4 LANDASAN TEORI 2.1 Definisi Kesehatan dan Keselamatan...
Transcript of 4 LANDASAN TEORI 2.1 Definisi Kesehatan dan Keselamatan...
4
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Definisi Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Definisi K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) dalam Djatmiko
(2016) umumnya terbagi menjadi 3 (tiga) versi di antaranya ialah pengertian
K3 menurut Filosofi, Keilmua, serta menurut standar OHSAS 18001: 2007.
Definisi menurut Filosofi
a. Menurut Mangkunegara, keselamatan dan kesehatan kerja adalah
suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan
kesempurnaan baik jasmani maupun rohaniah tenaga kerja pada
khususnya, dan manusia pada umumnya, hasil karya dan budaya untuk
menuju masyarakat adil dan makmur.
b. Menurut Suma’mur (1981), keselamatan kerja merupakan rangkaian
usaha menciptakan suasana kerja aman dan tentram bagi para
karyawan yang bersangkutan.
c. Menurut Simanjuntak (1994), keselamatan kerja adalah kondisi
keselamatan yang bebas dari risiko kecelakaan dan kerusakan dimana
kita bekerja yang mencakup tentang kondisi bangunan, kondisi mesin,
peralatan keselamatan dan kondisi pekerja.
d. Mathis dan Jacson, menyatakan bahwa keselamatan adalah merujuk
pada perlindungan terhadap kesejahteraan fisik seseorang terhadap
cidera yang terkait dengan pekerjaan, kesehatan adalah merujuk pada
kondisi umum fisik, mental dan stabilitas emosi secara umum.
Definisi menurut Keilmuan:
Suatu cabang ilmu pengetahuan dan penerapan yang mempelajari
tentang cara mencegah terjadinya kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja
(PAK), kebakaran, peledakan dan pencemaran lingkungan.
5
Definisi menurut standar OHSAS 18001:2007
Semua kondisi dan faktor yang dapat berdampat pada keselamatan dan
kesehatan kerja tenaga kerja maupun orang lain (kontraktor, pamasok,
pengunjung dan tamu) ditempat kerja.
2.2 Teori Kecelakaan Kerja
Menurut Wianjani (2010) terdapat sejumlah teori tantang kecelakaan.
Teori tersebut memberikan pengertian terhadap tindakan preventif dan
menggambarkan semua factor yang berkaitan terhadap terjadinya kecelakaan
atau memperkirakan dengan alasan-alasan yang akurat kemungkinan sebuah
kecelakaan akan terjadi. Sebelum memahami bagaimana kecelakaan itu dapat
terlebih dahulu kita harus memahami urutan bagaimana kecelakaan terjadi
dan penyebabnya.
1. Teori Domino Heinrich
Dalam teori ini kecelakaan terdiri dari lima faktor yang saling
berhubungan: kondisi kerja, kelalaian manusia, tindakan tidak aman,
kecelakaan dan cidera. Heinrich (1931) berpendapat bahwa kecelakaan
pada pekerja terjadi sebagai rangkaian yang saling berkaitan.
2. Teori Kecelakaan Pettersen
Model ini menyatakan bahwa di belakang kesalahan manusia
ada 3 kategori besar: beban yang berlebih, rangkap dan keputusan
yang keliru. Beban yang berlebih kurang lebih seperti Ferrel model.
Perbedaan yang utama adalah kategori ketiga yaitu keputusan yang
keliru. Kategori ini mengajukan bahwa para pekerja sering melakukan
kesalahan melalui keputusan-keputusan secara sadar atau tidak sadar.
2.3 Tujuan dan Manfaat Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Pemeliharaan keselamatan dan kesehatan karyawan merupakan hal
yang sangat penting untuk diperhatikan. Perusahaan memperhatikan hal ini
untuk mengurangi atau menghilangkan risiko kecelakaan kerja yang dialami
6
para karyawan untuk mencapai keamanan dan kenyamanan kerja dalam
mencapai tujuan perusahaan secara efisien dan efektif. Berdasarkan Peraturan
Menteri Tenaga Kerja Nomor Per.05/Men/1996 pasal 2 sebagai tujuan dan
sasaran dari sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja adalah
menciptakan suatu sistem keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja
dengan melibatkan unsur manajemen, tenaga kerja, dan lingkungan kerja yang
terintegrasi dalam dalam rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan dan
penyakit akibat kerja serta terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan
produktif.
Diciptakannya undang-undang dan peraturan-peraturan tentang sistem
manajemen keselamatan dan kesehatan kerja akan memiliki manfaat yang
besar bagi masyarakat umum, khususnya bagi para pekerja itu sendiri. Di sisi
lain penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja memiliki
berbagai manfaat bagi industri. Perusahaan tidak dirugikan dalam kegiatan
produksi atas hilangnya sebagian waktu, kerugian material, dan biaya
pengobatan akibat kecelakaan kerja. Secara moral, karyawan merasa aman
dan nyaman bekerja sehingga produktivitas kerja akan meningkat. Selain itu,
manfaat lain yang sama dengan itu adalah kesan masyarakat terhadap
perusahaan semakin lebih baik, terciptanya hubungan yang harmonis antara
karyawan dengan perusahaan, dan komitmen karyawan terhadap perusahaan
semakin tinggi.
Beberapa pendapat para ahli tentang tujuan dari keselamatan dan
kesehatan kerja menurut Gary (1993) dalam Harahap (2012) untuk sedapat
mungkin memberikan jaminan kondisi kerja yang aman dan sehat kepada
setiap pekerja dan untuk melindungi sumber daya manusia. Menurut
Suma’mur (1981), dalam Hindarto (2012) tujuan dari keselamatan dan
kesehatan kerja adalah:
7
Melindungi tenaga kerja atas hak dan keselamatannya dalam
melakukan pekerjaannya untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan
kinerja.
a. Menjamin keselamatan orang lain yang berada di tempat kerja.
b. Sumber produksi dipelihara dan dipergunakan secara aman dan
efisien.”
Menurut Suma’mur menyebutkan bahwa dalam aneka pendekatan
keselamatan dan kesehatan kerja antara lain akan diuraikan pentingnya
perencanaan yang tepat, pakaian kerja yang tepat, penggunaan alat alat
perlindungan diri, pengaturan warna, tanda-tanda petunjuk, label-label,
pengaturan pertukaran udara dan suhu serta usaha-usaha terhadap
kebisingan.” Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja R.I. No. Kep.
463/MEN/1993 tujuan dari keselamatan dan kesehatan kerja adalah
mewujudkan masyarakat dan lingkungan kerja yang aman, sehat dan
sejahtera, sehingga akan tercapai suasana lingkungan kerja yang aman, sehat,
dan nyaman dengan keadaan tenaga kerja yang sehat fisik, mental, sosial, dan
bebas kecelakaan.
2.4 Definisi Human Error
Definisi menurut Yafis (2007) kelalaian manusia (Human Error)
merupakan salah satu penyebab penting dalam banyak kecelakaan. Beberapa
penelitian dilakukan mengenai kelalaian manusia (Human Error) oleh
beberapa pakar menghasilkan kesimpulan mengenai definisi Human Error,
diantaranya adalah:
a. Reason (1990): “a generic tern of encompass all those occasions
in which a planned sequence of mental or physical activities fails
to achieve outcome, and when these failures cannot be attributed
to the intervention of some chance agency”
8
b. Senders and Moray (1991): “something (that) has been done
which was not intended by the actor. Not desired by a set of rules
or an external observer, or that led the task or system outside its
acceptable limits”
c. Woods, Johannesen and Sarter (1994): “a specific varety of
human performance that is so clearly and significantly
substandard and flawed viewed in retrospect that there is no doubt
that it should have been viewed by the practitioner as substandard
at the time the act was commitied or omitted”.
Untuk menghindari kebingan karena adanya perbedaan defines, maka
diambil suatu kesimpulan berdasarkan ketiga defineisi human error di atas,
yaitu: suatu aksi atau keputusan manusia yang mengakibatkan satu atau lebih
hasil negative yang tidak dikehendaki.
2.5 Pendekatan Human Error
Menurut Reason (1990), jumlah keterlibatan human error yang tinggi
merupakan hal yang mengejutkan karena hampir semua sistem teknologi tidak
hanya dijalankan oleh manusia, tetapi juga didesain, dikonstruksi,
diorganisasi, dimanage, dipelihara, dan diatur oleh manusia. Rangkaian
kecelakaan dimulai dengan dampak keputusan dalam organisasi (keputusan
yang berhubungan dengan perencanaan, penjadwalan, ramalan, desain,
spesifikasi, komunikasi, prosedur, pemeliharaan, dan sebagainya). Keputusan
ini merupakan produk yang dipengaruhi oleh batasan keuangan dan politik di
mana perusahaan berjalan, dan ditentukan oleh faktor-faktor yang dapat
dikontrol oleh manajer (Reason, 1995).
Reason (1995) menggambarkan system approach to organizational
error. Tidak diragukan lagi bahwa kegagalan manusia tidak terbatas pada
‘sharp end’, yaitu pada pengemudi, pilot, petugas kapal, operator ruang
9
kontrol dan lain-lain dalam kontrol langsung dari suatu sistem. Telah
ditemukan indikasi bahwa faktor manusia terdistribusi secara luas, meliputi
semua yang ada dalam sistem sebagai keseluruhan dan biasanya baru
bertahun-tahun kemudian menyebabkan peristiwa yang sebenarnya. Model ini
menampilkan orang pada sharp end sebagai penanggung akibat dan bukan
sebagai penyebab dari rangkaian cacat konstruksi. Sharp end tidak lagi
dipersalahkan, melainkan telah dialihkan ke sistem manajerial dalam
organisasi.
2.6 Sebab-sebab Human Error
Menurut Atkinson (1998) sebab-sebab human error dapat dibagi
menjadi:
1. Sebab-sebab Primer
Sebab-sebab primer merupakan sebab-sebab human error pada level
individu. Untuk menghindari kesalahan pada level ini, ahli teknologi
cenderung menganjurkan pengukuran yang berhubungan ke individu,
misalnya meningkatkan pelatihan, pendidikan, dan pemilihan personil
(Sriskandan,1986) dalam Atkinson (1998). Bagaimanapun, saran tersebut
tidak dapat mengatasi kesalahan yang disebabkan oleh penipuan dan
kelalaian.
2. Sebab-sebab Manajerial
Penekanan peran dari pelaku individual dalam kesalahan merupakan
suatu hal yang tidak tepat. Kesalahan merupakan sesuatu yang tidak dapat
dihindarkan, pelatihan dan pendidikan mempunyai efek yang terbatas dan
penipuan atau kelalaian akan selalu terjadi, tidak ada satupun penekanan
penggunaan teknologi yang benar akan mencegah terjadinya kesalahan. Fakta
ini telah diakui telah diakui secara luas pada literatur kesalahan dalam industri
yang beresiko tinggi. Karena itu merupakan peranan manajemen untuk
10
memastikan bahwa pekerja melakukan pekerjaan dengan semestinya, untuk
memastikan bahwa sumber daya tersedia pada saat dibutuhkan dan untuk
mengalokasikan tanggungjawab secara akurat diantara pekerja yang terlibat.
3. Sebab-sebab Global
Kesalahan yang berada di luar kontrol manajemen, meliputi tekanan
keuangan, tekanan waktu, tekanan sosial dan budaya organisasi.
2.7 Teknik Analisis Human Error
Menurut Rasmussen (1987) menunjukkan bahwa kesalahan manusia
merupakan ketidaksesuaian antara tuntutan sistem operasional dan apa yang
dilakukan operator manusia. Berikut adalah teknik analisis human error:
1. THERP merupakan kuantitatif. Klasifikasi eror dalam metode ini
terbagi menjadi error of omminision (tindakan atau prosedur yang
tidak dilakukan) dan extraneous error (melakukan tindakan yang tidak
diperlukan). Penentuan eror dilakukan oleh ahli dengan membuat task
analysis untuk memberikan gambaran urutan pekerjaan yang harus
dilakukan seorang operator.
2. SHERPA merupakan teknik yang tidak hanya menganalisis pekerjaan
secara terstruktur tetapi juga memberikan solusi terhadap eror yang
mungkin terjadi.
3. TRACER dikembangkan pertama kali untuk pekerjaan air traffic
control dan dalam dua versi yaitu menggunakan pendekatan
retrospektif (analisis terhadap kejadian) dan prospektif (memprediksi
kejadian). Teknik ini focus pada bagian eror tersebur diproduksi dan
bagaimana merancang perbaikan agar kesalahan sama tidak terulang.
4. HEART didesain sebagai alat analisis yang cepat dan mudah
digunakan serta terstruktur. Digunakan untuk melihat faktor-faktor
11
dominan apa saja yang menyebabkan terjadinya human error dan
mengesampingkan penyebabnya.
5. HFACS merupakan metode analisis human error yang dikembangkan
berdasarkan model swiss cheese. Suatu eror dapat terjadi akibat
adanya lubang pada level organisasi dan keempat lubang ini
membentuk suatu garis lurus hingga pada akhirnya terjadi kecelakaan
2.8 Metode HFACS (Human Factors Analysis and Classification
System)
Secara umum, HFACS (Human Factors Analysis and
Classification System) mengklasifikasikan tindakan tidak aman
(unsafe acts) menjadi kesalahan (errors) dan pelanggaran (violations).
Kesalahan adalah representasi dari suatu aktivitas mental dan fisik
seseorang yang gagal mencapai sesuatu yang diinginkan. Pelanggaran
disisi lain mengacu pada niat untuk mengabaikan petunjuk atau aturan
yang telah diciptakan untuk melakukan suatu tugas tertentu
(Wiegman, 2007).
Human Factors Analysis and Classification System (HFACS)
dikembangkan oleh Dr Scott Shappell dan Dr Doug Wiegmann. Ini
adalah metode yang digunakan untuk mengukur tingkat kesalahan
manusia secara mendalam yang pada awalnya digunakan oleh
Angkatan Udara AS untuk menyelidiki dan menganalisa faktor-faktor
aspek kesalahan manusia di bidang penerbangan. HFACS ini sangat
didasarkan pada teori James Reason's swiss cheese model (Reason
1990).
Swiss cheese theory adalah metode penyebab kecelakaan yang
dikembangkan oleh psikologi Inggris James T. Reason pada tahun 1990
12
dan dipakai di bidang kedokteran, keamanan penerbangan, dan pelayanan
emergency. Disebut Swiss Cheese karena model ini menggambarkan
sebuah sistem dengan gambar keju Swiss yang berlubang – lubang dan di
taruh berjejer setelah dipotong potong. Setiap lubang dari keju
menggambarkan kelemahan manusia atau sistem dan terus – menerus
berubah bervariasi besar dan posisinya. Berbagai kelemahan yang
terkumpul akhirnya suatu saat bila membuat beberapa lubang yang berada
di garis lurus sehingga transparan yang menggambarkan sebuah
kecelakaan. Kerangka HFACS menjelaskan kesalahan manusia pada
empat tingkat kegagalan yaitu:
1. Unsafe acts of operators merupakan kesalahan yang diakibatkan oleh
operator akibat lalai dalam melakukan sebuah tindakan. Unsafe acts
dibagi menjadi 3 error dan 2 violations:
Klasifikasi tingkatan error sebagai berikut:
A. Kesalahan dalam membuat keputusan (Decision Error)
a. Decision Error lahir dari sebuah perilaku yang niat dan
pelaksanaannya sudah sesuai namun terbukti tidak tepat
dengan kondisi yang ada. Error jenis ini terjadi karena
pelaku tidak memiliki pengetahuan yang cukup atau hanya
memang salah memilih. Error yang termasuk kategori
decision error adalah procedural error, poo choices,
problem solving error.
b. Procedural error atau rule based mistakes biasa terjadi
dalam sebuah tugas/pekerjaan yang memiliki tahapan
struktur yang rumit seperti “jika kejadian X muncul maka
lakukanlah Y”. Sebagai contoh, seorang pilot memiliki
prosedur yang lengkap untuk menghadapi semua fase
13
ketika terbang, namun kesalahan tetap bisa terjadi terutama
ketika pilot salah mendiagnosa permasalahan yang ada.
c. Poor choices atau knowledge based mistakes terjadi ketika
situasi yang dihadapi membutuhkan sebuah keputusan
yang dibuat dari banyaknya pilihan yang ada. Sebagai
contoh, seorang pilot yang melakukan penerbangan pulang
ke rumahnya setelah seminggu lebih mengudara
dihadapkan dengan badai disertai petir di depan matanya.
Dia dapat memilih untuk terbang ke area lain sambil
menunggu badai selesai untuk memastikan pesawat
selamat atau justru memilih masuk ke dalam badai dan
segera bertemu dengan keluarganya. Kesalahan ini terjadi
karena lemahnya pengalaman atau ada faktor lain di luar
yang mempengaruhi keputusan. Proble solving
error terjadi ketika masalah yang terjadi tidak dimengerti
dengan baik, prosedur formal tidak tersedia, begitupun
dengan pilihan respons yang tidak ada. Biasanya kesalahan
ini terjadi ketika seorang pilot masuk ke dalam sebuah
keadaan di mana tak seorang pun pernah berada dalam
keadaan tersebut.
B. Kesalahan bebasis kemampuan (skill based error)
Kesalahan yang termasuk skill based error adalah attention
failure, memory error, technique error
a. Attention failure adalah sebuah kegagalan manusia yang
sering terjadi pada pekerja dengan tingkat automasisasi
yang tinggi. Contohnya adalah seorang pilot terlalu fokus
untuk memperbaiki lampu peringatan dan tidak menyadari
pesawatnya semakin turun hingga ke ketinggian yang
berbahaya. Contoh lain adalah seorang pengendara mobil
14
yang tidak bisa keluar dari area parkir karena terlalu
terburu-buru menyelesaikan hal lain atau karena melamun.
b. Memory error dipandang sebagai sebuah kegagalan untuk
mengingat item ceklist, tempat atau agenda pekerja
selanjutnya. Sebagai contoh adalah ketika kita membuka
pintu kulkas namun kita lupa untuk mengambil
apa. Memory error ini sangat berbahaya apabila terjadi
pada saat darurat di mana kita mendapatkan tekanan.
c. Technique error adalah salah satu kesalahan yang banyak
muncul dalam proses investigasi kecelakaan. Technique
error ini tidak bergantung dari pendidikan, pelatihan dan
pengalaman kerja. Sebagai contoh, terdapat 2 pilot dengan
training, pengalaman dan jam terbang yang identik dapat
saja berbeda dalam menerbangkan pesawat, seorang pilot
dapat menerbangkan pesawat dengan gagah dan halus
seperti Elang sementara yang lainnya menerbangkan
pesawat dengan sedikit cerewet seperti burung gagak.
C. Kesalahan dalam persepsi (perceptual errors)
Kesalahan persepsi dapat muncul ketika persepsi seseorang
berbeda dengan kenyataan sebenarnya. Persepsi ini diakibatkan
oleh alat indra yang mengalami degradasi fungsi atau berlaku tidak
normal. Kejadian seperti ini akan membuat ilusi visual (visual
illusion) dan disorientasi spasial (spatial disorientation) pada pilot
sehingga menyebabkan pilot salah mempersepsikan ketinggian,
arah, dan kecepataan pesawat. Ilusi visual terjadi ketika otak
mencoba untuk mengisi celah dalam kondisi lingkungan yang
tidak bersahabat secara visual seperti terbang ketika malam atau
cuaca buruk. Sedangkan disorientasi spasial terjadi ketika sistem
15
keseimbangan tubuh tidak mampu melihat orientasi tempat
sehingga pilot akan memilih untuk menebak. Disorientasi spasial
biasanya terjadi ketika garis horizon tidak terlihat dalam
penerbangan malam hari atau cuaca buruk. Patut digaris bawahi di
sini adalah kesalahan bukan terjadi ketika ilusi visual ataupun
disorientasi spasial, kesalahan justru terjadi dalam keputusan yang
diambil setelah masalah tersebut terjadi.
Kalsifikasi violations (pelanggaran) terbagi menjadi 2 yaitu:
Banyak data kecelakaan yang timbul dari kesalahan yang dibuat
oleh suatu organisasi karena melanggar regulasi yang ada.
Pelanggaran diterjemahkan sebagai sebuah pengacuhan secara
sadar terhadap peraturan yang ada. Jenis pelanggaran dibagi
menjadi 2, yaitu pelanggaran rutin dan pelanggaran pengecualian
(Exceptional).
a. Pelanggaran rutin adalah pelanggaran yang sudah
kebiasaan dari alam (habitual by nature) dan sering
ditoleransi oleh otoritas pemerintah. Misalnya adalah
seorang pengendara Kopaja yang secara konsisten
berkendara 5-10 mph lebih cepat dari rambu yang
ditetapkan namun tetap tidak ada tindakan tegas dari
otoritas pemerintah. Baru ketika ada sebuah razia tiba-tiba
yang diadakan dan pengendara tersebut terlihat, maka
pastinya pengendara tersebut ditetapkan bersalah dan
dihukum.
b. Pelanggaran pengecualian muncul dari sebuah perilaku
melanggar peraturan yang tidak normalnya dilakukan oleh
sang pelanggar dan tidak dianggap baik oleh manajemen
sang pelanggar. Misalnya adalah seorang pengemudi taksi
16
yang tidak biasa berkendara lebih dari 100 mph namun ia
berkendara di angka 120 mph.
2. Preconditions for Unsafe Act (Kondisi penyebab tindakan tidak aman),
merupakan sebuah kondisi yang memacu terjadinya unsafe act seperti
kelelahanmental atau buruknya komunikasi antar operator di dalam
sebuah system. Precondition for unsafe act merupakan kesalahan yang
sifatnya laten. Ada tiga bagian dari precondition for unsafe yaitu:
A. Faktor Lingkungan (environmental factor)
a. Kondisi fisik lingkungan yaitu dimana kondisi ini dapat
mengakibatkan kecelakaan kerja. Kondisi fisik dipengaruhi
oleh cuaca, debu, asap yang ada diruangan terbatas, suhu
lingkungan dan kebisingan.
b. Kondisi teknik lingkungan merupakan kondisi dimana
kecelakaan dipengaruhi dengan keterbatasan pengliatan,
pengendalian dan pergantian mesin, APD (alat pelindung
diri) dan komunikasi peralatan.
B. Faktor manusia (personal factor)
a. Komunikasi merupakan faktor yang berperan penting yang
mempengaruhi kecelakaan kerja, unsur-unsur yang ada di
dalamnya adalah pengawasan di lapangan dan pengarahan.
b. Strees dimana kondisi jiwa dari pekerja terganggu faktor
yang mempengaruhi kondisi ini adalah pengaruh minum-
minuman keras, obat-obatan, kurangnya istirahat dan
adanya kondisi infikasi medis yang belum dilaporkan.
C. Kondisi individual
a. Faktor kognitif ada beberapa faktor yang mempengaruhi
diantaranya adalah kebingungan terhadap tugas yang
diberikan, kurangnya penjelasan yang didapat ketika
pengarahan.
17
b. Faktor tingkah laku merupakan faktor yang dipengaruhi
oleh emosi, masalah pribadi, percaya diri dan kepuasan.
c. Keterbatasan mental dimana keterbatasan ini dipengaruhi
oleh kemampuan cepat tanggap, kemampuan mengingat
dan disiplin waktu.
3. Unsafe supervision (kurangnya pengawasan), tingkatan ini membahas
bagaimana masalah pada tingkat II (Preconditions for Unsafe Act) dapat
terjadi. Komunikasi dan koordinasi yang buruk atau mental yang tidak
siap dari personil dapat dihindari apabila pengawasan yang dilakukan
berjalan dengan baik. Pada tingkatan ini hanya personil yang memiliki
wewenang tertentu yang dapat melakukan intervasi, mencakup pemberian
tugas dan tanggung jawab, pelatihan dan evaluasi kinerja masing-masing
personil. Terbagi menjadi 4 klasifikasi yaitu:
a. Supervison yang kurang memadai meliputi adanya konflik
secara personal dengan rekan kerja dan kurangnya umpan balik
yang terjadi.
b. Perancangan pengoperasian yang tidak sesuai yaitu dimana
kemampuan yang dibutuhkan tidak sesuai, pengalaman di
bidangnya yang terbatas dan penilian resiko yang
mempengaruhi.
c. Kegagalan untuk mengetetahui masalah didalam manajemen
personal.
d. Kekerasan supervison yaitu kedisiplinan yang diterapkan
dalam pekerjaan, dan pelanggaran yang dilakukan secara
langsung ataupun tidak akan dikenai sanksi.
4. Organisational influences merupakan tingkatan paling atas dari Swiss
Cheese Model yang dapat mempengaruhi semua level dibawahnya.
Kesalahan yang termasuk kategori ini adalah adanya kebijkana perusahaan
18
yang kurang baik sehingga menimbulkan potensi kecelakaan. Ada 3
klasifikasi dalam organisational influences yaitu:
a. Sumber managemen merupakan sumber pengendalian lalu lintas
yang ada diperusahaan selain itu juga adanya faktor sumber daya
manusia dan dukungan finansial.
b. Suasana organisasi kebudayaan dan nilai organisasi, adanya
perubahan unit serta ketidak efektifan unit yang tersedia di
perusahaan.
c. Proses organisasi yaitu dipengaruhi oleh beban kerja setelah itu
pengaruh dari pedoman prosedur dan elatihan organisasi.
Gambar 2.1 Swiss Cheese Model
20
(sumber: Patterson, 2009)
Gambar 2.2 kesalahan manusia pada empat tingkat kegagalan
Tabel 2.2 frekuensi dan prosentase sub faktor pada setiap kejadian
HFACS category N (%)
organizational influences (level 4)
organizational climate
organizatinal process
resource management
unsafe leadership (level 3)
inadequate supervisor
planned inappropriate operations
failed to correct known problems
supervisory violations
preconditions for unsafe acts (level 2)
environmental conditions
technical environment
21
physical environment
conditions of the operator
adverse mental state
adverse physiological state
physical / mental limitations
personel factors
communication and coordination
fitness for duty
unsafe act of the operator (level 1)
decision errors
skill-based errors
perceptual errors
Violations
Setelah mendapatkan hasil dari tabel 2.1 selanjutnya hasil total insiden akan
dilanjutkan pada tabel 2.2 yaitu tabel frekuensi dan prosentase. Bahwa pada
level HFACS dapat mendapatkan hingga lebih dari 100% sebagai lebih dari
satu kategori pada tingkat tertentu dapat diidentifikasi untuk setiap kasus.
2.11 Metode 5WHYS
Metode ini ditemukan pada tahun 1930an oleh Sakichi Toyoda dan
dipopulerkan pada tahun 1970an dalam Toyota Production System. Strategi
5whys dipakai dalam berbagai permasalahan dan menggunakan kata tanya
“mengapa” dan “apa penyebabnya permasalahannya?” 5Whys adalah metode
pemberian pertanyaan untuk mengekplorasi penyebab permasalahan. Analisa
dari 5 Whys membantu sampai kearah akar penyebab utama. Penyebab utama
dari suatu masalah ialah salah satu mata rantai peristiwa yang mendorong kea
rah permasalahan itu sendiri. Analisa tersiri dari pendjawaban 5 kali
pertanyaan “why”, mengarah terus lebih dalam untuk menggambarkan
tindakan balasan yang efektif. Analisa akar penyebab utama menggunakan 5