4 Ciri Aliran Budha Zaman Kamakura Akhir

download 4 Ciri Aliran Budha Zaman Kamakura Akhir

of 3

description

Ciri aliran Budha pada zaman Kamakura Akhir menurut Kasahara Kazuo (tugas Pemikiran Jepang)

Transcript of 4 Ciri Aliran Budha Zaman Kamakura Akhir

Terjadinya ketidakstabilan politik, kekacauan, dan penyalahgunaan ajaran agama oleh kalangan pendeta Budha di zaman Kamakura memberikan peluang adanya reformasi kehidupan agama Budha di Jepang. Reformasi kehidupan agama Budha ini ditandai dengan bermunculannya sejumlah tokoh pemikir keagamaan yang menafsirkan ulang ajaran-ajaran Budha dan mengaktualkannya agar dapat menjawab berbagai tantangan dan keresahan masyarakat pada zaman Kamakura. Masing-masing sekte baru dalam agama Budha di Jepang yang mulai berkembang pada zaman Kamakura ternyata secara spesifik mempunyai konsep ajaran yang berkaitan erat dengan latar belakan sosial dari mayoritas penganutnya, misalnya agama Budha sekte Rinzai Zen dan Soto Zen mempunyai mayoritas penganut dari kalangan kaum bushi atau samurai. Selain itu sekte Nichiren mendapat mayoritas penganutnya dari kangana shonin atau pedagang dan sekte Jodo dan Jodoshin mendapat mayoritas penganut dari kalangan nomin atau petani. Salah satu tokoh pemikir agama Budha adalah Kasahara Kazuo yang juga merupakan seorang pakar sejarah. Kasahara Kazuo mengemukakan bahwa ada empat ciri khas yang menandai perkembangan pemikiran keagamaan Budha Jepang di zaman Kamakura. Keempat ciri tersebut adalah senjaku, senju, igyo, dan minshukasareta. Senjaku menjadikan agama Budha menjadi agama monotheisme yang mempercayai satu dewa atau satu jalan keyakinan. Dari sekian banyak dewa Budha dan sekian banyak jalan keyakinan, beberapa tokoh agama Budha Jepang pada zaman Kamakura hanya memilih satu hotoke (dewa Budha) atau hanya satu jalan keyakinan saja. Hal ini berbeda dengan sistem kepercayaan agama Budha sebelumnya yang dimana sekte-sekte agama Budha menganut sistem kepercayaan polytheisme, mempercayai berbagai macam dewa Budha atau berbagai jalan keyakinan.Ciri khas ajaran agama Budha yang kedua adalah senju. Senju menjelaskan bahwa para penganut ajaran agama Budha dari masing-masing sekte tidak mempercayai atau memuja dewa atau jalan keyakinan yang lain selain dewa yang telah ditetapkan sebagai pusat kepercayaan sektenya sendiri, misalnya Jodoshu (sekte Jodo), Jodoshinshu (sekte Jodoshin), dan Jishu (sekte Ji) yang menaruh keyakinan hanya pada Amida Butsu namun mempunyai cara pemujaannya masing-masing. Selain itu adapula Rinzai Zenshu (sekte Rinzai Zen) dan Soto Zenshu (sekte Soto Zen) lebih memusatkan ajarannya pada upaya untuk melepaskan diri dari segala nafsu keduniawian dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan diri sendiri (jiriki) melalui zazen (meditasi) dan Nichirenshu (sekte Nichiren) yang hanya percaya pada Hokekkyo (Sadharma Pundarika Sutra).Ciri khas yang ketiga adalah igyo, yaitu memperoleh penyelamatan dengan cara yang mudah. Seorang pendeta Budha dalam sekte-sekte yang berkembang di zaman Kamakura dalam memperoleh pencapaian penyelamatan relatif tidak perlu melakukan aktivitas bertapa ataupun menjalani berbagai disiplin hidup kerahiban yang berat seperti yang dilakukan pada sekte-sekte Budha terdahulu. Sebagai contoh dalam ajaran agama Budha sekte bumi suci, Jodo, sebagaimana diajarkan oleh pendeta Honen, penyelamatan dari Amida Butsu dengan sendirinya akan didapat oleh para penganutnya jika mereka telah: (a) menanamkan keyakinan penuh pada Amida Butsu; (b) sebanyak mungkin mengucapkan nenbutsu (nama Amida Butsu yang berarti: Saya pasrah sepenuh hati pada Amida Butsu); dan (c) melakukan berbagai kebajikan teerhadap sesama manusia. Sedangkan dalam sekte Jodoshin (sekte bumi suci yang sesungguhnya), sebagaimana yang diajarkan Shinran, pengucapan nenbutsu tersebut tidak perlu dalam jumlah yang banyak. Menurut Shinran mengucapkan nenbutsu dalam jumlah yang banyak pun belum tentu mengandung keyakinan, tetapi setiap keyakinan harus mengandung nama Amida Butsu. Hal tersebut menjelaskan bahwa menurut Shinran nenbutsu cukup diucapkan satu kali saja asalakan hal itu dilakukan dengan fukaku shinjiru atau keyakinan yang tulus dan sepenuh hati disertai dengan kesadaran bahwa dirinya adalah akunin (orang yang tidak baik), maka yang bersangkutan akan memperoleh kyusai (penyelamatan) dari Amida Butsu.Ciri khas yang terakhir adalah minshukasareta, yaitu menyebarluaskan ajaran agama Budha di kalangan rakyat biasa. Hal ini bertolak belakang dengan kecenderungan pada masa sebelumnya yang mencerminkan bahwa agama Budha merupakan agama anutan kaum penguasa dan bangsawan. Dengan demikian sejak zaman Kamakura makna simbolik agama Budha di dalam masyakarat Jepang telah bergeer dari statusnya sebagai agama Budha negara atau kokka bukkyo menjadi agama yang lebih bersifat pribadi dan terbuka luas untuk seluruh lapisan masyarakat atau disebut kojinteki syakaiteki. Dengan pesatnya penyebarluasan ajaran sekte-sekte baru dengan ciri khas di dalam berbagai lapisan masyarakat menyebabkan penganut masing-masing sekte berkembang pesat pula, sehingga pada akhirnya masing-masing sekte secara kelembagaan menjelma menjadi organisasi keagamaan yang besar dan kuat di Jepang, bahkan mereka dapan mengalahkan sekte-sekte pendahulunya seperti sekte Tendai dan Singon. Berdasarkan fenomena ini, seorang budayawan dan pakar sejarah pemikiran Jepang terkemuka, Saburo Ie Naga berpendapat bahwa Sesudah zaman Kamakura pemikiran keagamaan Budha Jepang di kalangan para tokoh penganutnya tidak lagi mengalami perembangan yang berarti. (Saburo, 1991:130-131)Pemikiran Shinan ShoninPemikiran keagamaan Shinran adalah adanya konsep akunin shoki dan zettai tariki. Suatu konsep dan keyakinan yang menawarkan alternatif kepada manusia yang bergelimang dosa karena tidak bisa melepaskan diri dari bonno (nafsu keduniawian) tetapi mempunyai keinginan untuk mendapatkan kyusai (pencerahan) dari Amida Butsu. Akunin shoki secara etimologis berasal dari kata aku (tidak baik atau jahat) nin (orang atau manusia) sho (benar) ki (kesempatan atau peluang). Dengan demikian pengertian akunin shoki adalah peluang yang sesungguhnya bagi orang yang tidak baik atau jahat. Akunin disini bukan berarti manusia atau orang yang selalu berbuat jahat dan semacamnya, tetapi berkaitan dengan orientasi kesadaran diri manusia sebagai makhluk yang tidak bisa lepas dari bonno atau keduniawian namun pasrah secara total kepada Amida Butsu agar bisa memperoleh kyusai atau pencerahan. Zettai tariki terbentuk dari perpaduan kata zettai (mutlak) dan tariki (kekuatan lain). Maka pengertiannya adalah perasaan percaya atau keyakinan mutlak yang disertai kepasrahan total terhadap kekuatan lain, yaitu Amida Butsu sebagai satu-satunya daya atau kekuatan yang dapat memberikan karunia dan keselamatan kepada manusia sepanjang hayatnya untuk kelak dapat mencapai bumi suci. Dengan adanya dua konsep ini dapat dikatakan seluruh umat Budha dapat mencapai pencerahan apabila mereka mengakui bahwa dirinya semata-mata hanyalah orang yang tidak bisa lepas dari nafsu keduniawian dan berusaha menjauhkan diri dari perbuatan yang dilarang dalam ajaran agama Budha serta memiliki keyakinan mutlak disertai kepasrahan kepada Amida Butsu.