4-wahyu santoso

54
85 JURNAL KEUANGAN PUBLIK Vol. 5, No. 1, Oktober 2008 Hal 85 - 137 ANALISIS RISIKO KETIDAKPATUHAN WAJIB PAJAK SEBAGAI DASAR PENINGKATAN KEPATUHAN WAJIB PAJAK (Penelitian terhadap Wajib Pajak Badan Di Indonesia) 1 Oleh: Wahyu Santoso 2 Abstrak. Analisis dalam penelitian ini berhasil membuat fungsi diskriminan yang dapat digunakan untuk mengelompokkan wajib pajak menurut risiko ketidakpatuhannya, yaitu risiko bahwa ada pajak yang tidak dibayar karena wajib pajak tidak patuh, sehingga dapat digunakan untuk memprediksi kecenderungan wajib pajak sesuai dengan risiko ketidakpatuhan (rendah, menengah dan tinggi). Selanjutnya, fungsi diskriminan dapat dikembangkan menjadi alat efektif untuk pemilihan wajib pajak yang akan diperiksa. Pemilihan wajib pajak yang akan diperiksa berdasarkan tingkat risiko ketidakpatuhan wajib pajak akan dapat memperbaiki efektivitas pemeriksaan pajak dalam rangka meningkatkan kapatuhan wajib pajak. Selain itu, penelitian ini juga berhasil mengidentifikasi variabel-variabel yang berpengaruh kepada ketidakpatuhan wajib pajak badan. Variabel-variabel tersebut adalah tarif pajak, penalti, status pemeriksaan, struktur permodalan (debt to equity ratio), pemegang saham, jenis usaha, skala usaha, pajak relatif terhadap penjualan, dan kompensasi kerugian. Variabel dominan untuk masing-masing kelompok risiko ketidakpatuhan menurut penelitian ini adalah: (1) untuk sampel keseluruhan, tiga variabel paling dominan adalah sanksi, profitabilitas, dan rasio pajak terhadap penjualan; (2) untuk data sampel kelompok risiko ketidakpatuhan rendah tiga variabel paling dominan adalah tarif efektif, profitabilitas, dan rasio pajak terhadap penjualan; (3) untuk sampel kelompok risiko ketidakpatuhan menengah, tiga variabel paling dominan adalah profitabilitas, rasio pajak terhadap penjualan dan status pemeriksaan; dan (4) untuk sampel kelompok risiko ketidakpatuhan tinggi, tiga variabel yang paling dominan adalah debt to equity ratio, sanksi dan peredaran usaha. Keywords: kepatuhan pajak, risiko wajib pajak. 1 Disertasi pada Program Doktor Manajemen Bisnis Universitas Padjadjaran, Bandung tahun 2006. 2 Kepala Kantor Pelayanan Pajak Serang.

description

Jurnal Pemasaran

Transcript of 4-wahyu santoso

Page 1: 4-wahyu santoso

85

JURNAL KEUANGAN PUBLIK Vol. 5, No. 1, Oktober 2008

Hal 85 - 137

ANALISIS RISIKO KETIDAKPATUHAN WAJIB PAJAK SEBAGAI DASAR PENINGKATAN KEPATUHAN WAJIB PAJAK

(Penelitian terhadap Wajib Pajak Badan Di Indonesia) 1

Oleh: Wahyu Santoso2

Abstrak.

Analisis dalam penelitian ini berhasil membuat fungsi diskriminan yang dapat digunakan untuk mengelompokkan wajib pajak menurut risiko ketidakpatuhannya, yaitu risiko bahwa ada pajak yang tidak dibayar karena wajib pajak tidak patuh, sehingga dapat digunakan untuk memprediksi kecenderungan wajib pajak sesuai dengan risiko ketidakpatuhan (rendah, menengah dan tinggi). Selanjutnya, fungsi diskriminan dapat dikembangkan menjadi alat efektif untuk pemilihan wajib pajak yang akan diperiksa. Pemilihan wajib pajak yang akan diperiksa berdasarkan tingkat risiko ketidakpatuhan wajib pajak akan dapat memperbaiki efektivitas pemeriksaan pajak dalam rangka meningkatkan kapatuhan wajib pajak. Selain itu, penelitian ini juga berhasil mengidentifikasi variabel-variabel yang berpengaruh kepada ketidakpatuhan wajib pajak badan. Variabel-variabel tersebut adalah tarif pajak, penalti, status pemeriksaan, struktur permodalan (debt to equity ratio), pemegang saham, jenis usaha, skala usaha, pajak relatif terhadap penjualan, dan kompensasi kerugian. Variabel dominan untuk masing-masing kelompok risiko ketidakpatuhan menurut penelitian ini adalah: (1) untuk sampel keseluruhan, tiga variabel paling dominan adalah sanksi, profitabilitas, dan rasio pajak terhadap penjualan; (2) untuk data sampel kelompok risiko ketidakpatuhan rendah tiga variabel paling dominan adalah tarif efektif, profitabilitas, dan rasio pajak terhadap penjualan; (3) untuk sampel kelompok risiko ketidakpatuhan menengah, tiga variabel paling dominan adalah profitabilitas, rasio pajak terhadap penjualan dan status pemeriksaan; dan (4) untuk sampel kelompok risiko ketidakpatuhan tinggi, tiga variabel yang paling dominan adalah debt to equity ratio, sanksi dan peredaran usaha.

Keywords: kepatuhan pajak, risiko wajib pajak.

1 Disertasi pada Program Doktor Manajemen Bisnis Universitas Padjadjaran, Bandung tahun 2006. 2 Kepala Kantor Pelayanan Pajak Serang.

Page 2: 4-wahyu santoso

Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008

86

PENDAHULUAN

Komponen penerimaan pajak sebagai unsur penerimaan negara dalam APBN mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini dapat dilihat dari realisasi penerimaan pajak dalam Ang-garan Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pada tahun anggaran 1991/ 1992, realisasi penerimaan pajak men-capai Rp 20,1 triliun. Sedangkan pada tahun anggaran 2001 jumlah tersebut telah mencapai Rp 158,5 triliun atau meningkat lebih dari 600% dalam kurun waktu sepuluh tahun. Dengan menge-sampingkan faktor lain, seperti kenai-kan nilai tukar dan inflasi, penerimaan pajak dalam rentang waktu sepuluh tahun tersebut mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Besarnya kebu-tuhan penerimaan pajak dalam APBN menuntut administrasi pajak di Indone-sia untuk dapat bekerja secara efisien dan efektif, karena sumber daya yang dimiliki oleh administrasi pajak terbatas.

Perubahan sistem perpajakan dari official assessment menjadi self assessment, di mana wajib pajak diberi kepercayaan untuk mendaftar, menghi-tung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan kewajiban perpajakannya menjadikan kepatuhan sukarela wajib pajak sebagai kunci keberhasilan pemungutan pajak. Meskipun demikian, kondisi kepatuhan wajib pajak di Indo-nesia masih rendah, ditunjukkan dengan masih sedikitnya wajib pajak orang pribadi yang terdaftar sebagai wajib pajak dan dari wajib pajak yang terdaftar hanya sebagian yang melaporkan kewajiban perpajakannya. Sebagai gam-baran, misalnya pada tahun 2000, dari sekitar 200 juta penduduk Indonesia

hanya sekitar 1,3 juta orang yang terdaftar sebagai wajib pajak.

Ada tiga fungsi administrasi pajak dalam sistem self assessment yaitu: (1) pendidikan (penyuluhan); (2) pelayanan (customer service); dan (3) pengawasan atau penegakan hukum (enforcement) (Milack, 2005). Pemeriksaan pajak merupakan wujud dari fungsi pengawa-san yang dilakukan DJP sebagai bentuk pelaksanaan ketentuan perundang-undangan perpajakan.

Sebagaimana layaknya sebuah pe-meriksaan, untuk melakukan pemeriksa-an pajak juga perlu dilakukan pere-ncanaan agar hasil pemeriksaan tersebut optimal. Salah satu langkah dalam perencanaan pemeriksaan adalah penentuan audit risk dan inherent risk dari obyek pemeriksaan (Arens et al: 2006:241). Penentuan risiko tersebut dilakukan untuk menilai tingkat kesala-han secara material dalam suatu laporan keuangan (rendah, menengah dan tinggi) sehingga dapat digunakan untuk menen-tukan tingkat kedalaman pemeriksaan yang akan dilakukan.

Dalam kaitannya dengan peren-canaan pemeriksaan pajak, penentuan audit risk dan inherent risk dapat dianalogikan dengan penentuan risiko bahwa satu wajib pajak akan melakukan pelaporan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan sehingga berpotensi terdapat kesalahan atau wajib pajak tersebut tidak patuh dalam pelaporan pajaknya. Penentuan risiko wajib pajak dapat dilakukan dalam dua tingkatan, yaitu di tingkat kebijakan berupa penentuan wajib pajak mana yang akan diperiksa (audit selection) dan tingkat operasional, yaitu pada saat melakukan pemeriksaan wajib pajak.

Page 3: 4-wahyu santoso

Analisis Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak Sebagai Dasar Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak

87

Penentuan risiko wajib pajak pada tingkat kebijakan mutlak dilakukan karena administrasi pajak tidak akan mungkin melakukan pemeriksaan atas seluruh wajib pajak yang terdaftar mengingat keterbatasan sumber daya yang ada (OECD, 2005). Pemilihan wajib pajak yang akan diperiksa yang efektif (effective audit case selection) akan menimbulkan persepsi positif di wajib pajak karena wajib pajak yang patuh mempunyai risiko diperiksa yang lebih kecil dibandingkan dengan wajib pajak yang tidak patuh. Di sisi lain, pemeriksaan akan menjadi lebih efisien karena hanya fokus pada wajib pajak yang tidak patuh (Millack, 2005). Pemeriksaan yang tidak memperhi-tungkan tingkat kepatuhan wajib pajak dapat berakibat pada dilakukannya pemeriksaan kepada wajib pajak wajib pajak patuh, sementara wajib pajak yang tidak patuh justru tidak diperiksa. Hal ini akan berakibat pada rendahnya efekti-vitas tujuan pemeriksaan yaitu tercipta-nya kepatuhan wajib pajak yang tinggi.

Oleh karena itu, administrasi pajak perlu melakukan pendekatan yang siste-matis dalam menentukan wajib pajak mana yang akan diperiksa. Pendekatan sistematis yang umum digunakan oleh administrasi pajak di berbagai negara adalah pendekatan berdasarkan risiko ketidakpatuhan wajib pajak (risk-based approach). Risiko ketidakpatuhan wajib pajak adalah risiko yang harus ditanggung oleh administrasi pajak (atau pemerintah pada umumnya) karena perilaku wajib pajak yang tidak mema-tuhi ketentuan sehingga ada pajak terutang yang tidak dibayar (taxes at risk) (OECD, 2001).

Berdasarkan latar belakang seperti dijelaskan di muka, dalam penelitian ini, penulis mengajukan pertanyaan peneli-tian sebagai berikut:

1) Berapa ukuran risiko ketidak-patuhan tiap-tiap kelompok wajib pajak berdasarkan perbedaan penghasilan neto antara Surat Pemberitahuan wajib pajak de-ngan hasil pemeriksaan.

2) Apakah terdapat perbedaan keti-dakpatuhan yang signifikan antara kelompok wajib pajak yang dike-lompokkan ke dalam wajib pajak risiko ketidakpatuhan rendah, menengah dan tinggi.

3) Variabel apa saja yang membe-dakan wajib pajak ke dalam kelompok risiko ketidakpatuhan rendah, menengah dan tinggi.

Selain itu, dalam penelitian ini juga dilakukan pembatasan-pembatasan. Pembatasan pertama adalah penelitian ini terbatas pada kepatuhan material, yakni bagaimana perilaku wajib pajak dalam mengisi SPT untuk menentukan besarnya pajak terutang. Pembatasan kedua, lingkup penelitian ini terbatas pada tingkat kepatuhan dalam pelaksa-naan kewajiban material Pajak Pengha-silan. Pembatasan ketiga, faktor-faktor kepatuhan yang diperhitungkan sebagai variabel penelitian dibatasi pada faktor ekonomi dari ketidakpatuhan yang ada di dalam wajib pajak yang tercermin dalam pelaporan pajaknya dan faktor yang ada di dalam administrasi pajak yang bersifat kuantitatif misalnya tingkat penalti dan tingkat cakupan pemeriksaan.

Page 4: 4-wahyu santoso

Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008

88

KAJIAN PUSTAKA Kepatuhan Wajib Pajak

Menurut Simon James et al yang dikutip oleh Gunadi (2005), pengertian kepatuhan pajak (tax compliance) ada-lah wajib pajak mempunyai kesediaan untuk memenuhi kewajiban pajaknya sesuai dengan aturan yang berlaku tanpa perlu diadakannya pemeriksaan, inves-tigasi seksama, peringatan, atau pun ancaman dan penerapan sanksi baik hukum maupun administrasi. Sementara Nurmantu (2003:148) mendefinisikan kepatuhan perpajakan sebagai suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melak-sanakan hak perpajakannya.

Dalam Practice Note tentang Compliance Measurement yang diterbit-kan oleh OECD (2001), kepatuhan dibagi menjadi dua kategori, yaitu: (1) kepatuhan administratif (administrative compliance); dan (2) kepatuhan teknis (technical compliance). Kepatuhan admi-nistratif mencakup kepatuhan pelaporan dan kepatuhan prosedural. Sedangkan kepatuhan teknis mencakup kepatuhan dalam penghitungan jumlah pajak yang akan dibayar oleh wajib pajak.

Berdasarkan kedua definisi kepa-tuhan di muka, dapat disimpulkan bahwa kepatuhan administratif adalah kepatuhan formal, yakni kepatuhan yang terkait dengan ketentuan umum dan tatacara perpajakan. Sedangkan kepatu-han teknis adalah kepatuhan material, yakni kepatuhan yang terkait dengan kebenaran pengisian SPT dalam menen-tukan jumlah pajak yang harus dibayar.

Dalam studi kepatuhan pajak, terdapat dua model utama yang menje-laskan tingkat kepatuhan pajak, yaitu: (1)

model konvensional (model generasi pertama); dan (2) model generasi kedua (Manasan, 2000 dalam Gunadi, 2005). Model konvensional lebih menekankan persoalan tax evasion dari sisi wajib pajak (taxpayers) dan faktor-faktor yang mempengaruhi perilakunya. Sementara dalam model generasi kedua, persoalan kepatuhan pajak juga ditentukan oleh pelaku lain, yaitu petugas pajak (tax collector). Dalam model generasi kedua, analisis dilakukan pada pola perilaku kedua belah pihak secara bersamaan untuk mengetahui respon mereka bila terjadi perubahan tarif pajak, tingkat kemungkinan untuk terdeteksi, tingkat penalti, dan sistem bonus bagi petugas pajak.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan model konvensional yaitu pengembangan mo-del untuk menentukan risiko ketidak-patuhan wajib pajak didasarkan pada perilaku pelaporan pajak wajib pajak. Penulis beranggapan bahwa wajib pajak adalah rasional sehingga dalam melaporkan kewajiban perpajakannya akan memperhitungkan berbagai hal yang mungkin akan dihadapi akibat pelaporan yang dilakukannya, misalnya perilaku pihak administrasi pajak dalam menanggapi pelaporan pajak.

Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak

Dalam pelaksanaan pengumpulan pajak, administrasi pajak akan mengha-dapi risiko atas penerimaan dari wajib pajak yang tidak patuh atau risiko ketidakpatuhan wajib pajak, yakni risiko yang harus ditanggung oleh administrasi pajak karena perilaku wajib pajak yang tidak mematuhi ketentuan sehingga ada pajak terutang yang tidak dibayar (taxes at risk) (OECD, 2001). Gunadi (2005)

Page 5: 4-wahyu santoso

Analisis Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak Sebagai Dasar Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak

89

mengasosiasikan risiko ini sebagai tax gap, yaitu selisih antara penerimaan pajak potensial dengan penerimaan pajak aktual atau perbedaan antara realisasi penerimaan pajak dengan penerimaan yang seharusnya diterima apabila wajib pajak melaksanakan kewajiban perpajakannya secara penuh.

Sementara itu, Sommerfeld et al (1994) menjelaskan tax gap sebagai besarnya penerimaan pajak yang hilang karena adanya ketidakpatuhan, yang berbentuk baik penghasilan yang tidak dilaporkan (underreported income) maupun pengurang penghasilan yang lebih dilaporkan (overstated deduc-tions). Berdasarkan penjelasan Sommer-feld et al ini, dapat disimpulkan bahwa tax gap akibat ketidakpatuhan wajib pajak badan di Indonesia adalah gabu-ngan antara selisih penghasilan yang dilaporkan wajib pajak (SPT) dengan penghasilan menurut hasil pemeriksaan (koreksi penghasilan) dan biaya yang dilaporkan wajib pajak (SPT) dengan biaya menurut hasil pemeriksaan (koreksi biaya). Dengan demikian, ketidakpatuhan wajib pajak badan dalam satu tahun dapat diukur dengan koreksi penghasilan dan koreksi biaya pengurang penghasilan. Kedua jenis koreksi ini merupakan koreksi pengha-silan neto wajib pajak sebelum diper-hitungkan dengan kompensasi kerugian dari tahun pajak sebelumnya yang dimiliki oleh wajib pajak.

Apabila dihubungkan dengan ketidakpatuhan wajib pajak dalam melaporkan SPT-nya, maka wajib pajak dapat dibedakan ke dalam tiga kelompok berdasarkan risiko ketidak-patuhannya (OECD, 2005), yaitu: risiko ketidakpatuhan rendah, menengah dan

tinggi. Kelompok risiko ketidakpatuhan rendah mencakup wajib pajak yang secara sadar mempunyai kemauan untuk patuh. Wajib pajak dalam kelompok ini mempunyai komitmen untuk mendu-kung dan menerima sistem yang ada, yaitu sistem yang menghendaki bahwa sebagai anggota masyarakat mereka harus membayar pajak, dan bersedia melaksanakan kewajiban yang dikehen-daki oleh sistem tersebut. Kelompok risiko ketidakpatuhan menengah meliputi kelompok wajib pajak yang pada prinsipnya mereka bersedia melaksanakan kewajiban yang dikehen-daki oleh sistem perpajakan yang ada, akan tetapi mengalami kesulitan dalam pelaksanaan kewajiban tersebut karena kurangnya pemahaman atas hal-hal yang menjadi kewajiban mereka. Sedangkan kelompok risiko ketidakpatuhan tinggi mencakup kelompok wajib pajak yang secara sadar tidak mau memenuhi kewajiban mereka atau wajib pajak yang menolak sistem perpajakan yang ada.

Variabel-variabel Ketidakpatuhan Wajib Pajak

Banyak penelitian yang membahas mengenai variabel-variabel yang dapat mempengaruhi kepatuhan wajib pajak. Allingham dan Sandmo (1972) menggu-nakan konsep expected utility untuk menjelaskan perilaku kepatuhan wajib pajak. Mereka menggunakan variabel-variabel yang dikenal sebagai faktor ekonomi, yaitu: penghasilan sebelum pajak, tarif pajak, besarnya peluang untuk diperiksa dan besarnya penalti. Sementara Erard (1997) menyimpulkan bahwa skala usaha wajib pajak dapat berpengaruh pada kepatuhan wajib pajak. Joulfaian dan Rider (1998) menyatakan, selain tarif pajak, jenis

Page 6: 4-wahyu santoso

Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008

90

usaha wajib pajak serta faktor demografi yang meliputi usia, keluarga (family size), dan tempat tinggal/lokasi akan mempengaruhi ketidakpatuhan wajib pajak. Jenis usaha yang dibahas oleh Joulfaian dan Rider juga dibahas oleh Forest (2004).

Krause (2000) berpendapat bahwa pengetahuan atau pemahaman wajib pajak atas peraturan perpajakan dapat mempengaruhi juga terhadap patuh tidaknya wajib pajak. Pendapat Krause ini sejalan dengan OECD (2001) yang menyatakan bahwa pengetahuan wajib pajak akan menentukan tingkat kepatu-han wajib pajak.

Selain variabel di atas, faktor personal dan situasional wajib pajak dapat juga mempengaruhi tingkat kepatuhan wajib pajak. Faktor personal tersebut meliputi moral, orientasi nilai dan preferensi terhadap risiko. Sedangkan faktor situasional meliputi ada atau tidak adanya pemeriksaan pajak, ketidaksamaan beban pajak, bagaimana perilaku kelompok referensi dalam pelaporan pajak, dan faktor tersedianya barang publik (Trivedi et al, 2001).

Kesempatan untuk melakukan underreporting akan mendorong kecen-derungan wajib pajak melakukan

ketidakpatuhannya dalam membayar pajak. Sementara unsur permodalan (Chattopadhayay et al, 2002) yang menyangkut siapa pemegang saham perusahaan juga bagaimana struktur modal melalui perbandingan hutang dengan ekuitas akan mempengaruhi kepatuhan wajib pajak.

Dalam analisis kepatuhan yang dikembangkan oleh Allingham et al (1972), individu diasumsikan memper-oleh penghasilan yang jumlahnya tetap dan harus memilih berapa jumlah penghasilan yang akan dilaporkan pada administrasi pajak. Apabila seorang individu memperoleh penghasilan yang sebenarnya sebesar y, pendapatan yang dilaporkan x, penghasilan setalah pajak penghasilan v, tarif pajak t, tingkat kemungkinan terdeteksi p dan denda atas penghasilan yang tidak dilaporkan s, maka berdasarkan konsep expected utility, seorang wajib pajak akan melaporkan penghasilannya sedemikian rupa sehingga tingkat expected utility dari penghasilan yang diterimanya, EU [I], akan maksimal. Tingkat EU seorang wajib pajak adalah fungsi dari utility penghasilan setelah pajak baik dalam kondisi penghasilan yang tidak dilaporkan terdeteksi maupun tidak. Dengan demikian, expected utility wajib pajak dapat adalah:

EU (I) =(1 – p)U{v + t(y – x)} + pU{v - s(y – x)}

Page 7: 4-wahyu santoso

Analisis Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak Sebagai Dasar Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak

91

Besaran (1 – p)U{v + t(y – x)} merupakan utility penghasilan wajib pajak apabila penghasilan yang tidak dilaporkan tidak terdeteksi, terdiri dari utility penghasilan yang sebenarnya dan utility pajak yang tidak dibayar. Sedangkan besaran pU{v - s(y – x)} merupakan utility apabila penghasilan yang tidak dilaporkan terdeteksi, yaitu utility penghasilan yang sebenarnya dikurangi dengan utility penalti yang harus dibayar karena ada penghasilan yang tidak dilaporkan.

Dalam model yang dikembang-kan oleh Allingham et al ini, wajib pajak dilihat sebagai investor yang mempunyai pilihan dua jenis investasi, yaitu: (1) investasi pada aset berisiko berupa penghasilan yang tidak dilapor-kan; dan (2) investasi pada aset tidak berisiko berupa penghasilan yang dilaporkan (Reinganum et al, 1986). Dalam perspektif yang demikian, wajib pajak akan berusaha memaksimalkan expected utility dari kedua bentuk investasi tersebut dengan mempertim-bangkan kondisi-kondisi yang dihadapi oleh wajib pajak, seperti probabilitas wajib pajak akan diperiksa oleh administrasi pajak, tarif pajak dan tingkat penghasilan.

Probabilitas wajib pajak akan diperiksa ditentukan oleh seberapa luas cakupan pemeriksaan yang dilakukan oleh administrasi pajak. Cakupan pemeriksaan adalah rasio antara jumlah wajib pajak diperiksa dibanding dengan jumlah wajib pajak keseluruhan (audit rate). Dengan demikian, semakin tinggi cakupan pemeriksaan pajak, semakin tinggi probabilitas wajib pajak akan diperiksa. Apabila audit rate tinggi, wajib pajak akan cenderung melaporkan

sebagian besar dari penghasilannya ke administrasi pajak. Berdasarkan formula expected utility, semakin besar proba-bilitas diperiksa p dan faktor lain tetap, utility dari penghasilan yang tidak dilaporkan, (1 – p)U{v + t(y – x)}, akan turun. Di pihak lain, utility penghasilan yang dilaporkan, pU{v - s(y – x)}, akan semakin tinggi.

Tarif pajak merupakan bagian dari penghasilan yang dilaporkan yang harus dibayarkan kepada negara oleh wajib pajak. Pada tingkat penghasilan dan penghasilan yang dilaporkan tertentu, tarif pajak akan berpengaruh negatif pada utility wajib pajak. Semakin rendah tarif pajak akan meningkatkan utility wajib pajak dan akan memberikan insentif bagi wajib pajak untuk melaporkan penghasilaannya kepada administrasi pajak. Meskipun demikian, beberapa penelitian menyatakan bahwa hubungan antara faktor tarif pajak dengan jumlah pajak yang dilaporkan adalah ambigu (Ali, 2001).

Pada kondisi tingkat penghasilan rendah, tarif pajak rendah akan mendorong wajib pajak untuk mela-porkan penghasilannya pada administra-si pajak. Meskipun demikian, apabila tarif pajak dan penghasilan tinggi, wajib pajak akan cenderung tidak melaporkan penghasilannya kepada administrasi pajak. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat pada tingkat probabilitas diperiksa tertentu, utility wajib pajak (utility (1 – p)U{v + t(y – x)} dan utility pU{v - s(y – x)}) akan turun apabila dia melaporkan seluruh penghasilannya kepada administrasi pajak.

Faktor ekonomi berikutnya yang berpengaruh pada kepatuhan adalah penalti. Penalti akan dikenakan apabila

Page 8: 4-wahyu santoso

Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008

92

penghasilan yang tidak dilaporkan oleh wajib pajak dideteksi pada saat pemeriksaan. Pada kondisi penghasilan yang tidak dilaporkan terdeteksi, selain harus membayar pajak terutang dari penghasilan yang tidak dilaporkan, wajib pajak juga harus membayar penalti. Tingkat penalti berpengaruh pada kepatuhan wajib pajak karena menurut konsep expected utility, wajib pajak akan melakukan underreporting sepanjang expected value penalti tersebut masih lebih rendah dari pada expected value penghasilan yang tidak dilaporkan. Untuk membuat setiap wajib pajak bersedia melaporkan seluruh penghasilannya, penalti harus ditetapkan sedemikian rupa sehingga expected value dari penalti tersebut lebih besar dari expected value dari penghasilan yang tidak dilaporkan. Dengan demikian, tidak ada insentif bagi wajib pajak yang tidak melaporkan pengha-silannya (Lederman, 2003).

Erard (1997) menyimpulkan bahwa skala usaha wajib pajak dapat berpengaruh pada kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. Hal ini berkaitan dengan masalah efisiensi, yaitu besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh satu perusahaan untuk tetap patuh diban-dingkan dengan jumlah pajak yang harus dibayar apabila wajib pajak tersebut tidak patuh dan terdeteksi oleh administrasi pajak. Sebagai contoh, wajib pajak perusahaan kecil mungkin tidak patuh karena tidak mempunyai pemahaman tentang teknis perpajakan yang memadai, tidak dapat mengikuti perkembangan aturan perpajakan, dan enggan menyewa ahli perpajakan untuk menangani masalah perpajakan mereka karena pertimbangan efisiensi biaya.

Tingkat kepatuhan wajib pajak juga ditentukan oleh jenis usaha wajib pajak (Joulfaian et al, 1998). Misalnya, wajib pajak orang pribadi dengan kegiatan usaha (self-employed) cende-rung kurang patuh dibandingkan dengan wajib pajak orang pribadi yang penghasilannya berasal dari gaji. Hal ini disebabkan wajib pajak yang pengha-silannya dari gaji menjadi subyek dari pemotongan pajak oleh pihak lain (withholding source) yaitu pemberi penghasilan sehingga kepatuhan wajib pajak tersebut akan lebih bisa terkontrol. Variabel jenis usaha dianggap relevan dalam penelitian ini karena di Indonesia terdapat perlakuan perpajakan yang berbeda pada beberapa jenis usaha. Misalnya, jenis usaha persewaan bangunan dikenakan Pajak Penghasilan Final sementara jenis usaha persewaan yang lain dikenakan Pajak Penghasilan biasa (tidak final).

Forest (2004), menyimpulkan bahwa ada wajib pajak yang bergerak dalam satu bidang usaha tertentu lebih patuh dari pada wajib pajak yang bergerak di bidang usaha lainnya. Hal ini dikarenakan ada jenis-jenis usaha tertentu yang sensitif pada dampak negatif yang akan diperoleh apabila ketidakpatuhan terdeteksi oleh adminis-trasi pajak. Hasil penelitian Forest ini memperkuat Joulfaian et al (1998) bahwa jenis usaha wajib pajak berpe-ngaruh pada kepatuhan wajib pajak

Variabel permodalan dilihat dari dua aspek: (1) pemegang saham, yaitu pemegang saham asing atau lokal; dan (2) struktur modal, yaitu sumber pembiayaan dari hutang atau ekuitas. Dalam kaitannya dengan wajib pajak badan, permodalan dikaitkan dengan

Page 9: 4-wahyu santoso

Analisis Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak Sebagai Dasar Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak

93

siapa pemegang saham perusahaan. Contoh, wajib pajak badan yang pemegang sahamnya adalah perusahaan multi-nasional dari luar negeri, akan menjalankan transaksi usahanya secara lebih mutakhir dalam rangka penghin-daran pajak dibanding dengan perusa-haan yang pemegang sahamnya terdiri dari individu-individu lokal. Hasil penelitian menunjukkan perkembangan cara-cara orang menjalankan transaksi usaha dewasa ini menggiring orang untuk melakukan transaksi-transaksi tidak terdokumentasi seperti dalam pembukuan secara konvensional. Cara-cara yang demikian akan memudahkan seseorang untuk menghindar dari pengenaan pajak (Chattopadhayay et al, 2002).

Selain itu, faktor permodalan juga berkaitan dengan struktur modal, yaitu perbandingan antara hutang dengan ekuitas (debt to equity ratio, DER). Perlakuan perpajakan yang berbeda antara biaya modal yang berasal dari hutang (bunga) dan ekuitas (dividen) bisa mempengaruhi kepatuhan wajib pajak. Bunga atas hutang dapat dikurangkan sebagai biaya dalam penghitungan penghasilan kena pajak, sementara dividen tidak boleh dikurangkan karena merupakan bagian dari keuntungan setelah pajak.

Selain variabel-variabel seperti dijelaskan sebelumnya, ada satu variabel lagi yang akan dimasukkan dalam penelitian ini. Variabel tersebut adalah elemen-elemen dalam SPT. Model yang akan dihasilkan dari penelitian ini nantinya diharapkan akan menjadi alat yang dapat digunakan untuk menentukan SPT mana yang akan diperiksa. Salah satu hal faktor yang

diperhitungkan dalam membentuk model yang demikian, adalah elemen-elemen SPT karena elemen-elemen SPT dapat memberikan informasi tentang bagaimana perilaku kepatuhan wajib pajak sehingga elemen-elemen isian dalam SPT dimasukkan sebagai salah satu variabel yang diduga akan menentukan ketidakpatuhan wajib pajak (Hunter at al, 1996).

Dalam penelitian ini, penulis memilih elemen SPT yang harus dima-sukkan ke dalam model pengelom-pokan wajib pajak berdasarkan tingkat risiko ketidapatuhannya. Elemen SPT yang dipilih adalah yang berkaitan dengan besaran penghasilan neto, yaitu profitabilitas, pajak per penjualan dan status kompensasi.

Profitabilitas adalah kemampuan wajib pajak dalam memperoleh keuntungan bersih dalam kegiatan usahanya. Profitabilitas dipilih karena wajib pajak adalah rasional yaitu berusaha memaksimalkan expected utility penghasilannya. Untuk itu wajib pajak akan menentukan berapa tingkat keuntungan yang ingin dilaporkan dan tingkat keuntungan yang tidak dilaporkan. Dengan demikian, dalam penelitian ini penulis mempertim-bangkan profitabilitas mempengaruhi tingkat risiko ketidakpatuhan wajib pajak.

Pajak per penjualan adalah perban-dingan antara jumlah pajak yang dibayar wajib pajak dengan jumlah penjua-lannya. Penulis memilih variabel ini karena wajib pajak adalah rasional dengan untuk memaksimalkan expected utility dari penghasilannya. Untuk itu, penulis berpendapat bahwa wajib pajak telah mempunyai batasan beban pajak

Page 10: 4-wahyu santoso

Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008

94

yang akan mereka tanggung secara sukarela dibandingkan dengan penjua-lannya. Dengan demikian, adanya batasan beban pajak yang secara sukarela akan dibayar oleh wajib pajak dibandingkan dengan penjualannya akan mempengaruhi tingkat risiko ketidakpatuhan wajib pajak.

Status kompensasi adalah variabel yang menunjukkan dalam satu tahun pajak wajib pajak mempunyai kerugian dari tahun-tahun pajak sebelumnya yang bisa diperhitungkan dengan penghasilan neto tahun berjalan untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak pada tahun berjalan. Variabel ini dipilih karena adanya kompensasi kerugian dapat menyebabkan wajib pajak tidak harus membayar pajak meskipun dalam tahun berjalan wajib pajak memperoleh keuntungan. Hal ini berpengaruh pada tingkat risiko ketidakpatuhan wajib pajak.

Pengelompokkan Wajib Pajak Berdasarkan Risiko Ketidakpatuhannya

Pengelompokan wajib pajak ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan atribut yang sama yang ada pada wajib pajak tersebut biasa disebut dengan segmentasi. OECD (2001) menegaskan pentingnya administrasi pajak mela-kukan segmentasi berdasarkan ketidak-patuhan wajib pajak agar tercapai efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya administrasi pajak dalam setiap upaya peningkatan kepatuhan. Ini disebabkan setiap upaya tersebut dilaksanakan secara fokus kepada wajib pajak yang tidak patuh.

Dengan adanya model yang bisa mengelompokkan wajib pajak berdasarkan risiko ketidakpatuhannya, maka dasar pertimbangan perlakuan

(treatment) yang akan diberikan kepada masing-masing kelompok wajib pajak akan lebih obyektif (OECD, 2001). Dengan demikian, diharapkan perlakuan terhadap wajib pajak yang berbeda-beda berdasarkan tingkat risikonya akan mampu mendorong kepatuhan sukarela wajib pajak dan meningkatkan meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemeriksaan pajak.

Untuk itu, diperlukan adanya satu metode yang dapat mengelompokkan wajib pajak berdasarkan risiko ketidakpatuhannya. OECD (2005) membagi perilaku dan motivasi wajib pajak dalam kepatuhan menjadi empat, yaitu (1) wajib pajak yang secara sengaja beritikad untuk tidak patuh; (2) wajib pajak yang tidak patuh tetapi akan patuh apabila ada pengawasan; (3) wajib pajak berusaha untuk patuh tetapi belum berhasil; dan (4) wajib pajak yang secara sukarela patuh. Apabila dikaitkan dengan kelompok wajib pajak berdasar-kan risiko ketidakpatuhannya, risiko rendah, menengah, dan tinggi, maka wajib pajak kelompok pertama dan kedua termasuk ke dalam kelompok wajib pajak berisiko tinggi. Wajib pajak pada kelompok ketiga masuk dalam kelompok berisiko menengah, sedang-kan wajib pajak dalam kelompok keempat merupakan wajib pajak kelompok risiko rendah.

Berdasarkan pengelompokan ter-sebut, selanjutnya dapat ditentukan prioritas perlakuan wajib pajak berdasarkan risikonya, misalnya penrapan risk-based audit case selection. OECD (2005) menegaskan perlunya pendekatan administrasi pajak yang disesuaikan dengan perilaku dan motivasi wajib pajak. Dengan perlakuan

Page 11: 4-wahyu santoso

Analisis Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak Sebagai Dasar Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak

95

yang berbeda ini berarti administrasi pajak memberikan insentif kepada wajib pajak yang berperilaku dan mempunyai motivasi positif pada kepatuhan dan sebaliknya memberikan disinsentif kepada wajib pajak yang berperilaku dan mempunyai motivasi negatif pada kepatuhan. Sour (2001) membuktikan bahwa pemberian insentif yang positif kepada wajib pajak lebih meningkatkan kepatuhan dari pada pemberian sanksi keras.

Untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, administrasi pajak perlu melakukan pendekatan atau perlakuan (strategi kepatuhan) yang berbeda kepada wajib pajak berdasarkan perilaku wajib pajak terhadap kepatuhan dan kelompoksasinya berdasarkan tingkat risiko. Strategi kepatuhan yang dapat dilakukan kepada wajib pajak berda-sarkan tingkat risikonya adalah sebagai berikut (OECD, 2005):

Tabel 1 Tingkat Risiko, Perilaku Kepatuhan dan Strategi Kepatuhan

Tingkat Risiko Perilaku terhadap Kepatuhan Strategi kepatuhan Tinggi 1. wajib pajak yang secara sengaja beritikad untuk

tidak patuh 2. wajib pajak yang tidak patuh tetapi akan patuh

apabila ada pengawasan

Penegakan hukum secara penuh (pemeriksaan)

Menengah wajib pajak berusaha untuk patuh tetapi belum berhasil

Bantuan untuk menjadi patuh (penyuluhan)

Rendah wajib pajak yang secara sukarela patuh Pemberian kemudahan dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan (pelayanan)

Hipotesis

Berdasarkan kerangka teori seperti telah diuraikan dan premis-premis di muka, dalam penelitian ini akan diuji hipotesis sebagai berikut:

Hipotesis 1: Terdapat ukuran risiko ketidakpatuhan tiap-tiap kelompok wajib pajak berdasarkan perbedaan penghasilan neto antara Surat Pemberitahuan (SPT) wajib pajak dengan hasil peme-riksaan. Hipotesis 2: Terdapat perbedaan antara kelompok wajib pajak yang dikelompokkan ke dalam kelompok wajib pajak berisiko ketidakpatuhan rendah, menengah

dan tinggi. Hipotesis 3: Terdapat perbedaan variabel untuk membedakan wajib pajak dalam kelompok risiko ketidakpatuhan ren-dah, menengah dan tinggi.

BAHAN DAN METODE

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan anonim berupa data hasil pemeriksaan pajak wajib pajak badan tahun pajak 2001 yang selesai diperiksa sampai dengan Pebruari 2004 dan data SPT wajib pajak. Data diperoleh dari Sistem Informasi Perpajakan (SIP), Direktorat

Page 12: 4-wahyu santoso

Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008

96

Jenderal Pajak. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi terhadap sumber data sesuai dengan unit analisis, wajib pajak badan yang telah diperiksa oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan data yang diambil dari SIP dalam bentuk Microsoft Excel.

Populasi dari penelitian ini adalah seluruh wajib pajak badan yang terdaftar pada Direktorat Jenderal Pajak pada tahun 2001 yang selesai diperiksa sampai dengan Pebruari tahun 2004, sebesar 9.920 wajib pajak. Dalam penelitian ini, teknik penarikan sampel yang digunakan adalah random sampling.

Untuk menentukan jumlah sampel, digunakan rumus sebagai berikut:

21 NeNn

+=

Di mana: n = jumlah sampel N = populasi e = tingkat kesalahan (5%)

Dengan rumus tersebut diperoleh jumlah sampel minimal sebesar 385. Untuk penelitian ini peneliti mengambil sampel sebesar 25% dari populasi. Dengan metode random sistematis yang menggu-nakan angka random dan bantuan komputer diperoleh jumlah sampel sebesar 2.324 wajib pajak badan. Rancangan Analisis dan Uji Hipotesis

Untuk pemodelan dan pengujian hipotesis dalam penelitian ini digunakan empat model statistik yang terdiri dari Uji Chow, Multivariate Discriminant Analysis dan t-test. Uji Chow (Chow Test) digunakan untuk mengelompokkan wajib pajak berdasarkan tingkat risiko ketidakpatuhan wajib pajak; rendah, menengah dan tinggi, menurut tingkat

koreksi penghasilan netto menurut SPT. Multivariate Discriminant Analysis digu-nakan untuk mengetahui apakah terda-pat perbedaan yang signifikan antara kelompok wajib pajak yang dikelom-pokkan ke dalam risiko ketidakpatuhan wajib pajak rendah, menengah dan tinggi, dan jika memang ketiga kelom-pok tersebut berbeda, variabel mana saja yang membedakan wajib pajak ke dalam kelompok risiko ketidakpatuhan rendah, menengah dan tinggi. Untuk memudahkan analisis data, dalam pene-litian ini digunakan bantuan software SPSS 13. Pengujian Multikolinier

Multikolinier ialah kondisi di mana terdapat hubungan antara variabel-variabel bebas. Jika multiko-linier itu sempurna maka estimasi nilai koefisien regresi dari variabel-variabel bebasnya mungkin tidak dapat ditentukan dan standar error-nya tidak terbatas. Jika multikolinier kurang dari sempurna maka koefisien regresi walaupun bisa menentukan, tetapi memiliki standar error yang besar (dalam hubu-ngan dengan koefisien mereka itu sendiri), yang berarti koefisien-koefisiennya tidak bisa diestimasi dengan akurasi yang tepat.

Cara umum untuk mendeteksi adanya multikolinier dalam model ialah dengan melihat bahwa adanya R2 yang tinggi dalam model tetapi tingkat signifikansi t-statistiknya sangat kecil dari hasil regresi tersebut dan cende-rung banyak yang tidak signifikan. Selain itu untuk menguji multikolinier, bisa dilihat matrik korelasinya. Jika masing-masing variabel bebas berkorelasi lebih besar dari 80% maka termasuk yang memiliki hubungan yang tinggi atau ada indikasi multikolinieritas.

Page 13: 4-wahyu santoso

Analisis Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak Sebagai Dasar Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak

97

Pengujian Heteroskedastisitas Salah satu asumsi pokok dalam

model regresi linier adalah homoke-dastisitas diartikan sebagai distribusi dari variabel gangguan ui, adalah suatu nilai konstan yang sama σ2 untuk setiap nilai dari variabel penjelasnya, misal: Xi.

E(ui2 ) = σ2 i = 1,2,3,…,N

Jika variannya tidak sama, maka dalam model tersebut terdapat situasi heteroskedastisitas, di mana :

E(ui2 ) = σi

2 i = 1,2,3,…,N Heteroskedastisitas sering terjadi

pada model yang menggunakan data cross section, karena data tersebut menghimpun data yang mewakili berbagai ukuran (Sritua, 1993). Konse-kuensi logis dari adanya heteroskedas-tisitas ialah bahwa penaksir OLS tetap tidak bias dan konsisten tetapi penaksir tadi tidak lagi efisien baik dalam sampel kecil maupun sampel besar.

Terdapat beberapa metode untuk mengidentifikasi adanya heteroskedas-tisitas, antara lain: metode grafik, metode Park, metode rank Spearman, metode Lagrangian Multiflier (LM test) dan white heteroscedasticity test. Pada penelitian ini akan digunakan pengujian White Heteroscedasticity Test.

a. Uji Heteroskedastisitas dengan Metode White’s General Hetero-cedasticity

Metode pengujian dengan metode White ini tidak menggunakan asumsi normalitas sehingga sangat mudah untuk diimplementasikan. Jika suatu model ialah :

Yi = β1 + β2 X2i + β3 X3i + ui Kemudian lakukan regresi tambahan dengan menggunakan model White sebagai berikut:

iiiiiiii vXXXXXXu ++++++= 326235

22433221

2ˆ αααααα

Regresi ini ialah regresi di mana

variabel residual kuadrat dari regresi asli (3.6) diregres terhadap variabel independen yang asli (X) dan kuadrat dari variabel indepeden tersebut, serta dari interaksi variabel independennya (cross product(s) of the regressors). Dari hasil regresi ini tujuannya adalah untuk mendapatkan nilai R2 yang akan digunakan dalam pengujian tahap 3. Pengujian hipotesis yang dilakukan ialah : H0 : Tidak ada heteroskedastisitas

(homokedastis) H1 : Ada heteroskedastisitas

Pengujian: Pada regresi persamaan (3.6) di atas didapat bahwa jumlah sampel (n) dikalikan dengan nilai R2 akan sama (asymtot) dengan distribusi Chi-Square dengan degree of freedom (df) sama dengan jumlah regressor (tidak termasuk konstanta) di dalam regresi tambahan, yaitu:

n . R2 ~ χ2 df

dari persaman (3.6) di atas maka didapat df = 5 Pengujian : Jika nilai χ2 dari persamaan (3.6) lebih besar dari nilai χ2 tabel maka H0 ditolak

Page 14: 4-wahyu santoso

Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008

98

yang artinya terdapat heteroskedastisitas di dalam model tetapi jika χ2 dari persamaan (3.6) lebih kecil dari nilai χ2

tabel maka H0 diterima yang artinya tidak terdapat heteroskedastisitas di dalam model. b. Metode White (White’s Heteroce-

dasticity-Consistent Variances and Standard Errors )

White (1980) membuat suatu formula di dalam mengestimasi suatu

persamaan yang mengandung masalah heteroskedastisitas dengan mengguna-kan estimator matrik kovarians yang konsisten (heterocedasticity consistent covariance matrix estimator) yang nantinya memperbaiki estimasi dari koefisien-koefisien kovarians yang ter-dapat masalah heteroskedastisitas yang bentuknya tidak diketahui. Rumus matrik kovarians White adalah:

1

1

21 ))(.()(ˆ −

=

− ′′′−

= ∑ XXxxUXXKT

Ttt

T

tttε

Di mana T adalah jumlah observasi, k

adalah jumlah regresor, dan 2iU adalah

kuadrat residualnya. Uji Hipotesis

1. Hipotesis 1 Terdapat ukuran risiko

ketidakpatuhan tiap-tiap kelompok wajib pajak berdasarkan perbedaan pengha-silan neto antara Surat Pemberitahuan wajib pajak dengan hasil pemeriksaan. a. Hipotesis Statistik

H0 : Tidak terdapat perbe-daan hasil regresi (inter-cept dan slope) antara regresi atas full sample dengan sampel berda-sarkan pengelompokan yang ditentukan (wajib pajak risiko rendah, menengah dan tinggi)

H1 : Terdapat perbedaan hasil regresi (intercept dan slope) antara regresi atas full sample dengan

sampel berdasarkan pe-ngelompokan yang di-tentukan (wajib pajak risiko rendah, menengah dan tinggi)

b. Uji Chow Hipotesis ini diuji dengan Uji

Chow (Chow Test) untuk melihat apakah pembagian risiko menurut tingkat koreksi penghasilan neto, dapat menge-lompokan wajib pajak ke dalam kelompok yaitu wajib pajak risiko ketidakpatuhan rendah dengan tingkat koreksi kurang dari nol sampai dengan 10%, wajib pajak risiko ketidakpatuhan menengah dengan tingkat koreksi antara 10% sampai dengan 20% dan wajib pajak risiko ketidakpatuhan tinggi dengan tingkat koreksi lebih besar dari 20%. Uji Chow didasarkan kepada hasil analisis regresi antara full sample dengan sampel masing-masing tingkat risiko.

Page 15: 4-wahyu santoso

Analisis Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak Sebagai Dasar Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak

99

( )kNNS

kS

F221

4

5

−+

=

Keterangan: S5 = S1- S4 S4 = S2+ S3 S1 = Residual Sum Square dari

Model (1) untuk Full Sample dalam hal ini seluruh wajib pajak yang terpilih menjadi sampel.

S2 = Residual Sum Square dari Model (1) untuk masing-

masing pengelompokan (wajib pajak risiko rendah: memiliki TKp≤ 10%, menengah: 20%≤ TKp<10% dan tinggi: TKp> 20%)

S3 = Residual Sum Square dari Mo-del (1) untuk sampel selain dari sampel yang termasuk ke dalam perhitungan S2.

N1 = Ukuran sampel dalam perhitungan S2.

N2 = Ukuran sampel dalam perhitungan S3.

k = Banyaknya parameter yang ingin ditaksir.

c. Model Regresi Aplikasi Chow Tes

oPUIndStDERPSStSANGTERKp Pr.._.._... 76543210 αααααααα +++++++=

+ 11098 _._.. εααα +++ RiksaStKomStPPS

Keterangan : RKp : Tingkat risiko ketidakpatuhan TE : Tarif efektif SANG : Penalti St_PS : Status pemegang saham (1=ada modal asing; 0=tdk ada modal asing) DER : Debt to Equity Ratio St_Ind : Klasifikasi Lapangan Usaha (1=manufaktur; 0=non manufaktur) PU : Peredaran usaha Pro : Profitabilitas (penghasilan neto per penjualan) PPS : Pajak per penjualan St_Kom : Status kompensasi (1=ada; 0=tidak ada) St_Riksa : Status pemeriksaaan (1=pernah diperikas; 0=belum pernah)

Hipotesis 2 Terdapat perbedaan antara

kelompok wajib pajak yang dikelom-pokkan ke dalam kelompok wajib pajak berisiko ketidakpatuhan rendah, mene-ngah dan tinggi.

Hipotesis 3

Terdapat perbedaan variabel untuk membedakan wajib pajak dalam kelompok risiko ketidakpatuhan rendah, menengah dan tinggi.

Page 16: 4-wahyu santoso

Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008

100

Hipotesis 2 dan 3, diuji dengan analisis diskriminan. Model Analisis diskriminan digunakan untuk mempre-diksi wajib pajak apakah mempunyai kecenderungan untuk tidak patuh dalam hal ini akan cenderung memiliki risiko

ketidakpatuhan rendah, menengah, atau tinggi. a. Multivariate Discriminant Analysis

Model analisis diskriminan dalam penelitian ini berkenaan dengan kombi-nasi linier yang dibentuk adalah sebagai berikut:

++++++++= obPUbIndStbDERbPSStbSANGbTEbbDi Pr.._.._... 76543210

RiksaStbKomStbPPSb _._.. 1098 ++

Di = nilai skor diskriminan dari risiko

ketidakpatuhan wajib pajak ke-i, dengan i = 1,2,3; di mana 1 = risiko ketidakpatuhan rendah, 2 = risiko ketidakpatuhan menengah dan 3 = risiko ketidakpatuhan tinggi.

b = Koefisien yang diestimasi/koefisien

diskriminan dari variabel bebas/ atribut.

Nilai b dipilih sedemikian rupa sehingga fungsi diskriminan antar kelompok berbeda sebesar mungkin atau dengan kata lain memaksimumkan rasio :

ak

dk

JKJK

JKdk = Jumlah kuadrat dalam kelompok

JKak = Jumlah kuadrat antar kelompok

Pemilihan variabel yang akan

masuk ke dalam model digunakan algoritma stepwise selection. Variabel yang pertama diikutkan dalam analisis adalah yang mempunyai nilai terbesar menurut kriteria penerimaan seleksi.

Setelah variabel pertama masuk, maka nilai kriteria dievaluasi kembali, untuk semua variabel yang tidak berada dalam model. Selanjutnya, variabel dengan nilai kriteria penerimaan tersebut dimasukan ke dalam model dan variabel yang sudah ada dalam model dievaluasi kembali untuk menentukan kesesuaiannya dengan kriteria dikeluar-kan dalam model.

Pemilihan variabel diskriminan linier mengunakan kriteria minimalisasi nilai Wilks’ Lambda. Signifikansi perubahan Wilks’ Lambda jika suatu variabel dimasukan atau dikeluarkan dari model dapat didasarkan terhadap statistik F. Nilai F untuk perubahan Wilks’ Lambda jika suatu variabel ditambahkan atau dikurangkan dari suatu model yang telah mengandung p variabel adalah :

−−=+

+

pp

ppperubahan g

pgnFλλ

λλ

//1

1 1

1

Di mana : n = jumlah total sampel g = jumlah kelompok λp = Wilks’ Lambda λp+1 = Wilks’ Lambda setelah

penambahan Wilks’ Lambda

Page 17: 4-wahyu santoso

Analisis Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak Sebagai Dasar Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak

101

Karena jumlah kelompok ada tiga kelompok maka akan terdapat dua fungsi diskriminan (g-1) yang akan dianalisis, yaitu (1) Fungsi 1: fungsi diskriminan antara kelompok risiko rendah dan menengah; dan (2) Fungsi 2: fungsi diskriminan antara kelompok risiko menengah dan tinggi.

Sebelum membangun fungsi diskriminan, perlu dilakukan pengujian perbedaan vektor nilai rata-rata dari ketiga populasi (risiko ketidakpatuhan rendah, menengah, dan tinggi) untuk mengetahui apakah ada nilai rata-rata dari sifat (variabel) yang dipelajari. Untuk menguji perbedaan vektor nilai rata-rata diantara tiga kelompok populasi digunakan statistik Wilks’ Lambda. Formula hipotesis dapat dinyatakan sebagai berikut :

H0 : µ1=µ2=µ3,

artinya vektor nilai rata-rata dari ketiga populasi itu sama besarnya;

H1 : µ1≠µ2≠µ3,

artinya vektor nilai rata-rata dari populasi yang ada berbeda, di mana paling sedikit ada dua vektor nilai rata-rata yang berbeda.

Pengujian terhadap hipotesis di muka dilakukan dengan mengunakan statistik Wilks’ Lambda, yang dikonversikan ke rasio F. Penelitian ini menggunakan tingkat signifikan sebesar 5% dan 10% untuk nilai kritis F.

Sehubungan pengolahan data mengunakan bantuan software SPSS, maka berdasarkan analisis diskriminan terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dari keluaran analisis diskriminan yaitu: 1) Melihat apakah terdapat perbedaan

yang signifikan antara kedua kelom-

pok wajib pajak. Untuk melihat apakah ada perbedaan yang signifikan tersebut dilakukan dengan uji t test atau Wilks’ Lambda test statistik. Semakin kecil nilai Wilks’ Lambda, semakin besar kemungkinan tidak adanya perbedaan yang signifikan antar dua kelompok. Untuk menguji signifikansi nilai Wilks’ Lambda, nilai tersebut dapat dikonversikan ke dalam rasio F.

2) Selanjutnya, untuk menguji signi-fikansi statistik dari fungsi diskrimi-nan digunakan multivariate test of significance. Pada pengujian ini digunakan nilai Wilks’ Lambda atau dapat juga diaproksimasi dengan statistik Chi-Square. Selain melihat nilai Wilks’ Lambda dan Chi Square perlu juga dilihat signifikansi nilai Wilks’ Lambda tersebut yang diban-dingkan dengan tingkat kesalahan yang ditetapkan, bila lebih kecil dari tingkat kesalahan yang dapat diterima maka dapat dinyatakan terdapat perbedaan yang signifikan.

3) Analisis canonical correlation yang dikuadratkan untuk menentukan se-berapa besar kemampuan variabel-variabel independen dapat menje-laskan perbedaaan yang terjadi antara kedua kelompok wajib pajak.

4) Koefisien yang akan dipakai dalam persamaan diskriminan diambil dari tabel Standardized Canonical Discri-minant Function Coefficient.

5) Sedangkan untuk menentukan cut off point, perlu dilihat nilai variabel yang terdapat pada table structure matrix.

b. Territorial Map

Karena dalam penelitian ini variabel dependen dikelompokkan ke

Page 18: 4-wahyu santoso

Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008

102

dalam tiga kategori yaitu tingkat risiko ketidakpatuhan rendah, menengah dan tinggi, maka untuk menentukan penem-patan sebuah data pada kelompok tertentu akan mengunakan territorial map. Territorial map pada dasarnya memetakan batas-batas setiap kelompok berdasarkan fungsi diskriminan 1 (sumbu X), dan fungsi diskriminan 2 (sumbu Y), dengan memasukan nilai-nilai variabel independen pada kedua fungsi diskriminan (Zscore) akan diperoleh nilai koordinat, sehingga dengan melihat koordinat sebuah kasus, dalam hal ini wajib pajak, akan terlihat wajib pajak tersebut ada di teritori mana.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Uji Asumsi Regresi Linier Klasik

Sebelum hasil regresi yang diperoleh diinterpretasikan maka terle-bih dahulu diuji apakah terdapat pelang-garan asumsi regresi linier klasik dari hasil tersebut. Dalam penelitian ini akan dilakukan dua pengujian yaitu, (1) Uji

Multikolinieritas dan (2) Uji Heteros-kedastisitas.

Uji Multikolinieritas

Uji multikolinieritas bertujuan menguji apakah dalam hasil regresi ditemukan adanya korelasi diantara variabel bebas. Tolerance adalah nilai 1-R2 dari regresi antara suatu variabel bebas tersebut dengan sisa variabel bebas lainnya. Nilai tolerance yang mendekati 0 menyatakan adanya koli-nieritas antara variabel bebas tersebut dengan sisa variabel bebas lainnya. Indikator kolinieritas lainnya adalah VIF (variance inflation factor) yang merupa-kan kebalikan (resiprokal) dari nilai tolerance. Batasan yang biasa digunakan adalah 0,1 untuk tolerance yang berarti batas angka 10 untuk VIF. Dengan melihat hasil perhitungan kolinieritas seperti yang tampak pada Tabel 2, dapat dikatakan tidak terdapat kolinier yang berarti dalam hasil regresi untuk model sampel secara keseluruhan (full sample).

Tabel 2

Hasil Uji Kolinieritas Untuk Data Full Sample

TE SANG PS DER SI PU Pro PPS SK SP Tolerance VIF

TE 1 0.70 1.42 SANG 0.30 1 0.82 1.22

PS 0.08 0.09 1 0.97 1.03 DER -0.05 0.08 -0.02 1 0.98 1.02

SI 0.17 0.10 0.01 -0.06 1 0.96 1.04 PU 0.45 0.33 0.04 -0.05 0.04 1 0.72 1.39

Pro 0.10 0.04 0.04 0.01 -0.03 -

0.07 1 0.22 4.63

PPS 0.15 0.12 0.07 0.00 -0.02 -

0.04 0.09 1 0.21 4.75

SK -0.15 -0.04 0.10 -0.03 -0.05 -

0.02 -0.03 -0.02 1 0.96 1.04 SP 0.22 0.13 0.06 -0.07 0.03 0.25 -0.05 -0.01 -0.03 1 0.91 1.09

Sumber: Analisis Data

Page 19: 4-wahyu santoso

Analisis Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak Sebagai Dasar Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak

103

Uji Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas dalam penelitian ini dilakukan melalui uji Park. Pada dasarnya uji ini ingin mengetahui apakah terdapat pengaruh yang sig-nifikan antara setiap variabel bebas dengan varian. Bila pengaruh ini signifikan berarti varian berubah-ubah bila variabel bebas

berubah, dengan kata lain varian regresi tidak tunggal (tidak homoskedastis). Uji Park dilakukan dengan melakukan regresi antara varian regresi (yang diproxy dengan logaritma kuadrat residu) dengan logaritma dari variabel penjelasnya.

Tabel 3 Hasil Uji Heteroskedastisitas Untuk Data Full Sample

Model Variabel Unstandardized Coefficients T Sig. Bebas B Std. Error 1 (Constant) 11.5 2.91 3.96 0 ltarif 3.69 3.2 1.15 0.25 lpenalti -0.16 0.09 -1.75 0.22 lder -0.09 0.06 -1.62 0.23 lperus 0.15 0.14 1.08 0.31 lpro 2.42 3.11 0.78 0.44 lpajak -2.99 3.11 -0.96 0.34 a Variabel Terikat : lne2

Sumber: Analisis Data

Tabel 3 memperlihatkan regresi dengan variabel tidak bebas adalah logaritma dari kuadrat residu (residu dari hasil regresi sebelumnya) dan variabel bebasnya adalah logaritma dari variabel bebas. Karena terdapat 4 variabel bebas yang memiliki skala nominal (dummy variables) maka hanya 6 variabel bebas saja yang disertakan dalam perhitungan adanya heteroskedastisitas.

Tampak dari “p-value” tidak satupun variabel bebas yang memiliki pengaruh yang signfikan. Dari hasil ini dapat dinyatakan bahwa varian regresi tidak berubah seiring dengan perubahan variabel bebas, atau dengan kata lain terdapat varian regresi tunggal (homo-skedastis). Dengan demikian tidak ditemukan bukti kuat adanya heteros-

kedastisitas dari hasil regresi untuk data secara keseluruhan (full sample).

Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak

Dalam pemungutan pajak de-ngan sistem self-assessment, agar pemeriksaan pajak yang dilakukan dapat efektif, diperlukan identifikasi SPT-SPT yang perlu diperiksa. Untuk dapat mencapai hal ini, pengukuran risiko ketidakpatuhan wajib pajak, yang dapat digunakan untuk mengarahkan pemerik-saan hanya kepada wajib pajak yang tidak patuh, perlu dilakukan (Hind, 2005).

Untuk dapat melakukan pengu-kuran risiko ketidakpatuhan wajib pajak, hal pertama yang perlu dilakukan adalah mengetahui variabel-variabel apa yang

Page 20: 4-wahyu santoso

Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008

104

berpengaruh kepada kepatuhan dan ketidakpatuhan wajib pajak. Berdasar-kan data pada Tabel 4 dapat dijelaskan pengaruh dari masing-masing variabel

terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak sebagai berikut:

Tabel 4

Hasil Regresi Untuk Full Sample

Variabel

Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients Tstat

Sig. Taraf Nyata

B Std. Error Beta (Constant) 105.599 39.066 2.703 .007 *** Tarif efektif (TE) -1665.047 324.626 -.097 -5.129 .000 *** Penalti (SANG) .000 .000 -.565 -30.758 .000 *** Pemegang saham (PS) 308.877 229.282 .038 1.389 .170 NS DER -1.685 .675 -.040 -2.496 .013 ** Status industri (SI) -71.105 44.052 -.026 -1.614 .107 NS Skala usaha (SU) .000 .000 .036 1.806 .071 * Profitabilitas (Pro) -3935.023 243.888 -.524 -16.135 .000 *** Pajak per penjualan (PPS) 22108.940 1548.889 .471 14.274 .000 *** Status kompensasi (SK) 1499.889 100.145 .243 14.977 .000 *** Status pemeriksaan (SP) -18.405 6.832 -.007 -2.694 .007 ***

Obs= 2324 R2= 0,652 RSS= 1263767768.477

Keterangan: *** : signifikan pada =1%, ** : signifikan pada =5%, * : signifikan pada =10%, NS=Tidak Signifikan Sumber: Hasil Olah Data

Tarif Efektif

Dari Tabel 4 diketahui bahwa tarif efektif memiliki arah pengaruh yang negatif, berarti semakin tinggi tarif efektif, ceteris paribus, semakin rendah angka koreksi penghasilan neto. Hal ini berarti semakin tinggi tarif pajak yang dikenakan kepada wajib pajak semakin tinggi tingkat kepatuhan wajib pajak. Di samping itu, tingginya tingkat signifi-kansi yang dihasilkan dari hasil perhitu-ngan menandakan populasi juga memiliki karakteristik yang sama.

Korelasi positif antara tarif efektif pajak dengan kepatuhan juga dapat diartikan bahwa wajib pajak dengan tingkat penghasilan yang lebih tinggi

cenderung lebih patuh dibandingkan dengan wajib pajak yang tingkat penghasilannya lebih rendah. Hal ini disebabkan sistem perpajakan di Indone-sia menggunakan tarif progresif (10% untuk penghasilan sampai dengan Rp 50 juta, 15% untuk penghasilan di atas Rp 50 juta sampai dengan Rp 100 juta, dan 30% untuk penghasilan di atas Rp 100 juta), wajib pajak dengan penghasilan tinggi akan menghadapi tarif pajak yang lebih tinggi dan demikian juga halnya tarif efektif yang dihadapi oleh wajib pajak. Allingham et al (1972) meng-asumsikan bahwa wajib pajak adalah rasional sehingga wajib pajak akan memilih tindakan yang utility-nya paling besar.

Page 21: 4-wahyu santoso

Analisis Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak Sebagai Dasar Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak

105

Berdasarkan konsep wajib pajak adalah rasional dan teori utility ini, ada dua hal yang mendorong wajib pajak dengan tingkat penghasilan relatif lebih tinggi akan semakin patuh. Pertama, wajib pajak melihat bahwa kemung-kinan terdeteksinya penghasilan yang tidak dilaporkan cukup tinggi. Hal ini berarti kebijakan pemeriksaan yang selama ini diterapkan oleh administrasi pajak telah mampu membentuk persepsi di kalangan wajib pajak bahwa kemungkinan besar wajib pajak akan diperiksa adalah tinggi sehingga pengha-silan yang tidak dilaporkan kemungkinan besar akan terdeteksi. Kedua, penalti yang akan dikenakan terhadap pengha-silan yang tidak dilaporkan dianggap berat oleh wajib pajak sehingga penalti yang ada sekarang mampu memberikan disinsentif bagi ketidakpatuhan wajib pajak.

Tingginya kemungkinan terde-teksinya penghasilan yang tidak dilaporkan dan besarnya penalti yang akan ditanggung wajib pajak menyebab-kan utility penghasilan yang tidak dilaporkan wajib pajak menjadi rendah. Hal ini mebuat wajib pajak dengan tarif efektif yang tinggi cenderung untuk patuh.

Dalam berbagai penelitian di bidang kepatuhan pajak dijelaskan bahwa hubungan antara tarif pajak dengan tingkat kepatuhan wajib pajak adalah ambigious. Artinya, beberapa penelitian berkesimpulan bahwa hubu-ngan kedua variabel tersebut positif, akan tetapi menurut beberapa penelitian yang lain adalah negatif. Dengan perkataan lain, tingginya tarif pajak yang dikenakan dapat membuat wajib pajak semakin patuh atau dapat pula membuatnya semakin tidak patuh.

Berdasarkan sampel pada peneli-tian ini ditemukan fakta bahwa semakin tinggi tarif pajak semakin tinggi tingkat kepatuhan wajib pajak, namun hal ini bertolak belakang dengan (satu) (Allingham et al (1972), Joulfaian et al (1998), Clotfelter (1983), de Juan, Lasheras, dan Mayo (1993), Das-Gupta, Lahiri, dan Mookherjee (1995) dalam Chattopadhayay dan Das-Gupta (2002)] yang menyatakan wajib pajak yang menghadapi tarif pajak yang tinggi akan cenderung kurang patuh dibandingkan dengan wajib pajak yang menghadapi tarif pajak yang lebih rendah.

Meskipun demikian, penelitian ini sesuai dengan Moser et al, 1995 dan Trivedi et al, 2001 yang menyatakan bahwa kenaikan tarif pajak akan meningkatkan kepatuhan. Selain itu, hasil penelitian ini sesuai juga dengan anggapan bahwa hubungan antara besaran tarif pajak dengan tingkat kepatuhan sifatnya ambigu (Ali et al, 2001 dan Feld et al, 2002).

Penalti

Variabel bebas kedua adalah penalti yang dikenakan kepada wajib pajak. Dari hasil perhitungan diketahui bahwa variabel ini memiliki arah pengaruh yang negatif secara parsial. Artinya semakin tinggi penalti yang dikenakan, semakin rendah arah koreksi penghasilan neto dari penghasilan neto menurut SPT, ataupun sebaliknya (ceteris paribus). Dengan demikian, untuk kasus di Indonesia semakin tinggi penalti yang dikenakan, tingkat kepatuhan wajib pajak akan semakin tinggi. Dilihat dari tingginya taraf nyata dari variabel ini berarti karakteristik ini juga berlaku untuk populasi.

Page 22: 4-wahyu santoso

Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008

106

Korelasi negatif antara penalti dengan kepatuhan menandakan bahwa penalti yang dikenakan kepada ketidakpatuhan wajib pajak cukup memberikan disinsentif bagi wajib pajak yang tidak patuh. Dengan demikian, wajib pajak cenderung akan patuh karena merasa penalti yang harus dibayar atas setiap penghasilan yang tidak dilaporkan cukup memberatkan.

Hal ini sejalan dengan teori ketidakpatuhan, di mana wajib pajak akan cenderung patuh apabila utility kepatuhan lebih besar daripada utility ketidakpatuhan (Allingham et al, 1972). Dalam konteks penelitian ini, wajib pajak merasa bahwa beban yang harus dibayar atas penghasilan yang tidak dilaporkan apabila nantinya ditemukan oleh administrasi pajak akan lebih besar daripada keuntungan yang mereka peroleh karena penghematan pajak yang dinikmati sekarang karena adanya penghasilan yang tidak dilaporkan. Dengan demikian, hasil perhitungan statistik ini membuktikan bahwa semakin tinggi tingkat penalti akan berdampak pada meningkatnya kepatuhan wajib pajak seperti disimpulkan oleh Allingham et al (1972), Park et al (2002) dan Lederman (2003).

Pemegang Saham

Penelitian ini menduga bahwa status pemegang saham yang terdiri atas pilihan ada-tidaknya pemegang saham asing dalam perusahaan turut mempe-ngaruhi tingkat kepatuhan wajib pajak. Dasar pemikiran yang digunakan dalam memasukkan variabel ini sebagai penjelas adalah kehadiran modal asing dalam perusahaan (yang biasanya perusahaan multi-nasional) akan mem-buat transaksi yang dilakukan perusa-

haan tersebut menjadi lebih mutakhir untuk tujuan penghematan pajak.

Dari hasil perhitungan tampak bahwa koefisien regresi untuk variabel ini adalah positif yang berarti bahwa perusahaan yang sahamnya dimiliki pihak asing (bernilai 1) akan memiliki tingkat koreksi penghasilan neto yang lebih tinggi. Hal ini berarti bahwa tingkat kepatuhan wajib pajak badan yang sahamnya dimiliki oleh pemodal asing lebih rendah daripada wajib pajak yang sahamnya tidak dimiliki pihak asing (100% dimiliki pihak lokal), ceteris paribus. Hal ini sejalan dengan pernya-taan bahwa pemegang saham perusahaan berpengaruh pada perilaku kepatuhan wajib pajak badan [Hinrichs (1966), Slemrod (1990) dalam Chattopadhayay and Das-Gupta (2002)].

Dengan demikian, dugaan bahwa perusahaan dengan saham yang dimiliki pihak asing akan menggiring orang untuk melakukan transaksi-transaksi yang sifatnya “off the books” (Chattopadhayay and Das-Gupta (2002) mendapat konfirmasi positif dari studi empiris ini. Kehadiran pemegang saham asing memberikan peluang wajib pajak untuk melakukan rekayasa transaksi yang tujuan akhirnya adalah meminimalisasi beban pajak yang dibayar di Indonesia. Rekayasa transaksi, antara lain dengan melakukan paraktik transfer pricing.

Selain itu, undereporting pengha-silan juga dapat dilakukan melalui praktik pengendalian biaya. Dalam hal ini, perusahaan yang didirikan di Indo-nesia ditetapkan sebagai pusat biaya (cost center) di mana biaya-biaya bersama dari perusahaan multinasional lebih bayak dibebankan di Indonesia

Page 23: 4-wahyu santoso

Analisis Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak Sebagai Dasar Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak

107

karena alasan tarif pajak di Indonesia lebih tinggi.

Pemodal asing pada umumnya datang ke Indonesia untuk melakukan investasi dengan modal yang cukup besar. Hal ini memungkinkan wajib pajak yang sahamnya dimiliki oleh pemodal asing untuk menyewa kon-sultan pajak. Kehadiran konsultan pajak ini dapat meningkatkan pengetahuan perpajakan wajib pajak, yang pada gilirannya dapat dipakai untuk mengeks-ploitasi celah-celah peraturan yang ada dalam ketentuan perpajakan untuk tujuan minimalisasi pajak (agrresive tax planning) (OECD, 2001).

Debt to Equity Ratio

Variabel keempat yang diduga mempengaruhi tingkat kepatuhan wajib pajak adalah struktur modal, yaitu perbandingan antara hutang dengan ekuitas (debt to equity ratio/DER). Dalam manajemen keuangan dikenal sumber modal yang berasal dari hutang atau dari ekuitas yang dampak kewajiban perpajakannya berbeda. Hutang misalnya akan memunculkan bunga atas hutang sedangkan ekuitas akan memunculkan pembagian deviden kepada pemegang saham.

Dugaannya adalah semakin tinggi modal yang berasal dari hutang (DER) maka wajib pajak cenderung tidak akan berupaya memanipulasi beban-bebannya. Dengan demikian semakin tinggi DER semakin patuh wajib pajak, ceteris paribus. Dari hasil perhitungan tampak bahwa koefisien variabel DER ini adalah negatif dan signifikan. Oleh karena itu, penelitian ini mendukung premis bahwa permodalan (dalam hal ini DER sebagai proxy struktur modal) mempengaruhi

kepatuhan wajib pajak (Chattopadhayay et al, 2002).

Tanda negatif pada koefisien menunjukkan bahwa DER yang semakin tinggi akan menyebabkan angka koreksi penghasilan neto semakin rendah, yang berarti bahwa wajib pajak semakin patuh. Taraf nyata yang tinggi untuk variabel ini juga berarti pengaruh yang sama juga akan ditemukan dalam populasi.

Korelasi negatif juga menunjukkan bahwa wajib pajak yang struktur pembiayaannya lebih banyak dilakukan melalui hutang cenderung lebih patuh dibandingkan dengan wajib pajak yang mengandalkan ekuitas. Perlakuan perpajakan atas biaya modal dari kedua alternatif pembiayaan tersebut terlihat mempengaruhi kepatuhan wajib pajak. Bunga yang dibayar atas hutang merupakan biaya yang boleh dikurang-kan (deductible expense) sedangkan dividen tidak.

Dengan demikian, wajib pajak yang mengutamakan hutang sebagai sumber pembiayaan akan cenderung bersedia melaporkan seluruh penghasi-lannya karena ada keuntungan dengan pengurangan biaya bunga sehingga penghasilan kena pajak akan menjadi lebih kecil dan memperoleh penghe-matan pajak. Di pihak lain, bagi wajib pajak yang mengandalkan ekuitas sebagai sumber pembiayaan tidak mem-peroleh manfaat penghematan pajak dari biaya modal karena dividen tidak boleh dikurangkan dalam penentuan besarnya penghasilan kena pajak.

Page 24: 4-wahyu santoso

Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008

108

Status Industri

Variabel kelima yang diduga mempengaruhi tingkat kepatuhan wajib pajak adalah status industri yang dalam penelitian ini dikategorikan ke dalam pembagian industri manufaktur atau non-manufaktur. Variabel ini dijadikan penjelas karena beberapa penelitian menyimpulkan bahwa jenis usaha berpengaruh pada perilaku kepatuhan wajib pajak, Klepper dan Nagin (1989), Joulfaian and Rider (1998), Forest (2004).

Secara teknis dalam penelitian ini wajib pajak yang masuk ke dalam jenis industri manufaktur diwakili oleh angka 1 sedangkan bila tidak termasuk dalam industri manufaktur diwakili oleh angka 0 (variabel boneka). Koefisien regresi yang diperoleh untuk variabel ini adalah negatif yang berarti perusahaan yang termasuk dalam jenis industri manufa-ktur akan memiliki angka koreksi peng-hasilan neto yang lebih rendah. Dengan kata lain, tingkat kepatuhan rata-rata wajib pajak yang masuk kedalam industri manufaktur lebih tinggi daripada mereka yang berada di luar sektor manufaktur. Karakteristik ini hanya dite-mukan pada sampel yang diteliti dan tidak pada populasinya karena variabel ini tidak nyata secara statistik (tidak signifikan) yang tercermin dari p-value yang lebih tinggi dari 10%.

Jenis usaha wajib pajak berpe-ngaruh kepada kepatuhan karena adanya perlakuan perpajakan yang berbeda-beda antara berbagai jenis usaha wajib pajak, Forest (2004). Sebagai contoh, di Indonesia, bagi wajib pajak yang bergerak di bidang non-manufaktur, seperti jasa, umumnya menjadi subyek pemotongan atau pemu-ngutan pajak (withholding tax) pajak

penghasilan. Sementara, wajib pajak manufaktur umumnya tidak menjadi subyek pemotongan atau pemungutan pajak, kecuali untuk beberapa transaksi tertentu seperti impor atau penjualan kepada instansi pemerintah.

Mekanisme pemotongan atau pemungutan pajak penghasilan oleh wajib pajak lain menyebabkan transaksi yang dilakukan oleh wajib pajak penerima penghasilan diketahui lebih banyak pihak karena adanya kewajiban melaporkan pemotongan atau pemu-ngutan oleh wajib pajak pemberi penghasilan. Hal ini menyebabkan wajib pajak yang bergerak di bidang usaha yang menjadi obyek pemotongan atau pemungutan cenderung lebih patuh. Berdasarkan hal ini, wajib pajak yang bergerak di bidang usaha non-manufak-tur yang mejadi obyek pemotongan atau pemungutan pajak penghasilan akan cenderung lebih patuh daripada wajib pajak yang bergerak di bidang usaha manufaktur.

Meskipun demikian, hasil peneli-tian ini menunjukkan hal yang seba-liknya, di mana wajib pajak manufaktur cenderung lebih patuh. Beberapa hal dapat dijadikan catatan terhadap hasil penelitian atas variabel status industri.

Pertama, secara statistik, karak-teristik ini hanya ditemukan pada sampel yang diteliti dan tidak pada populasinya karena variabel ini tidak nyata secara statistik (tidak signifikan, di mana p-value yang lebih tinggi dari 10%). Hal ini menunjukkan bahwa kecenderungan bahwa wajib pajak manufaktur lebih patuh tidak berlaku bagi wajib pajak pada umumnya. Kesimpulan ini sesuai dengan pendapat penulis bahwa wajib pajak yang bergerak disektor non-

Page 25: 4-wahyu santoso

Analisis Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak Sebagai Dasar Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak

109

manufaktur yang menjadi obyek pemotongan atau pemungutan seharus-nya mempunyai kecenderungan untuk patuh yang lebih tinggi.

Kedua, dalam penelitian ini, karena keterbatasan data, jenis usaha wajib pajak hanya dikelompokkan ke dalam dua kelompok bidang usaha yaitu manufaktur dan non-manufaktur yang terdiri dari perdangangan dan jasa. Pengelompokan jenis usaha yang lebih rinci akan memberikan informasi yang berbeda dengan hasil penelitian ini.

Skala Usaha

Variabel keenam yang dijadikan faktor penjelas tingkat kepatuhan wajib pajak adalah skala usaha. Skala usaha dimasukkan ke dalam salah satu variabel yang mempengaruhi tingkat kepatuhan wajib pajak karena besar kecilnya tingkat skala usaha wajib pajak diduga akan berpengaruh kepada kepatuhan pelaksanaan kewajiban perpajakannya. Dalam penelitian ini, skala usaha wajib pajak diwakili oleh peredaran usaha.

Hasil perhitungan regresi yang tampak dari tabel di atas untuk variabel ini adalah positif dan signifikan. Dengan demikian dugaan bahwa semakin tinggi tingkat skala usaha, ceteris paribus, akan membuat kesempatan wajib pajak cenderung menjadi tidak patuh akan semakin tinggi pula, mendapat konfir-masi dari studi empirik yang dilakukan. Taraf nyata sebesar 90% (p-value 0,71) mengindikasikan karakateristik ini juga mencerminkan kondisi pada populasi. Temuan ini sejalan dengan bahwa yaitu skala usaha wajib pajak akan berpenga-ruh pada tingkat kepatuhan wajib pajak (Erard, 1997), [Das-Gupta (1994) dan

Drazen (1978) dalam Chattopadhayay and Das-Gupta (2002)].

Korelasi positif antara skala usaha dengan tingkat koreksi pengha-silan neto menggambarkan bahwa semakin tinggi skala usaha, tingkat koreksi penghasilan neto juga semakin tinggi atau wajib pajak semakin tidak patuh. Hal ini bertolak belakang dengan Erard (1997) yang menyatakan bahwa semakin tinggi skala usaha wajib pajak, pemahaman ketentuan perpajakan wajib pajak tersebut akan semakin baik sehingga akan cenderung lebih patuh.

Berdasarkan teori utility ketidak-patuhan, kecenderungan wajib pajak dengan skala usaha tinggi untuk tidak patuh dapat dikaitkan dengan tingkat pemeriksaan (audit rate) yang masih rendah. Wajib pajak berskala usaha tinggi masih mempunyai insentif untuk tidak patuh dengan melakukan under-reporting mengingat dari 2.324 sampel yang menjadi obyek penelitian ini hanya 366 atau 15,7% yang pernah diperiksa.

Profitabilitas

Variabel ketujuh yang menjadi variabel bebas adalah profitabilitas. Profitabilitas merupakan salah satu elemen SPT yang diduga mempengaruhi tingkat kepatuhan wajib pajak. Hasil estimasi model regresi untuk variabel ini adalah negatif dan signifikan. Artinya semakin tinggi kemampuan menghasil-kan laba suatu perusahaan, ceteris paribus, akan menurunkan tingkat koreksi penghasilan neto dari pengha-silan neto menurut SPT. Dengan kata lain semakin tinggi tingkat profitabilitas semakin tinggi tingkat kepatuhan wajib pajak. Melihat tingginya tingkat signifikansi (99%), arah pengaruh yang

Page 26: 4-wahyu santoso

Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008

110

sama juga terjadi pada populasi. Hal ini sejalan dengan premis bahwa elemen isian SPT merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan kepatu-han wajib pajak (Hunter et al, 1996 dan Alm, 1998).

Hasil penelitian pada variabel ini sejalan dengan hasil penelitian pada variabel tarif pajak. Tarif pajak pengha-silan di Indonesia menggunakan tarif progresif, semakin tinggi penghasilan wajib pajak, semakin tinggi tarif pajak yang dikenakan. Dengan demikian, semakin tinggi tingkat keuntungan, wajib pajak akan menghadapi tarif pajak yang lebih tinggi dan wajib pajak akan cenderung lebih patuh. Penjelasan tentang konsep utility seperti dijelaskan dalam kaitannya dengan variabel tarif berlaku juga untuk variabel profitabilitas.

Pajak Per Penjualan

Variabel kedelapan yang menjadi variabel penjelas adalah pajak per penjualan. Variabel pajak per penjualan adalah salah satu elemen SPT seperti halnya profitablitas yang diduga mempengaruhi tingkat kepatuhan wajib pajak. Hasil estimasi model regresi untuk variabel ini adalah positif dan signifikan. Dengan demikian berarti semakin tinggi rasio pajak terhadap penjualan yang dibayarkan, ceteris paribus, semakin tinggi tingkat koreksi penghasilan neto. Dengan kata lain, semakin tinggi rasio pajak yang dibayarkan terhadap penju-alan, semakin rendah tingkat kepatuhan wajib pajak.

Rendahnya p-value yang dihasilkan menandakan karakteristik yang ditemu-kan dalam sampel mencerminkan kondisi yang sama untuk populasi. Hasil penelitian ini mendukung teori bahwa

elemen SPT yang dilaporkan wajib pajak dapat memberikan informasi bagaimana kepatuhan wajib pajak yang bersang-kutan (Hunter, et al, 1996).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa wajib pajak cenderung tidak patuh apabila jumlah nominal pajak yang dibayar relatif besar apabila dibandingkan dengan tingkat penjualan wajib pajak. Di sisi lain, berdasarkan penelitian terhadap variabel tarif efektif, semakin tinggi tarif efektif, wajib pajak akan cenderung patuh. Hasil penelitian terhadap variabel tarif efektif dan pajak per penjualan tampak bertolak belakang. Semakin tinggi tarif efektif berarti nominal pajak yang dibayar juga semakin tinggi, akan tetapi dampak semakin tingginya tarif dan nominal pajak terhadap penjualan pada tingkat ketidakpatuhan adalah bertolak belakang. Semakin tinggi pajak yang dibayar wajib pajak relatif terhadap penjualan membuat wajib pajak cenderung tidak patuh, di pihak lain semakin tinggi tarif pajak, yang berarti jumlah pajak yang dibayar juga akan lebih tinggi, membuat wajib pajak cenderung untuk patuh.

Dari penelitian terhadap kedua variabel ini, penulis menyimpulkan bahwa wajib pajak lebih mempertim-bangkan jumlah pajak yang dibayar relatif terhadap penjualannya dalam perilaku kepatuhannya. Dengan demi-kian, wajib pajak mempunyai batas optimal (rasio pajak dibayar dengan penjualan) berapa rupiah pajak yang mereka bersedia bayar. Apabila jumlah pajak yang dibayar masih di bawah batas otpimal, wajib pajak akan cenderung patuh, akan tetapi apabila jumlah pajak yang dibayar sudah

Page 27: 4-wahyu santoso

Analisis Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak Sebagai Dasar Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak

111

melebihi batas optimal tersebut, wajib pajak akan menjadi tidak patuh.

Status Kompensasi

Variabel kesembilan yang menjadi variabel bebas adalah status kompensasi, yaitu apakah wajib pajak mempunyai kerugian dalam tahun pajak sebelumnya yang dapat diperhitungkan dalam menentukan penghasilan kena pajak tahun berjalan. Variabel ini dimasukkan sebagai salah satu variabel yang menjelaskan tingkat kepatuhan wajib pajak karena ada tidaknya kompensasi kerugian dari tahun pajak sebelumnya menentukan jumlah pajak yang harus dibayar dalam satu tahun pajak. Selain itu, dengan adanya kompensasi kerugian dapat menyebabkan koreksi penghasilan neto tahun berjalan tidak diikuti dengan tambahan pajak dibayar. Untuk menang-kap gejala ini digunakan variabel kate-gori yang bernilai 1 dan 0. Nilai 1 mewakili kondisi di mana perusahaan memiliki kompensasi, sedangkan nilai 0 berarti sebaliknya.

Hasil estimasi terhadap variabel ini menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki kompensasi, ceteris paribus, semakin tinggi tingkat koreksi pengha-silan neto. Dengan kata lain, tingkat kepatuhan rata-rata dari wajib pajak yang memiliki kompensasi lebih rendah daripada mereka yang tidak memiliki kompensasi. Tingginya tingkat signifi-kansi memberikan indikasi bahwa hal yang sama juga terjadi pada populasi.

Adanya kompensasi kerugian dari tahun pajak sebelumnya menyebabkan wajib pajak memperoleh manfaat pada tahun berjalan. Manfaat tersebut adalah adanya pengurangan kerugian dari tahun pajak sebelumnya pada penghasilan

neto tahun berjalan. Apabila pengha-silan neto tahun berjalan lebih kecil daripada kerugian tahun pajak sebelum-nya maka pada tahun berjalan tidak ada pajak yang terutang oleh wajib pajak. Hal ini membuat wajib pajak akan cenderung patuh dalam melaporkan penghasilan tahun berjalan karena tidak ada pajak yang akan dibayar. Berbeda dengan wajib pajak yang tidak mempunyai kerugian dari tahun pajak sebelumnya, setiap penghasilan yang dilaporkan akan ada pajak yang harus dibayar.

Status Pemeriksaan

Variabel terakhir yang menjadi variabel yang menerangkan tingkat kepatuhan wajib pajak adalah status pemeriksaan. Variabel ini diwakili nilai 1 untuk wajib pajak yang diperiksa pada tahun sebelumnya, dan nilai 0 untuk wajib pajak yang tidak diperiksa pada tahun sebelumnya. Wajib pajak yang telah diperiksa pada tahun tertentu cenderung akan memiliki kepatuhan yang lebih tinggi daripada sebelum diperiksa.

Dugaan tersebut di atas mendapat konfirmasi dari studi empirik yang dilakukan karena koefisien dari variabel ini bertanda negatif dan signifikan. Artinya perusahaan yang pernah diperiksa, ceteris paribus, akan memiliki tingkat koreksi penghasilan neto yang lebih rendah. Atau dengan kata lain para wajib pajak yang pernah diperiksa akan memiliki tingkat kepatuhan rata-rata yang lebih tinggi daripada mereka yang belum pernah diperiksa. Hal ini sejalan dengan premis ketujuh yaitu tingkat probabilitas diperiksanya wajib pajak berpengaruh pada tingkat kepatuhannya, Allingham et al (1972), Forest (2004).

Page 28: 4-wahyu santoso

Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008

112

Kemudian, tingginya derajat nyata yang dihasilkan dari perhitungan menyatakan bahwa kondisi yang sama juga terjadi untuk populasi.

Secara keseluruhan, hasil regresi seperti terlihat pada Tabel 4 juga memperlihatkan hasil perhitungan koefi-sien beta untuk kelompok Full Sample. Apabila koefisien beta tersebut diban-dingkan ternyata tiga variabel dominan, variabel dengan pengaruh paling besar, yang mempengaruhi tingkat kepatuhan wajib pajak untuk sampel keseluruhan adalah penalti, profitablitas dan pajak per penjualan.

Pengelompokan Wajib Pajak Berdasarkan Risiko Ketidakpatuhan

Bagian ini akan membahas hasil temuan dari studi empirik yang dilaku-kan pada sampel yang terpilih untuk menguji hipotesis pertama, yaitu ”terda-pat ukuran risiko ketidakpatuhan tiap-tiap kelompok wajib pajak berdasarkan perbedaan penghasilan neto antara Surat Pemberitahuan wajib pajak dengan hasil pemeriksaan”.

Setelah secara agregat hasil studi empirik membuktikan bahwa variabel-variabel yang diduga mempengaruhi dapat menjelaskan variabel terikat, langkah selanjutnya dalam penelitian ini adalah ingin mengetahui berapa ukuran risiko ketidakpatuhan yang dapat digunakan

untuk mengelompokkan wajib pajak ke dalam kelompok risiko ketidakpatuhan rendah, menengah dan tinggi. Untuk menjawab pertanyaan ini digunakan uji Chow dengan perantaraan model regresi linier untuk mengetahui apakah wajib pajak yang masuk ke dalam risiko ketidakpatuhan rendah, menengah dan tinggi dalam penelitian ini memiliki perbedaan karakteristik.

Secara statistik, Uji Chow berfungsi untuk menguji apakah terdapat perbe-daan hasil regresi (dalam slope dan intercept) dari dua buah persamaan. Oleh karena itu, selain dari regresi dengan data full sample, penelitian ini membagi sampel tersebut ke dalam tiga kelompok berdasarkan besaran nilai koreksi penghasilan neto (dalam %) dari penghasilan neto menurut SPT, yang merupakan proxy dari tingkat risiko ketidakpatuhan wajib pajak. Batas nilai yang digunakan adalah 0 sampai dengan 10% untuk kelompok risiko ketidak-patuhan rendah, di atas 10% sampai dengan 20% untuk kelompok risiko ketidakpatuhan menengah, dan di atas 20% untuk kelompok risiko ketidak-patuhan tinggi.

Berdasarkan batas pembagian tersebut, jumlah wajib pajak dalam setiap kelompok risiko ketidakpatuhan adalah sebagai berikut:

Page 29: 4-wahyu santoso

Analisis Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak Sebagai Dasar Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak

113

Tabel 5 Pengelompokan Wajib Pajak Berdasarkan Tingkat Risiko Ketidakpatuhan

Tingkat Koreksi Klasifikasi Jumlah Perusahaan Persentase

TK< 10% Rendah 1.126 48,41% 10% ≤ TK < 20% Menengah 719 31,02%

≥ 20% Tinggi 479 20,57% Jumlah 2.324 100%

Sumber: Hasil Olah Data

Ringkasan hasil regresi terhadap klaster wajib pajak berisiko rendah adalah seperti dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Hasil Regresi Untuk Klaster Risiko Rendah

Variabel

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

Tstat

Sig. Taraf Nyata

B Std. Error Beta (Constant) 3.379 .160 21.138 .000 *** Tarif efektif -10.274 1.165 -.315 -8.822 .000 *** Penalti .000 .000 -.147 -4.648 .000 *** Pemegang saham .695 .411 .052 1.691 .091 * DER -.056 .018 -.089 -3.116 .002 *** Status Industri -.230 .145 -.046 -1.587 .113 NS Skala usaha .000 .000 -.003 -.105 .916 NS Profitabilitas -3.455 .970 -.297 -3.561 .000 *** Pajak per penjualan 16.193 5.665 .242 2.858 .004 *** Status kompensasi .214 .657 .010 .326 .745 NS Status Pemeriksaan -.298 .143 -.061 -2.086 .037 **

Obs= 1126 R2= 0,606 RSS= 3808000.21

Keterangan : *** : signifikan pada =1%, ** : signifikan pada =5%, * : signifikan pada =10%, NS=Tidak Signifikan Sumber: Hasil Olah Data

Untuk mengetahui apakah terdapat korelasi diantara variabel bebas dalam hasil regresi dilakukan uji multikolinieri-tas. Berdasarkan hasil korelasi antar variabel bebas seperti yang tampak pada Tabel 7, diketahui bahwa seluruh

variabel bebas memiliki korelasi kurang dari 0,9 (korelasi rendah). Selain itu perhitungan tolerance menghasilkan nilai kurang dari 1 dan demikian halnya dengan nilai VIF yang kurang dari 10. Dengan demikian, dapat dikatakan

Page 30: 4-wahyu santoso

Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008

114

bahwa tidak terdapat kolinieritas yang berarti dalam hasil regresi untuk model

wajib pajak berisiko rendah.

Tabel 7

Hasil Uji Multikolinieritas Untuk Data Risiko Rendah

TE SANG PS DER SI PU Pro PPS SK SP Tolera

nce VIF

TE 1 0.63 1.59 SANG 0.35 1 0.80 1.25

PS 0.09 0.14 1 0.86 1.16 DER 0.07 -0.01 -0.03 1 0.98 1.02

SI 0.18 0.09 0.02 0.02 1 0.96 1.05 PU 0.47 0.30 0.02 0.05 0.04 1 0.72 1.38

Pro -

0.02 0.07 0.04 0.03 -0.06 -

0.11 1 0.12 8.66

PPS 0.11 0.17 0.07 0.01 -0.04 -

0.06 0.93 1 0.11 8.94

SK -

0.01 0.01 0.33 -0.02 0.01 -

0.01 -

0.02 -

0.01 1 0.89 1.13

SP 0.22 0.13 0.08 -0.02 0.07 0.21 -

0.05 -

0.04 0.05 1 0.92 1.08

Sumber: Hasil Olah Data

Sementara itu, Tabel 8 memper-lihatkan regresi dengan variabel terikat logaritma dari kuadrat residu (residu dari hasil regresi sebelumnya) dan variabel bebasnya adalah logaritma dari variabel bebas. Tampak dari “p-value”, tidak satupun variabel bebas yang memiliki pengaruh yang signfikan. Dari hasil ini dapat dinyatakan bahwa varian regresi

tidak berubah seiring dengan perubahan variabel bebas. Dengan kata lain, varian regresi adalah tunggal (homoskedastis). Dengan demikian tidak ditemukan bukti kuat adanya heteroskedastisitas dari hasil regresi untuk data kelompok wajib pajak berisiko ketidakpatuhan rendah.

Page 31: 4-wahyu santoso

Analisis Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak Sebagai Dasar Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak

115

Tabel 8 Hasil Uji Heteroskedastisitas Data Risiko Rendah

Model Variabel Unstandardized Coefficients t Sig. Bebas B Std. Error

1 (Constant) -7.91 2.96 -2.67 0.01 Ltarif -3.68 2.27 -1.62 0.11 Lpenalti 0.18 0.17 1.06 0.14 Lder 0.03 0.07 0.50 0.62 Lperus -0.26 0.19 -1.40 0.16 Lpro -0.43 2.16 -0.20 0.84 Lpajak 0.14 2.16 0.06 0.95

A Variabel Terikat : lne2 Sumber: Hasil Olah Data

Bila hasil regresi tersebut pada Tabel 6 dibandingkan dengan hasil regresi untuk data keseluruhan (full sample data) maka terdapat beberapa hasil yang sama namun ada pula yang berbeda. Bila dilihat dari tanda koefisien regresi yang menyatakan arah pengaruh antara variabel penjelas terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak maka dapat dibandingkan bahwa keseluruhan variabel penjelas memiliki arah pengaruh yang sama. Perbedaan terjadi pada tingkat signifikansi di mana pada regresi atas data keseluruhan, variabel tertentu memiliki pengaruh yang signifikan sedangkan pada pengelompokan risiko rendah variabel tersebut tidak signifikan, demikian pula sebaliknya.

Variabel tarif efektif, penalti, DER, status industri, profitabilitas, pajak per penjualan dan status pemeriksaan ada-lah variabel-variabel yang memiliki arah pengaruh yang sama antara hasil esti-masi data keseluruhan dengan penge-lompokan wajib pajak berisiko rendah. Perbedaan terjadi pada variabel peme-gang saham, skala usaha serta status kompensasi. Variabel pemegang saham pada data keseluruhan memiliki penga-

ruh yang tidak signifikan sedangkan pada kelompok wajib pajak berisiko rendah memiliki taraf nyata 90%. Variabel skala usaha yang pada data keseluruhan memiliki taraf nyata yang tinggi (90%), pada kelompok ini pengaruhnya tidak signifikan. Perbedaan juga terjadi pada variabel status kom-pensasi yang pada data keseluruhan memiliki pengaruh yang nyata tetapi pada kelompok wajib pajak ini penga-ruhnya tidak signifikan.

Tabel 6 juga memperlihatkan hasil perhitungan koefisien beta untuk kelompok wajib pajak berisiko rendah. Tiga variabel dominan yang mempenga-ruhi tingkat kepatuhan wajib pajak untuk kelompok ini adalah tarif efektif, profitabilitas dan pajak per penjualan. Perbedaan dengan hasil pengolahan data untuk data full sample terjadi pada variabel tarif efektif. Dengan demikian bagi mereka yang berisiko rendah variabel yang lebih dominan mempe-ngaruhi tingkat kepatuhannya adalah tarif, di mana semakin tinggi tarif yang dikenakan semakin tinggi tingkat kepatuhan wajib pajak.

Page 32: 4-wahyu santoso

Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008

116

Selain menghasilkan koefisien regresi yang telah dibandingkan tersebut, estimasi model untuk wajib pajak kelompok risiko rendah juga menghitung nilai residual sum square (RSS). Nilai RSS ini digunakan untuk menguji apakah benar terdapat perbedaan karakteristik yang signifikan antara seluruh sampel dengan sekelompok sampel yang terma-suk kedalam berisiko rendah. Perbedaan

tersebut sebenarnya telah tercermin dari statistik (koefisien regresi, koefisien determinasi dan lainnya) yang telah dibandingkan, walaupun demikian untuk menguji apakah perbedaan ini nyata digunakan Uji Chow seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Prosedur Uji Chow seperti yang telah dijelaskan, menghasilkan perhitu-ngan seperti tampak pada tabel berikut.

Tabel 9 Uji Chow Untuk Klaster Risiko Rendah

ALL RSS1= 1263767768 N= 2324 Low-Risk RSS2= 3808000.21 RSS4= 4089051.89 N1= 1126 RSS5= 1259678716.59 RSS3= 281051.68 F stat= 78932.16 N2= 1198

Sumber: Hasil Olah Data

Tabel 9 memperlihatkan nilai Fstat yang sangat tinggi yakni sebesar 78.932,16. Dengan berpatokan pada rule of thumb pada Uji F, dapat disimpulkan bahwa berdasarkan hasil perhitungan ini menunjukkan kalau kelompok wajib pajak yang berisiko rendah berbeda dengan data secara keseluruhan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sekelompok wajib pajak yang masuk dalam kategori wajib pajak berisiko rendah memiliki karakteristik yang berbeda dengan wajib pajak di sampel keseluruhan.

Langkah-langkah yang dilakukan seperti dijelaskan untuk kelompok wajib pajak risiko ketidakpatuhan rendah di muka, diulangi untuk kelompok wajib pajak risiko ketidakpatuhan menengah dan tinggi.

Untuk 719 wajib pajak yang masuk kelompok wajib pajak dengan risiko ketidakpatuhan menengah, hasil regresi untuk kelompok observasi yang termasuk dalam klaster risiko menengah adalah sebagai berikut.

Page 33: 4-wahyu santoso

Analisis Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak Sebagai Dasar Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak

117

Tabel 10 Hasil Regresi Untuk Klaster Risiko Menengah

Variabel

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients Tstat

Sig.

Taraf Nyata

B Std. Error Beta (Constant) 21.273 .714 29.790 .000 *** Tarif efektif -41.789 7.479 -.466 -5.588 .000 *** Penalti .000 .000 -.257 -6.003 .000 *** Pemegang saham 2.542 1.125 .056 2.258 .024 ** DER -.035 .002 -.473 -15.506 .000 *** Status Industri -1.910 .220 -.218 -8.677 .000 *** Skala usaha .000 .000 -.720 -15.065 .000 *** Profitabilitas -168.753 14.294 -1.350 -11.806 .000 *** Pajak per penjualan 780.456 112.111 .952 6.961 .000 *** Status kompensasi -.801 .502 -.040 -1.597 .101 NS Status Pemeriksaan -7.883 .455 -.756 -17.320 .000 ***

Obs= 719 R2= 0,578 RSS= 2631.79

Keterangan: *** : signifikan pada =1%, ** : signifikan pada =5%, * : signifikan pada =10%, NS=Tidak Signifikan Sumber: Hasil Olah Data

Berdasarkan hasil uji kolinieritas diketahui bahwa seluruh variabel bebas memiliki korelasi kurang dari 0,9 (kore-lasi rendah). Selain itu perhitungan tolerance menghasilkan nilai kurang dari 1 dan demikian halnya dengan nilai VIF

memiliki nilai kurang dari 10. Dengan demikian, dapat dikatakan tidak terdapat kolinier yang berarti dalam hasil regresi untuk model wajib pajak berisiko me-nengah.

Tabel 11 Hasil Uji Heteroskedastisitas Data Risiko Menengah

Model Variabel Unstandardized Coefficients T Sig. Bebas B Std. Error 1 (Constant) -362.31 5.61 -64.56 0.00 ltarif -84.67 70.66 -1.20 0.22 lpenalti 27.31 14.80 1.84 0.21 lder 1.01 0.87 1.16 0.23 lperus -27.79 14.93 -1.86 0.21 lpro -1.65 1.34 -1.23 0.23 lpajak -46.01 23.07 -1.99 0.21 A Variabel Terikat: lne2

Sumber: Hasil Olah Data

Uji heteroskedastisitas memper-lihatkan bahwa, berdasarkan “p-value”, tidak satupun variabel bebas yang memi-

liki pengaruh yang signifikan sehingga dapat dinyatakan bahwa varian regresi tidak berubah seiring dengan perubahan

Page 34: 4-wahyu santoso

Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008

118

variabel bebas, atau dengan kata lain varian regresi adalah tunggal (homo-skedastis). Dengan demikian tidak dite-mukan bukti kuat adanya heteroske-dastisitas dari hasil regresi untuk data wajib pajak berisiko menengah.

Hasil regresi untuk wajib pajak yang dikelompokkan ke dalam kategori wajib pajak berisiko menengah yang tampak pada Tabel 10 dapat diban-dingkan dengan hasil untuk data keselu-ruhan yang tampak pada Tabel 4. Dilihat dari koefisien determinasi yang diperoleh kedua hasil regresi menghasilkan angka yang hampir sama sekitar 60%. Bila dilihat dari koefisien regresi yang diper-oleh tampak bahwa pada hasil regresi kelompok wajib pajak menengah ini lebih banyak variabel penjelas yang nyata secara statistik. Perbedaan terjadi pada tiga variabel penjelas yaitu pemegang saham, status industri dan status kompensasi.

Status pemegang saham yang secara operasional berbentuk variabel kategori (0 dan 1) memiliki pengaruh yang tidak nyata terhadap tingkat kepatuhan WP untuk data seluruh sam-pel, sedangkan pada kategori ini penga-ruhnya signifikan. Dengan demikian untuk wajib pajak dengan tingkat risiko menengah adanya pemegang saham asing akan memiliki pengaruh yang negatif. Artinya tingkat kepatuhan wajib pajak (berisiko menengah) yang saham-nya dimiliki pemegang saham asing lebih rendah daripada kepatuhan wajib pajak yang sahamnya tidak dimiliki pemegang saham asing.

Variabel penjelas kedua yang hasil estimasinya berbeda adalah status industri. Pada regresi atas seluruh sampel pengaruh variabel ini tidak

signifikan, tetapi pada kelompok wajib pajak berisiko menengah pengaruhnya mencapai taraf nyata 99%. Artinya tingkat kepatuhan wajib pajak (berisiko menengah) yang berada disektor manu-faktur lebih tinggi daripada mereka yang berada di luar sektor manufaktur.

Kemudian, variabel penjelas yang hasil estimasinya berbeda adalah status kompensasi. Pada hasil regresi untuk data keseluruhan, pengaruh variabel ini signifikan dan negatif terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak. Pada hasil regresi untuk wajib pajak kelompok risiko mene-ngah ini, pengaruh variabel kompensasi walaupun positif terhadap tingkat kepa-tuhan, tetapi pengaruhnya tidak nyata secara statistik.

Tabel 10 juga menunjukkan hasil perhitungan koefisien beta, di mana tiga variabel dominan yang mempengaruhi tingkat kepatuhan wajib pajak masing-masing adalah profitabilitas, rasio pajak per penjualan dan status pemeriksaan. Dengan demikian perbedaan dengan hasil pengolahan data full sample terletak pada variabel status pemerik-saan. Untuk mereka yang termasuk ke dalam wajib pajak berisiko menengah, ternyata mereka yang telah diperiksa pada tahun sebelumnya akan memiliki tingkat kepatuhan yang lebih tinggi yang cukup dominan menentukan tingkat kepatuhan mereka.

Setelah diketahui terdapat bebe-rapa perbedaan antara hasil estimasi model untuk kelompok wajib pajak berisiko menengah, dengan data keselu-ruhan, langkah selanjutnya adalah menguji apakah perbedaan ini nyata secara statistik melalui Uji Chow. Hasil perhitu-ngan Uji Chow untuk kelompok wajib pajak ini dapat dilihat pada tabel berikut.

Page 35: 4-wahyu santoso

Analisis Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak Sebagai Dasar Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak

119

Tabel 12 Uji Chow Untuk Klaster Risiko Menengah

ALL RSS1= 1263767768 N= 2324 Med-Risk RSS2 = 2631.79 RSS4 = 500779.00 N1 = 719 RSS5 = 1263266989.47 RSS3 = 498147.21 F stat = 646347.14 N2 = 1605

Sumber: Hasil Olah Data

Angka Fstat dari Uji Chow sebesar 646.347,14 adalah sangat tinggi apabila dibandingkan dengan nilai kritis pada tabel F. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa H0 ditolak sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan hasil regresi yang nyata antara sampel keseluruhan dengan sampel yang tergabung dalam wajib pajak berisiko menengah. Dengan kata lain dapat pula dinyatakan bahwa sekelompok wajib pajak yang masuk dalam kategori wajib pajak berisiko menengah memiliki karakteristik yang

berbeda dengan wajib pajak dalam sampel secara keseluruhan.

Regresi terakhir yang dilakukan untuk menguji perbedaan karakateristik antara wajib pajak yang berisiko rendah, menengah dan tinggi adalah dengan melakukan regresi atas kelompok wajib pajak yang termasuk dalam kelompok berisiko tinggi. Rangkuman hasil esti-masi untuk kelompok ini tampak pada Tabel 13.

Tabel 13 Hasil Regresi Untuk Klaster Risiko Tinggi

Variabel

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients Tstat

Sig.

Taraf Nyata

B Std. Error Beta (Constant) -148.266 64.351 -2.304 .022 ** Tarif efektif -1116.875 383.161 -.032 -2.935 .003 *** Penalti .000 .000 -.425 -8.318 .000 *** pemegang saham 46.067 262.212 .003 .176 .861 NS DER

-215.235 5.669 -.697 -

37.967

.000 ***

Status Industri -837.867 118.057 -.109 -7.097 .000 *** Skala usaha .000 .000 .151 2.972 .003 *** Profitabilitas -528.153 231.094 -.029 -2.286 .066 * Pajak per penjualan 5098.117 7163.376 .016 .712 .477 NS Status kompensasi 897.078 726.379 .110 1.235 .216 NS Status Pemeriksaan -370.017 93.008 -.064 -3.978 .000 ***

Obs= 479 R2= 0,896

RSS=

219169992.83

Page 36: 4-wahyu santoso

Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008

120

Keterangan:*** : signifikan pada =1%, ** : signifikan pada =5%, * : signifikan pada =10%, NS=Tidak Signifikan Sumber: Hasil Olah Data

Berdasarkan hasil uji koli-nearitas, diketahui bahwa seluruh variabel bebas memiliki korelasi kurang dari 0,9 (korelasi rendah). Selain itu perhitungan tolerance menghasilkan nilai kurang dari 1 dan demikian halnya dengan nilai VIF memiliki nilai kurang dari 10. Dengan demikian dapat dikatakan tidak terdapat kolinier yang berarti dalam hasil regresi untuk model wajib pajak berisiko tinggi.

Selanjutnya, Tabel 14 memper-lihatkan regresi dengan variabel terikat logaritma dari kuadrat residu (residu dari

hasil regresi sebelumnya), dan variabel bebasnya adalah logaritma dari variabel bebas. Tampak dari “p-value” tidak satupun variabel bebas yang memiliki pengaruh yang signifikan. Dari hasil ini dapat dinyatakan bahwa varian regresi tidak berubah seiring dengan perubahan variabel bebas, atau dengan kata lain varian regresi tunggal (homoskedastis). Dengan demikian tidak ditemukan bukti kuat adanya heteroskedastisitas dari hasil regresi untuk data wajib pajak berisiko tinggi.

Tabel 14

Hasil Uji Heteroskedastisitas Data Risiko Tinggi Model Variabel Unstandardized Coefficients t Sig. Bebas B Std. Error 1 (Constant) 74.18 3.94 18.81 0.00 ltarif 22.10 17.03 1.30 0.24 lpenalti 0.03 0.12 0.23 0.82 lder -0.27 0.14 -1.91 0.20 lperus -1.50 0.96 -1.57 0.25 lpro -1.21 0.79 -1.54 0.26 lpajak -1.22 0.72 -1.69 0.24 a Variabel Terikat: lne2

Sumber: Hasil Olah Data

Bila hasil tersebut di atas dibandingkan dengan hasil regresi untuk data keseluruhan maka dapat dilihat bahwa terdapat beberapa kesamaan dan perbedaan seperti terlihat pada Tabel 15, nilai koefisien determinasi yang dipero-leh dalam hasil regresi di atas adalah yang paling tinggi, mencapai 89,6%. Bila dilihat dari koefisien regresi maka

tampak bahwa seluruh tanda koefisien, yang menyatakan arah pengaruh adalah sama, kecuali untuk status pemeriksaan pada klaster menengah dan tidak signifikan. Perbedaan terjadi dalam taraf nyata beberapa variabel yakni status industri, pajak per penjualan, dan status kompensasi.

Page 37: 4-wahyu santoso

Analisis Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak Sebagai Dasar Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak

121

Tabel 15 Perbandingan Hasil Regresi

Keterangan: *** : signifikan pada =1%, ** : signifikan pada =5%, * : signifikan pada =10%, NS=Tidak Signifikan Sumber: Hasil Olah Data

Variabel status industri misalnya, memiliki pengaruh yang tidak signifikan pada data sampel keseluruhan. Pada kelompok wajib pajak berisiko tinggi, variabel status industri ini memiliki taraf nyata hingga 99%. Dengan demikian wajib pajak yang termasuk dalam berisiko tinggi, mereka yang termasuk dalam industri manufaktur memiliki rata-rata tingkat kepatuhan yang lebih tinggi daripada mereka yang termasuk dalam non industri manufaktur.

Variabel kedua yang hasil estima-sinya berbeda adalah pajak per penjua-lan dan yang ketiga adalah stastus kompensasi. Kedua variabel ini memiliki pengaruh yang nyata pada regresi untuk sampel keseluruhan tetapi tidak pada hasil regresi sampel wajib pajak berisiko tinggi. Meskipun keduanya sama-sama

memiliki pengaruh yang negatif terhadap kepatuhan wajib pajak, tetapi untuk mereka yang berisiko tinggi pengaruh kedua variabel ini tidak signifikan.

Tabel 15 juga memberikan gam-baran hasil perhitungan variabel yang pengaruhnya paling dominan menen-tukan kepatuhan wajib pajak. Tiga variabel yang utama adalah masing-masing adalah DER, penalti dan skala usaha. Kesamaan antara kelompok ini dengan sampel keseluruhan adalah pada variabel penalti, sedangkan yang berbeda adalah variabel DER dan skala usaha.

Satu lagi langkah Uji Chow untuk mereka yang termasuk ke dalam kelompok berisiko tingi tampak hasilnya pada tabel berikut.

Variabel

Full Rendah Menengah Tinggi

Tan- da

Tiga Varia-

bel Domi-

nan

Taraf Nyata

Tan- da

Tiga Varia-

bel Domi-

nan

Taraf Nyata

Tan- da

Tiga Varia-

bel Domi-

nan

Taraf Nyata Tanda

Tiga Varia-

bel Domi-

nan

Taraf Nyata

(Constant) + *** + *** + *** - ** Tarif efektif - *** - 1 *** - *** - *** Penalti - 1 *** - *** - *** - 2 *** Pemegang saham

+ NS

+ *

+ **

+ NS

DER - ** - *** - *** - 1 *** Status Industri - NS - NS - *** - *** Skala usaha + * - NS - *** + 3 *** Profitabilitas - 2 *** - 2 *** - 1 *** - * Pajak per penjualan

+ 3 ***

+ 3 ***

+ 2 ***

+ NS

Status kompensasi

+ ***

+ NS

- NS

+ NS

Status Pemeriksaan

- ***

- **

- 3 ***

- ***

N=2324 R2=0,652 N=1126 R2=0,606 N=719 R2=0,578 N=479 R2=0,896

Page 38: 4-wahyu santoso

Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008

122

Tabel 16 Uji Chow Untuk Klaster Risiko Tinggi

ALL RSS1= 1263767768 N= 2324 High-Risk RSS2 = 219169992.8 RSS4 = 219668217.91 N1 = 479 RSS5 = 1044099550.56 RSS3 = 498225.08 F stat = 1217.84 N2 = 1845

Sumber: Hasil Olah Data

Hasil Uji Chow ini juga mengha-silkan angka Fstat yang sangat tinggi yang berarti kelompok ini juga memiliki perbedaan karakteristik dengan data secara keseluruhan. Dengan kata lain dapat pula dinyatakan bahwa sekelom-pok wajib pajak yang masuk dalam kategori wajib pajak berisiko tinggi memiliki karakteristik yang berbeda dengan wajib pajak dalam sampel secara keseluruhan.

Bila ketiga hasil Uji Chow yang telah dilakukan digabungkan, maka dapat disimpulkan apakah memang terdapat perbedaan antar masing-masing kelompok wajib pajak berdasarkan tingkat risikonya (tingkat kepatuhannya). Karena ketiga hasil perhitungan di atas menyatakan bahwa masing-masing kelompok memiliki perbedaan karak-teristik dengan data secara keseluruhan, maka dapat dinyatakan bahwa benar berdasarkan perilaku ketidakpatuha-nnya, wajib pajak dapat dikelompokkan

menjadi wajib pajak berisiko rendah, menengah, dan tinggi. Oleh karena itu, hipotesis pertama dari penelitian ini yang menyatakan tingkat koreksi peng-hasilan neto menurut SPT dapat menge-lompokkan wajib pajak ke dalam tingkat risiko ketidakpatuhan rendah, menengah dan tinggi, diterima.

Perbedaan Antara Kelompok Wajib Pajak

Langkah selanjutnya adalah melakukan uji diskriminan untuk menjawab hipotesis kedua “terdapat perbedaan antara kelompok wajib pajak yang dikelompokkan ke dalam kelompok wajib pajak berisiko ketidak-patuhan rendah, menengah dan tinggi”.

Tahap pertama dalam uji diskriminan ini adalah dengan mem-berikan nilai kepada variabel tidak bebas (dalam hal ini tingkat risiko wajib pajak) dengan nilai kategorial. Untuk itu dibuat pembagian sebagai berikut:

Tabel 17

Kategori Pembagian Kelompok Untuk Analisis Diskriminan No Kriteria Pembagian Nilai Kategorial Kelompok Wajib Pajak

1. Koreksi ≤ 10% 1 Risiko ketikdapatuhan rendah 2. 10%<Koreksi ≤ 20% 2 Risiko ketikdapatuhan menengah 3. Koreksi > 20% 3 Risiko ketikdapatuhan tinggi

Page 39: 4-wahyu santoso

Analisis Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak Sebagai Dasar Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak

123

Karena terdapat tiga ukuran risiko keti-dakpatuhan, maka akan terdapat dua

fungsi diskriminan yang masing-masing dapat digambarkan sebagai berikut:

+________Fungsi Diskriminan Pertama_________+________ Fungsi Diskriminan Kedua__________+

WP Risiko Rendah WP Risiko Menengah WP Risiko Tinggi

Tabel 18 menggambarkan nilai rata-rata dari setiap prediktor (variabel bebas) untuk setiap pengelompokan yang telah dibuat (wajib pajak berisiko ketikda-patuhan rendah, menengah, dan tinggi).

Untuk melihat kelayakan anali-sis diskriminan, pengujian pertama yang dilakukan adalah membandingkan nilai rata-rata seluruh prediktor di setiap pengelompokan. Pengujian untuk itu tampak pada Tabel 18.

Page 40: 4-wahyu santoso

Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008

124

Tabel 18 Rata-rata Prediktor Untuk Setiap Pengelompokan

Koreksi (Banded) Mean Std. Deviation

<= 10.000000 Tarif efektif .13793432 .059657886 Penalti 12845019 67089268.91 Pemegang saham .02131439 .144494382 Debt to equity ratio .70558369 3.079463736 Status industri .18472469 .388246502 Peredaran usaha 1.49E+010 3.687E+010 Profitabilitas .05772541 .167109049 Pajak per penjualan .00775017 .029089166 Status kompensasi .00799290 .089084549 Status pemeriksaan .20159858 .401372227

10.000001 - 20.000000

Tarif efektif .11242043 .032877556 Penalti 25890650 34361097.61 Pemegang saham .00417246 .064504568 Debt to equity ratio 12.098856 39.600691589 Status industri .13073713 .337347323 Peredaran usaha 6.62E+009 1.676E+010 Profitabilitas .02208547 .023583483 Pajak per penjualan .00266128 .003595965 Status kompensasi .02225313 .147608371 Status pemeriksaan .08762170 .282940767

20.000001+

Tarif efektif .08318993 .050962765 Penalti 17315372 42016360.09 Pemegang saham .01461378 .120126359 Debt to equity ratio .35586326 1.939331482 Status industri .06889353 .253537786 Peredaran usaha 4.25E+009 8399893599 Profitabilitas .00588712 .095879762 Pajak per penjualan .00178770 .003345571 Status kompensasi .05845511 .234847305 Status pemeriksaan .15866388 .365744340

T o t a l Tarif efektif .11875745 .055169448 Penalti 17802467 54223254.29 Pemegang saham .01462995 .120092126 Debt to equity ratio 4.15835760 22.767311122 Status industri .14414802 .351315352 Peredaran usaha 1.02E+010 2.796E+010 Profitabilitas .03601471 .126740477 Pajak per penjualan .00494684 .020581013 Status kompensasi .02280551 .149315136 Status pemeriksaan .15748709 .364337790

Page 41: 4-wahyu santoso

Analisis Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak Sebagai Dasar Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak

125

Statistik yang digunakan untuk menguji seluruh prediktor di setiap pembagian adalah Wilk’s Lambda. Pada dasarnya semakin kecil nilai Wilk’s Lambda semakin nyata perbedaan rata-rata

setiap prediktor di ketiga pengelompo-kan tersebut. Statistik ini diuji dengan Statistik F untuk mengukur seberapa tinggi tingkat signifikansi perbedaan rata-rata setiap prediktor.

Tabel 19

Uji Kesamaan Rata-Rata Grup

Wilks'

Lambda F df1 df2 Sig. Tarif efektif .852 202.154 2 2321 .000

Penalti .989 12.854 2 2321 .000 Pemegang saham .996 4.484 2 2321 .011

DER .945 66.956 2 2321 .000 Status industri .984 19.324 2 2321 .000 Skala usaha .972 33.654 2 2321 .000 Profitabilitas .970 35.415 2 2321 .000

Pajak per penjualan .982 20.873 2 2321 .000 Status kompensasi .983 19.504 2 2321 .000 Status pemeriksaan .982 21.861 2 2321 .000

Sumber: Hasil Analisis Data

Dalam Tabel 19, terlihat bahwa variabel tarif efektif memiliki tingkat signifikansi yang tinggi (sebesar 99%). Hal ini berarti ada perbedaan rata-rata tarif efektif antar grup. Dengan kata lain pengelompokkan wajib pajak yang berisiko ketidakpatuhan rendah, mene-ngah dan tinggi dipengaruhi oleh tarif efektif. Dengan penjelasan yang sama dapat dinyatakan bahwa seluruh varia-bel penduga memiliki pengaruh yang nyata dalam mengelompokan wajib pajak ke dalam kelompok wajib pajak berisiko ketidakpatuhan rendah, mene-ngah dan tinggi. Taraf nyata setiap variabel inipun sangat tinggi yakni 99% kecuali untuk variabel pemegang saham yang mencapai 95%. Tabel 19 juga memberikan gambaran seberapa besar penurunan varian yang tidak dapat dijelaskan oleh perbedaan antar grup.

Sedangkan dari Tabel 20 tampak bahwa setiap pertambahan variabel sebagai prediktor, angka Wilks’ Lambda semakin kecil. Misalnya ketika variabel kedua (penalti) ditambahkan ke dalam model, varian yang tidak dapat dijelas-kan oleh perbedaan antar grup turun dari 85,2% menjadi 80,6%.

Page 42: 4-wahyu santoso

Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008

126

Tabel 20 Wilks' Lambda

Lang-kah

Jumlah Variabel

Lambda df1 df2 Df3 Exact F

Statistik df1 df2 Sig. 1 1 .852 1 2 2321 202.154 2 2321.000 .000 2 2 .806 2 2 2321 132.095 4 4640.000 .000 3 3 .773 3 2 2321 105.968 6 4638.000 .000 4 4 .763 4 2 2321 83.881 8 4636.000 .000 5 5 .760 5 2 2321 68.215 10 4634.000 .000 6 6 .755 6 2 2321 58.228 12 4632.000 .000 7 7 .752 7 2 2321 50.539 14 4630.000 .000 8 8 .748 8 2 2321 45.258 16 4628.000 .000 9 9 .726 9 2 2321 44.526 18 4626.000 .000 10 10 .720 10 2 2321 41.255 20 4624.000 .000

Sumber: Hasil Analisis Data

Dengan demikian, seluruh varia-bel penjelas memiliki peran yang baik karena angka Wilks’ Lambda secara konsisten turun dari dimasukkannya variabel penjelas pertama (tarif efektif) hingga variabel kesepuluh (status pemeriksaan). Dari hasil analisis ini juga dapat dilihat, pada kolom F dan signifikansinya, bahwa baik pada pemasukan variabel tarif efektif maupun sembilan variabel lainnya, semuanya adalah signifikan secara statistik. Hal ini berarti kesepuluh variabel yang menjadi penduga variabel risiko ketidakpatuhan memang berbeda untuk ketiga kelompok

risiko ketidakpatuhan wajib pajak atau juga dapat diartikan bahwa kesepuluh variabel yang dijadikan variabel inde-penden merupakan variabel-variabel yang benar-benar dapat dijadikan sebagai variabel yang dapat memprediksi tingkat risiko ketidakpatuhan berdasarkan ting-kat risikonya yaitu risiko ketidakpatuhan rendah, menengah dan tinggi.

Tahap selanjutnya adalah me-nguji perbedaan antar kelompok wajib pajak menurut risiko ketidakpatuhan. Berikut adalah uji perbedaan dua fungsi diskriminan yang membedakan ketiga kategori wajib pajak.

Tabel 21

Uji Perbedaan Antar Grup Wajib Pajak

Fungsi Eigenvalue % of

Variance Cumulative

% Canonical Correlation

1 .281(a) 76.9 76.9 .468 2 .084(a) 23.1 100.0 .279

a First 2 canonical discriminant functions were used in the analysis.

Page 43: 4-wahyu santoso

127

Seperti telah dijelaskan sebe-lumnya terdapat dua fungsi diskriminan untuk membedakan tiga kategori risiko ketidakpatuhan wajib pajak. Tabel 21 di atas memberikan gambaran korelasi kanonik antara dua fungsi diskriminan tersebut dengan grup (pengelompokan). Fungsi Diskriminan Pertama memiliki korelasi sebesar 0,468 yang menggam-barkan korelasi yang cukup tinggi dengan ukuran skala asosiasi 0 hingga 1. Hal yang sama juga berlaku untuk korelasi kanonik dari Fungsi Diskriminan Kedua dengan grup yang mencapai 0,279.

Berdasarkan Tabel 21 juga dihasil-kan eigenvalue yang merupakan rasio sum of square antar kelompok (between group) dengan dalam kelompok (within group). Semakin tinggi harga eigenvalue, maka semakin baik fungsi tersebut dalam menjelaskan variabel yang diamati.

Jika faktor pada fungsi 1 yang digunakan, maka 76,9% varian dari variabel yang memprediksi tingkat risiko ketidakpatuhan wajib pajak dapat dijelaskan oleh fungsi diskriminan yang terbentuk pada fungsi 1, sisanya dapat dijelaskan oleh fungsi 2 sebesar 23,1%.

Tabel 22 Uji Perbedaan Rata-Rata (Centroid) Fungsi Diskriminan

Test of Function(s) Wilks'

Lambda Chi-square Df Sig. 1 through 2 .720 760.692 20 .000 2 .922 187.649 9 .000

Sumber: Analisis Data

Tabel 22 di atas menggambarkan perbedaan rata-rata (centroid) dari kedua fungsi diskriminan yang dihasilkan. Dengan perolehan χ2 hitung sebesar 760,692 diperoleh tingkat signifikansi yang tinggi sebesar 99% (dilihat p-value yang mendekati 0). Hal ini menyatakan bahwa kesepuluh variabel penjelas (mulai dari variabel tarif efektif hingga variabel status pemeriksaan) memang berbeda antara mereka yang masuk ke dalam kategori wajib pajak berisiko ketidakpatuhan rendah, menengah mau-pun tinggi.

Pengujian kedua yang tampak pada tabel di atas bertujuan membeda-

kan antara wajib pajak yang masuk dalam kategori risiko ketidakpatuhan menengah dan tinggi saja (setelah Fungsi Diskriminan Pertama dikeluarkan). Dengan perolehan χ2 hitung sebesar 187,65 diperoleh tingkat signifikansi yang tinggi pula sebesar 99%. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa terdapat perbedaan rata-rata (centroid) yang jelas dari Fungsi Diskriminan Kedua (kese-puluh variabel penjelas dalam kategori wajib pajak berisiko ketidakpatuhan menengah dan tinggi).

Page 44: 4-wahyu santoso

Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008

128

Tabel 23 Fungsi Diskriminan

Variabel

Fungsi 1 2

Tarif efektif 16.373 7.708 Penalti .000 .000 Pemegang saham .608 -1.353 DER -.005 .034 Status industri .536 .124 Skala usaha .000 .000 Profitabilitas 5.376 1.783 Pajak per penjualan -17.698 -19.804 Status kompensasi -1.061 -.640 Status pemeriksaan .136 -1.071 (Constant) -2.012 -.845

Sumber: Analisis Data

Dengan demikian fungsi diskriminan tersebut adalah:

Fungsi Diskriminan Pertama :

Z score = -2,01 + 16,37 TE – (9,04 x 10-9) SANG + 0,61 St_PS – 0,005 DER + 0,57St_Ind -(5,73 x 10-12) PU + 5,38 Pro – 17,70 PPS – 1,06 St_Kom + 0,14 St_Riska

Fungsi Diskriminan Kedua :

Z score = -0,85 + 7,71 TE – (5,53 x 10-9) SANG - 1,35 St_PS + 0,34 DER + 0,12 St_Ind - (8,88 x 10-12) PU + 1,78 Pro – 19,80 PPS – 0,64 S_Kom - 1,07 St_Riska

Z score = -2,01 + 16,37 TE – (9,04 x 10-9) SANG + 0,61 PS – 0,005 DER + 0,57 SI - (5,73 x 10-12) PU + 5,38 Pro – 17,70 PPS – 1,06 SK + 0,14 SP

Z score = -0,85 + 7,71 TE – (5,53 x 10-9) SANG - 1,35 PS + 0,34 DER + 0,12 SI - (8,88 x 10-12) PU + 1,78 Pro – 19,80 PPS – 0,64 SK - 1,07 SP.

+____________________________________________________+_________________________________________________+

WP Risiko Rendah WP Risiko Menengah WP Risiko Tinggi

Keterangan :

TE : Tarif efektif SANG : Penalti St_PS : Pemegang saham DER : Debt to Equity Ratio St_Ind : Status industri PU : Skala usaha

Pro : Profitabilitas PPS : Pajak per penjualan S_Kom : Status kompensasi S_Riska : Status pemeriksaan

Selanjutnya nilai rata-rata Zscore dari dua fungsi diskriminan yang diperoleh

Page 45: 4-wahyu santoso

Analisis Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak Sebagai Dasar Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak

129

tampak pada tabel berikut. Nilai rata-rata (centroid) dari fungsi diskriminan

yang dihasilkan tampak pada Tabel 24 berikut.

Tabel 24 Rata-Rata (Centroid) dari Tiap Grup

Koreksi (Banded)

Fungsi 1 2

<= 10.000000 .517 -.097 10.000001 - 20.000000 -.290 .403 20.000001+ -.778 -.377

Sumber: Analisis Data

Tabel di atas mengambarkan rata-rata (centroid) dari masing-masing wajib pajak yang dikelompokkan menurut risiko ketidakpatuhannya. Kelompok wajib pajak dengan risiko ketidak-patuhan rendah memiliki rata-rata 0,517 pada fungsi diskriminan pertama dan -0,097 pada Fungsi Diskriminan Kedua. Atau dengan kata lain centroid untuk kelompok wajib pajak berisiko ketidak-

patuhan rendah adalah (0,517; -0,097). Dengan penjelasan yang sama centroid untuk kelompok wajib pajak dengan tingkat risiko ketidakpatuhan menengah dan tinggi masing-masing adalah (-0,290; 0,403) dan (-0,778; -0,377). Centroid tersebut dapat digambarkan pada Gambar 1 berikut:

Page 46: 4-wahyu santoso

Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008

130

Territorial Map Canonical Discriminant

Function 2 -3.0 -2.0 -1.0 .0 1.0 2.0 3.0 ôòòòòòòòòòôòòòòòòòòòôòòòòòòòòòôòòòòòòòòòôòòòòòòòòòôòòòòòòòòòô 3.0 ô 21 ô ó 21 ó ó 21 ó ó 21 ó ó 21 ó ó 21 ó 2.0 ô ô ô ô ô 21 ô ô ó 21 ó ó2 21 ó ó322 21 ó ó 33222 21 ó ó 333222 21 ó 1.0 ô 33322 ô ô 21 ô ô ô ó 33222 21 ó ó 333222 21 ó ó 33322 21 ó ó 33222 * 21 ó ó 333222 21 ó .0 ô ô ô 33322 ô21 ô ô ô ó 3322221 * ó ó * 3331 ó ó 31 ó ó 31 ó ó 31 ó -1.0 ô ô ô 31 ô ô ô ó 31 ó ó 31 ó ó 31 ó ó 31 ó ó 31 ó -2.0 ô ô ô ô 31 ô ô ô ó 31 ó ó 31 ó ó 31 ó ó 31 ó ó 31 ó -3.0 ô 31 ô ôòòòòòòòòòôòòòòòòòòòôòòòòòòòòòôòòòòòòòòòôòòòòòòòòòôòòòòòòòòòô -3.0 -2.0 -1.0 .0 1.0 2.0 3.0 Canonical Discriminant Function 1

Gambar 4.1 Centroid Masing-masing Kelompok Wajib Pajak

Setelah fungsi diskriminan yang dihasil-kan telah diuji dan ternyata secara nyata dapat membedakan wajib pajak ke dalam kelompok wajib pajak berisiko rendah, menengah dan tinggi, langkah selanjutnya adalah melihat seberapa baik (goodness of fit) fungsi diskriminan

yang diperoleh dalam memprediksi wajib pajak yang terdapat dalam sampel. Perhitungan goodness of fit tersebut tampak pada tabel berikut.

Page 47: 4-wahyu santoso

Analisis Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak Sebagai Dasar Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak

131

Tabel 25 Kelayakan Fungsi Diskriminan

Koreksi (banded)

Classification Results b,c

Total <= 10.000000

10.000001 - 20.000000

20.000001+

Origi-nal Count <= 10.000000 611 380 135 1126 10.000001 - 20.000000 94 514 111 719 20.000001+ 52 218 209 479

% <= 10.000000 54.3 33.7 12.0 100.0 10.000001 - 20.000000 13.1 71.5 15.4 100.0 20.000001+ 10.9 45.5 43.6 100.0

Cross-validated

Counta <= 10.000000 609 381 136 1126 10.000001 - 20.000000 94 514 111 719 20.000001+ 52 218 209 479

% <= 10.000000 54.1 33.8 12.1 100.0 10.000001 - 20.000000 13.1 71.5 15.4 100.0 20.000001+ 10.9 45.5 43.6 100.0

a Cross validation is done only for those cases in the analysis. In cross validation, each case is classified by the functions derived from all cases other than that case.

b 57.4% of original grouped cases correctly classified c 57.3% of cross-validated grouped cases correctly classified

Tabel di atas menggambarkan seberapa baik fungsi diskriminan dalam memprediksi (memetakan) sampel yang ada ke dalam pembagian awal yang telah ditetapkan (wajib pajak berisiko ketidakpatuhan rendah, menengah dan tinggi). Dari perhitungan diperoleh 57,4 % dari observasi mampu dipetakan secara benar oleh fungsi diskriminan yang dihasilkan. Terdapat 1.334 dari 2.324 observasi yang dipetakan dengan benar sehingga goodness of fit dari fungsi diskriminan ini adalah 57,4%. Angka yang hampir sama diperoleh untuk cross-validation yang mencapai 57,3%. Dengan demikian dapat dinyata-kan bahwa fungsi diskriminan yang dihasilkan sudah layak untuk membeda-kan ketiga kategori wajib pajak.

Perbedaan Variabel untuk Membedakan Wajib Pajak dalam Kelompok Risiko Ketidakpatuhan

Setelah fungsi diskriminan dapat membedakan wajib pajak menurut kelompok risiko rendah, menengah, dan tinggi, langkah selanjutnya adalah men-cari variabel penjelas manakah yang membedakan kelompok tersebut untuk menjawab hipotesis ketiga, “terdapat perbedaan variabel untuk membedakan wajib pajak dalam kelompok risiko ketidakpatuhan rendah, menengah dan tinggi”.

Page 48: 4-wahyu santoso

Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008

132

Tabel 26 Penamaan Fungsi Diskriminan

Variabel

Fungsi 1 2

Tarif efektif .776(*) .250 Profitabilitas .329(*) -.040 Skala usaha .318(*) -.089

Pajak per penjualan .247(*) -.100 Status industri .240(*) .077

Status kompensasi -.226(*) -.172 DER -.156 .777(*)

Status pemeriksaan .169 -.358(*) Penalti -.125 .282(*)

Pemegang Saham .078 -.160(*) Sumber: Analisis Data

Tabel 26 di atas menggambarkan besarnya korelasi kanonik dari setiap variabel penjelas dengan fungsi diskrimi-nan kanonik (standardized canonical discriminant functions). Tampak bahwa korelasi antara variabel penjelas “tarif efektif” dengan Fungsi Diskriminan Per-tama (sebesar 0,776) lebih besar daripada korelasinya dengan Fungsi Diskriminan Kedua (sebesar 0,250). Oleh karena itu, variabel tarif efektif masuk ke dalam Fungsi Diskriminan Pertama. Dengan penjelasan yang sama variabel yang masuk ke dalam Fungsi Diskriminan Pertama adalah (i) tarif efektif, (ii) profitabilitas, (iii) skala usaha, (iv) pajak per penjualan, (v) status industri dan (vi) status kompensasi. Sedangkan variabel penjelas yang masuk ke dalam Fungsi Diskriminan Kedua adalah (i) debt to equity ratio, (ii) status pemeriksaan, (iii) penalti dan (iv) pemegang saham.

Dengan demikian, variabel tarif efektif merupakan variabel yang membe-dakan antara kelompok wajib pajak berisiko ketidakpatuhan rendah dan menengah. Sedangkan variabel debt to

equity ratio adalah variabel yang mem-bedakan kelompok wajib pajak berisiko ketidakpatuhan menengah dan tinggi.

Kesimpulan

Penelitian ini berhasil menjelas-

kan hubungan antara risiko ketidakpatu-han para wajib pajak dengan variabel-variabel yang mempengaruhinya. Selain itu, penelitian ini juga berhasil memben-tuk fungsi diskriminan yang dapat digunakan untuk memprediksi tingkat risiko ketidakpatuhan wajib pajak; rendah, menengah dan tinggi, yang diukur dengan besaran koreksi pengha-silan neto. Besaran yang dipakai dalam penelitian ini adalah koreksi penghasilan neto kurang dari 10% untuk kelompok risiko ketidakpatuhan rendah, koreksi penghasilan neto antara 10% hingga 20% untuk kelompok ketidakpatuhan menengah dan koreksi penghasilan neto lebih besar dari 20% untuk kelompok risiko ketidakpatuhan tinggi.

Page 49: 4-wahyu santoso

Analisis Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak Sebagai Dasar Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak

133

Penelitian juga dapat menjelas-kan hubungan pengaruh antara variabel-variabel ketidakpatuhan dengan risiko ketidakpatuhan wajib pajak. Secara bersama-sama, seluruh variabel bebas dapat menjelaskan tingkat risiko ketidak-patuhan wajib pajak. Adapun pengaruh parsial, dari sisi wajib pajak, wajib pajak yang berada pada tarif yang tinggi, wajib pajak yang memiliki hutang dalam permodalannya akan cenderung lebih patuh, dan wajib pajak yang bergerak dalam industri manufaktur cenderung lebih patuh patuh. Sedangkan dari sisi kebijakan, tingginya sanksi dan profita-bilitas diperiksa akan mendorong wajib pajak untuk lebih patuh. Di lain pihak, dari penelitian ini juga dapat diketahui bahwa wajib pajak yang di dalamnya ada pemegang saham asing memiliki tingkat kepatuhan rata-rata yang lebih rendah daripada wajib pajak yang di dalamnya tidak ada pemegang saham asing, wajib pajak dengan skala usaha tinggi dan wajib pajak dengan status kompensasi kerugian, dan wajib gi dan wajib pajak dengan status kompensasi kerugian, dan wajibpajak yang jumlah pajak dibayarnya relatif tinggi terhadap penjualan cenderung tidak patuh.

Secara keseluruhan, variabel sanksi, profitabilitas, dan pajak relatif terhadap penjualan (pajak per penju-alan) adalah variabel yang paling domi-nan. Untuk kelompok risiko ketidakpatu-han rendah, tiga variabel yang paling dominan adalah tarif efektif, profitabi-litas, dan pajak per penjualan. Untuk sampel kelompok risiko ketidakpatuhan menengah, tiga variabel yang paling dominan adalah profitabilitas, pajak per penjualan dan status pemeriksaan. Sedangkan untuk sampel kelompok risiko ketidakpatuhan tinggi, tiga varia-

bel yang paling dominan adalah debt to equity ratio, sanksi dan peredaran usaha.

Variabel yang membedakan wajib pajak ke dalam kelompok risiko ketidakpatuhan rendah atau menengah adalah tarif efektif. Sedangkan variabel debt to equity ratio adalah prediktor yang mampu membedakan apakah wajib pajak masuk ke dalam kelompok risiko ketidakpatuhan tinggi atau menengah.

Fungsi diskriminan yang terben-tuk dalam penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar dalam pengelompokan wajib pajak ke dalam risiko ketidak-patuhan rendah, menengah dan tinggi. Selanjutnya, fungsi diskriminan tersebut dapat digunakan dalam pemilihan SPT wajib pajak yang akan diperiksa (audit-case selection). Dengan demikian, penentuan wajib pajak mana yang akan diperiksa didasarkan pada tingkat risiko ketidakpatuhan bahwa wajib pajak tersebut tidak patuh (risk-based approach). Namun demikian, untuk lebih kompre-hensif dalam menentukan tingkat risiko ketidakpatuhan wajib pajak, variabel-variabel yang dipakai dapat diperluas antara lain variabel kepatuhan formal seperti ketepatan waktu pembayaran dan pelaporan pajak, besaran tunggakan pajak dan aspek pelaporan material yang misalnya kesesuaian laporan wajib pajak dengan data wajib pajak yang diperoleh dari pihak ketiga.

Setelah wajib pajak dapat dike-lompokkan berdasarkan tingkat risiko ketidakpatuhannya berdasarkan fungsi diskriminan hasil penelitian ini, bebe-rapa temuan dalam penelitian ini juga dapat dijadikan dasar penentuan wajib pajak, dalam setiap kelompok risiko, yang diprioritaskan akan diperiksa. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat variabel-variabel yang secara dominan mempe-

Page 50: 4-wahyu santoso

Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008

134

ngaruhi risiko ketidakpatuhan wajib pajak dalam setiap kelompok risiko, rendah, menengah dan tinggi.

Daftar Pustaka

Ali, M.M., H.W. Cecil and J.A. Knolbett. The effects of tax rates and enforcement policies on tax-payer compliance: A study of self-employed taxpayers. Ameri-can Economics Journal 29 (2), 186-202, 2001.

Allingham, M.G. and A. Sandmo. Income tax evasion: A theoritical Analysis. Journal of Public Economics, 1, 323-338, 1972.

Alm, J. A perspective on the experi-mental analysis of taxpayer reporting. The Accounting Review 66(3), 577-593, 1991.

_____., Betty R. Jakcson, and Michael McKee. Estimating the determi-nants of taxpayer with experi-mental data. National Tax Journal 45, 107-114, 1992.

_____, Jorge Martinez-Vazquez. “Institutions, Paradigms, And Tax Evasion In Developing And Transition Countries”. A paper prepared for Public Finance in Developing and Transition Countries: A Conference in Honor of Richard Bird. Interna-tional Studies Program. Andrew Young School of Policy Studies. Georgia State University, USA, 2002.

Andreoni, J., B. Erard and J. Feinstein. Tax compliance. Journal of Economic Literature 36 (2), 818- 860, 1992.

Antonides, G. and H.S.J. Robben. True positives and false alarms in the detection of tax evasion. The Journal of Economic Psychology 16 (4), 617-640, 1995.

_______ and I. Ajzen. Predicting dishonest actions using the theory of planned behavior. Journal of Research in Personality 25 (3), 285-301, 1991.

_______ and J.S. Davis and W.O. Jung. Experimental evidence on tax-payer reporting decision under uncertainty. The Accounting Review 66(3), 535-558, 1991.

Arens, Alvin A., Mark S. Beasly and Randal J. Elder. Auditing and Auditing Services: An Integrated Approach. 11th edition. New Jersey, Prentice Hall, 2006.

Carnes, G.A. and T.D. Engelbrecht. An investigation of th effect of detection risk perceptions, penalty sanctions and income visibility on tax compliance. Journal of American Taxation Association 17 (1), 26-41, 1995.

Chattopadhyay, S. and Arindam Das-Gupta. The Personal income tax in India: Compliance costs and compliance behaviour of taxpayers. National Institute of Public Finance and Policy, New Delhi, 2002.

Collins, J.H. and R.D. Plumlee. The taxpayer’s labor and reporting decision: the effect of audit schemes. The Accounting Review 66(3), 559-576, 1991.

Cooper, Donald R., and Pamela S.Schindler. Business Research

Page 51: 4-wahyu santoso

Analisis Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak Sebagai Dasar Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak

135

Methods. Singapore: McGraw-Hill Book Co., 2001.

Erard, B and J.S. Feinstein. Honesty and evasion in the tax compliance game. RAND Journal of Economics, 1994.

____, B. “The Income Tax Compliance Burden On Small And Medium-Sized Canadian Business.” A working paper prepared for Technical Committee on Business Taxation, 1997.

____, B. “Compliance Measurement And Workload Selection With Operational Audit Data”. A paper prepared for The Internal Revenue Service Research Conference. George Washing-ton University. USA, 2002.

Falkinger, J. Tax evasion, consumption of public goods and fairness. Journal of Economic Psychology 16, 63-72, 1995.

Feld, Lars P. and Bruno S. Frey. The Tax Authority and The Taxpayer An Exploratory Analysis. Journal of Economic Literature, 2002

Forest, Adam. “Targeting Occupations To Increase Tax Revenue”. Journal of Economic Literature, 2004.

Gunadi, Reformasi Administrasi Perpaja-kan Dalam Rangka Kontribusi Menuju Good Governance. Pidato upacara pengukuhan sebagai Guru Besar Luar Biasa Dalam Ilmu Perpajakan pada Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik. Salemba, 13 Maret 2004.

______, Fungsi Pemeriksaan Terhadap Peningkatan Kepatuhan Pajak (Tax Compliance). Jurnal

Perpajakan Indonesia Vol. 4 no. 5, 4-9, 2005.

Hair, J.E., R.E. Anderson, R.L. Tatham, and W.C. Back, Multivariate Data Analysis, 4th ed. New Jersey:Prentice Hall, 1995.

Hanno, D.M. and G.R. Violette. An analysis of moral and social influences on taxpayer behavior. Behavioral Research in Accoun-ting 8 (supplement) 57-75, 1996,.

Hind, Philip. Embedding Risk Manage-ment. Tax Volume 1 http:// www.revenueproject.com/documents.asp?grID=412&d_ID=3271

Hite, P. The effect of peer reporting behavior on taxpayer compliance. Journal of American Taxation Association 9 (2), 7-64, 1988.

Hunter, William J., and Michael A. Nelson. “An IRS Production Function”. National Tax Journal 49 (1), 105-115, 1996. http:// www.odgroup.com/articles/PSA1.pdf. Strategy Mapping in Public Sector Organizations: Why Do It?

Jackson, B.R. and V.C. Milliron. Tax compliance research: findings, problems, and prospects. Journal of Accounting Literature 5, 125-165, 1986.

Johnson, R.A. and D.W. Winchern, Applied Multivariate Statistical Analysis, New Jersey:Prentice Hall, 1988.

Jolliffe, I.T., Principal Component Analysis, New York:Springer-Verlag, 1986.

Page 52: 4-wahyu santoso

Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008

136

Jones, Sally M. Principles of Taxation for Business and Investment Planning. 2002 edition. Singapore. McGraw- Hill International Edition, 2002.

Joulfaian, David and Mark Rider. Tax Evasion by small business. Office of Tax Analysis, Washington, DC: U.S. Department of Treasury, 1998.

Krause, K. Tax complexity: problem or opportunity? Public Finance Review 28 (5), 395-414, 2000.

Lenderman, Leandra. “The Interplay Between Norms And Enforcement In Tax Compliance”. Ohio State Law Journal 64 (6), 1453-1514, 2003.

Millack, Joseph. Audit Program Planning and Management. Tax Volume 1. http://www.revenueproject.com/ documents.asp?grID=412&d_ID=3271

Modeo, S.A., A. Schepanski and W.C. Uecker. Modeling judgements of taxpayer compliance. The Accounting Review 62 (2), 323-342, 1987.

Murphy, K. “Trust Me, I’m The Taxman: The role of trust in nurturing compliance. Center for Tax System Integrity. The Australian National University, 2002.

Organization for Economic and Coorpo-ration Development. Compliance Measurement - Practice Note: 1-23. 2001.

_________. Risk management-practice note.: 1-17. 2001.

_________. Compliance Risk Manage-ment: Managing and Improving Tax Compliance. 2005.

_________. Compliance Risk Management: Audit Case Selection Systems. 2005.

Pakpahan, Robert dan Toyomu Yuasa (editor). Menuju Sistem Dan Administrasi Perpajakan Berkelas Dunia: Studi Perpajakan Di Indonesia dengan Inspirasi Penga-laman Jepang. Jakarta. Penerbit Kharisma. 2004.

Park, Chang-Gyun, Jin Kwon Hyun, and Ilho Yoo. “The Determinats of Tax Compliance by Experi-mental Data: A Case Of Korea”, 2002.

Plumley, Alan H. “The Impact of The IRS On Voluntary Tax Compliance: Preliminary Empirical Results”. Working paper. National Tax Association 95th Annual Con-ference on Taxation. Orlando, FL. USA, 2002.

Porcano, T.M. The correlates of tax evasion. Journal of Economic Psychology 9, 47-67, 1998.

Reinganum, J.F. and Louis L. Wilde, Income Tax Compliance in a Principal-Agent Framework. Journal of Public Economics 26, 1-18, 1985.

_______, Equilibrium Verification and Reporting Policies in a Model of Tax Compliance. International Economic Review 27 (3), 739-930, 1986.

Reckers, P.M.J., d.l. Sanders and S.J. Roark. The Influence Of Ethical Attitudes On Taxpayer Com-

Page 53: 4-wahyu santoso

Analisis Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak Sebagai Dasar Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak

137

pliance. National Tax Journal 47 (4), 825-836, 1994.

Ritsema, C., T.S. Manly and D.W. Thomas. Aspects Of Tax Noncompliance: An Analysis Of Comments From 1997 Arkansas Tax Penalty Amnesty Participants. Research paper pada ‘2001 Symposium on Accounting Ethics’, 2001.

Robben, H.S.J., P. Webbley, H. Elffers and D.J. Hessing. Decision frames, opportunity, and tax evasion. Journal of Economic Behavior and Organization 14 (3), 353-361, 1990.

Roth, J.A., J.T. Scholz and A.D. Witte. Taxpayer Compliance, Volume 1: An Agenda for Research. Philadelphia, PA: University of Pennsylvania Press, 1989.

Sekaran, Uma. Research Methods for Business: A Skill-Building Approach. 3rd editin, John Willey & Sons, 2000.

Singh, Veerinderjeet. Tax Thoughts on Today’s Taxing Times. Shah Alam, Selangor. Digibook Sdn Bhd, 2005.

Sommerfeld, Ray M., Silva A. Madeo, Kennet R. Andserson, and Betty R. Jackson. Concepts of Taxation 1994 edition. Fort Worth. The Dryden Press, Harcourt Brace College Publishers, 1994.

Sour, Delia L. “An Analysis of Tax Compliance For Mexican Case: Empirical Evidence”. Ph.D research dissertation, University of Chicago, 2001.

Trivedi, V. U., M. M. Shehata, and B. E. Lynn. Impact of Personal and

Situational Factors on Tax Compliance: An Experimental Analysis. Journal of Business Ethics, Oktober 2003.

Young, J.C. Factors associated with noncompliance: evidence from the Michigan Tax Amnesty program. Journal of American Taxation Association 19 (2), 82-10, 1994.

Zikmund, W.G., Business Research Methods, 6th ed.

-oOo-

Page 54: 4-wahyu santoso

Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008

138