4-Menimbang Welfare State-Sugeng Bahagijo_20120130070100

download 4-Menimbang Welfare State-Sugeng Bahagijo_20120130070100

of 8

Transcript of 4-Menimbang Welfare State-Sugeng Bahagijo_20120130070100

MENIMBANG WELFARE STATE: Mencari Utopia Untuk Indonesia 1Oleh Sugeng Bahagijo [Direktur Eksekutif Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID)]I. PENGANTAR

Di Indonesia, tantangan utama sesudah 10 tahun reformasi dan demokrasi kiranya dapat diringkas dalam dua hal besar: (a) bagaimana kebhinekaan masyarakat Indonesia sebagai fakta sosial dan fakta politik dirawat, dihargai dan dirayakan untuk menyatukan Indonesia; (b) bagaimana mengurangi kemiskinan dan mempersempit jurang ketimpangan (antara golongan pendapatan/sosial dan antar wilayah). Terhadap tantangan kedua, perdebatan tentang opsi-opsi atau cara-cara mengatasi atau menanggulangi kemiskinan dan kesenjangan sudah lama terjadi dan sudah sering dilakukan. Namun sayangnya, perdebatan belum beranjak pada tataran yang semestinya.2 Di satu sisi, perdebatan sering terjebak kepada debat abstrak dan umum yaitu antara kapitalisme dan sosialisme (tahun 1970an). Di lain pihak, perdebatan sering juga terjebak kepada heboh sloganistik antara ekonomi kerakyatan (apapun yang dimaksud) dengan ekonomi neoliberal (tahun 2000an). Yang hilang adalah perdebatan dan pergulatan pada 3 level: policy, institusi dan regulasi. Misalnya: (a) Jika sila kelima Pancasila adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, kebijakan dan institusi sosial ekonomi seperti apa yang layak dibangun dan dikembangkan, apakah koperasi memadai, apakah upah minimum memadai, apakah sistem subsidi pertanian memadai dan efektif? (b) Jika sila kedua Pancasila adalah persatuan, maka sistem jaminan sosial seperti apa yang wajib disusun dan dijalankan secara nasional untuk dapat menciptakan dan mengalirkan kesetaraan kesempatan dan rasa persaudaraan diantara tiap warga Indonesia dari daerah perbatasan di Kalimantan hingga kampuh kumuh di kota Jakarta? (c) Jika Bung Hatta menyatakan bahwa ekonomi pasar dibolehkan, tetapi keadilan sosial perlu diwujudkan juga, sistem perpajakan seperti apa yang wajib diperjuangkan oleh semua warga Indonesia? Seperti kita tahu, capaian pajak Indonesia masih tertinggal jauh ketimbang Malaysia, Singapura dan lainnya. Dalam konteks ini, sangat penting untuk mempelajari dan menimbang dengan sungguh-sungguh sistem welfare state. Secara sederhana, karena welfare state berupaya membumikan dalam kebijakan, aturan dan kelembagaan atas kosakata politik mulia sejak jaman pergerakan tahun 1930an: Gotong-royong.3

1 Makalah untuk Lokakarya Jaringan Demokrasi Antar Kampus yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) di Samarinda tanggal 19 Nopember 2011. 2 Perkecualian adalah pada lahirnya SJSN 2004 yang merupakan terobosan setidaknya dari segi cara pandang, yaitu jaminan sosial untuk Semua. Untuk observasi tentang trend kemiskinan dan kesenjangan mutakhir, lihat Prakarsa Policy Review 2011 tentang tanda-tanda meluasnya kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi di Indonesia dan cara-cara mengatasinya, termasuk perubahan ukuran atau garis batas miskin. Dapat diperoleh di www.theprakarsa.org. 3 Hingga hari ini, di Universitas atau PT, belum ada buku teks berbahasa Indonesia tentang Negara Kesejahteraan yang menjadi buku wajib. Sementara di negara-negara maju, baik di jurusan ekonomi pembangunan maupun di bidang politik dan sosiologi, Negara Kesejehtaran menjadi mata kuliah. Di UGM, mata kuliah negara kesejehtaraan mulai diajarkan kepada para mahasiswa Pascasarjana.

1

II. WELFARE STATE DAN KERAGAMANNNYA Welfare state untuk sebagian adalah Utopia, sebuah cita dan mimpi untuk terwujudnya kesetaraan (equality). Sebagian lain, welfare state adalah realita, yakni bagaimana mimpi dan cita-cita itu dilaksanakan dengan bertolak dari sistem pasar bebas yang menjadi titik tumpu dan konteks. Pemikir Jerman Klaus Offe telah menulis relasi antara welfare state dan kapitalisme sebagai saling membutuhkan, yakni bahwa welfare state tidak akan bertahan hidup tanpa kapitalisme. Sebaliknya, kapitalisme tidak akan bertahan lama tanpa sistem welfare state. Dari sebelah kiri, welfare state dikritik karena dipandang tidak cukup ambisius dengan membiarkan konsentrasi pemilikan sarana produksi pada sedikit orang. Dari sebelah kanan, ia dihujat karena terlalu campur tangan kepada kebebasan dan milik perorangan (pajak).4 Pada tingkat praktis, welfare state tidak lain adalah tabungan, sebagaimana dikatakan oleh ahli ekonomi Inggris Nicholas Barr dalam Welfare State as a Piggy Bank. Ia merupakan tabungan atau mekanisme melindungi diri dari berbagai resiko sosial (penyakit, PHK, kecelakaan kerja, pengagguran, bencana alam, dll) dan resiko hidup (masa kanak-kanak, usia tua). Welfare state merupakan model di mana kebijakan sosial diaplikasikan secara komprehensif, untuk semua warga lepas profesinya dan kelas sosialnya. Disebut komprehensif karena menyangkut berbagai program sosial seperti pendidikan, kesehatan, tunjangan anak/keluarga, jaminan pensiun, dan bahkan tunjangan penganguran (unemployment benefits). Untuk melaksanakannya, diperlukan pendanaan yang besar. Ciri utama welfare state adalah sumber pendanaannya ditarik dari pajak warga negara (perorangan dan badan). Secara rata-rata, perolehan pajak negara welfare state berkisar antara 30% PDB (Jepang dan AS) hingga 40%-50% PDB di Swedia dan Denmark. Norma atau cita-cita yang melandasi welfare state dapat diringkas ke dalam tiga pokok utama: (i) kesetaraan kesempatan (equality of opportunity); (ii) redistribusi barang publik; (iii) peran pemerintah dalam upaya membantu mereka yang lemah untuk tetap dapat melangsungkan perikehidupan yang layak. Dalam bahasa lain, welfare state tidak lain adalah sistem pasar bebas atau kapitalisme, akan tetapi dicampur dan dibarengi dengan peran negara. Itulah sebabnya, welfare state sering juga disebut sebagai sistem ekonomi campuran (mixed economy) atau dalam kosa kata politik Jerman di sebut sebagai ekonomi pasar sosial. Bagaimana sebenarnya welfare state bekerja? Logika atau alur pikir dari welfare state dapat dipahami dengan sederhana sebagai berikut: semua golongan dan tiap warga negara memberi kontribusi (pajak) sesuai kemampuan dan pendapatan mereka, dan sebaliknya, semua warga menerima pelayanan dan jaminan sosial yang setara. Dengan cara itu, kemiskinan dan ketimpangan ditekan seminimal mungkin. Tabel berikut memberikan ilustrasi bagaimana hal tersebut terjadi.

Kritik mutakhir kepada welfare state adalah karena sistem kesejahteraan yang paling modern dan yang pernah dicoba hingga kini di negara industri maju (Bismarkian dan Beveridge) ternyata kurang mampu melindungi kelompok masyarakat yang rentan/precarious (Guy Standing). Ahli ekonomi Prancis Robert Boyer mendukung diujicobanya skema ketiga yakni skema Van Parijsian yang bertumpu pada Jaminan Pendapatan (basic income), yakni hibah pendapatan kepada semua warga secara tunai (lihat presentasi Boyer di Kongres Basic Income di Sao Paulo Brasil 2010 di www.bien.org).

4

2

Tabel 1. Dampak Redistributif program universal Kelompok Pendapatan Ratarata Pendapatan Pajak (40%) Transfer Pendapatan sesudah Pajak dan Transfer 840 720 600 480 360 2.33/1

A (20%) 1000 B (20%) 800 C (20%) 600 D (20%) 400 E (20%) 200 Rasio 5/1 antara A dan E Sumber: Bo Rothstein, 1998, Just

400 320 240 160 80 (=1200)

240 240 240 240 240 (1200/5=240)

Institutions Matter, hal 147.

Lebih jauh, mengutip istilah Prof Van Parijs, welfare state merupakan perkawinan pertama antara efisiensi dan keadilan sosial (the first marriage of justice and efficiency). Mengapa disebut perkawinan? Sebab, banyak pihak seperti ekonom AS Arthur Okun yang percaya bahwa keduanya merupakan dua tujuan yang saling bertentangan atau tidak dapat dicapai sekaligus (trade offs). Jika kita hendak memajukan efisiensi (ekonomi), maka tujuan keadilan harus ditinggalkan. Sementara, bila kita hendak memajukan keadilan (sosial), maka efisiensi terpaksa dikorbankan. Welfare state terbukti dapat mengawinkan atau memadukan keduanya sebagaimana secara empiris terjadi dan dilakukan oleh banyak negara. Dengan demikian, welfare state tentu berbeda dan berlainan dengan pendekatan neoliberal. Sebab neoliberal percaya bahwa (a) hanya sedikit atau tidak ada yang bisa dilakukan untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan kecuali yang bersangkutan harus lebih bekerja keras dan lebih rajin lagi. (b) peran negara minimal, sebagaimana tercermin pada besaran pajak yang ditarik/dikumpulkan oleh negara dan jumlah program/intervensi kepada yang miskin. Di AS, para pemikir neolibnya menyebut dan membenarkan hal itu untuk kemandirian. Welfare state yang dijalankan dan dilembagakan oleh banyak negara ternyata tidak hanya satu model. Secara umum ada tiga model: Liberal/Anglosaxon, Kontinental, dan Skandinavia/Sosialdemokrasi. Inggris dan AS serta Australia, Kanada dan Selandia Baru adalah tipe liberal. Sementara Jerman, Belanda dan Prancis adalah tipe kontinental, dan negara-negara seperti Swedia, Denmark, Norwegia merupakan tipe Sosdem. Perbedaan diantara ketiganya dapat dilihat dari dua kriteria/patokan5: (a) sejauh mana cakupan penerima manfaatnya, yakni apakah semua warga negara tercakup atau tidak dalam sistem kesejahteraan. Dengan kata lain, apakah skema selektif/targeting ataukah skema Universal; (b) seberapa jauh besaran manfaat yang diterima, baik dalam bentuk barang/pelayanan ataukah dalam bentuk tunai. Secara umum dapat dikatakan bahwa model sosdem dan kontinental telah mengalokasikan belanja sosial yang lebih besar ketimbang model liberal.

5 Untuk sebagian, hal ini dapat lacak lebih jauh pada UU Kemiskinan di Inggris (Poor Law) bahwa bantuan negara hanya untuk yang memerlukan saja (the needy), pada model Bismark di Jerman (jaminan sosial lebih mendahulukan pegawai negeri dan pekrja industri) dan pada model Beveridge di Inggris (jaminan sosial untuk semua warga negara).

3

Tabel 2 : Belanja Sosial negara-negara OECD [% PDB; Society at Glance: OECDSocial Indicators, 2011]

Bagaimana dengan kinerja dan capaian masing-masing model tersebut? Dalam studinya The Real Worlds of Welfare Capitalism (2000) yang diakui luas, Prof Robert Goodin dkk, telah menilai kinerja negara-negara tersebut. Diukur dari segi efisiensi ekonomi maupun keadilan sosial, kinerja negara-negara model liberal terutama AS, jauh lebih rendah/buruk ketimbang negara-negara kontinental dan sosial demokrat. Sementara itu menurut kajian Bertellsman Stiftung yang tiap tahun memantau kinerja kebijakan negara-negara tersebut, dalam hal kemiskinan dan kesenjangan sosial, sampai tahun 2010, negara-negara model sosdem dan kontinental masih mencatat prestasi yang lebih baik. Indek Keadilan Sosial yang baru baru ini dilansir (Oktober 2011) oleh lembaga itu menyebutkan antara lain memeringkat 6 aspek (a) pencegahan kemiskinan, (b) akses pendidikan, (c) inklusi pada pasar kerja; (d) kohesi sosial dan nondiskriminasi; (e) pelayanan kesehatan dan (f) keadilan antargenerasi Hasilnya adalah bahwa negara-negara Nordik (Islandia, Norwegia, Swedia, Denmark, dan Finlandia) menduduki peringkat 5 besar disusul oleh Belanda. [http://www.sginetwork.org/pdf/SGI11_Social_Justice_OECD.pdf] Laporan Trend Sosial yang dilansir oleh OECD tahun ini (Society at Glance: OECD Social Indicators, 2011) juga mencatat bahwa tingkat kesenjangan di AS misalnya jauh lebih tinggi ketimbang Denmark atau Swedia atau Belanda, atau Jerman. Tabel berikut diambil dari laporan OECD.

4

Tabel 3: Tingkat Kesenjangan negara-negara OECD/ dalam Gini Rasio [Society at Glance: OECDSocial Indicators, 2011]

III. BAGAIMANA DENGAN INDONESIA Kebijakan sosial yang optimum dapat membantu ekonomi sebuah negara menjadi produktif dan kompetitif. Artinya, kebijakan sosial yang luas secara makro dapat menciptakan tenaga kerja dan warga negara yang sehat, kreatif, berumur panjang dan ekonominya akan mampu bersaing dengan negara-negara lain. Studi sejarah ekonomi oleh Peter Lindert dalam Growing Public: Social Spending in 18th Century (2004) menunjukkan bagaimana investasi pendidikan dan kesehatan telah memicu kenaikan kekuatan ekonomi negara-negara Eropa dan AS. Sebaliknya, ketiadaan kebijakan sosial dapat menjadi kendala sistemik dan struktural baik dalam jangka pendek maupun panjang. Kebijakan sosial tidak hanya berfungsi protektif, tetapi juga transformatif, tidak sekedar melindungi ketika terjadi resiko sosial (penyakit, PHK, kematian, dll), tetapi juga memiliki daya memperluas kesempatan hidup (life chances) dan mobilitas sosial (dari jobless menjadi jobholder, dari rentan menjadi tidak rentan, dari miskin menjadi tidak miskin). Kebijakan sosial juga berdampak pada tinggi rendahnya legitimasi dan dukungan kepada sistem politik demokratis/sistem multipartai yang ada. Semakin warganegara memperoleh pelayanan kebjaiakan sosial yang baik, maka Demokrasi akan semakin bermakna, dirasakan secara nyata sebagai penting dan berguna, dan pada akhirnya akan disokong oleh sebagian besar warga negaranya. Dari sudut pandang dan pendekatan welfare state, maka apa terjadi di Indonesia dan yang menjadi penyebab kemiskinan dan ketimpangan sosial ekonomi sangat sederhana: Pertama, Investasi publik dan subsidi untuk pendidikan dan kesehatan (SD-SMA Inpres, Puskemas Inpres) secara besar besaran pada awal 1970an yang dilakukan oleh Menteri Widjojo Nitisastro dkk terbukti berhasil memperluas akses dan mutu pendidikan dan kesehatan. Namun, pada perkembangnnya, liberalisasi dan swastanisasi sektor perbankan dan keuangan sejak tahun 1980an dan yang merambah sektor sektor lainnya seperti pendidikan, kesehatan, hingga hari ini (2010an), tidak diimbangi dengan kebijakan sosial dan jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, barang publik seperti pendidikan, kesehatan dan air minum diperoleh warga berdasarkan prinsip you get

5

what you pay sesuai daya beli masing masing warga, padahal kemampuan dan daya beli warga sebagian besar adalah terbatas. Semestinya, terutama untuk barang publik, prinsip yang berjalan adalah subsidi oleh negara dengan dana pajak (APBN). Kedua, kebijakan sosial senantiasa dinomer-duakan sesudah kebijakan pertumbuhan ekonom. Para ahli menyebut Indonesia sebagai rezim produktivis yang selalu menganakemaskan pertumbuhuan ekonomi dengan menundukkan tujuan-tujuan lainnya (Ian Gough). Hal ini dapat dilihat pada banyak indikasi dan tanda-tanda. Antara lain dapat kita lihat pada (a) minimnya besaran alokasi APBN dan APBD pada program sosial seperti alokasi pada bidang kesehatan, sanitasi dan air minum; (b) minimnya perhatian pada insititusi dan lembaga yang mengelola dan memberi pelayanan sosial kepada warga (kesehatan, tenaga kerja dan pelayanan sosial). (c) politik anggaran pada danadana sosial/penanggulangan kemiskinan yang lebih banyak jatuh ke tangan pejabat/aparat biokrasi ketimbang diterima oleh warga negara. Ketiga, sistem dan kebijakan pajak yang konservatif. Pajak sesungguhnya bukan soal fiskal saja, tetapi juga sosial-politik: wujud nyata bagaimana masyarakat menanggung beban dan resiko bersama, dan bagaimana gotong royong dan solidaritas antarwarga dilembagakan (bukan sekadar dipidatokan). Namun demikian, perolehan pajak Indonesia Indonesia tidak pernah melebihi angka 13% PDB. Sementara negara-negara sebaya seperti Malaysia dan lainnya sudah pada tingkat 16-25% PDB. Padahal, jumlah orang superkaya (High Net Worth Inviduals) Indonesia, tercatat meningkat seratus persen dari 100 orang menjadi 200 orang lebih. Jumlah kekayaan mereka (tabungan, saham, surat berharga, dll) mencapai angka ribuan triliun. Artinya, dari sudut kebijakan pajak, mereka diduga kuat tidak membayar pajak yang semestinya atau mereka sudah membayar tetapi hilang ditangan oknum seperti Gayus. Atau yang terjadi adalah keduaduanya (memang hanya membayar minimal dan yang secuil itupun hilang di jalan). Keempat, sebagian besar elite-elite politik Indonesia6 di pusat dan di daerah tidak memiliki atau tidak mengusung agenda kebijakan sosial dalam upaya mereka merebut jabatan publik. Dalam dua kali pemilu 2004 dan 2009, kita tidak melihat perdebatan tajam soal kebijakan pajak, jaminan sosial, subsidi pertanian, perbaikan infrastruktur, dan pendanaanannya. Jika ada, mereka berhenti pada slogan umum dan tidak memerinci cara dan pendanaannya. Ini termasuk soal isu pajak. Jika mereka terpilih, apakah pajak akan dinaikkan? Apa rencana mereka untuk memperbaiki perolehan pajak? Jika pajak sudah terkumpul, apa dan bagaimana rencana alokasi untuk mengatasi kemiskinan dan kesenjangan. Selain soal KPK, apa rencana rinci mereka terhadap korupsi dan reformasi birokrasi untuk memastikan belanja sosial sampai ke tangan warga negara? Problem kemiskinan dan ketimpangan Indonesia yang tinggi seperti tercermin pada angka kematian ibu dan balita yang tinggi (3 kalinya Malaysia dan 1,5 kalinya Filipina) dan buruknya infrastruktur di berbagai wilayah di luar Jawa, lebih disebabkan kurangnya distribusi dan pemerataan anggaran. Satu indikator sederhana adalah lemahnya belanja sosial di Indonesia, bahkan dibandingkan dengan negara-negara yang lebih miskin seperti Laos dan Kamboja. Tabel berikut ini dengan jelas memperlihatkan bahwa Indonesia (1,9% PDB) di bawah angka 4,8% PDB (rata-rata 15 negara Asia) dan 20,5% PDB ( negara-negara anggota OECD).

Sering dikatakan oleh beberapa pejabat publik, bahwa Indonesia tidak memiliki sumberdaya keuangan yang memadai untuk membuat kebijakan sosial yang komprehensif untuk semua warga. Namun fakta yang ada adalah sebaliknya. Indonesia adalah negara kelas menengah. Kue ekonomi Indonesia atau PDB Indonesia jauh lebih besar ketimbang negara tetangga sebaya seperti Malaysia, Singapura dan Thailand. Indonesia masuk dalam 20 negara di dunia dengan kue ekonomi terbesar.

6

6

Tabel 3: Belanja Sosial Indonesia Dibandingkan (% PDB 2004/2005: OECD social Indicators)

Pendekatan kebijakan sosial Indonesia sudah membaik dalam 5 tahun terakhir, namun program-program yang dijalankan masih bersifat residual dan too litle too few.7 Hingga hari ini, alokasi APBN untuk kesehatan masih dibawah angka 5% dari total anggaran. Alokasi APBN untuk penanggulangan kemiskinan jauh lebih kecil ketimbang alokasi untuk belanja pegawai. Disamping itu, karena kebijakan sosial yang ada lebih mengandalkan diri pada pendekatan selektif (untuk golongan penduduk miskin), ketimbang universal (untuk semua). Sehingga akibatnya, kebijakan dan program tersebut kurang berdaya dan kurang ampuh dalam upaya menurunkan tingkat kemiskinan dan ketimpangan. Perkembangan paling terkini dan menjanjikan adalah disahkannya RUU Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) menjadi UU. Setelah SJSN disahkan tahun 2004, dan terkatung katung dalam ketidakjelasan selama 7 tahun, pada akhinrya UU BPJS yang akan mengatur kelembagaan dan implementasinya kini sudah terbentuk. Artinya, kini secara hukum, PT Askes akan memulai jaminan kesehatan untuk semua rakyat Indonesia dalam tahun 2011/2012 ini. Sementara untuk jaminan pensiun, kecelakaan kerja, hari tua dan kematian, akan dilaksnaakan tahun 2014/2015 mendatang oleh PT Jamsostek. Pengalaman welfare state sesungguhnya dapat dirumuskan sederhana: siapa menanam kebaikan, akan menuai kebaikan. Kebaikan 8 itu dapat dilihat bukan saja pada kualitasDibandingkan dengan masa lalu Indonesia, program seperti Jamkesmas, PKH dan juga PNPM adalah sebuah kemajuan. Namun demikian, program-program seperti Jamkesmas (jaminan kesehatan untuk miskin) dan PKH (Tunjangan Tunai Bersyarat) serta BLT (tunjangan tunai tidak bersyarat) menggunakan pendekatan selektif/targeting. Sementara program subsidi BBM menggunakan pendekatan universal. Seharusnya, Jamkesmas dan PKH dilakukan secara Universal dan tidak bersyarat, sementara subsidi BBM dilakukan secara selektif dan targeting kepada sektor transportasi dan nelayan. 8 Kebaikan itu masih banyak kita temui pada banyak kasus di Indonesia seperti (a) kisah Bidan Terapung yang melayani perawatan kesehatan di pulau-pulau kecil di sekitar Pangkep.(b) Organisasi kaum perempuan yang melindungi korban-korban kekerasan dan perdagangan7

7

hidup dan kesejahteraan, tetapi juga pada kohesi sosial/kerukunan diantara warganya. Jika elite melayani dan memenuhi kebutuhan warga dengan program dan kebijakan yang universal dan melindungi mereka (seperti jaminan kesehatan yang universal coverage), maka warga negara akan membalasnya dengan memilih mereka pada jabatan publik. Pengalaman welfare state tidak statis karena selalu diperbaharui dan dirubah, hal ini tidak lain karena proses demokrasi. Dengan kata lain, welfare state tidak lain adalah gambaran bagaimana kualitas demokrasi pada level yang lebih tinggi dijalankan di mana politik berpijak pada adu kebijakan, bukan bertumpu pada money politics dan serangan fajar pada hari H pemilu/Pilkada. Demokrasi yang berkualitas bukan hanya berjalannya prosedur, tetapi juga bagaimana subtansi dan outputnya. Welfare state adalah upaya memberi isi kepada prosedur demokrasinya. Caranya adalah elite politik dan politisi memimpikan, memikirkan, merancang dan menawarkan rencana dan program yang spesifik dan memecahkan masalah masyarakat dan sebuah masa depan Indonesia lebih baik dan lebih adil.

DAFTAR PUSTAKA Growing Public (2004) Peter Lindert, Cambridge University Press Just Institutions Matter: The Moral and Political Logic of the Universal Welfare State (1998) Bo Rotstein, Cambridge University Press Economic of The Welfare State (1987/2004) Nicholas Barr, Oxford University Press The Real Worlds of Welfare Capitalism (2000) - R Goodin, dkk, Cambridge University Press Mimpi Negara Kesejahteraan (2006) Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, LP3ES

manusia. (c) Pondok-pondok Pesantren yang mengasuh dan mendidik anak-anak dari keluarga miskin sehingga mereka dapat bersekolah. Semestinya negara hadir membantu mereka dan dana APBN juga dihibahkan kepada mereka sebagai bukti bahwa dana APBN juga hak mereka dan masyarakat.

8