3311131037_NurulAini_A

download 3311131037_NurulAini_A

of 10

Transcript of 3311131037_NurulAini_A

TUGAS MAKALAHFARMASI FISIKA IIMACAM MACAM UJI DISOLUSI

Nama: Nurul AiniNIM: 3311131037Kelas: Farmasi A

PROGRAM STUDI FARMASIFAKULTAS FARMASIUNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANICIMAHI 2015

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada jaman modern seperti sekarang, baik pakar - pakar farmasi maupun kimia bekerja sama dalam merancang terobosan terbaru dalam menciptakan suatu produk obat yang keamanannya terjamin dan berkualitas, baik kestabilan dan dapat meminimalisir efek samping yang ditimbulkan suatu produk obat tersebut. Hal yang harus diperhatikan dalam menciptakan suatu produk obat adalah pre-formulasi. Pre-formulasi merupakan metode perancangan suatu riset dalam rangka menyusun konsep baru, seperti mengenal monografi, spesifikasi mencakup sifat-sifat suatu zat dan reaksi yang mungkin terjadi apabila bercampur dengan zat lain saat dikombinasikan.Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV ( hal : 1083 ), uji disolusi ini digunakan untuk menentukan kesesuaian dengan persyaratan disolusi yang tertera dalam masing masing monografi untuk sediaan tablet atau kapsul, kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah. Persyaratan disolusi tidak berlaku untuk kapsul gelatin lunak kecuali bila dinyatakan dalam masing masing monografi. Bila pada etiket dinyatakan bahwa sediaan bersalut enterik, sedangkan dalam masing masing monografi, uji disolusi atau uji waktu hancur tidak secara khusus dinyatakan sediaan bersalut enterik, maka digunakan cara pengujian untuk sediaan lepas lambat seperti yang tertera pada Uji Pelepasan Obat, kecuali dinyatakan masing masing monografi. Suatu obat yang diberikan secara oral baik dalam bentuk tablet atau kapsul tidak dapat diabsorbsi sampai partikel-partikel obat larut dalam cairan pada suatu tempat dalam saluran lambung-usus. Dalam hal tersebut dimana kelarutan suatu obat tergantung dari apakah medium asam atau medium basa, obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan dalam usus halus. Hal tersebut merupakan dasar tujuan dilakukannya uji disolusi pada suatu obat. Obat yang telah memenuhi persyaratan baik dari waktu hancur, keregasan, keseragaman bobot, dan penetapan kadar, belum dapat menjamin bahwa suatu obat memenuhi efek terapi. Karena itu uji disolusi harus dilakukan pada setiap produksi tablet atau kapsul. Di dalam banyak kasus, kecepatan disolusi atau waktu yang dibutuhkan untuk obat melarut dalam cairan pencernaan menjadi kecepatan pembatas (rate-limiting step) dari proses absorbsi. Hal Ini berlaku untuk obat yang diberikan dalam bentuk sediaan padat oral seperti tablet, kapsul atau suspensi, seperti halnya juga untuk obat yang diberikan secara intramuskular dalam bentuk granul atau suspensi. Ketika kecepatan disolusi merupakan rate-limiting step, maka kecepatan disolusi juga akan mempengaruhi absorpsi. Akibatnya, kecepatan disolusi dapat mempengaruhi onset, durasi dan intensitas respon, dan mengontrol keseluruhan bioavailabilitas obat dari suatu sediaan (Saifullah, 2008).

BAB IIPEMBAHASAN

Disolusi merupakan proses dimana suatu zat padat masuk ke dalam pelarut menghasilkan suatu larutan. Laju pelarutan obat dalam cairan saluran cerna merupakan salah satu tahapan penentu ( rate limitting step ) absorpsi sistemik obat. Laju pelarutan obat di dalam saluran cerna dipengaruhi oleh kelarutan obat itu sendiri. Peningkatan laju disolusi obat merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki permasalahan bioavaibilitas. Efektivitas dari suatu tablet dalam melepas obat untuk proses absorbsi bergantung pada laju disintegerasi, disagregasi dari granul granul, tetapi yang terpenting yaitu proses laju disolusi dari obat padat tersebut. Kecepatan disolusi suatu ukuran partikel yang menyatakan banyaknya suatu zat yang terlarut dalam pelarut setiap satuan waktu. Disolusi merupakan tahapan yang membatasi atau tahapan yang mengontrol laju absorpsi obat obat yang mempunyai kelarutan rendah, karena tahapan ini seringkali merupakan tahapan yang paling lambat dari berbagai tahapan yang ada dalam pelepasan obat dari bentuk sediannya dan mekanismenya ke dalam sirkulasi sistemik.Uji disolusi berguna untuk mengetahui seberapa banyak obat yang melarut dalam medium asam atau basa ( lambung dan usus halus ). Laju disolusi suatu obat adalah kecepatan perubahan dari bentuk padat menjadi terlarut dalam medianya setiap waktu tertentu. Jadi disolusi menggambarkan kecepatan obat terlarit dalam media disolusi.Kecepatan disolusi adalah suatu ukuran yang menyatakan banyaknya suatu zat terlarut dalam pelarut tertentu setiap satuan waktu. Suatu hubungan yang umum menggambarkan proses disolusi zat padat telah dikembangkan oleh Noyes dan Whitney dalam bentuk persamaan berikut :

dM.dt-1:kecepatan disolusiD:koefisien difusiS:luas permukaan zatCs:kelarutan zat padatC:konsentrasi zat dalam larutan pada waktuH:tebal lapisan difusi

2.1 Macam macam Uji DisolusiUntuk mengetahui kecepatan pelaruutan suatu zat atau sediaan dapat dilakukan uji disolusi dengan menggunakan metode sebagai berikut : Metode KlasikMetode ini dapat menunjukkan jumlah zat aktif yang terlarut pada waktu t, yang kemudian dikenal dengan T-20, T-50, T-90, dan sebagainya.Karena dengan metode ini hanya menyebutkan 1 titik saja, maka proses yang terjadi di luar titik tersebut tidakdiketahui. Titik terebut menyatakan jumlah zat aktif yang terlarut pada waktu tertentu. Metode KhanMetode ini kemudian dikenal dengan konsep dissolution efficiency ( DE ) area di bawah kurva disolusi diantara waktu yang ditentukan. Dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut : DE =0tY dt x 100% Y100.tBeberapa peneliti mensyaratkan bahwa penggunaan DE sebaiknya mendekati 100 % zat yang terlarut. Keuntungan metode ini adalah :1. Dapat menggambarkan seluruh proses percobaan yang dimaksud dengan harga DE.2. Dapat menggambarkan hubungan antara percobaan in vitro dan in vivo karena penggambaran dengan cara DE ini mirip dengan cara penggambaran percobaan in vivo. Metode WagnerMetode ini dapat menghitung tetapan kecepatan pelarutan ( k ) dengan berdasarkan pada asumsi bahwa kondisi percobaan dalam keadaan sink, proses pelarutan mengikuti orde satu, luas permukaan spesifik turun secara eksponensial terhadap waktu. Metode Wagner dapat diungkapan dengan persamaan sebagai berikut :ln 100 ( W~ - W ) = A ( k.t )Jumlah zat aktif yang melarut pada waktu tertentu, misalnya C30 adalah dalam waktu 30 menit zat aktif yang melarut sebanyak X mg atau X mg/mL.

Pengujian Kecepatan Disolusi berdasarkan metode menurut Martin, yaitu :1. Uji Disolusi dengan Metode SuspensiSerbuk zat padat ditambahkan ke dalam pelarut tanpa pengontrolan ekstrak terhadap luas permukaan partikelnya. Sampel diambil pada waktu waktu tertentu dan jumlah zat yang larut ditentukan dengan cara yang sesuai.2. Uji Disolusi dengan Metode Permukaan KonstanZat ditempatkan dalam suatu wadah yang diketahui luasnya sehingga varriable perbedaan luas permukaan efektif dapat diabaikan. Umumnya zat diubah menjadi tablet terlebih dahulu, kemudian ditentukan seperti pada metode suspensi.Penentuan dengan metode suspensi dapat dilakukan dengan menggunakan alat uji disolusi tipe dayung seperti yang tercantum pada USP. Sedangkan untuk metode permukaan tetap, dapat digunakan alat seperti diusulkan oleh Simonelli dkk sebagai berikut :

Gambar 1. Alat disolusi

Dalam bidang farmasi, penentuan kecepatan disolusi suatu zat perlu dilakukan karena kecepatan disolusi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi absorbsi obat di dalam tubuh. Penentuan kecepatan disolusi suatu zat aktif dapat dilakukan pada beberapa tahap pembuatan suatu sediaan obat, antara lain :1. Tahap Pra FormulasiPada tahap ini penentuan kecepatan disolusi dilakukan terhadap bahan baku obat dengan tujuan untuk memilih sumber bahan baku dan memperoleh informasi tentang bahan baku tersebut.2. Tahap FormulasiPada tahap ini penentuan kecepatan disolusi dilakukan untuk memilih formula sediaan yang terbaik.

3. Tahap ProduksiPada tahap ini kecepatan disolusi dilakukan untuk mengendalikan kualitas sediaan obat yang diproduksi.Kadar obat dalam darah pada sediaan peroral dipengaruhi oleh proses absorpsi dan kadar obat dalam darah ini menentukan efek sistemiknya. Obat dalam bentuk sediaan padat mengalami berbagai tahap pelepasan dari bentuk sediaan sebelum diabsorpsi. Tahapan tersebut meliputi disintegrasi, deagregasi dan disolusi. Kecepatan obat mencapai sistem sirkulasi dalam proses disintegrasi, disolusi dan absorpsi, ditentukan oleh tahap yang paling lambat dari rangkaian di atas yang disebut dengan rate limiting step.

2.2 Teori Macam - Macam Model DisolusiDalam memahami metode uji disolusi, kadang-kadang digunakan salah satu model atau gabungan dari beberapa model antara lain adalah : Model Lapisan Difusi (Diffusion Layer Model)Model ini pertama kali diusulkan oleh Nerst dan Brunner. Pada permukaan padat terdapat satu lapisan tipis cairan dengan ketebalan , merupakan komponen kecepatan negatif dengan arah yang berlawanan dengan permukaan padat. Reaksi pada permukaan padat cair berlangsung cepat. Begitu model solut melewati antar muka liquid film bulk film, pencampuran secara cepat akan terjadi dan gradien konsentrasi akan hilang. Karena itu kecepatan disolusi ditentukan oleh difusi gerakan Brown dari molekul dalam liquid film. Model Barrier Antar Muka (Interfacial Barrier Model)Model ini menggambarkan reaksi yang terjadi pada permukaan padat dan dalam hal ini terjadi difusi sepanjang lapisan tipis cairan. Sebagai hasilnya, tidak dianggap adanya kesetimbangan padatan larutan, dan hal ini harus dijadikan pegangan dalam membahas model ini. Proses pada antar muka padat cair sekarang menjadi pembatas kecepatan ditinjau dari proses transpor. Transpor yang relatif cepat terjadi secara difusi melewati lapisan tipis statis (stagnant). Model Dankwert (Dankwert Model)Model ini beranggapan bahwa transpor solut menjauhi permukaan padat terjadi melalui cara paket makroskopik pelarut mencapai antar muka cair karena terjadi pusaran difusi secara acak. Paket pelarut terlihat pada permukaan padatan. Selama berada pada antar muka, paket mampu mengabsorpsi solut menurut hukum difusi biasa, dan kemudian digantikan oleh paket pelarut segar. Jika dianggap reaksi pada permukaan padat terjadi segera, proses pembaharuan permukaan tersebut terkait dengan kecepatan transpor solut ataudengan kata lain disolusi.

Gambar 2. Tahap- tahap disintegrasi deagregasi dan disolusi ketika obat meningggalkan suatu tablet atau matrik granular.

Dalam Farmakope Indonesia terdapat 2 metode untuk pengujian disolusi yaitu : Metode Basket ( keranjang )Metode basket menunjukan suatu upaya membatasi posisi bentuk sediaan untuk memberikan kemungkinan maksimum suatu antarpermukaan solid-cairan yang tetap. Metode ini mempunyai ketebatasan, yaitu kecenderungan zat bergerak menyumbat kasa basket, sangat peka terhadap gas terlarut dalam media disolusi, kecepatan aliran yang kurang memadai ketika partikel meninggalkan basket dan mengapung dalam media. ( Siregar, 2010 ) Metode DayungMetode ini dasarnya terdiri atas batang, dan daun pengaduk yang merupakan dayung berputar dengan dimensi tertentu sesuai dengan radius bagian dalam labu dengan dasar bundar ( Siregar, 2010 )

BAB IIIKESIMPULAN

1. Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, uji disolusi ini digunakan untuk menentukan kesesuaian dengan persyaratan disolusi yang tertera dalam masing masing monografi.2. Uji disolusi dapat dilakukan dengan metode klasik, metode khan dan metode wagner. Sedangkan menurut Martin terdapat metode suspensi dan metode permukaan konstan dan menurut Farmakope Indonesia terdapat metode dayung dan metode keranjang.3. Penentuan kecepatan disolusi suatu zat aktif dapat dilakukan pada beberapa tahap pembuatan suatu sediaan obat, antara lain : tahap pra-formulasi, tahap formulasi dan tahap produksi.4. Teori macam macam model Uji Disolusi antara lain : model lapisan difusi, model barrier antar muka dan model Dankwert.

Daftar Pustaka

1. Farmakope Indonesia Edisi IV halaman : 1083 , Jakarta Departemen Kesehatan RI, 19952. Ansel , Howard c. 1989. Pengantar Sediaan Farmasi edisi keempat. Jakarta : UI Press3. Martin, Alfred dkk. 2008. Dasar dasar Farmasi Fisik Dalam Ilmu Farmasetik. Jakarta : UI Press4. Sulistia G. dkk, 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi IV Farmakologi FK UI. Jakarta : UI Press5. Siregar, Charles. Terkonologi Sediaan Farmasi Tablet Dasar dasar Praktis. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2010 : 54,85-86.6. Shargel L, Andrew BC. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan, edisi kedua. Surabaya : Airlangga University Press.