34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

66
IMPLIKASI PARADIGMA BARU PENDIDIKAN TERHADAP MODEL PERENCANAAN PENDIDIKAN DALAM RANGKA IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA OTONOMI DAERAH 1 Oleh : Wasitohadi 2 ABSTRAK Era reformasi telah membawa perubahan mendasar dalam pendidikan, salah satunya adalah terjadinya perubahan arah paradigma pendidikan, termasuk dalam hal sistem perencanaan pendidikan di daerah. Dengan terjadinya perubahan paradigma baru pendidikan, maka sistem perencanaan pendidikan dalam iklim pemerintahan yang sentralistik, sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan perencanaan pendidikan pada era otonomi daerah, sehingga diperlukan paradigma baru perencanaan pendidikan. Paradigma baru perencanaan pendidikan akan berimplikasi pada proses perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota. Dalam era otonomi daerah, sistem perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota adalah bagian integral dari sistem perencanaan pembangunan daerah Kabupaten/Kota, yaitu mendasarkan pada perencanaan partisipatif, di mana perencanaan dibuat dengan memperhatikan dinamika, prakarsa dan kebutuhan masyarakat setempat. Oleh karenanya, dalam penyusunan perencanaan pembangunan, termasuk dalam perencanaan pendidikan di daerah Kabupaten/Kota, diperlukan koordinasi antar instansi Pemerintah dan partisipasi seluruh pelaku pembangunan, melalui suatu forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) tingkat kelurahan, tingkat kecamatan, dan tingkat Kota, serta forum Satuan Kerja Perangkat Daerah. Dalam melakukan perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota, pertama-tama perlu dilakukan analisis lingkungan strategis, untuk mengetahui lingkungan eksternal yang berpengaruh terhadap perencanaan pendidikan kabupaten/kota. Selain itu, berbagai perubahan lingkungan strategis harus diakomodasi dan diinternalisasikan ke dalam perencanaan pendidikan kabupaten/kota agar perencanaan tersebut benar-benar menyatu dengan perubahan lingkungan strategis tersebut. Kemudian, perlu analisis situasi untuk mengetahui ”situasi pendidikan saat ini” dan ”situasi pendidikan yang diharapkan” menyangkut berbagai kebijakan pendidikan yang ditetapkan, sehingga kesenjangan dapat diketahui dan kebijakan substantif dan implementatif, program serta rencana kegiatan dapat dipikirkan secara integrated. Berhubung dengan itu, perlu sebuah pemikiran inovatif-kreatif mengenai model pembangunan sistem pendidikan yang terintegrasi, yang dapat meramu sekaligus mengakomodasi upaya peningkatan dan pencapaian berbagai kebijakan pendidikan yang ditargetkan secara bersama-sama, bukan secara parsial dan berurutan. Kata kunci: otonomi, desentralisasi, paradigma baru pendidikan, perencanaan partisipatif, kebijakan pendidikan, model pembangunan sistem pendidikan yang terintegrasi. 1 Makalah ini adalah sebuah pemikiran awal yang dibuat dalam rangka Simposium Tahunan Penelitian Pendidikan 2008 di Jakarta, 11-14 Agustus 2008. 2 Mahasiswa S3 program studi Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta. Kini sedang mempersiapkan proposal disertasi tentang ”Refleksi Hubungan Paradigma Baru Pendidikan: Sistem dan Praksisnya (Kajian Kasus Pendidikan SD di Kota Salatiga).” 1

Transcript of 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

Page 1: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

IMPLIKASI PARADIGMA BARU PENDIDIKAN TERHADAP MODEL PERENCANAAN PENDIDIKAN

DALAM RANGKA IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA OTONOMI DAERAH1

Oleh : Wasitohadi2

ABSTRAK

Era reformasi telah membawa perubahan mendasar dalam pendidikan, salah satunya adalah terjadinya perubahan arah paradigma pendidikan, termasuk dalam hal sistem perencanaan pendidikan di daerah. Dengan terjadinya perubahan paradigma baru pendidikan, maka sistem perencanaan pendidikan dalam iklim pemerintahan yang sentralistik, sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan perencanaan pendidikan pada era otonomi daerah, sehingga diperlukan paradigma baru perencanaan pendidikan.

Paradigma baru perencanaan pendidikan akan berimplikasi pada proses perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota. Dalam era otonomi daerah, sistem perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota adalah bagian integral dari sistem perencanaan pembangunan daerah Kabupaten/Kota, yaitu mendasarkan pada perencanaan partisipatif, di mana perencanaan dibuat dengan memperhatikan dinamika, prakarsa dan kebutuhan masyarakat setempat. Oleh karenanya, dalam penyusunan perencanaan pembangunan, termasuk dalam perencanaan pendidikan di daerah Kabupaten/Kota, diperlukan koordinasi antar instansi Pemerintah dan partisipasi seluruh pelaku pembangunan, melalui suatu forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) tingkat kelurahan, tingkat kecamatan, dan tingkat Kota, serta forum Satuan Kerja Perangkat Daerah.

Dalam melakukan perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota, pertama-tama perlu dilakukan analisis lingkungan strategis, untuk mengetahui lingkungan eksternal yang berpengaruh terhadap perencanaan pendidikan kabupaten/kota. Selain itu, berbagai perubahan lingkungan strategis harus diakomodasi dan diinternalisasikan ke dalam perencanaan pendidikan kabupaten/kota agar perencanaan tersebut benar-benar menyatu dengan perubahan lingkungan strategis tersebut. Kemudian, perlu analisis situasi untuk mengetahui ”situasi pendidikan saat ini” dan ”situasi pendidikan yang diharapkan” menyangkut berbagai kebijakan pendidikan yang ditetapkan, sehingga kesenjangan dapat diketahui dan kebijakan substantif dan implementatif, program serta rencana kegiatan dapat dipikirkan secara integrated. Berhubung dengan itu, perlu sebuah pemikiran inovatif-kreatif mengenai model pembangunan sistem pendidikan yang terintegrasi, yang dapat meramu sekaligus mengakomodasi upaya peningkatan dan pencapaian berbagai kebijakan pendidikan yang ditargetkan secara bersama-sama, bukan secara parsial dan berurutan.

Kata kunci: otonomi, desentralisasi, paradigma baru pendidikan, perencanaan

partisipatif, kebijakan pendidikan, model pembangunan sistem pendidikan yang terintegrasi.

1 Makalah ini adalah sebuah pemikiran awal yang dibuat dalam rangka Simposium Tahunan Penelitian

Pendidikan 2008 di Jakarta, 11-14 Agustus 2008. 2 Mahasiswa S3 program studi Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta. Kini sedang

mempersiapkan proposal disertasi tentang ”Refleksi Hubungan Paradigma Baru Pendidikan: Sistem dan Praksisnya (Kajian Kasus Pendidikan SD di Kota Salatiga).”

1

Page 2: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

A. Pendahuluan

Era reformasi telah membawa perubahan-perubahan mendasar dalam berbagai

kehidupan termasuk kehidupan pendidikan. Salah satu perubahan mendasar adalah

manajemen Negara, yaitu dari manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis

daerah. Secara resmi, perubahan manajemen ini telah diwujudkan dalam bentuk

Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999, yang kemudian direvisi dan

disempurnakan menjadi Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah. Pedoman pelaksanaannyapun telah dibuat melalui Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan

Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Konsekuensi logis dari Undang-Undang

dan Peraturan Pemerintah tersebut adalah bahwa manajemen pendidikan harus

disesuaikan dengan jiwa dan semangat otonomi.

Penyesuaian dengan jiwa dan semangat otonomi itu, antara lain terwujud dalam

bentuk perubahan arah paradigma pendidikan, dari paradigma lama ke paradigma baru,

yang tentu juga berdampak pada paradigma perencanaan pendidikannya. Secara ideal,

paradigma baru pendidikan tersebut mestinya mewarnai kebijakan pendidikan baik

kebijakan pendidikan yang bersifat substantif maupun implementatif. Seperti yang

dinyatakan oleh Azyumardi Azra (2002: xii) bahwa dengan era otonomi daerah :

”lembaga-lembaga pendidikan, seperti sekolah, madrasah, pesantren, universitas (perguruan tinggi), dan lainnya – yang terintegrasi dalam pendidikan nasional- haruslah melakukan reorientasi, rekonstruksi kritis, restrukturisasi, dan reposisi, serta berusaha untuk menerapkan paradigma baru pendidikan nasional”. Selain itu, implementasi kebijakan tersebut diharapkan berdampak positif terhadap kemajuan pendidikan di daerah dan di tingkat satuan pendidikan.3

Agar dampak positif dapat benar-benar terwujud, kemampuan perencanaan

pendidikan yang baik di daerah sangatlah diperlukan. Dengan kemampuan perencanaan

pendidikan yang baik diharapkan dapat mengurangi kemungkinan timbulnya

permasalahan yang serius. Fiske (1996) menyatakan bahwa berdasarkan pengalaman

berbagai negara sedang berkembang yang menerapkan otonomi di bidang pendidikan,

3 Alhumani, misalnya, dalam Kompas (2000), menyebutkan empat kemungkinan dampak positif dari

kebijakan desentralisasi pendidikan, yaitu (1) peningkatan mutu, (2) efisiensi keuangan dan administrasi, (3) relevansi pendidikan, dan (4) perluasan atau pemerataan pendidikan. Namun, laporan Bank Dunia (1998:73) mengingatkan : “Clearly, decentralization is not answer to all education problems, but experience shows that it is a necessary, while not a sufficient, condition for improving teaching and learning”. Selanjutnya, Husen & Postlethwaite (1994:1413) menyatakan : “…four factors are associated with decentralization “successes” and “Failures”. There are (a) cultural context, (b) political support from national leaders and local elites, (c) adequate planning and management, and (d) local empowerement”.

2

Page 3: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

otonomi berpotensi memunculkan masalah: perbenturan kepentingan antara Pemerintah

Pusat dan Daerah, menurunnya mutu pendidikan, inefisiensi dalam pengelolaan

pendidikan, ketimpangan dalam pemerataan pendidikan, terbatasnya gerak dan ruang

partisipasi masyarakat dalam pendidikan, serta berkurangnya tuntutan akuntabilitas

pendidikan oleh pemerintah serta meningkatnya akuntabilitas pendidikan oleh

masyarakat.

Selain itu, dengan perencanaan yang baik, konon, merupakan separoh dari

kesuksesan dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan yang telah

diotonomikan di daerah. Sayangnya, kata Abdul Madjid dalam tulisannya ”Pendidikan

Tanpa Planning” (Kedaulatan Rakyat, 2006), bahwa rendahnya mutu pendidikan kita

disebabkan oleh belum komprehensifnya pendekatan perencanaan yang digunakan.

Perencanaan pendidikan, katanya, hanya dijadikan faktor pelengkap atau dokumen

”tanpa makna” sehingga sering terjadi tujuan yang ditetapkan tidak tercapai secara

optimal. Dapat juga terjadi, seperti dinyatakan H. Noeng Muhadjir (2003:89), bahwa

”pembuatan implementasi kebijakan berupa perencanaan, mungkin saja dilakukan oleh

para eksekutif tanpa penelitian lebih dahulu. Kemungkinan resikonya beragam,

misalnya membuat kesalahan yang sama dengan eksekutif terdahulu, tidak realistis,

tidak menjawab masalah yang dihadapi masyarakat, sampai ke dugaan manipulatif-

koruptif ”.

B. Kajian Teori

1. Konsep Otonomi Daerah

Sehari sesudah merdeka, Negara Kesatuan RI pada dasarnya telah menetapkan

pilihannya secara formal pada dianutnya asas desentralisasi dalam penyelenggaraan

pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk

menyelenggarakan otonomi daerah. Hal itu dapat disimpulkan dari bunyi Bab IV, pasal

18 UUD 1945 dan penjelasannya. Dalam pasal 18 UUD 1945, antara lain dinyatakan

bahwa “pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan

susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang”. Sementara, dalam

penjelasan pasal tersebut antara lain dikemukakan bahwa:

“…oleh karena negara Indonesia itu suatu “eenheidsstaat”, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah yang lebih kecil. Daerah itu bersifat otonom (streck dan locale rechtsgemeenchappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang”.

3

Page 4: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

Dalam amandemen kedua UUD 1945, ketentuan tersebut mengalami

perubahan. Perubahan tersebut tidak merubah esensinya, tapi lebih bersifat

mempertegas, memperjelas dan melengkapi. Disebutkan, misalnya, “Negara Kesatuan

RI dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan

kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah”

(pasal 18 ayat 1). Pemerintah daerah tersebut mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (pasal 18 ayat 2).

Selanjutnya, dikatakan bahwa pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-

luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai

urusan Pemerintah Pusat (pasal 18 ayat 5 UUD 1945).

Secara etimologi, perkataan otonomi berasal dari bahasa latin “autos” yang

berarti sendiri dan “nomos” yang berarti aturan. Dengan demikian, mula-mula otonomi

berarti mempunyai “peraturan sendiri” atau mempunyai hak/kekuasaan/kewenangan

untuk membuat peraturan sendiri. Kemudian arti ini berkembang menjadi

“pemerintahan sendiri”. Pemerintahan sendiri ini meliputi pengaturan atau perundang-

undangan sendiri, pelaksanaan sendiri, dan dalam batas-batas tertentu juga pengadilan

dan kepolisian sendiri (Josep Riwu Kaho,1991:14). Sementara itu, dalam UU No. 32/

2004 tentang Pemerintah Daerah ditegaskan bahwa otonomi daerah adalah hak,

wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

Urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat yang diatur dan

diurus tersebut meliputi kewenangan-kewenangan yang diserahkan oleh pemerintah

pusat kepada daerah-daerah untuk diselenggarakan menurut prakarsa sendiri

berdasarkan aspirasi masyarakat. Josef Riwu Kaho (1991:15-17) menyebutkan berbagai

teknik untuk menetapkan bidang mana yang menjadi urusan pemerintah pusat dan mana

yang merupakan wewenang pemerintah daerah, yaitu (a) sistem residu, (b) sistem

material, (c) sistem formal, (d) sistem otonomi riil, dan (e) prinsip otonomi yang nyata,

dinamis dan bertanggung jawab.

Dalam sistem residu, secara umum telah ditentukan lebih dahulu tugas-tugas

yang menjadi wewenang pemerintah pusat, sedangkan sisanya menjadi urusan rumah

tangga daerah. Kebaikannya terutama terletak pada saat timbulnya keperluan-keperluan

baru, pemerintah daerah dapat dengan cepat mengambil keputusan dan tindakan yang

dipandang perlu, tanpa menunggu perintah dari pusat. Sebaliknya, sistem ini dapat pula

4

Page 5: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

menimbulkan kesulitan mengingat kemampuan daerah yang satu dengan yang lainnya

tidak sama dalam pelbagai lapangan atau bidang. Akibatnya, bidang atau tugas yang

dirumuskan secara umum ini dapat menjadi terlalu sempit bagi daerah yang

kemampuannya terbatas.

Sementara, dalam sistem material, tugas pemerintah daerah ditetapkan satu

persatu secara limitatif atau terinci. Di luar tugas yang telah ditentukan, merupakan

urusan pemerintah pusat. Kelemahannya, sistem ini kurang fleksibel karena setiap

perubahan tugas dan wewenang daerah harus dilakukannya melalui prosedur yang lama

dan berbelit-belit. Akibatnya, memghambat kemajuan daerah, karena mereka harus

menunggu penyerahan yang nyata bagi setiap urusan. Kadang-kadang suatu urusan

menjadi terbengkelai, tidak diurus oleh pemerintah pusat dan tidak pula oleh pemerintah

daerah. Sedangkan dalam sistem formal, daerah boleh mengatur dan mengurus segala

sesuatu yang dianggap penting bagi daerahnya, asal saja tidak mencakup urusan yang

telah diatur dan diurus oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih tinggi

tingkatannya. Dengan kata lain, urusan rumah tangga daerah dibatasi oleh peraturan

perundang- undangan yang lebih tinggi tingkatannya.

Dalam sistem otonomi riil, penyerahan urusan atau tugas dan kewenangan

kepada daerah didasarkan pada faktor yang nyata atau riil, sesuai dengan kebutuhan dan

kemampuan yang riil dari daerah maupun pemerintah pusat serta pertumbuhan

kehidupan masyarakat yang terjadi. Karena pemberian tugas dan kewajiban serta

wewenang ini didasarkan pada keadaan riil di dalam masyarakat, maka kemungkinan

yang dapat ditimbulkannya ialah bahwa tugas atau urusan yang selama ini menjadi

wewenang pemerintah pusat dapat diserahkan kepada pemerintah daerah dengan melihat

kepada kemampuan dan keperluannya untuk diatur dan diurus sendiri. Sebaliknya, tugas

yang kini menjadi wewenang daerah, pada suatu ketika, bilamana dipandang perlu dapat

diserahkan kembali kepada pemerintah pusat atau ditarik kembali dari daerah .

Prinsip otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab dikenal dalam UU

No.5 tahun 1974 sebagai salah satu variasi dari sistem otonomi riil. Dalam UU tentang

Pemerintah Daerah yang baru, yaitu UU No. 22 tahun 1999, otonomi daerah

dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab

kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan

pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat

dan daerah.

5

Page 6: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan

pemerintahan mencakup semua bidang pemerintahan, kecuali bidang politik luar negeri,

pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang

lainnya yang akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Di samping itu, keleluasaan

otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya

mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi.

Yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk

menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada

dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan otonomi

yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai

konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan

kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi,

berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik,

pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan

hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga

keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sementara itu, dalam penjelasan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah disebutkan bahwa prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-

luasnya, nyata dan bertanggung jawab. Yang dimaksud prinsip otonomi seluas-luasnya

adalah bahwa daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan

pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah Pusat. Daerah memiliki

kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran

serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan

kesejahteraan rakyat.

Sedangkan prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani

urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang

senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai

dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap

daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan

otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya

harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada

dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat

yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.

6

Page 7: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

Seiring dengan prinsip itu, penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu

berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan

kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu, penyelenggaraan

otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antara daerah dengan daerah

lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan

kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antara daerah. Hal yang penting juga

adalah bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar

daerah dengan Pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan

wilayah negara dan tetap tegaknya negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka

mewujudkan tujuan negara.

Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak

dicapai, Pemerintah wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman

seperti dalam penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan. Di samping itu

diberikan pula standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian,

koordinasi, pemantauan dan evaluasi. Bersamaan dengan itu, Pemerintah wajib

memberikan fasilitasi berupa pemberian peluang, kemudahan, bantuan, dan dorongan

kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efisien dan

efektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

2. Konsep Desentralisasi Pendidikan

Bila otonomi daerah menunjuk pada hak, wewenang dan kewajiban daerah

otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakat, maka hal tersebut hanya mungkin jika Pemerintah Pusat

mendesentralisasikan atau menyerahkan wewenang pemerintahan kepada daerah

otonom. Inilah yang disebut dengan desentralisasi. Mengenai asas desentralisasi, ada

banyak definisi. Secara etimologis, istilah tersebut berasal dari bahasa Latin “de”,

artinya lepas dan “centrum”, yang berarti pusat, sehingga bisa diartikan melepaskan dari

pusat. Sementara, dalam Undang-undang No. 32 tahun 2004, bab I, pasal 1 disebutkan

bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah

kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam

sistem Negara Kesatuan RI. Sedangkan menurut Jose Endriga (Verania Andria & Yulia

Indrawati Sari,2000:iii) desentralisasi diartikan sebagai “systematic and rasional

dispersal of governmental powers and authority to lower level institutions so as to allow

multi–sectoral decision making as close as possible to problem area”. Lain halnya

7

Page 8: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

dengan Nuril Huda (1998:4), dia mengartikan desentralisasi sebagai “delegations of

responsibilities and powers to authorities at the lower levels”.

Secara konseptual, penerapan asas desentralisasi didasari oleh keinginan

menciptakan demokrasi, pemerataan dan efisiensi. Diasumsikan bahwa desentralisasi

akan menciptakan demokrasi melalui partisipasi masyarakat lokal. Dengan sistem yang

demokratis ini diharapkan akan mendorong tercapainya pemerataan pembangunan

terutama di daerah pedesaan dimana sebagian besar masyarakat tinggal. Sedangkan

efisiensi dapat meningkat karena jarak antara pemerintah lokal dengan masyarakat

menjadi lebih dekat, penggunaan sumber daya digunakan saat dibutuhkan dan masalah

diidentifikasi oleh masyarakat lokal sehingga tak perlu birokrasi yang besar untuk

mendukung pemerintah lokal. Sementara itu, Kotter (1997) dalam buku “Leading

Change”, menyatakan bahwa lembaga yang terdesentralisasi memiliki beberapa

keunggulan, antara lain : (1) lebih fleksibel, dapat memberikan respon dengan cepat

terhadap lingkungan dan kebutuhan yang selalu berubah, (2) lebih efektif, (3) lebih

inovatif, dan (4) menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih komitmen dan

lebih produktif. Sedangkan Achmad Budiono, M.Irfan & Yuli Andi (1998:216)

menyatakan bahwa dengan pengambilan keputusan dalam organisasi ke tingkat yang

lebih rendah maka akan cenderung memperoleh keputusan yang lebih baik.

Desentralisasi bukan saja memperbaiki kualitas keputusan tetapi juga kualitas

pengambilan keputusan. Dengan desentralisasi, pengambilan keputusan lebih cepat,

lebih luwes dan konstruktif.

Istilah desentralisasi muncul dalam paket UU tentang otonomi daerah yang

pelaksanaannya dilatarbelakangi oleh keinginan segenap lapisan masyarakat untuk

melakukan reformasi dalam semua bidang pemerintahan. Menurut Bray dan Fiske

(Depdiknas, 2001:3) desentralisasi pendidikan adalah suatu proses di mana suatu

lembaga yang lebih rendah kedudukannya menerima pelimpahan kewenangan untuk

melaksanakan segala tugas pelaksanaan pendidikan, termasuk pemanfaatan segala

fasilitas yang ada serta penyusunan kebijakan dan pembiayaan. Senada dengan itu,

Husen & Postlethwaite (1994:1407) mengartikan desentralisasi pendidikan sebagai “the

devolution of authority from a higher level of government, such as a departement of

education or local education authority, to a lower organizational level, such as

individual schools”. Sementara itu, menurut Fakry Gaffar (1990:18) desentralisasi

pendidikan merupakan sistem manajemen untuk mewujudkan pembangunan pendidikan

yang menekankan pada keberagaman, dan sekaligus sebagai pelimpahan wewenang dan

8

Page 9: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

kekuasaan dalam pembuatan keputusan untuk memecahkan berbagai problematika

sebagai akibat ketidaksamaan geografis dan budaya, baik menyangkut substansi

nasional, internasional atau universal sekalipun.

Bila dicermati, esensi terpenting dari berbagai pengertian di atas adalah otoritas

yang diserahkan. Williams (Depdiknas, 2001:3-4) membedakan adanya dua macam

otoritas (kewenangan dan tanggung jawab) yang diserahkan dari pemerintah pusat ke

pemerintah yang lebih rendah, yaitu desentralisasi politis (political decentralization) dan

desentralisasi administrasi (administrative decentralization). Perbedaan antar keduanya

terletak dalam hal tingkat kewenangan yang dilimpahkan.

Pada desentralisasi politik, kewenangan yang dilimpahkan bersifat mutlak.

Pemda menerima kewenangan melaksanakan tanggung jawab secara menyeluruh. Ia

memegang otoritas untuk menentukan segala kebijakan tentang penyelenggaraan

pendidikan untuk masyarakatnya. Hal itu mencakup kewenangan untuk menentukan

model, jenis, sistem pendidikan, pembiayaan, serta lembaga apa yang akan

melaksanakan kewenangan-kewenangan tersebut. Sedangkan dalam desentralisasi

administrasi, kewenangan yang dilimpahkan hanya berupa strategi pelaksanaan tugas-

tugas pendidikan di daerah. Dengan kata lain, kewenangan yang diserahkan berupa

strategi pengelolaan yang bersifat implementatif untuk melaksanakan suatu fungsi

pendidikan. Dalam desentralisasi model ini, pemerintah pusat masih memegang

kekuasaan tertinggi dalam menentukan kebijakan makro, sedangkan pemerintah daerah

mempunyai kewajiban dan kewenangan untuk merencanakan, mengatur, menyediakan

dana dan fungsi-fungsi implementasi kebijakan lainnya.

Mengapa bidang pendidikan didesentralisasikan? Tentang hal itu, ada berbagai

pendapat dari para ahli. Husen & Postlethwaite (1994:1407) menguraikan mengenai

alasan desentralisasi (reasons for decentralization), yaitu (a) the improvement of

schools, (b) the belief that local participation is a logical form of governance in a

democracy, dan (c) in relation to fundamental values of liberty, equality, fraternity,

efficiency, and economic growth. Sementara itu, setelah melakukan studi di berbagai

negara, Fiske (1998:24-47) menyebutkan sekurang-kurangnya ada empat alasan rasional

diterapkannya sistem desentralisasi, termasuk pendidikan, yaitu (a) alasan politis,

seperti untuk mempertahankan stabilitas dalam rangka memperoleh legitimasi

pemerintah pusat dari masyarakat daerah, sebagai wujud penerapan ideologi sosialis dan

laissez-faire dan untuk menumbuhkan kehidupan demokrasi, (b) alasan sosio-kultural,

yakni untuk memberdayakan masyarakat lokal, (c) alasan teknis administratif dan

9

Page 10: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

paedagogis, seperti untuk memangkas manajemen lapisan tengah agar dapat membayar

gaji guru tepat waktu atau untuk meningkatkan antusiasme guru dalam proses belajar

mengajar, (d) alasan ekonomis-finansial, seperti meningkatkan sumber daya tambahan

untuk pembiayaan pendidikan dan sebagai alat pembangunan ekonomi.

Pendapat lain yang lebih sesuai dengan konteks desentralisasi pendidikan di

Indonesia dikemukakan oleh Nuril Huda (1998:3-5). Ia berpendapat bahwa

desentralisasi pendidikan di Indonesia dimaksudkan untuk mencapai efisiensi

pendidikan dengan mengakomodasi aspirasi masyarakat lokal. Ia juga memberi alasan

rinci mengapa pertanggungjawaban implementasi pendidikan didesentralisasikan, yaitu:

Pertama, secara politik desentralisasi adalah cara mendemokratiskan

manajemen urusan-urusan publik (politically decentralization is a way of democratizing

the management of public affairs). Di bawah skema desentralisasi, pertanggungjawaban

pendidikan tertentu diberikan kepada pemerintah daerah. DPRD mengawasi

perencanaan dan pelaksanaan pendidikan di daerah. Dengan melibatkan wakil rakyat di

dalam urusan pendidikan, diharapkan akan mendukung partisipasi masyarakat yang

lebih besar di dalam pelaksanaan pendidikan dan dalam memecahkan masalah yang

berhubungan dengannya.

Kedua, secara teknis adalah sulit untuk mengelola pendidikan secara efisien di

dalam sebuah wilayah yang luas yang berisi banyak pulau (technically it is difficult to

manage education efficiently in a vast area consisting of islands). Masalah komunikasi

dan transportasi antara pemerintah pusat dan daerah, khususnya pada masa lalu, telah

menjadi pertimbangan penting untuk desentralisasi. Lagi pula, sentralisasi akan

membuat sulit untuk memecahkan masalah - masalah perbedaan-perbedaan regional dan

untuk mempertemukan kebutuhan dan tuntutan khusus mereka. Perbedaan-perbedaan

budaya dan tingkat perkembangan masing-masing daerah menyumbang perbedaan-

perbedaan dalam kebutuhan-kebutuhan dan hakekat pendekatan untuk menyelesaikan

masalah.

Ketiga, alasan utama desentralisasi pendidikan adalah efisiensi dan efektifitas

dalam menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan pendidikan

(efficiency and effectiveness in handling problems related to the implementation of

education). Dan, alasan keempat, untuk mengurangi beban administrasi yang

berlebihan dari pemerintah pusat (to reduce the overloaded burden of administration of

the central government).

10

Page 11: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

Sementara itu, berbeda dengan empat argumen itu, Kacung Marijan

(Abdurrahmansyah, 2001:58) melihat penerapan desentralisasi pendidikan di Indonesia

justru sebagai gejala keputusasaan pemerintah dalam menghadapi persoalan keuangan.

Sedangkan Arbi Sanit (2000:1) memandang penerapan desentralisasi secara umum

sebagai “jalan keluar” bagi problematik ketimpangan kekuasaan antara pemerintah

nasional dan pemerintah lokal. Karena itu, menurutnya, konsep desentralisasi bertolak

dari asumsi pemberian sebagian kekuasaan pemerintah pusat kepada pemerintah lokal

atau yang lebih rendah dalam rangka mencapai tujuan nasional. Pemberian sebagian

kekuasaan tersebut untuk mengatasi kekecewaan daerah terhadap pemerintah pusat,

yang berakar pada persoalan: (1) ketimpangan struktur ekonomi Jawa-Luar Jawa, (2)

sentralisasi politik, (3) korupsi birokrasi, (4) eksploitasi SDA, (5) represi dan

pelanggaran HAM, dan (6) penyeragaman politik hingga kultural.

Tujuan desentralisasi pendidikan adalah untuk memperbaiki proses

pengambilan keputusan dengan melibatkan lebih banyak stakeholders di daerah, untuk

menghasilkan integrasi sekolah dengan masyarakat lokal secara terus menerus, untuk

mendekatkan sekolah dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat, dan akhirnya untuk

memperbaiki motivasi, kehadiran dan pencapaian murid. Selain itu, desentralisasi

tersebut juga dalam rangka memberi kesempatan kepada rakyat atau masyarakat luas

untuk berpartisipasi secara aktif dan kreatif sehingga pendidikan mampu menghasilkan

sumber daya manusia yang berkualitas yang akan bermanfaat bagi pembangunan

daerah.

3. Model-Model Desentralisasi Pendidikan

Tingkat kewenangan yang dilimpahkan kepada pemda membawa konsekuensi

pada model pelaksanaannya. William (Depdiknas, 2001:5) memerinci desentralisasi ke

dalam tiga model, yaitu dekonsentrasi (deconcentration), delegasi (delegation), dan

devolusi (devolution). Dekonsentrasi adalah model pengalihan tanggung jawab

pengelolaan pendidikan dari pemerintah pusat ke pemerintah yang lebih rendah

sedemikian rupa sehingga lembaga di pemerintah pusat masih memegang kendali

pelaksanaan pendidikan secara penuh. Model desentralisasi ini seringkali dilaksanakan

dengan membentuk lembaga setingkat direktorat di daerah yang dapat melaksanakan

tanggung jawab pemerintah pusat.

Berbeda dengan itu, dalam model delegasi pemerintah pusat meminjamkan

kekuasaannya pada pemerintah daerah atau kepada organisasi/lembaga semiotonom.

Kekuasaan pemerintah pusat ini tidak diberikan, namun dipinjamkan. Jika pemerintah

11

Page 12: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

memandang perlu, otoritas itu bisa ditarik kembali. Sementara, dalam model devolusi

pemerintah pusat menyerahkan kewenangan dalam seluruh pelaksanaan pendidikan

meliputi pembiayaan, administrasi serta pengelolaan yang lebih luas. Kewenangan yang

diberikan ini lebih permanen dan tidak dapat ditarik kembali lagi hanya karena

tingkah/permintaan pemegang kekuasaan di pusat.

Ketiga model tersebut berbeda dalam hal tingkat kewenangan yang

disampaikan. Model dekonsentrasi adalah model penyerahan kewenangan yang paling

rendah, model delegasi lebih besar/tinggi, dan model devolusi yang paling tinggi.

Tingkat kewenangan yang dilimpahkan ini juga akan berkonsekuensi lebih jauh pada

pelaksanaannya. Semakin besar kewenangan yang diterima dari pemerintah pusat,

semakin besar sumberdaya yang harus dikeluarkan untuk melaksanakan kewenangan

tersebut. Dengan demikian, terbuka bagi penerima kewenangan untuk mencari segala

upaya dalam melaksanakan kewenangan itu, termasuk bekerja sama dengan pihak-pihak

lain yang mereka nilai membantu dan menguntungkan mereka.

Rondinelli (Husen & Postlethwaite, 1994:1412) menambahkan satu kategori

lagi, yaitu privatisasi (privatization), yaitu model penyerahan kewenangan

penyelenggaraan pendidikan kepada pihak swasta. Model ini berbeda dengan ketiga

model William dari segi penerima kewenangan. Menurut Abdurrahmansyah (2001:61),

dalam kasus pembicaraan desentralisasi pendidikan di Indonesia sejauh yang telah

dilakukan nampaknya cenderung mengambil model yang terakhir, swastanisasi. Selain

tidak terlalu rumit, menurutnya, bentuk ini terkesan hanya sekedar pemindahan

pelimpahan kewajiban dari urusan pemerintah menjadi urusan masyarakat.

Sementara itu, Nuril Huda (1999:16) mengemukakan tiga model desentralisasi

pendidikan, yaitu (1) manajemen berbasis lokasi (site-based management), (2)

pengurangan administrasi pusat, dan (3) inovasi kurikulum. Pada model manajemen

berbasis lokasi dilaksanakan dengan meletakkan semua urusan penyelenggaraan

pendidikan pada sekolah. Model pengurangan administrasi pusat merupakan

konsekuensi dari model pertama. Pengurangan administrasi pusat diikuti dengan

peningkatan wewenang dan urusan pada masing-masing sekolah. Model ketiga, inovasi

kurikulum menekankan pada inovasi kurikulum sebesar mungkin untuk meningkatkan

kualitas dan persamaan hak bagi semua peserta didik. Kurikulum ini disesuaikan benar

dengan kebutuhan peserta didik di daerah atau sekolah yang bervariasi. Di antara ketiga

model ini, model manajemen berbasis lokasi yang banyak diterapkan, untuk

12

Page 13: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

meningkatkan otonomi sekolah dan memberikan kesempatan kepada guru-guru, orang

tua, siswa dan anggota masyarakat dalam pembuatan keputusan.

4. Paradigma Baru Pendidikan

Era otonomi daerah telah mengakibatkan terjadinya pergeseran arah paradigma

pendidikan, dari paradigma lama ke paradigma baru, meliputi berbagai aspek mendasar

yang saling berkaitan, yaitu (1) dari sentralistik menjadi desentralistik, (2) dari

kebijakan yang top down ke kebijakan yang bottom up, (3) dari orientasi pengembangan

parsial menjadi orientasi pengembangan holistik, (4) dari peran pemerintah sangat

dominan ke meningkatnya peranserta masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif, serta

(5) dari lemahnya peran institusi non sekolah ke pemberdayaan institusi masyarakat,

baik keluarga, LSM, pesantren, maupun dunia usaha (Fasli Jalal, 2001: 5).4

Agak berbeda dengan hal tersebut, dalam buku Depdiknas (2002:10) tentang

Materi Pelatihan Terpadu untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota, selain perubahan

paradigma dari “sentralistik ke desentralistik” dan orientasi pendekatan “dari atas ke

bawah” (top down approach) ke pendekatan “dari bawah ke atas” (bottom up

approach) sebagaimana yang sudah disebut dalam buku Fasli Jalal, juga disebutkan tiga

paradigma baru pendidikan lainnya, yaitu dari “birokrasi berlebihan” ke

“debirokratisasi”, dari “Manajemen Tertutup” (Closed Management) ke “Manajemen

Terbuka” (Open Management), dan pengembangan pendidikan, termasuk biayanya,

“terbesar menjadi tanggung jawab pemerintah” berubah ke “sebagian besar menjadi

tanggung jawab orang tua siswa dan masyarakat (stakeholders).5

Bila kedua pendapat di atas dianalisis dan disintesakan, maka wujud pergeseran

paradigma pendidikan tersebut meliputi sebagai berikut.

a. Dari sentralisasi ke desentralisasi pendidikan

Sebelum otonomi, pengelolaan pendidikan sangat sentralistik. Hampir seluruh

kebijakan pendidikan dan pengelolaan pelaksanaan pendidikan diatur dari Depdikbud.

Seluruh jajaran, tingkat Kanwil Depdikbud, tingkat Kakandep Dikbud Kabupaten/Kota,

bahkan sampai di sekolah-sekolah harus mengikuti dan taat terhadap kebijakan-

4 Bandingkan dengan pendapat H.A.R. Tilaar. 2004. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta:

Penerbit Rineka Cipta; Azyumardi Azra.2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Kompas; dan Sindhunata.2000. Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

5 Sebenarnya, adalah sangat menarik untuk menganalisis perbedaan dan persamaan di antara dua pendapat di atas, kemudian menyimpulkan dan menguraikannya secara lebih detail mengenai pergeseran atau perubahan-perubahan yang ada menyangkut paradigma pendidikan. Tapi, untuk keperluan makalah ini cukuplah kalau dipaparkan ”seadanya”, karena tekanan makalah ini lebih pada perencanaan pendidikan di era otonomi daerah sebagai implikasi paradigma baru pendidikan tersebut.

13

Page 14: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

kebijakan yang seragam secara nasional, dan petunjuk-petunjuk pelaksanaannya.

Kakandep dan sekolah-sekolah tidak diperkenankan merubah, menambah dan

mengurangi yang sudah ditetapkan oleh Depdikbud/Kanwil Depdikbud, sekalipun tidak

sesuai dengan kondisi, potensi, kebutuhan sekolah dan masyarakat di daerah.

Dalam era reformasi, paradigma sentralistik berubah ke desentralistik.

Desentralistik dalam arti pelimpahan sebagian wewenang dan tanggung jawab dari

Depdiknas ke Dinas Pendidikan Propinsi, dan sebagian lainnya kepada Dinas

Pendidikan Kabupaten/Kota, bahkan juga kepada sekolah-sekolah. Pada perguruan

tinggi negeri/swasta dilimpahkan kepada rektor, bahkan juga pada fakultas, dan juga

pada jurusan/program studi.

Dengan UU dan Peraturan Pemerintah mengenai otonomi daerah,

Kabupaten/Kota dan DPRD Kabupaten/Kota, diberi wewenang membuat Peraturan-

Peraturan Daerah, mengenai pendidikan tingkat Kabupaten/Kota. Dengan desentralisasi

manajemen pendidikan tersebut, Dinas Pendidikan tingkat Kabupaten/Kota sebagai

perangkat pemerintah Kabupaten/Kota yang otonom, dapat membuat kebijakan-

kebijakan pendidikan, masing-masing sesuai wewenang yang dilimpahkan kepada

pemerintah Kabupaten/Kota dalam bidang pendidikan. Bahkan dalam pengelolaan

pendidikan pada tingkat Kabupaten/Kota, setiap sekolah juga diberi peluang untuk

membuat kebijakan sekolah (school policy) masing-masing atas dasar konsep

“manajemen berbasis sekolah” dan “pendidikan berbasis masyarakat”

Dengan demikian, sebagian perubahan dan kemajuan pendidikan tingkat

Kabupaten/Kota sangat bergantung pada kemampuan mengembangkan kebijakan

pendidikan dari masing-masing Kepala Dinas Pendidikan tingkat Kabupaten/Kota.

Desentralisasi manajemen pendidikan tersebut, dilaksanakan sejalan dengan

proses demokratisasi, sebagai proses distribusi tugas dan tanggung jawab dari

Depdiknas sampai di unit-unit satuan pendidikan. Iklim dan suasana serta mekanisme

demokratis bertumbuh dan berkembang pada seluruh tingkat dan jalur pengelolaan

pendidikan, termasuk di sekolah-sekolah dan di kelas-kelas ruang belajar.

b. Dari kebijakan yang top down ke kebijakan yang bottom up;

Sebelum otonomi, pendekatan pengembangan dan pembinaan pendidikan

dilakukan dengan mekanisme pendekatan “dari atas ke bawah” (top down approach)6.

6 H. Noeng Muhadjir (2003: 61) menyatakan bahwa kebijakan yang berasal dari atas (top down), di

bawah membantu implementasinya disebut menggunakan paradigma public policy, sedangkan kebijakan yang berasal dari bawah (bottom up), disebut menggunakan paradigma social policy.

14

Page 15: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

Berbagai kebijakan pengembangan/pembinaan pendidikan hampir seluruhnya

ditentukan oleh Depdikbud, dan dalam hal khusus di Propinsi ditentukan oleh Kanwil

Depdikbud, dan dalam hal khusus lainnya di Kabupaten/Kota ditentukan oleh

Kakandepdikbud, untuk dilaksanakan oleh seluruh jajaran pelaksana di wilayah,

termasuk di sekolah-sekolah.

Lain halnya dalam era reformasi, sebagian besar upaya pengembangan

pendidikan dilakukan dengan orientasi pendekatan “dari bawah ke atas” (bottom up

approach). Pendekatan bottom up harus terjadi dalam pengambilan keputusan di setiap

level instansi, misalnya sekolah, Dinas Kabupaten/Kota, yayasan penyelenggara

pendidikan, dan sebagainya. Berbagai aspirasi dan kebutuhan yang menjadi kepentingan

umum, sesuai kondisi, potensi dan prospek sekolah, diakomodasi oleh Dinas Pendidikan

Kabupaten/Kota, sesuai wewenang dan tanggung jawabnya. Dan hal-hal lainnya yang

menjadi wewenang dan tanggung jawab Dinas Propinsi diselesaikan pada tingkat

Depdiknas.

Oleh karenanya, tidak heran bila di Kabupaten/Kota sering terjadi “unjuk rasa”

para guru, siswa, orang tua siswa, dan masyarakat menuntut perbaikan kebijakan

pendidikan yang tidak sesuai dengan harapan mereka. Dan berbagai aspirasi yang baik

sudah seyogyanya diterima oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota untuk ditindaklanjuti.

c. Dari orientasi pengembangan yang parsial ke orientasi pengembangan yang

holistik

Sebelum otonomi, orientasi pengembangan bersifat parsial. Misalnya,

pendidikan lebih ditekankan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, menciptakan

stabilitas politik dan teknologi perakitan (Fasli Jalal, 2001:5). Pendidikan juga terlalu

menekankan segi kognitif, sedangkan segi spiritual, emosional, sosial, fisik dan seni

kurang mendapatkan tekanan (Paul Suparno, 2003:98). Akibatnya anak didik kurang

berkembang secara menyeluruh. Dalam pembelajaran yang ditekankan hanya to know

(untuk tahu), sedangkan unsur pendidikan yang lain to do (melakukan), to live together

(hidup bersama), to be (menjadi) kurang menonjol. Di Indonesia kesadaran akan hidup

bersama kurang mendapat tekanan, dengan akibat anak didik lebih suka mementingkan

hidupnya sendiri. Selain itu, pendekatan dan pengajaran di sekolah kebanyakan terpisah-

pisah dan kurang integrated. Setiap mata pelajaran berdiri sendiri, seakan tidak ada

kaitan dengan pelajaran lain.

Berbeda dengan itu, setelah reformasi orientasi pengembangan bersifat holistik.

Pendidikan diarahkan untuk pengembangan kesadaran untuk bersatu dalam

15

Page 16: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

kemajemukan budaya, menjunjung tinggi nilai moral, kemanusiaan dan agama,

kesadaran kreatif, produktif, dan kesadaran hukum (Fasli Jalal, 2001:5). Menurut Paul

Suparno (2003:100), pendidikan holistik dipengaruhi oleh pandangan filsafat holisme,

yang cirinya adalah keterkaitan (connectedness), keutuhan (wholeness), dan proses

menjadi (being).

Konsep saling keterkaitan mengungkapkan bahwa saling keterkaitan antara suatu

bagian dari suatu sistem dengan bagian-bagian lain dan dengan keseluruhannya. Maka

tidak mungkin suatu bagian dari suatu sistem lepas sendiri dari sistem itu dan lepas dari

bagian-bagian yang lain. Saling keterkaitan dapat dijabarkan dalam beberapa konsep

berikut, yaitu interdependensi, interrelasi, partisipasi dan non linier (Hent, 2001).

Interdependensi adalah saling ketergantungan satu unsur dengan yang lain. Masing-

masing tidak akan menjadi penuh berkembang tanpa yang lain. Ada saling

ketergantungan antara guru dengan siswa, antara siswa dengan siswa lain, antara guru

dengan guru lain, dan lain-lain.

Interrelasi dimaksudkan sebagai adanya saling kaitan, saling berhubungan antara

unsur yang satu dengan yang lain dalam pendidikan. Ada hubungan antara pendidik

dengan yang dididik, antara siswa dengan siswa lain, antara pendidik dengan pendidik

lain. Relasi ini bukan hanya relasi berkaitan dengan pengajaran tetapi juga relasi sebagai

manusia, sebagai pribadi. Partisipasi dimaksudkan sebagai keterlibatan, ikut andil dalam

sistem itu. Dalam pendidikan secara nyata siswa hanya akan berkembang bila terlibat,

ikut aktif didalamnya. Non linier menunjukkan bahwa tidak dapat ditentukan secara

linier serba jelas sebelumnya. Ada banyak hal yang tidak dapat diprediksikan

sebelumnya dalam pendidikan, meski kita telah menentukan unsur-unsurnya. Kita dapat

membantu anak-anak dengan segala macam nilai yang baik, namun dapat terjadi mereka

berkembang tidak baik. Pendekatan pendidikan yang mekanistis tidak tepat lagi.

Pendidikan tidak dipikirkan lagi secara linier, seakan-akan bila langkah-langkahnya

jelas lalu hasilnya menjadi jelas; tetapi lebih kompleks dan ada keterbukaan terhadap

unsur yang tidak dapat ditentukan sebelumnya.

Prinsip keutuhan menyatakan bahwa keseluruhan adalah lebih besar daripada

penjumlahan bagian-bagiannya. Prinsip keutuhan sangat jelas diwujudkan dengan

memperhatikan semua segi kehidupan dalam membantu perkembangan pribadi siswa

secara menyeluruh dan utuh. Maka, segi intelektual, sosial, emosional, spiritual, fisik,

seni, semua mendapat porsi yang seimbang. Salah satu unsur tidak lebih tinggi dari yang

lain sehingga mengabaikan yang lain. Kurikulum dibuat lebih menyeluruh dan

16

Page 17: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

memasukkan banyak segi. Pendekatan terhadap siswapun lebih utuh dengan

memperhatikan unsur pribadi, lingkungan dan budaya. Pembelajaran lebih

menggunakan inteligensi ganda, dengan mengembangkan IQ, SQ, dan EQ secara

integral.

Prinsip ”proses menjadi” mengungkapkan bahwa manusia memang terus

berkembang menjadi semakin penuh. Dalam proses menjadi penuh itu unsur partisipasi,

keaktifan, tanggung jawab, kreativitas, pertumbuhan, refleksi, dan kemampuan

mengambil keputusan sangat penting. Proses itu terus-menerus dan selalu terbuka

terhadap perkembangan baru. Dalam pendidikan, prinsip kemenjadian ini ditonjolkan

dengan pendekatan proses, siswa diaktifkan untuk mencari, menemukan dan

berkembang sesuai dengan keputusan dan tanggungjawabnya. Dalam proses itu, siswa

diajak lebih banyak mengalami sendiri, berefleksi dan mengambil makna bagi hidupnya.

Dalam proses ini siswa dibantu sungguh menjadi manusia yang utuh, bukan hanya

menjadi calon pekerja atau pengisi lowongan kerja.

d. Dari peran pemerintah yang dominan ke meningkatnya peranserta

masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif.

Sebelum otonomi, peran pemerintah sangat dominan. Hampir semua aspek dari

pendidikan diputuskan kebijakan dan perencanaannya di tingkat Pusat, sehingga daerah

terkondisikan lebih hanya sebagai pelaksana (Sumarno, 2001:3). Pendidikan dikelola

tanpa mengembangkan kemampuan kreativitas masyarakat, malah cenderung

meniadakan partisipasi masyarakat di dalam pengelolaan pendidikan. Lembaga

pendidikan terisolasi dan tanggung jawab sepenuhnya ada pada pemerintah pusat.

Sedangkan masyarakat tidak mempunyai wewenang untuk mengontrol jalannya

pendidikan. Selain itu, dengan sendirinya orang tua dan masyarakat, sebagai constituent

dari sistem pendidikan nasional yang terpenting, telah kehilangan peranannya dan

tanggung jawabnya. Mereka, termasuk peserta didik, telah menjadi korban, yaitu

sebagai obyek dari sistem yang otoriter. (Tilaar, 1999:113)

Sesudah otonomi, ada perluasan peluang bagi peran serta masyarakat dalam

pendidikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Oleh karena itu, untuk mendorong

partisipasi masyarakat, di tingkat Kabupaten/Kota dibentuk Dewan Pendidikan,

sedangkan di tingkat sekolah dibentuk komite sekolah. Pembentukan komite sekolah

didasarkan pada keputusan Mendiknas No.044/U/2002 tentang panduan pembentukan

komite sekolah.

17

Page 18: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

Menurut panduan, pembentukan komite sekolah dilakukan secara transparan,

akuntabel, dan demokratis. Transparan berarti bahwa komite sekolah harus dibentuk

secara terbuka dan diketahui oleh masyarakat secara luas mulai dari tahap pembentukan

panitia persiapan, proses sosialisasi oleh panitia persiapan, kriteria calon anggota, proses

seleksi calon anggota, pengumuman calon anggota, proses pemilihan, dan penyampaian

hasil pemilihan. Akuntabel berarti bahwa panitia persiapan pembentukan komite

sekolah hendaknya menyampikan laporan pertanggungjawaban kinerjanya maupun

penggunaan dan kepanitiaan. Sedangkan secara demokratis berarti bahwa dalam proses

pemilihan anggota dan pengurus dilakukan dengan musyawarah mufakat. Jika

dipandang perlu, dapat dilakukan melalui pemungutan suara.

e. Dari lemahnya peran institusi non sekolah ke pemberdayaan institusi

masyarakat.

Sebelum era otonomi, peran institusi non sekolah sangat lemah. Dalam era

otonomi, masyarakat diberdayakan dengan segenap institusi sosial yang ada di

dalamnya, terutama institusi yang dilekatkan dengan fungsi mendidik generasi penerus

bangsa. Berbagai institusi kemasyarakatan ditingkatkan wawasan, sikap, kemampuan,

dan komitmennya sehingga dapat berperan serta secara aktif dan bertanggung jawab

dalam pendidikan. Institusi pendidikan tradisionil seperti pesantren, keluarga, lembaga

adat, berbagai wadah organisasi pemuda bahkan partai politik bukan hanya

diberdayakan sehingga dapat mengembangkan fungsi pendidikan dengan lebih baik,

melainkan juga diupayakan untuk menjadi bagian yang terpadu dari pendidikan

nasional.

Demikian juga, ada upaya peningkatan partisipasi dunia usaha/industri dan

sektor swasta dalam pendidikan karena sebagai pengguna sudah semestinya dunia usaha

juga ikut bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan. Apabila lebih banyak

institusi kemasyarakatan peduli terhadap pendidikan maka pendidikan akan lebih

mampu menjangkau berbagai kelompok sasaran khusus seperti kelompok wanita dan

anak-anak kurang beruntung (miskin, berkelainan, tinggal di daerah terpencil dan

sebagainya).

Dalam upaya pemberdayaan masyarakat, perlu dilakukan pembenahan sebagai

kebijakan dasar, yaitu pengembangan kesadaran tunggal dalam kemajemukan,

pengembangan kebijakan sosial, pengayaan berkelanjutan (continuous enrichment) dan

pengembangan kebijakan afirmatif (affirmative policy) (Fasli Jalal, 2001:72-73).

18

Page 19: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

f. Dari ”birokrasi berlebihan” ke ”debirokratisasi”.

Sebelum otonomi, berbagai kegiatan pengembangan dan pembinaan diatur dan

dikontrol oleh pejabat-pejabat (birokrat-birokrat) melalui prosedur dan aturan-aturan

(regulasi) yang ketat, bahkan sebagiannya sangat ketat dan kaku oleh

Kandepdikbud/Kanwildikbud. Hal ini mempengaruhi pengelolaan sebagian sekolah-

sekolah, dalam iklim ”birokrasi berlebihan”. Dalam kondisi yang demikian, tidak jarang

ditemukan adanya ”kasus birokrasi yang berlebihan” dari sebagian pejabat birokrat yang

menggunakan ”kekuasaan berlebihan” dalam pembinaan guru, siswa, dan pihak-pihak

lainnya. Keadaan ini telah mematikan prakarsa, daya cipta, dan karya inovatif di

sekolah-sekolah.

Dalam era reformasi, terjadi proses ”debirokratisasi” dengan jalan

memperpendek jalur birokrasi dalam penyelesaian masalah-masalah pendidikan secara

profesional, bukan atas dasar ”kekuasaan” atau peraturan belaka. Hal ini sesuai dengan

prinsip profesionalisme dalam pendidikan, dan juga pelimpahan wewenang dan

tanggung jawab dalam desentralisasi. Di samping itu juga dilakukan ”deregulasi”, dalam

arti ”pengurangan” aturan-aturan kebijakan pendidikan yang tidak sesuai dengan

kondisi, potensi, dan prospek sekolah, dan kepentingan masyarakat (stakeholders) untuk

berpartisipasi terhadap sekolah, dalam bentuk gagasan penyempurnaan kurikulum,

peningkatan mutu guru, dana dan prasarana/sarana untuk sekolah.

g. Dari ”manajemen tertutup” (close management) ke ”management

terbuka” (open management).

Sebelum otonomi, diterapkan bentuk-bentuk ”manajemen tertutup”, sehingga

tidak transparan, tidak ada akuntabilitas kepada publik dalam pengelolaan pendidikan.

Dalam era reformasi, manajemen pendidikan menerapkan ”manajemen terbuka”

dari pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan sampai pada evaluasi, bahkan

perbaikan kebijakan. Seluruh sumber daya yang digunakan dalam pendidikan

dipertanggungjawabkan secara terbuka kepada seluruh kelompok masyarakat

(stakeholders), dan selanjutnya terbuka untuk menerima kritikan perbaikan bila

ditemukan hal-hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

h. Dari pengembangan pendidikan ”terbesar menjadi tanggung jawab

pemerintah” berubah ke ”sebagian besar menjadi tanggung jawab

orang tua siswa dan masyarakat (stakeholders)

19

Page 20: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

Sebelum otonomi, pengembangan pendidikan, termasuk pembiayaan, terbesar

menjadi tanggung jawab pemerintah, dibandingkan dengan menjadi tanggung jawab

orang tua siswa dan masyarakat (stakeholders).

Dalam era reformasi, pengembangan pendidikan, termasuk pembiayaan

pendidikan, berupa gaji honorarium/tunjangan mengajar, penataran/pelatihan,

rehabilitasi gedung dan lain-lain, diupayakan supaya sebagian besar akan menjadi

tanggung jawab orang tua siswa dan masyarakat (stakeholders). Kemajuan pendidikan

tingkat Kabupaten/Kota akan banyak bergantung pada partisipasi orang tua siswa dan

masyarakat serta pemerintah Kabupaten/Kota masing-masing, di samping proyek-

proyek khusus, dan juga kemudahan dan pengendalian mutu dan hal-hal kepentingan

nasional lainnya dari DEPDIKNAS, dan dari Dinas Propinsi.

5. Paradigma Baru Perencanaan Pendidikan

Dengan terjadinya perubahan paradigma baru pendidikan, maka sistem

perencanaan pendidikan dalam iklim pemerintahan yang sentralistik, sudah tidak sesuai

lagi dengan kebutuhan perencanaan pendidikan pada era otonomi daerah, sehingga

diperlukan paradigma baru perencanaan pendidikan. Menurut Mulyani A. Nurhadi

(2001:2), perubahan paradigma dalam sistem perencanaan pendidikan di daerah setidak-

tidaknya akan menyentuh lima aspek, yaitu sifat, pendekatan, kewenangan pengambilan

keputusan, produk serta pola perencanaan anggaran.

Dari segi sifat perencanaan pendidikan, maka perencanaan pendidikan pada

tingkat daerah sebagai kegiatan awal dari proses pengelolaan pendidikan termasuk

kegiatan yang wajib dilaksanakan oleh daerah. Sementara itu, Pemerintah Pusat

berkewajiban merumuskan kebijakan tentang perencanaan nasional, yang dalam

pelaksanaannya telah dituangkan dalam bentuk Undang-Undang RI No.25 tahun 2000

tentang Program Pembangunan Nasional. Pada tingkat Departemen, Propenas ini

dijabarkan lebih lanjut ke dalam dokumen Rencana Strategis (Renstra) yang memuat

strategi umum untuk mencapai tujuan program pembangunan di bidang masing-masing

dan dituangkan dalam Keputusan Menteri. Berdasarkan Renstra itu, Pemerintah Pusat

menyusun Program pembangunan tahunan yang disingkat Propeta yang dituangkan

dalam Keputusan Menteri, sesuai dengan lingkup tugas dan kewenangan masing-

masing.7

7 Dalam perkembangannya yang mutakhir, dengan esensi yang kurang lebih sama, tidak lagi memakai

istilah Propenas, Renstra dan Propeta, tapi diganti menjadi RPJP Nasional, RPJM Nasional, dan RKP.

20

Page 21: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

Selain itu, pada era otonomi daerah diharapkan akan lebih tumbuh kreativitas

dan prakarsa, serta mendorong peran serta masyarakat sesuai dengan potensi dan

kemampuan masing-masing daerah. Ini berarti bahwa dalam membangun pendidikan di

daerah Kabupaten/Kota perlu dilandasi dengan perencanaan pendidikan tingkat daerah

yang baik dan distinktif, tidak hanya bertumpu kepada perencanaan nasional yang

makro, tetapi juga dapat mempertimbangkan keunikan, kemampuan, dan budaya daerah

masing-masing sehingga mampu menumbuhkan prakarsa dan kreativitas daerah.

Perencanaan program pendidikan di daerah bukan lagi merupakan bagian atau fotokopi

dari perencanaan program tingkat nasional maupun propinsi, tetapi merupakan

perencanaan pendidikan yang unik dan mandiri sehingga beragam, walaupun disusun

atas dasar rambu-rambu kebijakan perencanaan nasional.

Dari segi pendekatan perencanaan pendidikan, era otonomi telah merubah

paradigma dalam pendekatan perencanaan pendidikan di daerah dari pendekatan diskrit

sektoral menjadi integrated dengan sektor lainnya di daerah. Sebelum otonomi, sistem

alokasi anggaran pendidikan di daerah diperoleh dari APBN pusat secara sektoral pada

sektor pendidikan, Pemuda dan Olahraga, serta Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha

Esa, namun setelah otonomi diperoleh dari APBD yang berasal dari berbagai sumber

sebagai bagian dari dana Daerah untuk seluruh sektor yang menjadi tanggung jawab

daerah. Sumber-sumber itu meliputi dana bagi hasil, dana alokasi umum, dana

dekonsentrasi, dana perbantuan, pendapatan asli daerah, dan bantuan masyarakat.

Dengan demikian, telah terjadi perubahan sumber anggaran yang semula bersifat

tunggal-hierarkhi-sektoral sekarang menjadi jamak-fungsional-regional, tetapi dalam

persaingan antar sektor.

Dari segi kewenangan pengambilan keputusan, sistem perencanaan pendidikan

yang sentralistik telah menutup kewenangan Daerah dalam pengambilan keputusan di

bidang pendidikan baik pada tataran kebijakan, skala prioritas, jenis program, jenis

kegiatan, bahkan dalam hal rincian alokasi anggaran. Namun, dalam era otonomi

Daerah dapat dan harus menetapkan kebijakan, program, skala prioritas, jenis kegiatan

sampai dengan alokasi anggarannya sesuai dengan kemampuan Daerah, sepanjang

tidak bertentangan dengan kebijakan nasional yang antara lain dalam bentuk Standar

Pelayanan Minimal (SPM) yang ditetapkan.

Sementara dari segi produk perencanaan pendidikan, pada era desentralisasi

produk perencanaan pendidikan diharapkan merupakan bagian tak terpisahkan dari

perencanaan pembangunan Daerah secara lintas sektoral. Oleh karena itu, produk

21

Page 22: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

perencanaan pendidikan yang dihasilkan harus mencakup seluruh komponen

perencanaan pendidikan yang meliputi: kebijakan, rencana strategis, skala prioritas,

program, sasaran dan kegiatan, serta alokasi anggarannya dalam konteks perencanaan

pembangunan Daerah secara terpadu. Semua komponen itu perlu dikembangkan secara

spesifik sesuai dengan kemampuan dan kharakteristik Daerah, sejauh tidak bertentangan

dengan kebijakan umum, prioritas nasional, dan program-program strategis yang

ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

Dampak dari pergeseran paradigma dari keempat aspek tersebut di atas juga

membawa dampak pada perubahan pola perencanaan anggarannya. Pola perencanaan

anggaran menggunakan pendekatan integratif, sehingga pola dalam merencanakan

anggaran selain mengacu pada sifat prosedural juga menggunakan prinsip efisiensi

dengan berorientasi outcomes karena tingkat keberhasilan pendidikan dikontraskan

dengan tingkat keberhasilan sektor lain. Pola manajemen anggaran yang tepat adalah

manajemen strategik anggaran yang lebih berorientasi kepada pencapaian program dan

upaya pengembangan.

C. Hasil Pemikiran dan Pembahasan

1. Hubungan antar perencanaan pembangunan di daerah dengan dokumen

perencanaan lainnya

Paradigma baru perencanaan pendidikan di atas, tentu saja berimplikasi pada

proses perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota. Dalam era otonomi daerah, Sistem

Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota (SPPK) adalah bagian integral dari sistem

Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten/Kota. Berdasarkan amanah UU No. 25

tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional8, terjadi perubahan

paradigma perencanaan pembangunan daerah, yaitu mendasarkan pada perencanaan

partisipatif,9 di mana perencanaan dibuat dengan memperhatikan dinamika, prakarsa

dan kebutuhan masyarakat setempat. Oleh karenanya, dalam penyusunan perencanaan

pembangunan tersebut diperlukan koordinasi antar instansi Pemerintah dan partisipasi

8 Dalam UU tersebut, yang dimaksud dengan Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah adalah satu

kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka pendek, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah.

9 Dalam penjelasan UU tersebut, perencanaan partisipatif disebut hanya sebagai salah satu dari lima pendekatan dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Keempat pendekatan lainnya adalah pendekatan politik, teknokratik, atas-bawah (top-down) dan bawah-atas (bottom–up). Perencanaan dengan pendekatan partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) terhadap pembangunan. Pelibatan mereka adalah untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki.

22

Page 23: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

seluruh pelaku pembangunan, melalui suatu forum Musyawarah Perencanaan

Pembangunan (Musrenbang) tingkat kelurahan, tingkat kecamatan, dan tingkat Kota,

serta forum Satuan Kerja Perangkat Daerah. Setiap perencanaan pembangunan daerah

selanjutnya harus ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP)

untuk periode 20 tahun, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) untuk

periode 5 tahun dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), untuk periode satu

tahun.

Saling kait antar hierarkhi perencanaan pembangunan daerah, dengan dokumen

perencanaan lainnya sampai tersusunnya RAPBD adalah sebagai berikut.10

RPJP Nasional

RPJM Nasional

RKP

RPJPD Prov.

RPJM Prov/ Renstra Prov

RPJMD Kab/Kota

Renstra SKPD

RKPD Kab/Kota

KUA+PPAS

RAPBD

Renja SKPD

RKA SKPD

RPJPD Kab/Kota

RKPD Prov.

Gambar 1.

Hubungan Antara Perencanaan Pembangunan di Daerah dengan Dokumen Perencanaan lainnya.

Dari bagan di atas Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD)

merupakan dokumen perencanaan daerah yang digunakan sebagai dasar untuk

penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah. Kemudian Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) digunakan sebagai pedoman untuk

menyusun Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD), serta

Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dengan tetap memperhatikan RKP dan

RKPD Provinsi. RKPD itu sendiri merupakan dokumen perencanaan teknis operasional

untuk kurun waktu satu tahun, merupakan penjabaran RPJMD Kab/Kota. RKPD 10 Apa konsep dari masing-masing singkatan dalam bagan ini, silakan membaca pada UU No.25 tahun 2004.

23

Page 24: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

disusun berdasarkan tugas pokok dan fungsi SKPD serta aspirasi masyarakat melalui

penjaringan aspirasi, Musrenbang kelurahan dan kecamatan, dan forum SKPD.

Dengan demikian, SPPK sebagai bagian integral dari perencanaan

pembangunan daerah dan sebagai satu kesatuan tata cara perencanaan pendidikan

Kabupaten/Kota mesti menghasilkan dokumen-dokumen perencanaan pendidikan

kabupaten/kota dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang

dilaksanakan oleh unsur penyelenggara pendidikan kabupaten/kota dan masyarakat

(diwakili oleh Dewan Pendidikan).

RPPK (Rancangan Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota) Jangka Panjang

adalah dokumen perencanaan pendidikan kabupaten/kota untuk periode 20 (dua puluh)

tahun; RPPK Jangka Menengah (Rencana Strategis) adalah dokumen perencanaan

pendidikan kabupaten/kota untuk periode 5 (lima) tahun. Sedangkan RPPK Tahunan

adalah dokumen perencanaan pendidikan kabupaten/kota untuk periode 1 (satu) tahun.

2. Model Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota

Dalam upaya perumusan dokumen-dokumen perencanaan pendidikan tersebut,

Slamet P.H. (2005), mengemukakan sebuah model proses perencanaan pendidikan

Kabupaten/ Kota sebagai berikut.11

11 Model perencanaan pendidikan yang dikemukakan Slamet P.H adalah model perencanaan strategis

sebagai satu bentuk perencanaan rasional. Di luar jenis ini, dalam buku Depdiknas berjudul Memiliki Wawasan tentang Model-Model Perencanaan Tingkat Kabupaten/Kota juga disebut berbagai jenis perencanaan klasik dalam pendidikan baik model manpower planning, model social demand maupun model rate of return. Ditekankan juga di buku itu mengenai perlunya menggunakan perencanaan pendidikan menggunakan pendekatan sistem yang mencoba menggabungkan ketiga jenis model klasik tersebut. Di luar perencanaan rasional dan klasik, ada model perencanaan lainnya, yaitu perencanaan interaktif–dinamis, yang oleh Michael G. Fullan (1993) disebut sebagai evolutionary planning atau deliberatif planning, atau dapat juga disebut participatif planning. Semua jenis perencanaan di atas memiliki kecocokan penggunaan masing-masing.

24

Page 25: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

Analisis Lingkungan Strategis

Situasi Pendidikan yang diharapkan

Situasi pendidikan Saat ini

Rencana Strategis 5 tahun

Rencana Operasional 1 tahun

Pelaksanaan Program

Monitoring dan Evaluasi

Gambar 2.

Proses Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota

Model proses perencanaan pendidikan di atas sekaligus memberi gambaran

mengenai tahap-tahap perencanaan pendidikan kabupaten/kota. Secara singkat,

penjelasannya adalah sebagai berikut.

1. Melakukan analisis lingkungan strategis. Lingkungan strategis adalah lingkungan

eksternal yang berpengaruh terhadap perencanaan pendidikan kabupaten/kota,

misalnya: Propeda, Renstrada, Repetada, peraturan perundangan (UU, PP, Kepres,

Perda, dsb), tingkat kemiskinan, lapangan kerja, harapan masyarakat terhadap

pendidikan, pengalaman-pengalaman praktek yang baik, tuntutan otonomi, tuntutan

globalisasi, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan

lingkungan strategis harus diinternalisasikan ke dalam perencanaan pendidikan

kabupaten/kota agar perencanaan tersebut benar-benar menyatu dengan perubahan

lingkungan strategis.

2. Melakukan analisis situasi untuk mengetahui status situasi pendidikan saat ini

(dalam kenyataan) yang meliputi profil pendidikan kabupaten/kota (pemerataan,

mutu, efisiensi, dan relevansi), pemetaan sekolah/ guru/ siswa, kapasitas manajemen

25

Page 26: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

dan sumber daya pada tingkat kabupaten/kota dan sekolah, dan best practices

pendidikan saat ini.

3. Memformulasikan pendidikan yang diharapkan di masa mendatang yang

dituangkan dalam bentuk rumusan visi, misi, dan tujuan pendidikan, yang mencakup

setidaknya pemerataan kesempatan, mutu, efisiensi, relevansi, dan peningkatan

kapasitas pendidikan kabupaten/kota.

4. Mencari kesenjangan antara butir (2) dan butir (3) sebagai bahan masukan bagi

penyusunan rencana pendidikan keseluruhan yang akan datang (5 tahun) dan

rencana jangka pendek (1 tahun). Kesenjangan/tantangan yang dimaksud mencakup

pemerataan kesempatan, mutu, efisiensi, relevansi dan pengembangan kapasitas

manajemen pendidikan pada tingkat kabupaten dan sekolah.

5. Berdasarkan hasil butir (4) disusunlah rencana kegiatan tahunan untuk selama 5

tahun (rencana strategis) dan rencana kegiatan rinci tahunan (rencana

operasional/renop).

6. Melaksanakan rencana pengembangan pendidikan kabupaten/kota melalui upaya-

upaya nyata yang dapat meningkatkan pemerataan kesempatan, mutu, efisiensi,

relevansi dan kapasitas manajemen pendidikan pada tingkat kabupaten/kota dan

sekolah.

7. Melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan rencana dan melakukan evaluasi

terhadap hasil rencana pendidikan. Hasil evaluasi akan memberitahu apakah hasil

pendidikan sesuai dengan yang direncanakan.

Dengan memperhatikan substansi utamanya, model tahap-tahap perencanaan

pendidikan di atas bisa digambarkan dalam bentuk sebagai berikut.

26

Page 27: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

Situasi Pendidikan

saat ini

Situasi Pendidikan yang

diharapkan

• Pemerataan • Mutu • Efisiensi • Relevansi • Kapasitas

• Pemerataan • Mutu • Efisiensi • Relevansi • Kapasitas

Strategi: • Kebijakan • Rencana • Progam

menuju

Gambar 3.

Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota

Sebagaimana sudah disebut secara implisit di atas, bahwa pada hakekatnya

sebuah perencanaan dibuat dalam rangka mengubah ”situasi pendidikan saat ini” (dalam

kenyataan) menuju ke ”situasi pendidikan yang diharapkan” di masa mendatang. Untuk

itu, ada tiga kata kunci yang harus dipahami, yaitu kebijakan, perencanaan dan program

pendidikan.

1. Kebijakan Pendidikan

Kebijakan dibuat mengacu pada paradigma baru pendidikan. Kebijakan adalah

suatu ucapan atau tulisan yang memberikan petunjuk umum tentang penetapan ruang

lingkup yang memberi batas dan arah umum kepada para manajer untuk bergerak.

Kebijakan juga berarti suatu keputusan yang luas untuk menjadi patokan dasar bagi

pelaksanaan manajemen. Keputusan yang dimaksud telah dipikirkan secara matang dan

hati-hati oleh pengambil keputusan puncak dan bukan kegiatan-kegiatan yang berulang

dan rutin yang terprogram atau terkait dengan aturan-aturan keputusan (Nurkolis, 2004).

Sementara, menurut Slamet P.H.(2005), kebijakan pendidikan adalah apa yang

dikatakan (diputuskan) dan dilakukan oleh pemerintah dalam bidang pendidikan.

Dengan demikian, kebijakan pendidikan berisi keputusan dan tindakan yang

mengalokasikan nilai-nilai. Menurutnya, kebijakan pendidikan meliputi lima tipe, yaitu

kebijakan regulatori, kebijakan distributif, kebijakan redistributif, kebijakan kapitalisasi

27

Page 28: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

dan kebijakan etik. Sedangkan Noeng Muhadjir (2003: 90), membedakan antara

kebijakan substantif dan kebijakan implementatif. Kebijakan implementatif adalah

penjabaran sekaligus operasionalisasi dari kebijakan substantif.

Sementara itu, Sugiyono (2003) mengemukakan tiga pengertian kebijakan

(policy) yaitu (1) sebagai pernyataan lesan atau tertulis pimpinan tentang organisasi

yang dipimpinnya, (2) sebagai ketentuan-ketentuan yang harus dijadikan pedoman,

pegangan atau petunjuk bagi setiap kegiatan, sehingga tercapai kelancaran dan

keterpaduan dalam mencapai tujuan organisasi, dan (3) sebagai peta jalan untuk

bertindak dalam mencapai tujuan organisasi. Menurutnya, kebijakan yang baik harus

memenuhi syarat sebagai berikut.

Kebijakan yang dibuat harus diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan

rakyat;

Kebijakan yang dibuat harus berpedoman pada kebijakan yang lebih tinggi dan

memperhatikan kebijakan yang sederajat yang lain;

Kebijakan yang dibuat harus berorientasi ke masa depan;

Kebijakan yang dibuat harus adil;

Kebijakan yang dibuat harus berlaku untuk waktu tertentu;

Kebijakan yang dibuat harus merupakan perbaikan atas kebijakan yang telah

ada;

Kebijakan yang dibuat harus mudah dipahami, diimplementasikan, dimonitor

dan dievaluasi;

Kebijakan yang dibuat harus berdasarkan informasi yang benar dan up to date;

Sebelum kebijakan dijadikan keputusan formal, maka bila mungkin diujicobakan

terlebih dulu.

Herman, J. dalam Hough, J. R. (ed) (1984) menjelaskan bahwa “Policy is

sometimes used in a narrow sense to refer to formal statements of action to be followed,

while others use the word ‘policy’ as a synonym for words such as ‘plan’ or

‘programme’. Many writers too do not distinguish clearly between ‘policy-making’ and

‘decision-making’”. Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan tersebut disamaartikan

dengan konsep lain, yaitu :

Goals : desired ends to be achieved.

Plans or proposals : specified means for achieving goals.

Programmes : authorized means, strategies and details of procedure for

achieving goals.

28

Page 29: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

Decision : specific actions taken to set goals, develop plans, implement and

evaluate programmes

Effects : measurable impact of programmes

Laws or regulations : formal or legal expressions providing authorization to

policies.

Policy, then is focused on purposive or goal oriented action or actively rather

than random or chance behaviour. It refers to courses or patterns of action, rather than

separate discrete decision; usually policy development and application involves a

number or related decisions, rather than a single decision. Policies may vary greatly in

orientation, purpose and whether they are explicitly stated. Policies may be either

positive or negative in the sense that they can have as their basis decisions to take

particular action in response to a problem, as well as developing simply from failure to

act, or from decisions to delay action. Policies include substantive policy as well as

procedural or administrative policy.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kebijakan pendidikan adalah upaya

perbaikan dalam tataran konsep pendidikan, perundang-undangan, peraturan dan

pelaksanaan pendidikan serta menghilangkan praktik-praktik pendidikan di masa lalu

yang tidak sesuai atau kurang baik sehingga segala aspek pendidikan di masa

mendatang menjadi lebih baik. Kebijakan pendidikan diperlukan agar tujuan pendidikan

nasional dapat dicapai secara efektif dan efisien.

2. Perencanaan Pendidikan

Perencanaan pendidikan dibuat dengan mengacu pada kebijakan pendidikan

yang telah ditetapkan. Perencanaan pendidikan adalah proses penyusunan gambaran

kegiatan pendidikan di masa depan dalam rangka untuk mencapai perubahan/tujuan

pendidikan yang telah ditetapkan. Dalam rangka membuat perencanaan pendidikan

tersebut, perencana melakukan proses identifikasi, mengumpulkan, dan menganalisis

data-data internal dan eksternal (esensial dan kritis) untuk memperoleh informasi terkini

dan yang bermanfaat bagi penyiapan dan pelaksanaan rencana jangka panjang dan

pendek dalam rangka untuk merealisasikan atau mencapai tujuan pendidikan

kabupaten/kota.

Perencanaan pendidikan penting untuk memberi arah dan bimbingan pada para

pelaku pendidikan dalam rangka menuju perubahan atau tujuan yang lebih baik

(peningkatan, pengembangan) dengan resiko yang kecil dan untuk mengurangi

29

Page 30: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

ketidakpastian masa depan. Tanpa perencanaan pendidikan yang baik akan

menyebabkan ketidakjelasan tujuan yang akan dicapai, resiko besar dan ketidakpastian

dalam menyelenggarakan semua kegiatan pendidikan. Dengan kemampuan perencanaan

pendidikan yang baik di daerah, oleh karenanya, diharapkan akan dapat mengurangi

kemungkinan timbulnya permasalahan yang serius sebagai dampak dari

diberlakukannya otonomi pendidikan itu di tingkat daerah kabupaten/ kota.

Sebagai dasar dalam membuat perencanaan di bidang pendidikan, umumnya

orang menggunakan teknik analisis SWOT12, dimaksudkan untuk mengidentifikasi

kekuatan, kelemahan, kesempatan atau peluang dan tantangan atau ancaman yang

dihadapi oleh organisasi. Dengan teknik itu, diharapkan posisi organisasi dalam

berbagai aspek bisa dipahami secara lebih obyektif, lalu bisa ditetapkan prioritas strategi

dan program-programnya, serta peta urutan pelaksanaannya

3. Program pendidikan

Pada intinya, program pendidikan adalah kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan

dalam rangka mencapai tujuan-tujuan pendidikan, sesuai dengan strategi dan kebijakan

pendidikan yang telah ditetapkan.

4. Persoalan-Persoalan Mendesak Pendidikan Nasional

a. Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan. Sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945, pada dasarnya pelayanan

pendidikan yang bermutu merupakan hak bagi seluruh warga negara Indonesia.

Meskipun demikian kenyataan menunjukkan bahwa saat ini belum semua warga negara

dapat memperoleh haknya atas pendidikan. Oleh karena itu pemerintah sebagai

penyelenggara negara wajib berupaya untuk memenuhinya.

Dalam kebijakan Ditjen Mandikdasmen, disebutkan mengenai konsep, indikator

keberhasilan, dan sumber daya pendukung untuk kebijakan pemerataan dan perluasan

akses pendidikan sebagai berikut.

12 Sam M.Chan dan Tuti T. Sam, menulis buku tentang Analisis SWOT Kebijakan Pendidikan Era

Otonomi Daerah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Di dalamnya, dideskripsikan secara panjang lebar kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman, serta berbagai temuan dan rekomendasi dari berbagai dimensi kebijakan pendidikan di era otonomi daerah.

30

Page 31: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

Tabel 1.

Kebijakan Pemerataan dan Perluasan Akses Pendidikan

Konsep Indikator

Keberhasilan

Pendukung Program

Pendidikan untuk semua

Pemenuhan pendidikan menengah dengan rasio SMA/SMK kejuruan yang tepat

Tuntas wajar 9 tahun pada 2009 (APK lebih besar atau sama dengan 98 %);

APK diknas daerah tertinggal lebih besar atau samadengan 75 %

APK diknas kelompok termiskin (Q1) lebih besar atau sama dengan 75 %

Kesetaraan gender Rintisan wajib

belajar 12 tahun

Anggaran pendidikan 20 % dari APBN/APBD + dana masyarakat; dengan manajemen : berbasis kinerja, akuntabilitas, promutu, peduli rakyat miskin;

Memperbesar daya tampung;

Mendekatkan pendidikan dengan masyarakat;

Menciptakan sistem insentif untuk menumbuhkan aspirasi pendidikan (voucher pendidikan, berorientasi kultural, berbasis masyarakat, dan pendidikan peningkatan gizi.

Pemerataan dan perluasan kesempatan pendidikan

Menarik keterlibatan daerah dalam pembangunan pendidikan

Rekruetmen tenaga pendidik dan tenaga kependidikan

Pengembangan sarana dan prasarana pendidikan

Studi yang secara langsung diarahkan pada analisis kebijakan dalam pemerataan

pendidikan ialah studi yang dilakukan oleh James Coleman (Ace Suryadi dan H. A. R

Tilaar, 1994: 29) yang berjudul Equality of Educational Opportunity. Coleman

membedakan secara konsepsional antara pemerataan kesempatan pendidikan secara

pasif, dengan pemerataan pendidikan secara aktif. Pemerataan pendidikan secara pasif

lebih menekankan pada kesamaan memperoleh kesempatan untuk mendaftar di sekolah,

sedangkan pemerataan aktif ialah kesempatan yang sama yang diberikan oleh sekolah

kepada murid-murid terdaftar agar memperoleh hasil belajar setinggi-tingginya.

Komponen-komponen konsep pemerataan pendidikan ini secara lebih jelas

diungkapkan oleh Schiefelbein dan Farrel (1982). Dalam studinya di Chili, mereka

menggunakan landasan konsep pemerataan pendidikan yang relatif lebih komprehensif

daripada konsepsi pemerataan pendidikan yang selama ini digunakan. Berdasarkan

konsep mereka, pemerataan pendidikan atau equality of educational opportunity tidak

hanya terbatas pada, apakah murid memiliki kesempatan yang sama untuk masuk

sekolah (pemerataan kesempatan pendidikan secara pasif menurut Coleman), tetapi

lebih dari itu, murid tersebut harus memperoleh perlakuan yang sama sejak masuk,

31

Page 32: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

belajar, lulus, sampai dengan memperoleh manfaat dari pendidikan yang mereka ikuti

dalam kehidupan di masyarakat.

Pertama, pemerataan kesempatan memasuki sekolah (equality of access).

Konsep ini berkaitan erat dengan tingkat partisipasi pendidikan sebagai indikator

kemampuan sistem pendidikan dalam memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi anak

usia sekolah untuk memperoleh pendidikan. Pemerataan pendidikan ini dapat dikaji

berdasarkan dua konsep yang berlainan, yaitu pemerataan kesempatan (equality of

access) dan keadilan (equity) di dalam memperoleh pendidikan dan pelatihan.

Kedua, pemerataan kesempatan untuk bertahan di sekolah (equality of survival).

Konsep ini menitikberatkan pada kesempatan setiap individu untuk memperoleh

keberhasilan dalam pendidikan dan pelatihan. Jenis analisis ini mencurahkan perhatian

pada tingkat efisiensi internal sistem pendidikan dilihat dari beberapa indikator yang

dihasilkan dari metode Kohort. Metode ini mempelajari efisiensi pendidikan

berdasarkan murid-murid yang berhasil dibandingkan dengan murid-murid yang

mengulang kelas dan yang putus sekolah.

Ketiga, pemerataan kesempatan untuk memperoleh keberhasilan dalam belajar

(equality of output). Dilihat dari sudut pandang perseorangan equality of output ini

menggambarkan kemampuan sistem pendidikan dalam memberikan kemampuan dan

ketrampilan yang tinggi kepada lulusan tanpa membedakan variabel suku bangsa,

daerah, status sosial ekonomi, dan sebagainya. Konsep output pendidikan biasanya

diukur dengan prestasi belajar akademis. Di pandang dari sudut sistemnya itu sendiri,

konsep ini menggambarkan seberapa jauh sistem pendidikan itu efisien dalam

memanfaatkan sumber daya yang terbatas, efektif dalam mengisi kekurangan tenaga

kerja yang dibutuhkan, dan mampu melakukan kontrol terhadap kemungkinan kelebihan

tenaga kerja dalam hubungannya dengan jumlah yang dibutuhkan oleh lapangan kerja.

Keempat, pemerataan kesempatan dalam menikmati manfaat pendidikan dalam

kehidupan masyarakat (equality ot outcome). Konsep ini menggambarkan keberhasilan

pendidikan secara eksternal (exsternal efficiency) dari suatu sistem pendidikan dan

pelatihan dihubungkan dengan penghasilan lulusan (individu), jumlah dan komposisi

lulusan disesuaikan dengan kebutuhan akan tenaga kerja (masyarakat), dan yang lebih

jauh lagi pertumbuhan ekonomi (masyarakat). Teknik-teknik analisis yang digunakan

biasanya meliputi analisis rate of return to education, hubungan pendidikan dengan

kesempatan kerja, fungsi produksi pendidikan dengan menggunakan pendekaan ”status

attainment analytical model”, dan sebagainya.

32

Page 33: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

Kebijakan pemerataan kesempatan, meliputi aspek persamaan kesempatan, akses

dan keadilan atau kewajaran. Contoh-contoh pemerataan kesempatan, misalnya,

beasiswa untuk siswa miskin, pelatihan guru PLB, pembenahan SMP terbuka,

perencanaan bagi daerah-daerah terpencil atau gender, peningkatan APK dan APM,

peningkatan angka melanjutkan, pengurangan angka putus sekolah, dan lain-lain.

2. Kualitas pendidikan

Realitas menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia relatif rendah

yang menyebabkan sulitnya bangsa Indonesia bersaing dengan bangsa-bangsa lain.

Kualitas pendidikan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh dua faktor yang mendukung,

yaitu internal dan eksternal (Dodi Nandika, 2007:16). Faktor internal meliputi jajaran

dunia pendidikan, seperti Depdiknas, Dinas Pendidikan daerah dan sekolah yang berada

di garis depan, dan faktor eksternal yaitu masyarakat pada umumnya. Dua faktor ini

haruslah saling menunjang dalam upaya peningkatan kualitas tersebut. Salah satu

implikasi langsungnya ialah pada perlunya program-program yang terkait seperti

penyediaan dan rehabilitasi sarana dan prasarana belajar, guru yang berkualitas, buku

pelajaran bermutu yang terjangkau masyarakat, alat bantu belajar untuk meningkatkan

kreativitas, dan sarana penunjang belajar lainnya.

Kualitas pendidikan mencakup aspek input, proses dan output, dengan catatan

bahwa output sangat ditentukan oleh proses, dan proses sangat dipengaruhi oleh tingkat

kesiapan input. Contoh perencanaan kualitas misalnya, pengembangan tenaga

pendidik/kependidikan (guru, kepala sekolah, konselor, pengawas, staf dinas

pendidikan, pengembangan dewan pendidikan, dan komite sekolah, rasio (siswa/guru,

siswa/kelas, siswa/ruang kelas, siswa/ sekolah), pengembangan bahan ajar,

pengembangan tes standar di tingkat kabupaten/kota, biaya pendidikan per siswa,

pengembangan model pembelajaran (pembelajaran tuntas, pembelajaran dengan

melakukan, pembelajaran kontektual, pembelajaran kooperatif dan sebagainya).

3. Efisiensi pendidikan;

Efisiensi menunjuk pada hasil yang maksimal dengan biaya yang wajar.

Efisiensi dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu efisiensi internal dan efisiensi

eksternal. Efisiensi internal merujuk kepada hubungan antara output sekolah

(pencapaian prestasi belajar) dan input (sumber daya) yang digunakan untuk

memproses/menghasilkan output sekolah. Efisiensi eksternal merujuk kepada hubungan

antara biaya yang digunakan untuk menghasilkan tamatan dan keuntungan kumulatif

(individual, sosial, ekonomi dan non-ekonomik) yang didapat setelah kurun waktu yang

33

Page 34: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

panjang di luar sekolah. Contoh-contoh perencanaan peningkatan efisiensi, misalnya,

peningkatan angka kelulusan, rasio keluaran/masukan, angka kenaikan kelas, penurunan

angka mengulang, angka putus sekolah, dan peningkatan angka kehadiran dan lain-lain.

4. Relevansi pendidikan.

Relevansi menunjuk kepada kesesuaian hasil pendidikan dengan kebutuhan

(needs), baik kebutuhan peserta didik, kebutuhan keluarga, dan kebutuhan

pembangunan yang meliputi berbagai sektor dan sub-sektor. Contoh-contoh

perencanaan relevansi misalnya, program ketrampilan kejuruan/ kewirausahaan/usaha

kecil bagi siswa-siswa yang tidak melanjutkan, kurikulum muatan lokal, pendidikan

kecakapan hidup dan peningkatan jumlah siswa yang terserap di dunia kerja.

5. Pengembangan Kapasitas

Yang dimaksud dengan kapasitas adalah kemampuan individu dan organisasi

atau unit organisasi untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara efektif, efisien, dan

berkelanjutan (UNDP,1997). Suksesnya desentralisasi pendidikan sangat ditentukan

oleh tingkat kesiapan kapasitas makro, kelembagaan, sumber daya dan kemitraan.

Pengembangan kapasitas tingkat makro meliputi : (1) arahan-arahan, (2) bimbingan, (3)

pengaturan, pengawasan dan kontrol. Pengembangan kapasitas kelembagaan mencakup

kemampuan dalam merumuskan visi, misi, tujuan, kebijakan, dan strategi, perencanaan

pendidikan, manajemen pada semua aspek pendidikan (kurikulum, ketenagaan,

keuangan, sarana dan prasarana, dsb), sistem informasi manajemen pendidikan,

pengembangan pengaturan (regulasi dan legislasi), pendidikan, pengembangan sumber

daya manusia, pengembangan organisasi (tugas dan fungsi serta struktur organisasinya),

proses pengambilan keputusan dalam organisasi, prosedur dan mekanisme kerja,

hubungan dan jaringan antar organisasi, pengembangan Dewan Pendidikan dan Komite

Sekolah, pengembangan kepemimpinan pendidikan dan lain-lain.

Kesiapan kapasitas sumber daya mencakup sumber daya manusia

(manajer/pemimpin, staf dan pelaksana) dan sumber daya selebihnya (uang, peralatan,

perlengkapan, bahan, dsb). Sedangkan, pengembangan kapasitas kemitraan dilandasi

oleh kesadaran bahwa pengembangan ikhtiar pendidikan harus dilakukan secara terpadu

antara lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat karena masing-masing memiliki

pengaruh terhadap pendidikan anak.

Khusus mengenai kebijakan peningkatan mutu, relevansi dan daya saing, dalam

kebijakan Ditjen Mandikdasmen, disebutkan mengenai konsep, indikator keberhasilan,

dan pendukung sebagai berikut.

34

Page 35: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

Tabel 2. Kebijakan Peningkatan Mutu, Relevansi dan Daya saing

Konsep Indikator Keberhasilan Pendukung Program

Pendidikan memfasilitasi perkembangan kepribadian dan karakter secara utuh dan harmonis, melalui: SD: calistung + dasar akademik

Kecerdasan ganda

Nasionalisme Plural Nilai-nilai internasional

Perkembangan ipteks

Pemberlakuan KTSP Pengembangan SSN,

perintisan SBI Adanya tindakan

afirmatif pada kondisi khusus;

Pemakaian metode CTL,dll

Pendidikan multikultural Pendidikan kecakapan

hidup dalam arti luas Keterpaduan

pendidikan dengan aspek-aspek pembangunan daerah /nasional

Implementasi 8 unsur standar pendidikan nasional (SNP):

Standar isi Standar proses Standar kompetensi

lulusan Standar pendidik

dan tenaga kependidikan

Standar sarana dan prasarana;

Standar pengelolaan

Standar pembiayaan;

Standar penilaian pendidikan

Pengembangan pendidikan karakter

Pengembangan pendidikan yang bermakna bagi masa depan anak

Peningkatan kualitas pembelajaran

Pengembangan budaya sekolah

Pengembangan pembelajaran berbasis keunggulan lokal

Pengembangan sekolah bertaraf internasional

Pengembangan SMK menjadi pusat pengembangan karier

Meningkatkan kemandirian sekolah

Mengurangi kesenjangan mutu antar sekolah.

Dalam arah pengembangan manajemen Dikdasmen juga dikemukakan mengenai

kebijakan penguatan tatakelola, akuntabilitas dan pencitraan publik, yang konsep,

indikator keberhasilan, pendukung dan programnya sebagai berikut.

Tabel 3. Kebijakan Penguatan Tatakelola, Akuntabilitas dan Pencitraan publik

Konsep Indikator

keberhasilan Pendukung Program

Desentralisasi yang efektif

Kerjasama koordinatif dan sinergis pusat dengan daerah

Penguatan kapasitas daerah

Pemantapan pusat

Hubungan kemitraan pusat-daerah

Kapasitas kelembagaan dan kesehatan organisasi pada satuan pendidikan, dinas pendidikan, pusat

Sistem informasi manajemen dikdasmen

Peran serta masyarakat

Pencitraan pendidikan (terpercaya)

Tuntas wajib belajar 9 tahun menuju wajib belajar 12 tahun di setiap daerah, tanpa bias gender

Kepatuhan terhadap standar nasional pendidikan, dan pada kondisi tertentu merintis pemakaian standar internasional

Terjadinya peningkatan akuntabilitas publik secara bermakna, terencana, dan terpenuhinya kebutuhan masyarakat serta terjaminnya kepentingan makro nasional

Membangun kemitraan pusat dan daerah

Penguatan dan penyehatan organisasi dan manajemen penyelenggaraan pendidikan: level daerah dan nasional

Pengembangan sistem informasi manajemen pendidikan dasar dan menengah terpadu

Revitalisasi peran

35

Page 36: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

serta masyarakat Pencitraan

pendidikan

D. Simpulan/Rangkuman dan Saran

1. Simpulan/Rangkuman Dari uraian di atas dapat disimpulkan/ dirangkum hal-hal sebagai berikut:

1. Era reformasi telah membawa perubahan mendasar dalam pendidikan, salah

satunya adalah terjadinya perubahan arah paradigma pendidikan, termasuk

dalam hal sistem perencanaan pendidikan di daerah.

2. Dengan terjadinya perubahan paradigma baru pendidikan, maka sistem

perencanaan pendidikan dalam iklim pemerintahan yang sentralistik, sudah

tidak sesuai lagi dengan kebutuhan perencanaan pendidikan pada era

otonomi daerah, sehingga diperlukan paradigma baru perencanaan

pendidikan.

3. Paradigma baru perencanaan pendidikan akan berimplikasi pada proses

perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota. Dalam era otonomi daerah, sistem

perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota adalah bagian integral dari sistem

perencanaan pembangunan daerah Kabupaten/Kota, yaitu mendasarkan pada

perencanaan partisipatif, di mana perencanaan dibuat dengan

memperhatikan dinamika, prakarsa dan kebutuhan masyarakat setempat.

4. Dalam penyusunan perencanaan pembangunan, termasuk dalam perencanaan

pendidikan di daerah Kabupaten/Kota, diperlukan koordinasi antar instansi

Pemerintah dan partisipasi seluruh pelaku pembangunan, melalui suatu

forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) tingkat

kelurahan, tingkat kecamatan, dan tingkat Kota, serta forum Satuan Kerja

Perangkat Daerah.

5. Dalam melakukan perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota, pertama-tama

perlu dilakukan analisis lingkungan strategis, untuk mengetahui lingkungan

eksternal yang berpengaruh terhadap perencanaan pendidikan

kabupaten/kota. Selain itu, berbagai perubahan lingkungan strategis harus

diakomodasi dan diinternalisasikan ke dalam perencanaan pendidikan

kabupaten/kota agar perencanaan tersebut benar-benar menyatu dengan

perubahan lingkungan strategis tersebut. Kemudian, perlu analisis situasi

36

Page 37: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

untuk mengetahui ”situasi pendidikan saat ini” dan ”situasi pendidikan yang

diharapkan atau ditargetkan” menyangkut berbagai kebijakan pendidikan

yang ditetapkan, sehingga kesenjangan dapat diketahui dan kebijakan

substantif dan implementatif, program serta rencana kegiatan dapat

dipikirkan secara integrated.

2. Saran :

Depdiknas dan para stakeholders pendidikan lainnya, perlu membuat

pemikiran inovatif-kreatif mengenai model pembangunan sistem pendidikan

yang terintegrasi, yang dapat meramu sekaligus mengakomodasi upaya

peningkatan dan pencapaian berbagai kebijakan pendidikan (pemerataan dan

perluasan akses pendidikan, peningkatan kualitas pendidikan, relevansi

pendidikan, dan lain-lain yang ditargetkan) secara bersama-sama, bukan

secara parsial dan berurutan, termasuk aspek sustainability (keberlanjutan)

nya. Sekedar sebagai contoh, hasil peningkatan dan pencapaian pemerataan

dan perluasan akses pendidikan, perlu dibarengi dengan peningkatan kualitas

pendidikan (dengan model peningkatan kualitas yang massive, misalnya),

tapi juga perlu memperhatikan aspek relevansi (dengan, misalnya,

mencocokkan kurikulum dengan empirik yang ada, dengan mengupdate

silabus setiap tahun sekali, meski tanpa merubah kurikulum formalnya).

Aspek keberlanjutannya perlu juga dipikirkan, jangan sampai berjalannya

sebuah kebijakan hanya tergantung pada ada tidaknya subsidi dari pusat,

sementara ketika subsidi ditiadakan atau dicabut, misalnya, lalu tidak

berjalan.

37

Page 38: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahmansyah. (2001). Desentralisasi: Harapan dan tantangan bagi dunia pendidikan.

Jurnal Studi Agama Millah,1, 55-69.

Ace Suryadi dan H.A.R.Tilaar. Analisis Kebijakan Pendidikan. Suatu Pengantar. Bandung : PT.

Remaja Rosdakarya.

Achmad Budiyono, M. Irfan, &Yuli Andi. (1998). Evaluasi pelaksanaan kebijakan uji coba

otonomi daerah. Jurnal Penelitian Ilmu -Ilmu Sosial, PPS Universitas Brawijaya,2, 209-

218.

Alhumani,A. (11 September 2000).Pembangunan Pendidikan Dalam Konteks Desentralisasi.

Kompas, p.4.

Alisjahbana, A.S. (2000). Otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan. Jurnal Analisis

Sosial, AKATIGA,1,29-38.

Arbi Sanit. Et al. (Desember 2000). Penelitian paradigma baru hubungan pusat daerah di

Indonesia: Format otonomi daerah masa depan.Jakarta: Laporan penelitian.

Azyumardi Azra. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Bambang Suteng S. (2003). Menjadikan Salatiga Kota Pendidikan,bagaimana? Buletin

Hati Beriman,1,18-20.

Depdiknas. (2001). Desentralisasi Pendidikan. Jakarta: Komisi Nasional Pendidikan.

Depdiknas. 2002. Memiliki Wawasan Tentang Model-Model Perencanaan Tingkat

Kabupaten/Kota. (Materi Pelatihan Terpadu Untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota).

Depdiknas. 2002. Menyerasikan Perencanaan Pendidikan Tingkat Mikro dan Makro.

Depdiknas. 2002. Mengembangkan Kebijakan Pendidikan Tingkat Kabupaten/Kota.

Dinas Pendidikan Kota Salatiga. (2002).Rencana Strategik Bidang Pendidikan Kota

Salatiga. 2002-2006.

Dinas Pendidikan Kota Salatiga. (2002).Portofolio Rencana Pembangunan Pendidikan

Kota Salatiga.2003-2008.

Dodi Nandika. 2007. Pendidikan di tengah gelombang perubahan. Jakarta: LP3ES

Fakry Gaffar. (1990). Implikasi desentralisasi pendidikan menyongsong abad ke-21. Jurnal

Mimbar Pendidikan, 3, Tahun IX, Oktober.

Fasli Jalal. 2001. Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita

Karya Nusa.

Fiske, E.B. (1998). Desentralisasi Pengajaran, politik dan consensus. Jakarta: Penerbit P.T

Gramedia Widia Sarana Indonesia.

H.A.R. Tilaar. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Husen,T. & Postlethwaite, T.N. (Eds). (1994). The international encyclopedia of education .

London: Pergamon.

38

Page 39: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

John Kotter.(1997). Leading Change. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Josef Riwu Kaho. (1991). Proyek Otonomi Daerah di negara Republik

Indonesia.Jakarta: Rajawali Pers.

Mulyani A. Nurhadi. 2001. Pokok-Pokok Pikiran Mengenai Pengelolaan Bidang Pendidikan

dan Kebudayaan Dalam Rangka Pelaksanaan UU RI No.22 dan 25 tahun 1999.

Yogyakarta: Seminar Nasional.

Noeng Muhadjir. 2003. Metodologi Penelitian Kebijakan dan Evaluation Research. Integrasi

Penelitian, Kebijakan dan Perencanaan. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.

Noeng Muhadjir. 2000. Kebijakan dan Perencanaan Sosial. Pengembangan Sumber Daya

Manusia. Telaah Cross Discipline. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.

Noeng Muhadjir. 2003. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial. Teori Pendidikan Pelaku Sosial

Kreatif. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.

Nuril Huda. (1998). Decentralization of education in Indonesia: Problem of implementation,

Jurnal Ilmu Pendidikan, 5, 3-12.

Peraturan Daerah Kota Salatiga No. 8 tahun 2001 tentang Propeda Kota Salatiga tahun

2001-2005.

Peraturan Daerah Kota Salatiga No. 1 tahun 2002 tentang Rencana Strategis

Pembangunan Kota Salatiga, tahun 2002-2006.

Peraturan Daerah Kota Salatiga No.4 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Salatiga, tahun 2007-2012.

Peraturan Walikota Salatiga No.17 tahun 2006 tentang Rencana Kerja Pemerintah

Daerah (RKPD) Kota Salatiga, tahun anggaran 2007

Peraturan Walikota Salatiga No.40 tahun 2007 tentang Rencana Kerja Pemerintah

Daerah (RKPD) Kota Salatiga, tahun anggaran 2008.

Risalah hasil kerja Pansus III DPRD Kota Salatiga yang bertugas menyusun raperda

Kota Salatiga tentang pengelolaan pendidikan di Kota Salatiga.

Sindhunata.(2000). Menggagas Paradigma baru Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit

Kanisius.

Sam M.Chan dan Tuti T. Sam. 2005. Analisis SWOT Kebijakan Pendidikan Era Otonomi

Daerah. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.

Slamet P.H. 2005. Kapita Selekta Desentralisasi Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Direktorat

Pendidikan Lanjutan Pertama, Depdiknas.

UU RI No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

UU RI No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan nasional (Lembaran

Negara RI tahun 2004 No.104, Tambahan Lembaran Negara RI tahun 2004 No.4421.

39

Page 40: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

Verania Andria & Yulia Indrawati Sari. (2000). Lampu kuning desentralisasi. Jurnal Analisis

Sosial, AKATIGA, 1, iii-vi.

World Bank. 1998. Education in Indonesia – From crisis to recovery. (Chapter 5). Education

sector unit, east asia and pacific region.

40

Page 41: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

LAMPIRAN Lampiran 1: Format Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota

1. Pendahuluan

Pendahuluan setidaknya berisi hal-hal sebagai berikut: (a) apa isi

perencanaan, (b) siapa yang terlibat dalam perencanaan, (c) kapan

perencanaan dilakukan, (d) dimana perencanaan dilakukan, dan (e)

bagaimana caranya menyiapkan rencana pendidikan kabupaten/kota.

2. Analisis Lingkungan Strategis (Konteks)

Analisis lingkungan strategis berisi factor-faktor eksternal yang berpengaruh

terhadap pendidikan Kab/ Kota. Hasil analisis lingkungan strategis berupa

perkembangan eksternal terkini diinternalisasikan ke dalam perencanaan

pendidikan kabupaten/kota agar perencanaan tersebut benar-benar menyatu

dengan perubahan lingkungan strategis.

3. Analisis Situasi Pendidikan, meliputi situasi pendidikan dalam kenyataan

(saat ini) dan yang diharapkan dan menemukan kesenjangannya.

4. Rencana Strategis (5 tahun) dan Rencana Operasional (1 tahun)

1. Rencana Strategis Pendidikan (5 tahun ke depan)

a. Visi, Misi, dan Tujuan

b. Program-program/kegiatan-kegiatan strategis untuk mencapai Visi,

Misi dan Tujuan

c. Strategi pelaksanaan

d. Rencana biaya (alokasi dana)

e. Rencana pelaksanaan program-program strategis

f. Milestone (output apa dan kapan)

g. Rencana Pemantauan dan Evaluasi

2. Rencana Operasional (1 tahun)

a. Sasaran-sasaran (tujuan-tujuan jangka pendek) yang akan dicapai

b. Program-program untuk mencapai setiap sasaran

c. Rencana biaya (Alokasi Dana)

d. Rencana Pelaksanaan Program

e. Jadwal Pelaksanaan Program

f. Milestone (output apa dan kapan)

g. Rencana Pemantauan dan Evaluasi

h. Penanggung Jawab Program Milestone.

41

Page 42: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

Lampiran 2: Ilustrasi Praktek :

GAMBARAN SINGKAT

PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KOTA SALATIGA

1. Pengantar

Uraian ini dimaksudkan untuk menggambarkan perencanaan pendidikan di Kota

Salatiga secara singkat di era otonomi. Meskipun demikian istilah-istilah yang dipakai

tidak mencerminkan perkembangan mutakhir.13 Tekanannya lebih pada menjelaskan

pola pikir dan apa yang sudah direncanakan Pemerintah Kota Salatiga dalam

mengelola pendidikan di era otonomi. Tampak bahwa untuk mencapai visi, misi,

prioritas dan fungsi khas Kota Salatiga sebagai kota pendidikan, telah dilakukan upaya-

upaya, antara lain berupa perumusan kebijakan umum di bidang pendidikan.

Berdasarkan kebijakan umum tersebut, Dinas Pendidikan Kota Salatiga membuat

kebijakan teknis implementatif berupa perencanaan strategis dan program-program

kegiatan bidang pendidikan.

Dengan catatan pengantar ini, tentu saja masih diperlukan pemikiran-pemikiran

serius terutama untuk menyesuaikan dengan tuntutan teoritis yang diidealkan dalam

perencanaan pendidikan, maupun penyesuaian dalam hal tuntutan perkembangan

mutakhir14 Sistem Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota (SPPK) yang kini berlaku.

2. Visi dan Misi Kota Salatiga15

Visi Kota Salatiga adalah :

Terwujudnya masyarakat Kota Salatiga yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, yang dilaksanakan oleh pemerintah bersama masyarakat.

Atas dasar visi Kota Salatiga tersebut, maka misi pembangunan Kota Salatiga

adalah mewujudkan masyarakat Kota Salatiga yang memiliki ciri-ciri:

13 Misalnya, dalam perencanaan yang lama memakai istilah-istilah Propenas, Renstranas, Propeta,

Propeda, dan Renstra, sedangkan yang mutakhir menggunakan istilah RPJP Nasional, RPJM Nasional, RKP, RPJPD, RPJMD, dan RKPD.

14 Selain menggunakan istilah-istilah mutakhir sebagaimana disebut, format-formatnya juga berbeda dengan tetap memberi kesempatan pada daerah untuk melakukan modifikasi sesuai dengan kreativitas daerah. Misalnya, ada format Sinkronisasi keterkaitan visi,misi, prioritas pembangunan, fungsi, urusan dan program-program SKPD. Pada bagian ini, dalam rangka mencapai visi dan misinya, untuk urusan pendidikan pada tahun 2008 diputuskan program-program: pendidikan anak usia dini, wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, pendidikan menengah, pendidikan non formal, pendidikan luar biasa, peningkatan mutu tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, pengembangan budaya baca dan pembinaan perpustakaan, dan manajemen pelayanan pendidikan.

15 Mengenai visi dan misi, tampak bahwa selama era otonomi telah mengalami tiga kali perubahan rumusan. Dalam hal visi, misalnya, dalam RKPD tahun 2008 visinya adalah Salatiga lebih maju,…harmonis…dan tata kelola pemerintahan yang baik (masing-masing diberi pengertian).

42

Page 43: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

a. Semakin mengakui dan menghargai harkat-martabat manusia, yang ditujukan dengan semakin berkembangnya solidaritas sosial di antara kelompok yang kuat terhadap kelompok yang lemah, baik secara ekonomi, politik, sosial, budaya maupun keagamaan.

b. Semakin memiliki semangat dan kemampuan untuk meraih dan meningkatkan kemandirian yang ditunjukkan dengan semakin meningkatnya kemampuan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah secara luas, nyata, dan bertanggung-jawab.

c. Semakin memiliki semangat dan kemampuan untuk meraih dan meningkatkan keadilan sosial, baik keadilan dalam generasi sekarang maupun keadilan untuk generasi yang akan datang, yang ditunjukkan dengan semakin meratanya distribusi kekayaan maupun semakin terpeliharanya sumberdaya alam dan lingkungan hidup.

d. Semakin memiliki semangat dan kemampuan untuk meraih dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, baik material maupun spiritual, yang ditunjukkan dengan kehidupan yang semakin tertib, aman dan damai serta semakin terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat.

e. Semakin demokratis, ditunjukkan oleh semakin tinggi partisipasi anggota masyarakat dalam berbagai pengambilan keputusan atas berbagai aspek pembangunan daerah.

f. Memiliki struktur dan sistem kelembagaan yang semakin mendukung terwujudnya visi pembangunan Kota Salatiga.

3. Prioritas dan Fungsi Khas yang Ingin Diwujudkan

Guna mewujudkan visi dan misi tersebut, kemudian disusun prioritas

pembangunan Kota Salatiga, dengan memperhatikan peluang dan tantangan yang

dihadapi. Atas dasar peluang dan tantangan itu, maka dalam propeda Kota Salatiga

dirumuskan prioritas pembangunan Kota Salatiga sebagai berikut.

a. Pengembangan sistem politik yang lebih demokratis; b. Pengembangan good governance (pemerintahan yang baik); c. Pengembangan supremasi hukum; d. Peningkatan pemerataan dalam distribusi pendapatan; e. Pengembangan solidaritas dan pelembagaan jaring pengaman sosial.

Di samping berbagai prioritas itu, Kota Salatiga juga menetapkan fungsi khas

yang ingin diwujudkan. Fungsi khas ini sudah lama disadari dan dirumuskan, seperti

ditegaskan dalam Garis-Garis Besar Rencana Induk Kota Salatiga tahun 1977 yang

terkenal dengan “Outplane Kota Salatiga 1977” (Keputusan DPRD Kodya Dati II

Salatiga, Nomor : 06/DPRD II/ 1977, 8 Juni 1977). Di dalam keputusan tersebut

ditegaskan bahwa sasaran pembangunan Kota Salatiga diarahkan agar berfungsi sebagai

kota pendidikan, pariwisata, dan transito.

43

Page 44: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

Fungsi khas tersebut telah direevaluasi dan disesuaikan dengan perkembangan

keadaan seperti yang tertuang dalam berbagai dokumen atau produk perencanaan daerah

yang dikenal dengan “Tri Fungsi Khas Kota Salatiga”, yaitu sebagai:

a. Kota Pendidikan dan Olah Raga; b. Pusat Kegiatan Perdagangan dan Jasa; dan c. Kota Pariwisata/transit wisata Menurut Dewan Pendidikan Kota Salatiga, kota pendidikan adalah kota yang

menjadikan pendidikan sebagai roh utama kehidupannya. Ini agak berbeda dengan kota

pelajar, sebab cakupan makna kota pelajar lebih sempit katimbang kota pendidikan.

Kata pelajar berkonotasi murid sekolah di lembaga pendidikan dasar dan menengah,

sedangkan kata pendidikan menunjuk pada proses pendidikan yang berlangsung dalam

keluarga, lembaga pendidikan pra sekolah, dasar, menengah, dan tinggi serta di lembaga

pendidikan non formal, sehingga subyeknya lebih menyeluruh katimbang sekedar murid

SD, SLTP dan SMU/K.

Dengan demikian, upaya mewujudkan diri sebagai kota pelajar belum tentu

mengarah ke terwujudnya kota pendidikan, sementara upaya mewujudkan kota

pendidikan implisit di dalamnya berarti pula mewujudkan kota pelajar.

Dengan mencanangkan diri sebagai kota pendidikan, diharapkan urusan

pendidikan lalu menjadi urusan semua warga Kota Salatiga mulai dari rakyat biasa,

sampai ke pucuk pimpinan Kota. Pendidikan bukan saja menjadi agenda utama kinerja

pemerintah kota maupun para wakil rakyat, melainkan justru menjadi acuan utama

kinerja ataupun performance baik wakil rakyat, aparat pemerintah daerah, para

pengusaha, rakyat biasa maupun terlebih lebih para praktisi pendidikan. Dimensi

“mendidik” menjadi acuan setiap sikap, perilaku, ucapan maupun tindakan/kebijakan

setiap warga kota Salatiga. Setiap warga kota akan selalu bertanya pada diri sendiri,

“apa nilai paedagogis dari sikap, ucapan, tindakan ataupun keputusan/kebijakan yang

dibuatnya”.

Ditetapkannya Kota Salatiga sebagai kota pendidikan menunjukkan telah

adanya kesadaran akan pentingnya pendidikan sebagai strategi untuk mengembangkan

dan memajukan Kota Salatiga. Penyusun renstra Kota Salatiga memberi alasan

fenomenologis atas ditetapkannya Salatiga sebagai kota pendidikan, dengan menyatakan

bahwa “denyut nadi aktivitas kota Salatiga selama ini sangat terkait dengan keberadaan

dan aktivitas pendidikan baik pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah”. Di

44

Page 45: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

samping itu, penetapan sebagai kota pendidikan juga didasarkan pada pemahaman atas

potensi sosial yang dimiliki Kota Salatiga.

Dari segi wilayah, Kota Salatiga relatif sempit. Hal ini memperpendek rentang

kendali pengelolaan sehingga memudahkan penyelenggaraan pemerintahan. Di samping

itu, dengan lokasi pegunungan berhawa sejuk maka alam sangat menopang upaya

pendidikan di wilayah ini. Lembaga-lembaga pendidikan yang adapun relatif mapan dan

beragam. Lembaga-lembaga yang ada dapat didayagunakan secara lebih optimal demi

kemajuan pendidikan di Kota Salatiga. Lembaga pendidikan tersebut tampak dalam

tabel sebagai berikut.

Tabel 4.

Jumlah Lembaga Pendidikan di Kota Salatiga

No Kecamatan TK/R

A

SD/

MI

SLTP

/

MTs

SMU/M

A/

SMK

Ponpes

Sek.

Tingg

i

P

T Jml.

1. Sidomukti 13/6 16/3 4/- 2/-/6 3 1 - 31

2. Sidorejo 18/4 30/3 11/1 6/2/5 3 2 1 58

3. Argomulyo 15/6 22/3 6/1 2/1/1 2 - - 36

4. Tingkir 19/3 25/3 2/- -/-/1 4 - - 31

Jumlah 65/19 93/12 23/2 10/3/13 12 3 1 223

Keterangan : Diolah dari data Dinas Pendidikan dan Departemen Agama

Selain itu, tradisi akademis juga relatif mapan. Beberapa lembaga pendidikan di

kota ini sudah hidup, mampu bertahan dan bahkan berkembang selama puluhan tahun.

Dengan usia yang sudah puluhan tahun itu maka watak akademis sudah mentradisi di

berbagai lembaga pendidikan tersebut. Nilai-nilai akademis seperti kejujuran,

keterbukaan, mengutamakan kebenaran, curiosity, dan sejenisnya sudah menjadi

langgam hidup sebagian warga maupun beberapa lembaga pendidikan di kota ini.

Tradisi itu merupakan pondasi kokoh bagi upaya pengembangan kota pendidikan

Salatiga.

Dari segi keagamaan, masyarakat Salatiga cukup plural. Namun pluralitas itu

tidak dibarengi dengan fanatisme sempit antarkelompok pemeluk agama. Oleh karena

itu kehidupan sosial keagamaan di kota ini selalu diwarnai oleh semangat toleransi yang

tinggi antar pemeluk agama. Sikap toleran warga masyarakat merupakan modal yang

amat penting bagi pengembangan pendidikan di masa depan, karena semua lembaga

45

Page 46: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

pendidikan kelak harus menjadi pusat pengembangan toleransi. Di samping itu, pola

hidup masyarakatnya belum terlalu metropolis. Dalam batas-batas tertentu masyarakat

Salatiga masih tergolong masyarakat yang sederhana. Pola hidup kota besar yang serba

gemerlap, dengan segala segi negatifnya, belum terlalu menggejala di kota ini. Kondisi

semacam ini justru menguntungkan bagi terselenggaranya proses pendidikan yang

bermutu di kota ini.

Fenomena dan berbagai potensi sosial yang dimiliki Kota Salatiga di atas,

menjadi alasan utama mengapa Salatiga dikembangkan sebagai kota pendidikan.

Pengembangan sebagai kota pendidikan tersebut semakin mendapatkan tantangan dan

peluang, sejak secara resmi diberlakukan kebijakan otonomi daerah mulai 1 Januari

2001. Sebab, sebagaimana ditegaskan dalam UU No.22 tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah, kebijakan otonomi daerah memang memberikan kesempatan dan

keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah, termasuk dalam

bidang pendidikan, dengan menerapkan prinsip-prinsip demokrasi, peranserta

masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan

keanekaragaman daerah. Ini berarti, daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur

dan mengurus persoalan pendidikan menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi

masyarakat di daerah, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Karena kewenangan yang diotonomikan itu utuh, tidak seperti era sentralistik,

maka perencanaan pendidikan di daerah sebagai kegiatan awal dari proses pengelolaan

pendidikan termasuk kegiatan yang wajib dilaksanakan oleh daerah. Berbeda dengan

sistem perencanaan pendidikan yang sentralistik, yang telah menghasilkan uniformitas

yang berlebihan dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan di daerah, maka

dalam era otonomi daerah diharapkan akan tumbuh kreativitas dan prakarsa, serta

mendorong peranserta masyarakat sesuai dengan potensi dan kemampuan masing-

masing daerah. Ini berarti, bahwa dalam membangun pendidikan di daerah

Kabupaten/Kota, seperti halnya Kota Salatiga, perlu dilandasi dengan perencanaan

pendidikan yang baik dan distinktif, tidak hanya bertumpu pada perencanaan nasional

yang makro, tetapi juga dapat mempertimbangkan keunikan, kemampuan, dan budaya

daerah masing-masing sehingga mampu menumbuhkan prakarsa dan kreativitas daerah.

4. Kebijakan Umum Bidang Pendidikan di Kota Salatiga

Secara teoritis, di tingkat kabupaten/ kota, terdapat tiga jenis kebijakan, yaitu

kebijakan umum, kebijakan pelaksanaan dan teknis di bidang pendidikan. Kebijakan

umum menunjuk pada kebijakan Pemda sebagai pelaksanaan asas desentralisasi.

46

Page 47: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

Kebijakan ini merupakan ketentuan yang bersifat makro dan strategis daerah, yang

produknya berupa peraturan daerah. Sementara kebijakan pelaksanaan dan teknis dibuat

oleh Dinas Pendidikan Kota Salatiga. Di Kota Salatiga, yang termasuk kebijakan umum,

antara lain : Perda No. 8 tahun 2001 tentang Program Pembangunan Daerah (Propeda)

Kota Salatiga tahun 2001-2005, Perda No.1 tahun 2002 tentang Rencana Strategis

Pembangunan Kota Salatiga tahun 2002-2006, dan (Ra) perda tentang Pengelolaan

Pendidikan di Kota Salatiga.

Mengenai kebijakan umum dijelaskan berturut-turut pada bagian a dan b

sebagai berikut.

a. Propeda Bidang Pendidikan Kota Salatiga 2001 – 2005.

Secara umum, propeda merupakan landasan dan pedoman dalam melaksanakan

pembangunan daerah selama lima tahun. Di dalamnya memuat arah kebijakan dan

program pembangunan daerah, digunakan sebagai pedoman bagi pemerintah daerah dan

segenap anggota masyarakat Kota Salatiga dalam melaksanakan pembangunan daerah.

Propeda Kota Salatiga ditetapkan bersama oleh Pemerintah Daerah dengan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Salatiga, yang selanjutnya akan menjadi dasar

untuk penyusunan renstra Kota Salatiga, dan Rencana Pembangunan Tahunan

(REPETA) yang memuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota

Salatiga.

Propeda Kota Salatiga disusun atas inisiatif pemerintah daerah sebagai badan

eksekutif daerah. Dalam penyusunannya, pemerintah daerah membentuk tim dengan

nama “Tim Propeda Eksekutif”. Keanggotaan tim ini berusaha mensinergikan antara

aktor yang mempunyai pengalaman pada masing-masing bidang pembangunan dengan

aktor yang dinilai mempunyai kepakaran di bidang-bidang tersebut. Tugasnya adalah

untuk menyiapkan rancangan Perda tentang propeda, termasuk propeda bidang

pendidikan.

Dalam rangka menjalankan tugasnya, tim ini melakukan serangkaian

penelitian. Maksudnya, untuk memahami kondisi, potensi dan permasalahan-

permasalahan riel yang dihadapi Kota Salatiga pada masing-masing bidang

pembangunan. Hasil penelitian ini dipakai sebagai dasar awal untuk menyusun

rancangan propeda. Setelah rancangan awal disusun, kemudian didiskusikan dengan

para stakeholders yang dinilai mempunyai pengalaman dan kepakaran pada masing-

47

Page 48: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

masing bidang pembangunan. Hasil pembahasan digunakan sebagai dasar untuk

memperbaiki rancangan perda tentang propeda tersebut.

Berkaitan dengan propeda bidang pendidikan, fokus pergumulan terjadi pada

dua hal, yaitu, pertama, dari segi proses muncul kesadaran agar penyusunan propeda

bidang pendidikan lebih partisipatif, dengan sedapat mungkin melibatkan seluruh

elemen masyarakat. Mereka diharapkan ikut memberikan kontribusi secara konstruktif

supaya dapat membantu mewujudkan sebuah Perda yang sesuai dengan aspirasi dan

tuntutan kebutuhan riel yang berkembang dalam masyarakat. Kedua, dari segi materi,

ada dukungan terhadap beberapa kebijakan pendidikan yang sudah dirumuskan, antara

lain perlunya memberi porsi yang lebih besar pada anggaran bidang pendidikan

dibandingkan anggaran sektor lainnya, perlunya meningkatkan jaminan kesejahteraan

tenaga kependidikan, terutama pada guru wiyata bakti, dukungan terhadap upaya

pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan, dan pengembangan kualitas sumber

daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu dan menyeluruh.

Di samping itu, juga dipandang perlu adanya penyempurnaan dan penajaman

substansi atas beberapa persoalan yang sudah dirumuskan, agar lebih mendasar, serta

terintegrasi satu bagian dengan lainnya sehingga layak digunakan sebagai pedoman

dalam penyelenggaraan pembangunan bidang pendidikan di Kota Salatiga.

Penyempurnaan dan penajaman terutama diarahkan agar propeda bidang pendidikan

memuat berbagai kondisi riel yang menjadi persoalan mendesak di bidang pendidikan.

Atas dasar masukan yang ada, kemudian diadakan seminar untuk membahas

rancangan perda tentang propeda yang sudah diperbaiki oleh Bappeda. Pesertanya

melibatkan kalangan yang lebih luas, baik LSM, Perguruan tinggi, kelompok ahli,

tokoh masyarakat dan agama, dinas atau instansi terkait dan satuan pendidikan tertentu.

Berbagai masukan dalam seminar dipakai sebagai bahan untuk memperbaiki

Rancangan Propeda yang ada, termasuk propeda bidang pendidikan.

Proses berikutnya terjadi di DPRD, dalam rangka meneliti, mencermati,

membahas sampai penetapan rancangan perda tentang propeda tersebut. Tahap-

tahapnya meliputi : (a) Penyampaian nota penjelasan rancangan perda tentang Program

Pembangunan Daerah Kota Salatiga 2001-2005 oleh Walikota, (b) pemandangan umum

fraksi-fraksi terhadap rancangan peraturan daerah tentang Propeda Kota Salatiga tahun

2001-2005 dan naskahnya, (c) Tanggapan atau jawaban walikota terhadap pemandangan

48

Page 49: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

umum fraksi-fraksi dan penjelasan dari unit kerja pada rapat komisi dan hasil rapat

dewan dengan Tim Penyusun Raperda Eksekutif, (d) kegiatan rapat-rapat komisi yang

diselenggarakan bersama-sama dengan dinas/instansi terkait, (e) pembahasan Raperda

Propeda 2001-2005 oleh Komisi Gabungan dengan Tim Raperda Propeda.

Berdasarkan hasil pembahasan di tingkat komisi dan komisi gabungan dengan

Tim Raperda Propeda, maka kemudian diadakan rapat paripurna DPRD Kota Salatiga

dalam rangka penyampaian pendapat akhir fraksi dan penetapan raperda Propeda 2001-

2005. Dalam penyampaian pendapat akhir fraksi, pada prinsipnya semua fraksi

memandang bahwa penyusunan propeda sudah cukup partisipatif dan substansi

materinya telah diperbaiki berdasarkan masukan-masukan dari para stakeholder,

sehingga mereka menyetujui Raperda Propeda Kota Salatiga menjadi Perda Kota

Salatiga tentang Program Pembangunan Daerah Kota Salatiga, tahun 2001-2005.

Pada akhir rapat paripurna DPRD tersebut, Walikota menyatakan bahwa

propeda sebagai salah satu dokumen perencanaan pembangunan daerah untuk lima

tahun ke depan yang memuat arah dan kebijakan serta program-program pembangunan

daerah wajib dilaksanakan bersama-sama secara konsisten. Hal ini sangat penting

karena dalam era reformasi dan era otonomi daerah saat ini, pelaksanaan pembangunan

harus betul-betul berlandaskan pada pedoman yang ada, sesuai dengan proses dan

prosedur yang telah dibakukan serta hasilnya dapat dipertanggungjawabkan kepada

masyarakat .

Dari uraian di atas, proses terbentuknya Propeda bidang pendidikan dapat

ditampilkan dalam bentuk bagan sebagai berikut.

49

Page 50: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

Badan Eksekutif DPRD

Tim Propeda Eksekutif

Penelitian

Diskusi

Seminar

Rancangan

Penyampaian Nota Penjelasan Rancangan Perda tentang Propeda

Pemandangan Umum Fraksi

Tanggapan atau Jawaban

l k

Penjelasan Unit Kerja Pada Rapat Komisi

Pembahasan Raperda Propeda oleh komisi Gabungan dengan tim

Raperda Propeda

Rapat Paripurna DPRD Pendapat akhir fraksi Penetapan Raperda Propeda

menjadi Perda

Gambar 4.

Proses Terbentuknya

Propeda Bidang Pendidikan Kota Salatiga

Dalam propeda disebutkan bahwa arah pembangunan pendidikan di Kota

Salatiga adalah :

1. Mengupayakan pemerataan memperoleh pelayanan pendidikan yang bermutu bagi seluruh warga masyarakat Salatiga menuju terciptanya masyarakat Salatiga yang berkualitas dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti.

2. Meningkatkan kemampuan profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga kependidikan.

3. Melakukan pembaharuan dalam bidang kurikulum, berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik, dan diversifikasi jenis pendidikan secara profesional termasuk pendidikan lingkungan.

4. Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu, dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif oleh seluruh komponen masyarakat Salatiga.

5. Memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai.

50

Page 51: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

6. Melakukan pembaharuan dan pemantapan sistem pendidikan berdasarkan prinsip desentralisasi.

7. Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun pemerintah untuk memantapkan sistem pendidikan yang efektif dan efisien dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.

8. Meningkatkan penguasaan, pengembangan dan manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi bangsa sendiri dalam dunia usaha, terutama usaha kecil, menengah, dan koperasi guna meningkatkan daya saing produk yang berbasis sumber daya lokal.

Sementara itu, program-program pembangunan bidang pendidikan, meliputi (a)

program pendidikan prasekolah, dasar, dan menengah, (b) program pembinaan

pendidikan luar sekolah dan (c) program sinkronisasi dan koordinasi pendidikan.

Program pendidikan prasekolah, dasar dan menengah ditujukan untuk : (1)

meningkatkan kesamaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi kelompok

yang kurang beruntung, termasuk mereka yang tinggal di desa terpencil, masyarakat

miskin dan anak yang berkelainan, (2) meningkatkan kualitas pendidikan prasekolah,

dasar dan menengah dengan kualitas yang memadai, dan (3) terselenggaranya

manajemen pendidikan yang berbasis pada sekolah dan masyarakat.

Program pembinaan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) bertujuan untuk

menyediakan pelayanan kepada masyarakat yang tidak atau belum sempat memperoleh

pendidikan formal untuk mengembangkan diri, sikap, pengetahuan dan ketrampilan,

potensi pribadi, dan dapat mengembangkan usaha produktif guna meningkatkan

kesejahteraan hidupnya. Selain itu, program PLS diarahkan pada pemberian

pengetahuan dasar dan ketrampilan berusaha secara profesional sehingga warga belajar

mampu mewujudkan lapangan kerja bagi dirinya dan anggota keluarganya. Sedangkan

program sinkronisasi dan koordinasi pendidikan bertujuan untuk meningkatkan

sinkronisasi dan koordinasi perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan

program-program pendidikan baik antar jenjang, jalur dan jenis maupun antar

kecamatan. Sasarannya adalah mewujudkan sinkronisasi dan koordinasi perencanaan,

pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan program-program pembangunan pendidikan

antar jenjang, jalur dan jenis maupun antar kecamatan.

b. Rencana Strategis Pembangunan Pendidikan Kota Salatiga

Sebagai tindak lanjut Program Pembangunan Daerah (Propeda) Kota Salatiga,

kemudian disusun rencana strategis pembangunan Kota Salatiga tahun 2002-2006.

51

Page 52: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

Renstra ini memuat kebijakan secara rinci dan terukur kinerja walikota Salatiga,

dimaksudkan untuk memberikan landasan dan pedoman dalam pelaksanaan

pembangunan daerah bagi perangkat daerah Kota Salatiga dalam bidang hukum,

ekonomi, politik, agama, pendidikan, sosial budaya, pembangunan daerah,

pembangunan sumberdaya manusia dan lingkungan hidup serta ketertiban dan

ketentraman masyarakat.

Penyusunan renstra bidang pendidikan menjadi bagian integral dari proses

penyusunan renstra Kota Salatiga secara keseluruhan. Penyusunan renstra Kota Salatiga

diawali dengan pergumulan ide mengenai perlu tidaknya rentra itu dibuat. Pergumulan

muncul sebagai akibat adanya persepsi yang berbeda terhadap berbagai peraturan

perundang-undangan yang berlaku, di samping belajar dari daerah lain.

Berdasarkan komitmen dan kesepakatan antara Pemerintah Kota dengan DPRD

pada saat pembahasan Raperda tentang Propeda, maka Kota Salatiga menyusun baik

propeda maupun renstra. Renstra merupakan penjabaran propeda dalam ruang lingkup

pembangunan daerah. Renstra memuat program-program yang nantinya dituangkan

dalam Repetada dan APBD sesuai dengan kewenangan daerah, sekaligus sebagai dasar

dalam penyusunan renstra badan/dinas/kantot/unit kerja.

Dalam membuat renstra, Bappeda Kota Salatiga bekerja sama dengan Program

Pascasarjana UKSW Salatiga. Secara garis besar, penyusunan renstra dilaksanakan

dalam tiga tahapan yang saling terkait dan berkesinambungan, yaitu, pertama, tahap

pengumpulan data. Dalam tahap ini metode yang digunakan adalah angket, wawancara

dan dokumentasi. Angket digunakan untuk mengetahui visi, misi, strategi kebijakan,

program/kegiatan dan anggaran masing-masing instansi dinas dan non dinas Pemerintah

Kota Salatiga. Sementara, metode wawancara dilakukan terhadap pimpinan atau

pejabat-pejabat di lingkungan Pemerintah Kota Salatiga maupun dinas/non dinas yang

terkait serta tokoh-tokoh masyarakat sebagai masukan untuk mengetahui aspirasi

masyarakat. Sedangkan metode dokumentasi, dipakai untuk mendapatkan data berupa

hal-hal yang terkait dengan manajemen pemerintahan daerah dalam kerangka

melaksanakan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.

Kedua, tahap penyusunan rencana strategis. Dalam tahap ini, dimulai dengan

melakukan analisis kondisi internal dan eksternal Kota Salatiga. Di bidang pendidikan,

analisis kondisi internal menghasilkan pemahaman atas berbagai kekuatan dan

52

Page 53: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

kelemahan pembangunan pendidikan di Kota Salatiga. Kekuatannya adalah (a)

prasarana dan tenaga pendidik pada tingkat dasar relatif memadai, (b) terdapat beberapa

perguruan tinggi, (c) terdapat sekolah asing/internasional yang berlokasi di Kota

Salatiga, (d) terdapat berbagai jenis pendidikan luar sekolah, (e) terdapat pusat

pendidikan dan latihan atlet, (f) telah dimulainya pelaksanaan “school-based

management”, dan (g) terdapat berbagai potensi keunikan Kota Salatiga yang

memungkinkan untuk dikembangkan menjadi pusat pendidikan orang dewasa dan

pendidikan ketrampilan wirausaha. Sementara, kelemahannya meliputi (a) belum

optimalnya angka partisipasi sekolah tingkat lanjutan (SLTP/SLTA), (b) nisbah

prasarana pendidikan dan daya tampung siswa serta nisbah guru pada sekolah lanjutan

belum optimal, (c) belum terdapat jalinan kerja sama yang sinergis antara lembaga

pendidikan terutama dalam hubungan vertikal, (d) belum adanya keberanian untuk

mendiversifikasi kurikulum sekolah bernuansa otonomi, dan (e) belum jelasnya

bentangan cakrawala keotonomian pendidikan dalam substansi edukasi.

Dari analisis kondisi eksternal, dihasilkan pemahaman atas sejumlah peluang

dan ancaman terhadap pembangunan pendidikan di Kota Salatiga. Beberapa peluang

yang dapat dimanfaatkan adalah (a) semakin meningkatnya kesadaran masyarakat

berpartisipasi dalam pendidikan, (b) semakin terbukanya kesempatan untuk bekerjasama

dengan daerah lain di bidang pendidikan, (c) terdapatnya perguruan tinggi yang

mempunyai latarbelakang disiplin ilmu yang dapat mendukung pelaksanaan otonomi

daerah, (d) terbukanya kesempatan untuk mendiversifikasi pendidikan luar sekolah, (e)

terbukanya kesempatan untuk kerjasama baik horisontal maupun vertikal dalam rangka

menciptakan central of excelence, dan (f) terbukanya kesempatan untuk diversifikasi

lembaga pendidikan luar sekolah. Sementara ancaman yang dihadapi berupa (a)

kebijakan penyerahan pengelolaan pendidikan kepada daerah dapat berdampak pada

penurunan kualitas pendidikan karena keterbatasan kemampuan daerah, (b) menurunnya

semangat kerja pendidik karena minimnya sarana dan prasarana penunjang sehingga

berdampak pada menurunnya mutu pendidikan, dan (c) kuatnya ideologi penyeragaman

baik terhadap isi kurikulum, strategi pembelajaran maupun kualitas pembelajaran.

Ketiga, tahap validasi dan finalisasi rencana strategis. Metode yang digunakan

dalam tahap ini adalah (a) seminar dan pembahasan raperda renstra yang diikuti badan

legislatif, badan eksekutif, LSM, tokoh masyarakat, akademisi, organisasi profesi dan

53

Page 54: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

stakeholder pembangunan di Salatiga, dan (b) pembahasan program dan kegiatan secara

mendetail dengan dinas dan unit kerja pemerintah Kota Salatiga.

Berbagai masukan konstruktif yang diterima dalam seminar dan pembahasan

rentra, digunakan untuk semakin memperbaiki Raperda renstra. Selanjutnya, Raperda

tersebut diajukan oleh pihak eksekutif ke DPRD untuk mendapatkan pembahasan demi

penyempurnaannya. Proses di DPRD dimulai dengan rapat paripurna untuk

mendengarkan nota penjelasan Walikota tentang Raperda renstra Kota Salatiga, diikuti

dengan pemandangan umum fraksi terhadap Raperda renstra tersebut. Dalam nota

penjelasannya, Walikota antara lain menyatakan bahwa :

“Penyusunan Raperda renstra pembangunan daerah Kota Salatiga diajukan kepada Dewan dengan maksud agar pelaksanaan pembangunan di daerah dapat berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Disamping itu, hal tersebut juga untuk mengoptimalkan peran Pemerintah Kota Salatiga dalam melaksanakan fungsi pelayanan kepada masyarakat dan pembangunan daerah serta meningkatkan dan mengembangkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dalam kerangka perwujudan good governance. Lain daripada itu, renstra yang telah disusun juga sebagai pedoman kinerja pemerintah Kota Salatiga dan sebagai instrumen dalam pengukuran kinerja pembangunan Kota Salatiga yang meliputi bidang-bidang yang tercantum dalam propeda.”

Sementara itu, pemandangan umum fraksi terhadap Raperda renstra bidang

pendidikan pada intinya berisi :

a. Rencana strategis pembangunan bidang pendidikan dinilai belum menunjukkan

adanya sebuah perencanaan yang mampu mengintegrasikan peran pemerintah,

masyarakat dan orang tua dalam penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas.

Disamping itu, peran pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan non formal

masih belum dimanfaatkan dalam renstra yang ada.

b. Investasi di bidang pendidikan yang selama ini didukung sektor swasta perlu

ditindaklanjuti dengan keberpihakan yang lebih adil dan merata;

c. Pengawasan mutu pendidikan perlu dikembangkan dalam perwujudan desentralisasi

pendidikan .

d. Rencana perwujudan “central of excelence” lembaga pendidikan di Kota Salatiga

perlu didukung dengan pengembangan kurikulum, sarana dan prasarana,

ketrampilan SDM serta peningkatan kesejahteraan SDM.

e. Ada dan berkembangnya Sekolah Internasional di Kota Salatiga perlu didukung dan

diberi jaminan rasa aman bagi guru dan siswanya. Keberadaan sekolah ini dapat

54

Page 55: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

menjadi pintu Kota Salatiga dalam memasuki kawasan global, karena guru dan

siswa di sekolah tersebut berasal dari negara-negara Asia, Eropa, Australia dan

sebagian Amerika.

f. Perlunya sosialisasi MBS agar masyarakat diberdayakan secara luas baik sebagai

konsumen jasa pendidikan maupun sumber daya penyedia jasa pendidikan.

g. Dalam penyusunan program Penerimaan Siswa Baru SLTP, hendaknya dilakukan

dengan pinsip keadilan dan pemerataan serta menjamin pelaksanaan Wajib Belajar

di Kota Salatiga. Sebagai wujud wajib belajar 9 tahun, maka Pemda harus mampu

menjamin setiap lulusan SD/MI Kota Salatiga dapat diterima di SLTP. Hal ini

penting agar SDM kita di masa yang akan datang lebih berkualitas.

Di antara berbagai aspirasi yang berkembang dalam pemandangan umum fraksi

tersebut, tak banyak yang mendapat respon dari walikota. Dalam penyampaian jawaban

Walikota terhadap pemandangan umum fraksi, yang mendapat perhatian walikota

adalah persoalan perlunya peningkatan kualitas pendidikan dengan mengacu pada

manajemen pendidikan berbasis sekolah dan masyarakat. Dikatakan, “dengan

keterlibatan masyarakat dalam pendidikan, akan mendorong kelembagaan sekolah

menjadi institusi yang mandiri (otonomi) ”.

Sementara itu, untuk menindaklanjuti aspirasi yang berkembang di setiap bidang

pembangunan, disepakati pembentukan Pansus DPRD. Pansus ini diberi tugas untuk

mengkaji, mencermati dan melakukan percakapan publik bersama stakeholder

pembangunan di Salatiga. Tugasnya adalah : (a) pendalaman materi renstra, (b)

penyusunan laporan kelompok, (c) rapat Pansus membahas hasil kerja kelompok, (d)

melakukan dialog interaktif yang dilanjutkan koordinasi dengan tim eksekutif, dan (e)

menyusun hasil kerja Pansus.

Dalam rangka menjalankan tugasnya, Pansus renstra meminta masyarakat untuk

memberikan masukan Raperda Renstra, kemudian dilanjutkan dialog interaktif dengan

komponen masyarakat, instansi terkait dan tokoh masyarakat yang ada di Kota Salatiga.

Selanjutnya, diadakan pembahasan pemantapan Renstra”.

Setelah dilakukan kegiatan dan koordinasi dengan Tim Raperda Renstra

eksekutif dengan memperhatikan masukan-masukan dari Perguruan Tinggi,

ormas/orsospol dan LSM, maka Pansus merekomendasikan perlu adanya perubahan

terhadap bagian-bagian tertentu dari Raperda Renstra yang telah dihasilkan. Dalam hal

ini tampak bahwa Raperda renstra bidang pendidikan, hampir-hampir tidak mengalami

55

Page 56: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

perubahan. Tak ada yang direkomendasikan oleh Pansus. Ini berarti bahwa berbagai

aspirasi yang berkembang dalam pemandangan umum fraksi, tak cukup menjadi

“concern” Pansus renstra. Hal itu boleh jadi juga mencerminkan kurangnya perhatian

dari berbagai komponen masyarakat di Kota Salatiga dan instansi terkait berkaitan

dengan persoalan pendidikan di daerahnya.

Langkah berikutnya adalah rapat paripurna DPRD Kota Salatiga dalam rangka

penyampaian pendapat akhir fraksi terhadap Raperda Renstra 2002-2006. Pada tahap

ini, selain ada dukungan terhadap substansi renstra, juga ada aspirasi agar walikota

“lentur “ di dalam mengambil suatu kebijakan. Sebab, setiap butir di dalam renstra

masih bisa dijabarkan. Karenanya, satu fraksi di DPRD berpendapat agar dalam renstra

ditambahkan sebuah formulasi yang menegaskan pentingnya pengambila kebijakan

akibat situasi dan kondisi dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan atau atas persetujuan

DPRD. Dengan demikian, apabila dalam kondisi tertentu walikota ingin mengambil

kebijakan baru, maka hal itu bukan berarti menyimpang dari butir-butir materi renstra

2002-2006.

Di samping itu, berkembang juga aspirasi mengenai perlunya dipikirkan

“manajemen pendidikan satu payung”, yang dapat mengintegrasikan peran pemerintah,

masyarakat dan orang tua dalam penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas. Ketiga

pihak tersebut harus dapat berperan dan bertanggung jawab secara profesional dalam

penyelenggaraan pendidikan. Ide ini, meskipun sempat tenggelam, tapi akhirnya

menjadi semacam “embrio” bagi adanya Perda tentang pengelolaan pendidikan di Kota

Salatiga. Kini, Raperda tersebut sebenarnya telah siap untuk ditetapkan menjadi Perda,

hanya karena berbagai pertimbangan hal itu belum dilakukan.

Dari apa yang telah disampaikan oleh fraksi-fraksi dalam pendapat akhir, dapat

disimpulkan bahwa semua setuju terhadap Raperda Renstra tahun 2002-2006. Oleh

karena itu, Raperda tersebut kemudian ditetapkan menjadi Perda, yaitu Perda No 1

tahun 2002 tentang Rencana Strategis Pembangunan Kota Salatiga tahun 2002-2006.

56

Page 57: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

Dalam bentuk bagan, proses perumusan Perda tentang renstra tersebut tampak

dalam model berikut.

Pergumulan ide perlu tidaknya Renstra

BADAN EKSEKUT

Bappeda bekerjasama dengan Program Pasca Sarjana UKSW

DPRD

Nota Penjelasan Walikota tentang

Pemandangan Umum Fraksi

Tim Raperda Renstra k k if

♦ Tahap Pengumpulan Data

♦ Tahap penyusunan Renstra

Tanggapan

Pembentukan Pansus DPRD

Rekomendasi

Penyampaian Pendapat akhir

k i

Penetapan menjadi Perda

RAPERDA

Gambar 5.

Proses Perumusan Renstra Bidang Pendidikan Kota Salatiga

57

Page 58: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

Tabel 5.

Matriks Renstra Bidang Pendidikan Kota Salatiga

No Kebijakan Strategi Program Kegiatan Indikator Kerja

1. Pemerataan dan perluasan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu gu-na mendu- kung penun-tasan wajib belajar 9 ta-hun.

Bantuan (beasiswa) untuk siswa rawan putus sekolah

Bantuan sar-ana dan dana untuk penye-lenggaraan Kejar Paket B, Kejar Paket C, Kejar Usaha.

Bantuan (beasiswa) untuk siswa rawan putus sekolah dasar dan menengah.

Penyelenggaraan Kejar Paket B, Kejar Paket C, dan Kejar Usaha.

Bantuan sarana dan dana untuk penye-lenggaraan Kejar Paket B,Kejar Paket C, Kejar Usaha.

Angka putus sekolah dasar dan menengah turun.

Terselenggaranya Kejar Paket B, Kejar Paket C, dan Kejar Usaha.

Tersalurnya warga belajar beasiswa ke lapangan kerja atau mandiri.

Meningkatnya angka ketuntasan wajib belajar 9 tahun.

2 Peningkatan kualitas pen-didikan dan tenaga pen-didik.

Peningkatan kualitas pendidikan.

Peningkatan kualitas tenaga pendidik.

Bantuan sarana, prasarana TK, SD, MI, dan sekolah menengah.

Beasiswa bagi siswa berprestasi.

Peningkatan pelaksanaan Pendidikan Sistem Ganda.

Regrouping SD Subsidi bagi sekolah swasta. Penataran/pelatihan guru mata pelajaran baik pada aspek konten, strategi pembelajaran maupun evaluasi pembelajaran.

Peningkatan kesejahteraan guru wiyata bakti.

Insentif bagi guru berprestasi

Meningkatnya angka kualitas pendidikan di Salatiga.

Terjadinya pemerataan kualitas penyelenggaraan pendidikan terutama pada SD kampus.

Terselenggaranya penataran dan pelatihan bagi peningkatan kualitas guru.

Meningkatnya kesejahteraan guru. 3 Peningkatan

tanggung ja-wab bersa-ma antar sekolah, ke-luarga dan masyarakat dalam me-nyelenggara-kan pendi-dikan berba-sis sekolah.

Penyelengga-raan pendi-dikan berba-sis sekolah / masyarakat.

Persiapan dan sosia-lisasi penyelengga-raan pendidikan ber-basis sekolah / ma-syarakat.

Bantuan managerial penyelenggaraan pendidikan berbasis sekolah/masyarakat.

Tersosialisasinya sistem penyelenggaraan pendidikan berbasis sekolah/ masyarakat.

Terwujudnya manajemen penyelenggaraan pendidikan berbasis sekolah/masyarakat.

4 Pengembangan kurikulum berbasis po-tensi daerah dalam cakra-wala interna-sional

Pengembangan kurikulum berbasis pot-ensi daerah dan berorientasi internasional.

Perampingan kurikulum pendidikan.

Pengembangan kuri-kulum muatan lokal variatif.

Peningkatan kuriku-lum bahasa asing sejak pendidikan dasar.

Pengembangan ku-rikulum beraspek ke-trampilan produktif.

Terwujudnya pembaharuan kurikulum sekolah berbasis po-tensi daerah dan ber-prospek internasional.

Terselenggaranya kurikulum muatan lokal yang variatif, kompetitif dan bernuansa keunggulan daerah kota Salatiga.

Terlatihnya ketrampilan produktif siswa melalui pendidikan ketrampilan di sekolah.

5. Diversivikasi penyelenggaraan pendidikan luar sekolah.

Mendukung dan memper-lancar pro-sedur pendi-rian lembaga penyelengga-ra pendidikan luar sekolah.

Pendirian pu-sat-

Regulasi aturan dan sertifikasi pendirian pendidikan luar sekolah.

Penyediaan lembaga penitipan anak.

Membina tempat-tempat usaha khas Salatiga untuk dijadikan centra pelatihan

Terwujudnya aturan pendirian pendidikan luar sekolah yang se-derhana.

Jumlah lembaga pendidikan luar sekolah meningkat.

Terbentuknya pusat / centra pelatihan kewirausahaan.

58

Page 59: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

pusat pe-latihan ke-wirausahaan.

Mengembangkan diklat olahraga dan peningkatan tenaga pen-didikan di bi-dang olah raga.

kewirausahaan. Pembinaan ke-wirausahaan

generasi muda dan remaja Salatiga secara produktif.

Pengembangan Sar-jana Penggerak Pe-desaan.

Bantuan sarana dan dana untuk penye-lenggaraan Diklat olah raga dan pela-tihan guru penjaskes.

Terselenggaranya pembinaan kewirausahaan produktif bagi remaja dan generasi muda.

Meningkatnya atlit berprestasi di kota Salatiga dan peningkatan kualitas guru olahraga.

6 Peningkatan penguatan institusi pen-didikan seko-lah dalam rangka membangun central excellence

Membangun central excellence pendidikan.

Mendorong dan membina secara bertahap lembaga pendidikan terbaik di Salatiga baik negeri maupun swasta untuk menjadi central excellence.

Bantuan sarana, prasarana dan dana untuk terwujudnya penyelenggaraan cen-tral excellence sebagai pagu kualitas pengembangan pendidikan Salatiga.

Terwujudnya institusi sentral excellence baik tingkat pendidikan prasekolah, dasar dan menengah.

Terwujudnya perangkat model sebagai pagu pengembangan kualitas pendidikan.

7. Pengoptimalan penda-yagunaan IPTEK yang menunjang peningkatan keilmuan.

Pendayagu -naan IPTEK guna menun-jang pening-katan keil-muan.

Pengembangan dan pemanfaatan tek-nologi pendidikan dan teknologi informasi guna menun-jang peningkatan ke-ilmuan.

Penelitian pendidikan dalam bidang tekno-logi pendidikan da-lam rangka pening-katan keilmuan.

Terlaksananya pendidikan bermediakan teknologi pendidikan.

Terlaksananya penelitian bidang teknologi pendidikan.

Dari uraian mengenai kebijakan umum bidang pendidikan di atas, dapat

disimpulkan bahwa Pemerintahan Kota Salatiga telah membuat propeda yang

merupakan landasan dan pedoman dalam melaksanakan pembangunan daerah bidang

pendidikan selama lima tahun. Dalam propeda itu dimuat arah kebijakan dan program-

program pembangunan bidang pendidikan di berbagai jenjang dan jalur, termasuk

program sinkronisasi dan koordinasi pendidikan.

Dari segi proses perumusannya, pembuatan propeda telah menunjukkan adanya

kerjasama antar berbagai pihak dan telah berusaha mensinergikan antara aktor yang

mempunyai pengalaman dan kepakaran. Penyusunannya juga dilakukan secara

transparan dan cukup partisipatif, dengan melibatkan elemen-elemen masyarakat Kota

Salatiga. Meskipun demikian, proses penyusunan pada tingkat DPRD tampak lebih

sekedar sebagai sarana untuk memenuhi tuntutan prosedural, yang tidak berdampak

59

Page 60: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

pada peningkatan kualitas kebijakan umum bidang pendidikan yang disusun oleh pihak

eksekutif.

Sementara, dari segi substansi kebijakannya, tampak bahwa substansinya lebih

merupakan bagian atau fotokopi dari kebijakan dan perencanaan program pendidikan di

tingkat nasional. Isinya belum mampu menunjukkan sebagai sebuah perencanaan

pendidikan yang unik dan mandiri sehingga beragam sesuai potensi, kemampuan dan

budaya daerah Kota Salatiga, walaupun disusun atas dasar rambu-rambu kebijakan

perencanaan di tingkat nasional.

Kesimpulan atau temuan lainnya adalah bahwa di samping perumusan propeda

bidang pendidikan, di Kota Salatiga juga dibuat renstra pembangunan bidang

pendidikan tahun 2002-2006. Renstra ini merupakan penjabaran dari propeda bidang

pendidikan dan bukan sebaliknya. Renstra dibuat melalui kerjasama berbagai pihak dan

telah dilakukan secara transparan dan partisipatif, melibatkan badan eksekutif, legislatif,

LSM, tokoh masyarakat, akademisi, organisasi profesi dan stakeholders pembangunan

lainnya di Salatiga. Substansi renstra adalah kebijakan strategis, program, kegiatan dan

indikator kerja bidang pendidikan di Kota Salatiga.

Arah kebijakan, program dan kegiatan yang tertuang dalam propeda dan renstra

bidang pendidikan tersebut, kemudian dipakai sebagai dasar dan pedoman dalam

melaksanakan tugas Dinas Pendidikan Kota Salatiga. Dalam hal ini, termasuk dalam

usaha Dinas Pendidikan untuk merumuskan rencana strategis bidang pendidikan pada

tingkatan yang lebih operasional, dan dalam menyusun kebijakan-kebijakan

pelaksanaan dan teknis bidang pendidikan di beberapa aspek.

5. Dinas Pendidikan Kota Salatiga

Tugas Dinas Pendidikan Kota adalah melaksanakan kewenangan Pemerintah

Daerah di bidang pendidikan. Untuk melaksanakan tugas tersebut, Dinas Pendidikan

berlandaskan pada arah kebijakan pendidikan dalam propeda, berpedoman pada tugas

dan fungsi Dinas Pendidikan sebagaimana diuraikan dalam Perda dan Keputusan

Walikota, mengacu pada renstra bidang pendidikan Kota Salatiga, dan kondisi (internal

dan eksternal) serta permasalahan-permasalahan yang dihadapi.

Berdasarkan tugas dan memperhatikan berbagai hal tersebut, Dinas Pendidikan

Kota Salatiga sebagai penanggungjawab utama teknis penyelenggaraan pendidikan di

daerah, melakukan hal-hal berikut.

60

Page 61: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

a. Merumuskan Rencana Strategis Dinas Pendidikan

Renstra ini memuat arah, tujuan, dan indikator sebagai acuan dan pedoman bagi

seluruh jajaran penyelenggara pendidikan di Kota Salatiga, baik pemerintah maupun

masyarakat. Penyusunan renstra dibuat secara bersama-sama, melibatkan subdin-subdin

dan sub bagian yang ada. Tiap subdin (pendidikan dasar, pendidikan menengah, PLS,

pemuda dan olah raga, serta sarana dan prasarana pendidikan) dan sub bagian, membuat

konsep awal berkaitan dengan kewenangan dan tanggung jawab masing-masing,

berdasarkan masukan dari stakeholders. Konsep awal tersebut kemudian direkap oleh

“Tim Perumus Renstra Dinas Pendidikan” yang sengaja dibentuk untuk mengolah lebih

lanjut bahan awal tersebut. Tim perumus terdiri atas unsur kepala Dinas Pendidikan,

kepala-kepala subdin, baik pendidikan dasar, pendidikan menengah, maupun sarana dan

prasarana pendidikan, serta kepala bagian penyusunan program. Hasil kerja tim

kemudian dikirim ke pemerintah daerah untuk mendapatkan tanggapan, setelah itu

direvisi dan disahkan.

Dalam renstra Dinas Pendidikan disebutkan bahwa visi Dinas Pendidikan Kota

Salatiga adalah “terwujudnya masyarakat Kota Salatiga yang mandiri, menguasai iptek,

berdaya saing tinggi, dan berakhlak mulia”. Sedangkan misi untuk mewujudkan visi

tersebut adalah (a) mewujudkan sistem pendidikan demokratis dan bermutu, (b)

meningkatkan kualitas hasil pendidikan dan kemandirian pendidikan, dan (c)

meningkatkan pengamalan ajaran pendidikan agama, IMTAQ dalam kehidupan sehari-

hari.

Misi pertama mengandung makna bahwa dalam upaya mewujudkan visi harus

didukung oleh sistem pendidikan yang demokratis dan bermutu, yang akan memberikan

kesempatan pada masyarakat yang kurang beruntung untuk memperoleh pendidikan

yang bermutu serta mendorong ke arah terwujudnya diversifikasi penyelenggaraan

pendidikan. Arah kebijakan pembangunan pendidikan di Kota Salatiga dititikberatkan

pada upaya peningkatan kualitas dan kemandirian pendidikan. Sesuai dengan motto

Kota Salatiga sebagai kota pendidikan, maka Dinas Pendidikan bertanggung jawab akan

keberhasilannya biarpun secara natural sumber daya alamnya terbatas. Selain itu,

pembangunan pendidikan diarahkan pada terbentuknya akhlak/mental generasi muda

yang kuat.

Dalam perkembangannya, visi yang telah dirumuskan tersebut disadari memiliki

kelemahan, yaitu cenderung hanya memuat misi untuk sub sektor pendidikan dasar dan

61

Page 62: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

menengah, dan kurang dapat mencerminkan misi untuk keseluruhan bagian dan subdin

yang ada dalam struktur organisasi Dinas Pendidikan. Oleh karena itu, menjelang dan

untuk kepentingan pembuatan LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi

Pemerintah) misi semula diubah menjadi sejumlah visi yang lebih eksplisit dan

akomodatif terhadap keseluruhan komponen dalam struktur Dinas Pendidikan, sebagai

berikut.

1. Mewujudkan peningkatan manajerial dalam peningkatan pelayanan masyarakat;

2. Mewujudkan peningkatan kualitas penyelenggaraan pendidikan dasar dan prasekolah;

3. Mewujudkan penyelenggaraan pendidikan sekolah menengah yang berkualitas dan berkompetensi;

4. Mewujudkan peningkatan kualitas pendidikan luar sekolah; 5. Mewujudkan peningkatan sarana dan prasarana dalam rangka meningkatkan

kualitas pendidikan; 6. Meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan dasar, pendidikan luar

sekolah dan pra sekolah di setiap kecamatan; 7. Mewujudkan percontohan pendidikan untuk pendidikan luar sekolah,

pemuda dan olah raga.

Untuk mewujudkan visi dan misi tersebut, ditetapkan tujuan dan sasaran untuk

jangka waktu tertentu. Penetapan tujuan dan sasaran didahului dengan pengenalan

kondisi internal dan eksternal pendidikan di Kota Salatiga. Pengenalan kondisi internal

memunculkan kesadaran atas kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Sedangkan,

pengenalan terhadap kondisi eksternal menyadarkan akan kesempatan atau peluang dan

ancaman atau tantangan yang dihadapi pendidikan di Kota Salatiga. Hasil analisis

SWOT tersebut adalah sebagai berikut.

62

Page 63: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

Tabel 6.

Analisis SWOT Dinas Pendidikan

Kota Salatiga

Analisis Kekuatan (S) Kelemahan (W)

I

N

T

E

R

N

A

L

♦ Tersedianya sarana prasarana pen-didikan dan tenaga kependidikan yang memadai

♦ Terdapat berbagai jenis lembaga pendidikan

♦ Terdapat pusat pendidikan dan latihan

♦ Kesadaran masyarakat tinggi, ter-hadap tuntutan kebutuhan akan IPTEK dalam peningkatan pro-duktifitas

♦ Tersedianya petunjuk standard pelayanan minimal.

♦ Peningkatan profesiona-lisme tenaga kependidikan masih kurang

♦ Baru sebagian yang menjalin kerjasama dengan lembaga usaha

♦ Belum adanya keberanian untuk mendiversifikasi kuri-kulum sekolah bernuansa otonomi.

♦ Belum jelas keotonomian pendidikan

♦ Pemanfaatan IPTEK dalam masyarakat khususnya dalam teknik produksi dan pelayanan jasa masih sebatas sebagai penunjang

♦ Kerjasama dengan pihak swasta dalam pengem-bangan teknologi produksi masih bersifat insidental.

Peluang (O) Ancaman (T)

E

K

S

T

E

R

N

A

L

♦ Potensi Salatiga sebagai kota pendidikan

♦ Semakin meningkatnya kesadaran masyarakat

♦ Semakin terbukanya kesempatan untuk bekerja sama dengan perusahaan dalam bidang pen-didikan

♦ Terbukanya kesempatan untuk mendiversivikasi pendidikan luar sekolah

♦ Terdapatnya berbagai perguruan tinggi, yang dapat mendukung pelaksanaan kegiatan pendidikan.

♦ Kewenangan daerah yang luas dalam pengembangan IPTEK yang tepat guna.

♦ Masih adanya masyarakat yang berpendidikan rendah (tidak lulus SD)

♦ Terbatasnya bantuan dana pemerintah

♦ Menurunnya semangat ker-ja pendidik, karena sarana prasarana penunjang ku-rang memadai

♦ Kuatnya ideologi penyera-gaman bidang pendidikan

♦ Keterbatasan kemampuan daerah dalam pengelolaan pendidikan

63

Page 64: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

b. Kebijakan, Program, dan Kegiatan

Berdasarkan hasil analisis SWOT tersebut, kebijakan, program, dan kegiatan

untuk pendidikan dasar dan menengah Dinas Pendidikan Kota Salatiga antara lain

ditekankan pada hal-hal sebagai berikut.

1) Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang

bermutu, dengan cara penuntasan Wajar Diknas 9 tahun melalui kegiatan, misalnya,

pemberian bea siswa pelajar SD dan SLTP, pemberian bea siswa pelajar berprestasi

akademik, pemberian DBO SD dan SLTP. Di samping itu, juga dengan

meningkatkan peran serta masyarakat untuk menaikkan APK dan APM melalui

kegiatan penyuluhan pada masyarakat lewat dinas terkait dan penyuluhan kepada

komite sekolah baik di SD maupun SLTP. Masyarakat juga diberi kemudahan dan

kesempatan untuk memperoleh STTB, dengan diselenggarakannya SLTP Terbuka,

Kejar Paket B, dan UAS Paket A dan Paket B. Perluasan dan pemerataan

kesempatan juga diupayakan melalui peningkatan sarana dan prasarana,

pembangunan dan rehab gedung sekolah, pemberian bantuan imbal swadaya, dan

bantuan mebelair.

2) Mengupayakan terwujudnya organisasi sekolah yang lebih demokratis, transparan,

efisien, akuntabel serta mendorong partisipasi masyarakat dengan antara lain

memfasilitasi dan mendorong pembentukan komite sekolah

3) Mengupayakan terwujudnya manajemen pendidikan yang berbasis sekolah dan

masyarakat dengan peningkatan tanggung jawab bersama antara sekolah, keluarga

dan masyarakat.

4) Peningkatan administrasi dan pengembangan kepegawaian dengan program

rekruetmen guru PNS dan guru bantu, pengisian jabatan kepala sekolah,

peningkatan kualitas tenaga pendidikan melalui penataran guru bidang studi, KKG

dan KKKS, mendorong dan memberi ijin kepada guru untuk meningkatkan

kualifikasi pendidikannya, seleksi guru teladan, pelatihan tenaga administrasi

pendidikan, serta peningkatan kesejahteraan tenaga kependidikan

5) Mengembangkan kurikulum SD, SLTP dan SMU sesuai potensi dan kebutuhan

daerah, sosialisasi dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi tingkat SMU,

pengembangan kurikulum muatan lokal variatif dan kompetitif, dan pengembangan

kurikulum beraspek ketrampilan produktif.

64

Page 65: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

6) Mewujudkan peningkatan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana dalam rangka

meningkatkan kualitas pendidikan, dengan merencanakan dan meningkatkan

sarana dan prasarana pendidikan dasar dan menengah serta pendistribusian sarana

dan prasarana tersebut.

7) Mengusahakan pemberian bantuan keuangan ke sekolah melalui program :

pemberian beasiswa pelajar berprestasi, pemberian DBO ke sekolah, pemberian

subsidi ke sekolah, insentif guru dan tenaga tidak tetap, pemberian BOMM

(bantuan operasional manajemen mutu), subsidi penyelenggaraan Sekolah

Menengah Swasta, bantuan imbal swadaya untuk SD dan SLTP, dan pemberian

beasiswa rawan putus sekolah.

-00000-

65

Page 66: 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan

66