467_Perumusan KetentuanPidana

25
oleh: Dr. Chairul Huda, SH., MH www.djpp.depkumham.go.id

description

perumusan uu

Transcript of 467_Perumusan KetentuanPidana

oleh: Dr. Chairul Huda, SH., MHwww.djpp.depkumham.go.idUU 10/ 2004 belum memberikan pedoman yang komprehensifbagaimana merumuskan norma hukumpidana dalamperaturanperundang-undangan, baik dalam UU Hukum Pidana maupundalamKetentuanPidana dari suatu UU Administratif;Perumusan yang buruk tentang haliniakan menyebabkankesulitan-kesulitandalam praktekpenegakanhukum, bahkanbertentangan dengan tujuan hukumitu sendiri (kepastian,keadilandan kemanfaatanhukum);Pada dasarnya ruang lingkup perumusan norma hukumpidanadalam peraturan perundang-undangan, meliputi: (1) rumusantentang hukum pidana materiel (tindak pidana,pertanggungjawaban pidana dan pidana); (2) rumusan tentanghukumacara pidana (proses dan prosedur pidana), (3) rumusantentangtatacarapelaksanaanpemidanaan.www.djpp.depkumham.go.idPangkal tolakperumusannormahukumpidanadalamperaturanperundang-undangan adalah asas legalitas, yang dalamhal inisetidaknyamemuat tujuh prinsip:1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dalam hukum pidana kecualiditentukan dalamperaturanperundang-undangan;2. Tidak ada jenis sanksi pidana kecuali ditentukan dalamperaturanperundang-undangan;3. Tindak adajumlah sanksi pidanakecuali ditentukan dalamperaturanperundang-undangan;4. Tidakada kewenangannegara untukmelakukanprosesacarapidanakecuali ditentukan dalamperaturanperundang-undangan;5. Tidakada kewajibannegara untukmelakukanprosedur acarapidanakecuali ditentukan dalamperaturanperundang-undangan;6. Tidak adakewenangan negaramelaksanakan putusan pemidanaankecuali ditentukan dalamperaturanperundang-undangan;7. Tidak ada tata cara pelaksanaan sanksi pidana kecuali ditentukandalamperaturan perundang-undangan;www.djpp.depkumham.go.idSecara umum, suatu rumusan tindak pidana, setidaknyamemuat rumusan tentang:(1) subyek hukum yang menjadi sasaran norma tersebut(addressaat norm);(2) perbuatan yang dilarang (strafbaar), baik dalambentukmelakukan sesuatu (commission), tidak melakukansesuatu (omission) dan menimbulkan akibat (kejadianyangditimbulkan oleh kelakuan); dan(3) ancaman pidana (strafmaat), sebagai saranamemaksakan keberlakuan atau dapat ditaatinyaketentuantersebut.www.djpp.depkumham.go.idSecara umum digunakan idiom barang siapasebagai padanan hij die.Dalambeberapa undang-undang di luar KUHP, juga digunakan istilah setiaporang;IdiombarangsiapadalamKUHPmerujukkepada orangperseorangan,sedangkansetiaporangdalam beberapa undang-undang di luarKUHP,dengan tegas diartikan sebagai orangperseorangan atau korporasi. Namundemikian, masih banyak UU yang addressaat norm-nya juga korporasimenggunakan barang siapa. Misalnya, Undang-Undang No. 11 Tahun 1995menggunakanistilahbarangsiapa, sekalipuntindakpidana yangberadadidalamnya ditujukan pula terhadap korporasi. Bahkan pada tahun yang samadengan tahun dimana pertama kali digunakan idiomsetiap orang,pembentuk undang-undang mengundangkan Undang-Undang No. 16 Tahun1992 Tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan dengan menggunakanistilahbarangsiapa untuk menunjukkan addressaat norm-nya;Selain itu, ada pula UUyang sudah menggunakan idiom setiap orang(berarti tertuju pada orang perseorangan dan korporasi), tetapi masihmenggunakan idiom lain dalam rumusannya. Misalnya Pasal 307 UU No. 10Tahun2008, menyebutkan setiap orang atau lembaga.www.djpp.depkumham.go.idAdakalanya ancaman pidana ditujukan kepada subyek hukum dengan kualitastertentu. Beberapa istilah bersifat sangat umum, seperti setiap pihak dalamUndang-Undang No. 8Tahun 1995tentang Pasal Modal atau orangasingdalamUndang-Undang No. 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian. Adakalanyamenggunakan istilah yang sangat spesifik, seperti pengusaha pengurusan jasakepabeanan dalam Undang-Undang No. 10 tahun 1995 Tentang Kepabeanan(sudah tidak berlaku lagi) atau pengusahapabrikdalamUndang-UndangNo. 11Tahun1995tentangCukai;Penyebutansubyekhukum sebagai addressaat norm ancamanpidana adakalahkeliru karena seharusnya digunakan istilah yang bersifat umum. Misalnya dalamPasal 66Undang-Undang No. 5tahun 1997tentang Psikotropikayang menentukansebagai berikut:Saksi atau oranglainyang bersangkutan denganperkarapsikotropikayang sedangdalampemeriksaandi sidangPengadilanyang menyebut nama, alamatatau hal-hal yang dapat terungkapnyaidentitaspelapor sebagaimanadimaksuddalamPasal 57 ayat (1), dipidanadenganpidanapenjarapaling lama 1 (satu) tahun.Ancaman pidana tidak dapat ditujukan kepada saksi karena saksi adalah orangyang tidak melakukan tindak pidana, tetapi justru yang melihat, mendengar danmengalami sendiri dari suatu tindak pidana.www.djpp.depkumham.go.idPerumusan pelarangan tertuju padaperbuatannyabukanpelarangan terhadap statusseseorang. Dengan kata lain,perbuatan orang dalam kualitas tertentu yangseharusnya dilarang. Berdasarkan hal ini rumusan tindakpidanadi atasseharusnyamenentukan:Setiaporangyang memberikan keterangansebagai saksiatau oranglainyang bersangkutan dengaperkarapsikotropikayang sedangdalampemeriksaan di sidangPengadilan yang menyebut nama, alamat atau hal-hal yang dapat terungkapnyaidentitaspelapor sebagaimanadimaksud dalamPasal 57 ayat (1), dipidanadengan pidanapenjarapaling lama 1 (satu) tahun. www.djpp.depkumham.go.idJugamerupakanperumusantindak pidanayangkeliru, jikaancaman pidana ditujukan kepada perbuatan, tetapi ancamanpidana seharusnya ditujukankepada orang yang melakukanperbuatan. Misalnya, perumusan tindak pidana dalam Pasal 48Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan PraktekMonopoli dan PersainganUsahaTidak Sehat, yangmenentukan:PelanggaranterhadapketentuanPasal 4, Pasal 9 sampai denganPasal 14, Pasal 16 sampai denganPasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 Undang-Undangini diancampidanadendaserendah-rendahnyaRp. 25. 000.000.000 (duapuluh lima millar) dan setinggi-tingginyaRp. 100.000.000.000 (seratusmililar), ataupidanakurungan pengganti dendaselama-lamanya6 (enam) bulanDemikianpula ketentuanPasal 83 Undang-UndangNo. 22 Tahun1997 tentangNarkotika, masihmengancampidanaterhadapperbuatan, dengan menentukan: Percobaanataupermufakatanjahat.diancamdenganpidanayang sama.www.djpp.depkumham.go.idPerbuatan yang dilarang (strafbaar) dalam suatu tindak pidanaadalahisi undang-undangyangharusdibuktikanPenuntutUmum, untuk dapat menyatakan seseorang melakukan tindakpidana. Oleh karenaitu, kekeliruan dalamperumusan bagian, iniakan menimbulkan kesulitan-kesulitan dalampraktek penegakanhukum.Tindak pidana pertama-tama berisi larangan terhadapperbuatan. Dengandemikian, pertama-tamasuatutindakpidanaberisi laranganterhadapkelakuan-kelakuantertentu.Dalamdelik-delik omisi, larangan ditujukan kepada tidakditurutinya perintah. Dengan demikian, norma hukum pidanaberisi rumusantentangsuruhanuntuk melakukansesuatu.Dalam haltindak pidana materiel, larangan ditujukan kepadapenimbulan akibat. Tindak pidanaberisi rumusan tentangakibat-akibat yangterlaranguntuk diwujudkan.www.djpp.depkumham.go.idKetika tindak pidana berisi rumusan tentang dilarangnya suatu omisi,maka pada hakekatnya undang-undang justru memerintahkan setiaporang melakukan sesuatu, apabila mendapatikeadaan-keadaan yangjugaditentukan dalamundang-undangtersebut.Rumusan tentang tindak pidana berisi tentang kewajiban, yang apabilatidak dilaksanakan pembuatnya diancam dengan pidana. Kewajibandisini, menurut bukanhanyabersumber dari ketentuanundang-undang.Dapat saja kewajiban tersebut timbuldarisuatu perjanjian, ataupunkewajiban yang timbul diluar yang perjanjian, atau kewajiban yangtimbul dari hubungan-hubungankhusus, atau kewajibanuntukmencegah keadaan bahaya akibat perbuatannya, bahkan kewajiban-kewajiban lain yang timbul dalam hubungan sosial, seperti kewajibanhidup bertetangga. Dengan demikian, kewajiban-kewajiban disinidapat berarti sangat umum, sehinggalebihbersifat general socialexpectationdaripadamoral aspiration.www.djpp.depkumham.go.idTindak pidana merumuskan perbuatan yang dilarang, bukankeadaanbatinorangyangmelakukanperbuatan itu (kesalahan).Kesalahanumumnyadimanistasikandalamunsur mental tindakpidana, berupa dengan sengaja ataukarena kealpaan. Mengingatasumsi umumsemua tindak pidana dilakukan dengan sengaja makatidak diperlukan lagi kata-kataini dalamrumusan strafbaar;Setiapkata kerja dalam rumusan strafbaar, harus diartikan sebagaikesengajaan, sehingga tidakdiperlukankata-kata dengansengajadalamrumusan ini;Berbeda dengan kealpaan yang sifatnya perkecualian, sehingga tetapdirumuskan dalam rumusan tindakpidana. Perbuatan yang dapatterjadi karena kealpaan pembuatnya, hanya dijadikan tindak pidanajikaperbuatan-perbuatantersebut dipandangcukupseius. Hanyaperbuatan-perbuatanyangdipandangdapat menimbulkanbahayayang sangat besar bagi masyarakat, yang dapat dimintaipertanggungjawaban karenakealpaan pembuatnya.www.djpp.depkumham.go.idKetentuan pidana dalamtindak pidana administratif berfungsi sebagaipengaman yangdigunakanuntuk memaksakan norma-normaadministratif;Jika dalam undang-undang pidana, umumnya baikperbuatan yangdilarang (strafbaar) maupun sanksipidananya (strafmaat) dirumuskandalam satupasal. Berbeda umumnya dalam tindakpidana pidanaadministratif. Ketentuan Pidana dalam undang-undang administratifseharusnya hanya berisi ancamanpidananya (strafmaat), sedangkanperbuatan yang dilarangnya (strafbaar) berada dalam normaadministratif.Ketentuan administratif ini dapat berupa suatuperintahataupunlarangan. Dengan demikian, norma hukum pidana yang terdapatdalam rumusantindakpidana administratif dapat berisi ancamanpidana ketika melanggar laranganadministratif atau dapat pula berisiancamanpidanaketikamelanggar perintah administratif.www.djpp.depkumham.go.idKetika rumusan tindak pidana ditujukan untuk mengamankan ketentuanadministratif yang berisi suatu larangan, maka ketentuan administratif tersebutmenjadi bagian inti (bestanddeel) tindak pidana. Dengan demikian pada dasarnyarumusan perbuatannya terdapat dalam ketentuan administratif tetapi ancamanpidananyaterdapat dalam ketentuan pidana. Konsekuensinya, dalam lapanganhukum acara, ketentuan administratif tersebut harus menjadi perbuatan yangdidakwakan(berstanddeelendelict) dan karenanyaharusdapat dibuktikan.Sebaliknya, jika rumusan tindak pidana ditujukan untuk mengamankan perintahyangterdapat dalamketentuanadministratif, makaketentuanadministratiftersebuthanya diperlukanuntukmenafsirkanbagianinti (bestanddeel)tindakpidana tersebut yang sebenarnya baik perbuatan maupun sanksinya telah adadalamketentuan pidanatersebut.Dalam lapangan hukum acara, norma hukum yang terdapat dalam ketentuanadminstratif tersebut tidaklahmenjadi perbuatanyangdidakwakan. Hal inimenyebabkan Penuntut Umum tidak berkewajiban membuktikan tentang telahdipenuhinyanormaadministratif tersebut. Namunhal justru menyebabkanpembuktian tentang telah diturutinya perintah yang terdapat dalam ketentuanadministratif menjadi beban terdakwa. Sepanjang terdakwa tidak dapatmembuktikanbahwaperintahyangterdapat dalamketentuanadministratiftersebut telah dipenuhi, makaperbuatan materilnyatelah terpenuhi.www.djpp.depkumham.go.idPidana adalah reaksi atas tindak pidana, yang berujud nestapayangdengan sengaja ditimpakan negarakepadapembuat tindakpidana tersebut. Dari definisi ini ada tiga unsurutama daripengertian pidana, yaitu: (1) merupakan reaksi atassuatu aksi,yaitu reaksi atas suatu criminal act atau tindak pidana; (2)yang berujud nestapa; (3) dijatuhkan kepada pembuat tindakpidana(daader) olehnegara.Antara perbuatan yang dilarang atau strafbaar dan ancamanpidana atau strafmaat mempunyai hubungan sebabakibat(kausalitas). Dilihat dari hakekatnya, tindak pidanaadalahperbuatan yang tercela (tercela karena dilarang oleh undang-undang dan bukan sebaliknya), sedangkan pidana merupakankonkretisasi dari celaan. Bahkan larangan terhadap perbuatanyangtermaktub dalam rumusan tindak pidana justru timbulkarenaadanyaancaman penjatuhan pidanatersebut barangsiapayangmelakukanperbuatan tersebut.www.djpp.depkumham.go.idMeskipun umumnya para ahli sepakat, menggunakan istilah pidana, tetapiistilahtersebut tidakselaludigunakandalamundang-undang. Beberapaundang-undang menggunakan istilah hukuman. Misalnya, Undang-UndangNo. 51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin YangBerhak atau Kuasanya. Begitu jugadengan Undang-UndangNo. 38Tahun 1999tentangPengelolaanZakat. Dengandemikian, terhadappidana penjaramisalnya digunakanistilah hukuman penjara dan kurungan disebutdengan hukuman kurungan. Padahal seharusnya pidana penjara ataupidanakurungan.Pola seperti itu pun tidak selalu diikuti dalam beberapa undang-undang lain.Dalam Pasal 6 Undang-Undang No. 15 tahun 2002 Tentang Tindak PidanaPencucianuang, didepankata penjara tidakdigunakankata pidana,sehinggatertulis: ...dipidanadenganpenjara..... Sementaraitu, dalamberbagai undang-undang, mengunakan istilah pidana didepan penjara.Sedangkan didepan istilah dendadalam berbagai undang-undang yang laintidak ditambahkan kata pidana dan ada yang menambahkannya. MisalnyaUndang-UndangNo. 5Tahun 1983TentangZonaEkonomi Eksklusif Indonesia,menggunakan idiompidanadenda. DalamPasal 16undang-undang tersebutditentukan: ...dipidana dengan pidana denda..... Demikian pula Pasal 34Undang-Undang No. 9Tahun 1995Tentang Usaha Kecil, menggunakan istilahpidanadenda. Sedangkan Undang-Undang No. 5Tahun 1990dan berbagaiundang-undanglainnyahanyamenggunakan istilahdendasajatanpaditambahkanistilah pidanadidepannya.www.djpp.depkumham.go.idSelain itu, untuk menggambarkan jumlah minimum(khusus) maupun maksimum (khusus) yangdapat dijatuhkanbagi pembuat tindak pidanatertentu menggunakannomenklatuur yangbervariasiUndang-Undang No. 42Tahun 1999Tentang Jaminan Fidusiamenggunakan istilah palinglamauntuk pidanapenjaradan palingsedikitdan palingbanyakuntuk denda. Undang-Undang15Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan menggunakan istilah paling singkat untukpidanapenjara.Sedangkan Undang-UndangNo. 24Tahun 1999Tentang Lalu LintasDevisadan SistemNilai Tukarmenggunakan istilahsekurang-kurangnya... untuk pidanadendaminimumyangdapatdijatuhkandanmenggunakanistilahpaling banyak untukmaksimumnya. SementaraituUndang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan UsahaTidak Sehat, menggunakan istilah serendah-rendahnyadan setinggi-tingginyauntukmenunjukkan minimum dan maksimum khusus pidana dendanya. Undang-Undang No. 51 PrpTahun1960tentangLaranganPemakaianTanahTanpaIzinYangBerhak atauKuasanyamenggunakan istilah selama-lamanya. Dalamhal ini ditentukan ...dipidanadengan hukumankurunganselama-lamanya.... DalamUndang-Undang No. 31Tahun 1999Tentang Tindak PidanaKorupsi, khusunya ketentuan Pasal18 tentang pidana tambahan pembayaran uang pengganti,digunakanistilahsebanyak-banyaknya untukmenggambarkanjumlahmaksimumpidanatambahanpembayaranuangpengganti yangdapat dijatuhkan.Ada juga undang-undang yang menggunakan istilah sekurung-kurangnya untukmenggambarkan minimum(khusus) pidanapenjarayangdapat dijatuhkan. Misalnya, dalam Pasal48Undang-UndangNo. 10Tahun 1998TentangPerubahan AtasUndang-Undang No. 7tahun 1992Tentang Perbankan, yang menentukan: ...dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua)tahun.....www.djpp.depkumham.go.idUmumnyaancaman pidanaditempatkan padabagian akhir suatu rumusan tindakpidana. Apabila ancaman pidana ditujukan terhadap beberapa perbuatansekaligus, maka ancaman pidana ditempatkan di depan perbuatan terlarangnya.Teknikterakhir ini untukmenghindari kesanancamanpidana tertujuhanyaterhadapsebagianperbuatansaja(bagianperbuatanyangdisebut terakhir).Misalnya, Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang TindakPidanaPencucian uang, yangmenentukan:Setiap orangyangdengansengaja:a. menempatkan...;b. mentransfer...;c. membayarkan...;d. menghibahkan...;e. menitipkan...;f. membawa...;g. menukarkan...;h. menyembunyikan atau menyamarkan..., dipidanakarena tidak pidanapencucian uangdenganpidanapenjara....www.djpp.depkumham.go.idPerumusanini menjadi lebihbaikapabila dirumuskansebagaiberikut:Dipidanadenganpidanapenjara....., setiap orangyang:a. menempatkan...;b. mentransfer...;c. membayarkan...;d. menghibahkan...;e. menitipkan...;f. membawa...;g. menukarkan...;h. menyembunyikanatau menyamarkan....Rumusan terakhir ini, ancaman pidana ditujukan terhadap semuaperbuatan dari huruf asampai dengan huruf h. Sedangkanperumusansebelumnya, seolah-olahhanyaterhadapperbuatanyangtermuat dalamhuruf h.www.djpp.depkumham.go.idBeberapa undang-undang di luarKUHPtelahmenyimpangi pola umumpengacaman pidana dalam KUHP, dengan menggunakan modelpengancamankumulatif (yangditandai dengankata penghubung dandiantaraduajenis pidanayang diancamkan) atau model kombinasi alternatif-kumulatif yang ditandai dengan kata penghubung dan/atau diantara duajenis pidanayangdiancamkan).Denganpengancamankumulatif maka hakim terikatuntukmenjatuhkanpidana kedua jenis pidana tersebut sekaligus. Persoalannya, pada subyektindakpidanakorporasi, hanyadapat dijatuhkanpidanapokokberupadenda, dan tidak dapat dijatuhkan jenis pidana perampasan kemerdekaan.Mengingat konstruksi ini, akan timbul kesulitan penjatuhan pidana (hanya)terhadap korporasi dalamhal tindak pidana yang dilakukan mengancamkansecara kumulatif pidana-pidana dengan jenis berbeda. Sekalipun salah satuancaman pidana dalam rumusan tindak pidana adalah denda, tetapi tetapsaja denganmodel pengancamankumulatif hakim harus menjatuhkankeduanya. Akibatnya, pengancaman pidanaterhadap korporasi menjadi nonapplicable. Misalnya pada rumusan tindak pidana yang ditentukan dalamUndang-UndangNo. 2Tahun 1992tentangUsahaPerasuransian. Seharusnya,dalamhal ancaman tindak pidanatersebut jugaditujukan terhadap korporasi,dengan perumusan yang bersifat umummelalui idiomsetiap orang, makamodel ancaman pidana alternatif atau kombinasi alternatif-kumulatif lebihtepat.www.djpp.depkumham.go.idAda tiga model perumusan jumlah pidana. Pertama, fix model, dalamhal ini rumusan tindakpidana menyebutkan dengan tegas berapajumlah pidana (maksimum ataupun jika perlu minimumnya) yangdapat dijatuhkan hakim. Kedua, catagorization model, denganmenyebutkandalam bagianketentuanlaindiluarrumusantindakpidana jumlah pidana untuk beberapa kategori tertentu. Ketiga, freemodel, dalamhal ini undang-undang tidak menentukan dengan pastijumlah pidana untuk setiap tindak pidana, melainkan menyerahkansepenuhnyakepadakebijaksanaanhakim.Berdasarkan prinsip nulla poena sine lege stricta, maka hanya modelpertama dan kedua yang mungkin diterapkan dalam sistem hukumIndonesia. Begitupulaseharusnyadalamundang-undangdiluarKUHP. Umumnya digunakan fix model untukmenentukanjumlahpidana yang dapatdijatuhkanhakim danRancanganKUHPjugamenggunakancatagorizationmodel khususuntuk denda.www.djpp.depkumham.go.idBeberapa undang-undang menunjukkan penyimpangan pada pinsipini. Undang-UndangPerpajakan, Undang-UndangNo. 6tahun 1983joUndang-Undang No. 16Tahun 2000menggunakan freemodel. Pasal 38Undang-Undang tersebut menyebutkan: ...dipidana denda palingtinggi 2 (dua) kali jumlah pajak yang terhutang yang tidak ataukurangdibayar.Demikian pula ketentuan Pasal 39Undang-Undangtersebut. Perumusan seperti ini menunjukkan hakim bebasmenjatuhkan denda, sehinggapidanamenjadi tidak terbatas. Hal initentunyamenimbulkankeadaan yangbahayabagi kepastianhukum.Sebenarnya, dalamancaman pidana, khususnyaancaman denda, tidakbegitusaja dapat dikaitkan (digantungkan) dengankerugian yangtimbul akibat dari suatu tindak pidana. Hal ini juga disadari olehpembentuk undang-undangini, karenadalamPasal 41, 41A, dan 41B,ancaman pidana denda disebutkan dengan tegas (fix model) berapajumlah yang mungkin dijatuhkan oleh hakim. Penggantian kerugianjugadapat menjadi sanksi pidana, seperti Pasal 18Undag-Undang No.31tahun1999yangmenjadikannyasebagai pidanatambahan.www.djpp.depkumham.go.idKhusus berkenaan ketentuan yang menyangkut acara pidanahanya dapatditentukandalam undang-undangdantidakdapat dilakukan dalamperaturan perundang-undanganlainnya.Hal ini dikarenakanketentuanhukum acara pidana padadasarnya memuat proses untukmengurangi hak-hakasasiseseorang, dan prosedur yangharus ditempuh untuk itu gunamelindungi hak-hak asasi yangbersangkutan;Dilihat dari sifatnya, baik ketentuan undang-undang tentangacara pidana pada dasarnya harus dipandang sebagaipembatasan kewenangan negara untuk mengintervensikehidupan individu, dan bukan dilihat sebagai pemberiankewenangan negara untuk melakukan hal itu;www.djpp.depkumham.go.idHarus dihindari pembatasan kewenganan yang sama-samar(vagennormen). Misalnya, dalamPasal 72UUPerikananyangmenentukanbahwa, penyidikandalamperkaratindakpidanadibidangperikanan, dilakukanberdasarkanhukumacarayangberlaku, kecuali ditentukan lain dalamUndang-Undangini. Menjadipersoalan hukum acara yang berlaku disini apakah hanya yangterbatas pada yang ditentukan dalam KUHAP, ataukah juga setiaphukum acara yang ditetapkan secara khusus dalam setiap undang-undang, termasuk tetapi tidak terbataspadaUU ZEE;Demikianpula halnya dalam Pasal 73 ayat(3)UUPerikananmenentukan bahwa, untuk melakukan kordinasi dalam penangantindak pidanadibidangperikanan, Menteri dapat membentukforum koordinasi. Tidak jelas apakah yang menjadi kewenanganforum koordinasi disini, dan undang-undang juga tidakmendelegasikan pengaturan lebih lanjut mengenai hal ini denganperaturanperundanganlainnya. Lalubagaimanahubungannyadengan ketentuan dalamundang-undang lain yang menentukanbahwaPenyidik Polri sebagai koordinator penyidikan;www.djpp.depkumham.go.idContoh lain, ketika UU menentukan jangka waktu dan tata carapenahananterhadap orang perseorangan yang menjadi tersangka,tetapisama sekalitindak menentukan dan tidak mendelegasikanpengaturannyatentanghal serupajikadilakukanterhadap kapal;DalamUUZEEpermohonanuntukmembebaskankapal yangditangkap dapat dilakukan setiap waktu sebelum ada keputusanpengadilannegeri yangberwenang. Siapakahyangberwenangmengabulkanataumenolak permohananini, tidak disebutkandengan tegas dalam UU ini, yang jika ditafsirkan secara strukturalmerujuk kepadaTNI AL;Sementara itu, dalam UU Perikanan hak/ kewenangan seperti initidakdiatur, sehingga dalamhal penangkapandanpenahanankapal dilakukan oleh PPNS Perikanan atau Polri, pada dasarnyadapat dilakukanpermohananpembebasankepadaTNI AL;www.djpp.depkumham.go.idTerima kasih atas kesabarannya mendengarkan presentasi iniwww.djpp.depkumham.go.id