3.3% · Faktor yang mempengaruhi Persepsi Pasien 44 ... Kurang berhasilnya pemasaran ... menyatakan...

197
All sources 100 Internet sources 3 [5] majour.maranatha.edu/index.php/jurnal-manajemen/article/view/175/pdf 2.1% 40 matches [45] https://hendryza.wordpress.com/2009/01/28/nilai-pelanggan/ 1.1% 18 matches [101] ubur2ondaspot.blogspot.com/2014/05/kepuasan-pelanggan.html 0.6% 16 matches 3.3% Results of plagiarism analysis from 2018-03-02 02:08 UTC bku muah 2 revisi.pdf Date: 2018-03-02 01:10 UTC 195 pages, 40900 words A very light text-color was detected that might conceal letters used to merge words. PlagLevel: selected / overall 995 matches from 105 sources, of which 105 are online sources. Settings Data policy: Compare with web sources, Check against my documents Sensitivity: Medium Bibliography: Consider text Citation detection: Reduce PlagLevel Whitelist: --

Transcript of 3.3% · Faktor yang mempengaruhi Persepsi Pasien 44 ... Kurang berhasilnya pemasaran ... menyatakan...

All sources 100 Internet sources 3

[5] majour.maranatha.edu/index.php/jurnal-manajemen/article/view/175/pdf

2.1% 40 matches

[45] https://hendryza.wordpress.com/2009/01/28/nilai-pelanggan/

1.1% 18 matches

[101] ubur2ondaspot.blogspot.com/2014/05/kepuasan-pelanggan.html

0.6% 16 matches

3.3% Results of plagiarism analysis from 2018-03-02 02:08 UTC

bku muah 2 revisi.pdf

Date: 2018-03-02 01:10 UTC

195 pages, 40900 words

A very light text-color was detected that might conceal letters used to merge words.

PlagLevel: selected / overall995 matches from 105 sources, of which 105 are online sources.

Settings Data policy: Compare with web sources, Check against my documentsSensitivity: MediumBibliography: Consider textCitation detection: Reduce PlagLevelWhitelist: --

KUALITAS LAYANAN RUMAH SAKITTerhadap Emosi dan Kepuasan Pasien

Penulis : Dr. Hj. Mu’ah, SE, MM

© 2014

Diterbitkan Oleh:

Jl. Taman Pondok Jati J3, Taman Sidoarjo Telp/fax : 031-7871090 Email : [email protected]

Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Zifatama Publisher,Anggota IKAPI No. 149/JTI/2014Cetakan Pertama, November 2014Ukuran buku : 15.5 cm x 23 cm viii+187 hlmLayout & Desain Cover : Miftakhul Jannah

ISBN : ....-.....-.....-....

Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau se-luruh isi buku ke dalam bentuk apapun, secara elektronis maupun mekanis, termasuk fotokopi, mer-ekam, atau dengan teknik perekaman lainnya, tanpa izin tertulis dari Penerbit. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Hak Cipta, Bab XII Ketentuan Pidana, Pasal 72, Ayat (1), (2), dan (6)

Kualitas Layanan Rumah Sakit iii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kami kemudahan sehingga dapat menyelesaikan buku ini sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Tanpa pertolongan-Nya mungkin penyusun tidak akan sanggup menyelesaikan dengan baik. Shalawat dan salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yakni Nabi Muhammad SAW.

Buku yang ada di tangan anda kami beri judul “Kualitas Layanan Rumah Sakit Terhadap Emosi dan Kepuasan Pasien “, berawal dari disertasi yang telah kami susun menjadi buku berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber termasuk hasil penelitian yang telah kami lakukan selama ini.

Keterbatasan waktu dan aktivitas penyusun yang begitu padat, sangat berpengaruh pada proses dan waktu penyelesaian buku ini, namun berkat pertolongan berbagai pihak, akhirnya buku ini bisa kita nikmati bersama.

Buku ini memuat berbagai hal tentang Kualitas Layanan Rumah Sakit, khususnya yang berkaitan dengan emosi dan kepuasan pasien pada rumah sakit swasta yang ada di Surabaya, oleh karena itu buku ini layak dibaca oleh siapapun khususnya bagi pemerhati kesehatan

Tentu saja buku ini masih jauh dari kata sempurna, karenanya kritik dan saran konstruktif dari berbagai pihak sangat kami harapkan demi perbaikan dan kemanfaatan buku ini di masa yang akan datang. Amin

Surabaya, 18 Juli 2014

Penyusun

Kualitas Layanan Rumah Sakitiv

Kualitas Layanan Rumah Sakit v

Daftar Isi

Kata Pengantar iiiDaftar Isi vDaftar Gambar vii

Bab 1 Pelayanan Bidang Kesehatan 11. Pelayanan Kesehatan 22. Pentingnya Pelayanan Kesehatan 33. Pengertian Rumah Sakit 74. Fungsi Rumah Sakit 95. Standar Pelayanan Rumah Sakit 106. Tugas Rumah Sakit 167. Jenis Rumah Sakit 168. Klasifikasi Rumah Sakit 18

Bab 2 Pelayanan & Pemasaran Jasa 211. Pelayanan 222. Pemasaran 263. Jasa 284. Karakteristik Jasa 295. Pemasaran Relational 316. Pemasaran Jasa 33

Bab 3 Persepsi Pasien 351. Arti Perilaku Pasien 362. Interpretasi Persepsi Pasien 423. Proses Pembentukan Persepsi 434. Faktor yang mempengaruhi Persepsi Pasien 445. Penyeleksian Persepsi Pasien 516. Persepsi Pasien Terhadap Mutu Pelayanan 517. Pengorganisasian Persepsi Pasien 53

Bab 4 Layanan Berkualitas 551. Pengertian Layanan 562. Pengertian Kualitas 60

Kualitas Layanan Rumah Sakitvi

3. Standar Pelayanan Publik 634. Perspektif Pelayanan Publik 665. Sistem Pelayanan Terpadu 696. Dimensi Kualitas Pelayanan 71 7. Kualitas Pelayanan Publik 73 8. Dimensi Etika Pelayanan Publik 799. Evaluasi Pelayanan Publik 8510. Pengukuran Kualitas Pelayanan 87 11. Jenis Kualitas Pelayanan 9012. Model Serqual (Service Quality) 91

Bab 5 Penilaian Emosi 97 1. Definisi Penilaian Emosi 98 2. Tipe – tipe emosi 993. Pengukuran Penilaian Emosi 100 4. Definisi Nilai yang Dirasakan 1005. Dimensi Nilai yang Dirasakan 108

Bab 6 Kepuasan Pelanggan 1111. Definisi Kepuasan 1122. Perspektif Kepuasan Pelanggan 1153. Konsep kepuasan Pelanggan 1164. Survei Kepuasan Pelanggan 1185. Harapan dan Kepuasan Pelanggan 1196. Motode Pengukuran Kepuasan Pelanggan 1227. KEPMENPAN NO. KEP/25/M.PAN/2/2004 123

Bab 7 Kualitas Layanan terhadap Nilai, Emosi & Kepuasan 1291. Definisi Nilai Yang Dirasakan 1302. Dimensi Nilai yang Dirasakan (Perceived Value) 1363. Dampak Kualitas Layanan Inti terhadap Nilai yang Dirasakan 1374. Dampak Kualitas Layanan Penunjang dengan Nilai yang

Dirasakan 140 5. Hubungan Kualitas Layanan Inti dengan Penilaian Emosi 1436. Dampak Kualitas Layanan Penunjang dengan Penilaian Emosi 1437. Dampak Penilaian Emosi (Appraisal emotion) dengan Nilai yang

Dirasakan ( perceived value ) 1448. Hubungan Nilai yang Dirasakan (perceived value) dengan

Kepuasan Pelanggan (customer satisfaction) 1459. Dampak Penilaian Emosi (Appraisal emotion) dengan Kepuasan

Pasien (customer satisfaction) 146

Kualitas Layanan Rumah Sakit vii

10. Dampak Kualitas Layanan Inti (core service quality) dengan Kepuasan Pelanggan (customer satisfaction) 147

11. Dampak Kualitas Layanan Penunjang (peripheral service quality) dengan Kepuasan Pelanggan (customer satisfaction) 149

12. Dampak Kepuasan Pelanggan (customer satisfaction) dengan Loyalitas (loyalty) 149

13. Dampak Penilaian Emosi (Appraisal emotion) dengan Loyalitas(loyalty) 151

Bab 8 Deskripsi Layanan terhadap Emosi dan Kepuasan Pasien 1531. Deskripsi Statistik 1542. Deskripsi Variabel 1553. Deskripsi Reliabilitas 1554. Deskripsi Pengaruh 156

a) Pengaruh Core Service Quality terhadap Appraisal Emotion 156b) Pengaruh Peripheral Service Quality terhadap Appraisal

Emotion 157c) Pengaruh Appraisal Emotion terhadap Perceived Value 159d) Pengaruh Perceived Value (Y2) terhadap Patient Satisfaction 160e) Pengaruh Appraisal Emotion terhadap Patient Satisfaction 161f) Pengaruh Core Service Quality terhadap Patient Satisfaction 163g) Pengaruh Peripheral Service Quality terhadap Patient

Satisfaction 165h) Pengaruh Patient Satisfaction terhadap Loyalty Pasien 166i) Pengaruh Appraisal Emotion terhadap Loyalty Pasien 167j) Pengaruh Core Service Quality terhadap Appraisal Emotion

pasien rumah sakit swasta di Surabaya 169k) Pengaruh Appraisal Emotion terhadap Perceived Value 169l) Pengaruh Appraisal Emotion terhadap Patient Satisfaction 170m) Pengaruh Core Service Qua Lity terhadap Patient Satisfaction 170n) Pengaruh Periphera Service Quality terhadap Patient

Satisfaction 171o) Pengaruh Patient Satisfaction terhadap Patient Loyalty 171p) Pengaruh Appraisal Emotion terhadap Patient Loyalty 172

Daftar Pustaka 174Biodata Penulis 187

Kualitas Layanan Rumah Sakitviii

Daftar GambarGambar 3.1 : Proses Perseptual 43

Gambar 3.2 : Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi Pelayanan Pasien 49

Gambar 3.3 : Faktor – faktor yang mempengaruhi persepsi 50

Gambar 3.4 : Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi pasien terhadap mutu pelayanan 52

Gambar 4.1 : Model Konseptual SERVQUAL PELANGGAN 93

Gambar 6.1 : Konsep Kepuasan Pelanggan 116

Gambar 6.2 : Penyebab utama tidak terpenuhinya harapan Pelanggan 120

Bab 1

Pelayanan

BIDANGKESEHATAN

Kualitas Layanan Rumah Sakit2

1. Pelayanan Kesehatan

Rumah Sakit merupakan salah satu bentuk sarana pelayanan kesehatan yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah dan swasta. Pelayanan kesehatan di rumah sakit dapat berupa kegiatan pelayanan rawat jalan, pelayanan rawat inap dan pelayanan rawat darurat yang mencakup pelayanan medik dan penunjang medik.i

Pelayanan Kesehatan adalah pelayanan jasa, jasa berbeda dengan barang. Jika barang merupakan suatu obyek, benda atau alat, maka jasa adalah suatu perbuatan, kinerja (perfomance). Seseorang tidak dapat menilai hasil dari jasa sebelum ia menikmatinya sendiri. Mereka akan meyimpulkan kualitas jasa dari tempat (place), Orang (people), peralatan (equipment), bahan-bahan komunikasi (communication materials), simbol, harga yang mereka amati.20 Salah satu cara utama mendeferensikan pelayanan jasa kesehatan termasuk pelayanan rawat jalan adalah memberikan jasa pelayanan kesehatan yang berkualitas, lebih tinggi dari pesaing secara konsisten. Kuncinya adalah memenuhi atau melebihi harapan pasien tentang mutu pelayanan yang diterimanya. Setelah menerima jasa pelayanan kesehatan, pasien akan membandingkan jasa yang dialami dengan dengan jasa yang diharapkan. Jika jasa yang dirasakan tidak sesuai dengan jasa yang diharapkan, maka pasien tidak puas dan akhirnya tidak akan loyal kepada rumah sakit. Namun jika jasa yang dirasakan memenuhi atau bahkan melebihi harapan pasien maka pasien akan puas dan tetap bersedia menjalin hubungan jangka panjang dengan rumah sakit serta menjadi pasien yang loyal kepada rumah sakit.

Pemasaran merupakan salah satu masalah bagi setiap rumah sakit atau organisasi pelayanan kesehatan lainnya. Kurang berhasilnya pemasaran diantaranya akibat kurangnya rumah sakit berpihak pada kepentingan klien. Karena apa yang telah disampaikan saat dipasarkan seringkali tidak sesuai dengan apa yang didapatkan klien, dan ini tentunya akan menimbulkan

BAB 1 Pelayanan Bidang Kesehatan 3

image yang tidak baik untuk rumah sakit tersebut.iii Weirich H dan Koontz H (1994) menyatakan bahwa strategi pemasaran dibuat untuk memberi petunjuk pada para manager bagaimana agar produk/jasa yang dihasilkan dapat sampai pada konsumen dan bagaimana memotivasi konsumen untuk membelinya.iv Rumah sakit perlu mendesain program pemasaran agar produk mendapat respon dari pasar sasaran. Karena itu perlu alat supaya program tersebut mencapai sasaran. Alat disini adalah program yang bisa dikontrol oleh organisasi, alat tersebut lazim disebut bauran pemasaran (marketing mix).

2. Pentingnya Pelayanan Kesehatan

Pelayanan di bidang kesehatan merupakan salah satu bentuk pelayanan yang paling banyak dibutuhkan oleh masyarakat. Kristiadi (1994:23) menyatakan bahwa tugas pemerintah yang paling dominan adalah menyediakan pelayanan umum (public service) misalnya dalam bidang pendidikan, kesejahteraan sosial, kesehatan, perlindungan tenaga kerja, pertanian, keamanan dan sebagainya. Tidak mengherankan apabila bidang kesehatan perlu untuk selalu dibenahi agar bisa memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik untuk masyarakat. Pelayanan kesehatan yang dimaksud tentunya adalah pelayanan yang cepat, tepat, murah dan ramah. Mengingat bahwa sebuah negara akan bisa menjalankan pembangunan dengan baik apabila didukung oleh masyarakat yang sehat secara jasmani dan rohani.

Keinginan masyarakat untuk memiliki rumah sakit yang layak, pendidikan dan kesehatan yang terjamin, merupakan hal yang wajar. Untuk itu pemerintah harus dapat memenuhi keinginan tersebut dengan melakukan perubahan dengan tujuan mendapatkan kehidupan yang lebih baik untuk semua warga masyarakat atau pasien yang ada. Kualitas layanan di rumah sakit masih kurang baik dalam memberikan pelayanan kepada pasien, mestinya rumah sakit memberi pelayanan kepada pasien dalam

Kualitas Layanan Rumah Sakit4

bentuk jasa atau fasilitas dengan baik, agar tewujud pasien yang loyal.

Apabila pasien merasakan pelayanan yang diterima tidak sesuai dengan harapan, maka tidak terjadi adanya loyalitas pasien terhadap rumah sakit. Kualitas layanan kurang baik bisa disebabkan kurangnya peralatan medis, kurangnya dana, sumber daya manusianya kurang menerapkan pelayanan prima. Pentingnya loyalitas pasien dalam pemasaran tidak diragukan lagi. Pemasar sangat mengharapkan dapat mempertahankan pasien dalam jangka panjang. Usaha ini akan mendatangkan sukses besar dalam jangka panjang.

Konsumen yang loyal mempunyai kecenderungan lebih rendah untuk melakukan switching atau berpindah merek, menjadi strong word of mouth ( Bowen and chen, 2001; Rowley and dawes, 2000; Hallowel, 1996 dalam Darsono,2004). Ada peneliti yang menyatakan bahwa, kualitas layanan tidak berpengaruh terhadap loyalitas. Dengan demikian, layanan yang berkualitas tidak menjamin konsumen akan menjadi loyal, Aryani et al. (2010). Hasil yang berbeda disampaikan Agustiono et al. (2008) bahwa kualitas layanan berpengaruh signifikan terhadap loyalitas pasien rumah sakit. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kualitas layanan semakin tinggi loyalitas pasien terhadap rumah sakit swasta. Castro and Armario (1999) menyatakan loyalitas konsumen tidak hanya meningkatkan nilai dalam bisnis, tetapi juga dapat menarik konsumen baru.

Rumah sakit keberadaannya adalah sebagai satu mata rantai utama pelayanan kesehatan yang mempunyai fungsi utama dalam usaha pencegahan ( preventif ), penyembuhan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif). Salah satu langkah yang ditempuh pemerintah untuk mensukseskan program SKN (Sistem Kesehatan Nasional) adalah meningkatkan kuantitas dan kualitas rumah sakit.

Rumah sakit berdasarkan kepemilikannya dapat dibedakan atas rumah sakit swasta dan rumah sakit pemerintah. Biaya operasional

BAB 1 Pelayanan Bidang Kesehatan 5

rumah sakit pemerintah sebagian besar ditanggung oleh pemerintah baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Berbeda dengan rumah sakit swasta semua biaya operasional ditanggung secara mandiri. Undang- Undang No.44 tahun 2009 tentang rumah sakit pada pasal 24 ayat 2 mengklasifikasikan kelas A, B, C,dan D. Klasifikasi tersebut didasarkan pada fasilitas dan kemampuan pelayanan rumah sakit. Pada klasifikasi A mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 spesialis dasar, 5 spesialis penunjang medik, 12 spesialis lain dan 13 subspesialis. Rumah sakit klasifikasi B mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 spesialis dasar, 4 spesialis penunjang medik 8 spesialis lain dan 2 sub spesialis dasar. Pada klasifikasi C hanya mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 spesialis dasar dan 4 spesialis penunjang medik. Pada klasifikasi D hanya mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2 spesialis dasar.

Sebagai penyedia layanan jasa kesehatan, rumah sakit memberikan pelayanan kesehatan kepada seluruh lapisan masyarakat tanpa ada diskriminasi, disebabkan bahwa kesehatan adalah merupakan hak asasi sehingga setiap masyarakat berhak memperoleh pelayanan kesehatan secara adil, merata, dan bermutu yang menjangkau seluruh masyarakat Indonesia. Sejalan dengan hal tersebut di atas dan dengan diberlakukan Undang Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah serta Undang Undang No. 35 Tahun 2004 Tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, maka berbagai upaya dilakukan pemerintah daerah untuk meningkatkan pelayanan kesehatan agar masyarakat dapat meningkatkan akses pelayanan dan kualitas pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2004).

Mengingat persaingan yang dihadapi rumah sakit swasta relatif lebih tinggi dibanding rumah sakit pemerintah. Pada penentuan ini didasarkan pada variabel switching cost, sehingga pasien di rumah sakit swasta besar

Kualitas Layanan Rumah Sakit6

kemungkinan untuk berpindah rumah sakit. Adanya perpindahan pasien kepada rumah sakit lain posisi ekonomi pasien minimal tingkat menengah keatas. Manajemen yang diterapkan di rumah sakit swasta dengan rumah sakit pemerintah memiliki perbedaan, kalau rumah sakit swasta pendapatan itu tergantung dari jumlah pasien yang datang atau yang dirawat, semakin banyak pasien yang datang atau yang dirawat semakin banyak pendapatan dan sebaliknya. Karena pendapatan tergantung kepada pasien, maka pelayanan yang di berikan benar - benar diperhatikan. Dengan demikian rumah sakit benar-benar menerapkan kualitas pelayanan kepada pasien dengan maksimal, semakin tinggi kualitas pelayanan yang diberikan kepada pasien semakin tinggi kepercayaan masyarakat kepada rumah sakit. Dengan harapan pasien yang datang lebih banyak dan rumah sakit terpilih sebagai tempat untuk berobat atas dasar penilaian masyarakat terhadap rumah sakit

Menurut Keiningham (2006:211) kualitas layanan rumah sakit dan kepuasan konsumen hanyalah merupakan dua faktor yang pada akhirnya berdampak pada loyalitas konsumen. Johnson (1966) serta Bailey and Dandrade (1995) memperkuat pendapat tersebut dengan menyatakan bahwa apabila perusahaan jasa berorientasi pada konsumen serta menempatkan konsumen pada posisi penting maka mereka menjadi terpuaskan

Untuk menyelesaikan masalah - masalah tersebut tidak mudah, namun rumah sakit hendaknya tetap memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas. Kualitas layanan yang rendah akan mengakibatkan loyalitas pasien rendah. Hal ini akan mempengaruhi jumlah pasien yang datang ke rumah sakit.

Rumah sakit dipilih sebagai unit analisis karena rumah sakit merupakan organisasi jasa di mana kontak antara penerima jasa dengan pemberi jasa paling tinggi intensitasnya jika dibandingkan dengan jenis

BAB 1 Pelayanan Bidang Kesehatan 7

organisasi penghasil jasa yang lain (Lovelock and Wright,2002:53).

Untuk mempertahankan pasien pihak rumah sakit dituntut selalu menjaga kepercayaan pasien dengan memperhatikan secara cermat kebutuhan pasien sebagai upaya untuk memenuhi keinginan dan harapan atas pelayanan yang diberikan. Pasien rumah sakit bukan saja mengharapkan pelayanan medik tetapi juga mengharapkan kenyamanan, akamodasi yang baik, dan hubungan yang harmonis antara staf rumah sakit dengan pasien. Dengan demikian perlu adanya peningkatan kualitas layanan kesehatan di rumah sakit.

Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan dapat dilakukan berbagai aspek seperti peningkatan fasilitas kesehatan, peningkatan kualitas profesionalisme sumber daya manusia dan peningkatan kualitas manajemen rumah sakit. Pelayanan yang berkualitas harus dijaga dengan melakukan pengukuran secara terus-menerus agar diketahui keburukan dan kebaikan dari jasa pelayanan yang diberikan dan dibuat tindak lanjut sesuai prioritas permasalahannya.

Peningkatan kualitas pelayanan terkait dengan sumber daya manusia yang ada dalam rumah sakit, berbagai macam profesi seperti dokter, perawat dan tenaga administrasi. Perbedaan profesi ini menyebabakan adanya perbedaan orientasi pada masing-masing profesi tersebut. Perbedaan orientasi ini harus di padukan sehingga masing - masing punya komitmen dalam melaksanakan tugas sesuai dengan peran dan fungsi sebagai tenaga medis dan paramedis. Pelayanan kesehatan akan berkualitas kalau inti layanan antara lain dokter dan perawat serta pelayanan penunjang termasuk sarana prasarana memberikan pelayanan yang terpadu ( Yuwono,2008 ).

3. Pengertian Rumah Sakit

Rumah sakit merupakan suatu sarana kesehatan yang berfungsi melaksanakan pelayanan kesehatan rujukan, fungsi medik spesialistik,

Kualitas Layanan Rumah Sakit8

dan subspesialistik yang mempunyai fungsi utama menyediakan dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat penyembuhan dan pemulihan pasien (Depkes RI, 1987).

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.

Rumah sakit juga merupakan tempat menyelenggarakan upaya kesehatan yaitu setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Upaya kesehatan dilakukan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu serta berkesinambungan (Siregar, 2004).

Adapun batasan mengenai Rumah Sakit, adalah sebagai berikut :

a) Rumah sakit adalah suatu organisasi yang melalui tenaga medis profesional, yang terorganisir serta sarana kedokteran yang permanen menyelenggarakan pelayanan kedokteran, asuhan keperawatan berkesinambungan, diagnosis, serta pengobatan penyakit yang diderita oleh pasien (American Hospital Association, 1974).

b) Rumah sakit adalah pusat dimana pelayanan kesehatan masyarakat, pendidikan, serta penelitian kedokteran diselenggarakan (Association Hospital Care, 1947).

c) Rumah sakit adalah tempat dimana orang sakit mencari dan menerima pelayanan kedokteran serta tempat dimana pendidikan klinik untuk mahasiswa kedokteran, perawat, dan berbagai tenaga profesi kesehatan lainnya diselenggarakan (Wolper and Pena, 1987)

BAB 1 Pelayanan Bidang Kesehatan 9

4. Fungsi Rumah Sakit

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomot 44 Tahun 2009, rumah sakit mempunyai fungsi :

a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit.

b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan paripurna.

c. Penyelenggaraan pendidikan dam pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.

d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

Fungsi rumah sakit menurut Wijono (1997) adalah :

a. Menyediakan dan menyelenggarakan

a) Pelayanan medik.

b) Pelayanan perawatan.

c) Pelayanan penunjang medik.

d) Pencegahan dan peningkatan kesehatan.

b. Sebagai tempat pendidikan dan latihan tenaga medis serta paramedis.

c. Sebagai tempat pelatihan, pengembangan ilmu, dan teknologi di bidang kesehatan.

Fungsi rumah sakit mengalami beberapa perkembangan dimana pada awalnya rumah sakit hanya berfungsi untuk menyembuhkan orang sakit, maka pada saat ini telah berkembang menjadi suatu pusat kesehatan, pendidikan, dan penelitian.

Kualitas Layanan Rumah Sakit10

SK Menkes Nomor 436/1993 mengemukakan tentang berlakunya standar pelayanan rumah sakit dan standar pelayanan medis. Dalam SK tersebut, pada awalnya rumah sakit dinilai dalam 5 bidang pelayanan (tingkat dasar), kemudian berkembang menjadi 12 pelayanan hingga yang terbaru terdiri atas 16 pelayanan. Lima jenis pelayanan dasar yang dinilai melalui sistem akreditasi tersebut adalah : 1. Administrasi dan manajemen, 2. Pelayanan medis, 3. Pelayanan gawat darurat, 4. Pelayanan keperawatan, dan 5. Rekam medis.

Pada tahap berikutnya menjadi 12 pelayanan dengan menambahkan 7 pelayanan yaitu : 1. Pelayanan farmasi, 2. Keselamatan kerja, Kebakaran, dan Kewaspadaan bencana (K3), 3. Pelayanan radiologi, 4. Pelayanan laboratorium, 5. Pelayan kamar operasi, 6. Pengendalian Infeksi, dan 7. Pelayanan perinatal resiko tinggi. Berikutnya menjadi 16 Pelayanan dengan 4 tambahan pelayanan lagi yaitu 1. Pelayanan Rehabilitasi medis, 2. Pelayanan Gizi, 3. Pelayanan Intensif, dan yang terakhir adalah 4. Pelayanan darah

5. Standar Pelayanan Rumah SakitSK Menkes Nomor 436/1993 mengemukakan tentang berlakunya

standar pelayanan rumah sakit dan standar pelayanan medis. Dalam SK tersebut, pada awalnya rumah sakit dinilai dalam 5 bidang pelayanan (tingkat dasar), kemudian berkembang menjadi 12 pelayanan, hingga yang terbaru terdiri atas 16 pelayanan. Lima jenis pelayanan dasar yang dinilai melalui system akreditasi tersebut adalah: 1. Administrasi dan Manajemen, 2. Pelayanan medis, 3. Pelayanan gawat darurat, 4. Pelayanan keperawatan, 5. Rekam medis. Pada tahap berikutnya menjadi 12 pelayanan dengan menambahkan 7 pelayanan yaitu : 1. Pelayanan farmasi, 2. Keselamatan kerja, kebakaran kewaspadaan bencana (K3). 3. Pelayanan radiologi, 4. Pelayanan laboratorium, 5. Pelayan kamar operasi, 6. Pengendalian Infeksi, dan 7 Pelayanan perinatal resiko tinggi. Sekarang menjadi 16 pelayanan

BAB 1 Pelayanan Bidang Kesehatan 11

dengan 4 tambahan pelayanan lagi yaitu 1. Pelayanan rehabilitasi medis, 2. Pelayanan gizi, 3. Pelayanan intensif dan yang terakhir adalah 4. Pelayanan darah.

Menurut Lovelock (1992) kualitas layanan (service quality) ada dua jenis, yaitu kualitas layanan inti (core service quality) dan kualitas layanan penunjang (peripheral service quality). Kualitas layanan inti (core service quality) merupakan pelayanan utama perusahaan untuk berada di pasar dan mewakili kemampuan dasar perusahaan dalam meningkatkan nilai. Kualitas layanan penunjang (peripheral service quality) adalah pelayanan yang mendukung dan memfasilitasi kualitas layanan inti.

Hellier (2008) dalam penelitiannya menjelaskan, bahwa ada hubungan nilai yang dirasakan (perceived value) dengan kepuasan pasien (customer satisfaction). Nilai yang dirasakan merupakan bentuk evaluasi pasien. nilai yang di rasakan pasien adalah penilaian keseluruhan dari kegunaan (utility) dari produk yang didasarkan pada persepsi dari apa yang diterima dan apa yang diberikan (Sawyer and Dickson`s, 1984). Nilai yang dirasakan (perceived value) mempengaruhi kepuasan pasien (customer satisfaction). Kotler (Tjiptono, 2000 : 146) menandaskan bahwa kepuasan konsumen adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja atau hasil yang ia rasakan dibandingkan dengan harapannya. Apabila biaya yang dikeluarkan oleh pasien sesuai dengan harapan atau melebihi harapan maka pasien merasa puas dan demikian pula sebaliknya. Artinya semakin tinggi nilai yang dirasakan atas dasar layanan dokter, perawat, serta peralatan medis yang memadai, maka semakin tinggi kepuasan pasien.

Kastenhols (2010) hasil penelitiannya mengindikasikan adanya hubungan patient satisfaction terhadap loyalty pasien. Dengan menggunakan pengukuran pengalaman, harapan, dan puas secara keseluruhan, semakin tinggi patient satisfaction atas layanan dokter, perawat, peralatan medis semakin tinggi loyalty pasien terhadap rumah sakit. Artinya kepuasan

Kualitas Layanan Rumah Sakit12

terjadi karena adanya suatu pemenuhan terhadap apa yang dibutuhkan dan diharapkan pasien rumah sakit swasta di Surabaya. Hasil penelitian sama dilakukan Selnes ( 1993 ), bahwa kepuasan konsumen berpengaruh positif terhadap loyalitas konsumen. Penelitiannya 1062 perusahaan yang terdiri dari perusahaan telepon, asuransi, universitas, supplier ikan salmon.

Sesuatu hal yang diprioritaskan oleh rumah sakit adalah harus mampu bersaing dan mempertahankan pasiennya. Salah satu kunci menuju keberhasilan tersebut memberikan kualitas pelayanan jasa yang prima. Lasser et al.(2000) mengatakan bahwa kualitas jasa yang di persepsikan baik oleh pelanggan akan menyebabkan kepuasan pelanggan, sehingga kepuasan akan timbul bila pasien memiliki persepsi yang baik atas kualitas jasa rumah sakit. Kotler (2012 : 61) mendefinisikan kepuasan sebagai perasaan senang atau kecewa seorang pasien yang muncul setelah membandingkan antara persepsi terhadap kinerja (atau hasil) suatu produk atau jasa dengan harapan-harapannya.

Andreassen (1994) dalam hasil penelitiannya mengindikasikan hasil yang berbeda yaitu tidak ada hubungan antara kepuasan konsumen terhadap loyalitas konsumen. Strauss and Neuhaus (1997) hasil penelitiannya menemukan bahwa sejumlah konsumen yang menyatakan kepuasan, masih juga berpindah merk. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Ruyten et al. (1998) peningkatan kepuasan tidak selalu menghasilkan peningkatan loyalitas dalam derajat yang sama. Berdasarkan perbedaan hasil penelitian tersebut perlu dikaji lebih dalam hubungan kepuasan pasien terhadap loyalitas.

Pasien sebagai pelanggan di rumah sakit berhak memperoleh jasa pelayanan kesehatan yang berstandar dan berkualitas (Gaspers, 1997 : 73 – 75). Sejalan dengan meningkatnya pendidikan dan kesadaran pasien akan hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan, penyelenggara jasa pelayanan kesehatan hendaknya mengutamakan kepuasan pasien (Sukirno, 2002 : 151 – 153).

BAB 1 Pelayanan Bidang Kesehatan 13

Menurut Parasuraman et al. (1998) kualitas jasa dibangun atas adanya perbandingan dua faktor utama yaitu persepsi pelanggan atas jasa yang secara nyata mereka terima (perceived service) dengan jasa yang sesungguhnya diharapkan atau diinginkan (expected service), apabila jasa yang diterima atau dirasakan sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas jasa yang dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika jasa yang diterima melampaui harapan pasien, maka kualitas jasa dipersepsikan sebagai kualitas jasa yang ideal. Sebaliknya jika jasa yang diterima lebih rendah dari yang diharapkan, maka kualitas jasa yang dipersepsikan buruk.

Menurut Hume et al. (2010) agar pelayanan yang diberikan berkualitas, perlu mempertahankan dan menerapkan kualitas layanan inti dan kualitas layanan penunjang, pelayanan inti itu antara lain dari pelayanan dokter, perawat dan alat medis, sedangkan pelayanan penunjang antara lain kamar pasien dan menu makan. Semakin tinggi kualitas layanan yang di berikan oleh dokter, perawat dan alat medis serta pelayan penunjang kepada pasien semakin tinggi loyalitas pasien dan sebaliknya. Karena loyalitas pasien terhadap rumah sakit hanya dapat di capai dengan meningkatkan kualitas layanan dengan baik.

Menurut Bendapudi and Berry (1997) penyebab utama adanya niat untuk kembali seorang pasien itu adalah kepuasan. Beerli et al. (2004) menyatakan bahwa kepuasan berpengaruh positif terhadap loyalitas pelanggan. Seorang konsumen yang merasa puas terhadap jasa yang diterimanya akan membentuk loyalitas terhadap jasa tersebut. Semakin tinggi kepuasan yang dirasakan, semakin tinggi pula tingkat loyalitas pelanggan tersebut. Sebaliknya pelanggan yang tidak puas juga memiliki tingkat loyalitas rendah, tetapi kepuasan tidak selalu menjadi satu-satunya strategi dalam menciptakan repurchase intentions.

Jones et al. (2000) menyatakan, switching cost merupakan faktor penting yang mempengaruhi niat kembali (repurchase Intentions) oleh pelanggan. Ping (1993) mendefinisikan switching cost sebagai persepsi

Kualitas Layanan Rumah Sakit14

konsumen tentang biaya-biaya yang harus dikorbankan dalam beralih dari satu penyedia jasa ke penyedia jasa lainnya. Kim et al. (2003) berpendapat bahwa switching cost tidak hanya meliputi biaya-biaya dalam konteks keuangan, tetapi juga dapat berupa waktu dan usaha serta beban psikologis. Jones et al. (2000) mengungkapkan bahwa switching cost sebagai faktor penting yang mempengaruhi keputusan pelanggan untuk tetap pada penyedia jasa. Switching cost diharapkan mempersulit atau menimbulkan pengorbanan yang besar jika hendak beralih ke penyedia jasa lain

Pengertian switching cost menurut Burnham et al.(2003) adalah “the ontime cost that customer associate with the process of switching from one provider to another”. Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa switching cost merupakan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh pelanggan yang diasosiasikan dalam proses perpindahan konsumen ke penyedia jasa yang lain. Switching cost dapat menghasilkan hubungan yang baik antara penyedia jasa dan pasien. Dengan mengatur switching cost ini penyedia jasa dapat mempertahankan pasien dan memberikan keuntungan bagi penyedia jasa, sehingga dapat di katakan customer switching cost dapat menjadi suatu kekuatan pasar dapat memberikan keuntungan bagi penyedia jasa untuk bersaing dengan penyedia jasa lainnya ( Joshua and Stephen, 2001).

Beberapa pendapat mengatakan bahwa konsumen atau pasien yang puas dan bahkan sangat puas mereka masih ada kemungkinan berpindah. Konsumen atau pasien mengganti jasa karena harga, dan pesaing menawarkan peluang baru atau lebih sederhana karena ingin variasi (Griffin,1995). Switching cost sebagai salah satu faktor yang menentukan daya saing perusahaan dalam lingkungan pemasaran, oleh karena itu rumah sakit harus mampu menciptakan keunggulan bersaing di bandingkan kompetitor dengan memperhatikan Switching Cost, sehingga konsumen atau pasien tidak akan berpindah ke provider lain. Karena semakin tinggi kepuasan semakin rendah switching cost, dan sebaliknya semakin rendah kepuasan yang di dapat oleh pasien semakin tinggi switching cost.

BAB 1 Pelayanan Bidang Kesehatan 15

Oliver (1997) mendefinisikan loyalitas konsumen merupakan kedalaman komitmen yang dipegang untuk melakukan pembelian kembali atau berlangganan terhadap produk jasa di masa mendatang. Customer loyalty merupakan bentuk dari pembelian berulang (repetitive purchase). Konsumen loyal akan melakukan perilaku pembelian berulang pada suatu produk yang sama, walaupun banyak produk menawarkan diskon dan promosi gencar. Kesediaan pasien atau pelanggan untuk secara konsisten mengkonsumsi jasa pada penyedia jasa atau perusahaan yang sama serta menjadikannya sebagai pilihan pertama dari berbagai alternatif yang ada dan memenuhinya dengan perilaku serta memberikan sikap dan kesadaran yang baik dengan mengabaikan situasi yang mempengaruhinya untuk berpindah ke perusahaan atau penyedia jasa yang lain (Caruna, 1999, Gremler and Brown, 1996 dalam Lu Ting Pong and Tang Pui yee, 2001).

Sesuai dengan teori post-purchase Cognitive Dissonance Theory (Aydin and Ozer, 2005) menyatakan bahwa pelanggan yang mengumpulkan informasi untuk mengurangi kegelisahan mengenai kesalahan dalam keputusan pembelian, akan menyusun kembali pengalaman pembelian masa lalu. Dalam proses ini jika konsumen berpindah, perbandingan akan dibuat antara merek yang akan digunakan dan merek lama. Untuk menurunkan cognitif dissonance, pelanggan cenderung lebih suka menggunakan merek yang telah digunakan dan telah puas sebelumnya.

Analisa Opportunity Cost, menyarankan bahwa kepuasan konsumen memiliki pengaruh positif pada biaya perpindahan. semakin tinggi kepuasan konsumen semakin memperbesar Opportunity cost, karena konsumen akan merasa enggan untuk mencoba ke penyedia jasa lain.

Rumah sakit berupaya memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat disekitarnya. Pelayanan yang diberikan oleh masing-masing rumah sakit swasta yang ada di Surabaya tersebut relatif sama, sehingga persaingan antar rumah sakit tinggi, tingginya persaingan antar rumah sakit akan menentukan rumah sakit untuk meningkatkan kualitas layanan.

Kualitas Layanan Rumah Sakit16

Pasien yang merasa puas atas suatu layanan rumah sakit tidak berarti pasien tidak berpindah ke layanan rumah sakit lain. Perpindahan dari layanan rumah sakit yang satu ke rumah sakit yang lain menimbulkan biaya peralihan (switching cost).

6. Tugas Rumah SakitMenurut Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun

2009 tentang rumah sakit, rumah sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. Pelayanan kesehatan paripurna adalah pelayanan kesehatan yang meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

Tugas rumah sakit adalah melaksanakan pelayanan kesehatan dengan mengutamakan kegiatan penyembuhan pasien dan pemulihan keadaan cacat badan dan jiwa yang dilaksanakan secara terpadu dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan upaya rujukan (Wijono, 1997).

Sebuah rumah sakit baik pemerintah maupun swasta mempunyai kewajiban untuk melayani pasien sesuai dengan kemampuan rumah sakit sebagaimana ketetapan Departemen Kesehatan bahwa semua rumah sakit pemerintah dan swasta harus mampu dan bersedia melayani pasien seluruh jenis golongan penyakit sesuai fungsi rumah sakit bersangkutan.

7. Jenis Rumah SakitMenurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun

2009, Pasal 18 Tentang rumah sakit, rumah sakit dapat dibagi berdasarkan jenis pelayanan dan pengelolaannya :

a. Berdasarkan Jenis Pelayanana) Rumah sakit umum

Memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit.

BAB 1 Pelayanan Bidang Kesehatan 17

b) Rumah sakit khususMemberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya.

b. Berdasarkan Pengelolaana) Rumah sakit publik

Dapat dikelola oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan badan hukum yang bersifat nirlaba. Rumah sakit publik yang dikelola pemerintah dan pemerintah daerah diselenggarakan berdasarkan pengelolaan Badan Layanan Umum atau Badan Layanan Umum Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

b) Rumah Sakit PrivatDikelola oleh badan dengan tujuan profit yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) atau Persero.

Sesuai dengan perkembangan yang dialami rumah sakit pada saat ini, maka rumah sakit dapat dibedakan dalam beberapa jenis, Azrul (1996 : 85) menjadi :

a. Menurut pemilikJika ditinjau dari pemiliknya, rumah sakit dibedakan atas dua macam yakni rumah sakit pemerintah (government hospital) dan rumah sakit swasta (private hospital).

b. Menurut filosofi yang dianutJika ditinjau dari filosofi yang dianut, rumah sakit dapat dibedakan atas dua macam yakni rumah sakit yang tidak mencari keuntungan (non - profit hospital) dan rumah sakit yang mencari keuntungan (profit hospital).

c. Menurut jenis pelayanan yang diselenggarakanJika ditinjau dari jenis pelayanan yang diselenggarakan, rumah sakit dapat dibedakan atas dua macam yakni rumah sakit umum (general

Kualitas Layanan Rumah Sakit18

hospital) jika semua jenis pelayanan kesehatan diselenggarakan, serta rumah sakit khusus (speciality hospital) jika hanya satu jenis pelayanan kesehatan saja yang diselenggarakan.

d. Menurut lokasi rumah sakitJika ditinjau dari lokasinya, rumah sakit dapat dibedakan atas beberapa macam yang kesemuanya tergantung dari pembagian sistem pemerintahan yang dianut. Misalnya rumah sakit pusat jika lokasinya di ibukota negara, rumah sakit propinsi jika lokasinya di ibukota propinsi dan rumah sakit kabupaten jika lokasinya di ibukota kabupaten.

8. Klasifikasi Rumah Sakit

Sebagaimana ketentuan yang berlaku, rumah sakit di Indonesia dapat dibedakan menjadi beberapa macam. Dilihat dari kepemilikannya, maka rumah sakit dapat dibedakan menjadi dua macam yakni rumah sakit pemerintah (government hospital) dan rumah sakit swasta (private hospital). Peran pemerintah dalam hal ini adalah merumuskan kebijakan pokok bidang kesehatan yang harus dipakai sebagai landasan dalam melaksanakan setiap upaya kesehatan terhadap masyarakat.

Apabila ditinjau dari klasifikasi rumah sakit menurut Undang - Undang No. 44 tahun 2009 Ayat 2, rumah sakit di Indonesia dibedakan menjadi 4 (empat) macam yakni :

a. Rumah sakit kelas A atau rumah sakit umum adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar, 5 (lima) spesialis penunjang medik, 12 (duabelas) spesialis lain, dan 13 (tigabelas) subspesialis.

b. Rumah sakit kelas B atau rumah sakit umum adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar, 4 (empat) spesialis penunjang medik, 8 (delapan) spesialis lain, dan 2 (dua) subspesialis dasar.

BAB 1 Pelayanan Bidang Kesehatan 19

c. Rumah sakit kelas C atau rumah sakit umum adalah rumah sakit yang mempunyai fasilitas dan kemampuan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar, dan 4 (empat) spesialis penunjang medik.

d. Rumah sakit kelas D atau rumah sakit umum adalah rumah sakit yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) spesialis dasar.

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang rumah sakit, dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan secara berjenjang dan fungsi rujukan, rumah sakit umum di klasifikasikan berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan rumah sakit:

a. Rumah sakit umum kelas A, adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialis dan subspesialis yang luas. Pemerintah menetapkan bahwa rumah sakit kelas A sebagai tempat pelayanan rumah sakit rujukan tertinggi (Top Refferal Hospital) atau disebut sebagai rumah sakit pusat.

b. Rumah sakit umum kelas B, adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialis luas dan subspesialis terbatas. Rumah sakit propinsi menampung rujukan dari rumah sakit kabupaten.

c. Rumah sakit umum kelas C, adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialis dasar dan spesialis penunjang medik.

d. Rumah sakit umum kelas D, adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik dan spesialis dasar (Depkes RI, 2009 ; siregar, 2004).

Kualitas Layanan Rumah Sakit20

Bab 2

Pelayanan &

PEMASARANJASA

Kualitas Layanan Rumah Sakit22

1. Pelayanan

Menurut Levey and Loomba (1973), yang dimaksud dengan layanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan seseorang, keluarga, kelompok dan masyarakat.

Menurut Thabrany (2000), layanan kesehatan merupakan suatu produk jasa yang unik jika dibandingkan dengan produk jasa lain. Hal ini disebabkan karena layanan kesehatan memiliki tiga ciri utama, yaitu :

a) UncertaintyArtinya layanan kesehatan bersifat tidak bisa dipastikan baik

waktunya, tempatnya, besarnya biaya yang dibutuhkan maupun tingkat urgensi dari layanan tersebut.

b) Asymmetry of informationAdalah suatu keadaan tidak seimbang antara pengetahuan pemberi

layanan kesehatan (dokter, perawat, bidan, dsb) dengan pengguna atau pembeli jasa layanan kesehatan. Ketidakseimbangan informasi ini meliputi informasi tentang butuh tidaknya seseorang akan suatu layanan, tentang kualitas suatu layanan, tentang harga, dan manfaat dari suatu layanan. Karena pembeli jasa layanan atau pasien kurang informasi (customer ignorance), maka pasienpun menyerahkan sepenuhnya kepada dokter yang bertindak terhadap dirinya. Dampak dari hal ini adalah apabila dokter tersebut hanya berorientasi terhadap uang dibandingkan dengan tugas mulianya, maka bisa jadi dokter tersebut memberikan layanan yang sebetulnya tidak perlu diberikan (supply induce demand or moral hazard) atau bisa jadi memberikan layanan dengan kualitas rendah.

c) ExternalityMenunjukkan bahwa pengguna jasa dan bukan pengguna jasa layanan

kesehatan dapat bersama-sama menikmati hasilnya. Demikian juga resiko

BAB 2 Pelayanan & Pemasaran Jasa 23

kebutuhan layanan kesehatan tidak saja menimpa diri pembeli tetapi juga pihak lain juga terkapar oleh resiko yang menimbulkan penyakit. Contoh klasik adalah konsumsi rokok yang mempunyai resiko lebih besar justru bukan perokok. Mereka yang tidak membeli rokok dan tidak mengisap rokok dapat terkena resiko sakit akibat asap rokok. Karena cirri khas inilah, layanan kesehatan membutuhkan subsidi dari public atau pemerintah dalam berbagai bentuk.

Menurut Andersen (1995) dalam Pohan (2003) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pencarian layanan kesehatan dapat digolongkan ke dalam tiga bagian, yaitu :

a) Faktor predisposisi (predispossing factor)Komponen predisposisi menggambarkan karakteristik pasien yang mempunyai kecenderungan untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan terdiri dari:1) Demografi (umur, jenis kelamin, status sosial ekonomi)2) Struktur sosial (suku, ras, kebudayaan, pekerjaan, pendidikan)3) Kepercayaan (kepercayaan terhadap penyakit, dokter, petugas

kesehatan)

b) Faktor pemungkin (enabling factor)Faktor pemungkin terdiri dari:

a. Kualitas pelayanan kesehatanHasil penelitian Bank Dunia di Indonesia pada tahun 1988 menunjukkan salah satu penyebab rendahnya pemanfaatan rumah sakit oleh masyarakat adalah kualitas layanan yang rendah.

b. Jarak pelayananSalah satu pertimbangan pasien dalam menentukan sikap untuk mendapatkan layanan kesehatan adalah jarak yang ditempuh dari tempat tinggal pasien sampai ke tempat sumber perawatan.

Kualitas Layanan Rumah Sakit24

c. Status sosial ekonomiStatus ekonomi mempengaruhi seseorang dalam membayar layanan kesehatan. Setiap orang dari segala lapisan sosial berhak menerima kesehatan. Tetapi kenyataannya menunjukkan bahwa lebih sering diprioritaskan orang dengan status ekonomi yang lebih tinggi. Status ekonomi merupakan salah satu faktor terhadap pelayanan kesehatan.

c) Kebutuhan Layanan (need)Keadaan status kesehatan seseorang menimbulkan suatu kebutuhan yang dirasakan dan membuat seseorang mengambil keputusan untuk mencari pertolongan kesehatan. Selain dipengaruhi faktor di atas ada beberapa faktor lagi yang mempengaruhi pemanfaatan layanan kesehatan, yaitu:

a. Tarif atau biayaTarif atau biaya kesehatan sangat penting untuk menentukan dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan. Adanya peningkatan harga pelayanan kesehatan akan menyebabkan penurunan permintaan.

b. FasilitasFasilitas yang baik akan mempengaruhi sikap dan perilaku pasien, pembentukan fasilitas yang benar akan menciptakan perasaan sehat, aman, dan nyaman. Setiap fasilitas layanan kesehatan dan pelayanan sosial mempunyai pandangan yang mungkin menambahi atau mengurangi kepuasan pasien dan penampilan kerja (Kotler, 1997).

c. Pelayanan personilPelayanan personil memegang peranan dalam menjaga mutu pelayanan sehingga pemakai jasa pelayanan kesehatan menjadi puas. Personil itu terdiri dari dokter maupun perawat, tenaga para medis serta penunjang non medis. Pelayanan personil dapat berupa pelayanan secara profesional dan keramahan sehingga meningkatkan citra dari rumah sakit tersebut.

BAB 2 Pelayanan & Pemasaran Jasa 25

d. LokasiLokasi layanan kesehatan yang berada di lingkungan sosial ekonomi rendah biasanya yang berkunjung, juga pelanggan dari masyarakat miskin, karena orang berpenghasilan tinggi akan datang ke lingkungan miskin untuk perawatan medis (Kotler, 1984; Harmesta and Suprihantom, 1995). Lokasi adalah yang paling diperhatikan bagi pencari pelayanan kesehatan karena jarak yang dekat akan mempengaruhi bagi pencari pelayanan kesehatan untuk berkunjung. Suatu studi mengatakan bahwa alasan yang penting untuk memilih rumah sakit adalah yang dekat dengan lokasi.

e. Kecepatan dan Kemudahan LayananPada dasarnya manusia ingin kemudahan, begitu juga dengan mencari pelayanan kesehatan, mereka suka pelayanan yang cepat mulai dari pendaftaran sampai pada waktu pulang.

f. InformasiDengan adanya iklan dan promosi sangat efektif karena dapat langsung didengar dan dilihat baik itu mengenai fasilitas, harga yang akan mempengaruhi pilihan pelanggan. Informasi dapat berupa pengalaman pribadi, teman-teman, surat kabar.

Keputusan untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan merupakan kombinasi dari kebutuhan normatif dengan kebutuhan yang dirasakan, karena untuk konsumsi pelayanan kesehatan. Pelanggan sering tergantung kepada informasi yang disediakan oleh institusi pelayanan kesehatan ditambah dengan profesinya. Faktor-faktor lain yang berpengaruh antara lain pendapatan, harga, lokasi, dan mutu layanan (Mills, 1990).

Menurut Groner and Sorhin (1977) dalam Pohan (2003), ada lima faktor utama yang mempengaruhi demand terhadap layanan kesehatan, yaitu :

Kualitas Layanan Rumah Sakit26

a. Persepsi sakit.

b. Realisasi kebutuhan (harapan, kepercayaan, pengalaman sebelumnya, adat istiadat).

c. Kemampuan membayar.

d. Motivasi untuk memperoleh pelayanan kesehatan

e. Lingkungan (tersedianya fasilitas pelayanan kesehatan)

Menurut Muninjaya (2004) faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah sosial budaya organisasi, faktor pelanggan, proses pelayanan kesehatan.

Menurut Handoko (1999) dalam Lupiyoadi (2001), bahwa pengambilan keputusan merupakan bagian dari proses berpikir ketika seseorang mempertimbangkan, memahami, mengingat, dan menalar tentang segala sesuatu. Sesuatu diputuskan akan dilakukan setelah menilai suatu keadaan, kenyataan, atau peristiwa yang sedang dihadapi.

2. Pemasaran

Marketing is activity, set of institutions, and process for creating communication, delivering, and exchanging offerings that have value for costumers, clients, partners, and society at large.

Pemasaran adalah sebuah aktivitas dan proses kelengkapan perusahaan, untuk menciptakan komunikasi, pengiriman, dan perubahan proses penawaran yang mempunyai nilai untuk pelanggan, klien, partner, dan untuk masyarakat luas (Kotler, 2012 : 27).

Pendapat yang di ungkapkan oleh Assael (1992:3),” Marketing can be defined as activities directed to identifying and satisfying customer needs and wants.” Sebelum menerapkan konsep pemasaran, organisasi harus memahami pasien mereka dan tetap dekat dengan mereka untuk menyajikan produk serta layanan yang akan dibeli dan digunakan oleh

BAB 2 Pelayanan & Pemasaran Jasa 27

pasien (Peter and Olson, 2003:3).

Sebagaimana telah dijelaskan definisi pemasaran di atas dapat di simpulkan bahwa kegiatan pemasaran mencakup: 1) Meneliti dan mengetahui apa yang diinginkan pelanggan, 2) Merencanakan dan mengembangkan produk atau jasa yang dapat memenuhi dan memuaskan keinginan pelanggan, 3) Memutuskan cara yang terbaik dalam penentuan harga,mengkomunikasikan janji perusahaan dan mendistribusikan produk atau jasa.

Di era perkembanagan sumber daya manusia ketelitian dalam penilaian produk dan layanan maka pada saat ini proses pemasaran tidak hanya sebagai tanggung jawab dan peranan dari departemen pemasaran saja tetapi juga tanggung jawab seluruh fungsional dari perusahaan, khususnya di rumah sakit.

Stanton (1991;5-6) mendefinisikan tentang pemasaran sebagai : ”Marketing is a total system of business activities designed to plan, price, promote, and distribute want satisfying goods and services to present and potensial customers.”

Artinya bahwa pemasaran adalah suatu sistem keseluruhan dari kegiatan usaha yang di rancang untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan, serta mendistribusikan barang dan jasa, yang dapat memuaskan kebutuhan dan keinginan pelanggan, baik kepada pelanggan saat ini maupun pelanggan potensial.

Berdasarkan definisi di atas dapat di simpulkan bahwa pemasaran merupakan usaha yang terpadu untuk mengembangkan rencana strategi yang di arahkan pada usaha pemuasan kebutuhan dan keinginan pelanggan, guna memperoleh hasil penjualan yaitu menghasilkan laba.

Kualitas Layanan Rumah Sakit28

3. Jasa

Jasa adalah suatu tindakan atau pelayanan yang ditawarkan oleh suatu kelompok tertentu kepada yang lainnya. Meskipun dalam prosesnya mungkin berhubungan dengan produk fisik, tetapi tindakan atau pelayanannya bersifat tidak nyata (intangible) dan tidak dapat dimasukkan atau dikategorikan dalam faktor produksi (Lovelock and Wright, 2002 : 6). Menurut Payne (2003), jasa merupakan suatu kegiatan yang memiliki beberapa unsur tidak berwujud (intangibility) yang berhubungan dengan keterlibatan beberapa interaksi dengan pasien atau dengan properti dalam kepemilikannya dan tidak menghasilkan transfer kepemilikan.

Jasa menurut Kotler (2012 : 378) yaitu, “Service is any act or performance one party can offer to another that is essentially intangible and does not result in the ownership of anything. Its production may or may not be tied to a physical product.’’ Berdasarkan definisi yang telah dijelaskan sebelumnya maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa jasa pada dasarnya adalah sebuah sikap atau tindakan yang ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak lain, yang tidak dapat dilihat dan tidak menghasilkan hak milik terhadap sesuatu. Produksinya dapat berkenaan dengan sebuah produk fisik atau tidak. Tetapi perlu diperhatikan bahwa penjualan jasa tidak mengakibatkan hak milik, dan jasa yang dihasilkan perusahaan sifatnya membantu agar pembeli memperoleh kemudahan dalam mencapai kepuasan yang diinginkan.

Jasa sering dipandang sebagai suatu fenomena yang rumit. Kata jasa itu sendiri mempunyai banyak arti, dari mulai pelayanan personal sampai jasa sebagai suatu produk. Sejauh ini sudah banyak pakar pemasaran jasa yang telah berusaha mendefinisikan pengertian jasa.

Jadi pada dasarnya jasa merupakan semua aktivitas ekonomi yang hasilnya tidak merupakan produk dalam bentuk fisik atau kontruksi, yang biasanya dikonsumsi pada saat yang sama dengan waktu yang dihasilkan

BAB 2 Pelayanan & Pemasaran Jasa 29

dan memberikan nilai tambah (seperti misalnya kenyamanan, hiburan, kesenangan, atau kesehatan) atau pemecahan atas masalah yang dihadapi pelanggan.

Zeithaml and Bitner (2003 : 3) mengemukakan definisi jasa sebagai berikut : Include all economic activities whose output is not a physical product or construction, is generally consumed at the it is produced, and provided added value in forms (Such as convenience, amusement, timeliness, comfort, or health) that are essentially intangible concern of its firts puchaser. ( Jasa pada dasarnya adalah seluruh aktivitas ekonomi dengan output selain produk dalam pengertian fisik, di konsumsi dan diproduksi pada saat bersamaan, memberikan nilai tambah, dan secara prinsip tidak berwujud bagi pembeli pertamanya).

4. Karakteristik Jasa

Kotler and Amstrong (2006 : 243) menilai bahwa jasa memiliki empat karateristik utama yang mempengaruhi dalam mendesain atau merancang suatu program pemasaran, yaitu :

a) Tidak BerwujudDisini berarti jasa tidak dapat dilihat, dirasakan, diraba, didengar,

ataupun dicium sebelum mereka membeli jasa tersebut. Contohnya seperti penumpang pesawat terbang yang memiliki sebuah tiket dan hanya dijanjikan bahwa dia dan barang bawaannya akan sampai dengan selamat ke tempat tujuannya. Untuk mengurangi tingkat ketidakpastian, biasanya para pasien mencari sebuah “signal” dari kualitas jasa yang akan dipilihnya. Pasien biasanya membuat suatu kesimpulan mengenai kualitas jasa berdasarkan tempat, orangnya, harga, perlengkapan, dan komunikasi yang dimana dapat mereka lihat.

Kualitas Layanan Rumah Sakit30

b) Tidak TerpisahkanDisini jasa memiliki karakteristik tidak dapat dipisahkan dari

penyedia jasa tersebut, baik penyedia jasa tersebut adalah orang ataupun sebuah mesin. Jika suatu pekerja menyediakan jasa, maka pekerja tersebut adalah bagian dari jasa tersebut. Karena seorang pasien tersebut pasti hadir saat berlangsungnya kegiatan jasa tersebut terjadi, maka provider - customer interaction adalah suatu tambahan atau kelebihan yang terdapat dalam pemasaran jasa. Baik penyedia jasa maupun pasien mempengaruhi hasil dari sebuah jasa.

c) BervariasiMemiliki pengertian bahwa kualitas dari suatu jasa tergantung

dari siapa yang menyediakan jasa tersebut baik itu kapan, dimana, dan bagaimana dia menyediakan jasa tersebut.

d) Mudah LenyapDisini berarti jasa tidak dapat disimpan untuk dijual kembali

ataupun digunakan lagi pada waktu tertentu. Lenyapnya suatu jasa bukan dianggap suatu masalah apabila permintaan dari jasa tersebut bersifat stabil. Sebaliknya pada saat permintaan mengalami fluktuatif, maka jasa yang ditawarkanpun akan mengalami kendala. Sehingga dengan adanya masalah tersebut, maka penyedia jasa sering menentukan suatu strategi dalam menyediakan jasanya secara seimbang terutama antara permintaan dan persediaan jasa.

Perbedaan lainnya antara jasa dan produk adalah penggunaan pendekatan strategi pemasaran jasa. Selain menggunakan bauran pemasaran yang tradisional yaitu 4P yang biasa digunakan dalam melakukan pemasaran produk, dalam pemasaran jasa setidaknya terdapat 4P baru lagi. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Lovelock and Wright (2002 : 13) yaitu, “To capture the nature of this challenge, we will using the 8Ps of integrated service management, which describe eight decision variables facing managers

BAB 2 Pelayanan & Pemasaran Jasa 31

of service organization”. 4P tambahan tersebut proses (process), produktivitas dan kualitas (productivity and quality), dan bukti fisik (physical evidence).

Menurut Berry and Parasuraman (1991 : 16), penentu kualitas jasa dapat dilihat dari lima hal yaitu : 1) berwujud (Tangible) penampilan fasilitas fisik, peralatan personil dan materi komunikasi, 2) keandalan (Reability) kemampuan untuk melaksanakan jasa yang dijanjikan dengan akurat dan terpercaya, 3) daya tanggap (Responsivness) kemampuan untuk membantu pelanggan dan memberikan jasa dengan cepat, 4) kepastian (Assurance) pengetahuan dan kesopanan karyawan serta kemampuan karyawan untuk menimbulkan kepercayaan dan keyakinan pada pelanggan, dan 5) Empathy adalah kesediaan untuk peduli, memberi perhatian pada pelanggan.

5. Pemasaran Relational (Relationship Marketing)

Di masa sekarang ini, banyak sekali perusahaan yang berfokus pada pengembangan customer relationship, hal ini diindikasikan dengan adanya banyaknya biaya investasi yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk customer relationship management (Verhoef : 2002). Tujuan perusahaan dengan melakukan customer relationship adalah untuk mempengaruhi persepsi pasien yang dimiliki perusahaan terhadap hubungan atau relationship antara pasien yang dengan menyediakan layanan pasien yang prima, dengan harapan pada akhirnya akan tercipta kepuasan pasien dan komitmen (Garbarino and Johnson, 1999).

Menurut Zeithaml and Bitner (2006 : 138), relationship marketing atau relationship management adalah sebagai suatu filosofi dalam menjalankan bisnis, orientasi strategis, yang memfokus pada mempertahankan dan mengembangkan pelanggan yang ada, lebih daripada menarik pelanggan baru. Menurut Gronroos (1994), relationship marketing adalah sebuah proses yang melibatkan beberapa pihak atau pelaku, yang berusaha mempertemukan tujuan yang ingin mereka capai. Kotler (2006 : 17),

Kualitas Layanan Rumah Sakit32

mendefinisikan relatinship marketing sebagai praktik membangun jangka panjang yang memuaskan dengan pihak-pihak kunci meliputi pelanggan, pemasok, dan penyalur guna mempertahankan preferensi dan bisnis dalam jangka panjang.

Tujuan relationship marketing adalah untuk membangun dan mempertahankan sebuah basis pelanggan yang berkomitmen dan menghasilkan laba bagi organisasi. Pencapaian tujuan tersebut, perusahaan sebaiknya berfokus pada usaha menarik, memuaskan, dan mempertahankan pelanggan serta meningkatkan hubungan dengan pelanggan (Zeithaml and Bitner, 2003 : 138).

Gordon (1998 : 9) menyatakan relationship marketing dapat didefinisikan sebagai proses yang berkelanjutan,mengidentifikasi dan menciptakan nilai baru dengan pasien dan kemudian berbagai manfaat untuk memperpanjang umur hubungan dengan pelanggan. Relationship marketing berupaya memperpanjang umur waktu hidup pelanggan sebagai individu yang bertransaksi.

Komponen relationship marketing menurut Gordon (1998 : 22) sebagai berikut:

1. Manusia (People)Disini orang-orang yang terlibat langsung dalam menjalankan segala aktivitas usaha dan merupakan faktor yang memegang peranan penting. Komponen ini dapat diukur melalui indikator : performance, attitude, professionalism, ability, skill, teamwork, crossselling, dan relationship orientation.

2. Pengetahuan (Knowledge)Disini pengetahuan perusahaan termasuk pengetahuan karyawan tentang produk, jasa, dan teknologi yang disediakan oleh perusahaan serta kemampuan karyawan dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggannya. Komponen ini dapat diukur melalui indikator : product,

BAB 2 Pelayanan & Pemasaran Jasa 33

service and technology, environmental including customer, customer needs and wants, dan competitor.

3. Proses (Process)Yakni upaya perusahaan dalam melaksanakan aktivitas usahanya untuk memuaskan pelanggan dengan memberikan proses yang benar-benar tepat waktu. Komponen ini dapat diukur oleh indikator : procedures, customer service activity process, customer involvement, dan on-line system.

4. Teknologi (Technology)Yakni alat bantu serta faktor pemberdaya dari manusia dan proses. Teknologi sangat mendukung untuk memudahkan akses bagi pelanggan. Komponen ini dapat diukur dengan indikator : customer information files, tool of technology, dan ability of technology fullfil requirement of customer.

6. Pemasaran Jasa

Zeithaml and Bitner (2003 : 319) menyatakan bahwa pemasaran jasa adalah mengenai janji-janji, janji yang dibuat kepada pelanggan dan harus dijaga. Untuk lebih bisa menerapkan strategi pemasaran jasa, perusahaan dituntut untuk menyusun kerangka kerja strategik yang dikenal dengan istilah service triangle, dimana kerangka ini memberi penekanan atas pemahaman terhadap arti pentingnya orang dalam perusahaan menjaga janji mereka dan sukses dalam membangun customer relationship.

Segitiga menggambarkan tiga kelompok yang saling berhubungan yang bekerja bersama untuk mengembangkan, mempromosikan, dan menyampaikan jasa. Ketiga pemain utama ini diberi nama pada poin segitiga: perusahaan (SBU atau departemen atau manajemen), pelanggan dan provider (pemberi jasa). Provider dapat pegawai perusahaan, subkontraktor, atau luar yang menyampaikan jasa perusahaan. Antara ketiga ini, tiga tipe pemasaran harus dijalankan agar jasa dapat disampaikan dengan sukses :

Kualitas Layanan Rumah Sakit34

pemasaran eksternal (external marketing), pemasaran interaktif (interaktive marketing), dan pemasaran internal (internal marketing).

Bab 3

Persepsi

PASIEN

Kualitas Layanan Rumah Sakit36

1. Arti Perilaku Pasien

Persepsi dapat didefinisikan sebagai suatu proses dimana individu mengorganisasikan dan memaknakan kesan-kesan indera untuk dapat memberikan arti terhadap lingkungannya. Apa yang seseorang persepsi terhadap sesuatu dapat berbeda dengan kenyataan dengan kenyataan yang objektif.

Persepsi merupakan proses individu (konsumen) memilih, mengorganisasi, dan menginterprestasi (memaknai) masukan-masukan informasi yang dapat menciptakan gambaran obyek yang memiliki kebenaran subyektif (bersifat personal), memiiki arti tertentu, dapat dirasakan melalui perhatian, baik secara selektif, distorsi maupun retensi.

Secara etimologi persepsi berasal dari bahasa latin perceptio yang berarti menerima atau mengambil. Persepsi adalah suatu proses dengan mana berbagai stimuli dipilih, diorganisir, dan diinterpretasi menjadi informasi yang bermakna.

Menurut Stephen P. Robbins (1998), persepsi adalah suatu proses pengorganisasian dan pemaknaan terhadap kesan-kesan sensori untuk memberi arti pada lingkungannya. Menurut Fred Luthans (1992) mengatakan proses persepsi dapat didefinisikan sebagai interaksi yang rumit dalam penyeleksian, pengorganisasian, dan penafsiran stimulus. Sedangkan menurut Milton (1981) mengatakan persepsi adalah proses seleksi, organisasi dan interpretasi stimulus yang berasal dari lingkungan.

Perilaku Pasien (Customer behavior) merupakan perilaku yang ditampilkan oleh Pasien untuk mencari, membeli, menggunakan, mengevaulasi dan menentukan produk dan jasa yang mereka harapkan dapat memenuhi kebutuhan mereka, Schiffman and Kanuk (2004). Oleh karena itu marketer harus lebih fokus kepada cara-cara bagaimana pasien melakukan keputusan pembelian dengan menggunakan yang ada pada mereka (seperti waktu, uang, dan usaha) untuk mengkonsumsi produk

BAB 3 Persepsi Pasien 37

yang dapat memenuhi kebutuhan mereka.

Pasien atau konsumen sendiri tidak dapat menilai mutu pelayanan yang diperoleh secara teknik medik, karenanya mereka akan menilai dari persepsi sosial mereka atas atribut-atribut pelayanan tersebut. Penilaian dari sudut pandang pasien yaitu realitas persepsi pasien tentang mutu pelayanan yang diterima dan tercapainya kepuasan pasien, sedang dari sudut manajemen adalah terciptanya pelayanan medik yang tepat atau wajar. Prsepsi pasien akan dipengaruhi oleh kepribadianya, budaya, pendidikan, kejadian sebelumnya yang mirip dengan keadaan ini, hal-hal positif dan negatif lainnya serta tingkatan umum yang sering dijumpai pada saat melakukan intervensi di lingkungan rumah sakit. Persepsi merupakan suatu proses dimana seseorang menyeleksi, mengorganisasikan dan menginterpretasikan stimulus kedalam suatu gambaran dunia yang berarti dan menyeluruh. Stimulus dapat berupa sesuatu yang ditangkap oleh alat indera, seperti produk, iklan, harga, pelayanan dan lain-lain (Wulandari, 2008).

Beberapa pengertian persepsi antara lain : (Trimurthy, 2008).

• Persepsi menurut kamus umum Bahasa Indonesia diartikan sebagai proses seseorang untuk mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya atau menerima langsung / tanggapan dari suatu resapan.

• Persepsi didefinisikan sebagai suatu proses dengan mana individu-individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna kepada lingkungan mereka.

• Persepsi merupakan suatu proses dimana individu melakukan pengorganisasian terhadap stimulus yang diterima kemudian dinterpretasikan, sehingga seseorang dapat menyadari dan mengerti tentang apa yang diterima dan hal ini dipengaruhi pula oleh pengalaman-pengalaman yang ada pada diri yang bersangkutan

• Persepsi adalah pengalaman tentang obyek, peristiwa atau hubungan-

Kualitas Layanan Rumah Sakit38

hubungan yang diperoleh dengan mengumpulkan informasi dan menyimpulkan pesan.

Menurut Bimo Walgito, persepsi adalah proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap rangsang yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan aktivitas yang integrated dalam diri individu.

Menurut Kotler (2000), persepsi adalah proses yang digunakan oleh seorang individu untuk memilih, mengorganisasi dan menginteprestasi masukan informasi guna menciptakan gambaran dunia yang memiliki arti. Persepsi tidak hanya tergantung pada rangsangan fisik tapi juga pada rangsangan yang berhubungan dengan lingkungan sekitar dan keadaan individu yang bersangkutan. Orang dapat memiliki persepsi yang berbeda atas obyek yang sama karena ada tiga proses persepsi, yaitu perhatian selektif, distorsi selektif, dan ingatan selektif.

Solomon (2004), menyampaikan perilaku Pasien sebagai suatu pembelajaran terhadap proses seseorang atau kelompok memilih, membeli, menggunakan atau menentukan produk, jasa, ide, atau pengalaman untuk memenuhi kebutuhan dan keiginan. Schiffman and Kanuk (2004), mengatakan bahwa perilaku Pasien terbagi atas dua tipe konsumsi, yaitu the personal consumer dan the organizational consumer. Pasien individu membeli produk dan jasa untuk keperluan mereka sendiri (sebagai end users), baik untuk keperluan rumah tangga ataupun untuk hadiah kepada teman. Berbeda halnya dengan the organizational consumer, yaitu produk dan jasa dibeli untuk menjalankan suatu organisasi, baik itu organisasi pemerintahan, institusi, organisasi yang menghasilkan profit ataupun organisasi yang tidak menghasilkan profit (seperti lembaga sosial).

Proses pembentukan persepsi dijelaskan oleh Feigi (dalam Yusuf, 1991: 108) sebagai pemaknaan hasil pengamatan yang diawali dengan adanya stimuli. Setelah mendapat stimuli, pada tahap selanjutnya terjadi

BAB 3 Persepsi Pasien 39

seleksi yang berinteraksi dengan “interpretation”, begitu juga berinteraksi dengan “closure”. Proses seleksi terjadi pada saat seseorang memperoleh informasi, maka akan berlangsung proses penyeleksian pesan tentang mana pesan yang dianggap penting dan tidak penting. Proses closure terjadi ketika hasil seleksi tersebut akan disusun menjadi satu kesatuan yang berurutan dan bermakna, sedangkan interpretasi berlangsung ketika yang bersangkutan memberi tafsiran atau makna terhadap informasi tersebut secara menyeluruh. Menurut Asngari (1984: 12-13) pada fase interpretasi ini, pengalaman masa silam atau dahulu. memegang peranan yang penting.

Faktor-faktor fungsional yang menentukan persepsi seseorang berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain termasuk yang kita sebut sebagai faktor-faktor personal (Rakhmat 1998: 55). Selanjutnya Rakhmat menjelaskan yang menentukan persepsl bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberi respon terhadap stimuli. Persepsi meliputi juga kognisi (pengetahuan), yang mencakup penafsiran objek, tanda dan orang dari sudut pengalaman yang bersangkutan (Gibson, 1986 : 54). Selaras dengan pernyataan tersebut Krech, dkk. (dalam Sri Tjahjorini Sugiharto 2001: 19) mengemukakan bahwa persepsi seseorang ditentukan oleh dua faktor utama, yakni pengalaman masa lalu dan faktor pribadi.

Sukses atau tidaknya suatu produk dipasaran, sangat dipengaruhi oleh bagaimana produk diterima oleh konsumen. Tentunya produk yang sesuai dengan kebutuhan konsumen yang akan dibeli dan konsumsi oleh konsumen.

Menurut Husein Umar (2003) pengertian perilaku konsumen adalah tindakan yang terlibat dalam mendapatkan mengkomsumsi dan menghabiskan produk dan jasa termasuk proses keputusan yang mendahului dan menyusul tindakan. Sedangkan menurut Peter J. Paul dan Olson (2000) mendefinisikan perilaku konsumen adalah interaksi dinamis

Kualitas Layanan Rumah Sakit40

antara pengaruh dan kognisi, perilaku dan kejadian sekitar kita dimana manusia melakukan aspek pertukaran dalam hidup mereka. Menurut Bilson Simamora (2004) perilaku konsumen adalah proses pengambilan keputusan yang mensyaratkan aktivitas individu untuk mengevaluasi, memperoleh, menggunakan, atau mengatur barang dan jasa.

Menurut Schiffman and Kanuk (1997) dalam customer behavior mendefinisikan persepsi sebagai berikut : “Perception is the process by which an individual selects, organizes, and interprets stimulus into a meaningful and coherent picture of the world”. Selanjutnya, chiffman dan Kanuk (2000) mengemukakan perilaku konsumen yang sangat bervariatif, yaitu :

a) Konsumen mencari resiko (Consumers Seek Information)Konsumen mencari informasi mengenai produk dan kategori

produk melalui komunikasi kata melalui mulut atau yang biasa disebut dengan word of mouth, bail dari teman, keluarga, orang lain, tenaga penjual, dan dari media umum. Mereka menyimpan lebih banyak waktu untuk berpikir tentang pilihan mereka dan mencari lebih banyak informasi tentang alternatif produk ketika mereka menghubungkan tingkat resiko yang tinggi dengan pembelian.

b) Konsumen adalah setia terhadap merek (Consumers are Brand Loyal) Konsumen menghindari resiko dengan tetap setia pada satu merek baru atau merek-merek yang belum pernah mereka coba. Penerima resiko yang tinggi mungkin menjadi lebih setia pada merek-merek lama dan mungkin sedikit untuk membeli produk-produk baru yang diperkenalkan.

c) Konsumen memilih melalui kesan terhadap merek  (Consumers Select by Brand Image)

Konsumen sering berpikir bahwa merek yang terkenal lebih baik dan cukup baik sebagai jaminan secara tidak langsung mengani kualitas yang dapat dipertanggungjawabkan hasil dan pelayanannya.

BAB 3 Persepsi Pasien 41

Usaha promosi pemasar menambah kualitas yang diterima dari produk-produk mereka dapat menolong untuk membangun dan menyokong kesan merek yang baik.

d) Konsumen mengandalkan kesan toko (Consumers Rely on store Image)Jika konsumen tidak memiliki informasi lain tentang produk,

mereka sering percaya pada penilaian terhadap pembeli barang dagangan dari toko yang mempunyai nama baik dan bergantung ada merek untuk membuat keputusan-keputusan yang hati-hati dalam memilih produk untuk dijual kembali. Kesan toko juga memberi implikasi dari percobaan produk dan jaminan pelayanan, hak pengembalian dan penyesuaian diri dalam kasus ketidakpuasaan.

e) Konsumen membeli produk yang paling mahal (Consumers buy the most expensive model)

Ketika dalam keragu-raguan, konsumen dapat merasa kalua produk yang paling mahal mungkin yang terbaik dalam hubungannya dengan kualitas, yaitu mereka menyamakan harga dengan kualitas.

f) Konsumen mencari kepastian (Consumers Seek Reassurance)Konsumen yang tidak tahu dalam membuat keputusan dalam

memilih produk cenderung untuk mencari kepastian melalui garansi uang kembali, pemerintah dan hasil tes laboraturium sendiri.

Dengan demikian, persepsi dapat diartikan sebagai proses diterimanya rangsang melalui panca indra yang didahului oleh perhatian sehingga individu mampu mengetahui, mengartikan dan menghayati tentang hal yang diamati, baik yang ada diluar maupun dalam diri individu (Trimurthy, 2008).

Pada umumnya manusia mempersepsikan suatu objek berdasarkan kaca matanya sendiri, yang diwarnai oleh nilai dan pengalamannya. Notoatmodjo (2003), mendefinisikan persepsi sebagai pengalaman yang dihasilkan melalui panca indra. Setiap orang mempunyai persepsi yang

Kualitas Layanan Rumah Sakit42

berbeda, meskipun mengamati terhadap objek yang sama.

Persepsi pasien terhadap kualitas pelayanan dipengaruhi oleh harapan terhadap pelayanan yang diinginkan. Harapan ini dibentuk oleh apa yang konsumen dengar dari konsumen lain dari mulut ke mulut, kebutuhan pasien, pengalaman masa lalu dan pengaruh komunikasi eksternal. Pelayanan yang diterima dari harapan yang ada mempengaruhi konsumen terhadap kualitas pelayanan (Puspita, 2009)

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan proses yang menyangkut tiga aspek, yaitu seleksi, organisasi, dan interprestasi. Sedangkan yang dimaksud dengan stimulus yaitu input yang mempengaruhi indera manusia. Contoh dari stimulus antara lain : produk, pembungkus, brand name, iklan, dan lainnya. Organ manusia menerima sensory inputs disebut sensory receptors, yang dikenal sebagai panca indera (mata, telinga, hidung, mulut, dan kulit). Studi mengenai persepsi berkaitan dengan pemahaman dari apa yang ditambahkan atau dikurangi dari input yang di terima untuk menghasilkan gambaran pribadi mengenai dunia. Dengan kata lain, persepsi berkaitan dengan bagaimana melihat dunia di sekitarnya

2. Interpretasi Persepsi Pasien

Penjelasan sebelumnya menekankan bahwa persepsi merupakan fenomena pribadi. Manusia melakukan seleksi terhadap stimulus yang alami, dan mengorganisasikan stimulus ini berdasarkan prinsip psikologi tertentu. Interprestasi dari stimulus yang sangat individual, karena penginterpretasian di dasari oleh apa yang telah diharapkan oleh individu akan terjadi berdasarkan pengalaman sebelumnya, sejumlah penjelasan kemungkinan yang dapat diterima, dan motivasi serta kepentingan individu tersebut pada saat persepsi.

BAB 3 Persepsi Pasien 43

Untuk pembahasan selanjutnya dalam tulisan ini, akan digunakan konsep persepsi yang mengandung pengertian interpretasi, mengingat penilaian responden terhadap mutu produk dan kualitas layanan adalah berdasarkan pengalaman responden setelah pernah memakai produk dan layanan dari rumah sakit

3. Proses Pembentukan Persepsi

Persepsi dibentuk oleh tiga pengaruh, yaitui :

a. Karakterisitik dari stimulus ( rangsangan ) dimana stimulus merupakan hal diluar individu yang dapat berbentuk fisik, visualatau komunikasi verbal yang dapat mempengaruhi tanggapan.

b. Hubungan stimuli dengan sekelilingnya. Pesepsi yang dibentuk oleh seseorang dipengaruhi oleh pikiran dan lingkungan sekitarnya, oleh karena itu persepsi memiliki sifat subyektif. Hal tersebut berarti bahwa setiap orang dapat memiliki persepsi yang berbeda terhadap satu obyek yang sama.

c. Kondisi yang ada dalam diri individu yang bersangkutan.

Gambar 3.1 : Proses Perseptual

Kualitas Layanan Rumah Sakit44

4. Faktor yang mempengaruhi Persepsi Pasien

Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi bisa terletak dalam diri pembentuk persepsi, dalam diri objek atau target yang diartikan, atau dalam konteks situasi di mana persepsi tersebut dibuat. .Asumsi Yang Didasarkan Pada Pengalaman Masa Lalu dan Persepsi Persepsi yang dipengaruhi oleh asumsi – asumsi yang didasarkan pada pengalaman masa lalu dikemukakan oleh sekelompok peneliti yang berasal dari Universitas Princenton seperti Adelbert Ames, Jr, Hadley Cantril, Edward Engels, William H. Ittelson dan Adelbert Amer, Jr.

Mereka mengemukakan konsep yang disebut dengan pandangan transaksional (transactional view). Konsep ini pada dasarnya menjelaskan bahwa pengamat dan dunia sekitar merupakan partisipan aktif dalam tindakan persepsi. Para pemikir transaksional telah mengembangkan sejumlah bukti yang meyakinkan bahwa persepsi didasarkan pada asumsi. Salah satu yang paling menonjol, yang ditemukan oleh Adelbert Amer, Jr., disebut monocular distorted room. “Ruangan dibangun sedemikian rupa sehingga dinding belakang berbentuk trapesium, dimana jarak vertikal ke atas dan ke bawah pada sisi kiri dinding lebih panjang daripada jarak vertikal ke atas dan ke bawah pada sisi kanan dinding. Dinding belakang terletak pada suatu sudut, sehingga sisi kiri terlihat lebih jauh ke belakang dari pada sisi kanan.

Jika seorang pengamat berdiri di depan ruangan dan mengamati melalui sebuah lubang kecil, maka ruangan akan terlihat seperti sebuah ruangan yang benar – benar membentuk empat persegi panjang. Jika dua orang berjalan melalui ruangan dan berdiri pada sudut belakang, maka sesuatu yang menarik akan terjadi. Bagi si pengamat yang melihat melalui sebuah lubang, salah satu orang yang berada di sisi kanan akan terlihat sangat besar karena orang ini berada lebih dekat dengan si pengamat dan memenuhi keseluruhan ruangan antara lantai dan langit – langit.

BAB 3 Persepsi Pasien 45

Sedangkan orang yang berada di sisi kiri akan terlihat sangat kecil karena berada jauh dari si pengamat. Ilusi ini terjadi karena pikiran si pengamat mengasumsikan bahwa dinding belakang parallel dengan dinding depan ruangan. Asumsi ini berdasarkan pengalaman terdahulu yang menggunakan ruangan – ruangan lain yang mirip. Ilusi ini akan semakin kuat apabila dua orang yang berada di sudut yang berbeda tersebut saling bertukar tempat, maka salah satu akan terlihat lebih besar dan yang satunya lagi terlihat lebih kecil tepat di depan mata si pengamat ”

Persepsi konsumen adalah proses dimana seseorang mengorganisir dan mengartikan kesan dari panca indera dalam tujuan untuk memberi arti dalam lingkungan mereka (Robbins, 1998) . persepsi konsumen ini sangat penting dipelajari karena perilaku konsumen karena perilaku konsumen didasarkan oleh persepsi mereka tentang apa itu kenyataan dan bukan kenyataan itu sendiri. Menurut shiffman dan kanuk (1997) persepsi akan sesuatu berasal dari interaksi antara dua jenis faktor :

a) Faktor stimulus, yaitu karakteristik secara fisik seperti ukuran, berat, warna atau bentuk. Tampilan suatu produk baik kemasan maupun karakteristik akan mampu menciptakan suatu rangsangan pada indra manusian, sehingga mampu menciptakan sesuatu persepsi mengenai produk yang dilihatnya.

b) Faktor individu, yang termasuk proses didalamnya bukan hanya pada panca indra akan tetapi juga pada proses pengalaman yang serupa dan dorongan utama serta harapan dari individu itu sendiri

Menurut Nugroho J. Setiadi (2003), Faktor yang mempengaruhi persepsi adalah penglihatan dan sasaran yang diterima dan dimana situasi persepsi terjadi penglihatan. Tanggapan yang timbul atas rangsangan akan dipengaruhi sifat-sifat individu yang melihatnya,, sifat yang dapat mempengaruhi persepsi yaitu :

Kualitas Layanan Rumah Sakit46

• Sikap , Sikap yang dapat mempengaruhi positif atau negatifnya tanggapan yang akan diberikan seseorang.

• Motivasi, Motif merupakan hal yang mendorong seseorang mendasari sikap tindakan yang dilakukannya.

• Minat, Merupakan faktor lain yang membedakan penilaian seseorang terhadap suatu hal atau objek tertentu, yang mendasari kesukaan ataupun ketidaksukaan terhadap objek tersebut.

• Pengalaman masa lalu, Dapat mempengaruhi persepsi seseorang karena kita biasanya akan menarik kesimpulan yang sama dengan apa yang pernah dilihat dan didengar.

• Harapan, Mempengaruhi persepsi seseorang dalam membuat keputusan, kita akan cenderung menolak gagasan, ajakan, atau tawaran yang tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan.

• Sasaran, Sasaran dapat mempengaruhi penglihatan yang akhirnhya akan mempengaruhi persepsi.

Situasi atau keadaan disekitaR kita atau disekitar sasaran yang kita lihat akan turut mempengaruhi persepsi. Sasaran atau benda yang sama yang kita lihat dalam situasi yang berbeda akan menghasilkan persepsi yang berbeda pula

Dalam persepsi seseorang juga melalui proses seleksi. Seleksi adalah proses seseorang memilih dan menentukan marketing stimuli karena tiap individu adalah unik dalam kebutuhan, keinginan dan pengalaman, sikap dan karakter pribadi masing-masing orang. Menurut Shiffman dan Kanuk (2000) dalam seleksi ada proses yang disebut selective perception concept. Adapun selective selective perception concept, yaitu :

a) Selective Exposure, Konsumen secara efektif mencari pesan menemukan kesenangan atau simpati mereka secara aktif menghindari kesakitan atau ancaman disisi lainnya. Mereka secara efektif membuka diri mereka kepada iklan-ikaln yang menentramkan hati mereka mengenai

BAB 3 Persepsi Pasien 47

kebijaksanaan tentang kepuasaan pembeliannya.

b) Selective Attention, Konsumen mengadakan transaksi pemilihan yang bagus dengan tujuan perhatian mereka berikan pada rangsangan komersial. Mereka mempunyai kesadaran tinggi terhadap rangsangan yang sesuai dengan minat dan kebutuhan mereka. Jadi konsumen mungkin untuk mengingat iklan untuk prodek yang dapat memuaskan kebutuhan mereka dan mengabaikan yang tidak mereka butuhkan.

c) Perceptual Defense, Konsumen secara bawah sadar menyaring rangsangan yang mereka temukan ancaman psikological, meskipun telah terdapat pembukaan. Jadi ancaman atau sebaliknya rangsangan yang merusak mungkin lebih sedikit diterima secara sadar daripada rangsangan netral pada level pembukaan yang sama.

d) Perceptual Blocking, Konsumen melindungi diri mereka dari rangsangan-rangsangan yang mereka anggap negatif dan mempunyai pengaruh buruk bagi diri mereka.

Menurut Robbins (1998) persepsi dapat dipengaruhi oleh karakter seseorang. Karakter tersebut dipengaruhi oleh :

• Attitudes, Dua individu yang sama, tetapi mengartikan sesuatu yang dilihat itu berbeda satu dengan yang lain.

• Motives, Kebutuhan yang tidak terpuaskan yang mendorong individu dan mungkin memiliki pengaruh yang kuat terhadap persepsi mereka.

• Interests, Fokus dari perhatian kita sepertinya dipengaruhi oleh minat kita, karena minat seseorang berbeda satu dengan yang lain. Apa yang diperhatikan oleh seseorang dalam suatu situasi bisa berbeda satu dengan yang lain. Apa yang diperhatikan seseorang dalam suatu situasi bisa berbeda dari apa yang dirasakan oleh orang lain.

• Experiences, Fokus dari karakter individu yang berhubungan dengan pengalaman masa lalu seperti minat atau interest individu. Seseorang individu merasakan pengalaman masa lalu pada sesuatu yang individu

Kualitas Layanan Rumah Sakit48

tersebut hubungkan dengan hal yang terjadi sekarang.

• Expectations, Ekspektasi bisa mengubah persepsi individu dimana individu tersebut bisa melihat apa yang mereka harapkan dari apa yang terjadi sekarang.

Menurut Zithaml and Bitner (1996 : 104) ada faktor utama yang mempengaruhi persepsi Pasien terhadap layanan yang diterima, yaitu service encounters, . evidence of service, image, dan Price.

a. Service Encounters (moments of truth)Dari sudut pandang Pasien, kesan yang paling penting dari layanan

terbentuk pada saat terjadinya kontak (service encounter atau moment of truth). Dengan kata lain pada saat Pasien berinteraksi dengan layanan perusahaan. Ada 3 jenis kontak layanan, yaitu (1) Remote encounters, kontak yang terjadi tanpa adanya hubungan langsung dengan manusia, misalnya pada saat Pasien suatu rumah sakit tersebut melalui ATM atau Automatic Teller Machine, (2) Phone encounters, kontak yang terjadi antara Pasien dengan perusahaan melalui telepon, dan (3) Face to face encounters, kontak yang terjadi antara Pasien dengan personil perusahaan.

b. The Evidence of ServiceKarena layanan jasa bersifat tidak nyata, maka Pasien bersifat tidak

nyata, maka Pasien berusaha untuk mencari kehadiran layanan dalam setiap interaksi dengan organisasi. Ada 3 variabel yang termasuk kategori ini, yaitu : (a) people, termasuk : kontak personil dari perusahaan yang bersangkutan, Pasien itu sendiri, dan layanan lainnya. (b) process, termasuk : aliran operasi dari kegiatan, langkah dalam proses layanan, teknologi vs manusia, fleksibilitas vs standar, dan (c) physical evidence, termasuk : komunikasi nyata, garansi, teknologi dan peralatan.

c. ImageYang di maksud image dalam hal ini adalah persepsi terhadap

organisasi yang direfleksikan dalam asosiasi yang ada dalam ingatan Pasien.

BAB 3 Persepsi Pasien 49

Citra Pasien dapat bersifat sangat nyata, misalnya : jam kerja, berapa kali rit perjalanan bus per hari, dan lain-lain. Citra itu dapat juga kurang konkrit dan bahkan emosional, misalnya : kepercayaan terhadap perusahaan, tradisional, keramahan, keandalan, dan sebagainya. Citra dapat berhubungan dengan pengalaman seseorang pada waktu menerima layanan, image terhadap perusahaan, atau image terhadap pengguna jasa sendiri. Image di bentuk dalam benak pasien melalui komunikasi (iklan, public relations, citra fisik, word of mouth communication) yang dikombinasikan dengan pengalaman sendiri.

d. PriceHarga dari layanan dapat berpengaruh sangat besar terhadap persepsi

Pasien terhadap kualitas, kepuasan dan nilai. Karena jasa bersifat tidak nyata dan kadang – kadang sangat sulit untuk dinilai sebelum terjadi transaksi layanan, harga itu kadang-kadang tergantung dari wakil (surrogate) indikator yang mempengaruhi persepsi dan harapan kualitas.

Gambar 3.2

Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi Pelayanan Pasien

(factor influencing customer perception of service)

sumber : zeithaml, bitner, (1996 : 104)

Kualitas Layanan Rumah Sakit50

Dengan melihat satu obyek yang sama, orang dapat mempunyai persepsi yang berbeda, karena persepsi dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut:

a. Faktor pelaku Persepsi Bila seseorang memandang suatu obyek dan mencoba maka penafsiran itu sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadi dari orang yang berpersepsi yang mencakup sikap, motif,kepentingan, pengalaman dan pengaharapan.

b. Faktor Obyek, Karakteristik – karakteristik dari target yang diamati dapat mempengaruhi apa yang dipersepsikan karena target tidak dipandang dalam keadaan terisolasi, namun obyek yang berdekatan akan cenderung dipersepsikan bersama – sama.

c. Faktor Situasi, Faktor target mencakup hal yang baru yaitu gerakan, bunyi,ukuran, latar belakang dan kedekatan.Faktor situasi ini mencakup waktu, keadaan / tempat kerja dan keadaan sosial.

Gambar 3.3: Faktor – faktor yang mempengaruhi persepsi

BAB 3 Persepsi Pasien 51

Sedangkan faktor – faktor yang mempengaruhi pembentukan persepsi seseorang adalah :

a. Faktor internal yang meliputi pengalaman, kebutuhan saat ini, nilai– nilai yang dianut dan ekspektasi / pengharapan.

b. Faktor eksternal yang meliputi penampilan produk, sifat – sifat stimulus dan situasi lingkungan.

5. Penyeleksian Persepsi Pasien

Secara tidak sadar, manusia menyeleksi aspek lingkungan yang di terima. Manusia mungkin melihat banyak hal. Namun, manusia hanya akan menerima sebagian kecil dan stimulus yang di terima tersebut. Sebagai contoh, seorang pasien yang berbelanja di suatu supermarket mungkin akan menemui lebih dari 10.000 produk dengan berbagai warna, ukuran, dan bentuk : mencium berbagai bau (buah, sayur, makanan) : mendengar berbagai suara. Namun, dengan tenang, Pasien akan memilih barang yang diperlukan, membayar di kasir, dan pulang ke rumah dalam waktu singkat, tanpa kehilangan orientasi pribadi terhadap lingkungan pada saat itu. Hal ini disebabkan karena Pasien tersebut telah melakukan tindakan seleksi dari persepsi diri.

Selain dari peran stimulus itu sendiri, stimulus mana yang akan diseleksi individu tergantung dari dua faktor utama, yaitu : (1) pengalaman sebelumnya dari individu yang mempengaruhi harapan, dan (2) motivasi pada saat tersebut (kebutuhan, keinginan dan lain-lain) masing-masing faktor ini dapat meningkatkan atau menurunkan kemungkinan diterima suatu stimulus

6. Persepsi Pasien Terhadap Mutu Pelayanan

Mutu adalah faktor keputusan dari Pasien. Mutu adalah penentuan Pasien, bukan ketetapan insinyur, pasar atau ketetapan manajemen. Ia

Kualitas Layanan Rumah Sakit52

berdasarkan pengalaman nyata Pasien terhadap produk dan jasa pelayanan, mengukurnya, mengharapkannya, dijanjikannya atau tidak, sadar atau hanya dirasakan, operasional teknik atau subyektif sama sekali dan selalu menggambarkan target yang bergerak dalam pasar yang kompetitif.

Menurut Feigenbaum A, seorang pakar mutu, mutu produk dan jasa adalah seluruh gabungan sifat-sifat produk atau jasa pelayanan dari pemasaran, engineering, manufaktur, dan pemeliharaan dimana produk atau jasa pelayanan dalam penggunaannya akan bertemu dengan harapan Pasien.7

Persepsi konsumen terhadap mutu pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang merupakan karakteristik dari pelaku persepsi, yaitu antara lain: umur, jenis kelamin, pekerjaan, tingkat pendidikan, sosial ekonomi, budaya, lingkungan fisik, serta kepribadian dan pengalaman pasien.

Gambar 3.4: Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi pasien terhadap mutu pelayanan.

BAB 3 Persepsi Pasien 53

7. Pengorganisasian Persepsi Pasien

Persepsi Pasien terhadap layanan dibentuk dari 3 variabel, yaitu: kualitas layanan, kepuasan Pasien, dan nilai keseluruhan dari layanan yang diterima antara lain :

a) Kualitas layanan dapat didefinisikan sebagai penyampaian layanan yang relatif istimewa, superior terhadap Pasien. Kualitas layanan adalah kesuaian layanan antar layanan dengan spesifikasi kebutuhan Pasien (conform to the customer`s specification). Jika perusahaan melakukan sesuatu hal yang tidak sesuai dengan harapan Pasien, itu berarti bahwa perusahaan tersebut tidak memberikan kualitas layanan yang baik (Berry, Zeithaml, Parasuraman, 1988 : 35 – 44).

b) Pendapat lain mengemukakan bahwa menjamin kelangsungan dalam lingkungan persaingan, semua organisasi yang terkait dengan penyediaan jasa harus menyadari bahwa kunci dari keberadaannya adalah yang berorientasi pada konsep pemasaran, perusahaan harus selalu waspada akan kesempatan untuk menyesuaikan strategi yang diadopsi dengan keinginan dan kebutuhan Pasien sehingga penjualan dapat terealisasi (Yi, 1990 : 2 – 22).

c) Kepuasan Pasien, konsep penting dalam era pemasaran modern, menekankan pada kepuasan layanan (tidak hanya produk) terhadap Pasien untuk mendapatkan hasil akhir berupa keuntungan. Akibatnya diharapkan kualitas kehidupan secara keseluruhan akan meningkat. Dengan kata lain, kepuasan Pasien dapat dilihat dari banyaknya riset dan konferensi yang berkaitan dengan kepuasan dan ketidakpuasan Pasien serta perilaku keluhan telah dilakukan untuk memberikan sumbangan pemikiran terhadap topik penting ini (Oliver, 1997 : 13 – 15).

Nilai keseluruhan dari layanan yang diterima, selain dengan menggunakan konsep kualitas dari kepuasan, Pasien menggunakan konsep nilai dalam melakukan penilaian terhadap suatu produk atau layanan.

Kualitas Layanan Rumah Sakit54

Konsep nilai didefinisikan sebagai penilaian keseluruhan Pasien terhadap kegunaan suatu produk atau layanan berdasarkan persepsi Pasien terhadap keuntungan yang diterima dibandingkan dengan biaya dalam bentuk uang dan waktu.

Bab 4

Layanan

BERKUALITAS

Kualitas Layanan Rumah Sakit56

1. Pengertian Layanan

Layanan menurut kamus besar bahasa Indonesia (1988) adalah cara melayani, jasa, atau kemudahan yang diberikan sehubungan dengan jual beli barang atau jasa. Pelayanan menurut Pass et al. (1994) dalam kamus bisnis lengkap Collins adalah aktivitas ekonomi yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan bisnis atau pribadi. Definisi pelayanan menurut Kotler dalam Nasution (2005 : 98) adalah aktifitas atau manfaat yang ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak menghasilkan kepemilikan apapun. Produknya mungkin terikat atau tidak terikat pada produk fisik.

Moenir (1992 : 16) menyatakan bahwa pelayanan adalah suatu proses penggunaan akal pikiran, panca indera dan anggota badan dengan atau tanpa alat bantu yang dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan baik dalam bentuk barang maupun jasa.

Pelayanan, atau seperti yang diungkapkan kotler dalam Tjiptono (1998 : 6) adalah setiap tindakan atau perbuatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya bersifat itangible (tidak berwujud fisik) dan tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu. Produksi jasa bisa berhubungan dengan produk fisik maupun tidak.

Lebih lanjut Moenir (1992 : 18) menjelaskan bahwa makna layanan memiliki arti luas, yang menyangkut segala usaha yang dilakukan oleh seseorang dalam rangka mencapai tujuan. Kemudian Moenir (1992 : 18) memberikan sebuah contoh untuk menjelaskan definisi pelayanan sebagai berikut : “Seseorang yang sebutlah bernama A memerlukan surat keterangan tentang jati diri sebagai pegawai di suatu perusahaan X. Kemudian seseorang sebutlah bernama B adalah salah seorang petugas yang berwenang di perusahaan X dimaksud dalam memproses atau membuat surat keterangan yang diperlukan A tersebut. Dalam hal ini, apa yang dilakukan B terhadap A inilah disebutkan sebagai pelayanan.”

BAB 4 Layanan Berkualitas 57

Pelayanan, menurut Batinggi (2005 : 1.3) adalah katalisator yang mempercepat apa yang ingin atau seharusnya dicapai. Pelayanan, menurut Batinggi (2005 : 1.17) terdiri atas empat faktor, yaitu :

1. Sistem prosedur, metode.

2. Personel, terutama ditekankan pada perilaku aparatur.

3. Sarana dan prasarana.

4. Masyarakat sebagai pelanggan.

Kualitas pelayanan atau jasa menurut Gummeson dalam Ratminto (2006 : 98) memiliki empat sumber, yaitu :

1. Design quality; atau bergantung waktu pertama jasa didesain untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.

2. Production quality; atau bergantung pada kerjasama antara departemen produksi dan departemen pemasaran.

3. Delivery quality; atau berkaitan dengan janji perusahaan kepada pelanggan.

4. Relationship quality; atau hubungan dengan profesional dan sosial antara perusahaan dengan stakeholder (pelanggan, pemasok, agen, pemerintah dan karyawan perusahaan.

Johnson and Silvestro dalam Tjiptono (1999 : 99) membagi kualitas pelayanan dakam tiga kelompok faktor, yaitu :

1. Hygene factors; yaitu faktor-faktor yang diharapkan pelanggan dan harus ada kesesuaian.

2. Enhancing factors, yaitu faktor-faktor yang menyebabkan pelanggan menjadi puas.

3. Dual theshold factors, yaitu faktor-faktor yang bila tidak ada atau tidak tepat penyampaiannya akan membuat pelanggan tidak puas.

Kualitas pelayanan menurut Gronroos (1993; Parasuraman et al. 1985.) dibedakan menjadi dua yaitu kualitas teknikal dan kualitas

Kualitas Layanan Rumah Sakit58

fungsional. Kualitas teknikal merujuk pada kompetensi penyedia jasa untuk memberikan informasi yang dapat dipercaya dengan tingkat resiko yang dapat diterima sehingga membantu pelanggan untuk mencapai tujuannya. Dengan terpenuhinya harapan pelanggan maka mereka akan memiliki persepsi yang lebih besar terhadap kualitas teknikal. Kualitas fungsional dikonsepkan sebagai perilaku yang responsif, perhatian, sopan, dan profesional dalam memberikan pelayanan inti. Hal ini berkaitan dengan kesopanan dan keramahan yang ditunjukkan kepada pelanggan untuk memahami keadaannya, menunjukkan empati, memberikan pelayanan dengan segera, merespon pertanyaan-pertanyaan dan keluhan-keluhan, bertanggung jawab, sopan, dan tepat waktu.

Gronroos (1978) dalam Sharma and Patterson (1999) menegaskan bahwa kualitas fungsional dihubungkan dengan interaksi antara penyedia jasa dan penerima jasa itu, dan dinilai dalam hal yang sangat subyektif. Hal ini dilihat sebagai suatu hal yang kritis untuk persepsi pelanggan dari kualitas pelayanan secara keseluruhan. Khususnya ketika banyak perusahaan jasa sulit untuk membedakan dirinya sendiri hanya pada pelayanan inti kemudian menjadi komoditas saat persaingan meningkat dan industri menjadi dewasa, maka dimensi kualitas fungsional menjadi semakin penting sebagai alat menciptakan keuntungan kompetitif yang dapat didukung

Berdasarkan pengertian-pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa pelayanan merupakan suatu bentuk sistem, prosedur atau metode tertentu diberikan kepada orang lain, dengan harapan atau keinginan pelanggan dengan tingkat persepsi mereka. Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya pelayanan yaitu:

a) Adanya rasa cinta dan kasih sayang. Cinta dan kasih sayang membuat manusia bersedia mengorbankan apa yang ada padanya sesuai kemampuaanya, diwujudkan menjadi layanan dan pengorbanan dalam

BAB 4 Layanan Berkualitas 59

batas ajaran agama, norma, sopan santun, dan kesusilaan yang hidup dalam masyarakat.

b) Adanya keyakinan untuk saling tolong menolong sesamanya. Rasa tolong menolong merupakan gerak naluri yang sudah melekat pada manusia. Apa yang dilakukan oleh seseorang untuk orang lain karena diminta oleh orang yang membutuhkan pertolongan hakikatnya adalah pelayanan, disamping ada unsur pengorbanan, namun kata pelayanan tidak pernah digunakan dalam hubungan ini.

c) Adanya keyakinan bahwa berbuat baik kepada orang lain adalah salah satu bentuk amal. Inisiatif berbuat baik timbul dari orang yang bukan berkepentingan untuk membantu orang yang membutuhkan bantuan, proses ini disebut pelayanan.

Keinginan berbuat baik timbul dari orang lain yang membutuhkan pertolongan, ini disebut bantuan. Payne (2000) mengatakan bahwa layanan pelanggan terdapat pengertian:

a) Segala kegiatan yang dibutuhkan untuk menerima, memproses, menyampaikan dan memenuhi pesanan pelanggan dan untuk menindak lanjuti setiap kegiatan yang mengandung kekeliruan.

b) Ketepatan waktu dan reabilitas penyampaian produk dan jasa kepada pelanggan sesuai dengan harapan mereka.

c) Serangkaian kegiatan yang meliputi semua bidang bisnis yang terpadu untuk menyampaikkan produk dan jasa tersebut sedemikian rupa sehingga dipersepsikan memuaskan oleh pelanggan dan yang merealisasikan pencapaian tujuan-tujuan perusahaan.

d) Total pesanan yang masuk dan seluruh komunikasi dengan pelanggan.

e) Penyampaian produk kepada pelanggan tepat waktu dan akurat dengan tidak lanjut tanggapan keterangan yang akurat. Disamping itu adanya suatu sistem pelayanan yang baik terdiri dari tiga elemen, yakni:

Kualitas Layanan Rumah Sakit60

1) Strategi pelayanan, suatu strategi untuk memberikan layanan dengan mutu yang sebaik mungkin kepada para pelanggan.

2) Sumber daya manusia yang memberikan layanan.

3) Sistem pelayanan, prosedur atau tata cara untuk memberikan layanan kepada para pelanggan yang melibatkan seluruh fasilitas fisik yang memiliki dan seluruh sumber daya manusia yang ada.

Dalam penetapan sistem pelayanan mencakup strategi yang dilakukan, dimana pelayanan yang diberikan kepada pelanggan dapat merasakan langsung, agar tidak terjadai distorsi tentang suatu kepuasan yang akan mereka terima. Sementara secara spesifik adanya peranan pelayanan yang diberikan secara nyata akan memberikan pengaruh bagi semua pihak terhadap manfaat yang dirasakan pelanggan.

2. Pengertian Kualitas

Perusahaan baru menganggap service hanya sebagai salah satu bentuk kategori bisnis “produk dan jasa”. Perusahaan yang membuat produk tidak menganggap dirinya berada pada bisnis jasa. Pada bentuk-bentuk berikutnya perusahaan merasa perlu menambah atau meningkatkan kapasitas service dalam rangka memberi nilai tambah (value-added). Lebih jauh lagi, perusahaan akan berusaha keras untuk memberi nilai tambah sesuai dengan apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh pasien (value-in-us). Pada situasi berikutnya perusahaan berusaha memberi service untuk kepuasan pelanggan. Kartajaya (2001 : 32).

Pengertian kualitas menurut Feigenbaum (dalam Wiyono, 2004) adalah : “ Kualitas produk dan jasa adalah seluruh gabungan sifat-sifat produk atau jasa pelayanan dari pemasaran, engineering, manufaktur, dan pemeliharaan dimana produk atau jasa pelayanan dalam penggunaannya akan bertemu dengan harapan pelangan.”

BAB 4 Layanan Berkualitas 61

Kualitas menurut Tjiptono (1998 : 51) adalah ukuran kebaikan suatu produk atau jasa yang terdiri atas kualitas disain dan kualitas kesesuaian. Namun menurut Total Quality Management (TQM), kualitas dapat dipandang secara lebih luas, dimana tidak hanya aspek hasil saja yang ditekankan, melainkan juga proses, lingkungan, dan manusia. Menurut ( Walton, 1986 ) Total Quality Management (TQM) merupakan bagian dari proses perencanaan rumah sakit untuk mendorong tujuan untuk memuaskan pasien. Semua tingkat manajemen secara terus-menerus mempelajari proses di kendalikan, bertanya bagaimana itu bisa diperbaiki, mengatur sebuah tim untuk mengatasi masalah, menentukan data apa yang diperlukan, mengumpulkan data, menerapkan perubahan dan mengevaluasi apa yang terjadi, hal ini yang disebut dengan siklus shewart atau siklus deming.

Menurut Kotler (2002:83) definisi pelayanan adalah setiap tindakan atau kegiatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun. Produksinya dapat dikaitkan atau tidak dikaitkan pada satu produk fisik. Pelayanan merupakan perilaku produsen dalam rangka memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen demi tercapainya kepuasan pada konsumen itu sendiri. Kotler juga mengatakan bahwa perilaku tersebut dapat terjadi pada saat, sebelum dan sesudah terjadinya transaksi. Pada umumnya pelayanan yang bertaraf tinggi akan menghasilkan kepuasan yang tinggi serta pembelian ulang yang lebih sering. Kata kualitas mengandung banyak definisi dan makna, orang yang berbeda akan mengartikannya secara berlainan tetapi dari beberapa definisi yang dapat kita jumpai memiliki beberapa kesamaan walaupun hanya cara penyampaiannya saja biasanya terdapat pada elemen sebagai berikut:

a) Kualitas meliputi usaha memenuhi atau melebihkan harapan pelanggan.

b) Kualitas mencakup produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan

c) Kualitas merupakan kondisi yang selalu berubah.

Kualitas Layanan Rumah Sakit62

Goetsh and Davis (Tjiptono, 1985 : 51) menyatakan kualitas adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, persediaan, lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Selanjutnya perspektif kualitas menurut Gavin dalam Tjiptono (1998 : 53) terbagi dalam lima pendekatan, yaitu :

1. Transcendental approach, yang berarti dapat dirasakan atau diketahui, tetapi sulit didefinisikan atau dioperasionalkan.

2. Product-based approach, atau berarti karakteristik atau atribut yang dapat dikuantitatifkan dan dapat diukur.

3. Used based-approach, adalah bergantung pada cara orang memandang dan bernilai subyektifitas yang tinggi.

4. Manufacturing-based approach, atau memperlihatkan kesesuaian atau sama dengan persyaratan melalui standar-standar tertentu.

5. Value-based approach, yaitu melihat dari segi nilai dan harga. Mempertimbangkan trade off antara kinerja dan harga. Barang berkualitas belum tentu bernilai, namun definisi bernilai adalah yang paling tepat dibeli.

Kualitas pelayanan (service quality) dapat diketahui dengan cara membandingkan persepsi para konsumen atas pelayanan yang nyata-nyata mereka terima / peroleh dengan pelayanan yang sesungguhnya mereka harapkan / inginkan terhadap atribut-atribut pelayanan suatu perusahaan. Jika jasa yang diterima atau dirasakan (perceived service) sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas pelayanan dipersepsikan baik dan memuaskan, jika jasa yang diterima melampaui harapan konsumen, maka kualitas pelayanan dipersepsikan sangat baik dan berkualitas. Sebaliknya jika jasa yang diterima lebih rendah daripada yang diharapkan, maka kualitas pelayanan dipersepsikan buruk

Dari definisi-definisi tentang kualitas pelayanan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kualitas pelayanan adalah segala bentuk

BAB 4 Layanan Berkualitas 63

aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan guna memenuhi harapan konsumen. Pelayanan dalam hal ini diartikan sebagai jasa atau service yang disampaikan oleh pemilik jasa yang berupa kemudahan, kecepatan, hubungan, kemampuan dan keramahtamahan yang ditujukan melalui sikap dan sifat dalam memberikan pelayanan untuk kepuasan konsumen. Kualitas pelayanan (service quality) dapat diketahui dengan cara membandingkan persepsi para konsumen atas pelayanan yang nyata-nyata mereka terima / peroleh dengan pelayanan yang sesungguhnya mereka harapkan/inginkan terhadap atribut-atribut pelayanan suatu perusahaan. Hubungan antara produsen dan konsumen menjangkau jauh melebihi dari waktu pembelian ke pelayanan purna jual, kekal abadi melampaui masa kepemilikan produk. Perusahaan menganggap konsumen sebagai raja yang harus dilayani dengan baik, mengingat dari konsumen tersebut akan memberikan keuntungan kepada perusahaan agar dapat terus hidup

3. Standar Pelayanan Publik

Setiap penyelenggaraan pelayanan publik harus memiliki standar pelayanan dan dipublikasikan sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima pelayanan. Standar pelayanan merupakan ukuran yang dibakukan dalam penyelenggarakan pelayanan publik yang wajib ditaati oleh pemberi dan atau penerima pelayanan. Untuk meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik tersebut harus disesuaikan dengan asas-asas umum pemerintah didalam memberikan perlindungan kepada setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan publik, melalui Persetujuan Bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia, maka pada tanggal 18 Juli 2009 Indonesia mengesahkan Undang-Undang No.25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Menurut UU No.25 tahun 2009 tersebut, Standar pelayanan adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan

Kualitas Layanan Rumah Sakit64

pelayanan dan acuan penilian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur.Penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya disebut penyelenggara adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.

Menurut UU NO.25 tahun 2009 tersebut penyelenggara berkewajiban menyusun dan menetapkan standar pelayanan dengan memperhatikan kemampuan penyelenggara, kebutuhan masyarakat, dan kondisi lingkungan. Didalam menyusun dan menetapkan standar pelayanan penyelenggara wajib mengikut sertakan masyarakat dan pihak terkait. Kemudian, penyelenggara berkewajiban menerapkan standar pelayanan tersebut. Pengikut sertaan masyarakat dan pihak terkait dilakukan dengan prinsip tidak diskriminatif, terkait langsung dengan jenis pelayanan, memiliki kompetensi dan mengutamakan musyawarah dan mengutamakan musyawarah serta memperhatikan keberagaman. Penyusunan standar pelayanan dilakukan dengan pedoman tertentu yang diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Adapun komponen standar pelayanan sekurang-kurangnya meliputi :

1. Dasar hukum, Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar.

2. Persyaratan, Syarat yang harus dipenuhi dalam pengurusan suatu jenis pelayanan baik persyaratan teknis maupun administratif.

3. Sistem, mekanisme dan prosedur, Tata cara pelayanan yang dibekukan bagi pemberi dan penerima pelayanan termasuk pengaduan.

4. Jangka waktu penyelesaian, Jangka waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan seluruh proses pelayanan dari setiap jenis pelayanan.

5. Biaya/tarif, Ongkos yang dikenakan kepada penerima layanan dalam mengurus dan/atau memperoleh pelayanan dari penyelenggara yang

BAB 4 Layanan Berkualitas 65

besarnya ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara penyelenggara dan masyarakat.

6. Produk pelayanan, Hasil pelayanan yang diberikan dan diterima sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan.

7. Sarana, prasarana, dan / atau fasilitas, Peralatan dan fasilitas yang diperlukan dalam penyelenggaraan pelayanan termasuk peralatan dan fasilitas pelayanan bagi kelompok rentan.

8. Kompetensi pelaksana, Kemampuan yang harus dimiliki oleh pelaksana meliputi pengetahuan keahlian, keterampilan dan pengalaman.

9. Pengawasan internal, Pengendalian yang dilakukan oleh pimpinan satuan kerja atau atasan langsung pelaksana.

10. Penanganan pengaduan, saran dan masukan, Tata cara pelaksanaan penga manan pengaduan dan tindak lanjut.

11. Jumlah pelaksana, Tersedianya pelaksanaan sesuai dengan beban kerjanya.

12. Jaminan pelayanan yang memberikan kepastian pelayanan dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan.

13. Jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam bentuk komitmen untuk memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, dan resiko keragu-raguan, dan

14. Evaluasi kinerja Pelaksana, Penilaian untuk mengetahui seberapa jauh pelaksanaan kegiatan sesuai dengan standard pelayanan. (Pasal 21 UU No.25 tahun 2009)

Kemudian, menurut UU tersebut didalam menyusun dan menetapkan standar pelayanan, penyelenggara wajib mengikut sertakan masyarakat dan pihak terkait. masyarakat adalah seluruh pihak, baik warga negara maupun penduduk sebagai orang-perseorangan, kelompok, badan hukum yang berkedudukan sebagai penerima manfaat pelayanan publik, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Kualitas Layanan Rumah Sakit66

4. Perspektif Pelayanan Publik

Pelayanan publik (public service) oleh birokrasi publik merupakan salah satu perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat disamping abdi negara. Pelayanan publik oleh birokrasi publik dimaksudkan untuk mensejahterakan masyarakat (warga negara) dari suatu negara sejahtera (walfare state). Pelayanan umum oleh Lembaga Administrasi Negara (1998) diartikan sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara/daerah dalam bentuk barang atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penyelenggaraan pelayanan umum menurut Lembaga Administrasi Negara (1998) dapat dilakukan dengan berbagai macam pola antara lain :

1. Pola Pelayanan fungsional, yaitu pola pelayanan umum yang diberikan oleh suatu instansi pemerintah sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya.

2. Pola pelayanan satu pintu, yaitu pola pelayanan umum yang diberikan secara tunggal oleh satu instansi pemerintah berdasarkan pelimpahan wewenangan dari instansi pemerintah lainnya yang bersangkutan.

3. Pola pelayanan satu atap, yaitu pola pelayanan umum yang dilakukan secara terpadu pada suatu tempat/tinggal oleh beberapa instansi pemerintah yang bersangkutan sesuai kewenangannya masing-masing.

4. Pola pelayanan secara terpusat, yaitu pola pelayanan umum yang dilakukan oleh satu instansi pemerintah yang bertindak selaku koordinator terhadap pelayanan instansi pemerintah lainnya yang terkait dengan bidang pelayanan umum yang bersangkutan.

Thery dalam Toha (1996) menggolongkan lima unsur pelayanan yang memuaskan, yaitu : merata dan sama, diberikan tepat pada waktunya, memenuhi jumlah yang dibutuhkan, berkesinambungan, dan selalu

BAB 4 Layanan Berkualitas 67

meningkatkan kualitas serta pelayanan (proggresive service). Setiap orang mengharapkan pelayanan yang unggul, yaitu suatu sikap atau cara pegawai dalam melayani pelanggan secara memuaskan.

Pelayanan publik yang profesional, artinya pelayanan publik yang dicirikan oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan (aparatur pemerintah) yang efektif dalam pencapaian tujuan dan sasaran.

Bila jasa/layanan yang diterima (perceived service) sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas jasa/layanan yang dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika jasa yang diterima melampaui harapan pelanggan, maka kualitas jasa dipersepsikan sebagai kualitas yang ideal. Sebaliknya bila jasa/layanan yang diterima lebih rendah dari pada diharapkan, maka kualitas/layanan akan dipersepsikan buruk.

Dengan demikian, baik atau buruknya kualitas jasa/layanan tergantung kepada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan pelanggan secara konsisten dan berakhir pada persepsi pelanggan. Ini berarti bahwa citra kualitas yang baik bukanlah berdasarkan sudut pandang penyelenggara, tetapi harus dilihat dari sudut pandang atau persepsi pelanggan.

Salah satu semangat reformasi adalah menghilangkan kekuasaan yang tidak berpihak kepada rakyat, semangat untuk meningkatkan sektor pelayanan kepada publik. Jadi kalau pada era reformasi sekarang ini ternyata pelayanan kepada publik masih juga belum tergarap dengan baik, itu berarti pengingkaran terhadap nilai-nilai reformasi. Itulah sebabnya lembaga pelayanan publik yang terpilih memegang mandat untuk memperbaiki pelayanan kepada masyarakat dan keberhasilan meraka adalah untuk mendekatkan harapan dan kenyataan tersebut.

Profesionalisme aparat dan citra pelayanan publik adalah dua hal yang saling berkaitan. Meningkatkan profesioanlisme dalam menjalankan fungsi dan peran sesuai bidang tugas yang diemban. Aparat sudah seharusnya

Kualitas Layanan Rumah Sakit68

berusaha meningktkan kualitas diri yang menyangkut keahlian, memahami hakekat dan tanggung jawab profesi. Pelayanan publik profesional artinya bercirikan adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan.

Untuk mencapai pelayanan publik yang profesional maka perlu memahami prinsip-prinsip pelayanan publik yang baik yaitu, kesederhanaan, kejelasan,kepastian, waktu, akurasi serta kenyamanan. Prinsip pelayanan publik di atas harus disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat dalam mewujudkan pelayanan publik yang prima sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat.

Hal tersebut harus secepatnya diatasi karena persepsi masyarakat terhadap pelayanan publik dapat berubah secara drastis. Pelayanan yang baik merupakan hak penuh masyarakat yang harus dijawab dengan kewajiban pemerintah untuk memberikan pelayanan yang prima.

Aparatur pemerintah berada pada posisi yang penting tetapi di sisi lain berapa pada posisi yang sulit. Karena aparatur pelayanan masyarakat merupakan ujung tombak yang langsung berhadapan dengan masyarakat . Menghadapi masyarakat yang tinggi tuntunannya serta selalau mendapatkan tudingan negatif dari masyarakat seperti kurang mampu memberikan pelayanan, lamban dan kurang inisiatif.

Bentuk pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat menurut Lembaga Administrasi Negara (1998) dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis pelayanan yaitu

1. Pelayanan Pemerintahan, yaitu merupakan pelayanan masyarakat yang erat dalam tugas-tugas umum pemerintahan seperti pelayanan Kartu Keluarga/KTP, IMB, Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Imigrasi.

2. Pelayanan Pembangunan, merupakan pelayanan masyarakat yang terkait dengan penyediaan sarana dan prasarana untuk memberikan fasilitas kepada masyarakat dalam aktifitasnya sebagai warga masyarakat, seperti penyediaan jalan, jembatan, pelabuhan dan lainnya.

BAB 4 Layanan Berkualitas 69

3. Pelayanan Utilitas merupakan penyediaan utilitas seperti listrik, air, telepon, dan transportasi.

4. Pelayanan Kebutuhan Pokok, merupakan pelayanan yang menyediaan bahan-bahan kebutuhan pokok masyarakat dan kebutuhan perumahan seperti penyediaan beras, gula, minyak, gas, tekstil dan perumahan murah.

5. Pelayanan Kemasyarakatan, merupakan pelayanan yang berhubungan dengan sifat dan kepentingan yang lebih ditekankan kepada kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, penjara, rumah yatim piatu dan lainnya.

Secara umum fungsi sarana pelayanan antara lain :

a. Mempercepat prtoses pelaksanaan kerja (hemat waktu);

b. Meningkatkan produktifitas barang dan jasa;

c. Ketepatan ukuran/kualitas produk terjamin peneyerahan gerak pelaku pelayanan dengan fasilitas ruangan yang cukup;

d. Menimbulkan rasa kenyamanan;

e. Menimbulkan perasaan puas dan mengurangi sifat emosional penyelenggara.

Pelayanan publik yang dilakukan pemerintah saat ini perlu lebih diorientasikan kepada kaidah akuntabilitas publik secara langsung dengan cara penyajianmanajemen kualitas pelayanan yang terintegrasi. Hal ini mencoba menguraikan pemikiran yang bersifat asumtif dan hipotesis yang menyatakan bahwa semakin baik akuntabilitas publik semakin baik pemerintahan.

5. Sistem Pelayanan Terpadu

Sistem pelayanan ini menyelenggarakan perizinan dan non perizinan, yang pengelolaanya dilakukan terpadu dalam satu tempat. Pelayanan ini pada dasarnya ditujukan untuk menyederhanakan birokrasi penyelenggaraan

Kualitas Layanan Rumah Sakit70

pelayanan dalam bentu; pemangkasan tahapan dan prosedur lintas instasi maupun dalam instansi yang bersangkutan, pemangkasan pembiayaan, pengurangan jumlah persyaratan, pengurangan jumlah paraf dan tanda tangan yang diperlukan, dan pengurangan waktu pemrosesan.

Dengan dilaksankannya sistem ini, maka telah terjadi perubahan paradigm dalam penyelenggaraan pelayanan publik, hal ini dapat dilihat dalam penyelenggaraannya, sebagai berikut:

a) Tujuan hakiki adalah peningkatan kualitas pelayanan

b) Reinventing Government. Proses transformasi sektor publik ini didasari prinsip-prinsip:

1) Pemerintah pengatur dan pengendali, bukan pelaksana

2) Pemerintah mendorong iklim kompetisi dalam member pelayanan

3) Sebaiknya lebih beroreintasi pada hasil

4) Melayani masyarakat secara optimal, bukan masyarakt yang melayani birokrasi

5) Melimpahkan tugasnya kepada partisipasi masyarakat dan kerja tim

6) Berorientasi kepada pasar, mengurangi hambatan birokrasi, dan meningkatkan daya saing.

c) Banishing Bureaucracy (memangkas birokrasi) dengan ditetapkannya lima strategi:

1) Strategi inti, pendekatan pada kejelasan tujuan, peran dan arahan

2) Strategi Konsekuensi, pendekatan pada penilaian kinerja

3) Strategi Pelanggan, pendekatan pada pilihan pelanggan, kompetensi dan kualitas

4) Strategi kekuatan, pendekatan pada pemberdayan, dan partisipasi masyarakat

5) Strategi Kultur, pendekatan pada nilai, kebiasaan, visi dan nurani.

BAB 4 Layanan Berkualitas 71

Dengan adanya konsep kebijakan pelayanan terpadu atap, konsep ini merupakan salah satu kebijakan pemerintah sebagai implementasi kebijakan-kebijakan pemerintah yang terkait dengan peningkatan pelayanan, yang terdiri dari beberapa aspek antara lain:a. Wewenang dan Penandatangananb. Koordinasic. Mekanisme dan Prosedur Pelayanand. Pengawasane. Standar Pelayanan Primaf. Lokasi dan Model Pelayanang. Kelembagaanh. Target PADi. Status Kepegawaian

6. Dimensi Kualitas Pelayanan

Kualitas terdiri dari sejumlah keistimewaan produk, yang memenuhi keinginan pelanggan, dengan demikian memberikan kepuasan atas penggunaan produk. Berarti kualitas harus sesuai dengan standar hal ini seperti yang dikemukankan oleh ISO 8402 Gaspersz dalam Laksana (2008), “Bahwa kualitas merupakan totalitas dari suatu karakteristik pelayanan yang sesuai dengan persyaratan atau standar”.

Bagi perusahaan yang bergerak di bidang jasa, memuaskan kebutuhan pelanggan berarti perusahaan harus memberikan pelayanan berkualitas (service quality) kepada pelanggan. Menurut Lewis dan Booms dalam Tjiptono dan Chandra (2005) mendefinisikan “Kualitas pelayanan sebagai ukuran seberapa baik tingkat layanan yang diberikan mampu sesuai dengan ekspektasi pelanggan”.

Berdasarkan defenisi ini, kualitas pelayanan bisa diwujudkan

Kualitas Layanan Rumah Sakit72

melalui pemenuhan kebutuhan dan keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaiannya utnuk mengimbangi harapan pelanggan. Sedangkan menurut Parasuraman di dalam Tjiptono dan Chandra (2005) menyatakan dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas pelayanan, yakni pelayanan yang diharapkan (expected service) dan pelayanan yang dirasakan/dipersepsikan (perceived service). Apabila pelayanan yang dirasakan sesuai dengan pelayanan yang diharapkan, maka kualitas layanan bersangkutan akan dipersepsikan baik atau positif. Jika pelayanan yang dirasakan melebihi pelayanan yang diharapkan, maka kualitas pelayanan dipersepsikan sebagai kualitas ideal. Sebaliknya apabila perceived service lebih buruk dibandingkan pelayanan yang diharapkan, maka kualitas jasa dipersepsikan negative atau buruk. Oleh sebab itu, baik tidaknya kualitas jasa tergantung pada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan pelanggannya secara konsisten.

Berdasarkan definisi-definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kualitas pelayanan adalah tingkat keunggulan pelayanan yang dapat memenuhi keinginan konsumen/pelanggan yang diberikan oleh suatu organisasi. Agar pelayanan memiliki kualitas dan memberikan kepuasan kepada pelanggan, maka perusahaan harus memperhatikan berbagai dimensi yang dapat menciptakan dan meningkatkan kualitas pelayanan. Banyaknya para ahli mengungkapkan dimensi-dimensi kualitas pelayanan, namun dalam penelitian Zeithaml dalam Tjiptono dan Chandra, (2005) menyatakan adanya overlapping di antara beberapa dimensi. Oleh sebab itu, para peneliti menyederhanakan sepuluh dimensi tersebut menjadi lima dimensi yang disebut dimensi SERVQUAL, yakni:

1. Bukti Fisik ( tangibles) Berkenaan dengan daya fasilitas fisik, perlengkapan, dan material yang digunakan perusahaan, serta penampilan karyawan.

2. Keandalan (reability) Berkaitan dengan kemampuan perusahaan untuk memberikan layanan yang akurat sejak pertama kali tanpa

BAB 4 Layanan Berkualitas 73

membuat kesalahan apapun dan menyampaikan jasanya sesuai dengan waktu yang disepakati.

3. Daya Tanggap (responsiveness) Berkenaan dengan kesediaan dan kemampuan para karyawan untuk membantu para pelanggan dan merespon permintaan mereka, serta menginformasikan kepada jasa akan diberikan dan kemudian memberikan jasa secara cepat.

4. Jaminan (assurance) Yakni perilaku para karyawan mampu menumbuhkan kepercayaan pelanggan terhadap perusahaan dan perusahaan biasa menciptakan rasa aman bagi para pelanggan. Jaminan juga berarti bahwa para karyawan selalu bersikap sopan dan menguasai pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk menangani setiap pertayaan atau masalah pelanggan.

5. Empati (empaty) Perusahaan memahami masalah para pelanggannya dan bertindak demi kepentingan pelanggan, serta memberikan perhatian personal kepada para pelanggan dan memiliki jam operasi yang nyaman.

7. Kualitas Pelayanan Publik

Bagi perusahaan yang memberikan pelayanan perlu diperhatikan mutu atau kualitas yang dari pelayanan yang diberikan kepada pelanggan. Menurut Lovelock dalam Laksana (2008), “Kualitas adalah tingkat mutu yang diharapkan, dan pengendalian keragaman dalam mencapai mutu tersebut untuk memenuhi kebutuhan konsumen.”

Dengan demikian, kualitas merupakan faktor kunci sukses bagi suatu organisasi atau perusahaan, seperti yang dimukakan oleh Welch dalam Kotler (2001), “Kualitas merupakan jaminan terbaik kita atas kesetiaan pelanggan, pertahanan terkuat kita dalam menghadapi persaingan asing, dan satu-satunya jalan menuju pertumbuhan dan pendapatan yang langgeng.”

Kualitas Layanan Rumah Sakit74

Menurut Zeithaml et. al dalam Laksana (2008), “Kualitas pelayanan yang diterima konsumen dinyatakan besarnya perbedaan antara harapan atau keinginan konsumen dengan tingkat persepsi mereka”. Sedangkan menurut Payne (2000) “Kualitas pelayanan berkaitan dengan kemampauan suatu organisasi untuk memenuhi atau melebihi harapan pelanggan”.

Wyckof dalam Purnama (2006) memberikan pengertian kualitas layanan sebagai tingkat kesempurnaan yang diharapkan dan pengendalian atas kesempurnaan tersebut untuk memenuhi keinginan konsumen. Inti dari penjelasan Wyckof ini adalah bahwa konsep kualitas pelayanan umum terkait dengan upaya untuk memenuhi atau bahkan melebihi harapan yang dituntut atau yang diinginkan oleh pelanggan. Sedangkan Lebouf (1992) menyatakan bahwa ”Kualitas layanan merupakan kemampuan suatu layanan yang diberikan oleh pemberi layanan dalam memenuhi keinginan penerima layanan tersebut”.

Berdasarkan definisi tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa kualitas pelayanan merupakan upaya yang dilakukan oleh perusahaan untuk memenuhi harapan pelanggannya. Kualitas pelayanan lebih menekankan aspek kepuasan pelanggan yang diberikan oleh perusahaan yang menawari jasa. Keberhasilan suatu perusahaan yang bergerak di sector jasa tergantung kualitas pelayanan yang ditawarkan.

Dengan demikian organisasi dapat meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, hendaknya selalu berfokus kepada pencapaian pelayanan, sehingga pelayanan yang diberikan diharapkan dapat diberikan untuk memenuhi pelanggan. Menerapkan prinsip menyiapkan kualitas pelayanan sebaik mungkin, perlu dilakukan untuk dapat menghasilkan kinerja secara optimal, sehingga kualitas pelayanan dapat meningkat, dimana yang penting untuk dilakukan adalah kemampuan membentuk layanan yang dijanjikan secara tepat dan memiliki rasa taggung jawab terhadap mutu pelayanan.

BAB 4 Layanan Berkualitas 75

Disamping itu, untuk mewujudkan kualitas pelayanan yang didasarkan pada sistem kualitas memiliki cara atau karakteristik tertentu, antara lain dicirikan oleh adanya partisipasi aktif yang dipimpin oleh manajemen puncak dalam proses peningkatan kualitas secara terus menerus.

Gronroos dalam Purnama (2006) menyatakan bahwa kualitas layanan meliputi :

1. Kualitas fungsi, yang menekankan bagaimana layanan dilaksanakan, terdiri dari : dimensi kontak dengan konsumen, sikap dan perilaku, hubungan internal, penampilan, kemudahan akses dan service mindedness.

2. Kualitas teknis dengan output yang dirasakan konsumen, meliputi harga, ketepatan waktu, kecepatan layanan dan estetika output.

3. Reputasi perusahaan, yang dicerminkan oleh citra perusahaan dan reputasi dimata konsumen.

Selanjutnya Gronroos mengemukakan bahwa terdapat tiga kriteria pokok dalam menilai kualitas pelayanan, yaitu :

1. Outcome-related Criteria, kriteria yang berhubungan dengan hasil kinerja layanan yang ditunjukan oleh penyedia layanan menyangkut profesionalisme dan ketrampilan. Konsumen menyadari bahwa penyedia layanan memiliki sistem operasi, sumber daya fisik, dan pekerja dengan pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan untuk memecahkan masalah konsumen secara profesional.

2. Process-related Criteria, kriteria yang berhubungan dengan proses terjadinya layanan. Kriteria ini terdiri dari :

a. Sikap dan perilaku pekerja

b. Kendalan dan sifat dapat dipercaya

c. Tindakan perbaikan jika melakukan kesalahan

Kualitas Layanan Rumah Sakit76

3. Image-related Criteria, yaitu reputasi dan kredibilitas penyedia layanan yang memberikan keyakinan konsumen bahwa penyedia layanan mampu memberikan nilai atau imbalan sesuai pengorbanannya.

Disamping itu, Fitzsimmons dalam Sedarmayanti (2004) mengemukakan bahwa kualitas pelayanan merupakan sesuatu yang kompleks, sehingga untuk menentukan sejauhmana kualitas dari pelayanan tersebut, dapat dilihat dari lima dimensi, yaitu :

1) Reliability (Handal), kemampuan untuk memberikan secara tepat dan benar, jenis pelayanan yang telah dijanjikan kepada konsumen / pelanggan.

2) Responsiveness (Pertanggungjawaban), kesadaran atau keinginan untuk membantu konsumen dan memberikan pelayanan yang cepat.

3) Assurance ( Jaminan), pengetahuan atau wawasan, kesopansantunan, kepercayaan diri dari pemberi layanan, serta respon terhadap konsumen.

4) Empathy (Empati), kemauan pemberi layanan untuk melakukan pendekatan, memberi perlindungan, serta berusaha untuk mengetahui keinginan dan kebutuhan konsumen.

5) Tangibles (Terjamah), penampilan para pegawai dan fasilitas fisik lainnya, seperti peralatan atau perlengkapan yang menunjang pelayanan.

Berdasarkan pada apa yang telah diutarakan, maka pada dasarnya kualitas pelayanan dapat meliputi beberapa aspek kemampuan yaitu sebagai berikut :

1. Aspek Sumber Daya Manusia. Kemampuan sumber daya manusia terdiri dari ketrampilan, pengetahuan dan sikap. Bila ketrampilan pengetahuan dan sikap diupayakan untuk ditingkatkan menjadi lebih profesional maka hal tersebut akan mempengaruhi pelaksanaan tugas, dan apabila pelaksanaan tugas dilakukan secara lebih profesional, maka akan menghasilkan kualitas pelayanan yang lebih baik.

BAB 4 Layanan Berkualitas 77

2. Aspek Sarana dan Prasarana. Apabila pengelolaan atau pemanfaatan sarana dan prasarana dilakukan secara cepat, tepat dan lengkap, sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat pelanggan, maka hal tersebut akan menghasilkan kualitas pelayanan yang lebih baik.

3. Aspek Prosedur yang dilaksanakan. Berkaitan dengan aspek prosedur yang dilaksanakan, kualitas pelayanan yang diharapkan oleh masyarakat pelanggan dapat diciptakan bila memperhatikan dan menerapkan ketepatan, kecepatan serta kemudahan prosedur, sehingga dapat meningkatkan kuaitas pelayanan untuk menjadi prima atau lebih baik dari sebelumnya.

4. Aspek Jasa yang diberikan. Aspek jasa yang diberikan peningkatan kualitas pelayanan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat pelanggan diharapkan dapat dilakukan dengan cara memberikan kemudahan dalam mendapat informasi, kecepatan dan ketepatan pelayanan sehingga pelayanan prima atau pelayanan yang lebih baik dapat diwujudkan.

Dalam rangka menyiapkan suatu pelayanan berkualitas yang sesuai dengan yang diharapkan perlu berdasarkan pada sistem kualitas yang memiliki katakteristik tertentu. Suatu masyarakat pelanggan, akan selau bertitik tolak kepada pelanggan, sehingga pelayanan yang diberikan dapat memenuhi keinginan pelanggan.

Beberapa karakteristik kualitas pelayanan menurut Nasir dalam Tjandra, dkk (2005) sebagai berikut :

1. Ketepatan waktu pelayanan.

2. Aksebilitas dan kemudahan untuk mendapatkan jasa meliputi lokasi, keterjangkauan waktu operasi (waktu pelayanan yang cukup memadai), keberadaan pegawai pada saat konsumen memerlukan jasa publik)

3. Akurasi pendampingan/pelayanan jasa yang diberikan.

4. Sikap sopan santun karyawan yang memberikan pelayanan

Kualitas Layanan Rumah Sakit78

5. Kecukupan informasi yang diseminasikan kepada pengguna potensial.

6. Kondisi dan keamanan fasilitas yang digunakan oleh konsumen

7. Kepuasan konsumen terhadap karakteristik atau aspek-aspek tertentu dari jasa publik yang diberikan

8. Kepuasan konsumen terhadap jasa publik secara keseluruhan

Kemudian dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan, Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara menetapkan Keputusan Nomor KEP/25/M-PAN/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah. Dalam Pedoman ini, selain dimaksudkan sebagai acuan untuk mengetahui tingkat kinerja masing-masing unit pelayanan instansi pemerintah, juga diharapkan dapat memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menilai secara objektif dan periodik terhadap perkembangan kinerja unit pelayanan. Dalam keputusan tersebut ditetapkan 14 unsur yang relevan, valid dan reliabel, sebagai unsur minimal yang harus ada untuk dasar pengukuran indeks kepuasan masyarakat, yaitu sebagai berikut :

1. Prosedur pelayanan, yaitu kemudahan tahapan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dilihat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan.

2. Persyaratan pelayanan, yaitu persyaratan teknis dan administratif yang diperlukan untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan jenis pelayanannya.

3. Kejelasan petugas pelayanan, yaitu keberadaan dan kepastian petugas yang memberikan pelayanan

4. Kedisplinan petugas pelayanan, yaitu kesungguhan petugas dalam memberikan pelayanan terutama terhadap konsistensi waktu kerja sesuai ketentuan berlaku.

5. Tanggung jawab petugas pelayanan, kejelasan wewenang dan tanggung jawab petugas dalam penyelenggaraan dan penyelesaian pelayanan.

BAB 4 Layanan Berkualitas 79

6. Kemampuan petugas pelayanan, yaitu tingkat keahlian dan ketrampilan yang dimiliki petugas dalam memberikan/menyelesaikan pelayanan kepada masyarakat.

7. Kecepatan pelayanan, yaitu target waktu pelayanandapat diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan oleh unit penyelenggara pelayanan.

8. Keadilan mendapat pelayanan, yaitu pelaksanaan pelayanan dengan tidak membedakan golongan/status masyarakat yang dilayani.

9. Kesopanan dan keramahan petugas, yakni sikap dan perilaku petugas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara sopan dan ramah serta saling menghargai dan menghormati.

10. Kewajaran biaya pelayanan, yaitu kejangkauan masyarakat terhadap besarnya biaya yang ditetapkan oleh unit pelayanan.

11. Kepastian biaya pelayanan, yaitu kesesuaian antara biaya yang dibayarkan dengan biaya yang telah ditetapkan

12. Kepastian jadwal pelayanan, yaitu pelaksanaan waktu pelayanan, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

13. Kenyamanan lingkungan, yaitu kondisi sarana dan prasarana pelayanan yang bersih, rapi dan teratur sehingga dapat memberikan rasa nyaman kepada penerima pelayanan.

14. Keamanan pelayanan, yaitu terjaminnya tingkat keamanan lingkungan unit penyelenggara pelayanan ataupun sarana yang digunakan, sehingga masyarakat merasa tenang untuk mendapatkan pelayanan terhadap resiko-resiko yang diakibatkan dari pelaksanaan pelayanan.

8. Dimensi Etika Pelayanan Publik

Hubungannya dengan dimensi etika pelayanan publik seperti dikemukakan Bruce Mc. Callum (dalam Fadillah, 2001) ada beberapa dimensi yang dapat dijabarkan dalam melihat perbedaan antara sektor publik dan sektor privat, yaitu dalam hal tujuan dan sasaran, akuntabilitas, meryt

Kualitas Layanan Rumah Sakit80

system, jaminan kerja, koordinasi, keterlibatan politik dalam pembuatan keputusan, konsistensi dalam pengambilan keputusan, personalitas dan perfomance antara manajer publik dan privat.

Menurut Widodo, (2001) dalam berorganisasi dikenal tiga macam etika yaitu:

1. Etika individu etika ini menentukan baik buruk perilaku orang perorangan dalam hubungannya dengan orang lain;

2. Etika organisasi menetapkan parameter dan merinci kewajiban-kewajiban organisasi itu sendiri dan;

3. Etika profesi perlu dikembangkan dan dilembagakan dalam bentuk kode etik.

Kaitannya dengan etika pelayanan publik aparat birokrasi sebagai abdi masyarakat (public servant) dalam memberikan pelayanan pada organisasi publik harus mengacu pada ketiga macam etika tersebut. Dengan demikian, etika tersebut idealnya dapat diikuti dan dipatuhi dan sekaligus dijadikan pedoman, pegangan, referensi seseorang dalam melakukan hubungan dengan orang dalam organisasi, dan menjalankan tugas organisasi dan profesinya.

Dalam hubungannya dengan etika administrasi negara, American society for Public Administration (Perhimpunan Amerika untuk Administrasi Negara), mengatakan prinsip-prinsip etika sebagai berikut, Wachs (dalam Keban, 1994) yaitu (1) pelayanan publik harus diutamakan, (2) rakyat yang berdaulat, (3) hukum mengatur semua kegiatan pelayanan publik, (4) manajemen yang efesien dan efektif dasar bagi administrator publik, (5) sistem merit dan kesempatan kerja yang sama harus didukung, di implementasikan dan dipromosika (6) mengorbankan kepentingan publik demi kepentingan pribadi tidak dapat dibenarkan, (7) keadilan, kejujuran, keberanian, kesamaan, kepandaian, dan empati merupakan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dan secara aktif harus di promosikan, (8) kesadaran moral

BAB 4 Layanan Berkualitas 81

penting dalam memilih alternatif keputusan, (9) administrator publik tidak semata-mata berusaha menghindari kesalahan, tetapi juga berusaha mengejar atau mencari kebenaran.

Selain itu, Kumorotomo (1992) menguraikan unsur-unsur etis yang langsung menyangkut pekerjaan sehari-hari seorang pegawai dapat dilihat dalam PP N0. 10 tahun 1979. Peraturan tersebut menggariskan tentang cara-cara menilai prestasi pegawai meskipun sebagai pedoman evaluasi, tetapi dapat digunakan sebagai tuntunan bagi pegawai tentang cara bekerja yang baik.

Di dalam Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3), yang merupakan inti peraturan tersebut, ada delapan unsur penilaian pegawai, yaitu sebagai berikut: 1) Kesetiaan, 2) Prestasi kerja, 3) tanggung jawab, 4) Ketaatan, 5) Kejujuran, 6) Kerja sama, 7) Prakarsa dan 8) Kepemimpinan, yang selanjutnya dilakukan penilaian kinerja sesuai Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2009 yaitu penyelenggara berkewajiban melakukan penilaian kinerja penyelenggaraan pelayanan publik secara berkala dan penilaian tersebut dilakukan dengan menggunakan indikator kinerja berdasarkan standard pelayanan.

Sedangkan, etika dalam penyelenggaraan pelayanan publik menurut Dwiyanto (2002) dapat dilihat dari sudut apakah seorang aparat birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat merasa mempunyai komitmen untuk menghargai hak-hak dari konsumen untuk mendapatkan pelayanan secara transparan, efesien, dan adanya jaminan kepastian pelayanan. Perilaku aparat birokrasi yang memiliki etika dapat tercermin pada sikap sopan dan keramahan dalam menghadapi masyarakat pengguna jasa. Selanjutnya dikatakan etika juga mengandung unsur moral, sedangkan moral memiliki ciri rasional, objektif, tanpa pamrih, dan netral. Aparat birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada publik sudah sepantasnya untuk tidak melakukan berbagai bentuk diskriminatif yang merugikan pengguna jasa.

Kualitas Layanan Rumah Sakit82

Selanjutnya, menurut Widodo (2001) dalam hal pelayanan publik, maka pelayanan publik yang professional artinya pelayanan publik yang dicirikan oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan.

Dimana pelayanan publik yang professional dimensinya dapat dilihat yaitu, antara lain: (1) efektif, (2) sederhana, (3) kejelasan dan kepastian (transparan) dalam hal prosedur/tata cara pelayanan, persyaratan pelayanan baik teknis maupun administratif, unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan, rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya, dan jadwal waktu penyelesaian pelayanan, (4) keterbukaan, (5) efesiensi, (6) ketepatan waktu, (7) responsive, (8) adaptif .

Sedangkan, Lovelock (dalam Widodo, 2001) mengemukakan lima prinsip yang harus diperhatikan dalam pelayanan publik.

Agar kualitas pelayanan dapat dicapai, yaitu:

1. Tangible (terjamah), seperti kemampuan fisik, peralatan, personil dan komunikasi

2. Realiable (handal), kemampuan membentuk pelayanan yang dijanjikan dengan tepat dan memiliki keajegan

3. Responsivnes (pertanggung jawaban), yakni rasa tanggung jawab terhadap mutu pelayanan

4. Assurance (jaminan), pengetahuan, perilaku dan kemampuan pegawai

5. Empathy (empati), perhatian perorangan pada pelanggan.

Disamping itu, pihak pelayan publik dalam memberikan layanan publik setidaknya harus mengetahui kebutuhan yang dilayani, menerapkan persyaratan manajemen untuk mendukung penampilan dan memantau dan mengukur kinerja. Sebagai perwujudan agar kualitas pelayanan publik menjadi baik, maka dalam memberikan layanan publik harus mudah dalam pengurusan bagi yang berkepentingan (prosedurnya sederhana), mendapat

BAB 4 Layanan Berkualitas 83

pelayanan yang wajar, mendapat pelayanan yang sama tanpa pilih kasih dan mendapat perlakuan jujur dan terus terang (transparansi).

Zethaml (dalam Widodo, 2001) mengemukakan tolok ukur kualitas pelayanan publik dapat dilihat dari sepuluh dimensi yaitu

1. Tangible, terdiri atas fasilitas fisik, peralatan, personil dan komunikasi

2. Reliable terdiri kemampuan unit dalam menciptakan pelayanan yang dijanjikan tepat

3. Responsiveness, kemauan untuk membantu konsumen bertanggung jawab terhadap mutu layanan yang diberikan

4. Competence, tuntutan yang dimilikinya, pengetahuan dan ketrampilan yang baik oleh aparatur dalam memberikan layanan

5. Courtesey, sikap atau perilaku ramah, bersahabat, tanggap terhadap keinginan konsumen serta melakukan kontak hubungan pribadi

6. Credibility, sikap jujur dalam setiap upaya untuk menarik kepercayaan masyarakat

7. Security, jasa pelayanan yang diberikan harus dijamin bebas dari berbagai bahaya dan resiko

8. Access, terdapat kemudahan untuk mengadakan kontak dan pendekatan

9. Communication, kemauan pemberi layanan untuk mendengarkan suara, keinginan atau aspirasi pelanggan, sekaligus kesediaan untuk selalu menyampaikan informasi baru kepada masyarakat

10. Understanding the customer, melakukan segala usaha untuk mengetahui kebutuhan pelanggan.

Lembaga Administrasi Negara Widodo ,(2001) membuat beberapa kriteria pelayanan publik yang baik yaitu:

1. Kesederhanaan, mengandung arti prosedur tatacara pelayanan diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat tidak berbelit-belit, mudah

Kualitas Layanan Rumah Sakit84

dipahami dan dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan.

2. Kejelasan dan kepastian mengandung arti adanya kejelasan dan kepastian mengenai: prosedur/tata cara pelayanan; persyaratan pelayanan baik teknis maupun administratif; unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan; rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya; dan jadwal waktu penyelesaian pelayanan

3. Keamanan, mengandung arti proses hasil pelayanan dapat memberikan keamanan, kenyamanan dan dapat memberikan kepastian hukum bagi masyarakat

4. Keterbukaan mengandung makna prosedur/tatacara persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggung jawab pemberi layanan, waktu penyelesaian, rincian waktu/tarif serta hal-hal lain berkaitan dengan proses pelayanan, wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta

5. Efesiensi mengandung arti persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hak-hak berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan produk pelayanan, dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan dari satuan kerja/instansi pemerintah lain yang terkait

6. Ekonomis mengandung arti pengenaan biaya pelayanan harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan nilai barang dan jasa pelayanan masyarakat dan tidak menuntut biaya yang terlalu tinggi di luar kewajaran, kondisi dan kemampuan masyarakat untuk membayar, ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

7. Keadilan yang merata mengandung arti cakupan/jangkauan pelayanan harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diberlakukan secara adil bagi seluruh lapisan masyarakat

8. Ketepatan waktu mengandung arti pelaksanaan pelayanan masyarakat

BAB 4 Layanan Berkualitas 85

dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan

9. Kuantitatif meliputi jumlah warga/masyarakat yang meminta pelayanan (per hari, per bulan atau per tahun), perbandingan periode pertama dengan berikutnya menunjukkan adanya peningkatan atau tidak; lamanya waktu pemberian pelayanan masyarakat sesuai dengan permintaan (dihitung secara rata-rata). Penggunaan perangkat-perangkat modern untuk mempercepat dan mempermudah pelayanan kepada masyarakat; frekwensi keluhan dan atau pujian dari masyarakat penerima pelayanan terhadap pelayanan yang diberikan oleh unit kerja/kantor pelayanan yang bersangkutan.

Sehubungan dengan itu, apabila merujuk membicarakan etika dalam pelayanan publik bagaimana keduanya bisa dikaitkan gagasan-gagasan yang ada dalam pelayanan publik menjadi kajian etika pada tatanan praktis, bagaimana gagasan-gagasan dasar etika mewujudkan yang baik dan menghindari yang buruk dapat menjelaskan hakikat pelayanan publik. Dengan begitu, masalah etika dalam birokrasi menjadi keprihatinan yang sangat besar karena perilaku dan tingkah laku birokrasi mempengaruhi bukan hanya dirinya tetapi masyarakat banyak.

9. Evaluasi Pelayanan Publik

Dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan, Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara menetapkan Keputusan Nomor KEP/25/M-PAN/2004. Dalam Pedoman ini, selain dimaksudkan sebagai acuan untuk mengetahui tingkat kinerja masing-masing unit pelayanan instansi pemerintah, juga diharapkan dapat memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menilai secara objektif dan periodik terhadap perkembangan kinerja unit pelayanan. Dalam keputusan tersebut ditetapkan 14 unsur yang relevan, valid dan reliabel, sebagai unsur minimal yang harus ada untuk dasar pengukuran indeks kepuasan masyarakat, yaitu sebagai berikut:

Kualitas Layanan Rumah Sakit86

1. Prosedur pelayanan, yaitu kemudahan tahapan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dilihat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan.

2. Persyaratan pelayanan, yaitu persyaratan teknis dan administrative yang diperlukan untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan jenis pelayanannya.

3. Kejelasan petugas Pelayanan, yaitu keberadaan dan kepastian petugas yang memberikan pelayanan

4. Kedisiplinan petugas pelayanan, yaitu kesungguhan petugas dalam memberikan pelayanan terutama terhadap konsistensi waktu kerja sesuai ketentuan berlaku.

5. Tanggung jawab petugas pelayanan, kejelasan wewenang dan tanggung jawab petugas dalam penyelenggaraan dan penyelesaian pelayanan.

6. Kemampuan petugas pelayanan, yaitu tingkat keahlian dan ketrampilan yang dimiliki petugas dalam memberikan/ menyelesaikan pelayanan kepada masyarakat.

7. Kecepatan pelayanan, yaitu target waktu pelayanan dapat diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan oleh unit penyelenggara pelayanan.

8. Keadilan mendapat pelayanan, yaitu pelaksanaan pelayanan dengan tidak membedakan golongan/status masyarakat yang dilayani.

9. Kesopanan dan keramahan petugas, yakni sikap dan perilaku petugas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara sopan dan ramah serta saling menghargai dan menghormati.

10. Kewajaran biaya pelayanan, yaitu kejangkauan masyarakat terhadap besarnya biaya yang ditetapkan oleh unit pelayanan.

11. Kepastian biaya pelayanan, yaitu kesesuaian antara biaya yang dibayarkan dengan biaya yang telah ditetapkan

12. Kepastian jadwal pelayanan, yaitu pelaksanaan waktu pelayanan, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

BAB 4 Layanan Berkualitas 87

13. Kenyamanan Lingkungan, yaitu kondisi sarana dan prasarana pelayanan yang bersih, rapi dan teratur sehingga dapat memberikan rasa nyaman kepada penerima pelayanan.

14. Keamanan pelayanan, yaitu terjaminnya tingkat keamanan lingkungan unit penyelenggara pelayanan ataupun sarana yang digunakan, sehingga masyarakat merasa tenang untuk mendapatkan pelayanan terhadap resiko-resiko yang diakibatkan dari pelaksanaan pelayanan.

Selanjutnya Gronroos (dalam Purnama, 2006) mengemukakan bahwa terdapat tiga kriteria pokok dalam menilai kualitas pelayanan, yaitu:

1) Outcome-related Criteria, kriteria yang berhubungan dengan hasil kinerja layanan yang ditunjukan oleh penyedia layanan menyangkut profesionalisme dan ketrampilan. Konsumen menyadari bahwa penyedia layanan memiliki sistem operasi, sumber daya fisik, dan pekerja dengan pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan untuk memecahkan masalah konsumen secara profesional.

2) Process-related Criteria, kriteria yang berhubungan dengan proses terjadinya layanan. Kriteria ini terdiri dari :

a) Sikap dan perilaku pekerja

b) Kendalan dan sifat dapat dipercaya

c) Tindakan perbaikan jika melakukan kesalahan

3. Image-related Criteria, yaitu reputasi dan kredibilitas penyedia layanan yang memberikan keyakinan konsumen bahwa penyedia layanan mampu memberikan nilai atau imbalan sesuai pengorbanannya.

10. Pengukuran Kualitas Pelayanan

Untuk mengukur kualitas layanan seperti yang diharapkan oleh pelanggan, perlu diketahui kriteria (dimensi) yang dipakai oleh pelanggan dalam menilai pelayanan tersebut. Parasuraman et al. (1990 : 420-450)

Kualitas Layanan Rumah Sakit88

menyimpulkan kelima dimensi kualitas layanan tersebut adalah : Tangible, Reliable, Responsiveness, Empathy dan Assurance.

1. Tangibility, yaitu penampilan fisik, peralatan, personil dan materi komunikasi.

2. Reliable, yaitu kemampuan untuk memberikan layanan yang menjajikan secara akurat, tepat waktu dan dapat dipercaya.

3. Responsiveness, yaitu kemauan untuk membantu pelanggan dengan memberikan layanan yang baik dan cepat.

4. Empathy, yaitu berusaha untuk mengetahui dan mengerti kebutuhan pelanggan secara invidual.

5. Assurance, yaitu pengetahuan dan keramah tamahan personil dan kemampuan personil untuk dapat di percaya dan diyakini.

Kualitas layanan dikatakan baik apabila dapat memenuhi atau melampaui apa yang diharapakan pelanggan dari layanan tersebut. Oleh karena itu, kualitas layanan dapat didefinisikan seberapa jauh perbedaan (selisih) antara harapan dan persepsi pelanggan. Jika harapan tidak realistis, maka mungkin saja terjadi kualitas layanan yang dirasakan menjadi tidak baik. Kualitas layanan yang diharapkan pelanggan (expected service) dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor internal antara lain : market communications (iklan, direck mail, public reletion), citra perusahaan, sedangkan kebutuhan pelanggan (customer needs) termasuk faktor internal (Zeithaml et al., 1990 : 67-85).

Sedangkan aspek kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit (Dep. Kes. RI Tahun 2004) dapat diuraikan sebagai berikut ini :1. Penampilan keprofesian atau aspek klinis

Aspek ini menyangkut pengetahuan, sikap dan perilaku tenaga medis, para medis, non medis, serta tenaga profesi kesehatan lainnya. Termasuk juga di dalamnya bahasa gerak tubuh, raut wajah (ekspresi), gerak kaki dan tangan, sikap (posture), penampilan, dan kebersihan diri. Aspek ini erat kaitannya dengan proses dan out come.

BAB 4 Layanan Berkualitas 89

2. Efisiensi dan efektifitas, Aspek ini menyangkut pemanfaatan semua sumber daya di rumah sakit secara berdaya guna dan berhasil guna.

3. Keselamatan pasien, Aspek ini menyangkut keselamatan dan keamanan pasien. Termasuk di dalamnya faktor-faktor perlindungan fisik terhadap resiko dan efek sekecil apapun akibat dari alat, bahan, obat, dan fasilitas lain dari tindakan yang dilakukan di rumah sakit.

4. Kepuasan pasien, Aspek ini menyangkut kepuasan fisik, mental dan sosial pasien. Termasuk kepuasan terhadap lingkungan rumah sakit, suhu udara, kebersihan, kenyamanan, kecepatan pelayanan, keramahan, perhatian, privacy, serta biaya yang diperlukan.

Adapun menurut Utama (2003) prioritas indikator kualitas layanan kesehatan menurut pasien adalah suatu faktor utama yang menjadi petunjuk atau pedoman ukuran yang penting dan berkualitas, yang semestinya berhubungan dengan penyelenggaraan layanan kesehatan rumah sakit akan menjadi bagian dari pengalaman atau yang dirasakan pasien rumah sakit. Dimensi layanan kesehatan yang dapat menjadi prioritas adalah :

1. Persepsi tenaga dokter, adalah perilaku atau penampilan dokter rumah sakit dalam proses pelayanan kesehatan pada pasien, yang meliputi ukuran : layanan medis, tingkat kunjungan, sikap dan penyampaian informasi.

2. Persepsi tenaga perawat, adalah perilaku atau penampilan tenaga perawat rumah sakit dalam proses pemberian layanan kesehatan pada pasien, yang meliputi ukuran : layanan medis, layanan non medis, sikap, penyampaian informasi, dan tingkat kunjungan.

3. Kondisi fisik, adalah keadaan fasilitas rumah sakit dalam bentuk fisik seperti kamar rawat inap, jendela, pengaturan suhu, tempat tidur, kasur dan sperei.

4. Makanan dan menu, adalah kualitas jenis atau bahan yang dimakan atau dikonsumsi pasien setiap harinya, seperti nasi, sayuran, ikan, daging,

Kualitas Layanan Rumah Sakit90

buah-buahan, dan minuman. Menu makanan adalah pola pengaturan jenis makanan yang dikonsumsi oleh pasien.

5. Sistem administrasi pelayanan, adalah proses pengaturan atau pengeloaan pasien di rumah sakit yang harus diikuti oleh pasien, mulai dari kegiatan pendaftaran sampai fase rawat inap.

6. Pembiayaan, adalah sejumlah uang yang harus dibayarkan kepada rumah sakit selaras pelayanan yang diterima oleh pasien, seperti biaya dokter, obat-obatnya, makan dan kamar.

Rekam medis, adalah catatan atau dokumentasi mengenai perkembangan kondisi kesehatan pasien yang meliputi diagnosis perjalanan penyakit, proses pengobatan dan tindakan medis, dan hasil pelayanan

11. Jenis Kualitas Pelayanan

Menurut Lovelock (1992) kualitas layanan (service quality) dibagi menjadi dua macam, yaitu :

1. Kualitas layanan inti (core service quality). Kualitas layanan inti (core service quality) merupakan pelayanan utama perusahaan untuk berada di pasar dan mewakili kemampuan dasar perusahaan dalam meningkatkan nilai (Ferguson et al., 1999).

2. Kualitas layanan penunjang (peripheral service quality) adalah pelayanan yang mendukung dan memfasilitasi kualitas layanan inti (core service quality) (Lovelock, 1983).

Lovelock dengan membagi kualitas pelayanan menjadi inti (core) dan penunjang (peripheral) yang memungkinkan penilaian yang lebih teliti dari elemen-elemen yang kritis pada loyalitas. Pemisahan aspek-aspek pelayanan didukung oleh Ferguson et al. (1999) yang menemukan bahwa aspek-aspek teknikal dan fungsional dari kualitas pelayanan dan hubungan mereka pada keefektifan pengelolaan pelayanan, adalah berbeda antara kualitas layanan inti dan kualitas layanan penunjang. Berdasarkan pengetahuan bahwa

BAB 4 Layanan Berkualitas 91

pelayanan inti dan pelayanan penunjang merupakan pelayanan yang sangat di butuhkan bagi pasien di rumah sakit (Ferguson et al., 1999). Pelayanan rumah sakit adalah sebuah pelayanan yang kompleks ( Lovelock, 1991, 1992; Hume and McColl-Kennedy, 1999). Secara esensial pelayanan inti dan pelayanan penunjang merupakan pelayanan yang harus di terapkan (Addis and Holbrook, 2001) dan secara emosional dihargai.

Definisi Lovelock mengijinkan untuk penggambaran dari sisi kualitas layanan inti dan kualitas layanan penunjang adalah dasar konseptual untuk pengukuran kualitas layanan dalam pekerjaan ini. “Pertemuan pelayanan” atau “pengalaman pelayanan” adalah transaksi keseluruhan yang diterima oleh pelanggan (Dwyer, Schurr and Oh, 1987 : Tseng, Qinhai, and Su, 1999). Sementara kualitas layanan (Service Quality) adalah sebuah gagasan yang dibangun dengan baik (Brady and Cronin 2001, Zeithaml 1988, Zeithaml et al. 1996, Zeithaml et al. 1985) dengan jalur teoritis ke nilai, kepuasan dan loyalitas, namun fakta-fakta empiris dicampur (Bahia et al, 2000). Sebuah alasan yang mungkin untuk hasil-hasil yang dicampur adalah bahwa para peneliti membicarakan khusus tentang penawaran pelayanan dan kualitas pelayanan sebagai gagasan-gagasan universal (universal consructs).

Pengukuran kualitas layanan inti (core service quality) menurut Hume et al. (2010) yaitu rumah sakit, dokter, perawat, bidan, IGD, dan alat medis. Sedangkan pengukuran kualitas layanan penunjang (peripheral service quality) menurut Hume et al. (2010) yaitu tempat parkir, ruang tunggu, antrian tiket, akses tranportasi, front office, poli, apotik, kamar pasien dan menu makan.

12. Model SERVQUAL (Service Quality)

Parasuraman, Zeithaml, Berry (1985, 1988, 1990, 1991, 1993, 1994) dalam Sutojo (2005 : 145 – 160). Penelitian terhadap enam sektor jasa : reparasi peralatan rumah tangga, kartu kredit, asuransi, sambungan

Kualitas Layanan Rumah Sakit92

telepon interlokal, perumah sakitan, retail, dan pialang sekuritas. Model ini dikenal dengan istilah Gap Analysis Model yang berkaitan erat dengan kepuasan pelanggan. Yang didasarkan dengan rancangan diskonfirmasi. Oliver, (1997 : 119 – 120). Rancangan ini menegaskan bahwa bila kenerja pada suatu atribut (attribute performance) meningkat lebih besar dari pada harapan (expectitations) atas atribut bersangkutan, maka persepsi terhadap kualitas akan positif dan sebaliknya. Perjalanan perkembangan model SERVQUAL ada delapan, tahap utama : kelahiran, instrumen, extended gap model, determinan ekspektasi jasa, revisi instrumen SERVQUAL, sistem informasi kualitas jasa, dan e-SERVQUAL.

1. Kelahiran , “A Conceptual Model of SERVQUAL and its Implication for Research” konsep ini memaparkan lima gap khusus jasa yang berpotensi menjadi sumber masalah kualitas jasa (SERVQUAL). Parasuraman et al. (1985 : 41 – 50) mengidentifikasi 10 dimensi yaitu : reabilitas, daya tanggap, kompetensi, akses, kesopanan, komunikasi, kredibilitas, keamanan, kemampuan, memahami pelanggan dan bukti fisik.

Lima (5) gap utama yang menyebabkan kegagalan penyampaian layanan menurut Zeithaml and Bitner (2000: 26), yaitu :

a. Gap antara harapan pelanggan dan persepsi manajemen (knowledge gap) artinya bahwa manajemen mempersepsikan ekspektasi pelanggan terhadap kualitas jasa secara tidak akurat.

b. Gap antara persepsi manajemen terhadap harapan pasien dan spesifik kualitas jasa (standard gap) artinya bahwa spesifikasi jasa tidak konsisten dengan manajemen terhadap ekspektasi kualitas.

c. Gap antara spesifikasi kualiatas jasa dan penyampaian jasa (delivery gap) artinya bahwa spesifikasi kualitas tidak terpenuhi oleh kinerja dalam proses produksi dan penyampaian jasa.

d. Gap antara penyampaian jasa dan komunikasi eksternal (comunications gap) artinya bahwa janji-janji yang disampaikan melalui aktivitas

BAB 4 Layanan Berkualitas 93

komunikasi pemasaran tidak konsisten dengan jasa yang disampaikan kepada para pelanggan.

e. Gap antara jasa yang dipersepsikan dan jasa yang diharapkan (service gap) artinya bahwa jasa yang dipersepsikan tidak konsisten dengan jasa yang diharapkan.

PELANGGAN

Sumber : Zeithaml et al. (1985 – 1988)

Gambar 4.1 : Model Konseptual SERVQUAL PELANGGAN

2. Instrumen SERVQUAL (1985 – 1988)Parasuraman et al. (!988) menyusun skala SERVQUAL berjudul “ SERVQUAL : A Multiple Item Scale For Measauring Consumer Perception Of Service Quality”, sepuluh dimensi menjadi lima dimensi yaitu : realible, daya tanggap jaminan, empati, dan bukti fisik, dan harapan atau ekspektasi digunakan secara berbeda.

3. Extended Gap Model (1988 – 1991)Zeithaml et al. (1990) “Devilery Quality Service “ menawarkan perluasan

Kualitas Layanan Rumah Sakit94

model SERVQUAL mengindentifikasi sejumlah faktor internal yang mempengaruhi tingkat kualitas jasa yang disampaikan kepada pelanggan.

4. Determinan Ekspektasi Jasa (1990 – 1993)Parasuraman, Berry and Zeithaml (1990) menyempurnakan model SERVQUAL “The Nature and Determinants of Customer Expectation of Service” dipublikasikan tahun 1993, sub bahasan harapan atau ekspektasi pelanggan.

5. Revisi Instrumen SERVQUAL Terhadap Minat Behavioral (1993 – 1994)Parasuraman et al. (1994) “Alternative Scale For Meansuring Service Quality : A Comparative Assessment Based On Psychometric and Diagnostic Criteria”

6. Dampak SERVQUAL Terhadap Minat Behavioral (1994 – 1996)Zeithaml et al. (1996) “The Behavioral Consequences of Service Quality”.

7. Sistem Informasi Kualitas Jasa (1996 – 1997)Berry and Parasuraman (1997) “Listening to the Customer – The Concept of Building a Service – Quality Information System”.

8. e-SERVQUAL (1997 – 2002)Zeithaml et al. (2002) “Service Quality delivery Trough Web Sites : A Critical Review of Extant Knowledge”.

9. Pengukuran SERVQUALDi dasari pada skala multi-item untuk mengukur harapan dan persepsi persepsi pelanggan, serta gap di antara keduanya pada lima dimensi, dijabarkan ke dalam dua puluh dua atribut dan disusun dalam pernyataan berdasarkan skala Likert. Dengan Rumus : skor SERVQUAL = skor persepsi – skor harapan.

BAB 4 Layanan Berkualitas 95

10. Keterbatasan Model SERVQUAL

Beberapa peneliti mengungkapkan :

a. Kontroversial seputar isu – isu seperti dimensionalisasi skala yang digunakan.

b. Kurangnya konstansi struktur faktor di antara berbagai studi yang dilakukan.

c. Aplikasi universal dalam beragam industri yang berbeda.

d. Masalah convergent validity, khususnya saat dinilai dengan factor loadings item-item skala pada faktor yang diharapkan.

e. Masalah pengukuran harapan dan persepsi sebagai determinan kualitas jasa.

SERVQUAL lebih didasari pada paradigma diskonfirmasi daripada attitudinal. Robinson (1992 : 21 – 32) model SERVQUAL sebagai instrumen universal, setting penelitian original, masih diperlukan penelitian lebih lanjut. Cocok untuk jasa berbiaya lebih tinggi dan berisiko tinggi, namun aplikasinya untuk tipe jasa berbiaya rendah dan berisiko rendah masih dipertanyakan (Buttle, 1996 : 8 – 32).

Kualitas Layanan Rumah Sakit96

Bab 5

Penilaian

EMOSI

Kualitas Layanan Rumah Sakit98

1. Definisi Penilaian Emosi (Appraisal Emotion)

Emosi merupakan semacam perasaan mental, dimana bersama dengan mood dan perilaku membentuk payung konsep (Bagozzi, Gopinath, and Nyer, 1999). Lebih spesifiknya emosi telah didefinisikan sebagai “kondisi mental ketersiapan yang timbul dari penilaian kognitif dari even dan pikiran, mempunyai sebuah nuansa phenomenological, sering diekspresikan secara fisik, dan mungkin mengakibatkan sebuah aksi spesifik untuk menegaskan dan mengatasi emosi (Bagozzi, Gopinath, and Nyer 1999). Holbrook and Batra (1987) menginginkan perluasan dari penunjukkan effect (pengaruh) unidimensional untuk melingkupi berbagai macam emosi secara penuh, dan reaksi emosional ini tidak termasuk menyukai dan tidak menyukai, namun juga cinta, benci, takut, marah, bahagia, sedih, dan sebagainya.

Penilaian emosi merupakan hasil konsekuensi emosi dari penampilan seperti perasaan bahagia dan kesenangan, bahwa penampilan telah memenuhi hasrat dan harapan (Arora, Singer, 2006, Bagozzi et al. 1999). Penilaian emosi memiliki hubungan yang kuat terhadap kepuasan dan nilai yang dirasakan (Arora, singer, 2006 ; Bagozzi 1997 ; White and Yu, 2005).

Penilaian emosi adalah pengukuran yang praktis yang berhubungan dengan emosi secara keseluruhan (Bagozzi et al., 1999). Penilaian emosi termasuk dalam model konseptual sebagai akibat hubungan kualitas layanan terhadap kepuasan dan loyalitas pelanggan (Bagozzi et al., 1997, Bagozzi et al., 1999 ; Taylor, 2000).

Aspek emosional adalah bagian dari pengalaman yang mencerminkan elemen yang subyektif dari produk atau jasa (Addis and Holbrook, 2001) dengan jasa layanan yang lebih berpengalaman dalam alam, akan tercapai tujuan emosional (Bagozzi, 1997; Huang, 2001) dan penetapan dari emosi ini, mempengaruhi pemakaian dan evaluasi dan telah disarankan sebagai elemen paling penting dari nilai yang dirasakan pelanggan dalam layanan yang penuh pengalaman (Addis and Holbrook, 2001). Layanan rumah

BAB 5 Penilaian Emosi 99

sakit layanan yang penuh pengalaman (Addis and Holbrook). Tujuan emosional yang diinginkan adalah menjadi bahagia dan puas (Addis and Holbrook, 2001).

Penilaian emosi yang dihasilkan dari kualitas layanan dapat menjadi puas dan bahagia (Caroll and Ahuvia, 2006 ; Bagozzi et al., 1999 ; Oliver et al., 1997). Apabila tidak puas dapat menjadi marah atau melankoli (Caroll and Ahuvia, 2006 ; Bagozzi et al.1999 ; Oliver et al.,1997).

2. Tipe – Tipe Emosi

Banyak ahli dalam bidang tersebut yang berargumen bahwa emosi berada pada analisa final kondisi bipolar atau proses, bahagia atau sedih, menyenangkan atau tidak (Bagozzi, Gopinath, and Nyer, 1999). Westbrook (1987) menemukan persoalan emosi yang berisi 2 faktor : positive affect dan negative affect. Namun tidak semua peneliti mengadopsi kategorisasi dikotomus ini. Edell and burke (1987) mengidentifikasi 3 faktor emosi : upbeat feeling, negative feeling, dan warm feeling. Holbrook and Batra (1987) menjelaskan 3 faktor lain : pleasure, arousal, dan domination.

Emosi seseorang berpengaruh terhadap perilaku. Hal ini disebabkan seseorang merespon sebuah pelayanan rumah sakit dengan cara-cara tertentu untuk mempertahankan emosi positif, seperti kebahagiaan, dan untuk menghindari emosi negatif, seperti depresi. Secara khusus, emosi positif seseorang cenderung untuk berhubungan dengan dirinya atau keputusannya untuk tinggal atau melanjutkan dengan apa yang telah dilakukan. Sebaliknya, emosi negatif cenderung berhubungan ke keputusan yang berlawanan, seperti untuk menghentikan keterlibatan (Bagozzi et al., 1999). Emosi positif juga dapat menyebabkan seseorang berbagi pengalaman positif dengan orang lain, sedangkan emosi negatif dapat mengakibatkan perilaku mengeluh (Bagozzi et al., 1999 ; Lijander and Stranvik, 1997).

Kualitas Layanan Rumah Sakit100

Kita tidak selalu mudah dalam memprediksi efek positif dan negatif (Bagozzi and Moore, 1994), respon emosi telah ditemukan berhubungan positif pada perilaku lebih positif terhadap iklan (Stoid and Leckenby, 1986).

3. Pengukuran Penilaian Emosi (Appraisal Emotion)

Emosi telah diukur dalam berbagai macam, seperti evaluative appraisal, subyektive feeling, body posture, gestures, facial expression, physiological responses, action tendencies, dan over actions (Bagozzi, Gopinath, and Nyer, 1999). Sebagian besar marketer telah bergantung pada self-report dalam mengukur emosi (Bagozzi, Gopinath, and Nyer 1999) Taxonomy of effective experiences yang dikemukakan Izard (1997) mengidentifikasi 7 fundamental affect, seperti ketertarikan, bahagia, marah, jijik, kenistaan, takut, dan malu namun sebagian besarnya dapat dikategorikan di bawah valensi baik positif maupun negatif. Pengecualian yang diidentifikasi Izard adalah terkejut, dimana dapat dikategorikan netral. Kolaborasi selanjutnya terhadap kejutan mungkin akan membuka bahwa terdapat kemungkianan eksisnya 2 macam kejutan, yaitu positif dan negatif, seperti emosi lainnya. Dalam studi ini, kita mempertimbangkan analisa dikotomus : emosi positif sebagai salah satu dari kedua faktor, dan negatif atau tanpa emosi sebagai faktor lainnya.

4. Definisi Nilai yang Dirasakan (Perceived Value)

Dalam International Journal of hospital Marketing 16 atau 2, 1998, p.54, Zeithaml (1988) mengusulkan bahwa nilai merupakan variabel yang lebih tinggi daripada kualitas, dan memberikan empat definisi dari perceived value sebagai berikut :

1. Nilai merupakan harga rendah.

2. Nilai merupakan kepuasan dari keinginan (want satisfaction).

BAB 5 Penilaian Emosi 101

3. Nilai adalah kualitas yang saya peroleh untuk harga yang saya bayar.

4. Nilai adalah apa yang saya peroleh sesuai dengan apa yang saya beli.

Perceived value berbeda dengan kualitas dan merupakan bentuk evaluasi pelanggan yang lebih komprehensif terhadap pelayanan atau jasa. Nilai dapat dikonseptualisasikan sebagai suatu evaluasi secara keseluruhan mengenai pengalaman penggunaan jasa dan sebagaimana halnya dengan kualitas dan kepuasan, dapat timbul dalam suatu penggunaan yang spesifik atau dalam suatu evaluasi global dengan jangka waktu yang lebih panjang (Rust and Oliver, 1994). Nilai merupakan keseimbangan (trade-offs) antara biaya dan keuntungan yang timbul dari kualitas dan harga.

Sehubungan dengan kualitas layanan inti dan kualitas layanan penunjang tersebut, Hume et al. (2010) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kualitas layanan inti dan kualitas layanan penunjang terhadap penilaian emosi. Penilaian emosi merupakan hasil konsekuensi emosi seperti perasaan, bahagia, dan kesenangan karena kinerja telah memenuhi hasrat dan harapan (Arora, Singer, 2006, Bagozzi et al., 1999). Emosi terdiri dari dua macam yaitu emosi positif dan emosi negatif. Emosi positif seperti kebahagiaan dan kesenangan. Emosi positif seseorang cenderung untuk berhubungan dengan dirinya atau keputusannya untuk melanjutkan apa yang telah dilakukan. Emosi negatif seperti marah dan kecewa. Emosi negatif cenderung berhubungan dengan keputusan yang berlawanan, seperti untuk menghentikan keterlibatan (Bagozzi et al., 1999). Emosi pasien mempengaruhi nilai yang dirasakan (perceived value). Semakin tinggi persepsi pasien atas layanan yang di terima dari layanan dokter yang ramah, perawat yang perhatian, alat medis yang moderen dari rumah sakit, maka semakin tinggi penilaian emosi positif. Dengan demikian, pasien yang memiliki emosi positif cenderung memberikan evaluasi yang baik terhadap rumah sakit pada saat melakukan rawat inap.

Kualitas Layanan Rumah Sakit102

Perusahaan perlu untuk mengelola emosi pasien dengan memberikan kualitas layanan sesuai dengan harapan pasien agar dapat menciptakan emosi yang positif dan mengurangi emosi negatif. Penilaian emosi pasien ini dapat meliputi perasaan marah, senang, takut, cemas, bahagia, puas atau bosan. Pasien yang memiliki emosi positif cenderung akan memberikan evaluasi yang baik sementara pasien yang memiliki emosi negatif cenderung akan memberikan evaluasi yang jelek.

Hellier (2008) dalam penelitiannya menjelaskan, bahwa ada hubungan nilai yang dirasakan (perceived value) dengan kepuasan pasien (customer satisfaction). Nilai yang dirasakan merupakan bentuk evaluasi pasien. nilai yang di rasakan pasien adalah penilaian keseluruhan dari kegunaan (utility) dari produk yang didasarkan pada persepsi dari apa yang diterima dan apa yang diberikan (Sawyer and Dickson`s, 1984). Nilai yang dirasakan (perceived value) mempengaruhi kepuasan pasien (customer satisfaction). Kotler (Tjiptono, 2000 : 146) menandaskan bahwa kepuasan konsumen adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja atau hasil yang ia rasakan dibandingkan dengan harapannya. Apabila biaya yang dikeluarkan oleh pasien sesuai dengan harapan atau melebihi harapan maka pasien merasa puas dan demikian pula sebaliknya. Artinya semakin tinggi nilai yang dirasakan atas dasar layanan dokter, perawat, serta peralatan medis yang memadai, maka semakin tinggi kepuasan pasien

Rust and Oliver (1994) dalam karya mereka mengenai nilai jasa atau pelayanan menunjukkan bahwa nilai seharusnya meningkat apabila kualitas meningkat dan harga turun.

Dengan demikian, nilai bersifat lebih situasional dan personal daripada kualitas dan dapat memiliki arti yang berbeda pada fase-fase berbeda dalam suatu proses penggunaan jasa (Holbrook and Corfman, 1985 : Zeithaml, 1988).

BAB 5 Penilaian Emosi 103

Pilihan pelanggan dipengaruhi oleh nilai fungsional, sosial, emosional, epistemik, dan kondisional. Nilai fungsional menunjuk pada utilitas ekonomi yang diperoleh dari pilihan tersebut. Nilai sosial dikaitkan dengan nilai yang diperoleh dari perhatian orang lain. Nilai emosional diperoleh dari membeli barang yang disukai. Nilai epistemik merupakan kemampuan dari obyek pilihan untuk memberikan sesuatu yang baru. Nilai kondisional menunjuk pada kondisi situasional yang mempengaruhi perilaku dalam memilih barang, seperti pembelian kartu ucapan (Shetf et al., 1991).

Nilai yang dirasakan (Perceived Value) merupakan akibat atau keuntungan-keuntungan yang diterima pelanggan dalam kaitannya dengan total biaya (termasuk didalamnya adalah harga yang dibayarkan ditambah biaya-biaya lain terkait dengan pembelian). Dengan kata lain, McDougall and Levesque (2000) menyatakan value adalah perbedaan antara manfaat-manfaat yang diterima dengan biaya-biaya yang dikeluarkan.

Menurut Kotler (2005:103) nilai yang dirasakan (perceived value) adalah selisih nilai yang dirasakan total dan biaya pelanggan total dimana nilai yang dirasakan total adalah sekumpulan manfaat yang diharapkan oleh pelanggan dari produk atau jasa tertentu dan biaya pelanggan total adalah sekumpulan biaya yang diharapkan oleh pasien yang dikeluarkan untuk mengevaluasi, mendapatkan, menggunakan dan membuang produk atau jasa.

Nilai yang dirasakan (perceived value) yaitu persepsi pelanggan terhadap nilai dimana perusahaan harus mempertimbangkan nilai dalam mengembangkan produk dan jasanya sehingga sesuai dengan apa yang diharapkan pelanggan (Vanessa, 2007:65).

Monroe dalam Vanessa (2007:65) menyatakan bahwa nilai yang dirasakan adalah rasio antara keuntungan atau manfaat yang dirasakan dengan pengorbanan yang dikeluarkan. Dimana keuntungan yang

Kualitas Layanan Rumah Sakit104

dirasakan adalah kombinasi dari atribut fisik, atribut jasa, dan teknik pendukung dalam pemanfaatan produk. Pengorbanan yang dikeluarkan adalah total biaya yang dikeluarkan pasien termasuk biaya pembelian dan biaya tambahan (seperti biaya pemesanan, transportasi, instalasi, penanganan pesanan) serta biaya diluar pembelian (mengganti kerusakan, resiko kegagalan atau pelayanan yang buruk).

Buchari (2007:295) menyatakan bahwa nilai yang dirasakan ialah selisih antara total nilai tambah yang diperoleh pasien dibandingkan dengan total biaya yang dikeluarkan.

Menurut Hanny dalam Vanessa (2007:65) nilai adalah harga murah, apapun yang diinginkan dari suatu produk, kualitas yang diterima pasien atas biaya yang telah dikeluarkan dan apa yang diperoleh pasien dari yang telah mereka berikan.

Nilai yang dirasakan adalah preferensi yang dirasakan oleh pelanggan atas atribut produk, kinerja, dan konsekuensi yang timbul dari pemakaian fasilitas untuk memenuhi sasaran dan maksudnya (Susanto dalam Vanessa, 2007:66).

Menurut Gale dalam Alida (2007:74) nilai yang dirasakan adalah persepsi pasien terhadap nilai atas kualitas yang ditawarkan relatif lebih tinggi dari pesaing akan mempengaruhi tingkat loyalitas pelanggan, semakin tinggi persepsi nilai yang dirasakan oleh pelanggan, maka semakin besar kemungkinan terjadinya hubungan (transaksi). Dan hubungan yang diinginkan adalah hubungan yang bersifat jangka panjang, sebab usaha dan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan diyakini akan jauh lebih besar apabila harus menarik pelanggan baru atau pelanggan yang sudah meninggalkan perusahaan, daripada mempertahankannya.

Penelitian membuktikan bahwa pelanggan akan puas apabila menerima “value for money (mendapat lebih manfaat dibanding biaya yang dikeluarkan)” dibandingkan pelanggan yang tidak menerimanya. Nilai yang

BAB 5 Penilaian Emosi 105

dirasakan (perceived value) juga digunakan oleh pasien untuk menimbang berbagai aspek layanan berbanding relatif dengan biaya yang ditawarkan beberapa penyedia jasa dalam persaingan mereka. Sehingga, perceived value dapat dipandang sebagai suatu ukuran relatif dari biaya-biaya dan aspek keuangan dari layanan suatu perusahaan dalam perbandingan dengan pesaing-pesaing yang ada. Dalam hal ini, perceived value akan didefinisikan sebagai keseluruhan penilaian pasien mengenai apa yang diberikan.

Broadly mendefinisikan, nilai yang dirasakan adalah hasil atau manfaat pelanggan menerima di dalam hubungan bagi biaya total (yang termasuk harga yang dibayar ditambah biaya lain yang terkait dengan pembelian). Secara sederhana, nilai adalah perbedaan antara benefit dan biaya yang dikeluarkan. Akan tetapi, apa yang dinyatakan nilai muncul menjadi sangat personal, dan mungkin bervariasi dari satu pelanggan yang mempersepsikan apa yang mereka terima “nilai untuk uang” adalah lebih luas daripada pelanggan lain. Bukti penilaian memberikan saran bahwa pelanggan yang mempersepsikan apa yang mereka terima “nilai untuk uang”. Juga nilai yang dirasakan mungkin digunakan oleh pelanggan untuk “menyatukan” berbagai aspek pelayanan relatif pada penawaran kompetitif. Itulah mengapa, nilai yang dirasakan akan didefinisikan sebagai keseluruhan penilaian pelanggan akan apa yang dirasakan secara relatif pada apa yang diberikan.

Keterkaitan antara nilai yang dirasakan dan kepuasan pelanggan atau intensi masa depan dijadikan perdebatan di dalam literatur pemasaran jasa. Ini berisi bahwa nilai memiliki pengaruh langsung pada seberapa puas pelanggan dengan supplier mereka dan bahwa kepuasan tergantung pada nilai, perhatian kecil yang diberikan pada nilai yang dirasakan dalam melakukan evaulasi jasa. Hal tersebut dapat menunjukkan bahwa itensitas yang akan datang ditentukan oleh nilai yang dirasakan. Dalam pembuatan keputusan pada penyedia jasa, pelanggan mempertimbangkan apa yang mereka terima sebagai “nilai untuk uang”. Akan tetapi, untuk investigasi

Kualitas Layanan Rumah Sakit106

ini, diajukan bahwa nilai yang dirasakan memberikan kontribusi secara langsung pada kepuasan pelanggan, yang kemudian mengarahkan pada intensitas masa depan.

Untuk manajer jasa, adalah penting untuk membangun peran, nilai yang dirasakan perlu dalam menentukan kepuasan pelanggan. Sebagai contoh, jika nilai yang dirasakan dapat secara langsung dihubungkan dengan pelanggan, kemudian model yang mempertimbangkan hanya kualitas pelayanan inti dan kualitas relasional akan menyediakan gambaran tidak lengkap dorongan kepuasan pelanggan. Sebagai contoh, pertimbangan situasi dimana pelanggan mungkin “puas” dengan “apa” yang disampaikan (inti) dan “bagaimana” disampaikan (relasional) tetapi mungkin tidak merasa mereka mendapat “uang yang berharga”. Jika nilai yang dirasakan adalah dorongan kepuasan pelanggan dan manajer mengeluarkan pengukuran ini dari model kepuasan, mereka akan meningkatkan kepuasan pelanggan melalui peningkatan di dalam kualitas pelayanan inti dan relasional.

Hasil taktik ini memiliki efek minimal dalam kepuasan. Melalui pembangunan peran nilai yang dirasakan, keputusan didesain untuk meningkatkan kepuasan pelanggan yang akan lebih efektif, karena kepuasan pelanggan merupakan suatu faktor penting, yang harus mendapat perhatian dan sekaligus sebagai faktor yang dapat menentukan loyalitas dari pelanggan.

Nilai yang dirasakan adalah apa yang membentuk nilai lebih bersifat idiosinkratik dan sangat personal (Zeithaml, 1988). Definisi atas nilai berdasarkan study exploratory menurut (Bishop 1984, Dodds and Monroes 1984, Shapiro and Associates) ada 4 yaitu :

1. Nilai adalah murah (value is low price)Beberapa responden menyamakan nilai sama dengan harga murah. Hal ini mengindikasikan bahwa apa yang harus diberikan pelanggan

BAB 5 Penilaian Emosi 107

merupakan hal yang paling penting dalam persepsi mereka atas nilai. Dalam bahasanya pelanggan mengatakan.

2. Nilai adalah hargaKetika saya dapat menggunakan kupon, saya merasakan bahwa jus adalah nilai.

3. Nilai berarti harga murah.Nilai adalah apapun yang khusus dalam minggu ini. Nilai adalah apapun yang saya inginkan dalam suatu produk. Beberapa responden menekankan pada keuntungan yang mereka terima dari produk sebagai komponen yang paling penting dari nilai.

4. Nilai adalah apa yang baik bagi anda.Nilai adalah apa yang akan diminum oleh anak saya. Kontainer kecil karena sampahnya sedikit. Nilai bagi saya adalah apa yang nyaman. Ketika saya mengeluarkan dari mesin pendingin dan dapat mengkonsumsinya langsung, itu adalah nilai.

Nilai adalah kualitas yang sama dapatkan dari harga yang saya bayarkan. Beberapa orang mengkonseptualisasikan nilai sebagai nilai penjualan antara komponen “memberi” dengan komponen “mendapatkan” kualitas :

1. Nilai adalah harga yang pertama dan kualitas yang kedua.

2. Nilai adalah harga terendah untuk kualitas merek.

3. Nilai adalah sama dengan kualitas.

4. Nilai adalah apa yang saya dapatkan untuk apa yang saya berikan.

Beberapa orang mempertimbangkan semua komponen “mendapatkan” yang relevan sebagaimana semua komponen “memberi” yang relevan ketika mendeskripsikan nilai :

1. Nilai adalah berapa banyak minuman yang dapat dibawa dalam peket tertentu. Berapa banyak gallon yang dapat dibawa dengan harga

Kualitas Layanan Rumah Sakit108

tersebut.

2. Apapun yang dapat menghasilkan terbanyak dengan uang sedikit.

3. Nilai adalah apa yang kamu bayarkan untuk apa yang kamu dapatkan.

4. Nilai adalah harga dan dalam porsi tunggal sehingga tidak ada yang terbuang.

Keempat definisi ini konsisten dengan konseptual Sawyer and Dickson`s (1984) dimana nilai rasio dari atribut yang dibobotkan oleh evaulasi pelanggan dibagi dengan harga yang dibobotkan dengan evaluasinya.

Keempat ekspresi pelanggan di atas dapat dirangkum dalam satu definisi nilai yang dirasakan pelanggan adalah penilaian keseluruhan dari kegunaan (utility) dari produk yang didasarkan pada persepsi dari apa yang diterima dan apa yang diberikan. Walaupun apa yang diterima beragam diantara pelanggan (misalnya ada yang menginginkan volume, kualitas, kenyamanan dan lainnya) dan apa yang diberikan juga beragam (misalnya uang, waktu, usaha dan lainnya), nilai merepresentasikan apa yang paling penting dari komponen memberi dan mendapatkan (Zeithaml, 1988).

5. Dimensi Nilai yang Dirasakan (Perceived Value)

Perceived value memiliki beberapa dimensi nilai menurut Gill et al. (2007), yaitu Emotional Value, Price Value, Social Value, Epistemic Value, Quality (kualiatas pelayanan dan kualitas produk secara umum).

1. Emotional ValueMenurut Barlow and Maul (2000), yaitu “emotional value is

the economic value or monetary worth of feeling when customers positively experience product and service. Kemudian menurut Sweeney et al. (1998), yaitu “emotional response was defined as descriptive judgement regarding the pleasure that product or service gives up or sacrificed to obtain a product”.

BAB 5 Penilaian Emosi 109

2. Price Value, Menurut Zeithaml (1988 : 10), yaitu “price value is what is given

up sacrificed to abtain a product”. Kemudian menurut Sweeney et al. (1998 : 10), yaitu “price value was operationalized as whether or not the money paid for the product was reasonable”.

3. Social ValueMenurut Sweeney et al. (2003) yaitu “social value as the impression

that the purchase of the hed on other”.

4. EpistemicMenurut Sheth et al. (1991) yaitu “espistemic value is derived from a

product`s capacity to arouse curiosity, provide novelty and satisdy a desire for knowledge”.

5. QualityMenurut Sweeney et al. (2001) yaitu “quality refered to how well the

product was made”.

Kualitas Layanan Rumah Sakit110

Bab 6

Kepuasan

PELANGGAN

Kualitas Layanan Rumah Sakit112

1. Definisi Kepuasan

Setiap perusahaan hidup dari pelanggannya. Karena itu pelanggan yang merupakan satu-satunya alasan keberadaan suatu perusahaan. Dengan demikian kepuasan pelanggan wajib menjadi prioritas setiap perusahaan. Berfokus pada pelanggan melalui usaha memahami kebutuhan, keinginan, dan harapan mereka merupakan kunci memenangkan persaingan global yang demikian ketat.

Kepuasan pelanggan (costumer satisfaction) didefinisikan sebagai keseluruhan sikap yang ditunjukkan pelanggan atas barang atau jasa setelah mereka memperoleh dan menggunakannya (Mowen and Minor, 2002 : 89).

Kepuasan adalah penilaian evaluatif pilihan terakhir dari transaksi tertentu. Dinyatakan lebih lanjut kepuasan dapat dinilai secara langsung sebagai perasaan keseluruhan, maka seseorang dapat puas dengan produk atau jasa utama dan pada saat yang sama mengevaluasi hasil seperti rata-rata dibandingkan yang seharusnya Selnes (1993).

Ada kesamaan di antara definisi di atas, yaitu menyangkut komponen kepuasan pelanggan (harapan dan kinerja atau hasil yang dirasakan). Umumnya harapan pelanggan merupakan perkiraan atau keyakinan pelanggan tentang apa yang diterimanya bila ia membeli atau mengkonsumsi suatu produk (barang atau jasa). Sedangkan kinerja yang dirasakan adalah persepsi pelanggan terhadap apa yang ia terima setelah mengkonsumsi produk yang dibeli.

Banyak peneliti mengukur kepuasan sebagai keseluruhan kesan atau persepsi terhadap kualitas jasa (Cronin and Taylor, 1992, dalam Pullman and Gross, 2004). Beberapa peneliti yang lain menekankan bahwa kepuasan bukan hanya sekedar ukuran kognitif yang mudah tetapi juga meliputi ukuran efektif yang kompleks (Westbrook, 1987, dalam Pullman and Gross, 2004). Oliver (dalam Keaveney and Parthasarathj, 2001)

BAB 6 Kepuasan Pelanggan 113

menyatakan bahwa kepuasan merupakan sebuah totalitas kognitif dan efektif dari kesenangan dan kepuasan yang dirasakan oleh pelanggan.

Oliver (dalam Setyawan and Susila, 2004) mendefinisikan kepuasan atau ketidakpuasan pasien sebagai respon pasien terhadap evaulasi ketidaksesuaian (disconfirmation) yang dipersepsikan antara harapan awal sebelum pembelian dengan kinerja aktual produk yang dirasakan setelah pemakaiannya dan disertai dengan pertimbangan faktor biaya (Churchill and Surprenant, 1982, dalam Aydin et al., 2005). Kepuasan pasien merupakan keputusan evaluasi terhadap jasa, dimana membandingkan antara kinerja atau hasil aktual jasa dengan apa yang telah mereka dengar selama ini melalui word-of-mouth, iklan dan artikel koran, walaupun belum pernah mereka konsumsi (Soderlund and Ohman, 2003). Pendapat Hoch and Deighton (dalam Soderlund and Ohman, 2003) yang menyatakan bahwa keputusan seorang pasien merupakan hasil dari pengalaman pribadi tersebut. Westbrook (dalam Erevelles et al., 2003) menemukan bahwa kepuasan pasien merupakan fungsi tanggapan pasien setelah melakukan aktifitas pembelian suatu barang atau jasa. Sedangkan Kotler (dalam Setyawan dan Susila, 2004) mendefinisikan kepuasan adalah tingkat perasaan seseorang, baik senang atau kecewa, setelah membandingkan kinerja hasil yang dirasakan dibandingkan dengan harapannya.

Babin and Griffin (dalam Soderland and Ohman, 2003) menyatakan bahwa kepuasan mengandung unsur emosi, Bagozzi et al. (dalam Soderland and Ohman, 2003) menyatakan bahwa kepuasan merupakan salah satu bentuk emosi, dan Ben Ze`ev (dalam Sderlund and Ohman, 2003) menyatakan bahwa kepuasan merupakan bentuk ekspresi dari perspektif pribadi pasien dan cenderung dipengaruhi oleh reaksi psikologis pelanggan. Westbrook (dalam Pullman and Gross, 2004) berpendapat bahwa kepuasan pasien merupakan suatu tindakan evaluasi emosi, dimana merefleksikan tingkat kepercayaan pasien terhadap kemampuan kinerja atau hasil penyedia jasa setelah mereka memperoleh pengalaman konsumsi suatu barang atau jasa.

Kualitas Layanan Rumah Sakit114

Beberapa peneliti menyatakan bahwa kepuasan merupakan suatu bentuk tanggapan emosional (Babin and Griffin, 1998, dalam Soderlund and Ohman, 2003), dan menjabarkan emosi tersebut ke dalam nilai-nilai, mulai dari perasaan yang kurang baik hingga perasaan yang baik, serta menyatakan bahwa emosi dan kepuasan merupakan salah satu bentuk evaulasi. Soderlund and Ohman (2003) berpendapat bahwa faktor kepuasan merupakan suatu bangunan sikap yang bersifat evaulatif. Founier and Mick (dalam Soderlund and Ohman, 2003) menyatakan bahwa kepuasan adalah suatu pilihan keputusan yang berhubungan erat dengan sikap seseorang dan Churchill and Suprenant (dalam Soderlund and Ohman, 2003) menyatakan bahwa kepuasan menyerupai sikap. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sikap dan kepuasan adalah suatu bentuk evaluasi yang bersifat subyektif (Soderlund and Ohman, 2003).

Kepuasan pasien berbeda dengan kualitas pelayanan, dimana kepuasan pasien merupakan evaluasi spesifik terhadap transaksi pemberian jasa, sedangkan persepsi terhadap kualitas jasa terkait dengan penilaian umum mengenai superioritas pemberian jasa (Bolton et al., dalam Setyawan dan Susila, 2004). Perbedaan lain antara kualitas pelayanan dengan kepuasan pasien adalah bahwa kualitas pelayanan dapat dinilai tanpa kehadiran pasien dalam proses pemberian jasa atau belum ada pengalaman aktual yang melibatkan pasien dan pemberi jasa, sedangkan kepuasan pasien hanya dapat dinilai melalui keberadaan pengalaman aktual yang melibatkan pasien dan pemberi jasa (Setyawan dan Susila, 2004). Persepsi kualitas jasa lebih tepat merupakan faktor pembentuk kepuasan (Butcheri, 2001). Kepuasan pasien ditentukan oleh pelayanan yang diberikan, baik secara tangible maupun intangible, dalam hal ini penilaian dilakukan oleh pasien mengenai kategori dari jasa yang diberikan. Kepuasan pasien merupakan evaluasi spesifik terhadap keseluruhan pelayanan yang diberikan, dimana pengukuran atau respon pasien dilakukan secara langsung atas pelayanan yang telah diberikan penyedia jasa, sehingga kepuasan pasien hanya dapat

BAB 6 Kepuasan Pelanggan 115

dinilai berdasarkan pengalaman yang pernah dialami saat proses pemberian pelayanan (Zeithaml and Bitner, 1996, dalam Setyawan dan Susila, 2004).

2. Perspektif Kepuasan Pelanggan

Penilaian dalam bidang pemasaran menyatakan bahwa kepuasan pelanggan beroperasi pada dua jalan yang berbeda, yaitu : kepuasan pelanggan yang ditinjau dari sisi transaksi khusus (transaction-specific) dan kepuasan pelanggan yang ditinjau secara umum dan menyeluruh (general overall) (Yi, 1991, dalam Aydin et al., 2005). Konsep transaction-specific menitikberatkan pada kepuasan pelanggan sebagai penilaian yang dibuat setelah mengalami situasi transaksi pembelian khusus. Kepuasan secara menyeluruh (overall satisfaction) menitikberatkan pada pemeringkatan merek atas dasar keseluruhan proses pelayanan (all encounters) dan pengalaman-pengalaman yang dimiliki (experiences), dan memenuhi harapan pelanggan (expectation) ( Johnson and Fornell, 1991, dalam Aydin et al., 2005). Pada kenyataannya, kepuasan secara menyeluruh (overall satisfaction) dapat dipandang sebagai fungsi dari keseluruhan kepuasan dari transaksi khusus yang telah dinikmati ( Jones and Suh, 2000).

Kumulatif kepuasan pelanggan adalah evaluasi menyeluruh sepanjang waktu dari total pembelian dan pengalaman mengkonsumsi barang atau jasa. Kepuasan transaksi khusus (transaction-specific satisfaction) menghasilkan diagnosa informasi khusus tentang hasil kinerja barang atau jasa, sedangkan kepuasan secara menyeluruh (overall satisfaction) lebih berupa indikator yang mendasar untuk kinerja perusahaan pada masa lampau, sekarang, dan masa yang akan datang (Anderson et al., 1994, dalam Aydin et al., 2005). Hal ini terjadi karena pelangggan melakukan evaluasi pembelian dan mengambil keputusan atas dasar pengalaman pembelian dan pengkonsumsian pada saat itu dan bukan atas dasar transaksi atau peristiwa yang terjadi ( Johnson et al., 2001, dalam Aydin et al., 2005).

Kualitas Layanan Rumah Sakit116

3. Konsep kepuasan Pelanggan

Ada kesamaan di antara beberapa definisi diatas, yaitu menyangkut komponen kepuasan pelanggan (harapan dan kinerja atau hasil yang dirasakan). Umumnya harapan pelanggan merupakan perkiraan atau keyakinan pelanggan tentang apa yang akan diterimanya bila membeli atau mengkonsumsi suatu produk (barang atau jasa). Sedangkan kinerja yang dirasakan adalah persepsi pelanggan terhadap apa yang ia terima setelah mengkonsumsi produk yang dibeli. Secara konseptual, kepuasan pelanggan dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 6.1 Konsep Kepuasan Pelanggan

(Sumber : Tjiptono, 1995)

BAB 6 Kepuasan Pelanggan 117

Ada beberapa metode yang dapat dipakai oleh setiap perusahaan untuk mengukur dan memantau kepuasan pelanggannya (juga pelanggan perusahaan pesaing). Kotler (dalam Tjiptono, 2004) mengemukakan 4 metode untuk mengukur kepuasan pelanggan, yaitu :

1. Sistem Keluhan dan Saran

Setiap perusahaan yang berorientasi pada pelanggan (customers-oriented) perlu memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi pelanggannya untuk menyampaikan saran, pendapat, dan keluhan mereka. Media yang bisa digunakan meliputi kotak saran yang diletakkan di tempat-tempat strategis (yang mudah dijangkau atau yang sering dilewati pelanggan), menyediakan kartu komentar (yang bisa diisi langsung ataupun yang bisa dikirim via pos kepada perusahaan), menyediakan saluran telepon khusus (customer hot lines), dan lain-lain. Informasi yang diperoleh melalui metode ini dapat memberikan ide-ide baru dan masukan yang berharga bagi perusahaan, sehingga memberikan kesempatan bagi perusahaan tersebut untuk memberikan respon secara cepat dan tanggap terhadap setiap masalah yang timbul.

Meskipun demikian karena metode ini cenderung bersifat pasif, maka sulit untuk mendapatkan gambaran lengkap mengenai kepuasan dan ketidakpuasan pelanggan. Tidak semua pelanggan yang tidak puas lantas akan menyampaikan keluhannya. Bisa saja mereka langsung beralih pemasok dan tidak akan membeli lagi jasa perusahaan. Upaya mendapatkan saran (terutama saran yang berkualitas) dari pelanggan juga sulit diwujudkan dengan metode ini. Terlebih lagi bila perusahaan tidak memberikan timbal balik yang memadai kepada mereka yang telah bersusah payah menyumbangkan ide kepada perusahaan.

Kualitas Layanan Rumah Sakit118

4. Survei Kepuasan Pelanggan

Umumnya banyak penelitian mengenai kepuasan pelanggan dilakukan dengan menggunakan metode survei, baik melalui pos, telepon, maupun wawancara pribadi (McNeal and Lamb dalam Peterson and Wilson, 1992). Melalui survai, perusahaan akan memperoleh tanggapan dan umpan balik secara langsung dari pelanggan dan sekaligus juga memberikan tanda (signal) positif bahwa perusahaan menaruh perhatian terhadap para pelanggannya. Pengukuran kepuasan pelanggan melalui metode ini dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya :

a) Directly reported satisfation, Pengukuran dilakukan secara langsung melalui pertanyaan seperti “Ungkapkan seberapa puas saudara terhadap pelayanan PT. X pada skala berikut : sangat tidak puas, tidak puas, netral, puas, sangat puas”.

b) Derived dissatisfaction, Pertanyaan yang diajukan menyangkut dua hal utama, yaitu besarnya harapan pelanggan terhadap atribut tertentu dan besarnya kinerja yang mereka rasakan.

c) Problem analysis, Pelanggan yang dijadikan responden diminta untuk mengungkapkan dua hal pokok, yaitu : masalah-masalah yang mereka hadapi berkaitan dengan penawaran dari perusahaan dan saran-saran untuk melakukan perbaikan.

d) Importance-performance analysis, Cara ini diungkapkan oleh Martilla and James dalam artikel mereka yang dimuat di Journal of Marketing bulan Januari 1997 dengan judul “Importance-Performance Analysis”. Dalam teknik ini, responden diminta untuk merangking berbagai elemen (atribut) dari penawaran berdasarkan derajat pentingnya setiap elemen tersebut. Selain itu responden juga diminta untuk merangking seberapa baik kinerja perusahaan dalam masing-masing elemen atau atribut tersebut.

e) Ghost Shopping (pembeli bayangan), Metode ini dilaksanakan dengan cara memperkerjakan beberapa orang (Ghost Shopper) untuk berperan

BAB 6 Kepuasan Pelanggan 119

atau bersikap sebagai pelanggan atau pembeli potensial produk perusahaan dan pesaing. Lalu ghost shopper tersebut menyampaikan temuan-temuannya mengenai kekuatan dan kelemahan produk perusahaan dan produk pesaing berdasarkan pengalaman mereka dalam pembelian produk-produk tersebut. Selain itu para ghost shopper juga dapat mengamati atau menilai cara perusahaan dan pesaingnya menjawab pertanyaan pelanggan dan menangani setiap keluhan. Ada baiknya para manajer perusahaan terjun langsung bagaimana karyawan berinteraksi dan memperlakukan para pelanggannya. Tentunya karyawan tidak boleh tahu kalau atasannya sedang melakukan penelitian (misalnya dengan menelepon perusahaannya sendiri dan mengajukan berbagai keluhan atau pertanyaan), karena bila hal ini terjadi, maka penilaian akan menjadi bias.

f ) Metode ini sedikit unik. Perusahaan berusaha menghubungi pelanggannya yang telah berhenti membeli atau yang beralih pemasok. Yang diharapkan adalah akan diperoleh informasi penyebab terjadinya hal tersebut. Informasi ini sangat bermanfaat bagi perusahaan untuk mengambil kebijakan selanjutnya dalam rangka meningkatkan kepuasan dan loyalitas pelanggan

5. Harapan dan Kepuasan Pelanggan

Harapan pasien dibentuk dan didasarkan oleh beberapa faktor, diantaranya pengalaman berbelanja di masa lampau, opini teman dan kerabat, serta informasi dan janji-janji perusahaan dan para pesaing (Kotler and Amstrong, 1994, dalam Tjiptono, 2004). Faktor-faktor tersebut yang menyebabkan harapan seseorang biasa-biasa saja atau sangat kompleks.

Ada beberapa penyebab utama tidak terpenuhinya harapan pelanggan, seperti yang terlihat dalam gambar Diantara beberapa faktor penyebab tersebut ada yang bisa dikendalikan oleh penyedia jasa. Dengan demikian penyedia jasa bertanggungjawab untuk meminimumkan kesalahan

Kualitas Layanan Rumah Sakit120

komunikasi dan interpretasi yang mungkin terjadi dan menghindarinya dengan cara merancang jasa yang mudah dipahami dengan jelas. Dalam hal ini penyedia jasa harus mengambil inisiatif agar ia dapat memahami dengan jelas instruksi dari klien dan klien mengerti benar apa yang akan diberikan.

Gambar 6.2

Penyebab utama tidak terpenuhinya harapan Pelanggan

(Sumber : Mudie dan Cottam, 1993, dalam Tjiptono, 2004)

Hasil evaluasi pasca pembelian adalah kepuasan atau ketidakpuasan. Adanya kepuasan atau ketidakpuasan terhadap suatu barang atau jasa akan berpengaruh pada pola perilaku selanjutnya (Kotler dalam Raharso, 2004). Apabila pelanggan puas, kemungkinan besar dia akan membeli barang atau jasa yang sama. Pelanggan yang puas juga cenderung akan memberikan referensi (word-of-mouth) yang baik kepada prospek (calon pasien) yang dikenalnya. Dan sebaliknya, pelanggan yang tidak puas akan mengembalikan barang, mengeluh, menceritakan pengalaman buruknya terhadap organisasi, atau secara ekstrim akan mengajukan gugatan terhadap organisasi. Akan tetapi yang paling berbahaya adalah pasien tidak melakukan tindakan apapun kepada organisasi. Secara diam-diam mereka

BAB 6 Kepuasan Pelanggan 121

menghukum organisasi dengan cara pindah ke organisasi yang lain. Adanya perilaku perpindahan secara diam-diam ini menyebabkan organisasi tidak memiliki kesempatan untuk mempertahankan pelanggannya. Dan organisasi tidak memiliki informasi apapun mengenai mengapa mereka tidak puas (Kotler dalam Raharso, 2004).

Kepuasan pasien mengacu pada perilaku dasar pelanggan dalam jangka waktu yang panjang (Yi dalam Ranaweera and Prabhu, 2003). Semakin puas pelanggan, semakin sering mereka melakukan pembelian berulang (Anderson and Sulivan dalam Ranaweera and Prabhu, 2003), semakin bersemangat untuk menyebarkan positive word-of-mouth kepada orang lain (Reichheld and Sasser, dalam Ranaweera and Prabhu, 2003), semakin meningkatkan keuntungan perusahaan yang melayani mereka (Fornell et al., 1995). Reichheld (dalam Lee et al., 2001) mampu menunjukkan betapa pentingnya pembelian ulang pelanggan. Sebagai contoh, dari hasil perhitungannya menunjukkan bahwa hanya dengan kenaikkan tingkat pembelian ulang pasien sebesar 5%, rata-rata penghasilan bersih perusahaan akan meningkat sebesar 35% untuk perusahaan perangkat lunak dan 95% untuk periklanan. Sebagai tambahan, adanya konsistensi tingkat kepuasan pada tingkat yang cukup tinggi dapat memberikan pengaruh pada reputasi jangka panjang perusahaan dan dapat pula melindungi perusahaan, yaitu dengan berkurangnya sensitifitas pasien terhadap harga (Anderson and Sulivan dalam Lee et al. 2001). Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan bagi perusahaan untuk mempertahankan dan meningkatkan kepuasan pelanggan. Namun, kepuasan pelanggan saja tidak cukup untuk membuat seorang pelanggan melakukan pembelian yang berkelanjutan ( Jones and Sasser dalam Ranaweera and Prabhu, 2003).

Penelitian dalam bidang kepuasan, dalam dua dekade terakhir ini, telah menekankan tentang pentingnya ekspektasi terhadap proses kepuasan (Zeithaml et al. dalam Jones et al. 2003). Semakin tinggi tingkat pemenuhan ekspektasi pelanggan, semakin tinggi pula tingkat kepuasannya, sehingga

Kualitas Layanan Rumah Sakit122

langkah penting dalam mengelola kepuasan pasien adalah berusaha untuk mewujudkan ekspektasi pasien ( Jones et al. 2003).

Menurut Lanning and Philips (dalam Romandi, 2001) perusahaan tidak mungkin memuaskan semua keinginan pelanggnnya. Hal ini mengingat keinginan tiap pasien berbeda satu sama lain. Beberapa organisasi mencoba melakukan segala yang disarankan oleh pelanggan, namun walaupun pelanggan sering memberikan gagasan yang baik, mereka juga sering menyarankan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan atau tidak menguntungkan bagi perusahaan, sehingga perlu diketahui apa keinginan sebenarnya dari pelanggan.

6. Metode Pengukuran Kepuasan Pelanggan

Menurut Kotler dalam Alma (2002, p. 232) ada 4 cara mengukur kepuasan pelanggan yaitu :

1. Sistem Keluhan dan Saran (Complaint and Suggestion System)Banyak perusahaan yang berhubungan dengan pelanggan membutuhkan kotak saran dan menerima keluhan-keluhan yang dialami oleh pelanggan. Selain itu ada beberapa perusahaan yang memberi amplop yang telah ditulis alamat perusahaan untuk digunakan menyampaikan saran keluhan serta kritik setelah pelanggan sampai di tempat tujuan. Saran – saran tersebut dapat disampaikan melalui kartu komentar, customer hot line. Informasi ini dapat memberikan ide-ide dan masukan kepada perusahaan yang memungkinkan perusahaan mengantisipasi dan cepat tanggap terhadap kritik dan saran tersebut.

2. Survei Kepuasan Pelanggan (Customer Satisfaction Surveys)Tingkat kepuasan yang disampaikan oleh pelanggan tidak dapat disimpulkan secara umum untuk mengukur kepuasan pelanggan pada umunya. Umumnya penelitian mengenai kepuasan pelanggan dilakukan melalui pos atau wawancara pribadi. Atau perusahaan mengirimkan angket ke orang-orang tertentu.

BAB 6 Kepuasan Pelanggan 123

3. Pembeli Bayangan (Ghost Shopping)Dalam hal ini perusahaan menyuruh orang-orang tertentu sebagai pembeli ke perusahaan lain untuk keperluan perusahaan sendiri. Pembeli-pembeli misteri ini melaporkan keunggulan dan kelemahan pelayanan yang melayaninya. Setelah data di dapat pihak tersebut melaporkan segala sesuatu yang bermanfaat sebagai bahan mengambil keputusan oleh manajemen. Bukan saja orang-orang lain yang disewa menjadi pembeli bayangan tetapi manajer sendiri harus turun ke lapangan. Pengalaman manajer ini sangat penting karena data yang diperoleh langsung dan dialami sendiri.

4. Analisis Pelanggan Beralih (Lost Customer Analysis)Perusahaan yang kehilangan pelanggan mencoba menghubungi pelanggan tersebut. Pelanggan dihubungi untuk mengungkapkan mengapa berhenti, pindah ke perusahaan lain, adakah sesuatu masalah terjadi pada pelanggan. Dari kontak semacam ini dilakukan agar tidak ada pelanggan yang pindah.

7. KEPMENPAN NO. KEP/25/M.PAN/2/2004

Kepuasan pelayanan adalah hasil pendapat dan penilaian masyarakat terhadap kinerja pelayanan yang diberikan aparatur penyelenggara pelayanan publik. Indeks Kepuasan Pasien (IKM) adalah data dan informasi tentang tingkat kepuasan masyarakat yang diperoleh dari pengukuran secara kuantitatif dan kualitatif atas pendapat masyarakat dalam memperoleh pelayanan dari aparatur penyelenggara pelayanan publik dan membandingkan antara harapan dan kebutuhannya.

Sasaran pengukuran kepuasan masyarakat : a. tingkat pencapaian kinerja unit pelayanan instansi pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, b. penataan sistem, mekanisme dan prosedur pelayanan, sehingga pelayanan dapat dilaksanakan secara lebih berkualitas,

Kualitas Layanan Rumah Sakit124

c. tumbuhnya kreativitas, prakarsa dan peran serta masyarakat dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan publik.

Ruang lingkup pedoman umum ini diterapkan terhadap seluruh unit pelayanan instansi pusat dan daerah, sebagai instrumen penilaian dan evaluasi kinerja pelayanan publik di lingkungan instansi masing-masing. Manfaat dengan tersedianya data IKM secara periodik, dapat diperoleh manfaat sebagai berikut :

a) diketahui kelemahan atau kekurangan dari masing-masing unsur dalam penyelenggaraan pelayanan publik

b) diketahui kinerja penyelenggaran kinerja pelayanan yang telah dilaksanakan oleh unit pelayanan publik secara periodik;

c) sebagai bahan penetapan kebijakan yang perlu dan upaya yang perlu dilakukan,

d) diketahui indeks kepuasan masyarakat serta menyeluruh terhadap hasil pelaksanaan pelayanan publik pada lingkup pemerintah pusat dan daerah;

e) memacu persaingan positif, antar unit penyelenggara pelayanan pada lingkup pemerintah pusat dan daerah dalam upaya peningkatan kinerja pelayanan;

f) bagi masyarakat dapat diketahui gambaran tentang kinerja unit pelayanan.

Unsur indeks kepuasan masyarakat berdasarkan prinsip pelayanan sebagaimana telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri PAN Nomor : 63/KEP/M.PAN/2003, yang kemudian dikembangkan menjadi 14 unsur yang relevan, valid dan reabel dalam KEPMENPAN NO. KEP/25/M.PAN/2/2004, sebagai unsur minimal yang harus ada untuk dasar pengukuran indeks kepuasan masyarakat adalah sebagai berikut :

1) prosedur pelayanan, yaitu kemudahan tahapan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dilihat dari sisi alur pelayanan,

BAB 6 Kepuasan Pelanggan 125

2) persyaratan pelayanan, yaitu persyaratan teknis administratif yang diperlukan untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan jenis pelayannnya,

3) kejelasan petugas pelayanan, yaitu keberadaan dan kepastian petugas yang memberikan pelayanan (nama, jabatan serta kewenangan dan tanggung jawabnya),

4) kedisiplinan petugas pelayanan, yaitu kesungguhan petugas dalam memberikan pelayanan terutama terhadap konsistensi waktu kerja sesuai ketentuan berlaku,

5) tanggung jawab petugas pelayanan, yaitu kejelasan wewenang dan tanggung jawab petugas dalam penyelenggaraan dan penyelesaian pelayanan,

6) kemampuan petugas pelayanan, yaitu tingkat keahlian dan keterampilan yang dimilki petugas dalam memberikan atau menyelesaikan pelayanan kepada masyarakat,

7) kecepatan pelayanan, yaitu target waktu pelayanan dapat diselesaiakan dalam waktu yang telah ditentukan oleh unit penyelenggara,

8) keadilan mendapatkan pelayanan, yaitu pelaksanaan pelayanan dengan tidak membedakan golongan atau status masyarakat yang dilayani,

9) kesopanan dan keramahan petugas, yaitu sikap dan perilaku petugas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara sopan dan ramah serta saling menghargai dan menghormati,

10) kewajaran biaya pelayanan, yaitu keterjangkauan masyarakat terhadap besarnya biaya yang ditetapkan oleh unit pelayanan,

11) kepastian biaya pelayanan, yaitu kesuaian antara biaya dengan biaya yang telah ditetapkan,

12) kepastian jadwal pelayanan, yaitu pelaksanaan waktu pelayanan, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan,

13) kenyamanan lingkungan, yaitu kondisi antara sarana dan prasarana

Kualitas Layanan Rumah Sakit126

pelayanan yang bersih, rapi, dan teratur sehingga dapat memberikan rasa nyaman kepada penerima layanan,

14) keamanan layanan, yaitu terjaminnya tingkat keamanan lingkungan unit penyelenggara layanan ataupun sarana yang digunakan, sehingga masyarakat merasa tenang untuk mendapatkan layanan terhadap resiko-resiko yang diakibatkan dari pelaksanaan layanan.

Kepuasan konsumen (consumer satisfaction) didefinisikan sebagai keseluruhan sikap yang ditunjukkan pelanggan atas barang atau jasa setelah mereka memperoleh dan menggunakannya (Mowen and Minor, 2002 : 89). Kepuasan merupakan nilai yang dirasakan pasien pada saat mengadakan pembelian. Kepuasan pasien sangat tergantung pada perasaan atau kesan pasien pada saat menerima layanan dokter, perawat, bidan dan peralatan medis setelah membandingkan jasa layanan lain. Kepuasan pasien dapat dibangun melalui kualitas layanan dan nilai yang terdapat dalam inti layanan, di antaranya jasa layanan dari dokter, perawat, peralatan medis. Ayu et al. (2009) dalam hasil penelitiannya menjelaskan, bahwa tidak ada hubungan antara nilai yang dirasakan (perceived value) dengan kepuasan konsumen (customer satisfaction). Namun hasil yang beda ditunjukkan oleh Hellier (2008), bahwa ada hubungan signifikan nilai yang dirasakan (perceived value) dengan kepuasan pasien (customer satisfaction). Dari perbedaan kedua hasil penelitian ini, maka perlu dikaji lebih dalam hubungan nilai yang dirasakan (perceived value) dengan kepuasan pasien (customer satisfaction).

Kastenhols (2010) hasil penelitiannya mengindikasikan adanya hubungan patient satisfaction terhadap loyalty pasien. Dengan menggunakan pengukuran pengalaman, harapan, dan puas secara keseluruhan, semakin tinggi patient satisfaction atas layanan dokter, perawat, peralatan medis semakin tinggi loyalty pasien terhadap rumah sakit. Artinya kepuasan terjadi karena adanya suatu pemenuhan terhadap apa yang dibutuhkan dan diharapkan pasien rumah sakit swasta di Surabaya. Hasil penelitian sama

BAB 6 Kepuasan Pelanggan 127

dilakukan Selnes ( 1993 ), bahwa kepuasan konsumen berpengaruh positif terhadap loyalitas konsumen. Penelitiannya 1062 perusahaan yang terdiri dari perusahaan telepon, asuransi, universitas, supplier ikan salmon.

Andreassen (1994) dalam hasil penelitiannya mengindikasikan hasil yang berbeda yaitu tidak ada hubungan antara kepuasan konsumen terhadap loyalitas konsumen. Strauss and Neuhaus (1997) hasil penelitiannya menemukan bahwa sejumlah konsumen yang menyatakan kepuasan, masih juga berpindah merk. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Ruyten et al. (1998) peningkatan kepuasan tidak selalu menghasilkan peningkatan loyalitas dalam derajat yang sama. Berdasarkan perbedaan hasil penelitian tersebut perlu dikaji lebih dalam hubungan kepuasan pasien terhadap loyalitas.

Pasien sebagai pelanggan di rumah sakit berhak memperoleh jasa pelayanan kesehatan yang berstandar dan berkualitas (Gaspers, 1997 : 73 – 75). Sejalan dengan meningkatnya pendidikan dan kesadaran pasien akan hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan, penyelenggara jasa pelayanan kesehatan hendaknya mengutamakan kepuasan pasien (Sukirno, 2002 : 151 – 153).

Sesuatu hal yang diprioritaskan oleh rumah sakit adalah harus mampu bersaing dan mempertahankan pasiennya. Salah satu kunci menuju keberhasilan tersebut memberikan kualitas pelayanan jasa yang prima. Lasser et al.(2000) mengatakan bahwa kualitas jasa yang di persepsikan baik oleh pelanggan akan menyebabkan kepuasan pelanggan, sehingga kepuasan akan timbul bila pasien memiliki persepsi yang baik atas kualitas jasa rumah sakit. Kotler (2012 : 61) mendefinisikan kepuasan sebagai perasaan senang atau kecewa seorang pasien yang muncul setelah membandingkan antara persepsi terhadap kinerja (atau hasil) suatu produk atau jasa dengan harapan-harapannya.

Kualitas Layanan Rumah Sakit128

Menurut Parasuraman et al. (1998) kualitas jasa dibangun atas adanya perbandingan dua faktor utama yaitu persepsi pelanggan atas jasa yang secara nyata mereka terima (perceived service) dengan jasa yang sesungguhnya diharapkan atau diinginkan (expected service), apabila jasa yang diterima atau dirasakan sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas jasa yang dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika jasa yang diterima melampaui harapan pasien, maka kualitas jasa dipersepsikan sebagai kualitas jasa yang ideal. Sebaliknya jika jasa yang diterima lebih rendah dari yang diharapkan, maka kualitas jasa yang dipersepsikan buruk.

Menurut Hume et al. (2010) agar pelayanan yang diberikan berkualitas, perlu mempertahankan dan menerapkan kualitas layanan inti dan kualitas layanan penunjang, pelayanan inti itu antara lain dari pelayanan dokter, perawat dan alat medis, sedangkan pelayanan penunjang antara lain kamar pasien dan menu makan. Semakin tinggi kualitas layanan yang di berikan oleh dokter, perawat dan alat medis serta pelayan penunjang kepada pasien semakin tinggi loyalitas pasien dan sebaliknya. Karena loyalitas pasien terhadap rumah sakit hanya dapat di capai dengan meningkatkan kualitas layanan dengan baik.

Kepuasan pasien bukanlah tujuan akhir bagi rumah sakit. Segala usaha dilakukan rumah sakit untuk memuaskan pasien ditunjukkan agar mau kembali lagi berobat ke rumah sakit (Kandapully and Duddy, 1999). Menciptakan agar mau kembali atau niat untuk membeli ulang pasien merupakan hal yang penting bagi rumah sakit untuk mempertahankan berlangsungnya rumah sakit, karena pasien yang puas dan ada niat kembali merupakan dasar kestabilan dan pertumbuhan pangsa pasar atau rumah sakit (Duffyans, 2003).

Bab 7

KualitasPelayanan

PADA EMOSI & KEPUASAN PELANGGAN

Kualitas Layanan Rumah Sakit130

1. Definisi Nilai Yang Dirasakan

Dalam International Journal of hospital Marketing 16 atau 2, 1998, p.54, Zeithaml (1988) mengusulkan bahwa nilai merupakan variabel yang lebih tinggi daripada kualitas, dan memberikan empat definisi dari perceived value sebagai berikut :

a) Nilai merupakan harga rendah.

b) Nilai merupakan kepuasan dari keinginan (want satisfaction).

c) Nilai adalah kualitas yang saya peroleh untuk harga yang saya bayar.

d) Nilai adalah apa yang saya peroleh sesuai dengan apa yang saya beli.

Perceived value berbeda dengan kualitas dan merupakan bentuk evaluasi pelanggan yang lebih komprehensif terhadap pelayanan atau jasa. Nilai dapat dikonseptualisasikan sebagai suatu evaluasi secara keseluruhan mengenai pengalaman penggunaan jasa dan sebagaimana halnya dengan kualitas dan kepuasan, dapat timbul dalam suatu penggunaan yang spesifik atau dalam suatu evaluasi global dengan jangka waktu yang lebih panjang (Rust and Oliver, 1994). Nilai merupakan keseimbangan (trade-offs) antara biaya dan keuntungan yang timbul dari kualitas dan harga.

Rust and Oliver (1994) dalam karya mereka mengenai nilai jasa atau pelayanan menunjukkan bahwa nilai seharusnya meningkat apabila kualitas meningkat dan harga turun.

Dengan demikian, nilai bersifat lebih situasional dan personal daripada kualitas dan dapat memiliki arti yang berbeda pada fase-fase berbeda dalam suatu proses penggunaan jasa (Holbrook and Corfman, 1985 : Zeithaml, 1988).

Pilihan pelanggan dipengaruhi oleh nilai fungsional, sosial, emosional, epistemik, dan kondisional.

Nilai fungsional menunjuk pada utilitas ekonomi yang diperoleh dari pilihan tersebut. Nilai sosial dikaitkan dengan nilai yang diperoleh dari

BAB 7 Kualitas Peayanan pada Nilai, Emosi & Kepuasan Pelanggan 131

perhatian orang lain. Nilai emosional diperoleh dari membeli barang yang disukai. Nilai epistemik merupakan kemampuan dari obyek pilihan untuk memberikan sesuatu yang baru. Nilai kondisional menunjuk pada kondisi situasional yang mempengaruhi perilaku dalam memilih barang, seperti pembelian kartu ucapan (Shetf et al., 1991).

Nilai yang dirasakan (Perceived Value) merupakan akibat atau keuntungan-keuntungan yang diterima pelanggan dalam kaitannya dengan total biaya (termasuk didalamnya adalah harga yang dibayarkan ditambah biaya-biaya lain terkait dengan pembelian). Dengan kata lain, McDougall and Levesque (2000) menyatakan value adalah perbedaan antara manfaat-manfaat yang diterima dengan biaya-biaya yang dikeluarkan.

Menurut Kotler (2005:103) nilai yang dirasakan (perceived value) adalah selisih nilai yang dirasakan total dan biaya pelanggan total dimana nilai yang dirasakan total adalah sekumpulan manfaat yang diharapkan oleh pelanggan dari produk atau jasa tertentu dan biaya pelanggan total adalah sekumpulan biaya yang diharapkan oleh pasien yang dikeluarkan untuk mengevaluasi, mendapatkan, menggunakan dan membuang produk atau jasa.

Nilai yang dirasakan (perceived value) yaitu persepsi pelanggan terhadap nilai dimana perusahaan harus mempertimbangkan nilai dalam mengembangkan produk dan jasanya sehingga sesuai dengan apa yang diharapkan pelanggan (Vanessa, 2007:65).

Monroe dalam Vanessa (2007:65) menyatakan bahwa nilai yang dirasakan adalah rasio antara keuntungan atau manfaat yang dirasakan dengan pengorbanan yang dikeluarkan. Dimana keuntungan yang dirasakan adalah kombinasi dari atribut fisik, atribut jasa, dan teknik pendukung dalam pemanfaatan produk. Pengorbanan yang dikeluarkan adalah total biaya yang dikeluarkan pasien termasuk biaya pembelian dan biaya tambahan (seperti biaya pemesanan, transportasi, instalasi,

Kualitas Layanan Rumah Sakit132

penanganan pesanan) serta biaya diluar pembelian (mengganti kerusakan, resiko kegagalan atau pelayanan yang buruk).

Buchari (2007:295) menyatakan bahwa nilai yang dirasakan ialah selisih antara total nilai tambah yang diperoleh pasien dibandingkan dengan total biaya yang dikeluarkan.

Menurut Hanny dalam Vanessa (2007:65) nilai adalah harga murah, apapun yang diinginkan dari suatu produk, kualitas yang diterima pasien atas biaya yang telah dikeluarkan dan apa yang diperoleh pasien dari yang telah mereka berikan.

Nilai yang dirasakan adalah preferensi yang dirasakan oleh pelanggan atas atribut produk, kinerja, dan konsekuensi yang timbul dari pemakaian fasilitas untuk memenuhi sasaran dan maksudnya (Susanto dalam Vanessa, 2007:66).

Menurut Gale dalam Alida (2007:74) nilai yang dirasakan adalah persepsi pasien terhadap nilai atas kualitas yang ditawarkan relatif lebih tinggi dari pesaing akan mempengaruhi tingkat loyalitas pelanggan, semakin tinggi persepsi nilai yang dirasakan oleh pelanggan, maka semakin besar kemungkinan terjadinya hubungan (transaksi). Dan hubungan yang diinginkan adalah hubungan yang bersifat jangka panjang, sebab usaha dan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan diyakini akan jauh lebih besar apabila harus menarik pelanggan baru atau pelanggan yang sudah meninggalkan perusahaan, daripada mempertahankannya.

Penelitian membuktikan bahwa pelanggan akan puas apabila menerima “value for money (mendapat lebih manfaat dibanding biaya yang dikeluarkan)” dibandingkan pelanggan yang tidak menerimanya. Nilai yang dirasakan (perceived value) juga digunakan oleh pasien untuk menimbang berbagai aspek layanan berbanding relatif dengan biaya yang ditawarkan beberapa penyedia jasa dalam persaingan mereka. Sehingga, perceived value dapat dipandang sebagai suatu ukuran relatif dari biaya-biaya dan aspek

BAB 7 Kualitas Peayanan pada Nilai, Emosi & Kepuasan Pelanggan 133

keuangan dari layanan suatu perusahaan dalam perbandingan dengan pesaing-pesaing yang ada. Dalam hal ini, perceived value akan didefinisikan sebagai keseluruhan penilaian pasien mengenai apa yang diberikan.

Broadly mendefinisikan, nilai yang dirasakan adalah hasil atau manfaat pelanggan menerima di dalam hubungan bagi biaya total (yang termasuk harga yang dibayar ditambah biaya lain yang terkait dengan pembelian). Secara sederhana, nilai adalah perbedaan antara benefit dan biaya yang dikeluarkan. Akan tetapi, apa yang dinyatakan nilai muncul menjadi sangat personal, dan mungkin bervariasi dari satu pelanggan yang mempersepsikan apa yang mereka terima “nilai untuk uang” adalah lebih luas daripada pelanggan lain. Bukti penilaian memberikan saran bahwa pelanggan yang mempersepsikan apa yang mereka terima “nilai untuk uang”. Juga nilai yang dirasakan mungkin digunakan oleh pelanggan untuk “menyatukan” berbagai aspek pelayanan relatif pada penawaran kompetitif. Itulah mengapa, nilai yang dirasakan akan didefinisikan sebagai keseluruhan penilaian pelanggan akan apa yang dirasakan secara relatif pada apa yang diberikan.

Keterkaitan antara nilai yang dirasakan dan kepuasan pelanggan atau intensi masa depan dijadikan perdebatan di dalam literatur pemasaran jasa. Ini berisi bahwa nilai memiliki pengaruh langsung pada seberapa puas pelanggan dengan supplier mereka dan bahwa kepuasan tergantung pada nilai, perhatian kecil yang diberikan pada nilai yang dirasakan dalam melakukan evaulasi jasa. Hal tersebut dapat menunjukkan bahwa itensitas yang akan datang ditentukan oleh nilai yang dirasakan. Dalam pembuatan keputusan pada penyedia jasa, pelanggan mempertimbangkan apa yang mereka terima sebagai “nilai untuk uang”. Akan tetapi, untuk investigasi ini, diajukan bahwa nilai yang dirasakan memberikan kontribusi secara langsung pada kepuasan pelanggan, yang kemudian mengarahkan pada intensitas masa depan.

Kualitas Layanan Rumah Sakit134

Untuk manajer jasa, adalah penting untuk membangun peran, nilai yang dirasakan perlu dalam menentukan kepuasan pelanggan. Sebagai contoh, jika nilai yang dirasakan dapat secara langsung dihubungkan dengan pelanggan, kemudian model yang mempertimbangkan hanya kualitas pelayanan inti dan kualitas relasional akan menyediakan gambaran tidak lengkap dorongan kepuasan pelanggan. Sebagai contoh, pertimbangan situasi dimana pelanggan mungkin “puas” dengan “apa” yang disampaikan (inti) dan “bagaimana” disampaikan (relasional) tetapi mungkin tidak merasa mereka mendapat “uang yang berharga”. Jika nilai yang dirasakan adalah dorongan kepuasan pelanggan dan manajer mengeluarkan pengukuran ini dari model kepuasan, mereka akan meningkatkan kepuasan pelanggan melalui peningkatan di dalam kualitas pelayanan inti dan relasional. Hasil taktik ini memiliki efek minimal dalam kepuasan. Melalui pembangunan peran nilai yang dirasakan, keputusan didesain untuk meningkatkan kepuasan pelanggan yang akan lebih efektif, karena kepuasan pelanggan merupakan suatu faktor penting, yang harus mendapat perhatian dan sekaligus sebagai faktor yang dapat menentukan loyalitas dari pelanggan.

Nilai yang dirasakan adalah apa yang membentuk nilai lebih bersifat idiosinkratik dan sangat personal (Zeithaml, 1988). Definisi atas nilai berdasarkan study exploratory menurut (Bishop 1984, Dodds and Monroes 1984, Shapiro and Associates) ada 4 yaitu :

1. Nilai adalah murah (value is low price)Beberapa responden menyamakan nilai sama dengan harga murah. Hal ini mengindikasikan bahwa apa yang harus diberikan pelanggan merupakan hal yang paling penting dalam persepsi mereka atas nilai. Dalam bahasanya pelanggan mengatakan.

2. Nilai adalah hargaKetika saya dapat menggunakan kupon, saya merasakan bahwa jus

BAB 7 Kualitas Peayanan pada Nilai, Emosi & Kepuasan Pelanggan 135

adalah nilai.

3. Nilai berarti harga murah.Nilai adalah apapun yang khusus dalam minggu ini. Nilai adalah apapun yang saya inginkan dalam suatu produk. Beberapa responden menekankan pada keuntungan yang mereka terima dari produk sebagai komponen yang paling penting dari nilai.

4. Nilai adalah apa yang baik bagi anda.Nilai adalah apa yang akan diminum oleh anak saya. Kontainer kecil karena sampahnya sedikit. Nilai bagi saya adalah apa yang nyaman. Ketika saya mengeluarkan dari mesin pendingin dan dapat mengkonsumsinya langsung, itu adalah nilai.

Nilai adalah kualitas yang sama dapatkan dari harga yang saya bayarkan.

Beberapa responden mengkonseptualisasikan nilai sebagai nilai penjualan antara komponen “memberi” dengan komponen “mendapatkan” kualitas :

1. Nilai adalah harga yang pertama dan kualitas yang kedua.

2. Nilai adalah harga terendah untuk kualitas merek.

3. Nilai adalah sama dengan kualitas.

4. Nilai adalah apa yang saya dapatkan untuk apa yang saya berikan.

Beberapa responen mempertimbangkan semua komponen “mendapatkan” yang relevan sebagaimana semua komponen “memberi” yang relevan ketika mendeskripsikan nilai :

1. Nilai adalah berapa banyak minuman yang dapat dibawa dalam peket tertentu. Berapa banyak gallon yang dapat dibawa dengan harga tersebut.

2. Apapun yang dapat menghasilkan terbanyak dengan uang sedikit.

3. Nilai adalah apa yang kamu bayarkan untuk apa yang kamu dapatkan.

Kualitas Layanan Rumah Sakit136

4. Nilai adalah harga dan dalam porsi tunggal sehingga tidak ada yang terbuang.

Keempat definisi ini konsisten dengan konseptual Sawyer and Dickson`s (1984) dimana nilai rasio dari atribut yang dibobotkan oleh evaulasi pelanggan dibagi dengan harga yang dibobotkan dengan evaluasinya.

Keempat ekspresi pelanggan di atas dapat dirangkum dalam satu definisi nilai yang dirasakan pelanggan adalah penilaian keseluruhan dari kegunaan (utility) dari produk yang didasarkan pada persepsi dari apa yang diterima dan apa yang diberikan. Walaupun apa yang diterima beragam diantara pelanggan (misalnya ada yang menginginkan volume, kualitas, kenyamanan dan lainnya) dan apa yang diberikan juga beragam (misalnya uang, waktu, usaha dan lainnya), nilai merepresentasikan apa yang paling penting dari komponen memberi dan mendapatkan (Zeithaml, 1988).

2. Dimensi Nilai yang Dirasakan (Perceived Value)

Perceived value memiliki beberapa dimensi nilai menurut Gill et al. (2007), yaitu Emotional Value, Price Value, Social Value, Epistemic Value, Quality (kualiatas pelayanan dan kualitas produk secara umum).

1. Emotional ValueMenurut Barlow and Maul (2000), yaitu “emotional value is the

economic value or monetary worth of feeling when customers positively experience product and service. Kemudian menurut Sweeney et al. (1998), yaitu “emotional response was defined as descriptive judgement regarding the pleasure that product or service gives up or sacrificed to obtain a product”.

2. Price ValueMenurut Zeithaml (1988 : 10), yaitu “price value is what is given

up sacrificed to abtain a product”. Kemudian menurut Sweeney et al. (1998 : 10), yaitu “price value was operationalized as whether or not the money paid

BAB 7 Kualitas Peayanan pada Nilai, Emosi & Kepuasan Pelanggan 137

for the product was reasonable”.

3. Social ValueMenurut Sweeney et al. (2003) yaitu “social value as the impression

that the purchase of the hed on other”.

4. EpistemicMenurut Sheth et al. (1991) yaitu “espistemic value is derived from a

product`s capacity to arouse curiosity, provide novelty and satisdy a desire for knowledge”.

5. QualityMenurut Sweeney et al. (2001) yaitu “quality refered to how well the

product was made”.

3. Dampak Kualitas Layanan Inti terhadap Nilai yang Dirasakan

Kualitas layanan inti (core service quality) merupakan pelayanan utama perusahaan untuk berada di pasar dan mewakili kemampuan dasar perusahaan dalam meningkatkan nilai (Ferguson et al., 1999). Semakin baik kualitas layanan inti dari pelayanan dokter, perawat dan peralatan yang menunjang, maka semakin baik respon pelanggan atas manfaat dan fungsional yang di rasakan oleh pasien. Maka ada Hubungan kualitas layanan inti (core service quality) terhadap Nilai yang Dirasakan (perceived value).

Perlu di kemukakan bahwa hasil uji hipotesis core service quality terhadap perceived value memberikan arti pula bahwa pasien merasakan pelayanan yang diberikan oleh dokter, perawat, yang dilengkapi alat medis yang modern mampu membawa pengaruh nilai yang dirasakan oleh pasien atas layanan dokter menjadikan pasien senang sehingga, dengan persaan senang itu akan menyebabakan pasien itu merasa puas dengan pelayanan dokter tersebut. Hal ini sesuai dengan apa yang di harapkan pasien bahwa menggunakan jasa rumah sakit itu mengharapkan akan memperoleh

Kualitas Layanan Rumah Sakit138

layanan dan perawatan yang menyebabkan penyakitnya bisa sembuh dengan pelayanan yang diberikan dengan sebaik baiknya sehingga dia merasa manfaat dalam kesembuhan penyakitnya.

Sebagai temuan dari hasil studi ini adalah mendukung penelitian-penelitian yang dikemukakan Mort (2003) meneliti pentingnya core service quality terhadap perceived value dalam studinya di katakan, bahwa meneliti peranan pelayanan inti dan nilai yang dirasakan pasien sangat penting karena sebagai dasar untuk memuaskan konsumen. Artinya terdapat hubungan antara core service quality terhadap perceived value dengan menggunakan pengukuran dokter, perawat, alat medis, semakin tinggi core service quality, semakin baik perceived value pasien atas dasar pelayanan dari rumah sakit.

Nilai yang dirasakan adalah persepsi pasien terhadap nilai atas kualitas yang ditawarkan relatif lebih tinggi dari pesaing akan mempengaruhi tingkat loyalitas konsumen, semakin tinggi persepsi nilai yang dirasakan oleh konsumen, maka semakin besar kemungkinan terjadinya hubungan (transaksi). Hubungan yang diinginkan adalah hubungan yang bersifat jangka panjang, sebab usaha dan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan diyakini akan jauh lebih besar apabila harus menarik pelanggan baru atau pelanggan yang sudah meninggalkan perusahaan dar ipada mempertahankannya.

Hume (2008), hasil penelitiannya tersebut menunjukkan adanya keinginan membeli kembali berdasarkan layanan inti maupun layanan penunjang yang dimediasi oleh nilai yang dirasakan dan kepuasan pelanggan. Sedangkan variabel yang digunakan, perilaku konsumen, kepuasan konsumen, kualitas layanan, dan seni pertunjukkan. Hasil penelitian yang menjelaskan bahwa core service quality berpengaruh positif dan signifikan terhadap perceived value, konsisten dengan Skogland dan Siguaw (2004) dalam penelitiannya yang menjelaskan bahwa kualitas layanan penunjang sebuah prediktor dari keinginan membeli kembali, memiliki peranan pada

BAB 7 Kualitas Peayanan pada Nilai, Emosi & Kepuasan Pelanggan 139

kualitas layanan inti, dimana layanan dalam kontek penelitian ini telah diklarifikasi dan tidak memiliki pengaruh langsung terhadap keinginan membeli kembali, hanya sebuah pengaruh tidak langsung melalui penilaian emosi, nilai yang dirasakan dan kepuasan.

Caruana et al. (2000) dalam penelitiannya juga menyatakan sebuah hubungan langsung dari nilai yang dirasakan dengan kepuasan pelanggan, Dengan nilai yang dirasakan sebagai perantara dari kualitas layanan inti dan kualitas layanan penunjang dan kepuasan pelanggan. Sama halnya dengan Pattersson et al. (1997), penelitian ini mendukung nilai yang dirasakan sebagai diperantarai keseluruhan melalui kepuasan pelanggan terhadap keinginan membeli kembali. Hubungan langsung dari kualitas layanan inti, kualitas layanan penunjang, dan untuk nilai yang dirasakan.

Semakin baik kualitas inti pelayanan yang berupa dokter, perawat dan di tunjang peralatan yang memadai, pasien akan nyaman karena kebutuhan pasien terpenuhi dan menjadikan nilai yang dirasakan pasien menjadi positif dan terpuaskan. Maka ada hubungan core service quality terhadap perceived value positif. Penelitian tersebut mengandung makna bahwa core service quality yang diukur dengan menggunakan pelayanan dokter, perawat, peralatan medis yang memadai adalah mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perceived value.

Pelayanan dokter, perawat, dan peralatan medis yang memadai merupakan hal yang sangat penting untuk meningkatkan kualitas inti layanan di rumah sakit. Hal ini akan menjadikan nilai yang dirasakan pasien menjadi positif, sehingga dapat digunakan sebagai dasar untuk menguji dan menganalisis pengaruh antara ke dua variabel tersebut.

Pelayanan dokter, perawat yang ramah, perhatian, trampil, sopan mendorong terwujudnya nilai yang dirasakan pasien positif, sehingga sesuai dengan harapan pasien rumah sakit swasta di surabaya. Alat medis yang dimiliki lengkap, berfungsi dengan baik, moderen merupakan penunjang

Kualitas Layanan Rumah Sakit140

dari pada kualitas inti layanan, sehingga terjadi nilai yang dirasakan pasien positif pada layanan rumah sakit swasta di Surabaya semakin meningkat. Semakin tinggi core service quality semakin tinggi perceived value positif pasien rumah sakit swasta di Surabaya.

Hasil studi ini mendukung hasil studi yang telah dilakukan dari penelitian-penelitian sebelumnya, yaitu: Mort (2003), Hume (2008), Skogland dan Siguaw (2004), dan Pattersson et al. (1997). Hipotesis keempat (H4), menyatakan bahwa core service quality berpengaruh signifikan terhadap perceived value

4. Dampak Kualitas Layanan Penunjang dengan Nilai yang Dirasakan

Kualitas Layanan Penunjang (peripheral service quality) mempunyai hubungan dengan nilai yang dirasakan (perceived value) (Anderson and Narus, 1995). Kualitas Layanan Penunjang (peripheral service quality) diajukan untuk membedakan satu layanan dengan layanan lain yang bersaing dengan membuat nilai yang dirasakan (perceived value) (Andeson and Narus, 1995). Hal itu diharapkan bahwa ada hubungan yang positif dan kuat antara Kualitas Layanan Penunjang (peripheral service quality) dengan nilai yang dirasakan (perceived value) (Liljander and Mattsson, 2002). Semakin baik kualitas layanan penunjang kamar pasien, menu makan semakin besar manfaat yang di rasakan pelanggan. dengan demikian semakin tinggi kualitas layanan penunjang semakin tinggi nilai yang di rasakan.

Berdasarkan hasil pengujian, ditemukan bahwa variabel peripheral service quality yang diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya terhadap variabel perceived value menyatakan peripheral service quality berpengaruh signifikan terhadap perceived value pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya. Hal ini memberi makna, bila persepsi pasien terhadap peripheral service quality yang diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di

BAB 7 Kualitas Peayanan pada Nilai, Emosi & Kepuasan Pelanggan 141

Surabaya semakin baik (positif ), maka perceived value pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya akan semakin meningkat. Sebaliknya, bila persepsi pasien terhadap peripheral service quality yang diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya semakin menurun (negatif ), maka perceived value pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya akan semakin jelek.

Perlu di kemukakan bahwa peripheral service quality terhadap perceived value memberikan arti pula bahwa pasien merasakan pelayanan yang berupa kamar pasien yang nyaman, menu makan yang bergizi dan bervariasi mampu membawa pengaruh kepada nilai yang dirasakan sesuai yang diharapkan pasien atas pelayanan tersebut sehingga, dengan nilai yang dirasakan sesuai, perasaan pasien menjadi senang. Dengan perasaan senang menyebabakan pasien itu merasa puas dengan pelayanan tersebut. Hal ini sesuai dengan apa yang di harapkan pasien, bahwa masuk di rumah sakit itu mengharapkan akan memperoleh layanan dan perawatan yang menyebabkan penyakitnya bisa sembuh dengan pelayanan yang diberikan dengan sebaik baiknya sehingga dia merasa manfaat dalam kesembuhan penyakitnya.

Sebagai temuan dari hasil studi ini adalah mendukung penelitian-penelitian yang dikemukakan Gillian Sullivan Mort and Hume winzar (2003), Hume (2008), meneliti pentingnya peripheral service quality terhadap perceived value, dalam studinya dikatakan, bahwa meneliti peranan pelayanan inti dan nilai yang dirasakan pasien sangat penting karena sebagai dasar untuk memuaskan konsumen. Artinya terdapat hubungan antara peripheral service quality terhadap perceived value. Dengan menggunakan pengukuran kamar pasien dan menu makan, sehingga semakin tinggi peripheral service quality , maka semakin tinggi perceived value pasien atas dasar pelayanan dari rumah sakit.

Hasil penelitian yang menjelaskan bahwa peripheral service quality berpengaruh positif dan signifikan terhadap perceived value, konsisten

Kualitas Layanan Rumah Sakit142

dengan Anderson and Narus (1995) yang menyatakan bahwa kualitas layanan penunjang (peripheral service quality) mempunyai hubungan dengan nilai yang dirasakan (perceived value). Peripheral service quality diajukan untuk membedakan satu layanan dengan layanan lain yang bersaing dengan membuat nilai yang dirasakan (perceived value) tinggi.

Semakin baik peripheral service quality yang berupa menu makan dan kamar pasien yang memadai, pasien akan nyaman karena kebutuhan pasien terpenuhi dan menjadikan nilai yang dirasakan pasien menjadi positif. Maka ada hubungan peripheral service quality terhadap perceived value positif. Penelitian tersebut mengandung makna bahwa peripheral service quality yang diukur dengan menggunakan menu makan dan kamar pasien yang memadai adalah mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perceived value.

Kualitas layanan penunjang berupa menu makan yang bervariasi dan kamar pasien yang nyaman dan memadai merupakan hal yang sangat penting untuk meningkatkan kualitas layanan penunjang di rumah sakit. Hal ini akan menjadikan nilai yang dirasakan pasien menjadi positif, sehingga dapat digunakan sebagai dasar untuk menguji dan menganalisis pengaruh antara ke dua variabel tersebut.

Kualitas layanan penunjang yang berupa menu makan yang bervariasi dan kamar pasien yang nyaman mendorong terwujudnya nilai yang dirasakan pasien positif, sehingga sesuai dengan harapan pasien rumah sakit swasta di surabaya, yang akhirnya terjadi nilai yang dirasakan positif pada layanan rumah sakit swasta di Surabaya semakin meningkat. Semakin tinggi peripheral service quality semakin tinggi nilai yang dirasakan pasien rumah sakit swasta di Surabaya.

BAB 7 Kualitas Peayanan pada Nilai, Emosi & Kepuasan Pelanggan 143

5. Dampak Kualitas Layanan Inti (Core Service Quality) dengan Penilaian Emosi (Appraisal Emotion)

Penelitian McDougall and Levesque (2000) mengenai core service quality, relational service quality dan perceived value dengan kepuasan menemukan bahwa core service quality dan perceived value merupakan faktor utama yang mempengaruhi kepuasan pelanggan. Ruyter and Bloomer (1998) seperti dikutip dalam Smith and Ennew (2001) menemukan bahwa pasien yang terpuaskan nilai pribadinya mengalami mood yang positif terhadap layanan yang diberikan akan memiliki loyalitas yang tinggi terhadap perusahaan tersebut.

Sementara penilaian emosi pasien juga memiliki kaitan erat dengan kepuasan pelanggan. Penilaian emosi pasien merupakan bagian dari evaluasi pasien terhadap kualitas layanan yang dapat digambarkan sebagai proses afektif pasien dalam menilai kebaikan atau kejelekan komponen layanan yang berbeda baik dengan cara mengevaluasi kinerja pelayanan yang dipersepsikan atau membandingkan dengan kinerja layanan dengan standar yang telah ditentukan (Liljander and Strandvik, 1997).

Hasil evaluasi tersebut akan menghasilkan perasaan emosi positif seperti bahagia, senang atau perasaan emosi negatif seperti marah, jengkel, kecewa terhadap pelayanan yang ditawarkan oleh penyedia service tersebut. Semakin baik kualitas layanan dokter, perawat di tunjang peralatan yang memadai pasien akan nyaman karena kebutuhan pasien terpenuhi dan menjadikan emosi pasien menjadi positif. Maka ada hubungan core service quality terhadap appraisal emotion positif.

6. Dampak Kualitas Layanan Penunjang (Peripheral Service Quality) dengan Penilaian Emosi (Appraisal Emotion)

Hubungan kualitas layanan penunjang dan penilaian emosi. Sebuah pemahaman yang nyata dari bagaimana pasien merasakan masing-masing elemen dari desain dari pelayanan yang menawarkan penunjang

Kualitas Layanan Rumah Sakit144

layanan untuk efisiensi pendanaan dan alokasi sumber daya. Secara efektif pengalokasian sumber daya akan menambah keuntungan Rumah Sakit dengan meningkatkan kualitas layanan. Penilaian emosi dan kualitas layanan penunjang membutuhkan strategi meningkatkan Kualitas Layanan Penunjang yang difokuskan, ruang tunggu, apotik, ICU dan kamar pasien yang memerlukan perhatian. Penilaian emosi positif adalah bagian dari keseluruhan sistem dari hubungan yang memenuhi keinginan pasien untuk membeli kembali, tapi penelitian ini menunjukkan bahwa sementara hal itu berdampak kepuasan secara langsung, itu hanya sebuah efek tidak langsung terhadap pelanggan yang ingin menggunakan layanan rumah sakit.

7. Dampak Penilaian Emosi (Appraisal emotion) dengan Nilai yang Dirasakan ( perceived value)

Perusahaan perlu untuk mengelola penilaian emosi pelanggannya agar dapat menciptakan emosi yang positif dan mengurangi emosi negatif. Penilaian emosi pasien ini dapat meliputi perasaan marah, senang, takut, cemas, bahagia, atau bosan. Pasien yang memiliki emosi positif cenderung akan memberikan evaluasi yang baik sementara pasien yang tidak puas cenderung akan memberikan evaluasi yang jelek.

Salah satu cara mengelola penilaian emosi adalah melalui pelayanan yang baik kepada pelanggan. Javalgi and Moberg (2007) menyebutkan bahwa perusahaan tidak seharusnya menunggu komplain dari pelanggan tentang kualitas pelayanannya, namun perusahaan harus secara terus menerus mengawasi kepuasan pelanggan dengan cara mendengarkan evaluasi dari pelanggan. Pelanggan melakukan penilaian emosi positif, ketika apa yang dirasakan memiliki manfaat.

Menurut Gale (1994) dalam Alida (2007:74) nilai yang dirasakan adalah persepsi pasien terhadap nilai atas kualitas yang ditawarkan relatif lebih tinggi dari pesaing akan mempengaruhi tingkat loyalitas pelanggan, semakin tinggi persepsi nilai yang dirasakan oleh pelanggan, maka semakin

BAB 7 Kualitas Peayanan pada Nilai, Emosi & Kepuasan Pelanggan 145

besar kemungkinan terjadinya hubungan (transaksi). Dan hubungan yang diinginkan adalah hubungan yang bersifat jangka panjang, sebab usaha dan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan diyakini akan jauh lebih besar apabila harus menarik pelanggan baru atau pelanggan yang sudah meninggalkan perusahaan, daripada mempertahankannya.

8. Hubungan Nilai yang Dirasakan (perceived value) dengan Kepuasan Pelanggan (customer satisfaction)

Parasuraman et al. (1998) menyebutkan bahwa pelanggan membentuk suatu harapan terhadap nilai dan bertindak berdasarkan hal itu, dan mereka memperhitungkan atau mengevaluasi penawaran mana yang akan memberikan nilai tertinggi.

Penawaran yang memenuhi harapan nilai pelanggan mempengaruhi kepuasan dan kemungkinan pelanggan membeli kembali. Lin (2003), menyebutkan bahwa kepuasan pelanggan merupakan perbandingan antara kinerja yang diterima dengan ekspektasi, di mana kepuasan pelanggan bergantung pada persepsi nilai pelanggan itu sendiri. Membangun hubungan dengan pelanggan seringkali membawa keberhasilan, tetapi tidak selalu merupakan suatu strategi terbaik. Persepsi terhadap nilai berpengaruh signifikan terhadap kepuasan Lai Lai (2004). membuktikan adanya hubungan positif antara nilai yang dirasakan terhadap kepuasan pelanggan (Cronin et al., 2000). Palilati, (2007).

Dalam penelitian yang berjudul Pengaruh Nilai Pelanggan, Kepuasan Terhadap Loyalitas Pasien Rumah sakit di Sulawesi Selatan menemukan adanya hubungan yang signifikan dan positif antara nilai atribut dengan tingkat kepuasan pasien Rumah Sakit Swasta di Sulawesi Selatan. Hasil pengujian dengan metode analisis Structural Equation Model (SEM) ini menunjukkan bahwa semakin tinggi persepsi nilai dari atribut yang diterima oleh pasien meningkat, maka kepuasan terhadap pasien Rumah Sakit juga akan meningkat.

Kualitas Layanan Rumah Sakit146

9. Dampak Penilaian Emosi (Appraisal emotion) dengan Kepuasan Pasien (customer satisfaction)

Strandvik and Liljander (1997) menyatakan bahwa emosi dapat berfungsi sebagai mediator atau faktor independen yang mempengaruhi kepuasan. Emosi sebagai mediator ini dikemukakan oleh Oliver (1993). Oliver and Westbrook (1993) yang menyatakan emosi sebagai mediator antara evaluasi kognitif dengan kepuasan sementara emosi sebagai faktor independen dikemukakan oleh Oliver (1993) yang mengajukan model tentang pengaruh atribut kinerja dan emosi terhadap kepuasan.

Liljander and Strandvik (1997) berpendapat bahwa penilaian emosi pelanggan merupakan proses afektif pelanggan dalam menilai kebaikan atau kejelekan komponen service yang berbeda baik dengan cara mengevaluasi kinerja pelayanan yang dipersepsikan atau membandingkan dengan kinerja pelayanan dengan standar yang telah ditentukan. Peter and Olson (2002) menyatakan bahwa dalam menganalisis pelanggan, pemasar harus mempertimbangkan tiga hal yaitu afeksi dan kognisi pelanggan, perilaku pelanggan, dan lingkungan pelanggan. Lebih lanjut, Peter and Olson membagi penilaian afektif dalam empat tipe yaitu emosi, perasaan khusus, mood dan evaluasi.

Penelitian mengenai kualitas pelayanan sudah banyak dilakukan di bidang pemasaran namun literatur mengenai pengaruh penilaian emosi pasien terhadap kepuasan sejauh pengetahuan penulis masih sedikit. Hal ini barangkali disebabkan oleh penelitian lebih menitikberatkan kepada faktor internal dari loyalitas seperti kualitas pelayanan.

Bagaimanapun mereka tidak dapat mengabaikan bahwa service loyalty juga dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti emosi, sebagai contoh Price et al. (1995) seperti yang dikutip dalam Liljander and Strandvik (1997) menemukan bahwa perhatian ekstra dari penyedia jasa akan membantu menciptakan emosi yang positif, sementara kegagalan dalam memenuhi standar minimum akan menimbulkan emosi yang negatif.

BAB 7 Kualitas Peayanan pada Nilai, Emosi & Kepuasan Pelanggan 147

Strandvik (1994) seperti yang dikutip dalam Liljander and Strandvik (1997) menyatakan bahwa fungsi kualitas pelayanan bersifat asimetris. Ketika kualitas layanan gagal memenuhi harapan pasien maka akan memiliki dampak yang lebih besar terhadap penilaian emosi pasien dibandingkan ketika mampu memenuhi harapan pasien. Seorang yang mengikuti program tur wisata dari suatu agen perjalanan wisata ketika ia mengalami ketidakpuasan dengan perjalanannya barangkali ia tidak menyalahkan kualitas layanan agen perjalanan wisata tersebut melainkan dirinya sendiri karena salah dalam memilih perjalanan. Sementara ketika ia mengalami kepuasan barangkali ia tidak menganggap bahwa itu karena kualitas layanan agen perjalanan wisata tersebut. Hal ini barangkali dapat menjelaskan mengapa ketika pasien merasa kecewa dengan hasil suatu layanan namun dia tetap loyal kepada penyedia jasa tersebut.

Koelemeijer et al. (1995) seperti yang dikuti dalam Liljander and Strandvik (1997) membagi emosi menjadi bersifat reaktif dan tujuan. Reaksi pasien bahwa ia diperlakukan dengan baik atau tidak ketika berada di Rumah Sakit merupakan contoh dari emosi yang bersifat reaktif.

Jadi dapat di simpulkan bahwa penilaian emosi dalam bisnis jasa merupakan proses evaluasi pasien terhadap produk atau layanan dimana hasil evaluasi tersebut menimbulkan perasaan puas didalam diri pasien yang akan tergambarkan dalam bentuk sikap pasien.

10. Dampak Kualitas Layanan Inti (core service quality) dengan Kepuasan Pelanggan (customer satisfaction)

Hubungan kualitas layanan inti dengan kepuasan pasien tidak lepas dari kreativitas layanan rumah sakit. Untuk mewujudkan suatu layanan berkualitas yang bermuara pada kepuasan pasien rumah sakit harus mampu mengidentifikasi siapa pasiennya sehingga mampu memahami tingkat persepsi dan harapan pasien atas kualitas layanan. Hal ini penting karena kepuasan pasien merupakan perbandingan antara persepsi dan harapan

Kualitas Layanan Rumah Sakit148

pasien terhadap layanan rumah sakit yang dirasakan pasien.

Hubungan kualitas layanan dengan kepuasan pasien ada dua hal pokok yang saling berkaitan erat yaitu harapan pasien terhadap kualitas layanan (expected quality) dan persepsi pasien terhadap kualitas layanan (perceived quality). Pasien selalu menilai suatu layanan yang diterima dibandingkan dengan apa yang diharapkan atau diinginkan (Parasuraman et al. 1993). Untuk mengidentifikasi perbedaan antara harapan dan kenyataan pasien merupakan suatu cara untuk mengetahui tingkat kepuasan pasien.

Kepuasan pasien terjadi apabila adanya kesesuaian antara harapan dan kenyataan yang didapatkan pasien. Jika yang terjadi adalah ketidakpuasan maka pasien akan mewujudkannya dalam bentuk keluhan. Pemahaman terhadap keinginan pasien rumah sakit merupakan langkah awal dalam memberikan pelayanan yang prima yang bermuara pada kepuasan pasien. Pihak manajemen rumah sakit harus mampu menggunakan pengetahuanya untuk menghadapi tantangan dalam menetapkan standar kualitas layanan rumah sakit. Kepuasan pasien merupakan kunci dari sebuah proses pelayanan rumah sakit.

Cronin and Taylor (1992) menyatakan kepuasan pasien membantu pasien dalam memperbaiki atau merevisi persepsi terhadap kualitas layanan. Hal ini didasarkan bahwa 1. jika pasien tidak memiliki pengalaman sebelumnya dengan suatu Rumah Sakit maka persepsi terhadap kualitas layanannya didasarkan pada harapan pasien, 2. interaksi dengan rumah sakit menyebabkan pasien merubah persepsinya terhadap kualitas layanan, 3. setiap tambahan interaksi dengan rumah sakit akan memperkuat atau memperlemah persepsi terhadap kualitas layanan, 4. revisi persepsi terhadap kualitas layanan mempengaruhi minat pembelian kembali di masa yang akan datang.

Oliver (1981) memandang kualitas layanan sebagai tingkat kepuasan yang ditimbulkan karena adanya suatu transaksi khusus antara rumah

BAB 7 Kualitas Peayanan pada Nilai, Emosi & Kepuasan Pelanggan 149

sakit dan pasien yang merupakan kondisi psikologis yang dihasilkan ketika faktor emosi mendorong harapan dan menyesuaikan dengan pengalaman mengkonsumsi pada waktu terdahulu. Hal ini berarti ada perbedaan apabila kualitas layanan dipandang sebagai suatu sikap, sebab antara kepuasan dengan sikap adalah hal yang berbeda. Sikap ditunjukkan pasien lebih bersifat relatif terhadap produk atau layanan rumah sakit, sedangkan kepuasan merupakan reaksi emosional terhadap pengalaman mengkonsumsi sebelumnya.

11. Dampak Kualitas Layanan Penunjang (peripheral service quality) dengan Kepuasan Pelanggan (customer satisfaction)

Kepuasan pasien menjadi prediktor yang signifikan dari keinginan membeli kembali, dan nilai yang dirasakan menjadi sebuah prediktor yang signifikan dari kepuasan pelanggan, pendapat ini didukung Patterson et al. (1997). Kualitas layanan inti dan kualitas layanan penunjang ditemukan memiliki hubungan tidak langsung tehadap kepuasan pelanggan. Kualitas Layanan Penunjang juga memiliki hubungan yang signifikan pada keinginan membeli kembali. Kualitas layanan penunjang termasuk kamar pasien dan menu makan untuk membuat pasien memutuskan untuk menggunakan kembali layanan rumah sakit. Semakin tinggi kualitas layanan penunjang semakin tinggi kepuasan pasien.

12. Dampak Kepuasan Pelanggan (customer satisfaction) dengan Loyalitas (loyalty)

Pasien yang puas diharapkan akan menjadi pasien yang loyal. Kepuasan pasien berkontribusi pada aspek yang penting seperti terciptanya loyalitas pasien. Meningkatnya reputasi Rumah Sakit dan meningkatnya efisiensi dan produktifitas karyawan serta menjadi muara dan semua proses layanan yang dilakukan oleh Rumah Sakit. Loyalitas pasien didefinisikan sebagai pembelian kembali jasa yang sudah pernah dibelinya. Pasien yang

Kualitas Layanan Rumah Sakit150

loyal adalah pasien yang bersedia melakukan pembelian atau penggunaan ulang layanan Rumah Sakit yang sama dan menjadi referensi bagi pasien yang lainnya melalui komunikasi mulut ke mulut yang positif.

Dalam penelitian Cronin and Taylor (1992) menyatakan bahwa kepuasan pasien berpengaruh signifikan terhadap keinginan membeli kembali dan kualitas layanan mempunyai pengaruh yang kecil terhadap pembelian kembali dibandingkan dengan kepuasan pasien. Penelitian ini memberikan penjelasan bahwa kepuasan pasien berpengaruh pada loyalitas pasien yang didefinisikan sebagai keinginan untuk melakukan pembelian kembali.

Sikap loyal pasien dipengaruhi oleh pembelian kembali (Repurcase), komitmen (Commitment), dan dari mulut ke mulut (Word of Mouth). Rumah Sakit harus mampu merubah perasaan puas menjadi perasaan senang. Bagi pihak Rumah Sakit ini merupakan tantangan untuk menciptakan suatu hubungan spesial antara pasien yang dalam jangka panjang akan menguntungkan. Pendekatan orang-perorang yang dilakukan pihak rumah sakit, membuat rumah sakit dapat mendengarkan dan mengetahui penawaran layanannya sejalan atau sesuai dengan kebutuhan atau harapan pasien serta dapat segera merespons permintaan dan keluhan pasien.

Hasil penelitian Cronin and Taylor (1992), Caruana (2002), Fullerton and Taylor (2002) memberikan gambaran tentang hubungan antara kualitas layanan dengan loyalitas dengan loyalitas pasien baik langsung maupun tidak langsung. Kualitas layanan dipandang sebagai ukuran atau penentu kepuasan pasien yang memiliki konsekuensi terhadap loyalitas pasien.

BAB 7 Kualitas Peayanan pada Nilai, Emosi & Kepuasan Pelanggan 151

13. Dampak Penilaian Emosi (Appraisal emotion) dengan Loyalitas (loyalty)

Dalam pelayanan, seorang manajer dapat menganggap remeh pengaruh emosi-emosi dan memiliki kesulitan untuk mengukurnya (Bagozzi et al. 1999; Taylor, 2000). Sebagai manajer dan pemasaran selamanya mencari motivasi untuk pembelian Taylor (2000) dan loyalitas, ini adalah bukti bahwa memahami emosi dan peranannya pada keputusan pasien untuk kembali adalah sebuah alat yang bisa bernilai untuk para manajer. Emosi menyampaikan dan menyediakan rangsangan untuk perilaku dan memiliki implikasi-implikasi untuk sebuah tindakan (Arora and Singer, 2006; Bagozzi et al., 1999; Taylor, 2000), riset terkenal saat ini Arora and Singer, 2006; Bagozzi, 1997; Gountas and Gountas, 2007; White and Yu, 2005; Wood and Moreau, 2006) pada tipologi-tipologi emosi dalam penelitian loyalitas dalam konteks layanan rumah zakit adalah bersifat elementer. Penelitian membuktikan emosi memengaruhi pemrosesan informasi, sebagai perantara respon-respon hasil, membuat tujuan, dan memengaruhi kepuasan dan loyalitas pelanggan (Bagozzi et al., 1999). Bagozzi et al. (1999) telah mendefinisikan beberapa tipe emosi termasuk suasana hati dan perasaan, emosi-emosi yang diarahkan ke tujuan dan penilaian emosi (Nyer, 1997; Taylor, 2000; Bagozzi et al. 1999). Suasana hati adalah pernyataan keberadaan, mereka tidak cenderung kurang mendalami emosi (Bagozzi, 1997; Bagozzi et al. 1999).

Emosi yang diarahkan pada tujuan adalah spesifik emosi hasil-hasil yang dihasratkan dari sebuah rangsangan spesifik semacam sebuah kesenangan dari sebuah layanan (Bagozzi, 1997; Bagozzi et al. 1999; Nyer, 1997) dengan penilaian emosi yang didefinisikan sebagai hasil atau konsekuensi emosi-emosi dari penampilan seperti perasaan bahagia dan kesenangan bahwa penampilan telah memenuhi hasrat dan harapan-harapan kami. Mereka adalah emosi yang dibuat dari evaluasi penampilan (Arora and Singer, 2006; Bagozzi et al. 1999). Semakin positif emosi,

Kualitas Layanan Rumah Sakit152

orang senang, enjoy, maka ketika mengalami masalah yang sama maka dia ingin mengulang pengalaman yang membuat dia emosi positif. Dapat disimpulkan semakin tinggi emosi positif pada rumah sakit maka pasien semakin banyak pada rumah sakit tersebut.

Bab 8

KorelasiPelayanan

PADA EMOSI & KEPUASAN PELANGGAN

Kualitas Layanan Rumah Sakit154

1. Deskripsi Statistik

Berdasarkan statistik deskriptif variabel appraisal emotion, item yang dimaksud adalah perasaan dalam menerima layanan dokter, layanan perawat, menempati kamar rawat inap, serta penyajian menu makanan. Hal ini menjelaskan bahwa sebagian besar pasien rawat inap rumah sakit swasta di Surabaya yang menjadi responden dalam penelitian ini menilai bahwa emosi pasien dalam hal layanan dokter, layanan perawat, menempati kamar rawat inap, dan penyajian menu makanan bagi pasien rawat inap di rumah sakit swasta di Surabaya perlu ditingkatkan.

Berdasarkan hasil observasi terkait item appraisal emotion berdasarkan hasil Confirmatory Factor Analysis (CFA) pada konstrak appraisal emotion, diketahui indikator yang memiliki factor loading paling besar adalah takut atau fear, artinya perasaan takut pasien dalam menerima layanan dokter, perawat, dan peralatan medis merupakan indikator yang paling besar dalam membentuk appraisal emotion dari suatu rumah sakit swasta, dibandingkan perasaan bahagia atau happy dan marah atau angry.

Berdasarkan statistik deskriptif variabel patient satisfaction, item yang dimaksud adalah kesesuaian layanan perawat dengan harapan pasien, kepuasan terhadap layanan rawat inap, kepuasan terhadap layanan perawat, dan kepuasan terhadap layanan dokter. Hal ini menjelaskan bahwa sebagian besar pasien rawat inap rumah sakit swasta di Surabaya yang menjadi responden dalam penelitian ini menilai bahwa kepuasan pasien terhadap layanan perawat, dokter, dan layanan rawat inap masih perlu ditingkatkan.

Berdasarkan hasil observasi di lapangan terkait item patient satisfaction berdasarkan hasil Confirmatory Factor Analysis (CFA) pada konstrak patient satisfaction, diketahui indikator yang memiliki factor loading paling besar adalah harapan atau expectation, artinya kesesuaian pelayanan dokter, perawat, fasilitas kamar inap, dan makanan dengan harapan pasien merupakan indikator yang paling besar dalam membentuk

BAB 8 Korelasi Peayanan pada Emosi & Kepuasan Pelanggan 155

patient satisfaction dari suatu rumah sakit swasta, dibandingkan pengalaman dan kepuasan secara keseluruhan.

2. Deskripsi Variabel

Dengan demikian terdapat tiga indikator yang dapat digunakan untuk mengukur appraisal emotion yaitu bahagia, takut, dan marah. Berdasarkan validitas variabel appraisal emotion, maka dapat dijadikan sebagai tolok ukur ketepatan penggunaan variabel ini pada objek pasien rawat inap di rumah sakit swasta tipe B di surabaya yang diposisikan sebagai unit analisis yang akan dikaji dalam penelitian ini.

Dengan demikian terdapat tiga indikator yang dapat digunakan untuk mengukur patient satisfaction yaitu pengalaman, harapan, dan puas secara keseluruhan. Berdasarkan validitas variabel patient satisfaction, maka dapat dijadikan sebagai tolok ukur ketepatan penggunaan variabel ini pada objek pasien rawat inap di rumah sakit swasta tipe B di surabaya yang diposisikan sebagai unit analisis yang akan dikaji dalam penelitian ini.

3. Deskripsi Reliabilitas

Indikator variabel appraisal emotion dengan nilai terbesar adalah marah. Hal ini tercermin pada layanan dokter dan kondisi kamar pasien yang digunakan. Apabila pasien mendapatkan kondisi kamar yang bersih, rapi, nyaman, dan pelayanan dokter yang baik, maka pasien akan memperoleh kenyamanan, sehingga hal ini akan membantu pemulihan pasien dalam proses penyembuhan.

Indikator variabel appraisal emotion dengan nilai terkecil adalah bahagia. Dengan demikian, kebahagiaan pasien dapat ditingkatkan, antara lain dengan memberikan kamar pasien dan pelayanan perawat yang lebih baik. Dengan adanya pemberian kamar pasien dan pelayanan perawat yang lebih baik, sehingga memberikan pelayanan pasien dengan baik.

Kualitas Layanan Rumah Sakit156

Indikator variabel patient satisfaction dengan nilai terbesar adalah nilai harapan. Hal ini tercermin pada layanan dokter dan perawat yang diberikan. Apabila pasien mendapatkan layanan dokter dan perawat dengan baik, maka pasien akan memperoleh kenyamanan, sehingga hal ini akan membantu pemulihan pasien dalam proses penyembuhan.

Indikator variabel patient satisfaction dengan nilai terkecil adalah puas secara keseluruhan. Dengan demikian, puas secara keseluruhan harus dapat ditingkatkan, antara lain dengan memberikan pelayanan selama di rumah sakit. Dengan adanya pemberian pelayanan selama di rumah sakit, sehingga memberikan pelayanan pasien dengan baik.

4. Deskripsi Pengaruh

a) Pengaruh Core Service Quality terhadap Appraisal Emotion

Sebagai temuan dari hasil studi ini adalah mendukung penelitian-penelitian yang dikemukakan Hume et al. (2010) hasil penelitiannya mengindikasikan adanya hubungan core service quality terhadap appraisal emotion dengan menggunakan pengukuran dokter, perawat, alat medis, semakin tinggi core service quality semakin positif appraisal emotion pasien terhadap rumah sakit. Hasil penelitian ini konsisten dengan (Liljander and Strandvik, 1997).

Hasil evaluasi tersebut akan menghasilkan perasaan emosi positif seperti bahagia, senang atau perasaan emosi negatif seperti marah, jengkel, kecewa terhadap pelayanan yang ditawarkan oleh penyedia service tersebut. Semakin baik kualitas inti pelayanan dokter, perawat di tunjang peralatan yang memadai pasien akan nyaman karena kebutuhan pasien terpenuhi dan menjadikan emosi pasien menjadi positif. Maka ada hubungan core service quality terhadap appraisal emotion positif. Penelitian tersebut mengandung makna bahwa core service quality yang diukur dengan menggunakan pelayanan dokter, perawat, peralatan medis yang memadai adalah

BAB 8 Korelasi Peayanan pada Emosi & Kepuasan Pelanggan 157

mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap appraisal emotion.

Pelayanan dokter, perawat, peralatan medis yang memadai merupakan hal yang sangat penting untuk meningkatkan kualitas inti layanan di rumah sakit. Hal ini akan menjadikan penilaian emosi pasien menjadi positif, sehingga dapat digunakan sebagai dasar untuk menguji dan menganalisis pengaruh antara ke dua variabel tersebut.

Pelayanan dokter, perawat yang ramah, perhatian, trampil, sopan mendorong terwujudnya penilaian emosi pasien positif, sehingga sesuai dengan harapan pasien rumah sakit swasta di surabaya. Alat medis yang dimiliki lengkap, berfungsi dengan baik, moderen merupakan penunjang dari pada kualitas inti layanan, sehingga terjadi penilaian emosi positif pada layanan rumah sakit swasta di Surabaya semakin meningkat. Semakin tinggi core service quality semakin tinggi appraisal emotion positif pasien rumah sakit swasta di Surabaya.

Hasil studi ini mendukung hasil studi yang telah dilakukan dari penelitian-penelitian sebelumnya, yaitu: Hume et al. (2010) dan (Liljander and Strandvik, 1997). Hipotesis ke satu (H1) menyatakan bahwa core service quality berpengaruh signifikan terhadap appraisal emotion.

b) Pengaruh Peripheral Service Quality terhadap Appraisal Emotion

Sebagai temuan dari hasil studi ini adalah mendukung penelitian-penelitian yang dikemukakan Hume (2010) hasil penelitiannya mengindikasikan adanya hubungan peripheral service quality terhadap appraisal emotion, dengan menggunakan pengukuran menu makan dan kamar pasien, semakin tinggi peripheral service quality semakin positif appraisal emotion pasien terhadap rumah sakit.

Sebagai temuan dari hasil studi ini adalah mendukung penelitian-penelitian yang dikemukakan Hume (2010) hasil penelitiannya mengindikasikan adanya hubungan peripheral service quality terhadap

Kualitas Layanan Rumah Sakit158

appraisal emotion, dengan menggunakan pengukuran menu makan dan kamar pasien semakin tinggi peripheral service quality semakin positif appraisal emotion pasien terhadap rumah sakit. Hasil penelitian ini konsisten dengan (Liljander and Strandvik, 1997).

Hasil evaluasi tersebut akan menghasilkan perasaan emosi positif seperti bahagia, senang atau perasaan emosi negatif seperti marah, jengkel, kecewa terhadap pelayanan yang ditawarkan oleh penyedia service tersebut. Semakin baik peripheral service quality yang berupa menu makan dan kamar pasien yang memadai, pasien akan nyaman karena kebutuhan pasien terpenuhi dan menjadikan emosi pasien menjadi positif. Maka ada hubungan peripheral service quality terhadap appraisal emotion positif. Penelitian tersebut mengandung makna bahwa peripheral service quality yang diukur dengan menggunakan menu makan dan kamar pasien yang memadai adalah mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap appraisal emotion.

Kualitas layanan penunjang berupa menu makan yang bervariasi dan kamar pasien yang nyaman dan memadai merupakan hal yang sangat penting untuk meningkatkan kualitas layanan penunjang di rumah sakit. Hal ini akan menjadikan penilaian emosi pasien menjadi positif, sehingga dapat digunakan sebagai dasar untuk menguji dan menganalisis pengaruh antara ke dua variabel tersebut.

Kualitas layanan penunjang yang berupa menu makan yang bervariasi dan kamar pasien yang nyaman mendorong terwujudnya penilaian emosi pasien positif, sehingga sesuai dengan harapan pasien rumah sakit swasta di Surabaya. Semakin tinggi peripheral service quality, maka semakin tinggi appraisal emotion pasien rumah sakit swasta di Surabaya.

Hasil studi ini mendukung hasil studi yang telah dilakukan dari penelitian-penelitian sebelumnya, yaitu: Margee Hume (2010), Jony Oktavian Haryanto and Olivia (2009) dan (Liljander and Strandvik,

BAB 8 Korelasi Peayanan pada Emosi & Kepuasan Pelanggan 159

1997). Hipotesis ke dua (H2) menyatakan bahwa peripheral service quality berpengaruh signifikan terhadap appraisal emotion.

Pengaruh peripheral service quality terhadap appraisal emotion menjelaskan tentang sebuah pemahaman yang nyata bagaimana pasien merasakan masing-masing elemen dari desain pelayanan yang menawarkan layanan penunjang untuk efisiensi pendanaan dan alokasi sumber daya. Secara efektif pengalokasian sumber daya akan menambah keuntungan rumah sakit dengan meningkatkan kualitas layanan. Penilaian emosi dan kualitas layanan penunjang membutuhkan strategi meningkatkan Kualitas Layanan Penunjang yang difokuskan menu makan dan kamar pasien yang memerlukan perhatian.

c) Pengaruh Appraisal Emotion terhadap Perceived Value

Sebagai temuan dari hasil studi ini adalah mendukung penelitian-penelitian yang dikemukakan Javalgi dan Moberg (2007) menjelaskan bahwa perusahaan tidak seharusnya menunggu komplain dari pelanggan tentang kualitas pelayanannya namun perusahaan harus secara terus menerus mengawasi kepuasan pelanggan dengan cara mendengarkan evaluasi dari pelanggan. Schoefer dan Ennew (2003) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pasien yang mempersepsikan bahwa komplain yang ia ajukan mendapat keadilan dari perusahaan maka akan menunjukkan respon emosi yang positif sementara pasien yang mempersepsikan bahwa komplain yang ia ajukan tidak mendapat keadilan maka akan menunjukkan penilaian emosi yang negatif.

Penilaian emosi merupakan hasil konsekuensi emosi dari penampilan seperti perasaan bahagia dan kesenangan, bahwa penampilan telah memenuhi hasrat dan harapan (Arora, Singer, 2006, Bagozzi et al. 1999). Penilaian emosi memiliki hubungan yang kuat terhadap kepuasan dan nilai yang dirasakan (Arora, singer, 2006; Bagozzi 1997; White dan Yu, 2005).

Kualitas Layanan Rumah Sakit160

Penilaian emosi yang dihasilkan dari kualitas layanan dapat menjadi puas dan bahagia (Caroll dan Ahuvia, 2006; Bagozzi et al. 1999; Oliver et al. 1997). Apabila tidak puas dapat menjadi marah atau melankoli (Caroll dan Ahuvia, 2006; Bagozzi et al.1999; Oliver et al.1997).

Hasil studi ini mendukung hasil studi yang telah dilakukan dari penelitian-penelitian sebelumnya, yaitu: Javalgi dan Moberg (2007), Schoefer dan Ennew (2003), (Arora, singer, 2006; Bagozzi 1997; White dan Yu, 2005). Hipotesis ke tiga (H3) menyatakan bahwa appraisal emotion berpengaruh signifikan terhadap perceived value.

d) Pengaruh Perceived Value (Y2) terhadap Patient Satisfaction

Sebagai temuan dari hasil studi ini adalah mendukung penelitian-penelitian yang dikemukakan Hellier (2008) hasil penelitiannya mengindikasikan adanya hubungan perceived value terhadap patient satisfaction. Dengan menggunakan pengukuran nilai emosional, nilai harga, dan nilai sosial, semakin tinggi perceived value semakin tinggi patient satisfaction. Hasil penelitian yang menjelaskan bahwa perceived value berpengaruh positif dan signifikan terhadap patient satisfaction, konsisten dengan Lovelock, Patterson dan Walker dalam Tjiptono (2000) yang menyatakan bahwa kesuksesan perusahaan dipengaruhi oleh determinan, di antaranya kepercayaan, kepuasan terhadap produk dan jasa sebelumnya, dan persepsi terhadap nilai. Lai Lai, (2004) dalam penelitiannya membuktikan adanya hubungan positif pelanggan (Cronin et al. 2000).

Palilati, (2007) dalam penelitian yang berjudul Pengaruh Nilai Pelanggan, Kepuasan Terhadap Loyalitas Pasien Rumah sakit di Sulawesi Selatan menemukan adanya hubungan yang signifikan dan positif antara nilai atribut dengan tingkat kepuasan pasien rumah sakit swasta di Sulawesi Selatan, semakin tinggi persepsi nilai dari atribut yang diterima oleh pasien meningkat, maka kepuasan terhadap pasien rumah sakit juga akan meningkat. Maka ada hubungan perceived value terhadap patient

BAB 8 Korelasi Peayanan pada Emosi & Kepuasan Pelanggan 161

satisfaction positif. Penelitian tersebut mengandung makna bahwa perceived value yang diukur dengan menggunakan nilai emosional, nilai harga, dan nilai sosial yang memadai adalah mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap patient satisfaction.

Pelayanan dokter, perawat yang ramah, peralatan medis yang memadai, kamar pasien yang nyaman, menu makan yang bervariasi, dan pelayanan yang diberikan sesuai dengan biaya yang dikeluarkan merupakan hal yang sangat penting karena untuk meningkatkan kepuasan pasien di rumah sakit. Hal ini akan menjadikan nilai layanan yang di rasakan pasien menjadi meningkat, sehingga dapat digunakan sebagai dasar untuk menguji dan menganalisis pengaruh antara ke dua variabel tersebut.

Pelayanan dokter, perawat yang ramah, peralatan medis yang memadai, kamar pasien yang nyaman, menu makan yang bervariasi, dan pelayanan yang diberikan sesuai dengan biaya yang dikeluarkan merupakan hal yang sangat penting, mendorong terwujudnya kepuasan pasien positif, sehingga sesuai dengan harapan pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya. Semakin tinggi nilai yang dirasakan pasien atas layanan yang diberikan, maka semakin tinggi kepuasan pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya.

Hasil studi ini mendukung hasil studi yang telah dilakukan dari penelitian-penelitian sebelumnya, yaitu: Hellier (2008), (Cronin et al. 2000), Palilati (2007), Lai Lai (2004), Lovelock, Patterson and Walker dalam Tjiptono (2000) Hipotesis keenam (H6) menyatakan bahwa perceived value berpengaruh signifikan terhadap patient satisfaction.

e) Pengaruh Appraisal Emotion terhadap Patient Satisfaction

Sebagai temuan dari hasil studi ini adalah mendukung penelitian- Perlu di kemukakan bahwa hasil uji hipotesis Appraisal Emotion terhadap Patient Satisfaction memberikan arti pula bahwa pasien merasakan

Kualitas Layanan Rumah Sakit162

pelayanan yang diberikan oleh dokter, perawat, yang dilengkapi alat medis yang bagus mampu membawa pengaruh kepada penilaian pasien positif atas pelayanan tersebut sehingga, dengan penilaian pasien positif atas layanan yang diterima menjadikan pasien itu merasa puas dengan pelayanan dokter, perawat tersebut. Hal ini sesuai dengan apa yang di harapkan pasien bahwa menggunakan jasa di rumah sakit itu mengharapkan akan memperoleh layanan dan perawatan yang menyebabkan penyakitnya bisa sembuh dengan pelayanan yang diberikan dengan sebaik baiknya sehingga dia merasa manfaat dalam kesembuhan penyakitnya.

Penelitian yang dikemukakan Hume (2010) hasil penelitiannya mengindikasikan adanya hubungan appraisal emotion terhadap patient satisfaction. Dengan menggunakan pengukuran bahagia, takut, dan marah, sehingga semakin tinggi appraisal emotion positif, maka semakin tinggi patient satisfaction.

Hasil penelitian yang menjelaskan bahwa appraisal emotion berpengaruh positif dan signifikan terhadap patient satisfaction, konsisten dengan Strandvik dan Liljander (1997) yang menyatakan bahwa emosi dapat berfungsi sebagai mediator atau faktor independen yang mempengaruhi kepuasan. Emosi sebagai mediator ini dikemukakan oleh Oliver (1993) dan Oliver and Westbrook (1993) yang menyatakan emosi sebagai mediator antara evaluasi kognitif dengan kepuasan sementara emosi sebagai faktor independen. Price et al. (1995) dalam Liljander dan Strandvik (1997) menemukan bahwa perhatian ekstra dari penyedia jasa akan membantu menciptakan emosi yang positif, sementara kegagalan dalam memenuhi standar minimum layanan akan menimbulkan emosi yang negatif.

Hasil studi ini mendukung hasil studi yang telah dilakukan dari penelitian-penelitian sebelumnya, yaitu: Hume (2010), Strandvik dan Liljander (1997), Oliver (1993), Price et al. (1995). Hipotesis ketujuh (H7) menyatakan bahwa perceived value berpengaruh signifikan terhadap

BAB 8 Korelasi Peayanan pada Emosi & Kepuasan Pelanggan 163

patient satisfaction.f ) Pengaruh Core Service Quality terhadap Patient Satisfaction

Sebagai temuan dari hasil studi ini adalah mendukung penelitian-penelitian yang dikemukakan Gillian Sullivan Mort and Hume winzar (2003) meneliti Hubungan core service quality terhadap kepuasan pasien yang yang menganalisis peranan pelayanan inti dan pelayanan penunjang untuk memberikan kepuasan pasien di rumah sakit swasta di surabaya. Hasil penelitiannya mengindikasikan adanya hubungan core service quality terhadap patient satisfaction. Dengan menggunakan pengukuran dokter, perawat, dan alat medis, semakin tinggi core service quality semakin tinggi kepuasan pasien terhadap rumah sakit. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian Hallowell (2004) meneliti hubungan antara kualitas layanan bagi konsumen terhadap kepuasan pasien dan kepuasan kerja karyawan. Penelitian tersebut menghasilkan temuan bahwa untuk mendapatkan kepuasan pasien yang tinggi, rumah sakit harus mengidentifikasi, mengukur, dan mengelola elemen-elemen internal yang menghasilkannya.

Hubungan kualitas layanan dengan kepuasan pasien ada dua hal pokok yang saling berkaitan erat yaitu harapan pasien terhadap kualitas layanan (expected quality) dan persepsi pasien terhadap kualitas layanan (perceived quality). Pasien selalu menilai suatu layanan yang diterima dibandingkan dengan apa yang diharapkan atau diinginkan Parasuraman, et al. (1993). Untuk mengidentifikasi perbedaan antara harapan dan kenyataan pasien merupakan suatu cara untuk mengetahui tingkat kepuasan pasien.

Kepuasan pasien terjadi apabila adanya kesesuaian antara harapan dan kenyataan yang didapatkan pasien. Jika yang terjadi adalah ketidakpuasan, maka pasien akan mewujudkannya dalam bentuk keluhan. Pemahaman terhadap keinginan pasien rumah sakit merupakan langkah awal dalam memberikan pelayanan yang prima yang bermuara pada kepuasan pasien. Pihak manajemen rumah sakit harus mampu menggunakan pengetahuanya untuk menghadapi tantangan dalam menetapkan standar kualitas layanan

Kualitas Layanan Rumah Sakit164

rumah sakit. Kepuasan pasien merupakan kunci dari sebuah proses pelayanan rumah sakit.

Parasuraman, et al. (1993), menyatakan kepuasan pasien membantu pasien dalam memperbaiki atau merevisi persepsi terhadap kualitas layanan. Hal ini didasarkan bahwa, 1. jika pasien tidak memiliki pengalaman sebelumnya dengan suatu Rumah Sakit maka persepsi terhadap kualitas layanannya didasarkan pada harapan pasien; 2. interaksi dengan Rumah Sakit menyebabkan pasien merubah persepsinya terhadap kualitas layanan; 3. setiap tambahan interaksi dengan rumah sakit akan memperkuat atau memperlemah persepsi terhadap kualitas layanan; 4. revisi persepsi terhadap kualitas layanan mempengaruhi minat pembelian kembali di masa yang akan datang.

Hasil penelitian menjelaskan bahwa core service quality berpengaruh positif dan signifikan terhadap patient satisfaction. Hubungan kualitas layanan inti dengan kepuasan pasien tidak lepas dari kreativitas layanan rumah sakit. Untuk mewujudkan suatu layanan berkualitas yang bermuara pada kepuasan pasien rumah sakit harus mampu mengidentifikasi siapa pasiennya, sehingga mampu memahami tingkat persepsi dan harapan pasien atas kualitas layanan. Hal ini penting karena kepuasan pasien merupakan perbandingan antara persepsi dan harapan pasien terhadap layanan rumah sakit yang dirasakan pasien.

Oliver (1981) memandang kualitas layanan sebagai tingkat kepuasan yang ditimbulkan karena adanya suatu transaksi khusus antara rumah sakit dan pasien yang merupakan kondisi psikologis yang dihasilkan ketika faktor emosi mendorong harapan dan menyesuaikan dengan pengalaman mengkonsumsi pada waktu terdahulu. Hal ini berarti ada perbedaan apabila kualitas layanan dipandang sebagai suatu sikap, sebab antara kepuasan dengan sikap adalah hal yang berbeda. Sikap ditunjukkan pasien lebih bersifat relatif terhadap produk atau layanan rumah sakit,

BAB 8 Korelasi Peayanan pada Emosi & Kepuasan Pelanggan 165

sedangkan kepuasan merupakan reaksi emosional terhadap pengalaman mengkonsumsi sebelumnya. g) Pengaruh Peripheral Service Quality terhadap Patient Satisfaction

Sebagai temuan dari hasil studi ini adalah mendukung penelitian-penelitian yang dikemukakan Hume (2010), Mort (2003) meneliti Hubungan peripheral service quality terhadap kepuasan pasien yang yang menganalisis peranan pelayanan inti dan pelayanan penunjang untuk memberikan kepuasan pasien di rumah sakit swasta tipe B di Surabaya.

Hasil penelitian yang menjelaskan bahwa peripheral service quality berpengaruh positif dan signifikan terhadap patient satisfaction, konsisten dengan Patterson, et al. (1997), yang menyatakan bahwa kualitas layanan inti dan kualitas layanan penunjang ditemukan memiliki hubungan tidak langsung tehadap kepuasan pelanggan. Kualitas layanan penunjang juga memiliki hubungan yang signifikan pada keinginan membeli kembali. Kualitas layanan penunjang termasuk menu makan dan kamar pasien untuk membuat pasien memutuskan untuk menggunakan kembali layanan rumah sakit.

Semakin baik peripheral service quality yang berupa menu makan dan kamar pasien yang memadai, pasien akan nyaman karena kebutuhan pasien terpenuhi dan menjadikan pasien puas. Maka ada hubungan peripheral service quality terhadap patient satisfaction. Penelitian tersebut mengandung makna bahwa peripheral service quality yang diukur dengan menggunakan menu makan dan kamar pasien yang memadai adalah mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap patient satisfaction.

Kualitas layanan penunjang berupa menu makan yang bervariasi dan kamar pasien yang nyaman dan memadai merupakan hal yang sangat penting untuk meningkatkan kualitas layanan penunjang di rumah sakit. Hal ini akan menjadikan kepuasan pasien menjadi positif, sehingga dapat digunakan sebagai dasar untuk menguji dan menganalisis pengaruh antara ke dua variabel tersebut.

Kualitas Layanan Rumah Sakit166

Kualitas layanan penunjang yang berupa menu makan yang bervariasi dan kamar pasien yang nyaman mendorong terwujudnya kepuasan pasien positif, sehingga sesuai dengan harapan pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya, yang akhirnya kepuasan pasien pada layanan rumah sakit swasta di Surabaya semakin meningkat. Semakin tinggi peripheral service quality, maka semakin tinggi kepuasan pasien rumah sakit swasta di Surabaya.

h) Pengaruh Patient Satisfaction terhadap Loyalty Pasien

Sebagai temuan dari hasil studi ini adalah mendukung penelitian-penelitian yang dikemukakan Kastenhols (2010) hasil penelitiannya mengindikasikan adanya hubungan patient satisfaction terhadap loyalty pasien. Dengan menggunakan pengukuran pengalaman, harapan, dan puas secara keseluruhan, maka semakin tinggi patient satisfaction, semakin tinggi loyalty pasien terhadap rumah sakit. Hasil penelitian ini konsisten dengan Cronin dan Taylor (1992) yang menyatakan bahwa kepuasan pasien berpengaruh signifikan terhadap keinginan membeli kembali dan kualitas layanan mempunyai pengaruh yang kecil terhadap pembelian kembali dibandingkan dengan kepuasan pasien. Penelitian ini memberikan penjelasan bahwa kepuasan pasien berpengaruh pada loyalitas pasien yang didefinisikan sebagai keinginan untuk melakukan pembelian kembali.

Hasil penelitian Cronin dan Taylor (1992), Caruana (2002), Fullerton and Taylor (2002) memberikan gambaran kualitas layanan dipandang sebagai ukuran atau penentu kepuasan pasien yang memiliki konsekuensi terhadap loyalitas pasien.

Stephen L. Sondoh, Maznah Wan Omar, Nabsiah AW, Ishak Ismail and Amran Harun (2007) Hasil penelitian yang dilakukan Stephen L. Sondoh memberikan sumbangan pemikiran untuk penelitian ini berupa informasi bahwa variabel citra perusahaan dan kepuasan pelanggan

BAB 8 Korelasi Peayanan pada Emosi & Kepuasan Pelanggan 167

berpengaruh terhadap loyalitas pelanggan.

Yohanes (2007) dengan judul penelitian “Pengaruh Kepuasan Terhadap Loyalitas Pelanggan”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keseluruhan kepuasan pelanggan secara signifikan dipengaruhi faktor kepuasan pelayanan rumah tangga atau faktor housekeeping, sedangkan layanan resepsionis serta layanan makanan dan minuman (food and beverage) secara statistik tidak signifikan. Dengan demikian tamu atau pelanggan hotel merasa bahwa kepuasan atas layanan housekeeping menjadi lebih penting dibandingkan kepuasan layanan resepsionis maupun food and beverage. Hal ini kiranya tidak berbeda dengan temuan dalam penelitian yang dilakukan oleh Kandampully dan Suhartanto (2000), bahwa kepuasan atas layanan rumah tangga (housekeeping) merupakan faktor penting yang dipertimbangkan pelanggan untuk memperoleh kembali, maupun merekomendasi kepada calon konsumen potensial.

Hasil uji hipotesis bahwa keseluruhan kepuasan konsumen (patient satisfaction) mempunyai pengaruh positif terhadap loyalitas konsumen (patient loyalty) menunjukkan nilai parameter yang memenuhi nilai kelayakan yang disyaratkan sehingga hipotesis ini diterima. Hasil penelitian ini memberikan dukungan terhadap penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh Fornell (1992), Assael (1995), Selnes (1993), Anderson, Fornell and Lehman (1994), serta Kandampully dan Suhartanto (2000). Kepuasan konsumen akan mempengaruhi perilaku membeli, dimana pelanggan yang puas cenderung menjadi konsumen yang loyal. Selain itu kepuasan yang dirasakan oleh konsumen dapat meningkatkan intensitas pembelian. Dengan kata lain tercapainya tingkat kepuasan konsumen yang optimal akan mendorong terciptanya loyalitas konsumen.

i) Pengaruh Appraisal Emotion terhadap Loyalty Pasien

Sebagai temuan dari hasil studi ini adalah mendukung penelitian-penelitian yang dikemukakan Hume (2010). Hasil penelitian

Kualitas Layanan Rumah Sakit168

mengindikasikan kecenderungan adanya pembelian kembali atau loyal didasarkan pada kepuasan diperantarai oleh perceived value, kualitas layanan inti, kualitas layanan penunjang, dan appraisal emotion, secara langsung mempengaruhi kepuasan pelanggan.

Hasil penelitian menjelaskan bahwa appraisal emotion berpengaruh positif dan signifikan terhadap patient loyalty, konsisten dengan (Arora and Singer, 2006; Bagozzi et al. 1999; Taylor, 2000), riset terkenal saat ini Arora and Singer, 2006; Bagozzi, 1997; Gountas and Gountas, 2007; White dan Yu, 2005; Wood dan Moreau, 2006) pada tipologi-tipologi emosi dalam penelitian loyalitas dalam konteks layanan rumah sakit adalah bersifat elementer.

Penelitian membuktikan emosi memengaruhi pemrosesan informasi, sebagai perantara respon-respon hasil, membuat tujuan, dan memengaruhi kepuasan dan loyalitas pelanggan (Bagozzi et al. 1999). Bagozzi et al. (1999) telah mendefinisikan beberapa tipe emosi termasuk suasana hati dan perasaan, emosi-emosi yang diarahkan ke tujuan dan penilaian emosi (Nyer, 1997; Taylor, 2000; Bagozzi et al. 1999). Suasana hati adalah pernyataan keberadaan mereka tidak cenderung kurang mendalami emosi (Bagozzi, 1997; Bagozzi et al. 1999). Emosi yang diarahkan pada tujuan adalah spesifik emosi hasil-hasil yang dihasratkan dari sebuah rangsangan spesifik semacam sebuah kesenangan dari sebuah layanan (Bagozzi, 1997; Bagozzi et al. 1999; Nyer, 1997) dengan penilaian emosi yang didefinisikan sebagai hasil atau konsekuensi emosi-emosi dari penampilan seperti perasaan bahagia dan kesenangan bahwa penampilan telah memenuhi hasrat dan harapan-harapan kami. Mereka adalah emosi yang dibuat dari evaluasi penampilan (Arora and Singer, 2006; Bagozzi et al. 1999).

BAB 8 Korelasi Peayanan pada Emosi & Kepuasan Pelanggan 169

j) Pengaruh Core Service Quality terhadap Appraisal Emotion pasien rumah sakit swasta di Surabaya.

Hasil pengujian hipotesis membuktikan bahwa core service quality berpengaruh positif dan signifikan terhadap appraisal emotion pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya. Didukungnya hipotesis tersebut karena hasil pengujian hipotesis membuktikan bahwa core service quality berpengaruh positif dan signifikan terhadap appraisal emotion pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya. Didukungnya hipotesis tersebut disebabkan oleh nilai estimate core service quality adalah positif 0,44 dengan nilai p-value sebesar 0,000 karena nilai p-value lebih kecil dari 5%, maka hipotesis ini diterima dan terbukti kebenarannya.

Sehubungan dengan kualitas layanan inti terhadap appraisal emotional, ini merupakan temuan penelitian yang mendukung penelitian (Hume et al. 2010) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kualitas layanan inti terhadap penilaian emosi. Penilaian emosi merupakan hasil konsekuensi emosi seperti perasaan bahagia dan kesenangan karena kinerja telah memenuhi hasrat dan harapan (Arora, Singer, 2006, Bagozzi et al. 1999).

k) Pengaruh Appraisal Emotion terhadap Perceived Value

Hasil penelitian menjelaskan bahwa appraisal emotion juga berpengaruh positif dan signifikan terhadap perceived value. Penilaian emosi pasien dapat meliputi perasaan marah, senang, takut, cemas, bahagia, puas atau bosan. Pasien yang memiliki emosi positif cenderung akan memberikan evaluasi yang baik sementara pasien yang tidak puas cenderung akan memberikan evaluasi yang jelek. Javalgi dan Moberg (2007) menyebutkan bahwa perusahaan tidak seharusnya menunggu komplain dari pelanggan tentang kualitas pelayanannya namun perusahaan harus secara terus-menerus mengawasi kepuasan pelanggan dengan cara mendengarkan

Kualitas Layanan Rumah Sakit170

evaluasi dari pelanggan. Schoefer dan Ennew (2003) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pasien yang mempersepsikan bahwa komplain yang ia ajukan mendapat keadilan dari perusahaan maka akan menunjukkan respon emosi yang positif sementara pasien yang mempersepsikan bahwa komplain yang ia ajukan tidak mendapat keadilan maka akan menunjukkan penilaian emosi yang negatif.

l) Pengaruh Appraisal Emotion terhadap Patient Satisfaction

Hasil penelitian yang menjelaskan bahwa appraisal emotion berpengaruh positif dan signifikan terhadap patient satisfaction, konsisten dengan Strandvik dan Liljander(1997) yang menyatakan bahwa emosi dapat berfungsi sebagai mediator atau faktor independen yang mempengaruhi kepuasan. Emosi sebagai mediator ini dikemukakan oleh Oliver (1993) dan Oliver dan Westbrook (1993) yang menyatakan emosi sebagai mediator antara evaluasi kognitif dengan kepuasan sementara emosi sebagai faktor independen. Price et al. (1995) dalam Liljander dan Strandvik (1997) menemukan bahwa perhatian ekstra dari penyedia jasa akan membantu menciptakan emosi yang positif, sementara kegagalan dalam memenuhi standar minimum akan menimbulkan emosi yang negatif.

m) Pengaruh Core Service Qua Lity terhadap Patient Satisfaction

Hasil penelitian menjelaskan bahwa core service quality berpengaruh positif dan signifikan terhadap patient satisfaction. Hal ini merupakan temuan yang mendukung penelitian Marge Hume (2008) dalam penelitiannya terdapat hubungan timbal balik kualitas layanan inti terhadap kepuasan pelanggan. Hubungan kualitas layanan inti dengan kepuasan pasien tidak lepas dari kreativitas layanan Rumah Sakit. Untuk mewujudkan suatu layanan berkualitas yang bermuara pada kepuasan pasien rumah sakit harus mampu mengidentifikasi siapa pasiennya, sehingga mampu memahami tingkat persepsi dan harapan pasien atas kualitas layanan.

BAB 8 Korelasi Peayanan pada Emosi & Kepuasan Pelanggan 171

Hal ini penting karena kepuasan pasien merupakan perbandingan antara persepsi dan harapan pasien terhadap layanan rumah sakit yang dirasakan pasien. Oliver (1981) memandang kualitas layanan sebagai tingkat kepuasan yang ditimbulkan karena adanya suatu transaksi khusus antara rumah sakit dan pasien yang merupakan kondisi psikologis yang dihasilkan ketika faktor emosi mendorong harapan dan menyesuaikan dengan pengalaman mengkonsumsi pada waktu terdahulu. Hal ini berarti ada perbedaan apabila kualitas layanan dipandang sebagai suatu sikap, sebab antara kepuasan dengan sikap adalah hal yang berbeda. Sikap ditunjukkan pasien lebih bersifat relatif terhadap produk atau layanan rumah sakit, sedangkan kepuasan merupakan reaksi emosional terhadap pengalaman mengkonsumsi sebelumnya.

n) Pengaruh Periphera Service Quality terhadap Patient Satisfaction

Hasil penelitian yang menjelaskan bahwa peripheral service quality berpengaruh positif dan signifikan terhadap patient satisfaction, konsisten dengan Patterson, et al . (1997) yang menyatakan bahwa kualitas layanan inti dan kualitas layanan penunjang ditemukan memiliki hubungan tidak langsung tehadap kepuasan pelanggan. Kualitas layanan penunjang juga memiliki hubungan yang signifikan pada keinginan membeli kembali. kualitas layanan penunjang termasuk menu makan dan kamar pasien untuk membuat pasien memutuskan untuk menggunakan kembali layanan rumah sakit.

o) Pengaruh Patient Satisfaction terhadap Patient Loyalty

Hasil penelitian menjelaskan bahwa patient satisfaction berpengaruh positif dan signifikan terhadap patient loyalty, konsisten dengan Cronin dan Taylor (1992) yang menyatakan bahwa kepuasan pasien berpengaruh signifikan terhadap keinginan membeli kembali dan kualitas layanan

Kualitas Layanan Rumah Sakit172

mempunyai pengaruh yang kecil terhadap pembelian kembali dibandingkan dengan kepuasan pasien. Penelitian ini memberikan penjelasan bahwa kepuasan pasien berpengaruh pada loyalitas pasien yang didefinisikan sebagai keinginan untuk melakukan pembelian kembali.

Hasil penelitian Cronin dan Taylor (1992), Caruana (2002), Fullerton dan Taylor (2002) memberikan gambaran kualitas layanan dipandang sebagai ukuran atau penentu kepuasan pasien yang memiliki konsekuensi terhadap loyalitas pasien.

p) Pengaruh Appraisal Emotion terhadap Patient Loyalty

Hasil penelitian menjelaskan bahwa appraisal emotion berpengaruh positif dan signifikan terhadap patient loyalty, konsisten dengan (Arora and Singer, 2006; Bagozzi et al. 1999; Taylor, 2000), riset terkenal saat ini Arora and Singer, 2006; Bagozzi, 1997; Gountas and Gountas, 2007; White dan Yu, 2005; Wood dan Moreau, 2006) pada tipologi-tipologi emosi dalam penelitian loyalitas dalam konteks layanan rumah sakit adalah bersifat elementer. Penelitian membuktikan emosi memengaruhi pemrosesan informasi, sebagai perantara respon-respon hasil, membuat tujuan, dan memengaruhi kepuasan dan loyalitas pelanggan (Bagozzi et al. 1999). Bagozzi et al.(1999) telah mendefinisikan beberapa tipe emosi termasuk suasana hati dan perasaan, emosi-emosi yang diarahkan ke tujuan dan penilaian emosi (Nyer, 1997; Taylor, 2000; Bagozzi et al. 1999).

Suasana hati adalah pernyataan keberadaan, mereka tidak cenderung kurang mendalami emosi (Bagozzi, 1997; Bagozzi et al. 1999). Emosi yang diarahkan pada tujuan adalah spesifik emosi hasil-hasil yang dihasratkan dari sebuah rangsangan spesifik semacam sebuah kesenangan dari sebuah layanan (Bagozzi, 1997; Bagozzi et al. 1999; Nyer, 1997) dengan penilaian emosi yang didefinisikan sebagai hasil atau konsekuensi emosi-emosi dari penampilan seperti perasaan bahagia dan kesenangan bahwa penampilan telah memenuhi hasrat dan harapan-harapan kami. Mereka adalah emosi

BAB 8 Korelasi Peayanan pada Emosi & Kepuasan Pelanggan 173

yang dibuat dari evaluasi penampilan (Arora dan Singer, 2006; Bagozzi et al. 1999).

Kualitas Layanan Rumah Sakit174

DAFTARPUSTAKA

Addis, M. and Holbrook, M. B., 2001, On the Conceptual Link between Mass Customisation and Experiental Consumption : An Explosion of Subjectivity, Journal of Consumer Behaviour. 1 (1) : 50 – 66.

Agustiono, Budi dan Sumarno, 2008, Analisis Pengaruh kualitas Pelayanan Jasa Terhadap Kepuasan dan Loyalitas Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit ST Elisabeth Semarang, Eksplanasi. Vol. 2 No. 4.

Ardhani, Adhitya, P., 2007, Pengaruh Switching Cost Sebagai Pemoderasi Hubungan Antara Kepuasan Dan Loyalitas Konsumen, Jurnal Riset Manajemen dan Bisnis, Volume 2, No. 2.

Alpander, Guvene G., 1996, Relationship Beetween Commitment to Hospital Goals and Jobs Satisfaction : A Case Study of a Nursing Deparment, Health Case Manage Review, pp 51 – 62.

American Hospital Association, 1974, Infection Control in the Hospital 3rd edn. Chicago, American Hospital Association.

Anderson, E. W. and Sullivan, M. W., 1993, The Antecedent and Consequences of Customer Satisfaction for Firm, Journal of Marketing Science, Vol. 12, No.2, Spring, h.125.

Anderson, Eugene W, Fornell, Claes, and Lehmann, Donald R., 1994, Customer Satisfaction, Market Share, and Profitability : Findings From Sweden, Journal Of Marketing, Vol. 58, pp 53 – 66.

Arikunto, Suharsini, 2009, Manajemen Penelitian. Jakarta : Penerbir Rineka Cipta.

Aryani, Dwi dan Rosinta, Febrina., 2010, Pengaruh Kualitas Layanan terhadap Kepuasan Pelanggan dalam Membentuk Loyalitas Pelanggan, Bisnis dan Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Mei—Agus 2010, Vol. 17, No. 2, hal. 114 -126.

BAB 8 Korelasi Peayanan pada Emosi & Kepuasan Pelanggan 175

Arora, Raj and Singer, Joe, 2006, Cognitive and Affective Service Marketing Strategies for Fine Dining Restaurant Managers, Journal of Small Business Strategy.

Aydin, Serkan, Ozer, Gokhan, and Arasil, Omer, 2005, Customer Loyalty and The Effect of Switching Cost as Moderator Variable (A Case in the Turkish Mobile Phone Market), Journal of Marketing Intelligence & Planning, Vol.23, No. 1, h. 89 – 103).

Azwar, Azrul, 1996, Pengantar Administrasi Kesehatan, Edisi Kedua. Jakarta : PT. Bina. Rupa Aksara.

Azwar, Azrul, 1996, Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan

Babin, B. J. and Griffin, J., 1998, The nature of satisfaction : an update examination and Analysis, Journal of Bussiness Research, Vol. 41, pp. 127 - 36.

Bagozzi, R. P., Gopinath, M. and Nyer, P. U., 1999, The role of Emotion in Marketing, Journal of Academy of Marketing Science, Vol. 27 No. 2, pp. 184 - 206.

Bagozzi, Richard P. and David J. Moore, 1994, Public Service Advertisements: Emotions and Empathy Guide Prosocial Behavior, Journal of Marketing, 58 (January), 56-70.

Bahia, Kamilia and Nantel, Jacques, 2000, A reliable and valid measurement scale for the perceived service quality of banks, International Journal of Bank Marketing, No. 2, V0l.18, page. 84 – 91.

Bailey, B. and Dandrade, R., 1995, Employee satisfaction and customer satisfaction equalssustained profitability, Center for Quality Management Journal, 4(3): 3-11, Fall.

Barlow, J. and Maul, D., 2000, www.tmius.com. Business Book Review.

Batinggi, Ahmad, 2005, Materi Pokok Pelayanan Umum. Jakarta : Universitas Terbuka.

Beerli, A., Martin, J. D. and Quintana, A., 2004, A Model of Customer

Kualitas Layanan Rumah Sakit176

Loyalty in the Retail Banking Market, European Journal of Marketing. Vol. 38, No. 1/2, pp. 253-275.

Bendapudi and Berry, L. L., 1997, Customers’ Motivations for Maintaining Relationships with Service Provider, Journal of Retailing, 73 (1) : 15 – 37.

Bowers, Michael R., 1994, What Atributes Determine Quality and Satidfaction With Health Care Delivery, Health Care Management Review, pp 49 – 55.

Brady, Michael K. and Robertson, Christoper J., 2001, Searching for a Concensus on the Attecedent Role of Service Quality and Satifaction : An Exploratory Cross-National Study. Journal of Business Research, 21, 23 - 258.

Buchari, Alma, 2004, Manajemen Pemasaran dan Pemasaran Jasa. Edisi Keenam. Bandung : Alfabeta.

____________, 2007, Kewirausahaan. Bandung : Alfabeta.

Burnham, T., Frels, J. and Mahajan, V.. 2003, Consumer switching costs: a typology, antecedents and onsequences’’,Journal of the Academy of Marketing Science, Vol. 31.

Castro, London, and Armario, Ruiz, 1999, Consequences of market orientation for customers and employees. European Journal of Marketing. 39 (5), 646-75.

Carrol, B. A., Ahuvia, 2006, Some Antecedents and Outcomes of Brand Love, Marketing Letter,s 17, 79 – 89.

Casalau, R. F., 1991. Total Quality Management in Health Care, Hospital and Health Service Administration, pp 134 – 146.

Clark, A. E. Oswald, 1998, Comparison-Concave Utility and Fallowing Behaviour In Social and Economic Setting, Journal of Public Economics 70, 398-407.

Counte, M. A, Glandon G. L., Oleske D. M. and Hill J. P., 1992, Total Quality Management in Health Care Organization : How are Employees Affected ?, Hospital and Service Administration, 37, pp 503 – 518.

Darsono, dan Ashari, 2004, Loyalty and Disloyalty : Sebuah Pandangan

BAB 8 Korelasi Peayanan pada Emosi & Kepuasan Pelanggan 177

Komprehensif Dalam Analisis Loyalitas Pelanggan, Jurnal Administrasi dan Bisnis, Vol.4

Davies G., Chun R., da Silva R. V. And Roper S., 2003, A Corporate Character Scale to Asses Employee and Customer Views of Organization Reputation, Corporate Reputation Review, Vol. 7 (2) : 125 – 146.

Departemen Kesehatan RI, 2000. Health Information in Brief, Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.

______________________, 2004, “Buku Pedoman Upaya Peningkatan Mutu Pelayanan Rumah Sakit, Jakarta : Depkes RI.

Duffy, J. A. and Ketchand, A. A., 1998, Examining the Role of Service Quality in Overall Service Satisfaction, Journal of Managerial Issue, 10 (2), 240 – 255.

Dwyer, F. Robert, Schurr, Paul H. and Oh, Sejo, 1987, Developing Buyer-Seller Relationship. Journal of Marketing, 51 (2), 11.

Edell, Julie A. and Chapman Burke, Marian, 1987, The Power of Feelings in Understanding Advertising Effects, Journal of Consumer Research, 14 (December), 421-433.

Erevelles, Sunil, Srinivasan, Shuba, and Rangel, Steven, 2003, Consumer Satisfaction for Internet Service Providers : An Analysis of Underlying Processes, Journal of Information Service Technology and Management, Vol.4, No. 1 h.59.

Ferdinand, A., 2001, Structural Equation Modeling dalam Penelitian Manajemen Aplikasi Model – Model Rumit dalam Penelitian Untuk Tesis S-2 dan Disertasi S-3. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Ferguson, Ronald James, Paulin, Michele, Pigeassou, Charles, and Gauduchon, Romain, 1999, Assessing Service Management Effectiveness in a Healt resort : Implication of Technical and Fuctional Quality, Managing Service Quality, 9(1), 58.

Ford, Robert C., A. Bach, Susan, and Fottler Myron, D., 1996, Methods of Measuring Patient Satisfaction in Health Care Organization, Health Care Manage Review, pp 74 – 89.

Kualitas Layanan Rumah Sakit178

Fornell, C., Johnson, M. D., Anderson, E. W., Cha, J. and Bryant B.E., 1996, The American Customer Satisfaction Index : Nature, Purpose, and Findings. Journal of Marketing, Vol. 60, October, pp. 7-18.

Fu Chen, Ching, 2008, Investigating Structural Relations Between Service Quality, Perceived Value, Satisfaction and Behavioral Intentions for Air Pessengger, : Evidance From Taiwan, Transportation Research Part A, 42 (709-717).

Gaffar, Vanessa, 2005, Pengaruh Manajemen Hubungan Pelanggan Dan Hubungan Masyarakat Dalam Pemasaran Terhadap Nilai Dan Loyalitas Pelanggan Hotel, Disertasi Bandung : UNPAD.

Garbiano, Ellen and Johnson, Mark S., 1999, The Different Roles of Satisfaction, Trust, and Commitment in Customer Relationship, Journal of Marketing, 63 (2), 70 -78.

Gaspers, V., 1997, Manajemen Kualitas Dalam Industri Jasa. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Gremler, D. D., Gwinner K. P. and Brown, S. D., 2001, Generating Positive Word of mouth Communication through Customer Employee Relationship, International journal of Service Industry Management, Vol 12 no.1.

Griffin, Jill, 2000, Customer Loyalty, How To Earn It, How To Keep It. New York : Lexington Book.

Gronroos, C. and Sund, H. A., 1993, A Winning service offer in car rental. Management Decision, 31(1):45-51.

Gummason, Evert, 2006, Restoring The Technoligical and Human Balance in Service, Stockholm Sweden, SE – 10691.

Hair, J. F., 1996, Structural Equation Modeling Multivarite Data Analysis With Reading, Chapter 11 : Prentice Hall International Editions.

Hauser, John, R., 1986, Competitive Price and Positioning Strategies, Marketing Science, Vol. 7 No.1, Winter 1988.

Hellier, Philip, K., 2003. Customer Repurchase Intention A general

Kualitas Layanan Rumah Sakit 179

Structural Equation Model. Europen Journal of Marketing, Vol. 37 No. 11/12 2003.

Holbrook, Morris B. and Rajeev Batra, 1987, Assessing the Role of Emotions as Mediators of Consumer Responses to Advertising, Journal of Consumer Research, 14 (December), 404-420.

Hume, Margee and Mort, Gillian Sullivan, 2008, Singing! Dancing! And Service! : A Great Show Needs Service for Them to Come Back, Griffith Bussiness School, Departemen of Marketing, Griffith University, Nathan Campus.

Hume, Margee and Mort, Gillian Sullivan, 2010, The Consequence of Appraisal Emotion, Service Quality, Perceived Volue and Customer Satisfaction on Repurchase Intent in the Performing Arts, Journal of Services Marketing, 24/2 (2010).

Hume, Margee, 2008, Understanding Core and Peripheral Service Quality in Customer Repurchase of the Performing Arts, Managing Service Quality, Vol. 18 No. 4, 2008.

Jones, Michael A., Taylor, Zeithaml, Valerie A., Bechere Richard C., and Halstead, Diane, 2003, The Impact of Instruction Understanding on Satisfaction and Switching Intentions, Journal of Consumer Satisfaction and Complaining Behavior, Vol. 16, h 10.

Johnson, Mark S., 1966, The Theory and Management ofsystem. New York : McGraw-Hill

Keiningham, L., 2006, The Role of Customer Delight in Achieving Loyalty, (Online), (www. Ipsosloyalty.com).

Kristiadi, J. B., 1993, Optimasi Sumber Daya Pembangunan Melalui Peningkatan Peran Swasta dalam Pembangunan Sektor Publik Jakarta, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi FISIP – UI.

Kanuk, Leslie Lazar and Scifmann, Leon, 2004, Perilaku Konsumen. Edisi 7. Jakarta : PT. Indeks Group Gramedia.

Kartajaya, Hermawan, 2002, Hermawan Kartajaya On Marketing, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Kastenholz, Elisabeth, Sandra and Correia Loureiro, Sandra,. 2010,

Kualitas Layanan Rumah Sakit180

Corporate Reputation, Satisfaction, Delight, and Loyalty Towards Rural Lodging Units in Portugal. Departement of Economy, Management, and Industrial Engineering, 3810-193 Aveiro Portugal, University of Aveiro, Campus of Santiago.

Kathleen Duffy, 2003, Supporting failing students in practice Assessment : University of Salford.

Keaveney, Susan M., Susan M., and Parthasarathy, Madhavasan, 2001, Customer Switching in Online Service : An Exploratory Study of the Role of Selected Attitudinal, Behavioral, and Demographic Factors, Journal of the Academy of Marketing Science, Vol. 29, No. 4. h. 374 – 390.

Kim. W. G, Ma, X and Kim. D. J, 2003, Determinants of Chinese hotel customers’ e-satisfaction and purchase intentions, Journal of Service Research.

Kotler, Philip., 1999, The Effect of Satisfcation and Consumer Loyalty in retailing, Journal of Service Research.

_____________, 1997, Manajemen Pemasaran. Terjemahan Teguh. Jakarta : Prenhalindo.

Kotler, Phillip, and Keller, Kotler Lane, 2006, Marketing Management, 12th Edition. New Jersey : Pearson Prentice Hall.

___________________________________, 2009, Marketing Management, 13th Edition. New Jersey : Pearson Prentice Hall.

Kotler, Phillip and Amstrong, Gary, 1997, Dasar-Dasar Pemasaran, New York : Springer.

L. Sondoh Jr. S., Wan Omar M., and A. Wahid N., 2007, The Effect of Image on Overall Satisfaction and Loyalty Intention in The Context of Color Cosmetic, Asian Academy of Management Journal, Vol. 12 No. 1 p. 83-`07.

Lasser, W, M., Manolis, and Chris, Winsor, Robert, D., 2000, Service quality perspectives and Satisfaction in Private Banking, The International Journal of bank Marketing, Bradford, Vol.18, Iss.4, page 181.

Kualitas Layanan Rumah Sakit 181

Lee, Jonathan; Lee, Janghyuk, and Feick, Lawrence, 2001, The Impack of Switching Cost on The Customer Satisfaction-Loyalty Link : Mobile Phone Service in France, Journal of Service Marketing, Vol. 15, No. 1, h.35-48.

Liljander, V. and Strandvik, T., 1997, Emotions in service Satisfaction, International Journal of Service Industry Management, Vol. 8 No. 2, pp. 148 – 69.

Liljander, V. 2000, Impact of Customer Preconsumption Mood on the Evaluation of Employee Behavior in Service Encounters, Psychology and Marketing, Vol. 19 No. 10, pp. 837-60.

Lovelock, Christopher And Wright, Lauren K., 2005, Manajemen Pemasaran Jasa. Edisi Bahasa Indonesia, Jakarta : Gramedia.

Lovelock, Christoper H., 1992, Seeking Symergy in Service Operations : Seven Things Marketers Need to Know About Service Operation, European Management Journal, 10(1), 22.

Levey, Samuel and Loomba, Paul N., 1973, Service Quality Improvement : The Customer Satisfaction Strategy for Health Care, New Jersey : American Hospital Publishing Inc.

Lupiyoadi, Rambat, 2001, Manajemen Pemasaran Jasa Teori dan Praktek, Jakarta : Salemba Empat.

McDougall, G. H. and Levesque, T., 2000, Customer Satisfaction With Services : Putting Perceived Value Into The Equation, Journal of Services Marketing, Vol. 14, No. 5, pp. 392 – 410.

McNeal, B. L., 1992, Basic Definitions : Advertising, Marketing, Promotion, Public Relations and Publicity, and Sales, The Management Assistance Program For Non Profit, Minnesota.

Miniard, Blackwell, and Roger, Engel. F. James, 1994, Perilaku Konsumen. Edisi Keenam, Jakarta : Binarupa Aksara.

Moenir, H. A. S., 2002, Manajemen Pelayanan Umum. Jakarta : Bumi Aksara.

Mowen. Jhon C, and Minor, Michael, 2002, Perilaku Konsumen, Edisi

Kualitas Layanan Rumah Sakit182

Kelima. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Munhurrun, R.P. Naidoo, P., and Bhiwajee, S.D.L., 2008, Measuring Call Centre Employee Satisfaction and Loyalty, University of Mauritus.

Muninjaya, A. A. Gde, 2004, Manajemen Kesehatan, Edisi 2, Jakarta : Penerbit EGC

Nazir, Moh., 1999, Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia.

Oliver, R. L., 1997, “Satisfaction : A Behavioral Perspective on the Consumer.” Boston, Irwin/McGraw-Hill.

Otani, M., 2003, Reconsidering Models of Patient Satisfaction and Behavioral Intentions, Health Care Management Review January/February/March 2003, Volume 28 - Issue 1 - pp 7-20

Qomariyah, Nurul, 2011, Pengaruh Kualitas Layanan dan Citra Terhadap Kepuasan dan Loyalitas Pelanggan.

Parasuraman, Zeithaml, Valerie A., and Berry, Leonardo L.,1985, Conceptual Model Of Service Quality and its Implications for Future Research, Journal of Marketing, fall.

Pass, Cristopher and Lowes, Bryan, 1994, Kamus bisnis lengkap Collins. Jakarta : Erlangga.

Patterson, Paul G., and Spreng, Richard A., 1997, Modelling the Relationship Beetwen Perceived Value, Satisfaction and Repurchase Intentions in Bussines to Bussines, Service Context : an Empirical Examination, International Journal of Service Industry Management, Vol. 8, No. 5, h.414.

Payne, Adrian, 2001, Pemasaran Jasa. ANDI : Yogjakarta.

Ping. R., 1993, The Effects of Satisfaction and Structural Contains on Retailer Exiting, Voice Loyalty, Opportunism, and Neglect. Journal of Retailing, 69(3), 320 - 352.

Poerwadarminta, 2006, Kamus Umum Bahasa Indonesi. Edisi Ketiga. Jakarta : Balai Pustaka.

Pullman, Madeleine E., and Gross, Michael A., 2004, Ability of Experience

Kualitas Layanan Rumah Sakit 183

design Element to Elicit Emotions and Loyalty Behaviors, Journal of Decision Sciences, Vol.35, No.3.

Raharso, Sri, 2004, Respon Organisasi terhadap Keluhan Pelanggan untuk Evaluasi Pascakonsumen, Usahawan, Edisi Agustus, No. 8, Th. XXXIII.

Ranaweera, Chatura and Prabhu, Jaideep, 2003, The Influence of satisfaction, Trust and Switching Barriers on Customer Retention in A Continuous Purchasing Setting, International Journal of Service Industry Management, Vol. 14, No.3, h.374.

____________________________________, 2003, On The Relative Importance of Satisfaction and Trust as Determinants Of Customer Retention and Positive Word of Mouth, Journal of Targeting, Measurement and Analysis o Marketing, Vol. 1, h.82-90.

Rangkuti, Freddy, 2002, Measuring Consumer Satisfaction : Gaining Customer Relation Strategy. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

______________, 2003, Riset Pemasaran. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Ratminto dan Atik S. W., 2008, Manajemen Pelayanan Pengembangan Model Konseptual. Jakarta : PT Rineka Cipta.

Ruyten, K. and Bloemer, J., 1998, The Impact of Incomplete Information on the Use of Marketing Research Intellegence In International Service Setting. Journal of Service Research, Vol. 2, No. 4.

Robinson, S., 1999, Measuring Service Quality: Current Thinking and Future Requirements, Marketing Intelligence and Planning, 17(10), 21-32.

Romandi, 2001, Pengukuran Kepuasan dalam Usaha Memenangkan Persaingan (Studi Kasus : PT. Telkomsel), Tesis Program Megister Manajemen Bisnis dan Administrasi Teknologi. Bandung : Institut Teknologi Bandung.

Rouwendal, J., E. T. Verhoef, P. Rietveld and B. Zwart, 2002, A stochastic model of congestion caused by speed differences, Journal of

Kualitas Layanan Rumah Sakit184

Transport Economics and Policy 36 407-445.

Sadono, 2002, Pengantar Teori Ekonomi Mikro Edisi Ketiga, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Selnes, F., 1993, An Examination the Effeck of Product Performance on Brand Reputation, Satisfaction, and Loyalty, Europen Journal of Marketing, Vol 27, No. 9, P 19-35.

Sariyoni, Eming, 2003, The Influence of the Primary Helth Service Quality of Puskesmas on The Patient`s Loyalty, Bandung : Thesis, Program Megister Manajemen Universitas Padjadjaran.

Sawyer, Jhon E. and Dickson`s, K. L., 1984, Effects of Price Uncertainty on Consumer Purchase Budget and Price Thresholds, Marketing Letters, 3 : 4 (1984) : (323 – 329).

Setyawan, Anton A., dan Susila, Ihwan, 2004, Pengaruh Service Quality Perception terhadap Repurcahse Intentions (Studi Empirik pada Konsumen Supermarket), Usahawan, Edisi Juli, No.7, Th.XXXIII.

Setyowati, Kristina, 2011, Kualitas Layanan Terhadap Kepuasan Pelanggan dan Loyalitas Pelanggan Rumah Sakit Universitas Marmara, Spirit Publik, Vol. 7, No. 2.

Sharma, N. and Patterson, P. G., 1999, The Impact of Communication Effectiveness and Service Quality on Relationship Commitment in Consumer, Professional Services. Journal of Services Marketing, 13 (2): 151-170.

Sheth, J. N., and Gross, B. L., 1991, Comsumption Value and Market Choice, Cincinnati : South Western Publishing Company.

Siregar, Charles, 2004, Farmasi Rumah Sakit Teori dan Penerapan, Cetakan I, Jakarta : Penerbit EGC.

Stauss, B. and Neuhaus, P., 1997, The qualitative satisfaction model, International Journal of Service Industry Management, Vol. 8 No. 3, pp. 236-49.

Soderlund, Magnus, and Ohman, Niclas, 2003, Behavioral Intentions

Kualitas Layanan Rumah Sakit 185

in Satisfaction Research Revisited, Journal of Consumer Satisfaction, Dissatisfaction and Complaining Behavior, Vol. 16.

Stoit, P. A. and J. D. Leckenby, 1986, Measuring Emotional Responce to Advertising, Journal of Advertising.

Supranto, J., 1997, Pengukuran Tingkat Kepuasan Untuk Meningkatkan Pangsa Pasar, Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Susanto, A. B., 2004, Value Marketing: Paradigma Baru Pemasaran. Bandung : Mizan Media Utama.

Sutopo, 2000, “Pelayanan Prima”. Jakarta : Penerbit LAN.

Sweeney, J. C., 2003, Customer Perceived Value, in McColl-Kennedy, J. (ED.), Services Marketing : A Managerial Approach, Brisbane : John Wiley and Sons.

Sweeney, J. C. and Soutar, G. N., 2001, Customer Perceived Value : the development of a multiple item scale, Journal of Retailing, Vol. 25 No. 2, hal. 193 – 53.

Taylor S. A. and Baker T. L., 1994, Assessment of Relationship Beetwen Service Quality and Customer Satisfaction in the Formation of Customer Purchase Intentions, Journal of Retailing, Vol. 70, No. 2, h.163-178.

Tierney, Pamela, and M. Farmer Steven, B. Graen George, 1997, An Exammination of Ledership and Employee Creativity : The Relevance of Traits and Relationship, Health Care Managemen Review, pp 591 – 617.

Tjiptono, Fandy, 1996, Manajemen Jasa, Edisi Pertama. Yogyakarta : Andi Offset.

_____________, 1996. Manajemen Jasa, Edisi I. Yogyakarta : Andi Offset.

_____________, 1999, Strategi Pemasaran, Edisi kedua, Yogyakarta : Penerbit Andi Offset.

______________, 2002, Strategi Pemasaran, Edisi ke 2. Yogyakarta : Andi Offset.

______________, 2004. Marketing Scales. Yogyakarta : Andi Offset.

Kualitas Layanan Rumah Sakit186

Tor Valin, Andreassen 1994, Satisfaction, Loyalty and Reputation as Indicators of Customer Orientation In The Paublic Sector, International Journal of Public Sector Management, Vol. 7 no. 2, pp 16-34.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.

Utama, S., 2003, Memahami Fenomena Kepuasan Pasien Rumah Sakit. Medan : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Verhoef, Marja J., White, M. I. R., and Margaret, A., 2002, Factors in Making the Decision to Forgo Conventional Cancer Treatment, Article first published online, 11 Juli 2002.

Wangsa, Ari, I. G. L., 2009, Pengaruh Kualitas, Faktor Korporasi dan Faktor Situasi Terhadap Pengorbanan dan Nilai yang Dipersepsikan serta Kepuasan Pelanggan dalam Minat untuk Multimedia Telkom, Jurnal Bisnis dan Kewirausahaan, Vol. 5, No. 2.

Westbrook, Robert A., 1987, Product/Consumption-Based Affective Responses and Postpurchase Processes, Journal of Marketing Research, 24 (August), 258-70.

Widayat, Wahyu, 2004, Metode Penelitian Pemasaran: Aplikasi Software SPSS. Malang : Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang.

Wijayanti, Ari, 2008, Strategi Meningkatkan Loyalitas Melalui Kepuasan Pelanggan (Studi Kasus : Produk Kartu Seluler Prabayar Mentari-Indosat Wilayah Semarang). Semarang : Universitas Diponegoro.

Wiyono, Djoko, 1997, Tugas dan Fungsi Rumah Sakit. Surabaya : Airlangga University Press.

Wolper, Lawrance, F., and Pena, J., 1987, Health care administration : principles and practices, Rockville : Md Aspen Publishers.

Kualitas Layanan Rumah Sakit 187

BIODATA

PENULIS

Dr. Hj. Mu`ah, SE, MM di lahirkan di Lamongan 6

Mei 1968. Menyelesaikan Sarjana (S1) Tahun

1990, Magister Manajemen (S2) Tahun 2005 dan

Doktor Ilmu Ekonomi Minat Kajian Manajemen

Pemasaran Pascasarjana Universitas Airlangga

Surabaya Tahun 2012. Beliau sebagai Dosen Negeri

Kopertis Wilayah VII Surabaya Mengampu Mata

Kuliah Manajemen Pemasaran, Manajemen

Pemasaran Internasional, Manajemen Strategik,

Nursing Entrepreneur dan Manajemen Pelayanan

Kesehatan di STIE. KH. AHMAD DAHLAN Lamongan dan di STIKES

Muhammadiyah Lamongan. Beliau pernah menjabat sebagai Ketua Biro

Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, dan sekarang beliau menjabat sebagai

Ketua 1 di STIE KH. AHMAD DAHLAN Lamongan.