadi tanpa melalui tahapan y ang lain. Tahap kedua tidak dapat terjadi tanpa tahap pertama, tahap ketiga tida k akan terjadi tanpa tahap kedua dan seterusnya. Hal ini terjadi karena teori pe rtumbuhan Rostow merupakan pola penggambaran sejarah pembangunan yang dilakukan negara-negara di Eropa yang memiliki struktur sosial dan budaya yang mapan. Kondisi tersebut tidak terjadi p ada negara-negara di Asia dan Afrika yang belum memiliki sistem sosial yang tera tur. lnteraksi kebudayaan Barat, akibat kolonialisme, dalam kebudayaan Timur (ne gara sedang berkembang di Asia dan Afrika), menyebabkan tahapan dalam teori Rost ow terjadi secara simultan. Ketika di daerah perkotaan modern di negara sedang b erkembang sudah berada pada tahap tinggal landas, bahkan lebih tinggi lagi, seme ntara itu di daerah perdesaan sistem perekonomian dan kemasyarakatan masih berad a pada tahap tradisional. Di daerah perkotaan berkembang sistem sosial yang tela h berkiblat pada sistem sosial Barat. Pada saat yang bersamaan, di perdesaan san gat diwarnai sistem sosial tradisional. Kenyataannya, ada negara-negara di dunia yang tidak pernah melewati tahap pertam a dari pertumbuhan ekonomi Rostow, namun langsung menginjak tahap kedua. Amerika Serikat dan Australia merupakan negara yang mengalami pola pertumbuhan ini. Hal ini terjadi karena keduanya merupakan benua "temuan" orang-orang Eropa, di mana penduduknya yang saat ini ada adalah orang-orang Eropa yang kemudian mentransfe r ilmu dan pengetahuannya ke benua tersebut. Kritik gencar terhadap teori Rostow dikemukakan oleh Simon Kuznets (1989). Pertanyaan kritis yang diajukan Kuznets adalah: "Bagaimana mungkin suatu desain sederhana dapat menjadi suatu rangkuman diskriptif atau klasifikasi analitik dari suatu perubahan historis yang beragam dan bervariasi?" Kusnetz juga mencatat kemiripan dan perbedaan antara teori Rost ow dengan Marx. 28

Teori Rostow pada dasarnya merupakan alternatif bagi teori Marx, di mana Rostow menawarkan Communism Manifesto. Pada dasarnya terdapat beberapa kesamaan antara teori Marx dan Rostow. Pertama, kedua teori tersebut dengan berani menginterpret asikan evolusi sosial khususnya di sektor ekonomi. Kedua, balk Marx maupun Rosto w telah mencoba mengeksplorasi permasalahan dan konsekuensi dari pembangunan sos ial yang dilakukan. Ketiga, kedua ekonom tersebut menyadari bahwa perubahan sist em ekonomi pada dasarnya merupakan konsekuensi logis dari perubahan yang terjadi di bidang politik, kebudayaan, dan sosial. Sementara di sisi lain perubahan sis tem ekonomi akan berpengaruh juga terhadap kehidupan politik, kondisi budaya dan sosial masyarakat. Meski kedua teori banyak memiliki kesamaan, namun keduanya t idak lepas dari perbedaan satu dengan yang lain. Pertama, Marx memandang bahwa m an usia bersifat sangat kompleks yang memiliki berbagai dimensi kebutuhan dari e konomi sampai budaya. Di sisi lain, Rostow mempersempit dimensi manusia menjadi satu yaitu sebagai homo economicus. Meski demikian Rostow sadar bahwa perubahan ekonomi yang sangat besar harus dipandang sebagai konsekuensi dari perubahan mot if dan inspirasi dimensi nonekonomi dari manusia. Kedua, Marx mendasarkan teorin ya pada sistem konflik antarkelas masyarakat, eksploitasi satu kelompok manusia terhadap kelompok yang lain, dan adanya tekanantekanan semacam itu yang melekat pada sistem kapitalis. Sementara itu, Rostow lebih implisit dalam memandang inte raksi kelas masyarakat dalam sistem kapitalis mengingat Rostow sendiri adalah ek onom yang berkiblat ke kapitalis. Ketiga, Marx mengasumsikan bahwa keputusan yan g diambil oleh masyarakat semata-mata hanyalah fungsi dari siapa pemilik sumberd aya. Artinya perubahan ekonomi hanyalah merupakan fenomena yang hanya dipengaruh i oleh perubahan motif dan inspirasi ekonomis kelas masyarakat penguasa sumberda ya saja. Di sisi lain, Rostow memandang bahwa perubahan ekonomi pada dasarnya me rupakan konsekuensi logis dari perubahan motif dan inspirasi nonekonomi yang ter jadi pada seluruh lapisan masyarakat. Begitu panjangnya kritik terhadap teori Ro stow, tidak berlebihan bila dikatakan kritikkritik tersebut lebih panjang daripa da teori Rostow sendiri. Kendati demikian, harus diakui pola pemikiran maupun is tilah-istilah Rostow telah mempengaruhi pola pemikiran di banyak negara sedang b erkembang. Aspek yang terlupakan dalam teori Rostow adalah peran sentral bantuan luar negeri yang berfungsi sebagai penutup kesenjangan tabungan-investasi dan k esenjangan devisa. Rostow sendiri ketika diundang Bank Dunia (1984) untuk dimint ai tangapannya mengenai hal ini menilai bahwa bantuan luar negeri merupakan sala h satu faktor kritis dalam pembangunan negara sedang berkembang. Tidak mengheran kan bila is 29

menambahkan syarat tinggal landas bagi negara sedang berkembang sebagai berikut (Rostow dalam Meier dan Seers, 1984: h.239): The concept of take-off suggested t he possibility that developing countries would eventually move to self-sustained growth when soft loan would no longer be required. 3.2. TEORI PERUBAHAN STRUKTU RAL Teori perubahan struktural menitikberatkan pembahasan pada mekanisme transfo rmasi ekonomi yang dialami oleh negara sedang berkembang, yang semula lebih bers ifat subsisten dan menitikberatkan pada sektor pertanian menuju ke struktur pere konomian yang lebih modern, dan sangat didominasi oleh sektor industri dan jasa (Todaro, 1991: h.68). Dua teori utama yang menggunakan pendekatan perubahan stru ktural akan kita bahas berikut ini , yaitu teori pembangunan yang dikemukakan ol eh Arthur Lewis dengan teori migrasi, dan Hollis Chenery dengan teori transforma si struktural. 3.2.1. Teori Pembangunan Arthur Lewis Teori pembangunan Arthur Le wis pada dasarnya membahas proses pembangunan yang terjadi antara daerah kota da n desa, yang mengikutsertakan proses urbanisasi yang terjadi di antara kedua tem pat tersebut. Teori ini juga membahas pola investasi yang terjadi di sektor mode rn dan juga sistem penetapan upah yang berlaku di sektor modern, yang pada akhir nya akan berpengaruh besar terhadap arus urbanisasi yang ada. Mengawali teorinya , Lewis mengasumsikan bahwa perekonomian suatu negara pada dasarnya akan terbagi menjadi dua yaitu: 1. Perekonomian Tradisional Dalam teorinya Lewis mengasumsik an bahwa di daerah perdesaan, dengan perekonomian tradisionalnya, mengalami surp lus tenaga kerja. Surplus tersebut erat kaitannya dengan basis utama perekonomia n yang diasumsikan berada di dari perekonomian tradisional adalah bahwa tingkat hidup masyarakat berada pada kondisi subsisten akibat perekonomian yang bersifat subsisten pula. Hal ini ditandai dengan nilai nilai produk marginal (marginal p roduct) dari tenaga kerja yang bernilai nol, artinya fungsi produksi pada sektor pertanian telah sampai pada tingkat berlakunya hukum law of diminishing return. Kondisi ini menunjukkan bahwa penambahan input variabel, dalam hal ini tenaga k erja, justru akan menurunkan total produksi yang ada. Di sisi lain, pengurangan jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan di sektor pertanian tidak akan mengurangi tingkat produksi yang ada, akibat proporsi input variabel tenaga kerja yang 30

terlalu besar. Dalam perekonomian semacam ini, pangsa semua pekerja terhadap out put yang dihasilkan adalah sama. Dengan demikian, nilai upah riil ditentukan ole h nilai rata-rata produk marginal, dan bukan oleh produk marginal dari tenaga ke rja itu sendiri. 2. Perekonomian Industri Perekonomian ini terletak di perkotaan , di mana sektor yang berperan penting adalah sektor industri. Ciri dari perekon omian ini adalah tingkat produktivitas yang tinggi dari input yang digunakan, te rmasuk tenaga kerja. Hal ini menyiratkan bahwa nilai produk marginal terutama da ri tenaga kerja, bernilai positif. Dengan demikian, perekonomian perkotaan akan merupakan daerah tujuan bagi para pekerja yang berasal dari perdesaan, karena ni lai produk marginal dari tenaga kerja yang positif menunjukkan bahwa fungsi prod uksi belum berada pada tingkat optimal yang mungkin dicapai. Jika ini terjadi, b erarti penambahan tenaga kerja pada sistem produksi yang ada akan meningkatkan o utput yang diproduksi. Dengan demikian industri di perkotaan masih menyediakan l apangan pekerjaan, dan ini akan berusaha dipenuhi oleh penduduk perdesaan dengan jalan berurbanisasi. Lewis mengasumsikan pula bahwa tingkat upah di kota 30 per sen lebih tinggi daripada tingkat upah di perdesaan, yang relatif bersifat subsi sten dan tingkat upah cenderung tetap, sehingga bentuk kurva penawaran tenaga ke rja akan berbentuk horisontal. Perbedaan upah tersebut jelas akan melengkapi Jay a tarik untuk melakukan urbanisasi Perbedaan tenaga kerja dari desa ke kota dan pertumbuhan pekerja di sektor modern akan mampu meningkatkan ekspansi output yan g dihasilkan di sektor modern tersebut. Percepatan ekspansi output sangat ditent ukan oleh tingkat investasi di sektor industri dan akumulasi modal yang terjadi di sektor modern. Akumulasi modal yang nantinya digunakan untuk investasi hanya akan terjadi jika terdapat ekses keuntungan (profit) pada sektor modern, dengan asumsi bahwa pemilik modal akan menginvestasikan kembali modal yang ada ke indus tri tersebut. Model pertumbuhan dua sektor Lewis dapat dilihat pada Gam bar 3-1. Diagram 3-1a menunjukkan sistem perekonomian kota-modern dan diagram 3.1 b menu njukkan sistem perekonomian pertanian yang tradisional. Diagram sebelah kanan at as menunjukkan tingkat subsistensi produksi bahan makan pada berbagai tingkat pe nggunaan input tenaga kerja. Hal ini merupakan ciri khusus dari fungsi produksi yang dihadapi di sektor pertanian, di mana total produk bahan pangan (Tpa) diten tukan hanya oleh perubahan penggunaan input variabel, dalam hal ini diasumsikan input tenaga kerja merupakan merupakan satu-satunya input yang bersifat variabel , dengan input kapital 31

dan tenaga kerja yang bersifat konstan. Diagram bawah kanan menunjukkan kurva pr oduksi rata-rata (AP) dan produksi marginal (MP) tenaga kerja dalam perekonomian tradisional tersebut, yang diderivasi dari kurva tingkat produksi total. Jumlah tenaga kerja di sektor pertanian yang tersedia (0Ia) adalah sama pada kedua sis i horisontal kedua diagram tersebut. Lewis mengasumsikan bahwa 80 persen hingga 90 persen penduduk dalam negara tersebut tinggal di perdesaan. dan menggantungka n hidupnya pada sektor pertanian (Todaro, 1991: h.69). Lewis menggunakan dua asu msi utama untuk menjelaskan perekonomian tradisional. Pertama, karena terjadi su rplus tenaga kerja, maka nilai produk marginal dari tenaga kerja (Mpla) bernilai nol. Kedua, semua tenaga kerja di perdesaan memiliki sumbangan/pangsa yang sama terhadap output yang dihasilkan, sehingga upah tidak didasarkan pada produk mar ginal tetapi lebih pada produk rata-rata dari tenaga kerja tersebut. Dasumsikan bahwa sejumlah OLa(=O'La) pekerja di sektor pertanian memproduksi sebanyak 07 ba han makanan, yang sama artinya dengan pembagian secara proporsional terhadap sem ua orang sebanyak OA per orang. Hal in i menunjukkan bahwa OA adalah tingkat ava rage product yang ekuivalen dengan pembagian antara O'T/O'La. Nilai marginal pro duct pekerja Ola bernilai nol, seperti ditunjukkan pada diagram kanan bawah. Dia gram sebelah kiri atas (3-1a) menunjukkan kurva tingkat total produk dari sektor modern. Output dari komoditas manufaktur (Tpm) di sektor modern merupakan fungs i dari input tenaga kerja yang bersifat variabel (Lm), pada tingkat kapital (K) dan teknologi (t) yang tetap. Jumlah tenaga kerja yang digunakan untuk menghasil kan total produk sebesar O'TP1 pada saat jumlah kapital mencapai K1 adalah sebes ar O'L1. Sesuai dengan teori Lewis, tingkat akumulasi kapital akan terus meningk at dari K1 ke k2 dan seterusnya, karena berlakunya asumsi bahwa pengusaha akan m enginvestasikan kembali keuntungannya ke industri tersebut. 32

Hal ini akan menyebabkan total produk akan meningkat dari TP1 ke TP2 dan seterus nya. Dengan kurva total produk yang ada akan dapat diturunkan kurva produk margi nal. Dalam pasar tenaga kerja yang bersifat persaingan sempurna di sektor modern maka kurva produk marginal akan menunjukkan kurva permintaan tenaga kerja (Toda ro, 1991: h.70-71). Segmentasi sebesar OA pada diagram 3.1a dan 3.1b bagian bawa h, menunjukkan tingkat subsistensi pendapatan di sektor pertanian yang tradisioa nal. Segmentasi OW menunjukkan tingkat upah riil yang terjadi di sektor perkotaa n. Dengan konfigurasi upah seperti itu, penawaran tenaga kerja di sektor perdesa an diasumsikan memiliki elastisitas yang sempurna, atau dengan kata lain penawar an tenaga kerja adalah tidak terbatas. Tingkat upah sektor perkotaan yang lebih tinggi daripada upah riil di perdesaan, akan menyebabkan perpindahan tenaga kerj a dari desa ke kota, tanpa adanya risiko peningkatan tingkat upah itu sendiri. T ingkat keuntungan maksimal pengusaha di perkotaan akan terjadi pada saat margina l physical product (produk fisik marginal) sama dengan upah buruh. Titik 33

F,G,H, pada diagram 3.1a sebelah bawah menunjukkan tingkat keseimbangan tenaga k erja, yaitu pertemuan kurva permintaan dan penawaran tenaga kerja. Pada saat tot al produk adalah sebesar 07P1 (K1), kurva permintaan tenaga kerja dicerminkan ol eh kurva D1. Pada saat itu jumlah tenaga kerja yang dapat diserap adalah OL1. Da erah segi empat OWFL1 adalah pengeluaran untuk upah total yang dikeluarkan oleh pengusaha, yang berarti total penerimaan dari semua tenaga kerja yang bekerja di sektor modern, pada tingkat upah OW. Segitiga WD1 F merupakan total keuntungan yang diperoleh oleh pengusaha. Jika asumsi dasar bahwa keuntungan yang diperoleh pengusaha akan diinvestasikan kembali, maka modal yang digunakan pada proses pr oduksi meningkat menjadi K2. Itu berarti bahwa tingkat produksi total adalah O'T P2, dengan mempekerjakan pekerja sebanyak OL2, yang berarti mengalami peningkata n permintaan tenaga kerja dari D1 ke D2. Konsekuensinya jumlah yang dapat disera p oleh sektor modern akan meningkat, meski pada tingkat upah yang tetap. Di sisi lain pengusaha mengalami peningkatan keuntungan, yang nantinya akan diinvestasi kan lagi di sektor tersebut. Proses pertumbuhan sektor modern di atas dan mengal irnya arus tenaga kerja yang berurbanisasi diasumsikan akan terus berlanjut samp ai surplus tenaga kerja yang terjadi di perdesaan terserap sepenuhnya di sektor modern. Teori Lewis tentang penawaran tenaga kerja yang tak terbatas banyak dikr itik karena asumsi-asumsi dasarnya banyak yang tidak relevan dengan untuk negara sedang berkembang (NSB). Pertama, Lewis mengasumsikan bahwa tingkat perpindahan tenaga kerja dan pembukaan lapangan kerja di sektor modern proporsinal dengan t ingkat akumulasi modal di sektor modern. Diharapkan semakin cepat akumulasi kapi tal di sektor modern, maka akan semakin mendorong pertumbuhan sektor tersebut, y ang pada akhirnya akan meningkatkan pembukaan lapangan kerja baru. Pada kenyataa nnya keuntungan yang ada direinvestasikan untuk peralatan penunjang produksi yan g bersifat menghemat tenaga kerja (laborsaving) dan Iebih canggih daripada reinv estasi pada peralatan dengan tingkat teknologi yang ada seperti yang telah digun akan sebelumnya. Hal ini tentunya menyebabkan reinnvestasi yang dilakukan tidak akan berpengaruh terhadap penyediaan lapangan kerja baru, yang secara ekstrem di tunjukkan pada penggunaan tenaga kerja yang tetap (Iihat Gambar 3-2). Fenomena t ersebut justru menunjukkan bahwa keuntungan yang diperoleh pengusaha semakin men ingkat, sementara penerimaan pekerja dan jumlah pekerja yang digunakan dalam pro ses produksi tidak mengalami perubahan. 34

Kedua, asumsi bahwa di perdesaan mengalami surplus tenaga kerja, sedangkan di pe rkotaan mengalami kekurangan tenaga kerja, tampaknya merupakan hal yang sulit di temukan di negara berkembang. Artinya asumsi tersebut tidak realistis untuk dite rapkan di negara berkembang, mengingat kondisi yang ada justru sebaliknya. Para ekonom sepakat bahwa di negara berkembang yang terjadi justru di perkotaan terda pat surplus tenaga kerja, sementara di perdesaan mulai mengalami kekurangan tena ga kerja. Ketiga, asumsi dasar lain dari teori Lewis yang tidak realistis adalah bahwa di sektor modern, pasar tenaga kerja akan rrfenjamin tingkat upah berada pada tingkat yang tetap sampai penawaran tenaga kerja mengalami penurunan. Kenya taan menunjukkan bahwa di negara-negara sedang berkembang terjadi kecenderungan peningkatan nilai upah secara terus menerus baik di daerah perdesaan maupun di p erkotaan. Keberadaan serikat pekerja, dan tuntutan penetapan upah minimum yang m anusiawi merupakan dua sumber utama upaya peningkatan upah di kedua sektor perek onomian tersebut. Jika kita amati lebih lanjut, teori pertumbuhan Lewis ini pada dasarnya termasuk salah satu teori pendukung kapitalisme. Hal ini dicerminkan d ari perbedaan proporsi pendapatan yang diterima antara pengusaha dan tiap-tiap t enaga kerja yang dipekerjakan. Jika teori yang dikemukakan oleh Lewis terbukti t erjadi di dunia nyata, maka akan terlihat bahwa reinvestasi yang ada semakin men ingkatkan penerimaan pengusaha. Di sisi lain reinvestasi 35

ini hanya akan meningkatkan jumlah pekerja yang bekerja di industri tersebut, da n tidak akan berpengaruh terhadap kemungkinan peningkatan pendapatan dari masing -masing pekerja. Dengan demikian pertumbuhan yang terjadi hanya akan menguntungk an para pengusaha, sementara pendapatan pekerja relatif tetap, dan baru dapat me ngalami peningkatan jika penawaran tenaga kerja di daerah surplus (perdesaan) me ngalami penurunan. 3.2.2. Teori Pola Pembangunan Chenery Analisis teori Pattern of Development memfokuskan terhadap perubahan struktur dalam tahapan proses peru bahan ekonomi, industri dan struktur institusi dari perekonomian negara sedang b erkembang, yang mengalami transformasi dari pertanian tradisional beralih ke sek tor industri sebagai mesin utama pertumbuhan ekonominya. Penelitian yang dilakuk an Hollis Chenery tentang transformasi struktur produksi menunjukkan bahwa sejal an dengan peningkatan pendapatan per kapita, perekonomian suatu negara akan berg eser dari yang semula mengandalkan sektor pertanian menuju ke sektor industri. D iagram 3-3 menunjukkan bahwa pangsa pasar sektur industri dalam GNP meningkat da n pangsa pasar dari sektor pertanian nengalami penurunan, saat GNP/kapita mening kat. Sebagai contoh, pada saat nilai GNP per kapita US$200 maka pangsa produk se ktor primer menguasai 45 persen dart total GNP, sementara sektor industri hanya menyumbang 15 persen saja. Pada saat pendapatan/kapita mencapai US$1000, sumbang an sektor primer dalam GNP h;engalami penurunan 20 persen sementara sektor indus tri meningkat 28 persen (todaro, 1991: h. 74-5). Chenery kemudian membuat pengel ompokkan negara sesuai dengan proses perubahan struktural yang dialami berdasark an tingkat pendapatan per kapita penduduknya. Untuk negara dengan tingkat pendap atan per kapita kurang dari US$600 dikelompokkan ke dalam negara yang baru malak ukakn pembangunan atau sering disebut negara sedang berkembang. Sementara itu ne gara dengan nilai pendapatan per kapita antara US$600 hingga US$3000 digolongkan sebagai negara dalam fase transisi pembangunan. Penggolongan ini didasarkan pad a harga-harga yang terjadi pada tahun 1976, mengingat penelitian yang dilakukan oleh Chenery dilakukakn pada tahun tersebut. Perubahan waktu tentunya juga akan berdampak pada perubahan interval dan nilai batas dari pendapatan per kapita yan g menjadi standar pengelompokkan tersebut. Peningkatan peran sektor industri dal am perekonomian sejalan dengan peningkatan pendapatan per kapita yang terjadi di suatu negara, berhubungan erat dengan akumulasi kapital dan peningkatan sumberd aya manusia (human capital). Gambar 3-3 menunjukkan 36

bahwa semakin tinggi tingkat investasi sektor riil dan di sektor pendidikan guna meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Sejalan dengan proses perubahan struk tural, pada suatu tingkat tertentu terjadi penurunan konsumsi terhadap bahan mak anan, khususnya jika ditinjau dari permintaan domestik. Sumber : Hollis Cheney and Mises Syrquin. Patterns of Development, 1950-70 (Lond on: Oxford University Press, 1975), Figures 1, 2, 3. Penurunan permintaan terhad ap bahan pangan ini ternyata akan dikompensasikan oleh peningkatan permintaan te rhadap barang-barang non kebutuhan pangan, peningkatan investasi, dan peningkata n anggaran belanja pemerintah, yang mengalami peningkatan dalam struktur GNP yan g ada. Di sektor perdagangan internasional terjadi juga perubahan yaitu peningka tan nilai ekspor dan impor. Sepanjang perubahan struktural ini berlangsung, terj adi peningkatan pangsa ekspor komoditas hasil produksi sektor industri dan penur unan pangsa sektor yang sama pada sisi impor. Dari sisi tenaga kerja, akan terja di proses seperti halnya yang dikemukakan oleh Lewis, yaitu bahwa akan terjadi p erpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian di desa menuju sektor industri di perkotaan, meski pergeseran ini masih tertinggal (lag) dibandingkan proses perub ahan struktural itu sendiri. Dengan keberadaan lag inilah maka sektor pertanian akan berperan penting dalam peningkatan penyediaan tenaga kerja, baik pada awal hingga akhir dari proses transformasi struktural tersebut. Produktivitas tenaga 37

kerja di sektor pertanian yan rendah, lambat laun akan mulai meningkat, dan memi liki produktivitas yang sama dengan pekerja di sektor industri pada masa transis i. Dengan demikian, produktivitas tenaga kerja dalam perkonomian secara menyelur uh akan mengalami peningkatan (Todaro, 1991: h.76). Selama proses transformasi s truktural tidak berarti segalanya berjalan mulus. Suatu proses yang sedang terja di tentunya akan membawa dua konsekuensi sekaligus, pertama adalah sisi positif dan lainnya adalah sisi negatif. Salah satu sisi negatif dari perubahan struktur al tersebut adalah meningkatnya arus urbanisasi yang sejalan dengan derajat indu strialisasi yang dilakukan. Industrialisasi dan urbanisasi pada beberapa hal jus tru menghambat proses pemerataan hasil pembangunan, di mana peningkatan pendapat an hanya akan terjadi di sektor modern-perkotaan. Sementara itu sektor perdesaan , yang banyak ditinggalkan oleh para pekerja, mengalami pertumbuhan yang lambat, sehingga jurang pemisah antara kota dan desa justru meningkat dengan kondisi te rsebut. Transformasi struktural hanya akan berjalan dengan baik jika diikuti den gan pemerataan kesempatan belajar, penurunan laju pertumbuhan penduduk, dan penu runan derajat dualisme ekonomi antara kota dan desa. Jika hal tersebut dipenuhi maka proses transformasi struktural akan diikuti oleh peningkatan pendapatan dan pemerataan pendapatan yang terj