5 Sekawan-17. Rahasia Logam Ajaib

download 5 Sekawan-17. Rahasia Logam Ajaib

of 109

Transcript of 5 Sekawan-17. Rahasia Logam Ajaib

RAHASIA LOGAM AJAIBEbook by Syauqy_arr - OCR by Raynold Bab 1 NATAL YANG MENGECEWAKAN

"Menurut perasaanku, belum pernah kita mengalami liburan Natal yang begini mengecewakan," kata Dick. "Kasihan George! Dia sengaja kemari untuk melewatkan hari-hari Natal bersama kita eh, tahu-tahu kita semua terserang batuk dan pilek," kata Julian. "Ya - tidak enak rasanya meringkuk di tempat tidur pada Hari Natal," kata George. "Tapi yang paling menyebalkan, aku juga tidak bernafsu makan sama sekali. Bayangkan, hal begitu terjadi justru pada Hari Natal! Tak kusangka nasibku akan sesial itu." "Cuma Timmy saja satu-satunya dari kita yang tidak jatuh sakit," kata Anne sambil menepuk-nepuk anjing itu. "Kau baik hati Tim, sewaktu kami berempat masih tergeletak semua di tempat tidur. Kau menemani kami!" Timmy menggonggong dengan lagak serius. Perayaan Natal sekali itu, sama sekali tidak menggembirakan baginya. Apalah enaknya, kalau keempat kawannya berbaring terus di tempat tidur, batuk-batuk serta bersin terus-menerus! "Yah - pokoknya sekarang kita sudah sembuh lagi," kata Dick. "Cuma kakiku, rasanya masih aneh!" "Eh, kau juga merasa begitu ya," kata George. "Kusangka aku saja yang berperasaan begitu. "Kita semua begitu - tapi sekarang kan sudah mampu bangun lagi," kata Julian, "jadi sebentar lagi pasti rasa itu akan hilang juga. Yang jelas minggu depan kita sudah harus sekolah lagi - jadi perlu lekas-lekas merasa sehat kembali!" Anak-anak mengerang, disusul batuk-batuk. "Ini payahnya benih penyakit yang menyerang kita," kata George. "Setiap kali kita tertawa, berbicara keras atau mengerang, langsung terasa ingin batuk. Bisa gila aku nanti, jika batuk ini tidak lekas-lekas hilang. Tidak bisa tidur rasanya malam hari!" Anne pergi ke jendela.

"Salju sudah turun lagi," katanya. "Tidak banyak - tapi indah nampaknya. Coba kita tidak sakit, bisa seminggu kita asyik bermain di tengah salju. Tidak enak rasanya liburan seperti begini." George menyertainya, berdiri di jendela sambil memandang ke luar. Saat itu sebuah mobil berhenti di depan rumah. Seorang laki-laki tegap yang kelihatannya periang keluar dari kendaraan itu, lalu berjalan bergegas-gegas ke pintu depan rumah. "Pak Dokter datang," kata Anne. "Taruhan, ia nanti mengatakan kita sudah cukup sembuh sekarang, sehingga minggu depan bisa bersekolah kembali." Sesaat kemudian pintu kamar terbuka. Pak Dokter masuk, disertai ibu Julian, Dick dan Anne. Ibu kelihatannya capek! Tentu saja - karena mengurus empat anak sakit, serta seekor anjing yang kesepian; memang tidak bisa dibilang pekerjaan gampang! "Nah, ini mereka - sudah mampu meninggalkan tempat tidur," kata Ibu. "Tapi kelihatannya masih lesu, Pak!" "Ya, memang - tapi sebentar lagi pasti akan segar bugar 'kembali," kata Pak Dokter. Ia memeriksa anak-anak secara bergilir. "George yang nampak paling payah - rupanya dia ini tidak sekuat saudara sepupunya." Muka George berubah. Kelihatan jengkel mendengar komentar Pak Dokter. Dick terkekeh geli. "Kasihan George - anak yang paling lemah," katanya mengejek. "Demamnya paling tinggi, batuknya paling uhuk-uhuk, kalau mengerang paling memelas, dan dia juga...." Kalimat selanjutnya tak terdengar jelas, karena saat itu juga ada bantal besar melayang mengenai mukanya. Dick mengambil bantal itu, lalu dilemparkannya kembali ke arah George. Anak-anak tertawa. Dan seperti sudah bisa dibayangkan, tawa mereka itu disusul oleh batuk-batuk. Pak Dokter sampai terpaksa mendekap telinga mendengarnya. "Apakah mereka akan sudah bisa bersekolah lagi nanti?" tanya Ibu gelisah. "Yah, kenapa tidak - tapi pertama-tama batuk mereka itu harus lenyap dulu," kata Pak Dokter. Ia memandang ke luar, memperhatikan salju yang turun. "Sebetulnya kalau bisa tapi tidak - kurasa tidak mungkin - tapi.... "Tapi apa, Dokter?" tanya .Dick penuh minat. "Kami mau disuruh istirahat sambil main ski di Swis? Setuju, Dokter, setuju!" Pak Dokter tertawa. "He, he - jangan buru-buru, katanya. "Bukan begitu, aku sama sekali tidak bermaksud mengirim kalian begitu jauh! Cukup di dekat-dekat sini, asal daerahnya berbukit-bukit.

Jangan tempat yang terlalu dingin, tapi salju di situ tidak begitu cepat mencair - supaya kalian bisa main ski dan berseluncur dengan kereta peluncur. Kalau ke Swis, biayanya kan maha!!" "Ya, memang," kata Julian. "Tapi berlibur musim dingin di sekitar sini juga sudah lumayan." "O ya!" kata George. Matanya berkilat-kilat. "Sebagai pengganti liburan Natal yang menjengkelkan ini! Maksud Pak Dokter kami pergi sendiri? Kami sih mau saja!" "Yah - mestinya ada seseorang yang mengawasi," kata Pak Dokter. "tapi itu terserah bibimu." "Kalau aku, aku setuju dengan kata George tadi," kata Julian. "Ibu juga sependapat kan, ya Bu? Pasti Ibu ingin bebas dari kami untuk beberapa waktu! Ibu kelihatannya capek sekali." Ibunya tersenyum. "Yah - jika kalian memang memerlukannya - bertetirah sebentar untuk menghilangkan batuk- aku sama sekali tidak berkeberatan! Harus kuakui, aku juga tidak menampik kesempatan istirahat sebentar, sementara kalian bersenang-senang main salju! Nantilah kubicarakan dulu dengan Ayah." Saat itu Timmy menggonggong. Sambil menegakkan telinga, dipandangnya Pak Dokter. "Kata Timmy, ia juga kepingin bertetirah bersama kami," kata George. "Coba kuperiksa lidahmu. Dan kemarikan kakimu, kulihat apakah panas atau tidak," kata Pak Dokter berlagak serius Timmy meletakkan kaki depannya ke telapak tangan Pak Dokter, seakan-akan minta diperiksa. Keempat anak-anak itu tertawa geli - dan langsung disambung dengan batuk-batuk lagi! Pak Dokter sampai menggeleng-geleng. "Aduh, berisiknya," katanya. "Menyesal aku membuat kalian tertawa. Yah - aku takkan datang lagi memeriksa kalian, sampai saat menjelang sekolah dimulai. Harap aku diberi tahu apabila waktunya sudah tiba. Jadi untuk sementara begini sajalah! Selamat bersenang-senang, sambil bertetirah nanti!" "Terima kasih, Dokter!" kata Julian. "Kami akan memberi kabar, jika batuk kami sudah hilang!" Begitu Pak Dokter pergi, anak-anak langsung mengadakan perembukan dengan Ibu. "Kami. betul-betul bisa bertetirah kan, Bu?" tanya Dick penuh harap. "Sebaiknya secepat mungkin karena Ibu tentu sudah capek dirongrong batuk kami, siang dan malam ....."

"Ya, kurasa kalian memang perlu bepergian sebentar, sekitar seminggu sampai sepuluh hari," kata Ibu, "Tapi soalnya, tetirah ke mana? Kalian biasa ke rumah George tentunya.... tapi itu kan di pantai... lagipula kurasa ayah George tentunya takkan gembira jika kedatangan empat orang anak yang batuk-batuk terus!" "Memang, pasti ayahku akan pusing karenanya," kata George. "Begitu kami ada di sana, pasti ia akan membanting pintu kamar kerjanya, masuk ke tempat kita sambil berteriak, 'Siapa.....", Tapi begitu George menirukan ayahnya berteriak, batuknya langsung menyerang lagi. "Sudahlah, George," kata bibinya. "Coba minum air, biar batukmu terhenti." Mereka lantas melanjutkan perundingan, enaknya ke mana mereka pergi bertetirah. Sementara itu salju turun terus di luar. Dick menghampiri jendela. Ia senang melihat salju turun. "Coba kalau kita bisa menemukan suatu tempat yang letaknya tinggi di atas bukit, seperti yang disuruh Pak Dokter tadi! Di situ kita bisa main ski dan berseluncur dengan kereta kita," katanya. "Wah, baru membayangkannya saja, lalu badanku sudah bertambah enak rasanya. Mudah-mudahan salju turun terus." "Sebaiknya kita menghubungi salah satu kantor pariwisata, untuk menanyakan apakah mereka memiliki penawaran yang menarik," kata ibunya. "Misalnya saja rumah tetirah musim panas di bukit. Rumah-rumah begitu pada musim dingin kosong, jadi kalian bisa memilih, mau pondok atau rumah." Tapi ketika Ibu menelepon, ternyata perkiraannya meleset. Semua kantor pariwisata yang dihubungi, dengan sangat menyesal terpaksa menyatakan tidak bisa melayani. Soalnya bukan karena tempat-tempat tetirah itu tidak ada. Tapi karena memang tidak disewakan pada musim dingin. Anak-anak kecewa. Tapi tahu-tahu persoalan itu kemudian berhasil diatasi, dengan bantuan seseorang yang sama sekali tidak diduga bisa membantu. Orang itu Pak Jenkins, tukang kebun mereka. Hari itu laki-laki tua itu tidak banyak kerja. Tugasnya cuma menyingkirkan salju yang menyelimuti jalan yang menuju ke pintu depan. Ia tertawa ramah ketika melihat anakanak sedang memperhatikan dari balik jendela, lalu datang menghampiri. "Nah, apa kabar kalian sekarang?" serunya dari luar. "Mau apel? Kata Ibu, kalian tidak berselera makan apel - dan buah pir juga! Tapi mungkin sekarang sudah mau!"

"Tentu saja," balas Julian. Ia tidak berani membuka jendela. Takut dimarahi ibunya, kalau tiba-tiba masuk dan melihatnya berdiri di jendela yang terbuka sambil menjulurkan kepala ke luar. "Tolong antarkan masuk, Pak - sambil mengobrol dengan kami!" Sesaat kemudian Pak Jenkins masuk ke dalam kamar, menjinjing keranjang penuh buah apel dan pir yang serba ranum. "Bagaimana keadaan kalian sekarang?" tanya sekali lagi dengan logat Wales yang lembut. Pak Jenkins memang berasal dari daerah Pegunungan Wales. "Kalian kurus, dan juga pucat-pucat! Kalian ini perlu menghirup udara Pegunungan Wales, yang segar." "Hawa gunung? Justru itu yang dianjurkan oleh Pak Dokter tadi!" kata Julian sambil membenamkan giginya ke dalam buah pir yang ada dalam tangan. "Pak Jenkins tahu salah satu tempat yang bisa kami datangi?" "Bibiku, dia biasa menyewakan kamar pada turis selama musim panas," kata laki-laki tua itu. "Namanya Glenys - Bibi Glenys. Bibi memasaknya hebat sekali! Tapi sekarang musim dingin. Aku tidak tahu apakah ia menyewakan kamar pada musim dingin! Maklumlah, di sana letaknya di lereng bukit. Tempat itu menyenangkan selama musim panas. Tapi sekarang yang ada di sana tidak lain kecuali salju. Cuma salju melulu!" "Tapi justru itu yang kami cari," kata Anne gembira. "Ya kan, Ju? Bu! Ibu! Mana sih Ibu?" Ibu datang bergegas-gegas, khawatir kalau ada yang jatuh sakit lagi. Ia tercengang ketika melihat Pak Jenkins ada dalam kamar. Dan keheranannya bertambah lagi, mendengar laporan anak-anak yang berbicara berebut-rebut. Belum lagi Timmy yang ikut-ikut ribut menggonggong-gonggong. Sedang Pak Jenkins cuma berdiri saja sambil memutar-mutar topi, tidak tahu harus berbuat apa. Keributan baru terhenti ketika Julian dan Dick terbatuk-batuk lagi. "Sekarang kalian pergi ke atas, lalu minum obat batuk dulu," kata Ibu dengan tegas. "Aku ingin bicara dengan Jenkins, untuk mengetahui ada apa sebenarnya tadi. Sudah, jangan membantah lagi, Dick. Cepat, ke atas!" Anak-anak naik ke tingkat atas, meninggalkan Ibu berbicara dengan tukang kebun yang sedang bingung.

"Sialan batuk ini!" kata Dick, sambil menuangkan obat batuk sesendok penuh untuknya sendiri. "Wah, moga-moga saja Ibu bisa mengaturnya dengan bibi Pak Jenkins. Bisa gila aku rasanya, jika batuk ini tidak mau hilang juga!" "Kurasa kita akan bisa ke tempat itu," kata Julian. "Ide yang datang secara tiba-tiba, biasanya berhasil!" Ternyata dugaannya tidak meleset. Musim semi yang lalu ibunya sempat berkenalan dengan bibi Pak Jenkins, ketika wanita tua itu datang mengunjungi Pak Jenkins. Pak Jenkins waktu itu mengajaknya untuk diperkenalkan dengan juru masak. "Aku akan menelepon bibi Jenkins," kata Ibu ketika Dick dan Julian masuk lagi ke kamar. "Namanya kan Bu Jones, Bu Glenys Jones? Kalau Bu Jones mau menerima kalian - nah, dalam waktu satu dua hari ini kalian akan sudah bisa berangkat ke sana!"

Bab 2 KE MAGGA GLEN Dengan segera semuanya sudah diatur. Bu Jones, yang ditelepon, suaranya terdengar jelas sekali. Terdapat kesan, dengan senang hati ia menyambut kedatangan keempat anak itu. "Ya Bu, saya mengerti. Anda tidak perlu khawatir, dalam waktu sehari saja batuk mereka pasti akan sudah lenyap di sini. Dan bagaimana kabar Pak Jenkins, keponakanku? Mudah-mudahan saja pekerjaannya masih bisa tetap memuaskan! Wah, dulu dia bandel sekali, dan ....." "Bu, tolong katakan kami membawa anjing," kata Julian berbisik di telinga ibunya. Ia berbuat begitu, setelah melihat George menggerak-gerakkan tangan memberi isyarat. Mula-mula membujuk Timmy, lalu menuding pesawat telepon yang dipegang oleh bibinya. "0 ya - Bu Jones - kecuali empat anak itu, seekor anjing akan ikut! pula," kata Ibu. "Apa? Anda punya tujuh ekor anjing? Astaga! Ah, betul - untuk menggembala biri-biri - ya, tentu saja!" "Di sana ada tujuh, Timmy!" kata George pelan pada anjingnya. Ekor Timmy langsung melambai-lambai. "Nah, apa katamu sekarang? Tujuh ekor bayangkan! Pasti asyik kau nanti bermain-main dengan mereka." "Sst!" desis Julian, melihat ibunya melirik ke arah George dengan sikap jengkel. Julian merasa lega, karena tetirah itu ternyata bisa diurus dengan cepat. Seperti yang lain-lain juga, ia sudah mulai merasa sebal, karena terkurung terus dalam rumah. Pasti enak, bisa

bepergian sebentar. Ia berpikir-pikir, di mana waktu itu alat-alat untuk main ski disimpan... Anak-anak bersemangat lagi, ketika segala-galanya sudah selesai diurus. Mereka tidak perlu lagi mendekam terus di rumah, merindukan kesibukan! Timmy bisa diajak berjalanjalan sampai jauh - dan Lima Sekawan bisa berkelana lagi. Tidak ada yang lebih mengasyikkan daripada itu! Pak Jenkins membantu mereka mencari kereta luncur serta peralatan ski. Setelah ditemukan langsung dibawa ke dalam rumah, untuk dibersihkan. Mereka terbatuk-batuk kena debu beterbangan. Tapi tak ada yang peduli. Masih dua hari lagi -lalu kita berangkat!" kata Dick. "Perlukah kita membawa sepatu untuk berseluncur di es?" "Tidak, karena kata Pak Jenkins tidak ada tempat untuk itu di sekitar pertanian bibinya," kata George. "Wah - banyaknya pakaian hangat yang dibawa ibumu, Ju! Kayak kita ini mau ke kutub utara saja!" "Aduh Bu - kalau semuanya itu harus kami pakai sekaligus, mana bisa main ski nanti!" kata Julian pada ibunya. "Bukan main - syal sampai enam lembar! Biar Timmy juga disuruh memakai selembar, masih tetap kebanyakan satu!" "Kan mungkin saja nanti ada yang basah," kata ibunya. "Kan tidak apa-apa jika kalian membawa pakaian terlalu banyak! Kalian akan naik mobil ke sana - jadi semua bisa diangkut dengan mudah." "Teropongku akan kubawa juga," kata Dick, "karena siapa tahu, mungkin nanti ada gunanya. Wah George, mudah-mudahan saja Timmy akan berteman dengan anjinganjing yang ada di sana. Kalau tidak cocok - bisa gawat nanti! Timmy kan kadangkadang suka galak terhadap anjing lain - apalagi jika perhatian kita terlalu besar pada anjing itu!" "Ah, dia pasti akan tahu aturan," kata George. "Dan memang kita tidak perlu memperhatikan anjing lain! Kan sudah ada Timmy!" "Ya deh, Bu Guru!" kata Dick. George langsung berhenti mengelap sepatu ski, dan melemparkan lap ke arah saudara sepupunya itu! Ya - suasana sudah mulai normal kembali. Anak-anak sudah merasa jauh lebih sehat, ketika tiba saat bagi mereka untuk berangkat. Cuma batuk mereka saja yang masih belum mau hilang! "Mudah-mudahan jika kalian kembali nanti, kalian sudah tidak batuk lagi," kata Ibu pada Julian, "Sedih rasanya mendengar kalian terbatuk-batuk terus, siang malam!" "Kasihan Ibu - tentunya repot sekali selama ini," kata Julian, sambil memeluk ibunya. "Ibu benar-benar baik hati! Tentu Ibu akan lega, jika kami sudah berangkat nanti."

Akhirnya mobil yang ditunggu-tunggu datang juga. Sebuah mobil sewaan yang besar sekali! Untung saja, karena barang-barang yang dibawa juga tidak sedikit. Supir mobil itu periang. Ditolong oleh Pak Jenkins, dengan segera barang-barang sudah dikemaskan ke dalam tempat bagasi. Sisanya ditaruh di atas kap, dan diikat erat-erat. "Beres, Bu!" kata supir kemudian. "Semua sudah dimasukkan! Sekarang masih cukup pagi, jadi sebelum gelap kami pasti akan sudah tiba di Magga Glen." "Kami sudah siap untuk berangkat," kata Julian. Supir mengangguk sambil tersenyum, lalu duduk di belakang setir. Dick duduk di sampingnya, sedang yang tiga lagi mengambil tempat di jok belakang bersama Timmy. Semua menarik napas lega, ketika akhirnya mobil berangkat meninggalkan pekarangan rumah. Nah - sekarang mereka sudah tidak terkurung lagi seperti sebelumnya! Pak Jenkins berdiri di pintu gerbang. Ia melambaikan tangan ketika mobil lewat. "Salam pada Bibi!" serunya, sebelum menutup pintu. Pak Suppir ternyata orang yang gemar mengobrol. Ia bertanya tentang keadaan anakanak. Ia juga bercerita tentang dirinya sendiri serta keluarganya. Padahal saudarasaudaranya ada sebelas orang! Jadi cukup lama juga .ja bercerita. Menjelang siang mereka berhenti di tengah jalan untuk makan. Mereka tidak mampir di restoran, karena membawa bekal dari rumah. Baru saat itu mereka merasa lapar lagi, sejak mereka jatuh sakit. "He! Aku benar-benar bisa mencicip rasa roti sandwich ini!" seru George heran. "Kau bagaimana, Anne?" "Ya - tidak lagi terasa kayak kardus, seperti rasa semua makanan selama kita sakit!" jawab Anne. "Wah, Tim - sekarang kau tidak bisa menjejal perutmu penuh-penuh, karena selera makan kami sudah bangkit kembali!" Mereka tertawa, dan tertawa itu menyebabkan semuanya terbatuk-batuk. Pak Supir menggeleng-geleng. "Wah, gawat juga batuk kalian!" katanya. "Aku lantas teringat pada saat ketika kami sekeluarga terserang batuk kering - kedua belasnya sekaligus. Bayangkan, bunyinya seperti ada barisan pemadam api lewat!"

Anak-anak tertawa lagi - dan dengan sendirinya juga terbatuk-batuk pula sesudahnya. Tapi kini tak ada yang mempedulikannya, karena sebentar lagi tentu akan lenyap. Ya, jika mereka sudah menghirup udara pedesaan yang segar! Ternyata perjalanan ke Magga Glen cukup lama juga. Ketika mobil berangkat lagi setelah makan siang, anak-anak tertidur di dalamnya. Pak Supir tersenyum, sambil melirik anakanak tidur saling bersandar. Cuma Timmy saja satu-satunya yang tetap bangun. Sekitar pukul setengah empat mereka mampir di sebuah restoran desa untuk minum teh. "Jalan-jalanlah sedikit, supaya darah mengalir lagi ke kaki," kata Pak Supir sambil keluar dari mobil. "Aku sendiri juga perlu melemaskan kaki yang terasa pegal. Aku akan ke kedai yang di sana itu, untuk mengobrol sebentar sambil minum teh bersama kawankawanku yang sering berkumpul di tempat itu. Kalian mampir di restoran ini saja. Kuekue di sini enak! Nanti seperempat jam lagi kita melanjutkan perjalanan. Tidak boleh lebih lambat dari seperempat jam, karena nanti akan kemalaman di jalan. Perjalanan kita masih sekitar satu jam lagi." Enak juga rasanya bisa meluruskan kaki, setelah duduk selama berjam-jam dalam mobil. Apalagi setelah selera makan mereka pulih seperti biasanya. Anak-anak tidak menyianyiakan kesempatan itu, untuk mengisi perut sekenyang-kenyangnya. "Enak rasanya bisa merasa lapar lagi, setelah berhari-hari melihat roti bersemir mentega saja sudah tidak mampu," kata Julian. "Aku sadar bahwa kita benar-benar sakit, sewaktu kita tidak mau makan es krim, walau sudah ditawarkan oleh Ibu!" "Kakiku rasanya masih agak aneh," kata Anne, ketika mereka berjalan kembali ke mobil. "Tapi setidak-tidaknya sekarang sudah terasa merupakan bagian dari diriku sendiri!" Mobil meluncur lagi. Mereka sudah memasuki daerah Wales sekarang. Gunung-gunung sudah mulai nampak menjulang di kejauhan. Cuaca sore itu cerah. Daerah yang mereka lewati tidak nampak begitu putih diselimuti salju, dibandingkan dengan daerah sekitar tempat tinggal mereka. "Moga-moga saja salju tidak sudah mulai mencair di tempat tujuan kita," kata Dick. "Pegunungan sana nampak masih putih, tapi di lembah sini nyaris tidak ada salju lagi." Julian memperhatikan papan penunjuk jalan yang dilewati saat itu. Terbaca olehnya kata yang kalau tidak salah berbunyi 'Cymryhlli'. "Anda melihat juga papan penunjuk jalan tadi?" tanyanya pada Pak Supir. "Apakah kita sudah harus mulai memperhatikan nama Magga Glen?" "Ya, aku pun sedari tadi sudah sibuk memperhatikan," jawab Pak Supir. "Aneh - kenapa belum nampak juga."

"Aduh, mudah-mudahan saja kita tidak salah jalan," kata Anne. "Sebentar lagi hari sudah gelap." Mobil meluncur terus. "Kita harus memasang mata, kalau-kalau ada desa nanti," kata Julian. Tapi tak ada lagi desa yang dilewati. Mereka juga tidak melihat papan penunjuk jalan. Hari mulai malam. Tapi untung ada bulan di langit. Walau baru bulan muda, tapi setidak-tidaknya sekeliling mereka tidak gelap gulita. "Anda pasti kita tadi tidak salah jalan?" tanya Dick pada Pak Supir. "Jalanan mulai tidak rata! Dan sudah lama kita tidak lagi melewati pertanian." "Yah - mungkin saja kita salah jalan," kata Pak Supir, sambil memperlambat kecepatan mobil. "Cuma aku tidak tahu mulai di mana kita salah mengambil jalan! Kurasa kita sekarang sudah hampir sampai di tepi laut." "He - di depan ada jalan ke kanan!" seru George, sementara jalan mobil semakin lambat. "Dan di pinggirnya ada papan penunjuk arah!" Mobil dihentikan dekat papan itu, yang kecil ukurannya. "Tak ada tulisan Magga Glen di sini," kata Dick: setelah membaca sekilas. "Yang tertulis cuma Menara Tua'. Apakah itu nama tempat - atau nama suatu bangunan? Mana peta?" Ternyata Pak Supir tidak membawa peta. "Biasanya tidak kuperlukan," katanya. "Tapi daerah sekitar sini rupanya tidak begitu sempurna pemberian tanda-tandanya. Sayang peta jalanku tidak kubawa! Sekarang sebaiknya kita ambil jalan ini. Kita menuju ke tempat atau bangunan Menara Tua itu. Mudah-mudahan saja orang di sana nanti bisa menunjukkan, jalan mana yang harus kita ambil." Mobil lantas dibelokkan ke kanan, bergerak pelan menyusur mendaki berkelok-kelok. "Tinggi juga gunung ini," kata Anne, sambil memandang ke luar. "He - ada sesuatu di sana! Sebuah bangunan di lereng bukit. itu, di sana - bangunan yang bermenara. Mestinya inilah yang bernama Menara Tua!" Tapi lama kemudian mereka sampai di depan pintu gerbang besar, terbuat dari kayu yang kokoh. Di daun pintu terpasang papan pengumuman. Di situ tertulis dua patah kata, dengan huruf-huruf yang besar berwarna hitam. DILARANG MASUK

"Wah, ramah sekali pemiliknya!" kata Pak Supir jengkel. "Seenaknya saja melarang orang masuk! Tapi nanti dulu - di sana ada pondok. Akan kutanyakan jalan ke sana." Tapi pondok itu gelap-gulita. Pak Supir menggelor-gedor pintu, namun tak ada jawaban dari dalam. Sekarang bagaimana?

Bab 3 TIBA DI TUJUAN "Yah, apa boleh buat! Kita terpaksa kembali lagi lewat jalan tadi," kata Dick, ketika Pak Supir datang ke mobil dengan tangan hampa. "Jangan! Nanti dulu - aku akan memeriksa sebentar, mungkin dalam bangunan itu ada lampu menyala di salah satu tempat," kata Julian. Ia meloncat ke luar. "Aku akan masuk ke pekarangan. Bangunannya sendiri tidak mungkin terlalu jauh di belakang gerbang itu. Kan dari jalan tadi saja sudah kelihatan." Ia menghampiri pintu gerbang yang diterangi lampu depan mobil. "Digembok," serunya, setelah memperhatikan daun pintu sesaat. "Tapi kurasa aku bisa masuk, dengan jalan memanjat." Tapi sebelum Julian sempat melakukan niatnya, terdengar langkah berlari-lari mendekati gerbang. Detik berikut, lolongan panjang dan seram memecah kesunyian senja. Daun pintu tergetar keras, diterjang seekor binatang. Julian lari pontang-panting, kembali ke mobil. Biar dia baru habis sakit, tapi ternyata kakinya masih mampu berlari cepat- kalau perlu! Sedang Pak Supir juga bergegas memasuki mobil, sambil membanting pintu. Timmy menggonggong dengan sengit. Ia berusaha meloncat ke luar. Tapi jendela mobil tertutup semua. Sementara itu dari balik gerbang tertutup, gonggongan dan lolongan terdengar tidak henti-hentinya. Binatang itu rupanya seekor flniing besar, karena pintu bergetar-getar ditubruknya berulang-ulang. "Lebih baik kita pergi saja," kata Pak Supir ketakutan. "Huuh - untung kita berada di balik Gerbang! Pasti anjing itu sangat galak, karena gonggongannya saja sudah menyeramkan! Tapi anjing kalian ini juga tidak kalah berisiknya!" Timmy saat itu memang sangat marah. Ia heran, apa sebabnya ia tidak diizinkan keluar untuk menantang anjing yang tidak kelihatan itu. George berusaha menenangkannya. Tapi Timmy tidak mau disuruh diam. Ia menggonggong terus. Pak Supir memutar mobil. Dengan hati-hati kendaraan itu diundurkannya sedikit. Kemudian maju, lalu mundur lagi sedikit. Jalan di situ cukup lebar. Tapi di sisi kanan

mobil, terdapat tebing yang sangat terjal. Bangunan Menara Tua memang dibangun pada sebuah lereng yang curam! "Penghuni di sini mestinya takut sekali ada pencuri, sehingga memelihara anjing yang begitu galak," kata Dick. "Ada apa, Pak?" "Ada sesuatu yang tidak beres," kata Pak Supir. Mobil sudah berhasil diputarnya, sehingga menghadap ke bawah lagi. "Tahu-tahu jalan mobil ini terasa tidak lancar, seakan-akan direm!" "Mungkin Anda lupa melepaskan rem tangan," kata Julian. "Ah, tidak!" jawab Pak Supir. "Maksudku, aku cuma menariknya sedikit saja, supaya mobil jangan sampai meluncur ke bawah. Jalan ini terjal sekali, dan di sebelah kanan ada tebing curam. Aku tidak ingin salah jalan dalam gelap begini, sehingga terjerumus ke dalamnya! Ada apa sih dengan mobil ini? Jalannya begitu pelan, seperti merangkak." "Menurut perasaanku, sewaktu naik tadi kita juga pelan sekali," kata Dick. "Memang, aku juga tahu jalan ini terjal dan berkelok-kelok. Tapi apakah Anda tadi tidak merasa, seolaholah mobil ini kewalahan mendaki?" "Ya, memang," kata Pak Supir, "tapi kusangka sebabnya karena lereng lebih terjal dari yang kukira. Kenapa mobil ini begini jalannya? Aku sama sekali tidak menginjak rem kaki, sedang pedal gas sudah kutekan dalam-dalam! Seolah-olah ada yang menahan dari belakang!" Keadaan itu benar-benar membingungkan. Julian merasa waswas. Ia tidak ingin terpaksa menginap dalam mobil, di tengah alam musim dingin! Salju mulai turun. Bulan menghilang di balik awan gelap. Sekeliling mereka gelap gulita. Akhirnya mereka sampai di kaki bukit. Jalan sudah datar kembali. Pak Supir menarik napas lega - lalu berseru kaget. "He! Mobil kita sudah biasa lagi. Lihatlah, sekarang bisa meluncur dengan laju. Aduh, lega rasanya hatiku! Aku sudah khawatir saja tadi, jangan-jangan mobil mogok, sehingga kita terpaksa menginap di tengah jalan." Mobil meluncur dengan tenang. Anak-anak berpandang-pandangan. Semua merasa lega. "Rupanya ada sesuatu yang tidak beres dengan mesinnya," kata Pak Supir, "tapi jangan tanya, apanya! Sekarang tolong perhatikan, kalau ada rumah atau papan penunjuk jalan." Tidak lama kemudian nampak sebuah papan penunjuk di depan. Begitu melihatnya, George langsung berteriak,

"Berhenti! itu ada papan penunjuk jalan. Berhenti!" Mobil direm dan berhenti di sisi papan itu. Lima pasang mata menatapnya, lalu berseru dengan gembira. "Magga Glen! Horee!!" "Belok kiri," kata Pak Supir, lalu membelokkan mobil memasuki sebuah jalan kecil. Jalan itu tidak rata permukaannya. Rupanya bukan jalan umum, melainkan hanya merupakan tempat lewat kendaraan-kendaraan pertanian belaka. Tapi di atas bukit yang sedang didaki mobil itu, nampak sebuah rumah yang terang jendela-jendelanya. Mestinya itulah rumah pertanian Bu Jones. "Mestinya inilah tempatnya," kata Julian. "Syukur! Untung kita sudah sampai, sebelum salju turun dengan lebat. Sekarang pun sudah mulai sulit melihat ke luar, karena kaca jendela mobil terselubung salju." Ternyata memang itulah tempat yang dituju. Begitu mobil mendekat, terdengar gonggongan ribut menyambutnya. Timmy langsung membalas, membuat telinga seisi mobil terasa tuli! Pak Supir menyetir mobilnya sampai ke dekat pintu depan. Lalu ia memandang dengan hati-hati ke luar. Ia khawatir kalau ada di antara kawanan anjing yang menggonggong itu yang melompat-lompat di sekitar mobil. Saat itu pintu depan rumah terbuka. Seorang wanita tua bertubuh kecil muncul di ambangnya. "Ayo masuk! Silakan, silakan," serunya dengan ramah. "Jangan lama-lama di luar, nanti kedinginan! Morgan nanti akan menolong kalian, menurunkan barang-barang. Sekarang masuk saja dulu!" Anak-anak berbondong-bondong masuk. Mereka sudah capek sekali. Anne nyaris terjatuh, karena kakinya terasa lemas. Untung Julian sempat memegang lengannya. Mereka masuk dengan langkah lesu. Cuma Timmy saja yang masih segar bugar! Seorang laki-laki jangkung berbadan kekar bergegas ke luar, untuk menolong Pak Supir memasukkan barang-barang. Sambil lewat, orang itu menabik ke arah anak-anak. Wanita tua itu mengajak mereka masuk ke ruang duduk yang luas dan hangat. Mereka dipersilakan duduk olehnya. "Kalian kelihatannya capek dan lesu," katanya. "Tentunya perjalanan tadi berat, ya? Kalian datang agak lambat! Aku sudah menyediakan teh panas, tapi tentunya kalian sudah ingin makan malam, ya? Kasihan!"

Julian melihat sebuah meja tak jauh dari api pendiangan, penuh dengan makanan. Tibatiba perutnya terasa lapar sekali. Ditatapnya wanita tua yang ramah itu. Julian tersenyum. "Maaf jika kami terlambat," katanya, "tapi kami sempat tersesat tadi. Boleh kami memperkenalkan diri dulu, Bu. Ini adikku, Anne - dia ini sepupu kami, George. Dan ini, juga adikku, Dick." "Dan ini Timmy," kata George. Seperti diperintah, Timmy langsung mengangkat kaki depannya, mengajak wanita tua itu bersalaman. "Wah, hebat - ada anjing yang bisa bersopan-santun," kata wanita itu. "Di sini ada tujuh ekor anjing, tapi tidak ada satu pun di antara mereka yang mau bersalaman. Biar Ratu yang datang, mereka tetap tidak mau!" Gonggongan ramai sementara itu sudah terhenti. Dalam rumah tidak nampak seekor anjing pun. Menurut perkiraan anak-anak, mestinya semua berada dalam kandang, di luar. Sementara itu Timmy mondar-mandir dalam kamar, mengendus-endus ke sana-sini dengan penuh minat. Akhirnya menghampiri meja makan, meletakkan kaki depannya ke tepinya untuk bisa memperhatikan hidangan yang ada di atas. Kemudian ia menghampiri George, lalu mendengking-dengking. "Kata Timmy, seleranya timbul melihat makanan itu," kata George pada wanita tua itu, yang memperkenalkan diri sebagai Bu Jones. "Aku juga sependapat dengan dia! Kelihatannya memang enak-enak semuanya!" "Sementara aku menyiapkan teh panas, terlebih dulu kalian membersihkan badan saja," kata Bu Jones. "Kalian kelihatannya kedinginan dan lapar sekali. Masuk saja ke sana - itu lewat pintu yang di sana itu, lalu naik tangga ke tingkat atas. Semua kamar yang ada di sana tersedia untuk kalian, jadi tak ada yang mengganggu ketenangan kalian berempat." Anak-anak memasuki pintu yang ditunjukkan. Mereka sampai di sebuah lorong berlantai batu. Lorong itu diterangi sebatang lilin menyala. Dari situ, sebuah tangga menuju ke atas, ke sebuah serambi sempit yang juga diterangi sebatang lilin. Tangga yang dilalui terjal sekali. Anak-anak tersaruk-saruk menaikinya, karena kaki mereka masih kaku setelah begitu lama duduk diam-diam dalam mobil. Di kedua sisi serambi sempit di tingkat atas itu terdapat dua buah kamar tidur. Keduanya serupa, sampai pada perabotnya. Di kedua kamar ada bak cuci tangan dengan air hangat. Handuk juga sudah tersedia di situ. Beberapa potong kayu menyala dalam pendiangan batu. Cahayanya menerangi kamar, lebih terang daripada sinar sebatang lilin yang ada di situ. "Kalian berdua di kamar ini saja, sedang aku dan Dick mengambil yang di sebelah sana," kata Julian pada George dan Anne. "Wah, enak juga - ada pendiangan dalam kamar!"

"Malam ini aku ingin cepat-cepat masuk ke tempat tidur," kata Anne. "Aku ingin memperhatikan nyala api sambil berbaring, Untung kamar kita tidak dingin. Coba kalau dingin, pasti batukku kambuh lagi. "Tapi hari ini kita tidak begitu sering batuk," kata Dick. Tapi sial baginya, baru saja berkata begitu tahu-tahu ia terbatuk-batuk! Bu Jones yang ada di di bawah mendengarnya, lalu langsung berseru. "Ayo, cepat turun lagi - ke tempat yang hangat!" Tak lama kemudian anak-anak sudah berada lagi di kamar duduk yang hangat. Yang ada di situ cuma Bu Jones. Ia sedang sibuk menuangkan air teh panas ke dalam cangkircangkir. Tidak ada lagi yang ikut minum?" tanya George, sambil memandang berkeliling. "Masak makanan sebanyak ini, cuma untuk kami saja?" "Memang hanya untuk kalian," kata Bu Jones, ambil mengiris daging asap tipis-tipis. "Kamar ini tersedia untuk kalian sendiri. Memang selalu kusediakan untuk dipakai keluarga yang menyewa kamar-kamar di sini. Untuk kami sendiri, di sebelah sana ada dapur yang besar. Di sini kalian bisa berbuat sekehendak hati. Berisik juga boleh! Toh takkan ada yang mendengar, karena tembok rumah kami terbuat dari batu tebal!" Selesai melayani anak-anak, Bu Jones menganggukkan kepala sambil tersenyum, lalu meninggalkan kamar. Anak-anak berpandang-pandangan. "Aku sangat senang padanya," kata Anne. Kalau dia bibi Pak Jenkins, lalu umurnya berapa ya? Tentunya sudah sangat tua. Tapi matanya masih begitu cerah, sehingga kelihatan muda!" "Ahh, rasa badanku sudah lebih enak sekarang," kata Dick, sambil menyikat daging asap. "George, berilah sesuatu pada Timmy. Ia tidak henti-hentinya menggapai-gapai diriku, padahal aku ingin memakan sendiri dagingku ini." "Boleh saja," kata George. "Tadi kukira aku lapar tapi ternyata tidak! Tahu-tahu capek sekali rasanya diriku." Julian menatap saudara sepupunya itu. George memang kelihatan capek. Pelupuk matanya kehitam-hitaman. "Selesaikan saja makanmu, setelah itu pergilah tidur," kata Julian menyarankan. "Barangbarang, besok saja kau bereskan. Rupanya kau capek sekali, setelah perjalanan yang begitu lama tadi. Anne tidak begitu capek kelihatannya seperti dirimu!" Saat itu Bu Jones masuk lagi. Ia sependapat dengan Julian, bahwa sebaiknya mereka langsung masuk ke tempat tidur setelah selesai makan.

"Besok kalian tidak perlu bangun pagi-pagi," katanya. "Dan kalau sudah bangun, masuk aja ke dapur untuk memberi tahu, supaya kusiapkan sarapan. Di sini kalian bisa bersikap leluasa!"

Bab 4 DI RUMAH BU JONES Keempat anak itu tidur nyenyak semalaman. Mereka tergeletak di tempat tidur masingmasing, boleh dibilang tanpa bergerak-gerak sedikit pun. Kalaupun malam itu ada yang batuk-batuk, di antara mereka tak ada yang terbangun karenanya. Hanya Timmy saja yang sekali-kali menyalangkan mata. Ia memang biasa begitu, jika tidur untuk pertama kali di tempat yang masih asing baginya. Paginya, Julian yang paling dulu bangun. Dari balik jendela kamar yang tertutup, terdengar berbagai bunyi yang lazim di tempat pertanian. Didengarnya suara orang memanggil-manggil. Sapi-sapi melenguh. Beberapa ekor anjing menggonggong sahut-menyahut, diselingi ayam berkotek dan bebek meleler. Nikmat rasanya mendengarkan segala bunyi itu, sambil bermalas-malasan di tempat tidur. Julian melirik arlojinya. Wah, sudah hampir pukul sembilan!" katanya kaget. Ia bangun, lalu pergi ke bak cuci muka. Ternyata yang ada di situ cuma air dingin. Tapi Julian tidak begitu peduli. Kamar masih hangat, walau api di pediangan sudah padam. Di luar tampak matahari bersinar cerah. Tapi rupanya malam itu salju turun dengan lebat, karena ke mana pun mata memandang, yang nampak melulu alam yang putih mulus. "Bagus!" kata Julian, sambil memandang ke luar. "Jadi kita bisa segera berseluncur dengan kereta-kereta kita. Bangunkan kedua anak perempuan itu, Dick." Tapi itu tidak perlu lagi dilakukan oleh Dick. George dan Anne sudah terjaga sebelumnya. Soalnya Timmy mendengar Dick dan Julian mondar-mandir di kamar seberang, lalu berdiri di belakang pintu sambil mendengking-dengking minta dibukakan. George menggeliat. Ia merasa lain daripada malam sebelumnya. "Bagaimana rasamu sekarang, Anne? Kalau aku, segar!" kata George puas. "Kau tahu, saat ini sudah pukul sembilan? Semalam kita tidur lebih dari dua belas jam! Pantas jika kita merasa segar sekarang." "Ya, aku juga merasa segar," kata Anne, sambil menguap lebar-lebar, "Eh-eh, lihatlah - si Timmy sampai ikut-ikutan menguap! Tidurmu enak tadi malam, Tim?" Timmy menggonggong sekali, lalu menggaruk-garuk daun pintu dengan sikap tidak sabar.

"Timmy ingin sarapan," kata George. "Hidangannya apa ya, pagi ini? Aku kepingin makan gorengan daging asin dengan telur mata sapi! Tak kukira aku bisa berselera lagi untuk memakan hidangan itu. Huaahh - air ini dingin sekali!" Sehabis mencuci muka, mereka turun ke bawah beramai-ramai. Kamar duduk ternyata sudah dihangatkan lagi. Kayu bakar menyala-nyala dalam pendiangan. Sarapan sudah tersedia. Tapi cuma terdiri dari sebongkah roti buatan sendiri, disertai mentega serta selai buatan sendiri pula. Susu segar juga sudah tersedia. Baru saja anak-anak masuk, Bu Jones langsung muncul. Wajahnya berseri-seri. "Selamat pagi," sapanya ramah. "Tadi malam turun salju, tapi pagi ini cuaca sudah cerah kembali. Nah - kalian ingin sarapan apa? Daging asin dengan telur mata sapi - atau susis bikinanku sendiri - atau pastel daging....." "Aku ingin telur mata sapi dengan gorengan daging asin, kata Julian dengan segera. Saudara-saudaranya menyatakan keinginannya yang sama. Bu Jones pergi ke dapur lagi, sementara anak-anak menggosok-gosok telapak tangan dengan sikap puas. "Aku sudah khawatir saja tadi, jangan-jangan kita cuma sarapan roti dengan mentega dan selai saja," kata Dick. "Wah, bukan main sedapnya krem yang mengambang di permukaan susu ini. Kalau aku besar nanti, aku ingin tinggal di pertanian." Timmy menggonggong, untuk menyatakan bahwa ia sependapat dengan Dick. Kemudian ia pergi ke jendela, ingin melihat ke luar. Sedari tadi ia mendengar gonggongan anjing di pekarangan. Nanti kalau kau berjumpa dengan anjing-anjing tempat ini, Jangan lupa kau tamu, ya Tim," kata George sambil tertawa. "Jangan sok aksi, menggonggong-gonggong kayak yang punya rumah saja!" "Anjing-anjing di sini besar-besar," kata Dick, yang ikut memandang ke luar jendela bersama Timmy. "Kurasa jenis collie Wales. Mereka memang baik dijadikan penggembala biri-biri. Aku Ingin tahu, anjing jenis apa yang begitu galak menggonggongi kita dari balik pintu gerbang di Menara Tua kemarin? Kalian masih ingat?" "Ya - tak enak perasaanku saat itu," kata Anne. "Rasanya seperti bermimpi buruk sewaktu kita tersesat, lalu naik ke atas bukit terjal tanpa ada yang bisa disapa untuk menanyakan jalan - dan kemudian digonggongi anjing galak dari balik pintu gerbang! Setelah itu mobil kita hanya bisa merayap turun. Aneh!" "Memang aneh," kata Dick. "Aah - ini dia sarapan kita! Wah, Bu - ini kan hidangan untuk delapan orang, bukan untuk berempat!"

Bu Jones masuk diikuti seorang laki-laki bertubuh tinggi besar. Orang itu berambut hitam pekat. Matanya yang biru menatap tegas. Garis mulutnya keras. "Ini anakku, Morgan," kata Bu Jones. Keempat anak itu memandang Morgan dengan kagum. "Selamat pagi, kata Dick dan Julian serempak. Morgan memandang mereka sekilas, lalu menganggukkan kepala. Sedang Anne dan George tersenyum padanya dengan sopan. Salam mereka itu dibalas dengan anggukan kepala pula. Tapi sepatah kata pun tak diucapkan oleh Morgan. Ia langsung keluar lagi. "Dia tidak banyak bicara," kata Bu Jones. "Morgan memang begitu wataknya. Pendiam Tapi kalau sudah marah dan membentak-bentak, suaranya lantang sekali. Dari jarak satu mil masih kedengaran. Sungguh, aku tidak bohong! Kalau dia berteriak, biri-biri yang sedang merumput di lapangan lari pontang-panting." Julian percaya saja pada omongan Bu Jones. Orang yang berbadan sebesar Morgan, masuk di akal jika suaranya juga sangat lantang. "Anjing-anjing yang ribut menggonggong itu, semua kepunyaannya," kata Bu Jones lagi. "Jumlahnya tiga ekor. Ke mana pun Morgan pergi, mereka selalu ikut. Dia suka sekali pada anjing. Tapi tidak begitu mau bergaul dengan orang lain. Di bukit masih ada lagi empat ekor anjingnya. Mereka sedang menggembala biri-biri. Kalau Morgan berteriak dari pekarangan sini, anjing-anjing yang ada di bukit sana itu bisa mendengarnya. dan langsung melesat kemari. Sungguh!" Timbul keinginan dalam hati anak-anak, untuk mendengar Morgan mendemonstrasikan kelantangan suaranya. Mereka lantas makan dengan lahap. Hidangan yang disediakan Bu Jones terlalu banyak tapi sebagian besar sempat disikat oleh mereka berempat, dengan bantuan Timmy. Mereka paling suka memakan roti bikinan Bu Jones sendiri. Rasanya enak sekali! "Aku bisa saja makan, cuma dengan roti begini serta mentega segar," kata Anne. "Roti di rumah rasanya tidak begini! He - Ibu pasti tercengang: kalau melihat betapa banyak kita makan pagi ini," Tentu saja - karena selama hari-hari belakangan ini, makan telur rebus saja kita tidak mampu," kata Dick. Eh, Julian - apakah kita tidak perlu menelepon rumah, untuk memberitahukan bahwa sudah tiba dengan selamat?" "Wah, betul juga katamu," kata Julian. "Kemarin malam, aku sudah bermaksud hendak menelepon. Sekarang saja ku lakukan, jika diizinkan Bu Jones meminjam pesawatnya."

Saat itu dilihatnya ada orang berjalan di luar. "He - itu kan supir kita," kata Julian. "Dia hendak berangkat dengan mobilnya. Rupanya tadi malam la menginap di sini." Pak Supir yang sudah hendak masuk ke mobil menoleh, ketika mendengar Julian mengetuk-ngetuk kaca jendela. Ia kembali ke rumah, lalu masuk ke kamar duduk. "Aku baru saja mau berangkat," katanya. "Tadi malam aku menginap dalam lumbung. Wah, sedap rasanya tidur di situ! O ya - aku tahu sekarang, apa sebabnya mobil kita hanya bisa berjalan seperti merayap ketika menyusur lereng bukit Menara Tua kemarin petang!" "O ya? Lalu, apa yang menyebabkannya?" tanya Julian penuh minat. "Ternyata mobilnya sendiri tidak apa-apa," kata Pak Supir. "Lega hatiku karenanya. Ternyata penyebabnya bukit itu!" "Apa maksud Anda?" tanya Dick bingung. "Menurut kata istri penggembala, diperkirakan di dalamnya ada sesuatu yang magnetis," kata Pak Supir menjelaskan. "Soalnya, pengantar pos di sini juga mengalami kejadian serupa, setiap kali dia naik ke bukit itu dengan sepeda. Sepedanya terasa berat sekali, sehingga ia tidak mampu mengayuhnya ke atas. Bahkan dengan jalan mendorong pun, masih tetap terasa berat. Jadi sekarang sepeda itu ditinggalkannya di kaki bukit, dan ia sendiri jalan kaki naik ke atas!" "Ah, aku mengerti," kata Julian. "Jadi ada magnetis itu kemarin malam menarik mobil kita, sehingga kelancaran jalannya terganggu sesaat akibatnya. Aneh! Kalau begitu, dalam bukit itu mestinya tersimpan logam yang kuat sekali tarikannya. Semua mobilkah yang terganggu jalannya di situ." "Memang! Jarang ada yang mau bermobil ke sana, kalau tidak benar-benar perlu," kata Pak Supir. "Menurut pendapatku, bukit aneh!. Apalagi dengan papan pengumuman yang kita lihat kemarin." "Siapa ya, yang tinggal di sana? kata Dick. "Kabarnya, seorang wanita tua, jawab Pak Supir. "Ia tinggal seorang. diri di sana Kata orang, pikirannya tidak beres. Siapa pun tidak diizinkannya masuk. Kita kan sudah mengalaminya pula kemarin! Maaf ya - kita tersesat saat itu. Tetapi sekarang kalian kan sudah bisa enak-enakan di sini." Sambil bicara Pak Supir mengangkat tangannya untuk menabik, lalu pergi ke luar. Ia melambai sekali lagi, ketika mobil mulai meluncur meninggalkan tempat itu. "Kelihatannya kita belum bisa bermain-main dengan kereta luncur," kata George sambil memandang ke luar, "karena rasanya salju masih kurang tebal. Tapi kita periksa saja

dulu! Pakai baju hangat - karena angin di sini pasti dingin sekali. Aku tidak kepingin terserang pilek sekali lagi." Bu Jones tersenyum dan mengangguk, ketika melihat anak-anak bermantel tebal, lengkap dengan syal serta topi wol. "Kalian tidak sembrono," katanya. "Hari ini memang dingin, dan angin juga menggigit. Tapi cuaca begini sehat! O ya - anjingmu itu, jaga baik-baik," katanya pada George. "Jangan lepaskan dulu, sebelum kalian sudah agak jauh dari sini. Aku khawatir kalau ia menyerang anjing kepunyaan Morgan. Kau kan anak laki-laki! Tentunya kuat mengekang dia selama itu." George tersenyum. Ia merasa senang, karena disangka anak laki-laki. Mereka lantas berkeliling, melihat-lihat pertanian. Timmy jengkel, karena dituntun dengan tali. Ia menyentak-nyentak, ingin berkeliaran sendiri dengan bebas. Tapi George tidak mau melepaskannya. "Tunggu sampai kau sudah berkenalan dengan semua anjing yang ada di sini," katanya. "Tapi, di mana mereka?" "Mungkin sedang pergi, ikut Morgan," kata Dick. "Yuk - kita melihat sapi-sapi di kandang. Aku senang mencium bau sapi." "Kurasa Timmy sudah bisa kita lepaskan sekarang," kata George kemudian. "Aku tak melihat ada anjing di sini." Sambil bicara, dilepaskannya tali yang mengikat kalung leher Timmy. Anjing itu pergi sambil mengendus-endus, lalu lari ke balik sebuah bangunan. Detik berikutnya terdengar gonggongan, yang berisiknya bukan main! Anak-anak yang sedang berjalan, tertegun. Dengan segera mereka berlari ke balik sebuah lumbung. Mereka kaget sekali, melihat Timmy berdiri di situ membelakangi dinding menggeram, menggonggong dan menyembur-nyembur. Di depannya nampak tiga ekor anjing yang galak! "Awas, George! Jangan kaudekati Timmy," seru Julian, ketika melihat saudara sepupunya bergerak hendak menolong Timmy. "Anjing-anjing itu galak!" Tapi George tidak peduli. Ia lari menghampiri Timmy, lalu berdiri di depannya sambil berteriak, membentak-bentak ketiga ekor anjing yang menyeringai di hadapannya. "Awas kalau berani!" sergah George. "Ayo pergi! Pulang! Pulang, kataku!"

Bab 5 PERKELAHIAN Ketiga anjing itu sama sekali tidak mempedulikan dirinya. Perhatian mereka terpaku pada Timmy. Berani-beraninya anjing tak dikenal itu, masuk ke pekarangan mereka! Ketiga anjing itu bergerak maju serempak. Tapi George tidak kenal mundur. Ia tetap berdiri di depan Timmy, sambil mengayunkan tali pengikat, memukul ke segala arah. Julian maju untuk membantu saudara sepupunya. Tiba-tiba Timmy terkaing. Ternyata satu dari ketiga ekor anjing galak itu berhasil menggigitnya! Saat itu datang seseorang berlari-lari. Ternyata orang itu Bu Jones. Larinya masih cepat, secepat anak berumur dua belas tahun! "Tang! Bob! Dai!" serunya. Tapi ketiga anjing itu tidak mengacuhkan. Tapi kemudian menyusul suara lain. Aduh, bukan main lantangnya suara itu! Sampai menggema ke seluruh sudut. "DAI! BOB! TANG!" Seketika itu juga ketiga anjing tadi diam terpaku. Kemudian berpaling, lalu lari secepat kilat. "itu Morgan! Aduh, syukur," kata Bu Jones terengah-engah, sambil membungkus dirinya lebih erat dengan syal. "Rupanya ia juga mendengar gonggongan ketiga anjingnya tadi. Kau luka, Nak?" Dipegangnya lengan George, lalu diperhatikannya dengan prihatin. "Tidak tahu, Bu. Kurasa tidak," jawab George dengan wajah pucat. "Yang cedera Timmy! Di mana mereka menggigitmu tadi?" "Guk," gonggong Timmy. Ia kelihatannya kaget sekali. Tapi sama sekali tidak takut. George berlutut ke tanah yang berlapis salju. Tiba-tiba ia terpekik. "Lehernya yang tergigit," serunya. "Lihatlah, ini lukanya. Aduh, kasihan si Timmy. Kenapa kau tadi sampai ku lepaskan?" "Ah, cuma luka kecil, George," kata Julian, sambil memperhatikan luka itu. "Yang tergigit sebetulnya kalung lehernya. Ini, bekasnya! Tapi anjing itu rupanya sangat runcing giginya. Gigitannya menembus kalung, lalu mengenai kulit leher Timmy sedikit. Cuma tergores saja." Anne menyandarkan diri ke dinding. Mukanya pucat pasi. Sedang Dick pun ikut merasa lemas. Ngeri rasanya membayangkan apa yang terjadi jika yang digigit tadi George, dan bukan Timmy. George memang anak yang tabah!

"Macam-macam saja!" kata Bu Jones. "Kenapa kau lepaskan anjingmu tadi, Nak? Seharusnya kautunggu dulu sampai Morgan datang dengan anjing-anjingnya! Dia harus memperkenalkan mereka dengan Timmy dulu, baru kau bisa melepaskannya! " "Aku tahu," jawab George. Ia masih berlutut di bamping Timmy. "Memang aku yang salah! Aduh, Tim - untung lukamu cuma sedikit saja. Anda punya obat luka, Bu?" Sebelum Bu Jones sempat menjawab, Morgan muncul dari balik lumbung. Laki-laki bertubuh raksasa itu datang diikuti oleh ketiga anjingnya yang tadi. Mereka tidak kelihatan galak lagi sekarang, karena ada tuan mereka. "Lho," kata Morgan heran, sambil memandang Ibunya yang berdiri di situ bersama keempat anak-anak. "Anjing-anjingmu tadi menyerang anjing ini," kata ibunya menjelaskan. "Untung kau cepat-cepat memanggil mereka, Morgan. Kalau tidak, bisa gawat! Luka di lehernya tidak seberapa. Sayang kau tadi tidak melihat anak laki-laki ini! Anjing yang luka itu anjingnya. Sambil berdiri di depan anjing itu, ia beraksi menangkis serangan Tang, Bob dan Dai!" Julian tersenyum mendengar George masih terus disangka anak laki-laki. Tapi tampangnya saat itu memang sangat mirip seorang anak laki-laki. "Tolonglah - ambilkan obat luka," kata George dengan cemas, ketika melihat darah dari luka di leher Timmy menetes ke salju. Morgan maju melangkah, lalu membungkuk untuk memeriksa luka itu. Ia mendengus, lalu tegak kembali. "Dia tidak apa-apa," katanya singkat, lalu pergi. George menatap punggung Morgan sambil melotot. Seenaknya saja orang itu! Ketiga anjing-anjingnya yang tadi menyerang dan melukai Timmy - tapi ia sama sekali tidak menampakkan sikap menyesal! George begitu marah, sehingga tanpa terasa air matanya sudah menggenang. George mengejap-ngejapkan mata. Ia merasa malu, karena menangis. "Aku tidak mau lagi tinggal di sini," katanya lantang. "Anjing-anjing tadi pasti akan menyerang Timmy lagi. Bisa mati dia nanti! Aku ingin pulang." "Jangan begitu - kau cuma sedang bingung saat ini," kata Bu Jones dengan ramah, sambil memegang lengan George. Tapi George menyentakkan lengannya. "Aku tidak bingung!" katanya sambil cemberut. "Aku marah, karena anjingku diserang tanpa alasan! Dan ia pasti akan diserang lagi. Aku masuk saja sekarang, karena ingin memeriksa lehernya."

George pergi dengan dagu terangkat tinggi. Ia merasa malu, karena air matanya sudah mulai meleleh lagi. Timmy ikut di sisinya. Ketiga saudaranya berpandang-pandangan. Tidak biasanya, George begitu gampang menangis! Tapi ia rupanya belum pulih seperti biasanya, setelah sakit begitu lama. "Kau ikut dengan dia, Anne," kata Julian. Dengan segera Anne lari, menyusul George. Sementara itu Julian menoleh pada Bu Jones. Wanita tua itu kelihatannya gelisah. "Anda jangan terlalu lama berdiri di luar- nanti kedinginan," kata Julian sewaktu melihat tubuh Bu Jones menggigil. Wanita tua itu merapatkan syal yang menyelubungi dirinya. "Sebentar lagi George akan biasa lagi. Anda jangan terlalu memikirkan kata-kata anak perempuan itu!" "Anak perempuan, katamu? Lho-dia itu bukan anak laki-laki?" kata Bu Jones tercengang. "Anak perempuan - seberani dia? Wah - bukan main! Morgan pasti tercengang, kalau kuceritakan nanti. Tapi saudara sepupu kalian itu, kan tidak benar-benar akan pulang?" "Tentu saja tidak," jawab Julian. Padahal dalam hati, ia sendiri tidak begitu yakin. Menebak tindak-tanduk George, bukan pekerjaan gampang! Sebentar lagi, pasti ia akan sudah biasa kembali. Tapi lebih baik, jika bisa diambilkan obat luka untuk Timmy. George paling takut pada infeksi, kalau Timmy mengalami luka!" "Kalau begitu kita lekas-lekas masuk," kata Bu Jones, sambil bergegas menuju ke rumah. Julian menawarkan diri untuk membimbingnya berjalan di atas salju yang licin. Tapi ditolak oleh Bu Jones. Walau ia sudah tua, tapi masih mampu berjalan sendiri! Sementara itu George sudah masuk ke kamar duduk, bersama Timmy. Ia mengambil air, lalu mencuci luka pada leher anjingnya itu, setelah terlebih dulu membuka kalungnya. "Sebentar - kuambilkan obat luka, kata Bu Jones, lalu lari ke dapur. Ia kembali dengan sebuah botol besar, berisi obat pencegah infeksi. Botol itu diterima oleh George dengan perasaan lega, lalu dioleskannya ke luka anjingnya. Timmy diam saja. Ia menikmati keributan yang disebabkan olehnya itu. Ia hanya terkejut sedikit ketika terasa sengatan obat mengenai lukanya. George menepuk-nepuk serta memuji-muji diri Timmy. "Timmy pasti takkan berkeberatan diolesi terus dengan obat itu sepanjang hari, selama perhatianmu terarah sepenuhnya pada dia, George," kata Dick sambil tertawa. George menoleh. "Dia tadi bisa mati," katanya."Kalau anjing-anjing itu menyerangnya sekali lagi, Timmy pasti akan mati. Aku ingin pulang! Bukan pulang ke rumah kalian, Ju - tapi ke rumahku sendiri! Ke Pondok Kirrin!"

"Jangan konyol, George," tukas Dick dengan kesal. "Lagakmu ini, seakan-akan Timmy luka parah! Padahal kan cuma tergores sedikit saja kulitnya. Masa karena itu saja, kau hendak menyia-nyiakan tetirah seindah ini?" "Ketiga anjing tadi tidak bisa kupercayai," kata George berkeras. "Mereka sekarang tentunya mendendam terhadap Timmy! Aku yakin. Dan kan bukan tetirah kalian yang terganggu karena aku pulang - melainkan tetirahku sendiri!" "Begini sajalah - kau tinggal satu hari lagi di sini," kata Julian. Diharapkannya, kemudian Geoge akan menyadari bahwa sikapnya itu konyol. "Satu hari saja lagi, George! itu kan bukan permintaan yang keterlaluan. Bu Jones akan sangat bingung, apabila kau buruburu pulang sekarang juga! Kecuali itu sukar mengatur keberangkatanmu hari ini, karena jalan-jalan semua diselimuti salju." "Baiklah," kata George dengan ketus. "Aku akan tinggal sehari lagi di sini. Dengan begitu Timmy bisa agak melupakan rasa takutnya tadi. Tapi cuma sampai besok saja aku tinggal!" "Timmy sama sekali tidak merasa takut," kata Anne. "Dia pasti berani menghadapi ketiga anjing itu sekaligus, jika kau tadi tidak ikut campur, George. Ya kan, Timmy?" "Guk guk," gong gong Timmy, menyatakan bahwa ia juga berpendapat begitu. Untuk mempertegas, ia mengibas-ngibaskan ekor dengan bersemangat. Dick tertawa melihatnya. "Timmy memang tabah," katanya. "Kau kan tidak ingin pulang, Tim?" Timmy menggonggong serta mengibaskan ekornya lagi. George langsung cemberut! Julian memberi isyarat pada kedua adiknya, agar anak itu jangan diganggu lagi. Ia takut kalau George berubah pikiran lagi, lalu langsung pulang! "Bagaimana jika kita jalan-jalan saja sebentar?" kata Dick. "Masa udara secerah begini, kita mendekam terus dalam rumah. Kau ikut, Anne?" "Aku ikut, jika George juga pergi," kata Anne. Tapi George menggeleng. "Tidak," kata anak itu. "Pagi ini aku tinggal di rumah, menemani Timmy. Kalau mau pergi, pergilah kalian." Tapi Anne tidak mau. Karena itu hanya Dick dan Julian saja yang akhirnya berjalan-jalan berdua. Begitu menghirup udara pegunungan yang dingin tapi segar, mereka langsung merasa diri mereka lebih enak. Tak ada lagi batuk yang mengganggu. Sayang ada kejadian,yang tidak enak tadi! Sebagai akibatnya semua merasa tidak enak termasuk Bu Jones, yang saat itu muncul di ambang pintu dengan wajah gelisah.

"Jangan khawatir, Bu," kata Julian. "Kurasa saudara sepupu itu cuma sebentar saja merajuk. Pokoknya, ia sudah tidak berkeras lagi kepingin pulang hari ini juga! Sekarang kami berdua hendak berjalan-jalan sebentar ke atas. Enaknya kami mengambil jalan mana?" "Lewat sana," kata Bu Jones sambil menuding. "Kalian terus saja, sampai tiba di pondok musim panas kami yang ada di atas. Kalian bisa beristirahat di situ sebelum kembali. Dan jika kalian tidak ingin lekas-lekas pulang pada saat makan siang, dalam lemari di pondok itu ada makanan. Ini anak kunci pintu pondok!" "Wah, terima kasih Bu," kata Julian. "Asyik juga nih! Kurasa nanti kami akan makan siang di atas - tapi sebelum gelap, pasti sudah kembali. Tolong beri tahu George dan Anne, ya Bu?" Kedua anak laki-laki itu pergi, sambil bersiul-siul. Enak juga rasanya bisa pergi berjalanjalan sehari penuh, hanya mereka berdua saja. Menyusur jalan bersalju, mereka mulai mendaki lereng gunung. Salju mulai meleleh kena sinar matahari. Karenanya mereka tidak mengalami kesulitan untuk mengenali jalan yang harus dilewati. Kemudian mereka melihat di sana-sini ada batu besar berwarna hitam, sebagai penunjuk jalan. Batu-batu itu dipakai sebagai tanda pengenal oleh petani serta para pembantunya, jika jalan sepenuhnya diselubungi salju. Pemandangan di atas sangat indah. Semakin tinggi kedua anak itu mendaki, semakin banyak puncak perbukitan yang nampak. Semua putih, kemilau, ditimpa sinar matahari pagi bulan Januari. "Wah, kalau salju turun sedikit lagi, pasti asyik berseluncur menuruni lereng-lereng ini," kata Dick kepingin. "Coba kita tadi membawa ski salju, di bukit sebelah sana itu cukup tebal - kita bisa meluncur di situ dengan asyik!" Akhirnya mereka sampai di pondok yang disebutkan oleh Bu Jones tadi. Keduanya merasa lega. Enak juga rasanya beristirahat sambil makan siang, setelah dua jam mendaki terus. "Bagus juga tempat ini," kata Julian, sambil memasukkan anak kunci ke dalam lubangnya di daun pintu. "Pondok kayu, lengkap dengan jendela dan lain-lainnya!" Julian membuka pintu, lalu melangkah masuk. Ya - tempat itu memang nyaman, dilengkapi dengan pembaringan yang menempel ke dinding kayu, sebuah tungku untuk memanaskan ruangan, lemari yang penuh dengan barang pecah-belah, serta makanan berkaleng-kaleng! Kedua anak itu mendapat pikiran yang sama secara serempak. Mereka berpandang-pandangan. "Bagaimana jika kita tinggal di sini - hanya kita berempat?" kata Julian, mengucapkan hal yang terlintas dalam pikiran adiknya. "George pasti senang !"

Bab 6 ANAK ANEH Keduanya belum begitu capek, sehingga masih sempat meneliti seluruh pondok itu. Tempat itu lebih cocok disebut rumah berkamar satu. Letaknya menghadap lembah, Lemari demi lemari dibuka oleh Julian, sambil menyebut seluruh isinya dengan gembira, "Bukan main!" katanya kemudian, "Segala-galanya tersedia di sini! Enak juga kehidupan orang-orang yang tinggal di sini pada musim panas!" "Kita bisa menghidupkan tungku, untuk memanaskan ruangan," kata Dick, sambil menarik tungku minyak ke tengah kamar. "Jangan, tidak perlu," kata Julian, "Di sini kan tidak begitu dingin, karena sinar matahari memancar ke dalam." "Bagaimana perkiraanmu - akan maukah Bu Jones mengizinkan kita tinggal di atas sini sendiri?" kata Dick, sambil membuka sekaleng daging asap dengan alat pembuka yang tergantung pada paku dekat lemari. "Kan enak jika tinggal sendiri. Bisa lebih bebas! George pasti akan setuju." "Ya, bisa saja kita tanyakan," kata Julian. "Ada atau tidak biskuit di sini, untuk dimakan dengan daging asap? Ah, ini dia, dalam kaleng. Aduh, ternyata aku lapar sekali!" "Aku juga," jawab Dick sambil sibuk mengunyah. "Sayang George tadi konyol - kalau tidak, kan sekarang ia dan Anne bisa ikut asyik di sini." "Sekarang aku ingin duduk berjemur di ambang pintu, sambil berselubung selimut," kata Dick. "Pemandangan dari sini indah sekali!" Keduanya duduk di ambang pintu, sambil mengunyah daging asap dan biskuit. Mereka memandang ke arah gunung yang terletak di seberang lembah. "Lihatlah - di seberang sana ada rumah," kata Dick dengan tiba-tiba. "itu - di dekat puncak." Julian memandang ke arah yang ditunjuk oleh adiknya. Tapi ia tidak melihat apa-apa. "Tak mungkin," katanya kemudian. "Kalau di sana ada rumah, pasti atapnya tertimbun salju, sehingga tidak mungkin nampak dari sini. Lagipula, siapa yang mau membangun rumah di tempat setinggi itu!" "Ah, ada saja," kata Dick. "Tidak semua orang senang tinggal di tempat yang ramai. Misalnya saja seorang seniman! Kan mungkin saja ada seniman membangun rumah di

daerah pegunungan ini, karena ingin menikmati pemandangan yang indah. Orang begitu pasti senang tinggal di sini, karena sepanjang hari bisa melukis sambil menikmati pemandangan!" "Kalau aku - aku senang keramaian," kata Julian. "Hidup begini selama satu dua minggu, bolehlah - tapi kurasa cuma seniman atau pertapa saja bisa tahan hidup menyendiri! Atau penggembala." Ia menguap. Mereka sudah selesai makan. Perut terasa kenyang. Dick ikut menguap, lalu merebahkan diri di lantai. Tapi Julian menariknya supaya berdiri lagi. "Jangan tidur di sini - nanti tahu-tahu pada saat terbangun lagi, hari sudah gelap. Matahari sudah mulai turun, sedang perjalanan pulang cukup jauh. Dan kita tidak membawa senter!" "Kan ada batu-batu besar yang bisa dijadikan tanda pengenal," kata Dick sambil menguap lagi. "Yah deh, yah. deh - kau benar. Aku pun tidak ingin berjalan tersandung-sandung dalam gelap!" Tiba-tiba Julian mencengkeram lengan adiknya, sambil menuding ke arah atas. Jalan yang mereka lewati tadi masih berkelok-kelok terus, menuju ke puncak. Dick berpaling, memandang ke arah itu. Nampak olehnya seseorang menuruni lereng sambil meloncatloncat, diiringi seekor anak biri-biri serta seekor anjing kecil. "Yang datang itu, anak perempuan atau anak laki-laki?" tanya Julian. "Tapi yang jelas, pasti ia kedinginan !" Ternyata yang datang seorang anak perempuan. Tampangnya liar, dengan rambut ikal acak-acakan. Warna kulitnya sawo matang. Saat itu musim dingin - tapi anak itu mengenakan pakaian secukupnya saja. Celana pendek yang sudah dekil - serta kemeja berwarna biru. Ia tidak memakai kaos kaki. Sepatunya kelihatan sudah usang. Anak itu berjalan sambil bernyanyi-nyanyi. Suaranya merdu, seperti kicauan burung. Ia berhenti bernyanyi, ketika tiba-tiba anjing kecil yang mengiringinya menggonggong. Anak itu mengatakan sesuatu pada anjing itu, yang kemudian menggonggong lagi sambil menghadap ke arah pondok. Sedang anak biri-biri berjalan terus. Anak perempuan itu memandang ke arah pondok, dan melihat Julian dan Dick di situ. Seketika itu juga ia berpaling, lalu lari menyusur jalan yang dilewatinya tadi. Julian berdiri dan memanggil-manggil. "Jangan takut, kami tidak apa-apa," serunya. "Lihatlah - ini ada sedikit daging, untuk anjingmu!"

Dengan sikap ragu, anak perempuan itu berhenti berlari dan menoleh ke bawah. Julian melambai-lambaikan daging asap sisa makan tadi. Anjing kecil itu mencium bau daging, lalu bergegas datang. Ia menyambar daging dari tangan Julian, lalu cepat-cepat lari kembali ke tempat anak perempuan itu berdiri. Anjing itu tidak langsung makan, tapi memandang tuannya. Anak itu membungkuk dengan cepat, mengambil potongan daging yang langsung dibaginya menjadi dua bagian. Bagian yang satu diberikan pada anjing, yang langsung menelannya. Sedang sisanya dimakan sendiri olehnya, sambil mengawasi Dick dan Julian dengan waspada. Ketika anak biri-biri datang mendekat sambil mengendus-endus, anak itu memeluk lehernya. "Anak aneh," kata Julian pada Dick. "Dari mana datangnya tadi? Tentunya ia sangat kedinginan, berpakaian setipis itu!" Dick memanggilnya, "Ke sinilah sebentar, mengobrol dengan kami!" Begitu mendengar Dick berseru, anak itu langsung lari. Tapi tidak jauh-jauh. Ia mengintip dari balik semak. "Tolong ambilkan biskuit sedikit," kata Julian pada Dick. "Mungkin dia mau datang, jika kita menawarkan makanan." Dick mengambil biskuit dari dalam lemari, lalu menyodorkannya ke arah semak di mana anak tadi bersembunyi. "Nih - ada biskuit untuk kalian," serunya. Tapi hanya anak biri-biri saja yang datang mendekat sambil meloncat-loncat. Kelihatannya mirip boneka permainan yang lucu. Ekornya bergerak-gerak terus. Dicobanya naik ke pangkuan Dick. Tapi ia cuma berhasil membentur muka anak itu dengan hidungnya. "Fany, Fany!" seru anak perempuan itu dengan suaranya yang tinggi. Anak biri-biri berusaha membebaskan diri dari pegangan Dick. Tapi sia-sia saja! "Datanglah ke sini untuk mengambilnya!" seru Dick. "Kami takkan mengapa-apakan dirimu!" Dengan langkah ragu-ragu anak perempuan itu maju, menghampiri Dick dan Julian. Sedang anjingnya langsung mendekat, lalu mengendus-endus tangan mereka minta daging lagi. Julian memberinya sepotong biskuit. Dengan segera makanan itu disambar dan dikunyah-kunyah. Sambil makan, anjing itu sebentar-sebentar melirik ke arah tuannya. Seakan-akan minta maaf, karena makan sendiri! Julian menepuk-nepuknya. Anak perempuan itu semakin mendekat. Betisnya nampak kebiru-biruan karena kedinginan. Tapi walau begitu, ia sama sekali tidak menggigil. Julian menyodorkan sepotong biskuit lagi, yang langsung disambar oleh anjing kecil lalu dibawa ke tempat

tuannya. Dick dan Julian tertawa terbahak-bahak melihatnya. Sekonyong-konyong anak perempuan itu tersenyum. "Datanglah kemari," ajak Julian. "Ke sinilah, dan ambil anak biri-birimu ini. Kami masih punya biskuit lagi, untukmu serta anjingmu itu." Akhirnya mau juga anak itu datang mendekat. Tapi sikapnya masih tetap waspada, siap untuk lari lagi. Dick dan Julian menunggu dengan sabar, sampai anak itu sudah cukup dekat untuk mengambil biskuit lalu menjauh lagi. Ia duduk di atas salah satu batu penunjuk jalan sambil mengunyah-ngunyah biskuit. Sementara itu tak henti-hentinya ia memperhatikan Dick dan Julian. "Siapa namamu?" tanya Dick. Ia tidak beranjak dari tempatnya, karena khawatir anak perempuan itu takut dan lari lagi. Anak yang disapa seakan-akan tidak memahami pertanyaannya. Karenanya Dick mengulanginya sekali lagi, kali ini dengan lambat-lambat. "Namamu - siapa?" Yang ditanya mengangguk, lalu menuding dirinya sendiri. "Aku - Aily," katanya. Setelah itu ia menuding anjingnya. "Dave," katanya. Mendengar namanya disebut, anjing itu meloncat lalu menjilati muka anak perempuan itu, yang kini menuding anak biri-birinya. "Fany," katanya. "Jadi-Aily-Dave-Fany," kata Julian serius, sambil menunjuk pada yang disebutnya itu satu per satu. Setelah itu ia menuding dirinya sendiri. "Julian!" Lalu, menuding adiknya, "Dick!" Anak itu tertawa dengan suaranya yang cerah. Tahu-tahu ia mengucapkan suatu kalimat panjang. Tapi tak sepatah kata pun bisa dipahami oleh Julian dan Dick. "Kurasa ia berbicara dalam bahasa Wales," kata Dick kecewa. "Sayang kita tidak mengerti - karena kedengarannya bahasa itu indah!" Anak perempuan itu nampaknya tahu bahwa bahasanya tidak dimengerti oleh kedua anak laki-laki yang ada di depannya. Ia mengerutkan kening, memeras otak. Kemudian ia membuka mulut lagi. "Ayahku - di atas - biri-biri," katanya patah-patah.

"O - rupanya ayahmu penggembala biri-biri di atas gunung," tebak Dick. "Tapi kau sendiri, tidak tinggal bersama dia?" Aily berusaha memahami kalimat itu, lalu menggeleng. "Bawah!" katanya sambil menuding. "Aily bawah!" Lalu ia memeluk kedua binatang yang menyertainya. "Dave punyaku," katanya bangga. "Fany punyaku!" "Anjing bagus. Biri-biri bagus," ujar Julian serius. Anak perempuan itu mengangguk dengan senang. Tapi secara tiba-tiba anak itu bangkit lalu lari menuruni lereng, disusul oleh Dave dan Fany. "Aneh sekali anak itu!" kata Dick. "Aku takkan heran, kalau ternyata ia bisa menghilang, seperti peri hutan. Rupanya anak itu biasa hidup sebagai gelandangan! Nanti kita tanyakan mengenai dirinya pada Bu Jones, jika kita sudah sampai lagi di pertanian!" "Astaga! Matahari sudah sangat rendah! Kita harus buru-buru," kata Julian, sambil bergegas bangkit. "Kita masih harus berbenah di sini, sebelum pulang! Ayo, cepatlah sedikit! Kalau matahari terbenam nanti, daerah sini akan langsung menjadi gelap. Sedang perjalanan kita cukup jauh." Mereka tidak memerlukan waktu lama untuk membereskan pondok, serta mengunci pintu. Setelah itu mereka bergegas-gegas menuruni gunung, lewat jalan yang berkelokkelok. Di sebelah bawah salju sudah hampir mencair semua kena sinar matahari. Jadi perjalanan bisa lebih cepat daripada ketika mendaki. Kedua anak itu berjalan sambil bernyanyi-nyanyi. "itu dia pertanian Bu Jones," kata Dick. Mereka merasa lega melihatnya. Kaki sudah terasa capek. Mereka ingin mengisi perut yang sudah kosong lagi, sambil duduk dalam ruangan yang hangat. "Moga-moga George sudah agak normal lagi sekarang - dan masih ada di sana," kata Julian sambil tertawa. "Maklumlah, sifat saudara sepupu kita tidak bisa diduga! Dan mudah-mudahan dia senang, jika kita ceritakan tentang pondok tadi. Kita akan minta izin pada Bu Jones malam ini juga, setelah merundingkannya dengan Anne dan George. " "Nah, akhirnya kita sampai juga," kata Dick, ketika mereka sudah berada di rumah. "Anne! George! Di mana kalian? Kami sudah kembali!"

Bab 7 KEMBALI DI PERTANIAN Anne berlari-lari menyongsong mereka.

"Lega perasaan ku sekarang," katanya. "Tadi aku sudah takut saja, jangan-jangan kalian tersesat. Hari sudah mulai gelap!" "Halo, George," seru Julian, ketika melihat anak itu di lorong yang gelap, di belakang Anne. "Bagaimana si Timmy sekarang?" "Sudah sehat lagi," kata George. Caranya bicara sudah biasa lagi. "Ini dia!" Timmy menggonggong, menyambut kedua anak laki-laki itu. Sehari itu ia sudah cemas terus, karena menyangka Dick dan Julian pulang. Bersama-sama mereka masuk ke kamar duduk. Api di pendiangan menyala, sehingga kamar terasa nyaman dan hangat. Julian dan Dick merebahkan diri ke dua kursi terempuk yang ada di situ, dengan kaki terjulur ke arah api. "Aaah - ini baru nikmat," kata Dick. "Kalau disuruh berjalan selangkah lagi, pasti aku takkan mampu. Kurasa naik ke tingkat atas untuk mencuci badan pun tidak bisa lagi. Jauh sekali kami berjalan tadi!" Mereka lantas menceritakan pengalaman sehari itu pada Anne dan George. Kedua anak itu mendengarkan dengan penuh perhatian, apalagi ketika sampai pada penuturan tentang pondok musim panas milik Bu Jones. "Aduh, sayang aku tadi tidak ikut," kata Anne. "Timmy sebetulnya juga bisa ikut kan, George? Setelah kami periksa dengan teliti, ia cuma luka tergores saja. Sekarang sudah hampir tidak kelihatan lagi." "Walau begitu, aku tetap akan pulang besok," kata George berkeras. "Maaf jika aku tadi pagi begitu ribut - tapi saat itu aku sungguh-sungguh menyangka luka Timmy parah. Untung saja kemudian ternyata tidak begitu! Tapi aku tidak mau hal seperti tadi terjadi lagi. Kalau aku tetap di sini, pasti anjing-anjing itu akan menyerangnya kembali pada suatu saat, dan ada kemungkinannya Timmy mati tergigit. Sayang aku terpaksa mengganggu kesenangan kalian berlibur - tapi aku tak bisa tinggal lebih lama lagi di sini bersama Timmy!" "Baiklah, kalau begitu," kata Julian membujuk. "Kau tidak perlu ngotot mengenai soal itu. Nah - sekarang kau batuk-batuk lagi karenanya! Aku dan Dick, sepanjang hari sama sekali tidak batuk tadi!" "Aku juga tidak," kata Anne. "Udara. di sini sangat segar. Tapi kurasa sebaiknya aku ikut saja pulang dengan George, Ju. Tidak enak bagi dia, apabila harus sendiri di rumah." "Dengar dulu," sela Julian. "Aku dan Dick, tadi mendapat pikiran bagus - dengan mana George tidak perlu lagi pulang, dan...."

"Tak ada yang bisa menahanku tinggal di sini," kata George dengan segera. "TIDAK ADA!" "Beri kesempatan dulu padaku untuk menceritakan maksud kami," kata Julian. "Soalnya menyangkut pondok gunung di mana kami tadi mampir. Aku dan Dick sependapat, enak juga apabila kita berlima bisa tinggal sendiri di sana - jadi tidak lagi di pertanian ini. Kita nanti bisa bebas sebebas-bebasnya! " "O ya," kata Anne dengan segera. Setelah itu semua memandang ke arah George, menunggu reaksinya. Anak itu tiba-tiba tersenyum. "Asyik juga," katanya. "Aku mau! Kurasa anjing-anjing sini takkan pernah datang ke sana. Pasti enak, apabila kita boleh mengurus diri sendiri!" "Menurut Bu Jones, anaknya mengatakan akan datang hujan salju yang lebat," kata Anne. "Jadi kita nanti bisa main ski dan berseluncur sepanjng hari! Wah, George-sayang ya, Timmy tidak bisa main ski. Jadi ia terpaksa tinggal dalam pondok, apabila kita pergi main ski." "Apakah Bu Jones tidak berkeberatan jika kita ke sana?" tanya Dick. "Kurasa tidak," jawab Anne. "Tadi ia bercerita pada kami bahwa pada musim panas anak-anak sering menginap sendiri di sana, sementara orang tua mereka beristirahat dengan tenang di bawah ini. Jadi aku tidak melihat alasan bahwa kita tidak boleh ke sana. Nanti saja kita tanyakan padanya, jika ia masuk untuk menghantarkan hidangan teh. Aku sudah mengatakan tadi, kami tidak perlu minum teh dan setelah itu makan malam. Cukup sekali saja makan sore, asal kenyang! Soalnya, kami tidak tahu kapan kalian berdua akan kembali. Dan aku serta George sudah begitu banyak makan siang, sehingga tadi sore tidak merasa lapar." "Ya - sekarang aku lapar sekali," ujar Julian, sambil menguap lebar. "Setelah itu, kurasa aku ingin langsung tidur saja! Badanku capek sekali rasanya. Sekarang pun aku sudah mau tidur. Kalian berdua tadi terus dalam rumah ya - karena Timmy?" "Ah, tidak! Kami silih-berganti berjalan-jalan, seorang diri," kata Anne. "George tidak mengizinkan Timmy ke luar. Kasihan si Timmy - dia mendengking-dengking terus, karena tidak mengerti apa sebabnya ia tidak boleh keluar!" "Tak apalah - nanti dia bisa bersenang-senang, apabila kita diizinkan menginap dalam pondok itu," kata George. Kini ia sudah gembira lagi. "Mudah-mudahan saja boleh! Wah, pasti asyik sekali kita di sana."

"Ayo Ju - kita mencuci badan dulu," kata Dick, karena melihat mata abangnya itu sudah mulai terpejam. "Julian! Ayo, kita harus membersihkan badan. Kau kan masih ingin makan dulu sebelum tidur?" Sambil mengerang, Julian tersaruk-saruk menaiki tangga ke tingkat atas. Tapi begitu tubuhnya menyentuh air dingin, ia merasa segar kembali. Rasa laparnya datang lagi. Begitu pula halnya dengan Dick. "Tadi kita belum bercerita pada Anne dan George, tentang anak perempuan yang aneh itu!" kata Julian. "Siapa lagi namanya? O ya - Aily! Serta Dave, anjingnya, dan Fany, anak biri-biri yang selalu ikut dengan Aily. Nanti jangan lupa menanyakan pada Bu Jones tentang mereka!" Mereka turun ke bawah, ke kamar duduk. Ternyata Bu Jones telah siap menghidangkan sajian sore. "Hmmm - perkedel daging," kata Dick sambil mendecak-decakkan lidah. "Dan apa ini wah keju! Besar sekali! Baunya sedap ya, Julian? Ditambah dengan roti bikinan sendiri. Hmmm! Kita mulai saja dengan ini, yuk!" "Nanti dulu! Sebagai pembuka, ada telur rebus," kata Anne sambil tertawa. "Dan sebagai penutup nanti, kue tar apel dengan krem. Jadi mudah-mudahan saja kalian berdua sungguh-sungguh lapar!" Saat itu Bu Jones masuk, membawa teh panas dalam poci. Ia tersenyum ketika melihat Dick dan Julian. "Kalian senang pesiar seharian di atas tadi?" tanyanya. "Kedua-duanya kelihatan segar bugar! Bagaimana - berhasil atau tidak menemukan pondok itu?" "Ya, Bu," kata Julian. "Pondok itu bagus sekali, Bu Jones. Kami...." "Ya, ya - pondok itu memang menyenangkan," sela Bu Jones, "sayang mereka ini tidak ikut dengan kalian! Padahal cuaca begitu cerah, dan anjing ini sebetulnya tidak apa-apa! Dan sekarang, Anne dan George ingin pulang. Seharian aku sedih terus, sibuk memikirkannya!" Bu Jones benar-benar tampak sedih. Sedang George kelihatan kikuk, karena ia merasa bersalah. Julian menepuk-nepuk lengan Bu Jones, untuk membujuknya. "Anda tidak perlu khawatir mengenai kami, Bu," katanya. "Kami mempunyai ide bagus, yang ingin kami sampaikan. Begini, Bu - kami berempat ingin tinggal sendiri di pondok yang di atas gunung itu, kalau boleh tentunya! Dengan begitu kami tidak perlu merepotkan Anda - sedang Timmy bisa dijauhkan dari anjing-anjing sini! Nah, bagaimana pendapat Anda mengenainya? Dengan jalan begini George tidak perlu pulang, seperti yang direncanakan olehnya."

"Astaga! Kalian mau tinggal di sana, dalam cuaca sedingin begini?" kata Bu Jones terperanjat. "Kan tidak enak, karena tak ada yang mengurus. Tidak, tidak ....." "Kami sudah biasa mengurus diri sendiri, Bu," kata Dick. "Lagipula, persediaan makanan yang ada di sana banyak sekali. Semua tersedia lengkap. Piring, mangkuk, pisau dan garpu - begitu pula tempat tidur ...." "Kami pasti akan asyik di sana, sela George penuh gairah. "Aku sebetulnya tidak ingin pulang, Bu Jones! Senang sekali rasanya di pegunungan dan apabila akan ada hujan salju, seperti dikatakan oleh anak Anda, kami akan bisa bersenang-senang, berolahraga salju. "Boleh ya, Bu," kata Anne meminta-minta. "Kami pasti senang dan aman di sana. Kami berjanji akan cepat-cepat turun lagi ke mari apabila ternyata kami tidak mampu mengurus diri sendiri, atau ada sesuatu yang tidak beres." "Dan aku akan mengawasi, bahwa segala-galanya beres," kata Julian dengan gaya bicara seperti orang dewasa. "Yah - sebetulnya ide ini gila-gilaan," kata Bu Jones, yang masih tetap ragu-ragu. "Aku perlu merundingkannya dulu dengan Morgan. Sekarang kalian makan saja dulu. Biar Morgan yang memutuskan, bisa tidaknya!" Bu Jones meninggalkan ruangan sambil menggeleng-geleng. Mulutnya dikerucutkan, tanda tak setuju. Bayangkan: tidak ada makanan panas, tak ada orang yang mengurus mereka! Anak-anak itu pasti akan merasa sengsara nanti, tinggal dalam pondok dingin yang di atas itu! Sementara itu anak-anak di kamar duduk sudah sibuk menyikat hidangan yang tersedia. Timmy diizinkan oleh George ikut duduk di kursi. Sekali-kali George menyodorkan secuil daging pada anjing kesayangannya itu. Timmy bersikap tahu aturan. "Aku takkan terlalu heran, apabila dia tahu-tahu menyodorkan sepiring hidangan padaku," kata Anne terkikik geli. "Timmy - tolong ambilkan garam itu!" Timmy meletakkan kaki depannya ke tepi daun meja, seolah-olah hendak menuruti permintaan Anne. George bergegas menyuruh anjing itu menurunkan kakinya. "Wah - aku lupa masih ada kue tar apel, sebagai penutup," kata Anne setengah kecewa, ketika Bu Jones kemudian masuk lagi membawa baki berisi kue yang besar serta kepala susu satu poci. "O ya, Bu - ketika kami sedang di pondok tadi, kami berjumpa dengan seorang anak perempuan," kata Dick, "Katanya ia bernama Aify. Ia berjalan diikuti seekor anak biribiri dan seekor....."

"Ah, Aily - anak bandel itu!" kata Bu Jones, sambil membenahi piring-piring kotor. "Dia anak gembala. Ia selalu membolos dari sekolah, bersembunyi di atas gunung bersama anjing dan biri-birinya. Setiap tahun, selalu ada saja anak biri-biri yang ikut dengan dia. Ke mana Aily pergi, selalu binatang itu membuntut. Kata orang, Aily tahu di mana ada liang kelinci, pohon buah atau sarang burung!" "Ketika kami melihatnya, ia sedang berjalan sambil menyanyi," kata Julian. "Suara anak itu merdu," kata Bu Jones. "Hidupnya bebas, seperti burung, Tidak bisa diatur! Jika dimarahi, langsung menghilang berminggu-minggu - entah ke mana. Nanti kalau kalian sudah tinggal di atas, jangan izinkan dia datang mendekat, karena nanti ada barang hilang!" "O ya - bagaimana, Anda sudah berbicara dengan Morgan mengenai soal itu?" tanya Dick bersemangat. Bu Jones mengangguk. "Ya - sudah! Katanya, boleh saja! Ia pun tidak ingin ada perkelahian antara Timmy melawan anjing-anjingnya. Katanya, salju pasti akan turun lagi. Tapi kalian aman dalam pondok itu! Ia menyarankan agar kereta luncur dibawa ke atas, karena nanti tentu ada kesempatan untuk bermain-main di salju. Ia akan menolong kalian membawa barangbarang ke atas." "Wah, terima kasih!" kata Julian gembira. "Terima kasih banyak, Bu. Besok sehabis sarapan kami pindah ke sana!"

Bab 8 PINDAH KE PONDOK Malam itu Dick dan Julian cepat mengantuk. Mereka sudah seharian berada di alam terbuka yang dingin tapi segar. Kemudian disusul dengan makan sekenyang-kenyangnya. Jadi tidak mengherankan, apabila keduanya tak mampu menahan rasa mengantuk. "Sudahlah, pergi saja tidur sekarang!" kata Anne, melihat kedua abangnya terkapar di kursi, setelah Bu Jones selesai membereskan meja makan. "Ya, kurasa lebih baik kita tidur saja," kata Julian sambil terhuyung bangkit. "Aduh, kakiku pegal sekali rasanya! Nah, selamat tidur! Mudah-mudahan saja kami bisa bangun pagi besok!" Setelah itu ia bersama Dick naik ke tingkat atas, tersaruk-saruk karena sudah capek sekali. George dan Anne masih duduk-duduk di bawah, membaca-baca sambil mengobrol. Timmy berbaring di depan pendiangan. Telinganya bergerak ke arah Anne apabila anak itu berbicara, lalu berpindah ke arah George pada saat ia menjawab. Kebiasaan itu benar-benar menggelikan.

"Kelihatannya seakan-akan ia ikut mendengarkan obrolan kita, tapi malas untuk berbicara," kata Anne. "Aduh, George - lega hati ku, kau tidak jadi pulang besok. Kalau kau pulang, aku terpaksa ikut juga !" "Sudahlah, jangan kita bicarakan lagi soal itu," kata George. "Sekarang aku merasa agak malu, karena sudah membikin ribut. Tapi walau begitu, aku pasti akan ketakutan apabila berjumpa dengan salah satu anjing itu, pada saat Timmy ada bersamaku, Untung saja Dick dan Julian tadi pergi ke atas, Anne! Kalau tidak, kita pasti tidak tahu-menahu tentang pondok yang ada di sana." "Ya - kedengarannya bisa asyik kita nanti," kata Anne. "Sebaiknya jangan terlalu larut kita tidur malam ini, George. Perjalanan ke atas besok tidak enteng, karena harus membawa barang-barang!" George pergi ke jendela. "Salju sudah turun - tepat seperti diramalkan oleh Morgan," katanya. "Aku tidak senang pada orang itu. Kalau kau, bagaimana?" "Ah - kurasa dia tidak jahat," jawab Anne. "Tapi suaranya, bukan main lantangnya! Aku kaget setengah mati, ketika ia berseru memanggil ketiga anjingnya. Suaranya pasti yang paling nyaring di dunia!" "Kau menguap, Tim?" kata George, melihat anjingnya mengangakan mulutnya lebarlebar. "Bagaimana lehermu?" Timmy membiarkan George memeriksa lukanya. "Sudah hampir sembuh," kata Goerge. "Besok pasti sudah tak apa-apa lagi. Kau tentunya mau, jika kita tinggal sendiri di atas gunung. Ya kan, Tim?" Timmy menguap lagi. Ia berdiri, lalu pergi ke pintu yang menuju ke lorong tempat tangga. Sesampai di sana, ia menoleh ke arah George. "Ya deh - kami datang," kata George tertawa. Mereka lantas naik ke tingkat atas, lalu mengintip sebentar ke dalam kamar tidur Dick dan Julian. Nampak kedua anak laki-laki itu tidur nyenyak di tempat tidur masingmasing. "Biar ada badai petir malam ini, mereka pasti takkan terbangun!" kata Anne. "Yuk - kita juga tidur saja sekarang. Enak juga, tidur dalam kamar yang ada pendiangannya!"

Keesokan paginya, alam sekitar pertanian itu nampak putih bersih. Seperti sudah diramalkan oleh Morgan, malam sebelumnya turun salju yang lebat. Kini di mana-mana nampak selimut salju yang tebal. "Nah, ini dia yang ditunggu-tunggu!" kata Dick dengan gembira, ketika ia memandang ke luar lewat jendela. "Ayo bangun, Ju - pagi ini indah sekali! Jangan lupa, hari ini kita harus mengangkut sendiri semua barang kita ke pondok di atas gunung! Ayo bangun!" Bu Jones menghidangkan sarapan. "Kalau kalian jadi pergi ke atas, inilah kali terakhir kalian makan hidangan hangat," katanya. "walau di sana pun kalian bisa juga merebus telur di atas tungku. Tapi jangan main-main di dekatnya, apabila tungku sedang menyala! Jangan sampai terjadi kebakaran." "Kami akan berhati-hati, Bu," kata Julian berjanji. "Siapa saja berbuat sembrono, akan segera kupulangkan. Ya, sungguh! Jadi kau harus berhati-hati, Tim!" Anak-anak tidak membawa semua barang mereka ke atas. Tapi Bu Jones menyuruh mereka membawa seperangkat pakaian ganti, di samping pakaian tidur yang hangat. Mereka juga membekali diri dengan senter, serta tali yang panjang. Bu Jones menyiapkan roti segar setengah lusin, sebongkah keju yang besar, tiga lusin telur, serta sebongkah daging paha asap. Mereka pasti takkan menderita kelaparan di atas gunung nanti! "Aku juga sudah mengemaskan mentega dalam bungkusan roti," kata Bu Jones. "Dan nanti kalau penggembala turun, aku akan menitipkan susu untuk kalian. Dalam perjalanan kembali ke atas, ia selalu lewat dekat pondok itu. Isi botol ini cuma satu liter. Tapi di atas banyak sari jeruk dan limun. Kalau kalian ingin minum coklat atau teh, ambil saja salju. Panaskan di atas tungku, sehingga mendidih'" Bu Jones tidak tahu, bahwa Lima Sekawan sudah sering bepergian sendiri! Anak-anak tersenyum sambil saling mengedipkan mata. Mereka mendengarkan segala nasehat Bu Jones dengan penuh perhatian. Tidak enak rasanya mengecewakan perasaannya. Bu Jones baik hati dan ramah sekali - begitu tekun memperhatikan segala sesuatunya. Bahkan tulang dan biskuit untuk Timmy pun tidak dilupakan olehnya. "Nah, ini dia - Morgan sudah datang," kata Bu Jones, ketika barang-barang sudah ditumpukkan di depan pintu rumah, termasuk sepatu ski dan kereta luncur. Anak-anak menaruh barang-barang mereka ke atas kereta salju yang dibawa oleh anak Bu Jones. Mereka akan berjalan kaki ke atas, karena salju belum begitu tinggi. Timmy meloncat-loncat dengan gembira, tapi sambil memandang berkeliling dengan waspada, kalau-kalau ada anjing yang kemarin. George juga berjaga-jaga. Timmy tidak diizinkan pergi jauh-jauh dari sisinya.

Morgan mengangguk ke arah anak-anak. "Selamat pagi," katanya singkat. Diambilnya kedua tas tali penghela, lalu disampirkannya ke bahu. "Biar kubantu menarik tali yang satu," kata Julian. "Beban ini terlalu berat, jika ditarik oleh satu orang saja!" "Hah!" kata Morgan meremehkan, lalu mulai berjalan sambil menarik. Kereta salju meluncur di belakangnya. "Tenaga anakku itu, tidak kalah dengan seekor kuda," kata Bu Jones bangga. "Sepuluh ekor, Bu," kata Julian. Kepingin rasanya menjadi sebesar dan sekekar Morgan. George diam saja. Tapi sebetulnya ia belum memaafkan orang itu, karena kemarin meremehkan luka Timmy. George berjalan bersama saudara-saudaranya, sambil memanggul sepatu ski. Ia melambaikan tangan pada Bu Jones, yang memandang mereka pergi dengan perasaan waswas. Rasanya jauh sekali jalan yang harus didaki, apabila harus membawa atau menghela barang-barang. Morgan berjalan paling depan. Enak saja kelihatannya ia menarik kereta salju yang sarat dengan muatan. Julian di belakangnya, menghela kereta luncur sambil memanggul sepatu ski kepunyaannya. Dick juga membawa barang-barang yang serupa seperti Julian. Sedang Anne dan George hanya memanggul sepatu ski. Lalu Timmy? Anjing itu berada di posisi paling depan - atau kadang-kadang paling belakang, semau dia. Pokoknya asyik! Morgan berjalan sambil membisu. Ketika Julian mengajaknya bercakap-cakap, jawabannya selalu berupa suara memberungut. Julian memperhatikan laki-laki yang berbadan kekar itu dengan penuh minat. Ia heran, apa sebabnya orang itu membisu terus. Padahal nampaknya ia cerdas - bahkan baik hati! Tapi sikapnya selalu masam. Kasar tindak-tanduknya. Ah, - sudahlah sebentar lagi mereka toh akan berpisah lagi, dan anakanak tak perlu berurusan dengan dia! Akhirnya mereka tiba di pondok. Anne dan George lari mendului, sambil berseru-seru dengan senang. George mengintip ke dalam lewat jendela. "Aduh - ini kan kayak rumah biasa! Lihatlah- itu dia tempat tidur, menempel ke dinding. Dan lantai pun dilapisi dengan karpet. Cepat, Julian - mana anak kuncinya?" "Dipegang Morgan," kata Julian. Anak-anak menunggu, sampai orang itu membukakan pintu. "Terima kasih," kata Julian dengan sopan.

"Kalau Anda tidak membantu, pasti kami kewalahan membawa segala barang ini kemari." Morgan hanya mendengus sebagai jawaban. Tapi kelihatannya ia senang. "Kadang-kadang Pak Gembala lewat di sini," ujarnya dengan suara yang berat. Anakanak heran, mendengar Morgan mau berbicara dengan mereka. "Kalau kalian mau, dia bisa dititipi pesan." Setelah itu ia pergi menuruni bukit. Langkahnya panjang-panjang, mirip raksasa dalam dongeng. "Orang aneh," kata Anne, sambil menatap ke arah Morgan, yang sementara itu semakin menjauh. "Aku tidak tahu, apakah aku senang padanya - atau tidak." "itu kan tidak penting," kata Dick. "Tolong dulu, Anne. Banyak yang masih harus kita lakukan. Bagaimana jika kau bersama George mengurus soal tempat tidur kita?" Anne paling senang melakukan tugas-tugas seperti itu. Tapi George tidak! la lebih senang disuruh mengangkut barang-barang ke dalam, seperti yang saat itu dilakukan oleh Julian dan Dick. Tapi ia masuk juga ke rumah bersama Anne, membuka lemari-lemari serta memeriksa isinya dengan penuh perhatian. "Di sini banyak tersedia selimut dan bantal," kata Anne. "Begitu pula perabot makan! Tentunya banyak tamu Bu Jones yang kemari pada musim panas. George, sebaiknya kau yang mengatur tempat tidur - sementara aku membereskan bekal makanan kita." "Baiklah," kata George. Dalam ruangan itu ada enam tempat tidur, masing-masing tiga pada satu sisi. Tempat tidur itu bertingkat-tingkat, satu di atas yang lain. Tak lama kemudian George sudah sibuk mengatur empat tempat tidur. Sementara itu Anne juga ada di situ. Setelah itu ia memeriksa tungku, apakah sudah ada minyak di dalamnya. Malam nanti, hawa pasti sangat dingin. "Ya - penuh," katanya puas. "Nanti malam saja kunyalakan, karena selama hari terang kita kan jalan-jalan dan di luar terus. Betul kan, Dick?" "Ya!" kata Dick, yang sedang sibuk mengeluarkan barang-barang dari kopernya. "Ngomong-ngomong, di luar ada tempat penyimpanan. Di dalamnya terdapat sekaleng minyak, serta sebuah kendi. Kendi itu kurasa untuk mengambil air di salah satu sumber pada musim panas. Kalau sekarang, cukup apabila kita mencairkan salju saja. Masih lamakah kalian?" "Tidak - sudah hampir selesai," kata Anne. "Apakah kita makan dulu, sebelum pergi? Atau kita membawa bekal roti dengan daging asap saja dulu, dan nanti setelah kembali baru makan?"

"Kita bawa roti sandwich saja," kata Julian. "Aku tidak ingin berhenti untuk makan. Lagipula sekarang kan kita belum lapar lagi. Siapkan saja sandwich, Anne nanti kita bawa pula beberapa buah apel untuk dimakan sambil berjalan!" Dengan cepat roti sandwich sudah selesai disiapkan. Dick dan Julian mengisi kantong mereka dengan beberapa butir buah apel. Setelah itu mereka berangkat.

Bab 9 KISAH ANEH Hari itu anak-anak tidak mau repot-repot membawa ski. Soalnya, salju saat itu belum cukup tebal. Kecuali itu, mereka ingin bermain-main dengan kereta luncur. Dick ditemani George di keretanya, sedang Julian membawa Anne. Timmy tidak mau diajak naik kereta. "Ayo berlomba, siapa paling duluan sampai di bawah!" seru Julian. "Satu - dua - tiga!" Kedua kereta itu meluncur dengan laju di atas salju. Angin mendesing di telinga anakanak, yang berteriak-teriak keasyikan. Julian menang dengan mudah, karena kereta yang dinaiki Dick dan George tersangkut pada sesuatu yang menonjol di bawah salju, sehingga terjungkir. Dick dan George jatuh terpelanting dalam salju. Keduanya cepat-cepat bangun lagi, terkejap-kejap menyemburkan salju yang masuk ke mulut. Timmy sibuk sekali. Ia berlari-lari mengejar kedua kereta luncur yang melesat ke bawah. Menggonggong-gonggong dengan ribut, jengkel karena kakinya selalu terbenam ke dalam salju. Ia kaget sekali ketika tahu-tahu Dick dan George melayang sewaktu kereta mereka tersangkut. Dihampirinya kedua anak yang terduduk di salju. Ia meloncat-loncat mengelilingi mereka, menjilat-jilat dan mendorong-dorong mereka. Ia bukannya membantu, malahan menyukarkan mereka bangun lagi. "Aduh, Timmy!' seru Dick jengkel. Anak itu jatuh terduduk lagi sewaktu hendak berdiri, karena terdorong oleh Timmy yang begitu ribut. "Sana- George saja, yang kaugulingkan, jangan aku! Panggil dia, George!" Menarik kereta luncur kembali ke atas bukit, bukan pekerjaan enteng. Tapi anak-anak tak peduli, karena ada imbalannya - yaitu meluncur ke bawah, melesat di atas salju! Tak lama kemudian muka keempat anak itu sudah kemerah-merahan. Ingin rasanya mereka membuka jas dan syal - begitu panas badan mereka! "Uhh - aku tak mampu lagi menarik kereta ini ke atas!" kata Anne kemudian. "Aku kehabisan tenaga. Kalau kau masih mau, terpaksa sendiri saja, Julian!"