49959430-Agresivitas

download 49959430-Agresivitas

of 11

description

agresivitas

Transcript of 49959430-Agresivitas

Psikopat secara harfiah berarti sakit jiwa. Psikopat berasal dari kata psyche yang berarti jiwa dan pathos yang berarti penyakit. Pengidapnya juga sering disebut sebagai sosiopat karena perilakunya yang antisosial dan merugikan orang-orang terdekatnya.Psikopat tak sama dengan gila (skizofrenia/psikosis) karena seorang psikopat sadar sepenuhnya atas perbuatannya. Gejalanya sendiri sering disebut dengan psikopati, pengidapnya seringkali disebut orang gila tanpa gangguan mental. Menurut penelitian sekitar 1% dari total populasi dunia mengidap psikopati. Pengidap ini sulit dideteksi karena sebanyak 80% lebih banyak yang berkeliaran daripada yang mendekam di penjara atau di rumah sakit jiwa, pengidapnya juga sukar disembuhkan [1].Seorang ahli psikopati dunia yang menjadi guru besar di Universitas British Columbia, Vancouver, Kanada bernama Robert D. Hare telah melakukan penelitian psikopat sekitar 25 tahun. Ia berpendapat bahwa seorang psikopat selalu membuat kamuflase yang rumit, memutar balik fakta, menebar fitnah, dan kebohongan untuk mendapatkan kepuasan dan keuntungan dirinya sendiri.Dalam kasus kriminal, psikopat dikenali sebagai pembunuh, pemerkosa, dan koruptor. Namun, ini hanyalah 15-20 persen dari total psikopat. Selebihnya adalah pribadi yang berpenampilan sempurna, pandai bertutur kata, mempesona, mempunyai daya tarik luar biasa dan menyenangkan [2].Psikopat memiliki 20 ciri-ciri umum. Namun ciri-ciri ini diharapkan tidak membuat orang-orang mudah mengecap seseorang psikopat karena diagnosis gejala ini membutuhkan pelatihan ketat dan hak menggunakan pedoman penilaian formal, lagipula dibutuhkan wawancara mendalam dan pengamatan-pengamatan lainnya. Mengecap seseorang dengan psikopat dengan sembarangan beresiko buruk, dan setidaknya membuat nama seseorang itu menjadi jelek.Gejala-gejala psikopat1. Sering berbohong, fasih dan dangkal. Psikopat seringkali pandai melucu dan pintar bicara, secara khas berusaha tampil dengan pengetahuan di bidang sosiologi, psikiatri, kedokteran, psikologi, filsafat, puisi, sastra, dan lain-lain. Seringkali pandai mengarang cerita yang membuatnya positif, dan bila ketahuan berbohong mereka tak peduli dan akan menutupinya dengan mengarang kebohongan lainnya dan mengolahnya seakan-akan itu fakta.2. Egosentris dan menganggap dirinya hebat.3. Tidak punya rasa sesal dan rasa bersalah. Meski kadang psikopat mengakui perbuatannya namun ia sangat meremehkan atau menyangkal akibat tindakannya dan tidak memiliki alasan untuk peduli.4. Senang melakukan pelanggaran dan bermasalah perilaku di masa kecil.5. Sikap antisosial di usia dewasa.6. Kurang empati. Bagi psikopat memotong kepala ayam dan memotong kepala orang, tidak ada bedanya.7. Psikopat juga teguh dalam bertindak agresif, menantang nyali dan perkelahian, jam tidur larut dan sering keluar rumah.8. Impulsif dan sulit mengendalikan diri. Untuk psikopat tidak ada waktu untuk menimbang baik-buruknya tindakan yang akan mereka lakukan dan mereka tidak peduli pada apa yang telah diperbuatnya atau memikirkan tentang masa depan. Pengidap juga mudah terpicu amarahnya akan hal-hal kecil, mudah bereaksi terhadap kekecewaan, kegagalan, kritik, dan mudah menyerang orang hanya karena hal sepele.9. Tidak mampu bertanggung jawab dan melakukan hal-hal demi kesenangan belaka.10. Manipulatif dan curang. Psikopat juga sering menunjukkan emosi dramatis walaupun sebenarnya mereka tidak sungguh-sungguh. Mereka juga tidak memiliki respon fisiologis yang secara normal diasosiasikan dengan rasa takut seperti tangan berkeringat, jantung berdebar, mulut kering, tegang, gemetar -- bagi psikopat hal ini tidak berlaku. Karena itu psikopat seringkali disebut dengan istilah "dingin".11. Hidup sebagai parasit karena memanfaatkan orang lain untuk kesenangan dan kepuasan dirinya.

(wikipedia)

Hubungan Antara Persepsi Mengenai Kekerasan Psikologis Dalam Keluarga Dengan Kecenderungan Perilaku Agresif Remaja

Adanya kekerasan psikologis dalam keluarga yang berupa kekerasan verbal dan terrorizing / mengancam anak yang dilakukan oleh orang tua dapat menyebabkan remaja melakukan agresi verbal terhadap orang tuanya dan juga orang lain. Menurut Berkowitz (1995) kepribadian yang sangat agresif biasanya merupakan hasil pengaruh negatif yang terus-menerus.

Pengaruh negatif yang terus-menerus ini berasal dari lingkungan keluarga dimana seorang remaja tumbuh dan berkembang dari lahir sampai dengan dewasa. Analisis Patterson (Berkowitz, 1995) mengatakan bahwa banyak anak pada dasarnya terlatih untuk bertindak agresif melalui interaksi dengan para anggota keluarga yang lain, baik interaksi dengan orang tuanya maupun saudaranya yang lain.

Dengan kata lain kekerasan psikologis yang terjadi di dalam keluarga yang berupa kekerasan dengan bahasa verbal dan perbuatan yang mengancam tersebut baik itu dilakukan orang tua terhadap anak maupun antar pasangan suami istri dapat mengajarkan remaja untuk bertindak agresif dalam kehidupan sehari-harinya, baik itu di lingkungan keluarganya maupun interaksi dengan teman-temannya. Hal ini berdasarkan teori belajar sosial yang menjelaskan bahwa remaja akan mengobservasi dan meniru kekerasan yang terdapat di lingkungan sekitarnya, khususnya lingkungan keluarga.

Ketika remaja menjadi korban dari kekerasan atau melihat kekerasan dalam keluarganya maka remaja akan cenderung meniru kekerasan tersebut, sehingga ketika berhadapan dengan situasi yang membuat remaja stress atau tertekan remaja akan mengadopsi strategi untuk menghadapi situasi tersebut berdasarkan observasinya di lingkungan keluarganya yang penuh dengan kekerasan dan remaja akan memakai kekerasan juga dalam menghadapi situasi yang menekan tersebut dengan cara berperilaku agresif. Hal ini terjadi karena ketika remaja menjadi korban dari kekerasan atau melihat kekerasan itu sendiri, remaja akan membawa kekerasan dan agresi tersebut dalam hubungan sosialnya, dalam hal ini adalah interaksinya dengan teman-temannya (Anooshian, 2005).

Apabila ada teman-temannya yang membuatnya marah maka remaja tersebut akan cenderung melakukan agresi verbal yang sudah ditirunya dari lingkungan keluarganya yang melakukan kekerasan tersebut baik terhadap remaja tersebut maupun antar pasangan suami istri, agresi verbal itu sendiri misalnya dengan berteriak, menjerit, memekik, memaki, atau memanggil temannya dengan sebutan yang tidak baik. Berdasarkan penelitian dari Averill (Sears, 1991) ditemukan bahwa apabila ada orang lain yang membuat marah dengan melakukan agresi verbal terhadap dirinya maka di dalam diri orang tersebut akan terjadi dorongan untuk bertindak agresif yaitu agresivitas verbal atau simbolik (82 %) dan benar-benar ingin bertindak agresif (49%).

Adapun kekerasan psikologis dalam keluarga yang berupa eksploitasi, isolasi, dan dominasi dapat menyebabkan remaja melakukan agresi fisik. Remaja yang telah terbiasa dengan isolasi, dominasi, dan eksploitasi; misalnya dengan pemukulan yang dilakukan oleh orang tuanya akan menyebabkan remaja tersebut terdorong untuk melakukan agresi karena menurut teori tentang frustasi-agresi bahwa frustasi akan menghasilkan perilaku agresivitas. Teori ini berkeyakinan bahwa agresi tidak akan muncul tanpa didahului oleh frustasi. Frustasi dapat terjadi apabila kebutuhan biologis (seperti; makanan, minuman, sex, dan tidur) dan kebutuhan sosial (seperti; penghargaan, cinta, dan rasa aman) dihalangi untuk dipuaskan atau mendapatkan campur tangan dari orang lain untuk mendapatkan kepuasan tentang kebutuhan tersebut. Apabila kebutuhan remaja akan kasih sayang tidak terpenuhi dengan baik, contohnya saja; remaja selalu diperlakukan kasar oleh orang tuanya dan tidak pernah diberi kasih sayang dan perhatian maka akan membuat anak menjadi agresif.

Apabila remaja secara terus-menerus dari kecil sampai dengan remaja diperlakukan kasar oleh orang tuanya maka akan mendorong keinginan remaja untuk berperilaku agresif, karena menurut Berkowitz (1995) kehidupan masa kecil sangat menentukan seberapa mudah dan seringnya seseorang melakukan penyerangan ketika merasa ditantang atau terancam. Sebagai contohnya adalah seorang remaja walaupun hanya menyaksikan orang dewasa yang tidak dikenalnya marah satu sama lainpun bisa mendorong remaja tersebut untuk saling memukul, menendang, dan mendorong, sehingga apabila remaja melihat pertengkaran orang tuanya atau merasakan sendiri kekerasan tersebut akan membuat remaja lebih terganggu dan menjadi lebih agresif (Berkowitz, 1995). Kemudian remaja akan mempersepsikan bahwa kekerasan yang dilihat dan dirasakannya tersebut adalah sebagai cara untuk melindungi diri dari bahaya atau situasi / lingkungan yang membuatnya stres, sehingga remaja akan berperilaku agresif untuk menghadapi situasi yang mengancam dirinya (Anooshian, 2005).

Jadi dapat dikatakan bahwa remaja cenderung berperilaku agresif karena seringnya mengalami kekerasan psikologis dalam keluarganya, misalnya kekerasan psikologis yang berupa isolasi, dominasi, dan juga eksploitasi oleh orang tuanya, dimana kekerasan psikologis tersebut mendorong insting agresif dalam diri remaja tersebut yang muncul dalam bentuk perilaku agresif.

Kekerasan psikologis dalam keluarga yang berupa kekerasan emosional dan penolakan orang tua terhadap anak dapat menyebabkan remaja melakukan agresi emosional. Hal ini dikarenakan penolakan orang tua dan kekerasan emosional yang dilakukan orang tua untuk melampiaskan emosinya kepada anaknya tersebut mengindikasikan adanya penolakan orang tua terhadap anaknya sehingga anak akan merasa bahwa orang tuanya tidak sayang padanya. Menurut Berkowitz (1995) penolakan orang tua jelas menyakitkan bagi seorang anak dan karenanya tidak mengejutkan jika banyak anak yang sangat agresif mempunyai orang tua yang dingin dan tak acuh. Berdasarkan penelitian dari McCord dan Howard, para Ibu dan Bapak dari anak-anak agresif tersebut pada umumnya kurang memberikan kasih sayang terhadap anaknya (Berkowitz, 1995).

Ketika remaja secara terus-menerus menerima perlakuan buruk dan penolakan dari orang tuanya maka remaja tersebut akan merasa sedih dan tertekan, seperti dikatakan oleh Berkowitz (1995) semakin seseorang merasa tertekan dan sedih maka bisa menyebabkan reaksi agresif, dengan kata lain ketika tekanan disimpan dalam diri seseorang dan orang tersebut tidak kuasa lagi menahan tekanan tersebut maka tekanan tersebut akan dilampiaskan melalui reaksi agresif.

Perlakuan buruk dan penolakan orang tua mengajarkan remaja untuk berperilaku agresif dalam menghadapi situasi yang tidak menyenangkan bagi dirinya sehingga remaja akan melampiaskan emosinya yang merasa tertekan dengan melakukan agresi terhadap orang lain. Remaja akan mudah marah, mudah tersinggung, dan tidak sabaran, serta apabila ada hal yang tidak disukainya, remaja akan mudah emosi dan melakukan agresi, yaitu yang dinamakan agresi emosional. Dinamakan sebagai agresi emosional karena agresi ini terjadi karena adanya emosi yang tidak stabil dalam diri seorang remaja akibat perasaan tertekan karena mengalami kekerasan psikologis, kemudian hal ini dilampiaskan melalui perilaku agresif untuk melepaskan tekanan yang dialami remaja tersebut. Berdasarkan penelitian dari Hale (2005), didapatkan fakta bahwa orang tua yang menolak anaknya akan menyebabkan anak memiliki perilaku agresif dan perilaku menarik diri dari lingkungannya.http://skripsipsikologi.blogspot.com/2010/06/hubungan-persepsi-kekerasan-psikologis.htmlHubungan Antara Temperamen Sulit Dengan Perilaku Sibling Rivalry Pada Anak-Anak

Perilaku Sibling rivalry atau perilaku bersaing dengan saudara kandung yang terjadi hampir diseluruh keluarga yang memiliki anak lebih dari satu merupakan peristiwa alamiah dan normal yang tidak dapat dihindari. Perilaku bersaing ini bila tidak diperhatikan dengan baik oleh orang tua dapat memperburuk hubungan antarsaudara. Perilaku bersaing dengan saudara ini dapat terjadi karena beberapa faktor yang cukup berpengaruh, diantaranya adalah perbedaan usia, jumlah saudara kandung, perbedaan jenis kelamin, sikap orang tua, jenis disiplin, urutan kelahiran, kepribadian anak dan temperamen.Salah satu yang mempengaruhinya adalah temperamen. Pengertian temperamen sendiri adalah kecenderungan psikologis turunan yang mempengaruhi tidak hanya bagaimana kita merasa, bereaksi terhadap situasi, dan belajar, tetapi juga bagaimana orang lain bereaksi terhadap kita (LaForge, 2002). Menurut Santrock (1998) terdapat enam kategori atau aspek yang dapat menentukan temperamen sulit seorang anak. Aspek tersebut adalah tingkat aktivitas yang tinggi, keteraturan yang tidak teratur, pendekatan/kecenderungan menarik diri yang negatif, penyesuaian diri negatif, intensitas tinggi, dan kualitas suasana hati (mood) yang tergolong negatif. Santrock (2001) mengatakan bahwa kakak atau adik yang tergolong bertemperamen sulit cenderung kurang baik dalam berhubungan satu sama lain. Anak dengan temperamen sulit memiliki ciri antara lain menolak situasi, makanan, dan orang-orang baru (kecenderungan tinggi untuk menarik diri). Jadi, apabila di dalam keluarganya ada anggota baru, yaitu adiknya, kemungkinan besar anak akan menolak dan tidak bisa menerima kedatangan adik tersebut. Apabila keadaan ini dibiarkan begitu saja, maka dapat menimbulkan perilaku bersaing dengan saudara yang tinggi. Thomas & Chess dkk (Brody, 1998) menyebutkan bahwa anak-anak dengan temperamen sulit, memperlihatkan tekanan yang lebih besar dalam merespon kelahiran adik barunya. Sedangkan anak dengan temperamen mudah yang memiliki pendekatan yang positif terhadap sebagian besar situasi dan orang yang baru atau seorang adik, akan dengan mudah menerima kedatangan adiknya dan kemungkinan perilaku sibling rivalrynya dapat lebih rendah. Berdasarkan uraian di atas, jelas terlihat bahwa jenis temperamen sulit berpengaruh besar terhadap perilaku bersaing dengan saudara kandung. Anak-anak dengan temperamen sulit memiliki kemungkinan memiliki perilaku bersaing yang lebih tinggi. Brody (1998) menjelaskan bahwa anak-anak dengan ketahanan yang rendah, aktivitas yang tinggi dan ekspresi emosi yang kuat seperti rasa frustasi atau kemarahan, dihubungkan dengan tingkat konflik yang lebih tinggi dan hubungan antar saudara kandung yang cenderumg negatif. Ketiga hal tersebut (aktivitas, ekspresi emosi dan ketahanan) merupakan sebagian ciri dari anak bertemperamen sulit. Temperamen sulit ini harus diperhatikan oleh orang tua agar tidak terjadi perilaku sibling rivalry yang berkelanjutan. Sebagai gambaran, berikut adalah bagan permasalahan hubungan temperamen sulit dengan perilaku sibling rivalry.http://skripsipsikologi.blogspot.com/2010/06/temperamen-sulit-brhubungan-dengan.htmlHubungan Antara Keterampilan Sosial Dengan Agresivitas Remaja

Supranata (Kurniawan, 1997) mengemukakan bahwa perubahan sosial yang cepat sering menimbulkan kondisi pertentangan atau ketidak sesuaian nilai dan norma yang menjadi pedoman berperilaku dalam masyarakat. Mobilitas sosial yang tinggi, informasi-informasi dari media massa yang beraneka ragam, kemajuan ekonomi dan teknologi yang pesat menyebabkan munculnya perubahan dan permasalahan dalam hal ini kalangan remaja.

Comb dan Slaby (Cartledge dan Milburn, 1995) menyatakan bahwa keterampilan sosial merupakan kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain di dalam konteks sosial yang dihadapi melalui cara-cara spesifik yang dapat diterima atau dinilai secara sosial dan pada waktu yang sama bermanfaat bagi personal, bagi keduanya, atau terutama bagi orang lain. Hal ini disebabkan pada masa remaja individu sudah memasuki dunia pergaulan yang lebih luas, dimana pengaruh teman-teman dan lingkungan sosial akan sangat menentukan. Jika seorang remaja gagal menguasai keterampilan sosial akan menyebabkan seorang remaja sulit untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya, maka dapat menyebabkan timbulnya perasaan dikucilkan dari pergaulan, rendah diri, timbul perilaku yang kurang normatif bahkan sampai pada keadaan ekstrim sehingga terjadi gangguan jiwa, kenakalan remaja, tindakan kriminal, dan tindak kekerasan.

Remaja memiliki resiko tinggi untuk terlibat dalam tindak kenakalan. Dan perilaku ini bisa terjadi karena akumulasi berbagai faktor internal dan eksternal, seperti pola asuh dengan lingkungan rumah, sekolah dan teman sebaya. Dalam kenyataannya, manusia hidup dalam suatu masa dan suatu lingkungan dimana agresi dan kekerasan dianggap sebagai cara mengungkapkan perasaan dan cara menyelesaikan persoalan. Agresi merupakan tingkah laku yang dipelajari dan melibatkan faktor eksternal sebagai determinan pembentuk agresi tersebut.Sekolah mempunyai pengaruh yang cukup besar, yang tentunya diharapkan positif terhadap perkembangan jiwa remaja, karena sekolah adalah lembaga pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat disamping mengajarkan berbagai keterampilan dan kepandaian kepada siswanya. Akan tetapi, fungsi sekolah sebagai pembentuk nilai dalam diri anak sekarang ini banyak menghadapi tantangan. Lingkungan pergaulan antar teman pun besar pengaruhnya. Apa yang dikatakan guru tidak lagi menjadi satu-satunya ukuran meskipun guru itu disegani. Apalagi kalau sekolah berlokasi di pusat keramaian dimana terjadi titik singgung yang terus menerus setiap hari antara anak-anak yang akan ke sekolah atau pulang dari sekolah dengan berbagai manusia dan rangsangan sosial yang bermacam-macam coraknya seperti pusat perbelanjaan (Sarwono, 1989). Lebih lanjut Berkowitz (1995) mengemukakan bahwa pengasuh anak juga bisa mendorong agresivitas anak dengan menempatkan anak pada kondisi yang tidak menyenangkan misalnya penolakan dan perlakuan kasar orang tua terhadap anak yang biasanya diatribusikan pada hukuman fisik (pukulan). Sarwono (1989) pengaruh lingkungan masyarakat terhadap perkembangan jiwa remaja sangat besar, akan tetapi bagaimanapun keluarga dan sekolah masih tetap lingkungan primer dan sekunder dalam dunia anak dan remaja. Lingkungan masyarakat hanyalah lingkungan tertier (ketiga) yang derajat kekuatannya untuk merasuk ke dalam jiwa anak dan remaja seharusnya tidak sekuat keluarga dan sekolah. Lingkungan masyarakat bisa kuat pengaruhnya pada umumnya disebabkan karena lingkungan primer dan sekunder yang sudah menurun kadar pengaruhnya.Pengalaman-pengalaman atau kejadian yang tidak menyenangkan yang dialami oleh individu dapat menyebabkan individu berperilaku agresif. Kejadian yang tidak menyenangkan ini dapat diperoleh individu yang berasal dari konflik dengan teman, masalah dengan keluarga maupun dengan lingkungan sekitarnya. Sehingga jika individu tidak memiliki keterampilan sosial yang cukup dapat menyebabkan indivdiu berperilaku agresif. Keterampilan sosial menjadi semakin penting manakala individu menginjak masa remaja. Hal ini disebabkan karena pada masa remaja individu sudah memasuki dunia pergaulan yang lebih luas dimana pengaruh teman dan lingkungan sosial akan sangat menentukan. Gresham dan Elliot (Adiyanti, 1999) bahwa keterampilan sosial dipergunakan untuk memperkirakan beberapa perilaku sosial antara lain penerimaan kelompok atau popularitas, penilaian perilaku dari orang lain yang berpengaruh, bentuk-bentuk perilaku sosial lain yang diketahui korelasi secara konsisten dengan penerimaan anak oleh kelompok sebaya. Keterampilan sosial ini juga menunjukkan keterampilan anak dalam meramalkan akibat sosial yang mungkin ditimbulkan oleh perilaku atau sikap seseorang dalam situasi sosial. Kegagalan remaja dalam menguasai keterampilan sosial akan menyebabkan dia sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya sehingga dapat menyebabkan rasa rendah diri, dikucilkan dari pergulan, cenderung berperilaku yang kurang normatif (misalnya asosial ataupun anti sosial), dan bahkan dalam perkembangan yang lebih ekstrim bisa menyebabkan terjadinya gangguan jiwa, tindakan kriminal, tindakan kekerasan, maupun tingkah laku agresif.Mappiare (1982) menyatakan bahwa hal yang sangat penting dalam mendatangkan kebahagiaan remaja adalah terpenuhinya kebutuhan-kebutuhannya. Pemenuhan kebutuhan mendatangkan kepuasan sehingga mencapai kebahagiaan. Salah satu cara mengurangi perilaku agresi adalah dengan mengurangi frustasi (Sears, 1991). Koeswara (1988) mengemukakan bahwa yang dimaksud pengurangan frustasi adalah minimalisasi terhadap peluang terjadinya frustasi, dengan jalan membatasi atau mengurangi faktor-faktor penyebabnya. Remaja yang mendapatkan kesempatan untuk memenuhi kebutuhannya berarti akan dapat mengurangi atau meminimumkan kemungkinan mengalami frustasi. Dengan demikian, melatih keterampilan sosial akan dapat memberikan kesempatan pada remaja untuk memenuhi kebutuhannya dan dapat mengurangi frustasi remaja, yang akhirnya diharapkan akan mengurangi tingkah laku agresif remaja.Keterampilan sosial menurut Angyle (Purwandari, 1997) sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari baik dalam berhubungan dengan keluarga, teman, tetangga, di lingkungan kerja, dan sebagainya. Remaja yang mempunyai keterampilan sosial tidak akan mudah lagi terjebak dalam sikap, perilaku, kebiasaan ataupun hal-hal lain yang dapat menghambat perkembangannya menuju kondisi dewasa. Keterampilan yang tinggi pada masa remaja akan membawa individu untuk dapat menempatkan diri pada posisi yang semakin baik di masyarakat.Hendriani (2001) menemukan bahwa tidak adanya perbedaan keterampilan sosial antara remaja awal yang ibunya bekerja dengan remaja awal yang ibunya tidak bekerja. Elfida (1995) menemukan bahwa ada hubungan yang negatif antara kontrol diri dengan kecenderungan berperilaku delinkuen, artinya semakin seseorang mampu mengontrol diri maka semakin kecil untuk berperilaku delinkuen. Djuwarijah (2002) dalam penelitiannya tentang hubungan antara kecerdasan emosi dan pengasuhan islami dengan agresivitas dan hasilnya ada hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosi dan pengasuhan islami dengan agresivitas remaja. Artinya kecerdasan emosi dan pengasuhan islami mempunyai hubungan yang negatif dengan agresivitas remaja. Semakin tinggi kecerdasan emosi dan semakin islami pengasuhan orangtua, semakin rendah tingkat agresivitas remaja.http://skripsipsikologi.blogspot.com/2010/06/ketrampilan-sosial-berhubungan-dengan.html

Ahmad Suradji (populer dipanggil Dukun AS; juga dikenal dengan nama Nasib Kelewang, Datuk; 1949Galang, Deli Serdang, 10 Juli 2008) adalah seorang pelaku pembunuhan terhadap 42 orang wanita yang mayatnya dikuburkan di perkebunan tebu di Desa Sei Semayang, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara dari tahun 1986 hingga 1997.

Nama aslinya adalah Nasib. Karena sering menggunakan kelewang saat melakukan pencurian lembu di kawasan Stabat, ia pun dipanggil "Nasib Kelewang" oleh teman-temannya.[1] Nama "Ahmad Suradji" disandangnya setelah keluar dari penjara karena tersandung kasus pencurian lembu, sedangkan nama Datuk diberikan teman-temannya karena ia menikahi tiga kakak beradik kandung dan tinggal serumah.

Sehari-hari Suradji bekerja sebagai petani. Ia hanya lulus SD dan mempunyai tiga orang istri dan sembilan anak. Pihak kepolisian pertama kali menemukan mayat salah seorang korban pada 27 April 1997, seorang wanita berusia 21 tahun bernama Sri Kemala Dewi. Seminggu kemudian, seorang saksi mengatakan bahwa pada hari Dewi menghilang, ia telah mengantarkan Dewi ke tempat tinggal Suradji. Polisi kemudian menemukan setumpuk pakaian dan perhiasan wanita di situ, di antaranya barang-barang milik Dewi. Suradjipun ditangkap.

Apakah Suradji sendiri mengaku bersalah tidak diketahui jelas. Ada sumber-sumber yang menyebut bahwa ia tidak mau mengaku, namun ada pula yang menyatakan bahwa ia telah mengakui perbuatannya. Dalam sebuah laporan, Suradji mengaku membunuh karena hendak menyempurnakan ilmu yang sedang dipelajarinya. Agar ilmunya sempurna, ia harus membunuh 70 orang wanita dan mengisap air liur korban. Ilmu ini sendiri ia dapati dari ayahnya saat ia masih berusia 12 tahun, meskipun perhatiannya terhadap ilmu tersebut baru mulai terasa saat ia mencapai usia 20 tahun.

Pada tahun 27 April 1998, ia divonis mati oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Lubuk Pakam karena terbukti bersalah melakukan pembunuhan terhadap wanita-wanita tersebut. Ia dieksekusi pada Kamis 10 Juli 2008, tepatnya pukul 22.00 oleh tim eksekusi Brigadir Mobil (Brimob) Kepolisian Daerah (Polda) Sumatera Utara.