4. HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 25 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Data lapangan...
Transcript of 4. HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · 25 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Data lapangan...
25
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Data lapangan
Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan diketahui substrat dasar
perairan homogen pasir berlumpur dengan kedalaman rata – rata 2 sampai 5
meter berdasarkan data penyelaman. Data penelitian yang didapat diuraikan pada
tabel 3.
Pada lokasi penelitian ditemukan jenis lamun yang homogen, hanya
ditemukan satu spesies lamun yaitu Enhalus acoroides. Kerapatan lamun tidak
beragam, hanya pada tempat – tempat tertentu terlihat koloni lamun pada tiap
kelompoknya seperti yang ditampilkan pada lampiran. Hal ini sesuai dengan yang
diuraikan oleh Deswati (2009) bahwa lokasi penelitian merupakan daerah lamun
yang tidak beragam, keberadaan lamun tidak padat namun hanya pada titik- titik
tertentu dengan kondisi yang tidak rapat.
Menurut Kiswara (1992) Di rataan terumbu Pulau Pari, E. acoroides
tumbuh pada dasar lumpur, pasir dan pasir pecahan karang yang selalu tergenang
air. Tumbuhnya berpencar dalam kelompok-kelompok kecil terdiri dari beberapa
individu atau kumpulan individu yang rapat, berupa kelompok murni atau
bersama-sama dengan Thallasia hemprichii dan Halophila ovalis.
26
Tabel 3 . Hasil pengamatan secara biologi di lapangan
Terdapat 8 titik sampling yang dijadikan lokasi pengamatan. 8 lokasi ini
terdiri dari 6 lokasi yang berlamun dan 2 yang tidak terdapat lamun. Hal ini
dilakkan agar membedakan nilai hambur hambur balik daerah yang berlamun dan
tidak. ( tabel 3)
Den Hartog (1997) mengemukakan bahwa Enhalus acoroides merupakan
jenis lamun yang mempunyai ukuran paling besar, helaian daunnya dapat
mencapai ukuran lebih dari 1 meter. Jenis ini tumbuh di perairan dangkal sampai
kedalaman 4 meter, pada dasar pasir, pasir lumpur atau lumpur. Vegetasi
melimpah di daerah pasang surut. Walaupun cenderung untuk selalu membentuk
vegetasi murni, namun terdapat jenis lain yang berasosiasi yaitu H. ovalis,
Cymodocea serrulata, C. rotundata, T. hemprichii dan S. isoetifolium. E.
TitikSampling
Posisi KerapatanLamun
(ind/m²)
Rata – ratatinggi lamun
(m)
Tipe Sedimen
LS(o ) BT(o )
1 5.8559 106.597 24 0.94 Pasir berlumpur
2 5.8563 106.597 17 0.93 Pasir berlumpur
3 5.8562 106.597 11 0.87 Pasir berlumpur
4 5.8628 106.616 16 0.97 Pasir berlumpur
5 5.8628 106.6 16 1.02 Pasir berlumpur
6 5.8628 106.6 20 0.8 Pasir berlumpur
7 5.8663 106.611 0 0 Pasir berlumpur
8 5.8557 106.597 0 0 Pasir berlumpur
27
acoroides berbunga sepanjang tahun. Namun di lokasi pengamatan tidak
ditemukan lamun jenis lain yang berasosiasi.
Gambar 10. Spesies lamun Enhalus acoroides pada lokasi pengamatan
4.2 Parameter Lingkungan Perairan
Suhu yang diukur pada saat pengambilan data adalah 29 °C. Menurut
Nybakken (1992), kisaran suhu optimal bagi pertumbuhan lamun mencapai 28 -
30 °C dimana suhu dapat mempengaruhi proses-proses fisiologi yaitu proses
fotosintesis, pertumbuhan dan reproduksi. Proses-proses fotosintesis ini akan
menurun dengan tajam apabila suhu berada di luar kisaran optimal.
Salinitas yang diukur saat penelitian yaitu 32‰. Menurut Dahuri (2001),
lamun dapat mentolerir kadar optimum salinitas air laut sebesar 35 ‰. Penurunan
salinitas akan menurunkan kemampuan fotosintesis spesies ekosistem padang
28
lamun. Salah satu faktor yang menyebabkan kerusakan lamun adalah
meningkatnya salinitas yang diakibatkan oleh kurangnya suplai air tawar dari
sungai.
Dari hasil pengukuran diperoleh pH perairan yaitu 7,2. Nilai pH terlihat
tidak terlalu bervariasi. Tingkat keasaman yang diperoleh berkisar 6,81 – 8,06
dan merupakan kisaran yang masih normal untuk mendukung kehidupan
organisme dan pertumbuhan lamun.
4.3 Data Akustik
Cruzpro mmenampilkan hasil perekaman berformat (*.I) seperti pada
gambar 10. Kemudian dara perekaman tersebut diolah menggunakan matlab dan
menghasilkan tampilan echogram (Gambar 12) yang merupakan interpretasi
dari nilai scattering volume (Sv), dengan unit decibel (dB).
4.3.1 Echogram
Hasil pengolahan data dari matlab diuraikan pada lampiran 3. Echogram
merupakan hasil rekaman jejak - jejak dari target yang terdeteksi. Echogram ini
dapat memberikan informasi dengan tepat dimana dasar perairan dan objek lain
pada proses integrasi yang merupakan penggabungan dari beberapa layer untuk
mendapatkan Scattering Volume (Sv) .
29
Gambar 11. Data rekaman yang belum di filter
30
Echogram seperti yang terlihat pada gambar 12 menampilkan bentuk
rekaman nilai akustik dari transek pengamatan. Sumbu x merupakan banyak
time atau waktu (s) pada saat perekaman data, sedangkan sumbu y merupakan
kedalaman perairan (m). Kedalaman perairan adalah kedalaman di bawah
transducer, pemasangan transduser berada di bawah kedalaman 1 meter dari
permukaan air. Sehingga kedalaman air adalah kedalaman echogram ditambah
kedalaman transduser.
Time (s)
Depth(m)
transek 5
100 200 300 400 500 600 700 800 900
1
1.05
1.1
1.15
1.2
1.25
1.3
1.35
1.4-55
-50
-45
-40
-35
-30
-25
-20
SV (dB)daerahlamun
dasarperairan
echo false
Gambar 12. Echogram yang dihasilkan pada daerah pengamatan
Pada tampilan echogram (gambar 12) tampak terlihat perbedaan antara
dasar perairan dengan daerah atasnya yang memiliki nilai Sv lebih kecil, yang
menandakan adanya bentuk lain yang dimungkinkan lamun. Daerah tersebut
berada di antara kedalaman 1 sampai 1, 2 meter. Kemudian di bawahnya terdapat
sv yang bernilai lebih besar yang diyakini sebagai dasar perairan.
Pada gambar, tampilan paling bawah merupakan echo false. Hal ini terjadi
akibat noise yang terjadi saat perekaman. pola echo yang kembali dari dasar dan
diterima oleh transduser, yaitu pola sinyal yang terdiri dari nilai gaung (noise)
pada permukaan sinyal echo berasal dari pantulan yang kembali setelah echo
mencapai permukaan. Noise yang terbentuk mungkin dikarenakan adanya
31
gelombang, hal ini dikarenakan waktu pengambilan data sedang bulan purnama
Noise yang terjadi juga disebabakan rintikan gerimis hujan dan pergerakan kapal
dan orang orang diatasnya.
4.3.2. Nilai Hambur Balik
Dalam tampilan gambar 13 merupakan contoh gambaran nilai hambur
balik (Sv) pada transek pengamatan yang memiliki kedalaman 0 sampai 1,2
meter. Pada gambar terlihat bentuk puncak kecil. Pada bagian bawah terlihat
bentuk puncak yang jelas terlihat yang menandakan dasar perairan. Pada bentuk
puncak lainnya tidak begitu terlihat nyata, puncaknya terlihat kecil tetapi banyak.
Bentuk puncak bernilai Sv antara – 60 hingga – 50 dB. Puncak ini diduga adalah
sebaran lamun. Pengukuran secara akustik pada semua transek pengamatan
menandakan puncak kecil dan tidak begitu banyak. Hal ini menunjukkan bahwa
sebaran lamun tidak begitu padat. Hal ini sesuai dengan pengamatan langsung di
lapangan. (Gambar 14).
32
-58-56-54-52-50-48-46
1
1.05
1.1
1.15
1.2
1.25
1.3
1.35
1.4
transek 1
Depth(m)
Scattering Volume (dB)
Sv
daerah lamun
dasar sedimen
Gambar 13 . Contoh nilai Sv daerah berlamun
Nilai hambur balik yang berbeda berdasarkan hasil pengukuran dapat
dijadikan sebagai informasi target apa yang ada di bawah air. Hal inilah yang
dijadikan salah satu pembeda dalam melakukan penelitian metode akustik. Sinyal
hambur balik yang berasal dari hamparan dasar perairan yang gundul (tanpa
vegetasi) dan sinyal hamburan yang berasal dari vegetasi akan dibandingkan,
seperti yang telah dihasilkan oleh Tegowski et al. (2003) , yang memperlihatkan
perbedaan lebar pulsa (pulse width), gema yang berasal dari area yang memiliki
vegetasi memperlihatkan lebar pulsa yang lebih lebar.
Secara akustik dapat terlihat perbedaan tampilan gambar dengan daerah
berlamun pada gambar 14, tidak terlihat bentuk puncak kecil. Pada transek
pengamatan 7 dan 8 (gambar 15) merupakan daerah yang tidak berlamun. Dari
33
semua gambar terlihat bahwa dasar perairan memiliki nilai Sv antara - 35 sampai
– 30 decibel (dB).
Berdasarkan nilai Sv dasar perairan dan lamun menandakan tekstur
keduanya yang berbeda. Hal ini sama dengan apa yang dihasilkan oleh Deswati
(2009) bahwa dasar memiliki tekstur yang lebih keras dibandingkan dengan
lamun yang lembut, sehingga nilai pantulan dasar periran lebih kuat dari lamun.
Lamun bertekstur lembut akibat dari daun – daunnya yang lentur dan lunak yang
berdiri tegak. Sedangkan substrat dasar yang merupakan jenis pasir berlumpur
merupakan substrat yang bertekstur keras campuran dari pecahan karang maupun
kerang – kerangan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dahuri (2001), Bahwa
Enhalus acoroides merupakan jenis lamun yang paling umum ditemukan pada
sedimen halus hingga berlumpur tetapi pada sedimen sedang kasar ia tetap dapat
tumbuh sebab akar-akarnya panjang dan kuat hingga mampu menyerap makanan
dengan baik dan dapat berdiri dengan kokoh. E. acoroides dominan hidup pada
substrat kasar, berpasir dan lumpur, kadang-kadang terdapat pada dasar yang
terdiri atas campuran pecahan karang yang telah mati.
34
-56-54-52-50-48-46-44-42-40-38
1
1.05
1.1
1.15
1.2
1.25
1.3
1.35
1.4
1.45
transek 2
Depth(m)
Scattering Volume (dB)
Sv
-55-50-45-40-35-30
1
1.05
1.1
1.15
1.2
1.25
1.3
1.35
1.4
transek 6
Depth(m)
Scattering Volume (dB)
Sv
-58-56-54-52-50-48-46
1
1.05
1.1
1.15
1.2
1.25
1.3
1.35
1.4
transek 1
Depth(m)
Scattering Volume (dB)
Sv
-54-52-50-48-46-44-42-40-38-36-34
1
1.05
1.1
1.15
1.2
1.25
1.3
1.35
1.4
1.45
transek 3
Depth(m)
Scattering Volume (dB)
Sv
-52-50-48-46-44-42-40-38-36-34-32
1
1.05
1.1
1.15
1.2
1.25
1.3
1.35
1.4
1.45
transek 4
Depth(m)
Scattering Volume (dB)
Sv
-52-50-48-46-44-42-40-38-36-34-32
1
1.05
1.1
1.15
1.2
1.25
1.3
transek 5
Depth(m)
Scattering Volume (dB)
Gambar 14. Daerah transek berlamun
35
Hal ini sesuai dengan apa yang diutarakan oleh Kiswara (1992) bahwa di
rataan terumbu Pulau Pari, E. acoroides tumbuh pada dasar lumpur, pasir dan
pasir pecahan karang yang selalu tergenang air. Tumbuhnya berpencar dalam
kelompok-kelompok kecil terdiri dari beberapa individu atau kumpulan individu
yang rapat, berupa kelompok murni atau bersama-sama dengan T. hemprichii dan
Halophila ovalis.
Deswati (2009) memperoleh hasil pengukuran Scattering volume (Sv)
Enhallus acoroides pada daerah yang sama berkisar antara -58.7 hingga -71.7 dB,
nilainya tidak berbeda jauh dengan hasil yang diperoleh. Hasil pengukuran pada
penelitian ini lebih besar dikarenakan kepadatan lamunnya yang sedikit dan
perairan yang kurang dalam.
-48-46-44-42-40-38-36-34
1
1.02
1.04
1.06
1.08
1.1
1.12
1.14
1.16
1.18
1.2
transek 7
Depth(m)
Scattering Volume (dB)
Sv
-50-45-40-35
1
1.05
1.1
1.15
1.2
transek 8
Depth(m)
Scattering Volume (dB)
Sv
Gambar 15. Daerah tidak berlamun
Akustik bawah air dapat digunakan untuk pemantauan dan pemetaan
dasar perairan berupa informasi substrat dasar dan vegetasi di dasar perairan
berdasarkan karakteristik signal gema yang dipantulkan target. Informasi tersebut
36
mampu diklasifikasikan dari data survei sebaik data informasi distribusi ikan dan
plankton yang telah umum digunakan untuk aplikasi hydroacoustic (Burczynski
et al. 2001).
4.3.3 Tinggi Lamun
Dalam penelitian ini tinggi lamun secara akustik dapat ditentukan dari
bentukan puncak gelombang scattering volume terhadap kedalaman perairan
tersebut. Tinggi lamun yang merupakan tegakan dari helaian daun Enhalus
accoroides yang panjangnya secara pengamatan langsung tingginya beragam dari
0,4 hingga 1 meter.
Tinggi lamun secara akustik dapat diukur seperti yang dilakukan oleh
Deswati (2009) dengan konversi time terhadap kedalaman (bottom depth), maka
time lamun berada pada 4 hingga 88 artinya berada pada kedalaman 1 hingga 2
meter dari transduser. Berdasarkan kalibrasi time terhadap kedalaman tersebut,
maka tinggi lamun dapat ditentukan melalui puncak-puncak Sv. Tinggi lamun
akustik (H) dihitung berdasarkan nilai T dikali kedalaman (bd) dibagi dengan H +
40, dimana 40 merupakan nilai maksimum time pada Sv lamun (Gambar 16).
37
Keterangan:
T : time
bd : bottom depth (m)
H : konversi time terhadap tinggi lamun (m)
: Rata-rata tinggi lamun/transek dari transduser (m)
L : Tinggi lamun dengan penyelaman (cm)
: Rata-rata tinggi lamun dengan penyelaman (m)S : selisih tinggi lamun dengan akustik dan penyelaman
Gambar 16. Ilustrasi konversi time terhadap tinggi lamun (Deswati, 2009)
Hasil pengukuran tinggi lamun yang diukur dengan akustik dan
penyelaman langsung memiliki sedikit perbedaan. Hasil pengukuran dengan
akustik dan penyelaman secara langsung ternyata tidak berbeda jauh. Deswati
(2009) memaparkan bahwa tinggi lamun dengan nilai akustik lebih tinggi
dibanding dengan penyelaman bisa saja terjadi dikarenakan saat perekaman,
posisi tranduser tidak tepat memancarkan sinyal yang vertikal tegak lurus
terhadap dasar perairan akibat gerakan ke samping (yowing), ke depan-belakang
38
(pitching) dan berputar (rolling), sehingga lamun menjadi lebih tinggi akibar
kemiringan kapal. Gerakan kapal mungkin terjadi akibat angin, gelombang
maupun penumpangnya.
Gambar 17. Perbandingan tinggi lamun secara akustik dan penyelaman