Putusan_sidang_18 PUU 2013 Adminduk - Telah Ucap 30 April 2013 _final
4 PUU 2013 telah ucap 26 Maret 2013Secure Site peraturan.go.id/common/dokumen/putusan/2013/...Pasal...
Transcript of 4 PUU 2013 telah ucap 26 Maret 2013Secure Site peraturan.go.id/common/dokumen/putusan/2013/...Pasal...
PUTUSAN Nomor 4/PUU-XI/2013
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
[1.2] Nama : Sri Sudarjo
Alamat : Jalan Batu Ampar 3 Nomor 11A, Kelurahan Batu Ampar,
Kecamatan Kramatjati, Condet, Jakarta Timur
Selanjutnya disebut sebagai -------------------------------------------------------- Pemohon;
[1.4] Membaca permohonan Pemohon;
Mendengar keterangan Pemohon;
Memeriksa bukti-bukti Pemohon;
Mendengar keterangan ahli dan saksi Pemohon;
Mendengar keterangan Pemerintah;
Mendengar dan membaca keterangan Dewan Perwakilan Rakyat;
Membaca kesimpulan Pemohon;
2. DUDUK PERKARA
[2.1] Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan yang
diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan
Mahkamah) pada tanggal 2 Januari 2013 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas
Permohonan Nomor 7/PAN.MK/2013 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi dengan Nomor 4/PUU-XI/2013 pada tanggal 7 Januari 2013, yang telah
diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 28 Januari 2013,
menguraikan hal-hal sebagai berikut:
2
Kewenangan Mahkamah
1. Bahwa Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan, “Kekuasan
Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara,
dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
2. Bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-
undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran
Negara RI Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor
4316, selanjutnya disebut UU MK 24/ 2003) dan Pasal 29 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
(Lembaga Negara RI Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaga RI Nomor
5076) menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang pedoman
beracara dalam perkara pengajuan Undang-Undang Pasal 42 ayat (2) terlepas
dari ketentuan ayat (1) di atas permohonan pengujian terhadap muatan ayat,
pasal, dan/atau bagian yang sama dengan perkara yang pernah diputus oleh
Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali dengan syarat-syarat
konstitusionalitas yang menjadi alasan pemohon yang bersangkutan berbeda.
Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon
1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU 24/2003 beserta penjelasannya menyatakan,
“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yaitu: a.
Perorangan warga Indonesia; b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang; c.
Badan hukum publik atau privat; atau d. Lembaga negara”;
2. Bahwa selanjutnya telah menentukan 5 (lima) syarat kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1)
UU Nomor 24 Tahun 2003, sebagai berikut:
3
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan
oleh UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusioanl tersebut, dianggap telah dirugikan
oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
c. hak dan/atau kewenangan tersebut harus besifat spesifik (khusus) dan
aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar
dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (casual verband) antara kerugian dimaksud
dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional tersebut tidak akan atau tidak lagi terjadi;
3. Pasal 52 ayat (2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas tentang hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Pasal 51 ayat (3) dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa:
a. Pembentukan Undang-Undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945; dan/atau
b. Materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang
dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
4. Bahwa Pemohon adalah Presiden Lembaga Komite Pemerintahan Rakyat
Independen berdasarkan akta notaris pendirian Nomor 34 tanggal 30
Desember 2008 (legal standing) dan memiliki kepentingan menyampaikan hak
uji materil (judicial review) sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan
Pasal 51 ayat (1) huruf c badan hukum publik atau privat; Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003, terkait dengan berlakunya norma yang terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008:
Pasal 1 angka 2,“Partai adalah Partai Politik yang telah ditetapkan sebagai
peserta pemilihan umum, anggota Dewan Perwakilan Rakyat”.
Pasal 9,“Pasangan calon diusulkan oleh partai politik dan gabungan partai
politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling
sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah
nasional dalam pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan pemilu presiden
dan wakil presiden.”
4
Pasal 10 angka 1, “Penentuan calon presiden dan/atau calon wakil presiden
dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal
partai politik bersangkutan.”
Pasal 14 angka 2, “Masa pendaftaran sebagaimana di maksud dalam Pasal
13, paling lama tujuh hari terhitung sejak penetapan secara nasional hasil
pemilu anggota DPR,”
5. Bahwa dalam Pembukaan UUD1945:
Alinea I (Pertama) Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala
bangsa dan oleh sebab ini, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan,
karena tidak sesuai dengan peri kemanusian dan peri-keadilan.
Alinea II (Kedua) dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah
sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa
menghantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan negara
Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan mamur.
Alinea III (Ketiga) Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan
didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas,
maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Alinea IV (Keempat) Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
Pemerintahaan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,
maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu
susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan
mewujudkan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bahwa UUD 1945
mengandung suasana kebatinan serta intisari dari pokok-pokok pikiran tentang
bangunan kenegaraan. Oleh karena itu, jiwa atau roh dari Pembukaan itu
harus menjadi sumber atau acuan dari batang tubuhnya, dengan kata lain
batang tubuh tidak boleh bertentangan dengan pembukaannya yang mengacu
pada penjelasan UUD 1945 dalam pembukaan terkandung empat pokok
5
pikiran 1. Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dengan berdasarkan atas persatuan dengan mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia jadi negara harus mengatasi
segala paham golongan, mengatasi segala paham perseorangan, negara
menurut pengertian Pembukaan menghendaki persatuan segenap dan seluruh
rakyat Indonesia. 2. Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. 3. Negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan asas
kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan. Oleh karena itu sistem yang
dibentuk oleh UUD 1945 harus berdasarkan atas kedaulatan rakyat dan asas
permusyawaratan perwakilan yang sesuai dengan sifat dan semangat
masyarakat Indonesia. 4. Pembukaan UUD 1945 mmenjelaskan tentang
negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab oleh karena itu, mewajibkan
penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur
dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur, sehingga pokok pikiran
tersebut bisa membentuk negara kesatuan Indonesia karena amanat kesatuan
tidak menghendaki individualisme partai politik, liberalisme partai politik yang
mengedepankankan hak-hak individu partai politik dengan mengabaikan
kepentingan rakyat sehingga melahirkan Presiden yang pro pasar dan anti
rakyat. Pokok pikiran yang menghendaki sistem negara yang berkedaulatan
rakyat yang didasarkan kepada basis kulturalis bangsa yang sudah hidup
selama berabad-abad yaitu partai politik yang berdasakan permusyawaratan
perwakilan untuk mencapai kemufakatan, pokok pikiran negara harus
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa serta menjunjung tinggi kemanusiaan
yang adil dan beradab sehingga negara dapat memelihara dan mewujudkan
budi pekerti, kemanusiaan yang luhur dan cita-cita moral tidak seperti yang kita
lihat saat ini DPR dan penyelenggara negara telah menjadi pilar korupsi.
6. Bahwa Pembukaan UUD 1945 merupakan norma dasar sistem nilai dasar
adapun norma lain harus tunduk terhadap norma dasar atau norma yang lebih
tinggi karena konsep kelahiran negara hanya 1 kali bukan 2 kali atau berkali-
kali sehingga secara prinsip Pembukaan UUD 1945 mempunyai derajat yang
sangat tinggi adapun Undang-Undang lain dibawahnya harus tunduk pada
Undang-Undang Dasar 1945. Pembukaan UUD 1945 merupakan akte
kelahiran negara atau kesepakatan bangsa yang anti terhadap penjajahan baik
6
dalam bentuk hegemoni yaitu pengusaan yang kuat kepada yang lemah
sehingga segala bentuk penjajahan harus dilawan secara cerdas, Pembukaan
UUD 1945 lahir berdasarkan sifat cinta perdamaian tetapi lebih cinta kepada
kemerdekaan sehingga falsafah tersebut menyebabkan rakyat memegang
kedaulatan tertinggi negara oleh sebab itu Pembukaan UUD 1945 harus
dimaknai secara utuh dan bulat karena merupakan jatidiri bangsa yang
menjadi norma dasar oleh karena itu pasal yang dibentuk harus menjadi
derivasi dari Pembukaan UUD 1945 dan hak-hak konstitusional Pemohon
dijamin oleh Pembukaan UUD 1945 beserta pasal-pasalnya, yakni:
Pasal 1 ayat (2) Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksankan menurut
Undang-undang Dasar.***)
Pasal 6A ayat (1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh satu pasangan
secara langsung oleh rakyat.***)
Pasal 27 ayat (2) Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan
dengan tidak ada kecualinya.
Pasal 28D ayat (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
dihadapan hukum.
Pasal 28I ayat (2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan
terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
7. Bahwa dengan berlakunya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42
tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden:
Pasal 1 angka 2, “Partai adalah Partai politik yang telah ditetapkan sebagai
peserta pemilihan umum, anggota Dewan Perwakilan Rakyat”.
Pasal 9,“Pasangan calon diusulkan oleh partai politik dan gabungan partai
politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling
sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah
nasional dalam pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan pemilu presiden
dan wakil presiden.”
Pasal 10 angka 1, “Penentuan calon presiden dan/atau calon wakil presiden
dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal
partai politik bersangkutan.”
7
Pasal 14 angka 2, “Masa pendaftaran sebagaimana di maksud dalam Pasal
13, paling lama tujuh hari terhitung sejak penetapan secara nasional hasil
pemilu anggota DPR,”Proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden menjadi
norma yang diskriminatif bagi sebuah pengabdian Bangsa dan Negara dalam
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang telah menimbulkan kerugian atau
berpotensi menimbulkan kerugian bagi Pemohon dan kerugian tersebut
berhubungan dengan norma yang diujikan serta beralasan dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
8. Bahwa pemohon saat ini selaku Presiden Lembaga Komite Pemerintahan
Rakyat Independen berdasarkan akte pendirian Lembaga Komite
Pemerintahan Rakyat Independen Nomor 34 tanggal 30 Desember 2008
berdasarkan Pejabat Notaris Eddy Hermansyah,S.H. sebagai Presiden
Lembaga Komite Pemerintahan Rakyat Independen yang berasas kepada
Pancasila dan UUD 1945 yang bersifat pengabdian dalam gerakan politik
dengan maksud dan tujuan lembaga ini adalah:
a. Penegakan Undang-Undang Dasar 1945 dan memperjuangkan pemurnian
Pancasila
b. Membangun demokratisasi yang dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat
c. Memperjuangkan pelaksanaan dan perlindungan hak azasi manusia
(HAM) yang berkeadilan tanpa penindasan.
d. Memperjuangkan hak politik rakyat yang berkeadilan menuju masyarakat
adil dan makmur.
e. Membangun independen politikal rakyat dan politikal rakyat independen.
f. Memperjuangkan perumusan konsep dan gagasan independen menuju
rakyat berdikari.
g. Memperjuangkan kedaulatan rakyat tanpa penindasan.
h. Mendorong kehidupan berbangsa dan bernegara secara konstitusioanl.
i. Mendorong pelaksanaan penegakan hukum.
j. Mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
semangat heroik patriotisme berbasis kerakyatan.
k. Membangun kerjasama politik di dalam negeri maupun di luar negeri,
nasional dan internasional.
8
Bahwa dengan pembatasan atas Pasal a quo yang sementara diujikan telah
memberikan pengucilan/pembatasan atau tidak memberi ruang untuk
melahirkan pemimpin rakyat dan rakyalah yang memimpin sebagai wujud
kedaulatan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat karena kedaulatan rakyat
adalah wujud suara rakyat adalah suara Tuhan (vox pupuli vox dei).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden sangat berpotensi merugikan hak konstitusional
pemohon disebabkan penetapan partai politik oleh anggota dewan perwakilan
rakyat sangat tidak mencerminkan amanat Pasal 1 ayat (2) kedaulatan berada
di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang karena DPR
bukanlah wujud kedaulatan rakyat, DPR saat ini lebih merupakan hasil
konspirasi elit yang melahirkan keterwakilan palsu, kesadaran palsu yang
membeli suara rakyat dalam rangka melakukan pengabdian terhadap modal
asing, karena ide pokok kedaulatan bahwa kedaulatan berasal dari rakyat,
kerdasarkan keinginan seluruh rakyat Indonesia sehingga bisa menjamin rule
of law yang terdiri dari supermasi hukum, kesamaan didepan hukum,
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia serta hak perlindungan
pembelaan di dalam proses hukum dan tidak terjadi dead lock dalam proses
penyelenggaraan kedaulatan serta sesuai dengan asas dan prinsip kedaulatan
kekuasaan rakyat sehingga kedaulatan rakyat tidak boleh didasarkan atas
kepentingan atau kemauan dari DPR maupun internal partai politik saja namun
harus berdasarkan kedaulatan rakyat dan tidak terjadi kolonialisasi terhadap
produk perundang-undangan ini terbukti banyak Undang-Undang yang
dilahirkan oleh DPR bersifat elitis dan berwatak menindas dan tidak pernah
mengakomodir prinsip perjuangan dan kedaulatan rakyat seperti yang
diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.
Pembatasan hak kedaulatan rakyat dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat,
merupakan bentuk penghianatan Pancasila dan UUD 1945 karena amanat
pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 telah menjelaskan secara tersurat
maupun tersirat tentang konstruksi suara rakyat secara terang benderang
dengan berdasarkan roh atau semangat yang terkandung di dalamnya,
semangat cinta kemerdekaan semangat yang anti terhadap penjajahan
maupun paham individualisme dan liberalisme yang secara derivatif
melahirkan kolonialisme dan konflik antar bangsa sehingga persentase suara
9
yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 merupakan bentuk
penghianatan terhdap semangat kolektifitas kedaulatan Indonesia yang
bernafaskan kekeluargaan, kebersamaan dan gotong royong sudah jelas
bahwa suara rakyat Indonesia tidak boleh dipersentasekan dan dibagi-bagi
secara tidak bermartabat sehinga suara rakyat Indonesia di dalam proses
pemilihan harus bersifat bulat dan utuh mewakili seluruh rakyat Indonesia
sehingga tidak melahirkan tirani dari kepentingan dari segelintir orang yang
sangat berpotensi melakukan penghianatan terhadap amanat konstitusi.
Karena partai politik terbatas pada ruang Dewan Perwakilan Rakyat yang
notabene mewakili golongan bersifat elitis dengan tidak melibatkan partai yang
betul-betul hadir sebagai wadah perjuangan politik referesentasi rakyat dan
lahir dari rahim rakyat itu sendiri, adapun mengenai pasangan calon presiden
dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik dan gabungan partai politik
berdasarkan persyaratan perolehan kursi 20 % dari jumlah kursi DPR atau
memperoleh 25% dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR, ini jelas
jelas merupakan suatu rekayasa segelintir orang elit rejim pemilu yang
mencoba melakukan pembatasan dan manipulasi atas suara mayoritas rakyat
Indonesia karena Alinea ke-4 (empat), kemudian daripada itu untuk
membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang
terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha
Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan, serta mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, membaca dan merenungkan makna tersirat dari alinea ke 4 (empat)
yang mengamanatkan bahwa partai politik berdasarkan sila ke-4 Pancasila
yaitu Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanan dalam
permusyawartan/perwakilan, membaca dan merenungi amanat daripada sila
ke-4 yang tertuang di dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 maka Undang
10
Undang Nomor 42 Tahun 2008 sangat bersifat konsfiratif elit partai politik
dalam menjegal calon presiden dari rakyat, logika apa yang dipakai tentang
suara mayoritas dibatasi oleh persentasi jumlah kursi maupun suara sah
nasional dalam pemilu anggota DPR, padahal kalau kita mengambil
kesimpulan tentang suara sah nasional merupakan suara mayoritas rakyat,
lebih lebih dengan banyaknya suara golput yang tidak mau mengikuti
pemilihan umum karena menganggap proses politik syarat dengan
transaksional pemilih sehingga melahirkan suara palsu, dan terbukti anggota
DPR melakukan kolonialisasi terhadap konstitusi, melakukan praktek korupsi
dan melakukan penindasan terhadap rakyat, kejadian ini sangat bertentangan
dengan UUD 1945.
Prinsip kerakyatan yang diamanatkan oleh alinea ke 2 (dua) pembukaan UUD
1945 dan perjuangan pergerakkan kemerdekaan Indonesia telah sampailah
kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat
Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang
merdeka bersatu berdaulat adil dan makmur. Semangat alinea ke-2 adalah
sebuah amanat kemerdekaan yang berdaulat adil dan makmur sehingga tidak
mungkin menunjukan calon Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara
demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal partai politik
bersangkutan, hal ini sangat bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat
yang meliputi segenap bangsa Indonesia dalam rangka mewujudkan keadilan
bagi seluruh rakyat, karena sistem negara terbentuk berdasarkan kedaulatan
rakyat bukan kedaulatan partai politik sehingga sangat penting dalam
penentuan calon presiden dan calon wakil presiden melibatkan seluruh rakyat
Indonesia tanpa pengecualian karena partai politik adalah kumpulan dari
utusan rakyat berdasarkan semangat dan jiwa kebijaksanaan, sehingga partai
politik yang dimaksudkan oleh Pancasila dan UUD 1945 adalah partai politik
berdasarkan sila ke-4 yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan
dalam permusyawaratan/perwakilan. Makna perwakilan adalah perwakilan
seluruh rakyat Indonesia baik perwakilan golongan buruh, petani, nelayan,
kaum miskin kota maupun rakyat papah pedesaan dan lain-lain jadi sudah
jelas bahwa partai politik bukanlah kumpulan segelintir elit yang didasarkan
atas semangat individualisme maupun liberalisme partai politik sehingga tidak
terlepas arti kedaulatan rakyat baik secara terminologis maupun secara
11
filosofis, demokrasi berasal dari kata Yunani: demos artinya rakyat dan kratos
artinya memerintah, menguasai jadi makna demokrasi dalam kedaulatan
adalah merupakan rakyat memerintah atau rakyat menguasai sehingga sangat
sesuai dengan sila ke-4 “kerakyataan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” jadi bukan kerakyatan
yang dipimpin oleh kepentingan DPR maupun kepentingan internal partai
politik tertentu.
Penetapan nasional hasil pemilu anggota DPR sangat bertentangan dengan
prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
yang dipilih langsung oleh rakyat bukan oleh salah satu anggota DPR atau
kelompok DPR maupun beberapa orang internal partai politik karena rentan
terjadi penjajahan dan manipulasi yang berujung pada hegemoni, diktator
minoritas yang menghancurkan suara mayoritas, sistem kedaulatan rakyat
adalah kedaulatan konstitusi negara yang diamanatkan oleh Pancasila dan
UUD 1945 yang menempatkan rakyat pada posisi sentral kepribadian, sejarah,
kebudayaan, dan falsafah yang sekaligus menjadi roh bagi kedaulatan rakyat
Indonesia, sistem kedaulatan rakyat memegang prinsip mayoritas berdasarkan
budaya musyawarah mufakat sehingga bisa melahirkan proses pemilihan
presiden yang berkualitas yaitu sistem partai politik berdasarkan utusan
golongan dari semua unsur masyarakat baik adat, budaya, tani, nelayan, kaum
miskin kota dan golongan fungsional sehingga mempunyai hubungan korelasi
baik dari segi makna dan arti partai politik adalah merupakan kelompok
kumpulan orang (party/partei/kb.3 Kamus Indonesia Inggris an English
Indonesia Dictionary oleh John M. Echols dan Hassan Shadily penerbit, PT.
Gramedia Jakarta). Kelompok kumpulan orang. Makna kumpulan orang berarti
bukan didasarkan oleh beberapa orang atau segelintir orang tapi harus
melibatkan seluruh rakyat Indonesia seperti amanat sila ke-4 Pancasila yaitu
“Kerakyataan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam
permusyawaratan/Perwakilan” dan alinea ke-4 pembukaan UUD 1945
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
12
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar
Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhan Yang
Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Pokok Permohonan
1. Bahwa Pemohon yang telah dikemukakan dalam Mahkamah Konstitusi dan
kedudukan hukum Pemohon sebagaimana diuraikan di atas adalah
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari permohonan ini.
2. Bahwa permohonan judial review ini merupakan bentuk penegakan kedaulatan
konstitusi pembukaan UUD 1945 yang kami anggap sebagai norma dasar.
Konstitusi kali ini rakyat Indonesia akan menyaksikan apakah dasar negara
masih ada dan dihormati. Kami percaya Mahkamah Konstitusi akan
menegakkan dasar negara yang berlaku termasuk dalam hal ini norma yang
mengatur tentang persyaratan untuk menjadi calon Presiden dan Wakil
Presiden yang harus memenuhi persyaratan UU Nomor 42 Tahun 2008 Pasal
1 angka 2,“Partai adalah Partai politik yang telah ditetapkan sebagai peserta
pemilihan umum, anggota Dewan Perwakilan Rakyat”.
Pasal 9,“Pasangan calon diusulkan oleh partai politik dan gabungan partai
politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling
sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah
nasional dalam pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan pemilu presiden
dan wakil presiden.”
Pasal 10 angka 1, “Penentuan calon presiden dan/atau calon wakil presiden
dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal
partai politik bersangkutan.”
Pasal 14 angka 2, “Masa pendaftaran sebagaimana di maksud dalam Pasal
13, paling lama tujuh hari terhitung sejak penetapan secara nasional hasil
pemilu anggota DPR,”
Yang menetapkan bahwa calon Presiden dan wakil presiden hanya bisa
diusulkan oleh partai yang memiliki suara 20% atau lebih. Hal itu secara yuridis
konstitusional bertentangan dengan dasar negara khususnya sila keempat.
13
Selain itu, partai-partai pengusung Presiden dan wakil Presiden itu sejak
berkuasa di era reformasi telah menjadi pilar korupsi dan melakukan
kolonialiasi Undang-Undang dan hal ini bertentangan dengan konstitusi karena
lebih mementingkan kaum kapitalis dan liberalis ketimbang kepentingan
rakyat; sehingga patut diduga bahwa UU Nomor 42 Tahun 2008 di atas akan
menghasilkan Presiden dan Wakil Presiden yang sistem Pemerintahaanya
akan semakin jauh dari cita-cita kemerdekaan yang diamanatkan oleh
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Rakyat menilai partai-partai besar yang selama ini menjadi kakuatan
penyelenggara negara secara konstitusi manjadi cacat moral. Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 hanya mengenal kedaulatan rakyat sehingga
sungguh tragis bahwa sesungguhnya pada saat ini Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2008 hanya menaungi kepentingan segelintir elit yang akan membunuh
lahirnya pemimpin dari rahim rakyat Oleh karenanya kami pada kesempatan
ini melakukan Judisial review Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945. Keberadaan Negara Republik
Indonesia pada alinea ketiga dalam Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan
“Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh
keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat
Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Kalimat, “maka rakyat
Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya” merupakan deklarasi
keberadaan Indonesia; kelahiran Indonesia; setelah berhasil membebaskan
diri dari belenggu penjajahan. Dengan kata lain kalimat tersebut menjadi
semacam akte kelahiran negara kesatuan Republik Indonesia. Kelahiran
seseorang maupun suatu bangsa tentu hanya terjadi satu kali; dalam hal
negara kesatuan Republik Indonesia secara yuridis kelahirannya pada tanggal
18 Agustus 1945. Oleh karena itu selama masih menyebut negara Kesatuan
Republik Indonesia, Pembukaan UUD 1945 tidak dapat dirubah atau diganti
dengan alasan apapun; kecuali pembubaran Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Komite Pemerintahan Rakyat Independen sangat perlu untuk
menyampaikan tentang kenapa Negara Kesatuan Republik Indonesia ada?
Sebagai negara bekas jajahan, Indonesia merasakan betapa sakitnya menjadi
negara terjajah dan betapa jahatnya penjajahan itu, maka Indonesia mencintai
kemerdekaan dan anti penjajahan. Kemerdekaan Indonesia bukan hadiah
14
tetapi direbut melalui perjuangan. Amanat tersebut secara jelas disebut dalam
alinea pertama dan kedua Pembukaan. “Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan
itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia
harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusian dan peri-
keadilan”. Yang harus dihapus itu adalah penjajahan dalam segala macam
bentuk dan jenisnya. Penjajahan berbenntuk hegemoni yang kuat terhadap
yang lemah, menjajah terhadap yang dijajah; sifatnya pemaksaan kehendak
yang kuat terhadap yang lemah, merupakan eksploitasi penjajah terhadap
yang dijajah. Semangat kemerdekaan yang anti penjajahan itu semakin
relevan di era globalisasi ini, era dimana disuburkan liberalisme dan
kapitalisme yang berujung pada penjajahan yang kuat menjajah yang lemah,
jenis penjajahan semakin banyak, penjajahan politik, ekonomi, budaya,
teknologi, informasi dan lain sebagainya. Baik penjajahan yang dilakukan oleh
luar negeri maupun oleh dalam negeri harus dilawan secara cerdas; bukannya
dipelihara yang selama ini dilakukan oleh rezim reformasi.
Cita-cita kemerdekaan dengan susah payah berhasil diperjuangkan itu bukan
merdeka sekedar untuk merdeka, melainkan merdeka untuk suatu cita-cita,
merdeka untuk suatu tujuan; hal itu untuk diamanatkan dalam aline kedua.
“Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada
saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat
Indonesia, yang merdeka, bersatu berdaulat, adil dan makmur”. Selanjutnya
untuk mewujudkan cita-cita tersebut dibentuk negara yang berkedaulatan
rakyat dan pemerintahan yang bertugas untuk melindungi segenap bangsa,
wilayah dan kekayaan alam, mensejahterakan, mencerdaskan bangsa serta
ikut melaksanakan ketertiban dunia, seperti yang disebut pada awal Aline
keempat “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, perdamaian abadi
dan keadilan sosial....” Alinea kedua dan keempat tersebut dengan tegas dan
jelas mengamanatkan bahwa negara dan pemerintah dibentuk untuk
melaksanakan tugasnya, yaitu cita-cita dan tujuan negara; maka pemerintah
yang mengabaikan bahkan mengingkari tugasnya seharusnya diganti.
15
Dasar Negara pada kalimat terakhir dalam Alinea keempat merupakan dasar
negara “….maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepadak keTuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta
dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam
kaitannya dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, sebagai negara
yang berkedaulatan rakyat tentu saja Indonesia menganut demokrasi; dalam
dasar negara, sistem demokrasi yang diamanatkan Pembukaan adalah
“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan”, bukan demokrasi liberal yang semata-mata
mengutamakan kepentingan minoritas elit DPR seperti yang tersurat maupun
yang tersirat Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008.
Kalimat-kalimat/alinea dalam Pembukaan merupakan suatu keutuhan yang
bulat dan utuh, yang sangat berhubungan dengan menegaskan apa dan siapa
Indonesia? keberadaan Indonesia mempunyai cita-cita/tujuan apa? bagaimana
cara mewujudkannya serta falsafah yang melandasinya?. Dengan kata lain
Pembukaan merupakan jati diri Indonesia, pandangan hidup dan falsafah
bangsa Indonesia dalam bernegara; Dengan demikian pembukaan merupakan
nilai dasar konstitusi menjadi norma dasar konstitusi yang berarti pasal-pasal
dan Undang-Undang Dasar merupakan derivasi pembukaan dan Undang-
Undang merupakan derivasi dari pasal-pasal. Pada prinsipnya dianut suatu
ketentuan bahwa dari norma yang lebih rendah harus tunduk dan sesuai
dengan norma yang lebih tinggi; norma yang lebih rendah sama sekali tidak
boleh bertentangan dengan norma yang lebih tinggi: oleh karena itu, pasal-
pasal dalam Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2008 yang bertentangan dengan pembukaan seharusnya dapat diabaikan atau
setidak-tidaknya segera diganti yang sesuai dengan pembukaan.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden yang diebutkan dalam Pasal 1 angka 2, Pasal 9, Pasal 10 angka 1,
Pasal 14 angka 2, merupakan bentuk suara perwakilan partai politik elit tidak
sepenuhnya mencerminkan kedaulatan rakyat puluhan juta rakyat Indonesia
yang bernaung dibawah organisasi-organisasi golongan buruh, tani, nelayan
dan lain-lain tidak terwakili partai. Undang-Undang tersebut menyimpang dari
16
dasar negara yang mengedepankan kebijaksanaan, perwakilan dan
musyawarah. Undang-Undang tersebut menganut suara minoritas elit yang
syarat dengan transaksional dan manipulasi.
Kenyataannya penyelanggaraan negara hasil bentukan partai-partai yang
selama ini berkuasa secara konstitusional telah memiliki cacat moral; telah
menerbitkan Undang-Undang kolonial yang menyimpang dari Pembukaan
sehingga terkesan justru mengembangkan kapitalisme dan liberalisme yang
merugikan rakyat dan menimbulkan berbagai masalah yang kita rasakan
selama ini, bahkan partai-partai yang duduk di DPR pun berlomba-lomba
melakukan korupsi triliunan rupiah. Kesimpulannya, secara moral partai yang
berkuasa sekarang, tidak layak mewakili rakyat yang berdaulat.
3. Bahwa hukum hadir untuk para pencari keadilan dengan paradigma tersebut
maka apabila pencari keadilan menghadapi suatu persoalan hukum, maka
bukan “para pencari keadilan yang disalahkan melainkan para penegak hukum
harus berbuat sesuatu terhadap hukum yang ada, termasuk meninjau
asas/norma, doktrin, substansi, serta prosedur hukum yang berlaku termasuk
dalam hal ini norma yang mengatur tentang persyaratan untuk dapat menjadi
calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang harus memenuhi persyaratan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008:
Pasal 1 angka 2, “Partai adalah Partai politik yang telah ditetapkan sebagai
peserta pemilihan umum, anggota Dewan Perwakilan Rakyat”.
Pasal 9,“Pasangan calon diusulkan oleh partai politik dan gabungan partai
politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling
sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah
nasional dalam pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan pemilu presiden
dan wakil presiden.”
Pasal 10 angka 1, “Penentuan calon presiden dan/atau calon wakil presiden
dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal
partai politik bersangkutan.”
Pasal 14 angka 2, “Masa pendaftaran sebagaimana di maksud dalam Pasal
13, paling lama tujuh hari terhitung sejak penetapan secara nasional hasil
pemilu anggota DPR,”
4. Bahwa hukum hadir di tengah-tengah masyarakat dijalankan tidak sekedar
menurut kata-kata hitam-putih dari peraturan (according to the letter),
17
melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to the very meaning)
dari undang-undang atau hukum. Hukum tidak hanya dijalankan dengan
kecerdasan intelektual melainkan dengan kecerdasan spiritual. Menjalankan
hukum harus dengan determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap
penderitaan bangsa untuk berani mencari jalan lain guna kebenaran, keadilan
dan kepastian hukum para pencari keadilan.
5. Bahwa pemilihan calon Presiden dan calon Wakil Presiden Indonesia selama
ini sangat bertentangan dengan prinsip kedaulan rakyat yang hanya diatur oleh
segelintir elit dengan sistem persentase sehingga terjadi proses manipulasi
suara rakyat secara masif serta berpotensi menimbulkan massa rakyat yang
sadar untuk tidak memilih dan menjadikan golput sebagai pilihan politik.
Sistem persentase suara merupakan bentuk pembajakan kedaulatan rakyat
dari segelintir individu atau elit parpol yang anti kerakyatan dan anti
kebangsaan serta anti pancasila bentuk persentase suara yang dibagi-bagi
adalah bentuk pembunuhan atas suara kedaulatan rakyat. DPR dan internal
partai politik, sesungguhnya merupakan wabah atau virus agen pasar
liberalisme yang telah melunturkan jati diri bangsa dan spirit nasionalisme,
yang telah menggoyahkan persatuan dan mengebiiri kedaulatan rakyat dan
negara terbukti terlibat kolonilisasi produk perundang-undangan dan terlibat
penjajahan maupun hegemoni dari yang kuat ke yang lemah cara berperang
dengan menggunakan kekuatan senjata (hard power) dianggap tidak lagi
efisien sehingga muncul cara baru yang lebih efisien dengan menggunakan
“Soft power” melalui bentuk peperangan seperti kultural “Cultural wafare
economi and finacial warfare, information warfare” dan sebagainya. Kekuatan
senjata telah digantikan oleh informasi untuk membangun persepsi “war of
perception” serta kekuatan modal finansial untuk penguasaan ekonomi melalui
multinasional corporation dengan memasukan DPR sebagai tentara baru asing
dalam menaklukkan kedaulatan rakyat Indonesia terbukti dengan terjadinya
kolonialisasi Undang-Undang untuk kepentingan asing, perpanjangan tangan
penjajah melalui DPR telah berhasil memporak porandakan kedaulatan rakyat
dan negara termasuk dengan membentuk Undang-Undang pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden yang hanya mengakomodir kepentingan DPR berdasarkan
suara transaksional maupun segelintir elit dengan semangat corporation,
menyadari konsistennya DPR di dalam menguasai kedaulatan rakyat dan
18
sumber daya alam secara masif maka sudah sepantasnya Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2008 tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
Pasal 1 angka 2,“Partai adalah Partai politik yang telah ditetapkan sebagai
peserta pemilihan umum, anggota Dewan Perwakilan Rakyat”.
Pasal 9,“Pasangan calon diusulkan oleh partai politik dan gabungan partai
politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling
sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah
nasional dalam pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan pemilu presiden
dan wakil presiden.”
Pasal 10 angka 1, “Penentuan calon presiden dan/atau calon wakil presiden
dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal
partai politik bersangkutan.”
Pasal 14 angka 2, “Masa pendaftaran sebagaimana di maksud dalam Pasal
13, paling lama tujuh hari terhitung sejak penetapan secara nasional hasil
pemilu anggota DPR,”
Dimana pasal, angka maupun frasanya harus dirubah dan dinyatakan tidak
mengikat Pasal 1 angka 2 frasa “partai politik adalah partai politik yang telah
ditetapkan sebagai perserta pemilihan umum oleh dewan perwakilan rayat
dirubah menjadi Pasal 1 angka 2 frasa partai politik adalah partai politik yang
telah diusulkan oleh golongan rakyat, golongan buruh, golongan petani
golongan kaum miskin kota, golongan fungsional seluruh rakyat Indonesia
berdasarkan Kongres Nasional Rakyat yang dihadiri oleh utusan-utusan
golongan”.
Pasal 9 frasa “pasangan calon diusulkan oleh partai politik dan gabungan
partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi
paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah
nasional dalam pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan pemilu presiden
dan wakil presiden dirubah menjadi Pasal 9 frasa pasangan calon diusulkan
oleh partai politik atau gabungan partai politik atau utusan golongan rakyat,
golongan buruh, golongan petani, golongan kaum miskin kota, golongan
fungsional seluruh rakyat Indonesia dengan persyaratan mengakomodir
seluruh kepentingan rakyat berdasarkan pada kesepakatan nasional
berasaskan gotong royong dengan kesepakatan utuh, bulat dan menyeluruh”.
19
Pasal 10 angka 1 frasa, “Penentuan calon presiden dan/atau calon wakil
presiden dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme
internal partai politik bersangkutan dirubah menjadi Pasal 10 angka 1 frasa
penentuan calon Presiden dan Calon wakil Presiden dilakukan secara
demokratis dan terbuka sesuai dengan mandat utusan golongan rakyat,
golongan buruh, golongan petani, golongan kaum miskin kota, golongan
fungsional seluruh rakyat Indonesia berdasarkan kesepakatan nasional.”
Pasal 14 angka 2 frasa, “Masa pendaftaran sebagaimana di maksud dalam
Pasal 13, paling lama tujuh hari terhitung sejak penetapan secara nasional
hasil pemilu anggota DPR dirubah menjadi Pasal 14 angka 2 frasa masa
pendaftaran calon Presiden dan Wakil Presiden paling lambat 90 hari terhitung
sejak diadakan Kongres Nasional Rakyat sejak penetapan tanda tangan dan
kesepakatan nasional rakyat yang dihadiri oleh perwakilan utusan golongan
seluruh Indonesia”
6. Bahwa Norma Hukum yang terkandung di dalam Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2008
Pasal 1 angka 2, “Partai adalah Partai politik yang telah ditetapkan sebagai
peserta pemilihan umum, anggota Dewan Perwakilan Rakyat”.
Pasal 9,“Pasangan calon diusulkan oleh partai politik dan gabungan partai
politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling
sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah
nasional dalam pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan pemilu presiden
dan wakil presiden.”
Pasal 10 angka 1, “Penentuan calon presiden dan/atau calon wakil presiden
dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal
partai politik bersangkutan.”
Pasal 14 angka 2, “Masa pendaftaran sebagaimana di maksud dalam Pasal
13, paling lama tujuh hari terhitung sejak penetapan secara nasional hasil
pemilu anggota DPR,” merupakan norma hukum yang diskriminatif karena
bertentangan dengan hak-hak konstitusional pemohon sehingga harus
dinyatakan inkonstitusional.
7. Bahwa Pemohon sebagai Presiden Lembaga Komite Pemerintahaan Rakyat
Independen sangat mempunyai potensi kerugian konstitusional disebabkan
Pemohon selama ini tidak pernah ikut di dalam memilih Presiden dan Wakil
20
Presiden karena menganggap pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dengan
menggunakan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Pasal 1 Angka 2, Pasal
9, Pasal 10 angka 1, Pasal 14 angka 1 adalah bentuk pengingkaran
kedaulatan rakyat dan penghianatan terhadap UUD 1945 karena hanya
merekomendasikan Presiden dan Wakil Presiden dari segelitir elit DPR dan
partai politik tertentu, disamping itu Pemohon juga aktif di dalam kegiatan bela
negara, memperjuangkan hak buruh yang tertindas dalam perbudakan modern
yang disebabkan upah murah, memperjuangkan hak petani dan hak tanah
adat dari perampasan dan perampokan yang dilakukan oleh sistem
neolibelarisme yang disokong oleh antek-anteknya kapitalisme birokrasi dan
kapitalisme legislatif, Pemohon juga aktif di dalam memperjuangkan hak-hak
kaum miskin kota dalam memperoleh kesejahteraan hidup sehingga di dalam
pola perjuangan yang dilakukan oleh Pemohon selama ini selalu berlandaskan
Pancasila dan UUD 1945 yaitu kedaulatan rakyat adalah sesuatu dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat dan motto perjuangan Pemohon selama ini
tegakkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dalam rangka menegakan kembali
kedaulatan rakyat dengan konsep berdikari secara ekonomi berdaulat secara
politik dan prinsip secara budaya.
8. Bahwa hak konstitusional Pemohon yang dijamin oleh konstitusi yakni hak
untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum atau hak asasi manusia yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun juga termasuk apabila Pemohon
memilih Presiden atau mejadi Calon Presiden dan Wakil Presiden Republik
Indonesia melalui partai politik atau utusan golongan buruh, rakyat tani, kaum
miskin kota, pemuda dan mahasiswa serta kaum jompo dan rakyat pinggiran
yang tergabung di dalam Komite Pemerintahan Rakyat Independen. Presiden
dan Wakil Presiden merupakan manifestasi kedaulatan rakyat jadi hak
konstitusi Pemohon sangat sesuai dengan alinea ke-3 UUD 1945 yang
berbunyi “Atas berkat rahmat Allah Yang maha Kuasa dan dengan didorong
oleh keinginan luhur, supaya bekehidupan kebangsaan yang bebas, maka
rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”
9. Bahwa Presiden dan Wakil Presiden merupakan wujud daripada kedaulatan
rakyat yang tidak terlahir dari konspirasi, manipulasi, kongkalikong segelintir
elit atas nama DPR karena hari ini DPR bukanlah wujud kedaulatan yang
bertindak, berbuat berdasarkan semangat dari rakyat dan untuk rakyat
21
sehingga DPR saat ini tidak pernah bertindak mewakili rakyat adat tertindas,
buruh tertindas, kaum jompo tertindas, kaum miskin kota tertindas maupun
buruh tani tertindas. DPR saat ini lebih merupakan perpanjangan tangan
imprialisme dan telah menjadi mesin pembunuh terhadap rakyat Indonesia.
Apabila kita memandang secara historis bukanlah DPR yang melahirkan
Pancasila dan Undang-undang 1945 namun Pancasila dan UUD 1945 yang
membuat DPR. Ini bisa kita belajar dari history atau sejarah Pancasila dan
UUD 1945 berawal dari Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia adalah
panitia yang bertugas untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, sebelum
panitia ini terbentuk, sebelumnya telah berdiri BPUPKI namun karena
dianggap terlalu cepat ingin melaksanakan proklamasi kemerdekaan, maka
Jepang membubarkannya dan membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) (Komite Persiapan Kemerdekaan) pada tanggal 7 Agustus
1945 yang diketuai oleh Ir. Soekarno.
Pada awalnya PPKI beranggotakan 21 orang (12 orang dari Jawa, 3 orang dari
Sumatra, 2 orang dari Sulawesi, 1 orang dari Kalimantan, 1 orang dari Nusa
Tenggara, 1 orang dari Maluku, 1 orang dari golongan Tionghoa).
Susunan awal anggota PPKI adalah sebagai berikut:
Ir. Soekarno (Ketua)
Drs. Moh. Hatta (Wakil Ketua)
Prof. Mr. Dr. Soepomo (Anggota)
KRT Radjiman Wedyodiningrat (Anggota)
R. P. Soeroso (Anggota)
Soetardjo Kartohadikoesoemo (Anggota)
Kiai Abdoel Wachid Hasjim (Anggota)
Ki Bagus Hadikusumo (Anggota)
Otto Iskandardinata (Anggota)
Abdoel Kadir (Anggota)
Pangeran Soerjohamidjojo (Anggota)
Pangeran Poerbojo (Anggota)
Dr. Mohammad Amir (Anggota)
Mr. Abdul Maghfar (Anggota)
Mr. Mohammad Hasan (Anggota)
Dr. GSSJ Ratulangi (Anggota)
22
Andi Pangerang (Anggota)
A.H. Hamidan (Anggota)
I Goesti Ketoet Poedja (Anggota)
Mr. Johannes Latuharhary (Anggota)
Drs. Yap Tjwan Bing (Anggota)
Selanjutnya tanpa sepengetahuan Jepang, keanggotaan bertambah 6 yaitu :
Achmad Soebardjo (Penasehat)
Sajoeti Melik (Anggota)
Ki Hadjar Dewantara (Anggota)
R.A.A. Wiranatakoesoema (Anggota)
Kasman Singodimedjo (Anggota)
Iwa Koesoemasoemantri (Anggota)
Persidangan
Tanggal 9 Agustus 1945, sebagai pimpinan PPKI yang baru, Soekarno, Hatta
dan Radjiman Wedyodiningrat diundang ke Dalat untuk bertemu Marsekal
Terauchi. Setelah pertemuan tersebut, PPKI tidak dapat bertugas karena para
pemuda mendesak agar proklamasi kemerdekaan tidak dilakukan atas nama
PPKI, yang dianggap merupakan alat buatan Jepang. Bahkan rencana rapat
16 Agustus 1945 tidak dapat terlaksana karena terjadi peristiwa
Rengasdengklok. Setelah proklamasi, pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI memutuskan antara
lain:
- mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945,
- memilih dan mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden RI dan Drs. M.
Hatta sebagai Wakil Presiden RI,
- membentuk Komite Nasional untuk membantu tugas presiden sebelum
DPR/MPR terbentuk.
Berkaitan dengan UUD, terdapat perubahan dari bahan yang dihasilkan oleh
BPUPKI, antara lain:
- Kata Muqaddimah diganti dengan kata Pembukaan.
- Pada pembukaan alenia keempat anak kalimat Ketuhanan, dengan
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya diganti dengan
Ketuhanan yang Maha Esa.
23
- Pada pembukaan alenia keempat anak kalimat "Menurut kemanusiaan yang
adil dan beradab" diganti menjadi "kemanusiaan yang adil dan beradab".
- Pada Pasal 6:1 yang semula berbunyi Presiden ialah orang Indonesia Asli
dan beragama Islam diganti menjadi Presiden adalah orang Indonesia Asli
PPKI mengadakan sidang kedua pada tanggal 19 Agustus 1945. Sidang
tersebut memutuskan hal - hal berikut:
- Membentuk KNIP
- Membentuk 12 departemen dan menteri - menterinya.
- Menetapkan pembagian wilayah Republik Indonesia atasa delapan provinsi
beserta gubernur-gubernurnya.
Setelah membaca dan mengingat makna yang tersurat dan tersirat dari Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang menjadikan Pancasila dan UUD 1945
sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia yang didasarkan atas suasana
lahir dan bhatin rakyat Indonesia maka pemohon menganggap Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 2008:
Pasal 1 angka 2, “Partai adalah Partai politik yang telah ditetapkan sebagai
peserta pemilihan umum, anggota Dewan Perwakilan Rakyat”.
Pasal 9,“Pasangan calon diusulkan oleh partai politik dan gabungan partai
politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling
sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah
nasional dalam pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan pemilu presiden
dan wakil presiden.”
Pasal 10 angka 1, “Penentuan calon presiden dan/atau calon wakil presiden
dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal
partai politik bersangkutan.”
Pasal 14 angka 2, “Masa pendaftaran sebagaimana di maksud dalam Pasal
13, paling lama tujuh hari terhitung sejak penetapan secara nasional hasil
pemilu anggota DPR,” sangat bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945
karena calon Presiden dan Calon Wakil Presiden tidak mewujudkan
manifestasi kedaulatan rakyat sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD
1945 yang menjadi sumber dari segala sumber hukum.
10. Bahwa Pancasila dan UUD 1945 merupakan pandangan hidup bangsa
Indonesia yang lahir dari suasana lahir dan batin serta merupakan sumber dari
segala sumber hukum sehingga mengandung pengertian Pancasila secara arti
24
kata Pancasila mengandung arti, panca yang berarti lima “lima” dan sila yang
berarti “dasar”. Dengan demikian pancasila artinya lima dasar. Tetapi di sini
pengertian pancasila berdasarkan sejarah pancasila itu sendiri.
Konsepsi cita-cita Pancasila dan UUD 1945 merupakan arus sejarah yang
memperlihatkan dengan nyata, bahwa bangsa Indonesia harus memiliki
pandangan hidup berbangsa dan bernegara agar bisa terhindar dari bahaya
kebangsaan dan nasionalisme, Pancasila menjelaskan bahwa konsekuensi
dari penerimaaan pandangan hidup dan falsafah negara adalah perjuangan
untuk mengalahkan kolonialisme dan imperialisme. Sedangkan di lapangan
politik internasional berarti meletakan hubungan antar bangsa atas dasar
toleransi terhadap pandangan filsafat masing-masing bangsa dan penolakan
mutlak terhadap imperialisme dan kolinialisme.
Apabila kita ingin benar-benar melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945
secara murni dan konsekuan, maka kita tidak saja harus melaksanakan
ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal dari Batang Tubuh (the body of the
konstitutin) atau lebih dkenal isi dari UUD 1945 itu, tetapti juga ketentuan-
ketentuan pokok yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Oleh karena
pembukaan UUD 1945 (walaupun tidak tercantum dalam satu dokumen
dengan Batang Tubuh UUD 1945, seperti konstitusi (RIS) atau UUDS 1950
misalnya), adalah bagian mutlak yang tidak dipisahkan dari konstitusi Republik
Indonesia Tahun 1945; pembukaan dan Batang Tubuh kedua-duanya telah
ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18
Agustua 1945.
Apabila kita berbicara tentang UUD 1945. maka yang dimaksud ialah
Konstitusi (UUD) yang disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia tersebut pada tanggal 18 Agustus 1945 yang diumumkan dalam
Berita Republik Indonesia Tahun 1946 Nomor 7 halaman 45-48, yang terdiri
atas:
1. Pembukaan (Preambule) yang meliputi 4 alinea;
2. Batang Tubuh atau isi UUD 1945, yang meliputi;
3. Penjelasan
Adapun Pembukaan UUD 1945 yang terdiri atas empat bagian itu yang amat
penting ialah bagian/alinea ke 4 yang berbunyi sebagai berikut: “Kemudian dari
pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang
25
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka dususunlah
Kemerdekaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia
yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan yang Maha
Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Dalam penjelasan resmi arti pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa dalam
Pembukaan UUD 1945 terkandung empat pokok-pokok pikiran sebagai
berikut:
Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia berdasar atas Persatuan;
Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
Negara Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat dan berdasar
atas kerakyatan dan permusyawaratan/perwakilan;
Negara Indonesia berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab.
Khusus bagian/alinea ke-4 dari pembukaan UUD 1945 adalah merupakan
asas pokok pembentukan Pemerintah negara Indonesia. Isi bagian ke-4 dari
Pembukaan UUD 1945 itu dibagi ke dalam 4 hal:
1. Tentang hal tujuan Negara Indonesia, tercantum dalam kalimat “Kemudian
daripada itu dan seluruh tumpah darah Indonesia, yang;
Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia;
Memajukan kesejahteraan rakyat;
Mencerdaskan kehidupan bangsa;
Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial.
2. Tentang hal ketentuan diadakanya Undang-Undang Dasar tercantum
dalam kalimat yang berbunyi: “maka disusunlah Kemerdekaan
26
Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia”;
3. Tentang hal bentuk negara dalam kalimat: yang terbentuk dalam suatu
susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat;
4. Tentang hal dasar Falsafah Negara Pancasila.
Adapun Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang telah disahkan
oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18
Agustus 1945 itu sebagian besar bahan-bahanya berasal dari Naskah
Rancangan Pembukaan UUD yang disusun oleh Panitia Perumus (panitia
kecil) yang beranggotakan 9 orang yang diketua oleh Ir. Soekarno pada
tanggal 22 Juni 1945 di Jakarta.
Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, naskah politik yang
bersejarah itu dijadikan rancangan pembukaan UUD sebagai bahan pokok
dan utama bagi penyusunan/penetapan Pembukaan (Preambule) UUD
yang akan ditetapkan itu.
Naskah politik yang bersejarah yang disusun pada tanggal 22 Agustus
1945 itu, di kemudian hari oleh Mr. Muhamad Yamin dalam pidatonya di
depan sidang Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan (BPPK) pada
tanggal 11 Juni 1945 dinamakan “Piagam Jakarta” dan baru beberapa
tahun kemudian dimuat dalam bukunya yang berjudul Prokalmasi dan
Konstitusi pada tahun 1951.
Dalam naskah politik yang di sebut dengan Piagam Jakarta 22 Juni 1945
inilah untuk pertama kali dasar falsafah Negara pancasila ini dicantumkan
secara tertulis, setelah diusulkan oleh Ir. Soekarno dalam pidatonya pada
tanggal 1 Juni 1945. Adapun panitia perumus yang beranggotakan 9 orang
yang telah menyusun Piagam Jakarta itu adalah salah satu panitia kecil
dari Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan (BPPK) yang dibentuk
pada tanggal 29 April 1945.
Di atas telah dijelaskan tentang pentingnya Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945. Adapun besar arti pentingnya Pembukaan Undang-Undang
Dasar itu ialah karena pada aline ke 4 itu tercantum ketentuan pokok yang
bersifat fundamental, yaitu dasar falsafah Negara Republik Indonesia yang
dirumuskan dalam kata-kata berikut: ….”maka disusunlah Kemerdekaan
Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Indonesia
27
yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada:
1. Ketuhanan Mang Maha Esa,
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3. Persatuan Indonesia,
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan,
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kelima dasar ini tercakup dalam satu nama/istilah yang amat penting bagi
kita bangsa Indonesia yaitu pancasila. Istilah atau perkataan pancasila ini
memang tidak tercantum dalam Pembukaan maupun dalam Batang Tubuh
UUD 1945. Di alinea ke 4 dari Pembukaan UUD 1945 hanyalah disebutkan
bahwa, Negara Republik Indonesia berdasarkan kepada lima prinsip atau
asas yang tersebut di atas, tanpa menyebutkan pancasila. Bahwa kelima
prinsip atau dasar tersebut adalah pancasila, kita harus menafsirkan
sejarah (maupun penafsiran sistematika) yakni menghubungkanya dengan
sejarah lahirnya pencasila itu sendiri pada tanggal 1 Juni 1945, seperti
yang telah diuraikan sebelumnya.
Berkenaan dengan perkataan pancasila, menurut Prof. Mr. Muhamad
Yamin (Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia) pada
halaman 437 antara lain sebagai berikut “perkataan Pancasila” yang kini
telah menjadi istilah hukum, mula-mula ditempa dan dipakai oleh Ir.
Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 untuk menamai
paduan sila yang lima. Perkataan itu diambil dari peradaban Indonesia
lama sebelum abad XIV. Kata kembar itu keduanya berasal dari bahasa
Sanskerta yaitu panca dan sila yang memiliki arti yang berbeda. Pancasila
dengan huruf i biasanya memiliki arti berbatu sendi yang lima (consisting of
5 rocks; aus fund Felsen bestehend). Pancasila dengan huruf i yang
panjang bermakna “5 peraturan tingkah laku yang penting”.
Kata sila juga hidup dalam kata kesusilaan dan kadang-kadang juga
berarti etika. Dalam bahasa Indonesia kedua pengertian di atas dirasakan
sudah menjadi satu paduan antara sendi yang lima dengan lima tingkah
laku yang senonoh.
28
Dari uraian di atas dapatlah kiranya kita menarik kesimpulan bahwa
pancasila sebagai istilah perkataan Sansekerta yang sudah dikenal di
tanah air kita sejak abad XIV. Sedangkan pancasila dalam bentuk
formalnya sebagai dasar falsafah Negara Republik Indonesia baru
diusulkan pada tanggal 1 Juni 1945. Karena Pancasila dan UUD 1945
merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia dan merupakan sumber
dari segala sumber hukum yang melindungi segenap bangsa Indonesia
maka dengan ini pemohon beranggapan bahwa DPR saat ini telah
melakukan penghianatan terhadap Pancasila dan UUD 1945 dengan
memandulkan Pasal dan ayat Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
menjadi agenda liberalisme kepemimpinan yang anti terhadap Pancasila
dan UUD 1945 yang harus lahir berdasarkan kedaulatan rakyat dan bukan
berdasarkan kolonialisasi konstitusi Indonesia yang telah melahirkan
Undang-undang imprialisme, kolonialisme dan sangat bertentangan
dengan pembukaan UUD 1945 alinea ke-1 yaitu bahwa sesungguhnya
kemerdekaan itu ialah hak segala bagsa dan oleh sebab itu, maka
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
prikemanusian dan prikeadilan.
11. Bahwa UUD 1945 merupakan hasil rumusan Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pembukaan UUD 1945 merupakan sebuah
pertimbangan kebangsaan berdasarkan suasana kebatinan rakyat Indonesia
sehingga UUD 1945 merupakan nilai, jiwa dan roh pandangan hidup bangsa
Indonesia dengan demikian tidak dibenarkan terjadinya pertentangan,
penyimpangan, pengingkaran, serta penghianatan dari falsafah hidup
berbangsa yang telah dirumuskan berdasarkan jiwa dan kultur bangsa
indonesia yang terlahir dari sistem nilai dasar filsafat dan pandangan hidup
bangsa. Sehingga di dalam memilih Presiden dan Wakil Presiden harus
berdasarkan amanat Pancasila dan UUD 1945 karena yang terpenting adalah
jiwa yang terkandung dalam pemimpinnya, Kepala negaranya. Itulah yang
lebih penting di dalam proses pemilihan presiden karena dia merupakan bahan
hidup yang bukan bahan mati seperti yang tertuang dalam jiwa persatuan
Negara gotong royong dalam rapat besar BPUPKI pada tanggal 10 Juli 1945.
Dalam pembicaraan tentang Indonesia Merdeka dan tentang bentuk
29
Indonesia, senatiasa mencari concentrationpunt (titik konsentrasi) itu
merupakan satu inti yang dapat menarik segala aliran. Sebab, Indonesia
merdeka atau bentuk negara Indonesia itu hendaknya satu rumah, tempat
semua anak-anaknya merasa kerasan. “Artinya, merasa senang seperti di
dalam rumahanya sendiri.” Dengan demikian melanjutkan pengorbanan, pada
masa perang tersebut, semua rakyat rela mati untuk Indonesia merdeka dan
untuk membentuk negara medeka itu. “Sehingga kemerdekaan Indonesia
harus dapat dirasakan manfaatnya”, konsep negara gotong royong bentuk
adalah bahan mati. Tetapi, kepala negara adalah bahan yang hidup. Di dalam
tangan kepala negara, sosok kepala negara, harus dapat dijelamakan
keadilan, kesucian, kesatuan, dan terutama dinamika perang. Maka dari itu,
sekali lagi bukan bantuknya tetapi jiwanya, orangnyalah yang penting, dan
dengan sendirinya pemilihan bentuk menjadi nomor dua; pemilihan kepala
negara sudah semestinya, sudah seadilnya, dengan jalan permusyawaratan,
artinya dengan jalan gotong royong.
Jiwa persatuan negara gotong royong mengulas prinsip mengenai gotong
royong. Kepala negara harus dipilih dengan cara gotong royong. Dengan cara
itu pula mereka mejaga kepala negara. Dengan jalan gotong royong, Indonesia
merdeka dibentuk, dengan jalan gotong royong musuh dikalahkan. (Sukarjo
Wiryopranoto: Jiwa Persatuan Gotong Royong).
12. Pidato Sukarjo Wiryopranoto pada tanggal 10 Juli 1945 dalam jiwa persatuan
negara gotong royong diperkuat oleh ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud
MD saat menjadi narasumber pada kesempatan dialog ilmiah “Reaktualisasi
Konsepsi Negarawan dalam Kepemimpinan Nasional” Pemimpin Harus
Seorang Negarawan di Universitas Brawijaya Malang dalam pernyataannya
setiap pemimpin harus seorang negarawan yang tidak mementingkan dirinya
sendiri dan kelompoknya dan hanya bekerja untuk tujuan jangka pendek.
Dalam paparannya Indonesia saat ini membutuhkan para pemimpin yang tidak
memikirkan hal-hal yang bersifat pendek namun jauh kedepan, yang tidak
hanya mengamankan posisi politiknya. Indonesia dewasa ini sedang
mengalami ancaman luar biasa yakni disorientasi kepemimpinan, distrust atau
ketidakpercayaan dari masyarakat, disobediance atau ketidaktaatan dari
rakyat, yang pada gilirannya akan memunculkan ancaman disintegrasi
Bangsa, gejala obediance terus dibiarkan dapat memecah belah Indonesia
30
menjadi negara-negara kecil, seperti yang terjadi di Yugoslavia. Ia menyebut
dimasa lampau Indonesia memiliki tokoh-tokoh besar seperti Bung Karno,
Natsir, dan Wahid Hasyim yang tidak mementingkan diri dan kelompoknya
sendiri melainkan selalu mengedepankan persatuan dan kesatuan.
Saat ini banyak pemimpin yang tidak mengedapankan sifat-sifat negarawan,
tersebut dengan bertindak tidak tegas. Krisis kepemimpinan saat ini dipicu oleh
sistem rekruitmen yang ada. Ia mengistilahkan sistem rekruitmen rebutan dan
bukan kompetisi. Sistem kompetisi mendorong lahirnya persaingan secara
sehat namun pada sistem rebutan banyak menimbulkan permasalahan
sehingga perlu dilakukan pembenahan sistem rekruitmen sehingga tidak
melahirkan sistem transaksional dan orang saling sandra dan dipenuhi intrik
politik.
13. Bahwa penjelasan pokok permohonan bisa dilihat dalam diagram dan
keterangan dibawah ini:
BPUPKI
PPKI
PANCASILA & UUD 1945
Pasal 1 ayat (2)
Pasal 6A ayat (1)
Pasal 27 Ayat (2)
Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2)
Pasal 1 angka 2
Pasal 9
Pasal 10 angka 1
Pasal 14 angka 2
Partai Politik adalah partai berdasarkan sila ke-4 Pancasila yaitu
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan/perwakilan
31
Keterangan:
1. BPUPKI Bahwa UUD 1945 merupakan hasil rumusan Badan Penyelidik Usaha-
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pembukaan UUD 1945 merupakan sebuah
pertimbangan kebangsaan berdasarkan suasana kebatinan rakyat
Indonesia sehingga UUD 1945 merupakan nilai, jiwa dan roh pandangan
hidup bangsa Indonesia dengan demikian tidak dibenarkan terjadinya
pertentangan, penyimpangan, pengingkaran, serta penghianatan dari
palsafah hidup berbangsa yang telah dirumuskan berdasarkan jiwa dan
kultur bangsa Indonesia yang terlahir dari sistem nilai dasar pilsapat dan
pandangan hidup bangsa. Sehingga di dalam memilih Presiden dan Wakil
Presiden harus berdasarkan amanat Pancasila dan UUD 1945 karena yang
terpenting adalah jiwa yang terkandung dalam pemimpinnya, kepala
negaranya. Itulah yang lebih penting di dalam proses pemilihan presiden
karena dia merupakan bahan hidup yang bukan bahan mati seperti yang
tertuang dalam jiwa persatuan negara gotong royong dalam rapat besar
BPUPKI pada tanggal 10 Juli 1945. Dalam pembicaraan tentang Indonesia
merdeka dan tentang bentuk Indonesia, senatiasa mencari
concentrationpunt (titik konsentrasi) itu merupakan satu inti yang dapat
menarik segala aliran. Sebab, Indonesia merdeka atau bentuk negara
Indonesia itu hendaknya satu rumah, tempat semua anak-anaknya merasa
kerasan. “Artinya, merasa senang seperti di dalam rumahanya sendiri.”
Dengan demikian melanjutkan pengorbanan, pada masa perang tersebut,
semua rakyat rela mati untuk Indonesia merdeka dan untuk membentuk
negara medeka itu. “Sehingga kemerdekaan Indonesia harus dapat
dirasakan manfaatnya”, konsep negara gotong royong bentuk adalah bahan
mati. Tetapi, kepala negara adalah bahan yang hidup. Di dalam tangan
kepala negara, sosok kepala negara, harus dapat dijelamakan keadilan,
kesucian, kesatuan, dan terutama dinamika perang. Maka dari itu, sekali
lagi bukan bantuknya tetapi jiwanya, orangnyalah yang penting, dan dengan
sendirinya pemilihan bentuk menjadi nomor dua; pemilihan kepala negara
sudah semestinya, sudah seadilnya, dengan jalan permusyawaratan,
artinya dengan jalan gotong royong.
32
Jiwa persatuan negara gotong royong mengulas prinsip mengenai gotong
royong. Kepala negara harus dipilih dengan cara gotong royong. Dengan
cara itu pula mereka mejaga kepala negara. Dengan jalan gotong royong,
Indonesia merdeka dibentuk, dengan jalan gotong royong musuh
dikalahkan. (Sukarjo Wiryopranoto: Jiwa Persatuan Gotong Royong).
2. PPKI Bahwa Presiden dan Wakil Presiden merupakan wujud daripada kedaulatan
rakyat yang tidak terlahir dari konspirasi, manipulasi, kongkalikong segelintir
elit atas nama DPR karena hari ini DPR bukanlah wujud kedaulatan yang
bertindak, berbuat berdasarkan semangat dari rakyat dan untuk rakyat
sehingga DPR saat ini tidak pernah bertindak mewakili rakyat adat tertindas,
buruh tertindas, kaum jompo tertindas, kaum miskin kota tertindas maupun
buruh tani tertindas. DPR saat ini lebih merupakan perpanjangan tangan
imprialisme dan telah menjadi mesin pembunuh terhadap rakyat Indonesia.
Apabila kita memandang secara historis bukanlah DPR yang melahirkan
Pancasila dan Undang-undang 1945 namun Pancasila dan UUD 1945 yang
membuat DPR. Ini bisa kita belajar dari history atau sejarah Pancasila dan
UUD 1945 berawal dari Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia adalah
panitia yang bertugas untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia,
sebelum panitia ini terbentuk, sebelumnya telah berdiri BPUPKI namun
karena dianggap terlalu cepat ingin melaksanakan proklamasi
kemerdekaan, maka Jepang membubarkannya dan membentuk Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) (Komite Persiapan
Kemerdekaan) pada tanggal 7 Agustus 1945 yang diketuai oleh Ir.
Soekarno.
Pada awalnya PPKI beranggotakan 21 orang (12 orang dari Jawa, 3 orang
dari Sumatra, 2 orang dari Sulawesi, 1 orang dari Kalimantan, 1 orang dari
Nusa Tenggara, 1 orang dari Maluku, 1 orang dari golongan Tionghoa).
Susunan awal anggota PPKI adalah sebagai berikut:
Ir. Soekarno (Ketua)
Drs. Moh. Hatta (Wakil Ketua)
Prof. Mr. Dr. Soepomo (Anggota)
KRT Radjiman Wedyodiningrat (Anggota)
R. P. Soeroso (Anggota)
33
Soetardjo Kartohadikoesoemo (Anggota)
Kiai Abdoel Wachid Hasjim (Anggota)
Ki Bagus Hadikusumo (Anggota)
Otto Iskandardinata (Anggota)
Abdoel Kadir (Anggota)
Pangeran Soerjohamidjojo (Anggota)
Pangeran Poerbojo (Anggota)
Dr. Mohammad Amir (Anggota)
Mr. Abdul Maghfar (Anggota)
Mr. Mohammad Hasan (Anggota)
Dr. GSSJ Ratulangi (Anggota)
Andi Pangerang (Anggota)
A.H. Hamidan (Anggota)
I Goesti Ketoet Poedja (Anggota)
Mr. Johannes Latuharhary (Anggota)
Drs. Yap Tjwan Bing (Anggota)
Selanjutnya tanpa sepengetahuan Jepang, keanggotaan bertambah 6 yaitu:
Achmad Soebardjo (Penasehat)
Sajoeti Melik (Anggota)
Ki Hadjar Dewantara (Anggota)
R.A.A. Wiranatakoesoema (Anggota)
Kasman Singodimedjo (Anggota)
Iwa Koesoemasoemantri (Anggota)
Persidangan
Tanggal 9 Agustus 1945, sebagai pimpinan PPKI yang baru, Soekarno,
Hatta dan Radjiman Wedyodiningrat diundang ke Dalat untuk bertemu
Marsekal Terauchi. Setelah pertemuan tersebut, PPKI tidak dapat bertugas
karena para pemuda mendesak agar proklamasi kemerdekaan tidak
dilakukan atas nama PPKI, yang dianggap merupakan alat buatan Jepang.
Bahkan rencana rapat 16 Agustus 1945 tidak dapat terlaksana karena
terjadi peristiwa Rengasdengklok.
Setelah proklamasi, pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI memutuskan
antara lain:
- mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945,
34
- memilih dan mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden RI dan Drs. M.
Hatta sebagai Wakil Presiden RI,
- membentuk Komite Nasional untuk membantu tugas presiden sebelum
DPR/MPR terbentuk.
Berkaitan dengan UUD, terdapat perubahan dari bahan yang dihasilkan
oleh BPUPKI, antara lain:
- Kata Muqaddimah diganti dengan kata Pembukaan.
- Pada pembukaan alenia keempat anak kalimat Ketuhanan, dengan
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya diganti dengan
Ketuhanan yang Maha Esa.
- Pada pembukaan alenia keempat anak kalimat "Menurut kemanusiaan
yang adil dan beradab" diganti menjadi "kemanusiaan yang adil dan
beradab".
- Pada Pasal 6:1 yang semula berbunyi Presiden ialah orang Indonesia
Asli dan beragama Islam diganti menjadi Presiden adalah orang
Indonesia Asli
PPKI mengadakan sidang kedua pada tanggal 19 Agustus 1945. Sidang
tersebut memutuskan hal - hal berikut:
- Membentuk KNIP
- Membentuk 12 departemen dan menteri - menterinya.
- Menetapkan pembagian wilayah Republik Indonesia atasa delapan
provinsi beserta gubernur - gubernurnya.
Setelah membaca dan mengingat makna yang tersurat dan tersirat dari
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang menjadikan Pancasila dan
UUD 1945 sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia yang didasarkan
atas suasana lahir dan bhatin rakyat Indonesia maka pemohon
menganggap Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 :
Pasal 1 angka 2, “Partai adalah Partai politik yang telah ditetapkan sebagai
peserta pemilihan umum, anggota Dewan Perwakilan Rakyat”.
Pasal 9,“Pasangan calon diusulkan oleh partai politik dan gabungan partai
politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling
sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah
nasional dalam pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan pemilu presiden
dan wakil presiden.”
35
Pasal 10 angka 1, “Penentuan calon presiden dan/atau calon wakil presiden
dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme
internal partai politik bersangkutan.”
Pasal 14 angka 2, “Masa pendaftaran sebagaimana di maksud dalam Pasal
13, paling lama tujuh hari terhitung sejak penetapan secara nasional hasil
pemilu anggota DPR,” sangat bertentangan dengan Pancasila dan UUD
1945 karena calon Presiden dan Calon Wakil Presiden tidak mewujudkan
manifestasi kedaulatan rakyat sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD
1945 yang menjadi sumber dari segala sumber hukum.
3. Pembukaan UUD 1945 Bahwa permohonan judial review ini merupakan bentuk penegakan
kedaulatan konstitusi pembukaan UUD 1945 yang kami anggap sebagai
norma dasar. Konstitusi kali ini rakyat Indonesia akan menyaksikan apakah
dasar negara masih ada dan dihormati. Kami percaya MK akan menegakan
dasar negara yang berlaku termasuk dalam hal ini norma yang mengatur
tentang persyaratan untuk menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden yang
harus memenuhi persyaratan UU Nomor 42 Tahun 2008 Pasal 1 angka
2,“Partai adalah Partai politik yang telah ditetapkan sebagai peserta
pemilihan umum, anggota Dewan Perwakilan Rakyat”.
Pasal 9,“Pasangan calon diusulkan oleh partai politik dan gabungan partai
politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling
sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah
nasional dalam pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan pemilu presiden
dan wakil presiden.”
Pasal 10 angka 1, “Penentuan calon presiden dan/atau calon wakil presiden
dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme
internal partai politik bersangkutan.”
Pasal 14 angka 2, “Masa pendaftaran sebagaimana di maksud dalam Pasal
13, paling lama tujuh hari terhitung sejak penetapan secara nasional hasil
pemilu anggota DPR,”
Yang menetapkan bahwa calon Presiden dan wakil presiden hanya bisa
diusulkan oleh partai yang memiliki suara 20% atau lebih. Hal itu secara
yuridis konstitusional bertentangan dengan dasar negara khususnya sila
keempat. Selain itu, partai-partai pengusung Presiden dan wakil Presiden itu
36
sejak berkuasa di era reformasi telah menjadi pilar korupsi dan melakukan
kolonialiasi Undang-Undang dan hal ini bertentangan dengan konstitusi
karena lebih mementingkan kaum kapitalis dan liberalis ketimbang
kepentingan rakyat; sehingga patut diduga bahwa UU Nomor 42 Tahun
2008 di atas akan menghasilkan Presiden dan Wakil Presiden yang sistem
Pemerintahaanya akan semakin jauh dari cita-cita kemerdekaan yang
diamanatkan oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Rakyat menilai partai-partai besar yang selama ini menjadi kakuatan
penyelenggara negara secara konstitusi manjadi cacat moral. Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 hanya mengenal kedaulatan rakyat sehingga
sungguh tragis bahwa sesungguhnya pada saat ini Undang-Undang Nomor
42 Tahun 2008 hanya menaungi kepentingan segelintir elit yang akan
membunuh lahirnya pemimpin dari rahim rakyat Oleh karenanya kami pada
kesempatan ini melakukan judicial review Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2008 bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945. Keberadaan Negara
Republik Indonesia pada Alinea ketiga dalam Pembukaan UUD 1945
mengamanatkan “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan
didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang
bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.
Kalimat, “maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”
merupakan deklarasi keberadaan Indonesia; kelahiran Indonesia; setelah
berhasil membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Dengan kata lain
kalimat tersebut menjadi semacam akte kelahiran negara kesatuan Republik
Indonesia. Kelahiran seseorang maupun suatu bangsa tentu hanya terjadi
satu kali; dalam hal negara kesatuan Republik Indonesia secara yuridis
kelahirannya pada tanggal 18 Agustus 1945. Oleh karena itu selama masih
menyebut Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pembukaan UUD 1945
tidak dapat dirubah atau diganti dengan alasan apapun; kecuali
pembubaran Negara Kesatuan Republik Indonesia. Komite Pemerintahan
Rakyat Independen sangat perlu untuk menyampaikan tentang Kenapa
Negara Kesatuan Republik Indonesia ada? Sebagai negara bekas jajahan,
Indonesia merasakan betapa sakitnya menjadi negara terjajah dan betapa
jahatnya penjajahan itu, maka Indonesia mencintai kemerdekaan dan anti
penjajahan. Kemerdekaan Indonesia bukan hadiah tetapi direbut melalui
37
perjuangan. Amanat tersebut secara jelas disebut dalam alinea pertama dan
kedua Pembukaan. “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak
segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusian dan peri-keadilan”.
Yang harus dihapus itu adalah penjajahan dalam segala macam bentuk dan
jenisnya. Penjajahan berbentuk hegemoni yang kuat terhadap yang lemah,
menjajah terhadap yang dijajah; sifatnya pemaksaan kehendak yang kuat
terhadap yang lemah, merupakan eksploitasi penjajah terhadap yang
dijajah. Semangat kemerdekaan yang anti penjajahan itu semakin relevan di
era globalisasi ini, era dimana disuburkan liberalisme dan kapitalisme yang
berujung pada penjajahan yang kuat menjajah yang lemah, jenis penjajahan
semakin banyak, penjajahan politik, ekonomi, budaya, teknologi, informasi
dan lain sebagainya. Baik penjajahan yang dilakukan oleh luar negeri
maupun oleh dalam negeri harus dilawan secara cerdas; bukannya
dipelihara yang selama ini dilakukan oleh rezim reformasi.
Cita-cita kemerdekaan dengan susah payah berhasil diperjuangkan itu
bukan merdeka sekedar untuk merdeka, melainkan merdeka untuk suatu
cita-cita, merdeka untuk suatu tujuan; hal itu untuk diamanatkan dalam aline
kedua. “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah
sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa
mengantarkan rakyat Indonesia, yang merdeka, bersatu berdaulat, adil dan
makmur”. Selanjutnya untuk mewujudkan cita-cita tersebut dibentuk negara
yang berkedaulatan rakyat dan pemerintahan yang bertugas untuk
melindungi segenap bangsa, wilayah dan kekayaan alam, mensenjahterkan,
mencerdaskan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia, seperti
yang disebut pada awal alinea keempat “Kemudian daripada itu untuk
membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia, perdamaian abadi dan keadilan
sosial....” alinea kedua dan keempat tersebut dengan tegas dan jelas
mengamanatkan bahwa negara dan pemerintah dibentuk untuk
melaksanakan tugasnya, yaitu cita-cita dan tujuan negara; maka pemerintah
yang mengabaikan bahkan mengingkari tugasnya seharusnya diganti.
38
Dasar Negara pada kalimat terakhir dalam alinea keempat merupakan
dasar negara “….maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia
yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepadak keTuhanan Mang
Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia,
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam kaitannya dengan pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden, sebagai negara yang berkedaulatan rakyat tentu saja
Indonesia menganut demokrasi; dalam dasar negara, sistem demokrasi
yang diamanatkan Pembukaan adalah “Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”, buka demokrasi
liberal yang semata-mata mengutamakan kepentingan minoritas elit DPR
seperti yang tersurat maupun yang tersirat Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2008.
Kalimat-kalimat/alinea dalam Pembukaan merupakan suatu keutuhan yang
bulat dan utuh, yang sangat berhubungan dengan menegaskan apa dan
siapa Indonesia? keberadaan Indonesia mempunyai cita-cita/tujuan apa?
bagaimana cara mewujudkannya serta falsafah yang melandasainya?.
Dengan kata lain Pembukaan merupakan jati diri Indonesia, pandangan
hidup dan falsafah bangsa Indonesia dalam bernegara; Dengan demikian
Pembukaan merupakan nilai dasar konstitusi menjadi norma dasar
konstitusi yang berarti pasal-pasal dan Undang-Undang Dasar merupakan
derivasi pembukaan dan undang-undang merupakan derivasi dari pasal-
pasal. Pada prinsipnya dianut suatu ketentuan bahwa dari norma yang lebih
rendah harus tunduk dan sesuai dengan norma yang lebih tinggi; norma
yang lebih rendah sama sekali tidak boleh bertentangan dengan norma
yang lebih tinggi: oleh karena itu, pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar
dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 yang bertentangan dengan
Pembukaan seharusnya dapat diabaikan atau setidak-tidaknya segera
diganti yang sesuai dengan pembukaan.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden Yang disebutkan dalam Pasal 1 angka 2, Pasal 9, Pasal 10
angka 1, Pasal 14 angka 2 merupakan bentuk suara perwakilan partai politik
elit tidak sepenuhnya mencerminkan kedaulatan rakyat puluhan juta rakyat
39
Indonesia yang bernaung dibawah organisasi-organisasi golongan buruh,
tani, nelayan dan lain-lain tidak terwakili partai. Undang-Undang tersebut
menyimpang dari dasar negara yang mengedepankan kebijaksanaan,
perwakilan dan musyawarah. Undang-Undang tersebut menganut suara
minoritas elit yang syarat dengan transaksional dan manipulasi.
Kenyataannya penyelanggaraan negara hasil bentukan partai-partai yang
selama ini berkuasa secara konstitusional telah memiliki cacat moral; telah
menerbitkan Undang-Undang kolonial yang menyimpang dari Pembukaan
sehingga terkesan justru mengembangkan kapitalisme dan liberalisme yang
merugikan rakyat dan menimbulkan berbagai masalah yang kita rasakan
selama ini, bahkan partai-partai yang duduk di DPR pun berlomba-lomba
melakukan korupsi triliunan rupiah. Kesimpulannya, secara moral partai
yang berkuasa sekarang, tidak layak mewakili rakyat yang berdaulat.
4. Penjelasan tentang bertentangannya Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2008 dengan Pancasila dan UUD 1945 bisa dilihat di tabel berikut: Undang-Undang
Nomor 42 tahun 2008 Undang-Undang
Dasar 1945 Penjelasan
Pasal 1 angka 2,“Partai adalah Partai politik yang telah ditetapkan sebagai peserta pemilihan umum, anggota Dewan Perwakilan Rakyat”.
Pasal 1 ayat (2) Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksankan menurut Undang-undang Dasar.***)
Pasal 1 angka 2, “Partai adalah Partai politik yang telah ditetapkan sebagai peserta pemilihan umum, anggota Dewan Perwakilan Rakyat”. Hal ini sangat bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 1 ayat (2) Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksankan menurut Undang-undang Dasar.***) Karena DPR bukan wujud kedaulatan rakyat “Vox pupuli vox dei” (suara rakyat adalah suara Tuhan) namun DPR saat ini lebih merupakan kedaulatan elit dan kedaulatan partai yang lahir dari proses jual beli suara atau transaksi pemilihan umum dengan didasarkan oleh pemilih-pemilih palsu/pemilih bayaran sehingga melahirkan kolonialisasi konstitusi tanpa legitimasi suara rakyat secara keseluruhan ini bisa dibuktikan dengan tingginya angka golput sebagai pemenang. Dewan Perwakilan Rakyat sejatinya atau pada prakteknya tidak pernah menjadi rakyat secara langsung ini bisa dibuktikan melalui kasus-kasus penindasan dan perampasan hak hidup maupun hak atas tanah rakyat, tidak pernah DPR melakukan upaya pembelaan atau perlindungan terhadap hak-hak rakyat justru DPR menjadi kacung penjaga modal dari penjajahan baru bisa dilihat dengan banyaknya prduk-produk yang
40
dilahirkan oleh DPR adalah bentuk penjajahan dan kolonialiasi konstitusi Undang-undang produk DPR merupakan hasil kejahatan DPR yang bersekutu dengan imprialisme sehingga hampir setiap hari kita lihat petani, buruh, komunitas masyarakat adat, nelayan berjuang secara sendiri dalam merebut kedaulatannya yang dirampas oleh imprialisme melalui kongkalikong jahat dengan DPR.
Pasal 9,“Pasangan calon diusulkan oleh partai politik dan gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden.”
Pasal 6A ayat (1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh satu pasangan secara langsung oleh rakyat ***)
Pasal 9,“Pasangan calon diusulkan oleh partai politik dan gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden.” Hal ini bertentangan dengan Pasal 6A ayat (1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh satu pasangan secara langsung oleh rakyat ***) Arti secara langsung oleh rakyat adalah merupakan seluruh rakyat Indonesia bukan melalui usulan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan kursi 20% karena suara rakyat bukanlah perolehan persentase kursi tetapi merupakan akumulasi suara rakyat Indonesia secara keseluruhan yang lahir dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat begitu pula dengan suara sah nasional memperoleh 25% dari suara sah nasional karena fakta menunjukan bahwa sebagian besar rakyat menjadikan golput sebagai pilihan politik jadi 25% perolehan suara sah nasional lebih bersifat konspiratif kongkalikong tanpa dihitung berdasarkan fakta dan kondisi objektif marujuk dari persoalan tersebut di atas maka sepantas dan sepatutnya calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus ditunjuk langsung oleh rakyat berdasarkan mekanisme perUndang-undangan yang tidak membatasi bentuk pemilihan rakyat.
Pasal 10 Ayat (1), “Penentuan calon presiden dan/atau calon wakil presiden dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal partai politik bersangkutan.”
Pasal 27 ayat (2) Setiap warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya.
Pasal 10 Ayat (1), “Penentuan calon presiden dan/atau calon wakil presiden dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal partai politik bersangkutan.” Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip kedaulatan yang berada di tangan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang tidak mengenal kedaulatan partai politik dan Pasal 27 ayat (2) Setiap warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada
41
kecualinya. Pasal 14 Ayat (2),
“Masa pendaftaran sebagaimana di maksud dalam Pasal 13, paling lama tujuh hari terhitung sejak penetapan secara nasional hasil pemilu anggota DPR,”
Pasal 28D ayat (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Pasal 28I ayat (2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu
Pasal 14 Ayat (2), “Masa pendaftaran sebagaimana di maksud dalam Pasal 13, paling lama tujuh hari terhitung sejak penetapan secara nasional hasil pemilu anggota DPR,” Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip kedaulatan ditangan rakyat yang seharusnya pendaftaran didasarkan atas kesepakatan nasional dari masing-masing kelompok atau utusan-utusan rakyat sehingga bisa mengakomodir semangat kedaulatan rakyat seperti amanat yang tertera dalam Pasal 28D ayat (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum dan Pasal 28I ayat (2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Masa pendaftaran yang hanya didasarkan pada kepentingan penetapan secara nasional hasil pemilu anggota DPR sangatlah bersifat diskriminatif terhadap golongan-golongan atau utusan-utusan buruh, petani, komunitas masyarakat adat dan kaum miskin kota karena memposisikan DPR sebagai keterwakilan elit secara exlusive tanpa memperhatikan fungsi dan kedudukan rakyat secara keseluruhan.
5. Partai Politik adalah partai berdasarkan sila ke-4 Pancasila yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan/perwakilan Pasal 1 angka 2 frasa “partai politik adalah partai politik yang telah
ditetapkan sebagai perserta pemilihan umum oleh dewan perwakilan rayat
dirubah menjadi Pasal 1 angka 2 frasa partai politik adalah partai politik
yang telah diusulkan oleh golongan rakyat, golongan buruh, golongan petani
golongan kaum miskin kota, golongan fungsional seluruh rakyat Indonesia
berdasarkan Kongres Nasional Rakyat yang dihadiri oleh utusan-utusan
golongan”.
Pasal 9 frasa “pasangan calon diusulkan oleh partai politik dan gabungan
partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi
paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara
sah nasional dalam pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan pemilu
presiden dan wakil presiden dirubah menjadi Pasal 9 frasa pasangan calon
42
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik atau utusan
golongan rakyat, golongan buruh, golongan petani, golongan kaum miskin
kota, golongan fungsional seluruh rakyat Indonesia dengan persyaratan
mengakomodir seluruh kepentingan rakyat berdasarkan pada kesepakatan
Nasional berasaskan gotong royong dengan kesepakatan utuh, bulat dan
menyeluruh”.
Pasal 10 angka 1 frasa, “Penentuan calon presiden dan/atau calon wakil
presiden dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan
mekanisme internal partai politik bersangkutan diubah menjadi pasal 10
angka 1 frasa penentuan caon Presiden dan Calon wakil Presiden dilakukan
secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mandat utusan golongan
rakyat, golongan buruh, golongan petani, golongan kaum miskin kota,
golongan fungsional seluruh rakyat Indonesia berdasarkan kesepakatan
nasional .”
Pasal 14 angka 2 frasa, “Masa pendaftaran sebagaimana di maksud dalam
Pasal 13, paling lama tujuh hari terhitung sejak penetapan secara nasional
hasil pemilu anggota DPR diubah menjadi Pasal 14 angka 2 frasa masa
pendaftaran calon Presiden dan Wakil Presiden paling lambat 90 hari
terhitung sejak diadakan Kongres Nasional Rakyat sejak penetapan tanda
tangan dan kesepakatan nasional rakyat yang dihadiri oleh perwakilan
utusan golongan seluruh Indonesia,” 4. Petitum
1. Bahwa Pasal 1 angka 2, Pasal 9, Pasal 10 angka 1, Pasal 14 angka 2
Undang-undang ini bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat
(1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Undang-
Undang Dasar tahun 1945.
2. Bahwa Pasal 1 angka 2, Pasal 9 , Pasal 10 angka 1, Pasal 14 angka 2
tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
3. Pasal 1 angka 2 frasa “partai politik adalah partai politik yang telah
ditetapkan sebagai perserta pemilihan umum oleh dewan perwakilan rayat
dirubah menjadi Pasal 1 angka 2 frasa partai politik adalah partai politik
yang telah diusulkan oleh golongan rakyat, golongan buruh, golongan
petani golongan kaum miskin kota, golongan fungsional seluruh rakyat
43
indonesia berdasarkan Kongres Nasional Rakyat yang dihadiri oleh
utusan-utusan golongan”.
Pasal 9 frasa “pasangan calon diusulkan oleh partai politik dan gabungan
partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi
paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara
sah nasional dalam pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan pemilu
presiden dan wakil presiden dirubah menjadi Pasal 9 frasa Pasangan
calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik atau utusan
golongan rakyat, golongan buruh, golongan petani, golongan kaum miskin
kota, golongan fungsional seluruh rakyat Indonesia dengan persyaratan
mengakomodir seluruh kepentingan rakyat berdasarkan pada kesepakatan
Nasional berasaskan gotong royong dengan kesepakatan utuh, bulat dan
menyeluruh”.
Pasal 10 angka 1 frasa, “Penentuan calon presiden dan/atau calon wakil
presiden dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan
mekanisme internal partai politik bersangkutan dirubah menjadi pasal 10
angka 1 frasa penentuan caon Presiden dan Calon wakil Presiden
dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mandat utusan
golongan rakyat, golongan buruh, golongan petani, golongan kaum miskin
kota, golongan fungsional seluruh rakyat Indonesia berdasarkan
kesepakatan nasional”.
Pasal 14 angka 2 frasa, “Masa pendaftaran sebagaimana di maksud
dalam Pasal 13, paling lama tujuh hari terhitung sejak penetapan secara
nasional hasil pemilu anggota DPR dirubah menjadi Pasal 14 angka 2
frasa masa pendaftaran calon Presiden dan Wakil Presiden paling lambat
90 hari terhitung sejak diadakan Kongres Nasional Rakyat sejak
penetapan tanda tangan dan kesepakatan nasional rakyat yang dihadiri
oleh perwakilan utusan golongan seluruh Indonesia”
4. Memerintahkan putusan ini dalam Berita Negara sebagaimana mestinya.
5. Menerima dan mengabulkan permohonan pemohon.
atau Apabila Mahkamah berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex
aequo et bono)
44
[2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, Pemohon telah
mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan
bukti P-9, sebagai berikut:
1. Bukti P-1 : Fotokopi Akta pendirian Lembaga Komite Pemerintahan
Rakyat Independen Nomor 34 tanggal 30 Desember 2008
Pejabat Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah Eddy
Hermansyah, S.H.;
2. Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
2011;
3. Bukti P-3 : Fotokopi Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara
Pengujian Undang-Undang;
4. Bukti P-4 : Fotokopi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden;
5. Bukti P-5 : Fotokopi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah Dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah;
6. Bukti P-6 : Fotokopi Kolonialisasi Konstitusi Indonesia, Ahmad
Suryono/Dini Adiba Septanti/Salamuddin Daeng. Penerbit
Indonesia for Global Justice;
7. Bukti P-7 : Fotokopi SBY Mundur, Pertanggungjawaban Politik Pemuda
Indonesia oleh Petisi 28 Tim penulis Koordinator Haris
Rusdly, Anggota Salamuddin Daeng, Masinton Pasaribu,
Gigih Guntoro, Hartsa Mashirul, Iwan Dwi Laksono, Ahmad
45
Suryono, Catur Agus Saptono, John Helmi Mempi, Umar
Abduh, Agus Jabo Priyono, Noviar Saleh, Urai Zulhendrie,
Wenry Anshory Putra, Shadatul Kahfie, Lamen Hendra
Saputra, Gazali harahap, Emmanuel Ebenezer. Penerbit
Doekoen Coffee April 2011;
8. Bukti P-8 : Fotokopi Lampiran Risalah Sidang Perkara Nomor 26/PUU-
VII/2009 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Acara Pemeriksaan Pendahuluan
(I), Jakarta Rabu, 22 April 2009 dan Risalah Sidang Perkara
Nomor 26/PP-VII/2009 perihal Pengujian Undang-Undang
Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Acara Pemeriksaan
Perbaikan Permohonan (II), Jakarta, kamis 7 Mei 2009;
9. Bukti P-9 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Republik Indoensia
NIK/NIS: 5271052112730002, atas nama Sri Sudarjo, S.Pd.,
S.H.
Selain mengajukan bukti berupa dokumen, Pemohon juga mengajukan
seorang ahli dan tiga orang saksi, yang didengar keterangannya di bawah sumpah
pada 20 Februari 2013 dan 14 Maret 2013, yang pada pokoknya menerangkan
sebagai berikut:
Ahli
Prof. Dr. M. Ali, S.H. Apakah pembukaan UUD adalah norma fundamental negara
(staatsfundamentalnorm)?;
Dilihat dari isinya, pokok kaidah negara yang fundamental harus berisi: i) tujuan
negara, ii) asas politik negara; iii) ketentuan diadakannya UUD; dan iv) asas
kerohanian Negara;
Pembukaan UUD 1945 dalam alinea IV menyatakan adanya tujuan Negara;
Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa asas politik negara adalah republik
yang berkedaulatan rakyat;
46
Ketentuan diadakannya UUD 1945 terdapat dalam alinea IV Pembukaan UUD
1945;
Asas politik negara adalah republik yang berkedaulatan rakyat, yang tercantum
dalam Pembukaan UUD 1945;
Asas kerohanian negara dinyatakan dengan, “… dengan berdasar kepada
ketuhanan yang maha esa …” pada Pembukaan UUD 1945;
Pembukaan UUD 1945 dibentuk atau disusun oleh pembentuk negara atau
PPKI yang diketuai Soekarno;
Pembukaan UUD 1945 tidak dapat diubah karena pembentuknya sudah tidak
lagi ada;
Penjelasan UUD 1945 Pasal 29 ayat (1) yang telah dihapus, sebenarnya
menjelaskan kepercayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
Untuk memperbaiki kondisi negara, maka harus diadakan kongres nasional
yang mengikutsertakan seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali, termasuk di
dalamya mengikutkan buruh, petani, nelayan, kaum miskin kota, kaum miskin
desa, dan lain sebagainya;
Hasil Pemilu selama ini menghasilkan penyelenggara negara yang tidak benar.
Saksi
1. Ferianto Saksi lahir di Jakarta;
Kegiatan saksi adalah bertani;
Dalam bercocok tanam saksi tidak dapat menemukan banyak lahan/tanah
untuk bertani;
Hasil pertanian saksi sulit untuk dipasarkan;
Saksi merasa termarginalkan dan tidak diikutsertakan dalam Pilpres;
Di daerah saksi tidak pernah ada pejabat/pemimpin yang benar-benar
bertani;
Saksi tidak merasa perlu ikut memilih presiden jika kenyataannya pemimpin
tidak pernah memperhatikan pertanian;
Saksi menginginkan perubahan yang dapat dirasakan oleh masyarakat tani;
Saat Pemilu tidak mendapat surat panggilan;
2. Sunarti Saksi lahir di Boyolali;
Saksi bekerja sebagai buruh;
47
Saksi merasa kesejahteraannya tidak pernah diperhatikan, padahal buruh
juga membayar pajak;
Buruh tidak pernah dilibatkan dalam pembuatan Undang-Undang;
Buruh tidak memiliki perwakilan sehingga selalu menjadi korban;
Undang-Undang tentang buruh yang ada tidak melindungi buruh;
Buruh memilih dalam Pilpres tetapi tidak pernah dimanusiakan;
Saksi ingin agar buruh, nelayan, tani, dan kaum miskin kota, disertakan
sebagai utusan golongan, agar terlibat dalam pembentukan Undang-
Undang;
Saksi tidak ikut partai politik;
Saat Pemilu saksi mendapat surat panggilan tetapi tidak ikut memilih.
3. Andi Naja Fadel Saksi lahir di Sulawesi Selatan;
Saksi berprofesi sebagai nelayan;
Dua kali pemilihan presiden, masyarakat nelayan banyak yang tidak
mendapatkan undangan dari KPU sehingga tidak datang ke TPS-TPS;
Masyarakat nelayan merasa tidak pernah dilibatkan dalam pemilihan
presiden;
Presiden tidak memperhatikan nelayan. Banyak ikan yang tertangkap tetapi
tidak terjual dan tidak tertampung di koperasi;
Pada musim hujan seperti saat ini nelayan dengan susah payah melaut
tetapi penghasilan tetap tidak memadai karena harga ikan rendah dan harga
bahan bakar tinggi;
Saat pemilihan presiden yang lalu, masyarakat Bangka Belitung sedang
melaut;
Saat Pemilu tidak mendapat surat panggilan.
[2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Pemerintah
memberikan opening statement dalam persidangan tanggal 11 Februari 2013,
yang menyatakan hal sebagaimana diuraikan berikut ini.
I. Pokok permohonan Pemohon
1. Bahwa menurut Pemohon pemilihan calon Presiden dan calon Wakil Presiden
Indonesia selama ini sangat bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat
yang hanya diatur oleh segelintir elit politik dengan sistem persentase.
48
Sehingga terjadi proses manipulasi suara rakyat secara masif serta berpotensi
menimbulkan massa rakyat yang sadar untuk tidak memilih dan menjadikan
golput sebagai pilihan politik.
2. Pemohon sebagai presiden Lembaga Komite Pemerintahan Rakyat
Independen merasa mempunyai kapasitas dan kapabilitas sebagai presiden
Republik Indonesia, berpendapat hak konstitusional adalah hak untuk diakui
sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak asasi manusia tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apa pun juga termasuk apabila Pemohon
mengajukan diri sebagai calon presiden dan wakil presiden Republik Indonesia
melalui lembaganya, apa yang disebut sebagai Lembaga Komite
Pemerintahan Rakyat Independen yang didukung oleh rakyat buruh, rakyat
tani, kaum miskin kota, pemuda, mahasiswa, serta kaum jompo, dan rakyat
pinggiran. Menurut Pemohon, presiden dan wakil presiden merupakan
manifestasi kedaulatan rakyat.
3. Singkatnya, menurut Pemohon, berpendapat bahwa ketentuan Pasal 1 angka
2, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 6 huruf A ayat (1), Pasal 27 ayat
(2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
II. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon
Uraian tentang kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, akan dijelaskan
secara lebih rinci dalam keterangan Pemerintah secara lengkap yang akan
disampaikan pada persidangan berikutnya atau melalui Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, atau setidak-tidaknya melalui Hakim Mahkamah Konstitusi untuk
mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum
(legal standing) atau tidak, sebagaimana yang ditentukan pada Pasal 51 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011,
maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu, yakni
sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUUV/2007.
49
III. Penjelasan Pemerintah atas materi permohonan yang dimohonkan untuk diuji
1. Bahwa Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Salah satu wujud dari kedaulatan rakyat adalah penyelenggaraan pemilihan
umum untuk memilih presiden dan wakil presiden yang dilaksanakan secara
demokratis dan beradab melalui partisipasi rakyat seluas-luasnya berdasarkan
asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
2. Pasal 6A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan
secara langsung oleh rakyat. Pasangan calon presiden dan wakil presiden
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik beserta pemilihan
umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Sedangkan, tata cara
pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden lebih lanjut diatur dalam
Undang-Undang. Untuk menjamin pelaksanaan pemilu presiden dan wakil
presiden yang berkualitas, memenuhi derajat kompetisi yang sehat, partisipatif,
dan dapat dipertanggungjawabkan, maka dibentuklah Undang-Undang tentang
pemilu presiden dan wakil presiden yang sesuai dengan perkembangan
demokrasi dan dinamika masyarakat, dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara yaitu Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang memuat pasal-
pasal di antaranya yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon, yaitu Pasal 1
angka 2, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), Pasal 14 ayat (2). Pasal-pasal tersebut
menggunakan frasa partai politik atau gabungan partai politik untuk
mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagai turunan
langsung dari bunyi Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
3. Bahwa frasa partai politik atau gabungan partai politik dalam Pasal 6A ayat (2)
Undang-Undang Dasar Tahun 1945, secara tegas bermakna bahwa hanya
partai politik atau gabungan partai politiklah yang dapat mengusulkan pasangan
calon presiden dan wakil presiden dalam pemilihan umum presiden dan wakil
presiden. Dengan demikian, frasa dimaksud tidak memberi peluang adanya
interpretasi lain seperti menafsirkannya dengan kata-kata diusulkan oleh
perseorangan (independent). Apalagi pada saat pembicarannya di MPR, telah
50
muncul wacana adanya calon presiden sebagai cara independent atau calon
yang tidak diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Tetapi, tidak
disetujui oleh MPR. Kehendak awal atau original intent dalam Pasal 6A ayat (2)
Undang-Undang Dasar Tahun 1945, secara jelas menggambarkan bahwa
hanya partai politik atau gabungan partai politik sajalah yang dapat
mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam pemilihan
umum presiden dan wakil presiden. (file Naskah Komprehensif Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 buku IV, tertulis
Kekuasaan Pemerintahan Negara. Jilid 1 halaman 165-360).
IV.Bahwa ketentuan mengenai calon pasangan calon presiden dan wakil presiden
perseorangan (independent) di luar usulan partai politik pernah diajukan uji
materiil, dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor
007/PUU-II/2004 tanggal 23 Juli 2004, Nomor 054/PUU-II/2004 tanggal 6
Oktober 2004. Nomor 057/PUU-II/2004 tanggal 6 Oktober 2004, dan Nomor
056/PUU-VI/2008 tanggal 17 Februari 2009, yang pada pokoknya menyatakan
menolak permohonan Pemohon. Dalam pertimbangan putusan-putusan
tersebut, Mahkamah Konstitusi pada pokoknya telah mengemukakan bahwa
untuk menjadi presiden atau wakil presiden adalah hak setiap warga negara
yang dijamin oleh konstitusi sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan
Pasal 28D ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang memenuhi
persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 6A Undang-Undang
Dasar Tahun 1945.
Sedangkan dalam melaksanakan hak termaksud pada Pasal 6A ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945, menentukan tata caranya yaitu harus diajukan
oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Diberikannya hak konstitusional untuk mengusulkan pasangan calon presiden
dan wakil presiden kepada partai politik oleh Undang-Undang Dasar 1945,
bukanlah berarti hilangnya hak konstitusional warga negara in casu Pemohon
untuk menjadi calon presiden atau calon wakil presiden karena hal itu dijamin
oleh Undang-Undang Dasar 1945. Sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 27 ayat
(1) dan Pasal 28D ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, apabila warga negara
yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Pasal 6
dan dilakukan menurut tata cara sebagaimana dimaksud oleh Pasal 6A ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945.
51
Persyaratan mana merupakan prosedur atau mekanisme yang mengikat
terhadap setiap orang yang berkeinginan menjadi calon Presiden Republik
Indonesia, perseorangan atau calon independent di luar pasangan calon yang
diusulkan parpol atau gabungan partai politik.
V. Terkait ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008, menyatakan
bahwa pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik
peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20%
dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah nasional dalam
pemilu anggota DPR sebelum melaksanakan pemilu presiden dan wakil
presiden.
Hal tersebut merupakan suatu cermin adanya dukungan awal yang kuat dari
DPR, di mana DPR merupakan simbol keterwakilan rakyat terhadap pasangan
calon presiden dan wakil presiden yang diusung oleh partai politik atau
gabungan partai politik. Dengan demikian, persyaratan pencalonan presiden
dan wakil presiden yang diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2008 terkait dengan dukungan partai politik telah sejalan dengan amanat
konstitusi yang menggambarkan kedaulatan rakyat, serta terwujudnya
pembangunan yang berkesinambungan melalui sistem pemerintahan
presidensial yang lebih efektif dan lebih stabil. Ketentuan tersebut dimaksudkan
sebagai persyaratan atau seleksi awal yang menunjukkan derajat acceptability
atau tingkat kepercayaan terhadap calon presiden dan wakil presiden yang
tercermin dari dukungan rakyat pemilih.
VI. Kebijakan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden terkait Pasal
9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 merupakan kebijakan terkait pemilu
presiden dan wakil presiden yang oleh Pasal 6 dan Pasal 6A Undang-Undang
Dasar 1945 didelegasikan kepada pembentuk Undang-Undang untuk
mengaturnya dengan undang-undang, tentunya dalam hal ini adalah antara
pemerintah dengan DPR RI, di mana kewenangan untuk membentuk undang-
undang ada pada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sesuai dengan
amanat konstitusi.
Dengan demikian, pengaturan kebijakan ambang batas pencalonan presiden
dan wakil presiden tidaklah bertentangan dengan konstitusi karena ketentuan
a quo tidak mengandung unsur-unsur yang diskriminatif. Mengingat bahwa
kebijakan threshold untuk persyaratan calon presiden dan wakil presiden
52
tersebut berlaku untuk semua partai politik peserta pemilu. Hal tersebut berlaku
secara objektif bagi seluruh parpol peserta pemilu tanpa kecuali, juga tidak ada
faktor-faktor pembeda apakah itu yang bersifat ras, apakah itu yang bersifat
agama, apakah itu yang bersifat jenis kelamin, status sosial, dan lain-lainnya
yang semua diakui oleh Undang-Undang Dasar 1945.
VII. Pemerintah berpendapat bahwa Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2008 dimana calon presiden dan wakil presiden telah mewujudkan manifestasi
kedaulatan rakyat sesuai dengan amanat Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945 yang menjadi sumber dari segala sumber hukum. Di samping itu, pasal
tersebut merupakan norma hukum yang tidak diskriminatif dan juga tidaklah
bertentangan dengan hak-hak konstitusional.
Terkait dengan gugatan judicial review pada Pasal 1 angka 2, Pasal 9, Pasal 10
ayat (1), Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 ke
Mahkamah Konstitusi, Pemerintah berpendapat bahwa pasal-pasal tersebut
tidaklah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 secara keseluruhan.
VIII. Mahkamah Konsitusi dalam salah satu pertimbangannya dalam putusannya
Nomor 56/PUU-VI/2008, tanggal 17 Februari 2009 menyatakan bahwa untuk
menjadi presiden dan wakil presiden adalah hak setiap warga negara yang
dijamin oleh konstitusi. Sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal
28D ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang memenuhi persyaratan
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 6A Undang-Undang Dasar 1945.
Diberikannya hak konstitusional untuk mengusulkan pasangan calon presiden
dan wakil presiden kepada partai politik oleh Undang-Undang Dasar 1945,
bukanlah berarti hilangnya hak konstitusional warga negara. Hal ini dikarenakan
kondisi tersebut berada dalam konstruksi sistem kepartaian, dimana partai
politik memiliki fungsi rekrutmen politik untuk menempatkan kader-kader
terbaiknya menduduki jabatan politik, di antaranya adalah presiden dan wakil
presiden. Dengan demikian Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2008 sudah sesuai dengan semangat konstitusi. Untuk menjadi calon presiden
dan wakil presiden sendiri telah dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D
ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yaitu apabila warga negara yang
bersangkutan telah memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Pasal 6 dan
dilakukan menurut tata cara sebagaimana dimaksud oleh Pasal 6A ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945.
53
IX.Pemerintah sejatinya sangat menghargai usaha-usaha yang dilakukan oleh
masyarakat dalam ikut memberikan sumbangan dan partisipasi pemikiran yang
konstruktif dalam membangun pemahaman atas makna keterwakilan dan
konstruksi daerah pemilihan maupun alokasi kursinya. Demokrasi di Indonesia
memang masih sangat membutuhkan pemikiran-pemikiran tersebut untuk
perbaikan penyelenggaraan demokrasi dan pemilu. Di masa depan, pemikiran-
pemikiran masyarakat tersebut akan menjadi sebuah rujukan yang sangat
berharga bagi Pemerintah, khususnya dan masyarakat Indonesia pada
umumnya.
Atas dasar pemikiran tersebut, pemerintah berharap dialog masyarakat dan
pemerintah tetap terus terjaga dengan satu tujuan semata-mata untuk
memberikan kehidupan demokrasi yang lebih baik dan untuk Indonesia yang
lebih baik.
X. Mengingat pemilihan umum untuk memilih presiden dan wakil presiden, serta
memilih anggota legislatif tahun 2014 akan dilaksanakan dalam jangka waktu
satu tahun lagi, tepatnya pada tanggal 9 April 2014 dan 9 Juli 2014. Maka,
pemerintah menghargai sepenuhnya keputusan yang akan diambil oleh
Mahkamah Konstitusi guna memperkuat landasan konstitusional Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 2008 yang sejalan dengan Undang-Undang Dasar
1945.
Dan tentunya, pemerintah sangat mengharapkan Mahkamah Konstitusi dapat
memberikan keputusan yang bijaksana dan seadiladilnya.
Kesimpulan Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, pemerintah memohon kepada
Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan
pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan umum
presiden dan wakil presiden terhadap Undang-Undang Dasar 1945 untuk dapat
memberikan putusan yang seadil-adilnya, serta sesuai dengan konstitusi yang
berlaku.
[2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Dewan Perwakilan
Rakyat menyampaikan keterangan secara lisan (opening statement) pada
persidangan 11 Februari 2013, dan memberikan keterangan tertulis tanpa tanggal
54
bulan Februari 2013 yang diterima pada tanggal 19 Februari 2013, pada pokoknya
menerangkan sebagai berikut:
A. Ketentuan UU Pilpres Yang Dimohonkan Pengujian Terhadap UUD 1945 Pemohon dalam permohonan a quo mengajukan pengujian atas Pasal 1 angka 2,
Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), dan Pasal 14 ayat (2) UU PILPRES yang berbunyi
sebagai berikut:
- Pasal 1 angka 2 “Partai adalah Partai Politik yang telah ditetapkan sebagai peserta pemilihan
umum anggota Dawan Perwakilan Rakyat)”
- Pasal 9 “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik
peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20%
(dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh
lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum
pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”
- Pasal 10 ayat (1) “Penentuan calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden dilakukan secara
demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal Partai Politik
bersangkutan”
- Pasal 14 ayat (2) “Masa pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, paling lama 7
(tujuh) hari terhitung sejak penetapan secara nasional hasil Pemilu anggota
DPR”.
B. Hak dan/atau Kewenangan Konstitusional yang dianggap para Pemohon Telah Dirugikan
Pemohon dalam permohonan a quo, mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya
telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya Pasal 1 angka 2, Pasal 9, Pasal 10
ayat (1), dan Pasal 14 ayat (2) UU Pilpres yang pada pokoknya sebagai berikut: 1. Bahwa Pemohon sebagai Presiden Lembaga Komite Pemerintahan Rakyat
Independen sangat mempunyai potensi kerugian konstitusional disebabkan
selama ini tidak pernah ikut di dalam memilih Presiden dan Wakil Presiden
karena menganggap pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dengan
menggunakan UU Pilpres khususnya Pasal 1 angka 2, Pasal 9, Pasal 10 ayat
(1), dan Pasal 14 ayat (2) adalah bentuk pengingkaran kedaulatan rakyat dan
55
penghianatan terhadap UUD Tahun 1945 karena hanya merekomendasikan
Presiden dan Wakil Presiden dari segelintir elit DPR dan Partai Politik Tetentu.
2. Bahwa menurut pendapat Pemohon, ketentuan Pasal 1 angka 2, Pasal 9,
Pasal 10 ayat (1), dan Pasal 14 ayat (2) UU PILPRES merupakan norma yang
bersifat diskrimintif bagi sebuah pengabdian bangsa dan negara dalam
Pemilihan Prsiden dan Wakil Presiden yang telah menimbulkan kerugian atau
berpotensi menimbulkan kerugian bagi Pemohon.
3. Bahwa dengan pembatasan atas Pasal a quo yang sementara diuji telah
memberikan pengecualian/pembatasan atau tidak memberi ruang untuk
melahirkan pemimpin rakyat dan rakyatlah yang memimpin sebagai wujud
kedaulatan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat oleh karenanya
bertentang dengan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimanan diatur dalam
Pasal 1 ayat (2) UUD Tahun 1945.
4. Berdasarkan hal tersebut Pemohon berpendapat ketentuan Pasal 1 angka 2,
Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), dan Pasal 14 ayat (2) UU PILPRES bertentangan
dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat
(1) dan ayat (2) UUD Tahun 1945.
C. Keterangan DPR RI
I. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Terhadap dalil-dalil Pemohon sebagaimana diuraikan dalam Permohonan
a quo, DPR dalam penyampaian pandangannya terlebih dahulu
menguraikan mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon.
Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh Pemohon sebagai Pihak telah diatur
dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disingkat UU Mahkamah Konstitusi),
yang menyatakan bahwa “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-
Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.”
56
Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan Pasal
51 ayat (1) tersebut, dipertegas dalam penjelasannya, bahwa “yang
dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Ketentuan
Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menegaskan, bahwa hanya hak-hak yang
secara eksplisit diatur dalam UUD 1945 saja yang termasuk “hak
konstitusional”.
Oleh karena itu, menurut UU Mahkamah Konstitusi, agar seseorang atau
suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan
hukum (legal standing) dalam permohonan Pengujian Undang-Undang
terhadap UUD 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan
membuktikan:
a. Kualifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan aquo
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud
dalam “Penjelasan Pasal 51 ayat (1)” dianggap telah dirugikan oleh
berlakunya Undang-Undang.
Mengenai parameter kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi telah
memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang
timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang harus memenuhi 5 (lima)
syarat (vide Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor
011/PUU-V/2007) yaitu sebagai berikut:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang
diberikan oleh UUD 1945;
b. bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut
dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang
yang diuji;
c. bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon
yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya
bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan
akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
57
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan
atau tidak lagi terjadi.
Apabila kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Pemohon dalam perkara
pengujian UU a quo, maka Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan
hukum (legal standing) sebagai pihak Pemohon.
Terhadap kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, DPR menyerahkan
sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulya
untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki
kedudukan hukum (legal standing) atau tidak sebagaimana yang diatur oleh
Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan
berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan
Nomor 011/PUU-V/2007.
II. Pengujian UU Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Terhadap pandangan-pandangan Pemohon dalam Permohonan a quo,
DPR memberi keterangan sebagai berikut:
1. Bahwa Pasal-pasal yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon pada
dasarnya adalah pasal-pasal yang mengatur mengenai mekanisme
pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum
yang dianggapnya bertentangan dengan nilai-nilai kedualatan rakyat
serta dianggap mengahalangi-halangi hak konstitusional Pemohon untuk
memilih dan dipilih dalam proses Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden sehingga Pemohon beranggapan bertentangan dengan Pasal 1
ayat (2), Pasal 6A ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan
ayat (2) UUD Tahun 1945.
2. Bahwa terhadap pandangan Pemohon tersebut, DPR RI memberi
penjelasan sebagai berikut:
a. Bahwa salah satu prisip dalam demokrasi adalah dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat dengan kata lain kedaulatan sepenuhnya
berada ditangan rakyat. Dalam konstitusi hal tersebut sudah sangat
jelas diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar
1945 yang berbunyi : “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
58
b. Ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebagaimana disebutkan di
atas, mengatur secara jelas dan tegas bahwa pelaksanaan
kedualatan rakyat dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Oleh karenanya Pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Proses
Pemilihan Presiden dan Wakil Presidan harus dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar.
c. Bahwa dalam Pasal 6A ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 telah diatur
mekanisme pencalonan dan pemilihan presiden dan wakil presiden
yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasang secara
langsung oleh rakyat.
(2) Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum
sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
d. Bahwa UUD Tahun 1945 tidak mengatur secara rinci mengenai hal-
hal yang berkaitan dengan tata cara pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden. Oleh karenamya Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 telah
mendelegasikan kewenangan kepada Pembentuk UU untuk
mengatur lebih lanjut diatur dalam sebuah Undang-Undang.
Berdasarkan amanah Pasal 6A ayat (5) UUD 1945, Pembentuk
Undang-Undang (DPR dan Presiden) telah merumuskan dan
mengesahkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang di dalamnya
terdapat pasal-pasal yang mengatur mekanisme pengusulan calon
presiden dan wakil presiden yang dimohonkan pengujian oleh
Pemohon yaitu Pasal 1 angka 2, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), dan
Pasal 14 ayat (2) UU Pilpres.
e. Bahwa Ketebtuan Pasal 1 angka 2 UU Pilpres merupakan bagian dari
ketentuan umum yang menguraikan tentang pengertian atau definisi
yang berfungsi menjelaskan makna suatu kata atau istilah yang harus
dirumuskan sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda.
f. Bahwa Pemohon mempersoalkan pengertian partai sebagaimana
tercantum dalam Pasal 1 angka 2 UU Pilpres yang berbunyi “Partai
adalah Partai Politik yang telah ditetapkan sebagai peserta pemilihan
59
umum anggota Dawan Perwakilan Rakyat’’. Menurut pendapat DPR
RI Pasal a quo sesungguhnya sudah sesuai dengan ketentuan
Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “Partai Politik
yang mengusulkan adalah Partai Politik Peserta Pemilu”. Dengan
demikian pendapat Pemohon yang menghendaki rumusan pengertian
partai menjadi Partai adalah partai politik yang telah diusulkan oleh
golongan rakyat, golongan buruh, golongan petani, golongan miskin
kota, golongan fungsional seluruh rakyat Indonesia yang dihadiri oleh
utusan-utusan golonganan, sebagaimana tercantum dalam Petitum
Permohonan a quo, secara konseptual sangat tidak jelas dan justru
bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Oleh karenanya
permohonan tersebut tidak cukup beralasan.
g. Bahwa terhadap ketentuan Pasal 9 UU Pilpres yang mengatur
persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen)
dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen)
dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR bagi Partai
Politik atau gabungan Partai Politik untuk dapat mengusulkan calon
Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan
Nomor 26/PUU-VII/2009 bertanggal 14 September 2009, telah
menyatakan:
“.....Hal demikian untuk membuktikan apakah partai yang
mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden mendapat
dukungan luas dari rakyat pemilih; Lagi pula, syarat dukungan partai
politik atau gabungan partai politik yang memperoleh 20% (dua puluh
lima perseratus) suara sah nasional sebelum pemilihan umum
Presiden, menurut Mahkamah, merupakan dukungan awal;
sedangkan dukungan yang sesungguhnya akan ditentukan oleh hasil
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, terhadap calon Presiden dan
Wakil Presiden yang kelak akan menjadi Pemerintah sejak
pencalonannya telah didukung oleh rakyat melalui partai politik yang
telah memperoleh dukungan tertentu melalui Pemilu; Bahwa
Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak
mungkin untuk membatalkan Undang-Undang jika kalau norma
tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat
60
ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang.
Meskipun seandainya isi suatu Undang-Undang dinilai buruk, maka
Mahkamah tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk
tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy
tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan
ketidakadilan yang intolerable. Sepanjang pilihan kebijakan tidak
merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk undang-
undang, tidak merupakan al yang melampaui kewenangan
pembentuk Undang-Undang, tidak merupakan penyalahgunaan
kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD
1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh
Mahkamah;
h. Bahwa ketentuan Pasal 9 UU Pilpres juga telah sesuai ketentuan
Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa ”Pasangan
calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik” dan juga merupakan pengaturan
pelaksanaan dan ayat (5) UUD 1945 yang menyebutkan “ketentuan
Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih
lanjut diatur dalam undang-undang”. Oleh karenanya pendapat
Pemohon yang menghendaki rumusan Pasal 9 UU Pilpres
Pasanagan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan Partai
politik atau utusan golongan rakyat, golongan buruh, golongan petani,
golongan miskin kota, golongan fungsional seluruh rakyat Indonesia
dengan persyaratan mengakomodir seluruh kepentingan rakyat
berdasarkan kesepakatan nasional berasaskan gotong royong
dengan kesepakatan utuh bulat dan menyeluruh, sebagaimana
tercantum dalam petitum permohonan a quo, secara konseptual
sangat tidak jelas dan justru bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2)
UUD 1945. Sehingga permohonan tersebut tidak cukup beralasan.
i. Bahwa materi ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (2) UU
Pilpres yang mengatur mekanisme internal partai dalam penentuan
calon presiden dan wakil presiden serta pengaturan masa pendaftar
calon presdien dan wakil presiden oleh Partai Politik secara substansi
sama sekali tidak terkait atau tidak relevan dengan kepentingan
61
konstitusional Pemohon. Oleh karena tidak ada kerugian atau potensi
kerugian yang dapat dialami oleh Pemohon.
j. Bahwa ketentuan Pasal 1 angka 2, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), dan
Pasal 14 ayat (2) UU Pilpres yang dimohonkan untuk diuji materiil
oleh Pemohon, tidak terdapat substansi yang melarang atau
menghalangi Pemohon untuk menggunakan hak dan kewenangan
konstitusionalnya mencalonkan diri menjadi Capres/cawapres
dengan ketentuan Pemohon harus melalui jalur Partai Politik atau
gabungan partai politik.
k. Bahwa pengujian konstitusional terhadap ketentuan Pasal 1 angka 2,
Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), dan Pasal 14 ayat (2) UU Pilpres telah
diperiksan dan diputus oleh Mahkamah sebelumnya yaitu pada
perkara Nomor 56/PUU-VI/2008, Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 dan
Nomor 26/PUU-VII/2009. Oleh karenanya berdasarkan Pasal 60 UU
Mahkamah Konstitusi juncto Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
06/PMK/2005 harus dinyatakan ne bis in idem.
3. Bahwa berdasarkan uraian di atas DPR berpandangan ketentuan Pasal
1 angka 2, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), dan Pasal 14 ayat (2) UU Pilpres
telah sejalan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), Pasal
27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD Tahun 1945.
Dengan demikian DPR memohon kiranya Ketua/Majelis Hakim Konstitusi yang
mulia memberikan amar putusan sebagai berikut:
1. Menyatakan Keterangan DPR diterima untuk seluruhnya;
2. Menyatakan ketentuan Pasal 1 angka 2, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), dan Pasal
14 ayat (2) UU Pilpres tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2),
Pasal 6A ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD
Tahun 1945 .
3. Menyatakan ketentuan Pasal 1 angka 2, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), dan Pasal
14 ayat (2) UU Pilpres tetap memiliki kekuatan hukum mengikat.
[2.5] Menimbang bahwa Pemohon menyampaikan kesimpulan tertulis yang
diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 18 Maret 2013, yang pada
pokoknya tetap pada pendiriannya;
62
[2.6] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini,
segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara
persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan
putusan ini;
3. PERTIMBANGAN HUKUM
[3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan a quo adalah
memohon pengujian konstitusionalitas Pasal 1 angka 2, Pasal 9, Pasal 10 angka
[sic] (1), dan Pasal 14 angka [sic] (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4924, selanjutnya disebut UU 42/2008), yang
menyatakan:
Pasal 1 angka 2, “Partai Politik adalah Partai Politik yang telah ditetapkan
sebagai peserta pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan
Rakyat”.
Pasal 9, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan
Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan
perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari
jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat atau memperoleh 25%
(dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, sebelum pelaksanaan
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”.
Pasal 10 ayat (1), “Penentuan calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden
dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan
mekanisme internal Partai Politik bersangkutan”.
Pasal 14 ayat (2), “Masa pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13,
paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak penetapan secara
nasional hasil Pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat”.
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya disebut UUD 1945), yang menyatakan:
63
Pasal 1 ayat (2):
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar”.
Pasal 6A ayat (1):
“Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung
oleh rakyat”.
Pasal 27 ayat (2):
“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan”.
Pasal 28D ayat (1):
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Pasal 28I ayat (2):
“Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas
dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan
yang bersifat diskriminatif itu”.
[3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan,
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan
mempertimbangkan hal-hal berikut:
a. kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo;
b. kedudukan hukum (legal standing) Pemohon untuk mengajukan permohonan
a quo;
Kewenangan Mahkamah
[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan
Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan
64
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK),
serta Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya
disebut UU Nomor 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah
adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar;
[3.4] Menimbang bahwa permohonan para Pemohon adalah untuk menguji
konstitusionalitas norma Pasal 1 angka 2, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), dan Pasal 14
ayat (2) UU 42/2008 terhadap UUD 1945, yang menjadi salah satu kewenangan
Mahkamah, sehingga oleh karenanya Mahkamah berwenang untuk mengadili
permohonan a quo;
Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon
[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta
Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang
terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu
Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;
Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD
1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat
(1) UU MK;
65
b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD
1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian;
[3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007,
serta putusan-putusan selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU
MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau
setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan
akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud
dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
[3.7] Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada
paragraf [3.5] dan [3.6] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan
mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dalam permohonan a quo
sebagai berikut:
[3.8] Menimbang bahwa pada pokoknya Pemohon mendalilkan sebagai
Presiden Komite Pemerintahan Rakyat Independen, yaitu sebuah lembaga di
bidang sosial-politik yang memiliki maksud dan tujuan sebagai berikut (vide bukti
P-1):
a. Penegakan Undang-Undang Dasar 1945 dan memperjuangkan pemurnian
Pancasila.
66
b. Membangun demokratisasi yang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
c. Memperjuangkan pelaksanaan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM)
yang berkeadilan tanpa penindasan.
d. Memperjuangkan hak politik rakyat yang berkeadilan menuju masyarakat adil
dan makmur.
e. Membangun independen politikal rakyat dan politikal rakyat independen.
f. Memperjuangkan perumusan konsep dan gagasan independen menuju rakyat
berdikari.
g. Memperjuangkan kedaulatan rakyat tanpa penindasan.
h. Mendorong kehidupan berbangsa dan bernegara secara konstitusional.
i. Mendorong pelaksanaan penegakan hukum.
j. Mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
semangat heroik patriotisme berbasis kerakyatan.
k. Membangun kerja sama politik didalam negeri maupun di luar negeri, nasional
dan internasional.
Pemohon mendalilkan memiliki hak konstitusional sebagaimana diatur dalam
Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan
Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, yang dirugikan akibat berlakunya ketentuan Pasal 1
angka 2, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), dan Pasal 14 ayat (2) UU 42/2008. Hak
konstitusional Pemohon berpotensi dirugikan oleh ketentuan a quo yang
membatasi ruang bagi kemunculan pemimpin sebagai wujud kedaulatan rakyat.
Pembatasan tersebut muncul karena partai politik ditetapkan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat, dan bukan oleh rakyat sebagai pemilik kedaulatan.
[3.9] Menimbang bahwa Pemohon mengajukan permohonan dalam
kapasitasnya sebagai badan hukum, yaitu sebagai Presiden Komite Pemerintahan
Rakyat Independen (vide bukti P-1), yang bergiat salah satunya dalam upaya
memperjuangkan hak politik rakyat. Dengan demikian, sebagaimana diakui dalam
Putusan Nomor 26/PUU-VII/2009, bertanggal 14 September 2009, yang diajukan
oleh Pemohon yang sama, Pemohon dalam Perkara Nomor 4/PUU-XI/2013 a quo,
setidaknya sebagai perorangan warga negara memiliki hak konstitusional untuk
mengajukan permohonan pengujian materiil terhadap ketentuan dimaksud;
67
[3.10] Menimbang bahwa Pemohon mengajukan pengujian materiil terhadap
Pasal 1 angka 2, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), dan Pasal 14 ayat (2) UU 42/2008
yang pada pokoknya terkait dengan susunan atau komposisi keanggotaan partai
politik sebagai pengusul pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dalam
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Jika dalil tersebut dihubungkan
dengan hak konstitusional Pemohon, maka menurut Mahkamah terdapat
hubungan sebab akibat (causal verband) antara ketentuan dalam UU 42/2008
yang dimohonkan pengujian dengan kerugian konstitusional yang potensial dialami
Pemohon. Oleh karenanya Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing)
untuk mengajukan permohonan a quo;
[3.11] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili
permohonan a quo, dan Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing)
untuk mengajukan permohonan a quo, maka selanjutnya Mahkamah akan
mempertimbangkan pokok permohonan;
Pokok Permohonan
Pendapat Mahkamah
[3.12] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 1 angka 2, Pasal 9,
Pasal 10 ayat (1), dan Pasal 14 ayat (2) UU 42/2008 bertentangan dengan Pasal 1
ayat (2), Pasal 6A ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I
ayat (2) UUD 1945. Pemohon mendalilkan bahwa pasal dan/atau ayat yang
dimohonkan pengujian tersebut telah mengakibatkan pembatasan, atau tidak
memberikan ruang untuk melahirkan pemimpin yang berasal dari rakyat, dimana
rakyat bertindak sebagai pemegang kedaulatan;
[3.13] Menimbang bahwa Pasal 1 angka 2, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), dan
Pasal 14 ayat (2) UU 42/2008 yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon pernah
diuji dan diputus oleh Mahkamah dalam putusan-putusan terdahulu, yaitu Putusan
Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, bertanggal 18 Februari 2009, Putusan Nomor
56/PUU-VI/2008, bertanggal 17 Februari 2009, dan Putusan Nomor 26/PUU-
VII/2009, bertanggal 14 September 2009. Hak-hak konstitusional yang didalilkan
Pemohon telah dirugikan dalam perkara-perkara terdahulu juga dilandaskan pada
68
ketentuan pasal dan/atau ayat UUD 1945 yang sama dengan yang dijadikan dasar
pengujian oleh Pemohon dalam permohonan a quo, kecuali hak konstitusional
yang menurut Pemohon diatur dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945;
Bahwa berdasarkan pertimbangan adanya perbedaan dasar pengujian dan/atau
alasan konstitusional yang didalilkan Pemohon perkara a quo, maka menurut
Mahkamah permohonan Pemohon tersebut tidak termasuk sebagai permohonan
yang ne bis in idem, dan karenanya Pasal 1 angka 2, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1),
dan Pasal 14 ayat (2) UU 42/2008 dapat diuji kembali dengan dasar pengujian
Pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, sejauh menyangkut dasar
pengujian Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I
ayat (2) adalah ne bis in idem, sedangkan sejauh menyangkut dasar pengujian
Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 akan dipertimbangkan pada paragraf berikut ini;
[3.14] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 1 angka 2, Pasal 9,
Pasal 10 ayat (1), dan Pasal 14 ayat (2) UU 42/2008 bertentangan dengan Pasal
27 ayat (2) UUD 1945, dan karenanya memohonkan perubahan Pasal 1 angka 2,
Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), dan Pasal 14 ayat (2) UU 42/2008 menjadi seperti
berikut:
Pasal 1 angka 2 : “Partai politik adalah partai politik yang telah diusulkan oleh
golongan rakyat, golongan buruh, golongan petani golongan
kaum miskin kota, golongan fungsional seluruh rakyat
Indonesia berdasarkan Kongres Nasional Rakyat yang
dihadiri oleh utusan-utusan golongan”.
Pasal 9 : “Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik atau utusan golongan rakyat, golongan buruh,
golongan petani, golongan kaum miskin kota, golongan
fungsional seluruh rakyat Indonesia dengan persyaratan
mengakomodir seluruh kepentingan rakyat berdasarkan pada
kesepakatan nasional berasaskan gotong royong dengan
kesepakatan utuh, bulat dan menyeluruh”.
69
Pasal 10 angka 1 : “Penentuan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden
dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan
mandat utusan golongan rakyat, golongan buruh, golongan
petani, golongan kaum miskin kota, golongan fungsional
seluruh rakyat Indonesia berdasarkan kesepakatan nasional”.
Pasal 14 angka 2 : “Masa pendaftaran Calon Presiden dan Wakil Presiden paling
lambat 90 hari terhitung sejak diadakan Kongres Nasional
Rakyat sejak penetapan tanda tangan dan kesepakatan
nasional rakyat yang dihadiri oleh perwakilan utusan
golongan seluruh Indonesia”.
[3.15] Menimbang bahwa Pasal dan/atau ayat yang dimohonkan pengujian
konstitusionalitasnya oleh Pemohon pada pokoknya mengatur mengenai sistem
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, terutama mengenai mekanisme
pencalonan atau pengajuan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik,
yang menurut Pemohon partai politik dimaksud tidak mewakili seluruh golongan
dalam masyarakat. Sementara Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 mengatur tentang hak
warga negara atas penghidupan, dalam konteks pekerjaan dan pencarian nafkah
yang layak bagi kemanusiaan.
Oleh karena itu, menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 tidak
mengatur hal yang sama dengan ketentuan pasal dan/atau ayat UU 42/2008 yang
dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya, sehingga Pasal 27 ayat (2) UUD
1945 tidak tepat atau tidak relevan untuk dijadikan sebagai dasar pengujian dalam
perkara a quo. Apalagi Pemohon tidak menguraikan lebih lanjut pertentangan
antara pasal dan/atau ayat dalam UU 42/2008 yang dimohonkan pengujian
konstitusionalitasnya oleh Pemohon dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945;
[3.16] Menimbang bahwa terhadap permohonan agar partai politik diartikan
sebagai partai politik yang diusulkan oleh golongan rakyat, golongan buruh,
golongan petani, golongan kaum miskin kota, golongan fungsional seluruh rakyat
Indonesia, berdasarkan Kongres Nasional Rakyat yang dihadiri oleh utusan-utusan
golongan, menurut Mahkamah hal yang demikian tidak masuk akal dan tidak
70
mungkin diatur secara teknis dalam sistem kepartaian. Keberadaan partai politik
sebagai wadah penyaluran aspirasi masyarakat sudah berlaku universal dan
sudah menyediakan tempat terhadap golongan-golongan yang dimaksud oleh
Pemohon. Oleh sebab itu seharusnya golongan-golongan tersebut dapat
menentukan pilihannya sendiri untuk bergabung ke dalam salah satu partai politik
yang keberadaannya telah sah menurut Undang-Undang. Akan halnya pada saat
ini golongan-golongan tersebut belum terwadahi kepentingannya dalam partai
politik yang ada, maka golongan-golongan tersebut dapat membentuk partai politik
sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum di
atas, Mahkamah berpendapat pasal dan/atau ayat dalam UU 42/2008 yang
dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh Pemohon tidak beralasan
menurut hukum.
4. KONKLUSI
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di
atas, Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;
[4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan
permohonan a quo;
[4.3] Permohonan Pemohon ne bis in idem untuk sebagian;
[4.4] Permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk sebagian.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik
71
Indonesia Nomor 5226), dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1. Permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 1 angka 2, Pasal 9, Pasal 10
ayat (1), dan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4924) terhadap Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), Pasal 28D
ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 tidak dapat diterima;
2. Permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 1 angka 2, Pasal 9, Pasal 10
ayat (1), dan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4924) terhadap Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditolak.
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh
sembilan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap
Anggota, Achmad Sodiki, Anwar Usman, Maria Farida Indrati, Harjono, M. Akil
Mochtar, Muhammad Alim, Hamdan Zoelva, dan Ahmad Fadlil Sumadi, masing-
masing sebagai Anggota, pada hari Rabu, tanggal dua puluh, bulan Maret,
tahun dua ribu tiga belas, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah
Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Selasa, tanggal dua puluh enam,
bulan Maret, tahun dua ribu tiga belas, selesai diucapkan pukul 14.47 WIB,
oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap
Anggota, Achmad Sodiki, Anwar Usman, Maria Farida Indrati, Harjono, M. Akil
72
Mochtar, Muhammad Alim, Hamdan Zoelva, dan Ahmad Fadlil Sumadi, masing-
masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Mardian Wibowo sebagai
Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon, Pemerintah atau yang mewakili,
dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.
KETUA,
ttd.
Moh. Mahfud MD.
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd. td
Achmad Sodiki
ttd.
Anwar Usman
ttd.
Maria Farida Indrati
ttd.
Harjono
ttd.
M. Akil Mochtar
ttd.
Muhammad Alim
ttd.
Hamdan Zoelva
ttd.
Ahmad Fadlil Sumadi
PANITERA PENGGANTI,
ttd.
Mardian Wibowo