5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI
-
Upload
rocky-marbun -
Category
Documents
-
view
254 -
download
28
description
Transcript of 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI
c
r
INDONESIAN BANKS ASSOCIATION
LAPORAN KAJIAN AKADEMIK
ANALISIS KEBUAKAN PAJAK PERTAMB AHAN NILAIATAS KEGIATAN JASA PERBANKAN
(PENGALIHAN AKTIVA, AGUNAN YANGDIAMBILALIH DAN PEMBERIAN CUMA-CUMA)
Tim Kajian
Prof. Dr. Gunadi, M.Sc.AkDr. Haula Rosdiana, M.Si
Dra. Titi Muswati Putranti, M.SiDra. Inayati, M.Si
Drs. Iman Santoso, M.Si
PUSAT KAJIAN ILMU ADMINISTRASIFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA
Depok, Februari 2012
KATA PENGANTAR
Kebijakan Pajak Pertambahana Nilai (PPN) hendaknya didisain dengan
mengacu pada legal caharactemya sehingga keunggulan jenis pajak ini, yaitu fiscal
advantages, economic advantages dan psycological Advantages dapat terwujud dalam
implementasi sistem PPN dalam praktik sehari-hari. Dalam koridor Negara sebagai
Regulator, kebijakan PPN menjadi instrumen untuk memperkuat Negara dalam
menjalankan fungsi-fungsinya. Karena itu, menjadi suatu keharusan, bahwa dalam
formulasi kebijakan PPN, terjadi keseimbangan antara prinsip/asas penerimaan
(revenue productivity), netralitas (neutrality) dan kemudaban administrasi (ease of
administration).
Secara international best practice, kebijakan PPN yang spesifik kerapkali
didisain atas industri-industri tertentu yang mempunyai kekhasan atau nature of
business yang unik. Hal ini dilakukan karena prasyarat disain PPN yang baik (good
requirement of VAT treatment) hams sedapat mungkin selaras dengan pola bisnis serta
kebijakan khusus pemerintah atas industri tersebut, termasuk kebijakan akuntansi yang
ditetapkan pemerintah atas industri tersebut. Karena itu, dalam mendesain kebijakan,
PPN tentunya diperlukan kajian yang mendalam berdasarkan kerangka
konseptual/teoris yang tepat dan relevan, serta internasional best practice. Oleh karena
itu Kajian Akademik diperlukan untuk mendukung kebijakan pajak yang baik.
Jakarta, Februari 2012
Tim Kajian
Pusat Kajian Ilmu Administrasi FISIP UI
ii
RINGKASAN EKSEKUTIF
Kegiatan utama industri perbankan sebagai lembaga keuangan adalah
menghimpun dana dari masyarakat luas dan menyalurkannya kembali kepada
masyarakat melalui pemberian pinjaman atau kredit selain penyediaan jasa lainnya yang
ditujukan untuk memperlancar kegiatan menghimpun dana dari masyarakat.
Keuntungan bisnis perbankan dihasilkan dari selisih bunga simpanan masyarakat
dengan bunga pinjaman yang disalurkan. Dalam melaksanakan kegiatan perkreditan
tersebut, pihak bank akan mempertimbangakan kredit yang diajukan oleh nasabah
sebelum kredit tersebut disalurkan oleh bank, bunga kredit yang akan diberikan serta
risiko kredit macet atau kredit bermasalah.
Bank Indonesia mencatat bahwa jumlah kredit bermasalah (non performing
loan) terus meningkat dari hingga Oktober 2011 meskipun besaran tersebut masih
dibawah angka potensi ideal kredit macet perbankan yaitu dibawah 5%. Namun, hal ini
masih menjadi permasalahan serius yang dihadapi oleh industri perbankan. Terjadinya
kredit macet atau tunggakan disebabkan oleh beberapa hal seperti (i) perencanaan bank
yang kurang memadai (ii) turunnya kemampuan bayar debitur (iii) account maintenance
yang lemah (iv) kesalahan akuisisi pinjaman dan (v) masalah lingkungan yang terjadi
diluar kuasa nasabah dan perbankan.
Dalam mengatasi kredit macet, bank melakukan berbagai upaya seperti
penyelesaian utang piutang melalui Panitia Urusan Piutang Leiang (PUPN) bagi bank
yang permodalannya dimiliki oleh pemenntah. Selain itu, Pengambilalihan Agunan
Yang Diambil Alih (AYDA) merupakan salah satu upaya penyelesaian kredit macet
untuk mengatasi kerumitan eksekusi hak tanggungan. Hal ini potensial membawa
pengaruh negatif terhadap tingkat kesehatan bank. Dalam kenyataannya,
pengambilalihan AYDA dilakukan melalui Perjanjian Perikatan Jual Beli (PPJB) dan
Kuasa Jual kepada bank. Kondisi ini menimbulkan risiko bagi bank tersebut karena
PPJB pada dasarnya belum mengalihkan status kepemilikan atas jaminan kepada
pembeli.
Penjualan AYDA atas penyelesaian kredit macet pada dasarnya bukan
merupakan kegiatan usaha bank. Hal ini juga didukung dihapusnya ketentuan Pasal 6
huruf k UU Perbankan yang berkaitan dengan pengambilalihan dan penjualan agunan
■V
iii
dan kegiatan usaha bank umum pada UU No. 10/1998 tentang Perubahan atas UU No.7
Tahun 1-992 tentang Perbankan. Dalam penjelasan L2A Perbankan No. 10/1998
disebutkan bahwa pembelian agunan oleh bank dimaksudkan semata-mata agar dapat
mempercepat penyelesaian kewajiban debitur dan bank juga tidak diperbolehkan untuk
memiliki agunan tersebut dan secepatnya agunan tersebut dicairkan/dijual kembali.
Selain permasalahan AYDA, kegiatan lain yang dilakukan bank seperti
mengadakan promosi dengan memberikan hadiah dapat menimbulkan permasalahan
terkait isue perpajakan yaitu ketentuan mengenai pemakaian sendiri dan pemberian
cuma-cuma. Isue lainnya yang potensial menimbulkan dispute adalah masalah
pengalihan aktiva yang semula tidak untuk diperjualbelikan (selanjutnya disingkat
menajdi pengalihan aktiva) yang dilakukan oleh pelaku usaha perbankan.
Isue AYDA terjadi karena terbitnya SE-121/PJ/2010, yang mengatur bahwa
bank umum dianggap juga dapat melakukan kegiatan yang bukan merupakan
penyerahan jasa. SE-121/PJ/2010 tentang Penegasan Perlakuan Pajak Pertambahan
Nilai Atas Kegiatan Usaha Perbankan, juga mengatur bahwa penjualan AYDA
merupakan penyerahan barang yang terutang PPN, tanpa menjelaskan klausal UU PPN
yang relevan sebagai dasar pertimbangan pengenaan PPN atas AYDA. Sementara isue-
isue yang lainnya potensial menimbulkan dispute karena belum adanya peraturan
perpajakan yang secara spesifik mengatur hal tersebut.
Secara konseptuai/teoritis, pengalihan aktiva, pemakaian sendiri dan pemberian
cuma-cuma mempunyai disain kebijakan yang spesifik karena yang menjadi dasar
pemikiran para ahli perpajakan untuk merekomendasikan transaksi-transaksi ini sebagai
taxable supplies adalah untuk menghindari hidden subsidy serta aggresive tax planning
bahkan tax evasion. Karena itu, dalam mendisain kebijakan VAT treatment dX&s trasaksi-
transaksi ini konsep general/normal approach tidak diberlakukan secara penuh.
Konsepsi pendekatan umum (general/zjorma/ approach) telah diadopsi secara
luas dan menjadi international best practice. Untuk menentukan apakah suatu
penyerahan/transaksi merupakan penyerahan kena pajak (taxable supplies), konsep
general/normal approach mengatur syarat-syarat yang bersifat kumulatif, yaitu (i)
barang yang diserahkan adalah barang kena pajak (ii) tindakan penyerahan adalah
penyerahan kena pajak (iii) penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak atau
iv
pengusaha yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (iv)
penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha perusahaan atau pekerjaan.
Dalam hal perlakuan PPN atas penyerahan aktiva yang semula tidak untuk
diperjualbelikan merupakan hal khusus dan perlu diteliti ketika akan mengkaji tiap-tiap
transaksi yang ada secara objektif. Dengan kata lain, ketentuan perlakuan pengenaan
PPN tersebut diatas tidak dapat dijadikan sebagai tolak ukur baku dengan semata-mata
hanya mempertimbangkan ada/tidaknya aktiva yang diserahkan terutama jika
pengusaha melakukan kegiatan usaha yang tidak dikenakan PPN, juga melakukan
kegiatan usaha yang terutang PPN seperti yang dilakukan oleh industri perbankan.
Khusus untuk industri perbankan, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah apakah
aktiva yang semula tidak untuk diperjualbelikan ini merupakan aktiva yang terkait
dengan lembaga perbankan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau sebaliknya.
Selain itu, perlu dianalisa kembali ketentuan pengecualian pengenaan PPN atas
penyerahan aktiva, khususnya terkait dengan ketentuan bahwa atas aktiva yang pada
saat perolehannya, Pajak Masukan atas perolehan aktiva tersebut tidak dapat dikreditkan
karena tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha sehingga aktiva
tersebut tidak terutang PPN.
Dalam mengalisa perlakuan PPN atas Agunan Yang Diambil Alih (AYDA),
perlu diperhatikan bahwa historis penyerahan aktiva tersebut pada awal terjadinya
perjanjian kredit. Sebagaimana konseptual/teoritis dan international best practice, UU
PPN di Indonesia mengatur penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-
piutang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak. Dengan
demikian, tidak ada Pajak Masukan yang dibayar oleh perbankan ketika debitur
menyerahkan aktiva sebagai jaminan kredit. Kondisi ini hams menjadi pertimbangan
jika dasar acuan pengenaan PPN atas AYDA adalah Pasal 16D.
Sebaliknya, jika otoritas pajak beranggapan bahwa yang menjadi dasar acuan
pengenaan PPN atas AYDA adalah Pasal 4 ayat (1) huruf a dan Pasal 1A ayat 1 huruf a,
maka keputusan perlakuan PPN yang tepat atas AYDA, hams megacu pada
general/normal approach yang dianut dalam (penjelasan) Pasal 4 ayat (1) huruf a UU
PPN.
Kelemahan dari SE 121/PJ/2010 yang mengatur bahwa AYDA merupakan
penyerahan yang terhutang PPN adalah tidak adanya landasan hukum yang menjelaskan
■V
pasal mana dalam UU PPN yang menjadi dasar acuan perlakuan PPN atas AYDA. Hal
ini kurang selaras dengan asas certainty, bahkan prinsip ease of administration secara
keseluruhan.
Terkait kegiatan yang dilakukan oleh perbankan atas pemberian cuma-cuma dan
atau pemakaian sendiri, disain kebijakan PPN atas Pemberian Cuma-cuma (dan
Pemakaian Sendiri) yang berlaku di Indonesia, telah memenuhi aspek konseptual
teoritis serta selaras dengan asas netralitas. Pada dasarnya beban PPN atas kebijakan ini
sangat minim, karena memang yang menjadi tujuan utamanya adalah menghindari
hidden subsidy dan menghindari terjadinya aggresive tax planning maupun tax evasion.
Dengan demikian asas netralitas yang menjadi landasan dasar penyusunan kebijakan
PPN sangat terjaga dengan baik. Meskipun demikian, tidak semua pemberian cuma-
cuma yang dilakukan oleh pihak perbankan terhutang PPN. Analisis yang obyektif
harus dihadirkan dalam menganalisis terhutang atau tidaknya pemberian cuma-cuma
tersebut karena sesuai dengan kaidah general/normal approach. Dengan demikian,
kondisi atau jenis pemberian cuma-cuma akan mempunyai perlakuan yang berbeda satu
dengan yang lainnya sesuai dengan mengacu pada general/normal approach dan
ketentuan yang berlaku.
Meskipun demikian, kebijakan pemberian cuma-cuma dalam UU PPN Indonesia
memiliki kelemahan, terutama seperti ketentuan yang diatur dalam Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 04/PJ.51/2002 tidak memberikan contoh barang
bukan produksi sendiri dalam pemberian cuma-cuma. Hal tersebut cukup potensial
menimbulkan perbedaan interpretasi. Secara khusus untuk perbankan, terdapat beberapa
hal yang perlu diperhatikan. Pertama, karena Pasal 1A ayat (1) huruf d adalah berkaitan
dengan Pasal 4 ayat (1) huruf a dan penjelasannya, maka syarat-syarat untuk
menentukan terhutang atau tidaknya PPN [normal approach) berlaku dalam
menganalisis perlakuan PPN atas pemberian cuma-cuma. Secara spesifik jika terkait
dengan syarat bahwa pihak yang melakukan penyerahan adalah PKP, maka apabila
pemberian cuma-Cuma dilakukan dalam rangka menarik nasabah menyimpan uang di
Bank (dalam bentuk tabungan/deposito atau lainnya), maka pemberian tersebut terkait
dengan penyarahan Non JKP. Karena itu dalam konteks ini bank bukanlah PKP
sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 14 dan 15 UU No. 42 Tahun 2009.
vi
Kedua, terkait kegiatan yang dilakukan oleh perbankan, Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak Nomor SE - 04/PJ.51/2002 tidak memberikan contoh barang bukan
produksi sendiri dalam pemberian cuma-cuma, sementara dalam Surat Edaran tersebut
tidak menyebutkan ketentuan yang bersifat open list sehingga perlakuan PPN atas
pemberian cuma-cuma yang dilakukan oleh pihak perbankan tidak/belum mempunyai
kepastian hukum yang jelas.
Berdasarkan hasil analisis, disarankan agara dibuat regulasi untuk menjelaskan
apa yang dimaksud dengan "penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau
pekerjaannya". Hal ini sangat penting untuk menghindari potensi dispute yang besar
dan berkelanjutan, sehingga kebijakan PPN dapat menekan cost of taxation yang tinggi.
Secara khusus diperlukan regulasi untuk memberikan kepastian hukum atas pengalihan
aktiva yang semula tidak untuk diperjualbelikan, AYDA dan pemberian cuma-cuma
sesuai dengan konsep/teori PPN dan international best practice degan tetap menjaga
keselarasannya dengan asas netralitas, revenue productivity fan ease of administration.
V
vii
DAFTARISI
KATAPENGANTAR...................................................................................................iiRINGKASANEKSEKUTIF........................................................................................HiDAFTAR ISI..............................................................................................................viiiDAFTAR TABEL.........................................................................................................xDAFTAR GAMBAR....................................................................................................xiBAB 1 PENDAHULUAN............................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................11.2 Identifikasi Masalah..................................................................................71.3 Tujuan Kajian...........................................................................................8
BAB 2 KERANGKA TEORI......................................................................................92.1 Peran Pemerintah dan Kebijakan Fiskal.....................................................92.2 Konsep Pajak Pertambahan Nilai.............................................................10
2.2.1 Legal Character dm Pajak Pertambahan Nilai.............................112.3 Asas-asas Pemungutan Pajak..................................................................22
2.3.1 Asas Revenue Productivity..........................................................222.3.2 Asas Ease of Administration.......................................................22
2.4 Konsep Cost of Taxation.........................................................................24BAB 3 KEBUAKAN PPN ATAS KEGIATAN JASA PERBANKAN DI
INDONESIA................................................................................................303.1 Kebijakan PPN atas Kegiatan Jasa Perbankan..........................................303.2 Kebijakan PPN atas Penyerahan Barang Kena Pajak................................323.3 Perlakuan PPN atas Kegiatan Jasa Perbankan Dalam UU No. 42
tahun2009..............................................................................................37BAB 4 ANALISIS PERLAKUAN PPN ATAS PENGALIHAN AKTIVA
YANG SEMULA TIDAK UNTUK DIPERJUALBELIKAN.....................444.1 Konsepsi PPN atas Pengalihan Aktiva yang Semula Tidak untuk
Diperjualbelikan {Transferred Assets).....................................................444.1.1 Perkembangan Pengadopsian Pendekatan Umum {Normal
Approach) untuk Menentukan Penyerahan Kena Pajak {TaxableSupplies) dalam UU PPN di Indonesia...........................44
4.1.2 Pengertian "dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan'V'dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya"...................................49
4.2 Justifikasi Pengalihan Aktiva Yang Menurut Tujuan Semula Tidak Untuk Diperjualbelikan Dijadikan Sebagai Obyek PPN......................................52
4.3 Analisis Kritis atas Penyerahan Aktiva yang Semula Tidak untuk Diperjualbelikan yang dilakukan oleh Perbankan....................................59
BAB 5 ANALISIS PERLAKUAN PPN ATAS AGUNAN YANG DIAMBILALIH(AYDA)..............................................................................................625.1 Perlakuan PPN atas AYDA dalam kurun waktu 1983 - 2009....................625.2 Ketidakjelasan Dasar Hukum Pengenaan PPN atas Penjualan AYDA.......645.1 Analisis Kritis Perlakuan PPN atas Penjualan AYDA yang Dilakukan oleh
Pihak Perbankan......................................................................................66BAB 6 ANAUSIS PERLAKUAN PPN ATAS PEMBERIAN CUMA-CUMA
(DAN PEMAKAIAN SENDIRI)..................................................................696.1 Konsepsi Teoritis Pengenaan PPN atas Pemberian Cuma-cuma...............69
V
6.2 Perkembangan Pengadopsian Konsep PPN atas Pemberian Cuma-cuma (dan Pemakaian Sendiri) Dalam UU PPN di Indonesia....................70
*6.2.1 Perlakuan PPN atas Pemberian Cuma-cuma (dan PemakaianSendiri) Sebelum UU No. 18 Tahun 2000.....................................71
6.2.2 Perlakuan PPN atas Pemberian Cuma-cuma (dan PemakaianSendiri) Setelah UU No. 18 Tahun 2000.......................................74
6.3 Analisis Kritis Perlakuan PPN atas Pemberian Cuma-cuma (danPemakaian Sendiri) yang Dilakukan oleh Pihak Perbankan.......................78
BAB 7 SIMPULAN DAN REKOMENDASI.............................................................817.1 Simpulan.................................................................................................817.2 Rekomendasi..........................................................................................82
REFERENSI...............................................................................................................83
V
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Non Performing Loan Bank Umum Berdasarkan Sektor Ekonomi...............4Tabel 3.1 Pengertian Jasa menurut UU PPN...............................................................30Tabel 3.2 Jasa Perbankan merupakan Jasa Tidak Kena Pajak menurut UU PPN........31Tabel 3.3 Perkembangan Ketentuan Pasal 4 Terkait dengan Obyek PPN dalam
UU PPN di Indonesia.................................................................................32Tabel 3.4 Perkembangan Ketentuan Penyerahan BKP Yang Terhutang PPN
(Taxable Supplies of Goods) Dalam UU PPN di Indonesia.........................34Tabel 3.5 Perkembangan Ketentuan Penyerahan BKP Yang Tidak Terhutang
PPN (Non Taxable Supplies of Goods) Dalam UU PPN di Indonesia........35Tabel 3.6 Perkembangan Ketentuan Pasal 16D tentang Pengalihan Aktiva yang
Semula Tidak Untuk Diperjualbelikan Dalam UU PPN di Indonesia.........36. Tabel 3.7 Kegiatan Usaha Bank Umum Yang Merupakan Penyerahan Jasa
Keuangan Yang Tidak Terutang PPN........................................................41Tabel 3.8 Kegiatan Usaha Bank Umum Yang Merupakan Penyerahan Jasa
Yang Terutang PPN...................................................................................43Tabel 4.1 Pengadopsian Normal • Approach untuk Menentukan Penyerahan
(Barang) Kena Pajak (Teori David Williams) dalam UU No. 8 Tahun1983..........................................................................................................45
Tabel 4.2 Pengadopsian Normal Approach untuk Menentukan Penyerahan (Barang) Kena Pajak (Teori David Williams) dalam UU No. 11 Tahun1994..........................................................................................................46
Tabel 4.3 Pengadopsian Normal Approach untuk Menentukan Penyerahan (Barang) Kena Pajak (Teori David Williams) dalam UU No. 18 Tahun2000..........................................................................................................47
Tabel 4.4 Pengadopsian Normal Approach untuk Menentukan Penyerahan (Barang) Kena Pajak (Teori David Williams) dalam UU No. 18 Tahun2000..........................................................................................................48
Tabel 4.5 Translasi terminologi "the taxable person makes those supplies as partof the person's business activities" dalam UU PPN di Indonesia...............50
Tabel 4.6 Pemkembangan Ketentuan Penyerahan Aktiva yang Semula TidakUntuk Diperjualbelikan..............................................................................56
Tabel 4.7 Syarat Terhutang PPN atas Penyerahan Aktiva Dalam UU No. IITahun 1994/ UU No. 18 Tahun 2000..........................................................58
Tabel 4.8 Syarat Terhutang PPN atas Penyerahan Aktiva Dalam UU No. 42Tahun 2009...............................................................................................59
Tabel 5.1 Ketentuan PPN atas AYDA........................................................................63Tabel 6.1 Perkembangan Ketentuan Pemakaian Sendiri dan Pemberian Cuma-
cuma Dalam UU PPN di Indonesia...........................................................71
■V
|pN
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Rekapitulasi Institusi Perankan Indonesia (Mei 2011).................................... 1Gambar 1.2 Penyebab Terjadinya Tunggakan......................................................................5
xi
BAB1PENDAHULUAN
<
1.1 Latar Belakang
Lembaga keuangan khususnya perbankan mempunyai fungsi sebagai intermediasi
dalam efektifitas sualu perekonomian. Jika fungsi ini dapat berjalan dengan baik, maka
lembaga keuangan khususnya perbankan lersebut dapat menghasilkan nilai tambah. Dalam
kegiatan ckonomi, besar kecilnya usaha tidak menjadi faktor pembeda karcna hal yang penting
adalah nilai tambah berdasarkan skala usaha. Jadi poin penting adalah bagaimana peran media
intermediasi tersebut dalam peningkatan kegiatan ckonomi {Wijono.2005).
Jasa intermediasi bcrupa perbankan dapat diklasifikasi kedalam bebcrapa kategori.
Secara umum, industri perbankan yang ada di Indonesia biasanya dikategorikan kedalam 6
kelompok yaitu Bank Persero, Bank Umum Swasta Nasional Devisa (BUSN Devisa), Bank
Umum Swasta Nasional Non Devisa (BUSN Non Devisa). Bank Asing, Bank Pembangunan
Dacrah dan Bank Campuran (Sugcma). Namun, secara umum kategori lembaga perbankan
teregulasi adalah Bank Umum dan BPR. Bank umum adalah bank yang dapat membcrikan jasa
dalam lain lintas pembayaran (Saragih, 2010)' Kategorisasi Bank Umum dan Bank BPR dapat
dideskripsikan dalam gambar 1.1 berikut.
Gambar 1. 1 Rckapitulasi Institusi Perankan Indonesia
(Mei 2011)
Rchnpiiulan instiiusl Pcihan'jn di Incfoneaia Mel 2010"
1
Sumber: Bank Indonesia
y
Setiap jenis bank memiliki ciri dan tugas tersendiri dalam melakukan kegiatannya.
Dalam praktiknya kegiatan bank dibedakan sesuai dengan jenis bank tersebut. Kegiatan
bank umum dengan kegiatan bank perkreditan rakyat, memiliki tugas atau kegiatan yang
berbeda. Kegiatan bank umum lebih luas dari bank perkreditan rakyat. Artinya produk
yang ditawarkan oleh bank umum lebih beragam, hal ini disebabkan bank umum
mempunyai kebebasan untuk menentukan produk dan jasanya. Sedangkan Bank
Perkreditan Rakyat mempunyai keterbatasan tertentu, sehingga kegiatannya lebih sempit.
Sebagai lembaga keuangan, bank juga melakukan berbagai kegiatan di bidang keuangan.
Kegiatan perbankan yang paling pokok adalah menghimpun dana dari masyarakat luas
dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat melalui pemberian pinjaman atau
kredit. Keuntungan bisnis perbankan dihasilkan dari selisih bunga simpanan masyarakat
dengan bunga pinjaman yang disalurkan. Bank juga memberikan jasa-jasa lainnya yang
ditujukan untuk memperlan'car kegiatan menghimpun dan menyalurkan dana.
Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 (UU
Perbankan), mengatur bahwa usaha Bank Umum meliputi:
a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito
berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu;
b. memberikan kredit;
c. menerbitkan surat pengakuan utang;
d. membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan
dan atas perintah nasabahnya:
1) surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa
berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-
surat dimaksud;
2) surat pengakuan utang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya
tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;
1) kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah;
2) Sertifikat Bank Indonesia (SBI);
3) obligasi
4) surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;
3) instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1
(satu) tahun; v
2
e. memindabkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan
nasabah;
f. menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada
bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun
dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya;
g. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan
perhitungan dengan atau antar pihak ketiga;
h. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga;
i. melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu
kontrak;
j. melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk
surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek;
k. melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali amanat;
1. menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip
Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; m. melakukan
kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan
Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Salah satu kegiatan yang dilakukan oleh Bank Umum adalah kegiatan
menyalurkan kembali dana yang berhasil dihimpun dari masyarakat atau dikenal dengan
kegaitan lending. Penyaluran dana yang dilakukan oleh bank dilakukan melalui
pembenan pinjaman yang dalam masyarakat lebih dikenal dengan nama kredit. Kredit
yang diberikan oleh bank terdiri dari beragam jenis, tergantung dari kemampuan bank
yang menyalurkannya. Demikian pula dengan jumlah serta tingkat suku bunga yang
ditawarkan. Oleh sebab itu penting untuk menilai kelayakan kredit yang diajukan oleh
nasabah sebelum kredit dikucurkan oleh bank. Penerima kredit akan dikenakan bunga
kredit yang besarnya tergantung dari bank yang menyalurkannya. Besar kecilnya bunga
kredit sangat mempengaruhi keuntungan bank, mengingat keuntungan utama bank adalah
dari selisih bunga kredit dengan bunga simpanan.
Secara umum jenis-jenis kredit yang ditawarkan meliputi kredit investasi, kredit
modal kerja, kredit perdagangan, kredit produktif, kredit konsumtif dan kredit profesi.
Disamping kegiatan lending, bank juga memberikan jasa-jasa keuangan lainnya. Kegiatan
jasa bank yang dilakukan oleh Bank Pengkreditan Rakyat (BPR) jauh lebih sempit
V
3
dibanding dengan kegiatan Bank Umum. Dalam lial penyaluran dana, BPR Iianya dapat
memberikan kredit invcstasi, kredit modal kerja dan krcdit perdagangan.
Berdasarkan data Bank Indonesia sampai bulan Oklober 2011 total kredit yang
dikucurkan perbankan Indonesia mencapai Rp 2.106,157 triliun. Kredit ini naik
dibandingkan bulan Oktober tahun 2010 yang nilainya Rp 1.675,633 triliun. Dari total
kredit tersebut, sebanyak Rp 1.957,61 triliun masuk kategori lancar. Sementara Rp 10,59
triliun masuk kategori kurang lancar, Ialu Rp 7,48 triliun masuk kategori diragukan, dan
Rp 37,856 triliun masuk kategori macet (detik.com, 2011).
Salah satu risiko yang dihadapi perbankan adalah kredit macet atau kredit
bcrmasalah. Berdasarkan data Bank Indonesia jumlah kredit bcmiasalali (NPL/Non
Performing Loan) dari perbankan per Oktober 2011 mencapai Rp 55,926 triliun, naik dari
posisi September 2011 yang scbesar Rp 56,507 triliun. Rasio NPL perbankan di Oktober
2011 mencapai 2,66%. Walaupun masih dibawali angka prosentasi ideal kredit macet
perbankan yaitu dibawah 5%, namun hal ini masih menjadi permasalahan serius yang
dihadapi oleh industri perbankan. Bank Indonesia mencatat kredit macet perbankan pada
bulan September 2011 scbesar Rp 36,9 triliun dan naik hingga Oktober 2011 jumlah
krcdit macet perbankan mencapai Rp 37,856 triliun. Kredit macet ini tercatat naik
dibandingkan dengan bulan Oktober tahun 2010 yang sebesar Rp 30,984 triliun
(detik.com.2011). Berikut data NPL Bank Umum berdasarkan scktor ekonomi yang
dicatat olch Bank Indonesia.
Tabel 1. 1
Non Performing Loan Bank Umum Berdasarkan Sektor Ekonomi
Srttor .. 2035 206 .2007
2003 2W3
" .2010- 2011
''Ekonomi ok Nov
Des
Jan Feb
Mar V ■M
ain1717 ii
IJBSS
/Vj3
2.03'
Okt
1 fitter. :r:-.r,ji 3.135 1165 2.121 1.851 743* 7756 2535 usa
1.764 1917 1076 1.703 1.741 2.135
anarijnurai
2 fali-feTOJl 1192 1101 737 911 774 1.139 1134 m 307 259 382 365 1.110 1.031 953 343 778 7703ftmi*ri3i 26.734 9.353 14
59314674 12.41
1 not iisa 10253 10892 1Q54D 11615 11.912 12247 11776 11533 12.885 13.761 13J357
lUssftgaOmi 130 755 96 77 IE 140 355 193 ISO 198 143 15? IB1 175 177 in 173 177
'. C-.-.W 1 -.-.-; IGC-3 1.642 1.355 7 3 It 2/75 2334 2237 2.563 2.566 2514 2528 25J3 2556 201 3.051 3133 1335 7z5sx$&\ tis^zr. t.m oioo E.9W 004D 17.75
412115 14034 12565 13.150 13*33 14035 14732 I51T5 HJ54 van 1510= 15447 IS'TO
isihxi
ti|hnf"i 1.971 2.13! 841 1.555 i.;t; 3073 3.500 2816 3070 3.939 3734 3S55 3735 3635 3614 3342 3091 303
EcgjirciTdji
Ijitita
S.haD.Jvi'jahj 3.3/3 3.057 2.793 3.226 3.373 123? ?.0X> 3.103 3.2CO 2.563 7JJS 220 3.04? 2803 7.783 2 741 7.622 2537
Sfcasmii'rasjral.?. (39 393 263 ?91 765 2048 1 HO 1.761 \M 1028 IB! 1933 urn 1.723 1.765 1.718 165! \W
miatilm 4.704 6.663 6.735 9.430 11.303 13ZI? 1123? KL303 11267 11.705 11512 12E22 11343 13573 13S74 13518 IKE; 11552
Sumbcr: Sumber: BI - Statistik Perbankan Indonesia Vol.9 No. 11, Oktober 2011
4
Kenaikan tunggakan yang mcnimbulkan kredit bcrmasalah menjadi hal yang
knisiai bagi perbankan. Penyebab terjadinya tunggakan dapal digambarkan dalam bagan
berikul. (http://rockinbanker.blogspot.com/2011)
Gambar 1.2 Penyebab
Terjadinya Tunggakan
PENYEBAB TERJADINYA TUNGGAKAN
•Pfodukft Target Mirfcct ■Proiedu." Internal 'Kapasitas ■Sutem Collection
I
SI!'Ekanoml•Potltlk•ScMtal
>"
Kt'ff^lAMefllAK*
i \iM
.-.!■. i.-r-'i
■Unexpected Event •Bcitambahny.JPinJ.aman •Perubahan Profesi/ Peksrjaan
•Kura.-ijnya Sj!»l •XrM'ahan Data Entry •Vertflkaji
•Kebljakan Account Maintenance yang KursngTepat•Kurang TerupdatenyainbrmaiinaiabAh•Penggunaan Pinjsman Oiluar Tujuan yang Dipe.'»:enani:an Ban'*•fteniuhnyi Stt/ke Qvatity
Terjadinya tunggakan dapat discbabkan karcna beberapa hal:
1) Pcrencanaan Bank yang Kurang Mcmadai. Hal ini dapat tcrjadi karcna bank
kurang mampu menganalisa produk kredit dan target debitur. Misalnya produk yang
bclum sempurna atau target market yang salah sasaran. Hal ini dapat pula ditambah
dengan kurangsiapnya prosedur internal dan sistem collection dari bank terscbut. 2)
Turunnya Kemampuan Bayar Debitur. Kondisi ini dapat discbabkan karena antara
Iain:
a. Kondisi diluar kapasitas debitur misalnya kejadian forcemajor scperti
meninggal dunia, kccclakaan, kecurian dsb.
b. Mcnambah jumlah pinjaman diluar kapasilas kcmampuan debitur
c. Perubahan profesi atau pekerjaan yang menyebabkan berkurangnya
kemampuan debitur untuk membayar hutang.
3) Account Maintenance yang Lemah. Kondisi ini dapat terjadi bila bank
mempunyai kebijakan pemberian fasilitas kredit yang salah. Ekspektasi bank
tidak sesuai dengan kondisi nasabah
4) Kesalahan dalam akuisisi pinjaman. Hal ini dapat terjadi bila cost efficiency yang
diterapkan oleh bank menimbulkan kebijakan kredit yang asal-asalan. Seperti
kurangnya kualitas pelayanan karena efisiensi pegawai dan juga kurangnya
monitoring account nasabah.
5) Masalah lingkungan bisa terjadi diluar kuasa bank dan nasabah. Misalnya
terjadinya krisis perbankan tahun 1998 menyebabkan tingkat suku bunga tinggi
dan menimbulkan nasabah tidak bisa membayar pinjamannya. Termasuk krisi
subprime mortage di tahun 2008 yang menimbulkan efek domino secara global
dan berimbas pada kondisi perbankan Indonesia.
Beberapa upaya perbankan untuk mengatasi kredit macet. Untuk menyeiesaikan
kredit macet yang berasal dari bank-bank yang modalnya sebagian atau seluruhnya
merupakan milik negara maka pengurusan dan penyelesaiannya dapat diserahkan kepada
PUPN (Panitia Urusan Piutang Negara) dengan organ pelaksananya disebut dengan
DJPLN (Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara). Adapun dasar hukum dari
pembcntukan dan tugas serta wewenang institusi ini adalah Undang-Undang Nomor 49
Tahun 1960. di dalam masalah kredit macet ini, PUPN memiliki kekuatan eksekutorial
dengan cara menerbitkan surat paksa untuk memaksakan Debitur melunasi hutangnya.
Hal ini dapat dilihat di dalam pasal 6 UU No. 49 Tahun 1960 yang berbunyi "Ketua
PUPN berwenang mengeluarkan surat paksa yang berkepala Atas Nama Keadilan"
Salah satu upaya dalam penyelesaikan kredit macet yang dilakukan oleh bank
adalah pengambilalihan asset dibitur yang dijaminkan kepada bank pada saat melakukan
pinjaman. Pengambilalihan Agunan Yang Diambil Alih (AYDA) biasanya dilakukan
karena rumitnya eksekusi Hak Tanggungan dan meningkatnya jumlah kredit macet. Hal
ini tentunya membawa pengaruh negatif terhadap tingkat kesehatan bank. Dalam
kenyataannya, pengambilalihan AYDA dilakukan melalui Perjanjian Perikatan Jual Beli
(PPJB) dan Kuasa Jual kepada bank. Kondisi ini tentu membawa resiko bagi bank itu
sendiri karena PPJB pada dasarnya belum mengalihkan status kepemilikan atas jaminan
kepada pembeli.
Pada proses selanjutnya Bank melakukan Penjualan AYDA yang dilakukan
semata-mata hanya untuk mengurangi potensi kerugian yang dialami Bank karena adanya
6
piutang yang tidak tertagih. Penjualan AYDA bukan merupakan kegiatan usaha bank,
juga didukung dihapusnya ketentuan Pasal 6 huruf k UU Perbankan yang berkaitan
dengan pengambilalihan dan penjualan agunan dari kegiatan usaha bank umum pada UU
No. 10/1998 tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1-992 tentang Perbankan.
Penyerahan AYDA berupa Barang Kena Pajak (BKP) dari debitur kepada bank
merupakan penyerahan BKP untuk jaminan utang piutang. Di samping itu, penjelasan
pasal L2A UII Perbankan No. 10/1998 mengatakan bahwa pembelian agunan oleh bank
dimaksudkan semata-mata agar dapat mempercepat penyelesaian kewajiban debitur dan
bank juga tidak diperbolehkan untuk memiliki agunan tersebut dan secepatnya agunan
tersebut dicairkan/dijual kembali.
1.2 Identifikasi Masalah
Paska pengesahan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan
Ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM,
Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Surat Edaran Nomor SE - 121/PJ/2010 tertanggal
23 November 2010 tentang Penegasan Perlakuan PPN atas Kegiatan Usaha Perbankan.
Berkaitan dengan SE-121/PJ/2010 tersebut, perlakuan PPN terhadap kegiatan usaha bank
umum dapat dibedakan menjadi sebagai berikut:
a. kegiatan usaha bank umum yang merupakan penyerahan jasa keuangan yang tidak
terutang PPN, yang karakteristiknya sebagai berikut :
1) jasa keuangan yang diserahkan berupa jasa pembiayaan yang mendapatkan
imbalan berupa bunga, atau
2) jasa keuangan yang diserahkan secara langsung oleh bank kepada nasabah, dalam
hal jasa keuangan tersebut bukan jasa pembiayaan; dan
b. kegiatan usaha bank umum yang merupakan penyerahan jasa yang terutang PPN.
Salah satu upaya dalam penyelesaikan (credit macet yang dilakukan oleh bank
adalah pengambilalihan Angunan Yang Diambil Alih (AYDA). Menurut SE-121/PJ/2010
tersebut, bank umum dianggap juga dapat melakukan kegiatan yang bukan merupakan
penyerahan jasa. Dalam hal ini, bank dapat melakukan penjualan agunan, yang telah
diambil alih oleh bank tersebut yang berdasarkan SE-121/PJ/2010 merupakan penyerahan
Barang Kena Pajak yang terutang PPN. Hal ini tentu menimbulkan suatu permasalahan,
karena dampak kebijakan ini bukan saja meluas pada aspek ekonomis tetapi juga aspek
administrasi perpajakan.
7
Selain masalah AYDA, upaya bank untuk melakukan promosi melakukan
pemberian hadiah juga pada akhirnya menimbulkan dispute dalam perlakuan
pemajakannya. Hal ini dikarenakan UU PPN menjadikan pemakaian sendiri dan
pemberian cuma-cuma sebagai obyek PPN berupa penyerahan BKP yang terbutang PPN.
Berdasarkan latar belakang tersebut, terdapat beberapa masalah yang perlu dikaji,
yaitu:
1. Perlakuan PPN Atas Pengalihan Aktiva Yang Semula Tidak Untuk Diperjualbelikan
2. Perlakuan PPN Atas Agunan Yang Diambilalih (AYDA)
3. Perlakuan PPN Atas Pemberian Cuma-cuma
1.3 Tujuan Kajian
Tujuan dibuatnya Kajian Akademik ini adalah sebagai landasan ilmiah bagi
penyusunan kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan usaha perbankan, yang
memberikan arah, dan menetapkan ruang lingkup bagi penyusunan peraturan
pelaksanaannya. Berdasarkan identifikasi masalah tersebut di atas, maka yang menjadi
tujuan penulisan kajian akademik ini adalah sebagai berikut:
1. Memetakan kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan jasa perbankan
2. Menganalisis perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas AYDA
3. Menganalisis perlakuan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pengalihan Aktiva Yang
Semula Tidak Untuk Diperjualbelikan
4. Menganalisis perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas pemberian cuma-cuma (dan
pemakaian sendiri).
V
8
BAB 2 KERANGKA TEORI
2.1 Peran Pemerintah dan Kebijakan Fiskal
Dalam perekonomian modem, peran pemerintah dapat diklasifikasikan dalam tiga
golongan besar, yaitu: peran alokasi, yaitu peranan pemerintah dalam alokasi sumber
ekonomi, peranan distribusi, dan peranan stabilisasi. Hal ini sejalan dengan pendapat
Musgrave dan Musgrave bahwa fungsi utama pemerintah yaitu fungsi alokasi, yang
dimaksudkan untuk mengatasi kegagalan pasar (market failure) dan inefisiensi dalam
mengalokasikan sumber-sumber ekonomi. Pemerintah juga mempunyai fungsi distribusi
yang dimaksudkan untuk menjamin terpenuhinya distribusi pendapatan dan kekayaan
kepada masyarakat agar tercapai distribusi yang merata dan adil. Fungsi stabilisasi
dimaksudkan sebagai penggunaan kebijakan anggaran sebagai suatu alat untuk
mempertahankan tingkat kesempatan kerja yang tinggi, tingkat stabilitas harga dan laju
pertumbuhan ekonomi yang tepat.
Setiap negara mempunyai cara yang berbeda untuk mendapatkan penerimaan.
Pemerintah dapat melakukan pemungutan pajak. Pajak digunakan sebagai salah satu
instrumen dalam kebijakan fiskal. Pengertian kebijakan fiskal menurut Rahayu adalah
"kebijakan pemerintah dengan menggunakan belanja negara dan perpajakan dalam
rangka menstabilkan perekonomian" (Rahayu, 2010,hal.l). Dengan demikian, kebijakan
fiskal merupakan salah satu kebijakan ekonomi makro yang sangat penting. Mansury
mendefinisikan kebijakan fiskal dalam pengertian Iuas sebagai "kebijakan untuk
mempengaruhi produksi masyarakat, kesempatan kerja dan inflasi, dengan
mempergunakan instrumen pemungutan pajak dan pengeluaran belanja negara"
(Mansury, 1999, hal.l).
Pajak mempunyai peranan yang penting dalam mendukung pelaksanaan fungsi
negara. "The main purpose of taxation is to generate sufficient revenue to finance public
sector activities in a non-inflationary waf (Bird dan Zolt, 2003, hal 9) Di negara
berkembang, motivasi utama pemajakan adalah pengumpulan dana pembiayaan
pemerintahaan dalam penyediaan barang dan jasa publik, disamping motivasi lainnya
adalah redistribusi penghasilan dan penyesuaian kekurangsempumaan mekanisme pasar
(Gunadi, 2002,hal2). Jadi pada hakekatnya pajak mempunyai fungsi utama yaitu untuk
mengisi kas negara (to raise or to generate government's revenue), yang disebut sebagai
fungsi budgetair a$u fungsi penerynaan (revenue function). Oleh karena itu, Rosdiana
9
mengatakan bahwa "suatu pemungutan pajak yang baik seharusnya memenuhi asas
revenue productivity (Rosdiana dan Irianto, 2012, hal.40).
Namun demikian, pajak tidak hanya sebagai ftingsi untuk mengisi kas negara
(fungsi budgetair) sebagaimana telah diuraikan di atas. Pajak juga dapat digunakan oleh
pemerintah sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang ditetapkan oleh
pemerintah. Pajak dapat digunakan untuk berbagai program pemerintah, sebagaimana
disitir oleh Karayan dan Swenson
"taxes impQse costs on transactions, taxes affect human behavior, and thus can be (and are) used by governments to try to shape society. Indeed, the primary purpose of some taxes—such as excise taxes on the safe of machine guns, tobacco, and pollutants—is to further social engineering goals" (Karayan dan Swenson, 2007, hal.5).
Sistem pajak juga akan mempengaruhi perilaku masyarakat, karena pajak juga menjadi
biaya yang cukup signifikan. Maka perencanaan pajak menjadi penting bagi pelaku usaha
untuk membuat keputusan keuangan terbaiknya. Hal tersebut merupakan fungsi mengatur
dari pajak (fungsi regulating/regulernd). Sebagaimana dikatakan oleh Bird dan Zolt
bahwa "The tax system can be used to encourage or discourage certain activities" (Bird
dan Zolt, 2003, hal.34)
2.2 Konsep Pajak Pertambahan Nilai
Pada saat ini perkembangan penerimaan pajak atas konsumsi terus meningkat dan
menjadi sumber penerimaan yang diperhitungkan, terutama hampir seluruh negara-negara
OECD. Hal ini sejalan dengan peningkatan perdagangan international barang dan jasa
yang sangat cepat sebagai hasil dari globalisasi yang dipacu melalui deregulasi,
privatisasi dan revolusi teknologi informasi. Termasuk juga masalah-masalah
administrasi yang berhubungan dengan perkembangan perdagangan internasional. Oleh
sebab itu OECD merekomendasikan perlunya perhatian terhadap penerimaan pajak atas
konsumsi. Para perumus kebijakan (policy maker) dan administrator negara (legislator)
juga harus lebih menanih perhatian yang seksama terhadap pajak atas konsumsi yang
diterapkan secara internasional, (http://www.oecd.org/document,2004) dengan tetap
memperhatikan kemudahan, tidak berbelit dan pasti dalam pelakasanaannya.
Dalam mendesain kebijakan pajak atas konsumsi, pemerintah suatu negara
hendaknya memahami konsep dan teori yang mendasari apakah akan mengenakan pajak
dengan sistem pemungutan Pajak Penjuaian atau sistem pemungutan Pajak Pertambahan
10
Nilai. Oleh sebab itu perlu pemahaman terhadap legal character yang dapat didefinisikan
sebagai ciri-ciri atau nature dari suatu jenis pajak. Pemahaman tentang feature dan
nature dari suatu jenis pajak perlu dipahami sebagai petunjuk daiam menentukan sistem
pemungutan pajak atas konsumsi mana yang akan dipilih. Juga akan memberikan
konsekuesi bagaimana sebaiknya pajak tersebut hams dipungut. Sehingga akibat yang
ditimbulkan dari kebijakan yang ditempuh dapat dianalisa dan dijelaskan berdasarkan
konsep dan teori yang mendasari. Dengan demikian, legislative structure dan interpretasi
dari suatu terminologi seharusnya dipandu oleh legal character. Berkaitan dengan hal ini,
Terra mengatakan: " Basically it means that the intrinsic nature of a tax should be the
guiding principle in determining its consequences and not just the label, or the name of a
te*"(Terra, 1988, hal7).
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bukanlah suatu bentuk perpajakan baru, namun
pada dasarnya merupakan Pajak Penjualan yang dibebankan dalam bentuk yang berbeda.
Oleh karena itu maka Legal Character dari Pajak Pertambahan Nilai adalah juga sebagai
Pajak Tidak Langsung atas Konsumsi yang bersifat umum ( general indirect tax on
consumption) yang dipungut dengan sistem yang berbeda dari Pajak Penjualan. Dengan
berbagai kelebihannya, konsep Pajak Pertambahan Nilai ini sekarang diterapkan hampir
di seluruh negara di dunia, teruama di negara-negara Eropa.
2.2.1 Legal Character dari Pajak Pertambahan Nilai
2.2.1.1 Bersifat Umum (General)
Pertama, Pajak Penjualan merupakan pajak atas konsumsi yang bersifat umum.
Pengertian bersifat umum {general) yaitu bahwa Pajak penjualan (sales tax) dikenakan
terhadap semua atau sejumlah besar barang (dan termasuk jasa). Inilah yang
membedakannya dengan jenis pajak lainnya yaitu excise tax (di Indonesia dikenal dengan
cukai). Sales tax bersifat general, sedangkan excise atau commodity taxes bersifat
specific. Jadi artinya, Pajak Penjualan dikenakan terhadap semua barang, sedangkan
excise hanya dikenakan atas barang-barang tertentu atau golongan barang tertentu saja
seperti tembakau, minuman beralkohol.
Ditegaskan oleh Terra, "A sales taxis a general tax on consumption"(Terra, 1988,
hal.8) artinya bahwa Pajak Penjualan merupakan pajak atas konsumsi yang bersifat
umum, yang dikenakan pada semua pengeluaran (private expenditure). Sebagai
konsekuensinya, maka tidak boleh ada diskriminasi, karena Pajak Penjualan seharusnya
tidak dibedakan aatara pengeluaran: untuk barang-barang dan jasa, dimana keduanya
11
adalah pengeluaran untuk tujuan konsumsi. Apabila pajak atas konsumsi dimaksudkan
untuk mencakup secara umum dan menghindari distorsi ekonomi, maka seharusnya yang
menjadi objek Pajak Penjualan tidak hanya saja mencakup barang tetapi juga atas jasa..
"If a tax on consumption is to provide a uniform coverage and avoid economic distortion,
it should apply to all sales of services as well as goods. " (United Nation, 1976, hal.72).
Jadi bukan hanya barang saja atau jasa saja, karena pengeluaran itu bisa dalam bentuk
barang maupun jasa. Pada hakekatnya barang tertentu juga menjadi pengganti atas jasa
tertentu. Misalnya, jika mesin cuci dikenakan pajak, maka jasa binatu/cuci baju (laundry)
juga harus dikenakan pajak, karena Pajak Penjualan sebagai pajak atas konsumsi
ditujukan untuk mengurangi pemakaian dari penghasilan seseorang atau bahagian yang
dibelanjakan. Dengan kata lain pengenaan Pajak Penjualan adalah untuk semua
pengeluaran (private expenditure) baik barang maupun jasa.
2.2.1.2 Tidak Langsung (Indirect)
Kedua, Pajak Penjualan merupakan pajak tidak langsung. Ciri-ciri Pajak Tidak
Langsung yang dapat membedakannya dari Pajak Langsung antara lain:
• Tidak memperhatikan keadaan Wajib Pajak seperti jumlah penghasilan, namun
hanya akan dipungut pajak kalau pada suatu ketika terdapat suatu peristiwa atau
perbuatan seperti penyerahan barang (Brotodihardjo, 1993, 85). Misalnya jika
seseorang membeli mesin cuci, maka akan dikenakan Pajak Penjualan.
• Suatu pajak dimana Wajib Pajak dapat melimpahkan beban pajaknya baik
seluruhnya atau sebagian kepada orang atau pihak lain. Beban pajak yang dialihkan
dapat berupa forward shifting atau backward shifting. Dengan kata Iain, tidak selalu
harus konsumen yang roemikul beban Pajak Penjualan sepenuhnya/seutuhnya. Beban
pajak ini bisa saja dipikul sebagian oleh penjual dengan cara mengurangi keuntungan
dan atau melakukan efisiensi. Beban pajak dapat dilimpahkan ke depan kepada
konsumen (jika forward shifting), tergantung dari elasitas harga permintaan dan
penawaran dari suatu barang. Beban pajak juga dapat dilimpahkan ke belakang
kepada faktor-faktor produksi dari produksen (backward shifting). Oleh sebab itu
dalam banyak hal, pembeli akhir akan membayar sebagian (atau seluruhnya) dari
pajak tidak langsung ini. Hal ini sejalan dengan pengertian yang disampaikan oleh
Newman:
"Shifting may be either forward or backward. The difference here is to the directionof movement from point of impact. If shifting is toward the consumer, it
12
is said to be forward; if toward the factors of productions or their owners, it is said to be backward. Forward shifting means that price is higher than it would otherwise be; backward shifting means that price is towered below what it would otherwise be. Suppose, for example, that a tax is levied on a manufacturer of a consumer good; the tax may be shifted forward toward the consumer in a higher price of the good in question, or it may be shifted backward in (say) lower wages. It is, of course, possible that in a given case a tax may be shifted partly forward and partly backward" /Newmanl968, hal. 261-262)
Meskipun konsumen merupakan pihak yang memikul beban pajak terakhir (destinataris),
namun yang ditentukan untuk melakukan kewajiban pajak (antara lain memungut,
menyetor dan melaporkan pajak yang terutang) adalah Pengusaha Kena Pajak (taxable
person). Penjual akan bertindak sebagai terminal atau kolektor untuk mclakukan
kewajiban pajak. Pembeli terutama konsumen akhir (end user) akan sulit untuk
ditentukan melakukan kewajiban pajak, karena secara administratif menjadi tidak mudah
(feasibel). Dapat dibayangkan jika semua pembeli, harus melakukan pekerjaan
administratif pajak, tentu cost of collection akan tidak efisien.
• Dalam administrasi pelaksanaannya, jenis Pajak Tidak Langsung antara lain Pajak
Penjualan, Pajak Peredaran, Pajak Pertambahan Nilai dan Cukai (excise duties)
seperti alkohol, tembakau, dapat terutang setiap saat. Baik pada saat impor atau
ekspor barang, saat membayar secara langsung barang yang dibeli, atau pada saat
terjadi transaksi.
2.2.1.3 Atas Dasar Konsumsi (on Consumption)
Ketiga, Pajak Penjualan berdasarkan atas konsumsi (on consumption). Menurut
pengertian dari United Nation, Pajak Penjualan didefinisikan sebagai:
"A Sales Tax may be defined as a tax charged on the sales of a wide range of goods or on factors incidental to sales such as production, the movement of goods, the legal act of transfer of ownership, the actual delivery of goods or the rendering of services, or the payment or invoicing of the amount of the consideration involved "(United Nation, hal.l).
Pajak penjualan dipungut atas sejumlah uang yang melekat pada penjualan barang
atau jasa, yang merupakan komponen dari biaya dalam formulasi harga. Pengertian
konsumsi lebih ditujukan sebagai pengeluaran (expenditure) oleh konsumen untuk
mengkonsumsi barang. Pajak akan dipungut segera setelah orang mengeluarkan uangnya
dan hanya memungut bagian belanja yang dikeluarkan untuk konsumsi.
13
Semua konsumsi dihubungkan dengan peristiwa atau perbuatan atau kejadian
yang dapat berupa penjualan, pembelian, peredaran. Peristiwa ini mungkin tidak satu kali,
tapi merupakan peristiwa yang lebih dari satu kali. Jadi pengertian konsumsi bukan
sekedar mengkonsumsi suatu barang yang habis dipakai seperti makanan, namun lebih
kepada pengertian pengeluaran untuk membelanjakan uang untuk barang terraasuk
barang yang akan diolah lebih lanjut.
2.2.2 Pengertian Value Added Tax
Pajak Pertambahan Nilai (Value Added Tax atau Belasting Toegevoegde Waarde)
pada dasarnya merupakan Pajak Penjualan yang dipungut beberapa kali {multyple stage
levies) atas dasar nilai tambah yang timbul pada semua jalur produksi dan distribusi. Jadi
PPN ini dapat dipungut beberapa kali pada berbagai mata rantai jalur produksi dan
distribusi namun hanya pada pertambahan nilai yang timbul pada setiap jalur yang dilalui
barang dan jasa. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Ebrill dkk bahwa:
"The key features of the Value- Added Tax are that it is a broad-based tax levied at multiple stage of production, with - crucially - taxes on iputs credited against taxes on output. That is. while sellers are required to charge the tax on all their sales, they can also claim in a credit for taxes that they have been charged on their input" (Ebrill dkk, 2001, hal.3)
Nilai tambah tersebut tercermin pada selisih harga penjualan dengan harga
pembelian. Selisih ini merupakan nilai tambah yaitu semua biaya yang dikeluarkan dalam
memproduksi suatu barang atau menjual kembali barang tersebut. Nilai tambah ini timbul
karena dipakainya faktor produksi di setiap jalur peredaran dalam menyiapkan,
menghasilkan, menyalurkan dan memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan
jasa kepada para konsumen. Juga semua biaya untuk mendapatkan dan mempertabankan
laba termasuk bunga modal, sewa, penyusutan dan upah kerja. Pada setiap produksi nilai
produk dan harga jual produk selalu terdapat nilai tambah antra lain, yang utama, karena
setiap penjual menginginkan adanya keuntungan sehingga dalam menentukan harga jual,
harga perolehan ditambah dengan laba bruto (mark up).
Sasaran yang dikenakan PPN adalah hanya pertambahan nilai yang merupakan
biaya yang dikeluarkan untuk faktor produksi mulai bahan baku/bahan pembantu
diterima, proses produksi, sampai hasil siap dijual. Pertambahan nilai ini timbul karena
dipakainya biaya-biaya faktor produksi di setiap jalur produksi dan distribusi. Biaya-
biaya tersebut akan tercermin dalam harga barang yang akan dijual.v
14
Kelebihan Pajak Pertambahan Nilai adalah:
a. Fiscal Advantages
Bagi pemerintah, terdapat beberapa keuntungan jika menerapkan VAT. Pertama,
karena cakupan yang luas yang meliputi seluruh jalur produksi dan distribusi sehingga
potensi pemajakannya juga besar. Kedua, karena sangat mudah untuk menimbulkan value
added di setiap jalur produksi dan distribusi sehingga potensi pemajakannya semakin
besar. Terakhir, dengan menggunakan sistem invoice (Faktur Pajak) lebih mudah untuk
mengawasi pelaksanaan kewajiban perpajakan oleh Wajib Pajak serta mendeteksi adanya
penyalahgunaan hak pengkreditan Pajak Masukan. PPN sebagai pajak tidak langsung
dikenakan pada setiap jalur produksi dan distribusi merupakan mesin uang (money
machine) pemerintah untuk menghimpun sumber penerimaan negara yang produktif.
b. Psycological Advantages
Keuntungan psikologis dari pajak tidak langsung adalah sering kali pembayar
pajak tidak menyadari telah membayar pajak. Sebagai salah satu bentuk pajak tidak
langsung, keuntungan ini pun melekat (inherent) dalam PPN, karena pajak pada
umumnya sudah dimasukkan ke dalam harga jual/harga yang dibayar oleh konsumen,
maka seringkali konsumen tidak menyadari bahwa dia sudah membayar pajak. Hal ini
berbcda dengan Pajak Penghasilan dimana pegawai, misalnya merasakan langsung beban
pajak tersebut karena langsung mengurangi gaji yang diterimanya, sementara jika
penghasilan tersebut dibelanjakan, umumnya tidak disadari bahwa ada beban pajak yang
telah dibayar karena harga barang/jasa yang dikonsumsi sebenamya sudah termasuk PPN
yang dibayar.
c. Economic Advantages
PPN sebagai pajak atas konsumsi, maka keunggulan dari consumption-based
taxation adalah netral terhadap pilihan seseorang apakah akan saving terlebih dahulu
ataukan langsung mengkonsumsikan penghasilan yang didapatnya. PPN juga diyakini
dapat membentuk modal (capital formation) serta mendorong pertumbuhan ekonomi
lebih cepat.
2.2.3 Konsepsi Penyerahan Yang Terutang PPN (Taxable Supplies)
Dalam mendefinisikan Penyerahan Barang (supply of goods) dalam lingkup PPN
perlu memperhatikan pengertian yang diterapkan pada konsep hukum bisnis (commercial
15
or consumer law). Definisi umum yang digunakan adalah penyerahan barang merupakan
pengalihan hak untuk menguasai barang, baik barang bergerak {tangible movable
property) maupun barang tidak bergerak (immovable property). Supply of Goods menurut
William dalam Victor Thuronyi dalam buku Tax Law Design and Drafting Volume 1,
yaitu: "A possible definition of supply of goods is transfer of the right to dispose of
tangible movable property or immovable property other land of service, and leasing
defined to include transfer of intangible property in assets" (William, 1996, hal. 185)
Dengan demikian, esensi dari penyerahan adalah adanya perpindahan hak milik untuk
menguasai barang tersebut.Transaksi jual beli dan berbagai bentuk penyerahan BKP yang
menyebabkan terjadinya pengalihan hak atas suatu BKP merupakan transaksi yang
lazimnya dipilih untuk dijadikan sebagai taxable supplies.
Selanjutnya William sebagaimana dikutip Thuronyi, menyatakan bahwa lajimnya
semua transaksi dalam ruang lingkup yang dikenakan PPN, bila dipenuhi syarat-syarat:
1) the transactions are "supplies of goods and services";2) those supplies are "taxable" and not exempt from VA T;3) those taxable supplies are made by a "taxable person ", that is, a person within
the scope of the charge to VAT; and4) the taxable person makes those supplies as part of the person's business activities,
and not as part of a hobby or noncommercial activity" (William, 1996, hal. 173).
Pendapat William tersebut di atas Icbih cenderung menunjukan syarat-syarat yang
bersifat kumulatif (bukan alternatif). Ruang lingkup PPN yang luas dimaksudkan untuk
mengenakan PPN atas setiap transaksi ekonomi yang biasanya lebih luas dari transaksi-
transaksi usaha Iainnya (dalam kontek komersial). Tcrminologi yang digunakan untuk
transaksi-transaki yang dikenakan PPN digunakan terminologi "supply of goods" dan
"supply of services".
Mirip dengan pendapat William, menurut Tait dalam buku Value Added Tax,
penyerahan barang dapat diarikan sebagai:
1) Exclusive ownership is passed to another person1) The transfer takes place over the time under an agreement such as lease or hire
purchase2) Goods are produced from someone else "s materials2) A major interest in land is provided, that is, the use of land for a long periode of
time3) Goods are taken from a company for private use4) A bussines assets is transferred" (Tait, 1988,hal.3 86-387).
Konsep penyerahan barang menurut Tait mencakup adanya perpindahan
kepemilikan suatu barang dari satu pihak ke pihak Iainnya. Perpindahan kepemilikanv
16
terjadi didasarkan suatu perjanjian selama periode tertentu, misalnya leasing atau sewa
beli. Barang yang dihasilkan bersumber dari bahan baku yang diperoleh dari pihak lain.
Penetapan kepentingan utama pada tanah yaitu atas pemakaian tanah untuk jangka waktu
yang lama missal Hak Guma Bangunan (HGU). Barang diperoleh dari perusahaan untuk
pemakaian sendiri. Aset usaha yang dialihkan merupakan kategori penyerahan barang.
Selanjutnya jika yang berpindah adalah kegunaan barang, bukan barang itu sendiri
maka tidak termasuk ke dalam penyerahan barang, tetapi penyerahan jasa. Seperti yang
dikatakan William dalam Victor Thuronyi sebagai berikut: " A supply of goods is not
constituted merely by a transfer of possession, which is a transfer of the use of goods, not
of the goods themselves. A transfer of the use of goods is a supply of services"
(William,hal. 174).
PPN dikenal juga dengan istilah general consumption value added tax, yang
mengacu pada legal character dari pajak penjualan sebagai pajak tidak langsung atas
konsumsi yang bersifat umum (general indirect tax on consumption). Transaksi-transaksi
biasanya dikatakan dalam ruang Hngkup PPN jika merupakan "supplies of goods or
services" (Thuronyi, 1996, hal. 184).
Pengertian "supply of goods" dalam UU PPN Indonesia digunakan istilah
Penyerahan Barang. Dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a ditegaskan bahwa Pajak Pertambahan
Nilai dikenakan atas Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang
dilakukan oleh Pengusaha.
2.2.4 Konsepsi Taxable Person dan Business Activities
Penyerahan Barang Kena Pajak adalah penyerahan barang atau transaksi yang
dikenakan PPN {taxable supply). Pengusaha Kena Pajak (taxable person) yang dalam
kegiatan usaha atau pekerjaannya melakukan penyerahan Barang Kena Pajak wajib untuk
memungut dan membayar PPN yang terutang. Sebagaimana dikutip di atas, bahwa "the
taxable person makes those supplies as part of the person s business activities, and not as
part ofa hobby or noncommercial activity'' (Thuronyi, 1996, hal. 185). PPN adalah pajak
atas penyerahan barang dan jasa yang merupakan bagian dari kegiatan ekonomi. Oleh
sebab itu ruang Hngkup kegiatan, transaksi, penyerahan yang dikenakan PPN adalah
hams sesuai dengan kegiatan usahanya dan bukan dikenakan pada kegiatan lainnya yang
tidak ada hubungannya dengan usaha atau "main business"nya. Karena itu, kegiatan yang
tidak ada hubungan dengan kegiatan usaha, seperti kegiatan kegemaran/hobi seseorang
hams dipisahkan dari kegiatan usahanya.
17
Istilah umum yang digunakan dalam literatur berbahasa Inggris untuk
menjelaskan Pengusaha Kena Pajak dalam cakupan yang dikenakan PPN adalah "taxable
person". Terminologi ini digunakan di beberapa negara termasuk the Sixth Directive
yang digunakan oleh Central and Eastern European Countries menggunakan istilah
taxable person yaitu the person who has to account for and remit VAT. Taxable persons
are liable to tax on all amounts received or receivable by them for taxable supplies made
in the course of business, trade, or similar activity (OECD, 1998, hal.33).
Terminologi ini digunakan untuk dapat membedakan dengan person dalam arti
"taxpayer" (Wajib Pajak). Person disini adalah yang menerima taxable supply
(penyerahan kena pajak). Berbeda pula dengan pengertian "persons responsible" yaitu
bukan taxpayer, tetapi mempunyai kewajiban untuk memungut dan membayar pajak.
Contoh dalam UU PPN adalah Pemungut PPN yang kedudukannya belum tentu sebagai
"taxable person" seperti Bendaharawa karena tidak melakukan taxable supply, namun
ditentukan sebagai person yang bertanggung jawab untuk melakukan kewajiban
perpajakan ("taxable responsible).
Oleh karena itu istilah Subjek Pajak tidak lazim digunakan dalam literatur VAT.
Jadi Pengusaha Kena Pajak tidak dikategorikan sebagai Subjek Pajak. Demikian pula
dalam UU PPN tidak ditemukan istilah Subjek Pajak seperti halnya dalam UU PPh.
Dengan demikian, dalam cakupan PPN hanya akan membedakan antara:
• Pengusaha Kena Pajak (taxable person) yaitu orang atau badan bertanggung
jawab untuk melakukan kewajiban pajak antara lain memungut, menyetor dan
melaporkan pajak yang terutang. PKP ini akan menjadi pemungut (tax collector) dan
akan memungut pajak dari konsumennya atas penyerahan barang dan/atau jasa
(taxable supply). Dalam transaksi yang terutang pajak, PKP yang akan menanggung
pajak yang terutang. Namun karena PPN merupakan pajak tidak langsung (indirect
tax), maka beban pajaknya dapat dilimpahkan kepada pihak lain atau konsumen.
• Konsumen adalah orang yang sebenarnya memikul beban pajak (tax burden)
karena merupakan orang yang menerima akibat dari backward shifting dari PKP (tax
incidence), sehingga konsumen sering disebut destinataris yang tidak dituntut untuk
melakukan kewajiban perpajakan yang dikehendaki oleh undang-undang.
Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak meliputi
baik Pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimanan
diatur dalam Pasal 3 A ayat (1) maupun Pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi
18
Pengusaha Kena Pajak tetapi belum dikukuhkan. Jika Pengusaha yang belum dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (dan/atau Jasa
Kena Pajak), maka penyerahan Barang Kena Pajak (dan/atau Jasa Kena Pajak) tenitang
PPN. Jika Pengusaha Kena Pajak tersebut tidak memungut PPN yang tenitang karena
Penyerahan Kena Pajak tersebut, maka kantor pajak berhak untuk mengenakan PPN
tersebut kepada Pengusaha Kena Pajak.
2.2.5 Metode Penghitungan Pajak Pertambahan Nilai
Metode penghitungan PPN yang dipilih di Indonesia adalah menerapkan The
Indirect Substraction Method (invoice-based credit atau credit method). Metode ini
merupakan metode yang paling umum digunakan dalam menghitung PPN di beberapa
negara. Melalui metode ini, pengusaha pada setiap tingkat produksi sampai dengan
distribusi mengenakan PPN atas penjualannya kepada konsumen (the VAT on its output),
mengkreditkan PPN yang telah dibayar pada waktu pembelian (the VAT on its input) dan
membayar pajak ke Kas Negara. Pajak yang tenitang adalah selisih antara (tarif x nilai
penjualan) dan (tarif x nilai pembelian). Dengan kata lain pajak yang tenitang merupakan
selisih antara pajak yang dipungut pada waktu penyerahan barang (jasa) dengan pajak
yang dibayar pada waktu pembelian/perolehan barang (jasa).
Dalam konsep PPN di Indonesia dikenal dengan Pajak Keluaran dikurangi dengan
Pajak Masukan. Jadi yang dikurangkan disini adalah pajaknya. Karena adanya sistem
kredit pajak maka metode ini dikenal juga dengan metode kredit (credit method). Untuk
mengetahui bcrapa jumlah pajak yang dipungut dan yang telah dibayar, dibuktikan
dengan adanya Faktur Pajak. Karena dalam kredit pajak akan dapat berjalan baik bila
didukung dengan adanya Faktur Pajak, maka metode ini dikenal juga dengn metode
Faktur Pajak (Invoice Method). Metode ini merupakan metode asli dari model
Masyarakat Ekonomi Eropa.
Menurut Terra, ada 3 (tiga) kelebihan utama metode Tax Credit, yaitu pcrtama,
metode ini hampir secara universal digunakan di banyak negara. Kedua, metode
penghitungan VAT selain metode Tax Credit pada umumnya lebih memerlukan laporan
tahunan daripada laporan bulanan atau kwartalan (triwulanan). Tentunya hal ini akan
sangat membantu pemerinah karena lebih selaras dengan asas revenue productivity.
Ketiga, metode Tax Credit memberikan kontribusi yang penting, bukan saja bagi
penegakkan hukum PPN itu sendiri, tetapi juga bagi kepentingan pemeriksaan Pajak
19
Penghasilan. Ha] ini dapat dilihat dalam konteks kebijakan pemeriksaan pajak di
Indonesia yang juga kerap kali menerapkan metode equalisasi antara PPN dan PPh.
«
2.2.6 Yurisdiksi Pemajakan dalam Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai
Berdasarkan destination principle alau prinsip tujuan barang, negara yang berhak
mengenakan pajak adalah negara dimana barang diproduksi atau dimana barang tersebut
dikonsumsi. Jika barang di impor maka akan kena pajak, tetapi jika barang di ekspor
maka tidak akan dikenakan pajak.
"In VAT that defines its tax jurisdictional reach on the destination principle, the tax is imposed in the country of consumption - generally where the goods and services are delivered for personal consumption. Imports are subject to VAT and exports are free of VAT. Most nations with destination principle VAT's tax only some imported services and zero rate only some exported services" (Schenk dan Oldman,2007, hal.22).
Hampir banyak Negara sekarang ini menggunakan prinsip tujuan barang, karena
lebih netral untuk perdagangan international. Hal ini diiakukan dalam rangka harmonisasi
perpajakan demi tercapainya iklim perdagangan international yang fair dan netral. Begitu
juga dengan kebijakan Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia, menganut prinsip asal
barang atau destination principle.
2.2.7 Penentuan Pengenaan PPN atas Barang Kena Pajak
Pada penjelasan legal character disebutkan bahvva Pajak Penjualan (PPn)
merupakan pajak atas konsumsi yang bersifat umum {general) dan ditujukan pada semua
private expenditure. Sebagai konsekwensinya, maka tidak boleh ada diskriminasi atau
pembedaan antara barang dan jasa, karena keduanya merupakan pengeluaran. Karena itu,
yang dapat menjadi objek PPN adalah konsumsi untuk barang dan konsumsi untuk jasa.
Setelah menetapkan konsumsi barang masuk dalam lingkup objek PPN, langkah
selanjutnya adalah mengkaji pengertian barang, untuk kemudian dipilih altcrnatif yang
paling tepat, yang sesuai dengan konsep Value Added Tax, tetapi sekaligus asas-asas
pemungutan pajak (antara lain asas revenue productivity, equality dan ease
administration).
Dalam menentukan dan merumuskan pengertian barang yang dikenakan, hams
dilihat legal character yang lain, yaitu on consumption. Konsekuensi karakteristik
tersebut adalah bahwa pengertian barang dapat mencakup pengertian yang luas, yaitu
semua barang tanpa membedakan apakah barang tersebut digunakan/habis sekaligus
ataupun digunakan/habis secara bertahap/berangsur-angsur. Dengan demikian, pengertian
20
barang ini dapat mencakup Barang Konsumsi (Consumer Product), Bahan Baku dan
Barang Modal.«
Legal character K/tTmemungkinkan semua barang dijadikan sebagai obyek PPN
tanpa memperhatikan untuk apa barang tersebut digunakan. Dalam merumuskan
pengertian barang, harus diperhatikan bahwa barang yang dikenakan pajak tersebut harus
merupakan private expenditure. Karena itu public expenditure atau pengeluaran/belanja
pemenntah, dapat saja dikecualikan sebagai obyek PPN. Pertimbangannya, selain
pengecualian ini dimungkinkan secara konsep/teori, juga dengan alasan kemudahan
administrasi. Memajaki pengeluaran/belanja pemerintah, pada hakekatnya dapat
dianalogikan seperti 'keluar dari kantong kanan, masuk ke kantong kiri. Dengan kata lain,
secara aggregate, PPN yang diterima oleh pemerintah adalah nihil. Pada prinsipnya semua
barang adalah Barang Kena Pajak (BKP), kecuali barang-barang tertentu yang diatur oleh
pemerintah sebagai Barang Tidak Kena Pajak (BTKP) (Rosdiana, Irianto dan
Putranti,2011, 117). Dalam sistem PPN di Indonesia, pengertian barang meliputi:
i. barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa
a. Barang bergerak, atau
b. Barang tidak bergerak
ii. barang tidak berwujud
Perbedaan pengertian kedua jenis barang tersebut menurut hukum perdata untuk
memberikan pemahaman yang lebih mendalam dapat dibedakan atas:(KUHP Pasal 506
sd518).
a) Benda (Berwujud/ tangible)
a. Benda Bergerak (movable property/asset)
b. Benda Tidak Bergerak (immovable property/asset)
b) Hak (Tidak Berwujud///; tangible)
a. Hak Bergerak (movable right)
b. Hak Tidak Bergerak (immovable right)
Oleh karena itu, ketentuan hukum mengenai Barang Tidak Bergerak dan Barang
Bergerak perlu untuk diketahui. Terutama untuk kepentingan penafsiran undang-undang
perpajakan, jika memang ada peraturan yang mengatur secara khusus perlakuan pajak
yang berbeda atas kedua jenis barang ini.
21
2.3 Asas-asas Pemungutan Pajak
2.3.1 Asas Revenue Productivity
Revenue productivity principle merupakan asas yang lebih menyangkut
kepentingan pemerintah, sehingga asas ini oleh pemerintah yang bersangkutan sering
dianggap sebagai asas yang terpenting, seperti pendapat berikut ini:
A national tax system should guarantee revenues adequate to cover the expenditures of government at all levels. Since public expenditures tend to grow at least as fast as the national product, taxes as the main vehicle of government finance should produce revenues that grow correspondingly. In developed economies this criterion would give first place..." (The New Encyclopedia Britannica, hal.410).
Pajak mempunyai fungsi utama sebagai penghimpun dana dari masyarakat untuk
membiayai kegiatan pemerintah, baik pembiayaan rutin maupun pembiayaan
pembangunan (fungsi budgetair). Karena itu dalam pemungutan pajak, hams selalu
dipegang teguh asas produktivitas penerimaan. Upaya ektensifikasi maupun intensifikasi
sistem perpajakan nasional serta penegakan law enforcement, tidak akan berarti bila hasil
yang diperoieh tidak memadai. Meskipun asas ini menyatakan bahwa jumlah pajak yang
dipungut hendaklah memadai untuk keperluan menjalankan roda pemerintahan, tetapi
hendaknyad alam implementasinya tetap harus diperhatikan bahwa jumlah pajak yang
dipungut jangan sampai terlalu tinggi sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi.
Di berbagai negara berkembang, reformasi perpajakan pada umumnya masih
menekankan pada aspek penerimaan, sehubungan dengan kebutuhan untuk menutupi
anggaran belanja pemerintah. Padahal sehanisnya revenue productivity dan equity
sehanisnya bukan merupakan dua bal yang dipertentangkan, melainkan melengkapi satu
dengan yang lainnya, seperti yang dapat disimpulkan dalam kutipan berikut ini:
"Government attempt to use tax systems to achieve many goals; raising revenue is only one of them. To facilitate compliance and collection, however, a tax system must be administratively feasible. For the same reason, but also as an end in itself, it must spread its burden equitable. All these aims can rarely be satisfied simultaneously, so tax reform is a matteroftrade-ofr(World Bank, 1988, hal.83).
2.3.2 Asas Ease of Administration
Selain asas revenue productivity, asas lain yang tak kalah penting adalah ease of
administration. Asas ini sangat penting, baik untuk fiskus maupun Wajib Pajak. Prosedur
pemungutan pajak yang rumit dapa^menyebabkan Wajib Pajak enggan membayar pajak
22
dan bagi fiskus, akan menyulitkan dalam mengawasi pelaksanaan kewajiban Wajib
Pajak. Dalam "The Encyclopedia Americana", asas certainty, convenience, dan economy
dimasukkan dalam satu asas yaitu the administrative principles (The Encyclopedia
Americana, him. 291).
Dengan demikian asas ease administration dapat diilustrasikan sebagai berikut:
INDIKATOR ASAS EASE OF ADMINISTRATION
1. Certaintya. Subyek
b. Obyekc. Dasar Pengenaan Pajakd. Tarife. Prosedur
2. Efficiency:
a. Dari segi Fiskus : Administrative & Enforcement Cost relatif rendah
b. Dari segi Wajib Pajak •.Compliance Cost relatif rendah
3. Convenience of Paymenta. Pajak dipungut pada saat yang tepal (Pay As You Earn)b. Penenluan Jaluh Tempo Pembayaran pajakc. Prosedur Pembayaran
4. Simplicitya. Mudah dilaksanakanb. Tidak berbelit-belil
o0 «
Jelas (certain)TegasTidak bermakna ganda & Tidak bisaditafsirkan lain (unambigious)continuity
Asas kepastian merupakan suatu hal yang paling mendasar dalam suatu sistem
perpajakan, karena ketidakpastian akan memperbesar potensi terjadinya dispute
(perselisihan atau perbedaan pendapat) antara Wajib Pajak dan Fiskus. Dalam praktik di
lapangan, seringkali peraturan yang paling rendah-misalnya Surat Edaran Dirjen Pajak-
justru lebih "powerful" dibandingkan dengan Undang-undangnya sendiri. Jika hal ini
dibiarkan berlarut-larut, tentu akan menjadi preseden yang buruk, apalagi Surat Edaran
dibuat tanpa harus mendapat persetujuan DPR (lihat definisi pajak).
Apabila terjadi dispute antara Wajib Pajak dan Fiskus dalam menafsirkan suatu
undang-undang, maka pendapat Prof. Dr. J.H.A. Logemann dapat dijadikan sebagai
pedoman. Urutan tentang cara-cara penafsiran itu adalah sebagai berikut (Brotodihardjo,
hal. 154):
1. Penafsiran menurut Ilmu Tata Bahasa,2. Penafsiran menurut sejarah terjadinya hukum,3. Penafsiran menurut sejarah terjadinya Undang-undang,4. Penafsiran secara sistematis,5. Penafsiran secara sosiologis,6. Penafsiran menurut analogi.
23
Secara lebih spesifik, untuk penafsiran undang-undang pajak, Brotodihardjo
menyebutkan bahwa yang digunakan adalah penafsiran umum, analogi, otentik,
penafsiran secara ketat dan ajaran peradilan (yurisprudensi).
Untuk memberikan kepastian hukum, maka seharusnya peraturan perpajakan
harus terus menerus disempurnakan, menyesuaikan dengan dinamika bisnis dan ekonomi.
Namun karena peraturan perpajakan jumlahnya sangat banyak serta beragam dan rumit
(complicated), maka akan sulit untuk terus menerus melakukan tinjauan (review) atas
peraturan yang sudah dibuat. Sebab itulah, harus ada review committee, yang dibantu oleh
staf peneliti, untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang terjadi di lapangan. Asosiasi
profesi dapat menjadi sumber informasi yang penting, karena yang paling memahami
permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam di lapangan.
Because tax laws tend to be numerous and complicated, it would be impossible to subject them to complete review at all times. It should be the duty of the review committee to work closely with the tax administration, which is likely to be a primary source for notification of problems, and with research staff. In addition, it is important for the review committee to pay close attention to the private sector. Private sector professional associations may be an excellent source of information regarding problems (Logemann).
2.4 Konsep Cost of Taxation
Asas eflsiensi dapat dilihat dari dua sisi : dari sisi Fiskus pemungutan pajak
dikatakan efisien jika biaya pemungutan pajak yang dilakukan oleh Kantor Pajak (antara
lain dalam rangka pengawasan kewajiban Wajib Pajak) lebih kecil daripada jumlah pajak
yang berhasil dikumpulkan. Dari sisi Wajib Pajak, sistem pemungutan pajak dikatakan
efisien jika biaya yang harus dikeluarkan oleh Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban
perpajakannya bisa seminimal mungkin. Dengan kata lain, pemungutan pajak dikatakan
efisien jika cost oftaxationnya-nya rendah.
Dari sisi fiskus, istilah yang lebih tepat digunakan untuk mengukur efisiensi
adalah administrative cost (lihat Sandford, Godwin, Hardwick, 1989, hal 3-23).
The term administrative costs' can be used for the public sector costs of running the tax system - principally the costs incurred by the revenue departments, whilst 'operating costs' is a convenient term to embrace the total costs of running a tax or the tax system, i.e. administrative and compliance costs combined (Standford).
Sebagaimana dikemukakan oleh Cedric, administrative corf merupakan biaya yang harus
dikeluarkan pemerintah untuk menjalankan sistem administrasi perpajakan. Jadi
V
24
administrative cost, yang termasuk dalam biaya ini bukan hanya gaji pegawai pajak,
tetapi juga biaya operasional lainnya -termasuk biaya untuk melakukan
penyuluhan/sosialisasi peipajakan. Termasuk dalam operating cost adalah biaya
penegakkan hukum dan keadilan, antara lain:
• Biaya pelaksanaan pemeriksaan,
• Biaya pelaksanaan penagihan (termasuk biaya pelaksanaan penagihan pajak
dengan Surat Paksa),
• Biaya pelaksanaan penyanderaan, dll Biaya yang dikeluarkan dalam menghadapi
keberatan dan atau banding dari Wajib Pajak.
Salah satu indikator untuk mengukur efisiensi adalah Cost Collection Efficiency
Ratio (CCER), yaitu rasio perbandingan antara collection cost dengan tax revenue.
Collection CostCCER =-----------------x 100%
Tax Revenue
Semakil kecil CCER, berarti pemungutan pajaknya semakin efisien. Antara asas
efficiency dengan asas revenue productivity saling berkaitan erat.
Suatu sistem pemungutan pajak tidak bisa dikatakan berhasil memenuhi asas
revenue productivity bila semata-mata hanya dilihat dari besarnya tax revenue yang
dikumpulkan, karena hams dihitung/dikurangkan dengan biaya pemungutannya. Mankiw
menyatakan bahwa suatu sistem pajak dikatakan lebih efisien dari yang lainnya jika
sistem tersebut dapat menghasilkan penenmaan pajak yang sama dengan sistem yang
lainnya, tetapi dengan biaya pemungutan yang lebih rendah yang dibebankan kepada
Wajib Pajak.
In designing a tax system, policymakers have two objectives: efficiency and equity. One tax system is more efficient than another if it raises the same amount of revenue at a smaller cost to taxpayers. What are the costs of taxes to taxpayers? The most obvious cost is the tax payment itself. This transfer of money from the taxpayer to the government is an inevitable feature of any tax system. Yet taxes also impose two other costs, which well-designed tax policy tries to avoid or, at least, minimize:• The deadweight losses that result when taxes distort the decisions that
people make• The administrative burdens that taxpayers bear as they comply with the
tax lawsAn efficient tax system is one that impose small deadweight losses and small administrative burdens (Mankiw, hal.248).
v
25
Mankiw juga menyatakan bahwa biaya yang dibebankan pada Wajib Pajak bukan hanya
besamya beban pajak yang terhutang dan dibayar oleh Wajib Pajak. Perumus kebijakan
sehamsnya juga dapat mendisain kebijakan pajak yang dapat meminimalisir deadweight
Josses dan administrative burdens.
Jika Mankiw menggunakan terminologi beban administrasi, dalam perspektif
yang lebih komprebensif, Sandford, Godwin and Hardwick menggunakan terminology
compliance costs/costs of compliance. Compliance costs I costs of compliance
didefinisikan sebagai:
. . . costs incurred by taxpayers or third parties, notably businesses, in meeting the requirements laid on them by a given tax structure (excluding the payment of the tax itself and any distortion costs arising from it) (Pope, 1993, hal.70).
Compliance cost adalah bagian dari beban administratif (administrative burdens) yang
hams ditanggung oleh Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Secara keseluruhan, beban yang ditanggung oleh Wajib Pajak untuk melaksanakan hak-
hak dan kewajiban-kewajiban perpajakannya dinotasikan dalam suatu konsep yang
disebut cost of taxation.
Dalam perspektif Slemrod dan Yitzhaki, cost of taxation bukan hanya berupa
pengorbanan dalam bentuk pengurangan penghasilan (The sacrifice of income), yaitu
besarnya marginal tax atau besaran nominal pajak yang dibayar oleh Wajib Pajak.
Pembayaran pajak mengurangi penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak, misalnya
pajak penghasilan akan mengurangi laba bersih usaha, pajak penghasilan atas gaji (seperti
PPh Pasal 21 di Indonesia) akan mengurangi take home pay. Begitu juga apabila penjual
memilih untuk melakukan shifting backward, maka adanya pajak penjualan, akan
mengurangi gross profit.
Slemrod and Yitzhaki (1996) identify compliance costs as one of the five component costs of taxation. The others are administrative costs, deadweight efficiency loss from taxation, the excess burden of tax evasion and avoidance costs. The general idea here is to consider situations with and without taxation. Taxes themselves are merely a transfer of purchasing power from the non-government sector to the government sector. The Slemrod-Yitzhaki classification seeks to capture all costs to society of effecting this transfer. This is equivalent, conceptually, to the aggregate welfare loss on account of the transfer while holding constant the utility from private as against public spending of tax revenues. The classification does not explicitly mention welfare loss due to equity violations from compliance requirements, though this is implicit (Pope, 1993, hal.8).
V
26
Pengorbanan sebagian dari penghasilan/pendapatan yang seharusnya bisa
diterima/diperoleh lebih besar jika tidak ada pajak adalah salah satu cost of taxation yang
lebih secara langsung dirasakan karena langsung mengurangi kemampuan ekonomis. Cost
of taxation seperti deadweight efficiency loss from taxation, the excess burden of tax
evasion, dan avoidance costs dapat dikategorisasikan sebagai the distortion cost, yaitu
biaya yang timbul akibat adanya pemungutan pajak yang mengharuskan perusahaan
mengubah strategi manajemen-nya (mulai dari penentuan harga, perubahan strategi
pemasaran, perubahan'strategi manajemen perpajakan (taxplanning), dll) serta perubahan
perilaku atau pola kebiasaan. Dengan demikian, dalam menghitung cost of taxation yang
dipikul oleh Wajib Pajak, hendaknya digunakan perspektif yang lebih luas dan
komprehensif, yang bukan hanya memperhatikan atau menghitung tax burden dari
marginal tax rate atau effective tax rate.
Dalam pengertian yang konvensional, Chattopdhyay dan Das-Gupta menyitir
pendapat Sandford yang menyatakan bahwa Compliance costs bukan hanya semata-mata
berupa pajak yang hams dibayar (misalnya jumlah PPh Badan yang terhutang dan hams
dibayar pada akhir tahun), tetapi juga semua biaya yang yang terjadi over and above any
distortion costs inherent in the nature of the tax.
The conventional definition of tax compliance costs, for example in Sandford (1995) is: "Tax compliance costs are the costs incurred by the taxpayers in meeting the requirements laid on them by the tax law and the revenue authorities. They are costs over and above the actual payment of tax and over and above any distortion costs inherent in the nature of the /a*"(Chattopadhayay dan Gupta, 2002).
Compliance cost bahkan dapat terjadi bukan hanya pada si pembayar pajak (Wajib Pajak)
tetapi juga pada pihak ketiga yang diberi kewajiban untuk memungut/memotong pajak
(misalnya jika sistem perpajakan juga menggunakan tehnik withholding), misalnya pihak
Pemberi Kerja yang hams memotong Pajak Penghasilan Pasal 21.
Compliance costs are not only incurred by taxpayers but all the agents/parties involved in facilitating the transfer from the private sector to the government exchequer. For example, employers responsible for tax deduction at source and financial institutions entrusted with collecting taxes also incur compliance costs. Since cost of compliance is one of the many costs inflicted on society by a tax, there is a need to view tax compliance costs from a broader perspective than that implied in the definition a£ove"(Chattopadhayay dan Gupta, 2002, hal 8).
27
Chattopdhyay dan Das-Gupta menukil pendapat Slemrod dan Yitzhaki menyatakan
bahwa compliance costs hanya merupakan salah satu dari cost of taxation. Dengan
demikian, indikator Cost of Taxation secara keseluruhan ada 5 (lima), yaitu :
/. compliance costs2.administrative costs,3.deadweight efficiency loss from taxation,4.the excess burden of tax evasion, dan5.avoidance costs "(Chattopadhayay dan Gupta, 2002).
Komponen cost of taxation The tax operating cost IAdministartive Cost!
Compliance cost, adalah biaya-biaya atau beban-beban yang dapat diukur dengan nilai
uang (tangible) maupun yang tidak dapat diukur dengan nilai uang (intangible) yang
harus dikeluarkan/ditanggung oleh Wajib Pajak berkaitan dengan proses pelaksanaan
kevvajiban-kewajiban dan hak-hak perpajakan. Sebagaimana dikemukakan oleh Cedric
Sandford, Compliance costs tidak selalu biaya yang tangible -yang dapat dinilai dengan
uang - tetapi juga dengan biaya yang intangible, sebagaimana dapat dilihat dalam kutipan
berikut ini:
Tax guru Cedric Sandford found that across a sample of UK industry VAT compliance costs in broad terms some 4% of revenues raised, which in macro-economic terms is 1.5% of GDP - a large sum of money for companies to bear. He also laid out three separate elements to the costs of compliance:1. Fiscal costs - the employee costs of running day to day VAT
accounting, the cost of expertise to understand and keep up with changes in policies and rates, the cost of submitting VAT returns, and the cost of external accountants for operational and advisory services
2. Time costs - the cost of senior management time in overseeing the function - in theory these can be turned into money, but in reality this is a very scarce resource in a company
3. Psychological costs - the significant worry brought about the fact that the onus is squarely on the business to conduct their VAT affairs properly, with financial and even criminal sanctions for failing to do so. VAT regulations can be very complex, and many companies know they lack some of the knowledge required to be certain that they are using the correct policies and rates for all their transactions. This " fear factor" is often highlighted as a component of compliance costs, even though it is not easily quantified (Abolins, 2002).
I) Fiscal Cost
Dari sisi Wajib pajak, Fiscal Costs/Direct Money Costs, adalah biaya atau beban
yang dapat diukur dengan nilai uang yang harus dikeluarkan/ditanggung oleh Wajib
Pajak berkaitan dengan proses pelaksanaan kewajiban-kewajiban dan hak-hak
peipajakan. Termasuk dalam kelompok biaya ini adalah:V
28
i. honor/gaji staf/pegawai Divisi Pajak (atau Divisi Akuntansi yang menangam
masalah perpajakan, pembukuan, pengisian Faktur Pajak, Bukti Pemotongan, dan
sebagainya); ii. jasa konsultan yang disewa Wajib Pajak; iii. biaya transportasi
pengurusan perpajakan (misalnya biaya menyampaikan SPT,
biaya transport untuk menyetorkan pajak dan Iain-lain); iv. biaya pencetakan
dan penggandaan formulir-formulir perpajakan (tinta, kertas,
forocopy, cetak SSP/Faktur Pajak Standar, dan lain lain); v.
biaya representasi (jamuan), dll. 2) Time cost
Selain fiscal cost yang tangible, compliance costs juga terdiri dari biaya yang
intangible dalam bentuk time costs dan Psychological costs. Time Costs adalah biaya
berupa waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dan hak-hak
perpajakan, misalnya:
i. Waktu yang dibutuhkan untuk mengisi formulir-formulir perpajakan.
ii. Waktu yang dibutuhkan untuk mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) dan
menyampaikan SPT. iii. Waktu yang diperlukan untuk mendiskusikan tax
management dan tax exposure
dengan pihak konsultan pajak. iv. Waktu yang diperlukan untuk membahas
Laporan Hasil Pemeriksaan/ closing
conference dengan pihak Fiskus/Pemeriksa Pajak v. Waktu yang
dibutuhkan untuk melakukan keberatan dan atau banding.
3) Psychological Costs
Psychological costs /Psychic costs adalah biaya psikis/psikologis -antara lain
berupa stress dan atau ketidaktenangan, kegamangan, kegelisahan, ketidakpastian- yang
terjadi dalam proses pelaksanaan kewajiban-kewajiban dan hak-hak perpajakan, misalnya
stress yang terjadi saat pemeriksaan pajak, saat pengajuan keberatan dan atau banding.
Sandford et al (1989) has emphasized the need for including the psychic costs comprising of stress and agony in dealing with one's tax affairs, in particular for the poorer pensioners, widows and divorced and separated woman.
V
29
BAB 3 KEBUAKAN PPN ATAS KEGIATAN JASA PERBANKAN
DI INDONESIA
3.1 Kebijakan PPN atas Kegiatan Jasa Perbankan
Industri perbankan adalah industri yang bergerak di bidang jasa keuangan. Dalam
ketentuan Undang-Undang PPN pengertian Jasa dapat dipersandingkan sebagai berikut.
Tabel 3.1 Pengertian Jasa
menurut UU PPN
UUNo.8
Tahun 1983
UUNo.ll
Tahun 1994
UU No. 18
Tahun 2000
UU No. 42
Tahun 2009
Pasal 1 huruf eJasa adalah semua kegiatan usaha dan pemberian pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yangmenyebabkan suatu barang, fasilitas, atau hak tersedia untukdipakai
Pasal 1 huruf eJasa adalah setiap kegiatan
pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan;
Pasal 1 Angka 5Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan
Pasal 1 Angka 5Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, tennasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
Pengertian Jasa Kena Pajak berdasarkan Pasal 1 angka 6 UU PPN 2009 adalah jasa yang
dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini. Artinya setiap kegiatan pelayanan yang
berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas,
kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk
menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari
pemesan. Sedangkan pengertian Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan
pemberian Jasa Kena Pajak. Berdasarkan Pasal 4 huruf c UU PPN 2009, Pajak Pertambahan
Nilai dikenakan atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan
oleh Pengusaha. Untuk menentukan apakah suatu Penyerahan Jasa Kena Pajak terhutang
pajak, harus dipenuhi syarat-syarat berikut:
■v
30
a. Syarat yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 4 huruf c
& Jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak
O Penyerahan dilakukan di Daerah Pabean Indonesia
5> Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya
b. Syarat yang secara implisit tersirat dalam Undang-undang
Yang menyerahkan: Pengusaha Kena Pajak. Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan
Jasa Kena Pajak meliputi baik Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1) maupun Pengusaha yang seharusnya
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi belum dikukuhkan.
Termasuk dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak adalah Jasa Kena Pajak
yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri dan/atau yang diberikan secara cuma-
cuma.Seperti halnya Barang Kena Pajak, semua jasa adalah Jasa Kena Pajak kecuali jasa
yang tidak dikenakan PPN yang diatur dalam pasal 4A UU No.42 Tahun 2009.
Jasa perbankan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan Pajak
Pertambahan Nilai dikelompokan sebagai Jasa Tidak Kena Pajak. Sehingga penyerahan jasa
perbankan tidak terutang PPN. Di bawah ini dipersandingkan ketentuan padal pasal 4A.
Tabel 3.2
Jasa Perbankan merupakan Jasa Tidak Kena Pajak menurut UU PPN
UU No. 8 UU No. 11 UUNo. 18 UU No.42Tahun 1983 Tahun 1994 Tahun 2000 Tahun 2009
Pasal 4 ayat 2 Penjelasan Pasal 4A huruf: Pasal 4A Angka 3 Pasal 4A Angka 3 huruf:Oengan huruf:Peraturan d.Jasa di bidang perbankan, d.jasakeuangan;Pemerintah asuransi, dan sewa guna djasa di bidang e. jasa asuransi;diatur usaha dengan hak opsi; perbankan, asuransi,penyerahan dan sewa guna usaha .jenis-jenis jasa dengan hak opsi;yang dikenakan
PajakPertambahanNilai.
Dalam penjelasan Pasal 4A ayat 3 huruf d UU PPN ditegaskan lebih lanjut jenis jasa
keuangan yang tidak dikenai PPN sebagai berikut:
a) jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka, sertifikat
deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu;
31
b) jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana kepada pihak lain
dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek,
atau sarana lainnya;
i) jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, berupa:
(1) sewa guna usaha dengan hak opsi;
(2) anjak piutang;
(3) usaha kartu kredit; dan/atau
(4) pembiayaan konsumen;
c) jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah dan fidusia; dan
d) jasa penjaminan.
Sementara pada Pasal 4A ayat 3 huruf e yang dimaksud dengan "jasa asuransi" adalah jasa
pertanggungan yang meliputi asuransi kerugian, asuransi jiwa.dan reasuransi, yang diiakukan oleh
perusahaan asuransi kepada pemegang polis asuransi, tidak termasuk jasa penunjang asuransi
seperti agen asuransi, penilai kerugian asuransi, dan konsultan asuransi.
3.2 Kebijakan PPN atas Penyerahan Barang Kena Pajak
Ketentuan mengenai obyek PPN diatur dalam Pasal 4 yang dapat disarikan sebagai
berikut:
mmmmmmsmPasal4avat (1) huruf a Penyerahan BKP yang diiakukan di Daerah Pabean dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan oleh Pengusaha yang: l)menghasilkan BKP tersebut; 2)mengimpor BKP tersebut; 3)mempunyai hubungan istimewa dengan Pengusaha yang dimaksud pada huruf a angka I) dan angka 2); 4)bertindak sebagai penyalur utama atau agen utama dari Pengusaha yang dimaksud pada huruf a angka 1) dan angka 2);5)menjadi pemegang hak atau pemegang hak menggunakan paten dan merek dagang dari BKP tersebut;
Pasal 4 avat fat
Penyerahan BKP didalam DaerahPabean yangdiiakukan oleh Pengusaha
1^[^n2Ciftf^'Pasal 4 avat fat
Penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean yang diiakukan oleh Pengusaha
Si:^utfcNb:42t::Ft(n
Pasal 4 avat (I) huruf a
Penyerahan BKPdi dalam DaerahPabean
yangdiiakukan oleh Pengusaha
Tabel 3. 3
Perkembangan Ketentuan Pasal 4 Terkait dengan Obyek PPN da am UU PPN di Indonesia
32
Penjelasan: Penyerahan Barang yang terhutang pajak hams memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:-Barang yang diserahkan adalah BKP;-tindakan penyerahan adalahpenyerahan kena pajak;•penyerahan dilakukan oleh PKP atauPengusaha yang memilih untukdikukuhkan menjadi PKP;-penyerahan dilakukan dalam DaerahPabean RI, termasuk penyerahanuntuk Ekspor, meskipun atas Ekspordikenakan tarif 0% (nol persen);-penyerahan dilakukan dalamlingkungan perusahaan ataupekerjaannya sebagai PKP, artinya dalam rangka kegiatannya sehari-hari sebagai PKP. Penyerahan Barang yang dilakukan tidak dalam rangka menjalankan perusahaan atau pekerjaannya, misalnya pengoperan aktiva yang tidak dimaksudkan untuk dijual, tidak terhutang pajak.
Golongan PKP yang terhutang pajak adalah sebagai berikut:
1)PKP yang menghasilkan BKP. Golongan pengusaha ini disebut Pabrikan atau Produsen. Atas penyerahan BKP hasil produksi Pabrikan itu kepada pihak mana pun terhutang pajak;
2)Pengusaha yang mengimpor BKP. Atas penyerahan BKP oleh Impoitir kepada pihak mana pun terhutang pajak;
3)Pengusaha yang mempunyai hubungan istimewa dengan Pabrikan dan/atau dengan Impoitir. Penyerahan BKP oleh Pengusaha yang mempunyai hubungan istimewa dengan Pabrikan atau Impoitir kepada pihak mana pun terhutang pajak;
4)Agen dan penyalur utama dari Pabrikan dan Impoitir. Ditetapkannya agen dan penyalur utama dari Pabrikan dan Impoitir sebagai PKP berdasarkan pertimbangan adanya hubungan khusus diantara mereka yang berpengaruh atas sistem perdagangan dan pemasaran barang. Pabrikan atau Impoitir adalah pihak yang menyuruh, atau meminta atau memberikan hak kepada penyalur
Penjelasan:Penyerahan barangyang dikenakanpajak hamsmemenuhi syarat-syaratsebagai berikut:-barang berwujudyang diserahkanmempakan BKP,-barang tidakberwujud yang diserahkan merupakan BKP tidak berwujud, -penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean, -penyerahan dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaanPengusaha yang bersangkutan
feM»NQ:?i8i ;fe/:|Kia}h2000Penielasan: Pengusaha yang melakukan kegiatanpenyerahan BKP meliputi baik Pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi PKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (I) maupunPengusaha yangseharusnyadikukuhkanmenjadi PKPtetapi belumdikukuhkan.
Penyerahanbarang yangdikenakan pajak hams memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a.barangberwujud yang diserahkan mempakan BKP.
b.barang tidak berwujud yang diserahkan mempakan BKP tidak berwujud,
c.penyerahandilakukan didalam Daerah Pabean, dan
d.penyerahandilakukan dalamrangka kegiatanusaha ataupekerjaannya.
Tahuri2009Penjelasan: Pengusaha yang melakukan kegiatanpenyerahan BKPmeliputi baikPengusaha yangtelah dikukuhkanmenjadi PKPsebagaimanadimaksud dalamPasal 3A ayat (1)maupun Pengusahayang seharusnyadikukuhkanmenjadi PKP,tetapi belumdikukuhkan.
Penyerahan barang yang dikenai pajak hams memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:a. barang berwujudyang diserahkanmempakan BKP,
b. barang tidakberwujud yangdiserahkanmempakan BKPTidak Berwujud,
c.penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
d.penyerahandilakukan dalamrangka kegiatanusaha ataupekerjaannya.
33
jp\
atau agen utama untuk memasarkanBarang hasil prodnksinya atauBarang yang diimpornya berdasarkanjenis Barang dan/atau wilayahpemasaran tertentu menurut perjanjianyang disetujui bersama.AtasPenyerahan BKP oleh agen atau penyalur utamakepada pihak mana pun terhutang pajak;
5)Pengusaha yang menjadi pemegang atau pemegang hakmenggunakan paten dan merek dagangdari BKP. Ditetapkan sebagai PKP,oleh karena Pengusaha tersebut telahmempunyai hak dan kekuasaan untukmenghasilkan, memasarkan ataumenyuruh orang lain melakukankegiatan itu menurut perjanjian yangdisetujui bersama. Atas PenyerahanBKP oleh Pengusaha tersebut kepadapihak manapun terhutang pajak;________
«irt20fjpiUUNo.42:; Tahun2069i
»:fliSSpHffiit
■>^huM»g&£Pasal 1 ayat (d) angka I Yang termasuk dalam pengettian penyerahan BKPadalah:ajpenyerahan hak alas BKP karena suatu perjanjian;b)pengalihan BKP oleh karena suatu perjanjian sewa belt dan perjanjian
c)pengalihan hasilproduksi dalam keadaan bergerak;
d)penyeraban BKP kepada pedagang perantara atau melaluijurulelang;
ejpemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma;
JJ 'JIWNBTIIS
Pasal I ayat (d) angka I Yang termasuk dalam pengertian penyerahan BKPadalah:a) penyerahan hak atas BKP karena suatu perjanjian;b) pengalihan BKP oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan perjanjian leasing;c) penyerahan BKPkepada pedagang perantara atau melalui jura lelang;
d)pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma;
e)persediaan BKP dan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat
^v
UUNo.18 TahunJOOO
Pasal lAayal(l)
Yang termasuk dalampengertian penyerahanBKPadalah:a.penycrahan hak atasBKP karena suatuperjanjian;b.pengalihan BKP olehkarena suatu perjanjiansewa beli dan perjanjianleasing;c.pcnyerahan Barang KenaPajak kepada pedagangperantara atau melalui juralelang;
d.pcmakaian sendiri dan atau pemberian cuma-cuma alas BKP;
e.persediaan BKP dan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tetsisa pada
UUNo.42 Tahun 2009
Pasal lAayat(l)
Yang termasuk dalam pengertian penyerahan BKP adalah:a. penyerahan hak atas BKP karena suatu perjanjian;b.pengalihan BKP karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing); c.penyerahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
d.pemakaian sendiridan/atau pemberian cuma-cuma atas BKP;
e.BKP berupa persediaandan/atau aktiva yangmenurut tujuan semulatidak
untukdiperjualbelikan, yang
Ketentuan mengenai obyek PPN yang terkait dengan penyerahan BKP diatur lebih spesifik
dalam Pasal 1 yang dapat disarikan sebagai berikut:
Tabel 3.4
Perkembangan Ketentuan Penyerahan BKP Yang Terhutang PPN(Taxable Supplies of Goods) Dalam UU PPN di Indonesia ___________
34
mmmmm.
Opersediaan BKP yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan.
TahUnl994pembubaranperusahaan, sepanjang PPN alas perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikredilkan;
Openyerahan BKP dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya dan penyerahan BKP antar Cabang;
g) penyerahan BKP secara konsinyasi;
MWX^t'saat pembubaranperusahaan,sepanjang PPN atasperolehan aktiva tersebutmenurut ketentuan dapatdikredilkan;
f .penyerahan BKP dari Pusat ke Cabang alau sebaliknya dan penyerahan BKP antar Cabang;
g. penyerahan BKP secara konsinyasi.
masih tersisa padasaat pembubaran perusahaan;
f. penyerahan BKP daripusat ke cabang alausebaliknya dan/alaupenyerahan BKP antarcabang;
g. penyerahanBKPsecara konsinyasi;dan
h. penyerahan BKPoleh PKP dalam rangkaperjanjianpembiayaanyang dilakukanberdasarkan prinsipsyariah. yangpenyerahannya dianggap langsung dari PKP kepada pihak yang membutuhkan BKP.
'mi r^j* S5i":%*:
UU juga mengatur ketentuan penyerahan BKP yang tidak terhutang PPN yang dapat
disarikan sebagai berikut:
TabeI3.5
Perkembangan Ketentuan Penyerahan BKP Yang Tidak Terhutang PPN (Non Taxable Supplies of Goods) Dalam UU PPN di Indonesia
UUNo.8 , /--•.UUNoMr':^'.^ f^i&^^'s^-^ ■ '. VU}ioA2Tatiunl983 Tahun J994!>^^? w&^mmmo^' Tahun2009
Pasal 1 aval (d) angka 2 Pasal 1 ayat (d) angka 2 Pasal 1A ayat (2) hurufb Pasal 1A ayat (2) hurufb2) Yang tidak termasuk 2) Yang tidak termasuk (2) Yang tidak termasuk (2) Yang tidak
dalam pengertian dalam pengertian dalam pengertian termasuk dalam pengertianPenyerahan Barang Kena penyerahan Barang Kena penyerahan Barang Kena penyerahan Barang Kena
Pajak adalah: Pajak adalah: Pajak adalah: Pajak adalah:a) penyerahan Barang a. penyerahan Barang a. penyerahan Barang a. penyerahan Barang
Kena Pajak kepada Kena Pajak kepada Kena Pajak kepada Kena Pajak kepadamakclar sebagaimana makclar sebagaimana makelar sebagaimana makelar sebagaimana
diatur dalam Kitab dimaksud dalam Kilab dimaksud dalam Kitab dimaksud dalam KilabUndang-undang Hukum Undang-undang Undang-Undang Hukum Undang-undang Hukum
Dagang; Hukum Dagang; Dagang. Dagang;b) penyerahan Barang b. penyerahan Barang b. penyerahan Barang b. penyerahan Barang
Kena Pajak untuk Kena Pajak untuk Kena Pajak untuk Kena Pajak untukjaminan hutang-piutang; jaminan utang-piutang; jaminan utang piulang; jaminan utang-piutang;
c) pemindahlanganan c. penyerahan Barang c. penyerahan Barang c. Penyerahan Barangsebagian atau seluruh Kena Pajak Kena Pajak Kena Pajak sebagaimanaperusahaan. sebagaimana dimaksud sebagaimana dimaksud dimaksud dalam ayat (1)
pada angka l)huruff) dalam ayat (1) huruf f huruf f dalam haldalam hal Pengusaha dalam hal Pengusaha Pengusaha Kena Pajak
Kena Pajak Kena Pajak memperoleh melakukan pemusatanmemperoleh ijin ijin pemusatan tempal lempal pajak terutang;pemusatan lempat pajak terutang." d. pengaiihan Barang Kenapajak terhutang; Pajak dalam rangka
. d. penyerahan Barang penggabungan,Kena Pajak dalam peleburan, pemekaran, 1
IHSfiiW wmmmm
rangka perubahan bentuk usaha alau penggabungan usaha alau pengalihan seluruh aktiva perusahaan yang diikuti dengan perubahan pihak yang berhak alas persediaan Barang Kena Pajak;
pemecahan,
danpengambilalihan usahadengan syarat pihak yangmelakukan pengalihandan yang menerimapengalihan adalah
Pengusaha Kena Pajak;dane. Barang Kena Pajakberupa aktiva yangmenunit tujuan semulatidak untukdiperjualbelikan, yangmasili lersisa pada saalpembubaran perusahaan,dan yang Pajak Masukanatas perolehannya tidakdapal dikreditkansebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) humf b dan huruf c."
Khusus untuk penyerahan aktiva yang semula tidak untuk diperjualbelikan diatur lebih spesifik dalam Pasal 16D
yang dapat disarikan sebagai berikut:
Tabel 3. 6
Perkembangan Ketentuan Pasal 16D tentang Pengalihan Aktiva yang Semula Tidak Untuk
Diperjualbelikan Da am UU PPN di Indonesia________________________■vUUNo;42ip^: Tahun 20u3£jfe,
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh PKP, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c."Penielasan:
Penielasan: Penyerahan mesin,bangunan, peralatan,perabotan atau aktivalain yang menuruttujuan semula tidakuntuk diperjualbelikanoleh PKP, dikenakanpajak sepanjangmemenuhi persyaratan, yaitu bahwa PPN yang dibayar pada,, saat
UUNo.ll Tahun 1994
UUNo.18 Tahun 2000
UUNo.8 Tahunl983
Belum diatur PPN dikenakan atas penyerahan aktiva oleh PKP yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang PPN yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan."
berdasarkan UU No. 11 Tahun 1994 masih berlaku dan tidak ada perubahan
Penyerahan BKP, antara lain, berupa mesin, bangunan,peralatan, perabotanatau BKP lain yangmenurut tujuan semulatidak untukdiperjualbelikan oleh PKP dikenai pajak.
Namun,PPN tidak
36
1:-,::- ::T?Iiurii20(l9^^v: 1,
m perolehannya, sesuai ketentuan Undang-undang ini, dapat dikreditkan.Dengan demikian, penyerahan akiiva tersebut tidak dikenakan pajak apabila PPN yang dibayar pada waktu perolehannya tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang ini, kecuali jika tidak dapat dikredilkannya PPN tersebut karena bukti pengkredilannya tidak memenuhi persyaratanadministratif, misalnya Faktur Pajaknya tidak diisi lengkap sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5).
dikenakan atas pengalihan BKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dan pengalihan aktiva yang menunit tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan,yaitu kendaran bermotor berupa sedan dan station wagon, yang menurut ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c Pajak Masukan atas perolehan akiiva tersebut tidak dapat dikreditkan.
3.3 Perlakuan PPN atas Kegiatan Jasa Perbankan Dalam UU No. 42 tahun 2009
Terhitung mulai tanggal 1 April 2010, melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
SE-121/PJ/2010 tentang Penegasan Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Usaha
Perbankan, diatur beberapa hal sebagai berikut: 1. Pasal 4A ayat (3) huruf d UU PPN
mcngatur bahwa jasa keuangan adalah tennasuk
dalam Jenis jasa yang tidakdikenai Pajak Pertambahan Nilai.
Penjelasan Pasal tersebut menyatakan bahwa jasa keuangan meliputi:
a. jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka, sertifikat
deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu;
b. jasa menempatkan dana, meminjamkan dana, atau meminjamkan dana kepada pihak
lain dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk,
cek, atau sarana lainnya;
c. jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, berupa :
1) sewa guna usaha dengan hak opsi;
2) anjak piutang;
3) usaha kartu kredit;dan/atauv
37
4) pembiayaan konsumen;
d. jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah dan
fidusiajdan
e. jasa penjaminan.
2. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (UU Perbankan), mengatur
bahwa usaha Bank Umum meliputi:
a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito
berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan
dengan itu;
b. memberikan kredit;
c. menerbitkan surat pengakuan utang;
d. membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan
atas perintah nasabahnya:
1) surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa
berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat
dimaksud;
2) surat pengakuan utang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak
lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;
3) kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah;
4) Sertifikat Bank Indonesia (SBI);
5) obligasi
6) surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;
7) instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu)
tahun;
e. memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan
nasabah;
f. menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank
lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel
unjuk, cek atau sarana lainnya;
g. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan
dengan atau antar pihak ketiga;
h. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga;
38
i. melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu
konlrak; j. melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya
dalam bentuk
surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek; k. melakukan kegiatan anjak
piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali amanat; I. menyediakan pembiayaan dan
atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip
Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; m.
melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak
bertentangan dengan Undang-Undang ini dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. 3. Sehubungan dengan hal tersebut, perlakuan PPN terhadap kegiatan usaha
bank umum sebagaimana dimaksud pada butir 2 di atas, dapat dibedakan menjadi sebagai
berikut:
a. kegiatan usaha bank umum yang merupakan penyerahan jasa keuangan yang tidak
terutang PPN, yang karakteristiknya sebagai berikut:
1) jasa keuangan yang diserahkan berupa jasa pembiayaan yang mendapatkan
imbalan berupa bunga, atau
2) jasa keuangan yang diserahkan secara langsung oleh bank kepada nasabah, dalam
hal jasa keuangan tersebut bukan jasa pembiayaan;dan
b. kegiatan usaha bank umum yang merupakan penyerahan jasa yang terutang PPN.
4. Kegiatan usaha Bank Umum yang merupakan penyerahan jasa keuangan yang tidak
terutang PPN meliputi:
a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito
berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan
dengan itu;
b. memberikan kredit;
c. menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank
lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel
unjuk, cek atau sarana lainnya;
d. melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit;
e. menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip
Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
f. menerbitkan surat pengakuan utang;
g. menjamin atas risiko sendiri:
39
1) surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa
berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat
dimaksud;
2) surat pengakuan utang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak
lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;
3) kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah;
4) Sertifikat Bank Indonesia (SBI);
5) obligasi;
6) surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;
7) instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;
h. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak
bertentangan dengan UU Perbankan dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Kegiatan usaha Bank Umum yang merupakan penyerahan jasa yang
tenitang PPN meliputi:
a. memindahkan uang untuk kepentingan bukan nasabah;
b. melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk
surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek;
c. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan
dengan atau antar pihak ketiga;
d. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga;
e. melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu
kontrak;
f. membeli, menjual atau menjamin untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya;
1) surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa
berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat
dimaksud;
2) surat pengakuan utang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak
lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;
3) kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah;
4) Sertifikat Bank Indonesia (SBI);
5) obligasi;
6) surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;
40
7) instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun. g.
melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak
bertentangan dengan UU Perbankan dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
6. Disamping usaha pada butir 3 sampai dengan butir 5 di atas, bank umum juga dapat
melakukan kegiatan yang bukan merupakan penyerahan jasa, misainya berupa membeli
sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan
berdasarkan penyerahan secara sukarelaoleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa
untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal nasabah debitur tidak
memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut
wajib dicairkan secepatnya, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 12A UU
Perbankan. Dalam hal ini, penjualan agunan, yang telah diambil alih oleh bank tersebut,
merupakan penyerahan Barang Kena Pajak yang terutang PPN.
Tabel 3. 7
Kegiatan Usaha Bank Umum Yang Merupakan Penyerahan Jasa Keuangan
Yang Tidak Terutang PPN Contoh produk/contoh jasa/pendapatan perbankan
1. Tabungan, giro, deposilo berjangka, sertifikat deposito.
2. Berbagai jenis pendapatan yang berhubungan dengan deposit, seperti beban saldo minimum yang ditagih ke deposan, beban penagihan dan pelayanan sejenis lainnya.
1. Pendapatan dari pelayanan buku cek.3. Pendapatan yang diterima sehubungan
dengan returned chequesftolakan Wiring.4. Pendapatan yang diterima dari administrasi
rekening tabungan/giro dari nasabah.5. Pendapatan yang diterima dari administrasi
penarikan dan penyetoran uang tunai melalui teller.
6. Pendapatan dari penjemputan setoran dan pengantaran simpanan nasabah (pick-up)
7. Pendapatan dari nasabah sehubungan dengan penggunaan pembayaran secara elektronik.
8. Pendapatan sehubungan dengan pengambilan dana atau penggunaan kartu kredit oleh nasabah bank lain melalui jaringan bank (EDC dan ATM), misal ATM Bersama.
9. Pendapatan yang diterima dari administrasi pengiriman uang.
10. Pendapatan dari pengecekan saldo oleh nasabah melalui bank Iain.
Kegiatan Usaha Perbankan
No
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan benipa giro, deposilo berjangka. sertifikat deposito, tabungan, dan/alau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan ilu
II-
2. memberikan kredit 1. Pendapatan berupa bunga yang diterima sehubungan dengan pemberian lini kredit ke
41
m ii."«.r4iil1(--:!.-J..«fcf.WidJalt' gerbankan' <n:u fforitofcritodu^
nasabah.Pendapatan berupa bunga yang diterimaberkaitan dengan pinjaman sindikasi.Pendapatan yang diterima atas biaya tahunanberkaitan dengan pemberian (credit kepadanasabah.Pendapatan yang diterima sehubungandengan pelunasan yang dipercepat atas kredityang diberikan kepada nasabah,Pendapatan berupa penalti atas keterlambatanpembayaran bunga dan angsuran pinjaman
4.
menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek itau sarana lainnya.
1. Bunga dan pendapatan fee terkait.2. Pendapatan berkaitan dengan kegiatan
sebagai bank korespondensi (VOSTRC accounts).
melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu credit
1. Bunga dan pendapatan fee terkait2. Pendapatan dari iuran tahunan kartu kredit I3. Pendapatan yang diterima dari pemegang
kartu kredit sehubungan dengan transaksi cash advance.
4. Pendapatan berupa penalti yang diterima dari pemegang kartu kredit karena melebihi limit kartu.
5. Pendapatan dari merchant terkait transaksi kartu kredit (merchant discount rate).
Bunga atau bagi hasil dan pendapatan fee terkaitmenyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
menerbitkan surat pengakuan utang menjamin atas risiko sendiri:l)surat-surat wesel termasuk wesel yang
diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;
2)surat pengakuan utang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;
3)kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah;
4)Sertifikat Bank Indonesia (SBI);5)obligasi;5)surat dagang berjangka waktu sampai
dengan 1 (satu) tahun;7)instrumen surat berharga lain yang
berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun
melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukanaleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan g:UU Perbankan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku______
Pendapatan yang berhubungan dengan penjaminan skspor-impor.
Pendapatan yang berkaitan dengan penjaminan bank aransi.
42
Tabel 3.8
Hr rK&iftarilUsaMPiitig^ah >■'' *.=
memindahkan uang untuk kepentingan I) dean nasabah
Cohloh pfodtik/cohtoh iasa/pendapalan perbankan
1. Pendapalan dari pengiriman uang yang bukan dar nasabah.
2. Pendapalan dari RTGS (Real Time Gmss Settlement) yang bukan dari nasabah.
Kegiatan Usaha Bank Umum Yang Merupakan Penyerahan Jasa Yang Terutang PPN
menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga
1. Jasa kustodian.2. Subscription Zees dari transaksi reksadana.3. Snitching &e dari transaksi reksadana.4. Subscription fee dari obligasi - primary motket.5. Redemption fee.
melakukan penempatan dana dar Fasa kustodian.nasabah kepada nasabah lainnya dalairjenluk surat berharga yang tidak tercalaJibursaefek_______________________
i. menyediakan tempal untuk menyimpan|Pendapatan dari adininislrasi dan persewaan safe deposit. tiarang dan surat berhargamelakukan kegiatan penilipan untukIcepentingan pihak lain berdasarkan suatutontrak______________________
membeli dan menjual untuk kepentingandan atas perinlah nasabahnya:I )surat-surat wesel
termasuk weselyang diakseptasi oleh bank yangmasa berlakunya tidak lebih lamadaripada kebiasaan dalamperdagangan
sural-suratdimaksud;
2)surat pengakuan Uang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;
3)kertas perbendoharaan negara dan surat jaminan pemerinlah;
4)Sertifikat Bank Indonesia (SBI);5)obligasi;S)surat dagang berjangka
waktu sampai dengan I (satu) tahun;
7}instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan I (satu) tahun
Pendapalan berupa
1. Pendapalan berupa brokerage fee dari nasabah.2. Koinisi yang diterima untuk pemrosesan Iransaks
perdagangan nasabah securities dalam negeriTermasuk transaksi yang terkaii dengan jasspenjualan surat berharga (efck, reksadana, obligasi).
mebkukan kegiatan lain yang Iaziir dilakukan oleh bank sepanjang tidal bertentangan dengan UU Perbankan dan peraluran perundangmndangan yang tierlahi
3. 4.
6.
7.
Pcnghasilan yang diterima bukan dari nasabahsehubungan dengan transaksi bank draft, Iravelcicheck, payment order."Pendapalan dari telex, swift, SKN (Sistem KlirinjNasional) yang diterima bukan dari nasabah."Pendapalan dari Escrow account.Pendapalan fee yang diterima alas jasa penerimaanpembayaran pajak (bank persepsi).Koinisi sehubungan dengan asiransi yang dibayarkanoleh nasabah karena produk asuransi dibeli olelnasabah.Pendapalan yang diterima dari jasa manajemenskema pensiun.Koinisi yang diterima dari jasa kustodian ke nasabalpeinegang safekeeping dengan depositories ataioffshore custody centres. ___________________
BAB 4ANALISIS PERLAKUAN PPN ATAS PENGALIHAN AKTIVA YANG
SEMULA TIDAK UNTUK DIPERJUALBELIKAN
4.1 Konsepsi PPN atas Pengalihan Aktiva yang Semula Tidak untuk Diperjualbelikan (Transferred Assets)
4.1.1 Perkembangan Pengadopsian Pendekatan Umum (Normal Approach) untuk Menentukan Penyerahan Kena Pajak (Taxable Supplies) dalam UU PPN di Indonesia
Sebagaimana telah dijelaskan dalam kerangka teori, para ahli perpajakan di dunia
telah memberikan pendekatan umum (normal approach) untuk menentukan apakah suatu
transaksi/penyerahan terhutang PPN (termasuk dalam taxable supplies). Konsep ini antara
lain dikemukakan oleh William sebagaimana dikutip Thuronyi, yang menyebutkan bahwa
pendekatan umum untuk menentukan penyerahaan yang terhutang PPN adalah
1) the transactions are "supplies of goods and services ";2) those supplies are "taxable " and not exempt from VA T;1) those taxable supplies are made by a "taxable person", that is, a person within
the scope of the charge to VAT; and2) the taxable person makes those supplies as part of the person's business activities,
and not as part of a hobby or noncommercial activity (William dalam Thuronyi, hal 173).
Pendekatan umum yang bersifat kumulatif tersebut akan menjadi pedoman baik Pengusaha
maupun fiskus sehingga meminimalkan potensi dispute. Karena itu, konsep ini pun diadopsi
oleh Indonesia ketika mendisain sistem Pajak Pertambahan Nilai pada reformasi perpajakan
pertama tahun 1983 (lihat tabel 4.1). Hal ini dapat dilihat dalam Penjelasan Pasal 4 Ayat (1)
huruf a, yang menyebutkan bahwa:
Pasal4Ayat(l)Hurufa"Penyerahan Barang yang terhutang pajak hams memenuhi syarat-syarat sebagaiberikut:
• Barang yang diserahkan adalah Barang Kena Pajak;• tindakan penyerahan adalah penyerahan kena pajak;• penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak atau Pengusaha yang
memilih untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak;• penyerahan dilakukan dalam Daerah Pabean Republik Indonesia, termasuk
penyerahan untuk Ekspor, meskipun atas Ekspor dikenakan tarif 0% (nol persen);
• penyerahan dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya sebagai Pengusaha Kena Pajak, artinya dalam rangka kegiatannya sehari-hari sebagai Pengusaha Kena Pajak."
44
Tabel 4. 1
Pengadopsian Normal Approach untuk Menentukan Penyerahan (Barang) Kena Pajak (Teori______________ David Williams) dalam UU No. 8 Tahun 1983_________________
UU No. 8 Tahun 1983Barang yang diserahkan adalah Barang Kena Pajak;tindakan penyerahan adalah penyerahan kena pajak;penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak atau Pengusaha yang memilih untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak;penyerahan dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya sebagai Pengusaha Kena Pajak, artinya dalam rangka kegtatannya sehari-hari sebagai Pengusaha Kena Pajak
Sumber: Tax Laws Design and Drafting Volume 1 dan UU No. 8 Tahun 1983 (data diolah)
Penjelasan mengenai penyerahan Barang yang terhutang PPN mengalami perubahan
dalam perubahan kedua Undang-undang PPN (UU No. 11 Tahun 1994), menjadi sebagai
berikut:
PasaI4Hurufa"Penyerahan barang yang dikenakan pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagaiberikut:- barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak,-barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak tidak
berwujud,- penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean,- penyerahan dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan Pengusaha
yang bersangkutan."
Meskipun penjelasan mengenai penyerahan barang kena pajak mengalami perubahan, namun
normal approach sebenamya masih digunakan dalam perubahan kedua Undang-undang PPN
tersebut (UU No. 11 Tahun 1994). Tidak dicantumkan 2 (dua) diantara 4 (empat) syarat
kumulatif tersebut, bukan berarti keduanya pendekatan ini tidak digunakan (yaitu those
supplies are "taxable" and not exempt from K4;Tdan those taxable supplies are made by a "taxable
person ", that is, a person within the scope of the charge to VAT). Secara implisit keduanya
diadopsi sebagaimana ditegaskan dalam Pasal yang berbeda, yaitu Pasal 1 huruf d angka 1)
dan 2) dan Pasal 3A ayat (1). Untuk lebih jelas, dapat dilihat dalam tabel 4.2 berikut:
45
Normal Approach Theory the transactions are "supplies of goodsand services";_____________________those supplies are "taxable" and notexempt from VAT;________________those taxable supplies are made by a "taxable person", that is, a person within the scope of the charge to VA T; and the taxable person makes those supplies as part of the person s business activities, and not as part of a hobby or noncommercial activity.
Tabel 4.2
Pengadopsian Normal Approach untuk Menentukan Penyerahan (Barang) Kena Pajak__________■ (Teori David Williams) dalam UU No. 11 Tahun 1994_____________
Normal Approach Theory
UU No. 11 Tahun 1994 Ket
the transactions are "supplies of goods and services";
- barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak, • barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak tidak berwujud,
Revisi
those supplies are "taxable " and not exempt from VAT;
d. Penyerahan Barang Kena Pajak :(I) Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:a) penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatuperjanjian;b) pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu perjanjiansewa beli dan perjanjian leasing;c) penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantaraatau melalui juru lelang;d) pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma;e) persediaan Barang Kena Pajak dan aktiva yang menurut
tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, sepanjang Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan; 0 penyerahan Barang Kena Pajak dari Pusat ke Cabang atau . sebaliknya dan penyerahan Barang Kena Pajak antar Cabang; g) penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi; 2) Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:a. penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimanadimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukuin Dagang;b. penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang;c. penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud padaangka 1) huruf 0 dalam hal Pengusaha Kena Pajakmemperoleh ijin pemusatan tempat pajak terhutang;d. penyerahan Barang Kena Pajak dalam rangka perubahanbentuk usaha atau penggabungan usaha atau pengalihanseluruh aktiva perusahaan yang diikuti dengan perubahanpihak yang berhak atas persediaan Barang Kena Pajak;
Revisi Pasal I hurufd angka 1) dan 2)
those taxable supplies are made by a "taxable person ", that is. a person within the scope of the charge to VA T; and
"Pasal 3A(1) Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, huruf c, atau huruf f, wajib mempunyai Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.
Pasal Baru
the taxable person makes those supplies as part of the person s business activities, and not as part of a hobby or noncommercial activity.
penyerahan dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan Pengusaha yang bersangkutan
Revisi
Sumber: Tax Laws Design and DraliingVolume I dan UU No. 11 Tahun 1994 (data diolah)
Amandemen ketiga Undang-undang PPN (UU No. 18 Tahun 2000) pada dasarnya
tidak memberikan perubahan yang berarti atas Penjelasan mengenai penyerahan Barang yang
terhutang PPN, sebagaimana dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:
46
Pasal 4 Huruf aPengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak meliputi baik Pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1) maupun Pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak tetapi belum dikukuhkan. Penyerahan barang yang dikenakan pajak hams memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:a. barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak,b. barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak tidak
berwujud,c. penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean, dand. penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.
Dalam amandemen Penjelasan Pasal 4 huruf a tersebut, secara eksplisit ditegaskan bahwa
salah satu syarat dari 4 (empat) normal approach, yaitu taxable person dimaknai secara
substance over form, bukan sebaliknya (lihat tabel 4.3). Dengan demikian, meskipun secara
formal pengusaha tersebut belum dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) namun
jika telah melampaui ambang batas pemajakan (treshhoJd taxation) yang ditentukan oleh
peraturan perpajakan, maka pengusaha tersebut merupakan subyek PPN.
Secara terminologis, pengadopsian istilah business approach diubah dari "penyerahan
dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekcrjaan Pengusaha yang bersangkutan"
menjadi "penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya".
Sayangnya, tidak ada penjelasan yang memadai mengenai perubahan tersebut. Dalam sub
bab selanjutnya akan diuraikan implikasi dari tidakadanya penjelasan mengenai apa yang
dimaksud dengan "penyerahan dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan
Pengusaha yang bersangkutan" atau "penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha
atau pekerjaannya" (Rosdiana,2012).
Tabel 4.3
Pengadopsian Normal Approach untuk Menentukan Penyerahan (Barang) Kena Pajak_____________(Teori David Williams) dalam UU No. 18 Tahun 2000_______^__
Normal Approach Theory
UU No. 18 Tahun 2000 Ket
the transactions are "supplies of goods and services ";
3. barang berwujud yang diserahkan merupakan BarangKena Pajak, b. barang tidak berwujud yang diserahkan
merupakanBarang Kena Pajak tidak berwujud,
Tetap
those supplies are "taxable " and not exempt from VAT;
"Pasal 1A(1) Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:a. penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian.b. pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu perjanjian sewabeli dan perjanjian leasing.c. penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara ataumelaluijuru lelang.d. pemakaian sendiri dan atau pemberian cuma-cuma atas Barang
Perubahan Nomor Pasal dan Revisi esensi
47
Normal Approach Theory
UUNo.l8Tahun2000 Ket
n Kena Pajak.e. persediaan Barang Kena Pajak dan aktiva yang menurut tujuansemula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saatpembubaran perusahaan, sepanjang Pajak Pertambahan Nilai atasperolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan.f. penyerahan Barang Kena Pajak dari Pusat ke Cabang atausebaliknya dan penyerahan Barang Kena Pajak antar Cabangg. penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi.(2) Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:a. penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimanadimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.b. penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang piutang;c. penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalamayat (1) huruf f dalam hal Pengusaha Kena Pajak memperolehijin pemusatan tempat pajak terutang."
those taxable supplies are made by a "taxable person ". that is, a person within the scope of the charge to VAT; and
Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak meliputi baik Pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1) maupun Pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak tetapi belum dikukuhkan
Revisi (Tambahan)
the taxable person makes those supplies as part of the person's business activities, and not as part of a hobby or noncommercial activity.
d. penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya
Revisi
Sumber: Tax Laws Design and DraftlngVolums 1 dan UU No. 18 Tahun 2000 (data diolah)
Dalam perubahan terakhir UU PPN (UU No. 42 Tahun 2009) tidak ada perubahan
yang berarti dalam pengadopsian normal approach (lihat tabel 4.4), kecuali terkait dengan
ketentuan penyerahan BKP yang terhutang PPN (those supplies are "taxable"). Perubahan
lainnya adalah perubahan nomor Pasal dari Pasal 4 huruf a menjadi Pasal 4 ayat (I) Huruf a
(kembali seperti UU PP pertama kali, yatu UU No. 8tahun 1983).
Tabel 4.4
Pengadopsian Normal Approach untuk Menentukan Penyerahan (Barang) Kena Pajak______________(Teori David Williams) dalam UU No. 18 Tahun 2000____________
Normal Approach Theory
Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf a UU No. 42 Tahun 2009
Ket
the transactions are "supplies of goods and services";
a. barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang KenaPajak,b. barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan BarangKena Pajak tidak berwujud,
Tetap
those supplies are "taxable " and not exempt from VAT;
"Pasal 1A(I) Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:a. penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;b. pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu perjanjian sewabeli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing);c. penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau
Revisi esensi
48
Normal Approach Theory
Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf a UUNo.42Tahun2009
Ket
% melaluijurulelang;d. pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang KenaPajak;e. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurutlujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa padasaat pembubaran perusahaan;f. penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknyadan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang;g. penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi; danh. penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak.(2) Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:a. penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimanadimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang;b. penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang;c. Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat( I ) huruf f dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatantempat pajak terutang;d. pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan,peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usahadengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerimapengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak; dane. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidakuntuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaranperusahaan, dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapatdikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b danhuruf c."
those taxable supplies are made by a "taxable person ", that is, a person within the scope of the charge to VAT: and
Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak meliputi baik Pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1) maupun Pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak tetapi belum dikukuhkan
Tetap
the taxable person makes those supplies as part of the person s business activities, and not as part of a hobby or noncommercial activity.
d. penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya Tetap
Sumber: Tax Laws Design and Drafting Vohms 1 dan UU No. 42 Tahun 2009 (data diolah)
4.1.2 Pengertian "dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan "/"dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya" (lihat Rosdiana, 2012)
Pada analisis sebelumnya telah dijelaskan bahwa Indonesia pada dasarnya
mengadopsi normal approach yang direkomendasikan ahli PPN, antara Iain William. Salah
satu di antara normal approach tersebut yang seharusnya memerlukan penjelasan/pengaturan
lebih lanjut adalah terminologi "the taxable person makes those supplies as part of the
person's business activities. Dalam sistem PPN di Indonesia, tenninologi ini pada awalnya
49
diiranslasikan menjadi "dalam lingkungan perusahaan alau pckerjaan" lalu kemudian diubah
mcnjadi "dalam rangka kegiatan usaha alau pekerjaannya" (lihat tabel 4.5)
Tabcl 4. 5
Translasi tcrminologi "the taxable person makes those supplies as part of the person '$ business activities" dalam UU PPN di Indonesia
UUN0.8TAHUN1983 UUNO. 11TAHUN 1994
UUN0.18TAHUN 2000
UUN0.42TAHUN ,'2009
pcnycralian diiakukaii dalam lingkungan perusahaan alau pekerjaannya scbagai Pengusaha Kcna Pajak, arlinya dalam rangka kegiataiinya sehari-hari scbagai Pengusaha Kena Pajak
penyerahan clilakukan dalam lingkungan perusahaan alau pekcrjaan Pengusaha yang bersangkutan
d. penyerahan clilakukan da lam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya
d. penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya
Mcskipun telah mengalami perubahnn translasi, namun esensi kebijakan yang paling
pcnling justru terlupakan, yaitu menjelaskan apa yang dimaksud dengan "dalam lingkungan
perusahaan alau pekerjaanT'dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya". Padahal pcnjclasan
lentang hal ini sangat krusial untuk menghindari lerjadinya dispute, serla memberikan kepastian
hukum baik bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) maupun bagi flksus. Dapat dikaiakan bahwa
kcliadaan penjelasan atas pengcrtian icrscbut tidak selaras dengan asas certainty yang seharusnya
mcnjadi salah salu pilar/landasan dalam mendisain sistem PPN.
Dalam praklik, hal ini menyebabkan kciidakpaslian dalam menginlerpretasikan apa
yang dimaksud dengan "dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan'V'dalam rangka
kegiatan usaha alau pekerjaannya". Hal ini tcntu saja mengganggu implementasi PPN serta
berpolcnsi untuk mcnimbulkan power abuse alau bahkan scbaliknya. dapat mcnimbulkan tax
potential loss karcna praklik-praklik aggresive tax planning alau tax evasion. Pada akhimya,
ketidakjclasan ini justru tidak selaras dengan prinsip-prinsip good governance yang menjadi
priorilas pembangunan nasional. Secara international best practice, lembaga legislatif
seharusnya mengatur dan menjelaskan apa yang dimaksud dengan hal tersebut. Terkait
dengan hal ini, William menyatakan bahwa:
"Some laws offer definitions of these activities, but such definitions often do not add much to the overall clarification of the scope of the law. This point will need separate consideration in individual states. The key point is that here as elsewhere the law must be interpreted and applied so that it catches all economic activity that is not deliberately excluded. Government activity, charitable activity, and personal nonbusiness activity should therefore be
50
excluded. The extent to which this point needs to be spelled out in the law will depend on the ease with which the concept of economic activity or business activity i$ understood within the state" (Williams dalam Thuronyi,hal.34).
Pasal 4 the EC Sixth K/irmengunakan istilah "economic activity" karena istilah
sangat sesuai untuk ditranslasikan secara luas dan cenderung untuk diterapkan bukan hanya
atas aktivitas yang menghasilkan laba (Williams dalam Thuronyi,hal.34).Selaras dengan
kesepakatan Uni Eropa, Schenk dan Oldman menyebutkan bahwa pengertian aktivitas yang
dikenakan PPN mempunyai arti yang lebih luas dari konsep perdagangan yang digunakan
untuk dalam pajak penghasilan (A taxable activity for VAT purposes generally is broader
than the concept of trade for income tax purposes). Menurut Schenk dan Oldman (juga Tait),
beberapa kriteria di bawah ini dapat dijadikan dasar untuk menguji apakah suatu penyerahan
termasuk dalam aktivitas ekonomi Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan (Schenk dan
Oldman, 2007, hal. 98).
1) Dimensi kontinuitas (Continuity), yai'tu penyerahan harus dilakukan secara reguler dan
cukup sering sehingga menjadi bagian dari aktivitas usaha yang berkesinambungan.
Terkait dengan hal ini dalam catatannya, Schenk dan Oldman mengatakan bahwa "Supplies
should be made regularly and fairly frequently as part of a continuing activity. Isolated or
single transactions will not usually be liable to VA T."
2) Dimensi nilai (Value), bahwa nilai penyerahan harus dalam jumlah yang signifikan
(cukup material dalam istilah akuntansi). Meskipun terjadi berulang-ulang, jika
jumlahnya sangat kecil, maka tidak dianggap sebagai aktivitas ekonomi. Terkait dengan
hal ini dalam catatannya, Schenk dan Oldman mengatakan bahwa "The supplies should be
for a significant amount; trivial, even if repeated, transactions would not usually
count."
3) Dimensi laba/keuntungan sesuai dengan pengertian akuntansi. Meskipun demikian,
dimensi ini bukan merupakan suatu hal yang mutlak, karena bisa saja suatu perusahaan
besar yang menciptakan nilai tambah yang substansial dengan pengeluaran biaya
gaji/upah yang tinggi, tidak menghasilkan laba. Karena itu, perusahaan tersebut tetap
harus memungut PPN. Contoh perusahaan semacam ini adalah perusahaan seperti Badan
Usaha Milik Negara. Schenk dan Oldman menyebutkan bahwa "Not necessary; after all,
large concerns can create substantial value added and pay large sums in wages, yet make
no profit (many publicly owned firms do precisely this). Such firms should certainly pay
VAT"
V
51
4) Dimensi pengendalian, yaitu pengendalian secara aktif (Active Control) dilakukan oieh
pihak yang melakukan penyerahan (supplier). Supplier terlibat aktif dalam
mengendalikan atau mengawasi aktiva, termasuk aktiva yang dijalankan oleh pihak agen.
Karena itulah, pemilik toko, tidak termasuk dalam aktivitas ekonomi supplier, jika
pemilik toko bersifat independen dan tidak dikendalikan oleh pihak supplier. Schenk dan
Oldman menyebutkan bahwa:
"Control should be in the hands of the supplier. He should be actively engaged in the "control or management of the assets concerned" (including operation through an agent). The proprietor should be independent and, hence, should be excluded from cowra^e"(Schenk dan Oldman, 2007).
5) Dimensi Intra- Versus Intertrade, yaitu penyerahan harus dilakukan pada pihak lain di
luar organisasi, dan bukan hanya merupakan penyerahan antar angggota dalam organisasi
yang bersangkutan. Terkait dengan hal ini dalam catatannya, Schenk dan Oldman
mengatakan bahwa "Supplies should be to members outside the organization and not just
between members of the organization."
6) Dimensi Tampilan Usaha (Appearance of Business), yaitu bahwa berbagai kegiatan/
aktivitas tersebut harus mempunyai karakteristik perbuatan komersial yang wajar serta
dicatat dalam pembukuan menurut Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku.
4.2 Justifikasi Pengalihan Aktiva Yang Menurut Tujuan Semula Tidak Untuk Diperjualbelikan Dijadikan Sebagai Obyek PPN
Dalam sub bab sebelumnya, telah dianalisis pentingnya penjelasan mengenai "dalam
lingkungan perusahaan atau pekerjaan'Vdalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya
untuk menentukan apakah terhutang PPN atau tidaknya suatu penyerahan. Meskipun
demikian, ada beberapa kasus dimana para ahli PPN menyarankan agar suatu penyerahan
tetap menjadi obyek PPN meskipun tidak memenuhi salah satu dimensi, antara lain dimensi
continuity. Tait misalnya, menyebutkan bahwa pada umumnya peraturan PPN menentukan
bahwa barang dianggap diserahkan (penyerahan Barang terhutang PPN) apabila 1)
kepemilikan eksklusif berpindah, 2) penyerahan karena perjanjian leasing atau sewa beli, 3)
barang diproduksi dari bahan-bahan pihak lain, 4) barang diambil dari perusahaan untuk
kepentingan pribadi, 5) Aktiva usaha dialihkan.
Most legeslation holds that goods are "supplied " when1) Exclusive ownership is passed to another person2) The transfer takes place over the time under an agreement such as lease or hire
purchase3) Goods are produced from someone else"s materials
52
4) A major interest in iand is provided, that is, the use of land for a longperiode of time
5) Goods are taken from a company for private use6) A bussines assets is transferred'ijait, 1988, hal 387).
Dari tulisan Tail tersebut dapat dilihat bahwa pada umumnya
penyerahan/pengalihan/transfer aktiva bisnis dianggap sebagai penyerahan BKP yang
terhutang meskipun tidak memenuhi dimensi continuity. Meskipun demikian, penyerahan
aktiva memang mempunyai dimensi konseptual teoritis serta praktik yang tidak sederhana.
Pertama, karena pada dasarnya PPN adalah pajak atas konsumsi. Karena investasi tidak
termasuk dalam konsumsi (C= I-S), maka diskursus penyerahan aktiva yang semula tidak
untuk diperjualbelikan selalu terbuka. Schenk dan Oldman menyatakan bahwa pada
umumnya, penyerahan aktiva (atau seluruh usaha) tidak diperlakukan sebagai penyerahan
yang terhutang PPN. Misalnya dalam kasus kebangkrutan, penyerahan aktiva usaha bukan
dianggap sebagai penyerahan yang terhutang PPN.
"A transfer of assets (or an entire business) to a legal representative generally is not treated as a supply subject to tax. For example, transfers of assets of a business to a receiver in bankruptcy commonly are not supplies and therefore do not attract tax" (Schenk and Oldman, hal 114).
Schenk dan Oldman juga menyatakan bahwa PPN tidak akan dikenakan atas penyerahan
aktiva oleh Pengusaha yang tidak kompeten kepada pihak lain yang akan menjalankan /
meneruskan usahanya. "Likewise, tax may not be imposed when the business assets of an
incompetent person are transferrred to a representative who then operates the ongoing
business" (Schenk and Oldman, hal 114).
Penjelasan Schenk dan Oldman sebelumnya, dapat menjelaskan mengapa dan
bagaimana seharusnya disain perlakuan PPN atas penyerahan aktiva yang semula tidak untuk
diperjualbelikan. Masalah hidden subsidy menjadi perhatian utama disain kebijakan ini,
sehingga historis pengkreditan Pajak Masukan menjadi syarat mutlak penyerahan aktiva
menjadi terhutang PPN. Oldman dan Schenk memberikan ilustrasi bahwa jika suatu bank
membeli perabotan maka Pajak Masukan atas perabotan tersebut tidak dapat dikreditkan
karena UU PPN negara bersangkutan mengatur bahwa jasa keuangan sebagai Jasa Tidak
Kena Pajak. Jika perabotan tersebut dijual oleh Bank, maka penyerahan perabotan tersebut
bukan merupakan obyek PPN.
y
53
"// a VAT-registered business is denied an input credit for tax on the acquisition of an asset and the business sells that asset, the sale typically is not subject to VAT. For example, if a firm purchases an automobile for use in its business and is denied credit for tax on the automobile (as some VATs do), the sale of the automobile is not a supply under some VAT regimes. The same applies if the tax on a purchased asset was not eligible for the input credit because the asset is used in connection with activities exempt from tax. For example, if a bank purchases furniture for use in providing exempt financial services under those regimes, the sale of that used furniture by the bank is not subject to VAT" (Schenk and Oldman, hal 113).
Tukilan di atas juga memberikan contoh lainnya, yaitu jika perusahaan/pengusaha membeli
mobil, dan atas pembelian mobil tersebut Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan, maka
apabila mobil tersebut dijual, atas penyerahan/penjualan mobil tersebut tidak terhutang PPN.
Kedua ilustrasi di atas yang dikemukan oleh Schenk dan Oldman sebenarnya
menekankan pentingnya Pajak Masukan sewaktu perolehan aktiva tersebut menjadi syarat
mutlak untuk menentukan terhutang atau tidaknya penyerahan aktiva yang semula tidak
untuk diperjualbelikan. Dengan demikian, dapat dipahami jika ketika ketentuan ini
diberlakukan dalam sistem PPN di Indonesia melalui UU No. 11 Tahun 1994, syarat utama
keberlakukannya adalah "sepanjang Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan aktiva tersebut
menurut ketentuan dapat dikreditkan".
UU No. 11 Tahun 1994 sebenarnya telah memberikan landasan konseptual/teoritis
yang kuat dan international best practice yang tepat ketika memperluas obyek
PPN/penyerahan BKP terhutang PPN, baik dalam pasal 1 huruf d angka 1) poin e maupun
dalam Pasal 16D (lihat tabel 6). Ketika UU PPN pertama kali diberlakukan (UU No. 8 tahun
1983) tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai pengalihan aktiva. Dalam penjelasan
Pasal 4 ayat (1) huruf a disebutkan bahwa:
Penyerahan Barang yang dilakukan tidak dalam rangka menjalankan perusahaan atau pekerjaannya, misalnya pengoperan aktiva yang tidak dimaksudkan untuk dijual, tidak terhutang pajak.
Kelemahan dalam ketentuan penyerahan aktiva yang semula tidak untuk
diperjualbelkan dalam UU No. 11 Tahun 1994, hanya terdiri dari 2 hal sebagai berikut: 1)
Berbeda dengan Pasal 16D, tidak ada kata kerja yang mengawali bunyi ketentuan Pasal 1
huruf d poin e. Padahal, transaksi/penyerahan-penyarahan yang lain selalu diawali dengan
kata kerja (penyerahan atau pemakaian). Hal ini kurang selaras dengan ketentuan taxable
supplies yang seharusnya menjelaskan jenis supplies atau penyerahannya. Kesalahan ini
masih berlanjut hingga UU PPN yang berlaku saat ini.V
54
2) Penjelasan Pasal 16D kurang konsisten dengan syarat yang secara eksplisit dikemukan
dalam batang tubub Pasal 16D itu sendiri. Akibatnya, dapat terjadi cascading effect (yang
sebenarnya dihindari dalam sistem PPN). Misalnya, jika Pengusaha membeli aktiva yang
pada saat perolehannya Pajak masukan atas aktiva tersebut tidak dapat dikreditkan karena
tidak memenuhi syarat administratif, atas penyerahan aktiva tersebut tetap dipungut PPN
berdasarkan ketentuan penjelasan Pasal 16D. Hal ini sangat berbeda dengan Pasal 1 huruf
d angka 1) poin e (lihat tabel 4.7).
V
55
>
Tabel 4. 6 Pcmkembangan Ketentuan Penycrahan
Aktiva yang Semula Tidak Uniuk Diperjualbclikan
UU NO. 8THN 1983 UU NO. 11 TAHUN 1994 U.U.NO.-.18 TAHUN 2000 UU NO. 42 TAHUN 2009Bukan Obyek PPN Obyek PPN (dipersamakan
dengan pemakaian sendiri)Obyek PPN.(dipcrsatnukan.dengan pemakaian sendiri)
Obyek PPN (dipersamakan dengan peniakaian-sendiri)
< Pasal 1 huruf d angka 1Yang tcrmasuk dalam pengertian penyerahan Barang KcnaPajak adalahc) persediaan Barang Kcna Pajak dan akiiva yang mcnurut tujuan semula tidak untuk dipcrjualbclikan, yang masih tcrsisa pada saat pembubaran perusahaan, sepanjang Pajak Pcrtambahan Nilai atas pcrolehan aktiva tersebut mcnurut ketentuan dapat dikreditkan;
"Pasal 1A(l)Yang termasuk dalam pengertian penycrahan Barang Kena Pajak adalah :c. persediaan Barang Kcna Pajak dan akti%'3 yang mcnurut tujuan semula tidak untuk dipcrjualbclikan, yang masih tcrsisa pada saal pembubaran perusahaan, sepanjang Pajak Pertambahan Nilai atas pcrolehan aktiva tersebut mcnurut ketentuan dapat dikreditkan.
"Pasal IA(1) Yang termasuk dalam pengertian penycrahan Barang Kcna Pajak adalah:e.Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih lersisa pada saat pembubaran perusahaan;
Tctap Hanya Berubah Nomor Pasal TetapPenjclasan Pasal 4 ayat (1) huruf a"Penyerahan Barang yang dilakukan lidak dalam rangka menjalankan pcrusahaan atau pekcrjaannya, misalnya pcngoperan akiiva yang lidak dimaksudkan uniuk dijual, tidak terhuiang pajak."
Pcnjelasan Pasal 1 huruf d angka lhurufe)"Persediaan Barang Kcna Pajak dan aktiva yang menurul tujuan semula tidak untuk dipcrjualbclikan, yang masih tcrsisa pada saat pembubaran penisahaan, disamakan dengan pemakaian sendiri, sehingga dianggap sebagai penycrahan Barang Kena Pajak. Khusus untuk aktiva yang mcnurut tujuan tidak uniuk dipcrjualbclikan tersebut, hanya dikenakan Pajak Pcrtambahan Nilai apabila memenuhi persyaratan, yaitu balnva Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan."
Pcnjelasan Psl 1A ayat (1) Huruf e "Persediaan Barang Kcna Pajak dan aktiva yang mcnurut tujuan semula tidak untuk diperjual bclikan, yang masih lersisa pada saat pembubaran perusahaan, disamakan dengan pemakaian sendiri, sehingga dianggap sebagai penyerahan Barang Kcna Pajak. Khusus untuk aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjual belikan tersebut, hanya dikenakan Pajak Pertambahan Nilai apabila memenuhi persyaratan, yaitu bahwa Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan."
Penjclasan Pasal 1A ayat (1) Huruf e Huruf cBarang Kcna Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk dipcrjualbclikan. yang masih tcrsisa pada saat pembubaran penisahaan, disamakan dengan pemakaian sendiri, sehingga dianggap sebagai penycrahan Barang Kena Pajak. Dikecualikan dari ketentuan pada huruf e ini adalah penyerahan scbagaimana dimaksud dalam Pasal 1A ayat (2) huruf e.* (•Pcnjelasan Pasal IA ayat (2) Huruf c Barang Kcna Pajak bempa akiiva yang mcnurut tujuan semula tidak untuk dipcrjualbclikan yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, yang Pajak Masukan I alas perolehannya tidak dapat dikreditkan
5fi
^ ^
UU NO. 8 THN 1983 UUNO. 1ITAHUN1994 UU NO. 42 TAHUN 2009, karena tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) hunif b dan/atau aktiva berupa kendaraan bermotor sedan dan station wagon. yang Paj3k Masukan aias perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf c, tidak termasuk dalam pengcrtian Penyerahan Baraim Kena Pajak.)
Tctap Bcmbah menjadi tidak jelas implementasinya< "Pasal 16D Pajak Pcrtambahan
Nilai dikenakan atas penyeralian aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang Pajak Pcrtambahan Nilai yang dibayar pada saal pcrolehannya dapat dikreditkan."
Tetap Pasal 16D Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak. kceuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c."
' Penjelasan Pasal 16DPenyeralian mesin. bangunan, peralatan, perabotan atau aktiva lain yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, dikenakan pajak sepanjang memenuhi persyaratan, yaitu bahwa Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat perolehannya, sesuai ketentuan Undang-undang ini, dapat dikreditkan. Dengan demikian, penycrahan aktiva tersebut tidak dikenakan pajak apabila Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada waktu perolehannya tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang ini, kceuali jika tidak dapat dikreditkannya Pajak Pertambahan Nilai tersebut karena bukti peiigkreditaimya tidak memenuhi persyaratan administratif, misalnya Faktur Pajaknya tidak diisi lengkap sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5).
Tctap Penjelasan Pasal 16 DPenyerahan Barang Kena Pajak, antara lain, berupa mesin, bangunan, peralatan, perabotan atau Barang Kena Pajak lain yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak dikenai pajak. Namun, Pajak Pcrtambahan Nilai tidak dikenakan atas pengalihan Barang Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dan pengalihan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yaitu kendaran bermotor berupa sedan dan station wagon, yang menurut ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c Pajak Masukan atas perolehan aktiva tersebut tidak dapat dikreditkan.
57
Pada saat pertama kali penyerahan aktiva dijadikan sebagai obyek PPN, legislator
memberikan justifikasi bahwa hal ini dipersamakan dengan pemakaian sendiri. Dengan«
demikian, pemahaman konseptual teoritis diperlukan untuk memahami justifikasi dijadikan
penyerahan aktiva sebagai obyek PPN (lihat Sub Bab Pemakaian sendiri).
Sebagaimana sejatinya eliminasi hidden subsidy sebagai justifikasi pengenaan PPN
atas pemakaian sendiri, dalam UU No. 11 Tahun 1994 yang pertama kalinya menjadikan
penyerahan aktiva sebagai obyek PPN, menjadikan justfikasi ini sebagai acuan perumusan
kebijakan. Karena itu, baik dalam Pasal 1 huruf d angka 1 poin e maupun dalam pasal 16D,
ditegaskan bahwa penyerahan ini hanya dikenakan Pajak Pertambahan Nilai apabila
memenuhi persyaratan, yaitu bahwa Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat
perolehannya dapat dikreditkan. Secara lebih spesifik, syarat terhutangnya penyerahan aktiva
adalah sebagai berikut (Lihat Rosdiana, 2012):
Tabel 4. 7
Syarat Terhutang PPN atas Penyerahan Aktiva Dalam UU No.l 1 Tahun 1994/ UU No. 18 Tahun 2000
Pasal 1 huruf d angka 1) poin e / Pasal 1A ayat 1 huruf e
Pasal 16D
Aktiva yang diserahkan adalah bukan barang dagangan (aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan),
Aktiva yang diserahkan adalah bukan barang dagangan (aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan),
Penyerahan dilakukan dalam rangka pembubaran pcrusahaan (likuidasi),
Penyerahan bukan dilakukan dalam rangka pembubaran pemsahaan (likuidasi). PKP yang menyerahkan aktiva masih beroperasi,
Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan,
Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan, kecuali jika tidak dapat dikreditkannya Pajak Pertambahan Nilai tersebut karena bukti pengkreditannya tidak memenuhi persyaratan administratif,
Yang menyerahkan adalah Pengusaha Kena Pajak (implisit mengacu pada Penjelasan Pasal 4 huruf a).
Yang menyerahkan adalah Pengusaha Kena Pajak.
Ketentuan di atas tidak mengalami perubahan dalam perubahan ketiga UU PPN (UU No. 18
Tahun 2000).
Dalam amandemen keempat UU PPN (UU No. 42 Tahun 2009) ketentuan PPN terkait
dengan penyerahan aktiva yang semula tidak untuk diperjualbelikan mengalami perubahan
yang signifikan (tabel 4.8). Perubahan ini justru menjauh dari esensi konseptual teoritis PPN
dan tidak selaras dengan justifikasi pemberlakuannya. Secara umum kelemahan dalam
perumusan kebijakan penyerahan aktiva baik dalam Pasal 1A ayat (1) huruf e maupun dalam
Pasal 16D dalam UU No. 42 tahun 2009 adalah sebagai berikut:
V
58
1) Inkosistensi justifikasi penyerahan aktiva yang bukan merupakan barang dagangan
(semula tidak untuk dipeijualbelikan) dijadikan sebagai obyek PPN dengan ketentuan■
syarat keberlakuannya.
2) Implikasi dari inkosistensi antara justifikasi kebijakan dan content/syarat keberlakuannya
adalah kemungkinan terjadinya potensi cascading effect yang sangat besar karena limitasi
atau pengecualian pengenaan PPN hanya diberikan pada:
a. Aktiva yang pada saat perolehannya, Pajak Masukan atas perolehan aktiva
tersebut tidak dapat dikreditkan karena tidak mempunyai hubungan langsung
dengan kegiatan usaha,
b. Aktiva berupa kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon.
Tabel 4. 8
Syarat Terhutang PPN atas Penyerahan Aktiva Dalam UU No. 42 Tahun 2009
Pasal 1 huruf d angka 1) poin e / Pasal 1A ayat 1 huruf e
Pasal 16D
Aktiva yang diserahkan adalah bukan barang dagangan (aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan),
Aktiva yang diserahkan adalah bukan barang dagangan (aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan),
Penyerahan dilakukan dalam rangka pembubaran perusahaan (likuidasi),
Penyerahan bukan dilakukan dalam rangka pembubaran perusahaan (likuidasi). PKP yang menyerahkan aktiva masih beroperasi,
Semua aktiva, kccuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c, yaitu:1. Aktiva yang pada saat perolehannya, PajakMasukan atas perolehan aktiva tersebut tidakdapat dikreditkan karena tidak mempunyaihubungan langsung dengan kegiatan usaha,2. Aktiva berupa kendaraan bermotor berupasedan dan station wagon.
Semua aktiva, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c, yaitu:3. Aktiva yang pada saat perolehannya, Pajak
Masukan atas perolehan aktiva tersebut tidakdapat dikreditkan karena tidak mempunyaihubungan langsung dengan kegiatan usaha,
4. Aktiva berupa kendaraan bermotor berupasedan dan station wagon.
Yang menyerahkan adalah Pengusaha Kena Pajak (implisit mengacu pada Penjelasan Pasal 4 huruf a). 1
Yang menyerahkan adalah Pengusaha Kena Pajak.
4.3 Analisis Kritis atas Penyerahan Aktiva yang Semula Tidak untuk Diperjualbelikan yang dilakukan oleh Perbankan
Berdasarkan analisis pada sub-sub sebelumnya, telah dijelaskan bahwa perlakuan
PPN atas penyerahan aktiva yang semula tidak untuk diperjualbelikan merupakan special
treatment (dan tidak mengikuti kaidah normal approach) sehingga dalam menentukan
terhutang atau tidaknya pun menjadi suatu keharusan untuk menganalisis secara khusus casev
59
by case. Dengan kata lain, tidak bisa perlakuan PPN atas penyerahan aktiva diperlakukan
secara seragam / umum dengan hanya mengacu pada ada atau tidaknya aktiva yang
diserahkan. Terlebih, jika pengusaha melakukan kegiatan usaha yang termasuk dalam
lingkup object exemption (misalnya Jasa Tidak Kena Pajak) tetapi juga melakukan kegiatan
usaha yang termasuk dalam lingkup taxable service (Jasa Kena Pajak).
Salah satu usaha yang termasuk dalam kategori di atas dalam pengusaha yang bergerak
dalam kegiatan jasa perbankan. Dalam Pasal 16D, salah satu syarat untuk menentukan
terhutang atau tidaknya PPN atas penyerahan aktiva adalah bahwa yang melakukan
penyerahan adalah Pengusaha Kena Pajak. Analisis kritis hams dihadirkan dalam
menganalisis transaksi/penyerahan aktiva yang semula tidak untuk diperjualbelikan yang
dilakukan oleh pihak perbankan. Pertama, apakah aktiva yang semula tidak untuk
diperjualbelikan ini merupakan aktiva yang terkait dengan bank sebagai Pengusaha Kena
Pajak (PKP) ataukah sebaliknya. Hal ini mengacu pada Pasal 1 angkal4 dan angka 15 UU
No. 42 Tahun 2009 yang mengatur bahwa yang dimaksud dengan PKP (dalam konteks
penyerahan jasa) adalah Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun
yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya melakukan penyerahan penyerahan Jasa Kena
Pajak yang dikenai pajak. Pasal 1
14. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabcan, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
15. Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini.
Dengan demikian, perlakuan pajak harus dibedakan antara a) penyerahan aktiva yang
memang benar-benar terkait dengan jasa perbankan yang menjadi obyek PPN /Jasa Kena
Pajak (misalnya persewaan safe deposit) dan b) penyerahan aktiva yang memang benar-
benar terkait dengan jasa perbankan yang bukan merupakan obyek PPN / Jasa Tidak Kena
Pajak.
Kedua, analitis kritis harus dilakukan dengan mengacu pada ketentuan pengecualian
pengenaan PPN atas penyerahan aktiva, khususnya terkait dengan ketentuan bahwa atas
aktiva yang pada saat perolehannya, Pajak Masukan atas perolehan aktiva tersebut tidak
dapat dikreditkan karena tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha, makaV
60
atas penyerahan {transferred) aktiva tersebut tidak terhutang PPN. Hal ini harus dilakukan
karena Pasal 9 ayat (5) mengatur bahwa:
Pasal 9 (5) Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.
Pasal 9 ayat (5) memberikan penegasan bahwa Pajak Masukan hanya dapat dikreditkan atas
penyerahan yang terhutang PPN. Karena dalam praktiknya, perbankan melakukan
penyerahan JKP dan Non JKP, maka perlakuan PPN atas penyerahan aktiva perbankan harus
dibedakan antara a) penyerahan aktiva yang pada saat perolehannya dapat dikreditkan karena
berhubungan langsung dengan penyerahan JKP (misalnya pembelian peralatan safe deposit)
dan b) penyerahan aktiva yang pada saat perolehannya tidak dapat dikreditkan karena
berhubungan dengan penyerahan Non JKP.
Ketentuan penyerahan aktiva baik dalam pasal 1A ayat (1) huruf maupun Pasal 16D
pada dasamya mengecualikan pengenaan PPN atas penyerahan aktiva yang pada saat
perolehannya tidak dapat dikreditkan karena berhubungan dengan penyerahan Non JKP.
Karena itulah, tidak seluruh penyerahan aktiva yang dilakukan oleh perbankan dapat
dijadikan sebagai obyek PPN. Sebagai perbandingan, dapat dilihat Value Added Tax Act
1994, §24(l)(United Kingdom), sebagaimana dikutip berikut ini:
"For a Canadian case holding that a sale of an asset on which an input credit was denied is not a sale in the course of a commercial activity and therefore not taxable, see Aubrett Holdings Ltd. vH.M. The Queen, 1998 Can. Tax Ct. LEXIS 509" (Schenk dan Oldman, hal.l 14-1 IS).
61
BAB 5 ANALISIS PERLAKUAN PPN ATAS • AGUNAN YANG DIAMBIL ALIH (AYDA)
5.1 Perlakuan PPN atas AYDA dalam kurun waktu 1983 - 2009
Sebagaimana telah dijelaskan dalam latarbelakang, bahwa salah satu upaya dalam
penyelesaikan kredit macet yang dilakukan oleh bank adalah pengambilalihan aktiva debitur
yang dijaminkan kepada bank pada saat melakukan pinjaman. Pengambilalihan Anggunan
Yang Diambil Alih (AYDA) biasanya dilakukan karena rumitnya eksekusi Hak Tanggungan
dan meningkatnya jumlah kredit macet. Penyerahan AYDA berupa Barang Kena Pajak
(BKP) yaitu aset dari debitur kepada bank merupakan penyerahan BKP untuk jaminan utang
piutang. Penjualan AYDA bukan merupakan kegiatan usaha bank, juga didukung dihapusnya
ketentuan Pasal 6 huruf k UU Perbankan yang berkaitan dengan pengambilalihan dan
penjualan agunan dari kegiatan usaha bank umum pada UU No. 10/1998 tentang Perubahan
atas UU No.7 Tahun 1-992 tentang Perbankan. Di samping itu, penjelasan pasal 2A UU
Perbankan No. 10/1998 mengatakan bahwa pembelian agunan oleh bank dimaksudkan
semata-mata agar dapat mempercepat penyelesaian kewajiban debitur dan bank juga tidak
diperbolehkan untuk memiliki agunan tersebut dan secepatnya agunan tersebut
dicairkan/dijual kembali.
62
Tabel5.1
Ketentuan PPN atas AYDA
mmKep DJP Nomor KEP - 546/PJ/2000 tertanggal 29 Desember 2000 tentang Saat Tenitangnya PPN atas Penyerahan BKP dalam rangka Restrukturisasi Perusahan dan Restmkturisasi Utang Usaha
':'!;'•::
1Penyerahan BKP dalam rangka restrukturisasi perusahaan dan restrukturisasi utang usaha adalah:I. Penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan dari debitur kepada kreditur (Bank Kreditur dan atau Badan Penyehatan Perbankan Nasional), dalam rangka program:a. Indonesian Bank Restructuring Agency (IBRA)/BadanPenyehalan Perbankan Nasional (BPPN);b. Indonesian Debt Restructuring Agency (INORA); atauc. Jakarta Initiative (Prakarsa Jakarta); yang merupakanpenyerahan yang bersifat sementara dan bukan untuk dimiliki.2. Penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dari Bank Kreditur dan atau BPPN dan atau melalui Juru Lelang kepada pembeli sebenarnya.
Pasal2
(i)Atas penyerahan aktiva sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1angka 1 belum terutang PPN(2)Saat tenitangnya PPN atas penyerahan aktiva sebagaimanadimaksud dalam Pasal 1 angka 1 adalah pada saat penyerahanaktivaPasal 3(1) Dalam hal aktiva tersebut tidak dialihkan atau tidak dijual oleh Bank Kreditur atau BPPN dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak penyerahan dari pihak debitur, maka Bank Kreditur atau BPPN dianggap telah menerima penyerahan aktiva sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 sehingga terutang PPN(2) PPN yang terutang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilunasi oleh Bank Kreditur atau BPPN.
■Mi ar.:
Surat DJP Nomor S 869/PJ.313/2005 tertanggal 16 September 2005 tentang Aspek Perpajakan atas Agunan Yang Diambi! Alih (AYDA)
Angka 3 huruf(b) 1
Pengambilalihan aktiva milik debitur oleh Bank Kreditur atauBPPN bukan termasukdalam pengertian penyerahan BKP untuk jaminan hutang piutangyang tidak dikenakan PPN sebagaimana dimaksud dalam PasallAayat(2)hurufbUUPPN,amun merupakan penyerahan aktiva yang menurut tujuan semulatidak diperjualbelikan yang terutang PPN berdasarkan Pasal 16DUU PPN. Dalampenyerahan BKP untuk jaminan hutang piutang, hak atas BKPmasih berada padadebitur, sedangkan dalam pengambilalihan aktiva milik debiturkarena kredit macet,hak atas aktiva telah diserahkan kepada Bank Kreditur atau
i j L" fvi i'Vr" ;"-" *-"- -"-" t ^Pi K^^®! * ! ^ *!' ' t ~+^ r i =: v-' ■ :-ifl !;f iym BPPN.
Angka 3 huruf (b) 4Tidak diperkenankannya Bank Kreditur atau BPPN untukmengkreditkan PPN yang telah disetor atas penyerahan aktivakarena Bank Kreditur atau BPPN bukanmerupakan PKP yang memperjualbelikan aktiva dan memungutPPN atas penjualan aktiva tersebut. Demikian juga apabila asettersebut dipergunakan sendiri dalam kegiatan usaha di bidangperbankan yang bukan merupakan JKP, Bank Kreditur tetap tidakdapat mengkreditkan Pajak Masukan mengingat Pajak Masukanyang dapat dikreditkan hanya Pajak Masukan yang berkaitandengan penyerahan yang terutang pajak.
Surat Edaran DJP Nomor SE • 121/PJ/2010 tertanggal 23 November 2010 tentang Penegasan Perlakukan PPN atas Kegiatan Usaha Perbankan
Angka 6 bank umum juga dapat melakukan kegiatan yang bukan merupakan penyerahan jasa, misalnya berupa mcmbeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalamhal nasabah debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal I2A UU Perbankan. Dalam hal ini, penjualan agunan, yang telah diambil aiih oleh bank tersebut, merupakan penyerahan BKP yang terutang PPN
5.2 Ketidakjelasan Dasar Hukum Pengenaan PPN atas Penjualan AYDA
Pada tanggal tanggal 23 November 2010, Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 121/PJ/2010 Tentang Penegasan Perlakuan
Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Usaha Perbankan (selanjutnya disebut SE Dirjen
Pajak No. SE - 121/PJ/2010). Dalam SE tersebut, terdapat ketentuan yang terkait dengan
Agunan yang Diambil Alih (AYDA) sebagaimana dikutip berikut ini:
"6. Disamping usaha pada butir 3 sampai dengan butir 5 di atas, bank umum juga dapat melakukan kegiatan yang bukan merupakan penyerahan jasa, misalnya berupa membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal nasabah debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 12A UU Perbankan. Dalam hal ini, penjualan agunan, yang telah diambil alih oleh bank tersebut, merupakan penyerahan Barang Kena Pajak yang terutang PPN".
64
Ketentuan butir 6 tersebut di atas, tidak mempunyai landasan hukum yang jelas,
karena tidak disebutkan apakah ketentuan ini mengacu pada Pasal 16D atau pasal Iainnya.« Padahal UU PPN hanya mengatur ketentuan obyek PPN (taxable supplies)
dalam Pasal 4
ayat (1), Pasal 1A ayat (1), Pasal 16C dan Pasal 16D. Ketentuan butir 6 SE Dirjen Pajak No.
SE - 121/PJ/2010 tersebut tidak selaras dengan asas certainty dalam pemungutan pajak.
Teriebih, masing-masing Pasal dalam UU PPN yang mengatur mengenai taxable supplies
mempunyai landasan konseptual teoritis, justifikasi dan persyaratan keberlakuan tersendiri.
Akibat ketidakjelasan payung hukum butir 6 SE Dirjen Pajak No. SE - 121/PJ/2010
ini adalah potensi dispute yang besar dalam pengimplementasian. Hal ini tentu akan
menimbulkan cost of taxation yang tinggi bagi kedua b'elah pihak. Sebagaimana telah
dijelaskan dalam kerangka teori, apabila terjadi dispute antara Wajib Pajak dan Fiskus dalam
menafsirkan suatu undang-undang, maka pendapat Prof. Dr. J.H.A. Logemann dapat
dijadikan sebagai pedoman. Urutan tentang cara-cara penafsiran itu adalah sebagai berikut:
1. Penafsiran menurut Ilmu Tata Bahasa,
2. Penafsiran menurut sejarah terjadinya hukum,
3. Penafsiran menurut sejarah terjadinya Undang-undang,
4. Penafsiran secara sistematis,
5. Penafsiran secara sosiologis,
6. Penafsiran menurut analogi.
Karena itu, penting bagi otoritas perpajakan selaku penyusun Surat Edaran tersebut untuk
memberikan penjelasan dasar pemikiran SE tersebut.
Dalam kesempatan seminar yang diadakan oleh Perbanas, pihak otoritas pajak
menyebutkan bahwa dasar hukum butir 6 SE Dirjen Pajak No. SE - 121/PJ/2010 ini adalah
Pasal 4 ayat (1) huruf a, bukan Pasal 16D. Jika memang hal ini yang dimaksud tim penyusun
SE Dirjen Pajak No. SE - 121/PJ/2010 ini, tentu ketentuan SE ini tentu tidak sejalan dengan
ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf a dan penjelasannya, karena bertentangan dengan normal
approach yang diadopsi oleh Pasal 4 ayat (1) huruf a (lihat sub bab mengenai Konsepsi PPN
atas Pengalihan Aktiva yang Semula Tidak untuk Diperjualbelikan (Transferred Assets),
khususnya Sub Sub Bab 1. Perkembangan Pengadopsian Pendekatan Umum (Normal
Approach) untuk Menentukan Penyerahan Kena Pajak (Taxable Supplies) dalam UU PPN di
Indonesia.
Secara konseptual teoritis, perlakuan PPN atas AYDA seharusnya mengacu pada
special treatment sebagaimana halnya penyerahan aktiva yang tidak diperjualbelikan. Sebagai
65
contoh, Ukraina tidak menjadikan AYDA sebagai obyek PPN jika debitur pemilik agunan
bukan merupakan PKP.
"Starting from 5 August 2009, transactions concerning the subsequent sale of collateral (including mortgaged) assets that banks and other financial institutions have repossessed from non-VATpayers has been exempt from VAT (under Law of Ukraine No.1617 of 24 July 2009). Please note that this norm was duplicated in Law of Ukraine No.1533 of 23 June 2009. Therefore, the Law of Ukraine "On the Value-Added Tax" provides for two identical paragraphs 5.19 " (Ernst and Young, Newsletter, 2010).
5.3 Analisis Kritis Perlakuan PPN atas Penjualan AYDA yang Dilakukan oleh Pihak Perbankan
Sebelum diterbitkannya SE Dirjen Pajak No. SE - 121/PJ/2010, perlakuan PPN atas
AYDA tidak memiliki kepastian hukum. Namun secara umum, perlakuan PPN atas AYDA
lebih tepat mengacu pada Pasal 16D tinimbang Pasal 4 ayat (1) huruf a / Pasal 1 ayat (1)
huruf a karena AYDA bukan merupakan barang dagangan dan nature of business perbankan
juga bukan merupakan jual beli aktiva. Karena itu, pada umumnya, sebelum UU No. 42
Tahun 2009, penjualan/penyerahan AYDA yang dilakukan oleh pihak perbankan bukan
merupakan obyek PPN jika memenuhi salah satu dari kondisi sebagai berikut:
a) Pajak Masukan atas perolehan AYDA tersebut bukan merupakan Pajak masukan yang
dapat dikreditkan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1A ayat (2) huruf b UU No. 18
tahun 2000, penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang bukan
merupakan penyerahan yang terhutang PPN. Karena itu, ketika bank mengambil alih
agunan dari debitur, maka tidak ada Pajak Masukan yang dibayar oleh pihak bank
selaku kreditur.
b) Pihak yang melakukan penyerahan adalah PKP. AYDA pada dasamya merupakan
proses dari agunan yang diserahkan oleh pihak debitur terkait dengan
pinjaman/pembiayaan. Dengan demikian, jasa yang diberikan oleh perbankan dalam
proses ini adalah Non JKP. Karena itu dalam konteks ini bank bukanlah PKP
sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 14 dan IS UU No. 18 Tahun 2000.
Setelah diterbitkan SE Dirjen Pajak No. SE - 121/PJ/2010, perlakuan PPN atas AYDA
menjadi tidak bertambah jelas, karena beberapa hal sebagai berikut:
1) Dalam butir 6 disebutkan bahwa bank umum juga dapat melakukan kegiatan yang
bukan merupakan penyerahan jasa, misalnya berupa membeli sebagian atau seluruh
agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan
secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luary
66
lelang dari pemilik agunan dalam hal nasabah debitor tidak memenuhi kewajibannya
kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkanm
secepatnya, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 12A UU Perbankan. SE Dirjen
Pajak No. SE - 121/PJ/2010 mengatur bahwa penjualan agunan, yang telah diambil
alih oleh bank tersebut, merupakan penyerahan Barang Kena Pajak yang terutang
PPN.
Yang menjadi permasalahan dalam ketentuan SE Dirjen Pajak No. SE - 121/PJ/2010 tersebut
adalah:
a) Pembelian agunan oleh pihak Bank bukan dimaksudkan untuk dijadikan barang
dagangan dengan harapan bank akan mendapatkan capital gain atas penjualan agunan
tersebut. Dalam Pasal 12A UU Perbankan disebutkan bahwa pembelian agunan oleh
Bank selaku kreditur dimaksudkan untuk mempercepat penyelesaian kewajiban
Nasabah debiturnya. Bank bahkan tidak diperbolehkan memiliki agunan yang
dibelinya dan secepat-cepatnya hams dijual kembali agar hasil penjualan agunan
dapat segera dimanfaatkan oleh bank, sebagaimana dikutip secara lengkap berikut ini:
"Pasal 12 A
(1) Bank Umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui
pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh
pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik
agunan dalam hal nasabah debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank,
dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pembelian agunan dan pencairannya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah."
Penjelasan Pasal 12 A
Ayat(l)
Pembelian agunan oleh bank melalui pelelangan dimaksudkan untuk membantu bank
agar dapat mempercepat penyelesaian kewajiban nasabah debiturnya. Dalam hal bank
sebagai pembeli agunan Nasabah debiturnya, status bank adalah sama dengan pembeli
bukan bank lainnya. Bank dimungkinan membeli agunan di luar pelelangan
dimaksudkan agar dapat mempercepat penyelesaian kewajiban Nasabah debiturnya.
Bank tidak diperbolehkan memiliki agunan yang dibelinya dan secepat-cepatnya
harus dijual kembali agar hasil penjualan agunan dapat segera dimanfaatkan oleh
bank.•V
67
Ayat (2)
Pokok-pokok ketentuan yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah memuat
antara lain:
a. Agunan yang dapat dibeli oleh bank adalah agunan yang kreditnya telah
dikategorikan macet selama jangka waktu tertentu;
b. Agunan yang telah dibeli wajib dicairkan selambat-lambatnya dalam jangka waktu
satu tahun;
Dari ketentuan di atas dapat diketahui bahwa penjualan AYDA oleh pihak Bank tidak/belum
tentu memenuhi dimensi-dimensi business activity seperti continuity, value, profit dan
Appearance of Business.
2) Terjadi cascading effect karena Pajak Masukan atas perolehan AYDA tersebut bukan
merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, karena:
i. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1A ayat (2) huruf b UU No. 42 tahun 2009,
penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang bukan merupakan
penyerahan yang terhutang PPN. Karena itu, ketika bank mengambil alih agunan dari
debitur, maka tidak ada Pajak Masukan yang dibayar oleh pihak bank selaku kreditur.
ii. Selain itu, ketika debitur menyerahkan agunan tersebut secara sukarela atau
berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang kepada pihak Bank, atas penyerahan
tersebut bukan merupakan penyerahan yang terhutang PPN baik berdasarkan pasal 1A
ayat (1) huruf a (karena tidak ada transfer of ownership/ hak kepemilikan belum
berubah) ataupun berdasarkan Pasal 16D.
3) Pihak yang melakukan penyerahan adalah PKP.
AYDA pada dasarnya merupakan proses dari agunan yang diserahkan oleh pihak debitur
terkait dengan pinjaman/pembiayaan. Dengan demikian, jasa yang diberikan oleh
perbankan dalam proses ini adalah Jasa Tidak Kena Pajak (Non JKP). Karena itu dalam
konteks ini bank bukanlah PKP sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 14 dan 15
UU No. 42 Tahun 2009.
V
68
BAB 6 ANALISIS PERLAKUAN PPN ATAS PEMBERIAN CUMA-CUMA
(DAN PEMAKAIAN SENDIRI)
6.1 Konsepsi Teoritis Pengenaan PPN atas Pemberian Cuma-cuma
Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab-bab sebelumnya, PPN hanya dikenakan atas
aktivitas usaha (business activity - di Indonesia disebut dalam rangka kegiatan usaha atau
pekerjaannnya). Karena itu, penyerahan yang dilakukan bukan dalam aktivitas usaha
misalnya kegiatan yang berkaitan dengan hobbi scseorang atau hadiah yang diberikan karena
seorang pribadi, serta aktivitas filantropi / kedermawanan sosial / amal yang tidak ada
kaitannya dengan konten komersial, seharusnya tidak dikenakan PPN.
"VAT is a tax on supplies made in the course or furtherance of economic activity, or. put another way, as part of a business. It should therefore be confined to activities of this nature and not be imposed on other activities, such as the personal hobbies of an individual, gifts made for personal reasons, or charitable activities with no business or commercial content. In practice, the separate criterion that a supply of goods and services must be made, or treated as made, for consideration (or against payment) serves to remove many nonbusiness activities from the scope o/"K4 7"'(Thuronyi, hal. 33-34).
Dengan demikian para ahli perpajakan menekanakan bahwa pada akhirnya, UU PPN
biasanya mengatur secara jelas bahwa hanya aktivitas usaha yang termasuk dalam cakupan
PPN, sebagaimana ditegaskan oleh Willliam berikut ini: "As a result, the law imposing the
VAT usually makes it clear that only economic activities are within the scope of the tax"
(Thuronyi, hal. 34).
Pada prinsipnya, jika tidak ada pembayaran atau piutang atas suatu penyerahan, maka
tidak ada penyerahan yang terhutang PPN. Namun pengamanan untuk kepentingan
penerimaan negara (sesuai prinsip revenue productivity) diperlukan untuk mencegah
penyelundupan pajak (tax evasion) atau aggresive tax planning. Willliam memberikan
contoh, jika PKP memberikan hadiah untuk tujuan bisnis (atau terkait dengan aktivitas
usahanya) maka pemberian hadiah ini harus termasuk dalam obyek pemungutan PPN.
"In principle, if there is nothing paid or payable for a supply, then it is not a taxable supply. Safeguards are needed to prevent the operation of this principle from allowing transactions to escape a charge to VAT in inappropriate situations. For example, a taxable person who makes gifts of goods acquired for the purpose of the persons economic activities should be brought within the scope of the tax" (Thuronyi, hal. 36).
V
69
Begitu juga, jika PKP mengunakan barang yang dibelinya untuk kepentingan pribadi atau
penggunaan/pemakaian sendiri tersebut harus menjadi obyek PPN. "Likewise, an individual
trader who personally uses goods purchased for the business should also be made subject to
VAT on the use'XThuronyi, hal. 36).
Menurut pendapat para ahli PPN, justifikasi pengenaan PPN atas pemberian Cuma-
cuma dan pemakaian sendiri adalah karena karena PKP akan menerima Pajak Masukan pada
saat pembelian/perolehan BKP tersebut Jika atas pemberian Cuma-cuma dan pemakaian
sendiri ini tidak dijadikan sebagai obyek PPN (berarti tidak ada Pajak masukan), maka akan
terdapat subsidi tersembunyi (hidden subsidy) kepada PKP yang bersangkutan.
"The reason for this is that the trader will have received a VAT credit (or deduction for input tax) for the goods on purchase. If there is no offsetting output tax, then there is a hidden subsidy of the trader's personal consumption and gifts" (Thuronyi, hal.36).
Hal ini tentu saja akan merusak netralitas pemungutan PPN. Padahal netralitas inilah yang
menjadi kelebihan pemungutan PPN dibanding Pajak Penjualan.
Berdasarkan argumentasi/justifikasi konseptual teoritis tersebut, para ahli PPN
menganjurkan agar deflnisi penyerahan BKP yang terhutang PPN diperluas cakupannya.
Menurut William, beberapa transaksi yang dapat dipertimbangkan untuk tujuan ini adalah 1)
Pemakaian sendiri, termasuk untuk kepentingan keluarga dan rumah tangganya, 2) Hadiah
atau pemakaian barang yang dilakukan oleh PKP dimana barang tersebut dibeli semata-mata
untuk tujuan bisnis, dan 3) Penyerahan BKP kepada karyawan/pegawai (tanpa adanya
tagihan), sebagaimana dapat dilihat dalam kutipan berikut:
// is therefore wise to extend the definition of supply for consideration to cover certain nonbusiness uses of a supply. The following transactions or occasions should be considered for this purpose:(a) personal consumption by an individual of goods purchased for the
individual's business, including consumption by the individual's family andhousehold;
(b) gifts of goods, or the use of goods, made by a taxable person where the goods were purchased solely for the person's business, and the gifts are not themselves for business purposes (e.g., advertising or trade samples); and
(c) supplies of goods made without charge to employees of the taxable person.(Thuronyi, hal.36).
6.2 Perkembangan Pengadopsian Konsep PPN atas Pemberian Cuma-cuma (dan Pemakaian Sendiri) Dalam UU PPN di Indonesia
Mengikuti rekomendasi dari para ahli PPN, sejak PPN pertama kali diberlakukan dalam
sistem perpajakan .Indonesia, pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma menjadi
70
penyerahan BKP yang terhutang PPN (taxable supplies of goods). Pada perkembangannya
kebijakan ini mengalami perubahan sebagaimana dapat dilihat dalam Tabel di bawah ini.
Tabel 6. 1
Perkembangan Ketentuan Pemakaian Sendiri dan Pemberian Cuma-cuma Dalam UU PPN di Indonesia
UUNo.8 *' ' Tahuhl983
1 UUNo.ll Tahiin 1994
UU.No. 18 Tahuii 2000
UlTNq.42 '• ' faKufl20fl9> „ • >.
Pasal 1 ayat (d) angka 1 Yang lermasuk dalam pengertian penyerahan BKP adalah:e)pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma;
Pasal 1 ayat (d) angka 1 Yang lermasuk dalam pengertian penyerahan BKP adalah:d)pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma:
Pasal lAayat(l) Yang lermasuk dalam pengertian penyerahan BKP adalah:d.pemakaian sendiri dan alau pemberian cuma-cuma alas BKP;
Pasal lAayat(l) Yang lermasuk dalam pengertian penyerahan BKP adalah:d.pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas BKP;
Penjelasan:1) Yang lermasuk dalam
pengertian Penyerahan Barang Kena Pajak: e) pemakaian sendiri diartikan pemakaian untuk kepentingan Pengusaha sendiri, pengunis, atau karyawannya. Sedangkan pemberian cuma-cuma diartikan sebagai pemberian yang diberikan lanpa pembayaran, antara lain pemberian contoh barang untuk promosi kepada relasi atau pembeli.
Penjelasan: d) Pemakaian sendiri diartikan pemakaian untuk kepentingan Pengusaha sendiri. pengurus. atau karyawannya. Sedangkan pemberian cuma-cuma diarlikan sebagai pemberian yang diberikan tanpa pembayaran, antara lain pemberian contoh barang untuk promosi kepada relasi atau pembeli.
Penjelasan: HurufdPemakaian sendiri diarlikan pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawannya, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri. Sedangkan pemberian cuma-cuma diartikan sebagai pemberian yang diberikan tanpa pembayaran baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, antara lain pemberian contoh barang untuk promosi kepada relasi atau pembeli.
Penjelasan:Yang dimaksud dengan
"pemakaian sendiri" adalah pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawan, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri. Yang dimaksud dengan "pemberian cuma-cuma" adalah pemberian yang diberikan tanpa pembayaran baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, seperti pemberian contoh barang untuk promosi kepada relasi atau pembeli.
6.2.1 Perlakuan PPN atas Pemberian Cuma-cuma (dan Pemakaian Sendiri) Sebelum UU No. 18 Tahun 2000
Pada UU PPN 1983, ketentuan pemakaian sendiri dan pemberian Cuma-cuma 30
Januari 1985 diatur lebih lanjutdalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE
-09/PJ.3/1985 Tentang Pemakaian Sendiri Dan Pemberian Cuma-cuma (SERI PPN-28).
Beberapa penegasan yangdiatur adalah sebagai berikut:
1) Yang dimaksud dengan pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus atau
karyawannya. Sedangkan pemberian cuma-cuma diartikan sebagai pemberian yang
diberikan tanpa pembayaran, antara lain pemberian contoh barang untuk promosi kepada
relasi atau pembeli. Kedua tindakan ini termasuk dalam pengertian Penyerahan Barang
Kena Pajak.
2) Pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma yang terhutang Pajak Pertambahan Nilai
tersebut diatas hendaknya ditafsirkan bahwa Barang Kena Pajak tersebut diatas
V
71
hendaknya ditafsirkan bahwa Barang Kena Pajak tersebut diperoleh/diimpor atau
dihasilkan sendiri, selain untuk dijual, sebagian dipakai (dikonsumir) sendiri oleh
Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan atau diberikan kepada anggota keluarganya,
karyawannya atau dikirimkan secara cuma-cuma kepada para relasi, langganan dan
pembeli dalam rangka promosi ataupun hubungan baik. Atas pemakaian sendiri atau
pemberian cuma- cuma tersebut terhutang Pajak Pertambahan Nilai, artinya Pengusaha
Kena Pajak yang bersangkutan hams menghitung dan membayar Pajak Pertambahan
Nilainya sebagai Pajak Keluaran.
3) Karena Barang Kena Pajak yang bersangkutan dalam-hal ini tidak dijual, maka dalam
jumlah yang seharusnya diminta itu dapat saja oleh Pengusaha Kena Pajak tidak
diperhitungkan bagian labanya.
4) Karena pada umumnya yang menerima pemberian cuma-cuma ataupun pemakaian
sendiri Barang Kena Pajak tidak dalam kedudukannya sebagai Pengusaha Kena Pajak,
maka tidak perlu dikeluarkan Faktur Pajak, namun Pengusaha Kena Pajak hendaknya
membuat bukti intern untuk keperluan tata usaha pembukuan Pengusaha Kena Pajak
tersebut. Perlu ditambahkan bahwa Pengusaha Kena Pajak tersebut harus mencatat
penyerahan Barang Kena Pajak untuk pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma
tersebut didalam Buku Penjualan dengan keterangan "Pemakaian sendiri/Pemberian
cuma-cuma".
Perlakuan Pajak Masukan atas pemakaian sendiri dan pemberian Cuma-cuma, secara lebih
spesifik diatur dalam Surat Edaran Direktur Jcnderal Pajak Nomor SE - 01/PJ./1991 Tentang
Pajak Masukan Yang Tidak Dapat Dikreditkan Dan Pembebanannya Sebagai Biaya
Perusahaan, yang diterbitkan tanggal 4 Januari 1991.
Dalam SE-0 l/PJ./l 991 tersebut diatur ketcntuan sebagai berikut:
1). Paiak Masukan atas BKP vanp berasal dari produksi sendiri:
1.1. Pemakaian sendiri:
Pemakaian sendiri hasil produksi sendiri dilihat dari tujuan pemakaiannya dibedakan
dalam:
a) Pemakaian sendiri untuk tujuan konsumtif.
Atas pemakaian sendiri oleh PKP untuk tujuan konsumtif BKP yang berasal dari
produksinya sendiri terutang PPN. PPN tersebut merupakan Pajak Keluaran dan juga
merupakan Pajak Masukan bagi PKP yang bersangkutan. Pajak Masukan yang
dibayar oleh. PKP yang bersangkutan tidak dapat dikreditkan. Contoh : Pabrikan
72
minuman ringan menggunakan hasil produksinya untuk konsumsi karyawan atau para
tamu.
Perlakuan PPN:
PPN dan/atau PPn BM hams dibayar oleh pengusaha yang bersangkutan sesuai
dengan Pasal 1 huruf d angka 1 huruf e jo Pasal 4 ayat (1) huruf a angka 1 UU PPN
1984. PPN yang dibayar merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.
Perlakuan PPh:
Untuk pembebanan sebagai biaya perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 PP
No. 42 tahun 1985, maka PPN yang tidak dapat dikreditkan dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto sepanjang pengeluarannya termasuk biaya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a UU PPh 1984 yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih
dan memelihara penghasilan. Sebaliknya apabila PPN yang tidak dapat dikreditkan
tersebut berasal dari pengeluaran yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d, f, h dan i UU PPh 1984,
maka PPN yang dibayar tidak dapat dibebankan sebagai biaya. Dengan demikian, maka
dalam hal minuman tersebut disuguhkan kepada para tamu dalam kaitannya dengan
usaha untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, maka atas pengeluaran
untuk minuman tersebut dapat dibebankan sebagai biaya sesuai dengan ketentuan Pasal 6
ayat (1) huruf a UU Pajak Penghasilan 1984. Apabila minuman tersebut diberikan untuk
konsumsi karyawan, maka atas pengeluaran untuk minuman tersebut berdasarkan
ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf d UU Pajak Penghasilan 1984 tidak dapat dikurangkan
sebagai biaya perusahaan karena merupakan kenikmatan {fringe benefit) dan bagi
karyawan bukan merupakan penghasilan. b) Pemakaian sendiri untuk tujuan produktif.
Yang dimaksud pemakaian sendiri untuk tujuan produktif adalah pemakaian hasil
produksi sendiri untuk keperluan yang berhubungan langsung dengan kegiatan
usahanya. Contoh : Pabrikan mobil/truck mempergunakan sendiri truck yang
diproduksinya untuk kegiatan usaha mengangkut bahan baku spare partsftarang
dagangan dari suatu tempat ke pabriknya atau ke tempat pembeli. Perlakuan PPN:
Atas pemakaian sendiri ini terutang PPN. Pajak Keluaran hams dibayar sendiri oleh
pengusaha yang bersangkutan. PPN yang dibayar merupakan Pajak Masukan yang
dapat dikreditkan. v
73
Perlakuan PPh:
Karena telah dikreditkan sebagai Pajak Masukan maka PPN tidak dapat di bebankan
sebagai biaya untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak. 1.2. Pemberian cuma - cuma.
Penyerahan hasil produksi sendiri untuk pemberian cuma-cuma kepada pihak
Iainterutang PPN. PPN tersebut merupakan Pajak Keluaran dan juga Pajak Masukan
bagi PKP yang bersangkutan. PPN yang dibayar merupakan Pajak Masukan yang
tidak dapat dikreditkan. Untuk PPh, sepanjang pemberian cuma-cuma seperti ini
termasuk dalam pengertian pemberian natura kepada karyawan sebagaimana
dimaksud dalam Buku Petunjuk Umum Pembukuan Untuk Perpajakan dan termasuk
dalam pengertian fringe benefit, sumbangan, hibah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf d, f, h dan i UU PPh 1984, Pajak Masukan yang tidak dapat
dikreditkan tidak dapat dibebankan sebagai biaya.
2). Paiak Masukan atas BKP vane berasal bukan dari produksi sendiri:
Untuk PPN, Pajak Masukan atas perolehan BKP yang berasal bukan dari produksinya
sendiri yang digunakan untuk pemakaian sendiri dengan tujuan konsumtif maupun pemberian
cuma-cuma berupa hadiah/sumbangan tidak dapat dikreditkan sebagaimana ditegaskan dalam
Buku Petunjuk Umum Pembukuan Untuk Perpajakan. Untuk PPh, apabila pengeluaran
tersebut termasuk dalam pengeluaran yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d,f, h dan i UU PPh tahun 1984, maka
Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan yang berkenaan dengan pengeluaran tersebut
juga tidak dapat dibebankan sebagai biaya.
6.2.2 Perlakuan PPN atas Pemberian Cuma-cuma (dan Pemakaian Sendiri) Setelah UU No. 18 Tahun 2000
Paska pengesahan UU No. 18 Tahun 2000, perlakuan PPN atas Pemberian Cuma-
cuma (dan Pemakaian Sendiri) diatur lebih lanjut dalam :
1) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep - 87/PJ./2002 Tentang Pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas Pemakaian Sendiri
Dan Atau Pemberian Cuma-cuma Barang Kena Pajak Dan Atau Jasa Kena Pajak
V
74
2) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 04/PJ.51/2002 Tentang Pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas Pemakaian
Sendiri Dan Atau Pemberian Cuma-cuma Barang Kena Pajak Dan Atau Jasa Kena Pajak
Berikut ini poin-poin dalam kedua ketentuan tersebut.
6.2.2.1 Perlakuan PPNatas Pemakaian Sendiri
1) Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak adalah pemakaian untuk kepentingan Pengusaha
sendiri, Penguins, atau diberikan kepada anggota keluarganya atau karyawannya, baik
barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, selain pemakaian Barang Kena
Pajak untuk tujuan produktif.
2) Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak adalah pemakaian untuk kepentingan Pengusaha
sendiri, Pengurus, atau diberikan kepada anggota keluarganya atau karyawannya, baik
barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, selain pemakaian Barang Kena
Pajak untuk tujuan produktif.
3) Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan atau Pemanfaatan Jasa Kena Pajak untuk
tujuan produktif adalah pemakaian Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang
nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang
mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha Pengusaha yang bersangkutan.
4) Barang Kena Pajak adalah meliputi produk utama, produk sampingan, dan limbah.
5) Pemakaian Barang Kena Pajak dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak untuk tujuan
produktif belum merupakan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa kena Pajak
sehingga tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah.
6) Atas pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak terutang Pajak
Pertambahan Nilai dan hams diterbitkan Faktur Pajak.
7) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang harus dibayar sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak
yang bersangkutan.
8) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dalam Faktur Pajak merupakan Pajak Keluaran.
9) Dalam Faktur Pajak identitas Pengusaha Kena Pajak dan Pembeli Barang Kena
Pajak/Penerima Jasa Kena Pajak adalah sama yaitu Pengusaha Kena Pajak yang
bersangkutan.
10)Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk menghitung besarnya Pajak Pertambahan
Nilai yang terutang adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor.V
75
ll)Disamping dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, atas pemakaian sendiri Barang Kena
Pajak produksi sendiri yang tergolong mewah, juga dikenakan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah.
12)Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak atas perolehan Barang
Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk menghasilkan Barang Kena
Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk pemakaian sendiri atau atas
perolehan Barang Kena Pajak yang kemudian dipakai sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak
merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sepanjang memenuhi persyaratan
sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
13)Atas pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak bukan untuk
tujuan produktif terutang Pajak Pertambahan Nilai dan hams diterbitkan Faktur Pajak.
Pajak Pertambahan Nilai yang tercanrum dalam Faktur Pajak merupakan Pajak Keluaran
dan sekaligus merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.
14) Contoh pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak: i)
Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak bukan untuk tujuan produktif.
- Pabrikan minimum ringan menggunakan hasil produksinya untuk konsumsi
karyawan atau para tamu.
- Dalam rangka promosi produk sepatu yang baru, pabrikan sepatu membeli
topi dalam jumlah yang besar. Sebagaian dari topi tersebut diberikan untuk
konsumsi karyawannya.
- Perusahaan telekomunikasi selurar memberikan fasilitas bebas biaya telepon
selular kepada para direksinya.
ii) Pemakaian Barang Kena Pajak untuk tujuan produktif yang nyata-nyata digunakan
untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha
Pengusaha yang bersangkutan.
- Pabrikan mobil/truck mempergunakan sendiri truck yang diproduksinya untuk
kegiatan usaha mengangkut bahan baku spare parts/barang dagangan dari
suatu tempat ke pabriknya atau ke tempat pembeli.
- Pabrikan minyak kelapa sawit menggunakan limbahnya berupa cangkang/kulit
dari inti sawit sebagai pengeras jalan di lingkungan pabrik.
- Perusahaan telekomunikasi menggunakan saluran teleponnya untuk kegiatan
operasional perusahaan dalam berkomunikasi dengan mitra bisnisnya.
iii) Pemakaian Barang Kena Pajak untuk tujuan produktif yang nyata-nyata digunakan
untuk kegiatan produksi selanjutnya.
76
- Pabrikan minyak kelapa sawit menggunakan limbahnya berupa cangkang/kulit
dari inti sawit sebagai bahan pembakaran boiJer dalam proses pabrikasi.
- Pabrikan kayu lapis/plywood menggunakan hasil produksinya berupa kayu
lapis/plywood untuk membungkus kayu lapis/plywood yang akan dipasarkan
agar tidak rusak.
- Perusahaan telekomunikasi melalui sambungan saluran teleponnya selain
menyediakan jasa komunikasi melalui telepon juga menyediakan jasa provider
internet bagi konsumennya.
6.2.2.2 Perlakuan PPN atas Pemberian Cuma-cuma
1) Pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak adalah pemberian yang diberikan tanpa
imbalan pembayaran baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri,
termasuk pemberian contoh barang untuk promosi kepada relasi atau pembeli.
2) Pemberian cuma-cuma Jasa Kena Pajak adalah pemberian Jasa Kena Pajak yang
dilakukan kepada pihak lain tanpa imbalan pembayaran.
3) Barang Kena Pajak adalah meliputi produk utama, produk sampingan, dan limbah.
4) Atas pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak baik yang dilakukan secara tersendiri
atau menyatu dengan barang yang dijual terutang Pajak Pertambahan Nilai dan harus
diterbitkan Faktur Pajak.
5) Atas pemberian cuma-cuma Jasa Kena Pajak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan harus
diterbitkan Faktur Pajak.
6) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang harus dipungut dan disetor oleh Pengusaha Kena
Pajak yang bersangkutan.
7) Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar merupakan Pajak Keluaran.
8) Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk menghitung besarnya Pajak Pertambahan
Nilai yang terutang adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor.
9) Disamping dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, atas pemberian cuma-cuma Barang Kena
Pajak produksi sendiri yang tergolong mcwah, juga dikenakan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah.
10)Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak atas perolehan Barang
Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk menghasilkan Barang Kena
Pajak dan atau Jasa Kena Pajak untuk pemberian cuma-cuma atau atas perolehan Barang
Kena Pajak yang kemudian diberikan secara cuma-cuma merupakan Pajak Masukan yang
V
77
dapat dikreditkan sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.«
ll)Pajak Pertambahan Nilai yang telah dipungut dan disetor atas pemberian cuma-cuma
Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak, dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena
Pajak penerima Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak sepanjang memenuhi
persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan perundangan yang berlaku.
12) Contoh Pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak:
- Pabrikan mie instan memberikan bantuan berupa mie instan hasil produksinya
kepada korban bencana alam.
- Pabrikan mie instan memberikan contoh produknya kepada para relasi.
- Pabrikan shampo memberikan 1 sabun mandi untuk setiap penjualan 1 botol
produk shamponya.
- Perusahaan jasa persewaan traktor memberikan bantuan penggunaan traktor
kepada pemerintah untuk mengatasi tanah Iongsor.
6.3 Analisis Kritis Perlakuan PPN atas Pemberian Cuma-cuma (dan Pemakaian Sendiri) yang Dilakukan oleh Pihak Perbankan
Sebenarnya, disain kebijakan PPN atas Pemberian Cuma-cuma (dan Pemakaian
Sendiri) yang berlaku di Indonesia, telah memenuhi aspek konseptual teoritis serta selaras
dengan asas netralitas. Pada dasamya beban PPN atas kebijakan ini sangat minim, karena
memang yang menjadi tujuan utamanya adalah menghindari hidden subsidy dan bukan dalam
rangka revenue productivity. Dengan demikian asas netralitas yang menjadi landasan dasar
penyusunan kebijakan PPN sangat terjaga dengan baik.
Dari sisi cost of taxation, khususnya compliance cost dan enforcement cost, kebijakan
PPN atas Pemberian Cuma-cuma (dan Pemakaian Sendiri) relatif rendah karena beberapa hal
sebagai berikut (Rosdiana, 2012):
1) Dari sisi direct money cost, sebenarnya beban PPN tidak ada, karena Pajak Masukan atas
peroleh BKP yang diberikan secara cuma-cuma tersebut, dapat dikreditkan sepanjang
memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan perundang-undangan
yang berlaku. Ilustrasi penghitungannya adalah sebagai berikut:
78
Gambar6. 1 Cost of Taxation atas
Pembcrian Cuma-cuma
VembetKnCinti'a-cuina P«n«flm»Pctiibei|an
• Aiuniil: H jrgd lual s dp. 10 |ula• M amungul P ij afc Rekimn selxjJiRp. ljuta• M<ni(f jt jitPjjdkM jsul.jo bajiPeiiibeKIPKP'X")
• Kteniungut Pa|.iH:«Kiai.ni jsbisatR|). ljuU
•DPP=NI«IUln|hJtwJU»tW*kUniiJJiiHaljjIotor)• PPMTeihu»ne=PK-PM = lJuta-ljuta = 0
• >J»j -1 <IUr?<liH:)nol?l)P<ngmahi)Ktn»P»likp»ntitmaBpw(KttiiPajat ri.»na!aui3£jKeii3p3J3k:■;..;,; :i.-i:i.:n,^:. !.|^ :.-.:.^ .1.
lebjgalmjnadft-itaptandjlani(:«t*nlujnp«tun(ljn5in,an{b«ilJki
r Dengan demikian yang dikcluarkan hanya bempa biaya administralif pembuatan Faktur
Pajak. 2) Dari sisi enforcement cost, kebijakan ini juslru membantu mencegah terjadinya tax
evasion dan aggressive tax planning yang pada akhirnya akan merugikan bangsa dan
negara. Kebijakan ini juga selaras dengan international best practice, sebagaimana dapat dilihat
dalam kasus Putusan Pcngadilan di Eropa yang memutuskan bahwa hadiali cuma-cuma kepada
pclanggan yang memberikan informasi pclanggan yang potensial (semacam member get member),
merupakan obyek penyerahan yang tcrliutang PPN.
"In Empire Stores Ltd v. Commissioners of Customs and Excise (Case 33/93, [1994] 3 All ER 90 (Judgment of the ECJ 1994) a mail order business gave"free" gifts to individuals who provided personal information about credit-worthiness of themselves or other potential customers. The court held (hat if there is a direct link between the goods provided and the consideration received (the information about the customer), there is a taxable transaction with the taxable amount equal to the cost to the firm (not the retail value) of the goods provided in return for that information ".(Schenk, hal. 252).
Mcskipun demikian ada beberapa kclcmahan dalam disain kebijakan pemberian cuma-cuma
yang selama ini bcrlaku, yaitu:
1) Kebijakan ini seharusnya diselarasakan dengan kebijakan PPh yang mendorong kegiatan
filatropi. Atas pemberian cuma-cuma untuk sumbangan (yang kctentuannya diatur khusus)
seharusnya tidak dijadikan scbagai obyek PPN. Pcngecualikan semacam ini sudah menjadi
kelaziman inlcrnasional. Terlebih jika sumbangan/pemberian cuma-cuma ini terkait dengan
bencana alam nasional. 2) Berbeda dengan pemakaian sendiri yang memberikan contoh barang
bukan produksi scndiri, Surat Hdaran Direktur Jcnderal I'ajak Nomor SO -
04/PJ.51/2002 tidak
79
memberikan contoh barang bukan produksi sendiri dalam pemberian cuma-cuma.
Padahal dalam SE tersebut tidak menggunakan kata-kata antara lain melainkan semacam*
close list sebagaimana dikutip berikut ini:
"B. Contoh Pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak:
- Pabrikan mie instan memberikan bantuan berupa mie instan hasil produksinya kepada korban bencana alam.
- Pabrikan mie instan memberikan contoh produknya kepada para relasi.- Pabrikan shampo memberikan 1 sabun mandi untuk setiap penjualan 1 botol
produk shamponya.- Perusahaan jasa persewaan traktor memberikan bantuan penggunaan traktor
kepada pemerintah untuk mengatasi tanah longsor."
Hal ini justru menimbulkan ketidakpastian karena memberikan ruang terbuka untuk
diinterpretasikan secara berbeda-beda, baik oleh fiskus maupun oleh pengusaha.
Terkait dengan pemberian cuma-cuma yang dilakukan oleh perbankan, analisis kritis
hams dihadirkan dalam menganalisis pemberian cuma-cuma yang dilakukan oleh pihak
perbankan. Pertama, karena Pasal 1A ayat (1) huruf d adalah berkaitan dengan Pasal 4 ayat
(1) huruf a dan penjelasannya, maka syarat-syarat untuk menentukan terhutang atau tidaknya
PPN {normal approach) berlaku dalam menganalisis perlakuan PPN atas pemberian cuma-
cuma. Khususnya terkait dengan syarat bahwa pihak yang melakukan penyerahan adalah
PKP. Jika pemberian dilakukan dalam rangka menarik nasabah menyimpan uang di Bank
(dalam bentuk tabungan/deposito atau lainnya), maka pemberian tersebut terkait dengan
penyarahan Non JKP. Karena itu dalam konteks ini bank bukanlah PKP sebagaimana
dimaksud dalam pasal 1 angka 14 dan 15 UU No. 42 Tahun 2009.
Kedua, karena dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE
-04/PJ.51/2002 tidak memberikan contoh barang bukan produksi sendiri dalam pemberian
cuma-cuma, padahal dalam SE tersebut tidak menggunakan kata-kata antara lain. Redaksi SE
tersebut yang menggunakan kalimat "Contoh......: (diakhiri dengan tanda : ) dapat
diinterpretasikan semacam analogi yang bersifat closed list. Hal ini menyebabkan perlakuan
PPN atas pemberian cuma-cuma yang dilakukan oleh pihak perbankan tidak/belum
mempunyai kepastian hukum yang jelas.
80
BAB 7 SIMPULAN DAN REKOMENDASI
7.1 Simpulan
1) Pada dasaraya, para ahli PPN serta menunit international best practice, penyerah aktiva
tidak diperjualkan dijadikan sebagai obyek PPN dengan pertimbangan untuk menghindari
terjadinya hidden subsidy. Dengan demikian, meskipun tidak mengikuti kaidah normal
approach sebagaimana digagas oleh David Williams dalam tulisannya di buku "Tax Law
Design and Drafting", atas penyerahan aktiva yang semula tidak diperjualbelikan
direkomendasikan oleh para ahli PPN sebagai taxable supply dengan syarat utama Pajak
Masukan atas peroleh aktiva tersebut dapat dikreditkan. Gagasan Williams ini diadopsi
oleh banyak negara sehingga menjadi international best practice. Karena itu, meskipun
penyerahan aktiva yang semula tidak untuk diperjualbelikan merupakan obyek PPN,
namun atas penyerahan aktiva yang semula tidak untuk diperjualbelikan yang dilakukan
oleh pihak perbankan, tidak serta merta menjadi penyerahan yang terhutang PPN.
Diperlukan analisis secara obyektif untuk menentukan perlakuan PPN atas penyerahan
aktiva yang semula tidak untuk diperjualbelikan yang dilakukan oleh pihak perbankan,
sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal-pasal yang terkait.
2) Diperlukan analisis secara obyektif untuk menentukan perlakuan PPN atas penjualan
AYDA, terlebih karena SE Dirjen Pajak No. SE - 121/PJ/2010 tidak memberikan
landasan hukum yang jelas sebagai payung hukum diputuskannya penjualan AYDA
sebagai obyek penyerahan BKP yang terhutang PPN.
3) Disain kebijakan PPN atas Pemberian Cuma-cuma (dan Pemakaian Sendiri) yang berlaku
di Indonesia, telah memenuhi aspek konseptual teoritis serta selaras dengan asas
netralitas. Pada dasarnya beban PPN atas kebijakan ini sangat minim, karena memang
yang menjadi tujuan utamanya adalah menghindari hidden subsidy dan menghindari
terjadinya aggresive tax planning maupun tax evasion. Dengan demikian asas netralitas
yang menjadi landasan dasar penyusunan kebijakan PPN sangat terjaga dengan baik.
Meskipun demikian, tidak semua pemberian cuma-cuma yang dilakukan oleh pihak
perbankan terhutang PPN. Analisis yang obyektif harus dihadirkan dalam menganalisis
terhutang atau tidaknya pemberian cuma-cuma tersebut karena sesuai dengan kaidah
general/normal approach. Dengan demikian, kondisi atau jenis pemberian cuma-cuma
akan mempunyai perlakuan yang berbeda satu dengan yang lainnya sesuai dengan
mengacu pada normal approach dan ketentuan yang berlaku.
81
7.2 Rekomendasi
1) Secara umum diperlukan regulasi untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan
"penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya". Hal ini sangat
penting untuk menghindan potensi dispute yang besar dan berkelanjutan, sehingga
kebijakan PPN dapat menekan cost of taxation yang tinggi.
2) Secara khusus diperlukan regulasi untuk memberikan kepastian hukum atas pengalihan
aktiva yang semula tidak untuk diperjualbelikan, AYDA dan pemberian cuma-cuma
sesuai dengan konsep/teori PPN dan international best practice degan tetap menjaga
keselarasannya dengan asas neutrality, revenue productivity dan ease of administration.
V
82
REFERENSI
Buku
Bird, Richard M dan Eric M.Zolt, Introduction to Tax Policy Design and Development, Washington: Word Bank, 2003.
Brotodihardjo, R Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: Eresco, 1993.
Chattopadhayay, Saumen dan Arindam Das-Gupta, The Compliance Costof the Personal Income Tax and its Determinants, New Dehli: National Institute of Public Finance and Policy, December 2002
Ebrill, Liam, dkk, The Modern VAT, Washington, D.C.rlMF, 2001.
Gunadi, Ketentuan Dasar Pajak Penghasilan, JakartarPenerbit Salemba Empat, 2002
Hancock, Dora, Taxation: Policy & Practice, 1997/1998 Edition, UK: Thomson Business Press, 1997.
Hepker, Michael,Z., A Modern Approach to Tax Law, edisi kedua. London : Heinemann, 1975.
James, Simon dan Christopher Nobes, The Economics of Taxation: Principles, Policy and Practice, 1996/1997 Edition, Europe: Printice Hall, 1996.
Karayan, Johne dan Charles W. Swenson, Strategic Business Tax Planning, Second Edition, New Jersey, John Wiley & Sons, Inc, 2007.
Le, Tuan Minh Value Added Taxation: Mechanism, Design, and Policy Issues, Paper on Practical Issues of Tax Policy in Developing Countries,^'orld Bank, Washington D.C., 2003.
Mansury,R, Kebijakan Fiskal, Jakarta: Yayasan Pengembangan dan Penyebaran Pengetahuan (YP4), 1999.
Mankiw, N. Gregory, Principles of Microeconomics, Third Edition, Singapore: Thomson South-Western, 2004.
Newman, Herbert E. An Introduction to Public Finance, New York: John Wiley and Sons, Inc., 1968.
Pope, Jeff, The Compliance Costs of Taxation in Australia and Tax Simplification: The Issues, Australian Journal of Management, The University of New South Wales, Juni 1993
Poterba, James M., Editor, Tax Policy and The Economy, Massachussetts: National Bureau of Economic Research MIT Press, 1997.
Rahayu, Ani Sri Pengantar Kebijakan Fiskal, Jakarta: Bumi Aksara, 2010.
Rosdiana, Haula dan Edi Slamet Irianto, Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di Indonesia, Jakarta: 2011.
------, Haula, Edi Slamet Irianto, Titi M. Putranti, Teori Pajak Pertambahan Nilai :Kebijakan dan Implementasinya dilndoensia, Ghalia Indonesia, 2011.
------, Haula, 25 Tahun Implementasi PPN di Indonesia : Evaluasi Kebijakan danImplementasi, 2012
V
83
Ruppe, Hans Georg, International Problem in Field of General Taxes on Sales of Goods and Service, Vinise:IFA, 1983.
Saragih M, Straktur Perbankan di Indonesia, Universitas Sumatera Utara, 2010
Schenk, Alan dan Oliver Oldman, Value Added Tax: A Comparative Approach, Cambridge Tax Law Series, 2007
Schmolders.G, Turnover Tax, Amsterdam: International Bureau of Fiscal Documentation, 1966.
Shome, Partasarathi, Editor, Tax Policy Handbook, Washington DC: Tax Policy Divison Fiscal Affair IMF, 1995.
Smith, Adam, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, The Modern Library, New York, 1994.
Smith, Dan Throop and James B Webber, and Carol M Cerf, What You Should Know About the VAT, Illinois: Down Jones-Irwin Inc., 1973.
Srinivasan, T.N., (N.S.S. Narayana, Editor), Economic Policy and State Intervention, New York: Oxford University Press, 2001.
Sandford, Cedric T, M.R. Godwin and PJ.W. Hardwick, Administrative and Compliance Costs of Taxation, Fiscal Publications, Bath, 1989
Sugema, Iman, M.Fadil Hasan, Banking Outlook: Perbankan Indonesia Pasca Divestasi, INDEF
Tail, Alan A., Value Added Tax: International Practice and Problems, Washington DC: International Monetary Fund, 1988.
Taylor, Steven J. dan Robert Bogdan, Introduction to Qualitative Research Methods : The Seach for Meanings, Second Edition, Singapore: John Wiley & Sons, 1984.
Terra, Ben, Sales Taxation: The Case of Value Added Tax in The European Community, Denventer-Boston, Kluwer Law and Taxation Publishers, 1988.
Thuronyi, Victor, Editor, Tax Law Design and Drafting, Volume 1, Washington DC: International Monetary Fund, 1996.
________, Tax Law Design and Drafting, Volume 2, Washington DC: InternationalMonetary Fund, 1996.
Ved, P. Gandhi, Editor, Supply-Side Tax Policy Its Relevance to Developing Countries, Wahington DC: IMF, 1987.
William, David Value Added Tax. Tax Law Design and Drafting, Washingthon DC: IMF, 1966.
Wijono, Wiloejo Wirjo Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro sebagai Salah Satu Pilar Sistem Keuangan Nasional: Upaya Konkret Memutus Rantai Kemiskinan, 2005, Kementerian Keuangan.
V
84
Turnal dan Iain-lain
AT, Salamaun," Penjelasan Pajak Pertambahan Nllai atas Barang,"Kompas, 21 April 1984.
Atmosudarmo, Saroyo, Value Added Tax, Kekhususan Administrasi dan Kebijakan Perpajakan, Program Pascarjana Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia.
____, Value Added Taxes in Central and Eastern European Countries: A Comparative Surveyand Evaluation, Paris: OECD, 1998.
Consumption Tax Guidance Series, OECD, http://www.oecd.orp/document.
Deloitte Touche Tohmatsu, Global Indirect Tax Rates - Albania to Azerbaijan., http:/www.deloitte.com.
Value Added Taxes in Central and Eastern European Countries: A Comparative Survey and Evaluation: EC, OECD, 1998
The New Encyclopedia Britannica, Volume 28, London: Encyclopedia Britannica, Inc
----, International Tax Glossary, 1993.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), International VAT/GST Guidelines, Centre for Tax Policy and Administration, Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD), February 2006.
World Bank, 'Reforming Tax Systems', World Development Report 1988, World Bank, 1988
-----,A Guide to VAT/GST in Asia Pasiffc, PricewaterhouseCoopers, 2006.
United Nation, Sales Tax Adminsitration : Major Structural and Practical Issues with Special Reference to the Needs of Developing Countries, New York : United Nation, Department of Economic and Social Affair, 1976.
-----1 Value Added Taxes in Central and Eastern European Countries: A Comparative Survey
and Evaluation: EC, OECD, 1998.
http://finance.detik.com,Sabtu 17 Desember2011
http://rockinbanker.blogspot.com/2011/10/penyebab-terjadinya-tunggakan-yang.html
Consumption Tax Guidance Series, OECD, http://www.oecd.org/document
Jon Abolins, VAT compliance costs - heavier than you realise?, 25 Maret 2002, http://www.accountingweb.co.uk/cgi-bin/item.cgi?id=76097
Undang-Undan dan peraturan terkait
85