4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kultivasi Porphyridium cruentum · (modifikasi pupuk) sehingga perbedaan...

13
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kultivasi Porphyridium cruentum Salah satu faktor lingkungan yang penting dalam kultivasi mikroalga adalah cahaya. Cahaya merupakan faktor utama dalam fotosintesis (Arad dan Richmond 2004). Kultivasi P. cruentum pada penelitian ini menggunakan intensitas cahaya 1900-2400 lux. Intensitas cahaya berpengaruh terhadap pertumbuhan sel yang dihasilkan. Pertumbuhan yang optimum akan menghasilkan jumlah sel yang optimum pula dan hal ini akan berpengaruh terhadap jumlah biomassa P. cruentum yang dihasilkan. Intensitas cahaya pada rentang 1900-2400 lux mendekati intensitas cahaya yang optimal bagi pertumbuhan P. cruentum. Kusumawarni (1998) melaporkan bahwa pertumbuhan sel P. cruentum tertinggi dengan warna merah terbaik pada kultivasi diperoleh pada pemberian intensitas cahaya 2000 lux. Kultivasi P. cruentum disajikan pada Gambar 3. Gambar 3 Kultivasi Porphyridium cruentum skala laboratorium. Suhu yang digunakan saat proses kultivasi berkisar antara 25-27 o C dan kelembaban udara 65-75 %. Suhu saat kultivasi berada pada kisaran suhu pertumbuhan bagi P. cruentum. Vonshak (1988) menyatakan bahwa sel Porphyridium dapat tumbuh pada kisaran suhu 10-35 °C dan aktivitas optimum fotosintesis dari kultur P. cruentum terjadi pada suhu 25 °C. Media kultivasi yang digunakan ada 2 jenis, yaitu modifikasi media Becker (Becker 1994) dan media pupuk (Larastri 2006). Media Becker yang digunakan terdiri dari berbagai asupan nutrien, yaitu MgSO 4 , MgCl 2 , CaCl 2 ,

Transcript of 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kultivasi Porphyridium cruentum · (modifikasi pupuk) sehingga perbedaan...

Page 1: 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kultivasi Porphyridium cruentum · (modifikasi pupuk) sehingga perbedaan medium ini mengakibatkan penyesuaian sel untuk bertahan hidup dan sel akan mati

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kultivasi Porphyridium cruentum

Salah satu faktor lingkungan yang penting dalam kultivasi mikroalga

adalah cahaya. Cahaya merupakan faktor utama dalam fotosintesis

(Arad dan Richmond 2004). Kultivasi P. cruentum pada penelitian ini

menggunakan intensitas cahaya 1900-2400 lux. Intensitas cahaya berpengaruh

terhadap pertumbuhan sel yang dihasilkan. Pertumbuhan yang optimum akan

menghasilkan jumlah sel yang optimum pula dan hal ini akan berpengaruh

terhadap jumlah biomassa P. cruentum yang dihasilkan.

Intensitas cahaya pada rentang 1900-2400 lux mendekati intensitas cahaya

yang optimal bagi pertumbuhan P. cruentum. Kusumawarni (1998) melaporkan

bahwa pertumbuhan sel P. cruentum tertinggi dengan warna merah terbaik pada

kultivasi diperoleh pada pemberian intensitas cahaya 2000 lux. Kultivasi

P. cruentum disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Kultivasi Porphyridium cruentum skala laboratorium.

Suhu yang digunakan saat proses kultivasi berkisar antara 25-27 oC dan

kelembaban udara 65-75 %. Suhu saat kultivasi berada pada kisaran suhu

pertumbuhan bagi P. cruentum. Vonshak (1988) menyatakan bahwa sel

Porphyridium dapat tumbuh pada kisaran suhu 10-35 °C dan aktivitas optimum

fotosintesis dari kultur P. cruentum terjadi pada suhu 25 °C.

Media kultivasi yang digunakan ada 2 jenis, yaitu modifikasi media

Becker (Becker 1994) dan media pupuk (Larastri 2006). Media Becker yang

digunakan terdiri dari berbagai asupan nutrien, yaitu MgSO4, MgCl2, CaCl2,

Page 2: 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kultivasi Porphyridium cruentum · (modifikasi pupuk) sehingga perbedaan medium ini mengakibatkan penyesuaian sel untuk bertahan hidup dan sel akan mati

17

KNO3, KH2PO4, NaHCO3, Tris-HCl, Fe-EDTA, dengan modifikasi tanpa

pemberian trace element. Media pupuk yang digunakan terdiri dari NPK, TSP,

vitamin, dan Fe-EDTA. Proses kultivasi hanya menggunakan nutrien awal yang

diberikan dalam media masing-masing tanpa penambahan nutrien selama kultivasi

berlangsung. Kurva pertumbuhan yang dihasilkan dari masing-masing media

disajikan pada Gambar 4.

(1) Kultivasi dalam modifikasi media Becker

(2) Kultivasi dalam media pupuk

Gambar 4 Kurva pertumbuhan Porphyridium cruentum.

Keterangan: (a) fase lag ; (b) fase logaritmik ; (c) fase stasioner ; (d) fase kematian

(b) (c)

(a)

(b)

(c)

(d)

Page 3: 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kultivasi Porphyridium cruentum · (modifikasi pupuk) sehingga perbedaan medium ini mengakibatkan penyesuaian sel untuk bertahan hidup dan sel akan mati

18

Kultivasi P. cruentum dalam modifikasi media Becker maupun media

pupuk menggunakan inokulum dari media Becker (dilengkapi trace element)

berumur 6 hari. Kurva pertumbuhan kultur P. cruentum dalam modifikasi media

Becker menunjukkan keberlangsungan hidup yang lebih panjang daripada media

pupuk. Gambar 4 menampilkan kurva pertumbuhan P. cruentum dalam media

Becker (1) memasuki fase stasioner pada hari ke-6 dengan log kepadatan sel

sebesar 6,44-6,47 sel/mL hingga akhir pengamatan hari ke-8, sedangkan dalam

media pupuk (2) mengalami fase stasioner (c) pada hari ke-4 kemudian memasuki

fase kematian (d) pada hari ke-7 dengan jumlah sel menurun yang ditunjukkan

oleh log kepadatan sel sebesar 5,95 sel/mL saat akhir pengamatan pada hari ke-8.

Kultur P. cruentum dalam modifikasi media Becker tidak teramati fase

adaptasi yang terjadi, namun mengalami fase logaritmik hingga hari ke-6

kemudian memasuki fase stasioner. Kultur mengalami pertumbuhan yang

ditunjukkan pada Gambar 4 (1) dengan peningkatan log kepadatan sel dari

5,21-6,44 sel/mL hingga hari ke-6. Hari selanjutnya, sel tidak mengalami

pertumbuhan yang signifikan dimana log kepadatan sel berada pada kisaran

6,44-6,47 sel/mL hingga pengamatan hari ke-8.

Kultur P. cruentum dalam media pupuk mengalami fase adaptasi dari awal

kultivasi hingga hari ke-1. Fase logaritmik dicapai setelah hari ke-1 hingga hari

ke-4. Fase stasioner dicapai setelah hari ke-4 hingga hari ke-7 dan selanjutnya

memasuki fase kematian hingga akhir pengamatan pada hari ke-8. Medium

inokulum awal (Becker) berbeda dengan medium yang digunakan saat kultivasi

(modifikasi pupuk) sehingga perbedaan medium ini mengakibatkan penyesuaian

sel untuk bertahan hidup dan sel akan mati ketika tidak mampu menyesuaikan

dengan kondisi lingkungan baru tersebut. Sel yang mati mengakibatkan jumlah sel

menurun yang ditunjukkan pada Gambar 4 (2) log kepadatan sel pada hari ke-1

sebesar 5,72 sel/mL dimana nilai ini menurun dari log kepadatan sel awal kultur

sebesar 5,79 sel/mL. Proses adaptasi berlangsung cepat yang ditandai dengan

jumlah log sel meningkat secara signifikan hingga hari ke-4 yaitu log kepadatan

sel mencapai 6,54 sel/mL. Kultur pada hari ke-4 hingga hari ke-7 menunjukkan

sel tidak mengalami pertambahan jumlah yang signifikan, yaitu berada pada

kisaran 6,52-6,54 sel/mL. Fase kematian mulai berlangsung pada hari ke-7, yaitu

Page 4: 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kultivasi Porphyridium cruentum · (modifikasi pupuk) sehingga perbedaan medium ini mengakibatkan penyesuaian sel untuk bertahan hidup dan sel akan mati

19

terjadi penurunan log kepadatan sel hingga akhir pengamatan hari ke-8 yaitu

mencapai 5,95 sel/mL.

Perbedaan pola pertumbuhan P. cruentum pada penelitian ini terjadi

karena perbedaan media, yaitu modifikasi media Becker dan pupuk. Kultur dalam

modifikasi media Becker tidak teramati fase adaptasi melainkan membentuk pola

pertumbuhan yang langsung memasuki fase logaritmik, sedangkan kultur dalam

media pupuk mengalami adaptasi dari hasil pengamatan dengan rentang waktu

satu hari. Fase adaptasi dapat terjadi akibat adanya pergantian media atau kondisi

kultivasi (Lee dan Shen 2004). Hal ini terjadi karena inokulum awal yang

digunakan, yaitu menggunakan media Becker dimana komposisinya relatif sama

dengan modifikasi media Becker yang digunakan pada penelitian ini sehingga

adaptasi berlangsung sangat cepat dan tidak teramati saat pengamatan per hari,

sedangkan media pupuk hanya terdiri dari 4 nutrien yaitu NPK, TSP, vitamin, dan

FeCl3-EDTA sehingga mengalami fase adaptasi lebih lama dalam

pertumbuhannya. Kusmiyati dan Agustini (2007) menyatakan bahwa stok

(inokulum) awal yang digunakan berpengaruh terhadap fase yang dialami kultur

saat proses kultivasi. Inokulum pada fase logaritmik menyebabkan kultur cepat

melanjutkan perbanyakan sel tanpa adaptasi terlalu lama.

Umur kultur dalam modifikasi media Becker lebih panjang daripada media

pupuk. Komposisi nutrien dalam media pupuk belum optimal bagi pertumbuhan

P. cruentum sehingga kultur dalam media pupuk mengalami siklus hidup lebih

pendek. Nutrien berperan dalam pertumbuhan sel sehingga ketika tidak dilakukan

penambahan nutrien maka ketersediaan nutrien dalam kultur akan semakin

sedikit. Nutrien menjadi faktor pembatas sehingga menyebabkan kompetisi dalam

pertumbuhan sel. Fogg dan Thake (1987) menyatakan bahwa jumlah sel yang

semakin bertambah menyebabkan kepadatan sel meningkat dan penetrasi cahaya

menjadi berkurang, sehingga menyebabkan pertumbuhan sel menjadi terhambat

bahkan sel mengalami kematian.

Derajat keasaman (pH) dari air laut yang digunakan pada kultivasi

P. cruentum, yakni sebesar 7,9. Kultur P. cruentum dalam modifikasi media

Becker memiliki pH sebesar 7,5 sedangkan dalam media pupuk memiliki pH

sebesar 7,6 dimana pH dalam kedua media ini termasuk dalam kisaran pH

Page 5: 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kultivasi Porphyridium cruentum · (modifikasi pupuk) sehingga perbedaan medium ini mengakibatkan penyesuaian sel untuk bertahan hidup dan sel akan mati

20

pertumbuhan P. cruentum. Borowitzka dan Borowitzka (1988) menyatakan bahwa

P. cruentum dapat tumbuh dengan baik pada kisaran pH 5,2-8,3 dengan derajat

keasaman (pH) optimum untuk fotosintesis, yaitu 7,5.

Salinitas air laut yang digunakan pada kultivasi P. cruentum sebesar 3%

yang diukur menggunakan alat refraktometer. Kultur P. cruentum dalam

modifikasi media Becker memiliki salinitas sebesar 7,4% sedangkan dalam media

pupuk sebesar 4,0%. Salinitas dari media Becker maupun media pupuk ini lebih

besar dibandingkan dengan salinitas air laut yang digunakan. Pengaruh

penambahan nutrien mengakibatkan terbentuknya garam dalam media sehingga

menyebabkan salinitas meningkat. Kultur dengan media Becker memiliki salinitas

yang sangat tinggi yakni lebih dari dua kali dari salinitas air laut, namun kultur

tetap dapat tumbuh. Borowitzka dan Borowitzka (1988) menyatakan bahwa

Porphyridium dapat bertahan hidup pada kisaran salinitas yang cukup besar, yaitu

0,5-2 kali konsentrasi air laut (3,5%). Richmond (1988) menjelaskan bahwa

salinitas media Becker P. cruentum pada kisaran 3,5-4,5% dapat memacu

pertumbuhan yang optimal namun salinitas 4,6% tidak menghambat proses

pertumbuhan, sedangkan pada kondisi salinitas kurang dari 3,5%, Porphyridium

tidak mampu bersaing hidup dengan mikroalga lainnya jika ditumbuhkan pada

kultur terbuka.

4.2 Pemanenan Biomassa Porphyridium cruentum

Tahap pemanenan pada penelitian ini diawali dengan tahap pengendapan

sebelum dilakukan sentrifugasi untuk mengurangi biaya dalam pemanenan

biomassa. Umumnya pemisahan biomassa P. cruentum dilakukan melalui

sentrifugasi untuk mendapatkan sejumlah biomassa dari suatu kultur, namun

dengan adanya tahapan pengendapan akan mengefisienkan proses pemanenan

sehingga biaya pemanenan dapat ditekan. Kapasitas sentrifugasi yang sama akan

menghasilkan jumlah biomassa basah yang lebih banyak bila melalui tahap

pengendapan terlebih dahulu karena biomassa dalam cairan yang disentrifugasi

telah terkonsentrasi dari jumlah kultur yang lebih banyak sehingga proses

pemanenan menjadi lebih efisien.

Pemanenan biomassa dilakukan dengan cara memisahkan biomassa dan

cairan media, melalui pengendapan selama 10 hari di dalam lemari pendingin.

Page 6: 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kultivasi Porphyridium cruentum · (modifikasi pupuk) sehingga perbedaan medium ini mengakibatkan penyesuaian sel untuk bertahan hidup dan sel akan mati

21

Lemari pendingin menjaga kultur agar tidak mengalami pertumbuhan lebih lanjut

setelah pemanenan sebab dalam lemari pendingin tercipta kondisi gelap dan

dingin selama proses pengendapan berlangsung. Kultur dipanen pada fase

stasioner, yaitu dalam modifikasi media Becker dipanen pada umur 7 hari,

sedangkan kultur dalam media pupuk dipanen pada umur 4 hari. Proses

pengendapan membentuk 2 lapisan, yakni lapisan biomassa di bagian bawah dan

lapisan cairan media di bagian atas. Hasil pengendapan kultur P. cruentum ini

dapat dilihat pada Gambar 5.

(a) (b)

Gambar 5 Pemanenan biomassa Porphyridium cruentum (a) kultur awal panen ;

(b) kultur setelah pengendapan 10 hari.

Hasil pengendapan biomassa ini kemudian dikumpulkan dan langsung

disentrifugasi menggunakan sentrifuse dingin dengan suhu 4 oC dan kecepatan

10000 rpm selama 15 menit. Proses sentrifugasi ini menyebabkan biomassa

terpadatkan pada dasar tabung sehingga mempermudah dalam pemisahan

biomassa P. cruentum. Biomassa yang telah terkumpul kemudian dilakukan

pengeringan untuk mengurangi kadar air menggunakan freeze dryer selama 6 jam.

Biomassa P. cruentum basah dan kering yang diperoleh dapat dilihat pada

Gambar 6.

(a) (b)

Gambar 6 Biomassa Porphyridium cruentum (a) basah ; (b) kering.

Page 7: 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kultivasi Porphyridium cruentum · (modifikasi pupuk) sehingga perbedaan medium ini mengakibatkan penyesuaian sel untuk bertahan hidup dan sel akan mati

22

Aplikasi komersial pertama yang dilakukan melalui freeze drying dalam

metode pengeringan adalah bidang industri pharmaceutical (antibiotik, sel,

plasma darah) (Berk 2009). Pengeringan dilakukan dengan menggunakan freeze

dryer pada suhu rendah dan tekanan terkontrol, sehingga dapat mempertahankan

komponen aktif yang ada pada biomassa P. cruentum agar tidak mengalami

kerusakan akibat suhu tinggi. Suhu tinggi menyebabkan kerusakan komponen

bioaktif dari suatu bahan. Hal ini sesuai dengan Yuan et al. (2011) yang

menjelaskan bahwa suhu tinggi dapat menyebabkan kerusakan komponen bioaktif

diantaranya terjadi penurunan akumulasi komponen flavonoid baicalin dan

baicalein pada Scutellaria baicalensis seiring dengan meningkatnya perlakuan

suhu yang digunakan yaitu 25 oC dan 40

oC. Jumlah baicalin dengan perlakuan

suhu 40 oC mengalami penurunan hingga 43% pada hari ke-22, sedangkan

baicalein pada perlakuan suhu 40 oC tidak terdeteksi pada HPLC.

4.3 Ekstraksi Senyawa Antibakteri

Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan komponen yang diinginkan dari

suatu bahan (Berk 2009). Metode ekstraksi yang digunakan mengacu pada

Kusmiyati dan Agustini (2007) dan Naviner et al. (1999). Komponen antibakteri

yang ingin dipisahkan dari mikroalga P. cruentum ini diperoleh melalui ekstraksi

bertingkat menggunakan pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda. Pelarut

yang berbeda ini digunakan untuk mendapatkan ekstrak yang lebih murni

sehingga komponen antibakteri terbebas dari komponen lain yang dapat

mengganggu dalam pengujian aktivitasnya.

Tahap ekstraksi pertama dilakukan menggunakan pelarut polar organik,

yaitu etanol 96%. Pelarut etanol 96% merupakan salah satu pelarut terbaik dalam

ekstraksi yang dapat mengekstrak sebagian besar komponen sel mikroalga

termasuk komponen gula, asam amino, garam, protein hidrofobik, dan pigmen

(Grima et al. 2004). Etanol 96% dicampur dengan 5 gram biomassa P. cruentum

kemudian diaduk menggunakan magnetic stirer selama 30 menit sehingga

diperoleh larutan ekstrak kasar. Larutan ekstrak kemudian disentrifugasi dengan

kecepatan 4000 rpm selama 15 menit untuk memperoleh larutan ekstrak yang

terbebas dari komponen pengotor dari biomassa yang terbawa dalam ekstrak.

Ekstrak yang masih mengandung etanol kemudian dipisahkan melalui evaporasi.

Page 8: 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kultivasi Porphyridium cruentum · (modifikasi pupuk) sehingga perbedaan medium ini mengakibatkan penyesuaian sel untuk bertahan hidup dan sel akan mati

23

Rendemen ekstrak etanol dari biomassa yang dikultivasi dalam media Becker

adalah 18,2%, yakni sebanyak 0,91 gram, sedangkan biomassa dari kultur dalam

media pupuk hanya menghasilkan rendemen sebesar 2,8%, yakni sebanyak

0,14 gram.

Hasil ekstrak dari kultur dalam media pupuk tidak dilanjutkan ekstraksi

dan pengujian aktivitas antibakteri karena jumlah rendemen yang terlalu kecil

sehingga tidak memungkinkan untuk diteruskan menuju tahapan selanjutnya.

Rendemen ekstrak kasar dari kultur dalam media pupuk jauh lebih sedikit

dibandingkan rendemen kultur dengan modifikasi Becker. Hal ini diduga karena

adanya tepung pengisi (filler) dalam pupuk sehingga kebutuhan nutrien belum

terpenuhi.

Sifat pupuk mudah larut dalam air terkait dengan fungsinya sebagai

pelengkap unsur hara yang dibutuhkan tanaman menyebabkan nutrien dalam

pupuk lebih cepat terlarut dan dimanfaatkan dalam pertumbuhan P. cruentum.

Rosmarkam dan Yuwono (2002) menyatakan bahwa pemberian pengisi (filler)

pada pupuk bertujuan agar pupuk dengan kadar tinggi memiliki ratio fertilizer

tepat sesuai dengan keinginan dan mempermudah penggunaannya agar lebih

merata sebagai pupuk pada tanaman terestrial.

Komponen pengisi ini juga dapat menghambat pertumbuhan dalam proses

kultivasi karena tepung pengisi akan meningkatkan kepadatan partikel dalam

kultur sehingga menyebabkan umur kultur dalam media pupuk lebih singkat.

Kematian sel lebih cepat terjadi karena terhalangnya penetrasi cahaya sebagai

faktor penting dalam pertumbuhan sel. Fogg dan Thake (1987) menyatakan bahwa

kepadatan sel yang meningkat akan mengakibatkan terhambatnya penetrasi

cahaya sehingga menghambat pertumbuhan sel bahkan lama-kelamaan akan

mengakibatkan kematian sel.

Tahap ekstraksi selanjutnya menggunakan pelarut non-polar yaitu

diklorometan. Ekstrak kasar hasil ekstraksi etanol yang telah dievaporasi,

ditambah diklorometan dan akuades dengan perbandingan 1:1 kemudian

dilakukan homogenisasi melalui pengocokan. Hasil pengocokan membentuk dua

lapisan, yaitu lapisan akuades di bagian atas dan lapisan diklorometan di bagian

bawah. Lapisan diklorometan disentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama

Page 9: 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kultivasi Porphyridium cruentum · (modifikasi pupuk) sehingga perbedaan medium ini mengakibatkan penyesuaian sel untuk bertahan hidup dan sel akan mati

24

15 menit sehingga diperoleh ekstrak P. cruentum dalam larutan diklorometan.

Ekstrak dalam campuran diklorometan ini kemudian dipisahkan melalui proses

evaporasi. Rendemen hasil ekstraksi diklorometan dan air adalah 3,4%, yakni

sebanyak 0,17 gram.

Tahap ekstraksi akhir menggunakan pelarut diklorometan dengan

penambahan NaOH 0,5N. Pelarut NaOH bersifat alkali dimana pelarut alkali

digunakan untuk mengekstrak secara langsung komponen lipid dari biomassa

mikroalga (Grima et al. 2004). Larutan NaOH dipisahkan dan dilakukan

penetralan menggunakan HCl 8N agar NaOH habis bereaksi dengan HCl

membentuk garam. Larutan ini kemudian dilakukan penambahan diklorometan

sehingga lipid terlarut dalam pelarut diklorometan, dan ekstrak dipisahkan dari

pelarut diklorometan melalui proses evaporasi. Rendemen hasil ekstraksi akhir

yang diperoleh adalah 1% dari 5 gram biomassa yang diekstraksi, yakni sebesar

0,05 gram ekstrak. Hasil ekstrak akhir P. cruentum sebelum evaporasi dan setelah

evaporasi disajikan pada Gambar 7.

(a) (b)

Gambar 7 Ekstrak akhir Porphyridium cruentum (a) sebelum evaporasi ;

(b) setelah evaporasi.

4.4 Aktivitas Antibakteri

Pengujian aktivitas antibakteri dari P. cruentum dilakukan terhadap bakteri

Gram-positif S. aureus, S. epidermidis, B. subtilis, B. cereus, dan bakteri

Gram-negatif yakni E. coli. Hasil zona hambat ekstrak P. cruentum disajikan pada

Gambar 8 dan diameter zona hambat terhadap bakteri uji pada Tabel 1.

Kusmiyati dan Agustini (2007) melaporkan bahwa ekstrak P. cruentum

memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Gram-positif (S. subtilis dan

S. aureus) dengan rentang zona hambat sebesar 6,50 mm hingga 11,10 mm,

Page 10: 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kultivasi Porphyridium cruentum · (modifikasi pupuk) sehingga perbedaan medium ini mengakibatkan penyesuaian sel untuk bertahan hidup dan sel akan mati

25

namun tidak menunjukkan aktivitas antibakteri pada bakteri Gram-negatif (E.coli)

pada ekstraksi bertingkat menggunakan pelarut etanol, dan pelarut diklorometan

dalam berbagai kondisi, yakni diklorometan/akuades dan diklorometan/NaOH.

Respon yang berbeda dari dua golongan bakteri terhadap hasil ekstraksi ini

disebabkan karena adanya perbedaan kepekaan pada bakteri Gram-positif dan

bakteri Gram-negatif terhadap senyawa ekstrak tersebut. Bakteri Gram-positif

cenderung lebih sensitif terhadap komponen antibakteri karena struktur dinding

sel bakteri Gram-positif lebih sederhana sehingga memudahkan senyawa

antibakteri untuk masuk ke dalam sel dan menemukan sasaran untuk bekerja

menghambat pertumbuhan sel bahkan menyebabkan kematian sel.

Jumlah ekstrak P. cruentum yang digunakan dalam pengujian aktivitas

antibakteri tiap sumur yaitu 400 μg, 600 μg, dan 800 μg. Bakteri yang digunakan

memiliki OD (optical density) pada rentang 0,6 sampai 0,8. Kontrol positif yang

digunakan, yaitu kloramfenikol (10 μg), sedangkan kontrol negatif, yaitu

diklorometan (20 μL) yang digunakan sebagai pelarut dalam ekstraksi.

Tabel 1 Diameter zona hambat ekstrak P. cruentum terhadap bakteri uji

Bahan uji Diameter zona hambat (mm)

S. aureus S. epidermidis B. subtilis B. cereus E. coli

Ekstrak P. cruentum

400 μg/sumur 1,00 2,53 2,20 1,58 0

Ekstrak P. cruentum

600 μg/sumur 1,43 3,10 2,88 2,00 -

Ekstrak P. cruentum

800 μg/sumur 2,28 4,00 3,33 2,10 -

Kloramfenikol

10 μg/sumur 25,10 23,50 24,40 23,20 28,45

Diklorometan

20 μL/sumur 0 0 0 0 0

Keterangan : (-) : Tidak dilakukan pengujian

Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa semakin besar konsentrasi

ekstrak yang diberikan maka semakin besar zona hambat yang dihasilkan pada

seluruh bakteri Gram-positif yang diuji. Bakteri S. epidermidis memiliki diameter

zona hambat paling besar dibandingkan dengan jenis bakteri lain dari setiap

konsentrasi, yaitu 2,53 mm pada konsentrasi ekstrak P. cruentum 400 μg/sumur,

3,10 mm pada konsentrasi 600 μg/sumur, dan meningkat menjadi 4,00 mm pada

konsentrasi ekstrak P. cruentum 800 μg/sumur.

Page 11: 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kultivasi Porphyridium cruentum · (modifikasi pupuk) sehingga perbedaan medium ini mengakibatkan penyesuaian sel untuk bertahan hidup dan sel akan mati

26

Kusmiyati dan Agustini (2007) melaporkan semakin tinggi konsentrasi

ekstrak P. cruentum menunjukkan zona hambat yang semakin besar terhadap

bakteri S. aureus, B. subtilis, dan E. coli. Wesierska et al. (2005) melaporkan zona

hambat semakin besar seiring dengan meningkatnya konsentrasi cystatin ayam

yang digunakan pada berbagai bakteri dan salah satu bakteri uji yang digunakan

adalah S. aureus. Konsentrasi (IC50) sebesar 150-200 μg cystatin/mL menghambat

sebagian pertumbuhan bakteri, sedangkan konsentrasi 300-1000 μg cystatin/mL

dapat menghambat seluruh pertumbuhan bakteri uji.

Kontrol negatif dan kontrol positif digunakan sebagai pembanding dalam

menentukan aktivitas antibakteri dari ekstrak P. cruentum. Kontrol negatif berupa

diklorometan digunakan sebagai pembanding untuk melihat pengaruh pelarut

yang digunakan pada tahap ekstraksi terhadap zona hambat yang dihasilkan

ekstrak. Tabel 1 menunjukkan bahwa diklorometan tidak menghasilkan zona

hambat sehingga pelarut diklorometan tidak mempengaruhi hasil dari zona

hambat ekstrak terhadap bakteri uji. Kontrol positif kloramfenikol memiliki zona

hambat lebih besar daripada ekstrak P. cruentum.

Kloramfenikol sebagai antibiotik dengan spektrum luas yang aktif

terhadap banyak bakteri Gram-positif dan Gram-negatif. Kloramfenikol relatif

tidak beracun bagi mamalia bila digunakan secara terapeutik, antibiotik ini dapat

menyebabkan beberapa kelainan yang gawat di dalam darah beberapa pasien. Hal

ini menyebabkan anjuran pemakaiannya hanya pada kasus-kasus yang tidak dapat

diobati secara efektif dengan antibiotik lain (Pelczar dan Chan 2005). Hal ini

menyebabkan diameter zona hambat yang terbentuk sangat besar terhadap seluruh

bakteri uji, yaitu pada kisaran 23,20-28,45 mm.

Zona hambat ekstrak P. cruentum terhadap bakteri uji pada

Gambar 8 menunjukkan hasil terbesar hingga terkecil berturut-turut adalah

S. epidermidis, B. subtilis, B. cereus, dan S. aureus. Perbedaan besarnya zona

hambat terjadi akibat adanya berbagai faktor yang mempengaruhi aktivitas

komponen antibakteri. Vigil et al. (2005) menjelaskan berbagai faktor yang

mempengaruhi aktivitas komponen antimikroba (antibakteri) antara lain yaitu

fisiologi sel bakteri, jenis komponen antibakteri, interaksi antara komponen uji

dengan medium yang digunakan, serta suhu inkubasi yang digunakan.

Page 12: 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kultivasi Porphyridium cruentum · (modifikasi pupuk) sehingga perbedaan medium ini mengakibatkan penyesuaian sel untuk bertahan hidup dan sel akan mati

27

Staphylococcus aureus Staphylococcus epidermidis

Bacillus subtilis Bacillus cereus

Escherichia coli Gambar 8 Zona hambatan ekstrak Porphyridium cruentum pada bakteri uji.

Ekstrak P. cruentum dengan konsentrasi 400 μg, 600 μg, dan 800 μg yang

digunakan menunjukkan daya hambat yang cukup baik terhadap bakteri

Gram-positif namun tidak menghasilkan zona hambat pada bakteri Gram-negatif.

Kontrol (+)

Kontrol (-)

Ekstrak P. cruentum

Kontrol (+)

Kontrol (-)

Ekstrak P. cruentum

Ekstrak P. cruentum

Kontrol (+)

Kontrol (-)

Page 13: 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kultivasi Porphyridium cruentum · (modifikasi pupuk) sehingga perbedaan medium ini mengakibatkan penyesuaian sel untuk bertahan hidup dan sel akan mati

28

Diameter zona hambat yang diperoleh dari seluruh bakteri Gram-positif memiliki

rentang nilai 1-4 mm, sehingga termasuk kategori zat yang memiliki daya hambat

lemah sebagai antibakteri. Nazri et al. (2011) menyatakan bahwa senyawa

antibakteri termasuk kategori lemah bila memiliki zona hambat 0-9 mm.

Kusmiyati dan Agustini (2007) melaporkan bahwa ekstrak P. cruentum tidak

menghasilkan aktivitas antibakteri pada bakteri Gram-negatif (E. coli) terkait

dengan struktur sel Gram-negatif lebih kompleks daripada bakteri Gram-positif

sehingga resisten terhadap komponen antibakteri dari ekstrak P. cruentum yang

diekstrak secara bertingkat menggunakan pelarut etanol, diklorometan/akuades,

dan diklorometan/NaOH.

Bakteri Gram-negatif (contoh: E. coli) memiliki struktur dinding sel

berlapis dan kompleks. Dinding sel hanya memiliki 10% peptidoglikan dan

sebagian besar dinding sel tersusun oleh membran luar. Lapisan membran luar

terdir atas fosfolipid, protein, dan polisakarida. Lipid dan polisakarida terhubung

dan membentuk struktur kompleks pada lapisan membran luar sel. Struktur

dinding sel bakteri Gram-positif lebih sederhana, yaitu memiliki lapisan tunggal

terdiri atas 90% peptidoglikan dan substansi lain berupa asam teikoat

(Madigan et al. 2009).

P. cruentum merupakan salah satu sumber mikroalga yang kaya AA

(arachidonic acid) sekitar 36% dari total asam lemak pada suhu kultivasi 25 °C

dan termasuk salah satu asam lemak tak jenuh yang penting dalam bidang

pharmaceutical (Becker 2004). Komponen antibakteri P. cruentum diduga berasal

dari komponen lipid. Kusmiyati dan Agustini (2007) melaporkan hasil identifikasi

senyawa antibakteri dari P. cruentum dengan Kromatografi Gas Spektrometri

Massa menunjukkan senyawa dominan yaitu asam lemak metil heksadekanoat

(asam palmitat) sebanyak 41,15%.