49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

91
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA ISOFLAVON PADA BIJI KEDELAI (Glycine max) (Metode Maserasi, Kromatografi Lapis Tipis, dan KLT-Spektrofotodensitometri ) BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kedelai telah menunjukan beberapa keuntungan kesehatan yang disebabkan karena kandungan nutrisinya yang tinggi dan kandungan fitokimianya. Kedelai tidak hanya kaya protein, tetapi mengandung mineral yang berguna seperti, kalsium, besi, dan serat terlarut. Protein kedelai memenuhi kebutuhan protein pada manusia. Protein dan isoflavon dari kedelai telah terbukti menurunkan resiko penyakit jantung dan sebagai antikanker. Isoflavon merupakan subkelas dari flavonoid atau isomer flavon yang merupakan flavonoid minor, yang jumlahnya sangat sedikit dan sebagai bagi tumbuhan berfungsi sebagai fitoaleksin yaitu senyawa pelindung yang terbentuk dalam tumbuhan untuk pertahanan terhadap serangan penyakit. Isoflavon di alam sering dijumpai dialam dalam bentuk glikosidanya (terikat pada gugus gula). Bentuk glikon dari isoflavon larut dalam pelarut polar, sedangkan bentuk aglikonnya larut dalam pelarut nonpolar. Flavonoid minor isoflavon penyebarannya terbatas pada beberapa jenis tumbuhan. Salah satunya terdapat pada tanaman kacang kedelai (Glycine max). Senyawa isoflavon yang terdapat di kacang kedelai antara lain genistein dan daidzein. Isoflavon sukar dicirikan karena 1

Transcript of 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

Page 1: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA ISOFLAVON PADA BIJI KEDELAI

(Glycine max)

(Metode Maserasi, Kromatografi Lapis Tipis, dan

KLT-Spektrofotodensitometri )

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Kedelai telah menunjukan beberapa keuntungan kesehatan yang disebabkan karena

kandungan nutrisinya yang tinggi dan kandungan fitokimianya. Kedelai tidak hanya kaya

protein, tetapi mengandung mineral yang berguna seperti, kalsium, besi, dan serat terlarut.

Protein kedelai memenuhi kebutuhan protein pada manusia. Protein dan isoflavon dari

kedelai telah terbukti menurunkan resiko penyakit jantung dan sebagai antikanker.

Isoflavon merupakan subkelas dari flavonoid atau isomer flavon yang merupakan

flavonoid minor, yang jumlahnya sangat sedikit dan sebagai bagi tumbuhan berfungsi sebagai

fitoaleksin yaitu senyawa pelindung yang terbentuk dalam tumbuhan untuk pertahanan

terhadap serangan penyakit. Isoflavon di alam sering dijumpai dialam dalam bentuk

glikosidanya (terikat pada gugus gula). Bentuk glikon dari isoflavon larut dalam pelarut polar,

sedangkan bentuk aglikonnya larut dalam pelarut nonpolar. Flavonoid minor isoflavon

penyebarannya terbatas pada beberapa jenis tumbuhan. Salah satunya terdapat pada tanaman

kacang kedelai (Glycine max). Senyawa isoflavon yang terdapat di kacang kedelai antara lain

genistein dan daidzein. Isoflavon sukar dicirikan karena reaksinya tidak khas dengan pereaksi

warna manapun. Beberapa isoflavon (misalnya daidzein) memberikan warna biru muda

cemerlang dengan sinar UV bila diuapi dengan ammonia, tetapi kebanyakan yang lain

(misalnya genistein) tampak sebagai bercak lembayung pudar yang dengan ammonia berubah

menjadi coklat pudar (Harbone, 1987).

Isoflavon merupakan bagian dari kelompok flavonoid. Isoflavon ditemukan sebagian

besar pada kacang kedelai dan memiliki struktur kimia yang hampir sama dengan hormon

estrogen. Isoflavon utama yang ditemukan pada kacang kedelai adalah genistein dan

daidzein. Karena strukturnya yang mirip dengan estrogen dan dapat berinteraksi dengan

reseptor estrogen lain, isoflavon dari kedelai sering digunakan sebagai fitoestrogen (McCuey,

2004)

Struktur isoflavon kedelai yang mirip dengan estrogen dan kemudahannya untuk

berinteraksi dengan estrogen reseptor membuat isoflavon ini diduga bermanfaat dalam

mengatasi sistem somatik, perasaan, dan hal-hal yang berhubungan dengan menopause. 1

Page 2: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

Mengkonsumsi suplemen fitoisoflavon telah terbukti dapat berpengaruh pada gejala

premenopause. Isoflavonoid dari kedelai juga berpotensi sebagai sarana alternatif dalam

terapi kesehatan jangka panjang yang berhubungan dengan menopause dan khususnya

osteoporosis (McCuey, 2004).

Isoflavon ini boleh dibilang hanya terdapat pada kedelai saja. Isoflavon ini berfungsi

melakukan regulasi untuk menghambat pertumbuhan kanker terutama kanker prostat. Selain

berfungsi untuk mencegah kanker prostat, biji kedelai juga berfungsi untuk menurunkan

resiko terkena penyakit jantung, diabetes, ginjal dan osteoporosis (Asih, 2009). Karena begitu

pentingnya fungsi tanaman ini, serta dugaan terhadap adanya senyawa golongan isoflavon

yang dikandung, maka pada penelitian ini dilakukan isolasi dan identifikasi senyawa

golongan isoflavon dari biji kedelai (Glycine max).

Proses identifikasi isoflavon pada kedelai dimulai dengan pengumpulan bahan,

kemudian penyederhanaan bentuk bahan dengan mengubah biji menjadi bentuk serbuk.

Serbuk ini kemudian dimaserasi yaitu perendaman dengan pelarut, maserasi dilakukan untuk

mengeluarkan bahan aktif dari serbuk simplisia. Teknik maserasi dipilih karena peralatan

yang digunakan sederhana, dan tidak memerlukan keahlian dari praktikan. Dengan teknik

maserasi bahan aktif dapat diperoleh dari simplisia dengan maksimal, karena perendaman

yang dilakukan lebih dari satu hari. Teknik lanjutan setelah maserasi yang digunakan adalah

kromatografi kolom lambat, metode ini dipilih karena dengan metode ini akan didapat fraksi-

fraksi yang akan membantu dalam analisis selanjutnya. Selanjutnya adalah pemisahan

dengan kromatografi lapis tipis (KLT), metode ini dilakukan untuk memisahkan senyawa

isoflavon yang ada dalam fraksi hasil kromatografi kolom. Dengan metode ini didapatkan

harga Rf yang spotnya dapat diperjelas dengan penampak bercak dan dilihat dibawah sinar

UV. Setelah pemisahan dengan KLT, dilakukan pengujian dengan geseran spektrum.

Pengujian dengan geseran spektum membantu dalam menentukan pola oksigenasi. Disamping

itu, kedudukan gugus hidroksil fenol bebas pada inti flavonoid dapat ditentukan dengan

menambahkan peraksi geser ke dalam larutan cuplikan dan mengamati pergeseran puncak

serapan yang terjadi. Dengan demikian, secara tidak langsung cara ini berguna untuk

menentukan kedudukan gula atau metal yang terikat pada salah satu gugus hidroksil fenol

(Markham, 1988)

2

Page 3: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana cara mengisolasi senyawa isoflavon yang terkandung pada biji kedelai

Glycine max?

2. Bagaimana cara mengidentifikasi senyawa isoflavon berdasarkan metode geseran

spektrum?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengisolasi senyawa isoflavon yang terdapat dalam biji kedelai

2. Untuk mengidentifikasi senyawa isoflavon yang terdapat dalam biji kedelai

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat untuk mengetahui cara isolasi dan identifikasi senyawa

isoflavon dari biji kedelai Glycine max dengan metode maserasi, kromatografi kolom, dan

geseran spektrum.

3

Page 4: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deksripsi Tanaman

Kedelai merupakan tanaman asli Daratan Cina dan telah dibudidayakan oleh manusia

sejak 2500 SM. Sejalan dengan makin berkembangnya perdagangan antarnegara yang terjadi

pada awal abad ke-19, menyebabkan tanaman kedelai juga ikut tersebar ke berbagai negara

tujuan perdagangan tersebut, yaitu Jepang, Korea, Indonesia, India, Australia, dan Amerika.

Kedelai mulai dikenal di Indonesia sejak abad ke-16. Awal mula penyebaran dan

pembudidayaan kedelai yaitu di Pulau Jawa, kemudian berkembang ke Bali, Nusa Tenggara,

dan pulau-pulau lainnya. Pada awalnya, kedelai dikenal dengan beberapa nama botani, yaitu

Glycine soja dan Soja max. Namun pada tahun 1948 telah disepakati bahwa nama botani yang

dapat diterima dalam istilah ilmiah, yaitu Glycine max (L.) Merill.

2.1.1 Klasifikasi Tanaman

Divisio : Spermatophyta

Classis : Dicotyledoneae

Ordo : Rosales

Familia : Papilionaceae

Genus : Glycine

Species : Glycine max (L.) Merill

(Irwan, 2006)

Gambar 1. Tanaman Kedelai

4

Page 5: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

2.1.2. Morfologi Tanaman Kedelai

Tanaman kedelai umumnya tumbuh tegak, berbentuk semak, dan merupakan tanaman

semusim. Morfologi tanaman kedelai didukung oleh komponen utamanya, yaitu akar, daun,

batang, polong, dan biji sehingga pertumbuhannya bisa optimal (Irwan, 2006).

A. Akar

Akar kedelai mulai muncul dari belahan kulit biji yang muncul di sekitar misofil.

Calon akar tersebut kemudian tumbuh dengan cepat ke dalam tanah, sedangkan kotiledon

yang terdiri dari dua keping akan terangkat ke permukaan tanah akibat pertumbuhan yang

cepat dari hipokotil. Sistem perakaran kedelai terdiri dari dua macam, yaitu akar tunggang dan

akar sekunder (serabut) yang tumbuh dari akar tunggang. Selain itu kedelai juga seringkali

membentuk akar adventif yang tumbuh dari bagian bawah hipokotil. Pada umumnya, akar

adventif terjadi karena cekaman tertentu, misalnya kadar air tanah yang terlalu tinggi.

Perkembangan akar kedelai sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik dan kimia tanah, jenis tanah,

cara pengolahan lahan, kecukupan unsur hara, serta ketersediaan air di dalam tanah.

Pertumbuhan akar tunggang dapat mencapai panjang sekitar 2 m atau lebih pada kondisi yang

optimal, namun demikian, umumnya akar tunggang hanya tumbuh pada kedalaman lapisan

tanah olahan yang tidak terlalu dalam, sekitar 30-50 cm. Sementara akar serabut dapat tumbuh

pada kedalaman tanah sekitar 20-30 cm. Akar serabut ini mula-mula tumbuh di dekat ujung

akar tunggang, sekitar 3-4 hari setelah berkecambah dan akan semakin bertambah banyak

dengan pembentukan akar-akar muda yang lain (Irwan, 2006).

B. Batang dan cabang

Hipokotil pada proses perkecambahan merupakan bagian batang, mulai dari pangkal

akar sampai kotiledon. Hipokotil dan dua keping kotiledon yang masih melekat pada hipokotil

akan menerobos ke permukaan tanah. Bagian batang kecambah yang berada diatas kotiledon

tersebut dinamakan epikotil. Pertumbuhan batang kedelai dibedakan menjadi dua tipe, yaitu

tipe determinate dan indeterminate. Perbedaan sistem pertumbuhan batang ini didasarkan atas

keberadaan bunga pada pucuk batang. Pertumbuhan batang tipe determinate ditunjukkan

dengan batang yang tidak tumbuh lagi pada saat tanaman mulai berbunga. Sementara

pertumbuhan batang tipe indeterminate dicirikan bila pucuk batang tanaman masih bisa

tumbuh daun, walaupun tanaman sudah mulai berbunga. Disamping itu, ada varietas hasil

persilangan yang mempunyai tipe batang mirip keduanya sehingga dikategorikan sebagai

semi-determinate atau semiindeterminate. Jumlah buku pada batang tanaman dipengaruhi

oleh tipe tumbuh batang dan periode panjang penyinaran pada siang hari. Pada kondisi

normal, jumlah buku berkisar 15-30 buah. Jumlah buku batang indeterminate umumnya lebih

5

Page 6: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

banyak dibandingkan batang determinate. Cabang akan muncul di batang tanaman. Jumlah

cabang tergantung dari varietas dan kondisi tanah, tetapi ada juga varietas kedelai yang tidak

bercabang. Jumlah batang bisa menjadi sedikit bila penanaman dirapatkan dari 250.000

tanaman/hektar menjadi 500.000 tanaman/hektar. Jumlah batang tidak mempunyai hubungan

yang signifikan dengan jumlah biji yang diproduksi. Artinya, walaupun jumlah cabang

banyak, belum tentu produksi kedelai juga banyak (Irwan, 2006).

C. Daun

Tanaman kedelai mempunyai dua bentuk daun yang dominan, yaitu stadium kotiledon

yang tumbuh saat tanaman masih berbentuk kecambah dengan dua helai daun tunggal dan

daun bertangkai tiga (trifoliate leaves) yang tumbuh selepas masa pertumbuhan. Umumnya,

bentuk daun kedelai ada dua, yaitu bulat (oval) dan lancip (lanceolate). Kedua bentuk daun

tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik. Bentuk daun diperkirakan mempunyai korelasi yang

sangat erat dengan potensi produksi biji. Umumnya, daerah yang mempunyai tingkat

kesuburan tanah tinggi sangat cocok untuk varietas kedelai yang mempunyai bentuk daun

lebar. Daun mempunyai stomata, berjumlah antara 190-320 buah/m2.Umumnya, daun

mempunyai bulu dengan warna cerah dan jumlahnya bervariasi. Panjang bulu bisa mencapai 1

mm dan lebar 0,0025 mm. Kepadatan bulu bervariasi, tergantung varietas, tetapi biasanya

antara 3-20 buah/mm2. Jumlah bulu pada varietas berbulu lebat, dapat mencapai 3-4 kali lipat

dari varietas yang berbulu normal. Contoh varietas yang berbulu lebat yaitu IAC 100,

sedangkan varietas yang berbulu jarang yaitu Wilis, Dieng, Anjasmoro, dan Mahameru.

Lebat-tipisnya bulu pada daun kedelai berkait dengan tingkat toleransi varietas kedelai

terhadap serangan jenis hama tertentu. Hama penggerek polong ternyata sangat jarang

menyerang varietas kedelai yang berbulu lebat. Oleh karena itu, para peneliti pemulia

tanaman kedelai cenderung menekankan pada pembentukan varietas yang tahan hama harus

mempunyai bulu di daun, polong, maupun batang tanaman kedelai (Irwan, 2006).

D. Bunga

Tanaman kacang-kacangan, termasuk tanaman kedelai, mempunyai dua stadium

tumbuh, yaitu stadia vegetatif dan stadia reproduktif. Stadium vegetatif mulai dari tanaman

berkecambah sampai saat berbunga, sedangkan stadia reproduktif mulai dari pembentukan

bunga sampai pemasakan biji. Tanaman kedelai di Indonesia yang mempunyai panjang hari

rata-rata sekitar 12 jam dan suhu udara yang tinggi (>30° C), sebagian besar mulai berbunga

pada umur antara 5-7 minggu. Tanaman kedelai termasuk peka terhadap perbedaan panjang

hari, khususnya saat pembentukan bunga. Bunga kedelai menyerupai kupu-kupu. Tangkai

bunga umumnya tumbuh dari ketiak tangkai daun yang diberi nama rasim. Jumlah bunga pada

setiap ketiak tangkai daun sangat beragam, antara 2-25 bunga, tergantung kondisi lingkungan 6

Page 7: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

tumbuh dan varietas kedelai. Bunga pertama yang terbentuk umumnya pada buku kelima,

keenam, atau pada buku yang lebih tinggi. Pembentukan bunga juga dipengaruhi oleh suhu

dan kelembaban. Pada suhu tinggi dan kelembaban rendah, jumlah sinar matahari yang jatuh

pada ketiak tangkai daun lebih banyak. Hal ini akan merangsang pembentukan bunga. Setiap

ketiak tangkai daun yang mempunyai kuncup bunga dan dapat berkembang menjadi polong

disebut sebagai buku subur. Tidak setiap kuncup bunga dapat tumbuh menjadi polong, hanya

berkisar 20-80%. Jumlah bunga yang rontok tidak dapat membentuk polong yang cukup

besar. Rontoknya bunga ini dapat terjadi pada setiap posisi buku pada 1- 10 hari setelah mulai

terbentuk bunga. Periode berbunga pada tanaman kedelai cukup lama yaitu 3-5 minggu untuk

daerah subtropik dan 2-3 minggu di daerah tropik, seperti di Indonesia. Jumlah bunga pada

tipe batang determinate umumnya lebih sedikit dibandingkan pada batang tipe indeterminate.

Warna bunga yang umum pada berbagai varietas kedelai hanya dua, yaitu putih dan ungu

(Irwan, 2006).

E. Polong dan biji

Polong kedelai pertama kali terbentuk sekitar 7-10 hari setelah munculnya bunga

pertama. Panjang polong muda sekitar 1 cm. Jumlah polong yang terbentuk pada setiap ketiak

tangkai daun sangat beragam, antara 1-10 buah dalam setiap kelompok. Pada setiap tanaman,

jumlah polong dapat mencapai lebih dari 50, bahkan ratusan. Kecepatan pembentukan polong

dan pembesaran biji akan semakin cepat setelah proses pembentukan bunga berhenti. Ukuran

dan bentuk polong menjadi maksimal pada saat awal periode pemasakan biji. Hal ini

kemudian diikuti oleh perubahan warna polong, dari hijau menjadi kuning kecoklatan pada

saat masak. Gambar polong kedelai Di dalam polong terdapat biji yang berjumlah 2-3 biji.

Setiap biji kedelai mempunyai ukuran bervariasi, mulai dari kecil (sekitar 7-9 g/100 biji),

sedang (10-13 g/100 biji), dan besar (>13 g/100 biji). Bentuk biji bervariasi, tergantung pada

varietas tanaman, yaitu bulat, agak gepeng, dan bulat telur. Namun demikian, sebagian besar

biji berbentuk bulat telur. Biji kedelai terbagi menjadi dua bagian utama, yaitu kulit biji dan

janin (embrio). Pada kulit biji terdapat bagian yang disebut pusar (hilum) yang berwarna

coklat, hitam, atau putih. Pada ujung hilum terdapat mikrofil, berupa lubang kecil yang

terbentuk pada saat proses pembentukan biji. Warna kulit biji bervariasi, mulai dari kuning,

hijau, coklat, hitam, atau kombinasi campuran dari warna-warna tersebut. Biji kedelai tidak

mengalami masa dormansi sehingga setelah proses pembijian selesai, biji kedelai dapat

langsung ditanam. Namun demikian, biji tersebut harus mempunyai kadar air berkisar 12-13%

(Irwan, 2006).

7

Page 8: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

Gambar 2. Biji Kedelai

Menurut Handbook of Pharmacognosy deskripsi biji kedelai adalah sebagai berikut.

Biji berbentuk bulat telur, dengan panjang sekitar 6-11 mm, lebar sekitar 5-8 mm, dan tebal

antara 4-7 mm. 100 biji kedelai beratnya antara 14,5 sampai 33 mg. Biji kedelai berwarna

kuning pucat atau kekuning-kuningan. Epidermis dari beberapa kulit biji terdiri dari sel-sel

prisma poligon dengan tinggi 45 sampai 60 mikron dan lebar 7 sampai 20 mikron, akibat

penebalan dinding antiklinal selulosa, sedangkan hipodermis berbentuk "bearercells" dengan

tinggi 40 hingga 120 mikron dan lebar 30 hingga 40 mikron di bagian atas dan dasar, serta

18 hingga 30 mikron di bagian tengah. Minyak kacang kedelai berwarna kuning emas, jika

dipanaskan sampai 260oC berubah menjadi pucat; dengan berat jenis 0,922 ke 0,928; nilai

penyabunan 190-195; nilai yodium 130-142; indeks bias 1,4680 pada 40oC (Wallis, 2005)

2.2 Penyiapan Bahan

Proses penyiapan bahan baku simplisia dimulai dari proses pemanenan,

2.2.1.Pengumpulan bahan baku (Pemanenan)

Waktu panen suatu organ tanaman dari suatu jenis tanaman sangat berhubungan erat

dengan pembentukan senyawa bioaktif dalam organ tanaman tersebut. Waktu yang tepat

untuk panen adalah pada saat senyawa bioaktif berada dalam jumlah maksimal pada organ

tanaman yang dikumpulkan. Biji dapat dapat dipanen pada saat mulai mengeringnya buah

atau sebelum semuanya pecah (Tim Penyusun, 2006).

2.2.2.Sortasi basah

Sortasi basah dilakukan untuk membersihkan benda-benda asing dari luar. Seperi

tanah, kerikil, rumput, bagian tanaman lain, bagian lain tanaman, dan bahan yang rusak (Tim

Penyusun, 2006)

2.2.3. Pencucian

Air yang digunakan dapat dari berbagai sumber namun tetap harus memperhatikan

kemungkinan adanya pencemaran (Tim Penyusun, 2006).

8

Page 9: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

Gambar 3. Cemaran yang mungkin pada sumber air.

2.2.4. Pengeringan

Tujuan pengeringan organ tanaman atau tanaman yang dipanen adalah untuk

mendapatkan simplisia yang awet, tidak rusak dan dapat digunakan atau disimpan dalam

jangka waktu relatif lama dengan cara mengurangi kandungan air dan menghentikan reaksi

enzimatik yang mungkin dapat menguraikan senyawa bioaktif dan menurunkan mutu atau

merusak simplisia itu. Air dalam sel dan jaringan tumbuhan yang ada setelah sel atau jaringan

itu mati akan merupakan media pertumbuhan jamur. Demikian pula enzim-enzim tertentu

dalam sel akan menguraikan senyawa bioaktif tertentu, sesaat setelah sel mati dan selama sel

atau organ tersebut masih mengandung jumlah air tertentu yang memungkinkan reaksi

enzimatik berlangsung. Pengeringan dapat dilakukan dengan dua tahap, yaitu pengeringan

alamiah dan pengeringan buatan.

Pengeringan alamiah bergantung dari zat aktif yang dikandung dalam organ tanaman

yang dikeringkan, dapat dilakukan dengan dua cara pengeringan yaitu dengan panas sinar

matahari langsung dan tidak dikenai sinar matahari langsung. Pengeringan dengan sinar

matahari langsung dilakukan untuk mengeringkan organ tanaman yang relatif keras (kayu,

kulit kayu, biji, dan lain-lain) dan mengandung senyawa bioaktif yang relatif stabil.

Pengeringan yang tidak dikenai sinar matahari langsung dilakukan dengan diangin-anginkan

di tempat teduh (bunga) atau ditutup dengan kain hitam (daun, rimpang). Digunakan kain

hitam karena kain hitam dapat menyerap panas bukan sinarnya, sehingga uv terhalang (uv

dapat merusak zat aktif). Pengeringan buatan menggunakan alat yang dapat diatur suhu,

kelembaban, tekanan, dan sirkulasi udaranya. Misalnya oven (Tim Penyusun, 2006).

2.2.5.Sortasi kering

Sortasi setelah pengeringan sebenarnya merupakan tahap akhir penyiapan simplisia.

Tujuan sortasi disini adalah memisahkan benda-benda asing seperti bagian-bagian tanaman

9

Pencucian (sumber Air)

Mata Air Air Sumur Air PAM

Cemaran:

Mikroba

pestisida

Cemaran:

Mikroba

limbah

Cemaran:

Kapur

Klor

Page 10: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

yang masih ada dan tertinggal pada simplisia kering. Proses ini dilakukan sebelum simplisia

dibungkus kemudian disimpan (Tim Penyusun, 2006).

2.2.6. Pengepakan dan Penyimpanan

Mutu simplisia akan menjadi turun kalau kondisi penyimpanan tidak diperhatikan.

Tujuan penyimpanan yang baik dari suatu simplia adalah untuk mencegah menurunnya mutu

simplisia dalam masa penyimpanan.

Wadah yang bersih, kedap udara diperlukan untuk simplisia. Kekedapan terhadap

udara luar diperlukan untuk mencegah masuknya kelembaban udara yang tinggi dari luar ke

dalam wadah. Udara tropik dengan kelembaban tinggi memudahkan pertumbuhan jamur.

Wadah dari logam tidak dianjurkan karena dalam beberapa hal berpengaruh terhadap kadar

senyawa aktif. Wadah dari plastik tebal kualitas baik atau dari gelas berwarna gelap relatif

baik. Pengaruh-pengaruh luar yang perlu dicegah antara lain masuknya serangga, sinar

matahari langsung, dan kotoran udara lain.

Ruang penyimpanan simplisia yang telah diwadahi juga perlu diperhatikan. Suhu

rendah, kelembaban relatif rendah, tekanan udara dalam ruang relatif tinggi dari tekanan

udara luar atau sistem sirkulasi udara yang baik, adalah kondisi ruang yang dianjurkan. Di

samping itu perlu juga diatur letak dan susunan wadah di dalam ruang sehingga memudahkan

orang mencari simplisia yang diperlukan. (Tim Penyusun, 2006)

2.3. Prosedur Ekstraksi

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari

simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua

pelarut diuapkan dan massa serbuk atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga

memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes RI, 1995). Proses ekstraksi bahan nabati/bahan

obat alami dapat dilakukan berdasarkan teori penyarian. Penyarian merupakan peristiwa

perpindahan massa zat aktif yang semula berada di dalam sel, ditarik oleh cairan penyari

sehingga terjadi larutan aktif dalam cairan penyari tersebut. Terdapat 4 metode ekstraksi

yaitu:

2.3.1. Maserasi

Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara

merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel

dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena

adanya perbedan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang di luar sel,

maka larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi

keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel (Depkes RI, 1986).

10

Page 11: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat aktif yang

mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung zat yang mudah mengembang dalam

cairan penyari, tidak mengandung benzoin, stirak, dan lain-lain (Depkes RI, 1986).

Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, air-etanol, atau pelarut lain.

Bila cairan penyari digunakan air maka untuk mencegah timbulnya kapang, dapat

ditambahkan bahan pengawet, yang diberikan pada awal penyarian (Depkes RI, 1986).

Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan

yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Sedangkan kerugian cara maserasi adalah

pengerjaannya lama dan penyariannya kurang sempurna (Depkes RI, 1986).

Maserasi pada umumnya dilakukan dengan cara: 10 bagian simplisia dengan derajat

halus yang cocok dimasukkan ke dalam bejana, kemudian dituangi dengan 75 bagian cairan

penyari, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya, sambil berulang - ulang

diaduk. Setelah 5 hari sari diserkai, ampas diperas. Ampas ditambah cairan penyari

secukupnya diaduk dan diserkai, sehingga diperoleh seluruh sari sebanyak 100 bagian.

Benjana ditutup, dibiarkan ditempat sejuk, terlindung dari cahaya, selama 2 hari. Kemudian

endapan dipisahkan (Depkes RI, 1986).

Gambar 4. Alat maserasi

(Depkes RI, 1986)

2.3.2. Perkolasi

Perkolasi adalah cara penyarian dengan mengalirkan penyari melalui serbuk simplisia

yang telah dibasahi (Depkes RI, 1986).

Prinsip perkolasi adalah sebagai berikut:

Serbuk simplisia ditempatkan dalam suatu bejana silinder, yang dibagian bawahnya

diberi sekat berpori. Cairan penyari dialirkan dari atas ke bawah melalui serbuk tersebut,

cairan penyari akan melarutkan zat aktif sel-sel yang dilalui sampai mencapai keadaan jenuh.

11

Page 12: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

Gerak ke bawah disebabkan oleh kekuatan gaya beratnya sendiri dan cairan di atasnya,

dikurangi dengan daya kapiler yang cenderung untuk menahan (Depkes RI, 1986).

Kekuatan yang berperan pada perkolasi antara lain: gaya berat, kekentalan, daya larut,

tegangan permukaan, difusi, osmosis, adhesi, daya kapiler dan daya geseran (friksi). Cara

perkolasi lebih baik dibandingkan dengan cara maserasi karena:

Aliran cairan penyari menyebabkan adanya pergantian larutan yang terjadi dengan

larutan yang konsentrasinya lebih rendah, sehingga meningkatkan derajat perbedaan

konsentrasi. Ruangan diantara butir – butir serbuk simplisia membentuk saluran tempat

mengalir cairan penyari. Karena kecilnya saluran kapiler tersebut, maka kecepatan pelarut

cukup untuk mengurangi lapisan batas, sehingga dapat meningkatkan perbedaan konsentrasi.

(Depkes RI, 1986)

Alat yang digunakan untuk perkolasi disebut perkolator, cairan yang digunakan untuk

menyari disebut cairan penyari atau menstrum, larutan zat aktif yang keluar dari perkolator

disebut sari atau perkolat, sedang sisa setelah dilakukannya penyarian disebut ampas atau sisa

perkolasi (Depkes RI, 1986).

Gambar 5. Alat perkolasi

Kalau tidak dinyatakan lain perkolasi dilakukan dengan membasahi 10 bagian

simplisia atau campuran simplisia dengan derajat halus yang cocok dibasahi dengan 2,5

bagian sampai 5 bagian cairan penyari, lalu dimasukkan ke dalam bejana tertutup sekurang -

kurangnya selama 3 jam. Kemudian massa dipindahkan sedikit demi sedikit ke dalam

perkolator sambil tiap kali ditekan hati - hati. Selanjutnya dituangi dengan cairan penyari

secukupnya sampai cairan mulai menetes dan di atas simplisia masih terdapat selapis cairan

penyari. Kemudian perkolator ditutup dan dibiarkan selama 24 jam. Selanjutnya cairan

dibiarkan menetes dengan kecepatan 1 ml/menit dan ditambahkan berulang - ulang cairan

penyari berikutnya sehingga selalu terdapat selapis cairan penyari di atas simplisia, hingga

jika 500 mg perkolat yang keluar terakhir diuapkan, tidak meninggalkan sisa. Perkolat

kemudian disuling atau diuapkan dengan tekanan rendah pada suhu tidak lebih dari 500C

hingga konsistensi yang dikehendaki. Pada pembuatan ekstrak cair 0,8 bagian perkolat

pertama dipisahkan, perkolat selanjutnya diuapkan hingga diperoleh 0,2 bagian yang

12

Page 13: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

selanjutnya dicampurkan ke dalam perkolat pertama. Keuntungan metode ini adalah tidak

memerlukan langkah tambahan yaitu sampel padat (marc) telah terpisah dari ekstrak.

Sedangkan kerugiannya adalah kontak antara sampel padat tidak merata atau terbatas

dibandingkan dengan metode refluks, dan pelarut menjadi dingin selama proses perkolasi

sehingga tidak melarutkan komponen secara efisien (Depkes RI, 1986).

2.3.3. Soxhletasi

Soxhletasi merupakan penyarian simplisia secara berkesinambungan, cairan penyari

dipanaskan sehingga menguap, uap cairan penyari terkondensasi menjadi molekul-molekul air

oleh pendingin balik dan turun menyari simplisia dalam klongsong dan selanjutnya masuk

kembali ke dalam labu alas bulat setelah melewati pipa sifon (Depkes RI, 1986).

Alat soxhletasi merupakan penyempurnaan alat ekstraksi, alat tersebut disebut alat

”Soxhlet”. Uap cairan penyari naik ke atas melalui pipa samping, kemudian diembunkan

kembali oleh pendingin tegak. Cairan turun ke labu melalui tabung yang berisi serbuk

simplisia. Cairan penyari sambil turun melarutkan zat aktif serbuk simplisia. Karena adanya

sifon maka setelah cairan mencapai permukaan sifon, seluruh cairan kembali ke labu. Cairan

ini lebih menguntungkan karena uap panas tidak melalui serbuk simplisia, tetapi melalui pipa

samping. Ekstraksi sempurna ditandai bila cairan di sifon tidak berwarna, tidak tampak noda

jika di KLT, atau sirkulasi telah mencapai 20-25 kali. Ekstrak yang diperoleh dikumpulkan

dan dipekatkan (Depkes RI, 1986).

Keuntungan:

Cairan penyari yang diperlukan lebih sedikit, dan secara langsung dapat diperoleh

hasil yang lebih pekat.

Serbuk simplisia disari oleh cairan penyari yang murni, sehingga dapat menyari zat

aktif yang lebih banyak.

Penyarian dapat diteruskan sesuai dengan keperluan, tanpa menambah volume cairan

penyari.

(Depkes RI, 1986)

Kerugian:

Larutan dipanaskan terus-menerus, sehingga zat aktif yang tidak tahan panas kurang

cocok. Ini dapat diperbaiki dengan menambahkan peralatan untuk mengurangi tekanan

udara.

Cairan dididihkan terus menerus, sehingga cairan penyari yang baik harus murni atau

campuran azeotrop.

(Depkes RI, 1986)

13

Page 14: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

Gambar 6. Alat soxhletasi

2.3.4. Refluks

Refluks adalah penyarian untuk mendapatkan ekstrak cair yaitu dengan proses

penguapan dengan menggunakan alat refluks. Prinsip kerja refluks yaitu dengan cara cairan

penyari diisikan pada labu, serbuk simplisia diisikan pada tabung dari kertas saring atau

tabung yang berlubang-lubang dari gelas, baja tahan karat atau bahan lainya yang cocok.

Cairan penyari dipanaskan hingga mendidih. Uap penyari akan naik ke atas melalui serbuk

simplisia. Uap penyari mengembun karena didinginkan oleh pendingin balik. Embun turun

melalui serbuk simplisia sambil melarutkan zat aktifnya dan kembali ke labu. Cairan akan

menguap kembali berulang seperti proses di atas (Depkes RI, 1986).

Keuntungan dari metode refluks ini yaitu menggunakan pelarut yang sedikit, hemat

serta ekstrak yang didapat lebih sempurna. Sedangkan kerugian metode ini yaitu uap panas

langsung melalui serbuk simplisia (Depkes RI, 1986).

Gambar 7. Alat refluks

2.4. Metode Pemisahan Bahan Alam

Pada prinsipnya kromatografi merupakan proses pemisahan yang melibatkan beberapa

sifat fisika utama dari molekul yaitu :14

Page 15: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

Kecenderungan molekul untuk melarut dalam cairan (kelarutan)

Kecenderungan molekul untuk melekat pada permukaan serbuk halus (adsorpsi,

penjerapan)

Kecenderungan molekul untuk menguap (keatsirian)

(Harbone, 1987)

Dalam penggunaan analitik secara kualitatif metode ini bertujuan untuk

mengungkapkan ada tidaknya senyawa tertentu dalam cuplikan. Keuntungan kromatografi

sebagai metode kualitatif yaitu cuplikan senyawa yang diperlukan untuk analisis sangat

sedikit dan waktu analisis pendek. Pemakaian kromatografi secara kuantitatif bertujuan untuk

mengungkapkan banyaknya masing-masing komponen yang terdapat dalam suatu campuran.

Keuntungan metode kuantitatif adalah dapat menganalisis langsung suatu komponen

campuran atau hasil suatu reaksi tanpa harus melakukan fraksinasi terlebih dahulu, sehingga

dapat menjamin ketelitian hasil pemeriksaan (Harbone, 1987).

2.4.1. Kromatografi Kertas (KKt)

Kromatografi kertas dapat digunakan terutama bagi kandungan tumbuhan yang mudah

larut dalam air, yaitu karbohidrat, asam amino, basa asam nukleat, asam organik, dan fenolat.

Untuk pekerjaan penyiapannya kromatografi kertas biasanya pada lembaran kertas saring

yang tebal (Harbone, 1987).

Satu keuntungan utama kromatografi kertas adalah kemudahan dan kesederhanaannya

pada pelaksanaan pemisahan, yaitu hanya pada lembaran kertas saring yang berlaku sebagai

medium pemisahan dan juga sebagai penyangga. Keuntungan lain adalah keterulangan

bilangan Rf yang besar pada kertas sehingga pengukuran Rf merupakan parameter yang

berharga dalam memaparkan senyawa tumbuhan baru (Harbone, 1987).

Kromatografi pada kertas biasanya melibatkan kromatografi pembagian atau

penjerapan. Pada kromatografi pembagian, senyawa terbagi dalam pelarut alkohol yang

sebagian besar tidak bercampur dengan air (misalnya n-butanol). Pengembang

kromatografinya adalah air murni dan dapat digunakan untuk memisahkan purin dan

pirimidin biasa, dan secara umum dapat dipakai juga untuk senyawa fenol dan glikosida

tumbuhan. Pada kromatografi kertas senyawa biasanya dideteksi sebagai bercak berwarna

atau bercak berfluoresensi-UV setelah direaksikan dengan pereaksi kromogenik yang

digunakan sebagai pereaksi semprot atau pereaksi celup (Harbone, 1987).

2.4.2. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

KLT merupakan metode pilihan untuk pemisahan semua kandungan yang larut dalam

lipid, yaitu lipid, steroid, karotenoid, kuinon sederhana, dan klorofil. Untuk pekerjaan

penyiapannya KLT biasanya dilakukan pada lapisan penjerap yang tebal. Bila KLT 15

Page 16: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

dibandingkan dengan KKt (Kromatografi Kertas), kelebihan KLT adalah keserbagunaan,

kecepatan, dan kepekaannya. Keserbagunaan KLT disebabkan oleh kenyataan bahwa

disamping selulosa, sejumlah penjerap yang berbeda-beda dapat disaputkan pada pelat kaca

atau penyangga lain yang digunakan untuk kromatografi. Kecepatan KLT yang lebih besar

disebabkan oleh sifat penjerap yang lebih pada bila disaputkan pada pelat dan merupakan

keuntungan bila kita menelaah senyawa labil. Kepekaan KLT sedemikian rupa sehingga bila

diperlukan dapat dipisahkan dari bahan yang jumlahnya lebih sedikit dari ukuran µg

(Harbone, 1987).

Satu kekurangan KLT adalah kerja penyaputan pelat kaca dengan penjerap. Kerja ini

kemudian agak diringankan dengan adanya penyaput otomatis (Harbone, 1987).

Pelarut yang digunakan pada KLT lebih banyak dibandingkan pada KKt, dan pada

umumnya terdapat ruang gerak yang lebih leluasa dalam perbandingan pelarut yang

digunakan dalam bidang pengembang. Untuk mengukur Rf pada KLT dengan seksama dapat

membakukan kondisi, tetapi hal itu merupakan suatu proses yang memakan waktu. Biasanya

dilakukan dengan cara pengembangan naik di dalam suatu bejana yang dindingnya dilapisi

kertas saring sehingga atmosfer di dalam bejana jenuh dengan fase pelarut (Harbone, 1987).

Deteksi senyawa pada pelat KLT biasanya dilakukan dengan penyemprotan dan

karena permukaan pelat lebih sempit (20 × 20 cm). maka penyemprotannya merupakan

prosedur yang nisbi sederhana. Satu keuntungannya bila dibandingkan dengan KKt adalah

pelat kaca dapat disemprot dengan asam sulfat pekat, yaitu pereaksi pendeteksi steroid dan

lipid yang berguna (Harbone, 1987).

2.4.3. Kromatografi Gas Cair (KGC)

Penggunaan utama KGC adalah pada pemisahan senyawa atsiri, yaitu asam lemak,

mono dan sesquiterpen, hidrokarbon, dan senyawa belerang. Tetapi keatsirian kandungan

tumbuhan yang bertitik didih tinggi dapat diperbesar dengan mengubahnya menjadi ester atau

eter trimetilsilil, sehingga hanya ada sedikit saja golongan yang sama sekali tidak cocok

dipisahkan dengan cara KGC (Harbone, 1987).

Komponen yang diperlukan untuk KCG sangat canggih dan mahal dibandingkan

dengan komponen untuk KLT ataupun KKt. Tetapi pada prisipnya KGC tidaklah lebih rumit

dari prosedur kromatografi yang lain. Komponen KGC memiliki empat bagian utama yaitu:

Kolom berupa pipa kecil yang panjang yang dikemas dengan fase diam yang melekat

pada serbuk lebam. Disini fase diam disaputkan sebagai film pada permukaan kolom

bagian dalam.

16

Page 17: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

Pemanas digunakan untuk memanaskan kolom secara meningkat. Suhu di tempat

masuk ke kolom dikendalikan terpisah sehingga cuplikan dapat diuapkan dengan cepat

ketika diteruskan ke kolom.

Aliran Gas terdiri atas gas pembawa yang lembam seperti nitrogen dan argon.

Pemisahan senyawa dalam kolom bergantung pada pengaliran gas ini melalui kolom

dengan laju aliran yang terkendali.

Detektor diperlukan untuk mengukur senyawa ketika senyawa itu dialirkan melalui

kolom. Pendeteksian didasarkan pengionan nyala atau penangkap elektron. Detektor

dihubungkan dengan perekam potensiometri yang memberikan hasil pemisahan

berupa serangkaian puncak yang berbeda-beda kekuatannya. (Harbone, 1987)

Hasil KGC dapat dinyatakan dengan Volume Retensi RV (volume gas pembawa yang

diperlukan untuk mengelusi suatu komponen dari kolom) atau dengan waktu retensi R t (waktu

yang diperlukan untuk mengelusi komponen dari kolom) (Harbone, 1987).

Perubah utama dalam KGC adalah sifat fase diam dalam kolom dan suhu kerja.

Keduanya diubah-ubah menurut kepolaran dan keatsirian senyawa yang dipisahkan. KGC

memberikan data kuantitatif maupun kualitatif senyawa tumbuhan karena luas daerah

dibawah puncak yang ditunjukkan pada kromatogram berbanding lurus dengan konsentrasi

masing-masing komponen yang berbeda yang terdapat dalam campuran asal (Harbone, 1987).

Gambar 8. Grafik Kromatografi Gas Cair

Keterangan gambar: Kromatogram gas cair pemisahan campuran sterol asetat yang terdapat

dalam biji gandum ( Avena sativa ). Keterangan: (1) kolestrol, (2) brasikasterol, (3)

kampesterol, (4) stigmasterol, (5) sitosterol, (6) Δ5 avenasterol, (7) Δ7 avenasterol. Fase diam

sikloheksandimetanol suksinat 1% + polivinil pirolidon 2% pada gas krom P 255 yang telah

dicuci dengan asam (Harbone, 1987).

2.4.4. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

KCKT dapat memisahkan kandungan yang keatsiriannya kecil. KCKT adalah suatu

metode yang menggabungkan koefisiennya kolom dan kecepatan analisis. KCKT dapat 17

Page 18: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

disamakan dengan KGC dalam hal kepekaan dan kemampuannya menghasilkan data

kualitatif dan kuantitatif dengan sekali kerja saja. Perbedaannya adalah fase diam yang terikat

pada polimer berpori terdapat pada kolom baja tahan karat yang bergaris tengah kecil, dan

fase gerak cair mengalir akibat tekanan yang besar. Alat KCKT lebih mahal daripada KGC,

terutama karena diperlukan sistem pompa yang cocok serta semua sambungan harus diskrup

agar dapat menahan tekanan. Fase geraknya adalah campuran pelarut yang dapat bercampur.

Campuran ini dapat tetap susunannya atau dapat diubah perbandingannya secara

kesinambungan dengan menambahkan ruang pencampur kepada susunan alat (elusi landaian)

(Harbone, 1987).

Senyawa dipantau ketika keluar dari kolom dengan menggunakan pendeteksi,

biasanya dengan mengukur spektrum serapan UV. Kolom yang biasanya dikemas dengan

partikel bulat kecil yang terbuat dari silika yang berlapiskan atau berkaitan dengan fase diam,

terutama peka terhadap cemaran. KCKT digunakan terutama untuk senyawa tak atsiri,

misalnya terpenoid tinggi, segala jenis senyawa fenol, alkaloid, lipid, dan gula. KCKT paling

baik untuk senyawa yang dapat dideteksi di daerah spektrum UV atau di daerah sinar tampak

(Harbone, 1987).

2.4.5. Spektrofotodensitometri

Prinsip dasar pengukuran kadar suatu senyawa dengan sistem spektrofotodensitometri

adalah mengukur serapan atau fluorosensi dari analit yang menyerap sinar UV. Pada mode

serapan (absorbsi), yang diukur adalah banyaknya REM yang diabsorsi atau diserap oleh

kromofor suatu senyawa. Sedangkan untuk mode fluorosensi yang diukur adalah energi yang

dilepas setelah kromofor tersebut diberikan bereksitasi. Setelah diberikan energi REM

berlebih, senyawa akan tereksitasi. Namun, pada kondisi tersebut, elektron berada pada

kondisi yang kurang stabil. Elektron akan cenderung menempati posisi yang lebih stabil,

sehingga terjadi relaksasi. Saat terjadi eksitasi, elektron melepaskan sejumlah tertentu energi

misalnya berupa dalam bentuk cahaya. Peristiwa ini disebut dengan fluorosensi (Gandjar,

2007).

Penentuan kadar masing-masing senyawa dapat dilakukan dengan cara analisis

multikomponen menggunakan metode spektrofotometri UV-Vis, atau dilakukan dengan

metode kromatografi, baik KLT maupun KCKT. Analisis kuantitatif dari suatu senyawa yang

telah dipisahkan dengan KLT biasanya dilakukan dengan densitometer langsung pada

lempeng KLT (secara in situ), yang mana densitometer dapat bekerja secara serapan maupun

fluoresensi (Gandjar, 2007).

Evaluasi visual kromatogram sebelum derivatisasi hanya mampu memberikan hasil

kualitatif sedangkan evaluasi optikal secara langsung (insitu) pada plat menggunakan suatu 18

Page 19: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

instrumen dapat memberikan hasil kualitatif dan hasil kuantitatif. Alat optis yang dapat

digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif ini adalah spektrofotodensitometer atau

sering disebut dengan TLC Scaner. Spektrofotodensitometer digunakan dengan

menghubungkan pada suatu perangkat komputer (PC) yang dikendalikan dengan suatu

program evaluasi. PC akan menampilkan hasil kalkulasi, protokol pendukung, menyediakan

data dari semua parameter dari peralatan dan program evaluasi serta data hasil yang berupa

angka dan grafik (Deinstrop, 2007).

Gambar 9. TLC Scanner

Menurut Settel (1997) prinsip kerja spektrofotodensitometri berdasarkan interaksi

antara radiasi elektromagnetik dari sinar UV-Vis dengan analit yang merupakan noda pada

plat. Untuk evaluasi bercak hasil KLT secara densitometri, bercak di-scanning dengan sumber

sinar dalam bentuk celah (slit) yang dapat dipilih baik panjangnya maupun lebarnya. Sinar

yang dipantulkan diukur dengan sensor cahaya (fotosensor). Perbedaan antara sinyal optik

daerah yang tidak mengandung bercak dengan daerah yang mengandung bercak dihubungkan

dengan banyaknya analit yang ada melalui kurva kalibrasi yang telah disiapkan dalam

lempeng yang sama. Pengukuran densitometri dapat dibuat dengan absorbansi atau dengan

fluoresensi.

Kebanyakan pengukuran kromatogram lapis tipis dilakukan dengan cara absorbansi.

Kisaran ultraviolet rendah (di bawah 190 nm sampai 300 nm) merupakan daerah yang paling

berguna (Settel, 1997).

19

Page 20: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

Gambar 10. Komponen Spektrofotodensitometer

Karena adanya penghamburan sinar oleh partikel-partikel yang ada di lempeng, maka

suatu persamaan matematis yang sederhana dan terdefinisi dengan baik yang menyatakan

hubungan antara sinyal sinar dan banyaknya (konsentrasi) senyawa dalam lapisan lapis tipis

tidak pernah dijumpai. Sebagai akibatnya hubungan ini tidak bersifat linier. Meskipun

demikian, karena saat ini tersedia perangkat lunak (software) ataupun integrator yang dapat

menangani hubungan yang tidak linier, maka tidak diperlukan untuk melinierkan hubungan

antara konsentrasi dan respon optis (Settel, 1997).

Untuk scanning dengan fluororesensi, intensitas sinar yang diukur berbanding

langsung dengan banyaknya analit (senyawa) yang berfluororesensi lebih sensitif dibanding

dengan pengukuran absorbansi dan fungsi kalibrasi seringkali linier pada kisaran konsentrasi

yang agak luas. Karena alasan-alasan ini, senyawa-senyawa yang bersifat fluororesensi secara

inhiren selalu di-scan dengan fluororesensi. Untuk senyawa-senyawa yang tidak

berfluororesensi, maka senyawa tersebut dapat diperlakukan dengan cara mereaksikannya

dengan reagen tertentu hingga dihasilkan senyawa yang berfluororesensi (Settel, 1997).

Sumber radiasi pada spektrofotodensitometri ada tiga macam tergantung pada rentang

panjang gelombang dan prinsip penentuan. Lampu deuterium dipakai untuk pengukuran pada

daerah ultraviolet (190-400 nm) dan lampu tungsten digunakan untuk pengukuran pada

daerah sinar tampak (400-800 nm) sedangkan untuk penentuan secara flouresensi digunakan

lampu busur merkuri bertekanan tinggi (Deinstrop, 2007).

20

Page 21: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

2.5 Skrining Fitokimia

2.5.1. Cara Identifikasi Alkaloid

A.Reaksi pengendapan

Larutan percobaan untuk pengendapan alkaloid dibagi dalam 4 golongan sebagai

berikut:

Golongan I : Larutan percobaan dengan alkaloid membentuk garam yang tidak larut: Asam

silikowolframat LP, Asam fosfomolibdat LP, dan asam fosfowolframat LP.

Golongan II : Larutan percobaan yang dengan alkaloid membentuk senyawa kompleks

bebas,

kemudian membentuk endapan: Bourchardat LP dan Wagner LP.

Golongan III : Larutan percobaan yang dengan alkaloid membentuk senyawa adisi yang

tidak

larut: Mayer LP, Dragendroff LP, dan Marme LP.

Golongan IV : Larutan percobaan yang dengan alkaloid membentuk ikatan asam organik

dengan alkohol: Harger LP.

(Depkes RI, 1980)

Cara percobaan:

Timbang 500 mg serbuk simplisia, tambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml air,

panaskan di atas penangas air selama 2 menit, dinginkan dan saring. Pindahkan 3 tetes filtrat

pada kaca arloji, tambahkan 2 tetes Bouchardat LP. Jika pada kedua percobaan tidak terjadi

endapan, maka serbuk tidak mengandung alkaloid. Jika dengan Mayer LP terbentuk endapan

menggumpal berwarna putih atau kuning yang larut dalam methanol P dan dengan

Bouchardat LP terbentuk endapan berwarna coklat sampai hitam, maka kemungkinan terdapat

alkaloid. Lanjutkan percobaan dengan mengocok sisa filtrat dengan 3 ml ammonia pekat P

dan 10 ml campuran 3 bagian volume eter P dan 1 bagian volume kloroform P. Ambil fase

organik, tambahkan natrium sulfat anhidrat P, saring. Uapkan filtrat diatas penangas air,

larutkan sisa dalam sedikit asam klorida 2 N.

Lakukan percobaan dengan keempat golongan larutan percobaan, serbuk mengandung

alkaloid jika sekurang-kurangnya terbentuk endapan dengan menggunakan dua golongan

larutan percobaan yang digunakan.

(Depkes RI, 1980)

21

Page 22: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

B. Reaksi Warna

Cara percobaan:

Lakukan penyarian dengan campuran eter-kloroform seperti pada cara reaksi

pengendapan. Pindahkan beberapa ml filtrat pada cawan porselin, uapkan.

Pada sisa tambahkan 1 sampai 3 tetes larutan percobaan seperti yang tertera pada masing-

masing monografi. Larutan percobaan, asam sulfat P, asam nitrat P, Frohde LP, dan Erdman

LP.

(Depkes RI, 1980)

2.5.2.Cara Identifikasi Glikosida

A. Larutan percobaan

Sari 3 g serbuk simplisia dengan 30 ml campuran 7 bagian volume etanol (95%) P dan

3 bagian volume air dalam alat pendingin alir balik selama 10 menit, dinginkan, saring. Pada

20 ml filtrat tambahkan 25 ml air dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M, kocok, diamkan selama 5

menit, saring. Sari filtrat 3 kali, tiap kali dengan 20 ml campuran 3 bagian volume kloroform

P dan 2 bagian volume isopropanol P. Pada kumpulan sari tambahkan natrium sulfat anhidrat

P, saring, dan uapkan pada suhu tidak lebih dari 50oC. Larutkan sisa dengan 2 ml methanol P

(Depker RI, 1980).

B. Percobaan umum terhadap glikosida

Cara percobaan:

Uapkan 0,1 ml larutan percobaan di atas penangas air, larutkan sisa dalam 5 ml asam

asetat anhidrat P. Tambahkan 10 tetes asam sulfat P; terjadi warna biru atau hijau,

menunjukkan adanya glikosida (reaksi Liebermann Burchard).

Masukkan 0,1 ml larutan percobaan dalam tabung reaksi, uapkan di atas penangas air.

Pada sisa tambahkan 2 ml air dan 5 tetes Molish LP. Tambahkan hati-hati 2 ml asam sulfat P;

terbentuk cincin berwarna ungu pada batas cairan, menunjukkan adanya ikatan gula (reaksi

Molish). (Depkes RI, 1980)

C. Kromatografi Lapis Tipis

Sari 300 mg serbuk simpllisia dengan 5 ml methanol P, saring, pada 2 titik masing-

masing 20 ml fitrat pada lempeng KLT setebal 0,25 mm. Elusi dengan campuran benzen P-

etanol (95%) P (70+30) dengan jarak rambat 15 cm. Semprot kromatogram pertama dengan

anisaldehida-asam sulfat LP, panaskan pada suhu 110oC selama 10 menit, amati dengan sinar

biasa dan sinar ultraviolet 366 nm. Pada kromatogram tampak bercak berwarna biru. Semprot

kromatogram kedua dengan asam perklorat P, panaskan pada suhu 110oC selama 10 menit,

22

Page 23: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

amati dengan sinar biasa dan sinar ultraviolet 366 nm, bercak tidak berflourosensi (Depkes

RI, 1980).

D. Percobaan terhadap glikosida antrakinon

Cara percobaan.

Campur 200 mg serbuk simplisia dengan 5 ml asam sulfat 2 N, panaskan sebentar,

dinginkan. Tambahkan 10 ml benzen P, kocok, diamkan. Pisahkan lapisan benzen, saring;

filtrat berwarna kuning, menunjukkan adanya antrakinon. Kocok lapisan benzen dengan 1 ml

sampai 2 ml natrium hidroksida 2 N, diamkan; lapisan air berwarna merah intensif dan lapisan

benzen tidak berwarna (Depkes RI, 1980).

2.5.3. Cara Identifikasi Saponin

A. Pembuihan

Cara percobaan.

Masukkan 0,5 g serbuk yang diperiksa ke dalam tabung reaksi, tambahkan 10 ml air

panas, dinginkan dan kemudian kocok kuat-kuat selama 10 detik. (Jika zat yang diperiksa

berupa sediaan cair, encerkan 1 ml sediaan yang diperiksa dengan 10 ml air dan kocok kuat-

kuat selama 10 menit); terbentuk buih yang mantap selama tidak kurang dari 10 menit,

setinggi 1 cm sampai 10 cm. Pada penambahan 1 tetes asam klorida 2 N, buih tidak hilang

(Depkes RI, 1980).

B. Haemolisa

Larutan dapar fosfat PH 7,4. Larutkan 16,0 g natrium fosfat P yang telah dikeringkan

pada suhu 130oC hingga bobot tetap dan 4,4 g natrium dihidrogen fosfat P dalam 1.000 ml air.

Untuk menambahkan stabilitas tambahkan 0,1 g natrium fluoride P (Depkes RI, 1980).

Suspensi darah. Masukkan 10 ml larutan natrium sitrat P 3,65 % b/v ke dalam labu

takar bersumbat kaca 100 ml. Tambahkan darah sapi segar secukupnya hingga 100 ml,

campur baik-baik hingga homogen. (larutan stabil selama 7 hari jika disimpan dalam lemari

pendingin). Pipet 2 ml larutan diatas ke dalam labu takar bersumbat kaca 100 ml, tambahkan

larutan dapar fosfat pH 7,4 secukupnya hingga 100 ml, campur baik-baik. Larutan dapat

dipergunakan jika larutan jernih dan jika terjadi endapan, endapan tidak berwarna ungu

(Depkes RI, 1980).

Cara percobaan :

Campur 0,5 g serbuk yang diperiksa atau sisa kering 5 ml sediaan berbentuk cair,

dengan 50 ml larutan dapar fosfat pH 7,4, panaskan sebentar, dinginkan, saring. Ambil 1 ml

filtrat, campur dengan 1 ml suspensi darah. Untuk serbuk yang mengandung tannin, encerkan

0,2 ml filtrat dengan 0,8 ml larutan dapat fosfat pH 7,4, campur dengan 1 ml suspensi darah.

23

Page 24: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

Diamkan selama 30 menit, terjadi haemolisa total, menunjukkan adanya saponin (Depkes RI,

1980).

2.5.4. Cara Identifikasi Flavonoid

A. Larutan percobaan

Sari 0,5 g serbuk yang diperiksa atau sisa kering 10 ml sediaan berbentuk cairan,

dengan 10 ml methanol P, menggunakan alat pendingin balik selama 10 menit. Saring panas

melalui kertas saring kecil berlipat. Encerkan filtrat dengan 10 ml air. Setelah dingin

tambahkan 5 ml eter minyak tanah P, kocok hati-hati, diamkan. Ambil lapisan metanol,

uapkan pada suhu 40oC di bawah tekanan. Sisa dilarutkan dalam 5 ml etil asetat P, saring

(Depkes RI, 1980).

B. Cara percobaan :

Uapkan hingga kering 1 ml larutan percobaan, sisa dilarutkan dalam 1 ml sampai 2 ml

etanol (95%) P; tambahkan, 5 g serbuk seng P dan 2 ml asam klorida 2 N, diamkan selama 1

menit. Tambahkan 10 tetes asam klorida pekat P, jika dalam waktu 2 sampai 5 menit terjadi

warna merah intensif, menunjukkan adanya flavonoid (glikosida-3-flavonol). Uapkan hingga

kering 1 ml larutan percobaan, sisa dilarutkan dalam 1 ml etanol (95%) P, tambahkan 0,1 g

serbuk magnesium P dan 10 tetes asam klorida pekat P, jika terjadi warna merah jingga

sampai merah ungu, menunjukkan adanya flavon, kalkon dan auron. Uapkan hingga kering 1

ml larutan percobaan, basahkan sisa dengan aseton P, tambahkan sedikit serbuk halus asam

borat P dan serbuk halus asam oksalat P, panaskan hati – hati di atas penangas air dan hindari

pemanasan yang berlebihan. Campur sisa yang diperoleh dengan 10 ml eter P. Amati dengan

sinar ultraviolet 366 nm; larutan berflurorensensi kuning intensif, menunjukkan adanya

flavonoid (Depkes RI, 1980).

2.6. Standarisasi Ekstrak

2.6.1. Kadar abu

Prosedur penetapan kadar abu yaitu lebih kurang 2 g sampai 3 g zat yang telah digerus

dan ditimbang seksama, masukkan ke dalam krus platina atau krus silikat yang telah

dipijarkan dan ditara, ratakan. Pijarkan perlahan-lahan hingga arang habis, dinginkan,

timbang. Jika dengan cara ini arang tidak dapat dihilangkan, tambahkan air panas, saring

melalui kertas saring bebas abu. Pijarkan sisa dan kertas saring dalam krus yang sama.

Masukkan filtrat ke dalam krus, uapkan, pijarkan hingga bobot tetap, timbang. Hitung kadar

abu terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Depkes RI, 1980).

Kadar abu yang tidak larut dalam asam

24

Page 25: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

Prosedur: Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu, didihkan dengan 25 ml asam

klorida encer P selama 5 menit, kumpulkan bagian yang tidak larut dalam asam. Saring

melalui krus kaca masir atau kertas saring bebas abu, cuci dengan air panas, pijarkan hingga

bobot tetap, timbang. Hitung kadar abu yang tidak larut dalam asam terhadap bahan yang

telah dikeringkan di udara (Depkes RI, 1980).

2.6.2. Kadar sari yang larut dalam air

Prosedur: Keringkan serbuk (4/18) di udara, maserasi selama 24 jam 5,0 g serbuk

dengan 100 ml air kloroform P, menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok

selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam. Saring, uapkan 20 ml filtrat

hingga kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara, panaskan sisa pada suhu

1050C hingga bobot tetap. Hitung kadar dalam persen sari yang larut dalam air, dihitung

terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Depkes RI, 1980).

2.6.3. Kadar sari yang larut dalam etanol

Keringkan serbuk (4/18) di udara, maserasi selama 24 jam 5,0 g serbuk dengan 100 ml

etanol (95%), menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selma 6 jam pertama

dan kemudian dibiarkan selama 18 jam. Saring cepat dengan menghindarkan penguapan

etanol (95%), uapkan 20 ml filtrat hingga kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang

telah ditara, panaskan sisa pada suhu 1050C hingga bobot tetap. Hitung kadar dalam persen

sari yang larut dalam etanol (95%), dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara

(Depkes RI, 1980).

2.6.4. Bahan organik asing

Cara penetapan :

Timbang antara 25 g dan 500 g simplisia, ratakan. Pisahkan sesempurna mungkin

bahan organik asing, timbang dan tetapkan jumlahnya dalam persen terhadap simplisia yang

digunakan. Makin kasar simplisia yang diperiksa makin banyak jumlah simplisia yang

ditimbang (Depkes RI, 1980).

2.6.5. Kadar Air

A. Cara Titrasi

Pereaksi dan larutan yang digunakan peka terhadap air, hingga harus dilindungi dari

pengaruh kelembaban udara (Depkes RI, 1980).

Pereaksi Karl Fischer disimpan dalam botol yang diperlengkapi dengan buret

otomatik. Untuk melindungi dari pengaruh kelembaban udara, buret dilengkapi dengan

tabung pengering. Labu titrasi kapasitas lebih kurang 60 ml, dilengkapi dengan 2 elektroda

platina, sebuah pipa pengalir nitrogen, sebuah sumbat berlubang untuk ujung buret dan

sebuah tabung pengering. Zat yang diperiksa dimasukkan ke dalam labu melalui pipa pengalir 25

Page 26: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

nitrogen atau melalui pipa samping yang dapat disumbat. Pengadukan dilakukan dengan

mengalirkan gas nitrogen yang telah dikeringkan atau dengan pengaduk magnit. Penunjuk

titik akhir terdiri dari batere kering 1,5 volt atau 2 volt yang dihubungkan dengan tahanan

variabel lebih kurang 2.000 ohm. Tahanan diatur sedemikian rupa sehingga arus utama yang

cocok yang melalui elektroda platina berhubungan secara seri dengan mikroammeter (Depkes

RI, 1980).

Setelah setiap kali penambahan pereaksi Karl Fischer, penunjuk mikroammeter

menyimpang akan tetapi segera kembali ke kedudukan semula. Pada titik akhir,

penyimpangan akan tetap selama waktu yang lebih lama (Depkes RI, 1980).

Untuk zat-zat yang melepaskan air secara perlahan-lahan, maka pada umumnya

dilakukan titrasi tidak langsung. Kecuali dinyatakan lain dalam monografi maka penetapan

kadar air dilakukan dengan titrasi langsung (Depkes RI, 1980).

Cara Penetapan:

Titrasi langsung

Kecuali dinyatakan lain, masukkan lebih kurang 20 ml methanol P ke dalam labu

titrasi. Titrasi dengan pereaksi Karl Fischer hingga titik akhir tercapai. Masukkan dengan

cepat sejumlah zat yang ditimbang saksama yang diperkirakan mengandung 10 mg sampai 50

mg air, ke dalam labu titrasi, aduk selama 1 menit. Titrasi dengan pereaksi Karl Fischer yang

telah diketahui kesetaraan airnya. Hitung jumlah air dalam mg dengan rumus :

V x F

V adalah volume dalam ml pereaksi Karl Fischer pada titrasi kedua, F adalah faktor

kesetaraan air (Depkes RI, 1980).

Titrasi tidak langsung

Masukkan lebih kurang 20 ml metanol P ke dalam labu titrasi. Titrasi dengan pereaksi

Karl Fischer hingga titik akhir tercapai. Masukkan dengan cepat sejumlah zat yang ditimbang

saksama yang diperkirakan mengandung 10 mg sampai 50 mg air, campur. Tambahkan

pereaksi Karl Fischer berlebihan dan yang diukur saksama, biarkan selama beberapa waktu

hingga reaksi sempurna. Titrasi kelebihan pereaksi dengan larutan baku air-metanol. Hitung

jumlah dalam mg air dengan rumus :

FV1-aV2

F adalah faktor kesetaraan air pereaksi Karl Fischer, V1 adalah volume dalam ml

pereaksi Karl Fischer yang diukur saksama, a adalah kadar cair dalam mg tiap ml dari larutan

baku air-metanol dan V2 adalah volume dalam ml larutan baku air-metanol (Depkes RI, 1980).

Pereaksi

Pereaksi Karl Fischer26

Page 27: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

Larutkan 60 g yodium P dalam 100 ml piridina mutlak P, dinginkan dalam es, alirkan

belerang dioksida P hingga bobot bertambah 32,3 g sambil dilindungi dari pengaruh

kelembaban udara. Tambahkan metanol mutlak P secukupnya hingga 500 ml, biarkan selama

24 jam. Lakukan pembakuan sebagai berikut:

Masukkan lebih kurang 20 ml metanol mutlak P ke dalam labu titrasi. Titrasi dengan

pereaksi Karl Fischer tanpa mencatat volume yang digunakan. Masukkan air yang ditimbang

saksama sejumlah yang cocok. Titrasi dengan pereaksi Karl Fischer. Hitung kesetaraan air

dalam mg tiap ml pereaksi. Pereaksi Karl Fischer harus dibakukan segera sebelum digunakan.

Peraksi Karl Fischer harus disimpan di lemari yang dingin pada suhu antara 20-80C, terlindung

dari cahaya. 1 ml pereaksi Karl Fischer segar setara dengan lebih kurang 5 mg air (Depkes RI,

1980).

Larutan baku air metanol

Encerkan 2 ml air dengan metanol P secukupnya hingga 1.000,0 ml. Titrasi 25,0 ml

larutan dengan pereaksi Karl Fischer. Hitung kadar air dalam mg tiap ml dengan rumus

(VF/25). V adalah volume dalam ml pereaksi Karl Fischer, F adalah faktor kesetaraan air

(Depkes RI, 1980).

B. Cara Destilasi

Alat

Sebuah labu 500-ml (A) dihubungkan dengan pendingin alir balik (C) dengan

pertolongan alat penampung (B). Tabung penerima 5 ml (E), berskala 0,1 ml. Pemanas yang

digunakan sebaiknya pemanas listrik yang suhunya dapat diatur atau tangas minyak. Bagian

atas labu tabung penyambung (D) sebaiknya dibungkus dengan asbes (Depkes RI, 1980)

Gambar 11. Alat Destilasi

Pereaksi

27

Page 28: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

Toluen. Sejumlah toluen P, kocok dengan sedikit air, biarkan memisah, buang lapisan

air suling (Depkes RI, 1980).

Cara Penetapan

Bersihkan tabung penerima dan pendingin dengan asam pencuci, bilasi dengan air,

keringkan dalam lemari pengering. Ke dalam labu kering masukkan sejumlah zat yang

ditimbang saksama yang diperkirakan mengandung 2 ml sampai 4 ml air. Jika zat berupa

pasta, timbang dalam sehelai lembaran logam dengan ukuran yang sesuai dengan leher labu.

Untuk zat yang dapat menyebabkan gejolak mendadak, tambahkan pasir kering yang telah

dicuci secukupnya hingga mencukupi dasar labu atau sejumlah tabung kapiler, panjang lebih

kurang 100 mm yang salah satu ujungnya tertutup. Masukkan lebih kurang 200 ml toluen ke

dalam labu, hubungkan dengan alat. Tuang toluen ke dalam tabung penerima melalui alat

pendingin. Panaskan labu hati-hati selama 15 menit (Depkes RI, 1980).

Setelah toluen mulai mendidih, suling dengan kecepatan lebih kurang 2 tetes tiap

detik, hingga sebagian besar air tersuling, kemudian naikkan kecepatan hingga 4 tetes tiap

detik. Setelah semua air tersuling, cuci bagian dalam pendingin dengan toluen sambil

dibersihkan dengan sikat tabung yang disambungkan pada sebuah kawat tembaga dan lebih

dibasahi dengan toluen. Lanjutkan penyulingan selama 5 menit. Biarkan tabung penerima

pendingin hingga suhu kamar. Jika ada tetes air yang melekat pada pendingin tabung

penerima, hosok dengan karet yang diikatkan pada sebuah kawat tembaga dan basahi dengan

toluen hingga tetesan air turun. Setelah air dan toluen memisah sempurna, baca volume air.

Hitung kadar air dalam %. (Depkes RI, 1980).

2.6.6.Penetapan Susut Pengeringan

Berdasarkan Materia Medika Indonesia, susut pengeringan adalah kadar bagian yang

menguap suatu zat. Kecuali dinyatakan lain, suhu penetapan adalah 105oC dan susut

pengeringan ditetapkan sebagai berikut: Timbang saksama 1 g dan 2 g zat dalam bobot

timbang dangkal bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu penetapan selama 30

menit dan telah ditara. Jika zat berupa hablur besar, sebelum ditimbang digerus dengan cepat

hingga ukuran butiran lebih kurang 2 mm. Ratakan zat dalam botol timbang dengan

menggoyangkan botol, hingga merupakan lapisan setebal lebih kurang 5 mm sampai 10 mm,

masukkan ke dalam ruang pengering, buka tutupnya, keringkan pada suhu penetapan hingga

bobot tetap. Sebelum setiap pengeringan, biarkan botol dalam keadaan tertutup mendingin

dalam desikator hingga suhu kamar. Jika suhu lebur zat lebih rendah dari suhu penetapan,

pengeringan dilakukan pada suhu antara 5o dan 10oC dibawah suhu leburnya selama 1 jam

28

Page 29: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

sampai 2 jam, kemudian pada suhu penetapan selama waktu yang ditentukan atau hingga

bobot tetap (Depkes RI, 1980).

29

Page 30: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

2.7 Metode Ekstraksi

Sekitar 10 g serbuk biji kedelai dimaserasi dengan metanol teknis sebanyak 75

mL. Ekstrak yang diperoleh kemudian disaring dan diuapka sampai diperoleh ekstrak kental

metanol. Ekstrak ini kemudian dihidrolisis dengan HCl 2N selama 30 menit. Hasil hidrolisis

diekstraksi dengan n-heksana. Ekstrak yang bercampur dengan n-heksana yang diperoleh

duapkan sehingga diperoleh ekstrak kental (Asih, 2009).

2.8 Metode Pemisahan

Fase diam yang digunakan pada kromatografi kolom adalah silika gel, sedangkan fase

geraknya fase gerak n-heksana : kloroform : etil asetat (9:1:0,5). Kolom yang digunakan

sepanjang 25 cm, dengan diameter kurang lebih 2 cm. Silika gel 60 (70-100) mesh kering

terlebih dahulu dimasukkan ke dalam kolom hingga tinggi 25 cm, kemudian dipanaskan

dalam oven pada suhu 1100 C, kemudian ditambahkan sedikit fase geraknya sehingga menjadi

bubur. Pelarut (fase gerak yang digunakan) dimasukkan ke dalam kolom sampai hampir

penuh dan keadaan kran kolom tertutup. Setelah itu kecepatan aliran kolom diatur dan bubur

dimasukkan sedikit demi sedikit ke dalam kolom sampai keseluruhan bubur masuk ke dalam

kolom. Setelah bubur masuk, fase diam ini dielusi hingga homogen (kolom didiamkan selama

1 hari sehingga diperoleh pemampatan yang sempurna). Sementara itu sampel dilarutkan

dalam pelarut, kemudian sampel dimasukkan dengan hati-hati melalui dinding kolom dan

aliran fase gerak diatur. Begitu sampel masuk ke dalam fase diam, fase gerak ditambahkan

secara kontinyu sampai terjadi pemisahan. Eluat ditampung pada botol penampung fraksi

setiap 3 mL dan diuapkan sampai terbentuk ekstrak kental, kemudian keseluruhan fraksi yang

dihasilkan dilakukan KLT.

Fase diam yang digunakan pada KLT adalah silika gel GF254 dan sebagai fase gerak

digunakan n-heksana, kloroform, etil asetat dan n-butanol. Bejana kromatografi sebelum

digunakan untuk elusi, terlebih dahulu dijenuhkan dengan fase geraknya. Sedikit fraksi positif

flavonoid dilarutkan dengan pelarutnya (eluen yang akan dipakai) kemudian ditotolkan pada

plat kromatografi lapis-tipis dengan menggunakan pipa kapiler. Setelah kering lalu

dimasukkan dalam bejana. Bila fase gerak telah mencapai batas yang ditentukan, plat

diangkat dan dikeringkan di udara terbuka. Sebagai penampak noda digunakan asam sulfat.

Noda yang terbentuk diamati dengan lampu UV 254 nm dan 366 nm kemudian dihitung Rf-

nya (Asih, 2009)

2.9 Pengujian Dengan Spektrofotodensitometri

30

Page 31: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

Pengukuran spektrum dilakukan pada panjang gelombang 250-500 nm. Plat hasil

pemisahan dengan KLT di-scan pada rentang panjang gelombang, kemudian data hasil

scanning dianalisis dan dicocokkan dengan literatur.

Tabel 1. Tabel Data Panjang Gelombang Komponen di dalam kedelai

No Nama Kandungan MeOH (λmaks nm) NaOMe (λmaks

nm)

1 Daidzein 238bh,249, 260bh,

303 bh

259, 289bh, 328

2 Formononetin 240bh, 248, 259bh,

311

255, 273bh, 335

3 Genistein 261, 328bh 276, 327bh

4 Aprormosin 258, 320 258, 349

5 Tektorigenin 267, 330 278, 328

6 Orobol 262, 294, 294bh,

338bh

269, 334

31

Page 32: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

BAB III

ALAT DAN BAHAN

3.1 Skrining Fitokimia

Alat dan Bahan :

Alat : Alat-alat gelas

Bahan : - Simplisia kedelai

- Metanol

- Eter minyak tanah

- Etil asetat

- Etanol 95%

- Larutan H2SO4

3.2 Uji Susut Pengeringan

Alat dan Bahan

Alat : - Oven

- Botol timbang

- Timbangan analitik

Bahan : Simplisia kedelai

3.3 Ekstraksi Simplisia (Maserasi, Hidrolisis, Partisi Cair-cair)

Alat dan Bahan :

Alat : - Kertas Saring

- Penangas air

Bahan: - Serbuk kedelai

- Metanol

- HCl pekat

- n-heksana

3.4 Isolasi Isoflavon (Kromatografi Kolom)

Alat dan Bahan Kromatografi Kolom

Alat :

- Gelas beker

- Kolom

- Pipet tetes

- Evaporator

Bahan :

32

Page 33: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

- N-heksana

- Kloroform

- Etil asetat

- Silika gel

- Glasswool

3.5 Identifikasi (KLT)

Alat dan Bahan pembuatan larutan percobaan:

Alat : - Chamber

- Plat Silika GF 60

- Tissue

- Kertas Saring

Bahan: - Kloroform

- n-heksana

- Etil asetat

- Esktrak kental dari kedelai

3.6 Identifikasi Senyawa Isoflavonoid dengan Spektrofotodensitometer

Alat dan Bahan pembuatan larutan percobaan:

Alat : - Spektrofotodensitometer

Bahan : - Plat hasil pemisahan dengan KLT

33

Page 34: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

BAB IV

CARA KERJA DAN EVALUASI HASIL

4.1 Skema Umum Isolasi dan Identifikasi Flavonoid

34

Pengujian susut pengeringan dan skrining fitokimia

Biji kedelai diblender untuk memperkecil ukuran partikel biji

menjadi serbuk

Serbuk dimaserasi selama 7 hari dengan menggunakan methanol

kemudian maserat disaring lalu diuapkan

Hidrolisis dengan larutan HCL 2 N, kemudian hasil hidrolisis

difraksinasi dengan n-heksan. Fase n-heksan dipisahkan dan

diuapkan

Ekstrak positif flavonoid dilakukan pengisolasian pada

kromatografi kolom

Fraksi diidentifikasi melalui spektrofotodensitometri

Plat dilakukan pembacaan panjang gelombang dengan

spektrofotometri UV pada rentang panjang gelombang 200 nm-800

nm, data dicocokkan dengan literatur

Page 35: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

4.2 Penetapan Susut Pengeringan Ekstrak

35

Ditimbang ekstrak sebanyak 1 g

Dipanaskan botol timbang dangkal bertutup pada suhu 1050 C selama 30

menit dan kemudian ditara

Ditimbang botol timbang yang telah berisi ekstrak

Perlahan-lahan zat uji diratakan sampai setinggi ± 5 mm, dengan ruahan

≤ 10 mm

Dimasukkan ke dalam oven dalam keadaaan tutup dibuka, tutup

diletakkan oven

Dikeringkan pada suhu 1050C hingga bobot tetap

Oven dibuka, botol segera ditutup

Dimasukkan ke dalam desikator dibiarkan dingin hingga suhu kamar

Ditimbang dan dihitung susut pengeringan ekstrak

Page 36: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

4.3 Skema Kerja Penetapan Susut Kering Serbuk

36

Silika pada desikator dipanaskan pada oven hingga berwarna biru

menyala

Ditimbang botol timbang beserta tutupnya

1 gram serbuk daun seledri dimasukkan ke dalam botol timbang

Ditimbang botol timbang yang telah berisi ekstrak

Botol timbang dimasukkan ke dalam oven dalam keadaan tutup dibuka

Dikeringkan pada suhu 1050C selama 15 menit

Setelah oven dibuka, botol segera ditutup

Botol dimasukkan ke dalam desikator dalam keadaan tutup dibuka

selama 15 menit

Lalu botol ditimbang dan dicatat hasil penimbangannya

Botol dimasukkan lagi ke dalam oven dalam keadaan tutup dibuka

selama 15 menit

Langkah diatas diulangi hingga diperoleh bobot tetap

Diperoleh susut pengeringan serbuk

Page 37: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

g Ekstrak kental metanol

Ekstrak disaring dan diuapkan dengan evaporator

Dihidrolisis dengan HCl 2 N kuvet selama 3 jam

Hasil diekstraksi dengan n-heksana

Ekstrak n-heksana diuapkan dalam evaporator

Dimaserasi 10 g serbuk biji kedelai dalam L metanol

g ekstrak kental n-heksana

4.4 Ekstraksi Biji Kedelai

37

Page 38: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

Ditambahkan fase gerak sampai menjadi bubur

4.5 Isolasi Isoflavon (Kromatografi Kolom)

Skema Kerja:

Silika gel 60 dipanaskan dalam oven pada suhu 1100

Fase gerak dimasukkan sedikit demi sedikit ke dalam kolom sampai hampir penuh (keadaan

kran kolom tertutup)

Kecepatan aliran kolom diatur dan bubur dimasukkan sedikit demi sedikit sampai seluruh

bubur masuk ke dalam kolom

Fase diam dielusi hingga homogen (didiamkan kuvetama 1 hari)

Sampel dilarutkan di dalam pelarut dan dimasukkan sedikit demi sedikit ke dalam kolom

Fase gerak ditambahkan secara kontinyu sampai terjadi pemisahan

Eluat ditampung setiap 3 mL dan diuapkan sampai terbentuk ekstrak kental

Fraksi dilakukan KLT

38

Page 39: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

4.6 Identifikasi (KLT)

Chamber dijenuhkan dengan fase gerak

Sedikit fraksi positif flavonoid dilarutkan dengan eluen

Fraksi ditotolkan pada plat silika GF 60 dengan menggunakan pipet kapiler dan dikeringkan

Plat dimasukkan ke dalam chamber dan dielusi dengan fase gerak sampai batas yang

ditentukan

Plat diangkat dan dikeringkan di udara terbuka

Plat disemprot dengan menggunakan asam sulfat sampai terbentuk noda

Noda diamati di bawah sinar UV pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm dan Rf-nya

dihitung

39

Page 40: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

4.7.Identifikasi dengan KLT-Spektrofotodensitometri

40

Plat silica selanjutnya dicuci dengan 3 mL metanol, lalu

diaktivasi pada suhu 1200 C selama 30 menit

Disiapkan eluen n-heksana : kloroform : etil asetat

( 9: 1: 0,5 ) sebanyak 10 mL

Fraksi dan ekstrak pembanding direkonstitusi dengan

0,5 mL metanol, chamber dijenuhkan dengan eluen

Masing-masing fraksi dan ekstrak pembanding

dirtotolkan pada plat sebanyak 10 µl pada titik yang

berbeda dengan jarak penotolan 0,7 cm

Plat dielusi hingga mencapai jarak elusi 8 cm, lalu plat

dikeringkan dengan diangin-anginkan

Plat dilihat di bawah sinar UV pada panjang gelombang

254 nm dan 366 nm

Discan pada spektrofotodensitometer pada panjang

gelombang 200-800 nm

Disiapkan plat silica gel GF 254 dengan ukuran

10 x 10 cm

Page 41: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

BAB V

HASIL PRAKTIKUM

Tabel 2. Tabel Hasil Praktikum

No Kegiatan Hasil1 Uji Susut Pengeringan

ditimbang serbuk kedelai sebanyak 1 gram

botol timbang ditara

botol timbang dipanaskan dalam oven (105 0C, 15 menit)

didinginkan

serbuk dimasukkan ke dalam botol timbang

dipanaskan dalam oven (105 C, 15 menit)

didinginkan

ditimbang

- Berat botol timbang : 22,7920 gram

- Berat serbuk kedelai : 1,004 gram

- penyusutan I : 0,8909 gram

- penyusutan II : 0,7899 gram

41

Page 42: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

dipanaskan

didinginkan

ditimbang2 Skrining Fitokimia

(Identitas Flavonoid)a. Larutan Percobaan

0,5 gram serbuk kering

ditambahkan metanol sebanyak 10 mL

Disari dengan alat pendingin balik (10 menit)

Disaring

Filtrat diencerkan dengan sejumlah air

Ditambahkan 5 mL eter minyak tanah (dikocok)

42

Page 43: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

3.

4

Lapisan metanol diambil

Diuapkan pada suhu 40 derajat C

Sisa dilarutkan dalam 5 mL etilasetat

Disaring

b.PercobaanLarutan percobaan diuapkan

ekstrak+ etanol 1-2 mL + asam sulfat

Perubahan warna yang terjadi diamati

MaserasiSerbuk kedelai ditimbang sebanyak 10 gram

Direndam dengan metanol sebanyak 75 mL

PenyaringanDisiapkan beaker glass, batang pengaduk, kertas

saringdan corong kaca

Perubahan warna yang terjadi :Kuning menjadi merah kecoklatan

berat botol timbang awal : I : 63,669 gram II : 63,668 gram III : 63,671 gramSerbuk kedelai : 10,003 gramsetelah kedelai diambil : I : 63,668 gram II : 63,672 gram III : 63,676Methanol : 75 mL

volume yang diperoleh sebanyak 69 mL

43

Page 44: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

5

6

Diletakkan kertas saring pada corong kaca

Maserat dituangkan dan ditampung dalam beaker glass

Bilas sisa maserat dengan metanol

Hasil bilasan disaring

Volume maserat di ukur

PenguapanCawan porselen ditimbang

Maserat dituangkan ke dalam cawan porselen

pelarut diuapkan diatas penangas air

cawan dan ektrak ditimbang

- Berat cawan porselen kosong :I : 82,236 gramII : 82, 237 gramIII : 82,233 gram-Berat rata-rata cawan porselen kosong: 82,235 gram-Berat cawan porselen + ekstrak :I : 83,010 gramII : 83,019 gramIII : 83,017 gram-Berat rata-rata cawan + ekstak kental : 83,019 gram-Berat ekstrak : 0,78 gram

Berat cawan porselen +

ekstrak : 83,019 g

Berat cawan porselen

kosong : 82, 467 g

Berat sampel : 0,552 g

Hasil penguapan setelah di

ekstraksi : 0,105 g

44

Page 45: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

7

Hidrolisis

Ekstrak kental dimasukkan ke dalam erlenmayer

Dihidrolisis selama 1 jam dengan HCl 1 N

Hasil hidrolisis ditambahkan N-heksana sebanyak 20 mL

Diekstraksi cair-cair

Fase N-heksana diambil

Diuapkan diatas penangas air

Preparasi kolomKolom kaca disiapkan + glass wool

Silika gel ditimbang sebanyak 20 gram

Silika gel dilarutkan dengan fase gerak

45

Page 46: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

Dimasukkan ke dalam kolom kaca

Tinggi kolom silika diukur

Didiamkan selama 3 hari

No Kegiatan Hasil8

9

10

ElusiSampel (ekstrak kental) dilarutkan

Dimasukkan sedikit demi sedikit ke dalam kolom

Fase gerak ditambahkan secara kontinyu

Eluat ditampung setiap 3 mL

Maserasi (pengulangan)Serbuk kedelai ditimbang sebanyak 10 gram

Direndam dengan metanol sebanyak 75 mL

Didiamkan selama 3 hari

-sampel statis pada Permukaan kolom hingga penambahan fase gerak 50 mL (19 november 2010)

-fase gerak menguap Hingga bagian tengah kolom

-silika dibersihkan dari Kolom (21 november 2010)

-Berat cawan porselen kosong :

46

Page 47: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

11

PenyaringanDisiapkan beaker glass, batang pengaduk,

kertas saring dan corong kaca

Diletakkan kertas saring pada corong kaca

Maserat dituangkan dan ditampung dalam beaker glass

Bilas sisa maserat dengan metanol

Hasil bilasan disaring

Volume maserat di ukur

HidrolisisEkstrak kental dimasukkan ke dalam erlenmayer

Ditambahkan 10 mL HCl 2N ke dalam erlenmayer

Dihidrolisis selama 1 jam

Hasil hidrolisis ditambahkan N-heksana sebanyak 20 mL

62,735 gram- Berat cawan + ekstrak : 63,591 gram- Berat ekstrak : 0,856 Gram

-Jumlah ekstrak yang dihidrolisis: 0,574 gram

-Jml ekstrak yang tidak dihidrolisis : 0,272 gram

-Jml ekstrak stlh dihidrolisis: 0,401 gram

47

Page 48: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

12

13 -Plat yang digunakan : Plat silika GF254 ukuran plat KLT 10x10 cm

-Pencucian plat dengan 5 mL metanol

- Fase gerak : N-heksana : 4,28 mL kloroform : 0,47 mL etil asetat : 0,23 mL

-Penotolan sampel : 1. ekstrak terhidrolisis 2. ekstrak tdk Terhidrolisis

48

Page 49: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

14

15

Plat dielusi pada chamber dengan fase gerakN-heksana: kloroform : etil asetat (9:1:0,5)

Plat di lihat dibawah lampu uv λ 366 nm dan 254 nm

Plat discan di bawah spektrofotodensitometerpada panjang gelombang 250-270 nm

-Di bawah lampu UV λ 366: 1. ekstrak terhidrolisis : tidak terlihat spot 2. ekstrak tdk terhidrolisis: terlihat spot gelap pada jarak ± 5 cm

-Di bawah lampu UV λ 254 : 1. ekstrak terhidrolisis : tidak terlihat spot 2. ekstrak tdk terhidrolisis:

Terlampir

BAB VI

PEMBAHASAN

49

Page 50: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

Isoflavon merupakan subkelas dari flavonoid atau isomer flavon yang merupakan

flavonoid minor, yang jumlahnya sangat sedikit dan bagi tumbuhan berfungsi sebagai

fitoaleksin yaitu senyawa pelindung yang terbentuk dalam tumbuhan untuk pertahanan

terhadap serangan penyakit. Isoflavon di alam sering dijumpai dialam dalam bentuk

glikosidanya (terikat pada gugus gula). Bentuk glikon dari isoflavon larut dalam pelarut polar,

sedangkan bentuk aglikonnya larut dalam pelarut nonpolar. Flavonoid minor isoflavon

penyebarannya terbatas pada beberapa jenis tumbuhan. Salah satunya terdapat pada tanaman

kacang kedelai (Glycine max). Senyawa isoflavon yang terdapat di kacang kedelai antara lain

genistein dan daidzein. Isoflavon sukar dicirikan karena reaksinya tidak khas dengan pereaksi

warna manapun. Beberapa isoflavon (misalnya daidzein) memberikan warna biru muda

cemerlang dengan sinar UV bila diuapi dengan ammonia, tetapi kebanyakan yang lain

(misalnya genistein) tampak sebagai bercak lembayung pudar yang dengan ammonia berubah

menjadi coklat pudar (Harbone, 1987).

Pada praktikum kali ini dilakukan pengujian secara kualitatif terhadap senyawa

isoflavon yang terdapat pada serbuk biji kedelai (Glycine max) melalui metode KLT-

spektrofotodensitometri yang pada tahap awal dilakukan proses isolasi dan pemisahan dengan

menggunakan metode Maserasi, hidrolisis, dan partisi cair-cair.

Sebelum dilakukan isolasi falvonoid golongan isoflavon dari ekstrak biji kedelai,

praktikum diawali dengan perlakuan skrinning fitokimia terhadap serbuk biji kedelai untuk

menentukan ada atau tidaknya senyawa flavonoid dalam serbuk biji kedelai. Skrinning

fitokimia merupakan langkah awal yang dapat memberikan gambaran mengenai ada tidaknya

senyawa target, yaitu flavonoid dalam serbuk biji kedelai yang akan dianalisis, bila hasil

skrinning fitokimia memberikan hasil positif terhadap adanya flavonoid, maka prosedur

analisis selanjutnya dapat diteruskan, namun apabila skrinning fitokimia menunjukkan hasil

negatif terhadap adanya flavonoid, maka prosedur analisis selanjutnya tidak dapat diteruskan.

Metode skrinning fitokimia sebagian besar merupakan reaksi pengujian warna dengan suatu

pereaksi warna. Dalam praktikum ini, dilakukan skrinning fitokimia terhadap golongan

flavonoid, di mana terlebih dahulu disiapkan larutan percobaan dengan cara melarutkan

serbuk biji kedelai dalam 10 mL metanol, lalu disaring dan filtrat yang dihasilkan diencerkan

dengan air, kemudian dipartisi dengan 5 mL eter minyak tanah. Lapisan metanol (lapisan

bawah) diambil, lalu diuapkan pada suhu 40ºC, endapan dilarutkan dengan 5 mL etol asetat,

dan disaring (terbentuk larutan percobaan). Terhadap larutan percobaan ini selanjutnya

dilakukan pengujian warna dengan penambahan 2 mL etanol 95 % dan 2-4 tetes larutan

H2SO4 pekat dan diperoleh warna merah tua pada larutan percobaan. Hasil yang diperoleh

50

Page 51: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

menunjukkan hasil uji positif terhadap senyawa flavonoid, sehingga percobaan dengan

prosedur selanjutnya dapat dilakukan.

Seteleh dilakukan skrinning fitokimia, dilakukan penentuan susut pengeringan

simplisia Glycine max. Susut pengeringan adalah kadar bagian yang menguap dari suatu zat,

kecuali dinyatakan lain suhu penetapan adalah 105oC (Depkes RI, 1986). Berdasarkan

perhitungan diperoleh besarnya susut pengeringan sebesar 21,32 %. Dalam hal ini penentuan

susut pengeringan juga dapat menunjukkan kandungan air yang terdapat dalam serbuk

simplisia, di mana berkurangnya massa serbuk simplisia setelah dipanaskan atau dikeringkan

diakibatkan oleh hilangnya kandungan air dalam serbuk simplisia dan besarnya persentase

susut pengeringan sebanding dengan persentase air yang terkandung dalam serbuk simplisia

tersebut. Menurut literatur (Tim Penyusun, 2006), kandungan air yang boleh ada dalam suatu

simplisia adalah kurang dari 10 %. Tingginya kandungan air dalam serbuk simplisia Glycine

max ini dimungkinkan tidak dilakukannya proses pengeringan pada pembuatan serbuk kedelai

dari biji kedelai. Mengingat senyawa flavonoid yang terdapat dalam biji kedelai sangat mudah

terdegradasi oleh adanya panas, maka setelah dibentuk menjadi serbuk, kami tidak melakukan

proses pengeringan terhadap serbuk kedelai tersebut. Setelah mendapatkan hasil pada skrining

fitokimia dan uji susut pengeringan selanjutnya dilakukan ekstraksi sebagai langkah awal

dalam isolasi flavonoid. Teknik maserasi yang dipilih adalah teknik maserasi.

Maserasi merupakan salah satu cara ekstraksi yang paling sederhana. Proses ini

dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari selama waktu

tertentu. Pada praktikum ini, proses maserasi dilakukan dengan merendam serbuk biji kedelai,

dengan metanol sebagai cairan penyarinya. Pemilihan metanol sebagai cairan penyari karena

isoflavon larut dalam metanol . Selain itu metanol memiliki beberapa keunggulan diantaranya

cukup stabil secara fisika dan kimia, bereaksi netral, dan tidak mempengaruhi zat aktif dari

kedelai.

Proses perendaman dilakukan selalam 7 hari dengan pengadukan setiap harinya.

Tujuan dari dilakukannya pengadukan adalah untuk mengoptimalkan proses ekstraksi. Selama

proses perendaman, cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga

sel yang mengandung senyawa isoflavon. Senyawa isoflavon akan larut dan karena adanya

perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan di luar sel, maka larutan

yang terpekat didesak keluar. Proses ini berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi

antara larutan di luar sel dan di dalam sel.

Setelah 7 hari, maserat kasar disaring dengan kertas saring. Penyaringan ini bertujuan

untuk memisahkan serbuk biji kedelai dengan cairan penyari yang telah melarutkan zat aktif.

Kemudian maserat hasil maserasi diuapkan hingga diperoleh esktrak kental.51

Page 52: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

Jumlah rendemen ekstrak hasil maserasi serbuk biji kedelai yang dihasilkan dari

maserasi sebesar 7,8%. Persen rendemen yang dihasilkan ini relatif rendah. Kemungkinan hal

ini disebabkan karena larutan ekstrak telah mencapai titik jenuh mengingat proses maserasi

cukup lama. Semakin lama waktu ektraksi semakin tinggi rendemen yang dihasilkan sampai

batas 6 jam karena kesempatan bersentuhan antara bahan dan pelarut semakin besar dan lewat

dari 6 jam rendemen ekstrak menurun kemungkinan hal ini terjadi karena larutan sudah

mencapai titik jenuh (Suryandari, 1981). Demikian halnya dengan kehalusan bahan, semakin

halus bahan yang digunakan semakin tinggi rendemen yang dihasilkan. Hal ini disebabkan

karena permukaan bahan semakin luas sehingga memperbesar terjadinya kontak antara

partikel serbuk biji kedelai dengan pelarut.

Selanjutnya ekstrak kental dihidrolisis dengan HCl 2N selama 30 menit. Hidrolisis ini

berfungsi untuk memisahkan senyawa isoflavon (aglikon) dari biji kedelai dengan glikonnya.

Setelah itu dilakukan ekstraksi menggunakan metode ekstraksi cair-cair dengan ditambahkan

n-heksana sebagai fase organik. Ekstraknya kemudian diuapkan sehingga didapatkan ekstrak

kental n-heksana sebanyak 0,015 gram. Ekstrak ini kemudian dilakukan pemisahan dengan

kromatografi kolom lambat.

Pada pembuatan kolom kromatografi dengan cara basah, menggunakan eluen dengan

campuran n-hesksana : kloroform : etil asetat dengan perbandingan 9 : 1 : 0,5. Tujuan

mengkombinasikan pelarut adalah untuk mengisolasi senyawa-senyawa aktif yang terdapat

dalam ekstrak kental biji kedelai, baik yang bersifat polar maupun non polar. Adsorben yang

digunakan adalah silica gel yang bersifat polar, karena kolom dibuat dengan cara basah maka

silica gel dilarutkan terlebih dahulu dengan eluennya hingga menjadi bubur adsorben.

Selanjutnya, kolom diisi dengan eluen secukupnya untuk memudahkan dalam memasukkan

glass wool ke dasar kolom. Glass wool berfungsi untuk menopang absorben. Bubur silica gel

dimasukkan ke dalam kolom secara hati-hati melalui dinding kolom sehingga adsorben jatuh

perlahan. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya gelembung udara, karena adanya

gelembung udara dapat merusak kolom yang akan mempengaruhi hasil pemisahan. Semakin

panjang kolom, maka efisiensi pemisahan akan semakin besar. Ini berarti, kemampuan untuk

memisahkan komponen – komponen dalam suatu campuran akan lebih baik. Permukaan silika

gel terdiri atas gugus Si-O-Si dan silanol (Si-OH). Gugus silanol bersifat sedikit asam dan

polar karena mampu membentuk ikatan hidrogen dengan solut-solut yang agak polar sampai

sangat polar (Gandjar dkk, 2007). Kolom yang dibuat setinggi 14,2 cm dan memiliki diameter

sebesar 2,5 cm. Kolom didiamkan selama 3 hari untuk mendapatkan kolom yang kompak dan

dapat menghasilkan pemisahan yang baik. Dilakukan penambahan eluen yang cukup agar

kolom tidak kering. 52

Page 53: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

Selanjutnya dilakukan pemisahan dengan menggunakan kolom yang telah siap

digunakan. Ekstrak kental dilarutkan dahulu dengan sedikit fase gerak untuk mempermudah

memasukkan ekstrak kental ke dalam kolom. Cuplikan dimasukkan melalui pinggiran kolom

memutar secara perlahan agar tidak merusak kolom. Setelah cuplikan mencapai permukaan

kolom, dilakukan pengembangan kromatogram dengan mengalirkan eluen melalui dinding

kolom. Teknik pengelusian yang digunakan yaitu cara isokratik dimana campuran pelarut

yang digunakan untuk keseluruhan pengerjaan kromatografi sama. Cuplikan akan terpartisi

diantara fase diam dan fase geraknya karena perbedaan migrasi antara komponen-komponen

akibat perbedaan distribusi pada dua fase yang tidak saling bercampur. Masing-masing

komponen dalam campuran mengalami adsorpsi dan desorpsi pada fase diam dan karenanya

mengalami perlambatan dengan tingkat berbeda-beda sesuai dengan daya ikat masing-masing

terhadap kolom.

Pada praktikum ini, ketika elusi larutan ekstrak tidak terlihat mengalami migrasi, hal

ini ditandai dengan tidak adanya perubahan warna dan pembentukan pita pemisahan pada

dinding kolom. Hingga 2 jam waktu elusi belum terdapat fraksi yang berwarna sehingga

fraksi tidak dapat ditampung. Karena waktu praktikum yang tidak memadai kolom dengan

larutan ekstrak di dalamnya dibiarkan selama 2 hari, namun pada hari kedua pelarut pada

kolom menguap sehingga praktikan tidak memperoleh fraksi. Menguapnya pelarut pada

kolom disebabkan karena kebocoran kertas aluminium foil yang digunakan untuk menutup

kolom, selain itu lubang pada kran bawah kolom tidak ditutup dengan rapat, sehingga

memudahkan pelarut menguap, karena pelarut yang digunakan adalah sebagian besar berupa

n-heksan yang bersifat sangat mudah menguap. Karena praktikan tidak mendapatkan fraksi

untuk pengujian selanjutnya maka dilakukan pengulangan prosedur, yakni mulai dari proses

maserasi.

Proses maserasi kedua dilakukan selama 3 hari karena keterbatasan waktu, maserasi

kedua memperoleh jumlah ekstrak kental sebanyak 0,856 gram(8,56%). Terdapat perbedaan

hasil dengan maserasi pertama, yakni maserasi kedua menghasilkan lebih banyak ekstrak. Hal

ini disebakan karena wadah maserasi yang digunakan pada maserasi pertama lebih besar

daripada maserasi kedua, sehingga kemungkinan tertinggalnya lebih banyak maserat lebih

banyak pada maserasi pertama. Tertinggalknya maserat pada wadah maserasi menyebabkan

perolehan ekstrak pada maserasi pertama lebih sedikit daripada maserasi kedua. Ekstrak

kental tersebut diambil sebanyak 0,574 gram untuk dihidrolisis sedangkan sisanya tidak

dihidrolisis dengan HCl. Perlakuan ini untuk membandingkan hasil antara ekstrak yang

dihidrolisis dan yang tidak. Jumlah ekstrak hasil hidrolisis sebanyak 0,401 gram. Selanjutnya

53

Page 54: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

dilakukan pemisahan dengan Kromatografi Lapis Tipis, tetapi isolasi dengan Kromatografi

Kolom tidak dilakukan karena keterbatasan waktu.

Pada teknik kromatografi lapis tipis fase diamnya berupa lapisan tipis adsorben yang

dilekatkan pada permukaan penyangga datar. Fase gerak yang digunakan adalah sama dengan

fase gerak pada kromatografi kolom biasa cara basah. Selanjutnya, dilakukan penjenuhan

chamber yang bertujuan agar tekanan dalam chamber sama sehingga jalannya sampel tersebut

lurus, untuk memperkecil penguapan pelarut dan menghasilkan bercak yang lebih bundar dan

lebih baik (Beaker, 1965). Sebelum penotolan, ekstak hasil hidrolisis dan yang tidak hidrolisis

direkonstitusi dengan metanol sebanyak 2 ml. Larutan ditotolkan pada plat sebanyak 10

mikloliter dengan menggunakan pipet mikro. Totolan dibuat sekecil mungkin agar spot yang

dihasilkan tidak besar/luas, tidak berekor atau tailing, karena hal ini akan menghasilkan

pemisahan yang kurang sempurna (Beaker, 1985). Dan hasil totolan pada plat KLT

dikeringkan dengan diangin-anginkan sebelum dikembangkan dengan eluen juga untuk

menghindari diameter totolan yang besar. Plat KLT tidak boleh disentuh langsung dengan

jari-jari tangan karena keringat dapat menyebabkan kekacauan pada kromatogram

(menggangu analisis). Selanjutnya, plat KLT diletakkan pada chamber kromatografi yang

telah dijenuhan. Kemudian solven akan melewati spot sampel dan membawa komponen-

komponen sampel melalui fase diam. Garis terakhir yang dicapai oleh pelarut terdepan saat

proses pengembangan dihentikan disebut tepi depan pelarut. Proses pergerakan fase gerak

yang menghasilkan pemisahan pemisahan disebut pengembangan. Pada praktikum ini

digunakan metode pengembangan ascending development. Plat KLT ditata secara vertical

sedemikian rupa sehingga ujung bagian bawahnya terendam dalam solven pada dasar

chamber dan jangan sampai merendam titik spot sampel. Solven naik pada kertas plat karena

adanya aksi kapiler. Selanjutnya dilakukan deteksi noda di bawah sinar UV dengan panjang

gelombang 254 dan 366 nm.

Dari deteksi tersebut pada panjang gelombang 254 nm tidak terlihat adanya noda,

sedangkan pada panjang gelombang 366 nm terlihat satu noda berwarna hitam pada totolan

larutan ekstrak yang tidak dihidrolisis, jarak noda tersebut kurang lebih 5 cm dari batas

bawah. Selanjutnya dilakukan identifikasi dengan spektrofotodensitometer.

Analisis kualitatif dilanjutnya dengan metode spektrofotodensitometri pada panjang

gelombang 200-800 nm. Karena tidak terdapatnya data spesifik dari daidzein dan genistein

pada library spektrofotodensitometer, dan akibat keterbatasan literatur, yaitu hanya diperoleh

literatur yang menunjukkan pola spektrum dari senyawa genistein, maka pada metode

spektrofotodensitometri ini, senyawa yang dianalisis secara kualitatif adalah senyawa

genistein. Prinsip dasar pengukuran kadar suatu senyawa dengan sistem 54

Page 55: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

spektrofotodensitometri adalah mengukur serapan atau fluorosensi dari analit yang menyerap

sinar UV. Pada praktikum ini, digunakan sistem serapan (absorbsi) karena zat yang di ukur

tidak berfluoresensi, di mana pengukuran oleh densitometer dilakukan terhadap banyaknya

REM yang diabsorsi atau diserap oleh kromofor suatu senyawa. Pada metode ini, digunakan

rentang panjang gelombang 200-800 nm karena mode absorbsi dengan

spektrofotodensitometri terjadi pada daerah dengan rentang panjang gelombang tersebut.

Pendeteksian dengan metode spektrofotodensitometer ini dilakukan dengan teknik

semiautomatis karena alat spektrofotodensitometer hanya bisa mendeteksi analit dengan jarak

penotolan kelipatan 0,5 cm. Dalam praktikum ini, jarak penotolan yang digunakan adalah 0,7

cm (bukan kelipatan 0,5 cm) sehingga terjadi kekacauan dalam penentuan jumlah track.

Pada alat spektrofotodensitometer, jumlah track yang dideteksi berjumlah 19 track,

sedangkan jumlah track sebenarnya adalah 2 track, yang terdiri dari 2 fraksi yang merupakan

fraksi terhidolisis dan tidak terhidrolisis, sedangkan 13 track sisanya merupakan fraksi dari

kelompok 4. . Akibat dari ketidaksesuaian jumlah track dengan jumlah totolan , harus

dilakukan penyesuaian secara manual antara track yang dideteksi oleh alat pada jarak

penotolan 0,5 cm dengan track sebenarnya pada jarak penotolan 0,7 cm. Hasil penyesuaian

antara track pada keadaan sebenarnya dengan track yang dibaca oleh alat adalah sebagai

berikut : track 1 menjadi track 2; track 2 menjadi track 3; track 3 menjadi track 4; track 4

menjadi track 6; track 5 menjadi track 7; track 6 menjadi track 9; track 7 menjadi track 10;

track 8 menjadi track 11; track 9 menjadi track 13; track 10 menjadi track 14; track 11

menjadi track 16; track 12 menjadi track 17; dan track 13 menjadi track 18.

Dari hasil analisis oleh alat spektrofotodensitometer, tidak ada spot dari setiap track

yang memberikan bentuk spektrum yang sama dengan bentuk spektrum genistein pada

literatur, sehingga analisis hanya dapat dilakukan melalui perbandingan harga Rf yang

diperoleh untuk setiap spot dengan harga Rf genistein menurut literatur, yaitu 75. Dari hasil

analisis terhadap harga Rf, pada track 17 dan 18 ditemukan harga Rf yang mendekati lieratur

yakni 83 namum panjang gelombang yang dimiliki tidak sesuai, berdasarkan panjang

gelombang, terdapat panjang gelombang yang mendekati literatur, yaitu pada track 18 dengan

panjang gelombang 268 nm. Namun hasil ini tidak dapat dikatakan valid karena bentuk

spektrum yang dihasilkan tidak sesuai dengan pola spektrum genistein pada literatur. Menurut

literatur (Markham, 1988), genistein memiliki panjang gelombang maksimum 261 nm dan

bahu 328 nm dengan pola spektrum sebagai berikut :

55

Page 56: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

Gambar 12. Spektra Isoflavon (Markham,1988).

Dari hasil analisis, diperoleh pula harga Rf yang sangat kecil, yaitu di bawah 0,40

pada beberapa track penotolan. Hal ini menunjukkan bahwa pada plat yang dianalisis terdapat

senyawa yang bersifat polar, sehingga senyawa tersebut lebih tertahan oleh fase diam dan

tidak terelusi oleh fase gerak. Terdapatnya senyawa polar dalam hasil analisis dan

ketidaksesuaian spektrum genistein yang diperoleh pada analisis KLT-

spektrofotodensitometri ini dengan literatur disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu proses

hidrolisis yang tidak maksimal. Pada proses hidrolisis ketika ekstrak dicampurkan dengan

HCL 2 N ekstrak tidak melarut sempurna, dan ketika proses penyaringan masih terdapat

adanya gumpalan. Adanya gumpalan ekstrak ini menyebabkan ekstrak tidak terhidrolis

sempurna sehingga komponen aglikon yang diinginkan tidak diperoleh secara maksimal. Hal

ini ditunjukkan ketika partisi cair-cair larutan hasil hidrolisis dengan n-heksane, fase n-heksan

yang diperoleh sangat sedikit, dan jumlah yang sedikit ini memungkinkan terjadinya

kehilangan sampel selama proses preparasi untuk pengujian selanjutnya. Selain itu

penyimpanan plat KLT yang terlalu lama, di mana seharusnya plat yang telah dielusi tidak

boleh disimpan terlalu lama atau harus segera dianalisis dengan spektrofotodensitometri

karena penyimpanan plat akan menyebabkan rusaknya plat dan senyawa dalam plat dapat

terdegradasi, sehingga akan mengganggu proses scanning dengan spektrofotodensitometri.

Perbandingan Hasil Maserasi dan Soxhletasi

Percobaan dengan biji kedelai ini, dilakukan dengan menggunakan 2 metode ekstraksi

yaitu metode maserasi (metode ekstraksi dingin) yang dilakukan oleh kelompok 3 dan metode

soxhletasi (metode ekstraksi panas) yang dilakukan oleh kelompok 4. Berikut adalah tabel

perbedaan hasil ketiga metode ekstraksi tersebut :

56

Page 57: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

Tabel 3. Perbandingan Hasil dari Beberapa Metode Ekstraksi

Pembanding Maserasi Soxhletasi

Randemen ekstrak

kental hasil ekstraksi

7,8% dan 8, 56 % 8,67 %

Susut pengeringan

ekstrak

21,32 % 29,48 %

Warna Ekstrak

Hasil Soxhletasi

Kuning kecoklatan Kuning muda

Jumlah Bercak

KLT di bawah sinar UV

366 nm

1 spot cukup jelas 2 spot yang

cukup jelas, yaitu spot 2

dan spot 3

Warna bercak di

bawah UV 366 nm

Gelap Gelap

Nlai Rf pada

spektrofotodensitometer

0,46 0,75 pada fraksi

2 dan 0,74 pada fraksi 3

Senyawa rujukan Genistein Genistein

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat adanya perbedaan hasil antara kedua metode

ekstraksi. Dilihat dari randemen ekstrak yang diperoleh, ekstraksi dengan metode maserasi

menghasilkan rendemen yang lebih sedikit daripada ekstraksi dengan metode soxhletasi.

Seharusnya, rendemen yang diperoleh dari metode maserasi lebih banyak daripada rendemen

dari metode soxhletasi, karena pada metode maserasi, kontak antara serbuk biji kedelai

dengan cairan penyari dapat berlangsung dalam waktu yang lebih lama, sehingga cairan

penyari dapat menyari zat aktif yang terdapat dalam serbuk biji kedelai dalam jumlah yang

lebih banyak pula, dan dengan demikian ekstrak yang diperoleh dengan cara maserasi tersebut

seharusnya mengandung senyawa target dalam jumlah yang lebih banyak. Namun, dalam hal

ini rendemen yang lebih sedikit justru dihasilkan dari ekstraksi dengan menggunakan metode

maserasi. Persen rendemen yang dihasilkan ini relatif rendah. Kemungkinan hal ini

disebabkan karena larutan ekstrak telah mencapai titik jenuh mengingat proses maserasi

cukup lama. Semakin lama waktu ektraksi semakin tinggi rendemen yang dihasilkan sampai

batas 6 jam karena kesempatan bersentuhan antara bahan dan pelarut semakin besar dan lewat

dari 6 jam rendemen ekstrak menurun kemungkinan hal ini terjadi karena larutan sudah

mencapai titik jenuh (Suryandari, 1981). Selain itu kemungkinan ekstrak ada yang tertinggal

pada kertas saring saat dilakukan penyaringan ekstrak. Pada proses ekstraksi dengan teknik

57

Page 58: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

soxhletasi kecepatan dan jumlah sirkulasi pada proses soxhletasi berpengaruh pada jumlah zat

aktif yang diekstrak. Pada praktikum yang dilakukan oleh kelompok 4, sirkulasi pada

soxhletasi hanya dilakukan sebanyak 2 kali sirkulasi, namun karena waktu untuk 1 kali

sirkulasi tergolong cukup lama, maka dapat diperoleh ekstrak dengan warna yang cukup

pekat. Dilihat dari warna ekstrak yang dihasilkan, ekstrak hasil maserasi memiliki warna yang

lebih pekat dibandingkan dengan warna ekstrak hasil soxhletasi. Ini menunjukkan bahwa

ekstrak hasil maserasi kemungkinan lebih banyak mengandung senyawa target daripada

ekstrak hasil soxhletasi. Hasil susut pengeringan serbuk biji kedelai yang diperoleh oleh

kelompok 3 dan kelompok 4 berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan serbuk

simplisia yang digunakan.

58

Page 59: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

BAB VII

KESIMPULAN

7.1 Kesimpulan

1. Pengujian pada praktikum kali ini dilakukan untuk mengidentifikasi

kandungan senyawa isoflavon pada biji serbuk kedelai dengan metode KLT-

spektrofotodensitometri yang sebelumnya dilakukan proses pemisahan dengan

metode maserasi, hidrolisis, dan partisi cair-cair, dengan genistein sebagai

senyawa utama yang dianalisis.

2. Rendemen ekstrak kental hasil maserasi yang diperoleh adalah sebesar 7,58 %

dan 8, 56%

3. Persentase susut pengeringan serbuk biji kedelai sebesar 21,32%

4. Dari hasil analisis dengan KLT-spektrofotodensitometri, didapatkan data yang

memiliki kedekatan hasil dengan literatur adalah data pada track 18 yaitu fraksi

yang tidak dihidrolisis dengan panjang gelombang 268 nm dan dan fraksi yang

tidak dihrolisi dengan harga Rf sebesar 83.

7.2 Saran

1. Diskusi sebelum dan sesudah praktikum perlu diadakan guna mencegah

kesalahan prosedur dan memantau hasil yang diperoleh praktikan.

2. Peralatan dan bahan praktikum agar lebih dilengkapi guna meningkatkan

ketrampilan dan kompetensi mahasiswa.

3. Adanya banyak perubahan yang dilakukan terhadap cara kerja dari literatur

menyebabkan hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan yang diharapkan.

59

Page 60: 49232454 Laporan Praktikum Fitokimia Kedelai Belum Revisi

DAFTAR PUSTAKA

Asih, A. 2009. “Isolasi dan Identifikasi Senyawa Isoflavon Dari Kacang Kedelai (Glycin

max)”. Jurnal Kimia 3 (1)

Beacker, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink. 1965. Flora of Java Volume II.

Nedherland : Noordhoff Groningen N.V.P.

Deinstrop, E. H. 2007. Applied Thin Layer Chromatography, 2nd Edition. Weinheim : Wiley

VCH Verlag.

Depkes RI. 1980. Materia Medika Indonesia Jilid IV. Jakarta: Departemen Kesehatan

Republik Indonesia

Depkes RI. 1986. Sediaan Galenik. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Depkes RI. 1995. Farmakope indonesia IV. Jakarta: Departemen Kesehatan

Gandjar, I.G. dan A. Rohman. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Harbone, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Bandung: ITB

Irwan, W.A. 2006. Budidaya Tanaman Kedelai (Glycin max (L.) Merill). Jatinangor : Jurusan

Budidaya Pertanian Unibersitas Padjajaran.

Kok, Tjie.1997. Spektrofotometri Uv-Vis:Aplikasi Kuantitatif. Kristal.No.14. hal 1-6

Kusmardiani,S dan A. Nawawi.1992. Kimia Bahan Alam. Jakarta: Pusat Antar Universitas

Bidang Ilmu Hayati

Markham, K.R. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Bandung : Penerbit ITB

MccUE, Patrick. 2004. Health Benefits of Soy Isoflavonoids and Strategic for Enhancement a

Review. Critical Reviews in Food Science and Nutrition, 44:361–367

Suryandari, S. 1981. Pengambilan Oleoresin Jahe dengan cara Solvent Extraction. BBIHP.

Bogor.

Settel, F. 1997. Handbook of Instrumental Techniques for Analytical Chemistry. New Jersey :

Prentice Hall PTR

Tim Penyusun. 2006. Buku Ajar Farmakognosi. Bukit Jimbaran: Jurusan Farmasi Fakultas

MIPA Universitas Udayana

Wallis, TE, 2005. Textbook of Pharmacognosy Fifth Edition. New Delhi : Darya Ganj

60