34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan
Transcript of 34_wasitohadi_implikasi Paradigma Baru Pendidikan
IMPLIKASI PARADIGMA BARU PENDIDIKAN TERHADAP MODEL PERENCANAAN PENDIDIKAN
DALAM RANGKA IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA OTONOMI DAERAH1
Oleh : Wasitohadi2
ABSTRAK
Era reformasi telah membawa perubahan mendasar dalam pendidikan, salah satunya adalah terjadinya perubahan arah paradigma pendidikan, termasuk dalam hal sistem perencanaan pendidikan di daerah. Dengan terjadinya perubahan paradigma baru pendidikan, maka sistem perencanaan pendidikan dalam iklim pemerintahan yang sentralistik, sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan perencanaan pendidikan pada era otonomi daerah, sehingga diperlukan paradigma baru perencanaan pendidikan.
Paradigma baru perencanaan pendidikan akan berimplikasi pada proses perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota. Dalam era otonomi daerah, sistem perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota adalah bagian integral dari sistem perencanaan pembangunan daerah Kabupaten/Kota, yaitu mendasarkan pada perencanaan partisipatif, di mana perencanaan dibuat dengan memperhatikan dinamika, prakarsa dan kebutuhan masyarakat setempat. Oleh karenanya, dalam penyusunan perencanaan pembangunan, termasuk dalam perencanaan pendidikan di daerah Kabupaten/Kota, diperlukan koordinasi antar instansi Pemerintah dan partisipasi seluruh pelaku pembangunan, melalui suatu forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) tingkat kelurahan, tingkat kecamatan, dan tingkat Kota, serta forum Satuan Kerja Perangkat Daerah.
Dalam melakukan perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota, pertama-tama perlu dilakukan analisis lingkungan strategis, untuk mengetahui lingkungan eksternal yang berpengaruh terhadap perencanaan pendidikan kabupaten/kota. Selain itu, berbagai perubahan lingkungan strategis harus diakomodasi dan diinternalisasikan ke dalam perencanaan pendidikan kabupaten/kota agar perencanaan tersebut benar-benar menyatu dengan perubahan lingkungan strategis tersebut. Kemudian, perlu analisis situasi untuk mengetahui ”situasi pendidikan saat ini” dan ”situasi pendidikan yang diharapkan” menyangkut berbagai kebijakan pendidikan yang ditetapkan, sehingga kesenjangan dapat diketahui dan kebijakan substantif dan implementatif, program serta rencana kegiatan dapat dipikirkan secara integrated. Berhubung dengan itu, perlu sebuah pemikiran inovatif-kreatif mengenai model pembangunan sistem pendidikan yang terintegrasi, yang dapat meramu sekaligus mengakomodasi upaya peningkatan dan pencapaian berbagai kebijakan pendidikan yang ditargetkan secara bersama-sama, bukan secara parsial dan berurutan.
Kata kunci: otonomi, desentralisasi, paradigma baru pendidikan, perencanaan
partisipatif, kebijakan pendidikan, model pembangunan sistem pendidikan yang terintegrasi.
1 Makalah ini adalah sebuah pemikiran awal yang dibuat dalam rangka Simposium Tahunan Penelitian
Pendidikan 2008 di Jakarta, 11-14 Agustus 2008. 2 Mahasiswa S3 program studi Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta. Kini sedang
mempersiapkan proposal disertasi tentang ”Refleksi Hubungan Paradigma Baru Pendidikan: Sistem dan Praksisnya (Kajian Kasus Pendidikan SD di Kota Salatiga).”
1
A. Pendahuluan
Era reformasi telah membawa perubahan-perubahan mendasar dalam berbagai
kehidupan termasuk kehidupan pendidikan. Salah satu perubahan mendasar adalah
manajemen Negara, yaitu dari manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis
daerah. Secara resmi, perubahan manajemen ini telah diwujudkan dalam bentuk
Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999, yang kemudian direvisi dan
disempurnakan menjadi Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Pedoman pelaksanaannyapun telah dibuat melalui Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Konsekuensi logis dari Undang-Undang
dan Peraturan Pemerintah tersebut adalah bahwa manajemen pendidikan harus
disesuaikan dengan jiwa dan semangat otonomi.
Penyesuaian dengan jiwa dan semangat otonomi itu, antara lain terwujud dalam
bentuk perubahan arah paradigma pendidikan, dari paradigma lama ke paradigma baru,
yang tentu juga berdampak pada paradigma perencanaan pendidikannya. Secara ideal,
paradigma baru pendidikan tersebut mestinya mewarnai kebijakan pendidikan baik
kebijakan pendidikan yang bersifat substantif maupun implementatif. Seperti yang
dinyatakan oleh Azyumardi Azra (2002: xii) bahwa dengan era otonomi daerah :
”lembaga-lembaga pendidikan, seperti sekolah, madrasah, pesantren, universitas (perguruan tinggi), dan lainnya – yang terintegrasi dalam pendidikan nasional- haruslah melakukan reorientasi, rekonstruksi kritis, restrukturisasi, dan reposisi, serta berusaha untuk menerapkan paradigma baru pendidikan nasional”. Selain itu, implementasi kebijakan tersebut diharapkan berdampak positif terhadap kemajuan pendidikan di daerah dan di tingkat satuan pendidikan.3
Agar dampak positif dapat benar-benar terwujud, kemampuan perencanaan
pendidikan yang baik di daerah sangatlah diperlukan. Dengan kemampuan perencanaan
pendidikan yang baik diharapkan dapat mengurangi kemungkinan timbulnya
permasalahan yang serius. Fiske (1996) menyatakan bahwa berdasarkan pengalaman
berbagai negara sedang berkembang yang menerapkan otonomi di bidang pendidikan,
3 Alhumani, misalnya, dalam Kompas (2000), menyebutkan empat kemungkinan dampak positif dari
kebijakan desentralisasi pendidikan, yaitu (1) peningkatan mutu, (2) efisiensi keuangan dan administrasi, (3) relevansi pendidikan, dan (4) perluasan atau pemerataan pendidikan. Namun, laporan Bank Dunia (1998:73) mengingatkan : “Clearly, decentralization is not answer to all education problems, but experience shows that it is a necessary, while not a sufficient, condition for improving teaching and learning”. Selanjutnya, Husen & Postlethwaite (1994:1413) menyatakan : “…four factors are associated with decentralization “successes” and “Failures”. There are (a) cultural context, (b) political support from national leaders and local elites, (c) adequate planning and management, and (d) local empowerement”.
2
otonomi berpotensi memunculkan masalah: perbenturan kepentingan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah, menurunnya mutu pendidikan, inefisiensi dalam pengelolaan
pendidikan, ketimpangan dalam pemerataan pendidikan, terbatasnya gerak dan ruang
partisipasi masyarakat dalam pendidikan, serta berkurangnya tuntutan akuntabilitas
pendidikan oleh pemerintah serta meningkatnya akuntabilitas pendidikan oleh
masyarakat.
Selain itu, dengan perencanaan yang baik, konon, merupakan separoh dari
kesuksesan dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan yang telah
diotonomikan di daerah. Sayangnya, kata Abdul Madjid dalam tulisannya ”Pendidikan
Tanpa Planning” (Kedaulatan Rakyat, 2006), bahwa rendahnya mutu pendidikan kita
disebabkan oleh belum komprehensifnya pendekatan perencanaan yang digunakan.
Perencanaan pendidikan, katanya, hanya dijadikan faktor pelengkap atau dokumen
”tanpa makna” sehingga sering terjadi tujuan yang ditetapkan tidak tercapai secara
optimal. Dapat juga terjadi, seperti dinyatakan H. Noeng Muhadjir (2003:89), bahwa
”pembuatan implementasi kebijakan berupa perencanaan, mungkin saja dilakukan oleh
para eksekutif tanpa penelitian lebih dahulu. Kemungkinan resikonya beragam,
misalnya membuat kesalahan yang sama dengan eksekutif terdahulu, tidak realistis,
tidak menjawab masalah yang dihadapi masyarakat, sampai ke dugaan manipulatif-
koruptif ”.
B. Kajian Teori
1. Konsep Otonomi Daerah
Sehari sesudah merdeka, Negara Kesatuan RI pada dasarnya telah menetapkan
pilihannya secara formal pada dianutnya asas desentralisasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk
menyelenggarakan otonomi daerah. Hal itu dapat disimpulkan dari bunyi Bab IV, pasal
18 UUD 1945 dan penjelasannya. Dalam pasal 18 UUD 1945, antara lain dinyatakan
bahwa “pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan
susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang”. Sementara, dalam
penjelasan pasal tersebut antara lain dikemukakan bahwa:
“…oleh karena negara Indonesia itu suatu “eenheidsstaat”, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah yang lebih kecil. Daerah itu bersifat otonom (streck dan locale rechtsgemeenchappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang”.
3
Dalam amandemen kedua UUD 1945, ketentuan tersebut mengalami
perubahan. Perubahan tersebut tidak merubah esensinya, tapi lebih bersifat
mempertegas, memperjelas dan melengkapi. Disebutkan, misalnya, “Negara Kesatuan
RI dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan
kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah”
(pasal 18 ayat 1). Pemerintah daerah tersebut mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (pasal 18 ayat 2).
Selanjutnya, dikatakan bahwa pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-
luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai
urusan Pemerintah Pusat (pasal 18 ayat 5 UUD 1945).
Secara etimologi, perkataan otonomi berasal dari bahasa latin “autos” yang
berarti sendiri dan “nomos” yang berarti aturan. Dengan demikian, mula-mula otonomi
berarti mempunyai “peraturan sendiri” atau mempunyai hak/kekuasaan/kewenangan
untuk membuat peraturan sendiri. Kemudian arti ini berkembang menjadi
“pemerintahan sendiri”. Pemerintahan sendiri ini meliputi pengaturan atau perundang-
undangan sendiri, pelaksanaan sendiri, dan dalam batas-batas tertentu juga pengadilan
dan kepolisian sendiri (Josep Riwu Kaho,1991:14). Sementara itu, dalam UU No. 32/
2004 tentang Pemerintah Daerah ditegaskan bahwa otonomi daerah adalah hak,
wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat yang diatur dan
diurus tersebut meliputi kewenangan-kewenangan yang diserahkan oleh pemerintah
pusat kepada daerah-daerah untuk diselenggarakan menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat. Josef Riwu Kaho (1991:15-17) menyebutkan berbagai
teknik untuk menetapkan bidang mana yang menjadi urusan pemerintah pusat dan mana
yang merupakan wewenang pemerintah daerah, yaitu (a) sistem residu, (b) sistem
material, (c) sistem formal, (d) sistem otonomi riil, dan (e) prinsip otonomi yang nyata,
dinamis dan bertanggung jawab.
Dalam sistem residu, secara umum telah ditentukan lebih dahulu tugas-tugas
yang menjadi wewenang pemerintah pusat, sedangkan sisanya menjadi urusan rumah
tangga daerah. Kebaikannya terutama terletak pada saat timbulnya keperluan-keperluan
baru, pemerintah daerah dapat dengan cepat mengambil keputusan dan tindakan yang
dipandang perlu, tanpa menunggu perintah dari pusat. Sebaliknya, sistem ini dapat pula
4
menimbulkan kesulitan mengingat kemampuan daerah yang satu dengan yang lainnya
tidak sama dalam pelbagai lapangan atau bidang. Akibatnya, bidang atau tugas yang
dirumuskan secara umum ini dapat menjadi terlalu sempit bagi daerah yang
kemampuannya terbatas.
Sementara, dalam sistem material, tugas pemerintah daerah ditetapkan satu
persatu secara limitatif atau terinci. Di luar tugas yang telah ditentukan, merupakan
urusan pemerintah pusat. Kelemahannya, sistem ini kurang fleksibel karena setiap
perubahan tugas dan wewenang daerah harus dilakukannya melalui prosedur yang lama
dan berbelit-belit. Akibatnya, memghambat kemajuan daerah, karena mereka harus
menunggu penyerahan yang nyata bagi setiap urusan. Kadang-kadang suatu urusan
menjadi terbengkelai, tidak diurus oleh pemerintah pusat dan tidak pula oleh pemerintah
daerah. Sedangkan dalam sistem formal, daerah boleh mengatur dan mengurus segala
sesuatu yang dianggap penting bagi daerahnya, asal saja tidak mencakup urusan yang
telah diatur dan diurus oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih tinggi
tingkatannya. Dengan kata lain, urusan rumah tangga daerah dibatasi oleh peraturan
perundang- undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
Dalam sistem otonomi riil, penyerahan urusan atau tugas dan kewenangan
kepada daerah didasarkan pada faktor yang nyata atau riil, sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan yang riil dari daerah maupun pemerintah pusat serta pertumbuhan
kehidupan masyarakat yang terjadi. Karena pemberian tugas dan kewajiban serta
wewenang ini didasarkan pada keadaan riil di dalam masyarakat, maka kemungkinan
yang dapat ditimbulkannya ialah bahwa tugas atau urusan yang selama ini menjadi
wewenang pemerintah pusat dapat diserahkan kepada pemerintah daerah dengan melihat
kepada kemampuan dan keperluannya untuk diatur dan diurus sendiri. Sebaliknya, tugas
yang kini menjadi wewenang daerah, pada suatu ketika, bilamana dipandang perlu dapat
diserahkan kembali kepada pemerintah pusat atau ditarik kembali dari daerah .
Prinsip otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab dikenal dalam UU
No.5 tahun 1974 sebagai salah satu variasi dari sistem otonomi riil. Dalam UU tentang
Pemerintah Daerah yang baru, yaitu UU No. 22 tahun 1999, otonomi daerah
dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab
kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan
pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat
dan daerah.
5
Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan
pemerintahan mencakup semua bidang pemerintahan, kecuali bidang politik luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang
lainnya yang akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Di samping itu, keleluasaan
otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya
mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi.
Yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk
menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada
dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan otonomi
yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai
konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan
kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi,
berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik,
pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan
hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sementara itu, dalam penjelasan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah disebutkan bahwa prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-
luasnya, nyata dan bertanggung jawab. Yang dimaksud prinsip otonomi seluas-luasnya
adalah bahwa daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan
pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah Pusat. Daerah memiliki
kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran
serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan
kesejahteraan rakyat.
Sedangkan prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani
urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang
senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai
dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap
daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan
otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya
harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada
dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.
6
Seiring dengan prinsip itu, penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu
berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan
kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu, penyelenggaraan
otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antara daerah dengan daerah
lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan
kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antara daerah. Hal yang penting juga
adalah bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar
daerah dengan Pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan
wilayah negara dan tetap tegaknya negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka
mewujudkan tujuan negara.
Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak
dicapai, Pemerintah wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman
seperti dalam penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan. Di samping itu
diberikan pula standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian,
koordinasi, pemantauan dan evaluasi. Bersamaan dengan itu, Pemerintah wajib
memberikan fasilitasi berupa pemberian peluang, kemudahan, bantuan, dan dorongan
kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efisien dan
efektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2. Konsep Desentralisasi Pendidikan
Bila otonomi daerah menunjuk pada hak, wewenang dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat, maka hal tersebut hanya mungkin jika Pemerintah Pusat
mendesentralisasikan atau menyerahkan wewenang pemerintahan kepada daerah
otonom. Inilah yang disebut dengan desentralisasi. Mengenai asas desentralisasi, ada
banyak definisi. Secara etimologis, istilah tersebut berasal dari bahasa Latin “de”,
artinya lepas dan “centrum”, yang berarti pusat, sehingga bisa diartikan melepaskan dari
pusat. Sementara, dalam Undang-undang No. 32 tahun 2004, bab I, pasal 1 disebutkan
bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah
kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam
sistem Negara Kesatuan RI. Sedangkan menurut Jose Endriga (Verania Andria & Yulia
Indrawati Sari,2000:iii) desentralisasi diartikan sebagai “systematic and rasional
dispersal of governmental powers and authority to lower level institutions so as to allow
multi–sectoral decision making as close as possible to problem area”. Lain halnya
7
dengan Nuril Huda (1998:4), dia mengartikan desentralisasi sebagai “delegations of
responsibilities and powers to authorities at the lower levels”.
Secara konseptual, penerapan asas desentralisasi didasari oleh keinginan
menciptakan demokrasi, pemerataan dan efisiensi. Diasumsikan bahwa desentralisasi
akan menciptakan demokrasi melalui partisipasi masyarakat lokal. Dengan sistem yang
demokratis ini diharapkan akan mendorong tercapainya pemerataan pembangunan
terutama di daerah pedesaan dimana sebagian besar masyarakat tinggal. Sedangkan
efisiensi dapat meningkat karena jarak antara pemerintah lokal dengan masyarakat
menjadi lebih dekat, penggunaan sumber daya digunakan saat dibutuhkan dan masalah
diidentifikasi oleh masyarakat lokal sehingga tak perlu birokrasi yang besar untuk
mendukung pemerintah lokal. Sementara itu, Kotter (1997) dalam buku “Leading
Change”, menyatakan bahwa lembaga yang terdesentralisasi memiliki beberapa
keunggulan, antara lain : (1) lebih fleksibel, dapat memberikan respon dengan cepat
terhadap lingkungan dan kebutuhan yang selalu berubah, (2) lebih efektif, (3) lebih
inovatif, dan (4) menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih komitmen dan
lebih produktif. Sedangkan Achmad Budiono, M.Irfan & Yuli Andi (1998:216)
menyatakan bahwa dengan pengambilan keputusan dalam organisasi ke tingkat yang
lebih rendah maka akan cenderung memperoleh keputusan yang lebih baik.
Desentralisasi bukan saja memperbaiki kualitas keputusan tetapi juga kualitas
pengambilan keputusan. Dengan desentralisasi, pengambilan keputusan lebih cepat,
lebih luwes dan konstruktif.
Istilah desentralisasi muncul dalam paket UU tentang otonomi daerah yang
pelaksanaannya dilatarbelakangi oleh keinginan segenap lapisan masyarakat untuk
melakukan reformasi dalam semua bidang pemerintahan. Menurut Bray dan Fiske
(Depdiknas, 2001:3) desentralisasi pendidikan adalah suatu proses di mana suatu
lembaga yang lebih rendah kedudukannya menerima pelimpahan kewenangan untuk
melaksanakan segala tugas pelaksanaan pendidikan, termasuk pemanfaatan segala
fasilitas yang ada serta penyusunan kebijakan dan pembiayaan. Senada dengan itu,
Husen & Postlethwaite (1994:1407) mengartikan desentralisasi pendidikan sebagai “the
devolution of authority from a higher level of government, such as a departement of
education or local education authority, to a lower organizational level, such as
individual schools”. Sementara itu, menurut Fakry Gaffar (1990:18) desentralisasi
pendidikan merupakan sistem manajemen untuk mewujudkan pembangunan pendidikan
yang menekankan pada keberagaman, dan sekaligus sebagai pelimpahan wewenang dan
8
kekuasaan dalam pembuatan keputusan untuk memecahkan berbagai problematika
sebagai akibat ketidaksamaan geografis dan budaya, baik menyangkut substansi
nasional, internasional atau universal sekalipun.
Bila dicermati, esensi terpenting dari berbagai pengertian di atas adalah otoritas
yang diserahkan. Williams (Depdiknas, 2001:3-4) membedakan adanya dua macam
otoritas (kewenangan dan tanggung jawab) yang diserahkan dari pemerintah pusat ke
pemerintah yang lebih rendah, yaitu desentralisasi politis (political decentralization) dan
desentralisasi administrasi (administrative decentralization). Perbedaan antar keduanya
terletak dalam hal tingkat kewenangan yang dilimpahkan.
Pada desentralisasi politik, kewenangan yang dilimpahkan bersifat mutlak.
Pemda menerima kewenangan melaksanakan tanggung jawab secara menyeluruh. Ia
memegang otoritas untuk menentukan segala kebijakan tentang penyelenggaraan
pendidikan untuk masyarakatnya. Hal itu mencakup kewenangan untuk menentukan
model, jenis, sistem pendidikan, pembiayaan, serta lembaga apa yang akan
melaksanakan kewenangan-kewenangan tersebut. Sedangkan dalam desentralisasi
administrasi, kewenangan yang dilimpahkan hanya berupa strategi pelaksanaan tugas-
tugas pendidikan di daerah. Dengan kata lain, kewenangan yang diserahkan berupa
strategi pengelolaan yang bersifat implementatif untuk melaksanakan suatu fungsi
pendidikan. Dalam desentralisasi model ini, pemerintah pusat masih memegang
kekuasaan tertinggi dalam menentukan kebijakan makro, sedangkan pemerintah daerah
mempunyai kewajiban dan kewenangan untuk merencanakan, mengatur, menyediakan
dana dan fungsi-fungsi implementasi kebijakan lainnya.
Mengapa bidang pendidikan didesentralisasikan? Tentang hal itu, ada berbagai
pendapat dari para ahli. Husen & Postlethwaite (1994:1407) menguraikan mengenai
alasan desentralisasi (reasons for decentralization), yaitu (a) the improvement of
schools, (b) the belief that local participation is a logical form of governance in a
democracy, dan (c) in relation to fundamental values of liberty, equality, fraternity,
efficiency, and economic growth. Sementara itu, setelah melakukan studi di berbagai
negara, Fiske (1998:24-47) menyebutkan sekurang-kurangnya ada empat alasan rasional
diterapkannya sistem desentralisasi, termasuk pendidikan, yaitu (a) alasan politis,
seperti untuk mempertahankan stabilitas dalam rangka memperoleh legitimasi
pemerintah pusat dari masyarakat daerah, sebagai wujud penerapan ideologi sosialis dan
laissez-faire dan untuk menumbuhkan kehidupan demokrasi, (b) alasan sosio-kultural,
yakni untuk memberdayakan masyarakat lokal, (c) alasan teknis administratif dan
9
paedagogis, seperti untuk memangkas manajemen lapisan tengah agar dapat membayar
gaji guru tepat waktu atau untuk meningkatkan antusiasme guru dalam proses belajar
mengajar, (d) alasan ekonomis-finansial, seperti meningkatkan sumber daya tambahan
untuk pembiayaan pendidikan dan sebagai alat pembangunan ekonomi.
Pendapat lain yang lebih sesuai dengan konteks desentralisasi pendidikan di
Indonesia dikemukakan oleh Nuril Huda (1998:3-5). Ia berpendapat bahwa
desentralisasi pendidikan di Indonesia dimaksudkan untuk mencapai efisiensi
pendidikan dengan mengakomodasi aspirasi masyarakat lokal. Ia juga memberi alasan
rinci mengapa pertanggungjawaban implementasi pendidikan didesentralisasikan, yaitu:
Pertama, secara politik desentralisasi adalah cara mendemokratiskan
manajemen urusan-urusan publik (politically decentralization is a way of democratizing
the management of public affairs). Di bawah skema desentralisasi, pertanggungjawaban
pendidikan tertentu diberikan kepada pemerintah daerah. DPRD mengawasi
perencanaan dan pelaksanaan pendidikan di daerah. Dengan melibatkan wakil rakyat di
dalam urusan pendidikan, diharapkan akan mendukung partisipasi masyarakat yang
lebih besar di dalam pelaksanaan pendidikan dan dalam memecahkan masalah yang
berhubungan dengannya.
Kedua, secara teknis adalah sulit untuk mengelola pendidikan secara efisien di
dalam sebuah wilayah yang luas yang berisi banyak pulau (technically it is difficult to
manage education efficiently in a vast area consisting of islands). Masalah komunikasi
dan transportasi antara pemerintah pusat dan daerah, khususnya pada masa lalu, telah
menjadi pertimbangan penting untuk desentralisasi. Lagi pula, sentralisasi akan
membuat sulit untuk memecahkan masalah - masalah perbedaan-perbedaan regional dan
untuk mempertemukan kebutuhan dan tuntutan khusus mereka. Perbedaan-perbedaan
budaya dan tingkat perkembangan masing-masing daerah menyumbang perbedaan-
perbedaan dalam kebutuhan-kebutuhan dan hakekat pendekatan untuk menyelesaikan
masalah.
Ketiga, alasan utama desentralisasi pendidikan adalah efisiensi dan efektifitas
dalam menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan pendidikan
(efficiency and effectiveness in handling problems related to the implementation of
education). Dan, alasan keempat, untuk mengurangi beban administrasi yang
berlebihan dari pemerintah pusat (to reduce the overloaded burden of administration of
the central government).
10
Sementara itu, berbeda dengan empat argumen itu, Kacung Marijan
(Abdurrahmansyah, 2001:58) melihat penerapan desentralisasi pendidikan di Indonesia
justru sebagai gejala keputusasaan pemerintah dalam menghadapi persoalan keuangan.
Sedangkan Arbi Sanit (2000:1) memandang penerapan desentralisasi secara umum
sebagai “jalan keluar” bagi problematik ketimpangan kekuasaan antara pemerintah
nasional dan pemerintah lokal. Karena itu, menurutnya, konsep desentralisasi bertolak
dari asumsi pemberian sebagian kekuasaan pemerintah pusat kepada pemerintah lokal
atau yang lebih rendah dalam rangka mencapai tujuan nasional. Pemberian sebagian
kekuasaan tersebut untuk mengatasi kekecewaan daerah terhadap pemerintah pusat,
yang berakar pada persoalan: (1) ketimpangan struktur ekonomi Jawa-Luar Jawa, (2)
sentralisasi politik, (3) korupsi birokrasi, (4) eksploitasi SDA, (5) represi dan
pelanggaran HAM, dan (6) penyeragaman politik hingga kultural.
Tujuan desentralisasi pendidikan adalah untuk memperbaiki proses
pengambilan keputusan dengan melibatkan lebih banyak stakeholders di daerah, untuk
menghasilkan integrasi sekolah dengan masyarakat lokal secara terus menerus, untuk
mendekatkan sekolah dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat, dan akhirnya untuk
memperbaiki motivasi, kehadiran dan pencapaian murid. Selain itu, desentralisasi
tersebut juga dalam rangka memberi kesempatan kepada rakyat atau masyarakat luas
untuk berpartisipasi secara aktif dan kreatif sehingga pendidikan mampu menghasilkan
sumber daya manusia yang berkualitas yang akan bermanfaat bagi pembangunan
daerah.
3. Model-Model Desentralisasi Pendidikan
Tingkat kewenangan yang dilimpahkan kepada pemda membawa konsekuensi
pada model pelaksanaannya. William (Depdiknas, 2001:5) memerinci desentralisasi ke
dalam tiga model, yaitu dekonsentrasi (deconcentration), delegasi (delegation), dan
devolusi (devolution). Dekonsentrasi adalah model pengalihan tanggung jawab
pengelolaan pendidikan dari pemerintah pusat ke pemerintah yang lebih rendah
sedemikian rupa sehingga lembaga di pemerintah pusat masih memegang kendali
pelaksanaan pendidikan secara penuh. Model desentralisasi ini seringkali dilaksanakan
dengan membentuk lembaga setingkat direktorat di daerah yang dapat melaksanakan
tanggung jawab pemerintah pusat.
Berbeda dengan itu, dalam model delegasi pemerintah pusat meminjamkan
kekuasaannya pada pemerintah daerah atau kepada organisasi/lembaga semiotonom.
Kekuasaan pemerintah pusat ini tidak diberikan, namun dipinjamkan. Jika pemerintah
11
memandang perlu, otoritas itu bisa ditarik kembali. Sementara, dalam model devolusi
pemerintah pusat menyerahkan kewenangan dalam seluruh pelaksanaan pendidikan
meliputi pembiayaan, administrasi serta pengelolaan yang lebih luas. Kewenangan yang
diberikan ini lebih permanen dan tidak dapat ditarik kembali lagi hanya karena
tingkah/permintaan pemegang kekuasaan di pusat.
Ketiga model tersebut berbeda dalam hal tingkat kewenangan yang
disampaikan. Model dekonsentrasi adalah model penyerahan kewenangan yang paling
rendah, model delegasi lebih besar/tinggi, dan model devolusi yang paling tinggi.
Tingkat kewenangan yang dilimpahkan ini juga akan berkonsekuensi lebih jauh pada
pelaksanaannya. Semakin besar kewenangan yang diterima dari pemerintah pusat,
semakin besar sumberdaya yang harus dikeluarkan untuk melaksanakan kewenangan
tersebut. Dengan demikian, terbuka bagi penerima kewenangan untuk mencari segala
upaya dalam melaksanakan kewenangan itu, termasuk bekerja sama dengan pihak-pihak
lain yang mereka nilai membantu dan menguntungkan mereka.
Rondinelli (Husen & Postlethwaite, 1994:1412) menambahkan satu kategori
lagi, yaitu privatisasi (privatization), yaitu model penyerahan kewenangan
penyelenggaraan pendidikan kepada pihak swasta. Model ini berbeda dengan ketiga
model William dari segi penerima kewenangan. Menurut Abdurrahmansyah (2001:61),
dalam kasus pembicaraan desentralisasi pendidikan di Indonesia sejauh yang telah
dilakukan nampaknya cenderung mengambil model yang terakhir, swastanisasi. Selain
tidak terlalu rumit, menurutnya, bentuk ini terkesan hanya sekedar pemindahan
pelimpahan kewajiban dari urusan pemerintah menjadi urusan masyarakat.
Sementara itu, Nuril Huda (1999:16) mengemukakan tiga model desentralisasi
pendidikan, yaitu (1) manajemen berbasis lokasi (site-based management), (2)
pengurangan administrasi pusat, dan (3) inovasi kurikulum. Pada model manajemen
berbasis lokasi dilaksanakan dengan meletakkan semua urusan penyelenggaraan
pendidikan pada sekolah. Model pengurangan administrasi pusat merupakan
konsekuensi dari model pertama. Pengurangan administrasi pusat diikuti dengan
peningkatan wewenang dan urusan pada masing-masing sekolah. Model ketiga, inovasi
kurikulum menekankan pada inovasi kurikulum sebesar mungkin untuk meningkatkan
kualitas dan persamaan hak bagi semua peserta didik. Kurikulum ini disesuaikan benar
dengan kebutuhan peserta didik di daerah atau sekolah yang bervariasi. Di antara ketiga
model ini, model manajemen berbasis lokasi yang banyak diterapkan, untuk
12
meningkatkan otonomi sekolah dan memberikan kesempatan kepada guru-guru, orang
tua, siswa dan anggota masyarakat dalam pembuatan keputusan.
4. Paradigma Baru Pendidikan
Era otonomi daerah telah mengakibatkan terjadinya pergeseran arah paradigma
pendidikan, dari paradigma lama ke paradigma baru, meliputi berbagai aspek mendasar
yang saling berkaitan, yaitu (1) dari sentralistik menjadi desentralistik, (2) dari
kebijakan yang top down ke kebijakan yang bottom up, (3) dari orientasi pengembangan
parsial menjadi orientasi pengembangan holistik, (4) dari peran pemerintah sangat
dominan ke meningkatnya peranserta masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif, serta
(5) dari lemahnya peran institusi non sekolah ke pemberdayaan institusi masyarakat,
baik keluarga, LSM, pesantren, maupun dunia usaha (Fasli Jalal, 2001: 5).4
Agak berbeda dengan hal tersebut, dalam buku Depdiknas (2002:10) tentang
Materi Pelatihan Terpadu untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota, selain perubahan
paradigma dari “sentralistik ke desentralistik” dan orientasi pendekatan “dari atas ke
bawah” (top down approach) ke pendekatan “dari bawah ke atas” (bottom up
approach) sebagaimana yang sudah disebut dalam buku Fasli Jalal, juga disebutkan tiga
paradigma baru pendidikan lainnya, yaitu dari “birokrasi berlebihan” ke
“debirokratisasi”, dari “Manajemen Tertutup” (Closed Management) ke “Manajemen
Terbuka” (Open Management), dan pengembangan pendidikan, termasuk biayanya,
“terbesar menjadi tanggung jawab pemerintah” berubah ke “sebagian besar menjadi
tanggung jawab orang tua siswa dan masyarakat (stakeholders).5
Bila kedua pendapat di atas dianalisis dan disintesakan, maka wujud pergeseran
paradigma pendidikan tersebut meliputi sebagai berikut.
a. Dari sentralisasi ke desentralisasi pendidikan
Sebelum otonomi, pengelolaan pendidikan sangat sentralistik. Hampir seluruh
kebijakan pendidikan dan pengelolaan pelaksanaan pendidikan diatur dari Depdikbud.
Seluruh jajaran, tingkat Kanwil Depdikbud, tingkat Kakandep Dikbud Kabupaten/Kota,
bahkan sampai di sekolah-sekolah harus mengikuti dan taat terhadap kebijakan-
4 Bandingkan dengan pendapat H.A.R. Tilaar. 2004. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta:
Penerbit Rineka Cipta; Azyumardi Azra.2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Kompas; dan Sindhunata.2000. Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
5 Sebenarnya, adalah sangat menarik untuk menganalisis perbedaan dan persamaan di antara dua pendapat di atas, kemudian menyimpulkan dan menguraikannya secara lebih detail mengenai pergeseran atau perubahan-perubahan yang ada menyangkut paradigma pendidikan. Tapi, untuk keperluan makalah ini cukuplah kalau dipaparkan ”seadanya”, karena tekanan makalah ini lebih pada perencanaan pendidikan di era otonomi daerah sebagai implikasi paradigma baru pendidikan tersebut.
13
kebijakan yang seragam secara nasional, dan petunjuk-petunjuk pelaksanaannya.
Kakandep dan sekolah-sekolah tidak diperkenankan merubah, menambah dan
mengurangi yang sudah ditetapkan oleh Depdikbud/Kanwil Depdikbud, sekalipun tidak
sesuai dengan kondisi, potensi, kebutuhan sekolah dan masyarakat di daerah.
Dalam era reformasi, paradigma sentralistik berubah ke desentralistik.
Desentralistik dalam arti pelimpahan sebagian wewenang dan tanggung jawab dari
Depdiknas ke Dinas Pendidikan Propinsi, dan sebagian lainnya kepada Dinas
Pendidikan Kabupaten/Kota, bahkan juga kepada sekolah-sekolah. Pada perguruan
tinggi negeri/swasta dilimpahkan kepada rektor, bahkan juga pada fakultas, dan juga
pada jurusan/program studi.
Dengan UU dan Peraturan Pemerintah mengenai otonomi daerah,
Kabupaten/Kota dan DPRD Kabupaten/Kota, diberi wewenang membuat Peraturan-
Peraturan Daerah, mengenai pendidikan tingkat Kabupaten/Kota. Dengan desentralisasi
manajemen pendidikan tersebut, Dinas Pendidikan tingkat Kabupaten/Kota sebagai
perangkat pemerintah Kabupaten/Kota yang otonom, dapat membuat kebijakan-
kebijakan pendidikan, masing-masing sesuai wewenang yang dilimpahkan kepada
pemerintah Kabupaten/Kota dalam bidang pendidikan. Bahkan dalam pengelolaan
pendidikan pada tingkat Kabupaten/Kota, setiap sekolah juga diberi peluang untuk
membuat kebijakan sekolah (school policy) masing-masing atas dasar konsep
“manajemen berbasis sekolah” dan “pendidikan berbasis masyarakat”
Dengan demikian, sebagian perubahan dan kemajuan pendidikan tingkat
Kabupaten/Kota sangat bergantung pada kemampuan mengembangkan kebijakan
pendidikan dari masing-masing Kepala Dinas Pendidikan tingkat Kabupaten/Kota.
Desentralisasi manajemen pendidikan tersebut, dilaksanakan sejalan dengan
proses demokratisasi, sebagai proses distribusi tugas dan tanggung jawab dari
Depdiknas sampai di unit-unit satuan pendidikan. Iklim dan suasana serta mekanisme
demokratis bertumbuh dan berkembang pada seluruh tingkat dan jalur pengelolaan
pendidikan, termasuk di sekolah-sekolah dan di kelas-kelas ruang belajar.
b. Dari kebijakan yang top down ke kebijakan yang bottom up;
Sebelum otonomi, pendekatan pengembangan dan pembinaan pendidikan
dilakukan dengan mekanisme pendekatan “dari atas ke bawah” (top down approach)6.
6 H. Noeng Muhadjir (2003: 61) menyatakan bahwa kebijakan yang berasal dari atas (top down), di
bawah membantu implementasinya disebut menggunakan paradigma public policy, sedangkan kebijakan yang berasal dari bawah (bottom up), disebut menggunakan paradigma social policy.
14
Berbagai kebijakan pengembangan/pembinaan pendidikan hampir seluruhnya
ditentukan oleh Depdikbud, dan dalam hal khusus di Propinsi ditentukan oleh Kanwil
Depdikbud, dan dalam hal khusus lainnya di Kabupaten/Kota ditentukan oleh
Kakandepdikbud, untuk dilaksanakan oleh seluruh jajaran pelaksana di wilayah,
termasuk di sekolah-sekolah.
Lain halnya dalam era reformasi, sebagian besar upaya pengembangan
pendidikan dilakukan dengan orientasi pendekatan “dari bawah ke atas” (bottom up
approach). Pendekatan bottom up harus terjadi dalam pengambilan keputusan di setiap
level instansi, misalnya sekolah, Dinas Kabupaten/Kota, yayasan penyelenggara
pendidikan, dan sebagainya. Berbagai aspirasi dan kebutuhan yang menjadi kepentingan
umum, sesuai kondisi, potensi dan prospek sekolah, diakomodasi oleh Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota, sesuai wewenang dan tanggung jawabnya. Dan hal-hal lainnya yang
menjadi wewenang dan tanggung jawab Dinas Propinsi diselesaikan pada tingkat
Depdiknas.
Oleh karenanya, tidak heran bila di Kabupaten/Kota sering terjadi “unjuk rasa”
para guru, siswa, orang tua siswa, dan masyarakat menuntut perbaikan kebijakan
pendidikan yang tidak sesuai dengan harapan mereka. Dan berbagai aspirasi yang baik
sudah seyogyanya diterima oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota untuk ditindaklanjuti.
c. Dari orientasi pengembangan yang parsial ke orientasi pengembangan yang
holistik
Sebelum otonomi, orientasi pengembangan bersifat parsial. Misalnya,
pendidikan lebih ditekankan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, menciptakan
stabilitas politik dan teknologi perakitan (Fasli Jalal, 2001:5). Pendidikan juga terlalu
menekankan segi kognitif, sedangkan segi spiritual, emosional, sosial, fisik dan seni
kurang mendapatkan tekanan (Paul Suparno, 2003:98). Akibatnya anak didik kurang
berkembang secara menyeluruh. Dalam pembelajaran yang ditekankan hanya to know
(untuk tahu), sedangkan unsur pendidikan yang lain to do (melakukan), to live together
(hidup bersama), to be (menjadi) kurang menonjol. Di Indonesia kesadaran akan hidup
bersama kurang mendapat tekanan, dengan akibat anak didik lebih suka mementingkan
hidupnya sendiri. Selain itu, pendekatan dan pengajaran di sekolah kebanyakan terpisah-
pisah dan kurang integrated. Setiap mata pelajaran berdiri sendiri, seakan tidak ada
kaitan dengan pelajaran lain.
Berbeda dengan itu, setelah reformasi orientasi pengembangan bersifat holistik.
Pendidikan diarahkan untuk pengembangan kesadaran untuk bersatu dalam
15
kemajemukan budaya, menjunjung tinggi nilai moral, kemanusiaan dan agama,
kesadaran kreatif, produktif, dan kesadaran hukum (Fasli Jalal, 2001:5). Menurut Paul
Suparno (2003:100), pendidikan holistik dipengaruhi oleh pandangan filsafat holisme,
yang cirinya adalah keterkaitan (connectedness), keutuhan (wholeness), dan proses
menjadi (being).
Konsep saling keterkaitan mengungkapkan bahwa saling keterkaitan antara suatu
bagian dari suatu sistem dengan bagian-bagian lain dan dengan keseluruhannya. Maka
tidak mungkin suatu bagian dari suatu sistem lepas sendiri dari sistem itu dan lepas dari
bagian-bagian yang lain. Saling keterkaitan dapat dijabarkan dalam beberapa konsep
berikut, yaitu interdependensi, interrelasi, partisipasi dan non linier (Hent, 2001).
Interdependensi adalah saling ketergantungan satu unsur dengan yang lain. Masing-
masing tidak akan menjadi penuh berkembang tanpa yang lain. Ada saling
ketergantungan antara guru dengan siswa, antara siswa dengan siswa lain, antara guru
dengan guru lain, dan lain-lain.
Interrelasi dimaksudkan sebagai adanya saling kaitan, saling berhubungan antara
unsur yang satu dengan yang lain dalam pendidikan. Ada hubungan antara pendidik
dengan yang dididik, antara siswa dengan siswa lain, antara pendidik dengan pendidik
lain. Relasi ini bukan hanya relasi berkaitan dengan pengajaran tetapi juga relasi sebagai
manusia, sebagai pribadi. Partisipasi dimaksudkan sebagai keterlibatan, ikut andil dalam
sistem itu. Dalam pendidikan secara nyata siswa hanya akan berkembang bila terlibat,
ikut aktif didalamnya. Non linier menunjukkan bahwa tidak dapat ditentukan secara
linier serba jelas sebelumnya. Ada banyak hal yang tidak dapat diprediksikan
sebelumnya dalam pendidikan, meski kita telah menentukan unsur-unsurnya. Kita dapat
membantu anak-anak dengan segala macam nilai yang baik, namun dapat terjadi mereka
berkembang tidak baik. Pendekatan pendidikan yang mekanistis tidak tepat lagi.
Pendidikan tidak dipikirkan lagi secara linier, seakan-akan bila langkah-langkahnya
jelas lalu hasilnya menjadi jelas; tetapi lebih kompleks dan ada keterbukaan terhadap
unsur yang tidak dapat ditentukan sebelumnya.
Prinsip keutuhan menyatakan bahwa keseluruhan adalah lebih besar daripada
penjumlahan bagian-bagiannya. Prinsip keutuhan sangat jelas diwujudkan dengan
memperhatikan semua segi kehidupan dalam membantu perkembangan pribadi siswa
secara menyeluruh dan utuh. Maka, segi intelektual, sosial, emosional, spiritual, fisik,
seni, semua mendapat porsi yang seimbang. Salah satu unsur tidak lebih tinggi dari yang
lain sehingga mengabaikan yang lain. Kurikulum dibuat lebih menyeluruh dan
16
memasukkan banyak segi. Pendekatan terhadap siswapun lebih utuh dengan
memperhatikan unsur pribadi, lingkungan dan budaya. Pembelajaran lebih
menggunakan inteligensi ganda, dengan mengembangkan IQ, SQ, dan EQ secara
integral.
Prinsip ”proses menjadi” mengungkapkan bahwa manusia memang terus
berkembang menjadi semakin penuh. Dalam proses menjadi penuh itu unsur partisipasi,
keaktifan, tanggung jawab, kreativitas, pertumbuhan, refleksi, dan kemampuan
mengambil keputusan sangat penting. Proses itu terus-menerus dan selalu terbuka
terhadap perkembangan baru. Dalam pendidikan, prinsip kemenjadian ini ditonjolkan
dengan pendekatan proses, siswa diaktifkan untuk mencari, menemukan dan
berkembang sesuai dengan keputusan dan tanggungjawabnya. Dalam proses itu, siswa
diajak lebih banyak mengalami sendiri, berefleksi dan mengambil makna bagi hidupnya.
Dalam proses ini siswa dibantu sungguh menjadi manusia yang utuh, bukan hanya
menjadi calon pekerja atau pengisi lowongan kerja.
d. Dari peran pemerintah yang dominan ke meningkatnya peranserta
masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif.
Sebelum otonomi, peran pemerintah sangat dominan. Hampir semua aspek dari
pendidikan diputuskan kebijakan dan perencanaannya di tingkat Pusat, sehingga daerah
terkondisikan lebih hanya sebagai pelaksana (Sumarno, 2001:3). Pendidikan dikelola
tanpa mengembangkan kemampuan kreativitas masyarakat, malah cenderung
meniadakan partisipasi masyarakat di dalam pengelolaan pendidikan. Lembaga
pendidikan terisolasi dan tanggung jawab sepenuhnya ada pada pemerintah pusat.
Sedangkan masyarakat tidak mempunyai wewenang untuk mengontrol jalannya
pendidikan. Selain itu, dengan sendirinya orang tua dan masyarakat, sebagai constituent
dari sistem pendidikan nasional yang terpenting, telah kehilangan peranannya dan
tanggung jawabnya. Mereka, termasuk peserta didik, telah menjadi korban, yaitu
sebagai obyek dari sistem yang otoriter. (Tilaar, 1999:113)
Sesudah otonomi, ada perluasan peluang bagi peran serta masyarakat dalam
pendidikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Oleh karena itu, untuk mendorong
partisipasi masyarakat, di tingkat Kabupaten/Kota dibentuk Dewan Pendidikan,
sedangkan di tingkat sekolah dibentuk komite sekolah. Pembentukan komite sekolah
didasarkan pada keputusan Mendiknas No.044/U/2002 tentang panduan pembentukan
komite sekolah.
17
Menurut panduan, pembentukan komite sekolah dilakukan secara transparan,
akuntabel, dan demokratis. Transparan berarti bahwa komite sekolah harus dibentuk
secara terbuka dan diketahui oleh masyarakat secara luas mulai dari tahap pembentukan
panitia persiapan, proses sosialisasi oleh panitia persiapan, kriteria calon anggota, proses
seleksi calon anggota, pengumuman calon anggota, proses pemilihan, dan penyampaian
hasil pemilihan. Akuntabel berarti bahwa panitia persiapan pembentukan komite
sekolah hendaknya menyampikan laporan pertanggungjawaban kinerjanya maupun
penggunaan dan kepanitiaan. Sedangkan secara demokratis berarti bahwa dalam proses
pemilihan anggota dan pengurus dilakukan dengan musyawarah mufakat. Jika
dipandang perlu, dapat dilakukan melalui pemungutan suara.
e. Dari lemahnya peran institusi non sekolah ke pemberdayaan institusi
masyarakat.
Sebelum era otonomi, peran institusi non sekolah sangat lemah. Dalam era
otonomi, masyarakat diberdayakan dengan segenap institusi sosial yang ada di
dalamnya, terutama institusi yang dilekatkan dengan fungsi mendidik generasi penerus
bangsa. Berbagai institusi kemasyarakatan ditingkatkan wawasan, sikap, kemampuan,
dan komitmennya sehingga dapat berperan serta secara aktif dan bertanggung jawab
dalam pendidikan. Institusi pendidikan tradisionil seperti pesantren, keluarga, lembaga
adat, berbagai wadah organisasi pemuda bahkan partai politik bukan hanya
diberdayakan sehingga dapat mengembangkan fungsi pendidikan dengan lebih baik,
melainkan juga diupayakan untuk menjadi bagian yang terpadu dari pendidikan
nasional.
Demikian juga, ada upaya peningkatan partisipasi dunia usaha/industri dan
sektor swasta dalam pendidikan karena sebagai pengguna sudah semestinya dunia usaha
juga ikut bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan. Apabila lebih banyak
institusi kemasyarakatan peduli terhadap pendidikan maka pendidikan akan lebih
mampu menjangkau berbagai kelompok sasaran khusus seperti kelompok wanita dan
anak-anak kurang beruntung (miskin, berkelainan, tinggal di daerah terpencil dan
sebagainya).
Dalam upaya pemberdayaan masyarakat, perlu dilakukan pembenahan sebagai
kebijakan dasar, yaitu pengembangan kesadaran tunggal dalam kemajemukan,
pengembangan kebijakan sosial, pengayaan berkelanjutan (continuous enrichment) dan
pengembangan kebijakan afirmatif (affirmative policy) (Fasli Jalal, 2001:72-73).
18
f. Dari ”birokrasi berlebihan” ke ”debirokratisasi”.
Sebelum otonomi, berbagai kegiatan pengembangan dan pembinaan diatur dan
dikontrol oleh pejabat-pejabat (birokrat-birokrat) melalui prosedur dan aturan-aturan
(regulasi) yang ketat, bahkan sebagiannya sangat ketat dan kaku oleh
Kandepdikbud/Kanwildikbud. Hal ini mempengaruhi pengelolaan sebagian sekolah-
sekolah, dalam iklim ”birokrasi berlebihan”. Dalam kondisi yang demikian, tidak jarang
ditemukan adanya ”kasus birokrasi yang berlebihan” dari sebagian pejabat birokrat yang
menggunakan ”kekuasaan berlebihan” dalam pembinaan guru, siswa, dan pihak-pihak
lainnya. Keadaan ini telah mematikan prakarsa, daya cipta, dan karya inovatif di
sekolah-sekolah.
Dalam era reformasi, terjadi proses ”debirokratisasi” dengan jalan
memperpendek jalur birokrasi dalam penyelesaian masalah-masalah pendidikan secara
profesional, bukan atas dasar ”kekuasaan” atau peraturan belaka. Hal ini sesuai dengan
prinsip profesionalisme dalam pendidikan, dan juga pelimpahan wewenang dan
tanggung jawab dalam desentralisasi. Di samping itu juga dilakukan ”deregulasi”, dalam
arti ”pengurangan” aturan-aturan kebijakan pendidikan yang tidak sesuai dengan
kondisi, potensi, dan prospek sekolah, dan kepentingan masyarakat (stakeholders) untuk
berpartisipasi terhadap sekolah, dalam bentuk gagasan penyempurnaan kurikulum,
peningkatan mutu guru, dana dan prasarana/sarana untuk sekolah.
g. Dari ”manajemen tertutup” (close management) ke ”management
terbuka” (open management).
Sebelum otonomi, diterapkan bentuk-bentuk ”manajemen tertutup”, sehingga
tidak transparan, tidak ada akuntabilitas kepada publik dalam pengelolaan pendidikan.
Dalam era reformasi, manajemen pendidikan menerapkan ”manajemen terbuka”
dari pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan sampai pada evaluasi, bahkan
perbaikan kebijakan. Seluruh sumber daya yang digunakan dalam pendidikan
dipertanggungjawabkan secara terbuka kepada seluruh kelompok masyarakat
(stakeholders), dan selanjutnya terbuka untuk menerima kritikan perbaikan bila
ditemukan hal-hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
h. Dari pengembangan pendidikan ”terbesar menjadi tanggung jawab
pemerintah” berubah ke ”sebagian besar menjadi tanggung jawab
orang tua siswa dan masyarakat (stakeholders)
19
Sebelum otonomi, pengembangan pendidikan, termasuk pembiayaan, terbesar
menjadi tanggung jawab pemerintah, dibandingkan dengan menjadi tanggung jawab
orang tua siswa dan masyarakat (stakeholders).
Dalam era reformasi, pengembangan pendidikan, termasuk pembiayaan
pendidikan, berupa gaji honorarium/tunjangan mengajar, penataran/pelatihan,
rehabilitasi gedung dan lain-lain, diupayakan supaya sebagian besar akan menjadi
tanggung jawab orang tua siswa dan masyarakat (stakeholders). Kemajuan pendidikan
tingkat Kabupaten/Kota akan banyak bergantung pada partisipasi orang tua siswa dan
masyarakat serta pemerintah Kabupaten/Kota masing-masing, di samping proyek-
proyek khusus, dan juga kemudahan dan pengendalian mutu dan hal-hal kepentingan
nasional lainnya dari DEPDIKNAS, dan dari Dinas Propinsi.
5. Paradigma Baru Perencanaan Pendidikan
Dengan terjadinya perubahan paradigma baru pendidikan, maka sistem
perencanaan pendidikan dalam iklim pemerintahan yang sentralistik, sudah tidak sesuai
lagi dengan kebutuhan perencanaan pendidikan pada era otonomi daerah, sehingga
diperlukan paradigma baru perencanaan pendidikan. Menurut Mulyani A. Nurhadi
(2001:2), perubahan paradigma dalam sistem perencanaan pendidikan di daerah setidak-
tidaknya akan menyentuh lima aspek, yaitu sifat, pendekatan, kewenangan pengambilan
keputusan, produk serta pola perencanaan anggaran.
Dari segi sifat perencanaan pendidikan, maka perencanaan pendidikan pada
tingkat daerah sebagai kegiatan awal dari proses pengelolaan pendidikan termasuk
kegiatan yang wajib dilaksanakan oleh daerah. Sementara itu, Pemerintah Pusat
berkewajiban merumuskan kebijakan tentang perencanaan nasional, yang dalam
pelaksanaannya telah dituangkan dalam bentuk Undang-Undang RI No.25 tahun 2000
tentang Program Pembangunan Nasional. Pada tingkat Departemen, Propenas ini
dijabarkan lebih lanjut ke dalam dokumen Rencana Strategis (Renstra) yang memuat
strategi umum untuk mencapai tujuan program pembangunan di bidang masing-masing
dan dituangkan dalam Keputusan Menteri. Berdasarkan Renstra itu, Pemerintah Pusat
menyusun Program pembangunan tahunan yang disingkat Propeta yang dituangkan
dalam Keputusan Menteri, sesuai dengan lingkup tugas dan kewenangan masing-
masing.7
7 Dalam perkembangannya yang mutakhir, dengan esensi yang kurang lebih sama, tidak lagi memakai
istilah Propenas, Renstra dan Propeta, tapi diganti menjadi RPJP Nasional, RPJM Nasional, dan RKP.
20
Selain itu, pada era otonomi daerah diharapkan akan lebih tumbuh kreativitas
dan prakarsa, serta mendorong peran serta masyarakat sesuai dengan potensi dan
kemampuan masing-masing daerah. Ini berarti bahwa dalam membangun pendidikan di
daerah Kabupaten/Kota perlu dilandasi dengan perencanaan pendidikan tingkat daerah
yang baik dan distinktif, tidak hanya bertumpu kepada perencanaan nasional yang
makro, tetapi juga dapat mempertimbangkan keunikan, kemampuan, dan budaya daerah
masing-masing sehingga mampu menumbuhkan prakarsa dan kreativitas daerah.
Perencanaan program pendidikan di daerah bukan lagi merupakan bagian atau fotokopi
dari perencanaan program tingkat nasional maupun propinsi, tetapi merupakan
perencanaan pendidikan yang unik dan mandiri sehingga beragam, walaupun disusun
atas dasar rambu-rambu kebijakan perencanaan nasional.
Dari segi pendekatan perencanaan pendidikan, era otonomi telah merubah
paradigma dalam pendekatan perencanaan pendidikan di daerah dari pendekatan diskrit
sektoral menjadi integrated dengan sektor lainnya di daerah. Sebelum otonomi, sistem
alokasi anggaran pendidikan di daerah diperoleh dari APBN pusat secara sektoral pada
sektor pendidikan, Pemuda dan Olahraga, serta Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha
Esa, namun setelah otonomi diperoleh dari APBD yang berasal dari berbagai sumber
sebagai bagian dari dana Daerah untuk seluruh sektor yang menjadi tanggung jawab
daerah. Sumber-sumber itu meliputi dana bagi hasil, dana alokasi umum, dana
dekonsentrasi, dana perbantuan, pendapatan asli daerah, dan bantuan masyarakat.
Dengan demikian, telah terjadi perubahan sumber anggaran yang semula bersifat
tunggal-hierarkhi-sektoral sekarang menjadi jamak-fungsional-regional, tetapi dalam
persaingan antar sektor.
Dari segi kewenangan pengambilan keputusan, sistem perencanaan pendidikan
yang sentralistik telah menutup kewenangan Daerah dalam pengambilan keputusan di
bidang pendidikan baik pada tataran kebijakan, skala prioritas, jenis program, jenis
kegiatan, bahkan dalam hal rincian alokasi anggaran. Namun, dalam era otonomi
Daerah dapat dan harus menetapkan kebijakan, program, skala prioritas, jenis kegiatan
sampai dengan alokasi anggarannya sesuai dengan kemampuan Daerah, sepanjang
tidak bertentangan dengan kebijakan nasional yang antara lain dalam bentuk Standar
Pelayanan Minimal (SPM) yang ditetapkan.
Sementara dari segi produk perencanaan pendidikan, pada era desentralisasi
produk perencanaan pendidikan diharapkan merupakan bagian tak terpisahkan dari
perencanaan pembangunan Daerah secara lintas sektoral. Oleh karena itu, produk
21
perencanaan pendidikan yang dihasilkan harus mencakup seluruh komponen
perencanaan pendidikan yang meliputi: kebijakan, rencana strategis, skala prioritas,
program, sasaran dan kegiatan, serta alokasi anggarannya dalam konteks perencanaan
pembangunan Daerah secara terpadu. Semua komponen itu perlu dikembangkan secara
spesifik sesuai dengan kemampuan dan kharakteristik Daerah, sejauh tidak bertentangan
dengan kebijakan umum, prioritas nasional, dan program-program strategis yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Dampak dari pergeseran paradigma dari keempat aspek tersebut di atas juga
membawa dampak pada perubahan pola perencanaan anggarannya. Pola perencanaan
anggaran menggunakan pendekatan integratif, sehingga pola dalam merencanakan
anggaran selain mengacu pada sifat prosedural juga menggunakan prinsip efisiensi
dengan berorientasi outcomes karena tingkat keberhasilan pendidikan dikontraskan
dengan tingkat keberhasilan sektor lain. Pola manajemen anggaran yang tepat adalah
manajemen strategik anggaran yang lebih berorientasi kepada pencapaian program dan
upaya pengembangan.
C. Hasil Pemikiran dan Pembahasan
1. Hubungan antar perencanaan pembangunan di daerah dengan dokumen
perencanaan lainnya
Paradigma baru perencanaan pendidikan di atas, tentu saja berimplikasi pada
proses perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota. Dalam era otonomi daerah, Sistem
Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota (SPPK) adalah bagian integral dari sistem
Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten/Kota. Berdasarkan amanah UU No. 25
tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional8, terjadi perubahan
paradigma perencanaan pembangunan daerah, yaitu mendasarkan pada perencanaan
partisipatif,9 di mana perencanaan dibuat dengan memperhatikan dinamika, prakarsa
dan kebutuhan masyarakat setempat. Oleh karenanya, dalam penyusunan perencanaan
pembangunan tersebut diperlukan koordinasi antar instansi Pemerintah dan partisipasi
8 Dalam UU tersebut, yang dimaksud dengan Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah adalah satu
kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka pendek, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah.
9 Dalam penjelasan UU tersebut, perencanaan partisipatif disebut hanya sebagai salah satu dari lima pendekatan dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Keempat pendekatan lainnya adalah pendekatan politik, teknokratik, atas-bawah (top-down) dan bawah-atas (bottom–up). Perencanaan dengan pendekatan partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) terhadap pembangunan. Pelibatan mereka adalah untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki.
22
seluruh pelaku pembangunan, melalui suatu forum Musyawarah Perencanaan
Pembangunan (Musrenbang) tingkat kelurahan, tingkat kecamatan, dan tingkat Kota,
serta forum Satuan Kerja Perangkat Daerah. Setiap perencanaan pembangunan daerah
selanjutnya harus ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP)
untuk periode 20 tahun, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) untuk
periode 5 tahun dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), untuk periode satu
tahun.
Saling kait antar hierarkhi perencanaan pembangunan daerah, dengan dokumen
perencanaan lainnya sampai tersusunnya RAPBD adalah sebagai berikut.10
RPJP Nasional
RPJM Nasional
RKP
RPJPD Prov.
RPJM Prov/ Renstra Prov
RPJMD Kab/Kota
Renstra SKPD
RKPD Kab/Kota
KUA+PPAS
RAPBD
Renja SKPD
RKA SKPD
RPJPD Kab/Kota
RKPD Prov.
Gambar 1.
Hubungan Antara Perencanaan Pembangunan di Daerah dengan Dokumen Perencanaan lainnya.
Dari bagan di atas Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD)
merupakan dokumen perencanaan daerah yang digunakan sebagai dasar untuk
penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah. Kemudian Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) digunakan sebagai pedoman untuk
menyusun Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD), serta
Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dengan tetap memperhatikan RKP dan
RKPD Provinsi. RKPD itu sendiri merupakan dokumen perencanaan teknis operasional
untuk kurun waktu satu tahun, merupakan penjabaran RPJMD Kab/Kota. RKPD 10 Apa konsep dari masing-masing singkatan dalam bagan ini, silakan membaca pada UU No.25 tahun 2004.
23
disusun berdasarkan tugas pokok dan fungsi SKPD serta aspirasi masyarakat melalui
penjaringan aspirasi, Musrenbang kelurahan dan kecamatan, dan forum SKPD.
Dengan demikian, SPPK sebagai bagian integral dari perencanaan
pembangunan daerah dan sebagai satu kesatuan tata cara perencanaan pendidikan
Kabupaten/Kota mesti menghasilkan dokumen-dokumen perencanaan pendidikan
kabupaten/kota dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang
dilaksanakan oleh unsur penyelenggara pendidikan kabupaten/kota dan masyarakat
(diwakili oleh Dewan Pendidikan).
RPPK (Rancangan Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota) Jangka Panjang
adalah dokumen perencanaan pendidikan kabupaten/kota untuk periode 20 (dua puluh)
tahun; RPPK Jangka Menengah (Rencana Strategis) adalah dokumen perencanaan
pendidikan kabupaten/kota untuk periode 5 (lima) tahun. Sedangkan RPPK Tahunan
adalah dokumen perencanaan pendidikan kabupaten/kota untuk periode 1 (satu) tahun.
2. Model Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota
Dalam upaya perumusan dokumen-dokumen perencanaan pendidikan tersebut,
Slamet P.H. (2005), mengemukakan sebuah model proses perencanaan pendidikan
Kabupaten/ Kota sebagai berikut.11
11 Model perencanaan pendidikan yang dikemukakan Slamet P.H adalah model perencanaan strategis
sebagai satu bentuk perencanaan rasional. Di luar jenis ini, dalam buku Depdiknas berjudul Memiliki Wawasan tentang Model-Model Perencanaan Tingkat Kabupaten/Kota juga disebut berbagai jenis perencanaan klasik dalam pendidikan baik model manpower planning, model social demand maupun model rate of return. Ditekankan juga di buku itu mengenai perlunya menggunakan perencanaan pendidikan menggunakan pendekatan sistem yang mencoba menggabungkan ketiga jenis model klasik tersebut. Di luar perencanaan rasional dan klasik, ada model perencanaan lainnya, yaitu perencanaan interaktif–dinamis, yang oleh Michael G. Fullan (1993) disebut sebagai evolutionary planning atau deliberatif planning, atau dapat juga disebut participatif planning. Semua jenis perencanaan di atas memiliki kecocokan penggunaan masing-masing.
24
Analisis Lingkungan Strategis
Situasi Pendidikan yang diharapkan
Situasi pendidikan Saat ini
Rencana Strategis 5 tahun
Rencana Operasional 1 tahun
Pelaksanaan Program
Monitoring dan Evaluasi
Gambar 2.
Proses Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota
Model proses perencanaan pendidikan di atas sekaligus memberi gambaran
mengenai tahap-tahap perencanaan pendidikan kabupaten/kota. Secara singkat,
penjelasannya adalah sebagai berikut.
1. Melakukan analisis lingkungan strategis. Lingkungan strategis adalah lingkungan
eksternal yang berpengaruh terhadap perencanaan pendidikan kabupaten/kota,
misalnya: Propeda, Renstrada, Repetada, peraturan perundangan (UU, PP, Kepres,
Perda, dsb), tingkat kemiskinan, lapangan kerja, harapan masyarakat terhadap
pendidikan, pengalaman-pengalaman praktek yang baik, tuntutan otonomi, tuntutan
globalisasi, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan
lingkungan strategis harus diinternalisasikan ke dalam perencanaan pendidikan
kabupaten/kota agar perencanaan tersebut benar-benar menyatu dengan perubahan
lingkungan strategis.
2. Melakukan analisis situasi untuk mengetahui status situasi pendidikan saat ini
(dalam kenyataan) yang meliputi profil pendidikan kabupaten/kota (pemerataan,
mutu, efisiensi, dan relevansi), pemetaan sekolah/ guru/ siswa, kapasitas manajemen
25
dan sumber daya pada tingkat kabupaten/kota dan sekolah, dan best practices
pendidikan saat ini.
3. Memformulasikan pendidikan yang diharapkan di masa mendatang yang
dituangkan dalam bentuk rumusan visi, misi, dan tujuan pendidikan, yang mencakup
setidaknya pemerataan kesempatan, mutu, efisiensi, relevansi, dan peningkatan
kapasitas pendidikan kabupaten/kota.
4. Mencari kesenjangan antara butir (2) dan butir (3) sebagai bahan masukan bagi
penyusunan rencana pendidikan keseluruhan yang akan datang (5 tahun) dan
rencana jangka pendek (1 tahun). Kesenjangan/tantangan yang dimaksud mencakup
pemerataan kesempatan, mutu, efisiensi, relevansi dan pengembangan kapasitas
manajemen pendidikan pada tingkat kabupaten dan sekolah.
5. Berdasarkan hasil butir (4) disusunlah rencana kegiatan tahunan untuk selama 5
tahun (rencana strategis) dan rencana kegiatan rinci tahunan (rencana
operasional/renop).
6. Melaksanakan rencana pengembangan pendidikan kabupaten/kota melalui upaya-
upaya nyata yang dapat meningkatkan pemerataan kesempatan, mutu, efisiensi,
relevansi dan kapasitas manajemen pendidikan pada tingkat kabupaten/kota dan
sekolah.
7. Melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan rencana dan melakukan evaluasi
terhadap hasil rencana pendidikan. Hasil evaluasi akan memberitahu apakah hasil
pendidikan sesuai dengan yang direncanakan.
Dengan memperhatikan substansi utamanya, model tahap-tahap perencanaan
pendidikan di atas bisa digambarkan dalam bentuk sebagai berikut.
26
Situasi Pendidikan
saat ini
Situasi Pendidikan yang
diharapkan
• Pemerataan • Mutu • Efisiensi • Relevansi • Kapasitas
• Pemerataan • Mutu • Efisiensi • Relevansi • Kapasitas
Strategi: • Kebijakan • Rencana • Progam
menuju
Gambar 3.
Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota
Sebagaimana sudah disebut secara implisit di atas, bahwa pada hakekatnya
sebuah perencanaan dibuat dalam rangka mengubah ”situasi pendidikan saat ini” (dalam
kenyataan) menuju ke ”situasi pendidikan yang diharapkan” di masa mendatang. Untuk
itu, ada tiga kata kunci yang harus dipahami, yaitu kebijakan, perencanaan dan program
pendidikan.
1. Kebijakan Pendidikan
Kebijakan dibuat mengacu pada paradigma baru pendidikan. Kebijakan adalah
suatu ucapan atau tulisan yang memberikan petunjuk umum tentang penetapan ruang
lingkup yang memberi batas dan arah umum kepada para manajer untuk bergerak.
Kebijakan juga berarti suatu keputusan yang luas untuk menjadi patokan dasar bagi
pelaksanaan manajemen. Keputusan yang dimaksud telah dipikirkan secara matang dan
hati-hati oleh pengambil keputusan puncak dan bukan kegiatan-kegiatan yang berulang
dan rutin yang terprogram atau terkait dengan aturan-aturan keputusan (Nurkolis, 2004).
Sementara, menurut Slamet P.H.(2005), kebijakan pendidikan adalah apa yang
dikatakan (diputuskan) dan dilakukan oleh pemerintah dalam bidang pendidikan.
Dengan demikian, kebijakan pendidikan berisi keputusan dan tindakan yang
mengalokasikan nilai-nilai. Menurutnya, kebijakan pendidikan meliputi lima tipe, yaitu
kebijakan regulatori, kebijakan distributif, kebijakan redistributif, kebijakan kapitalisasi
27
dan kebijakan etik. Sedangkan Noeng Muhadjir (2003: 90), membedakan antara
kebijakan substantif dan kebijakan implementatif. Kebijakan implementatif adalah
penjabaran sekaligus operasionalisasi dari kebijakan substantif.
Sementara itu, Sugiyono (2003) mengemukakan tiga pengertian kebijakan
(policy) yaitu (1) sebagai pernyataan lesan atau tertulis pimpinan tentang organisasi
yang dipimpinnya, (2) sebagai ketentuan-ketentuan yang harus dijadikan pedoman,
pegangan atau petunjuk bagi setiap kegiatan, sehingga tercapai kelancaran dan
keterpaduan dalam mencapai tujuan organisasi, dan (3) sebagai peta jalan untuk
bertindak dalam mencapai tujuan organisasi. Menurutnya, kebijakan yang baik harus
memenuhi syarat sebagai berikut.
Kebijakan yang dibuat harus diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat;
Kebijakan yang dibuat harus berpedoman pada kebijakan yang lebih tinggi dan
memperhatikan kebijakan yang sederajat yang lain;
Kebijakan yang dibuat harus berorientasi ke masa depan;
Kebijakan yang dibuat harus adil;
Kebijakan yang dibuat harus berlaku untuk waktu tertentu;
Kebijakan yang dibuat harus merupakan perbaikan atas kebijakan yang telah
ada;
Kebijakan yang dibuat harus mudah dipahami, diimplementasikan, dimonitor
dan dievaluasi;
Kebijakan yang dibuat harus berdasarkan informasi yang benar dan up to date;
Sebelum kebijakan dijadikan keputusan formal, maka bila mungkin diujicobakan
terlebih dulu.
Herman, J. dalam Hough, J. R. (ed) (1984) menjelaskan bahwa “Policy is
sometimes used in a narrow sense to refer to formal statements of action to be followed,
while others use the word ‘policy’ as a synonym for words such as ‘plan’ or
‘programme’. Many writers too do not distinguish clearly between ‘policy-making’ and
‘decision-making’”. Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan tersebut disamaartikan
dengan konsep lain, yaitu :
Goals : desired ends to be achieved.
Plans or proposals : specified means for achieving goals.
Programmes : authorized means, strategies and details of procedure for
achieving goals.
28
Decision : specific actions taken to set goals, develop plans, implement and
evaluate programmes
Effects : measurable impact of programmes
Laws or regulations : formal or legal expressions providing authorization to
policies.
Policy, then is focused on purposive or goal oriented action or actively rather
than random or chance behaviour. It refers to courses or patterns of action, rather than
separate discrete decision; usually policy development and application involves a
number or related decisions, rather than a single decision. Policies may vary greatly in
orientation, purpose and whether they are explicitly stated. Policies may be either
positive or negative in the sense that they can have as their basis decisions to take
particular action in response to a problem, as well as developing simply from failure to
act, or from decisions to delay action. Policies include substantive policy as well as
procedural or administrative policy.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kebijakan pendidikan adalah upaya
perbaikan dalam tataran konsep pendidikan, perundang-undangan, peraturan dan
pelaksanaan pendidikan serta menghilangkan praktik-praktik pendidikan di masa lalu
yang tidak sesuai atau kurang baik sehingga segala aspek pendidikan di masa
mendatang menjadi lebih baik. Kebijakan pendidikan diperlukan agar tujuan pendidikan
nasional dapat dicapai secara efektif dan efisien.
2. Perencanaan Pendidikan
Perencanaan pendidikan dibuat dengan mengacu pada kebijakan pendidikan
yang telah ditetapkan. Perencanaan pendidikan adalah proses penyusunan gambaran
kegiatan pendidikan di masa depan dalam rangka untuk mencapai perubahan/tujuan
pendidikan yang telah ditetapkan. Dalam rangka membuat perencanaan pendidikan
tersebut, perencana melakukan proses identifikasi, mengumpulkan, dan menganalisis
data-data internal dan eksternal (esensial dan kritis) untuk memperoleh informasi terkini
dan yang bermanfaat bagi penyiapan dan pelaksanaan rencana jangka panjang dan
pendek dalam rangka untuk merealisasikan atau mencapai tujuan pendidikan
kabupaten/kota.
Perencanaan pendidikan penting untuk memberi arah dan bimbingan pada para
pelaku pendidikan dalam rangka menuju perubahan atau tujuan yang lebih baik
(peningkatan, pengembangan) dengan resiko yang kecil dan untuk mengurangi
29
ketidakpastian masa depan. Tanpa perencanaan pendidikan yang baik akan
menyebabkan ketidakjelasan tujuan yang akan dicapai, resiko besar dan ketidakpastian
dalam menyelenggarakan semua kegiatan pendidikan. Dengan kemampuan perencanaan
pendidikan yang baik di daerah, oleh karenanya, diharapkan akan dapat mengurangi
kemungkinan timbulnya permasalahan yang serius sebagai dampak dari
diberlakukannya otonomi pendidikan itu di tingkat daerah kabupaten/ kota.
Sebagai dasar dalam membuat perencanaan di bidang pendidikan, umumnya
orang menggunakan teknik analisis SWOT12, dimaksudkan untuk mengidentifikasi
kekuatan, kelemahan, kesempatan atau peluang dan tantangan atau ancaman yang
dihadapi oleh organisasi. Dengan teknik itu, diharapkan posisi organisasi dalam
berbagai aspek bisa dipahami secara lebih obyektif, lalu bisa ditetapkan prioritas strategi
dan program-programnya, serta peta urutan pelaksanaannya
3. Program pendidikan
Pada intinya, program pendidikan adalah kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan
dalam rangka mencapai tujuan-tujuan pendidikan, sesuai dengan strategi dan kebijakan
pendidikan yang telah ditetapkan.
4. Persoalan-Persoalan Mendesak Pendidikan Nasional
a. Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan. Sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945, pada dasarnya pelayanan
pendidikan yang bermutu merupakan hak bagi seluruh warga negara Indonesia.
Meskipun demikian kenyataan menunjukkan bahwa saat ini belum semua warga negara
dapat memperoleh haknya atas pendidikan. Oleh karena itu pemerintah sebagai
penyelenggara negara wajib berupaya untuk memenuhinya.
Dalam kebijakan Ditjen Mandikdasmen, disebutkan mengenai konsep, indikator
keberhasilan, dan sumber daya pendukung untuk kebijakan pemerataan dan perluasan
akses pendidikan sebagai berikut.
12 Sam M.Chan dan Tuti T. Sam, menulis buku tentang Analisis SWOT Kebijakan Pendidikan Era
Otonomi Daerah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Di dalamnya, dideskripsikan secara panjang lebar kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman, serta berbagai temuan dan rekomendasi dari berbagai dimensi kebijakan pendidikan di era otonomi daerah.
30
Tabel 1.
Kebijakan Pemerataan dan Perluasan Akses Pendidikan
Konsep Indikator
Keberhasilan
Pendukung Program
Pendidikan untuk semua
Pemenuhan pendidikan menengah dengan rasio SMA/SMK kejuruan yang tepat
Tuntas wajar 9 tahun pada 2009 (APK lebih besar atau sama dengan 98 %);
APK diknas daerah tertinggal lebih besar atau samadengan 75 %
APK diknas kelompok termiskin (Q1) lebih besar atau sama dengan 75 %
Kesetaraan gender Rintisan wajib
belajar 12 tahun
Anggaran pendidikan 20 % dari APBN/APBD + dana masyarakat; dengan manajemen : berbasis kinerja, akuntabilitas, promutu, peduli rakyat miskin;
Memperbesar daya tampung;
Mendekatkan pendidikan dengan masyarakat;
Menciptakan sistem insentif untuk menumbuhkan aspirasi pendidikan (voucher pendidikan, berorientasi kultural, berbasis masyarakat, dan pendidikan peningkatan gizi.
Pemerataan dan perluasan kesempatan pendidikan
Menarik keterlibatan daerah dalam pembangunan pendidikan
Rekruetmen tenaga pendidik dan tenaga kependidikan
Pengembangan sarana dan prasarana pendidikan
Studi yang secara langsung diarahkan pada analisis kebijakan dalam pemerataan
pendidikan ialah studi yang dilakukan oleh James Coleman (Ace Suryadi dan H. A. R
Tilaar, 1994: 29) yang berjudul Equality of Educational Opportunity. Coleman
membedakan secara konsepsional antara pemerataan kesempatan pendidikan secara
pasif, dengan pemerataan pendidikan secara aktif. Pemerataan pendidikan secara pasif
lebih menekankan pada kesamaan memperoleh kesempatan untuk mendaftar di sekolah,
sedangkan pemerataan aktif ialah kesempatan yang sama yang diberikan oleh sekolah
kepada murid-murid terdaftar agar memperoleh hasil belajar setinggi-tingginya.
Komponen-komponen konsep pemerataan pendidikan ini secara lebih jelas
diungkapkan oleh Schiefelbein dan Farrel (1982). Dalam studinya di Chili, mereka
menggunakan landasan konsep pemerataan pendidikan yang relatif lebih komprehensif
daripada konsepsi pemerataan pendidikan yang selama ini digunakan. Berdasarkan
konsep mereka, pemerataan pendidikan atau equality of educational opportunity tidak
hanya terbatas pada, apakah murid memiliki kesempatan yang sama untuk masuk
sekolah (pemerataan kesempatan pendidikan secara pasif menurut Coleman), tetapi
lebih dari itu, murid tersebut harus memperoleh perlakuan yang sama sejak masuk,
31
belajar, lulus, sampai dengan memperoleh manfaat dari pendidikan yang mereka ikuti
dalam kehidupan di masyarakat.
Pertama, pemerataan kesempatan memasuki sekolah (equality of access).
Konsep ini berkaitan erat dengan tingkat partisipasi pendidikan sebagai indikator
kemampuan sistem pendidikan dalam memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi anak
usia sekolah untuk memperoleh pendidikan. Pemerataan pendidikan ini dapat dikaji
berdasarkan dua konsep yang berlainan, yaitu pemerataan kesempatan (equality of
access) dan keadilan (equity) di dalam memperoleh pendidikan dan pelatihan.
Kedua, pemerataan kesempatan untuk bertahan di sekolah (equality of survival).
Konsep ini menitikberatkan pada kesempatan setiap individu untuk memperoleh
keberhasilan dalam pendidikan dan pelatihan. Jenis analisis ini mencurahkan perhatian
pada tingkat efisiensi internal sistem pendidikan dilihat dari beberapa indikator yang
dihasilkan dari metode Kohort. Metode ini mempelajari efisiensi pendidikan
berdasarkan murid-murid yang berhasil dibandingkan dengan murid-murid yang
mengulang kelas dan yang putus sekolah.
Ketiga, pemerataan kesempatan untuk memperoleh keberhasilan dalam belajar
(equality of output). Dilihat dari sudut pandang perseorangan equality of output ini
menggambarkan kemampuan sistem pendidikan dalam memberikan kemampuan dan
ketrampilan yang tinggi kepada lulusan tanpa membedakan variabel suku bangsa,
daerah, status sosial ekonomi, dan sebagainya. Konsep output pendidikan biasanya
diukur dengan prestasi belajar akademis. Di pandang dari sudut sistemnya itu sendiri,
konsep ini menggambarkan seberapa jauh sistem pendidikan itu efisien dalam
memanfaatkan sumber daya yang terbatas, efektif dalam mengisi kekurangan tenaga
kerja yang dibutuhkan, dan mampu melakukan kontrol terhadap kemungkinan kelebihan
tenaga kerja dalam hubungannya dengan jumlah yang dibutuhkan oleh lapangan kerja.
Keempat, pemerataan kesempatan dalam menikmati manfaat pendidikan dalam
kehidupan masyarakat (equality ot outcome). Konsep ini menggambarkan keberhasilan
pendidikan secara eksternal (exsternal efficiency) dari suatu sistem pendidikan dan
pelatihan dihubungkan dengan penghasilan lulusan (individu), jumlah dan komposisi
lulusan disesuaikan dengan kebutuhan akan tenaga kerja (masyarakat), dan yang lebih
jauh lagi pertumbuhan ekonomi (masyarakat). Teknik-teknik analisis yang digunakan
biasanya meliputi analisis rate of return to education, hubungan pendidikan dengan
kesempatan kerja, fungsi produksi pendidikan dengan menggunakan pendekaan ”status
attainment analytical model”, dan sebagainya.
32
Kebijakan pemerataan kesempatan, meliputi aspek persamaan kesempatan, akses
dan keadilan atau kewajaran. Contoh-contoh pemerataan kesempatan, misalnya,
beasiswa untuk siswa miskin, pelatihan guru PLB, pembenahan SMP terbuka,
perencanaan bagi daerah-daerah terpencil atau gender, peningkatan APK dan APM,
peningkatan angka melanjutkan, pengurangan angka putus sekolah, dan lain-lain.
2. Kualitas pendidikan
Realitas menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia relatif rendah
yang menyebabkan sulitnya bangsa Indonesia bersaing dengan bangsa-bangsa lain.
Kualitas pendidikan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh dua faktor yang mendukung,
yaitu internal dan eksternal (Dodi Nandika, 2007:16). Faktor internal meliputi jajaran
dunia pendidikan, seperti Depdiknas, Dinas Pendidikan daerah dan sekolah yang berada
di garis depan, dan faktor eksternal yaitu masyarakat pada umumnya. Dua faktor ini
haruslah saling menunjang dalam upaya peningkatan kualitas tersebut. Salah satu
implikasi langsungnya ialah pada perlunya program-program yang terkait seperti
penyediaan dan rehabilitasi sarana dan prasarana belajar, guru yang berkualitas, buku
pelajaran bermutu yang terjangkau masyarakat, alat bantu belajar untuk meningkatkan
kreativitas, dan sarana penunjang belajar lainnya.
Kualitas pendidikan mencakup aspek input, proses dan output, dengan catatan
bahwa output sangat ditentukan oleh proses, dan proses sangat dipengaruhi oleh tingkat
kesiapan input. Contoh perencanaan kualitas misalnya, pengembangan tenaga
pendidik/kependidikan (guru, kepala sekolah, konselor, pengawas, staf dinas
pendidikan, pengembangan dewan pendidikan, dan komite sekolah, rasio (siswa/guru,
siswa/kelas, siswa/ruang kelas, siswa/ sekolah), pengembangan bahan ajar,
pengembangan tes standar di tingkat kabupaten/kota, biaya pendidikan per siswa,
pengembangan model pembelajaran (pembelajaran tuntas, pembelajaran dengan
melakukan, pembelajaran kontektual, pembelajaran kooperatif dan sebagainya).
3. Efisiensi pendidikan;
Efisiensi menunjuk pada hasil yang maksimal dengan biaya yang wajar.
Efisiensi dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu efisiensi internal dan efisiensi
eksternal. Efisiensi internal merujuk kepada hubungan antara output sekolah
(pencapaian prestasi belajar) dan input (sumber daya) yang digunakan untuk
memproses/menghasilkan output sekolah. Efisiensi eksternal merujuk kepada hubungan
antara biaya yang digunakan untuk menghasilkan tamatan dan keuntungan kumulatif
(individual, sosial, ekonomi dan non-ekonomik) yang didapat setelah kurun waktu yang
33
panjang di luar sekolah. Contoh-contoh perencanaan peningkatan efisiensi, misalnya,
peningkatan angka kelulusan, rasio keluaran/masukan, angka kenaikan kelas, penurunan
angka mengulang, angka putus sekolah, dan peningkatan angka kehadiran dan lain-lain.
4. Relevansi pendidikan.
Relevansi menunjuk kepada kesesuaian hasil pendidikan dengan kebutuhan
(needs), baik kebutuhan peserta didik, kebutuhan keluarga, dan kebutuhan
pembangunan yang meliputi berbagai sektor dan sub-sektor. Contoh-contoh
perencanaan relevansi misalnya, program ketrampilan kejuruan/ kewirausahaan/usaha
kecil bagi siswa-siswa yang tidak melanjutkan, kurikulum muatan lokal, pendidikan
kecakapan hidup dan peningkatan jumlah siswa yang terserap di dunia kerja.
5. Pengembangan Kapasitas
Yang dimaksud dengan kapasitas adalah kemampuan individu dan organisasi
atau unit organisasi untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara efektif, efisien, dan
berkelanjutan (UNDP,1997). Suksesnya desentralisasi pendidikan sangat ditentukan
oleh tingkat kesiapan kapasitas makro, kelembagaan, sumber daya dan kemitraan.
Pengembangan kapasitas tingkat makro meliputi : (1) arahan-arahan, (2) bimbingan, (3)
pengaturan, pengawasan dan kontrol. Pengembangan kapasitas kelembagaan mencakup
kemampuan dalam merumuskan visi, misi, tujuan, kebijakan, dan strategi, perencanaan
pendidikan, manajemen pada semua aspek pendidikan (kurikulum, ketenagaan,
keuangan, sarana dan prasarana, dsb), sistem informasi manajemen pendidikan,
pengembangan pengaturan (regulasi dan legislasi), pendidikan, pengembangan sumber
daya manusia, pengembangan organisasi (tugas dan fungsi serta struktur organisasinya),
proses pengambilan keputusan dalam organisasi, prosedur dan mekanisme kerja,
hubungan dan jaringan antar organisasi, pengembangan Dewan Pendidikan dan Komite
Sekolah, pengembangan kepemimpinan pendidikan dan lain-lain.
Kesiapan kapasitas sumber daya mencakup sumber daya manusia
(manajer/pemimpin, staf dan pelaksana) dan sumber daya selebihnya (uang, peralatan,
perlengkapan, bahan, dsb). Sedangkan, pengembangan kapasitas kemitraan dilandasi
oleh kesadaran bahwa pengembangan ikhtiar pendidikan harus dilakukan secara terpadu
antara lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat karena masing-masing memiliki
pengaruh terhadap pendidikan anak.
Khusus mengenai kebijakan peningkatan mutu, relevansi dan daya saing, dalam
kebijakan Ditjen Mandikdasmen, disebutkan mengenai konsep, indikator keberhasilan,
dan pendukung sebagai berikut.
34
Tabel 2. Kebijakan Peningkatan Mutu, Relevansi dan Daya saing
Konsep Indikator Keberhasilan Pendukung Program
Pendidikan memfasilitasi perkembangan kepribadian dan karakter secara utuh dan harmonis, melalui: SD: calistung + dasar akademik
Kecerdasan ganda
Nasionalisme Plural Nilai-nilai internasional
Perkembangan ipteks
Pemberlakuan KTSP Pengembangan SSN,
perintisan SBI Adanya tindakan
afirmatif pada kondisi khusus;
Pemakaian metode CTL,dll
Pendidikan multikultural Pendidikan kecakapan
hidup dalam arti luas Keterpaduan
pendidikan dengan aspek-aspek pembangunan daerah /nasional
Implementasi 8 unsur standar pendidikan nasional (SNP):
Standar isi Standar proses Standar kompetensi
lulusan Standar pendidik
dan tenaga kependidikan
Standar sarana dan prasarana;
Standar pengelolaan
Standar pembiayaan;
Standar penilaian pendidikan
Pengembangan pendidikan karakter
Pengembangan pendidikan yang bermakna bagi masa depan anak
Peningkatan kualitas pembelajaran
Pengembangan budaya sekolah
Pengembangan pembelajaran berbasis keunggulan lokal
Pengembangan sekolah bertaraf internasional
Pengembangan SMK menjadi pusat pengembangan karier
Meningkatkan kemandirian sekolah
Mengurangi kesenjangan mutu antar sekolah.
Dalam arah pengembangan manajemen Dikdasmen juga dikemukakan mengenai
kebijakan penguatan tatakelola, akuntabilitas dan pencitraan publik, yang konsep,
indikator keberhasilan, pendukung dan programnya sebagai berikut.
Tabel 3. Kebijakan Penguatan Tatakelola, Akuntabilitas dan Pencitraan publik
Konsep Indikator
keberhasilan Pendukung Program
Desentralisasi yang efektif
Kerjasama koordinatif dan sinergis pusat dengan daerah
Penguatan kapasitas daerah
Pemantapan pusat
Hubungan kemitraan pusat-daerah
Kapasitas kelembagaan dan kesehatan organisasi pada satuan pendidikan, dinas pendidikan, pusat
Sistem informasi manajemen dikdasmen
Peran serta masyarakat
Pencitraan pendidikan (terpercaya)
Tuntas wajib belajar 9 tahun menuju wajib belajar 12 tahun di setiap daerah, tanpa bias gender
Kepatuhan terhadap standar nasional pendidikan, dan pada kondisi tertentu merintis pemakaian standar internasional
Terjadinya peningkatan akuntabilitas publik secara bermakna, terencana, dan terpenuhinya kebutuhan masyarakat serta terjaminnya kepentingan makro nasional
Membangun kemitraan pusat dan daerah
Penguatan dan penyehatan organisasi dan manajemen penyelenggaraan pendidikan: level daerah dan nasional
Pengembangan sistem informasi manajemen pendidikan dasar dan menengah terpadu
Revitalisasi peran
35
serta masyarakat Pencitraan
pendidikan
D. Simpulan/Rangkuman dan Saran
1. Simpulan/Rangkuman Dari uraian di atas dapat disimpulkan/ dirangkum hal-hal sebagai berikut:
1. Era reformasi telah membawa perubahan mendasar dalam pendidikan, salah
satunya adalah terjadinya perubahan arah paradigma pendidikan, termasuk
dalam hal sistem perencanaan pendidikan di daerah.
2. Dengan terjadinya perubahan paradigma baru pendidikan, maka sistem
perencanaan pendidikan dalam iklim pemerintahan yang sentralistik, sudah
tidak sesuai lagi dengan kebutuhan perencanaan pendidikan pada era
otonomi daerah, sehingga diperlukan paradigma baru perencanaan
pendidikan.
3. Paradigma baru perencanaan pendidikan akan berimplikasi pada proses
perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota. Dalam era otonomi daerah, sistem
perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota adalah bagian integral dari sistem
perencanaan pembangunan daerah Kabupaten/Kota, yaitu mendasarkan pada
perencanaan partisipatif, di mana perencanaan dibuat dengan
memperhatikan dinamika, prakarsa dan kebutuhan masyarakat setempat.
4. Dalam penyusunan perencanaan pembangunan, termasuk dalam perencanaan
pendidikan di daerah Kabupaten/Kota, diperlukan koordinasi antar instansi
Pemerintah dan partisipasi seluruh pelaku pembangunan, melalui suatu
forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) tingkat
kelurahan, tingkat kecamatan, dan tingkat Kota, serta forum Satuan Kerja
Perangkat Daerah.
5. Dalam melakukan perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota, pertama-tama
perlu dilakukan analisis lingkungan strategis, untuk mengetahui lingkungan
eksternal yang berpengaruh terhadap perencanaan pendidikan
kabupaten/kota. Selain itu, berbagai perubahan lingkungan strategis harus
diakomodasi dan diinternalisasikan ke dalam perencanaan pendidikan
kabupaten/kota agar perencanaan tersebut benar-benar menyatu dengan
perubahan lingkungan strategis tersebut. Kemudian, perlu analisis situasi
36
untuk mengetahui ”situasi pendidikan saat ini” dan ”situasi pendidikan yang
diharapkan atau ditargetkan” menyangkut berbagai kebijakan pendidikan
yang ditetapkan, sehingga kesenjangan dapat diketahui dan kebijakan
substantif dan implementatif, program serta rencana kegiatan dapat
dipikirkan secara integrated.
2. Saran :
Depdiknas dan para stakeholders pendidikan lainnya, perlu membuat
pemikiran inovatif-kreatif mengenai model pembangunan sistem pendidikan
yang terintegrasi, yang dapat meramu sekaligus mengakomodasi upaya
peningkatan dan pencapaian berbagai kebijakan pendidikan (pemerataan dan
perluasan akses pendidikan, peningkatan kualitas pendidikan, relevansi
pendidikan, dan lain-lain yang ditargetkan) secara bersama-sama, bukan
secara parsial dan berurutan, termasuk aspek sustainability (keberlanjutan)
nya. Sekedar sebagai contoh, hasil peningkatan dan pencapaian pemerataan
dan perluasan akses pendidikan, perlu dibarengi dengan peningkatan kualitas
pendidikan (dengan model peningkatan kualitas yang massive, misalnya),
tapi juga perlu memperhatikan aspek relevansi (dengan, misalnya,
mencocokkan kurikulum dengan empirik yang ada, dengan mengupdate
silabus setiap tahun sekali, meski tanpa merubah kurikulum formalnya).
Aspek keberlanjutannya perlu juga dipikirkan, jangan sampai berjalannya
sebuah kebijakan hanya tergantung pada ada tidaknya subsidi dari pusat,
sementara ketika subsidi ditiadakan atau dicabut, misalnya, lalu tidak
berjalan.
37
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahmansyah. (2001). Desentralisasi: Harapan dan tantangan bagi dunia pendidikan.
Jurnal Studi Agama Millah,1, 55-69.
Ace Suryadi dan H.A.R.Tilaar. Analisis Kebijakan Pendidikan. Suatu Pengantar. Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya.
Achmad Budiyono, M. Irfan, &Yuli Andi. (1998). Evaluasi pelaksanaan kebijakan uji coba
otonomi daerah. Jurnal Penelitian Ilmu -Ilmu Sosial, PPS Universitas Brawijaya,2, 209-
218.
Alhumani,A. (11 September 2000).Pembangunan Pendidikan Dalam Konteks Desentralisasi.
Kompas, p.4.
Alisjahbana, A.S. (2000). Otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan. Jurnal Analisis
Sosial, AKATIGA,1,29-38.
Arbi Sanit. Et al. (Desember 2000). Penelitian paradigma baru hubungan pusat daerah di
Indonesia: Format otonomi daerah masa depan.Jakarta: Laporan penelitian.
Azyumardi Azra. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Bambang Suteng S. (2003). Menjadikan Salatiga Kota Pendidikan,bagaimana? Buletin
Hati Beriman,1,18-20.
Depdiknas. (2001). Desentralisasi Pendidikan. Jakarta: Komisi Nasional Pendidikan.
Depdiknas. 2002. Memiliki Wawasan Tentang Model-Model Perencanaan Tingkat
Kabupaten/Kota. (Materi Pelatihan Terpadu Untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota).
Depdiknas. 2002. Menyerasikan Perencanaan Pendidikan Tingkat Mikro dan Makro.
Depdiknas. 2002. Mengembangkan Kebijakan Pendidikan Tingkat Kabupaten/Kota.
Dinas Pendidikan Kota Salatiga. (2002).Rencana Strategik Bidang Pendidikan Kota
Salatiga. 2002-2006.
Dinas Pendidikan Kota Salatiga. (2002).Portofolio Rencana Pembangunan Pendidikan
Kota Salatiga.2003-2008.
Dodi Nandika. 2007. Pendidikan di tengah gelombang perubahan. Jakarta: LP3ES
Fakry Gaffar. (1990). Implikasi desentralisasi pendidikan menyongsong abad ke-21. Jurnal
Mimbar Pendidikan, 3, Tahun IX, Oktober.
Fasli Jalal. 2001. Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita
Karya Nusa.
Fiske, E.B. (1998). Desentralisasi Pengajaran, politik dan consensus. Jakarta: Penerbit P.T
Gramedia Widia Sarana Indonesia.
H.A.R. Tilaar. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Husen,T. & Postlethwaite, T.N. (Eds). (1994). The international encyclopedia of education .
London: Pergamon.
38
John Kotter.(1997). Leading Change. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Josef Riwu Kaho. (1991). Proyek Otonomi Daerah di negara Republik
Indonesia.Jakarta: Rajawali Pers.
Mulyani A. Nurhadi. 2001. Pokok-Pokok Pikiran Mengenai Pengelolaan Bidang Pendidikan
dan Kebudayaan Dalam Rangka Pelaksanaan UU RI No.22 dan 25 tahun 1999.
Yogyakarta: Seminar Nasional.
Noeng Muhadjir. 2003. Metodologi Penelitian Kebijakan dan Evaluation Research. Integrasi
Penelitian, Kebijakan dan Perencanaan. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.
Noeng Muhadjir. 2000. Kebijakan dan Perencanaan Sosial. Pengembangan Sumber Daya
Manusia. Telaah Cross Discipline. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.
Noeng Muhadjir. 2003. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial. Teori Pendidikan Pelaku Sosial
Kreatif. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.
Nuril Huda. (1998). Decentralization of education in Indonesia: Problem of implementation,
Jurnal Ilmu Pendidikan, 5, 3-12.
Peraturan Daerah Kota Salatiga No. 8 tahun 2001 tentang Propeda Kota Salatiga tahun
2001-2005.
Peraturan Daerah Kota Salatiga No. 1 tahun 2002 tentang Rencana Strategis
Pembangunan Kota Salatiga, tahun 2002-2006.
Peraturan Daerah Kota Salatiga No.4 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Salatiga, tahun 2007-2012.
Peraturan Walikota Salatiga No.17 tahun 2006 tentang Rencana Kerja Pemerintah
Daerah (RKPD) Kota Salatiga, tahun anggaran 2007
Peraturan Walikota Salatiga No.40 tahun 2007 tentang Rencana Kerja Pemerintah
Daerah (RKPD) Kota Salatiga, tahun anggaran 2008.
Risalah hasil kerja Pansus III DPRD Kota Salatiga yang bertugas menyusun raperda
Kota Salatiga tentang pengelolaan pendidikan di Kota Salatiga.
Sindhunata.(2000). Menggagas Paradigma baru Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Sam M.Chan dan Tuti T. Sam. 2005. Analisis SWOT Kebijakan Pendidikan Era Otonomi
Daerah. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Slamet P.H. 2005. Kapita Selekta Desentralisasi Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Direktorat
Pendidikan Lanjutan Pertama, Depdiknas.
UU RI No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
UU RI No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan nasional (Lembaran
Negara RI tahun 2004 No.104, Tambahan Lembaran Negara RI tahun 2004 No.4421.
39
Verania Andria & Yulia Indrawati Sari. (2000). Lampu kuning desentralisasi. Jurnal Analisis
Sosial, AKATIGA, 1, iii-vi.
World Bank. 1998. Education in Indonesia – From crisis to recovery. (Chapter 5). Education
sector unit, east asia and pacific region.
40
LAMPIRAN Lampiran 1: Format Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota
1. Pendahuluan
Pendahuluan setidaknya berisi hal-hal sebagai berikut: (a) apa isi
perencanaan, (b) siapa yang terlibat dalam perencanaan, (c) kapan
perencanaan dilakukan, (d) dimana perencanaan dilakukan, dan (e)
bagaimana caranya menyiapkan rencana pendidikan kabupaten/kota.
2. Analisis Lingkungan Strategis (Konteks)
Analisis lingkungan strategis berisi factor-faktor eksternal yang berpengaruh
terhadap pendidikan Kab/ Kota. Hasil analisis lingkungan strategis berupa
perkembangan eksternal terkini diinternalisasikan ke dalam perencanaan
pendidikan kabupaten/kota agar perencanaan tersebut benar-benar menyatu
dengan perubahan lingkungan strategis.
3. Analisis Situasi Pendidikan, meliputi situasi pendidikan dalam kenyataan
(saat ini) dan yang diharapkan dan menemukan kesenjangannya.
4. Rencana Strategis (5 tahun) dan Rencana Operasional (1 tahun)
1. Rencana Strategis Pendidikan (5 tahun ke depan)
a. Visi, Misi, dan Tujuan
b. Program-program/kegiatan-kegiatan strategis untuk mencapai Visi,
Misi dan Tujuan
c. Strategi pelaksanaan
d. Rencana biaya (alokasi dana)
e. Rencana pelaksanaan program-program strategis
f. Milestone (output apa dan kapan)
g. Rencana Pemantauan dan Evaluasi
2. Rencana Operasional (1 tahun)
a. Sasaran-sasaran (tujuan-tujuan jangka pendek) yang akan dicapai
b. Program-program untuk mencapai setiap sasaran
c. Rencana biaya (Alokasi Dana)
d. Rencana Pelaksanaan Program
e. Jadwal Pelaksanaan Program
f. Milestone (output apa dan kapan)
g. Rencana Pemantauan dan Evaluasi
h. Penanggung Jawab Program Milestone.
41
Lampiran 2: Ilustrasi Praktek :
GAMBARAN SINGKAT
PERENCANAAN PENDIDIKAN DI KOTA SALATIGA
1. Pengantar
Uraian ini dimaksudkan untuk menggambarkan perencanaan pendidikan di Kota
Salatiga secara singkat di era otonomi. Meskipun demikian istilah-istilah yang dipakai
tidak mencerminkan perkembangan mutakhir.13 Tekanannya lebih pada menjelaskan
pola pikir dan apa yang sudah direncanakan Pemerintah Kota Salatiga dalam
mengelola pendidikan di era otonomi. Tampak bahwa untuk mencapai visi, misi,
prioritas dan fungsi khas Kota Salatiga sebagai kota pendidikan, telah dilakukan upaya-
upaya, antara lain berupa perumusan kebijakan umum di bidang pendidikan.
Berdasarkan kebijakan umum tersebut, Dinas Pendidikan Kota Salatiga membuat
kebijakan teknis implementatif berupa perencanaan strategis dan program-program
kegiatan bidang pendidikan.
Dengan catatan pengantar ini, tentu saja masih diperlukan pemikiran-pemikiran
serius terutama untuk menyesuaikan dengan tuntutan teoritis yang diidealkan dalam
perencanaan pendidikan, maupun penyesuaian dalam hal tuntutan perkembangan
mutakhir14 Sistem Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota (SPPK) yang kini berlaku.
2. Visi dan Misi Kota Salatiga15
Visi Kota Salatiga adalah :
Terwujudnya masyarakat Kota Salatiga yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, yang dilaksanakan oleh pemerintah bersama masyarakat.
Atas dasar visi Kota Salatiga tersebut, maka misi pembangunan Kota Salatiga
adalah mewujudkan masyarakat Kota Salatiga yang memiliki ciri-ciri:
13 Misalnya, dalam perencanaan yang lama memakai istilah-istilah Propenas, Renstranas, Propeta,
Propeda, dan Renstra, sedangkan yang mutakhir menggunakan istilah RPJP Nasional, RPJM Nasional, RKP, RPJPD, RPJMD, dan RKPD.
14 Selain menggunakan istilah-istilah mutakhir sebagaimana disebut, format-formatnya juga berbeda dengan tetap memberi kesempatan pada daerah untuk melakukan modifikasi sesuai dengan kreativitas daerah. Misalnya, ada format Sinkronisasi keterkaitan visi,misi, prioritas pembangunan, fungsi, urusan dan program-program SKPD. Pada bagian ini, dalam rangka mencapai visi dan misinya, untuk urusan pendidikan pada tahun 2008 diputuskan program-program: pendidikan anak usia dini, wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, pendidikan menengah, pendidikan non formal, pendidikan luar biasa, peningkatan mutu tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, pengembangan budaya baca dan pembinaan perpustakaan, dan manajemen pelayanan pendidikan.
15 Mengenai visi dan misi, tampak bahwa selama era otonomi telah mengalami tiga kali perubahan rumusan. Dalam hal visi, misalnya, dalam RKPD tahun 2008 visinya adalah Salatiga lebih maju,…harmonis…dan tata kelola pemerintahan yang baik (masing-masing diberi pengertian).
42
a. Semakin mengakui dan menghargai harkat-martabat manusia, yang ditujukan dengan semakin berkembangnya solidaritas sosial di antara kelompok yang kuat terhadap kelompok yang lemah, baik secara ekonomi, politik, sosial, budaya maupun keagamaan.
b. Semakin memiliki semangat dan kemampuan untuk meraih dan meningkatkan kemandirian yang ditunjukkan dengan semakin meningkatnya kemampuan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah secara luas, nyata, dan bertanggung-jawab.
c. Semakin memiliki semangat dan kemampuan untuk meraih dan meningkatkan keadilan sosial, baik keadilan dalam generasi sekarang maupun keadilan untuk generasi yang akan datang, yang ditunjukkan dengan semakin meratanya distribusi kekayaan maupun semakin terpeliharanya sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
d. Semakin memiliki semangat dan kemampuan untuk meraih dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, baik material maupun spiritual, yang ditunjukkan dengan kehidupan yang semakin tertib, aman dan damai serta semakin terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat.
e. Semakin demokratis, ditunjukkan oleh semakin tinggi partisipasi anggota masyarakat dalam berbagai pengambilan keputusan atas berbagai aspek pembangunan daerah.
f. Memiliki struktur dan sistem kelembagaan yang semakin mendukung terwujudnya visi pembangunan Kota Salatiga.
3. Prioritas dan Fungsi Khas yang Ingin Diwujudkan
Guna mewujudkan visi dan misi tersebut, kemudian disusun prioritas
pembangunan Kota Salatiga, dengan memperhatikan peluang dan tantangan yang
dihadapi. Atas dasar peluang dan tantangan itu, maka dalam propeda Kota Salatiga
dirumuskan prioritas pembangunan Kota Salatiga sebagai berikut.
a. Pengembangan sistem politik yang lebih demokratis; b. Pengembangan good governance (pemerintahan yang baik); c. Pengembangan supremasi hukum; d. Peningkatan pemerataan dalam distribusi pendapatan; e. Pengembangan solidaritas dan pelembagaan jaring pengaman sosial.
Di samping berbagai prioritas itu, Kota Salatiga juga menetapkan fungsi khas
yang ingin diwujudkan. Fungsi khas ini sudah lama disadari dan dirumuskan, seperti
ditegaskan dalam Garis-Garis Besar Rencana Induk Kota Salatiga tahun 1977 yang
terkenal dengan “Outplane Kota Salatiga 1977” (Keputusan DPRD Kodya Dati II
Salatiga, Nomor : 06/DPRD II/ 1977, 8 Juni 1977). Di dalam keputusan tersebut
ditegaskan bahwa sasaran pembangunan Kota Salatiga diarahkan agar berfungsi sebagai
kota pendidikan, pariwisata, dan transito.
43
Fungsi khas tersebut telah direevaluasi dan disesuaikan dengan perkembangan
keadaan seperti yang tertuang dalam berbagai dokumen atau produk perencanaan daerah
yang dikenal dengan “Tri Fungsi Khas Kota Salatiga”, yaitu sebagai:
a. Kota Pendidikan dan Olah Raga; b. Pusat Kegiatan Perdagangan dan Jasa; dan c. Kota Pariwisata/transit wisata Menurut Dewan Pendidikan Kota Salatiga, kota pendidikan adalah kota yang
menjadikan pendidikan sebagai roh utama kehidupannya. Ini agak berbeda dengan kota
pelajar, sebab cakupan makna kota pelajar lebih sempit katimbang kota pendidikan.
Kata pelajar berkonotasi murid sekolah di lembaga pendidikan dasar dan menengah,
sedangkan kata pendidikan menunjuk pada proses pendidikan yang berlangsung dalam
keluarga, lembaga pendidikan pra sekolah, dasar, menengah, dan tinggi serta di lembaga
pendidikan non formal, sehingga subyeknya lebih menyeluruh katimbang sekedar murid
SD, SLTP dan SMU/K.
Dengan demikian, upaya mewujudkan diri sebagai kota pelajar belum tentu
mengarah ke terwujudnya kota pendidikan, sementara upaya mewujudkan kota
pendidikan implisit di dalamnya berarti pula mewujudkan kota pelajar.
Dengan mencanangkan diri sebagai kota pendidikan, diharapkan urusan
pendidikan lalu menjadi urusan semua warga Kota Salatiga mulai dari rakyat biasa,
sampai ke pucuk pimpinan Kota. Pendidikan bukan saja menjadi agenda utama kinerja
pemerintah kota maupun para wakil rakyat, melainkan justru menjadi acuan utama
kinerja ataupun performance baik wakil rakyat, aparat pemerintah daerah, para
pengusaha, rakyat biasa maupun terlebih lebih para praktisi pendidikan. Dimensi
“mendidik” menjadi acuan setiap sikap, perilaku, ucapan maupun tindakan/kebijakan
setiap warga kota Salatiga. Setiap warga kota akan selalu bertanya pada diri sendiri,
“apa nilai paedagogis dari sikap, ucapan, tindakan ataupun keputusan/kebijakan yang
dibuatnya”.
Ditetapkannya Kota Salatiga sebagai kota pendidikan menunjukkan telah
adanya kesadaran akan pentingnya pendidikan sebagai strategi untuk mengembangkan
dan memajukan Kota Salatiga. Penyusun renstra Kota Salatiga memberi alasan
fenomenologis atas ditetapkannya Salatiga sebagai kota pendidikan, dengan menyatakan
bahwa “denyut nadi aktivitas kota Salatiga selama ini sangat terkait dengan keberadaan
dan aktivitas pendidikan baik pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah”. Di
44
samping itu, penetapan sebagai kota pendidikan juga didasarkan pada pemahaman atas
potensi sosial yang dimiliki Kota Salatiga.
Dari segi wilayah, Kota Salatiga relatif sempit. Hal ini memperpendek rentang
kendali pengelolaan sehingga memudahkan penyelenggaraan pemerintahan. Di samping
itu, dengan lokasi pegunungan berhawa sejuk maka alam sangat menopang upaya
pendidikan di wilayah ini. Lembaga-lembaga pendidikan yang adapun relatif mapan dan
beragam. Lembaga-lembaga yang ada dapat didayagunakan secara lebih optimal demi
kemajuan pendidikan di Kota Salatiga. Lembaga pendidikan tersebut tampak dalam
tabel sebagai berikut.
Tabel 4.
Jumlah Lembaga Pendidikan di Kota Salatiga
No Kecamatan TK/R
A
SD/
MI
SLTP
/
MTs
SMU/M
A/
SMK
Ponpes
Sek.
Tingg
i
P
T Jml.
1. Sidomukti 13/6 16/3 4/- 2/-/6 3 1 - 31
2. Sidorejo 18/4 30/3 11/1 6/2/5 3 2 1 58
3. Argomulyo 15/6 22/3 6/1 2/1/1 2 - - 36
4. Tingkir 19/3 25/3 2/- -/-/1 4 - - 31
Jumlah 65/19 93/12 23/2 10/3/13 12 3 1 223
Keterangan : Diolah dari data Dinas Pendidikan dan Departemen Agama
Selain itu, tradisi akademis juga relatif mapan. Beberapa lembaga pendidikan di
kota ini sudah hidup, mampu bertahan dan bahkan berkembang selama puluhan tahun.
Dengan usia yang sudah puluhan tahun itu maka watak akademis sudah mentradisi di
berbagai lembaga pendidikan tersebut. Nilai-nilai akademis seperti kejujuran,
keterbukaan, mengutamakan kebenaran, curiosity, dan sejenisnya sudah menjadi
langgam hidup sebagian warga maupun beberapa lembaga pendidikan di kota ini.
Tradisi itu merupakan pondasi kokoh bagi upaya pengembangan kota pendidikan
Salatiga.
Dari segi keagamaan, masyarakat Salatiga cukup plural. Namun pluralitas itu
tidak dibarengi dengan fanatisme sempit antarkelompok pemeluk agama. Oleh karena
itu kehidupan sosial keagamaan di kota ini selalu diwarnai oleh semangat toleransi yang
tinggi antar pemeluk agama. Sikap toleran warga masyarakat merupakan modal yang
amat penting bagi pengembangan pendidikan di masa depan, karena semua lembaga
45
pendidikan kelak harus menjadi pusat pengembangan toleransi. Di samping itu, pola
hidup masyarakatnya belum terlalu metropolis. Dalam batas-batas tertentu masyarakat
Salatiga masih tergolong masyarakat yang sederhana. Pola hidup kota besar yang serba
gemerlap, dengan segala segi negatifnya, belum terlalu menggejala di kota ini. Kondisi
semacam ini justru menguntungkan bagi terselenggaranya proses pendidikan yang
bermutu di kota ini.
Fenomena dan berbagai potensi sosial yang dimiliki Kota Salatiga di atas,
menjadi alasan utama mengapa Salatiga dikembangkan sebagai kota pendidikan.
Pengembangan sebagai kota pendidikan tersebut semakin mendapatkan tantangan dan
peluang, sejak secara resmi diberlakukan kebijakan otonomi daerah mulai 1 Januari
2001. Sebab, sebagaimana ditegaskan dalam UU No.22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, kebijakan otonomi daerah memang memberikan kesempatan dan
keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah, termasuk dalam
bidang pendidikan, dengan menerapkan prinsip-prinsip demokrasi, peranserta
masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan
keanekaragaman daerah. Ini berarti, daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur
dan mengurus persoalan pendidikan menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat di daerah, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Karena kewenangan yang diotonomikan itu utuh, tidak seperti era sentralistik,
maka perencanaan pendidikan di daerah sebagai kegiatan awal dari proses pengelolaan
pendidikan termasuk kegiatan yang wajib dilaksanakan oleh daerah. Berbeda dengan
sistem perencanaan pendidikan yang sentralistik, yang telah menghasilkan uniformitas
yang berlebihan dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan di daerah, maka
dalam era otonomi daerah diharapkan akan tumbuh kreativitas dan prakarsa, serta
mendorong peranserta masyarakat sesuai dengan potensi dan kemampuan masing-
masing daerah. Ini berarti, bahwa dalam membangun pendidikan di daerah
Kabupaten/Kota, seperti halnya Kota Salatiga, perlu dilandasi dengan perencanaan
pendidikan yang baik dan distinktif, tidak hanya bertumpu pada perencanaan nasional
yang makro, tetapi juga dapat mempertimbangkan keunikan, kemampuan, dan budaya
daerah masing-masing sehingga mampu menumbuhkan prakarsa dan kreativitas daerah.
4. Kebijakan Umum Bidang Pendidikan di Kota Salatiga
Secara teoritis, di tingkat kabupaten/ kota, terdapat tiga jenis kebijakan, yaitu
kebijakan umum, kebijakan pelaksanaan dan teknis di bidang pendidikan. Kebijakan
umum menunjuk pada kebijakan Pemda sebagai pelaksanaan asas desentralisasi.
46
Kebijakan ini merupakan ketentuan yang bersifat makro dan strategis daerah, yang
produknya berupa peraturan daerah. Sementara kebijakan pelaksanaan dan teknis dibuat
oleh Dinas Pendidikan Kota Salatiga. Di Kota Salatiga, yang termasuk kebijakan umum,
antara lain : Perda No. 8 tahun 2001 tentang Program Pembangunan Daerah (Propeda)
Kota Salatiga tahun 2001-2005, Perda No.1 tahun 2002 tentang Rencana Strategis
Pembangunan Kota Salatiga tahun 2002-2006, dan (Ra) perda tentang Pengelolaan
Pendidikan di Kota Salatiga.
Mengenai kebijakan umum dijelaskan berturut-turut pada bagian a dan b
sebagai berikut.
a. Propeda Bidang Pendidikan Kota Salatiga 2001 – 2005.
Secara umum, propeda merupakan landasan dan pedoman dalam melaksanakan
pembangunan daerah selama lima tahun. Di dalamnya memuat arah kebijakan dan
program pembangunan daerah, digunakan sebagai pedoman bagi pemerintah daerah dan
segenap anggota masyarakat Kota Salatiga dalam melaksanakan pembangunan daerah.
Propeda Kota Salatiga ditetapkan bersama oleh Pemerintah Daerah dengan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Salatiga, yang selanjutnya akan menjadi dasar
untuk penyusunan renstra Kota Salatiga, dan Rencana Pembangunan Tahunan
(REPETA) yang memuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota
Salatiga.
Propeda Kota Salatiga disusun atas inisiatif pemerintah daerah sebagai badan
eksekutif daerah. Dalam penyusunannya, pemerintah daerah membentuk tim dengan
nama “Tim Propeda Eksekutif”. Keanggotaan tim ini berusaha mensinergikan antara
aktor yang mempunyai pengalaman pada masing-masing bidang pembangunan dengan
aktor yang dinilai mempunyai kepakaran di bidang-bidang tersebut. Tugasnya adalah
untuk menyiapkan rancangan Perda tentang propeda, termasuk propeda bidang
pendidikan.
Dalam rangka menjalankan tugasnya, tim ini melakukan serangkaian
penelitian. Maksudnya, untuk memahami kondisi, potensi dan permasalahan-
permasalahan riel yang dihadapi Kota Salatiga pada masing-masing bidang
pembangunan. Hasil penelitian ini dipakai sebagai dasar awal untuk menyusun
rancangan propeda. Setelah rancangan awal disusun, kemudian didiskusikan dengan
para stakeholders yang dinilai mempunyai pengalaman dan kepakaran pada masing-
47
masing bidang pembangunan. Hasil pembahasan digunakan sebagai dasar untuk
memperbaiki rancangan perda tentang propeda tersebut.
Berkaitan dengan propeda bidang pendidikan, fokus pergumulan terjadi pada
dua hal, yaitu, pertama, dari segi proses muncul kesadaran agar penyusunan propeda
bidang pendidikan lebih partisipatif, dengan sedapat mungkin melibatkan seluruh
elemen masyarakat. Mereka diharapkan ikut memberikan kontribusi secara konstruktif
supaya dapat membantu mewujudkan sebuah Perda yang sesuai dengan aspirasi dan
tuntutan kebutuhan riel yang berkembang dalam masyarakat. Kedua, dari segi materi,
ada dukungan terhadap beberapa kebijakan pendidikan yang sudah dirumuskan, antara
lain perlunya memberi porsi yang lebih besar pada anggaran bidang pendidikan
dibandingkan anggaran sektor lainnya, perlunya meningkatkan jaminan kesejahteraan
tenaga kependidikan, terutama pada guru wiyata bakti, dukungan terhadap upaya
pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan, dan pengembangan kualitas sumber
daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu dan menyeluruh.
Di samping itu, juga dipandang perlu adanya penyempurnaan dan penajaman
substansi atas beberapa persoalan yang sudah dirumuskan, agar lebih mendasar, serta
terintegrasi satu bagian dengan lainnya sehingga layak digunakan sebagai pedoman
dalam penyelenggaraan pembangunan bidang pendidikan di Kota Salatiga.
Penyempurnaan dan penajaman terutama diarahkan agar propeda bidang pendidikan
memuat berbagai kondisi riel yang menjadi persoalan mendesak di bidang pendidikan.
Atas dasar masukan yang ada, kemudian diadakan seminar untuk membahas
rancangan perda tentang propeda yang sudah diperbaiki oleh Bappeda. Pesertanya
melibatkan kalangan yang lebih luas, baik LSM, Perguruan tinggi, kelompok ahli,
tokoh masyarakat dan agama, dinas atau instansi terkait dan satuan pendidikan tertentu.
Berbagai masukan dalam seminar dipakai sebagai bahan untuk memperbaiki
Rancangan Propeda yang ada, termasuk propeda bidang pendidikan.
Proses berikutnya terjadi di DPRD, dalam rangka meneliti, mencermati,
membahas sampai penetapan rancangan perda tentang propeda tersebut. Tahap-
tahapnya meliputi : (a) Penyampaian nota penjelasan rancangan perda tentang Program
Pembangunan Daerah Kota Salatiga 2001-2005 oleh Walikota, (b) pemandangan umum
fraksi-fraksi terhadap rancangan peraturan daerah tentang Propeda Kota Salatiga tahun
2001-2005 dan naskahnya, (c) Tanggapan atau jawaban walikota terhadap pemandangan
48
umum fraksi-fraksi dan penjelasan dari unit kerja pada rapat komisi dan hasil rapat
dewan dengan Tim Penyusun Raperda Eksekutif, (d) kegiatan rapat-rapat komisi yang
diselenggarakan bersama-sama dengan dinas/instansi terkait, (e) pembahasan Raperda
Propeda 2001-2005 oleh Komisi Gabungan dengan Tim Raperda Propeda.
Berdasarkan hasil pembahasan di tingkat komisi dan komisi gabungan dengan
Tim Raperda Propeda, maka kemudian diadakan rapat paripurna DPRD Kota Salatiga
dalam rangka penyampaian pendapat akhir fraksi dan penetapan raperda Propeda 2001-
2005. Dalam penyampaian pendapat akhir fraksi, pada prinsipnya semua fraksi
memandang bahwa penyusunan propeda sudah cukup partisipatif dan substansi
materinya telah diperbaiki berdasarkan masukan-masukan dari para stakeholder,
sehingga mereka menyetujui Raperda Propeda Kota Salatiga menjadi Perda Kota
Salatiga tentang Program Pembangunan Daerah Kota Salatiga, tahun 2001-2005.
Pada akhir rapat paripurna DPRD tersebut, Walikota menyatakan bahwa
propeda sebagai salah satu dokumen perencanaan pembangunan daerah untuk lima
tahun ke depan yang memuat arah dan kebijakan serta program-program pembangunan
daerah wajib dilaksanakan bersama-sama secara konsisten. Hal ini sangat penting
karena dalam era reformasi dan era otonomi daerah saat ini, pelaksanaan pembangunan
harus betul-betul berlandaskan pada pedoman yang ada, sesuai dengan proses dan
prosedur yang telah dibakukan serta hasilnya dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat .
Dari uraian di atas, proses terbentuknya Propeda bidang pendidikan dapat
ditampilkan dalam bentuk bagan sebagai berikut.
49
Badan Eksekutif DPRD
Tim Propeda Eksekutif
Penelitian
Diskusi
Seminar
Rancangan
Penyampaian Nota Penjelasan Rancangan Perda tentang Propeda
Pemandangan Umum Fraksi
Tanggapan atau Jawaban
l k
Penjelasan Unit Kerja Pada Rapat Komisi
Pembahasan Raperda Propeda oleh komisi Gabungan dengan tim
Raperda Propeda
Rapat Paripurna DPRD Pendapat akhir fraksi Penetapan Raperda Propeda
menjadi Perda
Gambar 4.
Proses Terbentuknya
Propeda Bidang Pendidikan Kota Salatiga
Dalam propeda disebutkan bahwa arah pembangunan pendidikan di Kota
Salatiga adalah :
1. Mengupayakan pemerataan memperoleh pelayanan pendidikan yang bermutu bagi seluruh warga masyarakat Salatiga menuju terciptanya masyarakat Salatiga yang berkualitas dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti.
2. Meningkatkan kemampuan profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga kependidikan.
3. Melakukan pembaharuan dalam bidang kurikulum, berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik, dan diversifikasi jenis pendidikan secara profesional termasuk pendidikan lingkungan.
4. Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu, dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif oleh seluruh komponen masyarakat Salatiga.
5. Memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai.
50
6. Melakukan pembaharuan dan pemantapan sistem pendidikan berdasarkan prinsip desentralisasi.
7. Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun pemerintah untuk memantapkan sistem pendidikan yang efektif dan efisien dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
8. Meningkatkan penguasaan, pengembangan dan manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi bangsa sendiri dalam dunia usaha, terutama usaha kecil, menengah, dan koperasi guna meningkatkan daya saing produk yang berbasis sumber daya lokal.
Sementara itu, program-program pembangunan bidang pendidikan, meliputi (a)
program pendidikan prasekolah, dasar, dan menengah, (b) program pembinaan
pendidikan luar sekolah dan (c) program sinkronisasi dan koordinasi pendidikan.
Program pendidikan prasekolah, dasar dan menengah ditujukan untuk : (1)
meningkatkan kesamaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi kelompok
yang kurang beruntung, termasuk mereka yang tinggal di desa terpencil, masyarakat
miskin dan anak yang berkelainan, (2) meningkatkan kualitas pendidikan prasekolah,
dasar dan menengah dengan kualitas yang memadai, dan (3) terselenggaranya
manajemen pendidikan yang berbasis pada sekolah dan masyarakat.
Program pembinaan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) bertujuan untuk
menyediakan pelayanan kepada masyarakat yang tidak atau belum sempat memperoleh
pendidikan formal untuk mengembangkan diri, sikap, pengetahuan dan ketrampilan,
potensi pribadi, dan dapat mengembangkan usaha produktif guna meningkatkan
kesejahteraan hidupnya. Selain itu, program PLS diarahkan pada pemberian
pengetahuan dasar dan ketrampilan berusaha secara profesional sehingga warga belajar
mampu mewujudkan lapangan kerja bagi dirinya dan anggota keluarganya. Sedangkan
program sinkronisasi dan koordinasi pendidikan bertujuan untuk meningkatkan
sinkronisasi dan koordinasi perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan
program-program pendidikan baik antar jenjang, jalur dan jenis maupun antar
kecamatan. Sasarannya adalah mewujudkan sinkronisasi dan koordinasi perencanaan,
pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan program-program pembangunan pendidikan
antar jenjang, jalur dan jenis maupun antar kecamatan.
b. Rencana Strategis Pembangunan Pendidikan Kota Salatiga
Sebagai tindak lanjut Program Pembangunan Daerah (Propeda) Kota Salatiga,
kemudian disusun rencana strategis pembangunan Kota Salatiga tahun 2002-2006.
51
Renstra ini memuat kebijakan secara rinci dan terukur kinerja walikota Salatiga,
dimaksudkan untuk memberikan landasan dan pedoman dalam pelaksanaan
pembangunan daerah bagi perangkat daerah Kota Salatiga dalam bidang hukum,
ekonomi, politik, agama, pendidikan, sosial budaya, pembangunan daerah,
pembangunan sumberdaya manusia dan lingkungan hidup serta ketertiban dan
ketentraman masyarakat.
Penyusunan renstra bidang pendidikan menjadi bagian integral dari proses
penyusunan renstra Kota Salatiga secara keseluruhan. Penyusunan renstra Kota Salatiga
diawali dengan pergumulan ide mengenai perlu tidaknya rentra itu dibuat. Pergumulan
muncul sebagai akibat adanya persepsi yang berbeda terhadap berbagai peraturan
perundang-undangan yang berlaku, di samping belajar dari daerah lain.
Berdasarkan komitmen dan kesepakatan antara Pemerintah Kota dengan DPRD
pada saat pembahasan Raperda tentang Propeda, maka Kota Salatiga menyusun baik
propeda maupun renstra. Renstra merupakan penjabaran propeda dalam ruang lingkup
pembangunan daerah. Renstra memuat program-program yang nantinya dituangkan
dalam Repetada dan APBD sesuai dengan kewenangan daerah, sekaligus sebagai dasar
dalam penyusunan renstra badan/dinas/kantot/unit kerja.
Dalam membuat renstra, Bappeda Kota Salatiga bekerja sama dengan Program
Pascasarjana UKSW Salatiga. Secara garis besar, penyusunan renstra dilaksanakan
dalam tiga tahapan yang saling terkait dan berkesinambungan, yaitu, pertama, tahap
pengumpulan data. Dalam tahap ini metode yang digunakan adalah angket, wawancara
dan dokumentasi. Angket digunakan untuk mengetahui visi, misi, strategi kebijakan,
program/kegiatan dan anggaran masing-masing instansi dinas dan non dinas Pemerintah
Kota Salatiga. Sementara, metode wawancara dilakukan terhadap pimpinan atau
pejabat-pejabat di lingkungan Pemerintah Kota Salatiga maupun dinas/non dinas yang
terkait serta tokoh-tokoh masyarakat sebagai masukan untuk mengetahui aspirasi
masyarakat. Sedangkan metode dokumentasi, dipakai untuk mendapatkan data berupa
hal-hal yang terkait dengan manajemen pemerintahan daerah dalam kerangka
melaksanakan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.
Kedua, tahap penyusunan rencana strategis. Dalam tahap ini, dimulai dengan
melakukan analisis kondisi internal dan eksternal Kota Salatiga. Di bidang pendidikan,
analisis kondisi internal menghasilkan pemahaman atas berbagai kekuatan dan
52
kelemahan pembangunan pendidikan di Kota Salatiga. Kekuatannya adalah (a)
prasarana dan tenaga pendidik pada tingkat dasar relatif memadai, (b) terdapat beberapa
perguruan tinggi, (c) terdapat sekolah asing/internasional yang berlokasi di Kota
Salatiga, (d) terdapat berbagai jenis pendidikan luar sekolah, (e) terdapat pusat
pendidikan dan latihan atlet, (f) telah dimulainya pelaksanaan “school-based
management”, dan (g) terdapat berbagai potensi keunikan Kota Salatiga yang
memungkinkan untuk dikembangkan menjadi pusat pendidikan orang dewasa dan
pendidikan ketrampilan wirausaha. Sementara, kelemahannya meliputi (a) belum
optimalnya angka partisipasi sekolah tingkat lanjutan (SLTP/SLTA), (b) nisbah
prasarana pendidikan dan daya tampung siswa serta nisbah guru pada sekolah lanjutan
belum optimal, (c) belum terdapat jalinan kerja sama yang sinergis antara lembaga
pendidikan terutama dalam hubungan vertikal, (d) belum adanya keberanian untuk
mendiversifikasi kurikulum sekolah bernuansa otonomi, dan (e) belum jelasnya
bentangan cakrawala keotonomian pendidikan dalam substansi edukasi.
Dari analisis kondisi eksternal, dihasilkan pemahaman atas sejumlah peluang
dan ancaman terhadap pembangunan pendidikan di Kota Salatiga. Beberapa peluang
yang dapat dimanfaatkan adalah (a) semakin meningkatnya kesadaran masyarakat
berpartisipasi dalam pendidikan, (b) semakin terbukanya kesempatan untuk bekerjasama
dengan daerah lain di bidang pendidikan, (c) terdapatnya perguruan tinggi yang
mempunyai latarbelakang disiplin ilmu yang dapat mendukung pelaksanaan otonomi
daerah, (d) terbukanya kesempatan untuk mendiversifikasi pendidikan luar sekolah, (e)
terbukanya kesempatan untuk kerjasama baik horisontal maupun vertikal dalam rangka
menciptakan central of excelence, dan (f) terbukanya kesempatan untuk diversifikasi
lembaga pendidikan luar sekolah. Sementara ancaman yang dihadapi berupa (a)
kebijakan penyerahan pengelolaan pendidikan kepada daerah dapat berdampak pada
penurunan kualitas pendidikan karena keterbatasan kemampuan daerah, (b) menurunnya
semangat kerja pendidik karena minimnya sarana dan prasarana penunjang sehingga
berdampak pada menurunnya mutu pendidikan, dan (c) kuatnya ideologi penyeragaman
baik terhadap isi kurikulum, strategi pembelajaran maupun kualitas pembelajaran.
Ketiga, tahap validasi dan finalisasi rencana strategis. Metode yang digunakan
dalam tahap ini adalah (a) seminar dan pembahasan raperda renstra yang diikuti badan
legislatif, badan eksekutif, LSM, tokoh masyarakat, akademisi, organisasi profesi dan
53
stakeholder pembangunan di Salatiga, dan (b) pembahasan program dan kegiatan secara
mendetail dengan dinas dan unit kerja pemerintah Kota Salatiga.
Berbagai masukan konstruktif yang diterima dalam seminar dan pembahasan
rentra, digunakan untuk semakin memperbaiki Raperda renstra. Selanjutnya, Raperda
tersebut diajukan oleh pihak eksekutif ke DPRD untuk mendapatkan pembahasan demi
penyempurnaannya. Proses di DPRD dimulai dengan rapat paripurna untuk
mendengarkan nota penjelasan Walikota tentang Raperda renstra Kota Salatiga, diikuti
dengan pemandangan umum fraksi terhadap Raperda renstra tersebut. Dalam nota
penjelasannya, Walikota antara lain menyatakan bahwa :
“Penyusunan Raperda renstra pembangunan daerah Kota Salatiga diajukan kepada Dewan dengan maksud agar pelaksanaan pembangunan di daerah dapat berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Disamping itu, hal tersebut juga untuk mengoptimalkan peran Pemerintah Kota Salatiga dalam melaksanakan fungsi pelayanan kepada masyarakat dan pembangunan daerah serta meningkatkan dan mengembangkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dalam kerangka perwujudan good governance. Lain daripada itu, renstra yang telah disusun juga sebagai pedoman kinerja pemerintah Kota Salatiga dan sebagai instrumen dalam pengukuran kinerja pembangunan Kota Salatiga yang meliputi bidang-bidang yang tercantum dalam propeda.”
Sementara itu, pemandangan umum fraksi terhadap Raperda renstra bidang
pendidikan pada intinya berisi :
a. Rencana strategis pembangunan bidang pendidikan dinilai belum menunjukkan
adanya sebuah perencanaan yang mampu mengintegrasikan peran pemerintah,
masyarakat dan orang tua dalam penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas.
Disamping itu, peran pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan non formal
masih belum dimanfaatkan dalam renstra yang ada.
b. Investasi di bidang pendidikan yang selama ini didukung sektor swasta perlu
ditindaklanjuti dengan keberpihakan yang lebih adil dan merata;
c. Pengawasan mutu pendidikan perlu dikembangkan dalam perwujudan desentralisasi
pendidikan .
d. Rencana perwujudan “central of excelence” lembaga pendidikan di Kota Salatiga
perlu didukung dengan pengembangan kurikulum, sarana dan prasarana,
ketrampilan SDM serta peningkatan kesejahteraan SDM.
e. Ada dan berkembangnya Sekolah Internasional di Kota Salatiga perlu didukung dan
diberi jaminan rasa aman bagi guru dan siswanya. Keberadaan sekolah ini dapat
54
menjadi pintu Kota Salatiga dalam memasuki kawasan global, karena guru dan
siswa di sekolah tersebut berasal dari negara-negara Asia, Eropa, Australia dan
sebagian Amerika.
f. Perlunya sosialisasi MBS agar masyarakat diberdayakan secara luas baik sebagai
konsumen jasa pendidikan maupun sumber daya penyedia jasa pendidikan.
g. Dalam penyusunan program Penerimaan Siswa Baru SLTP, hendaknya dilakukan
dengan pinsip keadilan dan pemerataan serta menjamin pelaksanaan Wajib Belajar
di Kota Salatiga. Sebagai wujud wajib belajar 9 tahun, maka Pemda harus mampu
menjamin setiap lulusan SD/MI Kota Salatiga dapat diterima di SLTP. Hal ini
penting agar SDM kita di masa yang akan datang lebih berkualitas.
Di antara berbagai aspirasi yang berkembang dalam pemandangan umum fraksi
tersebut, tak banyak yang mendapat respon dari walikota. Dalam penyampaian jawaban
Walikota terhadap pemandangan umum fraksi, yang mendapat perhatian walikota
adalah persoalan perlunya peningkatan kualitas pendidikan dengan mengacu pada
manajemen pendidikan berbasis sekolah dan masyarakat. Dikatakan, “dengan
keterlibatan masyarakat dalam pendidikan, akan mendorong kelembagaan sekolah
menjadi institusi yang mandiri (otonomi) ”.
Sementara itu, untuk menindaklanjuti aspirasi yang berkembang di setiap bidang
pembangunan, disepakati pembentukan Pansus DPRD. Pansus ini diberi tugas untuk
mengkaji, mencermati dan melakukan percakapan publik bersama stakeholder
pembangunan di Salatiga. Tugasnya adalah : (a) pendalaman materi renstra, (b)
penyusunan laporan kelompok, (c) rapat Pansus membahas hasil kerja kelompok, (d)
melakukan dialog interaktif yang dilanjutkan koordinasi dengan tim eksekutif, dan (e)
menyusun hasil kerja Pansus.
Dalam rangka menjalankan tugasnya, Pansus renstra meminta masyarakat untuk
memberikan masukan Raperda Renstra, kemudian dilanjutkan dialog interaktif dengan
komponen masyarakat, instansi terkait dan tokoh masyarakat yang ada di Kota Salatiga.
Selanjutnya, diadakan pembahasan pemantapan Renstra”.
Setelah dilakukan kegiatan dan koordinasi dengan Tim Raperda Renstra
eksekutif dengan memperhatikan masukan-masukan dari Perguruan Tinggi,
ormas/orsospol dan LSM, maka Pansus merekomendasikan perlu adanya perubahan
terhadap bagian-bagian tertentu dari Raperda Renstra yang telah dihasilkan. Dalam hal
ini tampak bahwa Raperda renstra bidang pendidikan, hampir-hampir tidak mengalami
55
perubahan. Tak ada yang direkomendasikan oleh Pansus. Ini berarti bahwa berbagai
aspirasi yang berkembang dalam pemandangan umum fraksi, tak cukup menjadi
“concern” Pansus renstra. Hal itu boleh jadi juga mencerminkan kurangnya perhatian
dari berbagai komponen masyarakat di Kota Salatiga dan instansi terkait berkaitan
dengan persoalan pendidikan di daerahnya.
Langkah berikutnya adalah rapat paripurna DPRD Kota Salatiga dalam rangka
penyampaian pendapat akhir fraksi terhadap Raperda Renstra 2002-2006. Pada tahap
ini, selain ada dukungan terhadap substansi renstra, juga ada aspirasi agar walikota
“lentur “ di dalam mengambil suatu kebijakan. Sebab, setiap butir di dalam renstra
masih bisa dijabarkan. Karenanya, satu fraksi di DPRD berpendapat agar dalam renstra
ditambahkan sebuah formulasi yang menegaskan pentingnya pengambila kebijakan
akibat situasi dan kondisi dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan atau atas persetujuan
DPRD. Dengan demikian, apabila dalam kondisi tertentu walikota ingin mengambil
kebijakan baru, maka hal itu bukan berarti menyimpang dari butir-butir materi renstra
2002-2006.
Di samping itu, berkembang juga aspirasi mengenai perlunya dipikirkan
“manajemen pendidikan satu payung”, yang dapat mengintegrasikan peran pemerintah,
masyarakat dan orang tua dalam penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas. Ketiga
pihak tersebut harus dapat berperan dan bertanggung jawab secara profesional dalam
penyelenggaraan pendidikan. Ide ini, meskipun sempat tenggelam, tapi akhirnya
menjadi semacam “embrio” bagi adanya Perda tentang pengelolaan pendidikan di Kota
Salatiga. Kini, Raperda tersebut sebenarnya telah siap untuk ditetapkan menjadi Perda,
hanya karena berbagai pertimbangan hal itu belum dilakukan.
Dari apa yang telah disampaikan oleh fraksi-fraksi dalam pendapat akhir, dapat
disimpulkan bahwa semua setuju terhadap Raperda Renstra tahun 2002-2006. Oleh
karena itu, Raperda tersebut kemudian ditetapkan menjadi Perda, yaitu Perda No 1
tahun 2002 tentang Rencana Strategis Pembangunan Kota Salatiga tahun 2002-2006.
56
Dalam bentuk bagan, proses perumusan Perda tentang renstra tersebut tampak
dalam model berikut.
Pergumulan ide perlu tidaknya Renstra
BADAN EKSEKUT
Bappeda bekerjasama dengan Program Pasca Sarjana UKSW
DPRD
Nota Penjelasan Walikota tentang
Pemandangan Umum Fraksi
Tim Raperda Renstra k k if
♦ Tahap Pengumpulan Data
♦ Tahap penyusunan Renstra
Tanggapan
Pembentukan Pansus DPRD
Rekomendasi
Penyampaian Pendapat akhir
k i
Penetapan menjadi Perda
RAPERDA
Gambar 5.
Proses Perumusan Renstra Bidang Pendidikan Kota Salatiga
57
Tabel 5.
Matriks Renstra Bidang Pendidikan Kota Salatiga
No Kebijakan Strategi Program Kegiatan Indikator Kerja
1. Pemerataan dan perluasan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu gu-na mendu- kung penun-tasan wajib belajar 9 ta-hun.
Bantuan (beasiswa) untuk siswa rawan putus sekolah
Bantuan sar-ana dan dana untuk penye-lenggaraan Kejar Paket B, Kejar Paket C, Kejar Usaha.
Bantuan (beasiswa) untuk siswa rawan putus sekolah dasar dan menengah.
Penyelenggaraan Kejar Paket B, Kejar Paket C, dan Kejar Usaha.
Bantuan sarana dan dana untuk penye-lenggaraan Kejar Paket B,Kejar Paket C, Kejar Usaha.
Angka putus sekolah dasar dan menengah turun.
Terselenggaranya Kejar Paket B, Kejar Paket C, dan Kejar Usaha.
Tersalurnya warga belajar beasiswa ke lapangan kerja atau mandiri.
Meningkatnya angka ketuntasan wajib belajar 9 tahun.
2 Peningkatan kualitas pen-didikan dan tenaga pen-didik.
Peningkatan kualitas pendidikan.
Peningkatan kualitas tenaga pendidik.
Bantuan sarana, prasarana TK, SD, MI, dan sekolah menengah.
Beasiswa bagi siswa berprestasi.
Peningkatan pelaksanaan Pendidikan Sistem Ganda.
Regrouping SD Subsidi bagi sekolah swasta. Penataran/pelatihan guru mata pelajaran baik pada aspek konten, strategi pembelajaran maupun evaluasi pembelajaran.
Peningkatan kesejahteraan guru wiyata bakti.
Insentif bagi guru berprestasi
Meningkatnya angka kualitas pendidikan di Salatiga.
Terjadinya pemerataan kualitas penyelenggaraan pendidikan terutama pada SD kampus.
Terselenggaranya penataran dan pelatihan bagi peningkatan kualitas guru.
Meningkatnya kesejahteraan guru. 3 Peningkatan
tanggung ja-wab bersa-ma antar sekolah, ke-luarga dan masyarakat dalam me-nyelenggara-kan pendi-dikan berba-sis sekolah.
Penyelengga-raan pendi-dikan berba-sis sekolah / masyarakat.
Persiapan dan sosia-lisasi penyelengga-raan pendidikan ber-basis sekolah / ma-syarakat.
Bantuan managerial penyelenggaraan pendidikan berbasis sekolah/masyarakat.
Tersosialisasinya sistem penyelenggaraan pendidikan berbasis sekolah/ masyarakat.
Terwujudnya manajemen penyelenggaraan pendidikan berbasis sekolah/masyarakat.
4 Pengembangan kurikulum berbasis po-tensi daerah dalam cakra-wala interna-sional
Pengembangan kurikulum berbasis pot-ensi daerah dan berorientasi internasional.
Perampingan kurikulum pendidikan.
Pengembangan kuri-kulum muatan lokal variatif.
Peningkatan kuriku-lum bahasa asing sejak pendidikan dasar.
Pengembangan ku-rikulum beraspek ke-trampilan produktif.
Terwujudnya pembaharuan kurikulum sekolah berbasis po-tensi daerah dan ber-prospek internasional.
Terselenggaranya kurikulum muatan lokal yang variatif, kompetitif dan bernuansa keunggulan daerah kota Salatiga.
Terlatihnya ketrampilan produktif siswa melalui pendidikan ketrampilan di sekolah.
5. Diversivikasi penyelenggaraan pendidikan luar sekolah.
Mendukung dan memper-lancar pro-sedur pendi-rian lembaga penyelengga-ra pendidikan luar sekolah.
Pendirian pu-sat-
Regulasi aturan dan sertifikasi pendirian pendidikan luar sekolah.
Penyediaan lembaga penitipan anak.
Membina tempat-tempat usaha khas Salatiga untuk dijadikan centra pelatihan
Terwujudnya aturan pendirian pendidikan luar sekolah yang se-derhana.
Jumlah lembaga pendidikan luar sekolah meningkat.
Terbentuknya pusat / centra pelatihan kewirausahaan.
58
pusat pe-latihan ke-wirausahaan.
Mengembangkan diklat olahraga dan peningkatan tenaga pen-didikan di bi-dang olah raga.
kewirausahaan. Pembinaan ke-wirausahaan
generasi muda dan remaja Salatiga secara produktif.
Pengembangan Sar-jana Penggerak Pe-desaan.
Bantuan sarana dan dana untuk penye-lenggaraan Diklat olah raga dan pela-tihan guru penjaskes.
Terselenggaranya pembinaan kewirausahaan produktif bagi remaja dan generasi muda.
Meningkatnya atlit berprestasi di kota Salatiga dan peningkatan kualitas guru olahraga.
6 Peningkatan penguatan institusi pen-didikan seko-lah dalam rangka membangun central excellence
Membangun central excellence pendidikan.
Mendorong dan membina secara bertahap lembaga pendidikan terbaik di Salatiga baik negeri maupun swasta untuk menjadi central excellence.
Bantuan sarana, prasarana dan dana untuk terwujudnya penyelenggaraan cen-tral excellence sebagai pagu kualitas pengembangan pendidikan Salatiga.
Terwujudnya institusi sentral excellence baik tingkat pendidikan prasekolah, dasar dan menengah.
Terwujudnya perangkat model sebagai pagu pengembangan kualitas pendidikan.
7. Pengoptimalan penda-yagunaan IPTEK yang menunjang peningkatan keilmuan.
Pendayagu -naan IPTEK guna menun-jang pening-katan keil-muan.
Pengembangan dan pemanfaatan tek-nologi pendidikan dan teknologi informasi guna menun-jang peningkatan ke-ilmuan.
Penelitian pendidikan dalam bidang tekno-logi pendidikan da-lam rangka pening-katan keilmuan.
Terlaksananya pendidikan bermediakan teknologi pendidikan.
Terlaksananya penelitian bidang teknologi pendidikan.
Dari uraian mengenai kebijakan umum bidang pendidikan di atas, dapat
disimpulkan bahwa Pemerintahan Kota Salatiga telah membuat propeda yang
merupakan landasan dan pedoman dalam melaksanakan pembangunan daerah bidang
pendidikan selama lima tahun. Dalam propeda itu dimuat arah kebijakan dan program-
program pembangunan bidang pendidikan di berbagai jenjang dan jalur, termasuk
program sinkronisasi dan koordinasi pendidikan.
Dari segi proses perumusannya, pembuatan propeda telah menunjukkan adanya
kerjasama antar berbagai pihak dan telah berusaha mensinergikan antara aktor yang
mempunyai pengalaman dan kepakaran. Penyusunannya juga dilakukan secara
transparan dan cukup partisipatif, dengan melibatkan elemen-elemen masyarakat Kota
Salatiga. Meskipun demikian, proses penyusunan pada tingkat DPRD tampak lebih
sekedar sebagai sarana untuk memenuhi tuntutan prosedural, yang tidak berdampak
59
pada peningkatan kualitas kebijakan umum bidang pendidikan yang disusun oleh pihak
eksekutif.
Sementara, dari segi substansi kebijakannya, tampak bahwa substansinya lebih
merupakan bagian atau fotokopi dari kebijakan dan perencanaan program pendidikan di
tingkat nasional. Isinya belum mampu menunjukkan sebagai sebuah perencanaan
pendidikan yang unik dan mandiri sehingga beragam sesuai potensi, kemampuan dan
budaya daerah Kota Salatiga, walaupun disusun atas dasar rambu-rambu kebijakan
perencanaan di tingkat nasional.
Kesimpulan atau temuan lainnya adalah bahwa di samping perumusan propeda
bidang pendidikan, di Kota Salatiga juga dibuat renstra pembangunan bidang
pendidikan tahun 2002-2006. Renstra ini merupakan penjabaran dari propeda bidang
pendidikan dan bukan sebaliknya. Renstra dibuat melalui kerjasama berbagai pihak dan
telah dilakukan secara transparan dan partisipatif, melibatkan badan eksekutif, legislatif,
LSM, tokoh masyarakat, akademisi, organisasi profesi dan stakeholders pembangunan
lainnya di Salatiga. Substansi renstra adalah kebijakan strategis, program, kegiatan dan
indikator kerja bidang pendidikan di Kota Salatiga.
Arah kebijakan, program dan kegiatan yang tertuang dalam propeda dan renstra
bidang pendidikan tersebut, kemudian dipakai sebagai dasar dan pedoman dalam
melaksanakan tugas Dinas Pendidikan Kota Salatiga. Dalam hal ini, termasuk dalam
usaha Dinas Pendidikan untuk merumuskan rencana strategis bidang pendidikan pada
tingkatan yang lebih operasional, dan dalam menyusun kebijakan-kebijakan
pelaksanaan dan teknis bidang pendidikan di beberapa aspek.
5. Dinas Pendidikan Kota Salatiga
Tugas Dinas Pendidikan Kota adalah melaksanakan kewenangan Pemerintah
Daerah di bidang pendidikan. Untuk melaksanakan tugas tersebut, Dinas Pendidikan
berlandaskan pada arah kebijakan pendidikan dalam propeda, berpedoman pada tugas
dan fungsi Dinas Pendidikan sebagaimana diuraikan dalam Perda dan Keputusan
Walikota, mengacu pada renstra bidang pendidikan Kota Salatiga, dan kondisi (internal
dan eksternal) serta permasalahan-permasalahan yang dihadapi.
Berdasarkan tugas dan memperhatikan berbagai hal tersebut, Dinas Pendidikan
Kota Salatiga sebagai penanggungjawab utama teknis penyelenggaraan pendidikan di
daerah, melakukan hal-hal berikut.
60
a. Merumuskan Rencana Strategis Dinas Pendidikan
Renstra ini memuat arah, tujuan, dan indikator sebagai acuan dan pedoman bagi
seluruh jajaran penyelenggara pendidikan di Kota Salatiga, baik pemerintah maupun
masyarakat. Penyusunan renstra dibuat secara bersama-sama, melibatkan subdin-subdin
dan sub bagian yang ada. Tiap subdin (pendidikan dasar, pendidikan menengah, PLS,
pemuda dan olah raga, serta sarana dan prasarana pendidikan) dan sub bagian, membuat
konsep awal berkaitan dengan kewenangan dan tanggung jawab masing-masing,
berdasarkan masukan dari stakeholders. Konsep awal tersebut kemudian direkap oleh
“Tim Perumus Renstra Dinas Pendidikan” yang sengaja dibentuk untuk mengolah lebih
lanjut bahan awal tersebut. Tim perumus terdiri atas unsur kepala Dinas Pendidikan,
kepala-kepala subdin, baik pendidikan dasar, pendidikan menengah, maupun sarana dan
prasarana pendidikan, serta kepala bagian penyusunan program. Hasil kerja tim
kemudian dikirim ke pemerintah daerah untuk mendapatkan tanggapan, setelah itu
direvisi dan disahkan.
Dalam renstra Dinas Pendidikan disebutkan bahwa visi Dinas Pendidikan Kota
Salatiga adalah “terwujudnya masyarakat Kota Salatiga yang mandiri, menguasai iptek,
berdaya saing tinggi, dan berakhlak mulia”. Sedangkan misi untuk mewujudkan visi
tersebut adalah (a) mewujudkan sistem pendidikan demokratis dan bermutu, (b)
meningkatkan kualitas hasil pendidikan dan kemandirian pendidikan, dan (c)
meningkatkan pengamalan ajaran pendidikan agama, IMTAQ dalam kehidupan sehari-
hari.
Misi pertama mengandung makna bahwa dalam upaya mewujudkan visi harus
didukung oleh sistem pendidikan yang demokratis dan bermutu, yang akan memberikan
kesempatan pada masyarakat yang kurang beruntung untuk memperoleh pendidikan
yang bermutu serta mendorong ke arah terwujudnya diversifikasi penyelenggaraan
pendidikan. Arah kebijakan pembangunan pendidikan di Kota Salatiga dititikberatkan
pada upaya peningkatan kualitas dan kemandirian pendidikan. Sesuai dengan motto
Kota Salatiga sebagai kota pendidikan, maka Dinas Pendidikan bertanggung jawab akan
keberhasilannya biarpun secara natural sumber daya alamnya terbatas. Selain itu,
pembangunan pendidikan diarahkan pada terbentuknya akhlak/mental generasi muda
yang kuat.
Dalam perkembangannya, visi yang telah dirumuskan tersebut disadari memiliki
kelemahan, yaitu cenderung hanya memuat misi untuk sub sektor pendidikan dasar dan
61
menengah, dan kurang dapat mencerminkan misi untuk keseluruhan bagian dan subdin
yang ada dalam struktur organisasi Dinas Pendidikan. Oleh karena itu, menjelang dan
untuk kepentingan pembuatan LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah) misi semula diubah menjadi sejumlah visi yang lebih eksplisit dan
akomodatif terhadap keseluruhan komponen dalam struktur Dinas Pendidikan, sebagai
berikut.
1. Mewujudkan peningkatan manajerial dalam peningkatan pelayanan masyarakat;
2. Mewujudkan peningkatan kualitas penyelenggaraan pendidikan dasar dan prasekolah;
3. Mewujudkan penyelenggaraan pendidikan sekolah menengah yang berkualitas dan berkompetensi;
4. Mewujudkan peningkatan kualitas pendidikan luar sekolah; 5. Mewujudkan peningkatan sarana dan prasarana dalam rangka meningkatkan
kualitas pendidikan; 6. Meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan dasar, pendidikan luar
sekolah dan pra sekolah di setiap kecamatan; 7. Mewujudkan percontohan pendidikan untuk pendidikan luar sekolah,
pemuda dan olah raga.
Untuk mewujudkan visi dan misi tersebut, ditetapkan tujuan dan sasaran untuk
jangka waktu tertentu. Penetapan tujuan dan sasaran didahului dengan pengenalan
kondisi internal dan eksternal pendidikan di Kota Salatiga. Pengenalan kondisi internal
memunculkan kesadaran atas kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Sedangkan,
pengenalan terhadap kondisi eksternal menyadarkan akan kesempatan atau peluang dan
ancaman atau tantangan yang dihadapi pendidikan di Kota Salatiga. Hasil analisis
SWOT tersebut adalah sebagai berikut.
62
Tabel 6.
Analisis SWOT Dinas Pendidikan
Kota Salatiga
Analisis Kekuatan (S) Kelemahan (W)
I
N
T
E
R
N
A
L
♦ Tersedianya sarana prasarana pen-didikan dan tenaga kependidikan yang memadai
♦ Terdapat berbagai jenis lembaga pendidikan
♦ Terdapat pusat pendidikan dan latihan
♦ Kesadaran masyarakat tinggi, ter-hadap tuntutan kebutuhan akan IPTEK dalam peningkatan pro-duktifitas
♦ Tersedianya petunjuk standard pelayanan minimal.
♦ Peningkatan profesiona-lisme tenaga kependidikan masih kurang
♦ Baru sebagian yang menjalin kerjasama dengan lembaga usaha
♦ Belum adanya keberanian untuk mendiversifikasi kuri-kulum sekolah bernuansa otonomi.
♦ Belum jelas keotonomian pendidikan
♦ Pemanfaatan IPTEK dalam masyarakat khususnya dalam teknik produksi dan pelayanan jasa masih sebatas sebagai penunjang
♦ Kerjasama dengan pihak swasta dalam pengem-bangan teknologi produksi masih bersifat insidental.
Peluang (O) Ancaman (T)
E
K
S
T
E
R
N
A
L
♦ Potensi Salatiga sebagai kota pendidikan
♦ Semakin meningkatnya kesadaran masyarakat
♦ Semakin terbukanya kesempatan untuk bekerja sama dengan perusahaan dalam bidang pen-didikan
♦ Terbukanya kesempatan untuk mendiversivikasi pendidikan luar sekolah
♦ Terdapatnya berbagai perguruan tinggi, yang dapat mendukung pelaksanaan kegiatan pendidikan.
♦ Kewenangan daerah yang luas dalam pengembangan IPTEK yang tepat guna.
♦ Masih adanya masyarakat yang berpendidikan rendah (tidak lulus SD)
♦ Terbatasnya bantuan dana pemerintah
♦ Menurunnya semangat ker-ja pendidik, karena sarana prasarana penunjang ku-rang memadai
♦ Kuatnya ideologi penyera-gaman bidang pendidikan
♦ Keterbatasan kemampuan daerah dalam pengelolaan pendidikan
63
b. Kebijakan, Program, dan Kegiatan
Berdasarkan hasil analisis SWOT tersebut, kebijakan, program, dan kegiatan
untuk pendidikan dasar dan menengah Dinas Pendidikan Kota Salatiga antara lain
ditekankan pada hal-hal sebagai berikut.
1) Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang
bermutu, dengan cara penuntasan Wajar Diknas 9 tahun melalui kegiatan, misalnya,
pemberian bea siswa pelajar SD dan SLTP, pemberian bea siswa pelajar berprestasi
akademik, pemberian DBO SD dan SLTP. Di samping itu, juga dengan
meningkatkan peran serta masyarakat untuk menaikkan APK dan APM melalui
kegiatan penyuluhan pada masyarakat lewat dinas terkait dan penyuluhan kepada
komite sekolah baik di SD maupun SLTP. Masyarakat juga diberi kemudahan dan
kesempatan untuk memperoleh STTB, dengan diselenggarakannya SLTP Terbuka,
Kejar Paket B, dan UAS Paket A dan Paket B. Perluasan dan pemerataan
kesempatan juga diupayakan melalui peningkatan sarana dan prasarana,
pembangunan dan rehab gedung sekolah, pemberian bantuan imbal swadaya, dan
bantuan mebelair.
2) Mengupayakan terwujudnya organisasi sekolah yang lebih demokratis, transparan,
efisien, akuntabel serta mendorong partisipasi masyarakat dengan antara lain
memfasilitasi dan mendorong pembentukan komite sekolah
3) Mengupayakan terwujudnya manajemen pendidikan yang berbasis sekolah dan
masyarakat dengan peningkatan tanggung jawab bersama antara sekolah, keluarga
dan masyarakat.
4) Peningkatan administrasi dan pengembangan kepegawaian dengan program
rekruetmen guru PNS dan guru bantu, pengisian jabatan kepala sekolah,
peningkatan kualitas tenaga pendidikan melalui penataran guru bidang studi, KKG
dan KKKS, mendorong dan memberi ijin kepada guru untuk meningkatkan
kualifikasi pendidikannya, seleksi guru teladan, pelatihan tenaga administrasi
pendidikan, serta peningkatan kesejahteraan tenaga kependidikan
5) Mengembangkan kurikulum SD, SLTP dan SMU sesuai potensi dan kebutuhan
daerah, sosialisasi dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi tingkat SMU,
pengembangan kurikulum muatan lokal variatif dan kompetitif, dan pengembangan
kurikulum beraspek ketrampilan produktif.
64
6) Mewujudkan peningkatan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana dalam rangka
meningkatkan kualitas pendidikan, dengan merencanakan dan meningkatkan
sarana dan prasarana pendidikan dasar dan menengah serta pendistribusian sarana
dan prasarana tersebut.
7) Mengusahakan pemberian bantuan keuangan ke sekolah melalui program :
pemberian beasiswa pelajar berprestasi, pemberian DBO ke sekolah, pemberian
subsidi ke sekolah, insentif guru dan tenaga tidak tetap, pemberian BOMM
(bantuan operasional manajemen mutu), subsidi penyelenggaraan Sekolah
Menengah Swasta, bantuan imbal swadaya untuk SD dan SLTP, dan pemberian
beasiswa rawan putus sekolah.
-00000-
65
66