5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

214
c

description

a

Transcript of 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

Page 1: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

c

Page 2: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

r

INDONESIAN BANKS ASSOCIATION

Page 3: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

LAPORAN KAJIAN AKADEMIK

ANALISIS KEBUAKAN PAJAK PERTAMB AHAN NILAIATAS KEGIATAN JASA PERBANKAN

(PENGALIHAN AKTIVA, AGUNAN YANGDIAMBILALIH DAN PEMBERIAN CUMA-CUMA)

Tim Kajian

Prof. Dr. Gunadi, M.Sc.AkDr. Haula Rosdiana, M.Si

Dra. Titi Muswati Putranti, M.SiDra. Inayati, M.Si

Drs. Iman Santoso, M.Si

PUSAT KAJIAN ILMU ADMINISTRASIFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS INDONESIA

Depok, Februari 2012

Page 4: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

KATA PENGANTAR

Kebijakan Pajak Pertambahana Nilai (PPN) hendaknya didisain dengan

mengacu pada legal caharactemya sehingga keunggulan jenis pajak ini, yaitu fiscal

advantages, economic advantages dan psycological Advantages dapat terwujud dalam

implementasi sistem PPN dalam praktik sehari-hari. Dalam koridor Negara sebagai

Regulator, kebijakan PPN menjadi instrumen untuk memperkuat Negara dalam

menjalankan fungsi-fungsinya. Karena itu, menjadi suatu keharusan, bahwa dalam

formulasi kebijakan PPN, terjadi keseimbangan antara prinsip/asas penerimaan

(revenue productivity), netralitas (neutrality) dan kemudaban administrasi (ease of

administration).

Secara international best practice, kebijakan PPN yang spesifik kerapkali

didisain atas industri-industri tertentu yang mempunyai kekhasan atau nature of

business yang unik. Hal ini dilakukan karena prasyarat disain PPN yang baik (good

requirement of VAT treatment) hams sedapat mungkin selaras dengan pola bisnis serta

kebijakan khusus pemerintah atas industri tersebut, termasuk kebijakan akuntansi yang

ditetapkan pemerintah atas industri tersebut. Karena itu, dalam mendesain kebijakan,

PPN tentunya diperlukan kajian yang mendalam berdasarkan kerangka

konseptual/teoris yang tepat dan relevan, serta internasional best practice. Oleh karena

itu Kajian Akademik diperlukan untuk mendukung kebijakan pajak yang baik.

Jakarta, Februari 2012

Tim Kajian

Pusat Kajian Ilmu Administrasi FISIP UI

ii

Page 5: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

RINGKASAN EKSEKUTIF

Kegiatan utama industri perbankan sebagai lembaga keuangan adalah

menghimpun dana dari masyarakat luas dan menyalurkannya kembali kepada

masyarakat melalui pemberian pinjaman atau kredit selain penyediaan jasa lainnya yang

ditujukan untuk memperlancar kegiatan menghimpun dana dari masyarakat.

Keuntungan bisnis perbankan dihasilkan dari selisih bunga simpanan masyarakat

dengan bunga pinjaman yang disalurkan. Dalam melaksanakan kegiatan perkreditan

tersebut, pihak bank akan mempertimbangakan kredit yang diajukan oleh nasabah

sebelum kredit tersebut disalurkan oleh bank, bunga kredit yang akan diberikan serta

risiko kredit macet atau kredit bermasalah.

Bank Indonesia mencatat bahwa jumlah kredit bermasalah (non performing

loan) terus meningkat dari hingga Oktober 2011 meskipun besaran tersebut masih

dibawah angka potensi ideal kredit macet perbankan yaitu dibawah 5%. Namun, hal ini

masih menjadi permasalahan serius yang dihadapi oleh industri perbankan. Terjadinya

kredit macet atau tunggakan disebabkan oleh beberapa hal seperti (i) perencanaan bank

yang kurang memadai (ii) turunnya kemampuan bayar debitur (iii) account maintenance

yang lemah (iv) kesalahan akuisisi pinjaman dan (v) masalah lingkungan yang terjadi

diluar kuasa nasabah dan perbankan.

Dalam mengatasi kredit macet, bank melakukan berbagai upaya seperti

penyelesaian utang piutang melalui Panitia Urusan Piutang Leiang (PUPN) bagi bank

yang permodalannya dimiliki oleh pemenntah. Selain itu, Pengambilalihan Agunan

Yang Diambil Alih (AYDA) merupakan salah satu upaya penyelesaian kredit macet

untuk mengatasi kerumitan eksekusi hak tanggungan. Hal ini potensial membawa

pengaruh negatif terhadap tingkat kesehatan bank. Dalam kenyataannya,

pengambilalihan AYDA dilakukan melalui Perjanjian Perikatan Jual Beli (PPJB) dan

Kuasa Jual kepada bank. Kondisi ini menimbulkan risiko bagi bank tersebut karena

PPJB pada dasarnya belum mengalihkan status kepemilikan atas jaminan kepada

pembeli.

Penjualan AYDA atas penyelesaian kredit macet pada dasarnya bukan

merupakan kegiatan usaha bank. Hal ini juga didukung dihapusnya ketentuan Pasal 6

huruf k UU Perbankan yang berkaitan dengan pengambilalihan dan penjualan agunan

■V

iii

Page 6: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

dan kegiatan usaha bank umum pada UU No. 10/1998 tentang Perubahan atas UU No.7

Tahun 1-992 tentang Perbankan. Dalam penjelasan L2A Perbankan No. 10/1998

disebutkan bahwa pembelian agunan oleh bank dimaksudkan semata-mata agar dapat

mempercepat penyelesaian kewajiban debitur dan bank juga tidak diperbolehkan untuk

memiliki agunan tersebut dan secepatnya agunan tersebut dicairkan/dijual kembali.

Selain permasalahan AYDA, kegiatan lain yang dilakukan bank seperti

mengadakan promosi dengan memberikan hadiah dapat menimbulkan permasalahan

terkait isue perpajakan yaitu ketentuan mengenai pemakaian sendiri dan pemberian

cuma-cuma. Isue lainnya yang potensial menimbulkan dispute adalah masalah

pengalihan aktiva yang semula tidak untuk diperjualbelikan (selanjutnya disingkat

menajdi pengalihan aktiva) yang dilakukan oleh pelaku usaha perbankan.

Isue AYDA terjadi karena terbitnya SE-121/PJ/2010, yang mengatur bahwa

bank umum dianggap juga dapat melakukan kegiatan yang bukan merupakan

penyerahan jasa. SE-121/PJ/2010 tentang Penegasan Perlakuan Pajak Pertambahan

Nilai Atas Kegiatan Usaha Perbankan, juga mengatur bahwa penjualan AYDA

merupakan penyerahan barang yang terutang PPN, tanpa menjelaskan klausal UU PPN

yang relevan sebagai dasar pertimbangan pengenaan PPN atas AYDA. Sementara isue-

isue yang lainnya potensial menimbulkan dispute karena belum adanya peraturan

perpajakan yang secara spesifik mengatur hal tersebut.

Secara konseptuai/teoritis, pengalihan aktiva, pemakaian sendiri dan pemberian

cuma-cuma mempunyai disain kebijakan yang spesifik karena yang menjadi dasar

pemikiran para ahli perpajakan untuk merekomendasikan transaksi-transaksi ini sebagai

taxable supplies adalah untuk menghindari hidden subsidy serta aggresive tax planning

bahkan tax evasion. Karena itu, dalam mendisain kebijakan VAT treatment dX&s trasaksi-

transaksi ini konsep general/normal approach tidak diberlakukan secara penuh.

Konsepsi pendekatan umum (general/zjorma/ approach) telah diadopsi secara

luas dan menjadi international best practice. Untuk menentukan apakah suatu

penyerahan/transaksi merupakan penyerahan kena pajak (taxable supplies), konsep

general/normal approach mengatur syarat-syarat yang bersifat kumulatif, yaitu (i)

barang yang diserahkan adalah barang kena pajak (ii) tindakan penyerahan adalah

penyerahan kena pajak (iii) penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak atau

iv

Page 7: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

pengusaha yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (iv)

penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha perusahaan atau pekerjaan.

Dalam hal perlakuan PPN atas penyerahan aktiva yang semula tidak untuk

diperjualbelikan merupakan hal khusus dan perlu diteliti ketika akan mengkaji tiap-tiap

transaksi yang ada secara objektif. Dengan kata lain, ketentuan perlakuan pengenaan

PPN tersebut diatas tidak dapat dijadikan sebagai tolak ukur baku dengan semata-mata

hanya mempertimbangkan ada/tidaknya aktiva yang diserahkan terutama jika

pengusaha melakukan kegiatan usaha yang tidak dikenakan PPN, juga melakukan

kegiatan usaha yang terutang PPN seperti yang dilakukan oleh industri perbankan.

Khusus untuk industri perbankan, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah apakah

aktiva yang semula tidak untuk diperjualbelikan ini merupakan aktiva yang terkait

dengan lembaga perbankan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau sebaliknya.

Selain itu, perlu dianalisa kembali ketentuan pengecualian pengenaan PPN atas

penyerahan aktiva, khususnya terkait dengan ketentuan bahwa atas aktiva yang pada

saat perolehannya, Pajak Masukan atas perolehan aktiva tersebut tidak dapat dikreditkan

karena tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha sehingga aktiva

tersebut tidak terutang PPN.

Dalam mengalisa perlakuan PPN atas Agunan Yang Diambil Alih (AYDA),

perlu diperhatikan bahwa historis penyerahan aktiva tersebut pada awal terjadinya

perjanjian kredit. Sebagaimana konseptual/teoritis dan international best practice, UU

PPN di Indonesia mengatur penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-

piutang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak. Dengan

demikian, tidak ada Pajak Masukan yang dibayar oleh perbankan ketika debitur

menyerahkan aktiva sebagai jaminan kredit. Kondisi ini hams menjadi pertimbangan

jika dasar acuan pengenaan PPN atas AYDA adalah Pasal 16D.

Sebaliknya, jika otoritas pajak beranggapan bahwa yang menjadi dasar acuan

pengenaan PPN atas AYDA adalah Pasal 4 ayat (1) huruf a dan Pasal 1A ayat 1 huruf a,

maka keputusan perlakuan PPN yang tepat atas AYDA, hams megacu pada

general/normal approach yang dianut dalam (penjelasan) Pasal 4 ayat (1) huruf a UU

PPN.

Kelemahan dari SE 121/PJ/2010 yang mengatur bahwa AYDA merupakan

penyerahan yang terhutang PPN adalah tidak adanya landasan hukum yang menjelaskan

■V

Page 8: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

pasal mana dalam UU PPN yang menjadi dasar acuan perlakuan PPN atas AYDA. Hal

ini kurang selaras dengan asas certainty, bahkan prinsip ease of administration secara

keseluruhan.

Terkait kegiatan yang dilakukan oleh perbankan atas pemberian cuma-cuma dan

atau pemakaian sendiri, disain kebijakan PPN atas Pemberian Cuma-cuma (dan

Pemakaian Sendiri) yang berlaku di Indonesia, telah memenuhi aspek konseptual

teoritis serta selaras dengan asas netralitas. Pada dasarnya beban PPN atas kebijakan ini

sangat minim, karena memang yang menjadi tujuan utamanya adalah menghindari

hidden subsidy dan menghindari terjadinya aggresive tax planning maupun tax evasion.

Dengan demikian asas netralitas yang menjadi landasan dasar penyusunan kebijakan

PPN sangat terjaga dengan baik. Meskipun demikian, tidak semua pemberian cuma-

cuma yang dilakukan oleh pihak perbankan terhutang PPN. Analisis yang obyektif

harus dihadirkan dalam menganalisis terhutang atau tidaknya pemberian cuma-cuma

tersebut karena sesuai dengan kaidah general/normal approach. Dengan demikian,

kondisi atau jenis pemberian cuma-cuma akan mempunyai perlakuan yang berbeda satu

dengan yang lainnya sesuai dengan mengacu pada general/normal approach dan

ketentuan yang berlaku.

Meskipun demikian, kebijakan pemberian cuma-cuma dalam UU PPN Indonesia

memiliki kelemahan, terutama seperti ketentuan yang diatur dalam Surat Edaran

Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 04/PJ.51/2002 tidak memberikan contoh barang

bukan produksi sendiri dalam pemberian cuma-cuma. Hal tersebut cukup potensial

menimbulkan perbedaan interpretasi. Secara khusus untuk perbankan, terdapat beberapa

hal yang perlu diperhatikan. Pertama, karena Pasal 1A ayat (1) huruf d adalah berkaitan

dengan Pasal 4 ayat (1) huruf a dan penjelasannya, maka syarat-syarat untuk

menentukan terhutang atau tidaknya PPN [normal approach) berlaku dalam

menganalisis perlakuan PPN atas pemberian cuma-cuma. Secara spesifik jika terkait

dengan syarat bahwa pihak yang melakukan penyerahan adalah PKP, maka apabila

pemberian cuma-Cuma dilakukan dalam rangka menarik nasabah menyimpan uang di

Bank (dalam bentuk tabungan/deposito atau lainnya), maka pemberian tersebut terkait

dengan penyarahan Non JKP. Karena itu dalam konteks ini bank bukanlah PKP

sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 14 dan 15 UU No. 42 Tahun 2009.

vi

Page 9: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

Kedua, terkait kegiatan yang dilakukan oleh perbankan, Surat Edaran Direktur

Jenderal Pajak Nomor SE - 04/PJ.51/2002 tidak memberikan contoh barang bukan

produksi sendiri dalam pemberian cuma-cuma, sementara dalam Surat Edaran tersebut

tidak menyebutkan ketentuan yang bersifat open list sehingga perlakuan PPN atas

pemberian cuma-cuma yang dilakukan oleh pihak perbankan tidak/belum mempunyai

kepastian hukum yang jelas.

Berdasarkan hasil analisis, disarankan agara dibuat regulasi untuk menjelaskan

apa yang dimaksud dengan "penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau

pekerjaannya". Hal ini sangat penting untuk menghindari potensi dispute yang besar

dan berkelanjutan, sehingga kebijakan PPN dapat menekan cost of taxation yang tinggi.

Secara khusus diperlukan regulasi untuk memberikan kepastian hukum atas pengalihan

aktiva yang semula tidak untuk diperjualbelikan, AYDA dan pemberian cuma-cuma

sesuai dengan konsep/teori PPN dan international best practice degan tetap menjaga

keselarasannya dengan asas netralitas, revenue productivity fan ease of administration.

V

vii

Page 10: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

DAFTARISI

KATAPENGANTAR...................................................................................................iiRINGKASANEKSEKUTIF........................................................................................HiDAFTAR ISI..............................................................................................................viiiDAFTAR TABEL.........................................................................................................xDAFTAR GAMBAR....................................................................................................xiBAB 1 PENDAHULUAN............................................................................................1

1.1 Latar Belakang..........................................................................................11.2 Identifikasi Masalah..................................................................................71.3 Tujuan Kajian...........................................................................................8

BAB 2 KERANGKA TEORI......................................................................................92.1 Peran Pemerintah dan Kebijakan Fiskal.....................................................92.2 Konsep Pajak Pertambahan Nilai.............................................................10

2.2.1 Legal Character dm Pajak Pertambahan Nilai.............................112.3 Asas-asas Pemungutan Pajak..................................................................22

2.3.1 Asas Revenue Productivity..........................................................222.3.2 Asas Ease of Administration.......................................................22

2.4 Konsep Cost of Taxation.........................................................................24BAB 3 KEBUAKAN PPN ATAS KEGIATAN JASA PERBANKAN DI

INDONESIA................................................................................................303.1 Kebijakan PPN atas Kegiatan Jasa Perbankan..........................................303.2 Kebijakan PPN atas Penyerahan Barang Kena Pajak................................323.3 Perlakuan PPN atas Kegiatan Jasa Perbankan Dalam UU No. 42

tahun2009..............................................................................................37BAB 4 ANALISIS PERLAKUAN PPN ATAS PENGALIHAN AKTIVA

YANG SEMULA TIDAK UNTUK DIPERJUALBELIKAN.....................444.1 Konsepsi PPN atas Pengalihan Aktiva yang Semula Tidak untuk

Diperjualbelikan {Transferred Assets).....................................................444.1.1 Perkembangan Pengadopsian Pendekatan Umum {Normal

Approach) untuk Menentukan Penyerahan Kena Pajak {TaxableSupplies) dalam UU PPN di Indonesia...........................44

4.1.2 Pengertian "dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan'V'dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya"...................................49

4.2 Justifikasi Pengalihan Aktiva Yang Menurut Tujuan Semula Tidak Untuk Diperjualbelikan Dijadikan Sebagai Obyek PPN......................................52

4.3 Analisis Kritis atas Penyerahan Aktiva yang Semula Tidak untuk Diperjualbelikan yang dilakukan oleh Perbankan....................................59

BAB 5 ANALISIS PERLAKUAN PPN ATAS AGUNAN YANG DIAMBILALIH(AYDA)..............................................................................................625.1 Perlakuan PPN atas AYDA dalam kurun waktu 1983 - 2009....................625.2 Ketidakjelasan Dasar Hukum Pengenaan PPN atas Penjualan AYDA.......645.1 Analisis Kritis Perlakuan PPN atas Penjualan AYDA yang Dilakukan oleh

Pihak Perbankan......................................................................................66BAB 6 ANAUSIS PERLAKUAN PPN ATAS PEMBERIAN CUMA-CUMA

(DAN PEMAKAIAN SENDIRI)..................................................................696.1 Konsepsi Teoritis Pengenaan PPN atas Pemberian Cuma-cuma...............69

V

Page 11: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

6.2 Perkembangan Pengadopsian Konsep PPN atas Pemberian Cuma-cuma (dan Pemakaian Sendiri) Dalam UU PPN di Indonesia....................70

*6.2.1 Perlakuan PPN atas Pemberian Cuma-cuma (dan PemakaianSendiri) Sebelum UU No. 18 Tahun 2000.....................................71

6.2.2 Perlakuan PPN atas Pemberian Cuma-cuma (dan PemakaianSendiri) Setelah UU No. 18 Tahun 2000.......................................74

6.3 Analisis Kritis Perlakuan PPN atas Pemberian Cuma-cuma (danPemakaian Sendiri) yang Dilakukan oleh Pihak Perbankan.......................78

BAB 7 SIMPULAN DAN REKOMENDASI.............................................................817.1 Simpulan.................................................................................................817.2 Rekomendasi..........................................................................................82

REFERENSI...............................................................................................................83

V

Page 12: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Non Performing Loan Bank Umum Berdasarkan Sektor Ekonomi...............4Tabel 3.1 Pengertian Jasa menurut UU PPN...............................................................30Tabel 3.2 Jasa Perbankan merupakan Jasa Tidak Kena Pajak menurut UU PPN........31Tabel 3.3 Perkembangan Ketentuan Pasal 4 Terkait dengan Obyek PPN dalam

UU PPN di Indonesia.................................................................................32Tabel 3.4 Perkembangan Ketentuan Penyerahan BKP Yang Terhutang PPN

(Taxable Supplies of Goods) Dalam UU PPN di Indonesia.........................34Tabel 3.5 Perkembangan Ketentuan Penyerahan BKP Yang Tidak Terhutang

PPN (Non Taxable Supplies of Goods) Dalam UU PPN di Indonesia........35Tabel 3.6 Perkembangan Ketentuan Pasal 16D tentang Pengalihan Aktiva yang

Semula Tidak Untuk Diperjualbelikan Dalam UU PPN di Indonesia.........36. Tabel 3.7 Kegiatan Usaha Bank Umum Yang Merupakan Penyerahan Jasa

Keuangan Yang Tidak Terutang PPN........................................................41Tabel 3.8 Kegiatan Usaha Bank Umum Yang Merupakan Penyerahan Jasa

Yang Terutang PPN...................................................................................43Tabel 4.1 Pengadopsian Normal • Approach untuk Menentukan Penyerahan

(Barang) Kena Pajak (Teori David Williams) dalam UU No. 8 Tahun1983..........................................................................................................45

Tabel 4.2 Pengadopsian Normal Approach untuk Menentukan Penyerahan (Barang) Kena Pajak (Teori David Williams) dalam UU No. 11 Tahun1994..........................................................................................................46

Tabel 4.3 Pengadopsian Normal Approach untuk Menentukan Penyerahan (Barang) Kena Pajak (Teori David Williams) dalam UU No. 18 Tahun2000..........................................................................................................47

Tabel 4.4 Pengadopsian Normal Approach untuk Menentukan Penyerahan (Barang) Kena Pajak (Teori David Williams) dalam UU No. 18 Tahun2000..........................................................................................................48

Tabel 4.5 Translasi terminologi "the taxable person makes those supplies as partof the person's business activities" dalam UU PPN di Indonesia...............50

Tabel 4.6 Pemkembangan Ketentuan Penyerahan Aktiva yang Semula TidakUntuk Diperjualbelikan..............................................................................56

Tabel 4.7 Syarat Terhutang PPN atas Penyerahan Aktiva Dalam UU No. IITahun 1994/ UU No. 18 Tahun 2000..........................................................58

Tabel 4.8 Syarat Terhutang PPN atas Penyerahan Aktiva Dalam UU No. 42Tahun 2009...............................................................................................59

Tabel 5.1 Ketentuan PPN atas AYDA........................................................................63Tabel 6.1 Perkembangan Ketentuan Pemakaian Sendiri dan Pemberian Cuma-

cuma Dalam UU PPN di Indonesia...........................................................71

■V

Page 13: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

|pN

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Rekapitulasi Institusi Perankan Indonesia (Mei 2011).................................... 1Gambar 1.2 Penyebab Terjadinya Tunggakan......................................................................5

Page 14: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

xi

Page 15: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

BAB1PENDAHULUAN

<

1.1 Latar Belakang

Lembaga keuangan khususnya perbankan mempunyai fungsi sebagai intermediasi

dalam efektifitas sualu perekonomian. Jika fungsi ini dapat berjalan dengan baik, maka

lembaga keuangan khususnya perbankan lersebut dapat menghasilkan nilai tambah. Dalam

kegiatan ckonomi, besar kecilnya usaha tidak menjadi faktor pembeda karcna hal yang penting

adalah nilai tambah berdasarkan skala usaha. Jadi poin penting adalah bagaimana peran media

intermediasi tersebut dalam peningkatan kegiatan ckonomi {Wijono.2005).

Jasa intermediasi bcrupa perbankan dapat diklasifikasi kedalam bebcrapa kategori.

Secara umum, industri perbankan yang ada di Indonesia biasanya dikategorikan kedalam 6

kelompok yaitu Bank Persero, Bank Umum Swasta Nasional Devisa (BUSN Devisa), Bank

Umum Swasta Nasional Non Devisa (BUSN Non Devisa). Bank Asing, Bank Pembangunan

Dacrah dan Bank Campuran (Sugcma). Namun, secara umum kategori lembaga perbankan

teregulasi adalah Bank Umum dan BPR. Bank umum adalah bank yang dapat membcrikan jasa

dalam lain lintas pembayaran (Saragih, 2010)' Kategorisasi Bank Umum dan Bank BPR dapat

dideskripsikan dalam gambar 1.1 berikut.

Gambar 1. 1 Rckapitulasi Institusi Perankan Indonesia

(Mei 2011)

Rchnpiiulan instiiusl Pcihan'jn di Incfoneaia Mel 2010"

1

Sumber: Bank Indonesia

y

Page 16: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

Setiap jenis bank memiliki ciri dan tugas tersendiri dalam melakukan kegiatannya.

Dalam praktiknya kegiatan bank dibedakan sesuai dengan jenis bank tersebut. Kegiatan

bank umum dengan kegiatan bank perkreditan rakyat, memiliki tugas atau kegiatan yang

berbeda. Kegiatan bank umum lebih luas dari bank perkreditan rakyat. Artinya produk

yang ditawarkan oleh bank umum lebih beragam, hal ini disebabkan bank umum

mempunyai kebebasan untuk menentukan produk dan jasanya. Sedangkan Bank

Perkreditan Rakyat mempunyai keterbatasan tertentu, sehingga kegiatannya lebih sempit.

Sebagai lembaga keuangan, bank juga melakukan berbagai kegiatan di bidang keuangan.

Kegiatan perbankan yang paling pokok adalah menghimpun dana dari masyarakat luas

dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat melalui pemberian pinjaman atau

kredit. Keuntungan bisnis perbankan dihasilkan dari selisih bunga simpanan masyarakat

dengan bunga pinjaman yang disalurkan. Bank juga memberikan jasa-jasa lainnya yang

ditujukan untuk memperlan'car kegiatan menghimpun dan menyalurkan dana.

Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 (UU

Perbankan), mengatur bahwa usaha Bank Umum meliputi:

a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito

berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang

dipersamakan dengan itu;

b. memberikan kredit;

c. menerbitkan surat pengakuan utang;

d. membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan

dan atas perintah nasabahnya:

1) surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa

berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-

surat dimaksud;

2) surat pengakuan utang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya

tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;

1) kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah;

2) Sertifikat Bank Indonesia (SBI);

3) obligasi

4) surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;

3) instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1

(satu) tahun; v

2

Page 17: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

e. memindabkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan

nasabah;

f. menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada

bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun

dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya;

g. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan

perhitungan dengan atau antar pihak ketiga;

h. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga;

i. melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu

kontrak;

j. melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk

surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek;

k. melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali amanat;

1. menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip

Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; m. melakukan

kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan

Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Salah satu kegiatan yang dilakukan oleh Bank Umum adalah kegiatan

menyalurkan kembali dana yang berhasil dihimpun dari masyarakat atau dikenal dengan

kegaitan lending. Penyaluran dana yang dilakukan oleh bank dilakukan melalui

pembenan pinjaman yang dalam masyarakat lebih dikenal dengan nama kredit. Kredit

yang diberikan oleh bank terdiri dari beragam jenis, tergantung dari kemampuan bank

yang menyalurkannya. Demikian pula dengan jumlah serta tingkat suku bunga yang

ditawarkan. Oleh sebab itu penting untuk menilai kelayakan kredit yang diajukan oleh

nasabah sebelum kredit dikucurkan oleh bank. Penerima kredit akan dikenakan bunga

kredit yang besarnya tergantung dari bank yang menyalurkannya. Besar kecilnya bunga

kredit sangat mempengaruhi keuntungan bank, mengingat keuntungan utama bank adalah

dari selisih bunga kredit dengan bunga simpanan.

Secara umum jenis-jenis kredit yang ditawarkan meliputi kredit investasi, kredit

modal kerja, kredit perdagangan, kredit produktif, kredit konsumtif dan kredit profesi.

Disamping kegiatan lending, bank juga memberikan jasa-jasa keuangan lainnya. Kegiatan

jasa bank yang dilakukan oleh Bank Pengkreditan Rakyat (BPR) jauh lebih sempit

V

3

Page 18: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

dibanding dengan kegiatan Bank Umum. Dalam lial penyaluran dana, BPR Iianya dapat

memberikan kredit invcstasi, kredit modal kerja dan krcdit perdagangan.

Berdasarkan data Bank Indonesia sampai bulan Oklober 2011 total kredit yang

dikucurkan perbankan Indonesia mencapai Rp 2.106,157 triliun. Kredit ini naik

dibandingkan bulan Oktober tahun 2010 yang nilainya Rp 1.675,633 triliun. Dari total

kredit tersebut, sebanyak Rp 1.957,61 triliun masuk kategori lancar. Sementara Rp 10,59

triliun masuk kategori kurang lancar, Ialu Rp 7,48 triliun masuk kategori diragukan, dan

Rp 37,856 triliun masuk kategori macet (detik.com, 2011).

Salah satu risiko yang dihadapi perbankan adalah kredit macet atau kredit

bcrmasalah. Berdasarkan data Bank Indonesia jumlah kredit bcmiasalali (NPL/Non

Performing Loan) dari perbankan per Oktober 2011 mencapai Rp 55,926 triliun, naik dari

posisi September 2011 yang scbesar Rp 56,507 triliun. Rasio NPL perbankan di Oktober

2011 mencapai 2,66%. Walaupun masih dibawali angka prosentasi ideal kredit macet

perbankan yaitu dibawah 5%, namun hal ini masih menjadi permasalahan serius yang

dihadapi oleh industri perbankan. Bank Indonesia mencatat kredit macet perbankan pada

bulan September 2011 scbesar Rp 36,9 triliun dan naik hingga Oktober 2011 jumlah

krcdit macet perbankan mencapai Rp 37,856 triliun. Kredit macet ini tercatat naik

dibandingkan dengan bulan Oktober tahun 2010 yang sebesar Rp 30,984 triliun

(detik.com.2011). Berikut data NPL Bank Umum berdasarkan scktor ekonomi yang

dicatat olch Bank Indonesia.

Tabel 1. 1

Non Performing Loan Bank Umum Berdasarkan Sektor Ekonomi

Srttor .. 2035 206 .2007

2003 2W3

" .2010- 2011

''Ekonomi ok Nov

Des

Jan Feb

Mar V ■M

ain1717 ii

IJBSS

/Vj3

2.03'

Okt

1 fitter. :r:-.r,ji 3.135 1165 2.121 1.851 743* 7756 2535 usa

1.764 1917 1076 1.703 1.741 2.135

anarijnurai

2 fali-feTOJl 1192 1101 737 911 774 1.139 1134 m 307 259 382 365 1.110 1.031 953 343 778 7703ftmi*ri3i 26.734 9.353 14

59314674 12.41

1 not iisa 10253 10892 1Q54D 11615 11.912 12247 11776 11533 12.885 13.761 13J357

lUssftgaOmi 130 755 96 77 IE 140 355 193 ISO 198 143 15? IB1 175 177 in 173 177

'. C-.-.W 1 -.-.-; IGC-3 1.642 1.355 7 3 It 2/75 2334 2237 2.563 2.566 2514 2528 25J3 2556 201 3.051 3133 1335 7z5sx$&\ tis^zr. t.m oioo E.9W 004D 17.75

412115 14034 12565 13.150 13*33 14035 14732 I51T5 HJ54 van 1510= 15447 IS'TO

isihxi

ti|hnf"i 1.971 2.13! 841 1.555 i.;t; 3073 3.500 2816 3070 3.939 3734 3S55 3735 3635 3614 3342 3091 303

EcgjirciTdji

Ijitita

S.haD.Jvi'jahj 3.3/3 3.057 2.793 3.226 3.373 123? ?.0X> 3.103 3.2CO 2.563 7JJS 220 3.04? 2803 7.783 2 741 7.622 2537

Sfcasmii'rasjral.?. (39 393 263 ?91 765 2048 1 HO 1.761 \M 1028 IB! 1933 urn 1.723 1.765 1.718 165! \W

miatilm 4.704 6.663 6.735 9.430 11.303 13ZI? 1123? KL303 11267 11.705 11512 12E22 11343 13573 13S74 13518 IKE; 11552

Sumbcr: Sumber: BI - Statistik Perbankan Indonesia Vol.9 No. 11, Oktober 2011

4

Page 19: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

Kenaikan tunggakan yang mcnimbulkan kredit bcrmasalah menjadi hal yang

knisiai bagi perbankan. Penyebab terjadinya tunggakan dapal digambarkan dalam bagan

berikul. (http://rockinbanker.blogspot.com/2011)

Gambar 1.2 Penyebab

Terjadinya Tunggakan

PENYEBAB TERJADINYA TUNGGAKAN

Page 20: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

•Pfodukft Target Mirfcct ■Proiedu." Internal 'Kapasitas ■Sutem Collection

Page 21: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

I

SI!'Ekanoml•Potltlk•ScMtal

>"

Kt'ff^lAMefllAK*

i \iM

.-.!■. i.-r-'i

■Unexpected Event •Bcitambahny.JPinJ.aman •Perubahan Profesi/ Peksrjaan

Page 22: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

•Kura.-ijnya Sj!»l •XrM'ahan Data Entry •Vertflkaji

•Kebljakan Account Maintenance yang KursngTepat•Kurang TerupdatenyainbrmaiinaiabAh•Penggunaan Pinjsman Oiluar Tujuan yang Dipe.'»:enani:an Ban'*•fteniuhnyi Stt/ke Qvatity

Page 23: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

Terjadinya tunggakan dapat discbabkan karcna beberapa hal:

1) Pcrencanaan Bank yang Kurang Mcmadai. Hal ini dapat tcrjadi karcna bank

kurang mampu menganalisa produk kredit dan target debitur. Misalnya produk yang

bclum sempurna atau target market yang salah sasaran. Hal ini dapat pula ditambah

dengan kurangsiapnya prosedur internal dan sistem collection dari bank terscbut. 2)

Turunnya Kemampuan Bayar Debitur. Kondisi ini dapat discbabkan karena antara

Iain:

a. Kondisi diluar kapasitas debitur misalnya kejadian forcemajor scperti

meninggal dunia, kccclakaan, kecurian dsb.

b. Mcnambah jumlah pinjaman diluar kapasilas kcmampuan debitur

c. Perubahan profesi atau pekerjaan yang menyebabkan berkurangnya

kemampuan debitur untuk membayar hutang.

Page 24: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

3) Account Maintenance yang Lemah. Kondisi ini dapat terjadi bila bank

mempunyai kebijakan pemberian fasilitas kredit yang salah. Ekspektasi bank

tidak sesuai dengan kondisi nasabah

4) Kesalahan dalam akuisisi pinjaman. Hal ini dapat terjadi bila cost efficiency yang

diterapkan oleh bank menimbulkan kebijakan kredit yang asal-asalan. Seperti

kurangnya kualitas pelayanan karena efisiensi pegawai dan juga kurangnya

monitoring account nasabah.

5) Masalah lingkungan bisa terjadi diluar kuasa bank dan nasabah. Misalnya

terjadinya krisis perbankan tahun 1998 menyebabkan tingkat suku bunga tinggi

dan menimbulkan nasabah tidak bisa membayar pinjamannya. Termasuk krisi

subprime mortage di tahun 2008 yang menimbulkan efek domino secara global

dan berimbas pada kondisi perbankan Indonesia.

Beberapa upaya perbankan untuk mengatasi kredit macet. Untuk menyeiesaikan

kredit macet yang berasal dari bank-bank yang modalnya sebagian atau seluruhnya

merupakan milik negara maka pengurusan dan penyelesaiannya dapat diserahkan kepada

PUPN (Panitia Urusan Piutang Negara) dengan organ pelaksananya disebut dengan

DJPLN (Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara). Adapun dasar hukum dari

pembcntukan dan tugas serta wewenang institusi ini adalah Undang-Undang Nomor 49

Tahun 1960. di dalam masalah kredit macet ini, PUPN memiliki kekuatan eksekutorial

dengan cara menerbitkan surat paksa untuk memaksakan Debitur melunasi hutangnya.

Hal ini dapat dilihat di dalam pasal 6 UU No. 49 Tahun 1960 yang berbunyi "Ketua

PUPN berwenang mengeluarkan surat paksa yang berkepala Atas Nama Keadilan"

Salah satu upaya dalam penyelesaikan kredit macet yang dilakukan oleh bank

adalah pengambilalihan asset dibitur yang dijaminkan kepada bank pada saat melakukan

pinjaman. Pengambilalihan Agunan Yang Diambil Alih (AYDA) biasanya dilakukan

karena rumitnya eksekusi Hak Tanggungan dan meningkatnya jumlah kredit macet. Hal

ini tentunya membawa pengaruh negatif terhadap tingkat kesehatan bank. Dalam

kenyataannya, pengambilalihan AYDA dilakukan melalui Perjanjian Perikatan Jual Beli

(PPJB) dan Kuasa Jual kepada bank. Kondisi ini tentu membawa resiko bagi bank itu

sendiri karena PPJB pada dasarnya belum mengalihkan status kepemilikan atas jaminan

kepada pembeli.

Pada proses selanjutnya Bank melakukan Penjualan AYDA yang dilakukan

semata-mata hanya untuk mengurangi potensi kerugian yang dialami Bank karena adanya

6

Page 25: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

piutang yang tidak tertagih. Penjualan AYDA bukan merupakan kegiatan usaha bank,

juga didukung dihapusnya ketentuan Pasal 6 huruf k UU Perbankan yang berkaitan

dengan pengambilalihan dan penjualan agunan dari kegiatan usaha bank umum pada UU

No. 10/1998 tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1-992 tentang Perbankan.

Penyerahan AYDA berupa Barang Kena Pajak (BKP) dari debitur kepada bank

merupakan penyerahan BKP untuk jaminan utang piutang. Di samping itu, penjelasan

pasal L2A UII Perbankan No. 10/1998 mengatakan bahwa pembelian agunan oleh bank

dimaksudkan semata-mata agar dapat mempercepat penyelesaian kewajiban debitur dan

bank juga tidak diperbolehkan untuk memiliki agunan tersebut dan secepatnya agunan

tersebut dicairkan/dijual kembali.

1.2 Identifikasi Masalah

Paska pengesahan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan

Ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM,

Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Surat Edaran Nomor SE - 121/PJ/2010 tertanggal

23 November 2010 tentang Penegasan Perlakuan PPN atas Kegiatan Usaha Perbankan.

Berkaitan dengan SE-121/PJ/2010 tersebut, perlakuan PPN terhadap kegiatan usaha bank

umum dapat dibedakan menjadi sebagai berikut:

a. kegiatan usaha bank umum yang merupakan penyerahan jasa keuangan yang tidak

terutang PPN, yang karakteristiknya sebagai berikut :

1) jasa keuangan yang diserahkan berupa jasa pembiayaan yang mendapatkan

imbalan berupa bunga, atau

2) jasa keuangan yang diserahkan secara langsung oleh bank kepada nasabah, dalam

hal jasa keuangan tersebut bukan jasa pembiayaan; dan

b. kegiatan usaha bank umum yang merupakan penyerahan jasa yang terutang PPN.

Salah satu upaya dalam penyelesaikan (credit macet yang dilakukan oleh bank

adalah pengambilalihan Angunan Yang Diambil Alih (AYDA). Menurut SE-121/PJ/2010

tersebut, bank umum dianggap juga dapat melakukan kegiatan yang bukan merupakan

penyerahan jasa. Dalam hal ini, bank dapat melakukan penjualan agunan, yang telah

diambil alih oleh bank tersebut yang berdasarkan SE-121/PJ/2010 merupakan penyerahan

Barang Kena Pajak yang terutang PPN. Hal ini tentu menimbulkan suatu permasalahan,

karena dampak kebijakan ini bukan saja meluas pada aspek ekonomis tetapi juga aspek

administrasi perpajakan.

7

Page 26: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

Selain masalah AYDA, upaya bank untuk melakukan promosi melakukan

pemberian hadiah juga pada akhirnya menimbulkan dispute dalam perlakuan

pemajakannya. Hal ini dikarenakan UU PPN menjadikan pemakaian sendiri dan

pemberian cuma-cuma sebagai obyek PPN berupa penyerahan BKP yang terbutang PPN.

Berdasarkan latar belakang tersebut, terdapat beberapa masalah yang perlu dikaji,

yaitu:

1. Perlakuan PPN Atas Pengalihan Aktiva Yang Semula Tidak Untuk Diperjualbelikan

2. Perlakuan PPN Atas Agunan Yang Diambilalih (AYDA)

3. Perlakuan PPN Atas Pemberian Cuma-cuma

1.3 Tujuan Kajian

Tujuan dibuatnya Kajian Akademik ini adalah sebagai landasan ilmiah bagi

penyusunan kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan usaha perbankan, yang

memberikan arah, dan menetapkan ruang lingkup bagi penyusunan peraturan

pelaksanaannya. Berdasarkan identifikasi masalah tersebut di atas, maka yang menjadi

tujuan penulisan kajian akademik ini adalah sebagai berikut:

1. Memetakan kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan jasa perbankan

2. Menganalisis perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas AYDA

3. Menganalisis perlakuan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pengalihan Aktiva Yang

Semula Tidak Untuk Diperjualbelikan

4. Menganalisis perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas pemberian cuma-cuma (dan

pemakaian sendiri).

V

8

Page 27: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

BAB 2 KERANGKA TEORI

2.1 Peran Pemerintah dan Kebijakan Fiskal

Dalam perekonomian modem, peran pemerintah dapat diklasifikasikan dalam tiga

golongan besar, yaitu: peran alokasi, yaitu peranan pemerintah dalam alokasi sumber

ekonomi, peranan distribusi, dan peranan stabilisasi. Hal ini sejalan dengan pendapat

Musgrave dan Musgrave bahwa fungsi utama pemerintah yaitu fungsi alokasi, yang

dimaksudkan untuk mengatasi kegagalan pasar (market failure) dan inefisiensi dalam

mengalokasikan sumber-sumber ekonomi. Pemerintah juga mempunyai fungsi distribusi

yang dimaksudkan untuk menjamin terpenuhinya distribusi pendapatan dan kekayaan

kepada masyarakat agar tercapai distribusi yang merata dan adil. Fungsi stabilisasi

dimaksudkan sebagai penggunaan kebijakan anggaran sebagai suatu alat untuk

mempertahankan tingkat kesempatan kerja yang tinggi, tingkat stabilitas harga dan laju

pertumbuhan ekonomi yang tepat.

Setiap negara mempunyai cara yang berbeda untuk mendapatkan penerimaan.

Pemerintah dapat melakukan pemungutan pajak. Pajak digunakan sebagai salah satu

instrumen dalam kebijakan fiskal. Pengertian kebijakan fiskal menurut Rahayu adalah

"kebijakan pemerintah dengan menggunakan belanja negara dan perpajakan dalam

rangka menstabilkan perekonomian" (Rahayu, 2010,hal.l). Dengan demikian, kebijakan

fiskal merupakan salah satu kebijakan ekonomi makro yang sangat penting. Mansury

mendefinisikan kebijakan fiskal dalam pengertian Iuas sebagai "kebijakan untuk

mempengaruhi produksi masyarakat, kesempatan kerja dan inflasi, dengan

mempergunakan instrumen pemungutan pajak dan pengeluaran belanja negara"

(Mansury, 1999, hal.l).

Pajak mempunyai peranan yang penting dalam mendukung pelaksanaan fungsi

negara. "The main purpose of taxation is to generate sufficient revenue to finance public

sector activities in a non-inflationary waf (Bird dan Zolt, 2003, hal 9) Di negara

berkembang, motivasi utama pemajakan adalah pengumpulan dana pembiayaan

pemerintahaan dalam penyediaan barang dan jasa publik, disamping motivasi lainnya

adalah redistribusi penghasilan dan penyesuaian kekurangsempumaan mekanisme pasar

(Gunadi, 2002,hal2). Jadi pada hakekatnya pajak mempunyai fungsi utama yaitu untuk

mengisi kas negara (to raise or to generate government's revenue), yang disebut sebagai

fungsi budgetair a$u fungsi penerynaan (revenue function). Oleh karena itu, Rosdiana

9

Page 28: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

mengatakan bahwa "suatu pemungutan pajak yang baik seharusnya memenuhi asas

revenue productivity (Rosdiana dan Irianto, 2012, hal.40).

Namun demikian, pajak tidak hanya sebagai ftingsi untuk mengisi kas negara

(fungsi budgetair) sebagaimana telah diuraikan di atas. Pajak juga dapat digunakan oleh

pemerintah sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang ditetapkan oleh

pemerintah. Pajak dapat digunakan untuk berbagai program pemerintah, sebagaimana

disitir oleh Karayan dan Swenson

"taxes impQse costs on transactions, taxes affect human behavior, and thus can be (and are) used by governments to try to shape society. Indeed, the primary purpose of some taxes—such as excise taxes on the safe of machine guns, tobacco, and pollutants—is to further social engineering goals" (Karayan dan Swenson, 2007, hal.5).

Sistem pajak juga akan mempengaruhi perilaku masyarakat, karena pajak juga menjadi

biaya yang cukup signifikan. Maka perencanaan pajak menjadi penting bagi pelaku usaha

untuk membuat keputusan keuangan terbaiknya. Hal tersebut merupakan fungsi mengatur

dari pajak (fungsi regulating/regulernd). Sebagaimana dikatakan oleh Bird dan Zolt

bahwa "The tax system can be used to encourage or discourage certain activities" (Bird

dan Zolt, 2003, hal.34)

2.2 Konsep Pajak Pertambahan Nilai

Pada saat ini perkembangan penerimaan pajak atas konsumsi terus meningkat dan

menjadi sumber penerimaan yang diperhitungkan, terutama hampir seluruh negara-negara

OECD. Hal ini sejalan dengan peningkatan perdagangan international barang dan jasa

yang sangat cepat sebagai hasil dari globalisasi yang dipacu melalui deregulasi,

privatisasi dan revolusi teknologi informasi. Termasuk juga masalah-masalah

administrasi yang berhubungan dengan perkembangan perdagangan internasional. Oleh

sebab itu OECD merekomendasikan perlunya perhatian terhadap penerimaan pajak atas

konsumsi. Para perumus kebijakan (policy maker) dan administrator negara (legislator)

juga harus lebih menanih perhatian yang seksama terhadap pajak atas konsumsi yang

diterapkan secara internasional, (http://www.oecd.org/document,2004) dengan tetap

memperhatikan kemudahan, tidak berbelit dan pasti dalam pelakasanaannya.

Dalam mendesain kebijakan pajak atas konsumsi, pemerintah suatu negara

hendaknya memahami konsep dan teori yang mendasari apakah akan mengenakan pajak

dengan sistem pemungutan Pajak Penjuaian atau sistem pemungutan Pajak Pertambahan

10

Page 29: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

Nilai. Oleh sebab itu perlu pemahaman terhadap legal character yang dapat didefinisikan

sebagai ciri-ciri atau nature dari suatu jenis pajak. Pemahaman tentang feature dan

nature dari suatu jenis pajak perlu dipahami sebagai petunjuk daiam menentukan sistem

pemungutan pajak atas konsumsi mana yang akan dipilih. Juga akan memberikan

konsekuesi bagaimana sebaiknya pajak tersebut hams dipungut. Sehingga akibat yang

ditimbulkan dari kebijakan yang ditempuh dapat dianalisa dan dijelaskan berdasarkan

konsep dan teori yang mendasari. Dengan demikian, legislative structure dan interpretasi

dari suatu terminologi seharusnya dipandu oleh legal character. Berkaitan dengan hal ini,

Terra mengatakan: " Basically it means that the intrinsic nature of a tax should be the

guiding principle in determining its consequences and not just the label, or the name of a

te*"(Terra, 1988, hal7).

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bukanlah suatu bentuk perpajakan baru, namun

pada dasarnya merupakan Pajak Penjualan yang dibebankan dalam bentuk yang berbeda.

Oleh karena itu maka Legal Character dari Pajak Pertambahan Nilai adalah juga sebagai

Pajak Tidak Langsung atas Konsumsi yang bersifat umum ( general indirect tax on

consumption) yang dipungut dengan sistem yang berbeda dari Pajak Penjualan. Dengan

berbagai kelebihannya, konsep Pajak Pertambahan Nilai ini sekarang diterapkan hampir

di seluruh negara di dunia, teruama di negara-negara Eropa.

2.2.1 Legal Character dari Pajak Pertambahan Nilai

2.2.1.1 Bersifat Umum (General)

Pertama, Pajak Penjualan merupakan pajak atas konsumsi yang bersifat umum.

Pengertian bersifat umum {general) yaitu bahwa Pajak penjualan (sales tax) dikenakan

terhadap semua atau sejumlah besar barang (dan termasuk jasa). Inilah yang

membedakannya dengan jenis pajak lainnya yaitu excise tax (di Indonesia dikenal dengan

cukai). Sales tax bersifat general, sedangkan excise atau commodity taxes bersifat

specific. Jadi artinya, Pajak Penjualan dikenakan terhadap semua barang, sedangkan

excise hanya dikenakan atas barang-barang tertentu atau golongan barang tertentu saja

seperti tembakau, minuman beralkohol.

Ditegaskan oleh Terra, "A sales taxis a general tax on consumption"(Terra, 1988,

hal.8) artinya bahwa Pajak Penjualan merupakan pajak atas konsumsi yang bersifat

umum, yang dikenakan pada semua pengeluaran (private expenditure). Sebagai

konsekuensinya, maka tidak boleh ada diskriminasi, karena Pajak Penjualan seharusnya

tidak dibedakan aatara pengeluaran: untuk barang-barang dan jasa, dimana keduanya

11

Page 30: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

adalah pengeluaran untuk tujuan konsumsi. Apabila pajak atas konsumsi dimaksudkan

untuk mencakup secara umum dan menghindari distorsi ekonomi, maka seharusnya yang

menjadi objek Pajak Penjualan tidak hanya saja mencakup barang tetapi juga atas jasa..

"If a tax on consumption is to provide a uniform coverage and avoid economic distortion,

it should apply to all sales of services as well as goods. " (United Nation, 1976, hal.72).

Jadi bukan hanya barang saja atau jasa saja, karena pengeluaran itu bisa dalam bentuk

barang maupun jasa. Pada hakekatnya barang tertentu juga menjadi pengganti atas jasa

tertentu. Misalnya, jika mesin cuci dikenakan pajak, maka jasa binatu/cuci baju (laundry)

juga harus dikenakan pajak, karena Pajak Penjualan sebagai pajak atas konsumsi

ditujukan untuk mengurangi pemakaian dari penghasilan seseorang atau bahagian yang

dibelanjakan. Dengan kata lain pengenaan Pajak Penjualan adalah untuk semua

pengeluaran (private expenditure) baik barang maupun jasa.

2.2.1.2 Tidak Langsung (Indirect)

Kedua, Pajak Penjualan merupakan pajak tidak langsung. Ciri-ciri Pajak Tidak

Langsung yang dapat membedakannya dari Pajak Langsung antara lain:

• Tidak memperhatikan keadaan Wajib Pajak seperti jumlah penghasilan, namun

hanya akan dipungut pajak kalau pada suatu ketika terdapat suatu peristiwa atau

perbuatan seperti penyerahan barang (Brotodihardjo, 1993, 85). Misalnya jika

seseorang membeli mesin cuci, maka akan dikenakan Pajak Penjualan.

• Suatu pajak dimana Wajib Pajak dapat melimpahkan beban pajaknya baik

seluruhnya atau sebagian kepada orang atau pihak lain. Beban pajak yang dialihkan

dapat berupa forward shifting atau backward shifting. Dengan kata Iain, tidak selalu

harus konsumen yang roemikul beban Pajak Penjualan sepenuhnya/seutuhnya. Beban

pajak ini bisa saja dipikul sebagian oleh penjual dengan cara mengurangi keuntungan

dan atau melakukan efisiensi. Beban pajak dapat dilimpahkan ke depan kepada

konsumen (jika forward shifting), tergantung dari elasitas harga permintaan dan

penawaran dari suatu barang. Beban pajak juga dapat dilimpahkan ke belakang

kepada faktor-faktor produksi dari produksen (backward shifting). Oleh sebab itu

dalam banyak hal, pembeli akhir akan membayar sebagian (atau seluruhnya) dari

pajak tidak langsung ini. Hal ini sejalan dengan pengertian yang disampaikan oleh

Newman:

"Shifting may be either forward or backward. The difference here is to the directionof movement from point of impact. If shifting is toward the consumer, it

12

Page 31: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

is said to be forward; if toward the factors of productions or their owners, it is said to be backward. Forward shifting means that price is higher than it would otherwise be; backward shifting means that price is towered below what it would otherwise be. Suppose, for example, that a tax is levied on a manufacturer of a consumer good; the tax may be shifted forward toward the consumer in a higher price of the good in question, or it may be shifted backward in (say) lower wages. It is, of course, possible that in a given case a tax may be shifted partly forward and partly backward" /Newmanl968, hal. 261-262)

Meskipun konsumen merupakan pihak yang memikul beban pajak terakhir (destinataris),

namun yang ditentukan untuk melakukan kewajiban pajak (antara lain memungut,

menyetor dan melaporkan pajak yang terutang) adalah Pengusaha Kena Pajak (taxable

person). Penjual akan bertindak sebagai terminal atau kolektor untuk mclakukan

kewajiban pajak. Pembeli terutama konsumen akhir (end user) akan sulit untuk

ditentukan melakukan kewajiban pajak, karena secara administratif menjadi tidak mudah

(feasibel). Dapat dibayangkan jika semua pembeli, harus melakukan pekerjaan

administratif pajak, tentu cost of collection akan tidak efisien.

• Dalam administrasi pelaksanaannya, jenis Pajak Tidak Langsung antara lain Pajak

Penjualan, Pajak Peredaran, Pajak Pertambahan Nilai dan Cukai (excise duties)

seperti alkohol, tembakau, dapat terutang setiap saat. Baik pada saat impor atau

ekspor barang, saat membayar secara langsung barang yang dibeli, atau pada saat

terjadi transaksi.

2.2.1.3 Atas Dasar Konsumsi (on Consumption)

Ketiga, Pajak Penjualan berdasarkan atas konsumsi (on consumption). Menurut

pengertian dari United Nation, Pajak Penjualan didefinisikan sebagai:

"A Sales Tax may be defined as a tax charged on the sales of a wide range of goods or on factors incidental to sales such as production, the movement of goods, the legal act of transfer of ownership, the actual delivery of goods or the rendering of services, or the payment or invoicing of the amount of the consideration involved "(United Nation, hal.l).

Pajak penjualan dipungut atas sejumlah uang yang melekat pada penjualan barang

atau jasa, yang merupakan komponen dari biaya dalam formulasi harga. Pengertian

konsumsi lebih ditujukan sebagai pengeluaran (expenditure) oleh konsumen untuk

mengkonsumsi barang. Pajak akan dipungut segera setelah orang mengeluarkan uangnya

dan hanya memungut bagian belanja yang dikeluarkan untuk konsumsi.

13

Page 32: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

Semua konsumsi dihubungkan dengan peristiwa atau perbuatan atau kejadian

yang dapat berupa penjualan, pembelian, peredaran. Peristiwa ini mungkin tidak satu kali,

tapi merupakan peristiwa yang lebih dari satu kali. Jadi pengertian konsumsi bukan

sekedar mengkonsumsi suatu barang yang habis dipakai seperti makanan, namun lebih

kepada pengertian pengeluaran untuk membelanjakan uang untuk barang terraasuk

barang yang akan diolah lebih lanjut.

2.2.2 Pengertian Value Added Tax

Pajak Pertambahan Nilai (Value Added Tax atau Belasting Toegevoegde Waarde)

pada dasarnya merupakan Pajak Penjualan yang dipungut beberapa kali {multyple stage

levies) atas dasar nilai tambah yang timbul pada semua jalur produksi dan distribusi. Jadi

PPN ini dapat dipungut beberapa kali pada berbagai mata rantai jalur produksi dan

distribusi namun hanya pada pertambahan nilai yang timbul pada setiap jalur yang dilalui

barang dan jasa. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Ebrill dkk bahwa:

"The key features of the Value- Added Tax are that it is a broad-based tax levied at multiple stage of production, with - crucially - taxes on iputs credited against taxes on output. That is. while sellers are required to charge the tax on all their sales, they can also claim in a credit for taxes that they have been charged on their input" (Ebrill dkk, 2001, hal.3)

Nilai tambah tersebut tercermin pada selisih harga penjualan dengan harga

pembelian. Selisih ini merupakan nilai tambah yaitu semua biaya yang dikeluarkan dalam

memproduksi suatu barang atau menjual kembali barang tersebut. Nilai tambah ini timbul

karena dipakainya faktor produksi di setiap jalur peredaran dalam menyiapkan,

menghasilkan, menyalurkan dan memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan

jasa kepada para konsumen. Juga semua biaya untuk mendapatkan dan mempertabankan

laba termasuk bunga modal, sewa, penyusutan dan upah kerja. Pada setiap produksi nilai

produk dan harga jual produk selalu terdapat nilai tambah antra lain, yang utama, karena

setiap penjual menginginkan adanya keuntungan sehingga dalam menentukan harga jual,

harga perolehan ditambah dengan laba bruto (mark up).

Sasaran yang dikenakan PPN adalah hanya pertambahan nilai yang merupakan

biaya yang dikeluarkan untuk faktor produksi mulai bahan baku/bahan pembantu

diterima, proses produksi, sampai hasil siap dijual. Pertambahan nilai ini timbul karena

dipakainya biaya-biaya faktor produksi di setiap jalur produksi dan distribusi. Biaya-

biaya tersebut akan tercermin dalam harga barang yang akan dijual.v

14

Page 33: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

Kelebihan Pajak Pertambahan Nilai adalah:

a. Fiscal Advantages

Bagi pemerintah, terdapat beberapa keuntungan jika menerapkan VAT. Pertama,

karena cakupan yang luas yang meliputi seluruh jalur produksi dan distribusi sehingga

potensi pemajakannya juga besar. Kedua, karena sangat mudah untuk menimbulkan value

added di setiap jalur produksi dan distribusi sehingga potensi pemajakannya semakin

besar. Terakhir, dengan menggunakan sistem invoice (Faktur Pajak) lebih mudah untuk

mengawasi pelaksanaan kewajiban perpajakan oleh Wajib Pajak serta mendeteksi adanya

penyalahgunaan hak pengkreditan Pajak Masukan. PPN sebagai pajak tidak langsung

dikenakan pada setiap jalur produksi dan distribusi merupakan mesin uang (money

machine) pemerintah untuk menghimpun sumber penerimaan negara yang produktif.

b. Psycological Advantages

Keuntungan psikologis dari pajak tidak langsung adalah sering kali pembayar

pajak tidak menyadari telah membayar pajak. Sebagai salah satu bentuk pajak tidak

langsung, keuntungan ini pun melekat (inherent) dalam PPN, karena pajak pada

umumnya sudah dimasukkan ke dalam harga jual/harga yang dibayar oleh konsumen,

maka seringkali konsumen tidak menyadari bahwa dia sudah membayar pajak. Hal ini

berbcda dengan Pajak Penghasilan dimana pegawai, misalnya merasakan langsung beban

pajak tersebut karena langsung mengurangi gaji yang diterimanya, sementara jika

penghasilan tersebut dibelanjakan, umumnya tidak disadari bahwa ada beban pajak yang

telah dibayar karena harga barang/jasa yang dikonsumsi sebenamya sudah termasuk PPN

yang dibayar.

c. Economic Advantages

PPN sebagai pajak atas konsumsi, maka keunggulan dari consumption-based

taxation adalah netral terhadap pilihan seseorang apakah akan saving terlebih dahulu

ataukan langsung mengkonsumsikan penghasilan yang didapatnya. PPN juga diyakini

dapat membentuk modal (capital formation) serta mendorong pertumbuhan ekonomi

lebih cepat.

2.2.3 Konsepsi Penyerahan Yang Terutang PPN (Taxable Supplies)

Dalam mendefinisikan Penyerahan Barang (supply of goods) dalam lingkup PPN

perlu memperhatikan pengertian yang diterapkan pada konsep hukum bisnis (commercial

15

Page 34: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

or consumer law). Definisi umum yang digunakan adalah penyerahan barang merupakan

pengalihan hak untuk menguasai barang, baik barang bergerak {tangible movable

property) maupun barang tidak bergerak (immovable property). Supply of Goods menurut

William dalam Victor Thuronyi dalam buku Tax Law Design and Drafting Volume 1,

yaitu: "A possible definition of supply of goods is transfer of the right to dispose of

tangible movable property or immovable property other land of service, and leasing

defined to include transfer of intangible property in assets" (William, 1996, hal. 185)

Dengan demikian, esensi dari penyerahan adalah adanya perpindahan hak milik untuk

menguasai barang tersebut.Transaksi jual beli dan berbagai bentuk penyerahan BKP yang

menyebabkan terjadinya pengalihan hak atas suatu BKP merupakan transaksi yang

lazimnya dipilih untuk dijadikan sebagai taxable supplies.

Selanjutnya William sebagaimana dikutip Thuronyi, menyatakan bahwa lajimnya

semua transaksi dalam ruang lingkup yang dikenakan PPN, bila dipenuhi syarat-syarat:

1) the transactions are "supplies of goods and services";2) those supplies are "taxable" and not exempt from VA T;3) those taxable supplies are made by a "taxable person ", that is, a person within

the scope of the charge to VAT; and4) the taxable person makes those supplies as part of the person's business activities,

and not as part of a hobby or noncommercial activity" (William, 1996, hal. 173).

Pendapat William tersebut di atas Icbih cenderung menunjukan syarat-syarat yang

bersifat kumulatif (bukan alternatif). Ruang lingkup PPN yang luas dimaksudkan untuk

mengenakan PPN atas setiap transaksi ekonomi yang biasanya lebih luas dari transaksi-

transaksi usaha Iainnya (dalam kontek komersial). Tcrminologi yang digunakan untuk

transaksi-transaki yang dikenakan PPN digunakan terminologi "supply of goods" dan

"supply of services".

Mirip dengan pendapat William, menurut Tait dalam buku Value Added Tax,

penyerahan barang dapat diarikan sebagai:

1) Exclusive ownership is passed to another person1) The transfer takes place over the time under an agreement such as lease or hire

purchase2) Goods are produced from someone else "s materials2) A major interest in land is provided, that is, the use of land for a long periode of

time3) Goods are taken from a company for private use4) A bussines assets is transferred" (Tait, 1988,hal.3 86-387).

Konsep penyerahan barang menurut Tait mencakup adanya perpindahan

kepemilikan suatu barang dari satu pihak ke pihak Iainnya. Perpindahan kepemilikanv

Page 35: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

16

Page 36: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

terjadi didasarkan suatu perjanjian selama periode tertentu, misalnya leasing atau sewa

beli. Barang yang dihasilkan bersumber dari bahan baku yang diperoleh dari pihak lain.

Penetapan kepentingan utama pada tanah yaitu atas pemakaian tanah untuk jangka waktu

yang lama missal Hak Guma Bangunan (HGU). Barang diperoleh dari perusahaan untuk

pemakaian sendiri. Aset usaha yang dialihkan merupakan kategori penyerahan barang.

Selanjutnya jika yang berpindah adalah kegunaan barang, bukan barang itu sendiri

maka tidak termasuk ke dalam penyerahan barang, tetapi penyerahan jasa. Seperti yang

dikatakan William dalam Victor Thuronyi sebagai berikut: " A supply of goods is not

constituted merely by a transfer of possession, which is a transfer of the use of goods, not

of the goods themselves. A transfer of the use of goods is a supply of services"

(William,hal. 174).

PPN dikenal juga dengan istilah general consumption value added tax, yang

mengacu pada legal character dari pajak penjualan sebagai pajak tidak langsung atas

konsumsi yang bersifat umum (general indirect tax on consumption). Transaksi-transaksi

biasanya dikatakan dalam ruang Hngkup PPN jika merupakan "supplies of goods or

services" (Thuronyi, 1996, hal. 184).

Pengertian "supply of goods" dalam UU PPN Indonesia digunakan istilah

Penyerahan Barang. Dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a ditegaskan bahwa Pajak Pertambahan

Nilai dikenakan atas Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang

dilakukan oleh Pengusaha.

2.2.4 Konsepsi Taxable Person dan Business Activities

Penyerahan Barang Kena Pajak adalah penyerahan barang atau transaksi yang

dikenakan PPN {taxable supply). Pengusaha Kena Pajak (taxable person) yang dalam

kegiatan usaha atau pekerjaannya melakukan penyerahan Barang Kena Pajak wajib untuk

memungut dan membayar PPN yang terutang. Sebagaimana dikutip di atas, bahwa "the

taxable person makes those supplies as part of the person s business activities, and not as

part ofa hobby or noncommercial activity'' (Thuronyi, 1996, hal. 185). PPN adalah pajak

atas penyerahan barang dan jasa yang merupakan bagian dari kegiatan ekonomi. Oleh

sebab itu ruang Hngkup kegiatan, transaksi, penyerahan yang dikenakan PPN adalah

hams sesuai dengan kegiatan usahanya dan bukan dikenakan pada kegiatan lainnya yang

tidak ada hubungannya dengan usaha atau "main business"nya. Karena itu, kegiatan yang

tidak ada hubungan dengan kegiatan usaha, seperti kegiatan kegemaran/hobi seseorang

hams dipisahkan dari kegiatan usahanya.

17

Page 37: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

Istilah umum yang digunakan dalam literatur berbahasa Inggris untuk

menjelaskan Pengusaha Kena Pajak dalam cakupan yang dikenakan PPN adalah "taxable

person". Terminologi ini digunakan di beberapa negara termasuk the Sixth Directive

yang digunakan oleh Central and Eastern European Countries menggunakan istilah

taxable person yaitu the person who has to account for and remit VAT. Taxable persons

are liable to tax on all amounts received or receivable by them for taxable supplies made

in the course of business, trade, or similar activity (OECD, 1998, hal.33).

Terminologi ini digunakan untuk dapat membedakan dengan person dalam arti

"taxpayer" (Wajib Pajak). Person disini adalah yang menerima taxable supply

(penyerahan kena pajak). Berbeda pula dengan pengertian "persons responsible" yaitu

bukan taxpayer, tetapi mempunyai kewajiban untuk memungut dan membayar pajak.

Contoh dalam UU PPN adalah Pemungut PPN yang kedudukannya belum tentu sebagai

"taxable person" seperti Bendaharawa karena tidak melakukan taxable supply, namun

ditentukan sebagai person yang bertanggung jawab untuk melakukan kewajiban

perpajakan ("taxable responsible).

Oleh karena itu istilah Subjek Pajak tidak lazim digunakan dalam literatur VAT.

Jadi Pengusaha Kena Pajak tidak dikategorikan sebagai Subjek Pajak. Demikian pula

dalam UU PPN tidak ditemukan istilah Subjek Pajak seperti halnya dalam UU PPh.

Dengan demikian, dalam cakupan PPN hanya akan membedakan antara:

• Pengusaha Kena Pajak (taxable person) yaitu orang atau badan bertanggung

jawab untuk melakukan kewajiban pajak antara lain memungut, menyetor dan

melaporkan pajak yang terutang. PKP ini akan menjadi pemungut (tax collector) dan

akan memungut pajak dari konsumennya atas penyerahan barang dan/atau jasa

(taxable supply). Dalam transaksi yang terutang pajak, PKP yang akan menanggung

pajak yang terutang. Namun karena PPN merupakan pajak tidak langsung (indirect

tax), maka beban pajaknya dapat dilimpahkan kepada pihak lain atau konsumen.

• Konsumen adalah orang yang sebenarnya memikul beban pajak (tax burden)

karena merupakan orang yang menerima akibat dari backward shifting dari PKP (tax

incidence), sehingga konsumen sering disebut destinataris yang tidak dituntut untuk

melakukan kewajiban perpajakan yang dikehendaki oleh undang-undang.

Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak meliputi

baik Pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimanan

diatur dalam Pasal 3 A ayat (1) maupun Pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi

18

Page 38: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

Pengusaha Kena Pajak tetapi belum dikukuhkan. Jika Pengusaha yang belum dikukuhkan

sebagai Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (dan/atau Jasa

Kena Pajak), maka penyerahan Barang Kena Pajak (dan/atau Jasa Kena Pajak) tenitang

PPN. Jika Pengusaha Kena Pajak tersebut tidak memungut PPN yang tenitang karena

Penyerahan Kena Pajak tersebut, maka kantor pajak berhak untuk mengenakan PPN

tersebut kepada Pengusaha Kena Pajak.

2.2.5 Metode Penghitungan Pajak Pertambahan Nilai

Metode penghitungan PPN yang dipilih di Indonesia adalah menerapkan The

Indirect Substraction Method (invoice-based credit atau credit method). Metode ini

merupakan metode yang paling umum digunakan dalam menghitung PPN di beberapa

negara. Melalui metode ini, pengusaha pada setiap tingkat produksi sampai dengan

distribusi mengenakan PPN atas penjualannya kepada konsumen (the VAT on its output),

mengkreditkan PPN yang telah dibayar pada waktu pembelian (the VAT on its input) dan

membayar pajak ke Kas Negara. Pajak yang tenitang adalah selisih antara (tarif x nilai

penjualan) dan (tarif x nilai pembelian). Dengan kata lain pajak yang tenitang merupakan

selisih antara pajak yang dipungut pada waktu penyerahan barang (jasa) dengan pajak

yang dibayar pada waktu pembelian/perolehan barang (jasa).

Dalam konsep PPN di Indonesia dikenal dengan Pajak Keluaran dikurangi dengan

Pajak Masukan. Jadi yang dikurangkan disini adalah pajaknya. Karena adanya sistem

kredit pajak maka metode ini dikenal juga dengan metode kredit (credit method). Untuk

mengetahui bcrapa jumlah pajak yang dipungut dan yang telah dibayar, dibuktikan

dengan adanya Faktur Pajak. Karena dalam kredit pajak akan dapat berjalan baik bila

didukung dengan adanya Faktur Pajak, maka metode ini dikenal juga dengn metode

Faktur Pajak (Invoice Method). Metode ini merupakan metode asli dari model

Masyarakat Ekonomi Eropa.

Menurut Terra, ada 3 (tiga) kelebihan utama metode Tax Credit, yaitu pcrtama,

metode ini hampir secara universal digunakan di banyak negara. Kedua, metode

penghitungan VAT selain metode Tax Credit pada umumnya lebih memerlukan laporan

tahunan daripada laporan bulanan atau kwartalan (triwulanan). Tentunya hal ini akan

sangat membantu pemerinah karena lebih selaras dengan asas revenue productivity.

Ketiga, metode Tax Credit memberikan kontribusi yang penting, bukan saja bagi

penegakkan hukum PPN itu sendiri, tetapi juga bagi kepentingan pemeriksaan Pajak

19

Page 39: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

Penghasilan. Ha] ini dapat dilihat dalam konteks kebijakan pemeriksaan pajak di

Indonesia yang juga kerap kali menerapkan metode equalisasi antara PPN dan PPh.

«

2.2.6 Yurisdiksi Pemajakan dalam Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai

Berdasarkan destination principle alau prinsip tujuan barang, negara yang berhak

mengenakan pajak adalah negara dimana barang diproduksi atau dimana barang tersebut

dikonsumsi. Jika barang di impor maka akan kena pajak, tetapi jika barang di ekspor

maka tidak akan dikenakan pajak.

"In VAT that defines its tax jurisdictional reach on the destination principle, the tax is imposed in the country of consumption - generally where the goods and services are delivered for personal consumption. Imports are subject to VAT and exports are free of VAT. Most nations with destination principle VAT's tax only some imported services and zero rate only some exported services" (Schenk dan Oldman,2007, hal.22).

Hampir banyak Negara sekarang ini menggunakan prinsip tujuan barang, karena

lebih netral untuk perdagangan international. Hal ini diiakukan dalam rangka harmonisasi

perpajakan demi tercapainya iklim perdagangan international yang fair dan netral. Begitu

juga dengan kebijakan Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia, menganut prinsip asal

barang atau destination principle.

2.2.7 Penentuan Pengenaan PPN atas Barang Kena Pajak

Pada penjelasan legal character disebutkan bahvva Pajak Penjualan (PPn)

merupakan pajak atas konsumsi yang bersifat umum {general) dan ditujukan pada semua

private expenditure. Sebagai konsekwensinya, maka tidak boleh ada diskriminasi atau

pembedaan antara barang dan jasa, karena keduanya merupakan pengeluaran. Karena itu,

yang dapat menjadi objek PPN adalah konsumsi untuk barang dan konsumsi untuk jasa.

Setelah menetapkan konsumsi barang masuk dalam lingkup objek PPN, langkah

selanjutnya adalah mengkaji pengertian barang, untuk kemudian dipilih altcrnatif yang

paling tepat, yang sesuai dengan konsep Value Added Tax, tetapi sekaligus asas-asas

pemungutan pajak (antara lain asas revenue productivity, equality dan ease

administration).

Dalam menentukan dan merumuskan pengertian barang yang dikenakan, hams

dilihat legal character yang lain, yaitu on consumption. Konsekuensi karakteristik

tersebut adalah bahwa pengertian barang dapat mencakup pengertian yang luas, yaitu

semua barang tanpa membedakan apakah barang tersebut digunakan/habis sekaligus

ataupun digunakan/habis secara bertahap/berangsur-angsur. Dengan demikian, pengertian

Page 40: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

20

Page 41: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

barang ini dapat mencakup Barang Konsumsi (Consumer Product), Bahan Baku dan

Barang Modal.«

Legal character K/tTmemungkinkan semua barang dijadikan sebagai obyek PPN

tanpa memperhatikan untuk apa barang tersebut digunakan. Dalam merumuskan

pengertian barang, harus diperhatikan bahwa barang yang dikenakan pajak tersebut harus

merupakan private expenditure. Karena itu public expenditure atau pengeluaran/belanja

pemenntah, dapat saja dikecualikan sebagai obyek PPN. Pertimbangannya, selain

pengecualian ini dimungkinkan secara konsep/teori, juga dengan alasan kemudahan

administrasi. Memajaki pengeluaran/belanja pemerintah, pada hakekatnya dapat

dianalogikan seperti 'keluar dari kantong kanan, masuk ke kantong kiri. Dengan kata lain,

secara aggregate, PPN yang diterima oleh pemerintah adalah nihil. Pada prinsipnya semua

barang adalah Barang Kena Pajak (BKP), kecuali barang-barang tertentu yang diatur oleh

pemerintah sebagai Barang Tidak Kena Pajak (BTKP) (Rosdiana, Irianto dan

Putranti,2011, 117). Dalam sistem PPN di Indonesia, pengertian barang meliputi:

i. barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa

a. Barang bergerak, atau

b. Barang tidak bergerak

ii. barang tidak berwujud

Perbedaan pengertian kedua jenis barang tersebut menurut hukum perdata untuk

memberikan pemahaman yang lebih mendalam dapat dibedakan atas:(KUHP Pasal 506

sd518).

a) Benda (Berwujud/ tangible)

a. Benda Bergerak (movable property/asset)

b. Benda Tidak Bergerak (immovable property/asset)

b) Hak (Tidak Berwujud///; tangible)

a. Hak Bergerak (movable right)

b. Hak Tidak Bergerak (immovable right)

Oleh karena itu, ketentuan hukum mengenai Barang Tidak Bergerak dan Barang

Bergerak perlu untuk diketahui. Terutama untuk kepentingan penafsiran undang-undang

perpajakan, jika memang ada peraturan yang mengatur secara khusus perlakuan pajak

yang berbeda atas kedua jenis barang ini.

21

Page 42: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

2.3 Asas-asas Pemungutan Pajak

2.3.1 Asas Revenue Productivity

Revenue productivity principle merupakan asas yang lebih menyangkut

kepentingan pemerintah, sehingga asas ini oleh pemerintah yang bersangkutan sering

dianggap sebagai asas yang terpenting, seperti pendapat berikut ini:

A national tax system should guarantee revenues adequate to cover the expenditures of government at all levels. Since public expenditures tend to grow at least as fast as the national product, taxes as the main vehicle of government finance should produce revenues that grow correspondingly. In developed economies this criterion would give first place..." (The New Encyclopedia Britannica, hal.410).

Pajak mempunyai fungsi utama sebagai penghimpun dana dari masyarakat untuk

membiayai kegiatan pemerintah, baik pembiayaan rutin maupun pembiayaan

pembangunan (fungsi budgetair). Karena itu dalam pemungutan pajak, hams selalu

dipegang teguh asas produktivitas penerimaan. Upaya ektensifikasi maupun intensifikasi

sistem perpajakan nasional serta penegakan law enforcement, tidak akan berarti bila hasil

yang diperoieh tidak memadai. Meskipun asas ini menyatakan bahwa jumlah pajak yang

dipungut hendaklah memadai untuk keperluan menjalankan roda pemerintahan, tetapi

hendaknyad alam implementasinya tetap harus diperhatikan bahwa jumlah pajak yang

dipungut jangan sampai terlalu tinggi sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi.

Di berbagai negara berkembang, reformasi perpajakan pada umumnya masih

menekankan pada aspek penerimaan, sehubungan dengan kebutuhan untuk menutupi

anggaran belanja pemerintah. Padahal sehanisnya revenue productivity dan equity

sehanisnya bukan merupakan dua bal yang dipertentangkan, melainkan melengkapi satu

dengan yang lainnya, seperti yang dapat disimpulkan dalam kutipan berikut ini:

"Government attempt to use tax systems to achieve many goals; raising revenue is only one of them. To facilitate compliance and collection, however, a tax system must be administratively feasible. For the same reason, but also as an end in itself, it must spread its burden equitable. All these aims can rarely be satisfied simultaneously, so tax reform is a matteroftrade-ofr(World Bank, 1988, hal.83).

2.3.2 Asas Ease of Administration

Selain asas revenue productivity, asas lain yang tak kalah penting adalah ease of

administration. Asas ini sangat penting, baik untuk fiskus maupun Wajib Pajak. Prosedur

pemungutan pajak yang rumit dapa^menyebabkan Wajib Pajak enggan membayar pajak

22

Page 43: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

dan bagi fiskus, akan menyulitkan dalam mengawasi pelaksanaan kewajiban Wajib

Pajak. Dalam "The Encyclopedia Americana", asas certainty, convenience, dan economy

dimasukkan dalam satu asas yaitu the administrative principles (The Encyclopedia

Americana, him. 291).

Dengan demikian asas ease administration dapat diilustrasikan sebagai berikut:

Page 44: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

INDIKATOR ASAS EASE OF ADMINISTRATION

1. Certaintya. Subyek

b. Obyekc. Dasar Pengenaan Pajakd. Tarife. Prosedur

2. Efficiency:

a. Dari segi Fiskus : Administrative & Enforcement Cost relatif rendah

b. Dari segi Wajib Pajak •.Compliance Cost relatif rendah

3. Convenience of Paymenta. Pajak dipungut pada saat yang tepal (Pay As You Earn)b. Penenluan Jaluh Tempo Pembayaran pajakc. Prosedur Pembayaran

4. Simplicitya. Mudah dilaksanakanb. Tidak berbelit-belil

o0 «

Jelas (certain)TegasTidak bermakna ganda & Tidak bisaditafsirkan lain (unambigious)continuity

Page 45: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

Asas kepastian merupakan suatu hal yang paling mendasar dalam suatu sistem

perpajakan, karena ketidakpastian akan memperbesar potensi terjadinya dispute

(perselisihan atau perbedaan pendapat) antara Wajib Pajak dan Fiskus. Dalam praktik di

lapangan, seringkali peraturan yang paling rendah-misalnya Surat Edaran Dirjen Pajak-

justru lebih "powerful" dibandingkan dengan Undang-undangnya sendiri. Jika hal ini

dibiarkan berlarut-larut, tentu akan menjadi preseden yang buruk, apalagi Surat Edaran

dibuat tanpa harus mendapat persetujuan DPR (lihat definisi pajak).

Apabila terjadi dispute antara Wajib Pajak dan Fiskus dalam menafsirkan suatu

undang-undang, maka pendapat Prof. Dr. J.H.A. Logemann dapat dijadikan sebagai

pedoman. Urutan tentang cara-cara penafsiran itu adalah sebagai berikut (Brotodihardjo,

hal. 154):

1. Penafsiran menurut Ilmu Tata Bahasa,2. Penafsiran menurut sejarah terjadinya hukum,3. Penafsiran menurut sejarah terjadinya Undang-undang,4. Penafsiran secara sistematis,5. Penafsiran secara sosiologis,6. Penafsiran menurut analogi.

23

Page 46: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

Secara lebih spesifik, untuk penafsiran undang-undang pajak, Brotodihardjo

menyebutkan bahwa yang digunakan adalah penafsiran umum, analogi, otentik,

penafsiran secara ketat dan ajaran peradilan (yurisprudensi).

Untuk memberikan kepastian hukum, maka seharusnya peraturan perpajakan

harus terus menerus disempurnakan, menyesuaikan dengan dinamika bisnis dan ekonomi.

Namun karena peraturan perpajakan jumlahnya sangat banyak serta beragam dan rumit

(complicated), maka akan sulit untuk terus menerus melakukan tinjauan (review) atas

peraturan yang sudah dibuat. Sebab itulah, harus ada review committee, yang dibantu oleh

staf peneliti, untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang terjadi di lapangan. Asosiasi

profesi dapat menjadi sumber informasi yang penting, karena yang paling memahami

permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam di lapangan.

Because tax laws tend to be numerous and complicated, it would be impossible to subject them to complete review at all times. It should be the duty of the review committee to work closely with the tax administration, which is likely to be a primary source for notification of problems, and with research staff. In addition, it is important for the review committee to pay close attention to the private sector. Private sector professional associations may be an excellent source of information regarding problems (Logemann).

2.4 Konsep Cost of Taxation

Asas eflsiensi dapat dilihat dari dua sisi : dari sisi Fiskus pemungutan pajak

dikatakan efisien jika biaya pemungutan pajak yang dilakukan oleh Kantor Pajak (antara

lain dalam rangka pengawasan kewajiban Wajib Pajak) lebih kecil daripada jumlah pajak

yang berhasil dikumpulkan. Dari sisi Wajib Pajak, sistem pemungutan pajak dikatakan

efisien jika biaya yang harus dikeluarkan oleh Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban

perpajakannya bisa seminimal mungkin. Dengan kata lain, pemungutan pajak dikatakan

efisien jika cost oftaxationnya-nya rendah.

Dari sisi fiskus, istilah yang lebih tepat digunakan untuk mengukur efisiensi

adalah administrative cost (lihat Sandford, Godwin, Hardwick, 1989, hal 3-23).

The term administrative costs' can be used for the public sector costs of running the tax system - principally the costs incurred by the revenue departments, whilst 'operating costs' is a convenient term to embrace the total costs of running a tax or the tax system, i.e. administrative and compliance costs combined (Standford).

Sebagaimana dikemukakan oleh Cedric, administrative corf merupakan biaya yang harus

dikeluarkan pemerintah untuk menjalankan sistem administrasi perpajakan. Jadi

V

24

Page 47: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

administrative cost, yang termasuk dalam biaya ini bukan hanya gaji pegawai pajak,

tetapi juga biaya operasional lainnya -termasuk biaya untuk melakukan

penyuluhan/sosialisasi peipajakan. Termasuk dalam operating cost adalah biaya

penegakkan hukum dan keadilan, antara lain:

• Biaya pelaksanaan pemeriksaan,

• Biaya pelaksanaan penagihan (termasuk biaya pelaksanaan penagihan pajak

dengan Surat Paksa),

• Biaya pelaksanaan penyanderaan, dll Biaya yang dikeluarkan dalam menghadapi

keberatan dan atau banding dari Wajib Pajak.

Salah satu indikator untuk mengukur efisiensi adalah Cost Collection Efficiency

Ratio (CCER), yaitu rasio perbandingan antara collection cost dengan tax revenue.

Collection CostCCER =-----------------x 100%

Tax Revenue

Semakil kecil CCER, berarti pemungutan pajaknya semakin efisien. Antara asas

efficiency dengan asas revenue productivity saling berkaitan erat.

Suatu sistem pemungutan pajak tidak bisa dikatakan berhasil memenuhi asas

revenue productivity bila semata-mata hanya dilihat dari besarnya tax revenue yang

dikumpulkan, karena hams dihitung/dikurangkan dengan biaya pemungutannya. Mankiw

menyatakan bahwa suatu sistem pajak dikatakan lebih efisien dari yang lainnya jika

sistem tersebut dapat menghasilkan penenmaan pajak yang sama dengan sistem yang

lainnya, tetapi dengan biaya pemungutan yang lebih rendah yang dibebankan kepada

Wajib Pajak.

In designing a tax system, policymakers have two objectives: efficiency and equity. One tax system is more efficient than another if it raises the same amount of revenue at a smaller cost to taxpayers. What are the costs of taxes to taxpayers? The most obvious cost is the tax payment itself. This transfer of money from the taxpayer to the government is an inevitable feature of any tax system. Yet taxes also impose two other costs, which well-designed tax policy tries to avoid or, at least, minimize:• The deadweight losses that result when taxes distort the decisions that

people make• The administrative burdens that taxpayers bear as they comply with the

tax lawsAn efficient tax system is one that impose small deadweight losses and small administrative burdens (Mankiw, hal.248).

v

25

Page 48: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

Mankiw juga menyatakan bahwa biaya yang dibebankan pada Wajib Pajak bukan hanya

besamya beban pajak yang terhutang dan dibayar oleh Wajib Pajak. Perumus kebijakan

sehamsnya juga dapat mendisain kebijakan pajak yang dapat meminimalisir deadweight

Josses dan administrative burdens.

Jika Mankiw menggunakan terminologi beban administrasi, dalam perspektif

yang lebih komprebensif, Sandford, Godwin and Hardwick menggunakan terminology

compliance costs/costs of compliance. Compliance costs I costs of compliance

didefinisikan sebagai:

. . . costs incurred by taxpayers or third parties, notably businesses, in meeting the requirements laid on them by a given tax structure (excluding the payment of the tax itself and any distortion costs arising from it) (Pope, 1993, hal.70).

Compliance cost adalah bagian dari beban administratif (administrative burdens) yang

hams ditanggung oleh Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya.

Secara keseluruhan, beban yang ditanggung oleh Wajib Pajak untuk melaksanakan hak-

hak dan kewajiban-kewajiban perpajakannya dinotasikan dalam suatu konsep yang

disebut cost of taxation.

Dalam perspektif Slemrod dan Yitzhaki, cost of taxation bukan hanya berupa

pengorbanan dalam bentuk pengurangan penghasilan (The sacrifice of income), yaitu

besarnya marginal tax atau besaran nominal pajak yang dibayar oleh Wajib Pajak.

Pembayaran pajak mengurangi penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak, misalnya

pajak penghasilan akan mengurangi laba bersih usaha, pajak penghasilan atas gaji (seperti

PPh Pasal 21 di Indonesia) akan mengurangi take home pay. Begitu juga apabila penjual

memilih untuk melakukan shifting backward, maka adanya pajak penjualan, akan

mengurangi gross profit.

Slemrod and Yitzhaki (1996) identify compliance costs as one of the five component costs of taxation. The others are administrative costs, deadweight efficiency loss from taxation, the excess burden of tax evasion and avoidance costs. The general idea here is to consider situations with and without taxation. Taxes themselves are merely a transfer of purchasing power from the non-government sector to the government sector. The Slemrod-Yitzhaki classification seeks to capture all costs to society of effecting this transfer. This is equivalent, conceptually, to the aggregate welfare loss on account of the transfer while holding constant the utility from private as against public spending of tax revenues. The classification does not explicitly mention welfare loss due to equity violations from compliance requirements, though this is implicit (Pope, 1993, hal.8).

V

26

Page 49: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

Pengorbanan sebagian dari penghasilan/pendapatan yang seharusnya bisa

diterima/diperoleh lebih besar jika tidak ada pajak adalah salah satu cost of taxation yang

lebih secara langsung dirasakan karena langsung mengurangi kemampuan ekonomis. Cost

of taxation seperti deadweight efficiency loss from taxation, the excess burden of tax

evasion, dan avoidance costs dapat dikategorisasikan sebagai the distortion cost, yaitu

biaya yang timbul akibat adanya pemungutan pajak yang mengharuskan perusahaan

mengubah strategi manajemen-nya (mulai dari penentuan harga, perubahan strategi

pemasaran, perubahan'strategi manajemen perpajakan (taxplanning), dll) serta perubahan

perilaku atau pola kebiasaan. Dengan demikian, dalam menghitung cost of taxation yang

dipikul oleh Wajib Pajak, hendaknya digunakan perspektif yang lebih luas dan

komprehensif, yang bukan hanya memperhatikan atau menghitung tax burden dari

marginal tax rate atau effective tax rate.

Dalam pengertian yang konvensional, Chattopdhyay dan Das-Gupta menyitir

pendapat Sandford yang menyatakan bahwa Compliance costs bukan hanya semata-mata

berupa pajak yang hams dibayar (misalnya jumlah PPh Badan yang terhutang dan hams

dibayar pada akhir tahun), tetapi juga semua biaya yang yang terjadi over and above any

distortion costs inherent in the nature of the tax.

The conventional definition of tax compliance costs, for example in Sandford (1995) is: "Tax compliance costs are the costs incurred by the taxpayers in meeting the requirements laid on them by the tax law and the revenue authorities. They are costs over and above the actual payment of tax and over and above any distortion costs inherent in the nature of the /a*"(Chattopadhayay dan Gupta, 2002).

Compliance cost bahkan dapat terjadi bukan hanya pada si pembayar pajak (Wajib Pajak)

tetapi juga pada pihak ketiga yang diberi kewajiban untuk memungut/memotong pajak

(misalnya jika sistem perpajakan juga menggunakan tehnik withholding), misalnya pihak

Pemberi Kerja yang hams memotong Pajak Penghasilan Pasal 21.

Compliance costs are not only incurred by taxpayers but all the agents/parties involved in facilitating the transfer from the private sector to the government exchequer. For example, employers responsible for tax deduction at source and financial institutions entrusted with collecting taxes also incur compliance costs. Since cost of compliance is one of the many costs inflicted on society by a tax, there is a need to view tax compliance costs from a broader perspective than that implied in the definition a£ove"(Chattopadhayay dan Gupta, 2002, hal 8).

27

Page 50: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

Chattopdhyay dan Das-Gupta menukil pendapat Slemrod dan Yitzhaki menyatakan

bahwa compliance costs hanya merupakan salah satu dari cost of taxation. Dengan

demikian, indikator Cost of Taxation secara keseluruhan ada 5 (lima), yaitu :

/. compliance costs2.administrative costs,3.deadweight efficiency loss from taxation,4.the excess burden of tax evasion, dan5.avoidance costs "(Chattopadhayay dan Gupta, 2002).

Komponen cost of taxation The tax operating cost IAdministartive Cost!

Compliance cost, adalah biaya-biaya atau beban-beban yang dapat diukur dengan nilai

uang (tangible) maupun yang tidak dapat diukur dengan nilai uang (intangible) yang

harus dikeluarkan/ditanggung oleh Wajib Pajak berkaitan dengan proses pelaksanaan

kevvajiban-kewajiban dan hak-hak perpajakan. Sebagaimana dikemukakan oleh Cedric

Sandford, Compliance costs tidak selalu biaya yang tangible -yang dapat dinilai dengan

uang - tetapi juga dengan biaya yang intangible, sebagaimana dapat dilihat dalam kutipan

berikut ini:

Tax guru Cedric Sandford found that across a sample of UK industry VAT compliance costs in broad terms some 4% of revenues raised, which in macro-economic terms is 1.5% of GDP - a large sum of money for companies to bear. He also laid out three separate elements to the costs of compliance:1. Fiscal costs - the employee costs of running day to day VAT

accounting, the cost of expertise to understand and keep up with changes in policies and rates, the cost of submitting VAT returns, and the cost of external accountants for operational and advisory services

2. Time costs - the cost of senior management time in overseeing the function - in theory these can be turned into money, but in reality this is a very scarce resource in a company

3. Psychological costs - the significant worry brought about the fact that the onus is squarely on the business to conduct their VAT affairs properly, with financial and even criminal sanctions for failing to do so. VAT regulations can be very complex, and many companies know they lack some of the knowledge required to be certain that they are using the correct policies and rates for all their transactions. This " fear factor" is often highlighted as a component of compliance costs, even though it is not easily quantified (Abolins, 2002).

I) Fiscal Cost

Dari sisi Wajib pajak, Fiscal Costs/Direct Money Costs, adalah biaya atau beban

yang dapat diukur dengan nilai uang yang harus dikeluarkan/ditanggung oleh Wajib

Pajak berkaitan dengan proses pelaksanaan kewajiban-kewajiban dan hak-hak

peipajakan. Termasuk dalam kelompok biaya ini adalah:V

28

Page 51: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

i. honor/gaji staf/pegawai Divisi Pajak (atau Divisi Akuntansi yang menangam

masalah perpajakan, pembukuan, pengisian Faktur Pajak, Bukti Pemotongan, dan

sebagainya); ii. jasa konsultan yang disewa Wajib Pajak; iii. biaya transportasi

pengurusan perpajakan (misalnya biaya menyampaikan SPT,

biaya transport untuk menyetorkan pajak dan Iain-lain); iv. biaya pencetakan

dan penggandaan formulir-formulir perpajakan (tinta, kertas,

forocopy, cetak SSP/Faktur Pajak Standar, dan lain lain); v.

biaya representasi (jamuan), dll. 2) Time cost

Selain fiscal cost yang tangible, compliance costs juga terdiri dari biaya yang

intangible dalam bentuk time costs dan Psychological costs. Time Costs adalah biaya

berupa waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dan hak-hak

perpajakan, misalnya:

i. Waktu yang dibutuhkan untuk mengisi formulir-formulir perpajakan.

ii. Waktu yang dibutuhkan untuk mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) dan

menyampaikan SPT. iii. Waktu yang diperlukan untuk mendiskusikan tax

management dan tax exposure

dengan pihak konsultan pajak. iv. Waktu yang diperlukan untuk membahas

Laporan Hasil Pemeriksaan/ closing

conference dengan pihak Fiskus/Pemeriksa Pajak v. Waktu yang

dibutuhkan untuk melakukan keberatan dan atau banding.

3) Psychological Costs

Psychological costs /Psychic costs adalah biaya psikis/psikologis -antara lain

berupa stress dan atau ketidaktenangan, kegamangan, kegelisahan, ketidakpastian- yang

terjadi dalam proses pelaksanaan kewajiban-kewajiban dan hak-hak perpajakan, misalnya

stress yang terjadi saat pemeriksaan pajak, saat pengajuan keberatan dan atau banding.

Sandford et al (1989) has emphasized the need for including the psychic costs comprising of stress and agony in dealing with one's tax affairs, in particular for the poorer pensioners, widows and divorced and separated woman.

V

29

Page 52: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

BAB 3 KEBUAKAN PPN ATAS KEGIATAN JASA PERBANKAN

DI INDONESIA

3.1 Kebijakan PPN atas Kegiatan Jasa Perbankan

Industri perbankan adalah industri yang bergerak di bidang jasa keuangan. Dalam

ketentuan Undang-Undang PPN pengertian Jasa dapat dipersandingkan sebagai berikut.

Tabel 3.1 Pengertian Jasa

menurut UU PPN

UUNo.8

Tahun 1983

UUNo.ll

Tahun 1994

UU No. 18

Tahun 2000

UU No. 42

Tahun 2009

Pasal 1 huruf eJasa adalah semua kegiatan usaha dan pemberian pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yangmenyebabkan suatu barang, fasilitas, atau hak tersedia untukdipakai

Pasal 1 huruf eJasa adalah setiap kegiatan

pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan;

Pasal 1 Angka 5Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan

Pasal 1 Angka 5Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, tennasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.

Pengertian Jasa Kena Pajak berdasarkan Pasal 1 angka 6 UU PPN 2009 adalah jasa yang

dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini. Artinya setiap kegiatan pelayanan yang

berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas,

kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk

menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari

pemesan. Sedangkan pengertian Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan

pemberian Jasa Kena Pajak. Berdasarkan Pasal 4 huruf c UU PPN 2009, Pajak Pertambahan

Nilai dikenakan atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan

oleh Pengusaha. Untuk menentukan apakah suatu Penyerahan Jasa Kena Pajak terhutang

pajak, harus dipenuhi syarat-syarat berikut:

■v

30

Page 53: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

a. Syarat yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 4 huruf c

& Jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak

O Penyerahan dilakukan di Daerah Pabean Indonesia

5> Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya

b. Syarat yang secara implisit tersirat dalam Undang-undang

Yang menyerahkan: Pengusaha Kena Pajak. Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan

Jasa Kena Pajak meliputi baik Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena

Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1) maupun Pengusaha yang seharusnya

dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi belum dikukuhkan.

Termasuk dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak adalah Jasa Kena Pajak

yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri dan/atau yang diberikan secara cuma-

cuma.Seperti halnya Barang Kena Pajak, semua jasa adalah Jasa Kena Pajak kecuali jasa

yang tidak dikenakan PPN yang diatur dalam pasal 4A UU No.42 Tahun 2009.

Jasa perbankan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan Pajak

Pertambahan Nilai dikelompokan sebagai Jasa Tidak Kena Pajak. Sehingga penyerahan jasa

perbankan tidak terutang PPN. Di bawah ini dipersandingkan ketentuan padal pasal 4A.

Tabel 3.2

Jasa Perbankan merupakan Jasa Tidak Kena Pajak menurut UU PPN

UU No. 8 UU No. 11 UUNo. 18 UU No.42Tahun 1983 Tahun 1994 Tahun 2000 Tahun 2009

Pasal 4 ayat 2 Penjelasan Pasal 4A huruf: Pasal 4A Angka 3 Pasal 4A Angka 3 huruf:Oengan huruf:Peraturan d.Jasa di bidang perbankan, d.jasakeuangan;Pemerintah asuransi, dan sewa guna djasa di bidang e. jasa asuransi;diatur usaha dengan hak opsi; perbankan, asuransi,penyerahan dan sewa guna usaha .jenis-jenis jasa dengan hak opsi;yang dikenakan

PajakPertambahanNilai.

Dalam penjelasan Pasal 4A ayat 3 huruf d UU PPN ditegaskan lebih lanjut jenis jasa

keuangan yang tidak dikenai PPN sebagai berikut:

a) jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka, sertifikat

deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu;

Page 54: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

31

Page 55: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

b) jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana kepada pihak lain

dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek,

atau sarana lainnya;

i) jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, berupa:

(1) sewa guna usaha dengan hak opsi;

(2) anjak piutang;

(3) usaha kartu kredit; dan/atau

(4) pembiayaan konsumen;

c) jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah dan fidusia; dan

d) jasa penjaminan.

Sementara pada Pasal 4A ayat 3 huruf e yang dimaksud dengan "jasa asuransi" adalah jasa

pertanggungan yang meliputi asuransi kerugian, asuransi jiwa.dan reasuransi, yang diiakukan oleh

perusahaan asuransi kepada pemegang polis asuransi, tidak termasuk jasa penunjang asuransi

seperti agen asuransi, penilai kerugian asuransi, dan konsultan asuransi.

3.2 Kebijakan PPN atas Penyerahan Barang Kena Pajak

Ketentuan mengenai obyek PPN diatur dalam Pasal 4 yang dapat disarikan sebagai

berikut:

Page 56: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

mmmmmmsmPasal4avat (1) huruf a Penyerahan BKP yang diiakukan di Daerah Pabean dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan oleh Pengusaha yang: l)menghasilkan BKP tersebut; 2)mengimpor BKP tersebut; 3)mempunyai hubungan istimewa dengan Pengusaha yang dimaksud pada huruf a angka I) dan angka 2); 4)bertindak sebagai penyalur utama atau agen utama dari Pengusaha yang dimaksud pada huruf a angka 1) dan angka 2);5)menjadi pemegang hak atau pemegang hak menggunakan paten dan merek dagang dari BKP tersebut;

Pasal 4 avat fat

Penyerahan BKP didalam DaerahPabean yangdiiakukan oleh Pengusaha

1^[^n2Ciftf^'Pasal 4 avat fat

Penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean yang diiakukan oleh Pengusaha

Si:^utfcNb:42t::Ft(n

Pasal 4 avat (I) huruf a

Penyerahan BKPdi dalam DaerahPabean

yangdiiakukan oleh Pengusaha

Tabel 3. 3

Perkembangan Ketentuan Pasal 4 Terkait dengan Obyek PPN da am UU PPN di Indonesia

Page 57: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

32

Page 58: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

Penjelasan: Penyerahan Barang yang terhutang pajak hams memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:-Barang yang diserahkan adalah BKP;-tindakan penyerahan adalahpenyerahan kena pajak;•penyerahan dilakukan oleh PKP atauPengusaha yang memilih untukdikukuhkan menjadi PKP;-penyerahan dilakukan dalam DaerahPabean RI, termasuk penyerahanuntuk Ekspor, meskipun atas Ekspordikenakan tarif 0% (nol persen);-penyerahan dilakukan dalamlingkungan perusahaan ataupekerjaannya sebagai PKP, artinya dalam rangka kegiatannya sehari-hari sebagai PKP. Penyerahan Barang yang dilakukan tidak dalam rangka menjalankan perusahaan atau pekerjaannya, misalnya pengoperan aktiva yang tidak dimaksudkan untuk dijual, tidak terhutang pajak.

Golongan PKP yang terhutang pajak adalah sebagai berikut:

1)PKP yang menghasilkan BKP. Golongan pengusaha ini disebut Pabrikan atau Produsen. Atas penyerahan BKP hasil produksi Pabrikan itu kepada pihak mana pun terhutang pajak;

2)Pengusaha yang mengimpor BKP. Atas penyerahan BKP oleh Impoitir kepada pihak mana pun terhutang pajak;

3)Pengusaha yang mempunyai hubungan istimewa dengan Pabrikan dan/atau dengan Impoitir. Penyerahan BKP oleh Pengusaha yang mempunyai hubungan istimewa dengan Pabrikan atau Impoitir kepada pihak mana pun terhutang pajak;

4)Agen dan penyalur utama dari Pabrikan dan Impoitir. Ditetapkannya agen dan penyalur utama dari Pabrikan dan Impoitir sebagai PKP berdasarkan pertimbangan adanya hubungan khusus diantara mereka yang berpengaruh atas sistem perdagangan dan pemasaran barang. Pabrikan atau Impoitir adalah pihak yang menyuruh, atau meminta atau memberikan hak kepada penyalur

Penjelasan:Penyerahan barangyang dikenakanpajak hamsmemenuhi syarat-syaratsebagai berikut:-barang berwujudyang diserahkanmempakan BKP,-barang tidakberwujud yang diserahkan merupakan BKP tidak berwujud, -penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean, -penyerahan dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaanPengusaha yang bersangkutan

feM»NQ:?i8i ;fe/:|Kia}h2000Penielasan: Pengusaha yang melakukan kegiatanpenyerahan BKP meliputi baik Pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi PKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (I) maupunPengusaha yangseharusnyadikukuhkanmenjadi PKPtetapi belumdikukuhkan.

Penyerahanbarang yangdikenakan pajak hams memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a.barangberwujud yang diserahkan mempakan BKP.

b.barang tidak berwujud yang diserahkan mempakan BKP tidak berwujud,

c.penyerahandilakukan didalam Daerah Pabean, dan

d.penyerahandilakukan dalamrangka kegiatanusaha ataupekerjaannya.

Tahuri2009Penjelasan: Pengusaha yang melakukan kegiatanpenyerahan BKPmeliputi baikPengusaha yangtelah dikukuhkanmenjadi PKPsebagaimanadimaksud dalamPasal 3A ayat (1)maupun Pengusahayang seharusnyadikukuhkanmenjadi PKP,tetapi belumdikukuhkan.

Penyerahan barang yang dikenai pajak hams memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:a. barang berwujudyang diserahkanmempakan BKP,

b. barang tidakberwujud yangdiserahkanmempakan BKPTidak Berwujud,

c.penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan

d.penyerahandilakukan dalamrangka kegiatanusaha ataupekerjaannya.

Page 59: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

33

Page 60: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

jp\

atau agen utama untuk memasarkanBarang hasil prodnksinya atauBarang yang diimpornya berdasarkanjenis Barang dan/atau wilayahpemasaran tertentu menurut perjanjianyang disetujui bersama.AtasPenyerahan BKP oleh agen atau penyalur utamakepada pihak mana pun terhutang pajak;

5)Pengusaha yang menjadi pemegang atau pemegang hakmenggunakan paten dan merek dagangdari BKP. Ditetapkan sebagai PKP,oleh karena Pengusaha tersebut telahmempunyai hak dan kekuasaan untukmenghasilkan, memasarkan ataumenyuruh orang lain melakukankegiatan itu menurut perjanjian yangdisetujui bersama. Atas PenyerahanBKP oleh Pengusaha tersebut kepadapihak manapun terhutang pajak;________

«irt20fjpiUUNo.42:; Tahun2069i

»:fliSSpHffiit

Page 61: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

■>^huM»g&£Pasal 1 ayat (d) angka I Yang termasuk dalam pengettian penyerahan BKPadalah:ajpenyerahan hak alas BKP karena suatu perjanjian;b)pengalihan BKP oleh karena suatu perjanjian sewa belt dan perjanjian

c)pengalihan hasilproduksi dalam keadaan bergerak;

d)penyeraban BKP kepada pedagang perantara atau melaluijurulelang;

ejpemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma;

JJ 'JIWNBTIIS

Pasal I ayat (d) angka I Yang termasuk dalam pengertian penyerahan BKPadalah:a) penyerahan hak atas BKP karena suatu perjanjian;b) pengalihan BKP oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan perjanjian leasing;c) penyerahan BKPkepada pedagang perantara atau melalui jura lelang;

d)pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma;

e)persediaan BKP dan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat

^v

UUNo.18 TahunJOOO

Pasal lAayal(l)

Yang termasuk dalampengertian penyerahanBKPadalah:a.penycrahan hak atasBKP karena suatuperjanjian;b.pengalihan BKP olehkarena suatu perjanjiansewa beli dan perjanjianleasing;c.pcnyerahan Barang KenaPajak kepada pedagangperantara atau melalui juralelang;

d.pcmakaian sendiri dan atau pemberian cuma-cuma alas BKP;

e.persediaan BKP dan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tetsisa pada

UUNo.42 Tahun 2009

Pasal lAayat(l)

Yang termasuk dalam pengertian penyerahan BKP adalah:a. penyerahan hak atas BKP karena suatu perjanjian;b.pengalihan BKP karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing); c.penyerahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;

d.pemakaian sendiridan/atau pemberian cuma-cuma atas BKP;

e.BKP berupa persediaandan/atau aktiva yangmenurut tujuan semulatidak

untukdiperjualbelikan, yang

Ketentuan mengenai obyek PPN yang terkait dengan penyerahan BKP diatur lebih spesifik

dalam Pasal 1 yang dapat disarikan sebagai berikut:

Tabel 3.4

Perkembangan Ketentuan Penyerahan BKP Yang Terhutang PPN(Taxable Supplies of Goods) Dalam UU PPN di Indonesia ___________

Page 62: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

34

Page 63: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

mmmmm.

Opersediaan BKP yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan.

TahUnl994pembubaranperusahaan, sepanjang PPN alas perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikredilkan;

Openyerahan BKP dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya dan penyerahan BKP antar Cabang;

g) penyerahan BKP secara konsinyasi;

MWX^t'saat pembubaranperusahaan,sepanjang PPN atasperolehan aktiva tersebutmenurut ketentuan dapatdikredilkan;

f .penyerahan BKP dari Pusat ke Cabang alau sebaliknya dan penyerahan BKP antar Cabang;

g. penyerahan BKP secara konsinyasi.

masih tersisa padasaat pembubaran perusahaan;

f. penyerahan BKP daripusat ke cabang alausebaliknya dan/alaupenyerahan BKP antarcabang;

g. penyerahanBKPsecara konsinyasi;dan

h. penyerahan BKPoleh PKP dalam rangkaperjanjianpembiayaanyang dilakukanberdasarkan prinsipsyariah. yangpenyerahannya dianggap langsung dari PKP kepada pihak yang membutuhkan BKP.

'mi r^j* S5i":%*:

Page 64: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

UU juga mengatur ketentuan penyerahan BKP yang tidak terhutang PPN yang dapat

disarikan sebagai berikut:

TabeI3.5

Perkembangan Ketentuan Penyerahan BKP Yang Tidak Terhutang PPN (Non Taxable Supplies of Goods) Dalam UU PPN di Indonesia

UUNo.8 , /--•.UUNoMr':^'.^ f^i&^^'s^-^ ■ '. VU}ioA2Tatiunl983 Tahun J994!>^^? w&^mmmo^' Tahun2009

Pasal 1 aval (d) angka 2 Pasal 1 ayat (d) angka 2 Pasal 1A ayat (2) hurufb Pasal 1A ayat (2) hurufb2) Yang tidak termasuk 2) Yang tidak termasuk (2) Yang tidak termasuk (2) Yang tidak

dalam pengertian dalam pengertian dalam pengertian termasuk dalam pengertianPenyerahan Barang Kena penyerahan Barang Kena penyerahan Barang Kena penyerahan Barang Kena

Pajak adalah: Pajak adalah: Pajak adalah: Pajak adalah:a) penyerahan Barang a. penyerahan Barang a. penyerahan Barang a. penyerahan Barang

Kena Pajak kepada Kena Pajak kepada Kena Pajak kepada Kena Pajak kepadamakclar sebagaimana makclar sebagaimana makelar sebagaimana makelar sebagaimana

diatur dalam Kitab dimaksud dalam Kilab dimaksud dalam Kitab dimaksud dalam KilabUndang-undang Hukum Undang-undang Undang-Undang Hukum Undang-undang Hukum

Dagang; Hukum Dagang; Dagang. Dagang;b) penyerahan Barang b. penyerahan Barang b. penyerahan Barang b. penyerahan Barang

Kena Pajak untuk Kena Pajak untuk Kena Pajak untuk Kena Pajak untukjaminan hutang-piutang; jaminan utang-piutang; jaminan utang piulang; jaminan utang-piutang;

c) pemindahlanganan c. penyerahan Barang c. penyerahan Barang c. Penyerahan Barangsebagian atau seluruh Kena Pajak Kena Pajak Kena Pajak sebagaimanaperusahaan. sebagaimana dimaksud sebagaimana dimaksud dimaksud dalam ayat (1)

pada angka l)huruff) dalam ayat (1) huruf f huruf f dalam haldalam hal Pengusaha dalam hal Pengusaha Pengusaha Kena Pajak

Kena Pajak Kena Pajak memperoleh melakukan pemusatanmemperoleh ijin ijin pemusatan tempal lempal pajak terutang;pemusatan lempat pajak terutang." d. pengaiihan Barang Kenapajak terhutang; Pajak dalam rangka

. d. penyerahan Barang penggabungan,Kena Pajak dalam peleburan, pemekaran, 1

Page 65: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

IHSfiiW wmmmm

Page 66: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

rangka perubahan bentuk usaha alau penggabungan usaha alau pengalihan seluruh aktiva perusahaan yang diikuti dengan perubahan pihak yang berhak alas persediaan Barang Kena Pajak;

pemecahan,

danpengambilalihan usahadengan syarat pihak yangmelakukan pengalihandan yang menerimapengalihan adalah

Pengusaha Kena Pajak;dane. Barang Kena Pajakberupa aktiva yangmenunit tujuan semulatidak untukdiperjualbelikan, yangmasili lersisa pada saalpembubaran perusahaan,dan yang Pajak Masukanatas perolehannya tidakdapal dikreditkansebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) humf b dan huruf c."

Page 67: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

Khusus untuk penyerahan aktiva yang semula tidak untuk diperjualbelikan diatur lebih spesifik dalam Pasal 16D

yang dapat disarikan sebagai berikut:

Page 68: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

Tabel 3. 6

Perkembangan Ketentuan Pasal 16D tentang Pengalihan Aktiva yang Semula Tidak Untuk

Diperjualbelikan Da am UU PPN di Indonesia________________________■vUUNo;42ip^: Tahun 20u3£jfe,

Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh PKP, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c."Penielasan:

Penielasan: Penyerahan mesin,bangunan, peralatan,perabotan atau aktivalain yang menuruttujuan semula tidakuntuk diperjualbelikanoleh PKP, dikenakanpajak sepanjangmemenuhi persyaratan, yaitu bahwa PPN yang dibayar pada,, saat

UUNo.ll Tahun 1994

UUNo.18 Tahun 2000

UUNo.8 Tahunl983

Belum diatur PPN dikenakan atas penyerahan aktiva oleh PKP yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang PPN yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan."

berdasarkan UU No. 11 Tahun 1994 masih berlaku dan tidak ada perubahan

Penyerahan BKP, antara lain, berupa mesin, bangunan,peralatan, perabotanatau BKP lain yangmenurut tujuan semulatidak untukdiperjualbelikan oleh PKP dikenai pajak.

Namun,PPN tidak

Page 69: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

36

Page 70: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

1:-,::- ::T?Iiurii20(l9^^v: 1,

m perolehannya, sesuai ketentuan Undang-undang ini, dapat dikreditkan.Dengan demikian, penyerahan akiiva tersebut tidak dikenakan pajak apabila PPN yang dibayar pada waktu perolehannya tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang ini, kecuali jika tidak dapat dikredilkannya PPN tersebut karena bukti pengkredilannya tidak memenuhi persyaratanadministratif, misalnya Faktur Pajaknya tidak diisi lengkap sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5).

dikenakan atas pengalihan BKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dan pengalihan aktiva yang menunit tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan,yaitu kendaran bermotor berupa sedan dan station wagon, yang menurut ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c Pajak Masukan atas perolehan akiiva tersebut tidak dapat dikreditkan.

3.3 Perlakuan PPN atas Kegiatan Jasa Perbankan Dalam UU No. 42 tahun 2009

Terhitung mulai tanggal 1 April 2010, melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak

SE-121/PJ/2010 tentang Penegasan Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Usaha

Perbankan, diatur beberapa hal sebagai berikut: 1. Pasal 4A ayat (3) huruf d UU PPN

mcngatur bahwa jasa keuangan adalah tennasuk

dalam Jenis jasa yang tidakdikenai Pajak Pertambahan Nilai.

Penjelasan Pasal tersebut menyatakan bahwa jasa keuangan meliputi:

a. jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka, sertifikat

deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu;

b. jasa menempatkan dana, meminjamkan dana, atau meminjamkan dana kepada pihak

lain dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk,

cek, atau sarana lainnya;

c. jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, berupa :

1) sewa guna usaha dengan hak opsi;

2) anjak piutang;

3) usaha kartu kredit;dan/atauv

37

Page 71: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

4) pembiayaan konsumen;

d. jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah dan

fidusiajdan

e. jasa penjaminan.

2. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (UU Perbankan), mengatur

bahwa usaha Bank Umum meliputi:

a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito

berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan

dengan itu;

b. memberikan kredit;

c. menerbitkan surat pengakuan utang;

d. membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan

atas perintah nasabahnya:

1) surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa

berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat

dimaksud;

2) surat pengakuan utang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak

lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;

3) kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah;

4) Sertifikat Bank Indonesia (SBI);

5) obligasi

6) surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;

7) instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu)

tahun;

e. memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan

nasabah;

f. menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank

lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel

unjuk, cek atau sarana lainnya;

g. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan

dengan atau antar pihak ketiga;

h. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga;

38

Page 72: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

i. melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu

konlrak; j. melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya

dalam bentuk

surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek; k. melakukan kegiatan anjak

piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali amanat; I. menyediakan pembiayaan dan

atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip

Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; m.

melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak

bertentangan dengan Undang-Undang ini dan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. 3. Sehubungan dengan hal tersebut, perlakuan PPN terhadap kegiatan usaha

bank umum sebagaimana dimaksud pada butir 2 di atas, dapat dibedakan menjadi sebagai

berikut:

a. kegiatan usaha bank umum yang merupakan penyerahan jasa keuangan yang tidak

terutang PPN, yang karakteristiknya sebagai berikut:

1) jasa keuangan yang diserahkan berupa jasa pembiayaan yang mendapatkan

imbalan berupa bunga, atau

2) jasa keuangan yang diserahkan secara langsung oleh bank kepada nasabah, dalam

hal jasa keuangan tersebut bukan jasa pembiayaan;dan

b. kegiatan usaha bank umum yang merupakan penyerahan jasa yang terutang PPN.

4. Kegiatan usaha Bank Umum yang merupakan penyerahan jasa keuangan yang tidak

terutang PPN meliputi:

a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito

berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan

dengan itu;

b. memberikan kredit;

c. menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank

lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel

unjuk, cek atau sarana lainnya;

d. melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit;

e. menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip

Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;

f. menerbitkan surat pengakuan utang;

g. menjamin atas risiko sendiri:

39

Page 73: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

1) surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa

berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat

dimaksud;

2) surat pengakuan utang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak

lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;

3) kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah;

4) Sertifikat Bank Indonesia (SBI);

5) obligasi;

6) surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;

7) instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;

h. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak

bertentangan dengan UU Perbankan dan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Kegiatan usaha Bank Umum yang merupakan penyerahan jasa yang

tenitang PPN meliputi:

a. memindahkan uang untuk kepentingan bukan nasabah;

b. melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk

surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek;

c. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan

dengan atau antar pihak ketiga;

d. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga;

e. melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu

kontrak;

f. membeli, menjual atau menjamin untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya;

1) surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa

berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat

dimaksud;

2) surat pengakuan utang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak

lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;

3) kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah;

4) Sertifikat Bank Indonesia (SBI);

5) obligasi;

6) surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;

40

Page 74: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

7) instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun. g.

melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak

bertentangan dengan UU Perbankan dan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

6. Disamping usaha pada butir 3 sampai dengan butir 5 di atas, bank umum juga dapat

melakukan kegiatan yang bukan merupakan penyerahan jasa, misainya berupa membeli

sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan

berdasarkan penyerahan secara sukarelaoleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa

untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal nasabah debitur tidak

memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut

wajib dicairkan secepatnya, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 12A UU

Perbankan. Dalam hal ini, penjualan agunan, yang telah diambil alih oleh bank tersebut,

merupakan penyerahan Barang Kena Pajak yang terutang PPN.

Tabel 3. 7

Kegiatan Usaha Bank Umum Yang Merupakan Penyerahan Jasa Keuangan

Yang Tidak Terutang PPN Contoh produk/contoh jasa/pendapatan perbankan

1. Tabungan, giro, deposilo berjangka, sertifikat deposito.

2. Berbagai jenis pendapatan yang berhubungan dengan deposit, seperti beban saldo minimum yang ditagih ke deposan, beban penagihan dan pelayanan sejenis lainnya.

1. Pendapatan dari pelayanan buku cek.3. Pendapatan yang diterima sehubungan

dengan returned chequesftolakan Wiring.4. Pendapatan yang diterima dari administrasi

rekening tabungan/giro dari nasabah.5. Pendapatan yang diterima dari administrasi

penarikan dan penyetoran uang tunai melalui teller.

6. Pendapatan dari penjemputan setoran dan pengantaran simpanan nasabah (pick-up)

7. Pendapatan dari nasabah sehubungan dengan penggunaan pembayaran secara elektronik.

8. Pendapatan sehubungan dengan pengambilan dana atau penggunaan kartu kredit oleh nasabah bank lain melalui jaringan bank (EDC dan ATM), misal ATM Bersama.

9. Pendapatan yang diterima dari administrasi pengiriman uang.

10. Pendapatan dari pengecekan saldo oleh nasabah melalui bank Iain.

Kegiatan Usaha Perbankan

No

menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan benipa giro, deposilo berjangka. sertifikat deposito, tabungan, dan/alau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan ilu

II-

Page 75: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

2. memberikan kredit 1. Pendapatan berupa bunga yang diterima sehubungan dengan pemberian lini kredit ke

Page 76: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

41

Page 77: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

m ii."«.r4iil1(--:!.-J..«fcf.WidJalt' gerbankan' <n:u fforitofcritodu^

nasabah.Pendapatan berupa bunga yang diterimaberkaitan dengan pinjaman sindikasi.Pendapatan yang diterima atas biaya tahunanberkaitan dengan pemberian (credit kepadanasabah.Pendapatan yang diterima sehubungandengan pelunasan yang dipercepat atas kredityang diberikan kepada nasabah,Pendapatan berupa penalti atas keterlambatanpembayaran bunga dan angsuran pinjaman

4.

Page 78: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek itau sarana lainnya.

1. Bunga dan pendapatan fee terkait.2. Pendapatan berkaitan dengan kegiatan

sebagai bank korespondensi (VOSTRC accounts).

Page 79: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu credit

1. Bunga dan pendapatan fee terkait2. Pendapatan dari iuran tahunan kartu kredit I3. Pendapatan yang diterima dari pemegang

kartu kredit sehubungan dengan transaksi cash advance.

4. Pendapatan berupa penalti yang diterima dari pemegang kartu kredit karena melebihi limit kartu.

5. Pendapatan dari merchant terkait transaksi kartu kredit (merchant discount rate).

Page 80: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

Bunga atau bagi hasil dan pendapatan fee terkaitmenyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia

menerbitkan surat pengakuan utang menjamin atas risiko sendiri:l)surat-surat wesel termasuk wesel yang

diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;

2)surat pengakuan utang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;

3)kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah;

4)Sertifikat Bank Indonesia (SBI);5)obligasi;5)surat dagang berjangka waktu sampai

dengan 1 (satu) tahun;7)instrumen surat berharga lain yang

berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun

melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukanaleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan g:UU Perbankan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku______

Pendapatan yang berhubungan dengan penjaminan skspor-impor.

Pendapatan yang berkaitan dengan penjaminan bank aransi.

Page 81: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

42

Page 82: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

Tabel 3.8

Page 83: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

Hr rK&iftarilUsaMPiitig^ah >■'' *.=

memindahkan uang untuk kepentingan I) dean nasabah

Cohloh pfodtik/cohtoh iasa/pendapalan perbankan

1. Pendapalan dari pengiriman uang yang bukan dar nasabah.

2. Pendapalan dari RTGS (Real Time Gmss Settlement) yang bukan dari nasabah.

Kegiatan Usaha Bank Umum Yang Merupakan Penyerahan Jasa Yang Terutang PPN

Page 84: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga

1. Jasa kustodian.2. Subscription Zees dari transaksi reksadana.3. Snitching &e dari transaksi reksadana.4. Subscription fee dari obligasi - primary motket.5. Redemption fee.

melakukan penempatan dana dar Fasa kustodian.nasabah kepada nasabah lainnya dalairjenluk surat berharga yang tidak tercalaJibursaefek_______________________

Page 85: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

i. menyediakan tempal untuk menyimpan|Pendapatan dari adininislrasi dan persewaan safe deposit. tiarang dan surat berhargamelakukan kegiatan penilipan untukIcepentingan pihak lain berdasarkan suatutontrak______________________

membeli dan menjual untuk kepentingandan atas perinlah nasabahnya:I )surat-surat wesel

termasuk weselyang diakseptasi oleh bank yangmasa berlakunya tidak lebih lamadaripada kebiasaan dalamperdagangan

sural-suratdimaksud;

2)surat pengakuan Uang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;

3)kertas perbendoharaan negara dan surat jaminan pemerinlah;

4)Sertifikat Bank Indonesia (SBI);5)obligasi;S)surat dagang berjangka

waktu sampai dengan I (satu) tahun;

7}instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan I (satu) tahun

Pendapalan berupa

1. Pendapalan berupa brokerage fee dari nasabah.2. Koinisi yang diterima untuk pemrosesan Iransaks

perdagangan nasabah securities dalam negeriTermasuk transaksi yang terkaii dengan jasspenjualan surat berharga (efck, reksadana, obligasi).

Page 86: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

mebkukan kegiatan lain yang Iaziir dilakukan oleh bank sepanjang tidal bertentangan dengan UU Perbankan dan peraluran perundangmndangan yang tierlahi

3. 4.

6.

7.

Pcnghasilan yang diterima bukan dari nasabahsehubungan dengan transaksi bank draft, Iravelcicheck, payment order."Pendapalan dari telex, swift, SKN (Sistem KlirinjNasional) yang diterima bukan dari nasabah."Pendapalan dari Escrow account.Pendapalan fee yang diterima alas jasa penerimaanpembayaran pajak (bank persepsi).Koinisi sehubungan dengan asiransi yang dibayarkanoleh nasabah karena produk asuransi dibeli olelnasabah.Pendapalan yang diterima dari jasa manajemenskema pensiun.Koinisi yang diterima dari jasa kustodian ke nasabalpeinegang safekeeping dengan depositories ataioffshore custody centres. ___________________

Page 87: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

BAB 4ANALISIS PERLAKUAN PPN ATAS PENGALIHAN AKTIVA YANG

SEMULA TIDAK UNTUK DIPERJUALBELIKAN

4.1 Konsepsi PPN atas Pengalihan Aktiva yang Semula Tidak untuk Diperjualbelikan (Transferred Assets)

4.1.1 Perkembangan Pengadopsian Pendekatan Umum (Normal Approach) untuk Menentukan Penyerahan Kena Pajak (Taxable Supplies) dalam UU PPN di Indonesia

Sebagaimana telah dijelaskan dalam kerangka teori, para ahli perpajakan di dunia

telah memberikan pendekatan umum (normal approach) untuk menentukan apakah suatu

transaksi/penyerahan terhutang PPN (termasuk dalam taxable supplies). Konsep ini antara

lain dikemukakan oleh William sebagaimana dikutip Thuronyi, yang menyebutkan bahwa

pendekatan umum untuk menentukan penyerahaan yang terhutang PPN adalah

1) the transactions are "supplies of goods and services ";2) those supplies are "taxable " and not exempt from VA T;1) those taxable supplies are made by a "taxable person", that is, a person within

the scope of the charge to VAT; and2) the taxable person makes those supplies as part of the person's business activities,

and not as part of a hobby or noncommercial activity (William dalam Thuronyi, hal 173).

Pendekatan umum yang bersifat kumulatif tersebut akan menjadi pedoman baik Pengusaha

maupun fiskus sehingga meminimalkan potensi dispute. Karena itu, konsep ini pun diadopsi

oleh Indonesia ketika mendisain sistem Pajak Pertambahan Nilai pada reformasi perpajakan

pertama tahun 1983 (lihat tabel 4.1). Hal ini dapat dilihat dalam Penjelasan Pasal 4 Ayat (1)

huruf a, yang menyebutkan bahwa:

Pasal4Ayat(l)Hurufa"Penyerahan Barang yang terhutang pajak hams memenuhi syarat-syarat sebagaiberikut:

• Barang yang diserahkan adalah Barang Kena Pajak;• tindakan penyerahan adalah penyerahan kena pajak;• penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak atau Pengusaha yang

memilih untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak;• penyerahan dilakukan dalam Daerah Pabean Republik Indonesia, termasuk

penyerahan untuk Ekspor, meskipun atas Ekspor dikenakan tarif 0% (nol persen);

• penyerahan dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya sebagai Pengusaha Kena Pajak, artinya dalam rangka kegiatannya sehari-hari sebagai Pengusaha Kena Pajak."

44

Page 88: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

Tabel 4. 1

Pengadopsian Normal Approach untuk Menentukan Penyerahan (Barang) Kena Pajak (Teori______________ David Williams) dalam UU No. 8 Tahun 1983_________________

UU No. 8 Tahun 1983Barang yang diserahkan adalah Barang Kena Pajak;tindakan penyerahan adalah penyerahan kena pajak;penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak atau Pengusaha yang memilih untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak;penyerahan dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya sebagai Pengusaha Kena Pajak, artinya dalam rangka kegtatannya sehari-hari sebagai Pengusaha Kena Pajak

Sumber: Tax Laws Design and Drafting Volume 1 dan UU No. 8 Tahun 1983 (data diolah)

Penjelasan mengenai penyerahan Barang yang terhutang PPN mengalami perubahan

dalam perubahan kedua Undang-undang PPN (UU No. 11 Tahun 1994), menjadi sebagai

berikut:

PasaI4Hurufa"Penyerahan barang yang dikenakan pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagaiberikut:- barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak,-barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak tidak

berwujud,- penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean,- penyerahan dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan Pengusaha

yang bersangkutan."

Meskipun penjelasan mengenai penyerahan barang kena pajak mengalami perubahan, namun

normal approach sebenamya masih digunakan dalam perubahan kedua Undang-undang PPN

tersebut (UU No. 11 Tahun 1994). Tidak dicantumkan 2 (dua) diantara 4 (empat) syarat

kumulatif tersebut, bukan berarti keduanya pendekatan ini tidak digunakan (yaitu those

supplies are "taxable" and not exempt from K4;Tdan those taxable supplies are made by a "taxable

person ", that is, a person within the scope of the charge to VAT). Secara implisit keduanya

diadopsi sebagaimana ditegaskan dalam Pasal yang berbeda, yaitu Pasal 1 huruf d angka 1)

dan 2) dan Pasal 3A ayat (1). Untuk lebih jelas, dapat dilihat dalam tabel 4.2 berikut:

45

Normal Approach Theory the transactions are "supplies of goodsand services";_____________________those supplies are "taxable" and notexempt from VAT;________________those taxable supplies are made by a "taxable person", that is, a person within the scope of the charge to VA T; and the taxable person makes those supplies as part of the person s business activities, and not as part of a hobby or noncommercial activity.

Page 89: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

Tabel 4.2

Pengadopsian Normal Approach untuk Menentukan Penyerahan (Barang) Kena Pajak__________■ (Teori David Williams) dalam UU No. 11 Tahun 1994_____________

Normal Approach Theory

UU No. 11 Tahun 1994 Ket

the transactions are "supplies of goods and services";

- barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak, • barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak tidak berwujud,

Revisi

those supplies are "taxable " and not exempt from VAT;

d. Penyerahan Barang Kena Pajak :(I) Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:a) penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatuperjanjian;b) pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu perjanjiansewa beli dan perjanjian leasing;c) penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantaraatau melalui juru lelang;d) pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma;e) persediaan Barang Kena Pajak dan aktiva yang menurut

tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, sepanjang Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan; 0 penyerahan Barang Kena Pajak dari Pusat ke Cabang atau . sebaliknya dan penyerahan Barang Kena Pajak antar Cabang; g) penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi; 2) Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:a. penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimanadimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukuin Dagang;b. penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang;c. penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud padaangka 1) huruf 0 dalam hal Pengusaha Kena Pajakmemperoleh ijin pemusatan tempat pajak terhutang;d. penyerahan Barang Kena Pajak dalam rangka perubahanbentuk usaha atau penggabungan usaha atau pengalihanseluruh aktiva perusahaan yang diikuti dengan perubahanpihak yang berhak atas persediaan Barang Kena Pajak;

Revisi Pasal I hurufd angka 1) dan 2)

those taxable supplies are made by a "taxable person ", that is. a person within the scope of the charge to VA T; and

"Pasal 3A(1) Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, huruf c, atau huruf f, wajib mempunyai Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.

Pasal Baru

the taxable person makes those supplies as part of the person s business activities, and not as part of a hobby or noncommercial activity.

penyerahan dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan Pengusaha yang bersangkutan

Revisi

Sumber: Tax Laws Design and DraliingVolume I dan UU No. 11 Tahun 1994 (data diolah)

Amandemen ketiga Undang-undang PPN (UU No. 18 Tahun 2000) pada dasarnya

tidak memberikan perubahan yang berarti atas Penjelasan mengenai penyerahan Barang yang

terhutang PPN, sebagaimana dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:

Page 90: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

46

Page 91: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

Pasal 4 Huruf aPengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak meliputi baik Pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1) maupun Pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak tetapi belum dikukuhkan. Penyerahan barang yang dikenakan pajak hams memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:a. barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak,b. barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak tidak

berwujud,c. penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean, dand. penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.

Dalam amandemen Penjelasan Pasal 4 huruf a tersebut, secara eksplisit ditegaskan bahwa

salah satu syarat dari 4 (empat) normal approach, yaitu taxable person dimaknai secara

substance over form, bukan sebaliknya (lihat tabel 4.3). Dengan demikian, meskipun secara

formal pengusaha tersebut belum dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) namun

jika telah melampaui ambang batas pemajakan (treshhoJd taxation) yang ditentukan oleh

peraturan perpajakan, maka pengusaha tersebut merupakan subyek PPN.

Secara terminologis, pengadopsian istilah business approach diubah dari "penyerahan

dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekcrjaan Pengusaha yang bersangkutan"

menjadi "penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya".

Sayangnya, tidak ada penjelasan yang memadai mengenai perubahan tersebut. Dalam sub

bab selanjutnya akan diuraikan implikasi dari tidakadanya penjelasan mengenai apa yang

dimaksud dengan "penyerahan dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan

Pengusaha yang bersangkutan" atau "penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha

atau pekerjaannya" (Rosdiana,2012).

Tabel 4.3

Pengadopsian Normal Approach untuk Menentukan Penyerahan (Barang) Kena Pajak_____________(Teori David Williams) dalam UU No. 18 Tahun 2000_______^__

Normal Approach Theory

UU No. 18 Tahun 2000 Ket

the transactions are "supplies of goods and services ";

3. barang berwujud yang diserahkan merupakan BarangKena Pajak, b. barang tidak berwujud yang diserahkan

merupakanBarang Kena Pajak tidak berwujud,

Tetap

those supplies are "taxable " and not exempt from VAT;

"Pasal 1A(1) Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:a. penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian.b. pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu perjanjian sewabeli dan perjanjian leasing.c. penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara ataumelaluijuru lelang.d. pemakaian sendiri dan atau pemberian cuma-cuma atas Barang

Perubahan Nomor Pasal dan Revisi esensi

Page 92: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

47

Page 93: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

Normal Approach Theory

UUNo.l8Tahun2000 Ket

n Kena Pajak.e. persediaan Barang Kena Pajak dan aktiva yang menurut tujuansemula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saatpembubaran perusahaan, sepanjang Pajak Pertambahan Nilai atasperolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan.f. penyerahan Barang Kena Pajak dari Pusat ke Cabang atausebaliknya dan penyerahan Barang Kena Pajak antar Cabangg. penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi.(2) Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:a. penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimanadimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.b. penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang piutang;c. penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalamayat (1) huruf f dalam hal Pengusaha Kena Pajak memperolehijin pemusatan tempat pajak terutang."

those taxable supplies are made by a "taxable person ". that is, a person within the scope of the charge to VAT; and

Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak meliputi baik Pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1) maupun Pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak tetapi belum dikukuhkan

Revisi (Tambahan)

the taxable person makes those supplies as part of the person's business activities, and not as part of a hobby or noncommercial activity.

d. penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya

Revisi

Sumber: Tax Laws Design and DraftlngVolums 1 dan UU No. 18 Tahun 2000 (data diolah)

Dalam perubahan terakhir UU PPN (UU No. 42 Tahun 2009) tidak ada perubahan

yang berarti dalam pengadopsian normal approach (lihat tabel 4.4), kecuali terkait dengan

ketentuan penyerahan BKP yang terhutang PPN (those supplies are "taxable"). Perubahan

lainnya adalah perubahan nomor Pasal dari Pasal 4 huruf a menjadi Pasal 4 ayat (I) Huruf a

(kembali seperti UU PP pertama kali, yatu UU No. 8tahun 1983).

Tabel 4.4

Pengadopsian Normal Approach untuk Menentukan Penyerahan (Barang) Kena Pajak______________(Teori David Williams) dalam UU No. 18 Tahun 2000____________

Normal Approach Theory

Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf a UU No. 42 Tahun 2009

Ket

the transactions are "supplies of goods and services";

a. barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang KenaPajak,b. barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan BarangKena Pajak tidak berwujud,

Tetap

those supplies are "taxable " and not exempt from VAT;

"Pasal 1A(I) Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:a. penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;b. pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu perjanjian sewabeli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing);c. penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau

Revisi esensi

Page 94: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

48

Page 95: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

Normal Approach Theory

Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf a UUNo.42Tahun2009

Ket

% melaluijurulelang;d. pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang KenaPajak;e. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurutlujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa padasaat pembubaran perusahaan;f. penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknyadan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang;g. penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi; danh. penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak.(2) Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:a. penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimanadimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang;b. penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang;c. Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat( I ) huruf f dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatantempat pajak terutang;d. pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan,peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usahadengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerimapengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak; dane. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidakuntuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaranperusahaan, dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapatdikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b danhuruf c."

those taxable supplies are made by a "taxable person ", that is, a person within the scope of the charge to VAT: and

Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak meliputi baik Pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1) maupun Pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak tetapi belum dikukuhkan

Tetap

the taxable person makes those supplies as part of the person s business activities, and not as part of a hobby or noncommercial activity.

d. penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya Tetap

Sumber: Tax Laws Design and Drafting Vohms 1 dan UU No. 42 Tahun 2009 (data diolah)

4.1.2 Pengertian "dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan "/"dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya" (lihat Rosdiana, 2012)

Pada analisis sebelumnya telah dijelaskan bahwa Indonesia pada dasarnya

mengadopsi normal approach yang direkomendasikan ahli PPN, antara Iain William. Salah

satu di antara normal approach tersebut yang seharusnya memerlukan penjelasan/pengaturan

lebih lanjut adalah terminologi "the taxable person makes those supplies as part of the

person's business activities. Dalam sistem PPN di Indonesia, tenninologi ini pada awalnya

Page 96: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

49

Page 97: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

diiranslasikan menjadi "dalam lingkungan perusahaan alau pckerjaan" lalu kemudian diubah

mcnjadi "dalam rangka kegiatan usaha alau pekerjaannya" (lihat tabel 4.5)

Tabcl 4. 5

Translasi tcrminologi "the taxable person makes those supplies as part of the person '$ business activities" dalam UU PPN di Indonesia

UUN0.8TAHUN1983 UUNO. 11TAHUN 1994

UUN0.18TAHUN 2000

UUN0.42TAHUN ,'2009

pcnycralian diiakukaii dalam lingkungan perusahaan alau pekerjaannya scbagai Pengusaha Kcna Pajak, arlinya dalam rangka kegiataiinya sehari-hari scbagai Pengusaha Kena Pajak

penyerahan clilakukan dalam lingkungan perusahaan alau pekcrjaan Pengusaha yang bersangkutan

d. penyerahan clilakukan da lam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya

d. penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya

Mcskipun telah mengalami perubahnn translasi, namun esensi kebijakan yang paling

pcnling justru terlupakan, yaitu menjelaskan apa yang dimaksud dengan "dalam lingkungan

perusahaan alau pekerjaanT'dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya". Padahal pcnjclasan

lentang hal ini sangat krusial untuk menghindari lerjadinya dispute, serla memberikan kepastian

hukum baik bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) maupun bagi flksus. Dapat dikaiakan bahwa

kcliadaan penjelasan atas pengcrtian icrscbut tidak selaras dengan asas certainty yang seharusnya

mcnjadi salah salu pilar/landasan dalam mendisain sistem PPN.

Dalam praklik, hal ini menyebabkan kciidakpaslian dalam menginlerpretasikan apa

yang dimaksud dengan "dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan'V'dalam rangka

kegiatan usaha alau pekerjaannya". Hal ini tcntu saja mengganggu implementasi PPN serta

berpolcnsi untuk mcnimbulkan power abuse alau bahkan scbaliknya. dapat mcnimbulkan tax

potential loss karcna praklik-praklik aggresive tax planning alau tax evasion. Pada akhimya,

ketidakjclasan ini justru tidak selaras dengan prinsip-prinsip good governance yang menjadi

priorilas pembangunan nasional. Secara international best practice, lembaga legislatif

seharusnya mengatur dan menjelaskan apa yang dimaksud dengan hal tersebut. Terkait

dengan hal ini, William menyatakan bahwa:

"Some laws offer definitions of these activities, but such definitions often do not add much to the overall clarification of the scope of the law. This point will need separate consideration in individual states. The key point is that here as elsewhere the law must be interpreted and applied so that it catches all economic activity that is not deliberately excluded. Government activity, charitable activity, and personal nonbusiness activity should therefore be

50

Page 98: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

excluded. The extent to which this point needs to be spelled out in the law will depend on the ease with which the concept of economic activity or business activity i$ understood within the state" (Williams dalam Thuronyi,hal.34).

Pasal 4 the EC Sixth K/irmengunakan istilah "economic activity" karena istilah

sangat sesuai untuk ditranslasikan secara luas dan cenderung untuk diterapkan bukan hanya

atas aktivitas yang menghasilkan laba (Williams dalam Thuronyi,hal.34).Selaras dengan

kesepakatan Uni Eropa, Schenk dan Oldman menyebutkan bahwa pengertian aktivitas yang

dikenakan PPN mempunyai arti yang lebih luas dari konsep perdagangan yang digunakan

untuk dalam pajak penghasilan (A taxable activity for VAT purposes generally is broader

than the concept of trade for income tax purposes). Menurut Schenk dan Oldman (juga Tait),

beberapa kriteria di bawah ini dapat dijadikan dasar untuk menguji apakah suatu penyerahan

termasuk dalam aktivitas ekonomi Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan (Schenk dan

Oldman, 2007, hal. 98).

1) Dimensi kontinuitas (Continuity), yai'tu penyerahan harus dilakukan secara reguler dan

cukup sering sehingga menjadi bagian dari aktivitas usaha yang berkesinambungan.

Terkait dengan hal ini dalam catatannya, Schenk dan Oldman mengatakan bahwa "Supplies

should be made regularly and fairly frequently as part of a continuing activity. Isolated or

single transactions will not usually be liable to VA T."

2) Dimensi nilai (Value), bahwa nilai penyerahan harus dalam jumlah yang signifikan

(cukup material dalam istilah akuntansi). Meskipun terjadi berulang-ulang, jika

jumlahnya sangat kecil, maka tidak dianggap sebagai aktivitas ekonomi. Terkait dengan

hal ini dalam catatannya, Schenk dan Oldman mengatakan bahwa "The supplies should be

for a significant amount; trivial, even if repeated, transactions would not usually

count."

3) Dimensi laba/keuntungan sesuai dengan pengertian akuntansi. Meskipun demikian,

dimensi ini bukan merupakan suatu hal yang mutlak, karena bisa saja suatu perusahaan

besar yang menciptakan nilai tambah yang substansial dengan pengeluaran biaya

gaji/upah yang tinggi, tidak menghasilkan laba. Karena itu, perusahaan tersebut tetap

harus memungut PPN. Contoh perusahaan semacam ini adalah perusahaan seperti Badan

Usaha Milik Negara. Schenk dan Oldman menyebutkan bahwa "Not necessary; after all,

large concerns can create substantial value added and pay large sums in wages, yet make

no profit (many publicly owned firms do precisely this). Such firms should certainly pay

VAT"

V

51

Page 99: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

4) Dimensi pengendalian, yaitu pengendalian secara aktif (Active Control) dilakukan oieh

pihak yang melakukan penyerahan (supplier). Supplier terlibat aktif dalam

mengendalikan atau mengawasi aktiva, termasuk aktiva yang dijalankan oleh pihak agen.

Karena itulah, pemilik toko, tidak termasuk dalam aktivitas ekonomi supplier, jika

pemilik toko bersifat independen dan tidak dikendalikan oleh pihak supplier. Schenk dan

Oldman menyebutkan bahwa:

"Control should be in the hands of the supplier. He should be actively engaged in the "control or management of the assets concerned" (including operation through an agent). The proprietor should be independent and, hence, should be excluded from cowra^e"(Schenk dan Oldman, 2007).

5) Dimensi Intra- Versus Intertrade, yaitu penyerahan harus dilakukan pada pihak lain di

luar organisasi, dan bukan hanya merupakan penyerahan antar angggota dalam organisasi

yang bersangkutan. Terkait dengan hal ini dalam catatannya, Schenk dan Oldman

mengatakan bahwa "Supplies should be to members outside the organization and not just

between members of the organization."

6) Dimensi Tampilan Usaha (Appearance of Business), yaitu bahwa berbagai kegiatan/

aktivitas tersebut harus mempunyai karakteristik perbuatan komersial yang wajar serta

dicatat dalam pembukuan menurut Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku.

4.2 Justifikasi Pengalihan Aktiva Yang Menurut Tujuan Semula Tidak Untuk Diperjualbelikan Dijadikan Sebagai Obyek PPN

Dalam sub bab sebelumnya, telah dianalisis pentingnya penjelasan mengenai "dalam

lingkungan perusahaan atau pekerjaan'Vdalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya

untuk menentukan apakah terhutang PPN atau tidaknya suatu penyerahan. Meskipun

demikian, ada beberapa kasus dimana para ahli PPN menyarankan agar suatu penyerahan

tetap menjadi obyek PPN meskipun tidak memenuhi salah satu dimensi, antara lain dimensi

continuity. Tait misalnya, menyebutkan bahwa pada umumnya peraturan PPN menentukan

bahwa barang dianggap diserahkan (penyerahan Barang terhutang PPN) apabila 1)

kepemilikan eksklusif berpindah, 2) penyerahan karena perjanjian leasing atau sewa beli, 3)

barang diproduksi dari bahan-bahan pihak lain, 4) barang diambil dari perusahaan untuk

kepentingan pribadi, 5) Aktiva usaha dialihkan.

Most legeslation holds that goods are "supplied " when1) Exclusive ownership is passed to another person2) The transfer takes place over the time under an agreement such as lease or hire

purchase3) Goods are produced from someone else"s materials

52

Page 100: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

4) A major interest in iand is provided, that is, the use of land for a longperiode of time

5) Goods are taken from a company for private use6) A bussines assets is transferred'ijait, 1988, hal 387).

Dari tulisan Tail tersebut dapat dilihat bahwa pada umumnya

penyerahan/pengalihan/transfer aktiva bisnis dianggap sebagai penyerahan BKP yang

terhutang meskipun tidak memenuhi dimensi continuity. Meskipun demikian, penyerahan

aktiva memang mempunyai dimensi konseptual teoritis serta praktik yang tidak sederhana.

Pertama, karena pada dasarnya PPN adalah pajak atas konsumsi. Karena investasi tidak

termasuk dalam konsumsi (C= I-S), maka diskursus penyerahan aktiva yang semula tidak

untuk diperjualbelikan selalu terbuka. Schenk dan Oldman menyatakan bahwa pada

umumnya, penyerahan aktiva (atau seluruh usaha) tidak diperlakukan sebagai penyerahan

yang terhutang PPN. Misalnya dalam kasus kebangkrutan, penyerahan aktiva usaha bukan

dianggap sebagai penyerahan yang terhutang PPN.

"A transfer of assets (or an entire business) to a legal representative generally is not treated as a supply subject to tax. For example, transfers of assets of a business to a receiver in bankruptcy commonly are not supplies and therefore do not attract tax" (Schenk and Oldman, hal 114).

Schenk dan Oldman juga menyatakan bahwa PPN tidak akan dikenakan atas penyerahan

aktiva oleh Pengusaha yang tidak kompeten kepada pihak lain yang akan menjalankan /

meneruskan usahanya. "Likewise, tax may not be imposed when the business assets of an

incompetent person are transferrred to a representative who then operates the ongoing

business" (Schenk and Oldman, hal 114).

Penjelasan Schenk dan Oldman sebelumnya, dapat menjelaskan mengapa dan

bagaimana seharusnya disain perlakuan PPN atas penyerahan aktiva yang semula tidak untuk

diperjualbelikan. Masalah hidden subsidy menjadi perhatian utama disain kebijakan ini,

sehingga historis pengkreditan Pajak Masukan menjadi syarat mutlak penyerahan aktiva

menjadi terhutang PPN. Oldman dan Schenk memberikan ilustrasi bahwa jika suatu bank

membeli perabotan maka Pajak Masukan atas perabotan tersebut tidak dapat dikreditkan

karena UU PPN negara bersangkutan mengatur bahwa jasa keuangan sebagai Jasa Tidak

Kena Pajak. Jika perabotan tersebut dijual oleh Bank, maka penyerahan perabotan tersebut

bukan merupakan obyek PPN.

y

53

Page 101: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

"// a VAT-registered business is denied an input credit for tax on the acquisition of an asset and the business sells that asset, the sale typically is not subject to VAT. For example, if a firm purchases an automobile for use in its business and is denied credit for tax on the automobile (as some VATs do), the sale of the automobile is not a supply under some VAT regimes. The same applies if the tax on a purchased asset was not eligible for the input credit because the asset is used in connection with activities exempt from tax. For example, if a bank purchases furniture for use in providing exempt financial services under those regimes, the sale of that used furniture by the bank is not subject to VAT" (Schenk and Oldman, hal 113).

Tukilan di atas juga memberikan contoh lainnya, yaitu jika perusahaan/pengusaha membeli

mobil, dan atas pembelian mobil tersebut Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan, maka

apabila mobil tersebut dijual, atas penyerahan/penjualan mobil tersebut tidak terhutang PPN.

Kedua ilustrasi di atas yang dikemukan oleh Schenk dan Oldman sebenarnya

menekankan pentingnya Pajak Masukan sewaktu perolehan aktiva tersebut menjadi syarat

mutlak untuk menentukan terhutang atau tidaknya penyerahan aktiva yang semula tidak

untuk diperjualbelikan. Dengan demikian, dapat dipahami jika ketika ketentuan ini

diberlakukan dalam sistem PPN di Indonesia melalui UU No. 11 Tahun 1994, syarat utama

keberlakukannya adalah "sepanjang Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan aktiva tersebut

menurut ketentuan dapat dikreditkan".

UU No. 11 Tahun 1994 sebenarnya telah memberikan landasan konseptual/teoritis

yang kuat dan international best practice yang tepat ketika memperluas obyek

PPN/penyerahan BKP terhutang PPN, baik dalam pasal 1 huruf d angka 1) poin e maupun

dalam Pasal 16D (lihat tabel 6). Ketika UU PPN pertama kali diberlakukan (UU No. 8 tahun

1983) tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai pengalihan aktiva. Dalam penjelasan

Pasal 4 ayat (1) huruf a disebutkan bahwa:

Penyerahan Barang yang dilakukan tidak dalam rangka menjalankan perusahaan atau pekerjaannya, misalnya pengoperan aktiva yang tidak dimaksudkan untuk dijual, tidak terhutang pajak.

Kelemahan dalam ketentuan penyerahan aktiva yang semula tidak untuk

diperjualbelkan dalam UU No. 11 Tahun 1994, hanya terdiri dari 2 hal sebagai berikut: 1)

Berbeda dengan Pasal 16D, tidak ada kata kerja yang mengawali bunyi ketentuan Pasal 1

huruf d poin e. Padahal, transaksi/penyerahan-penyarahan yang lain selalu diawali dengan

kata kerja (penyerahan atau pemakaian). Hal ini kurang selaras dengan ketentuan taxable

supplies yang seharusnya menjelaskan jenis supplies atau penyerahannya. Kesalahan ini

masih berlanjut hingga UU PPN yang berlaku saat ini.V

54

Page 102: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

2) Penjelasan Pasal 16D kurang konsisten dengan syarat yang secara eksplisit dikemukan

dalam batang tubub Pasal 16D itu sendiri. Akibatnya, dapat terjadi cascading effect (yang

sebenarnya dihindari dalam sistem PPN). Misalnya, jika Pengusaha membeli aktiva yang

pada saat perolehannya Pajak masukan atas aktiva tersebut tidak dapat dikreditkan karena

tidak memenuhi syarat administratif, atas penyerahan aktiva tersebut tetap dipungut PPN

berdasarkan ketentuan penjelasan Pasal 16D. Hal ini sangat berbeda dengan Pasal 1 huruf

d angka 1) poin e (lihat tabel 4.7).

V

55

Page 103: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

>

Tabel 4. 6 Pcmkembangan Ketentuan Penycrahan

Aktiva yang Semula Tidak Uniuk Diperjualbclikan

UU NO. 8THN 1983 UU NO. 11 TAHUN 1994 U.U.NO.-.18 TAHUN 2000 UU NO. 42 TAHUN 2009Bukan Obyek PPN Obyek PPN (dipersamakan

dengan pemakaian sendiri)Obyek PPN.(dipcrsatnukan.dengan pemakaian sendiri)

Obyek PPN (dipersamakan dengan peniakaian-sendiri)

< Pasal 1 huruf d angka 1Yang tcrmasuk dalam pengertian penyerahan Barang KcnaPajak adalahc) persediaan Barang Kcna Pajak dan akiiva yang mcnurut tujuan semula tidak untuk dipcrjualbclikan, yang masih tcrsisa pada saat pembubaran perusahaan, sepanjang Pajak Pcrtambahan Nilai atas pcrolehan aktiva tersebut mcnurut ketentuan dapat dikreditkan;

"Pasal 1A(l)Yang termasuk dalam pengertian penycrahan Barang Kena Pajak adalah :c. persediaan Barang Kcna Pajak dan akti%'3 yang mcnurut tujuan semula tidak untuk dipcrjualbclikan, yang masih tcrsisa pada saal pembubaran perusahaan, sepanjang Pajak Pertambahan Nilai atas pcrolehan aktiva tersebut mcnurut ketentuan dapat dikreditkan.

"Pasal IA(1) Yang termasuk dalam pengertian penycrahan Barang Kcna Pajak adalah:e.Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih lersisa pada saat pembubaran perusahaan;

Tctap Hanya Berubah Nomor Pasal TetapPenjclasan Pasal 4 ayat (1) huruf a"Penyerahan Barang yang dilakukan lidak dalam rangka menjalankan pcrusahaan atau pekcrjaannya, misalnya pcngoperan akiiva yang lidak dimaksudkan uniuk dijual, tidak terhuiang pajak."

Pcnjelasan Pasal 1 huruf d angka lhurufe)"Persediaan Barang Kcna Pajak dan aktiva yang menurul tujuan semula tidak untuk dipcrjualbclikan, yang masih tcrsisa pada saat pembubaran penisahaan, disamakan dengan pemakaian sendiri, sehingga dianggap sebagai penycrahan Barang Kena Pajak. Khusus untuk aktiva yang mcnurut tujuan tidak uniuk dipcrjualbclikan tersebut, hanya dikenakan Pajak Pcrtambahan Nilai apabila memenuhi persyaratan, yaitu balnva Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan."

Pcnjelasan Psl 1A ayat (1) Huruf e "Persediaan Barang Kcna Pajak dan aktiva yang mcnurut tujuan semula tidak untuk diperjual bclikan, yang masih lersisa pada saat pembubaran perusahaan, disamakan dengan pemakaian sendiri, sehingga dianggap sebagai penyerahan Barang Kcna Pajak. Khusus untuk aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjual belikan tersebut, hanya dikenakan Pajak Pertambahan Nilai apabila memenuhi persyaratan, yaitu bahwa Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan."

Penjclasan Pasal 1A ayat (1) Huruf e Huruf cBarang Kcna Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk dipcrjualbclikan. yang masih tcrsisa pada saat pembubaran penisahaan, disamakan dengan pemakaian sendiri, sehingga dianggap sebagai penycrahan Barang Kena Pajak. Dikecualikan dari ketentuan pada huruf e ini adalah penyerahan scbagaimana dimaksud dalam Pasal 1A ayat (2) huruf e.* (•Pcnjelasan Pasal IA ayat (2) Huruf c Barang Kcna Pajak bempa akiiva yang mcnurut tujuan semula tidak untuk dipcrjualbclikan yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, yang Pajak Masukan I alas perolehannya tidak dapat dikreditkan

5fi

Page 104: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

^ ^

UU NO. 8 THN 1983 UUNO. 1ITAHUN1994 UU NO. 42 TAHUN 2009, karena tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) hunif b dan/atau aktiva berupa kendaraan bermotor sedan dan station wagon. yang Paj3k Masukan aias perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf c, tidak termasuk dalam pengcrtian Penyerahan Baraim Kena Pajak.)

Tctap Bcmbah menjadi tidak jelas implementasinya< "Pasal 16D Pajak Pcrtambahan

Nilai dikenakan atas penyeralian aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang Pajak Pcrtambahan Nilai yang dibayar pada saal pcrolehannya dapat dikreditkan."

Tetap Pasal 16D Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak. kceuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c."

' Penjelasan Pasal 16DPenyeralian mesin. bangunan, peralatan, perabotan atau aktiva lain yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, dikenakan pajak sepanjang memenuhi persyaratan, yaitu bahwa Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat perolehannya, sesuai ketentuan Undang-undang ini, dapat dikreditkan. Dengan demikian, penycrahan aktiva tersebut tidak dikenakan pajak apabila Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada waktu perolehannya tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang ini, kceuali jika tidak dapat dikreditkannya Pajak Pertambahan Nilai tersebut karena bukti peiigkreditaimya tidak memenuhi persyaratan administratif, misalnya Faktur Pajaknya tidak diisi lengkap sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5).

Tctap Penjelasan Pasal 16 DPenyerahan Barang Kena Pajak, antara lain, berupa mesin, bangunan, peralatan, perabotan atau Barang Kena Pajak lain yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak dikenai pajak. Namun, Pajak Pcrtambahan Nilai tidak dikenakan atas pengalihan Barang Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dan pengalihan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yaitu kendaran bermotor berupa sedan dan station wagon, yang menurut ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c Pajak Masukan atas perolehan aktiva tersebut tidak dapat dikreditkan.

57

Page 105: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

Pada saat pertama kali penyerahan aktiva dijadikan sebagai obyek PPN, legislator

memberikan justifikasi bahwa hal ini dipersamakan dengan pemakaian sendiri. Dengan«

demikian, pemahaman konseptual teoritis diperlukan untuk memahami justifikasi dijadikan

penyerahan aktiva sebagai obyek PPN (lihat Sub Bab Pemakaian sendiri).

Sebagaimana sejatinya eliminasi hidden subsidy sebagai justifikasi pengenaan PPN

atas pemakaian sendiri, dalam UU No. 11 Tahun 1994 yang pertama kalinya menjadikan

penyerahan aktiva sebagai obyek PPN, menjadikan justfikasi ini sebagai acuan perumusan

kebijakan. Karena itu, baik dalam Pasal 1 huruf d angka 1 poin e maupun dalam pasal 16D,

ditegaskan bahwa penyerahan ini hanya dikenakan Pajak Pertambahan Nilai apabila

memenuhi persyaratan, yaitu bahwa Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat

perolehannya dapat dikreditkan. Secara lebih spesifik, syarat terhutangnya penyerahan aktiva

adalah sebagai berikut (Lihat Rosdiana, 2012):

Tabel 4. 7

Syarat Terhutang PPN atas Penyerahan Aktiva Dalam UU No.l 1 Tahun 1994/ UU No. 18 Tahun 2000

Pasal 1 huruf d angka 1) poin e / Pasal 1A ayat 1 huruf e

Pasal 16D

Aktiva yang diserahkan adalah bukan barang dagangan (aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan),

Aktiva yang diserahkan adalah bukan barang dagangan (aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan),

Penyerahan dilakukan dalam rangka pembubaran pcrusahaan (likuidasi),

Penyerahan bukan dilakukan dalam rangka pembubaran pemsahaan (likuidasi). PKP yang menyerahkan aktiva masih beroperasi,

Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan,

Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan, kecuali jika tidak dapat dikreditkannya Pajak Pertambahan Nilai tersebut karena bukti pengkreditannya tidak memenuhi persyaratan administratif,

Yang menyerahkan adalah Pengusaha Kena Pajak (implisit mengacu pada Penjelasan Pasal 4 huruf a).

Yang menyerahkan adalah Pengusaha Kena Pajak.

Ketentuan di atas tidak mengalami perubahan dalam perubahan ketiga UU PPN (UU No. 18

Tahun 2000).

Dalam amandemen keempat UU PPN (UU No. 42 Tahun 2009) ketentuan PPN terkait

dengan penyerahan aktiva yang semula tidak untuk diperjualbelikan mengalami perubahan

yang signifikan (tabel 4.8). Perubahan ini justru menjauh dari esensi konseptual teoritis PPN

dan tidak selaras dengan justifikasi pemberlakuannya. Secara umum kelemahan dalam

perumusan kebijakan penyerahan aktiva baik dalam Pasal 1A ayat (1) huruf e maupun dalam

Pasal 16D dalam UU No. 42 tahun 2009 adalah sebagai berikut:

V

Page 106: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

58

Page 107: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

1) Inkosistensi justifikasi penyerahan aktiva yang bukan merupakan barang dagangan

(semula tidak untuk dipeijualbelikan) dijadikan sebagai obyek PPN dengan ketentuan■

syarat keberlakuannya.

2) Implikasi dari inkosistensi antara justifikasi kebijakan dan content/syarat keberlakuannya

adalah kemungkinan terjadinya potensi cascading effect yang sangat besar karena limitasi

atau pengecualian pengenaan PPN hanya diberikan pada:

a. Aktiva yang pada saat perolehannya, Pajak Masukan atas perolehan aktiva

tersebut tidak dapat dikreditkan karena tidak mempunyai hubungan langsung

dengan kegiatan usaha,

b. Aktiva berupa kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon.

Tabel 4. 8

Syarat Terhutang PPN atas Penyerahan Aktiva Dalam UU No. 42 Tahun 2009

Pasal 1 huruf d angka 1) poin e / Pasal 1A ayat 1 huruf e

Pasal 16D

Aktiva yang diserahkan adalah bukan barang dagangan (aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan),

Aktiva yang diserahkan adalah bukan barang dagangan (aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan),

Penyerahan dilakukan dalam rangka pembubaran perusahaan (likuidasi),

Penyerahan bukan dilakukan dalam rangka pembubaran perusahaan (likuidasi). PKP yang menyerahkan aktiva masih beroperasi,

Semua aktiva, kccuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c, yaitu:1. Aktiva yang pada saat perolehannya, PajakMasukan atas perolehan aktiva tersebut tidakdapat dikreditkan karena tidak mempunyaihubungan langsung dengan kegiatan usaha,2. Aktiva berupa kendaraan bermotor berupasedan dan station wagon.

Semua aktiva, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c, yaitu:3. Aktiva yang pada saat perolehannya, Pajak

Masukan atas perolehan aktiva tersebut tidakdapat dikreditkan karena tidak mempunyaihubungan langsung dengan kegiatan usaha,

4. Aktiva berupa kendaraan bermotor berupasedan dan station wagon.

Yang menyerahkan adalah Pengusaha Kena Pajak (implisit mengacu pada Penjelasan Pasal 4 huruf a). 1

Yang menyerahkan adalah Pengusaha Kena Pajak.

4.3 Analisis Kritis atas Penyerahan Aktiva yang Semula Tidak untuk Diperjualbelikan yang dilakukan oleh Perbankan

Berdasarkan analisis pada sub-sub sebelumnya, telah dijelaskan bahwa perlakuan

PPN atas penyerahan aktiva yang semula tidak untuk diperjualbelikan merupakan special

treatment (dan tidak mengikuti kaidah normal approach) sehingga dalam menentukan

terhutang atau tidaknya pun menjadi suatu keharusan untuk menganalisis secara khusus casev

Page 108: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

59

Page 109: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

by case. Dengan kata lain, tidak bisa perlakuan PPN atas penyerahan aktiva diperlakukan

secara seragam / umum dengan hanya mengacu pada ada atau tidaknya aktiva yang

diserahkan. Terlebih, jika pengusaha melakukan kegiatan usaha yang termasuk dalam

lingkup object exemption (misalnya Jasa Tidak Kena Pajak) tetapi juga melakukan kegiatan

usaha yang termasuk dalam lingkup taxable service (Jasa Kena Pajak).

Salah satu usaha yang termasuk dalam kategori di atas dalam pengusaha yang bergerak

dalam kegiatan jasa perbankan. Dalam Pasal 16D, salah satu syarat untuk menentukan

terhutang atau tidaknya PPN atas penyerahan aktiva adalah bahwa yang melakukan

penyerahan adalah Pengusaha Kena Pajak. Analisis kritis hams dihadirkan dalam

menganalisis transaksi/penyerahan aktiva yang semula tidak untuk diperjualbelikan yang

dilakukan oleh pihak perbankan. Pertama, apakah aktiva yang semula tidak untuk

diperjualbelikan ini merupakan aktiva yang terkait dengan bank sebagai Pengusaha Kena

Pajak (PKP) ataukah sebaliknya. Hal ini mengacu pada Pasal 1 angkal4 dan angka 15 UU

No. 42 Tahun 2009 yang mengatur bahwa yang dimaksud dengan PKP (dalam konteks

penyerahan jasa) adalah Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun

yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya melakukan penyerahan penyerahan Jasa Kena

Pajak yang dikenai pajak. Pasal 1

14. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabcan, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.

15. Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini.

Dengan demikian, perlakuan pajak harus dibedakan antara a) penyerahan aktiva yang

memang benar-benar terkait dengan jasa perbankan yang menjadi obyek PPN /Jasa Kena

Pajak (misalnya persewaan safe deposit) dan b) penyerahan aktiva yang memang benar-

benar terkait dengan jasa perbankan yang bukan merupakan obyek PPN / Jasa Tidak Kena

Pajak.

Kedua, analitis kritis harus dilakukan dengan mengacu pada ketentuan pengecualian

pengenaan PPN atas penyerahan aktiva, khususnya terkait dengan ketentuan bahwa atas

aktiva yang pada saat perolehannya, Pajak Masukan atas perolehan aktiva tersebut tidak

dapat dikreditkan karena tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha, makaV

60

Page 110: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

atas penyerahan {transferred) aktiva tersebut tidak terhutang PPN. Hal ini harus dilakukan

karena Pasal 9 ayat (5) mengatur bahwa:

Pasal 9 (5) Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.

Pasal 9 ayat (5) memberikan penegasan bahwa Pajak Masukan hanya dapat dikreditkan atas

penyerahan yang terhutang PPN. Karena dalam praktiknya, perbankan melakukan

penyerahan JKP dan Non JKP, maka perlakuan PPN atas penyerahan aktiva perbankan harus

dibedakan antara a) penyerahan aktiva yang pada saat perolehannya dapat dikreditkan karena

berhubungan langsung dengan penyerahan JKP (misalnya pembelian peralatan safe deposit)

dan b) penyerahan aktiva yang pada saat perolehannya tidak dapat dikreditkan karena

berhubungan dengan penyerahan Non JKP.

Ketentuan penyerahan aktiva baik dalam pasal 1A ayat (1) huruf maupun Pasal 16D

pada dasamya mengecualikan pengenaan PPN atas penyerahan aktiva yang pada saat

perolehannya tidak dapat dikreditkan karena berhubungan dengan penyerahan Non JKP.

Karena itulah, tidak seluruh penyerahan aktiva yang dilakukan oleh perbankan dapat

dijadikan sebagai obyek PPN. Sebagai perbandingan, dapat dilihat Value Added Tax Act

1994, §24(l)(United Kingdom), sebagaimana dikutip berikut ini:

"For a Canadian case holding that a sale of an asset on which an input credit was denied is not a sale in the course of a commercial activity and therefore not taxable, see Aubrett Holdings Ltd. vH.M. The Queen, 1998 Can. Tax Ct. LEXIS 509" (Schenk dan Oldman, hal.l 14-1 IS).

61

Page 111: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

BAB 5 ANALISIS PERLAKUAN PPN ATAS • AGUNAN YANG DIAMBIL ALIH (AYDA)

5.1 Perlakuan PPN atas AYDA dalam kurun waktu 1983 - 2009

Sebagaimana telah dijelaskan dalam latarbelakang, bahwa salah satu upaya dalam

penyelesaikan kredit macet yang dilakukan oleh bank adalah pengambilalihan aktiva debitur

yang dijaminkan kepada bank pada saat melakukan pinjaman. Pengambilalihan Anggunan

Yang Diambil Alih (AYDA) biasanya dilakukan karena rumitnya eksekusi Hak Tanggungan

dan meningkatnya jumlah kredit macet. Penyerahan AYDA berupa Barang Kena Pajak

(BKP) yaitu aset dari debitur kepada bank merupakan penyerahan BKP untuk jaminan utang

piutang. Penjualan AYDA bukan merupakan kegiatan usaha bank, juga didukung dihapusnya

ketentuan Pasal 6 huruf k UU Perbankan yang berkaitan dengan pengambilalihan dan

penjualan agunan dari kegiatan usaha bank umum pada UU No. 10/1998 tentang Perubahan

atas UU No.7 Tahun 1-992 tentang Perbankan. Di samping itu, penjelasan pasal 2A UU

Perbankan No. 10/1998 mengatakan bahwa pembelian agunan oleh bank dimaksudkan

semata-mata agar dapat mempercepat penyelesaian kewajiban debitur dan bank juga tidak

diperbolehkan untuk memiliki agunan tersebut dan secepatnya agunan tersebut

dicairkan/dijual kembali.

62

Page 112: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

Tabel5.1

Ketentuan PPN atas AYDA

Page 113: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

mmKep DJP Nomor KEP - 546/PJ/2000 tertanggal 29 Desember 2000 tentang Saat Tenitangnya PPN atas Penyerahan BKP dalam rangka Restrukturisasi Perusahan dan Restmkturisasi Utang Usaha

':'!;'•::

1Penyerahan BKP dalam rangka restrukturisasi perusahaan dan restrukturisasi utang usaha adalah:I. Penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan dari debitur kepada kreditur (Bank Kreditur dan atau Badan Penyehatan Perbankan Nasional), dalam rangka program:a. Indonesian Bank Restructuring Agency (IBRA)/BadanPenyehalan Perbankan Nasional (BPPN);b. Indonesian Debt Restructuring Agency (INORA); atauc. Jakarta Initiative (Prakarsa Jakarta); yang merupakanpenyerahan yang bersifat sementara dan bukan untuk dimiliki.2. Penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dari Bank Kreditur dan atau BPPN dan atau melalui Juru Lelang kepada pembeli sebenarnya.

Pasal2

(i)Atas penyerahan aktiva sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1angka 1 belum terutang PPN(2)Saat tenitangnya PPN atas penyerahan aktiva sebagaimanadimaksud dalam Pasal 1 angka 1 adalah pada saat penyerahanaktivaPasal 3(1) Dalam hal aktiva tersebut tidak dialihkan atau tidak dijual oleh Bank Kreditur atau BPPN dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak penyerahan dari pihak debitur, maka Bank Kreditur atau BPPN dianggap telah menerima penyerahan aktiva sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 sehingga terutang PPN(2) PPN yang terutang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilunasi oleh Bank Kreditur atau BPPN.

■Mi ar.:

Page 114: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

Surat DJP Nomor S 869/PJ.313/2005 tertanggal 16 September 2005 tentang Aspek Perpajakan atas Agunan Yang Diambi! Alih (AYDA)

Angka 3 huruf(b) 1

Pengambilalihan aktiva milik debitur oleh Bank Kreditur atauBPPN bukan termasukdalam pengertian penyerahan BKP untuk jaminan hutang piutangyang tidak dikenakan PPN sebagaimana dimaksud dalam PasallAayat(2)hurufbUUPPN,amun merupakan penyerahan aktiva yang menurut tujuan semulatidak diperjualbelikan yang terutang PPN berdasarkan Pasal 16DUU PPN. Dalampenyerahan BKP untuk jaminan hutang piutang, hak atas BKPmasih berada padadebitur, sedangkan dalam pengambilalihan aktiva milik debiturkarena kredit macet,hak atas aktiva telah diserahkan kepada Bank Kreditur atau

Page 115: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

i j L" fvi i'Vr" ;"-" *-"- -"-" t ^Pi K^^®! * ! ^ *!' ' t ~+^ r i =: v-' ■ :-ifl !;f iym BPPN.

Angka 3 huruf (b) 4Tidak diperkenankannya Bank Kreditur atau BPPN untukmengkreditkan PPN yang telah disetor atas penyerahan aktivakarena Bank Kreditur atau BPPN bukanmerupakan PKP yang memperjualbelikan aktiva dan memungutPPN atas penjualan aktiva tersebut. Demikian juga apabila asettersebut dipergunakan sendiri dalam kegiatan usaha di bidangperbankan yang bukan merupakan JKP, Bank Kreditur tetap tidakdapat mengkreditkan Pajak Masukan mengingat Pajak Masukanyang dapat dikreditkan hanya Pajak Masukan yang berkaitandengan penyerahan yang terutang pajak.

Surat Edaran DJP Nomor SE • 121/PJ/2010 tertanggal 23 November 2010 tentang Penegasan Perlakukan PPN atas Kegiatan Usaha Perbankan

Angka 6 bank umum juga dapat melakukan kegiatan yang bukan merupakan penyerahan jasa, misalnya berupa mcmbeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalamhal nasabah debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal I2A UU Perbankan. Dalam hal ini, penjualan agunan, yang telah diambil aiih oleh bank tersebut, merupakan penyerahan BKP yang terutang PPN

5.2 Ketidakjelasan Dasar Hukum Pengenaan PPN atas Penjualan AYDA

Pada tanggal tanggal 23 November 2010, Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan Surat

Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 121/PJ/2010 Tentang Penegasan Perlakuan

Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Usaha Perbankan (selanjutnya disebut SE Dirjen

Pajak No. SE - 121/PJ/2010). Dalam SE tersebut, terdapat ketentuan yang terkait dengan

Agunan yang Diambil Alih (AYDA) sebagaimana dikutip berikut ini:

"6. Disamping usaha pada butir 3 sampai dengan butir 5 di atas, bank umum juga dapat melakukan kegiatan yang bukan merupakan penyerahan jasa, misalnya berupa membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal nasabah debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 12A UU Perbankan. Dalam hal ini, penjualan agunan, yang telah diambil alih oleh bank tersebut, merupakan penyerahan Barang Kena Pajak yang terutang PPN".

64

Page 116: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

Ketentuan butir 6 tersebut di atas, tidak mempunyai landasan hukum yang jelas,

karena tidak disebutkan apakah ketentuan ini mengacu pada Pasal 16D atau pasal Iainnya.« Padahal UU PPN hanya mengatur ketentuan obyek PPN (taxable supplies)

dalam Pasal 4

ayat (1), Pasal 1A ayat (1), Pasal 16C dan Pasal 16D. Ketentuan butir 6 SE Dirjen Pajak No.

SE - 121/PJ/2010 tersebut tidak selaras dengan asas certainty dalam pemungutan pajak.

Teriebih, masing-masing Pasal dalam UU PPN yang mengatur mengenai taxable supplies

mempunyai landasan konseptual teoritis, justifikasi dan persyaratan keberlakuan tersendiri.

Akibat ketidakjelasan payung hukum butir 6 SE Dirjen Pajak No. SE - 121/PJ/2010

ini adalah potensi dispute yang besar dalam pengimplementasian. Hal ini tentu akan

menimbulkan cost of taxation yang tinggi bagi kedua b'elah pihak. Sebagaimana telah

dijelaskan dalam kerangka teori, apabila terjadi dispute antara Wajib Pajak dan Fiskus dalam

menafsirkan suatu undang-undang, maka pendapat Prof. Dr. J.H.A. Logemann dapat

dijadikan sebagai pedoman. Urutan tentang cara-cara penafsiran itu adalah sebagai berikut:

1. Penafsiran menurut Ilmu Tata Bahasa,

2. Penafsiran menurut sejarah terjadinya hukum,

3. Penafsiran menurut sejarah terjadinya Undang-undang,

4. Penafsiran secara sistematis,

5. Penafsiran secara sosiologis,

6. Penafsiran menurut analogi.

Karena itu, penting bagi otoritas perpajakan selaku penyusun Surat Edaran tersebut untuk

memberikan penjelasan dasar pemikiran SE tersebut.

Dalam kesempatan seminar yang diadakan oleh Perbanas, pihak otoritas pajak

menyebutkan bahwa dasar hukum butir 6 SE Dirjen Pajak No. SE - 121/PJ/2010 ini adalah

Pasal 4 ayat (1) huruf a, bukan Pasal 16D. Jika memang hal ini yang dimaksud tim penyusun

SE Dirjen Pajak No. SE - 121/PJ/2010 ini, tentu ketentuan SE ini tentu tidak sejalan dengan

ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf a dan penjelasannya, karena bertentangan dengan normal

approach yang diadopsi oleh Pasal 4 ayat (1) huruf a (lihat sub bab mengenai Konsepsi PPN

atas Pengalihan Aktiva yang Semula Tidak untuk Diperjualbelikan (Transferred Assets),

khususnya Sub Sub Bab 1. Perkembangan Pengadopsian Pendekatan Umum (Normal

Approach) untuk Menentukan Penyerahan Kena Pajak (Taxable Supplies) dalam UU PPN di

Indonesia.

Secara konseptual teoritis, perlakuan PPN atas AYDA seharusnya mengacu pada

special treatment sebagaimana halnya penyerahan aktiva yang tidak diperjualbelikan. Sebagai

65

Page 117: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

contoh, Ukraina tidak menjadikan AYDA sebagai obyek PPN jika debitur pemilik agunan

bukan merupakan PKP.

"Starting from 5 August 2009, transactions concerning the subsequent sale of collateral (including mortgaged) assets that banks and other financial institutions have repossessed from non-VATpayers has been exempt from VAT (under Law of Ukraine No.1617 of 24 July 2009). Please note that this norm was duplicated in Law of Ukraine No.1533 of 23 June 2009. Therefore, the Law of Ukraine "On the Value-Added Tax" provides for two identical paragraphs 5.19 " (Ernst and Young, Newsletter, 2010).

5.3 Analisis Kritis Perlakuan PPN atas Penjualan AYDA yang Dilakukan oleh Pihak Perbankan

Sebelum diterbitkannya SE Dirjen Pajak No. SE - 121/PJ/2010, perlakuan PPN atas

AYDA tidak memiliki kepastian hukum. Namun secara umum, perlakuan PPN atas AYDA

lebih tepat mengacu pada Pasal 16D tinimbang Pasal 4 ayat (1) huruf a / Pasal 1 ayat (1)

huruf a karena AYDA bukan merupakan barang dagangan dan nature of business perbankan

juga bukan merupakan jual beli aktiva. Karena itu, pada umumnya, sebelum UU No. 42

Tahun 2009, penjualan/penyerahan AYDA yang dilakukan oleh pihak perbankan bukan

merupakan obyek PPN jika memenuhi salah satu dari kondisi sebagai berikut:

a) Pajak Masukan atas perolehan AYDA tersebut bukan merupakan Pajak masukan yang

dapat dikreditkan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1A ayat (2) huruf b UU No. 18

tahun 2000, penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang bukan

merupakan penyerahan yang terhutang PPN. Karena itu, ketika bank mengambil alih

agunan dari debitur, maka tidak ada Pajak Masukan yang dibayar oleh pihak bank

selaku kreditur.

b) Pihak yang melakukan penyerahan adalah PKP. AYDA pada dasamya merupakan

proses dari agunan yang diserahkan oleh pihak debitur terkait dengan

pinjaman/pembiayaan. Dengan demikian, jasa yang diberikan oleh perbankan dalam

proses ini adalah Non JKP. Karena itu dalam konteks ini bank bukanlah PKP

sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 14 dan IS UU No. 18 Tahun 2000.

Setelah diterbitkan SE Dirjen Pajak No. SE - 121/PJ/2010, perlakuan PPN atas AYDA

menjadi tidak bertambah jelas, karena beberapa hal sebagai berikut:

1) Dalam butir 6 disebutkan bahwa bank umum juga dapat melakukan kegiatan yang

bukan merupakan penyerahan jasa, misalnya berupa membeli sebagian atau seluruh

agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan

secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luary

66

Page 118: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

lelang dari pemilik agunan dalam hal nasabah debitor tidak memenuhi kewajibannya

kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkanm

secepatnya, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 12A UU Perbankan. SE Dirjen

Pajak No. SE - 121/PJ/2010 mengatur bahwa penjualan agunan, yang telah diambil

alih oleh bank tersebut, merupakan penyerahan Barang Kena Pajak yang terutang

PPN.

Yang menjadi permasalahan dalam ketentuan SE Dirjen Pajak No. SE - 121/PJ/2010 tersebut

adalah:

a) Pembelian agunan oleh pihak Bank bukan dimaksudkan untuk dijadikan barang

dagangan dengan harapan bank akan mendapatkan capital gain atas penjualan agunan

tersebut. Dalam Pasal 12A UU Perbankan disebutkan bahwa pembelian agunan oleh

Bank selaku kreditur dimaksudkan untuk mempercepat penyelesaian kewajiban

Nasabah debiturnya. Bank bahkan tidak diperbolehkan memiliki agunan yang

dibelinya dan secepat-cepatnya hams dijual kembali agar hasil penjualan agunan

dapat segera dimanfaatkan oleh bank, sebagaimana dikutip secara lengkap berikut ini:

"Pasal 12 A

(1) Bank Umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui

pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh

pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik

agunan dalam hal nasabah debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank,

dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya.

(2) Ketentuan mengenai tata cara pembelian agunan dan pencairannya sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah."

Penjelasan Pasal 12 A

Ayat(l)

Pembelian agunan oleh bank melalui pelelangan dimaksudkan untuk membantu bank

agar dapat mempercepat penyelesaian kewajiban nasabah debiturnya. Dalam hal bank

sebagai pembeli agunan Nasabah debiturnya, status bank adalah sama dengan pembeli

bukan bank lainnya. Bank dimungkinan membeli agunan di luar pelelangan

dimaksudkan agar dapat mempercepat penyelesaian kewajiban Nasabah debiturnya.

Bank tidak diperbolehkan memiliki agunan yang dibelinya dan secepat-cepatnya

harus dijual kembali agar hasil penjualan agunan dapat segera dimanfaatkan oleh

bank.•V

Page 119: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

67

Page 120: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

Ayat (2)

Pokok-pokok ketentuan yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah memuat

antara lain:

a. Agunan yang dapat dibeli oleh bank adalah agunan yang kreditnya telah

dikategorikan macet selama jangka waktu tertentu;

b. Agunan yang telah dibeli wajib dicairkan selambat-lambatnya dalam jangka waktu

satu tahun;

Dari ketentuan di atas dapat diketahui bahwa penjualan AYDA oleh pihak Bank tidak/belum

tentu memenuhi dimensi-dimensi business activity seperti continuity, value, profit dan

Appearance of Business.

2) Terjadi cascading effect karena Pajak Masukan atas perolehan AYDA tersebut bukan

merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, karena:

i. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1A ayat (2) huruf b UU No. 42 tahun 2009,

penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang bukan merupakan

penyerahan yang terhutang PPN. Karena itu, ketika bank mengambil alih agunan dari

debitur, maka tidak ada Pajak Masukan yang dibayar oleh pihak bank selaku kreditur.

ii. Selain itu, ketika debitur menyerahkan agunan tersebut secara sukarela atau

berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang kepada pihak Bank, atas penyerahan

tersebut bukan merupakan penyerahan yang terhutang PPN baik berdasarkan pasal 1A

ayat (1) huruf a (karena tidak ada transfer of ownership/ hak kepemilikan belum

berubah) ataupun berdasarkan Pasal 16D.

3) Pihak yang melakukan penyerahan adalah PKP.

AYDA pada dasarnya merupakan proses dari agunan yang diserahkan oleh pihak debitur

terkait dengan pinjaman/pembiayaan. Dengan demikian, jasa yang diberikan oleh

perbankan dalam proses ini adalah Jasa Tidak Kena Pajak (Non JKP). Karena itu dalam

konteks ini bank bukanlah PKP sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 14 dan 15

UU No. 42 Tahun 2009.

V

68

Page 121: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

BAB 6 ANALISIS PERLAKUAN PPN ATAS PEMBERIAN CUMA-CUMA

(DAN PEMAKAIAN SENDIRI)

6.1 Konsepsi Teoritis Pengenaan PPN atas Pemberian Cuma-cuma

Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab-bab sebelumnya, PPN hanya dikenakan atas

aktivitas usaha (business activity - di Indonesia disebut dalam rangka kegiatan usaha atau

pekerjaannnya). Karena itu, penyerahan yang dilakukan bukan dalam aktivitas usaha

misalnya kegiatan yang berkaitan dengan hobbi scseorang atau hadiah yang diberikan karena

seorang pribadi, serta aktivitas filantropi / kedermawanan sosial / amal yang tidak ada

kaitannya dengan konten komersial, seharusnya tidak dikenakan PPN.

"VAT is a tax on supplies made in the course or furtherance of economic activity, or. put another way, as part of a business. It should therefore be confined to activities of this nature and not be imposed on other activities, such as the personal hobbies of an individual, gifts made for personal reasons, or charitable activities with no business or commercial content. In practice, the separate criterion that a supply of goods and services must be made, or treated as made, for consideration (or against payment) serves to remove many nonbusiness activities from the scope o/"K4 7"'(Thuronyi, hal. 33-34).

Dengan demikian para ahli perpajakan menekanakan bahwa pada akhirnya, UU PPN

biasanya mengatur secara jelas bahwa hanya aktivitas usaha yang termasuk dalam cakupan

PPN, sebagaimana ditegaskan oleh Willliam berikut ini: "As a result, the law imposing the

VAT usually makes it clear that only economic activities are within the scope of the tax"

(Thuronyi, hal. 34).

Pada prinsipnya, jika tidak ada pembayaran atau piutang atas suatu penyerahan, maka

tidak ada penyerahan yang terhutang PPN. Namun pengamanan untuk kepentingan

penerimaan negara (sesuai prinsip revenue productivity) diperlukan untuk mencegah

penyelundupan pajak (tax evasion) atau aggresive tax planning. Willliam memberikan

contoh, jika PKP memberikan hadiah untuk tujuan bisnis (atau terkait dengan aktivitas

usahanya) maka pemberian hadiah ini harus termasuk dalam obyek pemungutan PPN.

"In principle, if there is nothing paid or payable for a supply, then it is not a taxable supply. Safeguards are needed to prevent the operation of this principle from allowing transactions to escape a charge to VAT in inappropriate situations. For example, a taxable person who makes gifts of goods acquired for the purpose of the persons economic activities should be brought within the scope of the tax" (Thuronyi, hal. 36).

V

69

Page 122: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

Begitu juga, jika PKP mengunakan barang yang dibelinya untuk kepentingan pribadi atau

penggunaan/pemakaian sendiri tersebut harus menjadi obyek PPN. "Likewise, an individual

trader who personally uses goods purchased for the business should also be made subject to

VAT on the use'XThuronyi, hal. 36).

Menurut pendapat para ahli PPN, justifikasi pengenaan PPN atas pemberian Cuma-

cuma dan pemakaian sendiri adalah karena karena PKP akan menerima Pajak Masukan pada

saat pembelian/perolehan BKP tersebut Jika atas pemberian Cuma-cuma dan pemakaian

sendiri ini tidak dijadikan sebagai obyek PPN (berarti tidak ada Pajak masukan), maka akan

terdapat subsidi tersembunyi (hidden subsidy) kepada PKP yang bersangkutan.

"The reason for this is that the trader will have received a VAT credit (or deduction for input tax) for the goods on purchase. If there is no offsetting output tax, then there is a hidden subsidy of the trader's personal consumption and gifts" (Thuronyi, hal.36).

Hal ini tentu saja akan merusak netralitas pemungutan PPN. Padahal netralitas inilah yang

menjadi kelebihan pemungutan PPN dibanding Pajak Penjualan.

Berdasarkan argumentasi/justifikasi konseptual teoritis tersebut, para ahli PPN

menganjurkan agar deflnisi penyerahan BKP yang terhutang PPN diperluas cakupannya.

Menurut William, beberapa transaksi yang dapat dipertimbangkan untuk tujuan ini adalah 1)

Pemakaian sendiri, termasuk untuk kepentingan keluarga dan rumah tangganya, 2) Hadiah

atau pemakaian barang yang dilakukan oleh PKP dimana barang tersebut dibeli semata-mata

untuk tujuan bisnis, dan 3) Penyerahan BKP kepada karyawan/pegawai (tanpa adanya

tagihan), sebagaimana dapat dilihat dalam kutipan berikut:

// is therefore wise to extend the definition of supply for consideration to cover certain nonbusiness uses of a supply. The following transactions or occasions should be considered for this purpose:(a) personal consumption by an individual of goods purchased for the

individual's business, including consumption by the individual's family andhousehold;

(b) gifts of goods, or the use of goods, made by a taxable person where the goods were purchased solely for the person's business, and the gifts are not themselves for business purposes (e.g., advertising or trade samples); and

(c) supplies of goods made without charge to employees of the taxable person.(Thuronyi, hal.36).

6.2 Perkembangan Pengadopsian Konsep PPN atas Pemberian Cuma-cuma (dan Pemakaian Sendiri) Dalam UU PPN di Indonesia

Mengikuti rekomendasi dari para ahli PPN, sejak PPN pertama kali diberlakukan dalam

sistem perpajakan .Indonesia, pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma menjadi

70

Page 123: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

penyerahan BKP yang terhutang PPN (taxable supplies of goods). Pada perkembangannya

kebijakan ini mengalami perubahan sebagaimana dapat dilihat dalam Tabel di bawah ini.

Tabel 6. 1

Perkembangan Ketentuan Pemakaian Sendiri dan Pemberian Cuma-cuma Dalam UU PPN di Indonesia

UUNo.8 *' ' Tahuhl983

1 UUNo.ll Tahiin 1994

UU.No. 18 Tahuii 2000

UlTNq.42 '• ' faKufl20fl9> „ • >.

Pasal 1 ayat (d) angka 1 Yang lermasuk dalam pengertian penyerahan BKP adalah:e)pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma;

Pasal 1 ayat (d) angka 1 Yang lermasuk dalam pengertian penyerahan BKP adalah:d)pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma:

Pasal lAayat(l) Yang lermasuk dalam pengertian penyerahan BKP adalah:d.pemakaian sendiri dan alau pemberian cuma-cuma alas BKP;

Pasal lAayat(l) Yang lermasuk dalam pengertian penyerahan BKP adalah:d.pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas BKP;

Penjelasan:1) Yang lermasuk dalam

pengertian Penyerahan Barang Kena Pajak: e) pemakaian sendiri diartikan pemakaian untuk kepentingan Pengusaha sendiri, pengunis, atau karyawannya. Sedangkan pemberian cuma-cuma diartikan sebagai pemberian yang diberikan lanpa pembayaran, antara lain pemberian contoh barang untuk promosi kepada relasi atau pembeli.

Penjelasan: d) Pemakaian sendiri diartikan pemakaian untuk kepentingan Pengusaha sendiri. pengurus. atau karyawannya. Sedangkan pemberian cuma-cuma diarlikan sebagai pemberian yang diberikan tanpa pembayaran, antara lain pemberian contoh barang untuk promosi kepada relasi atau pembeli.

Penjelasan: HurufdPemakaian sendiri diarlikan pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawannya, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri. Sedangkan pemberian cuma-cuma diartikan sebagai pemberian yang diberikan tanpa pembayaran baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, antara lain pemberian contoh barang untuk promosi kepada relasi atau pembeli.

Penjelasan:Yang dimaksud dengan

"pemakaian sendiri" adalah pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawan, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri. Yang dimaksud dengan "pemberian cuma-cuma" adalah pemberian yang diberikan tanpa pembayaran baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, seperti pemberian contoh barang untuk promosi kepada relasi atau pembeli.

6.2.1 Perlakuan PPN atas Pemberian Cuma-cuma (dan Pemakaian Sendiri) Sebelum UU No. 18 Tahun 2000

Pada UU PPN 1983, ketentuan pemakaian sendiri dan pemberian Cuma-cuma 30

Januari 1985 diatur lebih lanjutdalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE

-09/PJ.3/1985 Tentang Pemakaian Sendiri Dan Pemberian Cuma-cuma (SERI PPN-28).

Beberapa penegasan yangdiatur adalah sebagai berikut:

1) Yang dimaksud dengan pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus atau

karyawannya. Sedangkan pemberian cuma-cuma diartikan sebagai pemberian yang

diberikan tanpa pembayaran, antara lain pemberian contoh barang untuk promosi kepada

relasi atau pembeli. Kedua tindakan ini termasuk dalam pengertian Penyerahan Barang

Kena Pajak.

2) Pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma yang terhutang Pajak Pertambahan Nilai

tersebut diatas hendaknya ditafsirkan bahwa Barang Kena Pajak tersebut diatas

V

71

Page 124: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

hendaknya ditafsirkan bahwa Barang Kena Pajak tersebut diperoleh/diimpor atau

dihasilkan sendiri, selain untuk dijual, sebagian dipakai (dikonsumir) sendiri oleh

Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan atau diberikan kepada anggota keluarganya,

karyawannya atau dikirimkan secara cuma-cuma kepada para relasi, langganan dan

pembeli dalam rangka promosi ataupun hubungan baik. Atas pemakaian sendiri atau

pemberian cuma- cuma tersebut terhutang Pajak Pertambahan Nilai, artinya Pengusaha

Kena Pajak yang bersangkutan hams menghitung dan membayar Pajak Pertambahan

Nilainya sebagai Pajak Keluaran.

3) Karena Barang Kena Pajak yang bersangkutan dalam-hal ini tidak dijual, maka dalam

jumlah yang seharusnya diminta itu dapat saja oleh Pengusaha Kena Pajak tidak

diperhitungkan bagian labanya.

4) Karena pada umumnya yang menerima pemberian cuma-cuma ataupun pemakaian

sendiri Barang Kena Pajak tidak dalam kedudukannya sebagai Pengusaha Kena Pajak,

maka tidak perlu dikeluarkan Faktur Pajak, namun Pengusaha Kena Pajak hendaknya

membuat bukti intern untuk keperluan tata usaha pembukuan Pengusaha Kena Pajak

tersebut. Perlu ditambahkan bahwa Pengusaha Kena Pajak tersebut harus mencatat

penyerahan Barang Kena Pajak untuk pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma

tersebut didalam Buku Penjualan dengan keterangan "Pemakaian sendiri/Pemberian

cuma-cuma".

Perlakuan Pajak Masukan atas pemakaian sendiri dan pemberian Cuma-cuma, secara lebih

spesifik diatur dalam Surat Edaran Direktur Jcnderal Pajak Nomor SE - 01/PJ./1991 Tentang

Pajak Masukan Yang Tidak Dapat Dikreditkan Dan Pembebanannya Sebagai Biaya

Perusahaan, yang diterbitkan tanggal 4 Januari 1991.

Dalam SE-0 l/PJ./l 991 tersebut diatur ketcntuan sebagai berikut:

1). Paiak Masukan atas BKP vanp berasal dari produksi sendiri:

1.1. Pemakaian sendiri:

Pemakaian sendiri hasil produksi sendiri dilihat dari tujuan pemakaiannya dibedakan

dalam:

a) Pemakaian sendiri untuk tujuan konsumtif.

Atas pemakaian sendiri oleh PKP untuk tujuan konsumtif BKP yang berasal dari

produksinya sendiri terutang PPN. PPN tersebut merupakan Pajak Keluaran dan juga

merupakan Pajak Masukan bagi PKP yang bersangkutan. Pajak Masukan yang

dibayar oleh. PKP yang bersangkutan tidak dapat dikreditkan. Contoh : Pabrikan

72

Page 125: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

minuman ringan menggunakan hasil produksinya untuk konsumsi karyawan atau para

tamu.

Perlakuan PPN:

PPN dan/atau PPn BM hams dibayar oleh pengusaha yang bersangkutan sesuai

dengan Pasal 1 huruf d angka 1 huruf e jo Pasal 4 ayat (1) huruf a angka 1 UU PPN

1984. PPN yang dibayar merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.

Perlakuan PPh:

Untuk pembebanan sebagai biaya perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 PP

No. 42 tahun 1985, maka PPN yang tidak dapat dikreditkan dapat dikurangkan dari

penghasilan bruto sepanjang pengeluarannya termasuk biaya sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a UU PPh 1984 yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih

dan memelihara penghasilan. Sebaliknya apabila PPN yang tidak dapat dikreditkan

tersebut berasal dari pengeluaran yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan

bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d, f, h dan i UU PPh 1984,

maka PPN yang dibayar tidak dapat dibebankan sebagai biaya. Dengan demikian, maka

dalam hal minuman tersebut disuguhkan kepada para tamu dalam kaitannya dengan

usaha untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, maka atas pengeluaran

untuk minuman tersebut dapat dibebankan sebagai biaya sesuai dengan ketentuan Pasal 6

ayat (1) huruf a UU Pajak Penghasilan 1984. Apabila minuman tersebut diberikan untuk

konsumsi karyawan, maka atas pengeluaran untuk minuman tersebut berdasarkan

ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf d UU Pajak Penghasilan 1984 tidak dapat dikurangkan

sebagai biaya perusahaan karena merupakan kenikmatan {fringe benefit) dan bagi

karyawan bukan merupakan penghasilan. b) Pemakaian sendiri untuk tujuan produktif.

Yang dimaksud pemakaian sendiri untuk tujuan produktif adalah pemakaian hasil

produksi sendiri untuk keperluan yang berhubungan langsung dengan kegiatan

usahanya. Contoh : Pabrikan mobil/truck mempergunakan sendiri truck yang

diproduksinya untuk kegiatan usaha mengangkut bahan baku spare partsftarang

dagangan dari suatu tempat ke pabriknya atau ke tempat pembeli. Perlakuan PPN:

Atas pemakaian sendiri ini terutang PPN. Pajak Keluaran hams dibayar sendiri oleh

pengusaha yang bersangkutan. PPN yang dibayar merupakan Pajak Masukan yang

dapat dikreditkan. v

73

Page 126: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

Perlakuan PPh:

Karena telah dikreditkan sebagai Pajak Masukan maka PPN tidak dapat di bebankan

sebagai biaya untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak. 1.2. Pemberian cuma - cuma.

Penyerahan hasil produksi sendiri untuk pemberian cuma-cuma kepada pihak

Iainterutang PPN. PPN tersebut merupakan Pajak Keluaran dan juga Pajak Masukan

bagi PKP yang bersangkutan. PPN yang dibayar merupakan Pajak Masukan yang

tidak dapat dikreditkan. Untuk PPh, sepanjang pemberian cuma-cuma seperti ini

termasuk dalam pengertian pemberian natura kepada karyawan sebagaimana

dimaksud dalam Buku Petunjuk Umum Pembukuan Untuk Perpajakan dan termasuk

dalam pengertian fringe benefit, sumbangan, hibah sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 9 ayat (1) huruf d, f, h dan i UU PPh 1984, Pajak Masukan yang tidak dapat

dikreditkan tidak dapat dibebankan sebagai biaya.

2). Paiak Masukan atas BKP vane berasal bukan dari produksi sendiri:

Untuk PPN, Pajak Masukan atas perolehan BKP yang berasal bukan dari produksinya

sendiri yang digunakan untuk pemakaian sendiri dengan tujuan konsumtif maupun pemberian

cuma-cuma berupa hadiah/sumbangan tidak dapat dikreditkan sebagaimana ditegaskan dalam

Buku Petunjuk Umum Pembukuan Untuk Perpajakan. Untuk PPh, apabila pengeluaran

tersebut termasuk dalam pengeluaran yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d,f, h dan i UU PPh tahun 1984, maka

Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan yang berkenaan dengan pengeluaran tersebut

juga tidak dapat dibebankan sebagai biaya.

6.2.2 Perlakuan PPN atas Pemberian Cuma-cuma (dan Pemakaian Sendiri) Setelah UU No. 18 Tahun 2000

Paska pengesahan UU No. 18 Tahun 2000, perlakuan PPN atas Pemberian Cuma-

cuma (dan Pemakaian Sendiri) diatur lebih lanjut dalam :

1) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep - 87/PJ./2002 Tentang Pengenaan Pajak

Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas Pemakaian Sendiri

Dan Atau Pemberian Cuma-cuma Barang Kena Pajak Dan Atau Jasa Kena Pajak

V

74

Page 127: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

2) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 04/PJ.51/2002 Tentang Pengenaan

Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas Pemakaian

Sendiri Dan Atau Pemberian Cuma-cuma Barang Kena Pajak Dan Atau Jasa Kena Pajak

Berikut ini poin-poin dalam kedua ketentuan tersebut.

6.2.2.1 Perlakuan PPNatas Pemakaian Sendiri

1) Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak adalah pemakaian untuk kepentingan Pengusaha

sendiri, Penguins, atau diberikan kepada anggota keluarganya atau karyawannya, baik

barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, selain pemakaian Barang Kena

Pajak untuk tujuan produktif.

2) Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak adalah pemakaian untuk kepentingan Pengusaha

sendiri, Pengurus, atau diberikan kepada anggota keluarganya atau karyawannya, baik

barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, selain pemakaian Barang Kena

Pajak untuk tujuan produktif.

3) Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan atau Pemanfaatan Jasa Kena Pajak untuk

tujuan produktif adalah pemakaian Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang

nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang

mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha Pengusaha yang bersangkutan.

4) Barang Kena Pajak adalah meliputi produk utama, produk sampingan, dan limbah.

5) Pemakaian Barang Kena Pajak dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak untuk tujuan

produktif belum merupakan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa kena Pajak

sehingga tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang

Mewah.

6) Atas pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak terutang Pajak

Pertambahan Nilai dan hams diterbitkan Faktur Pajak.

7) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang harus dibayar sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak

yang bersangkutan.

8) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dalam Faktur Pajak merupakan Pajak Keluaran.

9) Dalam Faktur Pajak identitas Pengusaha Kena Pajak dan Pembeli Barang Kena

Pajak/Penerima Jasa Kena Pajak adalah sama yaitu Pengusaha Kena Pajak yang

bersangkutan.

10)Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk menghitung besarnya Pajak Pertambahan

Nilai yang terutang adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor.V

75

Page 128: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

ll)Disamping dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, atas pemakaian sendiri Barang Kena

Pajak produksi sendiri yang tergolong mewah, juga dikenakan Pajak Penjualan Atas

Barang Mewah.

12)Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak atas perolehan Barang

Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk menghasilkan Barang Kena

Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk pemakaian sendiri atau atas

perolehan Barang Kena Pajak yang kemudian dipakai sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak

merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sepanjang memenuhi persyaratan

sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

13)Atas pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak bukan untuk

tujuan produktif terutang Pajak Pertambahan Nilai dan hams diterbitkan Faktur Pajak.

Pajak Pertambahan Nilai yang tercanrum dalam Faktur Pajak merupakan Pajak Keluaran

dan sekaligus merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.

14) Contoh pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak: i)

Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak bukan untuk tujuan produktif.

- Pabrikan minimum ringan menggunakan hasil produksinya untuk konsumsi

karyawan atau para tamu.

- Dalam rangka promosi produk sepatu yang baru, pabrikan sepatu membeli

topi dalam jumlah yang besar. Sebagaian dari topi tersebut diberikan untuk

konsumsi karyawannya.

- Perusahaan telekomunikasi selurar memberikan fasilitas bebas biaya telepon

selular kepada para direksinya.

ii) Pemakaian Barang Kena Pajak untuk tujuan produktif yang nyata-nyata digunakan

untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha

Pengusaha yang bersangkutan.

- Pabrikan mobil/truck mempergunakan sendiri truck yang diproduksinya untuk

kegiatan usaha mengangkut bahan baku spare parts/barang dagangan dari

suatu tempat ke pabriknya atau ke tempat pembeli.

- Pabrikan minyak kelapa sawit menggunakan limbahnya berupa cangkang/kulit

dari inti sawit sebagai pengeras jalan di lingkungan pabrik.

- Perusahaan telekomunikasi menggunakan saluran teleponnya untuk kegiatan

operasional perusahaan dalam berkomunikasi dengan mitra bisnisnya.

iii) Pemakaian Barang Kena Pajak untuk tujuan produktif yang nyata-nyata digunakan

untuk kegiatan produksi selanjutnya.

76

Page 129: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

- Pabrikan minyak kelapa sawit menggunakan limbahnya berupa cangkang/kulit

dari inti sawit sebagai bahan pembakaran boiJer dalam proses pabrikasi.

- Pabrikan kayu lapis/plywood menggunakan hasil produksinya berupa kayu

lapis/plywood untuk membungkus kayu lapis/plywood yang akan dipasarkan

agar tidak rusak.

- Perusahaan telekomunikasi melalui sambungan saluran teleponnya selain

menyediakan jasa komunikasi melalui telepon juga menyediakan jasa provider

internet bagi konsumennya.

6.2.2.2 Perlakuan PPN atas Pemberian Cuma-cuma

1) Pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak adalah pemberian yang diberikan tanpa

imbalan pembayaran baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri,

termasuk pemberian contoh barang untuk promosi kepada relasi atau pembeli.

2) Pemberian cuma-cuma Jasa Kena Pajak adalah pemberian Jasa Kena Pajak yang

dilakukan kepada pihak lain tanpa imbalan pembayaran.

3) Barang Kena Pajak adalah meliputi produk utama, produk sampingan, dan limbah.

4) Atas pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak baik yang dilakukan secara tersendiri

atau menyatu dengan barang yang dijual terutang Pajak Pertambahan Nilai dan harus

diterbitkan Faktur Pajak.

5) Atas pemberian cuma-cuma Jasa Kena Pajak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan harus

diterbitkan Faktur Pajak.

6) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang harus dipungut dan disetor oleh Pengusaha Kena

Pajak yang bersangkutan.

7) Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar merupakan Pajak Keluaran.

8) Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk menghitung besarnya Pajak Pertambahan

Nilai yang terutang adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor.

9) Disamping dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, atas pemberian cuma-cuma Barang Kena

Pajak produksi sendiri yang tergolong mcwah, juga dikenakan Pajak Penjualan Atas

Barang Mewah.

10)Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak atas perolehan Barang

Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk menghasilkan Barang Kena

Pajak dan atau Jasa Kena Pajak untuk pemberian cuma-cuma atau atas perolehan Barang

Kena Pajak yang kemudian diberikan secara cuma-cuma merupakan Pajak Masukan yang

V

77

Page 130: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

dapat dikreditkan sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam

ketentuan perundang-undangan yang berlaku.«

ll)Pajak Pertambahan Nilai yang telah dipungut dan disetor atas pemberian cuma-cuma

Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak, dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena

Pajak penerima Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak sepanjang memenuhi

persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan perundangan yang berlaku.

12) Contoh Pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak:

- Pabrikan mie instan memberikan bantuan berupa mie instan hasil produksinya

kepada korban bencana alam.

- Pabrikan mie instan memberikan contoh produknya kepada para relasi.

- Pabrikan shampo memberikan 1 sabun mandi untuk setiap penjualan 1 botol

produk shamponya.

- Perusahaan jasa persewaan traktor memberikan bantuan penggunaan traktor

kepada pemerintah untuk mengatasi tanah Iongsor.

6.3 Analisis Kritis Perlakuan PPN atas Pemberian Cuma-cuma (dan Pemakaian Sendiri) yang Dilakukan oleh Pihak Perbankan

Sebenarnya, disain kebijakan PPN atas Pemberian Cuma-cuma (dan Pemakaian

Sendiri) yang berlaku di Indonesia, telah memenuhi aspek konseptual teoritis serta selaras

dengan asas netralitas. Pada dasamya beban PPN atas kebijakan ini sangat minim, karena

memang yang menjadi tujuan utamanya adalah menghindari hidden subsidy dan bukan dalam

rangka revenue productivity. Dengan demikian asas netralitas yang menjadi landasan dasar

penyusunan kebijakan PPN sangat terjaga dengan baik.

Dari sisi cost of taxation, khususnya compliance cost dan enforcement cost, kebijakan

PPN atas Pemberian Cuma-cuma (dan Pemakaian Sendiri) relatif rendah karena beberapa hal

sebagai berikut (Rosdiana, 2012):

1) Dari sisi direct money cost, sebenarnya beban PPN tidak ada, karena Pajak Masukan atas

peroleh BKP yang diberikan secara cuma-cuma tersebut, dapat dikreditkan sepanjang

memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan perundang-undangan

yang berlaku. Ilustrasi penghitungannya adalah sebagai berikut:

Page 131: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

78

Page 132: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

Gambar6. 1 Cost of Taxation atas

Pembcrian Cuma-cuma

Page 133: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

VembetKnCinti'a-cuina P«n«flm»Pctiibei|an

Page 134: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

• Aiuniil: H jrgd lual s dp. 10 |ula• M amungul P ij afc Rekimn selxjJiRp. ljuta• M<ni(f jt jitPjjdkM jsul.jo bajiPeiiibeKIPKP'X")

• Kteniungut Pa|.iH:«Kiai.ni jsbisatR|). ljuU

•DPP=NI«IUln|hJtwJU»tW*kUniiJJiiHaljjIotor)• PPMTeihu»ne=PK-PM = lJuta-ljuta = 0

• >J»j -1 <IUr?<liH:)nol?l)P<ngmahi)Ktn»P»likp»ntitmaBpw(KttiiPajat ri.»na!aui3£jKeii3p3J3k:■;..;,; :i.-i:i.:n,^:. !.|^ :.-.:.^ .1.

lebjgalmjnadft-itaptandjlani(:«t*nlujnp«tun(ljn5in,an{b«ilJki

Page 135: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

r Dengan demikian yang dikcluarkan hanya bempa biaya administralif pembuatan Faktur

Pajak. 2) Dari sisi enforcement cost, kebijakan ini juslru membantu mencegah terjadinya tax

evasion dan aggressive tax planning yang pada akhirnya akan merugikan bangsa dan

negara. Kebijakan ini juga selaras dengan international best practice, sebagaimana dapat dilihat

dalam kasus Putusan Pcngadilan di Eropa yang memutuskan bahwa hadiali cuma-cuma kepada

pclanggan yang memberikan informasi pclanggan yang potensial (semacam member get member),

merupakan obyek penyerahan yang tcrliutang PPN.

"In Empire Stores Ltd v. Commissioners of Customs and Excise (Case 33/93, [1994] 3 All ER 90 (Judgment of the ECJ 1994) a mail order business gave"free" gifts to individuals who provided personal information about credit-worthiness of themselves or other potential customers. The court held (hat if there is a direct link between the goods provided and the consideration received (the information about the customer), there is a taxable transaction with the taxable amount equal to the cost to the firm (not the retail value) of the goods provided in return for that information ".(Schenk, hal. 252).

Mcskipun demikian ada beberapa kclcmahan dalam disain kebijakan pemberian cuma-cuma

yang selama ini bcrlaku, yaitu:

1) Kebijakan ini seharusnya diselarasakan dengan kebijakan PPh yang mendorong kegiatan

filatropi. Atas pemberian cuma-cuma untuk sumbangan (yang kctentuannya diatur khusus)

seharusnya tidak dijadikan scbagai obyek PPN. Pcngecualikan semacam ini sudah menjadi

kelaziman inlcrnasional. Terlebih jika sumbangan/pemberian cuma-cuma ini terkait dengan

bencana alam nasional. 2) Berbeda dengan pemakaian sendiri yang memberikan contoh barang

bukan produksi scndiri, Surat Hdaran Direktur Jcnderal I'ajak Nomor SO -

04/PJ.51/2002 tidak

79

Page 136: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

memberikan contoh barang bukan produksi sendiri dalam pemberian cuma-cuma.

Padahal dalam SE tersebut tidak menggunakan kata-kata antara lain melainkan semacam*

close list sebagaimana dikutip berikut ini:

"B. Contoh Pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak:

- Pabrikan mie instan memberikan bantuan berupa mie instan hasil produksinya kepada korban bencana alam.

- Pabrikan mie instan memberikan contoh produknya kepada para relasi.- Pabrikan shampo memberikan 1 sabun mandi untuk setiap penjualan 1 botol

produk shamponya.- Perusahaan jasa persewaan traktor memberikan bantuan penggunaan traktor

kepada pemerintah untuk mengatasi tanah longsor."

Hal ini justru menimbulkan ketidakpastian karena memberikan ruang terbuka untuk

diinterpretasikan secara berbeda-beda, baik oleh fiskus maupun oleh pengusaha.

Terkait dengan pemberian cuma-cuma yang dilakukan oleh perbankan, analisis kritis

hams dihadirkan dalam menganalisis pemberian cuma-cuma yang dilakukan oleh pihak

perbankan. Pertama, karena Pasal 1A ayat (1) huruf d adalah berkaitan dengan Pasal 4 ayat

(1) huruf a dan penjelasannya, maka syarat-syarat untuk menentukan terhutang atau tidaknya

PPN {normal approach) berlaku dalam menganalisis perlakuan PPN atas pemberian cuma-

cuma. Khususnya terkait dengan syarat bahwa pihak yang melakukan penyerahan adalah

PKP. Jika pemberian dilakukan dalam rangka menarik nasabah menyimpan uang di Bank

(dalam bentuk tabungan/deposito atau lainnya), maka pemberian tersebut terkait dengan

penyarahan Non JKP. Karena itu dalam konteks ini bank bukanlah PKP sebagaimana

dimaksud dalam pasal 1 angka 14 dan 15 UU No. 42 Tahun 2009.

Kedua, karena dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE

-04/PJ.51/2002 tidak memberikan contoh barang bukan produksi sendiri dalam pemberian

cuma-cuma, padahal dalam SE tersebut tidak menggunakan kata-kata antara lain. Redaksi SE

tersebut yang menggunakan kalimat "Contoh......: (diakhiri dengan tanda : ) dapat

diinterpretasikan semacam analogi yang bersifat closed list. Hal ini menyebabkan perlakuan

PPN atas pemberian cuma-cuma yang dilakukan oleh pihak perbankan tidak/belum

mempunyai kepastian hukum yang jelas.

Page 137: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

80

Page 138: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

BAB 7 SIMPULAN DAN REKOMENDASI

7.1 Simpulan

1) Pada dasaraya, para ahli PPN serta menunit international best practice, penyerah aktiva

tidak diperjualkan dijadikan sebagai obyek PPN dengan pertimbangan untuk menghindari

terjadinya hidden subsidy. Dengan demikian, meskipun tidak mengikuti kaidah normal

approach sebagaimana digagas oleh David Williams dalam tulisannya di buku "Tax Law

Design and Drafting", atas penyerahan aktiva yang semula tidak diperjualbelikan

direkomendasikan oleh para ahli PPN sebagai taxable supply dengan syarat utama Pajak

Masukan atas peroleh aktiva tersebut dapat dikreditkan. Gagasan Williams ini diadopsi

oleh banyak negara sehingga menjadi international best practice. Karena itu, meskipun

penyerahan aktiva yang semula tidak untuk diperjualbelikan merupakan obyek PPN,

namun atas penyerahan aktiva yang semula tidak untuk diperjualbelikan yang dilakukan

oleh pihak perbankan, tidak serta merta menjadi penyerahan yang terhutang PPN.

Diperlukan analisis secara obyektif untuk menentukan perlakuan PPN atas penyerahan

aktiva yang semula tidak untuk diperjualbelikan yang dilakukan oleh pihak perbankan,

sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal-pasal yang terkait.

2) Diperlukan analisis secara obyektif untuk menentukan perlakuan PPN atas penjualan

AYDA, terlebih karena SE Dirjen Pajak No. SE - 121/PJ/2010 tidak memberikan

landasan hukum yang jelas sebagai payung hukum diputuskannya penjualan AYDA

sebagai obyek penyerahan BKP yang terhutang PPN.

3) Disain kebijakan PPN atas Pemberian Cuma-cuma (dan Pemakaian Sendiri) yang berlaku

di Indonesia, telah memenuhi aspek konseptual teoritis serta selaras dengan asas

netralitas. Pada dasarnya beban PPN atas kebijakan ini sangat minim, karena memang

yang menjadi tujuan utamanya adalah menghindari hidden subsidy dan menghindari

terjadinya aggresive tax planning maupun tax evasion. Dengan demikian asas netralitas

yang menjadi landasan dasar penyusunan kebijakan PPN sangat terjaga dengan baik.

Meskipun demikian, tidak semua pemberian cuma-cuma yang dilakukan oleh pihak

perbankan terhutang PPN. Analisis yang obyektif harus dihadirkan dalam menganalisis

terhutang atau tidaknya pemberian cuma-cuma tersebut karena sesuai dengan kaidah

general/normal approach. Dengan demikian, kondisi atau jenis pemberian cuma-cuma

akan mempunyai perlakuan yang berbeda satu dengan yang lainnya sesuai dengan

mengacu pada normal approach dan ketentuan yang berlaku.

81

Page 139: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

7.2 Rekomendasi

1) Secara umum diperlukan regulasi untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan

"penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya". Hal ini sangat

penting untuk menghindan potensi dispute yang besar dan berkelanjutan, sehingga

kebijakan PPN dapat menekan cost of taxation yang tinggi.

2) Secara khusus diperlukan regulasi untuk memberikan kepastian hukum atas pengalihan

aktiva yang semula tidak untuk diperjualbelikan, AYDA dan pemberian cuma-cuma

sesuai dengan konsep/teori PPN dan international best practice degan tetap menjaga

keselarasannya dengan asas neutrality, revenue productivity dan ease of administration.

V

82

Page 140: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

REFERENSI

Buku

Bird, Richard M dan Eric M.Zolt, Introduction to Tax Policy Design and Development, Washington: Word Bank, 2003.

Brotodihardjo, R Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: Eresco, 1993.

Chattopadhayay, Saumen dan Arindam Das-Gupta, The Compliance Costof the Personal Income Tax and its Determinants, New Dehli: National Institute of Public Finance and Policy, December 2002

Ebrill, Liam, dkk, The Modern VAT, Washington, D.C.rlMF, 2001.

Gunadi, Ketentuan Dasar Pajak Penghasilan, JakartarPenerbit Salemba Empat, 2002

Hancock, Dora, Taxation: Policy & Practice, 1997/1998 Edition, UK: Thomson Business Press, 1997.

Hepker, Michael,Z., A Modern Approach to Tax Law, edisi kedua. London : Heinemann, 1975.

James, Simon dan Christopher Nobes, The Economics of Taxation: Principles, Policy and Practice, 1996/1997 Edition, Europe: Printice Hall, 1996.

Karayan, Johne dan Charles W. Swenson, Strategic Business Tax Planning, Second Edition, New Jersey, John Wiley & Sons, Inc, 2007.

Le, Tuan Minh Value Added Taxation: Mechanism, Design, and Policy Issues, Paper on Practical Issues of Tax Policy in Developing Countries,^'orld Bank, Washington D.C., 2003.

Mansury,R, Kebijakan Fiskal, Jakarta: Yayasan Pengembangan dan Penyebaran Pengetahuan (YP4), 1999.

Mankiw, N. Gregory, Principles of Microeconomics, Third Edition, Singapore: Thomson South-Western, 2004.

Newman, Herbert E. An Introduction to Public Finance, New York: John Wiley and Sons, Inc., 1968.

Pope, Jeff, The Compliance Costs of Taxation in Australia and Tax Simplification: The Issues, Australian Journal of Management, The University of New South Wales, Juni 1993

Poterba, James M., Editor, Tax Policy and The Economy, Massachussetts: National Bureau of Economic Research MIT Press, 1997.

Rahayu, Ani Sri Pengantar Kebijakan Fiskal, Jakarta: Bumi Aksara, 2010.

Rosdiana, Haula dan Edi Slamet Irianto, Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di Indonesia, Jakarta: 2011.

------, Haula, Edi Slamet Irianto, Titi M. Putranti, Teori Pajak Pertambahan Nilai :Kebijakan dan Implementasinya dilndoensia, Ghalia Indonesia, 2011.

------, Haula, 25 Tahun Implementasi PPN di Indonesia : Evaluasi Kebijakan danImplementasi, 2012

V

83

Page 141: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

Ruppe, Hans Georg, International Problem in Field of General Taxes on Sales of Goods and Service, Vinise:IFA, 1983.

Saragih M, Straktur Perbankan di Indonesia, Universitas Sumatera Utara, 2010

Schenk, Alan dan Oliver Oldman, Value Added Tax: A Comparative Approach, Cambridge Tax Law Series, 2007

Schmolders.G, Turnover Tax, Amsterdam: International Bureau of Fiscal Documentation, 1966.

Shome, Partasarathi, Editor, Tax Policy Handbook, Washington DC: Tax Policy Divison Fiscal Affair IMF, 1995.

Smith, Adam, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, The Modern Library, New York, 1994.

Smith, Dan Throop and James B Webber, and Carol M Cerf, What You Should Know About the VAT, Illinois: Down Jones-Irwin Inc., 1973.

Srinivasan, T.N., (N.S.S. Narayana, Editor), Economic Policy and State Intervention, New York: Oxford University Press, 2001.

Sandford, Cedric T, M.R. Godwin and PJ.W. Hardwick, Administrative and Compliance Costs of Taxation, Fiscal Publications, Bath, 1989

Sugema, Iman, M.Fadil Hasan, Banking Outlook: Perbankan Indonesia Pasca Divestasi, INDEF

Tail, Alan A., Value Added Tax: International Practice and Problems, Washington DC: International Monetary Fund, 1988.

Taylor, Steven J. dan Robert Bogdan, Introduction to Qualitative Research Methods : The Seach for Meanings, Second Edition, Singapore: John Wiley & Sons, 1984.

Terra, Ben, Sales Taxation: The Case of Value Added Tax in The European Community, Denventer-Boston, Kluwer Law and Taxation Publishers, 1988.

Thuronyi, Victor, Editor, Tax Law Design and Drafting, Volume 1, Washington DC: International Monetary Fund, 1996.

________, Tax Law Design and Drafting, Volume 2, Washington DC: InternationalMonetary Fund, 1996.

Ved, P. Gandhi, Editor, Supply-Side Tax Policy Its Relevance to Developing Countries, Wahington DC: IMF, 1987.

William, David Value Added Tax. Tax Law Design and Drafting, Washingthon DC: IMF, 1966.

Wijono, Wiloejo Wirjo Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro sebagai Salah Satu Pilar Sistem Keuangan Nasional: Upaya Konkret Memutus Rantai Kemiskinan, 2005, Kementerian Keuangan.

V

84

Page 142: 5. Kajian Akademik PPN _ FISIP UI

Turnal dan Iain-lain

AT, Salamaun," Penjelasan Pajak Pertambahan Nllai atas Barang,"Kompas, 21 April 1984.

Atmosudarmo, Saroyo, Value Added Tax, Kekhususan Administrasi dan Kebijakan Perpajakan, Program Pascarjana Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia.

____, Value Added Taxes in Central and Eastern European Countries: A Comparative Surveyand Evaluation, Paris: OECD, 1998.

Consumption Tax Guidance Series, OECD, http://www.oecd.orp/document.

Deloitte Touche Tohmatsu, Global Indirect Tax Rates - Albania to Azerbaijan., http:/www.deloitte.com.

Value Added Taxes in Central and Eastern European Countries: A Comparative Survey and Evaluation: EC, OECD, 1998

The New Encyclopedia Britannica, Volume 28, London: Encyclopedia Britannica, Inc

----, International Tax Glossary, 1993.

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), International VAT/GST Guidelines, Centre for Tax Policy and Administration, Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD), February 2006.

World Bank, 'Reforming Tax Systems', World Development Report 1988, World Bank, 1988

-----,A Guide to VAT/GST in Asia Pasiffc, PricewaterhouseCoopers, 2006.

United Nation, Sales Tax Adminsitration : Major Structural and Practical Issues with Special Reference to the Needs of Developing Countries, New York : United Nation, Department of Economic and Social Affair, 1976.

-----1 Value Added Taxes in Central and Eastern European Countries: A Comparative Survey

and Evaluation: EC, OECD, 1998.

http://finance.detik.com,Sabtu 17 Desember2011

http://rockinbanker.blogspot.com/2011/10/penyebab-terjadinya-tunggakan-yang.html

Consumption Tax Guidance Series, OECD, http://www.oecd.org/document

Jon Abolins, VAT compliance costs - heavier than you realise?, 25 Maret 2002, http://www.accountingweb.co.uk/cgi-bin/item.cgi?id=76097

Undang-Undan dan peraturan terkait

85