40 KOMPARASI PEMIKIRAN KOMUNISME -...
Transcript of 40 KOMPARASI PEMIKIRAN KOMUNISME -...
40
BAB IV
KOMPARASI PEMIKIRAN KOMUNISME
MUSSO DAN DIPA NUSANTARA AIDIT
Komunisme adalah salah satu ideologi di dunia, selain kapitalisme dan
ideologi lainnya. Komunisme lahir sebagai reaksi terhadap kapitalisme di abad ke-
19. Dalam komunisme perubahan sosial harus dimulai dari peran Partai
Komunisme. Logika secara ringkasnya, perubahan sosial dimulai dari buruh atau
yang lebih dikenal dengan proletar. Sebelum adanya komunisme perubahan pokok
dibidang sosial sebagian besar dianggap sebagai perbuatan pemimpin-pemimpin
besar politik, pembuat undang-undang dan kaum pelopor dalam perubahan-
perubahan (Ebenstein, 2006:12). Marxisme lahir dari kondisi sosial ekonomi
masyarakat yang mengalami keterasingan pasca revolusi Industri. Marxisme
sendiri menurut Marx adalah pembebasan manusia dari keterasingannya hanya
dapat dilaksanakan lewat sebuah revolusi (Suseno, 2005:81). Marxisme terus
berkembang dan dianggap sebagai paham yang memperjuangkan kelas buruh.
Mengenai penelitian pemikiran komunisme di Indonesia tidak banyak
dilakukan oleh para peneliti Indonesia. Para peneliti lebih banyak memfokuskan
kajiannya pada peristiwa-peristiwa dan pemberontakan-pemberontakan
komunisme. Sedangkan pemikiran tokoh komunisme kurang di ungkap. Pada
dasarnya pemikiran komunisme mengacu kepada pemikiran Karl Marx yang
kemudian dilanjutkan oleh Lenin. Namun pada pelaksanaanya, dapat disesuikan
dengan kondisi dari setiap negara, begitu pun di Indonesia. Varian komunisme
41
yang diterapkan di Indonesia memiliki perbedaan yang signifikan dengan konsep
aslinya yang berasal dari daratan Eropa. Meskipun tetap mempertahankan
berbagai prinsip dasar Marxisme (Edman, 2005:13). Begitupun dengan pemikiran
Musso dan Aidit tentang komunisme. Secara fundamental pemikiran mereka
dilandasi oleh pemikiran komunisme, namun pada perkembangannya mereka
menemukan corak komunisme masing-masing. Sebagai latar belakang untuk
memahami pemikiran komunisme dari Musso dan Aidit, akan dipaparkan terlebih
dahulu mengenai paham komunisme mulai dari pemikiran Marx, serta sejarah
perkembangannya di komunisme di Indonesia.
A. Pemikiran Komunisme
Pemikiran komunisme berasal dari pemikiran Karl Marx. Pemikiran Marx
kemudian berkembang menjadi Marxisme. Karl Marx dilahirkan di Trier, Prussia
pada 5 Mei 1818. Setelah lulus sekolah menengah, Marx kuliah di Fakultas
Hukum di Bonn. Namun tidak selesai, sebelum pindah ke Universitas Berlin dan
sibuk dengan filsafat. Setelah lulus Marx menjadi penulis di Koran Reinische
Zeitung Moses Hess. Pekerjaannya sebagai wartawan menyebabkan Marx
berkecimpung dalam politik praktis (Hadiwidjono, 1980:118).
Pemikiran Marx dipengaruhi oleh Hegel dan Feuerbach. Dari Hegel Marx
mendapatkan metode dialektika dan gagasan, bahwa ada ikatan yang erat antara
filsafat, sejarah dan masyarakat (Hadiwidjono, 1980:1919). Istilah dialektika
merujuk pada proses perubahan dan perkembangan, yang dianalisis melalui tiga
rangkai keadaan yang disebut tesis-antitesis-sintesis. Setiap perubahan dimulai
oleh tesis sebagai titik awal. Kemudian tesis dihadapkan dengan antitesis, sesuatu
42
yang berbeda dari tesis namun saling berhubungan. Langkah ketiga adalah sintesis
dimana baik tesis dan antitesis dibatalkan dengan tahap sintesis, dalam tahap
sintesis ini dan diangkat menjadi suatu kesatuan relitas yang lebih tinggi (Beck
dikutip dari Patria & Arief, 1999:99). Maksudnya dalam konsep menjadi (sintesis)
terdapat konsep ada (tesis) dan tidak ada (antitesis), sehingga konsep ada ataupun
tidak ada dinyatakan batal atau ditiadakan (Tjahjadi, 2004:318). Secara garis besar
Marx mengikuti gagasan Hegel mengenai dialektika sejarah.
Dialektika dipandang sebagai asas revolusioner, sehingga dunia bukan
dipandang sebagai sesuatu yang terdiri dari hal-hal yang telah selelsai, melainkan
sebagai sesuatu yang terdiri dari proses-proses. Proses ini tidak terjadi secara lurus
tetapi secara spiral. Dalam filsafat Hegel – digunakan juga oleh Marx – perjalanan
sejarah adalah mengarah, meningkat dan berkembang menuju kemajuan. Hegel
manyatakan bahwa bila kita melihat sejarah dunia kita akan menemukan adanya
logika (keteraturan) dari berbagai kejadian yang selintas tampak kacau. Lintasan
sejarah menurut Hegel dapat dibaca sebagai wahyu ketuhanan yang bersifat
gradual dalam evolusinya menuju kesadaran-diri (self-consciousness), ditandai
dengan sebuah gerakan sistematis ,menuju tujuan-tujuan yang semakin lebih
tinggi (Cavalarro, 2004:142).
Selanjutnya perkembangan sejarah tidak linear lurus dan konsisten.
Sejarah berjalan melalui kemacetan, kekalahan, serangan balasan dan baru
mencapai kesempurnaan. Kesempurnaan diri sendiri semangat sejarah hanya
dapat terjadi dengan merusak dirinya sendiri. Sejarah adalah skenario perjuangan
terus-menerus dan penghancuran diri sendiri dimana seluruh lembaga sosial yang
43
ada dihancurkan dan dibangaun ulang (Bertein dikutip dari Sztompka, 1005:183).
Gagasan ini sesuai dengan teori perkembangan spiral, bahwa proses sejarah
bergerak ke belakang dan ke depan, tetapi ketika kembali ke keadaan
sebelumnnya kejadian ini sebenarnya telah terjadi di tingkat lebih tinggi. Setiap
perubahan lingkaran menghasilkan tindakan kemajuan, meski itu terjadi dengan
biaya kemunduran (Sztompka, 2005:1983).
Perkembangan sejarah pun tidak bertahap, lancar dan kumulatif, tetapi
berjalan melalui cara khusus, ketika kualitas dasar proses berubah secara radikal
(dan cepat) (Sztompka, 2005:183). Selanjutnya tahapan sejarah dapat dibagi
menjadi tiga bagian. Ketiga pola ini dapat diterapkan pada berbagai horizon
sejarah. Pada tingkat skala sejarah duni terluas, cerita tentang semangat. Tahap
pertama adalah prasejarah, kemudian perbudakan yang kemudian diikuti oleh
proses emansipasi menuju fase terakhir ketika semangat sejarah mencapai
kemerdekaan diri, perwujudan diri dan pengetahuan diri sepenuhnya. Menurut
Marx tahapan terakhir dari proses sejarah adalah komunisme modern, sedangkan
bagi Hegel tetanan terakhir adalah terbentuknya negara (Patria & Arief,
1999:100). Dalam dialektika sejarah Hegel faktor penggerak sejarah adalah
semangat (geist), sedangakan bagi Marx sejarah bukanlah perjalanan semangat
tetapi rentetan perubahan aktivitas manusia (Sztompka, 2005:184).
Sedangkan dari Feuerbach Marx mendapatkan marterialisme, bahwa
untuk menjelaskan hal-hal rohani dari jasmani, serta mencurahkan segala
perhatian kepada manusia yang hidup didalam masyarakat (Hadiwidjono,
1980:119). Menurut Feuerbach hanya alamlah yang berada, oleh karena itu
44
manusia adalah makhluk alamiah. Segala sesuatunya didorong oleh nafsu alamiah,
yaitu dorongan untuk hidup, yang terpenting pada manusia bukan akalnya, tetapi
usahanya sebab pengetahuan hanyalah alat untuk menjadikan segala usaha
manusia berhasil (Hadiwidjono, 1980:117). Marx menilai bahwa materialisme
Feuerbach memiliki kekurangan yang fundamental seperti ditulis oleh Marx:
Kekurangan utama dari semua materialisme yang ada sampai sekarang-termasuk materialisme Feuerbach-ialah bahwa hal ihwal (Gegenstand), kenyataan, kepancainderaan, digambarkan hanya dalam bentuk benda (Objekt) atau renungan (Anschauung), tetapi tidak sebagai aktivitet pancaindera manusia, praktek, tidak secara subyektif. Karena itu terjadilah bahwa segi aktif, bertentangan dengan materialisme, dikembangkan oleh idealisme-tetapi hanya secara abstrak, karena, sudah barang tentu, idealisme tidak tahu akan aktivitet pancaindera yang nyata sebagai hal yang sedemikian itu. Feuerbach membutuhkan benda-benda kepancainderaan, yang benar-benar dibedakan dari benda-benda pikiran, tetapi dia tidak mengartikan aktivitet manusia itu sendiri sebagai aktivitet obyektif (gegenständliche). Oleh karena itu, dalam Hakekat Agama Kristen, dia memandang sikap teoritis sebagai Satu-satunya sikap manusia yang sejati, sedang praktek digambarkan dan ditetapkan hanya dalam bentuk permunculannya yang keyahudian dan kotor. Karena itu dia tidak menangkap arti penting aktivitet "revolusioner", aktivitet "kritis-praktis" (Marx, 1895 tersedia di http://www.Marxists.org/indonesia/archive/Marx &engels/ Tesis Tentang Feuerbach.htm. Bandung:21/11/2008). Kemudian Marx mulai membangun filsafat materialistisnya sendiri
sebagai kebalikan dari Hegel, memadukan antara pemikiran dialektika sejarah
Hegel dengan pemikiran materialisme Feuerbach (Hadiwidjono, 1980:123).
Perpaduan antara Feuerbach dan Hegel menyentuh tataran aplikasi (materi) tidak
dalam tataran teori (ide). Sehingga menurut Marx sejarah bukanlah perjalanan
semangat tetapi serentetan perubahan aktifitas manusia (Sztompka, 2005:184).
Pada akhirnya perpaduan pemikiran Hegel dan Feuerbach dalam Marx menjadi
Materialisme-historis (materialisme sejarah).
45
Materialisme Historis adalah aspek fundamental dalam ideologi
komunisme. Materialisme Historis adalah teori sejarah empiris ataupun fisafat
sejarah spekulatis ciptaan Marx. Materialisme Historis adalah seperangkat
generalisasi sosiologi makro tentang sebab-sebab stabilitas dan perubahan dalam
berbagai masyarakat (Elser, 2000 : 141).
Inti dari konsep Materialisme Historis adalah tentang hukum
perkembangan masyarkat yang mengikuti hukum materialisme dialektika sebagai
aspek fundamentalnya. Materialisme Historis memiliki dua sisi keyakinan dimana
dalam satu sisi merupakan suatu teori umum tentang struktur dan dinamika dari
setiap cara produksi; dan pada sisi lainnya merupakan suatu teori tentang urutan
sejarah cara-cara produksi. Dimana yang pertama adalah membicarakan tentang
persamaan-persamaan yang terdapat dalam cara-cara produksi, dan yang kedua
berbicara tentang alasan mengapa perbedaan ini terjadi (Elser, 2000 : 142).
Materialisme Historis memandang gerak sejarah disebabkan oleh gerak manusia
itu sendiri. Artinya adalah bahwa manusia dalam hal ini menghasilkan cara
supaya tetap hidup (Tong, 2006:140). Dalam pandangan Materialisme Historis
faktor ekonomi menjadi faktor yang menentukan dalam geraka sejarah.
Menurut materialisme sejarah, masyarakat berkembang melalui suatu
tahapan yang bertingkat-tingkat, masing-masing tingkat punya struktur yang
berbeda-beda. Tingkat paling akhir adalah kapitalisme, ia harus digulingkan
melalui suatu revolusi yang dipimpin oleh kelas pekerja (Brewer, 1999:5).
Menurut Marxisme dorongan material – produksi dan reproduksi kehidupan
sosial– adalah pendorong utama sejarah. Sejarah digerakan oleh konflik kelas dan
46
semua penciptaan intelektual melahirkan jejak-jejak perjuangan yang bersifat
materlial. Marx dan Engels berpendapat bahwa semua bentuk kehidupan sosial,
politik dan inelektual ditentukan oleh basis ekonomi yang bersifat kultural: ini
terdiri dari model produksi masyarakat tertentu – seperti masyarakat kuno,
masyarakat feodal, dan masyarakat kapitalis – dan terdiri dari kekuatan-kekuatan
dan hubungan-hubungan produksi – struktur-struktur kekuasaan yang ditentukan
oleh orang atau pihak yang menguasai alat-alat produksi – (Cavalarro, 2004:139).
Perubahan sosial bisa terjadi dengan merubah dasar dari sebuah tatanan. Menurut
Cavalarro perubahan-perubahan sosial bisa jadi hanya ditimbulkan dengan
mengubah basis (Cavalarro, 2004:139).
Dalam Materialisme Historis untuk dapat memahami faktor penggerak
dalam masyarakat kita harus mencari landasan material hidup kemasyarakatan,
yaitu cara berproduksi berang-barang material. Produksi sebagai keseluruhan
tidak pernah berhenti. Dalam produksi senantiasa timbul perubahan-perubahan
yang keluar dari kekuatan-kekuatan yang berproduksi. Perubahan-perubahan dan
kekuatan produksi ini membawa perubahan dalam hubungan berproduksi. Oleh
karena itu cepat atau lambat keadaan produksi harus disesuikan dengan kekuatan-
kekuatan berproduksi. Perkembangan yang terus-menerus dari kekuatan-kekuatan
yang berproduksi itu di dalam sejarah berjalan pertama-tama melalui perpindahan
dari masyraklat asali ke perbudakan yang klasik setelah itu sistem feodal dan
akhirnya ke masyarakat kapitalis (Hadiwidjono, 1980:122).
Berdasarkan teori Materialisme Historis menurut Engels keadaan awal
kehidupan manusia perkembangan manusia secara garis besar terdiri dari tiga
47
tahapan yaitu masa keliaran (savagery), masa keganasan (barbarism) dan pada
masa peradaban (Nasbi, 2004:101). Pada masing-masing tahapan terbagi lagi
menajadi lima tahapan perkembangan masnusia menurut Marx, yaitu mulai dari
kondisi alamiah (komunisme purba), zaman perbudakan, zaman feoadal, zaman
kapitalisme, sosialisme (diktatur ploretariat) dan zaman komunisme mmodern
(stateless society) (Engels dikutip dalam Nasbi, 2004:101).
Pada kondisi alamiah manusia hidup secara damai, masyarakat pada masa
ini belum ada pelapisan sosial. Semua dalam keadaan sama rata (Nasbi,
2004:101). Hak milik tidak berada pada individu, kepemilikan bersifat kolektif.
Untuk memenuih kebutuhan manusia pada zaman ini bergantung pada alam.
Setiap manusia bekerja untuk kepentingan kelompok, untuk kemudian masing-
masing menerima sesuai dengan kebutuhan. Masa ini oleh Marx disebut sebgai
masa sosialisme purba (Engels dikutip dari nasbi, 2004:101).
Kehidupan manusia kemudian berevolusi naik pada tahapan yang lebih
maju. Zaman ini ditandai dengan perubahan proses produksi. Pada zaman ini
manusia mulai mengenal proses produksi berbasis tanah. Manusia mulai
mengolah tanah untuk memenuhi kebutuhan. Manusia mulai menetap dan
bercocok tanam, mulailah terjadi perubahan dalam model produksi. Seperti
dikatakan Engels pada masa ini muncul pelapisan sosial dari yang longgar sampai
yang nyata. Pada zaman tersebut sudah terjadi penaklukan wilayah. Masyarakat
mulai mengenal perbudakan. Pada titik ini dimulai tahapan baru kehidupan
manusia yang disebut zaman perbudakan. Dalam zaman ini terdapat beberapa
kelas sosial namun dua kelas yang saling bertentangan dimana yang satu tertindas
48
dan yang lainnya menindas yaitu kelas budak dan kelas tuan. Dalam keadaan
pertentangan seperti ini, negara mulai muncul karena dibutuhkan untuk
mendamaikan konflik yang ada pada masyarakat (Engels dikutip dalam Nasbi,
2004:102).
Setelah zaman perbudakan manusia terus berevolusi menjadi zaman
feodal. Pada masa ini perbudakan telah hilang. Para pekerja mendapatkan bayaran
sebagai tenaga penggarap. Pada zaman feodal terjadi pula pertentangan dua kelas
yaitu kelas tuan tanah dan kelas petani penggarap. Pada zaman feodal, muncul
kelas baru yaitu kelas pedagang, terletak antara kelas tuan tanah dan petani.
Kaum ini kemudian mengorganisisr usahanya sehingga berbentuk perusahan dan
pabrik-pabrik. Kaum borjuasi yang masih berada pada masa feodalisme ini masih
berada dalam tahapan awal. Kapitalisme muda ini membutuhkan banyak tenaga
yang merdeka. Maksud merdeka disini adalah tenaga kerja tidak boleh terikat
dengan tanahnya, sehingga bisa bekerja penuh untuk kepentingan produksi
borjuasi (Engels dikutip dari Nasbi,2004:103).
Kelompok kapitalis juga menginginkan kebebasan dalam berpolitik guna
menajamin kemerdekaan dan kebebasan berusaha. Neagra juga dituntut untuk
melakukan penjagaan hak milik mereka. Pemerintahan bangsawan feodal terdesak
akhirnya harus memberikan konsensi dasar bagi keleluasaan kapitalis. Ketika
jumlah kapitalis semakin banyak, maka berlaku hukum perubahan kuantitas
menjadi perubahan kualitas. Produksi yang pada mulanya berbasis tanah
kemudian berganti menajdi produksi berbasis kapital (modal). Setelah revolusi
industri berhasil merubah masyarkat, maka zaman berganti dimana yang
49
menentukan produksi bukan lagi sekedar kepemilikan tanah, melainkan lebih
terpusat pada kepemilikan modal. Ini yang disebut oleh Marx sebagai zaman
kapitaslis. Pada masa ini kelas-kelas sosial tereduksi sehingga tinggal dua kelas
saja dan saling bertentangan, yaitu kelas pemilik modal (kapitalis) dan kelas
pekerja (proletar) (Soseno, 1999:166).
Pada masa kapitalis ini pekerja berada dalam kekuasaan kapitalis.
Menurut Marx, ideologi kapitalis menuntut pekerja dan majikan untuk terfokus
kepada struktur kapitalisme yang dibangun atas hubungan pertukaran (Scmictt
dikutip dalam Tong, 2006:143). Ciri dari kapitalisme adalah adanya pemisahan
antara pemilik dan pekerja. Masyarakat terdiri dari kelas-kelas sosial yang
membedakan diri satu sama lain berdasarkan posisi dan fungsinya masing-masing
dalam proses produksi. Secara gasir besar, pada polala masyarakat kapitalis,
kelas-kelas sosial termasuk dalam salah satu dari kelompok kelas: kelas pemilik
(borjuis) dan kelas buruh (proletar). Kelas pertama hidup dari hasil penghisapan
kelas kedua. Kelas buruh yang hanya memiliki tenaga kerjanya sangat tergantung
pada kelas pemilik yang mengendalikan kerja mereka. Jadi ciri masyarakat
kapitalis adalah bahwa mereka terbagi dalam kelas atas dan kelas bawah, dan
struktur ekonominya tersusun sedemikian rupa sehingga yang pertama dapat
hidup dari penghisapan tenaga kerja yang kedua (Patria & Arief, 1999:104).
Pada masyarakat kapitalis kekuatan-kekuatan produksi dimiliki oleh
pribadi atau kelompok tertentu dalam masyarakat. Pada akhirnya keadaan ini
menimbulkan sebuah pertentangan kelas antara pemilik kekuatan-keuatan
produksi dengan para pekerja yang tidak memiliki kekuatan produksi (modal).
50
Itulah sebabnya maka sejarah dalam pandangan Materialisme Historis terdiri dari
peperangan kelas (Hadiwidjono, 1980:122). Pada akhirnya hanya ada dua kelas
saja yang saling bertentangan yaitu kaum kapitalis dan kaum proletar, yang
diperas tenaganya oleh kaum kapitalis. Pemerasan itu terjadi dengan apa yang
disebut ”nilai lebih” (Hadiwidjono, 1980:122).
Pada zaman kapitalis terjadi sebuah perubahan orientasi kerja. Pada
mulanya manusia bekerja untuk dirinya sendiri dengan mengolah alam kemudian
berubah menajadi bekerja untuk pemilik modal. Perubahan cara bekerja ini
menimbulkan sebuah patologi sosial. Pada dasarnya manusia itu harus bekerja
untuk memenuhi kebutuhannya. Pekerjaan itu tanda khas yang melekat pada
manusia. Pekerjaan itu tanda bahwa manusia adalah makhluk yang bebas dan
universal (tersedia di http://rumahkiri.net/index.php?option=com_content&task
=view&id= 1667&Itemid=122).
Marxis memandang kapitalisme sebagai hubungan kekuasaan yang
eksploitatif, menurut Marx, nilai komoditi apa pun ditentukan oleh besarnya
pekerjaan, atau pengeluaran energi dan intelegensia manusia aktual yang
dibutuhkan untuk menghasilkan sebuah komoditi. Lebih tepatnya nilai komoditi
apapun juga adalah setara dengan pekerjaan langsung yang digabungkan dengan
komoditi oleh pekreja, ditambah kerjaan tidak langsung yang dicurahkan kepada
kepanjangan tubuh si pekerja – alat dan mesin yang dibuat oleh pekerjaan
langsung dari pekerja sebelum mereka. Karena semua komoditi bernilai tepat
sama dengan pekerjaan yang diperlukan untuk menghasilkannya dan karena
kekuatan bekerja pekrja dapat dijual beli, maka nilai dari kekuatan untuk bekerja
51
seorang pekrja adalah biaya yang tepat untuk menghasilkan kekuatan bekerja itu
(makanan, pakaian dan tempat tinggal), serta untuk menjaganya agar dapat tetap
bekerja.
Pemilikan alat produksi oleh masyarakat, menurut Marx dapat
menciptakan suatu sistem baru dalam hubungan-hubungan produktif berdasarkan
produksi untuk penggunaan bersama. Hal ini berarti bahwa adanya saling
ketergantungan antara kelas pekerja dan kelas borjuis. Yang membedakan
keduanya adalah tingkat ketergantungannya, tingkat ketergantungan pekerja
terhadap kapitalis lebih tinggi dari pada ketergantungan kapitalis kepada pekerja.
Majikan mempunyai monopoli terhadap alat produksi. Karena itu pekerja harus
memilih antara diekploitasi atau tidak mempunyai pekerjaan (Thong, 2006:143).
Karena itu dengan keuntungan monopoli majikan dapat memaksa pekerja untuk
dapat bekerja dalam keadaan eksploitatif. Selain itu menurut Marx ideologi
kapitalis menuntun pekerja untuk terfokus kepda struktur kapitalisme yang
dibangun atas hubungan pertukaran. Sebagai akibat dari ideologi ini, pekerja
merasa bahwa tidak ada yang salah dalam pertukaran inheren dalam hubungan
pertukaran spesifik yang telah dimasukinya. Pekerja sendiri berfikir bahwa
mereka bekerja karena mereka tidak mempunyai alat produksi sendiri.
Marx sendiri mengartikan bekerja sebagai aktifitas fundamental manusia.
“aktifitas kehidupan’ yang sangat diperlukan bagi kelangsungan hidup, reproduksi
dan evolusi masyarakat manusia dan ditujukan pada penaklukan dan pemanfaatan
alam (Sztompka, 2005:196). Karl Marx memahami manusia sebagai person yang
tidak boleh diperalat atau memperalat diri karena manusia adalah tujuan pada
52
dirinya sendiri. Manusia adalah bebas dan universal. Manusia harus
merealisasikan dirinya dalam pekerjaan dan tidak boleh diperbudak oleh
pekerjaan. Karl Marx menyuarakan suatu masalah yang dirasakan manusia-
manusia modern yaitu keterasingannya dalam masyarakat teknologi. Keterasingan
kerja ini menyebar ke seluruh bidang kehidupan.ketidakmanusiawian manusia
sangat menonjol di bawah kondisi masyarakat berkelas (Sztompka, 2005:197).
Tetapi, ada perbedaan antara jumlah yang diberikan kepada pekerjaan
untuk kepasitas bekerjanya (kekuatan untuk bekerja) dan nilai yang sesungguhnya
dihasilkan yang oleh pekerja ketika mereka mencurahkan kapasitasnya ini
digunakan (Mendel, dikutip dalam Tong, 2006:142). Marx menamai nilai ini
sebagai nilai surplus, yang merupakan nilai lebih yang diambil oleh majikan
sebagai keuntungan. Karena itu, kapitalisme adalah sistem yang eksploitatif,
karena majikan membayar pekerja hanya untuk kekuatan bekerjanya, tanpa
membayar untuk pengeluaran sesungguhnya atas energi dan intelegensia manusia
yang diambil dan ditransfer menjadi komoditi yang dihasilkan mereka (Marx
dikutip dalam Thong, 2006:142).
Sebagai akibat dari adanya pembagian kelas yang dapat menimbulkan
kelas pekerja teralienasi dalam pekerjaannya. Pertama, manusia teralienasi dari
produk kerja mereka. Kedua, pekerja teralienasi dari diri sendiri karena ketika
pekerjaan dialami sebagai suatu tidak menyenangkan, maka pekerjaan itu dapat
mematikan. Ketiga, pekerja teralienasi dari manusia lain karena strujtur ekonomi
kapitalis memaksa pekerja untuk memandang satu sama lain sebagai pesaing
untuk memperoleh pekerjaan dan promosi. Keempat, pekerja teralienasi dari alam
53
karena jenis pekerjaan yang mereka lakukan, serta kondisi kerja mereka membuat
mereka melihat alam sebagi hambatan terhadap kelangsungan hidup mereka.
Menurut Hadiwidjono ada dua kekuatan yang mendorong para kaum
kapitalis, yaitu a) keinginan untuk makin menambah milik mereka dan b)
persaingan diantara perusahaan-perusahaan (Hadiwidjono, 1980:122). Karena
keinginan untuk menambah milik itu para pengusaha menanamkan kapital mereka
guna memperluas perusahaan. Perluasan perusahaan-perusahaan itu dimaksudkan
agar supaya dapat bersaing dengan perusahaan-perusahaan yang lain. Akibatnya
segala perusahaan yang kecil dan lemah bangkrut, dan akibatnya perusahaan besar
dapat memonopoli komoditi pasar. Hal ini mengakibatkan disatu pihak terjadi
penimbunan kapital, sedang dipihak lain timbulah pengurasan buruh. Karena
semakin pesatnya mekanisasi maka makin murahlah harga tenaga kerja. Upah
buruh makin menurun, maka kesejahteraan buruh ikut menurun juga. Hal ini pada
akrhirnya melahirkan pertentangan kelas yang berbeda kepentingan.
Perbedaan kelas ini ditentukan oleh situasi kepemilikan dalam arti
kesamaan derajat kepemilikan alat produksi. Pemilikan alat produksi ini
menajamin pemuasan kebutuhan mereka. Karena itu pemilikan atau keterbatasan
pemilikan alat produksi adalah aspek penting dalam kehidupan manusia, hal ini
menentukan posisi individu dalam masyarakat. Sebaliknya ketiadaan pemilikan
alat produksi dan karena itu menimbulkan kepentingan untuk mengubah kondisi
sosial yang merugikan secara radikal, akan menciptakan ikatan sosial dikalangan
individu yang tidak memiliki kapital (Sztompka, 2005:200). Ikatan khas ini
54
membagi anggota masyarkat menjadi dua golongan yang saling bertentangan,
kelas yang memiliki alat produksi dan kelas yang tak memiliki alat produksi.
Pertentangan dan penghisapan kelas pekerja oleh kapitalis memunculkan
solidaritas dan kesadaran kaum buruh. Seiring dengan kecenderungan kearah
polarisasi ini terdapat kecenderungan lain kearah perkembangan penguatan kelas
secara internal. Ini melahirkan kelas sebuah kesatuan yang utuh dalam kelas
karena individu dalam setiap kelas merasa bahwa kelas untuk dirinya sendri dan
mampu menyatukan dan memperjuangakan kepentingan bersama mereka.
Konflik antar kelas ini terdiri dari disebabkan oleh adanya perbedaan
kepentingan yang saling berlawanan. Pertama, adalah kontradiksi kepentingan
objektif antara golongan yang berpunya dan golongan tak berpunya. Kepentingan
golongan yang berpunya umumnya akan terwujud sedangkan golongan yang tidak
berpunya jauh lebih sukar untuk memenuhi kepentingannya. Hal ini disebut
“kontradiksi kelas”. Kedua kontradiksi kepentingan objektif itu kemudian
menimbulkan permusuhan, kecurigaan dan kebencian di kedua belah pihak. Tipe
hubungan ini disebut antagonisme kelas. Ketiga antagonisme kelas mungkin
terwujud di bidang ekonomi, sosial dan politik. Antagonisme yang telah
mengkristal dalam ketiga bidang kehidupan di atas mungkin diubah menjadi
tindakan kolektif anggota kelas yang ditunjukkan kepada angggota kelas yang
berlawanan (Sztompka, 2005:201).
Jika Pertentangan diantara kaum proletar dan borjuis semakin melebar.
Pertentangan tersebut memunculkan solidaritas dan akhirnya kesadaran kelas
kaum buruh. Oleh sebab itu kaum proletar menumbangkan kaum kapitalis melalui
55
sebuah revolusi. Zaman akan berganti dan melangkah lebih jauh pada zaman
komunisme modern. Sebelum sampai pada masa komunisme modern, dimana
neagra tidak dibutuhkan lagi karena pertentangan kelas telah dihilangkan, maka
harus melalui fase antar, yaitu negara dibawah kekuasaan diktatur proletariat
(Nasbi, 2004:105). Pada waktu itu alat-alat produksi akan menjadi milik
masyarakat – negara –. Perubahan dasar di bidang sosial dan ekonomi tidaklah
mungkin kecuali dengan peperangan kelas, kekerasan dan revolusi (Ebensteim,
2006:19). Secara garis besar teori Marxis bersumber dari sifat humanisme, yang
menganggap sistem kapitalisme tidak berlaku adil terhadap masyarakat, oleh
sebab itu Marx menginginkan adanya sebuah kondisi dimana masyarakat dapat
berdampingan tanpa adanya perbedaan kelas, karena hidup berkelompok. Karl
Marx berpandangan bahwa suatu pengurangan penindasan di dalam sistem yang
ada (reformasi) tidaklah mungkin. Baginya, penindasan hanya dapat dipatahkan
dengan sebuah revolusi.
Inti dari pemikiran Marx adalah bahwa kehidupan yang paling baik adalah
sistem komuinsme dimana masyarakat hidup tanpa adanya negara. Negara
menurut Marx adalah alat untuk menjamin kedudukan kelas atas, yang fungsinya
secara politik meredam usaha-usaha kelas bawah untuk membebaskan diri dari
penghisapan oleh kelas atas. Sedangkan “superstruktur ideologis” – istilah Marxis
bagi pandangan moral, filsfat, hukum, agama, estetika dan lain sebagainnya –
berfungsi untuk memberikan legitimasi pada hubungan kekuasaan itu (Suseno,
1992:266). Selain itu, Marx berpendapat bahwa negara merupakan ekspresi politik
dari struktur kelas yang melekat dalam produksi. Sementara Hegel (dan filsuf lain,
56
seperti Hobbes, Locke dan Rousseau) berpandangan bahwa negara adalah
representasi dari kolektifitas sosial yang berdiri diatas kepentingan tertentu kelas-
kelas dan menajmin bahwa persaingan antara individu-individu dan kelompok-
kelompok terpelihara secara teratur, ketika kepentingan seluruh kolektifitas osial
dilindungi dalam tindakan-tindakan yang dilakukan oleh negara (Carnoy,
1984:47). Menurut Marx bukan merupakan kesepakatan dari seluruh masyarakat.
Marx menyuguhkan formulasinya tentang masyarakat kapitalis sebagai suatu
masyarakat kelas yang didominasi oleh borjuis, karenanya negara merupakan
ekspresi politik dari kelas dominan (Patria & Arief, 1999:105). Oleh sebab itu
negara harus dihancurkan melalui revolusi kelas buruh.
Pasca meninggalnya Marx dan Engels muncul berbagai interpetasi
mengenai teori yang mereka pikirkan. Salah satunya adalah penafsiran Lenin.
Lenin adalah orang yang pertama kali melakukan praksis terhadap teori-teori
Marx. Ia adalah pembentukan sekaligus pencetus sebuah negara yang diakuinya
sebagi perwujudan dari teori Marx yang murni (Nasbi, 2004:106).
Lenin, memgambil kesimpulan dari situasi di Rusia di mana tugas-tugas
revolusioner tampak jelas, menerangkan perlunya kelompok kader yang terdiri
dari kaum revolusionaris profesional, beda dengan kelompok propagandis seperti
yang dimiliki oleh Sosial Demokrat dan serikat-serikat buruh. Tanpa kader-kader
yang digembleng pemikiran-pemikiran dan metode Marxisme, partai-partai buruh
tidak akan dapat mempersatukan diri saat menghadapi kekalahan, apalagi
mempersiapkan diri untuk pengambil-alihan kekuasaan (tersedia dalam
http://www.Marxist.com/indonesia/PeriodePertamaPartaiKom.html diakses pada
57
24/11/2008). Pemikiran Marxis Lenin dan Revolusi Bolsevik mempengaruhi
komunisme di Indonesia .
Pemikiran Marxisme menurut Lenin terdiri dari tiga sumber dan tiga
bagian Marxisme
Pertama Filsafat Marxisme jalah materialisme. Sepandjang sedjarah Eropa jang terbaru, dan terutama pada achir ahad kedelapanbelas di Perantjis, dimana terdjadi perdjuangan hidup-mati melawan tiap² matjam sampah zaman tengah, melawan feodalisme dalam badan² dan fikiran, terbukti bahwa materialisme adalah satu²nja filsafat jang- konsekwen, tjotjok dengan semua adjaran. Ilmu alam, bermusuhan terhadap tachajul, kemunafikan, dsb. Oleh karena itu, musuh² demokrasi mentjoba, dengan segenap tenaganja, untuk "menjangkal", untuk merusak dari dalam dan mentjemarkan materialisme, dan mempertahankan berbagai bentuk idealisme filsafat, jang kelandjutannja senantiasa, dengan satu atau lain tjara, mempertahahkan dan menjokong religi. Dua, Ekonomi poltik. Setelah Marx mengetahui bahwa sistim ekonomi adalah dasar tempat berdirinja politik sebagai susunan-atas, iapun mentjurahkan perhatiannja jang terbesar untuk mempeladjari sistim ekonomi ini. Tulisan Marx jang paling penting -- jaitu Kapital -- ditudjukan kepada studi tentang sistim ekonomi masjarakat modern, jaitu masjarakat kapitalis. Tiga Sosialisme Ilmu. sesudah feodalisme digulingkan, dan masjarakat kapitalis jang "merdeka" lahir dimuka bumi, diketahui bahwa kemerdekaan ini berarti suatu sistim penindasan dan penghisapan baru atas kaum pekerdja. Segera timbullah berbagai adjaran sosialis sebagai pentjerminan daripada penindasan ini dan sebagai protes terhadapnja. Tetapi sosialisme jang mula² adalah sasialisme utopi. Ia mengetjam masjarakat kapitalis, ia menghukum dan mengutuknja, memimpikan kehantjurannja, membikin gambaran jang fantastis tentang susunan jang lebih baik dan berusaha mejakinkan kaja tentang djahatnja penghisapan. Tetapi sosialisme utopi tidak bisa menundjukkan djalan keluar jang sebenarnja. Ia tak dapat menerangkan hakekat perbudakan upah dibawah kapitaiisme, ataupun menemukan hukum² perkembangannja, ataupun menemukan tenaga sosial jang sanggup mendjadi pentjipta masjarakat baru. (Lenin, 1913, teresedia dalam http://www.geocities.com/nurrachmi/Marxism/mdh.html diakses pada 24/11/2008). Lenin kemudian mempraktekan teori Marxisme diatas dalam revolusi
Rusia 1917 dan berhasil mendirikan Diktator Proletariat dengan nama Uni Soviet.
58
Namun tidak pernah mencapai keadaan komunisme, seperti dicita-citakan Marx.
Uni Soviet kemudian runtuh pada tahun 1991.
B. Sejarah Komunisme Di Indonesia
Perkembangan awal komunisme di Indonesia dibawa oleh Hans Sneevliet.
Pada bulan Mei 1914 di Semarang mendirikan Indische Sociaal Democratische
Vereeninging (I.S.D.V). ISDV kemudian berganti nama menjadi Partai
Komunisme Indonesia (PKI) pada tahun 1920. PKI muncul sebagai organisasi
dalam perjuangan kebangsaan dan kelas. Pada pertengahan tahun 1920-an
pimpinan PKI mengalami pergeseran ke politik ultra-kiri, menggiring partai ini
menemui kegagalan total pada tahun 1923-26. Dalam setiap masa
perkembangnnya PKI selalu merubah arah perjuangannya sesui dengan arah yang
ditentukan Komintern. Seperti terjadi pada masa setelah tahun 1935, dimana
terdapat perubahan yang radikal di tubuh PKI. Komintern memerintahkan kaum
komunisme untuk bekerja sama dengan kapitalis melawan fasis (Gie, 1999:22).
Pada masa pendudukan Jepang gerakan komunisme di Indonesia bergerak
secara ilegal dan dibawah tanah. Berbagai kelompok didirikan seperi Gerakan
Anti Fasis, Gerakan Indonesia Merdeka dan Gerakan Indonesia Baru (Edman,
2005:39). Pasca kemerdekaan kaum Marxis terbagi menjadi tida partai Partai
Sosialis, PKI legal dan Partai Buruh. Pada akhirnya mereka bersatu dalam Bentuk
Gerakan Sayap Kiri kemudian berubah menjadi FDR (Edman, 2005:49). Namun
persatuan tersebut hanya berjalan beberapa bulan saja, pada bulan September
FDR/PKI melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Indonesia, namun
kembali gagal. Pada tahun 1951 PKI bengkit kembali dan melakukan konsolidasi
59
sesama anggota partai. Pada masa 1951-1965 PKI berkembang pesat sebagai
partai besar dengan jumlah anggota sekitar 1.500.000 pada April 1964 (Sulistyo,
200:31). Namun PKI kembali terperosok kedalam pemberontakan pada tahun
1965 dan kembali gagal. Setelah tahun 1965 PKI dilarang oleh pemerintahan orde
baru dan paham komunisme dilarang dipelajari. Secara garis besar perkembangan
PKI dapat dibagi kedalam beberapa gerenasi, seperti ditulis Gut J. Pauker dalam
Peter Edman:
Generasi atau angkatan-angkatan yang ada dalam sejarah PKI dibagi-bagi sebagai berikut: Angkatan Pendiri adalah yang bekerja antara tahun 1920-1926; Angkatan 1926 adalah yang bekerja antara tahun 1926-1935; Angkatan anti Fasis adalah yang bekerja antara tahun 1935-1942; Angkatan Anti Jepang adalah yang bekerja antara atahun 1942-1945; Angakatan 1945 adalah yang bekerja antara tahun 1945-1948; Angkatan Jalan Baru adalah yang bekerja antara tahun 1948-1951; angkatan 1951 adalah yang bekrja antara tahun 1951-1954; Angkatan kongres nasional Kelima adalah yang bekerja antara tahun 1954-1959;Angkatan Kongres nasional keenam adalah yang bekerja antara tahun 1959-1962 (Pauker dikutip dalam Edman, 2005:20).
PKI mengalami perkembangan pesat pada tahun 1920-an, hal ini dterbukti
dari semakin banyaknya orang yang menghadiri kongres seperti ditulis Aidit
dalam Edman:
Pada sebuah kongres yang diselenggarakan di Kota Gede Yogyakarta pada Desember 1924, tercatat bahwa PKI memiliki 38 cabang dengan keanggotan sebanyak 1140 orang. Sedangkan Sarekat Rakyat memiliki 46 cabang dan kenggotaan sebanyak 31.000 orang . Jumlah ini lebih besar bila dibandingkan dengan jumlah keanggotaan dalam Partai Komunisme Cina (PKC) (Aidit dikutip dalam Edman, 2005:19)
Gerakan komunisme di Indonesia dipengaruhi oleh pentingnya kaum
petani, meskipun kaum tani pada masa itu masih belum memiliki kesadaran akan
pentingnya pergerakan. Tidak mungkin suatu gerakan dapat berharap dirinya
60
mempunyai pengaruh di tingkat nasional tanpa ia mampu menarik kaum petani.
Sebagian besar kaum petani tetap mengikuti adat dan agama, kelihatannya pasif
kalau ditindas, pemandangannya terbatas oleh kepentingan dan masalah
kehidupan desa, tidak dapat diharapkan menunjang program sosialis dengan
pemikiran yang termaju. Kaum petani hanya bisa memihak segi program sosialis
yang merefleksikan kepentingan kaum tani sendiri, dan memihak perjuangan
militan yang membantu tuntutan itu. Namun dukungan seperti itu juga biasanya
sporadis, ekspolsif, dan tidak lengkap, selaras dengan karakter kaum tani sendiri -
yaitu suatu kelas yang heterogen, produsen kecil yang terisolir, dan yang menurut
kepentingan sendiri. Oleh karena itu kaum petani mungkin memihak kaum buruh,
tetapi juga mungkin memihak demagogi kaum nasionalis, mistik agama atau
aliran lain yang menawarkan pemecahan segera bagi persoalan kongkrit yang
mereka hadapi. Namun peranan petani ini terabaikan oleh sebagian peneliti
pergerakan komunisme yang lebih terfokus pada gerakan buruh. Hal ini sesuai
pandangan Herbert Feith bahwa kita akan mengabaikan sekelompok masyarakat
dengan siapa kita telah menajalin hubungan yang demikian bermakna dimasa lalu
dan dari siapa kekuatan politik nyata kota selalu berasal, yakni masyarakat petani
Indonesia (Edman, 2005:16)
Perkembangan awal komunisme di Indonesia dibawa oleh Hans Sneevliet
(1883-1942). Sneevliet pada merupakan gerakan sosial demokrat Belanda. pada
mulanya ia meruapakan penganut mistik katolik namun kemudian beralih ke ide-
ide sosial demikratis yang revolusioner (Ricklefs,2005:260). Seevliet dengan
teman-temannya bangsa Belanda yang sepaham pada bulan Mei 1914 di
61
Semarang mendirikan Indische Sociaal Democratische Vereeninging (I.S.D.V)
(Pringgodigdo, 1949:14). Pendirian ISDV menandai untuk pertama kalinya
muncul sebuah organisasi politik yang didirikan di Wilayah jajahan yang
berdasarkan pinisip-prinsip Marxis (Edman, 2005:19). Pada tanggal 23 Mei 1920
ISDV berubah nama menjadi Partai Komunis Hindia. Bulan Desember berganti
nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) (Pusponegoro & Notosusanto,
1984: 202). Secara garis besar perkembangan PKI sejak awal berdirinya selalu
dilingkupi oleh kontroversi. Namun yang menarik adalah tipe dari komunisme di
Indonesia, menurut Peter Edman komunisme di Indonesia memiliki varian
tersendiri, berbeda dengan konsep aslinya yang berasal dari daratan Eropa
(Edman, 2005:13). Pada masa awal berdirinya PKI sangat kental dengan pengaruh
Islam hingga muncul istilah islam komunisme yang dibawa oleh Haji Muhammad
Misbach (Peinggodigdo, 1994:31)
Sneevliet di Indonesia berusaha untuk meletakkan pondasi bagi PKI, ada
tiga segi: membentuk embrio kaum sosialis (dimulai dari para pekerja asing
berkebangsaan Belanda); membangun gerakan serikat buruh, dan melakukan
intervensi ke dalam gerakan nasionalis. Sneevliet juga memegang peran penting
dalam Serikat Staf Kereta Api dan Trem (VSTP). Sneevliet mengarahkan VSTP
kepada bagian besar buruh yang pribumi, dan pada saat bersamaan berusaha
menguatkan struktur organisasinya dengan menegaskan pentingnya pengurusan
cabang cabang yang baik, juga konperensi tahunan, penarikan sumbangan
anggota. Dalam jangka waktu singkat anggota serikat ini menjadi dua kali lipat,
dan sebagian besar pribumi. Kesuksesan VSTP meraih hormat bagi gerakan
62
sosialis, dan memungkinkan Sneevliet merekrut para aktivis buruh ke dalam
ISDV (http://www.Marxist.com/indonesia/PeriodePertamaPartaiKom.html.
Bandung 24/11/2008). Yang terpenting di antaranya adalah Semaun, seorang
pemuda buruh perusahaan kereta api yang pada tahun 1916 (saat berusia 17
tahun), menjadi kepala Serikat Islam di Semarang, dan di kemudian hari menjadi
tokoh penting dalam PKI.
Sejak awal semangat revolusioner mengendalikan ISDV, sikapnya militan
terhadap isu-isu lokal (misalnya, kampanye mendukung seorang jurnalis
Indonesia yang diadili karena melanggar hukum pengendalian pers, dan juga
mengadakan rapat umum menentang persiapan perang yang dilakukan oleh
pemerintah Belanda) dan selain itu ISDV juga melibatkan diri dalam pergerakan
nasional. Pada tahap itu orang Eropa anggota ISDV Belanda boleh masuk
Insulinde sebagai anggota individual. Pimpinan Insulinde dan Sarekat Islam
bersifat kelas menengah, tetapi senang dan bersyukur menerima bantuan dari
ISDV, dan hanya kaum sosialis siap membantu pada saat itu (tersedia dalam
http://www.Marxist.com/indonesia/PeriodePertamaPartaiKom.html Bandung 24 /
11 /2008).
Dalam perkembangannya dalam ISDV sendiri terjadi perpecahan, orang-
orang yang tidak setuju dengan pandangan ISDV yang radikal mendirikan Partai
Sosial Demokrat Indonesia (ISDP) pada tahun 1916. ISDP langsung dekat dengan
pemimpin kelas menengah nasionalis. ISDP berpandangan bahwa Indoensia harus
menggunakan jalan evolusioner artinya dalam mencapai kemerdekaannya
Indonesia bertahap selangkah demi selangkah (Pringgodigdo, 1994:16).
63
Pada tahun 1914 seorang pemuda Jawa buruh kereta api bernama Semaun
menjadi anggota ISDV. Semaun lahir pada 1899 di Mojokerto dan pada menajdi
ketua pertama PKI. Semaun merupakan bumiputra pertama yang menjadi
propagandis sarekat buruh (Shiraishi, 2005:134). Semaun adalah jenis pemimpin
pergerakan yang baru dalam pergerakan nasional. Pertama Semaun memulai
karirnya sebagai seorang propagandis Marxisme sekaligus cara mengorganissir
serikat dan memimpin pemogokan dari bimbingan Sneevliet, seorang aktivis
partai dan propagandis yang profesional. Kedua, ia bukan merupakan keturunan
priyayi, seperti tokoh pergerakan lainnya (Tjiptomangunkusumo atau
Tjokroaminoto).
Dalam usahanya memperoleh dukungan dari rakyat ISDV melakukan
infiltrasi organisasi lain. Anggota-anggota non-pribumi ISDV memasuki
organisasi serdadu angkatan Laut dan pegawai negeri Belanda. Sedangkan
anggota pribumi seperti Semaun dan Darsono memasuki Sarekat Islam. Hal ini
dilakukan karena ISDV tidak berakar pada masyarakat Indonesia (Pringgodigdo,
1994:28). Dalam kongres Sarekat Islam tahun 1916, Semaun menentang sikap
pengurus Sarekat Islam yang lembek dalam perjuangan.
Pada tahun 1917 terjadi perubahan pengurusan dalam tubuh Sarekat Islam.
Semaun menjadi pemimpin S.I menggantikan Moehamad Joesoef. Hal ini
memudahkan komunisme untuk bergerak lebih leluas untuk menanamkan
pengaruhnya pada tubuh Sarekat Islam (Pringgodigdo, 1994:28). Susunan
pengurus Sarekat Islam Cabang Semarang secara lengkap, seperti di tulis Gie
Ketua : Semaun Wakil Ketua : Noorsalam
64
Sekretaris : Kadarisman Komisaris : Soepardi Aloei Jahja Adjoefri H. Boesro
Amathadi Moertodidjojo Kasrin (Gie, 1999:6)
Perubahan ini menandakan keberhasilan komunisme dalam mempengaruhi
tokoh-tokoh Sarekat Islam. Perubahan pengurusan ini adalah wujud pertama dari
perubahan gerakan Sarekat Islam Semarang. Dari gerakan kaum menengah
menjadi gerakan kaum petani dan buruh. perubahan ini dipengaruhi oleh keadaan
masyarakat Indonesia dan Semarang menjelang berakhirnya perang dunia I (Gie,
1999:7). Perubahan pola gerakan ini merupakan tonggak awal dari kelahiran
gerakan Marxis di Indonesia sekaligus perpecahan di tubuh Sareakat Islam.
Semaun pada tanggal 19 November 1917 melakukan perubahan redaksi
pada harian Sinar Hindia (kemudian berganti nama menjadi Sinar Djawa). Dalam
harian harian Hindia merupakan corong bagi pergerakan Sarekat Islam Semarang,
juga merupakan alat propaganda yang efektif. Sinar Djawa menjadi alat yang
efektif dalam menyebarluaskan pemikiran Semaun. Semaun menulis pendapatnya
tentang pergerakan Indonesia harus secara terang-terangan dan radikal. Menurut
Shiraishi ada tiga unsur di dalam pemikiran Semaun. Pertama, pembicaraannya
tentang orang bumi putera dan pemerintah memperlihatkan bahwa ia membangun
gagasannya dengan landasan yang diberikan oleh orang-orang IP bahkan smaun
lebih radikal dari pada IP. Semaun menyerang rust en orde kolonial. Menurut
semaun dalam pergerakan, bumiputra harus memiliki kekuatan untuk melawan
pihak kolonial (Shiraishi, 2005:139).
65
Semaun sendiri menentang berbagai kebijakan Sarekat Islam dan
pergerakan pada masa itu. Sarekat Islam Semarang menentang Sarekat Islam
untuk ikut ambil bagian danam Indie Weebar, menentang gagasan untuk duduk di
Volkstraad dan dengan sengit menentang menyerang kepemimpinan Central
Sarekat Islam (CSI) (Ricklefs, 2005:262). Hal ini dikemudian hari menimbulkan
perpecahan dalam tubuh S.I.
Pada masa resesi tahun 1917, Semaun dan S.I cabang Semarang semakin
meraih simpati rakyat. Dimana para keadaan buruh semakin terpuruk dengan
adanya penurunan upah. Semaun berhasil memimpin serangkaian pemogokan.
Pemogokan pertama dilakukan oleh kaum pabrik perabotan, yang mempekerjakan
300 orang. Keberhasilan pemogokan ini memberi contoh bagaimana
mengorganisir sarekat buruh dan pemogokan. Tidak lama kemudian menyusul
dua pemogokan lainnya oleh buruh cetak yang dipimpin oleh SI Semarang.
Setelah dua pemogokan itu berhasil, kemudian disusul oleh pemogokan yang
diadakan oleh buruh perusahaan mesin jahit Singer, buruh bengkel mobil, serta
buruh transportasi kapal uap dan perahu. Pemogokan-demi pemogokan menyusul
Batavia, Surabaya dan Bandung dan buruh yang melakukannya menjadikan SI
Semarang sebagai pemimpin (Semaun dikutip dalam Shiraishi, 2005:140).
Pada tahun 1917 terjadi revolusi Bolsheviks di Rusia. Revolusi ini berhasil
mengulingkan kekuasaan Tsar Rusia dan menggantinya dengan dikator
proletariat. Ini mempengaruhi pergerakan kaum komunisme di Indonesia. Pada
tahun 1920 ISDV yang bergerak melalui Sarekat Islam Semarang berganti nama
66
Menjadi Partai Komunisme Hindia dan pada tahun 1924 berganti nama menjadi
Partai Komunisme Indonesia (Ricklefs, 2005:265).
PKI kemudian mempropagandakan diri dengan ciri khas Indonesia.
Propaganda PKI kini menunjukkan bahwa partai ini telah menjadi benar-benar
bersifat Indonesia. PKI kurang menekankan dokrin-dokrin teoritis Marx dan
Lenin, melainkan lebih banyak berbicara dengan bahasa yang menarik bagi rakyat
Indonesia, khususnya kaum abangan (kaum muslim nominal) Jawa. Masyarkat
tanpa kelas dikemukakan sebagai penjelmaan kembali dari neagra Majapahit yang
diromantiskan, yang dipandang sebagai zaman persamaan derajat yang mulia
sebelum datangnya bangsa Belanda dan secara berarti, sebelum Islam. Ramalan-
ramalan yang bersifat mesianistis mengenai ratu Adil juga dimanfaatkan sebagai
daya tarik PKI (Ricklefs, 2005:265).
Sebagai akibat dari adanya perbedaan-perbedan mendasar antara SI dan
PKI maka muncul pertikaian diantara keduanya. PKI menilai bahwa SI di bentuk
untuk kepentingan kaum modal bangsa Indonesia dan bahwa SI memboroskan
uang yang diterimanya dari rakyat. Darsono menjelaskan, bahwa kaum
komunisme tidak akan melakukan pertumpahan darah tetapi akan bekerja dengan
usaha-usaha yang jujur (Pringgodigdo, 1997:31). Selain itu pada bulan November
1920 surat kabar PKI yang berbahsa Belanda, Het vrije wood (kata yang bebas),
menerbitkan tesis-tesis Lenin yang mengecam Pan-Islamisme dan Pan-Asianisme.
Akibatnya Sarekat Islam yang dipengaruhi oleh Agus Salim mennuduh bahwa
PKI anti Islam (Ricklefs, 2005:226). Dalam hal kapitalisme, Semaun dan kawan-
kawannya juga berbeda pendapat mengenai ”kapitalisme bumiputra” yang tidak
67
jahat. Jadi tidak usah ditentang. Sidang CSI ke-2 akhirnya mengambil jalan
tengah, yaitu menantang kapitalisme baik. Isltilah kapitalisme jahat mengandung
pengertian adanya kapitalisme baik (Gie, 1999:28).
Upaya-upaya yang dilakukan oleh beberapa orang pemimpin untuk
menyelesaikan pertikain-pertikaian tersebut. Disiplin partai disetujui dalam
kongres SI pada bulan 1921. Dengan adanya disiplin partai tersebut maka seorang
anggota SI tidak mungkin lagi menjadi anggota patrai lain (walaupun ada
beberapa pengecualian, misalnya Muhammadiyah). Hal ini mengakibatkan
anggota-anggota PKI dikeluarkan dari SI.
Pada masa pergerakan pihak kolonial mengeluarkan sebuah aturan untuk
mengekang tokoh-tokoh pergerakan, aturan tersebut menyebutkan bahwa barang
siapa dengan sengaja perkataan atau dengan tanda-tanda atau dengan
pertunjukkan atau dengan cara-cara lainnya bertujuan untuk menimbulkan atau
menunjukkan perasaaan permusuhan benci atau mencela diantara berbagai
golongan rakyat Belanda atau penduduk Hindia Belanda akan dihukum: 63b)
dengan hukuman penjara 6 bulan sampai 6 tahun; 66b) dengan hukuman kerja
paksa di luar penjara (ranatai) selama 5 tahun. Kemudian pasal ini pada tahun
1918 dicabut dan diganti dengan pasal 154 dan pasl 156 yang lebih berat isinya.
Pasal 154 berbunyi barang saiapa mengeluarkan pernyataan di tempat umum yang
dapat menimbulkan perasaan permusuhan, benci kepada pemerintah di Netherland
atau Hindia Belanda dihukum penjara selama-selamanya 7 tahun atau denda
sebanyak-banyaknya 300 rupiah. Pasal 156 berbunyi barang siapa mengeluarkan
pernyataan di tempat umum yang dapat menimbulkan perasaan permusuhan,
68
kebencian kepada beberapa golongan penduduk Hindia Belanda, dihukum penjara
selama-lamanya 4 tahun atau denda sebanyak-banyaknya 300 rupiah (Benda,
dikutip dalam Gie, 1999:23).
Berdasarkan aturan tersebut maka Semaun dan Tjokroaminoto dihukum.
Semaun meninggalkan Indonesia menuju Uni Soviet sedangkan Tjokroaminoto di
penjara (Ricklefs, 2005:226). Ditengah kekosongan pemimpin di PKI muncul Tan
Malaka. Tan Malaka berusaha untuk memulihkan kerjasama antara PKI dan SI.
Tan Malaka menekankan bahwa persatuan antara kaum muslimin dan komunisme
adalah syarat penting untuk melakukan revolusi sosial. Ia memberikan contoh
persatuan antara Bolshevisks dan umat Islam di Kaukasus, Persia dan Bukhara.
Menurut Tan Malaka hal tersebut membuktikan kesadaran umat islam di luar
Hindia Belanda untuk bersatu dengan komunisme dan melakukan perlawanan
pada musuh yang nayta (Fa’al, 2005:33). Menanggapi hal tersebut, Abdoel Moeis
mengatakan jika memang PKI dan SI bersatu maka propaganda komunisme harus
diganti dengan propaganda SI. Tanggapan tersebut diterima oleh Tan Malaka.
Namun pada sebuah pemogokan sarekat buruh pegadaian yang dilakukan Abdoel
Moeis, Tan Malaka, sebagai akibatnya Tan Malaka diasingkan (Ricklefs,
2005:266)
Awal tahun 1920-an merupakan periode kekalahan yang dialami gerakan
kaum buruh, baik di Indonesia maupun di tingkat internasional. Pemogokan besar
dikalahkan, dengan puncaknya kalahnya pemogokan buruh kereta api pada tahun
1923 - di mana VSTP sebagai pejuang garis depan gerakan serikat buruh
mengalami kehancuran. Periode liberalisme etis jelas telah berakhir. Dalam
69
periode ini semua pemimpin PKI berbangsa Belanda diusir, diikuti oleh
pengusiran para pemimpin pribumi yang penting (khususnya Semaun dan Tan
Malaka). Selepas tidak adanya Semaun dan Tan Malaka serta Darsono PKI
kehilangan arah partai.
Pemimpin pemimpin yang diasingkan memiliki pemahaman yang lebih
jernih atas situasi yang berlangsung, tetapi tanpa pengaruh efektif. Semaun, saat
itu berada di Belanda, terperangkap dalam persengketaan dan manuver-manuver
organisasional melawan Sneevliet dan bekas pemimpin PKI lain yang
berkebangsaan Belanda, membangkitkan tuduhan terhadap dominasi bangsa
Belanda dan mengedepankan masalah nasional untuk menentang usaha-usaha
mereka melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan PKI di Belanda. Semaun
memperingatkan adanya bahaya makar di Indonesia, tetapi pada saat hal itu terjadi
ia malah menyambutnya sebagai satu pemberontakan besar yang akan meluas.
Pendapat Tan Malaka di Cina jauh lebih terang. Ia tidak cuma secara konsisten
memperingatkan bahayanya aliran ultra kiri, namun juga berjuang secara aktif
melawannya, dan sebagian pimpinan menyetujui pendapatnya, dan mulai
membentuk blok melawan fraksi pro pemberontakan. Selama tahun 1926 badan
eksekutif PKI mengikuti aliran Tan Malaka dan Komintern, Situasi Perdebatan
utama di Konferensi Kedua Komintern tentang revolusi kolonial gagal
menerangkan situasi bagi PKI, terutama karena terpisah dari intenasional itu.
Tentang orientasi kepada gerakan nasionalis, banyak yang merasa bahwa
pendapat Lenin tidak bisa diterapkan di Indonesia akibat lemahnya borjuasi
nasional, dan tidak usah diperhatikan. Di sisi lain, PKI tidak puas dengan sikap
70
Komintern terhadap gerakan Pan-Islam, yang terhadapnya SI berasosiasi. Posisi
Komintern bersifat kesahabatan terhadap buruh dan petani yang menganut Islam,
tetapi melawan gerakan Pan-Islam karena dianggap sebagai instrumen
imperialisme Turki, pemilik tanah luas dan ulama di negara Islam. Situasi
terlanjur sudah di luar kontrol Pada bulan Desember 1925 para pemimpin PKI
melakukan pertemuan di Prambanan dan memutuskan untuk melakukan
pemberontakan (Mcvey dikutip dalam Rambe, 2003:33).
Pemberontakan meletus pada tanggal 12 November 1926 di Banten,
Batavia dan Priangan. Pada tanggal 1 januari 1927 meletus pemberontakan di
Sumatera setelah pemberontakan di Jawa berhasil di tumpas. Pemberontakan
berhasil ditumpas oleh pemerintah Belanda, sekitar 1300 orang tertangkap;
beberapa orang ditembak. Sekitar 4.500 orang dijebloskan ke dalam penjara, dan
1308 orang dikirim ke kamp penjara Boven Digul, Papua (Ricklefs, 2005:272).
Sedangkan para pemimpinnya seperti Mosso dan Alimin melarikan diri ke Uni
Soviet.
Pergerakan PKI pada tahun 1926 sangat berbeda ketika Semaun dan
Darsono masih ada, Darsono menekankan bahwa revolusi yang diinginkan akan
timbul sebagai suatu buah yang telah masak daripada perjalanan tumbuh
masyarakat; revolusi itu pada waktunya tidaklah dapat dihindarkan akan tetapi
juga tidak bisa dibikin begitu saja. Kaum komunis haruslah terus-menerus
memperkuat diri supaya lawan menyerah sebab ketakutan dan supaya kapitalisme
hancur (Pringgodigdo, 1994:33).
71
Pemberontakan 1926 dilakukan tanpa persiapan yang matang.
Pemberontakan 1926 dipersiapkan sekitar satu minggu di atas perintah pemimpin
pusat PKI. Pemberontakan itu mungkin akan lebih hebat, setiap cabang organisasi
telah mempersiapkan dengan baik serta didukung oleh komitmen dan pengetahuan
tentang pemberontakan (revolusi-pen) (Pringgodigdo, 1994:37). Hal senada
diutarakan oleh Tan Malaka bahwa pemberontakan atau revolusi adalah hal yang
penting yang harus dipersiapkan dengan benar mulai dari massa yang ahrus
disadarkan serta menggorganisir sendiri proletar dan tani, inilah yang harusnya
dilakukan oleh PKI (Tan Malaka dikutip dalam Rambe, 2003:33). Oleh karena
tidak mendukung terhadap pemberontakan 1926 Tan Malaka dianggap sebagai
penghianat PKI dan dianggap sebagai musuh PKI. Dengan berakhirnya
pemberontakan 1926 maka berakhir pula perjalan PKI pada masa awalnya.
Perkembangan selanjutnya, PKI menghilang pasca pemberontakan 1926.
Anggota yang berhasil menyelamatkan diri dari aksi refresif pemerintah Belanda
berlindung dibawah sebuah organisasi yang berbasiskan di Belanda yang
beranggotakan para mahasiswa Indonesia, Perhimpunan Indonesia, termasuk Tan
Malaka, Semaun. Pada tahun 1929 sarekat-sarekat buruh yang beraliran kiri yang
masih tersisa kembali dihancurkan.
Pada bulan Juli 1932, PKI mengeluarkan program 18 pasal yang tiga
diantaranya menuntut kemerdekaan bagi Indonesia. Pasal tersebut adalah pasal 1,
14, dan 17. Isi pasal-pasal tersebut adalah 1) kemerdekaan penuh Indonesia.
Indonesia segera lepas dari Netherland. Untuk pemerintahan buruh dan tani. 14)
Tanah untuk kaum tani dan penyitaan terhadap tanah kaum imprealis, tuan tanah
72
feodal serta lintah darat. 17) Penghapusan segera utang-utang sewa dan mindring
kaum tani (Gie, 1997:23).
Sejak saat itu hingga kepulangan Musso dari Moskow pada tahun 1935,
aktivitas kaum komunisme Indonesia bersifat kecil-kecilan saja (Edman,
2005:33). Musso secara rahasia masuk ke Indonesia dan mendirikan PKI ilegal,
atas inisiatif Musso kaum komunisme terhimpun kembali ke dalam organisasi
rakyat yang legal dengan nama Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Organisasi
ini didirikan dibawah kepemimpinan Amir Ajarifudin dengan bantuan beberapa
dari anggotanya adalah mereka yang pernah menjadi PKI Ilegal tahun 1935
(Andersson, dikutip dalam Edman, 2005:37). Tujuan pokok Gerindo yaitu
melawan bahaya fasis Jepang yang mengancam duni dan mengancam rakyat
Indonesia. Berdirinya Gerindo telah memberikan kekuatan baru kepada gerakan
kemerdekaan nasional. Dalam bulan Mei 1939 atas inisiatif Gerindo dan beebrapa
partai demokratis lainnya dibentuk Gapi (Aidit, 1953:14). Namun Gerindo
berumur singkat dan segera bubarkan oleh pemerintah.
Setelah tahun 1935, kaum komunisme tidak lagi menjalankan perjuangan
kelas serta tidak lagi menganjurkan revolusi sosial. Hal ini dikarena situasi dan
kepentingan Uni Soviet mengharuskan kaum komunisme bekerja sama dengan
golongan-golongan yang merupakan musuh komunisme seperti Islam dan
kapitalis untuk melawan fasisme. Perubahan drastis ini dengan sendirinya
memerlukan penjelasan bagi kader untuk dapat memahami kebijakan perputaran
politik Komintern. Keputusan ini sendiri berlaku bagi kaum komunisme di
Indonesia. Mahasiswa-mahasiswa komunisme Indonesia di Negeri Belanda tidak
73
lagi menuntut kemerdekaan sekarang juga, tetapi mengumandangkan slogan
Indonesia dan Netherland bekerja sama mempertahankan demokrasi terhadap
fasisme (Gie, 1997:22).
Memasuki jaman Jepang, gerakan kaum komunisme bergerak secara ilegal
.hanya terdiri dari 3 kelompok (cluster) di Jakarta dan Bandung. Kelompok
tersebut diantaranya: kelompok Prapatan 10, Fakultas Kedokteran yang cenderung
elitis dan kebarat-baratan, tempat Sutan Sjahrir memulai karir politiknya.
Kemudian Kelompok Menteng 31, Asrama Angkatan Baru Indonesia (AABI)
yang didirikan dibawah pengawasan Jepang, anggotanya diantaranya Cherul Saleh
dan Sukarni serta Aidit, Lukman dan Sjamsuddin Tjan. Berikutnya kelompok
Kaigun yang beranggotakan para politisi yang dekat dengan Laksamana Maeda.
Namun kelompok-kelompok asrama tersebut pada dasarnya tidak bermaksud
untuk memerangi kekuasaan impralis Jepang, melainkan hanya membuat agar
jepang memenuhi janji kemerdekaan Indonesia. (Anderson dikutip dalam
Edman,2005:38).
Selain itu organisasi gerakan bawah tanah lainnya dalah Djojobojo
dipimpin oleh Muhamad Jusuf yang merupakan anggota PKI ilegal. Selain itu
Gerakan Anti Fasis (Geraf) yang dipimpin oleh Widarta dan Gerakan Indonesia
Baru (GIB) yang dipimpin oleh Wikana. Gerakan-gerakan yang ada tidak
memberikan sebuah gerakan yang signifikan dalam perjuangan kaum komunisme.
Setiap gerakan dan organisasi bergerak masing-masing tidak ada saling
koordinasi. Namun gerakan-gerakan dan organisasi ini legal ini memeberikan
sumbangsih terhadap perkembangan PKI, seperti ditulis Lucas
74
Tak ada yang perlu diragukan dari sejumlah kecil kasus yang dapat diketahui (dan terdapat banyak aksus yang tak dapat diketahui) bahwa pengalaman menajdi seorang kader dalam gerakan bawah tanah PKI selama pendudukan Jepang nantinya memberikan sumbangsih bagi perkembangan pergerakan PKI maupun serikat-serikat dagang. Masapendudukan Jepang tersebut adalah merupakan permulaan daripada sebuah babakan dari pada babakan komitmen di bawah tanah ini, sebuah hal penting yang sangat bersejarah yang mungkin tak pernah kita ketahui (Lucas dikutip dalam Edman, 2005:43)
Pada penghujung periode pendudukan Jepang, PKI belum terlihat mulai
mewujudkan dirinya sebagai sebuah organisasi massa. Meskipun semangat anti
Jepang dan anti Belanda di kalangan rakyat sedemikian menggelegak, meski pun
presentase politik partai sangatlah tiggi sebagai akibat sikap konsistennya pada
kebajikan anti fasis, meskipun situasi baik di dalam maupun di luar negeri
mendukung bagi sebuah revolusi (Edman, 2005:44).
Setelah pendudukan Jepang selesai dan Indonesia memerdekaan diri
dengan dibacakannya proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945. Revolusi
merupakan sebuah hasil dari usaha-usaha yang dilakukan oleh berbagai elemen
bangsa, termasuk komunisme dalam mencapai kemerdekaan. Untuk pertama
kalinya di dalam kehidupan masyarakat Indonesia segala sesuatu yang serba
paksaan yang berasal dari kekuasaan asing hilang secara tiba-tiba. Tidaklah
mengherankan apabila yang muncul bukanlah sebuah bangsa yang utuh namun
pertarungan antara individu-individu dan kekuatan-kekuatan sosial yang
bertentangan (Ricklefs, 2005:318). Dalam keadaan seperti ini PKI muncul
kembali sebagai kekuatan baru. Dimana PKI menempatkan kader-kadernya dalam
pemerintahan, seperti Sutan Sjahrir dan Amir Sjarifudin.
75
Pada tahun-tahun pertama revolusi, Indonesia belum sepenuhnya terlepas
dari imprealisme barat. Pihak Belanda berusaha untuk kembali berkuasa di
Indonesia. Pasca proklamasi Indonesia harus kembali berjuang mempertahankan
kedaulatan bangsa dengan berbagai cara. Cara yang diambil oleh pihak
pemerintah adalah dengan perundingan, sedangkan rakyat dengan perjuangn
bersenjata. Kedua perjuangan ini saling mengisi dalam perjuangan bangsa. Pada
masa perundingan-perundiangan tersebut, pertama-tama berhasil dicapai
persetujuan Linggarjati kemudian persetujuan Renville dan akhirnya menuju
pengakuan secara umum dan mendapat pengakuan Belanda atas kedaulatan
bangsa Indonesia (Edman, 2005:45).
Dalam tahun-tahun tersebut secara mencolok PKI diasosiasikan dengan
tipe perjuangan bersenjata diatas dengan sejumlah alasan, tak kurang diantaranya
adalah suatu sikap kurang mendapatkan dukungan bahwa suatu perjuangan
kemerdekaan mau menerima mereka yang berpandangan barat jika perjuangan
tersebut diaosiasikan dengan sikap komunisme. Meskipun demikian, PKI tetap
saja dapat berperan serta di dalam revolusi sebagai sebuah kekuatan yang bersatu
melawan imprealisme asing. Hal ini terbukti dari naiknya Sutan Sjahrir sebagai
perdana menteri yang pertama dan Amir Sjarifudin menjadi yang kedua.
Keduanya berperan dalam perundingan Linggarjati dan Renville.
Pada masa revolusi Indonesia, terdapat beberapa golongan yang beraliran
Marxis. Mereka dapat digolongkan kedalam tiga kelompok yang berbeda-beda:
Pertama, Mereka yang baru saja pulang dari Belanda, memiliki pengetahuan
tantang Marxis yang layak namun memiliki pengalaman yang sedikit tenatang
76
kondisi masyarakat Indonesia. Kedua, golongan Boven Digul, merupakan anggota
PKI yang diasingakan oleh Belanda pasca pemberontakan 1926. Golongan ini
lebih banyak hidup di Australia selama perang. Kelompok ini memiliki
pengetahuan teoritik yang cukup baik namun terkadang terlalu jauh. Ketiga,
adalah kader produk lokal yang pendidikannya sangatlah terbatas dan karenanya
pengtahuan tentang Marxispun kurang. Kompleksitas keadaan lebih jauh lagi
dengan adanya tiga buah partai yang beraliran Marxis. Pertama, Partai Sosialis –
dimana Sjahrir dan Amir Sjarifudin menjadi anggotanya–. Umumnya mereka
bersifat kebarat-baratan, hal ini dikarenakan didalamnya terdapat anggota Marxis
Internasional dari negeri Belanda yang menjadi anggotanya. Partai ini memiliki
komitmen untuk menempuh jalan diplomasi dalam memperjuangkan
kemerdekaan. Kedua, PKI legal yang dipimpin oleh Mr. Jusuf dan juga Aidit.
Ketika pemerintah Republik Indonesia menganjurkan pendirian partai-partai Mr.
Jusuf menggunakan kesempatan Ini untuk membangun PKI secara legal. Pada 21
Oktober PKI secara resmi didirikan kembali dengan Mr. Jusuf sebagai
pemimpinnya (Gie, 1997:58). Selanjutnya adalah partai buruh, partai ini
didominasi oleh alumni pengasingan Digul yang baru pulang dari Australia dan
mereka yang baru saja pulang dari negeri Belanda (Edman, 2005:50).
Partai dan golongan yang beraliran Marxis berkoalisi dalam gerakan Sayap
Kiri. Pasca pengunduran diri Amir Sjarifudin sebagai perdana Menteri, gerakan
sayap kiri berubah menjadi Front Demokrasi Rakyat (FDR). Program FDR lebih
menekankan pada kepentingan buruh dan tani. Ini terlihat dari minimum program
yang dikeluarkan oleh FDR yaitu meminta agar penghasilan petani dan buruh
77
diperbaiki dan rakyat diikutsertakan dalam usaha-usaha perbaikan. Kepada
pengungsi, korban perang dan tentara hijrah supaya diberikan perawatan lebih
baik. Selain itu ide-ide FDR adalah memperjuangkan pertahanan rakyat dengan
mempersenjatai rakyat. Juga diadakan pembersihan-pembersihan agar terbina
negara merdeka yang bebas dari pengaruh Blok Barat (Gie, 1997:185). Pada masa
Kabinet Hatta, FDR dianggap sebagai anarki yang menggunakan kedaulatan
rakyat sebagi pembenaran atas aksi-aksi yang mereka lakukan.
Sejak kebinet Amir Sjarifudin jatuh, pihak FDR selalu berusaha untuk
merebut kembali kekuasaan, karena berdasarkan dokrin Lenin bahwa kekuasaan
negara adalah alat untuk mempermudah jalan menuju komunisme modern
berdasarkan teori dasar Marxis. FDR pada akhir bulan Februari 1948 merumuskan
rencana-rencana sebagai berikut, 1) kabinet preseidensial harus dibubarkan dan
ganti selekas-lekasnya menjadi kabinet parlementer. 2) Kebinet sekarang bukan
kabinet ahli, melainkan kabinet Masyumi yang ditutup-tutupi oleh wakil Presiden
Hatta. 3) Kabinet pasti tidak mampu melaksanakan empat programnya seperti
juga ia tidak memenuhi syarat. 4) FDR tidak mengizinkan Amir Sjarifudin
menjadi ketua delegasi dalam perundingan. Amir harus masuk kembali kedalam
kabinet sekurang-kurangnya sebagai Menteri Pertahanan (Gie, 1997:189-190).
Perjuangan FDR untuk merebut kekuasaan dari tangan nasional
mendapatkan dukungan dengan kedatangan Musso (mengenai pemikiran dan
pengaruhnya akan dibahas kemudian). Musso dengan resolusi Jalan Barunya
merubah tatanan politik Indonesia pada saat itu. Musso melakukan reorganisasi
dalam Konferensi PKI pada 27-28 Agustus 1948, dengan menempatkan Musso
78
sebagai Sekretaris Jendral bersama dengan Maruto Darusman, Tan Ling Djie dan
Ngadiman. FDR makin radikal dengan kedatangan Musso dan mengancam
kedudukan pemerintah.
Untuk menghentikan perkembangan PKI pemerintah mulai melakukan
gerakan ofensif terhadap PKI. Tindakaan pertama ialah pelepasan Tan Malaka dan
tawanan-tawanan politik sayap kiri pada 17 Agustus. Tenaga-tenaga anti-FDR
makin bertambah kuat walaupun FDR dengan pimpinan Musso telah
menempatkan garis politik radikal, seperti dicita-dicitakan Tan Malaka. Dalam
beberapa hal, ide-ide grup yang tergabung GRR (Gerakan Revolusi Rakyat)
dengan FDR sama. Akan tetapi, karena persoalan-persoalan prinsipil (Stalinis
versus komunisme Nasional) dan emosional mereka saling bermusuhan.
Ketika PKI sedang mengambil haluan berputar, grup GRR berbicara
mengenai rahasia PKI bahwa PKI berkerja sama dengan Belanda untuk
menyiapkan Uni Indonesia Belanda. secara khusus Rustam Efendi berbicara
tetntang rahasia Setiajid dan Maruto Darusman sebagai orang-orang yang
bersepakat di belakang layar dengan pihak Belanda (Gie,1997:229). Rahasia itu
mengejutkan politisi Indonesia. Hal ini membuat kedudukan FDR semakin
terjepit. Dalam kedaan seperti ini tokoh-tokoh FDR, mengakui tuduhan Rustam
Effendi. Amir Sjarufudin mengakui bahwa ia pernah menerima uang dari van der
Plass sebanyak f 25.000 untuk menyusun gerakan bawah tanah. Hal ini ia lakukan
dalam rangka instruksi Komintern untuk melawan fasisme. Sedangkan Setiajid
mengakui bahwa ia bertanggung jawab terhadap ide Uni Indonesia-Belanda.
79
setelah itu anggota-anggta partai Sosialis dan Partai buruh mengakui bahwa
mereka merupakan anggota rahasia PKI (Gie, 1997:230).
Pengakuan tokoh-tokoh PKI menimbulkan pengaruh yang besar. Apabila
sebelumnya Sayap Kiri/ FDR menjadi simbol kerevolusioneran, dengan adanya
pengakuan tersebut menjadi terbalik. Orang-orang Sayap Kiri yang menjadi
arsitek Renville dan Linggajati (Sjahrir dan Amir Sjarifudin) kemudian dicap
sebagai agen-agen Belanda di pemerintahan Indonesia. Meskipun begitu, rencana
organisasi Musso berjalan terus. Organisasi-organisasi massa PKI merencanakan
kongres koreksi dan merencanakan menempuh garis keras.
Pada masa itu PKI bergerak secara radikal. PKI mendorong dilakukannya
demonstrasi-demonstrasi dan pemogokan-pemogokan oleh kaum buruh dan
petani. Kaum tani didorong supaya mengambil alih ladang-ladang milik para tuan
tanah mereka di daerah Surakarta dan kemudian di daerah-daerah lainnya
(Ricklefs, 2005:344). Pada bulan September 1948 pertempuran terbuka antara
kekuatan-kekuatan bersenjata yang pro PKI dan pro-pemerintah meletus si
Surakarta. Pada tanggal 17 Setember Divisi Siliwangi berhasil memukul mundur
PKI dari kota Surakarta. PKI kemudian mundur menuju Madiun dan kemudian
bergabung dengan satuan-satuan pro-PKI lainnya untuk menghadapi serangan
yang dilancarkan oleh pemerintah.
Pada tanggal 18 September para pendukung PKI merebut tempat-tempat
yang strategis di daerah Madiun dan membunuh tokoh-tokoh pro-pemerintah dan
mengumumkan melalui radio bahwa pemerintahan Front Nasional telah terbentuk
(Ricklefs, 2005:344). Pada tanggal 19 September 1948, pemerintah RI di Madiun
80
ditumbangkan oleh FDR/PKI. Dengan tumbangnya pemerintah Republik
Indonesia di Madiun, FDR membentuk pemerintahan baru dengan bentuk Front
Nasional, yaitu membentuk pemerintahan dari bawah. Pemerintah Indonesia
bersikap keras.
Musso pada hari-hari pertama pemerintahan Front Nasional berbicara
tentang perebutan kekuasaan negara oleh rakyat dari tangan pemerintah Sokarno-
Hatta (Gie, 1997:249). FDR/PKI mengganti istilah Republik Indonesia dengan
Republik kerakyatan. Gerakan-gerakan FDR/PKI hanya terjadi di Madiun dan
Pati saja, di daerah lain tidak ada perlawanan rakyat dan pemberontakan prajurit
progresif. Bahkan PKI Bojonegoro, Sumatera dan Banten tetap setia kepada
pemerintahan Soekarno-Hatta.
Untuk menumpas gerakan FDR/PKI pemerintah Indonesia mulai
melakukan gerakan militer. Opereasi merebut Madiun dilakukan dua arah dari
barat dan timur. Pasukan Front Nasional terdesak, pada tanggal 31 Oktober 1948
Musso ditembak mati disebuah kamar mandi di Desa Balong (Gie, 1997:268).
Sedangkan kelompok Pada 28 November 1948 Amir Sjarifudin, Kolonel
Soedjono, maruto darusman, Sajogo dan anggota PKI lainnya ditangkap. Dengan
ditangkapnya para tokoh Front Nasional maka berakhirlah pemberontakan PKI di
Madiun.
Pada tahun 1951 PKI kembali bangkit dengan dipimpin oleh Dipa
Nusantara Aidit. Aidit menjalankan suatu politik yang bebeda dengan garis
perjuangan komunisme, dima Aidit melakukan sebuah tindakan kompromistis
dengan pihak lain. Walaupun cara ini bertentangan dengan komunisme, namun
81
starategi ini dapat membawa PKI ke puncak kejayaan. Namun PKI kembali
tergelicir oleh ajarannya sendiri, revolusi. PKI kembali melakuakn pemberontakan
terhadap pemerintah Indonesia, dan kembali gagal.
Setelah peristiwa Madiun, PKI kembali vakum. Seiring dengan perubahan
kondisi politik, pertahanan, ekonomi dan budaya Indonesia pasca pengakuan
kedaulatan Belanda atas Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar pada 27
Desember 1949. Masa setelah Peristiwa Madiun merupakan masa dimana PKI
berusaha untuk mencari jalan guna menjadikan Indonesia sebagai diktator
proletariat. Pada tahun 1951 PKI dipimpin oleh Aidit sampai tahun 1965. Pada
masa ini merupakan masa keemasan PKI. Pada masa ini PKI membentuk diri
sebagai partai massa dengan basis petani (Edman, 2005:51). Pada masa
Demokrasi Parlementer (1950-1959) PKI bertindak sebagai oposisi pemerintahan.
Dalam setiap kabinet yang dibentuk oleh pemerintah tokoh-tokoh PKI tidak
pernah menduduki kabinet.
Pada tahun 1954, kongres kelima memutuskan PKI menerapkan suatu
strategi yang disebut kerja di kalangan Musuh (KKM). Artinya partai menerapkan
strategi yang dikenal dengan singkatan MKTBP, Metode Kombinasi Tiga Bentuk
Perjuangan. Metode tersebut terdiri dari tiga bentuk perjuangan, yaitu (1) perang
gerilya di desa-desa, khususnya oleh buruh tani dan miskin (2) aksi revolusioner
oleh kaum buruh khususnya buruh transportasi di kota-kota (3) kerja intensif di
dalam angkatan bersenjata (Sulistyo, 2000:34).
Pada pemilu tahun 1955, melahirkan empat partai besar dimana PNI (Partai
Nasionali Indonesia) memperoleh suara 22,3%, Masyumi (Majelis Syuro
82
Muslimin Indonesia) memperoleh suara20,9%, NU (Nahdatul Ulama)
memeproleh suara 18,4% dan PKI (Partai Komunisme Indonesia) memproleh
16,4%. perolehan keempat partai tersebut mengakibatkan terjadinya persaingan
antara partai yang kemudian menjadi antar partai. Sehingga setiap kabinet yang
terbentuk tidak bertahan lama, posisi PKI selalu menjadi oposisi dari kabinet.
Pada masa Demokrasi Parlementer ini PKI tidak pernah menempatkan tokohnya
dalam kabinet.
Kegagalan Demokrasi Parlementer membuat Presiden Soekarno
mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya kembali ke Undang-undang dasar
1945. Dekrit Presiden ini melahirkan Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Pada
masa Demokrasi Terpimpin di dalam perpolitikan Indonesia persaingan ideologi
tidak terlalu kentara. Namun yang terjadi adalah perebutan pengaruh. Selama
tahun-tahun pertama Demokrasi Terpimpin suatu perimbangan kekuatan yang
agak stabil manun sekaligus juga goyah dikembangkan diantara tiga pusat utama
yaitu presiden, kepemimpinan Angkatan Darat dan PKI. dengan intensifikasi
perjuangan pembebasan Irian Barat di tahun 1960, iklim politik yang ditimbulkan
pada saat itu memang mampu menunjang kekuasaan-kekuasaan politik utama
untuk mengadakan konsolidasi (Crouch, 1999:46).
Menurut Crouch persaingan kekuatan terjadi antara Angkatan darat dan
Presiden Soekarno (Crouch, 1999:47). Kedua pihak saling mengonsolidasi
kekuatannya masing-masing. Soekarno kemudian merapat ke PKI untuk meraih
dukungan rakyat. Pimpipinan Angkatan Darat menganggap bahwa PKI sebagai
lawan mereka sesungguhnya dan ingin membatasi potensi partai itu untuk
83
berkembang. Karena soekarno mengakui PKI sebgai salah satu unsur dari
Nasakom maka rencana-rencana untuk mengamati perkembangan PKI mulai
dilakukan dibeberapa kalangan Angkatan Darat. Soekarno yang menyadari
kebutuhannya akan dukungan kuat PKI dari tekanan tentara. Selain itu didasarkan
oleh perasaan anti komunisme yang amat dalam di kalangan perwira Angkatan
Darat yang mungkin dapat terpancing untuk mengambil langkah-langkah drastis.
Pada masa ini PKI menjadi faktor penentu dari pertentangan antara Soekarno dan
Angkatan Darat. PKI dibiarkan meneruskan kegiatan-kegiatan sebagai partai yang
legal dan para pendukungnya telah memeproleh bagian untuk menduduki kursi-
kuris di badan-badan perwakilan. Pada masa ini PKI melakukan jalan parlementer
untuk mendapatkan kekuasaan negara (Crouch, 1999:51).
Kesempatan perlindungan dari Presiden Soekarno dimanfaatkan PKI untuk
memperbanyak anggotanya. Pada masa ini PKI berhasil memperluas anggotanya
dari hanya 8.000 orang pada tahun 1952 menjadi tiga juta orang pada tahun 1964.
Selain itu organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan PKI mengalami lonjakan
jumlah anggota. Dalam dekade yang sama, anggota organisasi pertani di bawah
PKI, Barisan tani Indonesia (BTI), berkembangd ari 800.000 (Septemebr 1963)
menajdi 1.500.000 orang pa April 1964. Pada saat yang sama, organisasi sayap
pemudanya Pemuda Rakyat beranggotakan 2.000.000 orang, sedangkan
organisasi sayap perempuannya Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani)
beranggotakan 1.750.000 orang (Sulistyo, 2000:31). Hal ini diakibatkan oleh
propaganda yang dilakukan oleh PKI mengenai tiga penyebab kesengsaraan
rakyat. Selain itu PKI menempatkan diri sebagai partai yang paling peduli dengan
84
kesengsaraan rakyat, sehingga para petani dan kaum buruh menjadi anggota PKI.
namun kelemahannya adalah landasan komunisme para petani dan buruh ridak
memadai.
Pertentangan antara Soekarno dan Angkatan Darat yang melibatkan PKI
berakhir pada pemberontakan 30 September percobaan kudeta yang dilakukan
oleh pasukan Cakrabirawa, dan PKI dituduh sebagai dalang dari kudeta. Pasca
peristiwa kudeta tersebut anggota PKI dibantai oleh pihak TNI dan masyarakat
yang tidak menyukai PKI, khusunya orang Muslim. Pada hari-hari setelah
pemberontakan terjadi pembantai massal anggota-anggota PKI. Menurut laporan
CIA yang dikutip dalam Sulistyo bahwa selama enam minggu, tentara Indoneisa
terlibat dalam suatu gerakan besar melawan PKI. Anggota dan simpatisan PKI
dikumpulkan dan ditawan oleh tentara; sementara yang lain dibersihkan dari
berbagai posisi pemerintahan daerah dan di jawa Tengah pengikut PKI dilaporkan
ditembak ditempat oleh tentara. Tentara sangat mempertaruhkan prestise dan
masa depan ploitiknya dengan gerakan ini. Tentara ingin melarang dan
melumpuhkan partai ini untuk selama-lamanya, tetapi sikapnya terhadap
Marxisme jauh lebih rumit daripada sekedar anti komunisme (CIA dikutip dalam
Sulistyo, 2000:41)
Pembantaian massa PKI, selain dilakukan oleh tentara juga dilakukan oleh
mayarakat di seluruh Indonesia. Seperti ditulis Crouch setelah pada tanggal 18
Okrober di Bayuwangi Selatan terjadi suatu bentrokan besar antara pendukung-
pendukung PKI dengan pemuda-pemuda Ansor yang dibantu oleh pemuda
Marhaen dari PNI. Kira-kira 35 mayat ditemukan pada tanggal 18 Oktober dan 62
85
orang dikuburkan bersama-sama beberapa hari kemudian (Crouch, 1999:163).
Pembantaian massal anggota-angota PKI berlangsung selama satu tahun dalam
kurun waktu antara tahun 1965-1966 (Sulistyo, 2000:77). Jumlah korban
diperkirakan mencapai 500.000 hingga 600.000 jiwa (Sulistryo, 2000:43). Pasca
pembantaian massal PKI dilarang oleh pemerintah Orde Baru.
C. Pemikiran Musso tentang Komunisme
1. Sejarah Kehidupan Musso
Musso dilahirkan di Desa Pagu kota Kediri pada tahun 1897. Pada mulanya
Musso adalah anggota Sarekat Islam Batavia bersama Alimin, Musso terlibat
dalam peristiwa Sarekat Islam Afdeling B di Bandung. Nemun setelah itu, Musso
menganut pemikiran Stalinis dalam menekankan bahwa hanya boleh ada satu
partai dalam kelas buruh (Ricklefs, 2005:344). Musso merupakan salah satu
pimpinan PKI pada pemebrontakan 1926. Musso merupakan tokoh penting dalam
pemberontakan 1926 dan pemberontakan 1948. Pasca pemberontakan 1926
Musso melarikan diri ke Uni Soviet. Musso kemudian kembali ke Indonesia pada
tahun1935 untuk mendirikan PKI ilegal dan bergerak dibawah tanah. Musso
berperan dalam menghidupkan kembali PKI, karena tokoh-tokoh yang ia bina
pada masa 1935 berperan besar dalam Revolusi Indonesia dan pemberontakan
1948. Musso merupakan orang yang keras, seperti dikatakan oleh Darsono dalam
Gie bahwa Musso adalah orang yang senang ”amuk-amukan” (Gie, 1997:6).
Musso dididik di sekolah guru di Jakarta dan bersahabat dengan Alimin.
Selama masa pendidikannya, ia menajadi murid kesayangan Dr. Hazeu
(penasehat urusan bumiputra) dan teosofis D. Van Hinloopen Labberton. Musso
86
pernah tinggal di rumah Tjokroaminoto bersama Alimin, Soekarno serta
Kartosuwiryo. Sebagai Individu, ia merupakan orang yang cerdas, organisatoris
serta penulis politik yang baik. Musso adalah seorang yang keras dan tegas
bahkan kadang-kadang nekat. Ketika terjadi peristiwa Sarekat Islam afdeling B, ia
ikut didalamnya sehingga membuatnya dipenjara. Selama dipenjara, ia mengalami
perlakuan-perlakuan yang menyakitkan hati. Dari sinilah kegetirannya kepada
Belanda makin bertambah. Ia menolak memberikan keterangan apapun mengenai
Tjokroaminoto dalam hubungan Sarekat Islam Afdeling B. Di penjara pula ia
berkenalan dengan teman-teman komunisnya senasib yang melakukan
pemberontakan Sarekat Islam Afdeling B di Bandung. Didalam penjara pula ia
mendapatkan pemebelajaran mengenai komunisme secara intensif dari anggota
komunis lainnya. Meskipun demikian, ia tidak segera pro-PKI. Dalam
pertentangan Semaun dan Agus Salim/Abdoel Muis ia dianggap pro
Tjokroaminoto. Ia membagi-bagikan kesetiaan politiknya kepada ISDV (PKI), SI
dan Insulinde. Sekeluar dari penjara, van Hinloopen Labberton berniat
mengirimnya ke Jepang untuk mengajar dan sebagai asistennnya. Akan tetapi,
pemerintah Jepang menolaknya, dengan alasan bahasa Inggris Musso kurang
memadai. Selain itu sikap dan catatan penjaran merintanginya (Gie, 1997:8).
Musso ikut dalam rapat kilat Prambanan. Rapat Prambanan merencankan
pemberontakan. Namun rencana tersebut tidak berjalan lancar. Bahkan Pada
Januari 1926 Musso ditangkap oleh Belanda, namun Musso menghilang dan
melarikan diri ke Singapura. Disana bersama Alimin dan Subakat, Musso
merundingkan kembali Keputusan Prambanan. Musso kemudian pergi ke
87
Moskow untuk membeicarakan keputusan Prambanan, sedangkan Alimin menuju
Filiphina untuk menemui Tan Malaka. Tan Malaka tidak menyetujui
pemberontakan. Ketika Musso menghadap Stalin, Stalin menolak ide
pemberontakan sebagai hasil dari rapat Prambanan. Namun hasil pertemuan
Musso dengan Stalin terlambat tersampaikan kepada pengurus di Jakarta. Hal ini
dikarenakan Musso ditahan selama 3 bulan untuk diindoktrinasi dengan
teoriperjuangan revolusioner. Setelah tiga bulan Musso bertemu kembali dengan
Stalin, tetapi Stalin tetap melarang terjadinya pemberontakan (Gie, 1997:14)
Hal ini tidak membuat Musso menyerah. Seperti ditulis oleh Gie bahwa
sebagai orang yang keras Musso tidak menyerah begitu saja. Dalam rapat di
Singapura telah diputuskan bahwa jika kiranya Komintern menolak keputusan ini,
mereka akan melakukan perjuangan bergerilya. Satu yang menjadi kendala adalah
bagaimana cara mengirimkan keputusan ini ke Indonesia. Musso meminta
Semaun untuk memberikan nama kontak grup komintern di Indonesia, Dr. Kwa
Thoen Sioe tetapi ditolak. Musso tidak menyerah kemudian membujuk asisten
Semaun, Iwa Kusumasumantri. Setelah mendapat alamat kontak Dr. Kwa Tjoen
Sioe di jakarta, Musso mengirim telegram. Tidak jelas apakah telegram iutu
sampai atau tidak. Pasca pemberontakan 1926 Musso pergi ke Uni Soviet untuk
memperdalam komunisme. Selain itu Musso menjadi petugas Komintern (Gie,
1997:14). Selama di Uni Soviet Musso hidup menetap di Praha, Chekoslovakia.
Disana ia melihat komunisme berkembang seperti yang diterapkan di Uni Soviet,
yaitu kelas buruh merupakan fondasi utama dari partai komunis. Setelah ia
88
kembali ke Indonesia pengalamannya di Luar negeri mempengaruhi pemikiran
komunis Musso.
Pada tahun 1935 Musso kembali ke Indonesia untuk membentuk kembali
PKI yang telah hancur pasca pemeberontakan 1926. Atas inisiatif Musso, yang
secara rahasia kembali ke Indonesia PKI didirikan kembali secara ilegal dan
bergerak secara underground. Selain untuk mendirikan kembali PKI kembali
Musso diberi mandat koleh komintern untuk membawa garis komintern. Atas
inisiatif pimpinan kaum komunis jang sudah terhimpun kembali didirikan
organisasi rakyat yang legal dengan nama Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo).
Gerindo bertujuan untuk melawan bahaya fasisme Jepang yang mengancam
Indonesia (Aidit, 1953:14).
Ketika Musso datang kembali ke Indonesia, ia memusatkan pekerjaannya
di Kota Surabaya. Kemudian membentuk CC PKI baru, terdiri dari Musso,
Pamudji, Azis Sukajat dan Djiko Soedjono. Kelompok ini dikenal sebagai
kelompok PKI 35. PKI 35 berjalan dengan lancar. Pada tahun 1938 konsolidasi
dalam tubuh PKI terbongkar oleh Belanda. anggota PKI 35 ditangkap dan dibuang
ke Boven Digul. Seisanya tidak dapat bekerja secara efektif. Sedangakan Musso
sendiri kembali ke Moskow.
Pada masa setelah Revolusi Indonesia, Musso kembali lagi ke Indonesia
pada 13 Agustus 1948 dengan menyamar sebagai Soeparto sekretaris Seripno
Duta besar Indonesia untuk Uni Soviet. Ketika bertemu dengan Seokarno, mereka
saling berpelukan. Mereka saling mengenal ketika sama-sama belajar ditempat
Tjokroaminoto. Seperi ditulis oleh seorang wartawan yang dikutip oleh Gie:
89
”Soekarno memeluk Musso dan Musso memeluk Soekarno. Mata berlinang,
kegembiraan ketika itu rupanya tidak dapat mereka keluarkan dengan kata-kata.
Hanya dengan pandangan mata dan roman muka mereka menggambarkan
kegembiaraan. Sesudah penyambutan selesai, barulah Bung Karno berkata: Lho,
kok masih awet muda?. Jawab Musso: O, ya. tentu saja ini memang semangat
Moskow, semangat Moskow selamanya muda”. Menurut Bung Karno Musso
adalah orang yang suka berkelahi dan jago pencak silat. Kalau berpidato ia
nyincing lengan bajunya (Gie, 1997:218).
Kedatangan Musso memiliki arti politis yang penting bagi gerakan
komunisme di Indonesia. Ia datang pertama akli ke Indonesia pada 1935, ketika
komintern mengubah garis politiknya secara drastis. Garis co dengan kapitalis
karena andanya ancaman fasisme. Pada 1947, komintern meninggalkan garis
lunak dan kembali kepad garis keras. Musso kembali menjadi utusan komintern
untuk Indonesia. Setelah kembali Musso melakukan pembicaraan dengan tokoh-
tokoh FDR/PKI untuk memeberi tahukan garis politik Kominter yang berubah.
Kemudan ia mengajukan rencana-rencana baru yang drastis. Musso yang datang
bagaikan juru selamat kaum komunisme Indonesia. Pada saat komunisme sedang
dalam keadaan frustasi pasca mundurnya Amir Sjarifudin sebagai perdana
menteri. Pada 11 Agustus1948 ia tiba, pada 13 Agustus Musso bertemu dengan
Soekarno, kemudian 16 Agusuts menyampaikan pesan-pesan dalam menyambut
17 Agustus. Pada tanggal 26-27 Agusuts mengikuti kongres PKI tempat ia
mengajukan tesis tentang Jalan Baru untuk Republik Indonesia dan Musso
90
sekretaris Jenderal PKI bersama Maruto Darusman, tan Ling Djie dan
Ngadiman.(Gie, 1997:220).
Pada tanggal 18 September Musso melakukan pemberontakan terhadap
republik Indonesia. Musso mendirikan pemerintahan Front Nasional di Madiun.
Namun pemberontakan tersebut berhasil ditumpas oleh pemerintah Indonesia.
Pemerintah Indonesia mengerahkan gerakan militer untuk menumpas
Pemberontakan FDR/PKI di Madiun. Pergerakan TNI membuat pasukan-pasukan
pemberontak terpecah-pecah.
Setelah pasukan pemberontak terkepung dan terpecah, Musso mengembara
seorang diri. Pada 31 Oktober 1948, ketika ia sedang berjalan kaki di Desa Balong
ia dihentikan oleh dua orang petugas keamanan desa mereka mencurigai Musso.
Musso diminta untuk menunjukkan surat-surat keterangan. Namun Musso secara
tiba-tiba menembak pemeriksa. Musso kemudian melarikan diri dengan sebuah
dokar. Musso pindah dan menodong penumpang-penumpang dalam mobil.
Mereka adalah pasukan-pasukan batalion Sunandar. Walaupun mereka bersenjata,
mereka tidak sempat bertindak. Ketika Musso menstarter mobil tersebut tidak
menyala. Kemudian prajurit-prajurit yang sebelumnya ditodong oleh Musso balik
menodong dan meminta Musso menyerah. Namun Musso tidak menyerah dan
berkata ”Engkau tahu, siapa saya? Saya Musso. Engkau baru kemarin jadi prajurit
dan berani meminta supaya saya menyerah, walaupun bagaimana saya tetap
merah-putih.’’ Karena prajurit tersebut tidak bermaksud menembak mati Musso,
Musso melarikan diri ke desa terdekat. Musso bersembunyi di sebuah kamar
mandi dan menolak menyerah. Akhirnya ia ditembak mati oleh pasukan Kapten
91
Sumadi. Mayatnya dibawa ke Ponorogo, dipertontonkan kemudian dibakar (Gie,
1997:267-268).
2. Musso dan Komunisme di Indonesia
Pemikiran komunis Musso dipengaruhi oleh pengalamannya hidup di
negara Komunis,Uni Soviet dan Cekoslovakia. Dari kedua negara tersebut ia
memperoleh gambaran sebuah neagra komunis didirikan dan dijalankan. Oleh
sebab itu Musso berusaha menerapkan komunisme di Indonesia dengan meniru
dari Uni Soviet dan Cekoslovakia tanpa melilhat kondisi Indonesia.
Pemikiran komunisme Musso secara garis besar tergambar dalam resolusi
yang ia susun pada tahun 1948. Resolusi jalan baru merupakan sebuah selfkritik
terhadap perjuangan komunisme di Indonesia (Aidit, 1953:23). Seperti tertulis
dalam kata pengantar resolusi tersebut bahwa Jalan Baru
Djalan Baru” adalah dasar dari fikiran Kawan Musso, seorang seniman revolusioner bangsa Indonesia, seorang Kawan jang djudjur, ichlas, tadjam dan berani. Musso mempuniai tjaranja sendiri dalam melawan imperialisme dan melawan Musuh² Rakjat, jaitu tjara jang keras, tjara jang tidak kenal ampun atau tjara Musso. “Djalan Baru” menggambarkan pada kita apa jang dinamakan tjara Musso itu. Setjara singkat: “Djalan Baru” adalah perdjuangan jang tidak mengenal ampun terhadap oportunisme “Kiri” dan Kanan didalam dan diluar partai (Musso, 1948:1). Ide besar dari Musso yang merupakan garis komintern adalah Front
Nasional. Untuk dapat menyelesaikan revolusi nasional maka diperlukan
persatuan dari berbagai unsur dari semua golongan yang ada. Kaum komunisme
sudah semestinya bersatu dengan angggota-anggota partai dan organisasi-
organisasi lain dalam wadah Front Nasional (Gie, 1997:24).
92
Menurut Musso telah terjadi disorientasi dari komunisme di Indonesia.
Kebijakan baru komintern tidak dijalankan oleh komunisme di Indonesia. Seperti
ditulis dalam jalan baru:
Dalam tahun 1935 PKI dibangunkan kembali setjara illegal atas inisiatif Kawan Musso. Selandjutnja PKI ilegal inilah jang memimpin perdjuangan anti-fasis selama pendudukan Djepang. Kesalahan pokok dilapangan organisasi jang dibuat oleh PKI ilegal jalah, tidak dimengertinja perubahan² keadaan politik didalamnegeri sesudah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Sebenarnja pada saat itulah, PKI harus melepaskan bentuknja jang ilegal dan muntjul dalam masjarakat Indonesia Merdeka dengan terang²an (Musso, 1948:3).
Pertama, ide Front Nasional menurut Musso kesalahan revolusi Indonesia
karena bersifat defensif. Ia kemudian mengutip Engels yang menyatakan bahwa
revolusi akan gagal jika tidak diadakan perubahan radikal (Gie, 1997:226).
Sementara revolusi Indonesia tidak menggunakan perubahan seperti ini. Kedua
adalah pimpinan revolusi tidak berada di tengah kelas yang paling revolusioner
yaitu kelas buruh. Ketiga adalah bahwa hanya ada satu partai Marxis dalam satu
negara. Hal ini merujuk pada terpecahnaya partai komunisme menajadi beberapa
partai. Adanya tiga partai buruh sampai sekarang (PKI Ilegal, PBI, dan partai
sosialis) yang semuanya dipimpin oleh Parati Komunisme Ilegal, mengakui dasar-
dasar Marxisme –Leninisme dan sekarang tergabung dalam Front Demokrasi
Rakyat serta menjalankan aksi bersama ebrdasarkan program bersama, telah
mengakibatkan ruwetnya gerakan buruh. Hal ini menurut Musso menimbulkan
suatu kesulitan bagi gerakan komunisme.
Di kalangan prajurit, kaum Komunisme mempunyai pengaruh penting.
Akan tetapi karena adanya tiga Partai kaum buruh, maka kaum proletar dan kaum
93
tani yang bersenjata ini dalam prakteknya tidak bersikap loyal terhadap PKI dan
dengan demikian simpati golongan prajurit pada Komunisme tidak dapat
diperluas. Di lapangan organisasi, PKI tidak mempunyai akar yang kuat dan
dalam di kalangan prajurit. Semua keruwetan dalam lapangan organisasi juga
menyebabkan tidak kuatnya PKI dalam gerakan sosial dan kebudayaan seperti
olahraga, kesenian, baik dalam lapangan organisasi maupun dalam lapangan
ideologi. Jadi menurut Musso Jalan satu-satunya untuk memperbaiki kesalahan
pokok itu dengan cara radikal ialah mengadakan hanya satu Partai yang legal dari
kelas buruh. Hal Ini berarti dihapuskannya pimpinan PKI yang illegal. Adapun
cara mewujudkan fusi ini dengan Menurut Musso adalah sebagi berikut :
1. Membersihkan PKI dari anasir-anasir yang tidak baik.
2. Membentuk Komite Fusi yang berkewajiban:
a. Mendaftar anggota-anggota PBI dan Partai Sosialis yang dapat
diusulkan dengan segera menjadi anggota PKI.
b. Menyiapkan masuknya anggota-anggota lainnya yang masih kurang
maju dengan memberi kepada mereka, kewajiban untuk mempelajari
buku-buku Marxisme-Leninisme, kursus-kursus, pekerjaan yang
tertentu
3. Setelah semua ini selesai, lalu mengadakan Kongres Fusi daripada ketiga
Partai, dimana ketiga Partai dilebur menjadi satu dengan memakai nama
Partai Komunisme Indonesia dan dipilih Central Comite yang baru secara
demokratis.
94
Hal ini menghalangi kemajuan dan perkembangan kekuatan organisasi
kelas buruh, juga sangat menghalangi meluasnya dan mendalamnya ideologi
Marxisme-Leninisme yang konsekuen. Hal menerangkan bahwa Musso lebih
mementingkan sebuah gerakan yang berdasar pada ideologi Marxisme-Leninis
dibandingakan dengan tujun komunisme sebenarnya. Hal ini terjadi karena Musso
bersifat dogmatis dalam menjalankan Marxisme. Semuanya bermaksud
memperhebat perlawanan terhadap penyerang-penyerang fasis, musuh yang
paling berbahaya pada waktu itu, bukan saja bagi negeri-negeri kapitalis dan
imperialis tetapi juga bagi Uni Soviet, bagi gerakan buruh revolusioner di negeri-
negeri kapitalis dan imperialis dan bagi gerakan revolusioner dari rakyat di negeri
jajahan. Setelah perang dunia II berakhir dengan hancurnya ketiga negeri fasis
tadi, maka bagi Partai-Partai Komunisme di negeri-negeri kapitalis dan imperialis
dan bagi perjuangan revolusioner di negeri-negeri jajahan sudah tidak ada alasan
lagi untuk melanjutkan kerjasama dengan pemerintahnya masing-masing. Apalagi
sesudah ternyata, bahwa kaum borjuis sudah mulai menggunakan cara-cara untuk
menindas gerakan kemerdekaan di negeri jajahannya (Musso, 1948:9). Dengan
politik luar negeri sepert ini, politk luar negeri yang diterapkan oleh Musso sangat
pragmatis dan terkadng opurtunis. Politik partai komunisme menjadi sangat
Soviet dan komintern.
Selain itu Menurut Musso perlu ditegaskan, bahwa politik reformis yang
berasal dari luar negeri ini justru memberi kesempatan berkembangnya aliran
reformis yang menguasai politik luar negeri Republik dan yang dipimpin oleh
kaum sosialis kanan (Sutan Syahrir). Politik reformis ini dapat dinyatakan dengan
95
dua hal : 1) Mencari keuntungan dan bantuan dengan kerjasama, bukan dengan
golongan anti-imperialis melainkan dengan golongan imperialis. Yaitu dengan
menggunakan pertentangan-pertentangan di antara imperialisme Inggris dan
Amerika dan di antara imperialisme Inggris dan imperialisme Belanda. Pada
permulaannya imperialisme Inggrislah yang diajaknya bermain-mata. Dasar
daripada politik reformis ini diletakkan dalam Manifestasi Politik Pemerintah
Republik November 1945. 2) Menghadapi imperialisme Belanda tidak dengan
perjuangan revolusioner dan anti-imperialis, melainkan dengan politik reaksioner
atau politik kompromis yang bersemboyan: "bukan kemenangan militer yang
dimaksudkan, melainkan kemenangan politik". Jadi bukannya perjuangan dengan
senjata yang diutamakan, melainkan perjuangan politik, sedangkan, imperialisme
Belanda terus-menerus berusaha memperkuat tenaga militernya (Musso, 1948:11).
Berhubung dengan kesalahan-kesalahan yang mengenai azas dalam
lapangan organisasi seperti tersebut diatas dan menarik pelajaran dengan sebaik-
baiknya dari kejadian di Yugoslavia, maka rapat Polit-Biro PKI memutuskan
untuk mengadakan perubahan yang radikal, yang bertujuan supaya :
1. Selekas-lekasnya mengembalikan kedudukan PKI sebagai pelopor kelas
buruh.
2. Selekas-lekasnya mengembalikan tradisi PKI yang baik pada waktu
sebelum dan selama perang dunia ke-II.
3. PKI mendapat hegemoni (kekuasaan yang terbesar) dalam pimpinan
Revolusi Nasional ini.
96
Menurut Musso kaum Komunisme yang membiarkan berkembangnya
politik reaksioner ini, telah membuat dua kesalahan : 1) Melupakan pelajaran teori
revolusioner, bahwa Revolusi Nasional anti-imperialis sudah menjadi bagian dari
Revolusi Proletar dunia. Kesimpulannya menurut Musso ialah, bahwa Revolusi
Nasional di Indonesia harus berhubungan erat dengan tenaga-tenaga anti-
imperialis lainnya di dunia, yaitu perjuangan revolusioner di seluruh dunia, baik
di negeri-negeri jajahan atau negeri setengah jajahan, maupun di negeri-negeri
kapitalis-imperialis. 2) Kesalahan yang kedua ialah, bahwa kaum komunisme
tidak cukup dimengerti perimbangan kekuatan antara Uni Soviet dan imperialisme
Inggris-USA, setelah Uni Soviet berhasil dengan sangat cepatnya menduduki
seluruh Tung Pai (Mancuria).
Dalam pemikiran luar negeri Musso berpendapat bahwa Indonesia harus
berhubungan dengan Uni Soviet dalam berbagai bidang. Selanjutnya menurut
Musso Uni Soviet merupakan sekutu yang cocok dengan bangsa Indonesia untuk
melawan imprealisme. Selain itu Musso juga menganjurkan PKI untuk melakuakn
hubungan dengan gerakan-gerakan anti imprealisme di Asia, Eropa dan Amerika,
terutama dengan masyarakat Belanda yang progresif (Musso, 1948:17).
Sikap anti imperalisme Musso tercermin dari pidatoya pada saat peristiwa
Madiun, yang secara tendensius menyerang Soekarno sebagai antek Jepang dan
dianggap sebagai penjahat Trotskyis, seperti dikutip dalam Fa’al:
Apakah maksud Soekarno cs, eks pedagang-pedagang romusha, telah melepaskan penjahat Trotskyis Tan Malaka cs yang telah mencoba merobohkan kepresidenannya? Dalam tiga tahun ini teranglah pula bahwa Soekarno-hatta ex romusha verkoper, quisling telah menajlankan politik kepitulasi terhadap Belanda, inggris dan sekarang juga akan menjual Indonesia dan rakyat Indonesia kepada imprealism Amerika. Bolehkah
97
orang-orang ssemacam itu bilang bahwa mereka mempunyai hak yang sah untuk memerintah republic kita? Rakyat Indonesia tidak butuh. Rakyat belum lupa semboyan-semboyan Soekarno. Emreka mengerti bahwa kaum dagang romusha tidak becus memrintah Negara. Ooleh karena itu rakyat madiun dan daerah-daerah sekarang akan melepaskan diri dari budak-budak imprelais itu . Soekarno dalam membudak Jepang telah bilang ‘untuk inggris:Linggis, Untuk Amerika: Setrika. Rakyat belum lupa. Bukan Soekarno, bukan Hatta yang melawan Belanda, inggris dan Amerika . ttapi rakyat Indonesia, sendiri (Musso dikutip dalam Fa’al, 2005:57)
Hal yang penting dalam politik dalam negeri bagi PKI, bahwa PKI harus
dapat menghalangi hubungan antara pemerintah dengan Imprealisme, yang akan
membawa Indonesia kepada keterpurukan. Selanjutnya PKI harus juga berusaha,
selekas-lekasnya melikwidasi segala kelemahan Revolusi. Kelemahan itu ialah :
Kelas buruh dengan pelopornya, yaitu PKI, belum memegang hegemoni pimpinan
Revolusi Nasional. Untuk mewujudkan hegemoni ini maka perlu sekali dipenuhi
syarat-syarat yang penting, yaitu adanya organisasi Partai yang rapi dan kuat yang
meliputi tiap-tiap pabrik, perusahaan, bengkel, kantor, kampung dan desa, dengan
anggota dan kader-kader bagian yang sebagian besar terdiri dari kaum, buruh dan
tani-pekerja. Pimpinan Revolusi Nasional, walaupun hegemoninya harus ada di
tangan kelas buruh, harus diwujudkan oleh PKI bersama-sama dengan partai-
partai atau elemen-elemen lain yang progresif berdasarkan sebuah program
nasional yang revolusioner, yang disetujui oleh bagian terbesar daripada rakyat.
Dengan demikian dapat terbentuk suatu pimpinan revolusi yang seiya-sekata dan
yang erat bekerja bersama dengan dan disokong oleh seluruh rakyat atau setidak-
tidaknya oleh sebagian terbesar daripadanya. Hingga sekarang Revolusi Nasional
belum melandasi alat-alat kekuasaan negara yang lama, yang jiwa, susunan
ataupun cara bekerjanya masih sangat berbau penjajahan. Dalam hal ini PKI tidak
98
boleh melupakan pelajaran Marx yang mengatakan, bahwa kewajiban tiap
revolusi ialah menghancurkan alat kekuasaan negara yang lama dan menyusun
alat kekuasaan negara yang baru.
Pemikiran Musso komunisme Musso secara umum tertuju pada komintern.
Menurut Ricklsefs Musso adalah seorang penganut Stanlinis dalam menekankan
bahwa hanya ada satu partai kelas buruh. hal ini membuktikan bahwa Musso
merupakan seorang dogmatis dari komunisme dan komintern. Seperti dalam
pidatonya kertika baru datang dari Moskow 1948, Musso memuji-muji Rusia
(Gie, 1997:215). Gambaran lain mengenai pemikiran Musso adalah ketika ia
kembali ke Indonesia pada tahun 1935, ia ditugaskan untuk membawa garis
komunisme baru yang menentang fasisme (Gie, 1997:23). Selain itu dengan
melihat pola pergerakan Musso tidak membumi maksudnya adalah Musso kurang
memahami masyarakat Indonesia. Ini makin menegaskan bahwa Musso
merupakan seorang dogmatis Marxis.
D. Pemikiran Aidit Tentang Komunisme
1. Sejarah Kehidupan Aidit
Dipa Nusantara Aidit, atau D.N. Aidit lahir pada 30 Juli 1923 di kampung
Pagarlarang Tanjung Pandang pulau Belitung. Nama kecil Aidit adalah Ahmad
Aidit. Aidit merupakan anak tertua dari tujuh bersaudara. Ayah Aidit adalah
Abdulah Aidit merupakan seorang pejabat dalam dinas kehutanan dan kemudian
menjadi seorang anggota parlemen dari Masyumi pada tahun 1951 (Edman,
2005:60). Selain itu Abdullah Aidit seorang pemimpin gerakan pemuda di
Belitung dalam melawan kekuasaan kolonial Belanda dan setelah merdeka pernah
99
menjadi anggota DPR (Sementara) mewakili rakyat Belitung. Abdullah Aidit juga
pernah mendirikan sebuah perkumpulan keagamaan Nurul Islam yang berorientasi
kepada Muhammadiyah. Aidit mendapatkan pengaruh Marxisme dari Mr. Jusuf.
Aidit sangat menghormati Mr. Jusuf sebagai gurunya dan sebagai seorang
komunisme yang baik. Aidit sering berdiskusi dengan Wikana dalam persoalan-
persoalan politik maupun hal lainnya.
Aidit berhasil menyelesaikan sekolah tingkat HIS dan sekolah dagang
Manengah Pertama (SDMP) di kempung halamannya. Aidit kemudian dikirim ke
Jawa setelah menyelesaikan pendidikannya di HIS dan ditemani oleh pamannya
A. Rachman pada tahun 1936. Pada tahun 1939 Aidit menjadi seorang pemimpin
dalam Persatuan Timur Muda (PTM). Ditahun yang sama Aidit bergabung dengan
Barisan Muda Gerindo dan setahun setelahnya Aidit menjadi salah seorang
pemimpinnya bersama-sama dengan Wikana, Ismail Widjaja dan A.M Hanafi.
Pada usia tujuh belas tahun Ahmad Aidit merubah namanya menjadi Dipa
Nusantara Aidit.
Pada masa pendudukan Jepang Aidit menjadi Ketua Gerakan Indonesia
Merdeka bersama Lukman dan Sidik Kertapati dalam kepengurusan. Selanjutnya
Aidit mendirikan barisan buruh Indonesia bersama dengan grup Menteng 31.
Aidit dan Lukman melalui gerakan-gerakan pemuda/buruh di Jakarta ikut aktif
memimpin pengisian kemerdekaan Indonesia bersama-sama gerakan pemuda
lainnya.
Aidit ikut berperan dalam melawan pemerintahan Jepang. Pada tahun 1942
Aidit terpilih untuk menduduki posisi wakil ketua dalam Persatuan Buruh
100
Angkutan dan kemudian menjadi pemimpin dalam sekolah Politik generasi Baru
sampai dengan tahun 1943. Pada tahun yang sama pada saat ia baru masuk
kedalam keanggotaan PKI, Aidit mendirikan Gerakan Indonesia Merdeka
(Gerinbom), sebuah organisasi anti fasis yang bergerak di bawah tanah.
Organisasi ini ditumpas oleh pemerintahan Jepang pada tahun 1942-1943. pada
tahun 1944 Aidit bergabung dengan Angkatan Muda (AM) dan kemudian dengan
Asrama Angkatan Baru Indonesia (AABI), sebuah sekolah pendidikan politik
yang didirikan oleh departemen propaganda dalam pemerintahan militer Jepang.
Disini Aidit mendapatkan kuliah dari para tokoh penting dalam pergerakan
nasional, seperti Soekarno, Hatta dan Amir Sjarifudin. Aidit kemudian bergabung
ke dalam barisan Pelopor (BP) yang merupakan organ para aktivis yang tergabung
dalam Hokokai. Barisan Pemuda kemudian berganti nama menajadi barisan
Pelopor Istimewa (BPI). BPI merupakan pasukan pengawal Soekarno.
Kedeakatan dengan Soekarno ini memberikan pengaruh besar terhadap sikap
nasionalis Aidit (Edman, 2005:63).
Aidit berperan serta dalam perumusan kemerdekaan Indonesia. Pada awal
1945 Aidit menjadi seorang aktivis dalam Pemuda Angkatan Baru (PAB), sebuah
organisasi yang separuh ilegal yang bertujuan untuk membuka jalan bagi
dilakukannya proklamasi kemerdekaan (Edman, 2005:64). Pada akhir September
1945, Aidit bersama Lukman dan Sidik Kertapati ditangkap oleh Kempentai
Jepang karena ikut mengorganisasian rapat umum Ikada 19 September 1945.
Mereka dimasukan ke penjara Jatinegara. Seminggu kemudian, mereka berhasil
melarikan diri dengan bantuan kepala penjara. Pada bulan November Aidit
101
tertangkap oleh tentara Inggris dan ditahan di penjara Glodok. Mereka diserahkan
kepad tenatra Belanda yang mebuang mereka ke pulau Onrust selama tujuh bulan
(Gie, 1997:58).
Setelah lepas dari Penjara Onrust, Aidit pada pertengahan 1946 datang ke
Solo. Disana mereka bertemu dengan Nyoto dari PKI Besuki. Lukman ditemui
lagi setelah lepas dari penjara. Aidit menghabiskan sebgain besar waktunya pada
periode 1946-1948 dengan berkutat dalam berbagai aktivitas organisasi partainya.
Pada kongres keempat yang diselenggarakan di Solo terpilih menjadi Committe
Central (CC) atau pengurus pusat dan ia terpilih menjadi ketua Fraksi
Komunisme dan menjadi anggota sidang KNIP. Pada bulan September 1948 ia
terpilih menajdi politbiro partai setelah bekerja sebagai sekretaris dalam dewan
eksekutif Front Demokrasi Rakyat (FDR). Pada saat terjadi Peristiwa Madiun
1948 Aidit melarikan diri ke Singapura. Aidit diangkat sebagai pemimimpin PKI
pada tahun 1951. Pengambilalihan kepemimpinan dalam PKI yang dilakukan oleh
kelompok Aidit memunculkan berbagai perubahan besar dalam sejarah perjalanan
partai.
Pada tahun 1951-1965 Aidit menjadi ketua CC PKI.. Ketika kembali ke
Indonesia pada awal 1950-an. Situasi Indonesia sudah sejak jauh berbeda.
Sukarno membuka pemahaman rekonsiliasi terhadap seluruh komponen yang ada
dalam kehidupan bernegara dari kelompok ideologi manapun, untuk
mempertahankan bersama keutuhan dan kemerdekaan dari neo-kolonialisme dan
imperialisme (Nekolim). Anjuran Sukarno tersebut, membuka ruang bagi tokoh-
tokoh PKI muda untuk membangun kembali organisasinya. PKI yang sempat
102
dibangun oleh tokoh tua, Alimin dan Pono. Kemudian berhasil direbut oleh tokoh
yang lebih muda: Aidit, Nyono, Waluyo dan lain lain. Jabatan tertinggi dalam
kepartaian yaitu Sekretaris Djendral dipegang oleh D.N Aidit.
Dibawah pimpinan D.N Aidit, PKI mulai menggalakkan kembali
membangun kinerja organisasinya. PKI menjelaskan kepada komponen bangsa
lainnya bahwa partainya adalah partai kader yang mengedepankan Indonesia yang
bermartabat. Aidit rajin membangun organisasinya secara sistematis, dengan masa
garapannya meliputi masa tani dan buruh terutama yang berasal dari status sosial
menengah-kebawah. Secara khusus Aidit menyebut partainya sebagai partai
ploretariat, partainya rakyat banyak. Untuk membela partainya terhadap peristiwa
madiun 1948. Aidit kemudian menulis pembelaan partainya lewat tulisan
Menggugat peristiwa Madiun, sebuah tulisan yang isinya menyebutkan bahwa
saat itu PKI adalah pihak yang diprovokasi oleh Hatta dan menjadi korban.
Meskipun ia seorang Marxis dan anggota Komunisme Internasional
(Komintern), Aidit mengikuti paham Marhaenisme Soekarno dan membiarkan
partainya berkembang tanpa menunjukkan keinginan untuk merebut kekuasaan.
Sebagai dukungannya terhadap Soekarno, ia berhasil menjadi menjadi Sekjen PKI
hingga Ketua. Di bawah kepemimpinannya PKI menjadi partai komunisme ketiga
terbesar di dunia, setelah Uni Soviet dan RRT. Ia mengembangkan sejumlah
program untuk berbagai kelompok masyarakat, seperti Pemuda Rakyat, Gerwani,
Barisan Tani Indonesia (BTI), dan Lekra.
Dibawah pimpinan Aidit PKI mengalami kemajuan pesat. Pada tahun
1952, setahun setelah Aidit mengambil laih pimpinan partai, PKI hanya memiliki
103
anggota kurang dari 8.000 orang. Pada tahun 1964 PKI mengklaim memiliki tiga
juta anggota (Sulistyo, 2000:31). Dalam kampanye Pemilu 1955, Aidit dan PKI
berhasil memperoleh banyak pengikut dan dukungan karena program-program
mereka untuk rakyat kecil di Indonesia. Dalam dasawarsa berikutnya, PKI
menjadi pennyeimbang dari unsur-unsur konservatif di antara partai-partai politik
Islam dan militer.
Pada tahun 1965, PKI menjadi partai politik terbesar di Indonesia dan
menjadi semakin berani dalam memperlihatkan kecenderungannya terhadap
kekuasaan. Pada tanggal 30 September 1965, terjadilah tragedi nasional yang
dimulai di Jakarta dengan diculik dan dibunuhnya enam orang jenderal dan
seorang kapten. Peristiwa ini lebih dikenal sebagai Peristiwa G-30-S/PKI. Pada
tanggal 30 September satu batalyon pengawal istana yang dipimpin oleh Letnan
Kolonel Untung, satu batalyon dari Divisi Deponegoro, satu batalyon dari Divisi
Brawijaya dan orang-orang sipil dari pemuda rakyat PKI meninggalkan pangkalan
udara Halim. Mereka pergi untuk menculik Nasution, Ahmad Yani, Parman dan
empat jenderal senior angkatan darat lainnya dari rumah-rumah mereka di Jakarta
(Ricklefs, 2005:427).
Pihak militer melakukan tindakan refresif dalam menumpas
pemberontakan ini. Aidit sendiri melarikan diri ke Yogyakarta (Ricklefs,
2005:429). Kemudian tertangkap di Solo pada tanggal 22 November 1965
(Pusponegoro & Notosusanto, 1993:401) lalu dibawa oleh sebuah batalyon
Kostrad ke Boyolali dan ditembak mati.
104
2. Aidit dan Komunisme di Indonesia
Aidit merupakan salah satu kader produk lokal. Secara garis besar
pemikiran komunisme Aidit berbeda dengan dasar ideologi Marxisme. Pada bulan
Januari 1951 Aidit mulai memimpin PKI, bersama Lukman, Nyoto dan
Soedisman. Aidit menekankan bahwa Marxisme adalah suatu pedoman untuk
bertindak, bukannya dogma yang kaku. Kepemimpinannya membawa suatu
pragmatisme baru bagi PKI yang memungkinkan partai ini segera menajdi salah
satu partai politik terbesar, pada mulanya basis PKI terutama adalah kaum buruh
perkotaan dan perusahaan pertanian yang diorganisasikan melalui federasi Serikat
SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), yang sepenuhnya
dikendalikan oleh PKI. Kemudian partai ini melebarkan sayap kesektor-sektor
kemasyarakatan lainnya, termasuk kaum tani yang menjadikannya kehilangan
banyak sifat proletariat.
Pada masa Aidit PKI berhasil meraih anggota yang begitu besar yaitu pada
tahun 1964 PKI memiliki anggota sekitar tiga juta orang (Sulistyo, 2000:31).
Menurut Hermawan Sulistyo hal ini dikarena PKI pada masa Aidit melancarkan
strategi yang radikal dan agresif sehingga menarik lebih banyak pengikut dan
simpatisan dalam waktu singkat. Kedua PKI mengubah taktiknya dari perjuangan
bersenjata menjadi front kesatuan (Sulistyo, 2000:32).
Aidit berpendapat bahwa Indonesia merupakan sebuah negara yang bersifat
semi kolonial dan semi feodal seperti ditulis Aidit
Atas dasar persetudjuan KMB pada tanggal 27 Desember 1949 dilakukan apa jang dinamakan ”penjerahan kedaulatan” oleh Netherland kepada Indonesia. Persetudjuan KMB ini, sebagaimana djuga persetudjuan Linggardjati dan Renville adalah persetudjuan kolonial, tidak dibikin dalam
105
perundingan atas dasar kedudukan jang sama. Ini kelihatan dari isi persetudjuan KMB jang hina itu. Dengan diterimanja persetudjuan KMB oleh pemerintah Indonesia kaum imprealis Belanda berhasil mempertahankan pengawasanja atas Indonesia. Indonesia mendjadi anggota dari apa jang dinamakan Uni Indonesia-Belanda dibawah naungan Ratu Belanda (Aidit, 1953:27). Dalam memandang pemerintah Aidit bersifat pragmatis dengan tetap
berpedoman pada Marxisme-Leninisme dengan disesuikan dengan kondisi yang
ada.
Dalam menentukan sikap politikja PKI senantiasa berpedoman pada Marxisme-Leninisme dan berdasarkan perimbangan kekuatan sosial jang ada. PKI wadjib senantiasa memperhitungkan keadaan sosial jang tidak stabil di Indonesia. Berdasarkan inilah PKI bisa mempujai tiga matjam sikap terhadap pemerintah-pemerintah sebelum demokrasi rakjat. Pertama, djika pemerintah itu sangat reaksioner seperti pemerintahHatta, Natsir dan Sukiman, PKI memobilisasi seluruh rakjat untuk mendjatuhkan pemerintah reaksioner itu dan untuk mendirikan pemerintahan jang madju atau agak madju. Kedua, djika pemerintah itu agak madju seperti pemerintah Wilopo dalam waktu-waktu ketika ia dibentuk, PKI bisa memberikan sokongannja sampai batas-batas jang tertentu, walaupun PKI sendiri tidak ikut didalamja. Ketiga, djika pemerintah itu adalah front persatuan, artija pemerintah jang terdiri dari elemen-elemen demokratis termasuk partai komunisme, seperti pemerintahan-peremrintahan Republik Indonesia selama Revolusi Rakjat 1945-1948, dengan sendirinja PKI memberikan sokongganja (Aidit, 1953:46).
Namun konsep-konsep Marxime oleh Aidit di Indonesiakan dengan konsep
tiga sebab kesengsaraan rakyat. Pertama, para impralis, terutama imprealism
Amerika, merupakan musuh utama rakyat progresif di seluruh dunia. Kedua, di
desa-desa terdapat tujuh setan, yaitu: (1) setan tuan tanah yang menolak
melaksanakan ketentuan-ketentuan Undang-undang pokok agraria (UUPA) dan
undang-undang bagi hasil (UUBH); (2) Setan Pejabat yang membela kepentingan
setan tuan tanah; (3) setan tengkulak yang memeras para petani; (4) kapitalis
birokrat yang menyalahgunakan kekuasaanya untuk memeprkaya diri dengan cara
106
mengeksploitasi petani; (5) bandit desa yang menjadi antek dan kaki tangan tuan
tanah; (6) rentenir; (7) penghisap darah rakyat yang menjebak petani menjadi
pengutang sumur hidup. Ketiga, dikota-kota ada tiga setan kota, sipil dan militer,
yaitu: (1) kaum kapitalis birokrat; (2) para penggelap (3) pejabat korup (Sulistyo,
2000:39-40).
Orientasi perjuangan Aidit lebih pada perbaikan kehiduapn kelas buruh
dalam jangka pendek. Jadi, dia menyatakan bahwa kaum komunis dapat berkerja
sama dengan kaum borjuis kecil-kecilan dan kaum borjuis nasional melawan kelas
borjuis komprador dan kelas feodal. Akan tetapi partai politik yang didukung oleh
borjuis pribumi adalah partai Masyumi yang para pemimpinnya bersikap anti
komunisme. Oleh karena itu PKI menganggap bahwa Masyumi merupakan
borjuis komprador. PNI yang lebih bersifat birokratis daripada borjuis ternyata
lebih dapat menerima rayuan PKI dan oleh karenanya PNI diidentifikasikan oleh
Aidit sebgai partai kaum borjuis nasional. Ketika Nahdatul Ulama memisahkan
diri dari Masyumi maka Aidit merasa lega untuk memandang NU sebagai partai
borjuis, yang dalam bebrapa hal memang demikian adanya. Strategi Aidit dalam
mencari sekutu di aliran-aliran politik lainnya mengandung arti bahwa sebenarnya
PKI menyesuaikan diri dengan srtuktur sosial yang didalamnnya kesetiaan
budaya, agama, dan ploitik bersifat vertikal datau komunal daripada horizontal
seperti pada masyarakat yang sadar kelas. Dengan menyesuaikan diri dengan cara
ini, maka pada dasarnya PKI menghalangi setiap usaha merangsang suatu
kesadaran yang lebih besar yang akan mengabaikan kesetiaan komunal dan partai
yang ada.
107
Salah satu penyesuaian yang dilakukan oleh Aidit adalah dengan mengikuti
Pemilihan Umum pada masa Demokrasi Parlementer. Hal ini dilakukan sebagai
upaya menyesuikan perjuangan politik, terutama dalam kaitannya dengan masih
berlangsungnya perjuangan dalam meraih hegemoni di dalam koridor kekuasaan
politik di Indonesia. Seperti ditulis oleh Aidit bahwa PKI pada masa Demokrasi
Parlementer ambil bagian membangunkan semangat rakyat untuk aktif dan
sungguh-sungguh menghadapi pemilihan umum yang akan datang (Aidit,
1954:20). Selanjutnya Aidit menjelaskan bahwa pemilu bukan
Melalui pemilihan umum ini kami tidak bertudjuan untuk mentciptakan sebuah revolusi baru, namun kami hanya berdjuang demi kebebasan-kebebasan berdomkrasi jang lebih luas lagi, demi terwujudnya sebuah pemerintahan jang demokratis yang tidak bertindak sewenang-wenang terhadap gerakan rakyat, sebagian demi menciptakan sebuah situasi yang menjanjikan pembangunan gerakan rakjat tersebut dalam mempertahankan kemerdekaan nasional, perdamaian, demokrasi dan kehidupan yang lebih baik...pemilihan umum tersebut tidak akan mengambil peranan revolusi (Aidit, 1955:211). Strategi Aidit bersifat defensif, karena PKI secara luas tidak dipercaya oleh
banyak pihak dikalangan elite politik dan militer. Tujuan utamanya adalah
melindungi partai dari pihak yang mengharapkan kehancurannya, apapun
penyesuaian-penyesuain teoritis atau aliansi-aliansi politik yang mungkin di
tuntutuntuk itu. Aidit sangat berhasil mempertahankan PKI selama hampir lima
belas tahun, tetapi usaha ini membawa partai ini ke jalan yang aneh. Akhirnya,
apa yang dipertaruhkan lebih merupakan masa depan PKI sebagai suatu organisasi
daripada masa depan kelas butuh atau komunisme sebagai ideologi politik.
Bagaimanapun juga sebagain besar lawan-lawan partai ini memandangnya
sebagai sikap ideologi yang ekslusif dan ancaman. Menurut keyakinan mereka
108
diakibatkan oleh sikap komunisme terhadap agama dan dominsi elite militer dan
politik yang masih mapan. Aidit berfikir untuk mempertahankan partai maka
harus berkolaisi, ketika PNI memutuskan untuk keluar dari koalisi (Ricklefs,
2005:397). Aidit memutuskan untuk mencari dukungan Sukarno. Partai menjadi
semakin besar namun mengorbankan suatu yang fundamental yaitu sifat
militannya.
Ideologi bagi Aidit tidak relevan untuk masyarakat pada masa itu yang
melarat. Maka untuk lebih membumikan Marxis-Leninis maka Aidit memutuskan
untuk bekerja bersama rakyat. Seperti ditulis Edman, Aidit menekankan bahwa
sebenarnya rakyat tidak menginginkan perbaikan-perbaikan dalam banyak hal
dalam kehidupan mereka. Mereka menginginkan tahu, mereka menginginkan
jamu mereka menginginkan kecap, mereka menginginkan tempe dan sebagainnya
(Leclerc dikurip dalam Edman, 2005:77). Disini dapat dipilih adanya suatu
pendangkalan nilai ideologi dan Aidit lebih mementingkan aspek praktis dan
berfikir jangka pendek.
Aidit berpandangan perlunya mengorganisasikan sebuah front nasional
bersatu yang akan digunakan mencapai tujuan PKI secara lebih efektif. Aidit
menilai bahwa untuk dapat memperjuangkan komunisme partai harus
dipertahakan, oleh sebab itu Aidit melakukan berbagai cara untuk tetap bertahan
salah satunya adalah dengan berkoalisi dan berperlemen. Dengan alasan untuk
dapat mempertahankan partai dari kehancuran maka PKI harus menyesuikan diri
dengan kondisi yang ada. Meskipun sangat diperlukan pada tingkat praktikal,
akan tetapi dengan pendekatan ini penerapan secara konsisten ideologi Marxisme
109
dan Leninis terpaksa juga tidak dapat dilakukan, yang pada akhirnya memaksa
PKI untuk berkompromi dengan situasi.
Bagi Aidit keharusan untuk melakukan kompromi bukan suatu masalah
yang serius, ia bahkan lebih melihatnaya sebagai hanya sebuah penyesuaian
ideologi Marxisme Leninisme dengan situasi Indonesia, seperti dikatakn oleh
Aidit dalam Edman bahwa menerapkan prinsip-prinsip Marxisme-Leninisme
dalam keadaan yang nyata di negara atau dengan kata lain melakukan
Indonesianisasi terhadap Marxisme-Leninisme dan dengan berpijak pada landasan
tersebut akan ditentukan secara kreatif bentuk kebijakan dan taktik perjuangan
dan bentuk organisai partai (Aidit dikutip dalam Edman, 2005:102). Politik
kompromi ini tercermin juga dalam pemilu tahun 1955, diamana NU memperoleh
suara yang sama dengan PKI, namun Aidit dapat mentolelir karena dalam pidato-
pidato tokoh NU menunjukkan sebuah sikap toleransi. Menurut Aidit kerjasama
dengan partai-partai yang berideiologi Islam dan Nasionalis, seperti dikatakan
Aidit
Adalah keliru djika kaum komunisme nmenolak kerdjasama dengan semua partai dan semua pemimpinnja Nasionalis dan Islam. Sebalikjalah jang benar kita harus tidak henti-hentija mentjari kontak-kontak untuk mengadakan kerdjasama jang erat berdasarkan suatu program kongkrit jang tertentu (Aidit, 1954:29)
Pada masa Demokrasi terpimpim (1960-1965) PKI di bawah
kepemimpinan Aidit masih menjalankan politik kompromi. Kegagalan PKI untuk
menjadikan diri sebagai partai kuat dan untuk mengatasi lawan politiknya,
memaksa PKI untuk kembali berkompromi. Pada demokrasi terpimpin PKI
berkoalisi dengan Presiden Soekarno.
110
Dalam usahanya mencapai tujuan komunisme maka PKI mengusulkan
adanya land reform atau revolusi agraria. Land reform ini bertujuan untuk
menghapuskan dua buah sistem hukum yang berbeda yang berlaku di Indonesia
yakni sistem hukum adat dan sistem hukum barat. Dibawah undang-undang
agraria yang berlaku tersebut praktik-praktik hukum barat akan ditinggalkan
sepenuhnya dan hanya sistem hukum dan hanya sistem adat yang akan diterapkan
(Edman, 2005:150) Mortimer mengemukakan bahwa dalam upaya pengenalan
undang-undang pokok agraria kembali PKI memainkan kegemaranya, yakni
politik konsensus atau lebih tepatnya politik penyelamatan diri.
Permasalahan yang harus dihadapi oleh PKI dalam menjalankan land
reform adalah kepemilikan tanah secara perorangan sebagai suatu hal yang
penting dalam berlanjutnya pemberlakuan isntrumen-instrumen tradisional dalam
hal kepemilikan tanah. Dengan kata lain kepermilikan tanah berkaitan dengan
unsur tradional masyarakat. Unsur tradisonal sulit dihilangkan dalam masyarakat.
Situasi ini memaksa dilakukannya interpretasi yang berbeda. Menurut Aidit
untuk mengatasi masalah ini dengan menghilangkan feodalisme, untuk menuju
kepada penghapusan feodalisme maka salah satu caranya adalah dengan land
reform. Seperti digambarkan oleh Aidit bahwa sebagian besar dari para buruh
tani, dengan berdasarkan berbagai pengalaman mereka setelah kemenangan
revolusi agraria, akan sampai pada kesimpulan bahwa menggabungkan tanah
sempit dan segala perlengkapan yang mereka miliki ke dalam sebuah pertanian
kolektif besar yang lebih luas yang mencakup wilayah yang luas dan mendapatkan
bantuan dari nengara dalam bentuk traktor-traktor, mesin-mesin permanen dan
111
alat-alat pertanian lainya. Dengan kata lain, para buruh tani kita akan mengikuti
pola pertanian kolektif tersebutyang merupakan jalan menuju pembangunan
masyarakat sosialis. Berbagai pengalaman para petani, yang didukung oleh
kepemimpinan dan berbagai pelatihan yang dilakukan oleh partai akan menyadari
akan hal tersebut sehingga mereka secara sukarela akan meninggalkan prinsip-
prinsip kepemilikan tanah secara perseorangan (Aidit, 1959:116).
Selain kepada buruh dan petani Aidit juga menaruh perhatian pada nelayan.
Menurut Aidit, buruh nelayan dan nelayan miskin bekerjasama dengan para
nelayan menengah adalah kekuatan-kekuatan penggerak revolusi dan oleh karena
itu juga harus dibangkitkan, diorganisasikan dan dimobilisasi ke dalam aksi-aksi
untuk mewujudkan keadaan yang lebih baik dan kebebasan-kebebasan
berdemokrasi, dan dalam perjuangan untuk menyelesaikan kemerdekaan nasional.
Selain dengan cara pendekatan dan pemberian pengarahan kepada petani,
PKI juga berusaha dalam parlemen. Pada akhir tahun 1957 dan 1958 PKI berhasil
meloloskan undang-undang yang didalamnya mencakup banyak tuntutan yang
telah menjadi tuntutan PKI selama ini (Edman, 2005:1946). Undang-undang yang
pertama adalah undang-undang tentang pembagian hasil panen yang merupakan
versi kedua dari sebuah undang-undang yang diajukan ke pada parlemen oleh PKI
dan para anggotanya yang duduk di parlemen. Versi pertama undang-undang ini
menuntut adanya pembatasan biasaya sewa tanah sampai dengan 10% atau
setinggi-tingginya 30% dari nilai seluruh hasil panenan dan yang memberikan
bentuk perlindungan keamanan lainnya bagi para penyewa dan para petani
penyewa yang membayar sewanya dengan hasil panenan namun undang-undang
112
ini gagal diloloskan. Undang-undag ini kemudian direvisi dan pembagian hasil
panena minimun dengan perbandingan 50:50 dan berbagai kesepakatan lainnya
yang menguntungkan para penyewa tanah, versi kedua ini kemudian diterima
sebagai undang-undang. Namun, Usaha land reform yang dilakukan PKI tidak
berjalan dengan lancar. Petani yang menjadi terpecah belah dan hanya
mementingkan tanah mereka. Hal ini dikarenakan PKI melupak aspek yang
penting dalam gerakan Marxis, yaitu pandangan militan dikalangan petani
terhadap upaya pencapaian tujuan-tujuan mereka.
Aidit dalam usahanya merebut kekuasaan tidak pernah menggunakan
kekerasan bersenjata. Seperti diugkapkan oleh Mortimer meskipun orang-orang
komunisme telah memikirkan jalan menuju ke puncak, penggunaan kekerasan
massa sebagai bagian dari rencana mereka tak pernah lagi dilakukan sejak tahun
1951. (Mortimer, 1972:64). Semua dilakukan dengan cara damai dengan cara
berkompromi dengan pihak lain. Seperti pada penyelesaian konflik land reform,
pertikaian dengan Masyumi, berkoalisi dengan Soekarno, semua dilakukan
dengan kompromi. Bahkan dengan melanggar dasar dari ideologi Marxis -Leninis
sendiri. Namun hal itu bagi Aidit tidak terlau dianggap serius, karena menurut
Aidit rakyat tidak butuh ideologi Marxis-Leninis yang rakyat butuhkan adalah
sebuah realitas. Namun disini Aidit mengambil sebuah langkah besar dengan
mengorbankan segi radikal dari gerakan komunisme demi hal yang praksis.
Sehingga hal ini menimbulkan partai merubah orientasi partai, partai hanya
berfikir untuk menyelesaikan persolah buruh dan tani dengan instan. Pada intinya
113
komunisme Aidit adalah komunisme kompromi. Politik kompromi Aidit berakhir
pada pemberontakan 1965.
Pemikiran komunisme Aidit yang menempuh jalan damai dalam menuju
puncak kekuasaannya, dimana dengan menempuh jalan itu PKI telah melakukan
sesuatu yang bertentangan dengan banyak hal dalam teori-teori tradisional
Marxisme dan Leninisme dan sangat bertentangan dengan pendekatan komunisme
kaum Maois. PKI gagal menyelesaikan sejumlah persoalan oportunisme kanan
dan adanya persekutuan dengan kaum borjuasi nasional menyebabkan Partai
Komunisme Indonesia pada masa Aidit melenceng dari landasan fundamental
Marxisme-Leninisme. Aidit lebih bergerak seperti gerakan revisionis dimana
dalam usaha merebut kekuasaan negara melakukan parlemen daripada Marxisme-
Leninisme.
E. Perbandingan Pemikiran Musso dan Aidit
Perbedaan pemikiran Musso dan Aidit disebabkan oleh perbedaan
pengalaman keduanya menegnai komunisme. Musso yang pernah hidup di Uni
Soviet dan Chekoslovakia setelah pemberontakan 1926, banyak belajar dan
mellihat bagaimana negara komunis di jalankan. Sedangkan Aidit merupakan
produk lokal, yang tidak pernah hidup di negara komunis dalam waktu lama.
Perbedaan ini pada akhirnya mempengaruhi cara pandang keduanya terhadap
komunisme. Dimana Musso memandang penting paham komunis dipahami oleh
para buruh, sedangkan Aidit memandang bahwa perbaikan kondisi ekonomi kaum
buruh dan petani lebih penting daripada pemahaman terhadap komunisme.
114
Pemikiran komunisme Musso dan Aidit memiliki beberapa perbedaan.
Perbedaan pemikiran tersebut disebabkan oleh perbedaan latar belakang
pemahaman komunisme. Musso belajar komunisme di Uni Soviet, sedangakan
Aidit memahami komunisme di Indonesia. Perbedaan latar belakang komunisme
ini menyebabkan perbedaan cara pandang dalam mempraktekan komunisme di
Indonesia. Musso yang belajar di Uni Soviet begitu memahami teori Marxis
namun tidak memahami kondisi di Indonesia. Sedangkan Aidit sebaliknya tidak
terlalu memahami teori Marxis tetapi mengerti kondisi di Indonesia sehingga ia
berusaha untuk meng-Indonesiakan teori komunisme. Kondisi politik, pertahan
keamanan, sosial ekonomi dan budaya masyarakat Indonesia yang berbeda turut
mempengaruhi pola pikir Musso dan Aidit.
Secara garis besar pemikiran Musso dan Aidit dapat dibedakan dari
tataran teori dan praktek. Pada tataran teori Musso memandang penting
pemahaman akan ideologi Marxis-Leninis (komunisme). Ideologi Marxis-Leninis
merupakan sebuah ilmu yang tinggi dan harus dipelajari oleh kaum komunisme.
Ideologi meneguhkan keyakinan, menajamkan kewaspadaan, membesarkan
keberanian dan memudahkan pekerjaan partai. Menurut Musso partai Komunisme
yang benar-benar berdasar pada pelajaran Marx, Engels, Lenin dan Stalin tidak
mudah jatuh dalam kebingungan dan bagaimanapun juga sulitnya keadaan dan
suasana politik Partai komunisme. Musso menganjurkan kepada setiap anggota
komunisme untuk memabca dan mempelajari secara sistematis teori revolusioner
dan diwajibkan mengadakan kursus-kursus dikalangan buruh dan kaum tani.
Supaya buruh dan tani dapat mempraktekan teori komunisme. Teori yang tidak
115
dihubungkan dengan massa, tidak dapat merupakan kekuatan, akan tetapi
sebaliknya teori yang direlisasikan merupakan kekuatan yang kuat (Musso,
1948:25). Sedangakan Aidit memandang bahwa sebenarnya rakyat tidak
menginginkan teori-teori Marxis-Leninis. Sebaliknya mereka justru menginginkan
perbaikan-perbaikan dalam benyak hal dalam kehidupan mereka. Menurut Aidit
di Indonesia dan Asia Tenggara belum penting untuk membicarakan sistem
Komunisme, yang penting bagi Indonesia dan kawasan Asia Tenggara adalah
kemerdekaan nasional dan perdamaian (Aidit dikutip dalam Edman2005:88).
Perbedaan dalam tataran teori berdampak pada pelaksanaan komunisme di
Indonesia. Musso memperlihatkan sebuah pandangan yang tegas mengenai
pergerakan dan arah perjuangan komunisme. Musso berpandangan bahwa
kemerdekaan dan perubahan sosial masyarakat Indonesia hanya dapat dilakukan
dengan cara revolusi. Musso menganggap bahwa revolusi 1945 merupakan
revolusi Demokratis borjuis. Musso mengatakan bahwa kaum komunisme tidak
boleh melupakan bahwa kewajiban PKI dalam tingkatan penyelesaian Revolusi
Nasional atau Revolusi Demokratis Borjuis Tipe Baru, sebagai tingkatan
persediaan untuk revolusi selanjutnya, yaitu revolusi sosialis atau revolusi proletar
(Musso, 1948:23). Artinya bahwa revolusi nasional Indonesia merupakan bagian
dari revolusi proletar dunia yang dipimpin oleh Uni Soviet. Musso mengatakan
bahwa revolusi akan gagal jika tidak dilakukan perubahan secara radikal. Selain
itu Menurut Musso pemimpin dari revolusi adalah kelas buruh. Pendorong
Revolusi Nasional sekarang ini ialah Rakjat progresif dan anti-imperialis
116
seluruhnja terutama sekali kelas buruh sebagai pemimpinnya dan kaum tani
sebagai sekutu kelas buruh (Musso, 1948:23).
Musso tidak menyetujui langkah kaum reformis yang melakukan
kerjasama dengan kaum imprealis. Menurut Musso kaum reformis ini hanya
Mencari keuntungan dan bantuan dengan kerjasama, bukan dengan golongan anti-
imperialis melainkan dengan golongan imperialis. Kaum reformis menggunakan
pertentangan-pertentangan di antara imperialisme Inggris dan Amerika dan di
antaranya ada Belanda. Dasar daripada politik reformis ini diletakkan dalam
Manifes Politik Pemerintah Republik November 1945. Kaum reformis menurut
Musso menghadapi imperialisme Belanda tidak dengan perjuangan yang
konsekuen revolusioner dan anti-imperialis, melainkan dengan politik reaksioner
atau politik kompromis yang bersemboyan: "bukan kemenangan militer yang
dimaksudkan, melainkan kemenangan politik". Jadi bukannya perjuangan dengan
senjata yang diutamakan, melainkan perjuangan politik, sedangkan, imperialisme
Belanda terus-menerus berusaha memperkuat tenaga militernya (Musso:
1948:11).
Sedangkan Aidit memilih untuk melakukan kompromi terhadap kondisi
Indonesia. Secara tidak langsung Aidit telah melakukan kerjasama dengan pihak
imprealis, karena Indonesia pada masa demokrasi liberal bekerja sama dengan
pihak Amerika dan Inggris. Pada masa demokrasi liberal Aidit memutuskan untuk
berjuang di dalam parlemen. Hal ini menyebabkan PKI tidak dapat menerapkan
ideologi Marxis-Leninis secara konsisten. Menurut Aidit keharusan untuk
melakukan kompromi bukan merupakan sebuah hal yang serius ia memandang
117
bahwa hal tersebut merupakan proses proses penyesuaian ideologi Marxis-Leninis
dengan kondisi Indonesia, seperti ditulis Aidit:
...menerapkan prinsip-prinsip Marxisme-Leninisme dalam keadaan njata di negara kita atau dengan kata lain melakukan proses Indonesianisasi terhadap Marxisme-Leninisme dan dengan berpijak pada landasan tersebut akan ditentukan secara kreatifuntuk kebijakan dan taktik perjuangan dan bentuk organisasi partai kita (Aidit, 1963:85-89) Pada masa demokrasi terpimpin PKI melakukan kompromi dengan ikut
serta dalam pemerintahan parlementer. Meskipun sistem pemerintahan
parlementer ini adalah suatu sistem pemerintahan yang bersifat borjuis. Dalam hal
ini Aidit menekankan bahwa PKI akan mempertahankan sistem demokrasi
parlementer bukan hanya karena sistem politik tersebut lebih baik daripada sistem
politik yang jelas-jelas diktatorial yang borjui, tetapi juga karena sistem ini
berkaitan secara langsung dengan perjuangan massa rakyat demi kepentingan
sehari-hari mereka dan demi sebagain tuntutan kaum buruh dan tani (Aidit,
1959:310). Namun PKI selama demokrasi parlementer tidak pernah masuk
kedalam kaninet. PKI bergerak diluar kabinet dan menajdi oposisi. Kegiatan PKI
hanyalah terbatas untuk mendukung atau mengkritik kabinet yang ada dalam
pemerintahan. Pada masa demokrasi parlementer PKI mengikuti sebuah pemilihan
umum. Dengan mengikuti pemilihan umum dan ikut serta dalam pemerintahan
parlementer Aidit telah memasukan PKI kedalam gerakan kaum reformis. Hal ini
berbeda dengan pandangan Musso bahwa perubahan harus dilakukan secara
radikal.
Pada masa demokrasi terpimpin PKI kembali melakukan kompromi. PKI
mendekati Soekarno sebagai Presiden. PKI menggunakan kekuasaan aprlemen
118
untuk mewujudkan kesejahteraan kaum buruh dan tani, sebagai contoh Aidit
mengusulkan diiadakanya land reform (reformasi agraria). Tujuan land reform di
Indonesia adalah untuk menghapuskan dua buah sistem hukum yang berbeda yang
berlaku di Indonesia, yakni sistem hukum adat dan sistem hukum barat. Dibawah
undang-undang agraria yang baru, praktik-praktik hukum barat akan ditinggalkan
seenuhnya dan hanya sistem hukum adat yang diterapkan.
Perbedaan cara bergerak antara Musso dan Aidit mengakibatkan
perbedaan garis komunisme. Musso menggunakan garis komunisme Uni Soviet
dan patuh kepada Komintern (Komunisme Internasional). Sedangakan Aidit
mengikuti gerak kaum reformis menggunakan cara politik dan negara untuk
mencapai sosialisme. Walaupun Aidit masih menggunakan Marxis-Leninis
sebagai pegangan partai. Musso berpendapat bahwa kaum komunisme Indonesia
Dalam perjuangannya melawan imperialisme, PKI harus menghubungkan diri
dengan gerakan-gerakan anti-imperialis di Asia, di Eropa dan di Amerika,
terutama sekali dengan rakyat negeri Belanda yang progresif, yang sebagian besar
dari mereka dipimpin oleh CPN. Tujuan PKI ialah mendirikan Republik Indonesia
berdasarkan Demokrasi rakyat, yang meliputi seluruh daerah Indonesia dan yang
bebas dari pengaruh imperialisme serta tentaranya.
Dalam politiknya luar negerinya Musso memihak kepada Uni Soviet dan
menganjurkan PKI untuk melakukan hubungan langsung antara Republik
Indonesia dengan Soviet Uni dalam segala lapangan. Menurut Musso Uni Soviet
adalah sekutu yang semestinya dari rakyat Indonesia yang melawan imperialisme
oleh karena Uni Soviet memelopori perjuangan melawan blok imperialis yang
119
dipimpin oleh Amerika Serikat. Cukup jelas bagi kita bahwa Amerika Serikat
membantu dan mempergunakan Belanda untuk menekan Republik kita yang
demokratis. PKI harus menerangkan kepada rakyat banyak, bahwa pengakuan Uni
Soviet membawa kebaikan semata-mata, sebab Uni Soviet sebagai negara kaum
buruh tidak mungkin bersifat lain daripada anti-imperialis. Dengan demikian Uni
Soviet tidak mempunyai kepentingan lain terhadap Indonesia kecuali membantu
Indonesia dalam perjuangannya yang juga bersifat anti-imperialis
(Musso1948:16). Sedangakan Aidit lebih mendekati komunisme Cina. PKI pada
masa Aidit melakukan gerakan long march yang identik dengan gerakan
komunisme Mao Tse Tung, namun tidak berhasil memobilisasi massa.
Persamaan antara Musso dan Aidit adalah mengenai pentingnya
pembentukan Front Nasional untuk mencapai tujuan komunisme. Namuan
terdapat perbedaan antara konsepsi Front Nasional yang dipikirkan Musso dan
Aidit. Front Nasional yang dibentuk Musso merupakan gabungan dari semua
anasir-anasir partai lain tanpa memandang ideologi, dan dipimpin oleh PKI.
Sedangkan konsepsi Aidit adalah bahwa PKI melakukan koalisi dengan Partai lain
untuk mempertahankan posisi politiknya.
Menurut Musso Front Nasional harus disusun dari bawah yang disokong
oleh semua Partai dan golongan serta orang-orang yang progresif
(Musso,1948:23). Aidit memandang Front Nasional merupakan konsep yang
penting dalam perjuangan, walaupun pertentangan partai belum dapat diatasi.
Kemudian Musso berpendapat bahwa bahwa Partai kelas buruh tidak dapat
120
menyelesaikan sendiri revolusi demokrasi burjuis ini dan oleh karena itu PKI
harus bekerja bersama dengan partai-partai lain.
Kaum Komunisme sudah semestinya berusaha mengadakan persatuan
dengan anggota-anggota partai dan organisasi-organisasi lain. Satu-satunya
persatuan semacam itu ialah Front Nasional. Dalam menyusun ini PKI harus
mengambil inisiatif dan dalam Front Nasional itu PKI harus juga memainkan
peranan penting. Ini tidak berarti, bahwa kaum Komunisme memaksa partai lain
atau orang lain supaya mengikutinya, melainkan PKI harus meyakinkan dengan
secara sabar kepada orang-orang yang tulus hati, bahwa satu-satunya jalan untuk
mendapat kemenangan ialah membentuk Front Nasional yang disokong oleh
semua rakyat yang progresif dan anti-imperialis. Tiap-tiap Komunisme harus
yakin benar-benar, bahwa dengan tidak adanya Front Nasional kemenangan tidak
akan datang. Front Nasional harus disusun dari bawah, semua anggota partai-
partai yang sudah menyetujui Front Nasional seharusnya memasukinya, secara
individual. Selain daripada itu diberi juga kesempatan kepada beribu orang yang
tidak berpartai dan yang progresif turut serta dalam Front Nasional. Komite-
komite Front Nasional, baik di daerah maupun di pusat, harus dipilih secara
demokratis dari bawah. Front Nasional semacam ini, sekali berdiri, tidak akan
mudah hancur, bahkan tidak terlalu bergantung lagi kepada kehendak pemimpin-
pemimpin partai. Front Nasional semacam itu memungkinkan juga pengurangan
perselisihan politik dan juga memperkecil adanya oposisi sampai pada batas
minimum (Musso, 1948:23). Sedangkan menurut Aidit dalam perjuangan
membentuk sebuah Front Nasional, PKI harus dapat memepertahankan
121
independensinya baik secara politis ideologis maupun organisatoris (Aidit,
1959:175). Selanjutnya menurut Aidit sebelumnya masyarakat disatukan terlebih
dahulu berdasarkan kelas-kelas yang ada. Menurut Aidit Front Nasional harus
berlandaskan pada persatuan kaum buruh dan kaum Tani. Tanpa penyatuan kaum
buruh dan kaum petani menurut Aidit Front Nasional tidak akan berhasil.
Djika persatuan kuat dan kebidjakan benar-benar dituntun oleh partai komunis kemudian djaminan yang pasti akan kekuatan Front Nasional yang bersatu akan segera dilakukan. Dengan cara yang sama kekuatan Front Nasional yang bersatu tersebut dapat dipastikan akan dapat memantapkan persatuan antara kaum buruh dan kaum tani dan hal ini juga berarti memeperkuat dan meningkatkan kemampuan Partai Komunis. Kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh Radical Concentratie, PPPKI, GAPI, Konsentrasi Nasional dan timbul karena fron-fron tersebut tidak berlandaskan pada penyatuan yang kuat antara kaum buruh dan kaum petani (Aidit, 1959:54)
Pemikiran komunisme Musso dan Aidit memiliki tujuan yang sama yaitu
mensejahterakan rakyat. Namun jalan yang diambil oleh Musso dan Aidit
berbeda. Musso mengambil jalan radikal menentang pemerintah. Sedangkan Aidit
mengambil jalan berpolitik dan berkompromi dengan pemerintah. PKI pada masa
Aidit mengikuti Pemilihan umum dan ikut serta dalam pemerintahan parlemnter.